PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI"

Transkripsi

1 i PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI YULIANTO SUTEJA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 23 Agustus 2011 Yulianto Suteja NRP. C

4 iv

5 v ABSTRACT YULIANTO SUTEJA. Turbulent Mixing caused by Internal Tide and Their Implication on Nutrient in Ombai Strait. Under direction of MULIA PURBA and AGUS SALEH ATMADIPOERA. Ombai Strait is one of the exit passages of Indonesian Throughflow (ITF) which has strong internal tidal energy. Internal tide is one of the main energy which causes mixing processes in the oceans. The purpose of this research was to estimate the turbulent mixing by using Thorpe scale approach and effect of mixing on the flux of nutrients (nitrate, phosphate and silicate). CTD instrument equipped with bottle rosettes were casted nine times for one tidal cycle (24 hours), but for nutrient samples only taken from the third casting with 22 samples at determined depth. The results showed that Ombai Strait has an internal tide with semidiurnal period. The average value of in the Ombai Strait is very high (7,56 x ,83 x 10-1 m 2 s -1 ) and the highest is found in deep layer (2,17 x ,75 x 10-1 m 2 s -1 ). This is presumably due to strong internal tide in that water. The strong effect of these internal tide especially during the low tide where the water mass induce to the deep layer. Vertical nutrient concentrations increase with depth. The nutrient fluxes estimation showed that the thermocline layer has the lowest flux of nutrients (0 m µmol l -1 s -1 ) and the highest flux in the deeper layer (8,28 x ,56 x 10-5 m µmol l -1 s -1 ). Estimation of three nutrient fluxes showed that the phosphate is the lowest, followed by nitrate, and silicate as the highest. Keywords: mixing, internal tide, Ombai Strait, fluxs nutrient

6 vi

7 vii RINGKASAN YULIANTO SUTEJA. Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan AGUS SALEH ATMADIPOERA. Selat Ombai merupakan salah satu daerah di perairan Indonesia yang memiliki kecepatan arus dan energi pasut internal yang tinggi. Kombinasi antara energi dan kecepatan arus pasut internal yang kuat menjadikan Selat Ombai memiliki potensi yang besar untuk terjadinya proses percampuran turbulen. Namun demikian, belum diketahui besarnya nilai percampuran turbulen yang terjadi. Percampuran turbulen merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penaikkan nutrien yang sangat penting untuk kehidupan biota yang berada di lapisan atas. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi percampuran turbulen (vertikal eddy difusivitas) di Selat Ombai menggunakan pendekatan skala Thorpe dan mengestimasi efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat). Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 bersamaan dengan Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN Perancis. Lokasi pengambilan data dilakukan di Selat Ombai dengan menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dari Perancis. Data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh dengan menggunakan sensor CTD Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus, selanjutnya dilakukan tahap pengolahan data dengan prosedur standar menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Data nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) diperoleh dari air yang diambil dengan menggunakan botol rosette yang diturunkan bersama dengan CTD. Sampel air yang diambil sebanyak 22 sampel masing-masing pada kedalaman 5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 300, 350, 450, 550, 650, 750, 800, 900, 1000, 1100, 1200, 1300, 1400, dan 1500 m. Pengukuran konsentrasi nitrat, fosfat, dan silikat dilakukan di Laboratorium Prolink IPB dengan masing-masing menggunakan metode Brucine, Ascorbic Acid, dan Molybdosilicate. Dari data CTD dilakukan perhitungan nilai Thorpe displacement, skala Thorpe, panjang skala Ozmidov, frekuensi Brunt Vaisala, tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy dan selanjutnya melakukan estimasi difusivitas vertikal eddy. Dari nilai dan konsentrasi nutrien kemudian dilakukan perhitungan fluks nutrien. Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan dapat dilihat dengan jelas. Berdasarkan temperatur, perairan Selat Ombai dapat dibedakan menjadi 3 lapisan yaitu lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Lapisan tercampur merupakan lapisan yang memiliki temperatur yang hampir seragam dan paling tinggi. Ketebalan lapisan ini berkisar antara m. Lapisan paling tebal didapatkan pada ulangan 5-2 dan paling tipis pada ulangan 5-7. Perbedaan ketebalan lapisan ini diduga dipengaruhi oleh aktifitas gelombang internal di lokasi penelitian. Lapisan termoklin di Selat Ombai memiliki rata-rata penurunan temperatur > 0,1 o C per meter. Lapisan ini memiliki kedalaman yang hampir sama dengan kedalaman lapisan pycnocline dengan kedalaman berkisar antara m. Lapisan termoklin memiliki struktur mirip dengan struktur step like terutama pada ulangan 5-2, 5-3, 5-4 dan 5-5 yang diduga diakibatkan proses percampuran turbulen. Pada lapisan dalam ulangan 5-6 terdapat pola

8 viii temperatur, salinitas, dan densitas yang berbeda dibandingkan dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengadukan massa air di lapisan bawah oleh aktivitas gelombang internal yang kuat. Hasil analisis terhadap diagram TS (Temperature Salinity) menunjukkan bahwa massa air yang melewati Selat Ombai adalah massa air Laut Jawa di bagian permukaan, massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) di kedalaman m dan massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) di kedalaman m. Hasil analisis diagram TS juga menunjukkan bahwa sinyal massa air South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water (SPSLTW) sangat lemah (tidak terdeteksi) hal ini diduga karena adanya variasi musiman dimana massa air Samudra Pasifik Selatan yang masuk ke jalur Arlindo kuat pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut, sedangkan penelitian ini dilakukan pada saat Angin Muson Tenggara bertiup. Hasil perhitungan frekuensi Brunt Vaisala menunjukkan bahwa lapisan termoklin merupakan lapisan yang memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi, diikuti lapisan tercampur dan lapisan dalam merupakan lapisan yang paling tidak stabil. Hasil plot melintang densitas menunjukkan adanya rambatan gelombang internal dengan periode semidiurnal di Selat Ombai. Periode pasut internal ini mirip dengan periode pasut dari hasil prediksi pasut di Pelabuhan Dili. Efek dari gelombang internal ternyata lebih kuat ke arah bawah dibandingkan ke arah atas, hal ini diduga karena lapisan bawah lebih seragam dibandingkan dengan lapisan atas. Hasil plot menegak densitas awal yang dibandingkan dengan densitas yang disusun ulang ke kondisi stabilitas statis (reordering) menunjukan terjadi Thorpe displacement yang tinggi pada saat surut (ulangan 5-2 dan 5-6) dibandingkan dengan kondisi pasang pada gelombang internal. Hal ini diduga karena adanya interaksi antara glombang internal dengan dasar perairan. Nilai skala Thorpe dari tiap penurunan CTD berbeda-beda tergantung dari besar kecilnya nilai dan jumlah massa air yang mengalami. Secara keseluruhan nilai tinggi di lapisan tercampur (24,41 m), menurun di lapisan termoklin (5-16,97 m) dan meningkat kembali di lapisan dalam (20,19-106,89 m). Nilai rata-rata energi kinetik disipasi turbulen eddy Selat Ombai pada semua lapisan adalah 4,22 x 10-6 W kg -1. Hasil perata-rataan nilai menunjukkan bahwa nilai di lapisan termoklin paling kecil (1,36 x 10-6 W kg -1 ) dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen. Rendahnya nilai pada lapisan termoklin menunjukkan semakin sedikit energi kinetik yang berada dalam aliran tubulen yang akan mengalami pemecahan menjadi bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang akan berfungsi untuk mentransfer energi ke media yang lain. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang cenderung berhimpitan dengan lapisan pycnocline dan halocline, hal ini menyebabkan lapisan ini memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi. Tingkat kestabilan ini akan sangat mempengaruhi rendahnya nilai displacement dan nilai yang memiliki korelasi linier dengan nilia. Nilai energi kinetik tertinggi (12,24 x 10-6 W kg -1 ) berada pada lapisan dalam yang hampir homogen, hal ini menunjukkan lapisan dalam merupakan lapisan dimana energi kinetik mengalami pemecahan yang paling tinggi yang nantinya akan berkontribusi untuk terjadinya proses percampuran. Nilai antar ulangan menunjukkan bahwa pada ulangan 5-2 dan 5-6 lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan lain, sedangkan nilai terendah didapatkan pada ulangan 5-4. Tinggi rendahnya nilai ini diduga terkait aktivitas gelombang internal yang ada di ulangan tersebut. Secara keseluruhan nilai rata-rata Selat Ombai adalah 7,56 x 10-2 (+ 2,83 x 10-1 ) m 2 s -1. Nilai

9 paling rendah di Selat Ombai terdapat di lapisan termoklin (9,33 x 10-4 m 2 s -1 ), namun nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan didapatkan Ffield dan Gordon (1992) sebesar 1 x 10-4 m 2 s -1. Walapun nilai di lapisan termoklin rendah, namun proses percampuran turbulen yang terjadi pada daerah ini diduga menjadi pemicu yang menyebabkan lapisan termoklin memiliki struktur mirip step like. Nilai pada lapisan dalam merupakan yang paling tinggi (2,17 x 10-1 m 2 s -1 ), nilai ini hampir sama yang didapatkan Hatayama (2004) pada dasar Sill Dewakang (2 x 10-1 m 2 s -1 ). Hal ini diduga karena adanya interaksi gelombang internal dan shear dengan topografi dasar perairan. Pola sebaran nutrien menunjukkan konsentrasi nutrien cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman, selain itu didapatkan juga bahwa konsentrasi fosfat paling rendah (0-0,88 µmol l -1 ) dibandingkan nitrat (0-25,65 µmol l -1 ) dan silikat (5,10-70,90 µmol l -1 ). Pada lapisan termoklin tidak terdapat fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) karena di lapisan termoklin ulangan 5-3 tidak terjadi percampuran (nilai sebesar 0 m 2 s -1 ). Tidak terjadinya percampuran ini disebabkan oleh tingkat stabilitas yang tinggi pada lapisan termoklin ulangan 5-3. Lapisan tercampur memiliki nilai fluks nutrien (8,42 x ,32 x 10-3 m 2 µmol l -1 s -1 ) yang lebih rendah dibandingkan lapisan dalam namun lebih tinggi dibandingkan lapisan termoklin. Fluks nutrien yang rendah di lapisan tercampur disebabkan konsentrasi nutrien pada lapisan ini rendah sehingga jumlah nutrien yang dipindahkan (mengalami fluks) juga sedikit. Fluks nutrien paling tinggi ditemukan di lapisan dalam (8,28 x ,56 x 10-5 m 2 µmol l -1 s -1 ). Hal ini disebabkan karena adanya kombinasi antara konsentrasi nutrien yang tinggi dan nilai percampuran turbulen yang besar. ix

10 x

11 xi Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

12 xii

13 xiii PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI YULIANTO SUTEJA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

14 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. xiv

15 xv LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian Nama NRP : Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai : Yulianto Suteja : C Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Mulia Purba, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc. Agr. Tanggal Ujian: 23 Agustus 2011 Tanggal Lulus:

16 xvi

17 xvii PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-nya dapat terselesaikannya penelitian yang dilanjutkan dengan penyusunan dan penulisan thesis dengan judul Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Tulisan ini disusun dalam rangka penyelesaian tugas akhir pendidikan magister pada Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini fokus mengkaji mengenai estimasi percampuran turbulen dan implikasinya terhadap fluks nutrient di Selat Ombai. Hasil studi ini sedang dalam proses publikasi pada beberapa jurnal kelautan dengan harapan dapat dijadikan rujukan ilmiah dalam upaya eksplorasi sumberdaya alam pesisir dan laut di Selat Ombai serta sebagai rujukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pengeolaan Taman Nasional Laut Sawu sebagai daerah kawasan konservasi paus. Bogor, 23 Agustus 2011 Ttd Yulianto Suteja

18 xviii

19 xix UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah mendukung terselesaikannya thesis ini. 1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing sekaligus BAPAK yang berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan tentang oseanografi fisika yang sangat membantu dalam proses pembelajaran. 2. Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS. Selaku anggota komisi pembimbing dan co-chief scientist pelayaran INDOMIX 2010 yang banyak memberikan masukan, kritikan, dan arahan dalam upaya penyelesaian penulisan thesis ini. 3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan koreksi penulisan dan motivasi dalam penyelesaian penulisan thesis. 4. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tahap akhir penyelesaian studi yang banyak memberikan saran dalam penyempurnaan hasil penelitian. 5. Kedua Orang Tua (Ayahanda Ishak S.Pd. dan Ibunda Hainim S.Pd.) dan seluruh keluarga (Kak Ofi, Kak Eka, Adik Kiki, Kak Tuan, Kak Cah, Ofar, Obin, Wahyu) yang tidak berhenti memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berusaha. 6. Team Pelayaran INDOMIX 2010 dan Kru Kapal Riset Marion Dufresne (Francis) atas kerjasama yang baik dalam proses pelayaran dan pengambilan data lapangan. 7. Anna Ida Sunaryo atas dukungan dan motivasi dalam penyelesaian studi. 8. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2009 IPB (Bang Lumban, Maria, Ai, Wahyu, Kahar, Kapten Toni, Mbak Citra, Cak Roni, Mbak Riri, Mbak Yuli, Mbak Emi, Yayan, Mas Reza, dan Mbak Tias) dan Laboratorium Data Processing (Oliver, Erlan, Oting, Santos, Resni, Risni, Kris, Dipo, dan Hanung) terimakasih banyak atas saran, kritik, serta dorongan selama menempuh belajar bersama 9. DIKTI yang memberikan biaya pendidikan melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) 2009, serta semua pihak yang telah membantu memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis.

20 xx

21 xxi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juli 1985 di Selakerat-Lombok timur sebagai anak ke-3 dari empat bersaudara pasangan Ishak, S.Pd. dan Hainim S.Pd. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan penulis di SDN 2 Keluncing Tahun 1997, selanjutnya melanjutkan sekolah ke SMPN 2 Terara, lulus Tahun Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan Tahun 2003 di SMAN 1 Terara. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi melalui program SPMB (Sleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2003 di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan menyelesaikan studinya tahun 2007 dengan lama studi 3 tahun 11 bulan. Pada Tahun 2007 penulis diterima sebagai dosen tetap yayasan IKIP-Mataram di Program Studi Biologi FPMIPA IKIP Mataram. Tahun 2009 penulis melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Kelautan. Dalam penyelesaian studi magister sains, penulis menyusun thesis yang berjudul Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Sejak kuliah di Universitas Hasanuddin penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan menjabat sebagai Ketua Senat Ilmu dan Teknologi Kelautan pada tahun Pada saat menempuh pendidikan magister sains di IPB, penulis menjadi Ketua Wacana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan (Watermassa) pada tahun Selain itu, penulis juga aktif di dunia karya tulis ilmiah dan lebih dari lima karya tulis pernah dibuat dengan penghargaan sebagai finalis PKM DIKTI Tahun 2006 dan pada tahun yang sama sebagai finalis dalam rangka Dies Natelis Universitas Hasanuddin. Penulis juga menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik Universitas Hasanuddin pada wisuda tahap I dengan IPK 3,99 dari skala 4,00. Dalam menyelesaikan studi magister, penulis menjadi salah satu peserta pelayaran INDOMIX 2010.

22 xxii

23 xxiii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xxv DAFTAR GAMBAR... xxvii DAFTAR LAMPIRAN... xxix 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan dan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Turbulensi (Olakan) Ketidakstabilan Massa Air Percampuran (Mixing) Pasang Surut Internal Nutrien di Perairan Pelayaran INDOMIX BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Metode Pengumpulan Data Metode Pengukuran Nutrien Nitrat Fosfat Silikat Metode Akuisisi Data Metode Analisis Data Metode Penentuan Lapisan Kolom Perairan HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Massa Air yang Melewati Selat Ombai Stabilitas Statis Gelombang Internal Estimasi Skala Thorpe Estimasi Energi Kinetik Disipasi Turbulen Eddy dan Difusivitas Vertikal Eddy Nutrien Selat Ombai Profil Vertikal Nutrien Fluks Nutrien... 50

24 xxiv 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 61

25 xxv DAFTAR TABEL Halaman 1 Data penurunan CTD Karakter massa air yang melewati Selat Ombai Nilai difusivitas vertikal eddy di Selat Ombai... 48

26 xxvi

27 xxvii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik Profil nutrien di Laut Banda (I), kedalaman Weber (II), dan Laut Arafura (III) Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom perairan Rute pelayaran Indomix 2010, dimulai dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli Lokasi pengukuran yo-yo CTD selama 24 jam Diagram alir analisis data Ilustrasi proses pencarian nilai Thrope displacement. Data densitas sebenarnya dengan kondisi instabilitas statis (kotak dengan garis titiktitik), disusun ulang untuk mencari densitas kondisi stabilitas statis (garis putus-putus merah). Jarak perpindahan dari kedalaman awal ke kedalaman baru merupakan nilai Thorpe displacement Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) Selat Ombai Korelasi linier antara kecepatan angin sesaat dan ketebalan lapisan tercampur Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) yang diperbesar sampai kedalaman 500m Back scater data LADCP dengan arah meridional di Selat Ombai. Warna merah sampai kuning menunjukkan arus bergerak ke utara dan biru sampai ungu ke arah selatan Diagram TS di Selat Ombai tanggal Juli 2010 (a). Tanda panah merah menunjukkan massa air yang terdeteksi. Hasil pembesaran massa air NPSW (b) dan NPIW (c) Frekuensi Brunt Vaisala (garis biru) yang ditumpang tindih dengan temperatur (garis merah) pada ulangan 5-1 (a), 5-2 (b), 5-3 (c), 5-4 (d), 5-5 (e), 5-6 (f), 5-7 (g), 5-8 (h), dan 5-9 (i)... 36

28 xxviii 15 Rambatan gelombang internal dari data CTD Selat Ombai dengan puncak dan lembah gelombang ditunjukkan dengan anak panah (a). prediksi pasut di Pelabuhan Dili pada tanggal Juli 2010 (b) Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis untuk seluruh kedalaman pada saat surut (a) di ulangan 5-2 (atas) dan ulangan 5-6 (bawah). Bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air densitas rendah (kotak hitam garis titiktitik) berada di bawah massa air densitas tinggi (kotak hitam garis putusputus) (b) Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis untuk seluruh kedalaman pada saat pasang (a) di ulangan 5-4. bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air pada saat surut cenderung dalam kondisi stabilitas statis (b) Perbandingan data Thorpe displacement sebelum diterapkan metode GK (a) dan sesudah diterapkan metode GK (b). Contoh data noise lebih jelas terlihat di kotak garis titik-titik dan yang sudah dihaluskan di kotak garis putus-putus Thorpe displacement seluruh ulangan Nilai skala Thorpe Selat Ombai Grafik nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy dengan standar deviasi Selat Ombai Nilai difusivitas vertikal eddy dengan rataan kedalaman 10 m Profil vertikal nitrat (a), fosfat (b), dan silikat (c) di Selat Ombai Fluks Nutrien Selat Ombai (x 10-5 m 2 µmol l -1 s -1 )... 51

29 xxix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Profil vertikal temperatur Profil vertikal temperatur yang diperbesar sampai kedalaman 500 m Profil vertikal salinitas Profil vertikal salinitas yang diperbesar sampai kedalaman 500 m Profil vertikal densitas (sigma theta) Profil vertikal densitas (sigma theta)yang diperbesar sampai kedalaman 500 m... 78

30 xxx

31 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirkulasi termohalin yang lebih dikenal dengan the Great Conveyor Belt (GCB) merupakan sirkulasi skala global yang mensirkulasikan semua massa air lautan di dunia. Salah satu komponen penting dari GCB adalah Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang mentransfer massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo mempengaruhi transfer bahang dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan posisi daerah konveksi atmosfer sehingga Arlindo berperan penting dalam mempengaruhi iklim global secara umum dan iklim tropis secara khusus (Schneider, 1998; Koch-Larrouy et al., 2010). Variabilitas massa air yang ditransfer Arlindo menunjukkan adanya korelasi yang kuat dengan anomali iklim seperti ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan sistem muson (Webster et al., 1999; Koch-Larrouy et al., 2010). Hasil observasi dan pemodelan sirkulasi samudera menunjukkan terdapat dua lintasan Arlindo. Lintasan pertama (lintasan barat) merupakan lintasan utama yang membawa sekitar 11,6 + 3,3 Sv (1 Sv = 10 6 m 3 s -1 ) massa air Samudera Pasifik Utara yaitu dari lapisan termoklin (North Pacific Subtropical Water, NPSW) dan lapisan bawah termoklin (North Pacific Intermediete Water, NPIW). Massa air lintasan barat masuk melalui Selat Mindanao kemudian ke Laut Sulawesi dan mengalir ke Selat Makassar. Sebagian kecil massa air lintasan barat (sekitar 2,6 Sv) keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok, sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Laut Timur (Ffield dan Gordon, 1992; Gordon, 2005; Gordon et al., 2008; Sprintall et al., 2009). Lintasan timur merupakan lintasan sekunder yang masih belum diteliti secara intensif. Hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al. (2009) di Lifamatola menunjukkan bahwa lintasan timur Arlindo membawa sekitar 2,5 Sv massa air yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW) melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Namun jumlah massa air yang dibawa oleh lintasan timur ini belum terestimasi dengan baik. Hal ini disebabkan adanya masukan massa air lain pada lintasan timur, yaitu melalui Laut Halmahera (Wyrtki, 1961; Ilahude dan Gordon, 1996; Gordon, 2005) yang belum pernah diestimasi. Massa air dari lintasan barat dan timur yang bergabung di Laut

32 2 Banda, kemudian keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebanyak 4,9 Sv dan Laut Timor sebanyak 7,5 Sv (Ffield dan Gordon, 1992; Gordon, 2005; Sprintall et al., 2009). Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Arlindo mengalami perubahan karakter. Hasil pengukuran salinitas massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran masuk dan keluar, yaitu salinitas massa air NPSW dari 34,90 psu menjadi 34,54 psu dan massa air NPIW dari 34,35 psu menjadi 34,47 psu. Perubahan salinitas ini mengindikasikan bahwa di perairan Indonesia terjadi proses percampuran vertikal yang sangat kuat (Ffield Gordon, 1996; Hautala et al., 1996; Hatayama, 2004; Robertson dan Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007; Atmadipoera et al., 2009). Selain merubah karakteristik massa air, proses percampuran vertikal juga mampu mensuplai nutrien di lapisan atas karena adanya pergerakan massa air dari lapisan bawah yang kaya nutrien ke lapisan atas sehingga akan mempengaruhi distribusi dan fluks nutrien secara vertikal (Horne et al., 1996; Law et al., 2003). Proses percampuran vertikal dapat disebabkan oleh topografi yang kasar (misalnya awang), selat, dan gelombang internal. Berbagai hasil pemodelan 2 dimensi dan 3 dimensi menunjukkan perairan Indonesia merupakan wilayah yang dicirikan dengan nilai pasang surut (pasut) internal yang kuat. Hasil pemodelan menunjukkan energi yang ditransfer dari pasut barotropik ke pasut baroklinik di perairan Indonesia sebesar 0,11 TW (Terawatt = Watt) atau sekitar 10 % dari jumlah transfer di seluruh lautan (1,1 TW) (Carrere dan Lyard, 2003). Pasut internal yang kuat ini merupakan energi utama dan proses inti untuk mentransformasi massa air Arlindo yang menuju Samudera Hindia. Salah satu perairan Indonesia yang memiliki nilai pasut baroklinik (internal) yang tinggi adalah Selat Ombai, dimana kecepatan arus pasut internalnya paling kuat di perairan Indonesia yaitu lebih dari 0,5 m s -1 (Robertson dan Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007). Kombinasi antara energi dan kecepatan arus pasut internal yang kuat menjadikan Selat Ombai memiliki potensi yang besar untuk terjadinya proses percampuran turbulen. Namun demikian, belum diketahui besarnya nilai percampuran tubulen yang terjadi. Percampuran tubulen merupakan salah satu faktor yang menyebabkan naiknya nutrien ke lapisan atas yang sangat penting untuk kehidupan biota. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji nilai percampuran turbulen, terutama keterkaitan antara

33 3 besarnya percampuran turbulen yang dikarakterisasi oleh nilai vertikal difusivitas eddy dengan fluks nutrien yang terjadi pada kolom perairan. 1.2 Kerangka Pemikiran Penelitian tentang percampuran di perairan Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Berbagai pendekatan dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai percampuran turbulen yang terjadi di perairan Indonesia, baik menggunakan data satelit maupun data hasil pengukuran langsung. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center (NODC) untuk menduga nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m 2 s -1. Nilai percampuran tersebut hampir sama dengan hasil simulasi percampuran pasut 3D yang dilakukan Koch- Larrouy et al. (2007) yaitu 1,5 x 10-4 m 2 s -1. Pendekatan lain dilakukan juga oleh Hatayama (2004) dengan menggunakan pemodelan numerik yang menghasilkan nilai maksimum vertikal difusifitas sebesar 6,0 x 10-3 m 2 s -1 di Ambang (Sill) Dewakang. Beberapa pendekatan di atas menghasilkan nilai percampuran yang bervariasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan lain untuk mengestimasi percampuran turbulen sehingga lebih menggambarkan kondisi di alam. Salah satu pendekatan tersebut adalah dengan menggunakan metode skala Thorpe yang melakukan estimasi nilai percampuran turbulen berdasarkan profil vertikal massa air yang diperoleh dari data CTD (Conductivity Temperature Depth). Pemilihan penggunaan data CTD ini dilakukan berdasarkan Ffield dan Gordon (1996) yang menegaskan bahwa percampuran turbulen yang terjadi di perairan Indonesia disebabkan oleh adanya pasut internal, dimana salah satu cara untuk mengetahui adanya pasut internal ini adalah melalui pengukuran data CTD secara deret waktu (minimal satu siklus pasut). Pengambilan data CTD di Selat Ombai dilakukan bersama dengan kegiatan pelayaran Indonesian Mixing (INDOMIX) Pada kegiatan pelayaran ini dilakukan penurunan yo-yo CTD selama 24 jam di Selat Ombai sehingga memberikan kesempatan untuk memperoleh data CTD secara deret waktu. Data yo-yo CTD yang diperoleh dalam pelayaran memenuhi kriteria dilakukannya perhitungan estimasi nilai percampuran turbulen yang lebih akurat dan sinyal gelombang internal yang menyebabkan terjadinya percampuran turbulen juga dapat diperoleh dengan lebih jelas. Pada kegiatan pelayaran

34 4 INDOMIX 2010 dilakukan juga pengukuran profil vertikal nutrien dari sampel air pada tekanan tertentu yang diambil dengan botol rosette yang diturunkan bersama CTD. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukannya estimasi dampak percampuran turbulen terhadap fluks nutrien di Selat Ombai. Secara skematik, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia 1,0 x 10-4 m 2 s -1 (Ffield dan Gordon, 1992) Nilai percampuran perairan Indonesia 1,5 x 10-4 m 2 s -1 (Koch- Larrouy, 2007) Nilai percampuran Ambang Dewakan 6,0 x 10-3 m 2 s -1 (Hatayama, 2004) Nilai percampuran yang bervariasi Metode Lain : pendekatan skala Thorpe Pelayaran INDOMIX 2010 Data yo-yo CTD selama 24 jam Profil vertikal Massa air Profil vertikal nutrien Nilai percampuran turbulen Fluks Nutrien Gambar 1 Kerangka pemikiran. Berdasarkan hal di atas, maka yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : a. Berapa besar nilai percampuran turbulen (vertikal eddy diffusivitas) di Selat Ombai b. Bagaimana efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat)

35 5 1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah a. Mengestimasi percampuran turbulen (vertikal eddy difusivitas) di Selat Ombai menggunakan pendekatan skala Thorpe b. Mengestimasi efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : a. Parameterisasi model sehingga tingkat akurasi model menjadi lebih baik b. Informasi tentang efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien dapat digunakan untuk mengetahui produktivitas perairan Selat Ombai sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketersedian sumberdaya alam yang ada terutama sumber daya perikanan.

36 6

37 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turbulensi (Olakan) Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart, 2002; Thorpe, 2007). Turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan oleh angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar laut (Neumann dan Pierson, 1966). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik dan pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran laminar (bersifat teratur) (Thorpe, 2007). Menurut Monin dan Ozmidov (1985) berdasarkan sifat alamiahnya, skala spasial-temporal, arah percampuran, dan intensitas, gerakan turbulensi di laut diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu : a. Turbulensi skala meso Pada skala ini turbulensi diciptakan oleh ketidakstabilan (misalnya ketidakstabilan baroklinik, barotropik, dll) dan biasanya terjadi di sepanjang permukaan dengan densitas konstan (isopiknal). Turbulensi ini sering disebut turbulensi skala Rosbby karena mempunyai dimensi jarak antara km. b. Turbulensi skala mikro Pada skala ini turbulensi terutama diciptakan oleh shear dan pecahnya gelombang internal dan mempunyai skala dimensi jarak 0,001 1 m serta terjadi dalam arah vertikal. Pergerakan turbulensi skala mikro terjadi dalam arah vertikal sehingga turbulensi ini mengontrol dinamika arus serta pertukaran vertikal dalam sirkulasi di estuari dan pesisir serta mengontrol interaksi udara-laut. Pergerakan massa air yang bersifat turbulen atau laminar diketahui dengan menggunakan Bilangan Reynolds dengan persamaan (Monin dan Ozmidov, 1985; Lesieur, 1997; Stewart, 2002; Thorpe, 2007; ): dimana adalah tipikal velositas aliran (m s -1 ), adalah tipikal panjang (m) yang menggambarkan aliran dan adalah kinematik molekuler viskositas (nilai untuk

38 8 air adalah 10-6 m 2 s -1 ). Jika nilai kurang dari 10-3 maka dikatakan aliran bersifat laminar dan jika lebih dari 10 5 maka aliran bersifat turbulen. Menurut Thorpe (2007), pergerakan air yang bersifat turbulen merupakan pergerakan air yang memiliki nilai energi kinetik yang berasal dari pecahnya gelombang baik gelombang internal maupun gelombang permukaan. Energi kinetik yang berada dalam aliran tubulen akan mengalami pemecahan menjadi bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang nantinya berfungsi untuk mentransfer bahang atau energi ke media yang lain. Contoh proses transfer energi ke media yang lain misalnya proses turbulen dapat mengikis sedimen yang ada di dasar perairan, membawa sedimen ini ke kolom perairan, dll. Menurut Ozmidov (1965) in Park et al., (2008) besarnya energi kinetik yang mengalami proses disipasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : dimana adalah skala panjang Ozmidov (m), adalah frekuensi apung atau frekuensi Brunt Vaisala (s -1 ). persamaan ini sangat penting karena menggambarkan besar energi kinetik yang hilang dan bersifat irrevesible di lautan. Salah satu metode untuk mengukur besarnya nilai turbulensi adalah dengan melakukan kalkulasi terhadap persamaan gerak, konduksi temperatur dan proses diffusi (Monin dan Ozmidov, 1985). Menurut Thorpe (2007) proses turbulensi merupakan konsekuensi dari adanya dispersi suatu partikel material melalui difusi, sehingga untuk mengetahui besar kecilnya turbulensi vertikal suatu fluida (air dan atmosfer), dapat dilakukan dengan menghitung nilai difusivitas eddy dengan persamaan: dimana adalah konstanta efisiensi mixing yang memiliki nilai 0,2 dan adalah frekuensi Brunt Vaisala (s -1 ). 2.2 Ketidakstabilan Massa Air Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dari berbagai parameter oseanografi yang ada. Parameter ini meliputi temperatur, salinitas, densitas, tekanan, cahaya, nutrien, dll yang memiliki nilai yang berbeda-

39 9 beda tergantung dari tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983). Densitas suatu perairan akan sangat mempengaruhi kestabilan perairan yang ada. Densitas akan meningkat seiring dengan bertambahnya tekanan. Pada kondisi ideal atau dalam kondisi tidak ada ganguan, massa air yang memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas tinggi. Namun pada kondisi nyata densitas tidak selalu tersusun seperti kondisi tersebut. Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan massa air karena massa air ini akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990). Pengujian gradien temperatur (untuk air tawar) dan densitas (untuk air laut) secara vertikal merupakan teknik yang umum digunakan untuk melihat apakah suatu lapisan perairan dalam kondisi stabil atau tidak. Fluida dikatakan tidak stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya. Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard, 1983). Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas ( ) (Pond dan Pickard, 1983; Stewart, 2002; Emery et al., 2007): dimana adalah densitas perairan (kg m -3 ) dan adalah kedalaman (m). Fluida dikatakan stabil jika > 0, netral jika = 0 dan tidak stabil jika < 0. Jika perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan perairan akan semakin stabil. Menurut Stewart (2002) kondisi perairan laut yang berkaitan dengan stabil tidaknya suatu massa perairan dapat dikatagorikan menjadi 4 jenis: a. Air yang hangat dan kurang asin berada di atas air dingin dan asin. Air dalam kondisi ini selalu bersifat stabil b. Air yang dingin dan asin berada di atas air yang hangat dan kurang asin. Air dalam kondisi ini selalu tidak stabil c. Air yang hangat dan asin berada di atas air yang dingin dan kurang asin. Proses ini biasa disebut salt fingering. Kondisi ini terjadi pada pusat

40 10 daerah sub-tropical gyre, tropis barat Atlantik Utara, dan barat laut Atlantik. d. Air yang dingin dan kurang asin berada di atas air yang hangat dan asin. Proses ini disebut konveksi difusi. Kondisi ini tidak sebanyak proses salt finger dan biasanya terjadi pada daerah lintang tinggi. 2.3 Percampuran (Mixing) Kondisi fluida yang tidak stabil di laut akan menyebabkan fluida mengalami proses percampuran (Stewart, 2002). Menurut Pond dan Pickard (1983) pada saat fluida berdensitas tinggi berada di atas fluida berdensitas rendah, maka akan terjadi pergerakan secara vertikal untuk mencari posisi stabil. Fluida yang berdensitas tinggi akan tenggelam akibat adanya gaya gravitasi sedangkan yang berdensitas rendah akan naik karena adanya daya apung. Gerakan naik turun fluida untuk mencari posisi stabil dikenal dengan bouyancy frequency atau frekuensi Brunt Vaisala ( ) yang secara matematik ditulis dengan : dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,8 m s -2 ), adalah background density yaitu densitas rata-rata dari hasil pengukuran (kg m -3 ). Jarak perpindahan massa air dalam kondisi tidak stabil dapat diketahui dengan menggunakan skala panjang pada turbulen eddy (Dillon, 1982). Thorpe (1977) mengembangkan metode empirik untuk memperkirakan skala panjang turbulen eddy pada aliran horizontal yang bersifat homogen dan pembalikan densitas yang disebabkan oleh pengadukan turbulen. Dillon (1982) menambahkan skala panjang yang dikembangkan Thorpe lebih dikenal dengan skala Thorpe. Secara matematis, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: dimana adalah nilai Thorpe displacement (m) pada sample ke dan adalah jumlah sampel. Daerah pycnocline merupakan daerah yang paling stabil diantara semua lapisan perairan, sehingga daerah ini membutuhkan energi yang lebih besar untuk terjadinya pemindahan (displacement) massa air. Umumnya proses

41 11 percampuran terjadi pada lapisan tercampur dan lapisan bawah yang hampir homogen (Pickard dan Emery, 1990). Proses percampuran dapat dibagi menjadi percampuran horizontal dan vertikal. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan percampuran vertikal jauh lebih besar dibandingkan dengan percampuran horizontal. Energi percampuran vertikal akan semakin besar dibutuhkan dengan semakin stabil pelapisan massa air (Stewart, 2002). Komponen percampuran vertikal dan horizontal memiliki perbedaan dalam skala dan intensitas. Percampuran turbulen secara vertikal jauh lebih kecil dibandingkan percampuran turbulen horizontal. Perbedaan ini disebabkan oleh dimensi vertikal massa air yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensi horizontal sedangkan gradien (misalnya gradien temperatur, densitas, tekanan, dll) horizontal lebih kecil dibandingkan gradien vertikal. Secara horizontal temperatur air laut dapat berubah 10 o C atau lebih pada jarak ribuan kilometer, namun secara vertikal perubahan ini terjadi pada selang hanya 1 km saja. Adanya lapisan-lapisan air karena perbedaan densitas secara vertikal merupakan faktor utama yang menghalangi proses percampuran vertikal (Brown et al., 1993). Pergerakan fluida secara vertikal, mengakibatkan fluks nutrien dari lapisan bawah ke lapisan yang lebih atas. Hal ini menyebabkan proses percampuran memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton untuk menopang pasokan nutrien yang sangat dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Thorpe, 2007). Fluks nutrien yang ditimbulkan oleh proses percampuran dapat dihitung dengan menggunakan persaman (Horne et al., 1996; Law et al., 2003): dimana merupakan perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman (m). Selain berperan dalam fluks nutrien, percampuran juga memiliki peranan penting dalam mempelajari perubahan iklim, dispersi polutan di lautan, dinamika arus secara global, dan perubahan komposisi massa air. 2.4 Pasang Surut Internal Gelombang internal merupakan gelombang yang terbentuk di bawah permukaan perairan. Pada umumnya gelombang ini berada di lapisan interface

42 12 antara dua lapisan yang memiliki gradien densitas yang tinggi, seperti antara lapisan tercampur dengan lapisan termoklin. Bila lapisan interface mengalami gangguan (misalnya oleh arus menabrak/melintasi daerah ambang atau perairan dangkal) maka massa air menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan disebabkan massa air desitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Adanya gravitasi bumi dan gaya apung mengakibatkan massa air akan bergerak vertikal menuju posisi stabil. Namun akibat adanya sifat kelembaman, maka massa air ini bergerak melewati posisi stabilnya. Proses ini terus berulang sehingga akan menghasilkan osilasi dalam kolom perairan. Pergerakan massa air secara terus menurus ini akan mengakibatkan terbentuknya gelombang internal. Gelombang internal yang memiliki periode sama dengan periode pasang surut dinamakan pasang surut (pasut) internal. Pasut internal merupakan salah satu energi utama proses percampuran di laut. Perairan Indonesia merupakan perairan yang memiliki energi pasut internal yang tinggi. Hampir sekitar 10% transfer energi global dari pasut barotropik ke pasut baroklinik ditemukan di perairan semi tertutup Indonesia. Nilai transfer energi di perairan Indonesia terutama tinggi pada basin semi tertutup, ambang (sill), dan selat (Gambar 2) (Carrere dan Lyard, 2003; Koch-Larrouy et al., 2007). Adanya gelombang internal yang terperangkap pada daerah ambang membuat daerah ambang merupakan daerah yang memiliki energi pasut internal yang tinggi, seperti yang terjadi di Ambang Dewakang. Semakin tinggi energi pasut internal maka proses percampuran vertikal akan semakin tinggi pula (Hatayama, 2004). Pemodelan gelombang internal di perairan Indonesia yang menggunakan Regional Ocean Model System (ROMS) dengan data yang berasal dari mooring dan satelit TOPEX/Poseidon (T/P) menunjukkan energi terbesar untuk pasut internal terdapat pada perairan selat dan perairan yang memiliki topografi kasar. Selat Ombai dan Laut Seram memiliki energi pasut internal (M 2 ) yang paling tinggi dengan kecepatan arus maksimum 50 cm s -1 (Robertson dan Ffield, 2005). Peningkatan kecepatan arus pada Selat Ombai disebabkan oleh penyempitan jalur aliran. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata fluks energi barotropik dari pasut M 2 di sekitar Selat Ombai mencapai 500 kw m -1 ( Ray et al., 2005).

43 13 Skala Logaritmik (TW/m 2 ) Gambar 2 Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik (Carrere dan Lyard, 2003 in Koch-Larrouy et al., 2007). 2.5 Nutrien di Perairan Nutrien merupakan unsur esensial selain cahaya yang sangat dibutuhkan mahluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Di daerah tropis, cahaya selalu tersedia sepanjang tahun sehingga nutrien menjadi faktor pembatas bagi perkembangan mahluk hidup di lapisan permukaan. Nutrien yang sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis adalah nitrat dan fosfat, sedangkan silikat digunakan oleh mahluk hidup untuk membentuk cangkang (misalnya Radiolaria, Abalone, dll.) (Lalli dan Parsons, 2006). Sumber utama nutrien di lautan ada dua yaitu dari proses autotonus (berasal dari dalam sistem, misalnya upwelling) dan allotonus (berasal dari luar sistem, misalnya dari transport sungai) (Riley dan Chester, 1971). Konsentrasi nutrien di perairan akan berbeda-beda baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, konsentrasi nutrien tinggi di daerah pantai dan rendah di laut lepas. Hal ini disebabkan suplai nutrien berasal dari daratan utama yang masuk ke daerah pantai melalui aliran sungai. Secara vertikal,

44 14 konsentrasi nutrien rendah di bagian permukaan dan tinggi di lapisan dalam (Riley dan Chester, 1971). Hal yang sama didapatkan oleh Wetsteyn et al. (1990) bahwa secara verikal konsentrasi nitrat (NO 3 ) pada musim kemarau di laut Banda dan Laut Arafura meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena pada bagian permukaan nutrien banyak digunakan untuk proses fotosintesis, sedangkan pada lapisan dalam fotosintesis tidak berlangsung karena ketidaktersediaan cahaya (Lalli dan Parsons, 2006). Ketersediaan dan transport nutrien di kolom perairan sangat dipengaruhi oleh proses fisik seperti transport dari sungai, upwelling, dan percampuran vertikal (Gambar 4). Percampuran vertikal memegang peranan penting untuk mensuplai kebutuhan nutrien terutama pada daerah sill atau selat yang memiliki nilai percampuran yang tinggi (Liu et al., 2010). Law et al. (2003) menambahkan adanya korelasi linier antara nilai percampuran dengan tinggi rendahnya fluks nutrien pada kolom perairan. 2.6 Pelayaran INDOMIX 2010 Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN Prancis. Pelayaran ini menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dan diikuti oleh 43 peserta yaitu 20 orang peneliti Perancis dan 23 orang peneliti Indonesia. Gambar 3 Profil nutrien di Laut Banda (I), kedalaman Weber (II), dan Laut Arafura (III) (Wetsteyn et al., 1990).

45 15 Gambar 4 Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom perairan (Liu et al., 2010) Tujuan utama dari penelitian ini adalah : a. Mengkarakterisasi pasut internal dengan menggunakan CTD/LADCP b. Pengukuran langsung disipasi dan percampuran turbulent c. Mengukur kontribusi pasut internal terhadap percampuran turbulen menggunakan data CTD/LADCP dan Mikrostruktur d. Investigasi dampak percampuran turbulen terhadap distribusi biogeokimia dan phytoplankton e. Pengamatan burung dan mamalia laut. Pelayaran ini dilakukan dari tangal 9-22 juli 2010 dengan rute pelayaran mulai dari Papua, Laut Halmahera, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di Surabaya (Gambar 5). Selama perlayaran berlangsung, dilakukan pengukuran berbagai parameter. Pengukuran parameter oseanografi fisika dilakukan dengan menggunakan Vertical Microstructure Profiler (VMP), Conductivity Temperature Depth (CTD), Expendable Conductivity Temperature Depth (XCTD), dan Lowered Acoustic Doppler Current Profiler (LADCP). Di Laut Halmahera dilakukan pelepasan mooring untuk mengukur transport Arlindo yang melalui lintasan timur. Pengukuran parameter atmosfer dilakukan dengan menggunakan Radiosonde. Pada pelayaran ini juga dilakukan perekaman data oleh Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP), pengambilan nutrien (nitrat, posfat, silikat), klorofil-a, dan tracer (radio isotop) pada beberapa

46 16 kedalaman serta pengamatan nekton, burung dan mamalia laut selama pelayaran. Gambar 5 Rute pelayaran Indomix 2010, dimulai dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010.

47 17 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Studi tentang percampuran turbulen merupakan bagian dari pelayaran INDOMIX yang dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne, sedangkan lokasi penelitian adalah di Selat Ombai (Gambar 6). Untuk pengukuran konsentrasi nutrien dilakukan di Laboratorium Prolink Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Laboratorium Data Processing FPIK IPB. Gambar 6 Lokasi pengukuran yo-yo CTD selama 24 jam. 3.2 Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah temperatur, salinitas, tekanan, densitas, dan nutrien. Data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh dengan menggunakan sensor Conductivity Temperature Depth (CTD) Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus. Data nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) diperoleh dari air yang diambil dengan menggunakan botol rosette yang diturunkan bersama dengan CTD. Sampel air yang diambil sebanyak 22 sampel masing-masing pada tekanan 5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 300, 350, 450, 550, 650, 750, 800,

48 18 900, 1000, 1100, 1200, 1300, 1400, dan 1500 db. Air yang sudah diambil kemudian disaring dengan kertas saring whatman 0,4 µm. Pada tiap tekanan diambil air yang sudah disaring sebanyak 500 ml, kemudian diawetkan dengan MgCO 3 sebanyak 10 ml. Selama pelayaran sampel disimpan dalam lemari pendingin. Akuisisi data menggunakan perangkat lunak SEASAVE dengan frekuensi pengoperasian 24 Hz yang artinya untuk mendapatkan satu data dilepaskan 24 gelombang dari alat pengambil data selama satu detik. Pengambilan data dengan CTD dilakukan dengan kondisi kapal diam pada koordinat yang telah ditentukan. CTD diturunkan sembilan kali penurunan (casts) selama 24 jam dengan tekanan (kedalaman) yang berbeda-beda (Tabel 1). Untuk menjaga stabilitas sensor konduktivitas dan temperatur di setiap penurunan CTD, dilakukan perendaman terhadap sensor dengan menggunakan akuades. Data mentah (raw data) yang sudah direkam CTD diunduh terlebih dahulu dan kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut. Data angin sesaat diambil ketika proses penurunan CTD berlangsung (Tabel 1). Tabel 1 Data penurunan CTD Tanggal dan Tekanan (db) Angin Sesaat Ulangan Posisi waktu Kecepatan Arah CTD Perairan (m s -1 ) ( o ) 5-1 8,24967 LS; 125,3857 BT 16/07/ : , ,24967 LS; 125,3858 BT 16/07/ : , ,24983 LS; 125,3857 BT 16/07/ : , ,25000 LS; 125,3858 BT 17/07/ : , ,28383 LS; 125,2443 BT 17/07/ : * 7, ,28383 LS; 125,2440 BT 17/07/ : , ,28417 LS; 125,2440 BT 17/07/ : , ,28433 LS; 125,2443 BT 17/07/ : ** ,28433 LS; 125,2445 BT 17/07/ : ,69 97 * Error pada sensor batimetri ** Percobaan pengambilan data nitrat dengan sensor ISUS 3.3 Metode Pengukuran Nutrien Nitrat Pengukuran konsentrasi nitrat menggunakan metode Brucine dengan tahapan sebagai berikut (Eaton et al., 2005) :

49 19 a. Mengambil 5 ml sampel yang sudah disaring, kemudian memasukkan air ke tabung reaksi. b. Menambahkan larutan brucin sebanyak 0,5 ml, lalu mengaduknya sampai rata. c. Menambahkan asam sulfat (H 2 SO 4 ) pekat dengan konsentrasi 36 Normalitas (N) sebanyak 5 ml lalu mengaduknya sampai rata. d. Memanaskan selama 30 menit sampai mendidih pada hot plate dengan temperatur 105 o C. e. Mengangkat dan mendinginkan air sampel yang sudah mendidih hingga mencapai temperatur ruangan. f. Membaca tingkat absorbansi nitrat pada spektrofotometer dengan panjang gelombang (λ) 410 nm. g. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama Fosfat Pengukuran konsentrasi fosfat menggunakan metode Ascorbic Acid dengan tahapan sebagai berikut (Eaton et al., 2005): a. Memasukkan 50 ml air laut yang sudah disaring ke dalam gelas beker b. Menambahkan 2 ml H 2 SO 4 6 N dan memanaskan hingga volume air dalam gelas beker menjadi kira-kira 15 ml. c. Menambahkan 2 tetes phenolphtalin d. Menambahkan NaOH hingga warna air menjadi merah muda e. Menambahkan akuades hingga volume menjadi 50 ml f. Mengambil 25 ml larutan dan menambahkan 4 ml larutan campuran g. Membaca tingkat absorbansi fosfat pada spektrofotometer dengan panjang gelombang (λ) 880 nm. h. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama Silikat Pengukuran konsentrasi silikat menggunakan metode Molybdosilicate dengan langkah kerja sebagai berikut (Eaton et al., 2005): a. Menuang masing-masing 10 ml sampel air yang sudah disaring ke dalam tabung reaksi dari plastik. b. Menambahkan larutan campuran sebanyak 0,3 ml dan mendiamkan air sampel selama 10 menit. c. Menambahkan 0,2 ml asam oksalat.

50 20 d. Menambahkan 0,3 ml ascorbic acid (vitamin C), kemudian mengaduk air sampel secara perlahan hingga merata dan membiarkan selama 30 menit. e. Membaca tingkat absorbansi silikat menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 810 nm. f. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama. 3.4 Metode Akuisisi Data Data yang didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan CTD tidak dapat dianalisis langsung, namun harus dilakukan pengolahan data terlebih dahulu. Data yang diolah hanya berasal dari data downcast yaitu pengukuran profil sewaktu CTD diturunkan ke kedalaman (tekanan tertentu). Pengolahan data CTD dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak SBE Data Processing 7.21a. Tahap pengolahan data sebagai berikut: a. Konversi Konversi data berfungsi untuk mengubah data mentah (format biner) ke data dalam format ASCII (American Standard Code for Information Interchange) dalam bentuk.cnv. Pengkonversian data ini bertujuan agar data hasil perekaman CTD dapat diolah menggunakan berbagai perangkat lunak. Variabel yang dikeluarkan dalam proses ini adalah scan count, lintang (deg), bujur (deg.), tekanan (db), temperatur ITS-90 ( o C), temperatur 2 ITS-90 ( o C), konduktivitas (S m -1 ), konduktivitas 2 (S m -1 ), oksigen SBE 43 (mg l -1 ), altimeter (m), fluorescence (µg l -1 ), beam attenuation (m -1 ), dan beam transmission (%). b. Align CTD Align CTD berfungsi mensinkronkan semua parameter yang diukur berada dalam waktu, tekanan, dan massa air yang sama. Proses Align hanya dilakukan pada data oksigen sebesar 5 detik terhadap tekanan (McTaggaart et al., 2010). Nilai align data oxygen berkisar 1-5 detik, tergantung dari tekanan CTD. c. Wild edit Wild edit berfungsi memperbaiki data yang memilikii nilai ekstrim setiap 100 scan bin. Proses perbaikan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap yang pertama dengan cara memperbaiki data yang nilainya lebih besar dari dua kali standar deviasi rata-rata. Tahap yang kedua dengan cara memperbaiki data hasil fase pertama yang lebih besar dari 20 kali standar deviasi rata-rata.

51 21 d. Cell thermal mass Cell thermal mass berfungsi sebagai penapisan recursive untuk mengoreksi temperatur pada sel konduktivitas pada saat pengukuran berlangsung. Nilai yang digunakan adalah 0,03 untuk nilai alfa (anomali amplitudo temperatur) dan 7 untuk nilai beta (anomali konstanta waktu temperatur) (McTaggaart et al., 2010). Penapisan ini dilakukan hanya pada data hasil pengukuran temperatur pada sensor temperatur primer dan sekunder. e. Filter (Penapisan) Penapisan yang digunakan adalah low pass filter yang berfungsi untuk menghilangkan bias (noise) berupa frekuensi tinggi pada data tekanan. Cut-off frekuensi yang digunakan adalah 0,03 detik pada low pass filter A dan 0,15 detik pada low pass filter B. Hal ini berarti perekaman data yang lebih cepat dari cut-off frekuensi akan dilemahkan/dihilangkan. Menurut McTaggaart et al. (2010) proses penapisan hanya dilakukan pada data tekanan dengan menerapkan low pass filter B. f. Loopedit Loopedit berfungsi untuk memperbaiki data CTD ketika penurunan CTD bergerak kurang dari kecepatan minimum atau CTD bergerak naik turun akibat adanya guncangan pada kapal. Kecepatan minimum yang dipakai adalah 0,25 m s -1 (McTaggaart et al., 2010). g. Derive Derive digunakan untuk menurunkan parameter selain yang sudah dikeluarkan dikonversi data. Parameter yang turunkan yaitu densitas (sigma theta) (kg m -3 ), salinitas primer (psu), salinitas sekunder (psu), kecepatan suara (m s -1 ), dan temperatur potensial ITS-90 ( o C). h. Bin average Bin average digunakan untuk merata-ratakan data pada tekanan yang diinginkan. Ukuran bin yang dipakai adalah 1 bin tanpa mengikutkan bin permukaan, sehingga selang tekanan pada data adalah 1 db. i. Manual Metode manual dilakukan dengan cara investigasi langsung data yang sudah melalui proses pengolahan data. Hal ini dilakukan karena proses pengolahan data tidak sepenuhnya menjamin data siap untuk diolah. Untuk memperoleh nilai pada data yang mengalami error maka dilakukan interpolasi

52 22 linier. Data error umumnya berada pada semua ulangan terutama pada lapisan tercampur dan lapisan dalam dengan rentang data error 1-3 m. 3.5 Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View (ODV) 4.1.3, Microsoft Excel 2007, dan Matlab versi R2010a. Program ODV dan Matlab versi R2010a digunakan untuk menggambarkan karakteristik massa air terutama temperatur, salinitas, potensial densitas, dan nutrien secara vertikal. Perangkat lunak Microsoft Excel 2007 digunakan untuk melakukan perhitungan matematik untuk menentukan nilai turbulensi dengan menentukan nilai Thorpe displacement, skala Thorpe, skala Ozmidov, frekuensi Brunt Vaisala, tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy, difusivitas vertikal eddy, dan estimasi fluks nutrien (nitrat). Untuk menyajikan hasil perhitungan dalam bentuk gambar dan grafik digunakan Program Microsoft excel 2007 dan Matlab R2010a. Secara skematik, diagram alir analisis data dapat dilihat pada Gambar 7. Untuk mengestimasi difusivitas vertikal eddy, terlebih dahulu ditentukan nilai Thorpe displacement, skala Thorpe, skala Ozmidov, frekuensi Brunt Vaisala, dan tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy. Nilai didapat dengan cara menyusun ulang profil densitas yang didapatkan dari data CTD ke dalam bentuk stabilitas statis, artinya densitas disusun dengan posisi massa air densitas rendah berada di atas massa air densitas tinggi (Gambar 8). Untuk lebih mudahnya, bayangkan profil densitas vertikal dengan n buah sampel dan densitas yang diobservasi pada kedalaman. Jika sampel pada kedalaman dipindahkan ke kedalaman untuk membentuk kondisi stabilitas statis, maka Thorpe displacement dapat dihitung dengan persamaan (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Thompson et al., 2007): Nilai positif menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas untuk mencari kestabilan statis, kondisi ini terjadi bila massa air berdensitas rendah berada di bawah massa air berdensitas tinggi. Nilai negatif menunjukkan massa air bergerak ke bawah, hal ini terjadi bila massa air densitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Nilai merupakan nilai yang bukan nilai nol sehingga jika profil densitas pada kondisi stabilitas statis, maka nilai dari kedalaman tersebut tidak diikutsertakan untuk menghitung nilai.

53 23 CTD (Conductivity, Temperature, Depth) Thorpe displacment Frekuensi Brunt Vaisala Botol Rosette Metode Galbraith dan Kelley (GK) Skala Thorpe Skala panjang Ozmidov Tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy Difusivitas vertikal eddy Fluks nutrien Nutrien Gambar 7 Diagram alir analisis data. z a z b Gambar 8 Ilustrasi proses pencarian nilai Thrope displacement. Data densitas sebenarnya dengan kondisi instabilitas statis (kotak dengan garis titik-titik), disusun ulang untuk mencari densitas kondisi stabilitas statis (garis putus-putus merah). Jarak perpindahan dari kedalaman awal z a ke kedalaman baru z b merupakan nilai Thorpe displacement.

54 24 Setelah kalkulasi nilai, dilakukan estimasi ketebalan minimal displacement dari resolusi vertikal CTD. Hal ini bertujuan agar nilai merupakan nilai displacement yang sesungguhnya dan bukan berasal dari noise CTD. Prinsip estimasi ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan bahwa CTD memiliki keterbatasan kemampuan untuk mendeteksi pembalikkan massa air. Hal ini mengacu pada Teori sampling Nyquist, dimana bila pembalikkan yang terjadi adalah dua kali lebih rendah dibandingkan resolusi vertikal, maka pembalikkan tersebut tidak dapat diukur. Penentuan pembalikkan yang lebih kuat dapat dilakukan jika terdapat jumlah sampel yang lebih banyak, berdasarkan pada peraturan jumlah sampel minimum yaitu lima sampel (Koch et al., 1983) atau 7-8 sampel (Levitus, 1982 in Galbraith dan Kelley, 1996). Solusi untuk menyelesaikan perbedaan tersebut adalah dengan memungkinkan resolusi vertikal untuk mendeteksi pembalikkan yang tidak lebih rendah dari (Galbraith dan Kelley, 1996): dimana adalah resolusi vertikal data CTD (m). Untuk penelitian ini digunakan resolusi vertikal sebesar 1 m sehingga nilai sebesar 5 m. Hal ini berarti nilai yang kurang (5 m) akan diabaikan dan tidak akan diikutkan untuk perhitungan selanjutnya. Selain solusi di atas, perlu juga batasan lain yang digunakan dalam pengukuran pembalikkan berdasarkan perbedaan densitas Resolusi densitas dapat mengukur pembalikkan bila memiliki nilai tidak lebih rendah dari (Galbraith dan Kelley, 1996): dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s -2 ), adalah nilai densitas rata-rata dari keseluruhan ulangan, dan adalah Frekuensi Brunt Vaisala. Galbraith dan Kelley (1996) menjelaskan bahwa nilai yang digunakan untuk perhitungan di laut lepas adalah s -1. Dari perhitungan data CTD Selat Ombai didapatkan nilai sebesar 2,12 m, hal ini berarti ketebalan displacement yang kurang akan diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam perhitungan selanjutnya. Perhitungan skala Thorpe diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Cisewski et al., 2005; Park et al., 2008):

55 25 dimana adalah Thorpe displacement pada kedalaman dan adalah jumlah sampel. Setiap nilai didapatkan dari hasil perata-rataan buah sampel pada kedalaman yang diinginkan. Perata-rataan nilai pada penelitian ini dilakukan dengan cara membagi kedalaman perairan menjadi tiga lapisan dengan ketebalan masing-masing lapisan sebesar (m). Ketiga lapisan ini adalah lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan homogen di bagian dalam. Kedalaman setiap lapisan pada setiap ulangan berbeda-beda tergantung dari profil vertikal massa air. Nilai skala Thorpe pada setiap lapisan digunakan untuk menghitung skala Ozmidov dengan menggunakan persamaan (Dillon, 1982): Sebelum menghitung tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy, dilakukan perhitungan frekuensi Brunt Vaisala pada tiap kedalaman menggunakan persamaan (Park et al., 2008; Thompson et al., 2007): adalah background densitas perairan dari hasil perata-rataan densitas seluruh ulangan (1026,52 kg m -3 ), adalah perubahan (gradien) densitas terhadap perubahan kedalaman (1 m), dan adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s -2 ). Menurut Ferron et al. (1998) nilai densitas yang dipakai pada Frekuensi Brunt Vaisala berasal dari data densitas yang sudah disusun dalam kondisi stabilitas statis, ini berarti nilai yang didapat dari perhitungan ini akan selalu bernilai positif. Tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy pada tiap kedalaman diperoleh dengan persamaan (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008): Nilai difusivitas vertikal eddy pada tiap kedalaman diperoleh melalui persamaan berikut (Cisewski et al., 2005; Park et al., 2008):

56 26 adalah efisiensi percampuran (0,2) (Osborn, 1980). Rata-rata difusivitas vertikal eddy pada tiap lapisan dengan kedalaman dihitung dengan persamaan (Ferron et al., 1998): Fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) dikalkulasi dengan menggunakan persamaan (Horne et al., 1996; Law et al., 2003): dimana adalah perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman (m) yang merupakan tempat pengukuran konsentrasi nutrien. 3.6 Metode Penentuan Lapisan Kolom Air Pada penelitian ini dilakukan pemisahan kolom air menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan homogen di bagian dalam. Penentuan lapisan ini didasarkan pada gradien densitas kolom perairan. Menurut Lorbacher et al. (2005) pembagian lapisan berdasarkan gradien lebih realistis dibandingkan dengan menggunakan temperatur, karena profil temperatur tidak selalu memberikan stratifikasi vertikal secara tepat. Lapisan tercampur ditentukan dengan menghitung gradien = 0,02 dengan titik acuan densitas permukan. Bila gradien lebih dari 0,02 maka lapisan tersebut dikategorikan sebagai lapisan termoklin (Cisewski et al., 2005). Batas antara lapisan termoklin dan lapisan dalam yang homogen dilihat secara visual dari data densitas yang di cross cek dengan data temperatur, batasnya adalah daerah dimana nilai densitas tidak menurun tajam terhadap kedalaman.

57 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan dapat dilihat dengan jelas (Gambar 9). Profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas (sigma theta) masing-masing ulangan dapat dilihat pada Lampiran 1, 3, dan 5, sedangkan profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas yang diperbesar sampai tekanan 500 db dapat dilihat pada Lampiran 2, 4, dan 6. Berdasarkan temperatur, perairan Selat Ombai dapat dibedakan menjadi 3 lapisan yaitu lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Penentuan lapisan kolom perairan didasarkan pada gradien temperatur dan densitas (Thomson dan Fine, 2002; Montegut et al., 2004). Kolom perairan dikategorikan sebagai lapisan permukaan tercampur jika < 0,1 o C dan < 0,02 kg m -3, sedangkan dikategorikan sebagai lapisan termoklin ditentukan dengan melihat > 0,1 o C dan > 0,02 kg m -3 (Weller dan Pleudemman, 1996; Kara et al., 2000; Cisewski et al., 2005). Penentuan lapisan dalam didasarkan pada pengamatan visual pada profil densitas dan temperatur dimana pada lapisan ini densitas dan temperatur tidak menurun tajam terhadap kedalaman. Lapisan tercampur merupakan lapisan yang memiliki temperatur yang hampir seragam dan paling tinggi. Ketebalan lapisan ini berkisar antara db. Lapisan paling tebal didapatkan pada ulangan 5-2 dan paling tipis pada ulangan 5-7 (Gambar 9a). Perbedaan ketebalan lapisan ini diduga dipengaruhi oleh aktifitas gelombang internal di lokasi penelitian. Pada saat puncak gelombang internal melewati kolom perairan, lapisan tercampur akan termampatkan dan akan menjadi lebih tipis, namun lapisan tercampur akan menjadi lebih tebal bila dilewati oleh lembah gelombang internal. Hal ini dijelaskan oleh Li et al. (2000) bahwa gelombang internal merupakan salah satu penyebab perbedaan tingkat ketebalan lapisan tercampur selain kecepatan tiupan angin. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan kecepatan tiupan angin memberikan kontribusi yang kecil terhadap perbedaan ketebalan lapisan tercampur yang ditunjukkan dengan korelasi linier cukup rendah (Gambar 10), walaupun dua data yang memiliki nilai yang menyimpang diabaikan. Nilai korelasi yang rendah tersebut disebabkan karena hubungan antara kecepatan angin dan ketebalan lapisan tercampur tidak

58 28 (a) (b) (c) Gambar 9 Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) Selat Ombai.

59 29 Kecepatan Angin (m/s) R 2 = Ketebalan Lapisan Tercampur (m) Gambar 10 Korelasi linier antara kecepatan angin sesaat dan ketebalan lapisan tercampur sepenuhnya berpola linier dan juga diduga karena pengukuran angin hanya bersifat sesaat dan tidak berkelanjutan selama proses pengambilan data oleh sensor CTD, sedangkan pengaruh angin membutuhkan jeda waktu (time leg) untuk memberikan efek terhadap ketebalan lapisan tercampur. Hasil pengukuran CTD menunjukkan kisaran temperatur lapisan tercampur antara 28,13-28,51 o C. Kisaran temperatur ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapat oleh Ilahude dan Gordon (1996) pada saat musim timur (Agustus- September 1993) di Laut Flores, Laut Banda bagian barat dan Laut Timor yang memiliki kisaran temperatur 26,10-27,50 o C. Hal ini diduga karena terjadinya anomali iklim seperti El Nino Southern Oscilaton (ENSO) yang akan mempengaruhi transfer bahang dan transport Arlindo dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia (Sprintall et al., 2003; Gordon, 2005). Pada tahun 1993 terjadi fase El Nino yang kuat (Gordon, 2005) sehingga jumlah bahang yang ditransfer dari Samudera Pasifik juga melemah dan temperatur lapisan tercampur menjadi lebih rendah dibandingkan tidak terjadinya El Nino. Salinitas dan densitas di lapisan tercampur berkisar 33,393-33,476 psu dan 21,03-21,21 kg m -3 (Gambar 11). Salinitas yang rendah di lapisan ini diduga akibat adanya pengaruh sisa-sisa presipitasi yang mengencerkan salinitas permukaan dan adanya anomali iklim seperti La Nina. Atmadipoera et al. (2009) dari hasil model menjelaskan lapisan dekat permukaan Selat Ombai mendapatkan suplai air laut yang lebih tawar dari Laut Jawa yang mengalir ke arah timur setelah tiga bulan dari pucak musim hujan (Maret) dan sisa-sisa

60 30 (a) (b) (c) Gambar 11 Profil vertikal temperature (a), salinitas (b), dan densitas (c) yang diperbesar sampai tekanan 500 db.

61 31 salinitas air laut yang lebih tawar di dekat permukaan masih terlihat sampai bulan Juli di Selat Ombai. Laut Jawa sendiri memiliki salinitas 31,000-32,000 psu pada saat musim hujan (Soeriaatmadja, 1956; Wyritki, 1961; Petit et al., 1996; Atmadipoera et al., 2009). Lapisan termoklin terletak di bawah lapisan tercampur dan merupakan lapisan dimana temperatur turun secara drastis terhadap kedalaman. Lapisan termoklin di Selat Ombai memiliki rata-rata penurunan temperatur > 0,1 o C per satu meter. Lapisan termoklin ini memiliki tekanan yang hampir sama (berhimpitan) dengan tekanan lapisan pycnocline (Gambar 9) dengan tekanan berkisar antara db. tekanan lapisan atas termoklin memiliki variasi antara db (Gambar 11), perbedaan ini diduga karena adanya aktivitas gelombang internal dimana letak lapisan atas termoklin akan lebih dangkal atau dalam jika pucak atau lembah gelombang internal melewati kolom perairan. Gelombang yang terjadi di Selat Ombai dibuktikan dengan profil arus komponen meridional dari hasil pengukuran LADCP (Gambar 12) (Atmadipoera AS 23 Agustus 2011, komunikasi pribadi). Hasil observasi yang mirip didapatkan oleh Antony et al. (1985) dari satelit radar bahwa terdapat variasi kedalaman (tekanan) lapisan termoklin di Teluk Bengal karena adanya aktivitas gelombang internal. Gambar 12 Arus komponen meridional yang diukur dengan LADCP di Selat Ombai. Warna merah sampai kuning menunjukkan arus bergerak ke utara dan biru sampai ungu ke arah selatan (Atmadipoera AS 23 Agustus 2011, komunikasi pribadi).

62 32 Pada Gambar 11 terlihat bahwa lapisan termoklin memiliki struktur mirip dengan struktur step like terutama pada ulangan 5-2, 5-3, 5-4 dan 5-5 (Lampiran 2). Hal ini dijelaskan Matsuno et al. (2005) bahwa adanya struktur mirip struktur step like pada lapisan termoklin disebabkan adanya proses percampuran turbulen yang kuat sehingga struktur temperatur dan densitas di lapisan termoklin tidak menurun tajam terhadap tekanan (kedalaman). Salinitas dan densitas Selat Ombai pada lapisan termoklin menunjukkan profil yang berlawanan dengan profil temperatur (Gambar 9), dimana pada lapisan ini salinitas dan densitas perairan meningkat dengan tajam terhadap tekanan. Kisaran salinitas dan densitas di lapisan termoklin masing-masing adalah 33,406-34,545 psu dan 21,06-26,41(kg m -3 ). Nilai salinitas maksimum di Selat Ombai hampir sama dengan yang didapatkan Ilahude dan Gordon (1996) di Laut Flores (34,500 psu), namun lebih rendah dibandingkan yang didapat di Selat Makassar (34,700 psu). Perbedaan salinitas ini disebabkan adanya aktivitas percampuran yang kuat di Ambang Dewakang (Hatayama 2004) sehingga massa air salinitas tinggi bercampur dengan massa air salinitas rendah. Lapisan dalam merupakan lapisan paling bawah yang memiliki temperatur paling rendah dan hampir homogen. Nilai temperatur, salinitas, dan densitas di lapisan ini masing-masing berkisar antara 15,03 3,33 o C; 34,615-34,494 psu; dan 27,55-25,61 kg m -3. Pada lapisan ini terjadi penurunan temperatur, namun penurunannya tidak setajam seperti di lapisan termoklin (Gambar 9). Pada Gambar 9 terlihat bahwa lapisan dalam ulangan 5-6 (ditandai dengan garis biru) terdapat pola temperatur, salinitas, dan densitas yang berbeda dibandingkan dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengadukan massa air di lapisan bawah oleh aktivitas gelombang internal yang kuat. 4.2 Massa Air yang Melewati Selat Ombai Beberapa massa air yang melewati Selat Ombai dapat diketahui dari diagram TS (Gambar 13) dan tabulasi karaktersitik setiap massa air dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Gambar 13 terlihat bahwa terdapat massa air dengan salinitas dan densitas ( ) yang rendah serta temperatur yang tinggi dibandingkan lapisan lainnya, yang mencirikan massa air lapisan tercampur (Tabel 2). Massa air ini diduga sebagai sisa-sisa dari massa air Laut Jawa yang memasuki Selat Ombai dan mulai bercampur dengan massa air salinitas tinggi yang berasal dari Selat Makassar. Hal ini dijelaskan Atmadipoera et al. (2009)

63 33 (a) Massa air Laut Jawa NPSW NPIW (b) (c) Gambar 13 Diagram TS di Selat Ombai tanggal Juli 2010 (a). Tanda panah dan kotak merah menunjukkan massa air yang terdeteksi. Hasil pembesaran kotak merah pada Gambar (a) yaitu massa air NPSW (b) dan NPIW (c). Tabel 2 Karakter massa air yang melewati Selat Ombai Sifat Massa Air Jenis Tekanan Temperatur Densitas (sigma Massa Air (db) Potensial ( o Salinitas (psu) C) theta) (kg m -3 ) Laut Jawa ,25-28,51 33,387-33,864 21,00-22,00 NPSW ,45-21,35 34,364-34,541 24,00-25,50 NPIW ,31-13,10 34,502-34,563 26,00-26,70

64 34 yang melakukan pemodelan dan memperoleh hasil bahwa lapisan permukaan Selat Ombai mendapatkan suplai massa air densitas rendah dari massa air Laut Jawa yang bergerak ke arah timur. Ditambahkan pula bahwa hasil pemodelan menunjukkan pergerakan massa air Laut Jawa menuju Selat Ombai ini mencapai puncak pada bulan Maret. Sisa-sisa massa air rendah di dekat permukaan masih terlihat di bulan Juni-Juli meskipun sudah mulai melemah. Pengambilan data CTD pada pelayaran INDOMIX 2010 berlangsung pada bulan Juli dengan hasil salinitas dan densitas yang sesuai dengan pemodelan tersebut. Lebih lanjut, Molcard et al. (2001) menemukan salinitas dekat permukaan perairan Selat Ombai lebih rendah di awal bulan Mei pada program survei Java-Australia Dynamics Experiment (JADE). Pada Gambar 13 terlihat terdapat massa air dengan 24,50 (kg m -3 ) dan salinitas 34,413-34,509 psu yang mencirikan lapisan termoklin atas, massa air ini diduga merupakan massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) yang mengalir melalui Arlindo ke Samudera Hindia. Pada lapisan termoklin bawah ditemukan massa air dengan 26,50 (kg m -3 ) dan salinitas 34,514-34,537 psu yang diduga adalah massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW). Hasil yang sama didapatkan oleh Atmadipoera et al. (2009) bahwa massa air NPSW dan NPIW dicirikan dengan masing-masing 24,50 dan 26,50 (kg m -3 ). Ditambahkan juga bahwa massa air NPSW dan NPIW ini dicirikan dengan salinitas masing-masing sekitar 34,530 dan 34,470 psu pada jalur keluar Arlindo. Pada saat memasuki Arlindo massa air NPSW memiliki salinitas yang tinggi yaitu 34,900 psu (Atmadipoera et al., 2009 ), sedangkan hasil observasi di Selat Makassar dan Laut Flores menunjukkan NPIW memiliki salinitas yang rendah yaitu 34,400 psu (Ilahude dan Gordon, 1996). Pada penelitian ini ditemukan salinitas NPSW menjadi lebih rendah dan salinitas NPIW menjadi lebih tinggi (Tabel 2), hal ini diduga disebabkan oleh proses percampuran vertikal yang kuat pada jalur Arlindo sehingga terjadi perubahan karakter massa air. Hasil analisis pada diagram TS (Gambar 11) menunjukkan bahwa sinyal massa air South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water (SPSLTW) sangat lemah (tidak terdeteksi). Atmadipoera et al. (2009) menjelaskan bahwa massa air SPSLTW dicirikan dengan antara 26,00 dan 27,00 (kg m -3 ) serta salinitas 34,250 psu di jalur keluar Arlindo. Tidak terdeteksinya massa air ini diduga disebabkan oleh adanya variasi musiman massa air Samudera Pasifik Selatan yang masuk ke jalur Arlindo. Hal ini dijelaskan oleh Ilahude dan Gordon (1996)

65 35 massa air Samudera Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia dominan pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut dan melemah saat bertiup Angin Muson Tenggara. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, mengingat pengambilan data penelitian ini dilakukan pada bulan Juli saat bertiup Angin Muson Tenggara. 4.3 Stabilitas Statis Hasil pehitungan nilai frekuensi Brunt Vaisala untuk semua CTD di Selat Ombai dapat dilihat pada Gambar 14. Profil vertikal sangat ditentukan oleh profil vertikal temperatur dan. Lapisan tercampur ulangan 5-1 sampai ulangan 5-9 memiliki nilai yang yang hampir mendekati s -2. Nilai di lapisan termoklin berkisar antara -7,2 x ,8 x 10-3 s -2. Lapisan termoklin memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang homogen. Lapisan dalam yang homogen memiliki nilai berkisar antara -3,98 x ,02 x 10-3 s -2. Profil yang mirip dengan Gambar 14 didapatkan juga oleh Park et al. (2008) dan Lee et al. (2009) yang melakukan penelitian masing-masing di Kerguelen Plateau dan Submarine Canyon, Taiwan. Menurut Pond dan Pickard (1983) nilai yang tinggi pada lapisan termoklin disebabkan karena pada lapisan ini terdapat lapisan pycnocline yang merupakan lapisan dimana gradien densitas meningkat secara tajam terhadap kedalaman (tekanan). Dikatakan juga bahwa semakin tinggi nilai pada suatu lapisan, maka stabilitas statis (massa air densitas rendah di atas massa air densitas tinggi) dari lapisan tersebut semakin besar, sebaliknya bila nilai semakin negatif maka kolom perairan semakin tidak stabil atau berada dalam kondisi instabilitas statis. Hal ini mengindikasikan bahwa lapisan termoklin merupakan lapisan yang paling stabil dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen. Pada Gambar 14 terlihat bahwa lapisan dalam merupakan lapisan yang memiliki tingkat kestabilan yang paling rendah, hal ini dindikasikan dengan banyaknya yang bersifat negatif. Pada lapisan dalam ulangan 5-2 ( db) dan ulangan 5-6 ( db) terlihat bahwa massa air didominasi oleh massa air dalam kondisi instabilitas statis (Gambar 14b dan 14f) dibandingkan dengan ulangan lain (Gambar 14a, 14c, 14d, 14e, 14g, 14h, dan 14i). Profil vertikal ini memiliki keterkaitan yang erat dengan profil vertikal temperatur, salinitas, dan densitas (Lampiran 1, 3 dan 5), dimana di lapisan dalam ulangan

66 36 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) Gambar 14 Frekuensi Brunt Vaisala (garis biru) yang ditumpang tindih dengan temperatur (garis merah) pada ulangan 5-1 (a), 5-2 (b), 5-3 (c), 5-4 (d), 5-5 (e), 5-6 (f), 5-7 (g), 5-8 (h), dan 5-9 (i).

67 dan 5-6 profil vertikal temperatur, salinitas dan densitas berbentuk zigzag dan tidak beraturan (Gambar 9). Fenomena ini diduga akibat adanya aktivitas gelombang internal yang sangat kuat sampai pada dasar perairan sehingga terjadi proses pengadukan massa air di lapisan bawah. 4.4 Gelombang Internal Hasil plot melintang data selama 24 jam mengindikasikan adanya rambatan gelombang internal (Gambar 15a). Pada Gambar 15a terlihat gelombang internal terdapat pada lapisan interface antara lapisan tercampur dengan lapisan termoklin yaitu pada garis isopycnal 22,00-25,00 kg m -3. Dijelaskan oleh Garrett (2003) bahwa pada lapisan interface densitas tidak jauh berbeda, dengan adanya gangguan sedikit saja (misalnya oleh arus yang melewati ambang) menyebabkan massa air densitas tinggi mengalami pemindahan ke massa air densitas rendah di bagian atas. Adanya osilasi massa air yang mengalami displacement untuk mencari titik semula yang stabil menyebabkan timbulnya gelombang internal di lapisan interface ini. Ditambahkan Robertson dan Ffield (2005) bahwa Ambang Selat Ombai merupakan salah satu penyebab timbulnya gelombang internal di Perairan Indonesia. Gelombang internal yang terdeteksi di Selat Ombai merupakan gelombang internal dengan periode pasut semidiurnal. Hal ini ditandai dengan terbentuknya 2 lembah dan 3 puncak gelombang yang ditunjukkan dengan anak panah pada Gambar 15a. Periode gelombang internal pertama dan kedua hampir sama yaitu masing-masing 9 jam 51 menit dan 9 jam 45 menit. Puncak gelombang internal terdeteksi pada isopycnal 22,00 kg m -3 yang berada di tekanan sekitar 47, 52, dan 57 db, sedangkan lembah gelombang berada di isopycnal 25,00 kg m -3 yang terdeteksi di tekanan 162 dan 185 db. Keberadaan gelombang pasut internal dengan periode semidiurnal di Selat Ombai sesuai dengan yang dapatkan oleh Robertson dan Ffield (2005) bahwa perairan Indonesia umumnya didominasi oleh pasut internal M2 (semidiurnal). Periode pasut internal ini hampir mirip dengan prediksi pasut di Pelabuhan Dili (Gambar 15b) walaupun pada jam 08:00-11:00 tanggal 17 Juli 2010 terjadi sedikit penyimpangan pada isopycnal 22,00-26,00 kg m -3. Adanya time lag efek pasut pada lembah kedua menyebabkan efek surut pada gelombang internal ulangan 5-5 jelas terlihat memberikan pengaruh pada lapisan dalam ulangan 5-6.

68 38 (a) Puncak 1 Puncak 2 Puncak 3 Lembah 1 Lembah 2 (b) Gambar 15 Rambatan gelombang internal dari data CTD Selat Ombai dengan puncak dan lembah gelombang ditunjukkan dengan anak panah (a). prediksi pasut di Pelabuhan Dili pada tanggal Juli 2010 (b). Pada Gambar 15a terlihat perubahan tekanan garis isopycnal mengikuti pola dari gelombang internal (kecuali pada garis isopycnal 26,00 kg m -3 ). Pada saat pasang, garis isopycanal massa air di lapisan bawah akan terdorong (terinduksi) ke tekanan yang lebih rendah (kedalaman yang lebih dangkal) (jelas terlihat pada ulangan 5-4), namun sebaliknya pada saat surut garis isopycnal massa air akan terdorong (tertekan) ke lapisan yang lebih dalam. Contoh efek surut (lembah gelombang) paling jelas terlihat pada ulangan 5-2 dan 5-6 dimana efek gelombang internal sampai di dekat dasar perairan. Adanya perubahan garis isopycnal sesuai dengan pola gelombang internal menunjukkan bahwa efek

69 39 dari gelombang internal sangat kuat terhadap strukutur vertikal kolom perairan. Prasad dan Rajasekhar (2006) menjelaskan bahwa aktvitas gelombang internal pada suatu kolom perairan akan sangat mempengaruhi profil vertikal (temperatur, salinitas, dan densitas) perairan. Hal ini sejalan dengan yang didapatkan pada profil vertikal temperatur, salinitas, dan densitas kolom perairan dimana pada saat gelombang internal sampai di dekat dasar, profil vertikal salinitas, dan densitas menjadi tidak beraturan (Gambar 9) serta menyebabkan ketidakstabilan pada kolom air di lapisan dalam (Gambar 14). Pada Gambar 15a terlihat bahwa efek dari gelombang internal lebih kuat ke arah bawah dibandingkan ke arah atas, hal ini diduga karena pada bagian bawah lebih seragam dibandingkan dengan lapisan atas. 4.5 Estimasi Skala Thorpe Hasil pengukuran CTD menunjukkan bahwa profil menegak densitas perairan Selat Ombai (Gambar 9c) dicirikan oleh data yang bersifat instabilitas (ketidakstabilan) statis artinya kondisi suatu perairan dimana kemungkinan masih terjadi proses displacement akibat massa air densitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Data instabilitas statis akan jelas terlihat pada saat terjadi surut (lembah gelombang internal) (Gambar 16), sedangkan pada saat terjadi pasang (puncak gelombang) data lebih cenderung berada dalam kondisi stabilitas statis (Gambar 17). Hal ini diduga karena pada saat surut efek dari gelombang internal sampai mendekati dasar sehingga pengadukan massa air lebih kuat, sedangkan pada saat pasang efek dari gelombang internal menjauhi dasar dan pengadukan menjadi lebih lemah. Contoh ketidakstabilan untuk seluruh tekanan disajikan pada Gambar 16a, jika kotak hijau pada Gambar 16a diperbesar maka akan didapatkan gambar ketidakstabilan yang lebih jelas (Gambar 16b). Pada Gambar 16b terlihat bahwa massa air densitas tinggi (kotak hitam garis putus-putus) berada di atas massa air densitas rendah (kotak hitam garis titik-titik). Pada Gambar 16 terlihat juga bila densitas awal (garis biru) massa air disusun ulang (reordering) ke kondisi densitas stabilitas statis (garis merah) maka banyak massa air yang berubah posisinya dari posisi awal ke posisi baru (ditunjukkan dengan anak panah di Gambar 16b). Jarak perpindahan massa air dari posisi awal ke posisi baru menghasilkan Thorpe displacement (Gambar 8).

70 40 (a) (b) (a) (b) Gambar 16 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis untuk seluruh tekanan pada saat surut (a) di ulangan 5-2 (atas) dan ulangan 5-6 (bawah). Bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air densitas rendah (kotak hitam garis titik-titik) berada di bawah massa air densitas tinggi (kotak hitam garis putus-putus) (b).

71 41 Gambar 17 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis untuk seluruh tekanan pada saat pasang (a) di ulangan 5-4. bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air pada saat pasang cenderung dalam kondisi stabilitas statis (b). Adanya noise pada instrumen CTD (Galbraith dan Kelley, 1996) dan gerakan naik turun kapal selama pengambilan data (Johnson dan Garrett, 2004) mengakibatkan timbulnya bias pada nilai. Data bias ini dihaluskan dengan metode GK (Galbraith and Kelley method). Pada perhitungan metode GK didapatkan bahwa nilai minimum displacement yang dapat dideteksi oleh CTD adalah > 5 m. Hal ini berarti displacement yang kurang dari 5 m akan dihilangkan (Gambar 18). Pada Gambar 18a terlihat nilai masih tersusun dari data displacement yang kurang dari 5 m (contoh lebih jelas terlihat pada kotak garis titik-titik), sedangkan di Gambar 18b nilai yang kurang dari 5 m sudah dihilangkan (contoh lebih jelas terlihat pada kotak garis putus-putus). Data yang dipakai untuk perhitungan selanjutnya adalah data yang sudah dihaluskan oleh metode GK. Nilai untuk keseluruhan data CTD Selat Ombai disajikan pada Gambar 19. Pada Gambar 19 terlihat nilai negatif dan positif. Nilai positif menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas untuk mecari kestabilan

72 42 statis, kondisi ini terjadi bila massa air densitas rendah berada di bawah massa air berdensitas tinggi. Nilai negatif menunjukkan massa air bergerak ke bawah, hal ini terjadi bila massa air densitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Pada Gambar 19 terlihat bahwa lapisan tercampur memiliki nilai berkisar antara -51 m sampai 31 m. Tinggi rendahnya nilai lapisan tercampur diduga berkaitan dengan kecepatan bertiupnya angin di lokasi penelitian. Hal ini dijelaskan oleh Cisewski et al. (2005) yang mendapatkan adanya korelasi positif sebesar 0,83 antara kecepatan tiupan angin dan nilai lapisan tercampur. Lapisan termoklin Selat Ombai memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen (Gambar 19). Pada Gambar 19 terlihat nilai lapisan termoklin berkisar antara -10 m sampai 27 m. Hal ini diduga karena lapisan termoklin merupakan lapisan yang memiliki tingkat stabilitas statis yang paling tinggi dibandingkan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen (Gambar 14). (a) (b) Gambar 18 Perbandingan data Thorpe displacement sebelum diterapkan metode GK (a) dan sesudah diterapkan metode GK (b). Contoh data noise lebih jelas terlihat di kotak garis titik-titik dan yang sudah dihaluskan di kotak garis putus-putus.

73 43 Gambar 19 Thorpe displacement seluruh ulangan.

74 44 Nilai yang paling tinggi ditemukan di lapisan dalam yang hampir homogen. Pada Gambar 19 terlihat bahwa massa air pada lapisan ini bergerak turun sampai 240 m dan massa air lainnya bergerak ke atas hingga 342 m. Kisaran nilai lapisan dalam yang hampir homogen ini lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan termoklin dan lapisan permukaan tercampur. Tingginya nilai di lapisan dalam yang hampir homogen diduga karena nilai stabilitas statis lapisan ini relatif kecil dibandingkan dengan lapisan termoklin (Gambar 14). Pada Gambar 19 terlihat juga bahwa nilai displacement yang paling besar berada pada ulangan 5-2 dan 5-6 dibandingkan dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena adanya efek dari aktivitas gelombang internal pada saat surut yang sampai ke dekat dasar perairan (Gambar 15a) sehingga menimbulkan pengadukan yang mengakibatkan rendahnya kestabilan massa air pada ulangan ini. Efek dari pengadukan oleh gelombang pada ulangan 5-2 dan 5-6 terlihat juga pada profil vertikal temperatur, salinitas, dan densitas yang menjadi zigzag dan tidak beraturan (Gambar 9). Ditambahkan oleh Polzin et al. (1997) bahwa displacement yang tinggi di dasar laut disebabkan karena adanya interaksi antara topografi dasar dengan arus yang melintas diatasnya. Ditambahkan oleh Robertson dan Ffield (2005) bahwa Selat Ombai merupakan salah satu daerah di perairan Indonesia yang memiliki kecepatan arus pasut yang paling tinggi yaitu mencai 0,5 m s -1. Nilai skala Thorpe dari tiap penurunan CTD berbeda-beda tergantung dari besar kecilnya nilai dan jumlah massa air yang mengalami displacement (Gambar 20). Secara keseluruhan nilai skala Thorpe tinggi pada lapisan tercampur, menurun pada lapisan termoklin dan meningkat kembali pada lapisan dalam yang homogen. Pada lapisan tercampur memiliki nilai paling tinggi sebesar 24,41 m, yang diduga disebabkan rendahnya tingkat stabilitas statis, sehingga displacement massa air menjadi lebih mudah terjadi. Nilai lapisan termoklin paling rendah dibandingkan dengan lapisan lainnya dengan kisaran nilai 5-16,97 m. Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai dan jumlah air yang mengalami displacement (Gambar 17). Lapisan dalam merupakan lapisan yang memiliki nilai paling tinggi dengan kisaran 20,19-106,89 m. Tingginya nilai pada lapisan dalam ini sangat terkait dengan profil vertikal temperatur dan densitas kolom perairan (Gambar 9a dan 9c) yang berbentuk zigzag dan tidak beraturan. Profil vertikal massa air acak pada lapisan dalam ini juga diperkuat dengan nilai stabilitas statis yang paling rendah dibandingkan lapisan tercampur

75 45 Gambar 20 Nilai skala Thorpe Selat Ombai. dan termoklin (Gambar 14). Ditambahkan juga oleh Polzin et al. (1997) bahwa tingginya nilai pada lapisan dalam disebabkan scattering gelombang dari topografi dasar dan intensitas lokal pemantulan gelombang. 4.6 Estimasi Energi Kinetik Disipasi Turbulen Eddy dan Difusivitas Vertikal Eddy Nilai rata-rata estimasi energi kinetik disipasi turbulen eddy Selat Ombai pada semua lapisan adalah 4,22 x 10-6 W kg -1, sedangkan untuk nilai pada setiap lapisan disajikan pada Gambar 21. Hasil perata-rataan nilai menunjukkan bahwa nilai di lapisan termoklin paling kecil (1,36 x 10-6 W kg -1 ) dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen. Rendahnya nilai pada lapisan termoklin menunjukkan semakin sedikit energi kinetik yang berada dalam aliran tubulen yang akan mengalami pemecahan menjadi bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang akan berfungsi untuk mentransfer energi ke media yang lain. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang cenderung berhimpitan dengan lapisan pycnocline dan halocline (Gambar 9), hal ini menyebabkan lapisan ini memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi (Gambar 14). Tingkat kestabilan ini akan sangat mempengaruhi rendahnya nilai displacement dan nilai skala Thorpe yang memiliki korelasi linier dengan nilia. Nilai energi kinetik tertinggi (12,24 x 10-6 W kg -1 ) berada pada lapisan dalam yang hampir homogen, hal ini menunjukkan bahwa lapisan dalam merupakan lapisan dimana energi kinetik mengalami pemecahan yang paling tinggi yang nantinya

76 46 Gambar 21 Grafik nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy deviasi di Selat Ombai dengan standar akan berkontribusi untuk terjadinya proses percampuran. Dijelaskan oleh Finnigan et al. (2002) bahwa peningkatan nilai percampuran di daerah dekat ridge disebabkan makin mendekatnya kolom air dengan topografi dasar. Nilai difusivitas vertikal eddy dengan rataan tiap 10 m disajikan pada Gambar 22. Dari nilai antar ulangan, dapat dilihat bahwa nilai pada ulangan 5-2 dan 5-6 lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan lain, sedangkan nilai terendah didapatakan pada ulangan 5-4. Tinggi rendahnya nilai ini diduga terkait dengan aktivitas gelombang internal yang ada di ulangan tersebut (Gambar 15a), dimana pada ulangan 5-2 dan 5-6 gelombang sedang mengalami fase surut dan pada ulangan 5-4 gelombang sedang mengalami fase pasang. Aktivitas gelombang internal juga akan mempengaruhi besar kecilnya nilai displacement (Gambar 19), skala Thorpe (Gambar 20), dan energi kinetik disipasi turbulen eddy (Gambar 21) yang nantinya semua nilai ini akan mempengaruhi tinggi rendahnya nilai pada tiap lapisan kolom perairan. Tabulasi untuk lapisan tercampur, termoklin, dan dalam di Selat Ombai disajikan pada Tabel 3. Nilai rata-rata Selat Ombai untuk seluruh pengukuran CTD adalah 7,56 x 10-2 (+ 2,83 x 10-1 ) m 2 s -1. Sebagai gambaran hasil penelitian Koch-Larrouy et al. (2007) mendapatkan nilai rata-rata sebesar 1,5 x 10-4 m 2 s -1 untuk perairan Indonesia. Diduga tingginya nilai di Selat Ombai ini sangat terkait dengan kuatnya gelombang internal yang ada di daerah ini. Hal ini dijelaskan oleh Robertson dan Ffield (2005) bahwa Selat Ombai merupakan

77 47 Gambar 22 Nilai difusivitas vertikal eddy dengan rataan tekanan 10 db.

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan) 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turbulensi (Olakan) Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart, 2002; Thorpe, 2007).

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat 17 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Studi tentang percampuran turbulen merupakan bagian dari pelayaran INDOMIX yang dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Marion

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air 7. TINJAUAN PUSTAKA.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas,

Lebih terperinci

PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT

PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Hlm. 71-82, Juni 2015 PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT Yulianto Suteja 1*, Mulia Purba 2, dan Agus S. Atmadipoera

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O-

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O- . BAHAN DAN METODE.1 Waktu dan Tempat Penelitian Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data oseanografi perairan aja Ampat yang diperoleh dari program terpadu PO- LIPI dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 Oleh: Alfina Khaira C64104058 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015 JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 425 434 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor

Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor h ILMU KELAUTAN Maret 214 Vol 19(1):43 54 ISSN 853-7291 Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor Adi Purwandana 1*, Mulia Purba 2, dan Agus S. Atmadipoera 2 1 Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,

Lebih terperinci

Suhu rata rata permukaan laut

Suhu rata rata permukaan laut Oseanografi Fisis 2 Sifat Fisis & Kimiawi Air Laut Suhu Laut Suhu rata rata permukaan laut Distribusi vertikal Suhu Mixed layer Deep layer Distribusi vertikal Suhu Mixed Layer di Equator lebih tipis dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA Salah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh MARTONO NIM : 22405001 Program Studi Sains Kebumian

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok Pada sub bab ini dipaparkan mengenai keadaan di kawasan Selat Lombok yang menjadi daerah kajian dalam tugas akhir

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW

KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW Noir P. Purba, Firman S, dan Rama Wijaya Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 15,2 (21) : 173-184 SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Syaifuddin 1) 1) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON)

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) Adi Purwandana Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGADAAN RESEARCH BUOY TAHUN 2016 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAUT DAN PESISIR JAKARTA 2016 1 Kementerian : KELAUTAN DAN PERIKANAN 2 Unit Eselon I/II : Pusat Penelitian

Lebih terperinci

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 ABSTRAK (Characteristics and Circulation of Water Mass at Lombok Strait in January 2004 and June 2005) Mulia Purba 1 dan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Perubahan vertikal muka air laut secara periodik pada sembarang tempat di pesisir atau di lautan merupakan fenomena alam yang dapat dikuantifikasi. Fenomena tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : 2088-3137 ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA Valdi Muhamad Haikal*, Ankiq Taofiqurohman** dan Indah Riyantini** *) Alumni Fakultas

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Analisis Potensi Arus Lintas Indonesia Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Wilayah Kabupaten Halmahera Timur

Analisis Potensi Arus Lintas Indonesia Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Wilayah Kabupaten Halmahera Timur Analisis Potensi Arus Lintas Indonesia Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Wilayah Kabupaten Halmahera Timur Noir P. Purba, Firman S, dan Rama Wijaya Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran Oseanografi Fisis 4 Massa Air dan Proses Percampuran Karakteristik Massa Air Pemanasan Pendinginan Pembentukan Es Penguapan Pengenceran Permukaan Laut Massa Air Paling Berat dan Paling Dalam Terbentuk

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab Definisi Arus Pergerakkan horizontal massa air Penyebab Fakfor Penggerak (Angin) Perbedaan Gradien Tekanan Perubahan Densitas Pengaruh Pasang Surut Air Laut Karakteristik Arus Aliran putaran yang besar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm.525-536, Desember 2014 KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI

KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo Indonesia-USA pada dua lokasi di Selat Makassar masingmasing pada posisi

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Peta co-tidal Perairan Indonesia Arah rambatan konstanta Pasut ditentukan dengan menganalisis kontur waktu air tinggi (satuan jam) suatu perairan. Jika kontur waktu air

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK Surya Octagon Interdisciplinary Journal of Technology, September 2015, 101-117 Copyright 2015, ISSN : 2460-8777 Vol.1, No.1 ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-18, Desember 21 MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Hadikusumah Bidang Dinamika Laut

Lebih terperinci

VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI

VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEmOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu I. PENDAHULUAN Hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim yang berkaitan dengan daerah tropis.

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT LOMBOK. Oleh: Iriana Ngesti Utami C

STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT LOMBOK. Oleh: Iriana Ngesti Utami C STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT LOMBOK Oleh: Iriana Ngesti Utami C64102052 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci