KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN"

Transkripsi

1 KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Klorofil-A serta Kaitannya dengan Proses Percampuran di Selatan Selat Makassar adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2012 Kaharuddin NRP.C

3 ii ABSTRACT KAHARUDDIN. Study of nutrient fluxes and chlorophyll-a contents and its relation to the process of mixing in Southern Makassar Strait. Under direction of JOHN ISKANDAR PARIWONO and ALAN FRENDY KOROPITAN. Vertical nutrient flux within nitrate, phospate, and silicate organic particle is the primary organic element that has important role to the productivity rate of water and as indicator of maximum limit of the chlorophyll-a concentrate value. The orientation studies in viewing the rate of vertical nitrate flux due to turbulent activity causing the mixture to control the atmospheric pressure at the surface layers, shear flows and their interaction with the bottom shallow contours of the topography Southern Makassar Strait (Dewakang Sill). Slope and sill contribute to the mass trapping of water and strengthening the activities of internal waves, internal tides, and upwelling/downwelling around the slope and ridge sill, play a role in stimulating the movement of the magnitude of nutrient fluxes vertically. The analysis methods of vertical nutrient fluxs is evaluated by using the param estimation frequency Brunt-Vaisala (N 2 ), current shear Richardson Number (Ri), coefficient diffusion vertical eddy (K z ), show scale flux value that is between layer in the surface layer (eufotic zone). The result of the analysis shows gradien fluctuations in salinity gradients and patterns of stratification, temperature, and density every inchs determine the amount of buoyancy frequency ratio of about 1 x x 10-3 s -2, and shear strength of signals at the current depth bin ranged from 1 x 10-3 s -2-4 x 10-3 s -2, the magnitude of the Ricardson Number indicates a strong mixing approximately bin at a depth of 68 m m at Based on the estimation of the depth coefficient diffusion vertical eddy (K z ) shows improvement in vertical diffusion layer at a depth pycnocline of the bin ( m) with a range of 1.70 x x 10-5 m 2 s -1 and coefficient diffusion vertical eddy (K z ) from density (σ o ) with a range 1.54 x x 10-2 m 2 s -1 ). Increased K z value at bin in vertical depth not contribute strongly to the vertical nitrate flux due to the surface layer of the thermocline layer, that is the energy required to penetrate the strong diffusion layer. Eufotik layer gradient flux of nutrients 2.54 x 10-2 µg-a m -2 s -1. Nutrient fluxs concentrations negatively correlated with chlorophyll-a concentration gradient in depth with the closeness (r) to Si (0.3813), followed by the N ( ) and P ( ). The value of vertical eddy diffusion (K z ) is inversely proportional the buoyancy frequency (N 2 ) and the presence of high concentrations of nutrients contained in the limit of the thermocline. Element of organic silicate (Si) is more influential than other organic elements to simulate the thickness of the concentration of chlorophyll-a. Keyword: Nutrient flux, Chlorophyll-a, Mixing, South Makassar Strait, Dewakang Sill

4 iii RINGKASAN KAHARUDDIN. Kajian fluks nutrien dan kandungan klorofil-a serta kaitannya dengan proses percampuran di Selatan Selat Makassar. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO dan ALAN FRENDY KOROPITAN. Dewakang Sill merupakan bagian perairan yang berada di Selatan Selat Makassar, dan merupakan jalur utama transpor aliran Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) bagian timur. Wilayah perairan ini sebagai tempat pertemuan massa air dengan karakteristik yang berbeda, yaitu massa air Samudera Pasifik melewati Selat Makassar dan massa air Laut Jawa. Keberadaan dua massa air tersebut menyebabkan adanya front dan terbentuknya pelapisan massa air terhadap kedalaman, hal ini terlihat dari profil salinitas dan suhu perairan ditambah dengan kecepatan arus yang berbeda pula. Perbedaan densitas terhadap kedalaman perairan menyebabkan stratifikasi lapisan dan percampuran massa air. Proses percampuran massa air oleh aktifitas turbulensi secara vertikal dan horizontal, selain adanya perbedaan gradien densitas juga dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut internal dan gelombang internal di atas topografi dasar (slope dan sill). Keberadaan Dewakang Sill pada kedalaman antara m, menjadi penghalang pergerakan dan distribusi massa air menuju Laut Flores dan Laut Banda. Karakteristik shear arus dengan kecepatan yang bervariatif sepanjang kanal yang terbentuk dengan adanya perbedaan densitas/kedalaman menyebabkan terjadinya proses downwelling/upwelling dan osilasi dari gelombang internal yang memicu terjadinya turbulen di sisi slope dan sill. Aktivitas turbulen berperan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya fluks nutrien antar lapisan secara vertikal. Besarnya kontribusi aktivitas fisik yang terjadi di sekitar kontur dasar berfluktuasi oleh shear arus dan kondisi densitas kedalaman berpengaruh terhadap pengangkutan serta perpindahan bahang (energi) dan partikel nutrien ke lapisan permukaan secara vertikal. Laju fluks nutrien (nitrat) secara vertikal sebagai refleksi difusi vertikal sangat menentukan laju kedalaman lapisan produktivitas fitoplankton. Ketebalan konsentrasi klorofil-a dari aktivitas produksi fitoplankton sebagai sinyal mengukur ketersediaan dan perpindahan nutrien dari lapisan dalam ke lapisan termoklin dan lapisan permukaan tercampur. Kondisi ini dapat dijelaskan melalui korelasi variabel nutrien dengan gradien densitas dan shear arus pada interval kedalaman perairan. Sehingga penelitian ini difokuskan untuk melihat dan mengestimasi jumlah energi dan laju fluks nutrien dan korelasinya dengan kandungan klorofil-a sebagai akibat dari kontribusi interaksi topografi terhadap proses percampuran di Selatan Selat Makassar termasuk Dewakang Sill. Penelitian ini mengunakan data rekaman CTD (Conductivity, Temperature, and Depth), data SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler), dan sampel Rosette Bottle dari pelayaran kapal riset Baruna Jaya IV melalui kegiatan divisi Teknologi Survei dan Kelautan (TEKSURLA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada tanggal Agustus Ekstrak data salinitas, suhu dan densitas kedalaman dari CTD dengan prosedur standar menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing, ekstrak data arah arus, kecepatan dan kedalaman dari SADCP menggunakan perangkat

5 lunak WinADCP dengan koreksi pasut, dan data nutrien (nitrat, posfat, dan silikat) serta klorofil-a dari tabung rosette pada CTD. Data nutrien dan klorofil-a sebanyak 52 sampel dengan kedalaman standar (5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 500, 700, 1000) pada 5 Stasiun dari Selatan Dewakang Sill menuju Laut Jawa. Proses pengukuran nilai konsentrasi nutrien dan klorofil-a dengan menggunakan spektrofotom (885nm) di laboratorium kimia hara dan laboratorium produktivitas primer, puslit oseanografi, LIPI. Perhitungan data dengan metode frekuensi Brunt Vaisala (N 2 ), estimasi difusi vertikal (K z ) dan perhitungan data arus SADCP dengan menghitung nilai shear dan Richardson Number (Ri), koefisien difusian eddy vertikal (K z ), nilai K z dengan nilai konsentrasi nutrien (nitrat) digunakan untuk menghitung fluks nutrien vertikal, selanjutnya menghitung nilai korelasi antara konsentrasi nutrien dan konsentrasi klorofil-a terhadap kedalaman. Stasiun pengamatan di Selatan Selat Makassar dari Dewakang Sill (114 BT BT) menunjukkan profil kontur dasar yang dangkal sepanjang Laut Jawa, dimana terdapat kanal-kanal dan slope diantara seamount dan sill. Keberadaan topografi dasar ini menjadi indikator pembatas penyebaran massa air dan menyebabkan adanya aktivitas fisik sebagai interaksi disepanjang punggung ambang dan slope. Berdasarkan karakteristik massa air terlihat adanya pola pelapisan salinitas, suhu, dan densitas terhadap kedalaman pada tiga lapisan utama. Profil suhu pada lapisan permukaan tercampur, termoklin, menunjukkan adanya stratifikasi yang relatif stabil terhadap kedalaman dengan gradien 0.02 o C. Lapisan termoklin ditemukan pada kedalaman 114 m m dengan variasi ketebalan antara 4 m - 21 m pada suhu 20 o C. Pelapisan salinitas menunjukkan pola sangat fluktuatif antara lapisan permukaan, piknoklin dan lapisan dalam. Salinitas tertinggi dan terendah ditemukan pada lapisan permukaan hingga lapisan piknoklin ( psu), akibat adanya intrusi massa air berbeda. Profil shear arus pada komponen vektor u dan v menunjukkan sinyalsinyal laju pergerakan arus yang kuat pada interval kedalaman. Komponen arus menunjukkan shear arus kuat mencapai 1.76 x 10-3 s -2 pada Stasiun 1 4, dengan kedalaman bin ( m). Kuatnya shear arus diindikasikan adanya penyempitan aliran di atas topografi kontur yang dangkal. Shear arus dengan sinyal yang relatif melemah pada lapisan permukaan dan menguat di lapisan dalam (3.13 x x 10-3 s -2 ) dengan pola pergerakan acak. Rasio frekuensi apung (N 2 ) yang membentuk pola pelapisan terhadap kedalaman, kondisi lapisan permukaan dengan gradien fluktuasi berbeda. Lapisan piknoklin yang merupakan lapisan pembatas antara lapisan atas dan lapisan dalam dengan ketebalan yang tebal akibat perubahan gradien densitas dengan kisaran cukup tinggi yang menjadi penghalang secara vertikal dari pergerakan fluida. Nilai frekuensi apung pada lapisan piknoklin relatif sama terhadap kedalaman berkisar 3.45 x x 10-5 s -2, sedangkan nilai tertinggi di lapisan permukaan dan di lapisan dalam dengan nilai yang sama (1 x 10-4 s -2 dan 5 x 10-3 s -2 ). Nilai percampuran dalam kolom perairan berdasarkan besaran dari nilai Richardson Number (Ri) dari komponen shear arus vertikal dan rasio frekuensi apung. Besaran nilai Ri yang kuat mengidikasikan percampuran akan rendah akibat nilai frekuensi yang lemah. Bilangan Ri dominan pada Stasiun 1 sampai 5 antara iv

6 v Aktivitas turbulensi yang menyebabkan percampuran dalam kolom perairan berdasarkan estimasi difusi eddy vertikal (K z ), yang menjelaskan besaran rasio koefisien difusian berbanding terbalik dengan besaran nilai Richardson Number. Koefisien difusi dengan kedalaman bin (12.79 m m) dengan variasi nilai difusi yang berfluktuatif sepanjang Stasiun pada lapisan permukaan hingga batas lapisan piknoklin. Nilai difusi vertikal eddy (K z ) meningkat pada lapisan dalam di lapisan piknoklin ( m) sampai permukaan (12.79 m) dengan variasi nilai antara 5 x x 10-4 m 2 s -1. Nilai difusi terendah dan sedang ditemukan di bagian timur (Stasiun 1) dan bagian barat (Stasiun 4 dan 5) sampai kedalaman m) dengan kirasan antara 1 x x 10-4 m 2 s - 1. Aktivitas percampuran turbulen di lapisan piknoklin diindikasikan sebagai pengaruh proses shear arus, pasut internal, dan gelombang internal sepanjang sisi sill dan slope. Gradien fluks nutrien (nitrat) dengan menggunakan param difusi eddy vertikal (K z ) dengan nilai kedalaman CTD dikalkulasi dengan konsentrasi nutrien pada kedalaman standar. Besaran nilai difusian (K z ) sebagai aktivitas turbulen percampuran berbanding lurus dengan laju penyebaran vertikal konsentrasi nutrien dengan bertambahnya tekanan. Secara berturut - turut nilai fluks ketiga unsur tertinggi mulai dari fluks silikat sebesar 2.62 x 10-3 µg-a m -2 s -1, kemudian nitrat 1.73 x 10-3 µg-a m -2 s -1, selanjutnya silikat 5.89 x 10-4 µg-a m -2 s -1. Gradien nutrien berfluktuasi terhadap densitas kedalaman, diiringi dengan gradien standar deviasi (0.02 dan 0.04 µg-a m -2 s -1 ) yang meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kondisi yang sama terlihat pada konsentrasi fosfat (P) dan silikat (Si). Berdasarkan uji korelasi menunjukkan nilai keeratan (r) pada konsetrasi nitrat dan korelasinya terhadap konsentrasi klorofil-a dengan selang kepercayaan 99% secara berturut-turut adalah Si (0.3813), kemudian N ( ) dan P ( ). Dibandingkan sebaran klorofil-a terhadap kedalaman secara melintang dan vertikal, menjelaskan bahwa konsentrasi dengan nilai berkisar antara µg m 3 pada batas maksimal kedalaman konsentrasi adalah 350 m. Konsentrasi klorofil-a dibatas atas lapisan termoklin berkorelasi negatif dengan konsentrasi nutrien di kolom lapisan tercampur dan lapisan termoklin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi silikat (Si) selanjutnya faktor unsur nutrien lainnya berperan sesuai nilai keeratannya, dari nitrat (N) kemudian fosfat (P). Kata Kunci: Fluks Nutrien, Klorofil-a, Mixing, Selatan Selat Makassar, Dewakang Sill

7 vi Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 vii KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Agus Saleh Atmadipoera, DESS viii

10 ix Judul Tesis : Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Krolofil-a serta Keterkaitannya dengan Proses Percampuran di Selatan Selat Makassar Nama : Kaharuddin NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. John I. Pariwono Ketua Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi., M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

11 x PRAKATA Ucapan syukur dan terima kasih tercurahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) yang telah memberikan hidayah-nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis sebagai salah satu syarat kelulusan pada program pascasarjana Ilmu Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian mengenai Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Klorofil-A serta Keterkaitannya dengan Proses Percampuran (Mixing) di Selatan Selat Makassar ini telah dilaksanakan sejak Agustus Pengkajian ini mengenai laju fluks nutrien dan korelasinya terhadap konsentrasi klorofil-a yang merefleksikan produktivitas perairan, sebagai akibat dari proses percampuran di perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pelengkap informasi dan rujukan ilmiah tentang peranan antara interaksi dari keberadaan topografi laut (sill dan slope) dengan proses fisik di salah satu jalur Arus Lintas Indonesia (ARLIDO). Hasil penelitian ini juga diharapkan sebagai pembanding sejauh mana kontribusi sumber nutrien lautan di Selatan Selat Makassar, selain dari intrusi zat hara (nutrien) antropogenik dari daratan melalui Laut Jawa dan sepanjang Selat Makassar (Muara Kalimantan dan Sulawesi). Selanjutnya menjelaskan bagaimana pengaruh kontribusi isu perubahan iklim global terhadap ketersediaan nutrien dan pada akhirnya menambah informasi dalam aktivitas penangkapan ikan diwilayah tersebut. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2012 Kaharuddin

12 xi KATA PENGANTAR Penulis menyampaikan penghormatan dan ucapan terima kasih kepada yang mendukung, memotivasi, dan telah menginspirasi dalam pernyusunan tesis ini : 1. Dr. Ir. John I. Pariwono, selaku pembimbing satu yang telah memberi kesempatan dan meluangkan waktu, arahan serta pikiran selama penyusunan tesis. 2. Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi., M.Si., selaku pembimbing dua yang telah memberi kesempatan, meluangkan waktu, ide dan gagasan, arahan serta pikiran selama penyusunan tesis. 3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan koreksi penulisan dan motivasi dalam penyelesaian penulisan tesis. 4. Dr Agus Saleh Atmadipoera, DESS., selaku penguji luar komisi pada ujian tahap akhir penyelesaian studi selain bersedia membantu secara konsep dan analisis dalam penyempurnaan hasil penelitian. 5. UPT Baruna Jaya BPPT yang mengijinkan menggunakan data hasil Cruise Sail Banda dengan Kapal Riset Baruna Jaya pada tanggal Agustus 2010, terima kasih atas dukungan dan ijin penggunaan data. 6. DIKTI sebagai sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) 2009, serta semua pihak yang telah membantu memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis. 7. Maxi Elias Timotius Parengkuan, S.IK, M.Sc., terima kasih telah berbagi informasi dan telah berbagi data untuk penelitian ini. 8. Rekan-rekan pascasarjana ilmu kelautan 2009, rekan-rekan di laboratorium data processing, rekan-rekan ITK FPIK IPB mulai dari angkatan 43 sampai 46, terima kasih banyak atas masukan (saran dan kritik). 9. Keluarga besar BARISTAR SQUAD, BARISTAR 2011/2012, Partai Hikmah dan anak PONDOK MALEA, terima kasih hari-harimu untukku, i love you. 10. Kedua orang tua, keluarga besar, saudara di Marangkayu dan bubuhan putri Karangmalennu di Sangatta.

13 xii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1982 di Marangkayu sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Hamsah Mahmud dan Wardah. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SDN 98 Batukaropa Tahun 1996, melanjutkan sekolah ke SMPN 03 Bontomanai, lulus Tahun Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan Tahun 2002 di Madrasah Aliyah Negeri 02 Tanete. Penulis melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi pada tahun 2002, pada program studi Ilmu Kelautan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, lulus pada tahun 2006 dengan gelar strata satu (S1). Pada tahun 2007 penulis diangkat sebagai asisten staf pengajar di program studi Ilmu Kelautan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Kutai Timur. Pada tahun yang bersamaan bekerja pada Yayasan Maritim Borneo (YMB) Kutai Timur, sebagai sekretaris. Pada tahun 2009, penulis ditugaskan melanjutkan pendidikan strata 2 (S2) yang didanai oleh Direktoral Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) melalui Kordinator Perguruan Tunggi Swasta (KOPERTIS XI) pada program pascasarjana Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul, Kajian Fluks Nutrien dan Kandungan Klorofil-a serta Kaitannya dengan Proses Percampuran (Mixing) di Dewakang Sill, Selatan Selat Makassar, Sulawesi Selatan.

14 xiii DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN...iii DAFTAR ISI...xiii DAFTAR GAMBAR...xv DAFTAR TABEL...xv LAMPIRAN...xvii PENDAHULUAN...1 Latar Belakang...1 Rumusan Masalah...4 Tujuan...7 Manfaat Penelitian...7 TINJAUAN PUSTAKA...8 Oseanografi Selatan Selat Makassar...8 Sill dan Slope Region...10 Percampuran (Mixing)...13 Suhu...16 Salinitas...17 Densitas...18 Fluks Nutrien...19 Klorofil-a dan Produktivitas Perairan...20 METODE PENELITIAN...24 Lokasi dan Waktu...24 Alat dan Bahan...25 Metode Pengambilan Data...25 Data Fisik Perairan...25 Data Kontur Kedalaman...26 Data Nutrien...27 Data Krolofil...28 Analisis Data...29 Sebaran Menegak dan Melintang Suhu dan Salinitas...30

15 xiv Percampuran (Mixing)...31 Frekuensi Apung (Bouyancy Frequency)...31 Bilangan Richardson (Ri)...32 Difusi Eddy Vertikal (K z )...32 Fluks Nutrien...34 Hubungan Klorofil-a dan Nitrat...35 HASIL DAN PEMBAHASAN...36 Deskripsi Topografi Selatan Selat Makassar...36 Profil Pelapisan Massa Air...37 Sebaran Melintang Suhu...37 Sebaran Melintang Salinitas...40 Identifikasi Jenis Massa Air...44 Arus Melintang Perairan Selatan Selat Makassar...46 Proses Percampuran Massa Air...50 Frekuensi Apung (N 2 )...50 Shear Arus Vertikal (S 2 )...52 Bilangan Richardson (Ri)...54 Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (K z )...56 Variasi Turbulensi Fluks Nutrien...61 Korelasi Nutrien Terhadap Kandungan Klorofil-a...66 KESIMPULAN...71 Kesimpulan...71 Saran...72 DAFTAR PUSTAKA...73 LAMPIRAN...78

16 xv DAFTAR TABEL Halaman 1 Lokasi data CTD Lokasi data SADCP Karakter aliran massa air Selatan Selat Makassar dan sekitarnya berdasarkan Stasiun pengamatan Nilai rata - rata difusi vertikal eddy (K z ) dengan densitas (σ o ) Rata - rata K z berdasarkan nilai shear arus vertikal (S 2 )...60

17 xvi DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema kerangka pemikiran Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008) Simulasi jalur aliran nitrogen dalam lapisan atas perairan pada ekosistem (Bahamon, 2003) Peta lokasi/stasiun penelitian di perairan Selatan Selat Makassar Diagram alur pengolahan data Bentuk kontur topografi dasar sepanjang perairan Selatan Selat Makassar (satelit USGS, etopo 2) Profil suhu perairan Dewakang Sill secara melintang berdasarkan data CTD 38 8 Profil melintang salinitas perairan Dewakang Sill berdasarkan data CTD Diagram TS Selatan Selat Makassar berdasarkan titik pengamatan (a). Hasil pembesaran kotak hijau pada Gambar (b) massa air NPSW dan (c) massa air NPIW Penampang melintang kecepatan arus komponen U (m s -1 ) Penampang melintang kecepatan arus komponen V (m s -1 ) Profil distribusi melintang frekuensi apung (N 2 ) berdasarkan data CTD Profil vertikal shear arus (S 2 ) perairan Selatan Selat Makassar Profil distribusi melintang bilangan Richardson perairan Selatan Selat Makassar Profil koefisien difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo) perairan Selatan Selat Makassar Profil Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (K z ) berdasarkan nilai shear (S 2 ) arus perairan Dewakang Sill Grafik fluks nitrat vertikal (µg-a m 2 s -1 ) berdasarkan difusi vertikal eddy (K z ) dari densitas (σ o ) Grafik fluks nitrat vertikal (µg-a m 2 s -1 ) berdasarkan difusi vertikal eddy (K z ) dari shear arus (S 2 ) a) Profil distribusi melintang kandungan klorofil-a perairan Dewakang Sill b) rata-rata (solid) dan rata-rata +/- standard deviasi (dashed) profil gradien klorofil dari data Roxcete CTD Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan K z densitas (σ o ) Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan K z dari shear arus vertikal...69

18 xvii LAMPIRAN Halaman 1 Rata-rara ± standar deviasi (dashed) profil gradien nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) dari data Roxette CTD Grafik vertikal suhu dan salinitas Perairan sepanjang Stasiun pengamatan Selatan Selat Makassar Profil vertikal Thorpe displacement (d) berdasarkan nilai densitas (σ o ) terhadap kedalaman (m) Diagram alir pengolahan param fisik dari CTD dengan perangkat lunak ODV 82 5 Fluks nutrien berdasarkan estimasi difusi vertikal eddy (K z ) dari shear arus (S 2 ) Spesifikasi instrumen alat sampling dan rekaman data...84

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Dasar laut Indonesia merupakan bagian dari Laut Mediterania Australasia yang memiliki rangkaian topografi yang paling rumit, dengan serangkaian cekungan yang sangat dalam dengan interkoneksi yang sangat terbatas sehingga masing-masing cekungan dicirikan oleh berbagai air bawah tersendiri. Sirkulasi dan pembaruan massa air yang terjadi sepanjang musim dengan stabilitas kolom perairan yang kuat, sehingga perpindahan massa air yang lambat sangat tergantung dari laju masukan massa air di atas ambang (sill). Keberadaan ambang menunjukkan adanya perbedaan antara karakter massa air di Samudra Pasifik dan massa air di pulau-pulau Selatan Indonesia atau utamanya di Samudra Hindia. Aktivitas arus pasang surut yang terjadi di sepanjang sisi sill dan slope merupakan fenomena yang sangat kuat, mengakibatkan terjadinya turbulensi (Tomczak dan Godfrey, 2002). Selain itu adanya pengaruh musiman di wilayah ini yang juga berperan dalam kontrol sirkulasi dan pembaruan massa air melalui konveksi. Proses percampuran yang terjadi di laut dalam skala kecil dan besar secara umum dapat ditelaah dengan mempelajari dinamika dan karakteristik dari beberapa param oceanografi terkait. Percampuran massa air terjadi akibat adanya perbedaan densitas yang dapat digambarkan oleh kondisi suhu, salinitas, dan kedalaman. Secara global suhu dan salinitas lautan mencirikan massa air pada perairan yang berbeda, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Korelasi antara suhu dan salinitas di suatu perairan dapat menjadi acuan dalam mengamati asal-usul, penyebarannya, terbentuknya pelapisan, dan proses percampuran massa air secara temporal dan spasial. Menurut Ross (1970) bahwa meningkatnya densitas suatu perairan merupakan akibat meningkatnya salinitas, tekanan, dan penurunan nilai suhu. Peranan suhu dan salinitas, membentuk stratifikasi densitas perairan yang disebut sebagai lapisan piknoklin, menunjukkan peningkatan densitas seiring bertambahnya kedalaman. Tiap lapisan bentukan dari stratifikasi suhu dan

20 2 salinitas memiliki ketebalan densitas yang berbeda, oleh Wyrtki (1960) mengatakan perbedaan ketebalan lapisan densitas perairan dipengaruhi proses dinamika perairan. Kondisi lautan yang mengalami ketidakstabilan membawa fluida dalam proses percampuran dikelompokkan ke dalam dua bagian (Stewart, 2003), yaitu stabilitas statik sebagai perubahan densitas terhadap kedalaman sedangkan stabilitas dinamik sebagi shear kecepatan dan double-diffution yang berkaitan dengan gradien salinitas dan suhu lautan. Pergerakan massa air yang diakibatkan oleh variasi aliran turbulen dapat membentuk percampuran fluida dengan fluktuasi yang sangat tinggi. Selanjutnya Stewart (2008) mengatakan bahwa percampuran massa air sering terjadi di lapisan batas seperti batas Continental Slope, di atas gunung laut dan mid ocean ridge, front, dan mixed layer di permukaan. Percampuran di lapisan internal sepanjang Slope dan Sill, menurut Emery et al. (2005), bahwa sumber energi yang paling berperan dalam proses percampuran di lapisan internal adalah aktivitas gelombang internal. Peranan frekuensi supefluid inertial, kecepatan dan perpindahan isopycnal di laut memiliki kontribusi terhadap gelombang internal dan turbulensi (Klymak dan Moum, 2007). Dinamika dari proses percampuran tersebut terbentuk ketika aktivitas gelombang internal mengalami kondisi pecah (breaking). Selain fenomena gelombang internal, percampuran internal juga terjadi melalui mekanisme vertikal shear (tegangan menegak) sebagai pembentuk turbulensi. Faktor pemicu utama dari vertikal turbulensi oleh Bowden (1960); Hill et al. (1962) dalam Khaira (2009), adalah efek gesekan dasar laut terhadap arus. Pada kemiringan dasar Slope dan Sill, proses percampuran tidak didominasi oleh turbulensi melalui gesekan, tetapi adanya pengaruh restratifikasi gaya apung yang menciptakan kondisi lingkungan yang sangat beragam. Sirkulasi dan pergerakan massa air dari Samudra Pasifik yang melewati beberapa selat di bagian utara perairan Indonesia menuju ke Samudra Hindia yang juga melewati beberapa selat utama di bagian selatan perairan Indonesia. Massa air yang bergerak dari utara dan barat Samudra Pasifik masuk ke perairan Indonesia dengan kondisi massa air yang hangat, dan sebagai penciri dari massa

21 3 air tropis. Pasokan massa air mengalami pergerakan dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia terjadi sebagai akibat adanya perbedaan gradien tekanan di kedua samudra tersebut. Menurut Rochford (1969) dalam Bakti (1998) mengatakan bahwa perairan tropis memiliki ciri dengan suhu (>27 o C), salinitas (<34.5 psu), dan oksigen terlarut (>4.0 ml/l). Massa air tersebut banyak dipengaruhi oleh intrusi massa air dari daratan melalui limpasan air tawar (run-off) dan curah hujan musiman sepanjang tahun. Sebelum mencapai Samudra Hindia massa air tersebut melewati beberapa selat dengan topografi yang bervariasi. Aliran massa air yang melewati selat dengan kedalaman yang relatif dangkal dengan kemiringan slope yang relatif berbeda dan terdapatnya beberapa zona-zona gunung laut atau yang disebut sebagai sill, yang berkontribusi sebagai penghalang pergerakan dan memberi respon yang berbeda terhadap dinamika aliran di perairan tersebut. Keberadaannya mencirikan karakteristik massa air akibat adanya kolam-kolam yang menampung dan menghambat pergerakan massa air secara lokal. Proses stratifikasi massa air di daerah ini disebabkan oleh adanya perbedaan densitas. Adanya perbedaan densitas dapat menciptakan percampuran, baik secara vertikal atau horisontal yaitu terjadi stratifikasi berdasarkan kedalaman. Hal ini menurut Ffield (1994) menyebabkan adanya perubahan jumlah bahang, kadar garam, dan momentum massa air. Proses pelapisan atau stratifikasi massa air menurut Stewart (2003) dipengaruh oleh perbedaan suhu, salinitas dan densitas lautan. Stratifikasi vertikal sangat ditentukan oleh nilai stabilitas vertikal dengan menguji gradien densitasnya secara vertikal. Hubungan antara densitas massa air dan pergerakan vertikal massa air, berupa pergerakan vertikal fluida (Pond dan Pickard, 1983). Selanjutnya menurut Xing dan Davies (2007) dalam perhitungannya mengunakan model hidrostatik dengan konveksi buatan terjadi percampuran vertikal yang signifikan. Lane-Serff (2004) menjelaskan bahwa gambaran dari topografi sepanjang selat di daerah sill dan daerah slope termasuk sisi saluran dan hilir dari sill, kelengkungan saluran dan pelebaran saluran memberi dampak penting pada karakteristik aliran dan percampuran massa air. Hal ini akibat adanya aliran massa air yang mengalir terbatas oleh luasan atau kedalaman selat, sehingga tekanan dari arus lebih kencang jika dibandingkan dengan laut terbuka. Selanjutnya dikatakan

22 4 bahwa selain fenomena aliran arus, karaktristik massa air di daerah ini memiliki densitas yang berbeda, dan fenomena pelapisan massa air oleh topografi. Fenomena pencampuran massa air secara vertikal mengakibatkan adanya fluks nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (eufotik). Konsentrasi nutrien di permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan bawahnya. Menurut Matsura et al. (1979) dalam Tubalawony (2007) mengatakan bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat dengan menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan mulai menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada lagi klorofil-a pada lapisan di bawah termoklin. Selanjutnya menurut Menzel dan Ryther (1960); Eppley dan Peterson (1979); Bahamon et al. (2003) mengatakan bahwa penyebaran nitrogen ke atas diatur oleh densitas air dan konsetrasi nitrat berkontribusi dalam mengontrol distribusi spasial dari fitoplankton. Analisis perhitungan biomassa fitoplankton suatu perairan dapat dilakukan melalui pengukuran konsentrasi klorofil-a. Hal ini dikarenakan klorofil-a merupakan salah satu pigmen penting dalam proses fotosintesis pada fitoplankton. Dengan demikian sangat penting artinya mengukur nilai konsentrasi klorofil-a dan sebarannya untuk mengetahui ketersediaan fitoplankton, yang pada akhirnya dapat melihat tingkat kesuburan suatu perairan di zona sill dan slope. Nilai klorofil maksimum tidak selalu berada di dekat atau di atas permukaan, tetapi terkadang berada lebih dalam di bawah daerah eufotik (Parson et al., 1984 dalam Bahamon at el., 2003). Rumusan Masalah Dinamika massa air dan interaksinya dengan kontur dari sill dan slope yang membentuk proses hidrografi yang kompleks dengan menurunnya daya apung dan gelombang internal pecah (breaking) berperan dalam proses percampuran secara vertikal. Adanya pengaruh dari aktivitas percampuran vertikal dan gradien difusi vertikal dari densitas (pycocline) mengakibatkan terbentuknya fluks dari nutrien dan laju fluktuasi nutrien mengontrol kandungan klorofil-a. Pada penelitian ini fokus untuk menelaah proses percampuran (mixing),

23 5 menganalisa profil vertikal param fisik utama massa air, penyebaran vertikal dari nitrat (NO 3 ), dan menganalisa kandungan klorofil-a. Untuk menelaah peranan dari proses percampuran (mixed) dengan mempelajari dinamika pergerakan massa air yang terjadi di daerah sill dan slope lautan yang dipengaruhi oleh pola salinitas, suhu, tekanan, dan densitas, sehingga dapat ditentukan bagaimana karakteristik massa air secara horizontal dan vertikal pada daerah tersebut. Keberadaan dari kontur topografi yang berbeda diharapkan dapat memberi gambaran bagaimana proses fisik yang terjadi di dasar, yang mengakibatkan percampuran sebagai indikasi dalam pendekatan adanya fluks nutrien di lapisan dalam dan lapisan termoklin, yaitu melalui difusi nutrien secara vertikal. Seberapa besar pengaruhnya dalam transport nutrien dari lapisan dalam hingga mencapai lapisan eufotik. Pendekatan ini untuk menjawab efek antara topografi dan proses-proses fisik di dalamnya terhadap pola fluks nutrien secara vertikal dan selanjutnya korelasi antara nilai fluks nutrien dengan kandungan krolofil-a. Nilai fluks vertikal dengan menganalisa nilai frekuensi apung dan nilai shear arus selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai difusivitas vertikal. Nilai difusivitas vertikal digunakan dalam menghitung laju fluks nutrien vertikal selanjutnya dikorelasikan dengan jumlah konsentrasi klrofil-a terhadap kedalaman. Kandungan klorofil-a selanjutnya digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi organik di suatu perairan serta merupakan salah satu param yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Jumlah dari kandungan klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Data pokok dan informasi yang dibutuhkan yang mencakup nilai param fisik (salinitas, suhu, dan densitas kedalaman) secara horizontal dan vertikal, data kecepatan arus dan besarnya volume massa air secara melintang, data nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) berdasarkan kedalaman standar pengambilan sampel, data klorofil secara horizontal dan vertikal, dan data batimetri daerah selat untuk melihat kontur dari sill dan slope.

24 6 Kerangka Pemikiran Secara singkat kerangka berpikir dalam pendekatan masalah dari proses penelitian mengenai kajian fluks nutrien dan kosentrasi klorofil-a serta kaitannya dengan proses percampuran (mixing) di daerah Slope dan Sill, seperti disajikan pada Gambar 1 di bawah ini. Wilayah Slope Wilayah Sill Karakter Massa Air Salinitas Suhu Densitas Arus Frekuensi Brunt-Vaisala Difusi Turbulensi Mixing Flux Nutrien (NO 3 ) Kandungan Krolofil-a Produktifitas Primer Sill Dan Slope Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

25 7 Tujuan Berdasarkan pemaparan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengkaji profil suhu salinitas perairan, profil kecepatan komponen arus (u dan v), dan kalkulasi besaran nilai shear arus secara vertikal di daerah sill dan slope. b. Mengkaji percampuran massa air sebagai pengaruh interaksi proses fisik dengan kontur dasar terhadap frekuensi apung (Brunt-Vaisala), dan difusi vertikal di daerah selat (sill dan slope). c. Mengkaji variasi sebaran nutrien secara vertikal dan kandungan klorofil-a di perairan selat (sill dan slope). d. Menganalisis nilai fluks nutrien vertikal dan keterkaitannya dengan konsentrasi klorofil-a dengan gradien kedalaman di Selat (sill dan slope). Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini secara harfiahnya sebagai bagian dari pengabdian di dunia pendidikan diharapkan memberi manfaat di antaranya sebagai berikut : a. Memberi pembaruan, pelengkapan dan penambahan informasi yang telah ada sebelumnya b. Menjadi informasi bagaimana kondisi dasar perairan Indonesia pada suatu daerah dan peranannya terhadap dinamika massa air serta keterkaitannya terhadap produktivitas perairan Indonesia dan laut secara global. c. Menjabarkan profil stratifikasi lapisan massa air dan peran arus lintang dengan dinamikanya terhadap topografi Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill di lautan Indonesia yang menjadi dasar pembelajaran perkembangan perubahan iklim dunia. d. Menjelaskan efek percampuran massa air yang terbangkitkan oleh topografi sill dan slope terhadap konsentrasi nutrien dalam perairan yang menjadi indikator kesuburan perairan.

26 8 TINJAUAN PUSTAKA Oseanografi Selatan Selat Makassar Secara umum massa air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Samudra Pasifik bagian utara dan selatan bergerak menuju Samudra Hindia. Perairan Selat Makasar dan Laut Flores dominan dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik Selatan. Massa air yang mengalir melewati perairan Indonesia oleh (Gordon et al.,1994) melalui dua jalur utama, yaitu: 1. Jalur barat, massa air mengalir melalui Laut Sulawesi dan lapisan dalam Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Samudra Hindia sedangkan sebagian besar lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Samudra Hindia melalui Selat Ombai dan celah Laut Timor (Timor passenge) 2. Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda. Massa air dari Laut Banda akan mengalir mengikuti dua rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan celah Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia. Menurut Wyrtki (1961) perairan Timur Indonesia memiliki tipe massa air yang dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu : a) North Pacific Subtropical Water (NPSW) Massa air North Pacific Subtropical Water yang berada di Maluku, Laut Sulawesi dan melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores. South Pacific Subtropical Water - SPSW yang melewati Laut Halmahera dan masuk ke Laut Seram dan menyebar hingga ke Laut Banda dan Arafura. North Pacific Subtropical Water Samudra Hindia pada musim barat hanya ditemukan di Laut Sawu dan Laut Timor. b) North Pacific Intermediate Water (NPIW)

27 9 Massa air North Pacific Intermediate Water terbawa oleh arus Mindanao memasuki Laut Sulawesi melewati Selat Makassar hingga ke Laut Flores, kemudian massa air ini menyebar ke Laut Banda bagian selatan dan masih ada sisa-sisanya yang terlihat di celah Laut Timur dan celah Laut Arafura. c) Deep Water Massa air Deep Water berasal dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia dengan laju massa air yang lambat karena melewati cekungan Indonesia. Berdasarkan hasil observasi dan pemodelan menurut Umasangaji (2006) mengindikasikan bahwa sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar (kedalaman sill 650 m). Selanjutnya kontribusi Arlindio dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat Lifamatola (kedalaman sill 1940 m), Arlindo bergerak ke luar menuju bagian timur Samudera India melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m). Berdasarkan musim, Perairan Indonesia yang berlaku dua musim, yaitu musim timur (Southeast Monsoon - SEM) dan musim barat (Northwest Monsoon - NWM). Menurut Illahude dan Gordon (2006) menjelaskan selama musim timur (SEM) dari Agustus - September dengan kondisi perairan dingin pada lapisan dalam ( ᶿ/S) adalah psu dengan suhu 2 o C, sedangkan kondisi air permukaan hangat di Laut Seram dan Utara Banda ( ᶿ/S) dengan gradien salinitas 0.4 dengan suhu 26 o C dan perairan Makassar adalah 29 o C. Laut Timor memiliki suhu yang lebih dingin di lapisan dalam meningkat 4 o C (1400 m) yang berasal dari Samudra Hindia, sedangkan di Laut Maluku dengan suhu 6 o C merupakan karakteristik air dari Antarctic Intermediate Water melalui lapisan dalam Utara Pasifik. Pada musim barat (NWM) dengan ciri suhu permukaan rata-rata lebih hangat pada 3 o C jika dibandingkan dengan musim timur. Kondisi salinitas perairan berkisar antara psu, diman salinitas permukaan Laut Banda lebih tinggi, sedangkan Selatan Makassar yang lebih rendah (31.1 psu) dan mencapai 35.1 psu di Laut Timor. Jenis massa air dari NPSW dengan S max pada

28 10 musim timur lebih rendah 0.2 yang dilemahkan oleh musim barat. Pada saat bersamaan dengan Berkurangnya S max pada aliran Arlindo terlihat percampuran vertikal yang kuat pada musin barat. Suplai massa air dari Laut Jawa (Java Sea Water - JSW) terhadap pengenceran, fluks bahang dan air tawar di South Equatorial Current Samudra Hindia oleh Atmadipoera et al., (2009) menjelaskan kontribusi massa air JSW pada lapisan permukaan dengan salinitas yang lebih tawar yang melemahkan kontribusi massa air NPSW dilapisan termoklin. Massa air JSW digerakkan ke sisi timur perairan oleh arus muson permukaan dikarenakan percampuran diapycnal yang kuat. Massa air ini keluar ke Samudra India melalui Selat Lombok, Ombai dan Timor dengan phase lag antara satu dan lima bulan, sehingga salinitas tawaar di permukaan dan termoklin di Samudra Hindia bagian timur dimukan di awal musim timur antara bulan April dan akhir bulan September. Sill dan Slope Region Topografi atau bentuk dasar laut dapat dibagi ke dalam batuan utama, relief-relief menengah, dan mikro relief (Neumonn dan Pearson, 1966). Relief utama membedakan antara abysal dan daratan tinggi, pegunungan bawah laut, pegunungan isolat, dan trences laut dalam (Shipek, 1961 dalam Neumonn dan Pearson, 1966), fitur ini diukur secara horisontal dipuluhan dan ratusan kilom atau lebih, dan secara vertikal dalam ribuan m. Relief menggambarkan antara fitur seperti bukit, lembah, saluran, tanggul, selokan, bank, dan jurang yang menjadi bagian dari relief bantuan. Topografi membagi kedalaman ambang kritis yang mengatur pertukaran massa air antar-cekungan dalam laut Indonesia yang dapat diperkirakan dengan membandingkan profil suhu di kedua sisi topografi barrier. Kedalaman Sill utama antara Laut Utara Pasifik dan laut dalam Indonesia (Gordon et al. 2003) adalah: 1. Sangihe Ridge membentang dari Sulawesi Mindanao, yang membatasi akses air yang mendalam untuk Laut Sulawesi dan Selat Makassar; 2. Laut Halmahera dengan kedalaman Sill mengendalikan akses air Pasifik Selatan ke Laut Indonesia ; dan 3. Lifamatola Passage, yang menghubungkan Laut Maluku ke Laut Seram.

29 11 Profil dasar laut seperti disajikan pada Gambar 2, secara umum menggambarkan lantai dasar utama lautan yang termasuk di antaranya berupa gunung bawah laut, parit, busur pulau, dan cekungan. Berdasarkan ketetapan Biro Hidrografi Internasional (1953), dan pendefinisian berdasarkan dari Sverdrup, Johnson, dan Fleming (1942), Shephard (1963), dan Dietrich et al., (1980 ) dalam Stewart, 2008) menetapkan nama dan penjelasan dari bentuk dasar lautan. 1) Basin yang merupakan kolam-kolam terdalam dari dasar lautan memiliki bentuk lebih kurang seperti lingkaran atau oval. 2) Canyons (Ngarai) yang relatif sempit, alur-alur yang dalam dengan lereng curam, memotong di landasan kontinen dan lereng, dengan dasar miring terus ke bawah. 3) Continental shelves adalah zona yang berdekatan dengan benua (atau sekitar pulau) dan membentang dari batas air terendah dengan kedalaman biasanya sekitar 120 m, dimana ada tanda atau lebih tepatnya lereng yang curam ke kedalaman yang besar. 3) Continental Slopes adalah declivities ke arah laut dari tepi ke yang lebih mendalam. 4) Plains yang datar, landai atau daerah tingkat hampir dari lantai-laut, seperti dataran abisal. 5) Long Ridges, berupa peningkatan lantai-laut yang sempit dengan sisi yang curam dan topografi kasar, dan 6) Seamounts yang terisolasi atau relatif terisolasi dengan ketinggian 1000 m atau n lebih tinggi dari dasar laut dan dengan puncak wilayah kecil. 7) Sills adalah bagian rendah dari punggung memisahkan cekungan laut dari satu sama lain atau dari dasar laut yang berdekatan. 8) Trenches adalah parit panjang, sempit, dan depresi mendalam dari dasar laut, dengan bagian samping yang relatif curam.

30 12 Gambar 2. Skematis utama dari gambar dasar laut (Stewart, 2008). Roberts dan Wood (1979) dalam simulasinya yang memodifikasi topografi di Ridge Greenland-Skotlandia. Mereka menemukan bahwa perubahan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap lokasi pembentukan massa air, transportasi massa air yang besar di atas punggung bukit dan transportasi panas ke lintang tinggi. Kehadiran ambang (sill) mempengaruhi pertukaran antara laut marjinal dan laut terbuka, dan memiliki dampak pada pembentukan air lebat yang terjadi di laut marjinal. Walin et al. (2004) menemukan bahwa kedalaman ambang mengatur volume dan transportasi panas antara dua cekungan, jika ambang lebih besar transportasi juga besar. Batas aliran kedalaman ambang ke dalam kolom air dingin dan bahwa ini adalah aliran baroklinik berubah menjadi lereng (slope) barotropik saat ini sementara mengelilingi cekungan. Secara eksplisit peran dinamis ambang merupakan kelas marjinal laut konvektif yang terpisah dari cekungan laut besar seperti fitur topografi (Stewart, 2003). Keberadaan sill dengan kontur yang dangkal menunjukkan laju eksposur pergerakan arus yang sangat kuat, berdasarkan hasil analisa kesetimbangan nilai transportasi beberapa titik arus oleh Gordon et al. (2003) menunjukkan bahwa arus Dewakang Sill antara Sv dengan kedalaman 680 m menyebabkan pasokan massa air ke laut Flores berkurang. Kedalaman suatu sill sangat efektif diamati berdasarkan dengan metode termodinamik dengan menggunakan perbandingan param suhu, salinitas dan konsentrasi oksigen pada kedua sisi pada punggung sill. Berdasarkan eksperimen numerik pada dua dimensi non hidrostatik

31 13 pada Dewakang Sill menurut Hatayama (2004) menunjukkan bahwa gelombang internal dari komponen M2 pasang surut yang dominan di wilayah sill dengan amplitudo yang cukup besar menciptakan percampuran vertikal yang kuat yang menyebabkan difusivitas vertikal maksimal mencapai nilai 6 x 10-3 m 2 s -1. Melalui eksperimen model Arlindo oleh Conkright et al. (1998) dan Gordon et al. (2003) mengamati proses pertukaran massa air vertikal antara lapisan terbuka permukaan dan massa air dalam kolom cekungan sill melalui mekanisme percampuran vertikal dengan melibatkan pengaruh sill, dimana suhu potensial dan densitas dibuat lebih ringan di lapisan dalam dari intrusi massa air permukaan. Densitas massa air yang terakumulasi di dalam cekungan dengan lapisan yang mengalami pendinginan atau penguapan akan bergerak dan mengalir di atas ambang (sill). Peranan ambang (sill) dalam mengatur pertukaran massa air dalam suatu perairan menurut Gordon et al. (2003) dapat diperkirakan dengan membandingkan profil suhu di kedua sisi batas topografi, yang disebut thermometric depth. Selain suhu juga dapat di perkirakan dengan salinitas atau oksigen, tetapi secara umum profil dari suhu memiliki jangkauan yang lebih dinamis dan memberi perkiraan yang terbaik tentang kedalaman. Percampuran (Mixing) Massa air laut yang dinamik bergerak dalam aliran turbulen, gerak dari turbulensi dengan karakteristik yang berbeda dan menyebabkan percampuran fluida yang besar. Dominansi dari difusi turbulen dalam proses percampuran yang terjadi di laut dikarenakan adanya gradien suhu, salinitas, nutrien dan gas terlarut. Menurut Tomzack dan Godfrey (2000) massa air yang dicirikan dengan karakteristik suhu dan salinitas terjadi oleh proses di permukaan di suatu tempat, dimana terjadi pergerakan lemah dan percampuran dengan massa air lain pada saat air tersebut mengalir. Analisis pergerakan massa air akan membantu dalam mengetahui sirkulasi laut dalam. Menurut Illahude (1999) pada umumnya penyebaran salinitas dunia di lapisan di bawah permukaan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu pembentukan massa air (formation of water mass) dan proses percampuran (mixing) karena peredaran (circulation) dan turbulensi. Menurut Stewart (2008) bahwa kondisi

32 14 fluida yang tidak stabil di lautan dapat mengalami percampuran. Terdapat dua jenis instabilitas di laut, yaitu instabilitas statik dan dinamik. Intabilitas statik berkaitan dengan perubahan densitas terhadap kedalaman, sedangkan instabilitas dinamik yang berkaitan dengan kecepatan dan shear arus dari suhu, salinitas dan densitas dengan gradien fluida bertingkat. Percampuran vertikal memerlukan energi yang besar dibandingkan percampuran horizontal. Menurut Stewart (2008) bahwa semakin besar frekuensi stabilitas maka semakin besar pula energi yang dibutuhkan untuk percampuran vertikal. Percampuran vertikal sepanjang permukaan dengan densitas konstan sangat penting karena dapat merubah struktur dari laut dalam akhirnya dapat mencapai permukaan dari lapisan tengah juga lapisan di bawahnya. Sumber energi yang paling berperan dalam percampuran internal adalah gelombang internal (Emery et al., 2005), ditambahkan oleh Stewart (2008) mengatakan bahwa mekanisme dari percampuran internal adalah vertikal shear berupa kecepatan yang dapat menghasilkan turbulensi. Mekanisme lain dari proses percampuran internal adalah gesekan (shear) vertikal, yang diartikan jika kecepatan berubah menurut kedalaman dalam suatu perairan yang stabil, berstratifikasi, menyebabkan aliran tidak stabil apabila perubahan kecepatan berdasarkan kedalaman dan perbedaan kecepatan arus cukup besar. Hatayama (2004) menjelaskan bahwa percampuran vertikal dengan menekankan pada sifat massa air Arlindo disebabkan oleh gelombang internal, yang terjadi adanya interaksi antara gundukan di wilayah ambang (Sill) dengan pasang surut. Difusifitas vertikal oleh percampuran yang kuat di wilayah ambang Dewakang dapat mencapai nilai maksimal 6 x 10-3 m 2 s -1 dengan salinitas maksimum dan karakteritik lapisan inti termoklin Arlindo yang lemah. Implikasi dari gelombang dan massa air yang terjebak di wilayah ambang menginduksi adanya perpindahan vertikal yang besar sekitar 60 m selama satu priode pasang surut M2 yang dominan. Banyak pencampuran di Laut Indonesia diduga terjadi pada situs-situs yang memiliki intensivitas pencampuran, dimana fluida tercampur mengalir dari lapisan yang sesuai dengan densitasnya. Beberapa pengukuran dan percobaan numerik menjelaskan bahwa pencampuran sangat bervariasi di Laut Indonesia

33 15 dengan peningkatan yang jelas di wilayah sill dan slope (Hatayama 2004). Aktivitas percampuran yang sangat kuat baik secara vertikal dan horizontal terjadi di perairan Indonesia menurut Ffield dan Gordon (1992); Ffield (1994) serta Hautala et al. (1996) menegaskan bahwa massa air dari Arlindo akan melewati beberapa hambatan topografi perairan berupa ambang (sill) seperti pada beberapa selat. Kondisi topografi ini menjadi kontrol terhadap laju difusi turbulensi vertikal yang bervariasi dan memiliki ketinggian maksimal pada lokasi berbeda. Kekuatan percampuran yang terjadi dipengaruhi oleh variabilitas bentuk dasar perairan, kekuatan aliran, stabilitas massa air, interaksi proses fisik pada massa air berupa turbulensi, gelombang internal, dan pasang-surut internal. Interaksi antara proses fisik dan topografi dasar perairan di daerah selat menurut Gordon (1994) dan Ffield (1994) dapat mengakibatkan terjadinya fluks massa air berupa bahang (energi), partikel garam, nutrien, dan momentum secara vertikal dan horizontal. Berdasarkan hasil pengamatan Jayne et al., (2004) mengatakan bahwa sebagian besar pencampuran terjadi breaking dari gelombang internal dan akibat gesekan (shear) di dasar laut (sepanjang lereng benua, dan di atas dan sekitar seamounts, dan campuran lapisan di permukaan laut). Sebagian besar pencampuran dalam lautan didorong oleh arus pasang surut, yang menjadi turbulen ketika mereka melewati hambatan dasar aliran di laut, termasuk pegunungan tengah laut. Munk dan Wunsch (1998) menjelaskan bahwa difusi turbulensi panas/bahang di lintang rendah menyediakan energi potensial yang mengerakkan siklus meridional dalam skala besar. Peranan percampuran secara global yang di sebabkan oleh aktivitas gelombang internal, yaitu sebagai pengangkut bahang, nutrien, gas terlarut, dan control pertukaran dari lapisan dalam ke permukaan. Percampuran turbelensi dalam lautan secara umum tidak merata/seragam, namun menurut (Simmons et al., 2004), telah terbukti merata dalam ruang dan waktu, yang pada gilirannya berdampak pada pola produktivitas biologis dan sirkulasi lautan. Mekanisme dari proses pembentukan pelapisan massa air menurut Laevastu dan Hela (1970) mengatakan bahwa beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya lapisan tercampur (mixing depth) serta di lapisan

34 16 termoklin dikarenakan adanya pengalihan bahang, percampuran oleh aktivitas gelombang, percampuran massa air secara horizontal, dan pengaruh gelombang dalam (internal wave). Peralihan bahang menyebabkan terjadinya proses pembentukan lapisan termoklin musiman, lapisan termoklin sesaat (transient), dan berpengaruh pada kedalaman lapisan termoklin. Pergerakan massa air secara horizontal (adveksi) mengakibatkan hilangnya lapisan sesaat (transient) dan mempengaruhi ketajaman pada lapisaan termoklin serta kedalaman tercampur mempengaruhi struktur lapisan termoklin dan gradien salinitas oleh aksi gelombang. Proses pelapisan sebaran vertikal densitas kaitannya dengan suhu dan salinitas serta proses-proses yang berkontribusi terhadap stratifikasi suhu dan salinitas. Faktor seperti pola sirkulasi massa air, penguapan, curah hujan dan intrusi aliran sungai oleh Wyrtki (1962) merupakan faktor terbentuknya pelapisan dan sebaran vertikal salinitas. Menurut Sverdrup et al. (1942) bahwa proses percampuran secara vertikal (vertical mixing) dan proses pengangkatan massa air (upwelling) berpengaruh terhadap sebaran vertikal densitas dan kondisi pelapisannya. Selain itu pelapisan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi musiman. Adanya hubungan antara sebaran densitas secara vertikal dan pengaruhnya terhadap pergerakan massa air (Pond dan Pickard, 1983) mengatakan bahwa jika suatu fluida ringan (nilai densitas kecil) berada di atas fluida berat (nilai densitas besar), maka tidak akan ada kecenderungan massa air bergerak secara vertikal. Sebaliknya, jika fluida berat berada diatas fluida ringan, maka ada kecenderungan pergerakan massa air secara vertikal yaitu dengan turunnya massa air yang digantikan oleh massa air yang ringan di bawahnya. Sebaran massa air dapat dianalisa berdasarkan tiga komponen utama (suhu, salinitas, dan densitas). Ketiga komponen ini digunakan untuk menelaah fenomena yang terjadi dalam perairan, seperti sumber dan pergerakan massa air serta pola stratifikasinya. Suhu Stewart (2008) mengatakan bahwa penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk zona berdasarkan letak lintang. Semakin mendekati garis

35 17 Khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan meningkat, sebaliknya suhu akan semakin menurun saat mendekati kutub (lintang tinggi). Secara vertikal suhu di lautan di bagi menjadi tiga zona (Richard dan Davis, 1991) yaitu : 1. Lapisan permukaan (homogeneous layer) yang merefleksikan suhu rata-rata tiap lintang 2. Lapisan termoklin (thermocline layer) 3. Lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap lintang Lapisan permukaan atau lapisan homogen yang terbentuk karena pengadukan massa air oleh angin, arus, pasang surut. Pada laut tropis yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis, pengadukan dapat mencapai kedalaman m dengan suhu o C dan gradien tidak lebih dari 0.03 o C/m. Lapisan termoklin menurut Illahude (1999) dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan termoklin atas (main thermokline) dan termoklin bawah (secondary thermokline). Lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis menurut Gross (1990) dapat mencapai ketebalan antara m dengan gradien suhu mencapai 0.1 o C/m. Pada lapisan dalam di daerah tropis suhu mencapai 2-4 o C. Lapisan dalam (deep layer) dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan penurunan suhu yang lambat, dengan gradien suhu 0.05 o C/100 m (Illahude, 1999). Salinitas Beberapa faktor yang mempengaruhi sebaran salinitas permukaan lautan, yaitu evaporasi, presipitasi, suplai air tawar (run off), dan perubahan arus akibat pergantian musim. Pada perairan Indonesia menurut Illahude (1999) pada musim barat isohaline bergerak lebih ke timur dan pada musim timur isohaline bergerak lebih ke barat. Sebaran salinitas pada lapisan dalam lautan juga bervariasi seperti halnya dengan salinitas di permukaan. Variasi salinitas lapisan dalam lebih dipengaruh oleh proses percampuran (mixing) karena peredaran dan pembentukan massa air (formation of water masses). Secara vertikal salinitas dalam perairan dibagi ke dalam tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (homogeneous layer), lapisan haloklin (halocline layer), dan lapisan dalam (deep layer). Lapisan homogen dengan ketebalan berkisar antara m atau tergantung dari kuatnya pengadukan. Lapisan haloklin dengan

36 18 salinitas tinggi sejalan dengan bertambahnya kedalaman, lapisan ini terletak di bawah lapisan homogen hingga kedalaman antara m. Selanjunya lapisan dalam berada di lapisan bawah sampai dasar. Massa air yang didominasi massa air dari Samudra Pasifik yang melewati tiga pintu utama Arlindo (Laut Sulawesi, Laut Maluku, dan Laut Halmahera) mengalami pengenceran akibat intrusi air sungai dan tingginya curah hujan sepanjang tahun. Kondisi ini menyebabkan rata-rata salinitas di perairan tropis kurang dari 34 psu. Menurut Wyrtki (1961) pada musim timur nilai salinitas kurang dari 34 psu dan pada musim barat salinitas lebih besar dari 34. Densitas Densitas (ρ) atau massa per unit volume (Steward, 2008) dalam suatu perairan densitas dapat ditentukan nilainya dengan menghitung nilai suhu, salinitas dan tekanan. Bila suhu semakin rendah, maka densitas massa air akan meningkat. Hal ini terlihat nyata pada lapisan termoklin dimana densitas meningkat dengan cepat dan dikenal dengan lapisan pegat (discontinuity layer). Selain itu kenaikan salinitas juga dapat meningkat dengan meningkatkan nilai densitas massa air walaupun tidak sekuat pengaruh suhu. Pada lapisan pegat massa air pada lapisan atas tidak dapat bercampur dengan lapisan air di bawahnya bila gradien σ t sama besar (Wyrtki, 1961). Hubungan antara densitas dengan salinitas dan suhu (0 o C) untuk pertama yang dikemukakan oleh Knudsen (1901) dalam Neumann dan Pearson (1966). Nilai σ 0 = (ρ s.0.0 1)x 10 3 merupakan fungsi dari salinitas yang dinyatakan sebagai berikut : σ 0 = S S S 3 Perhitungan densitas dengan ketelitian memiliki ketelitian sampai lima angka dibelakang titik (.), tetapi karena perubahan nilai densitas hanya dalam dua digit, maka para ilmuan menggunakan suatu kuantitas yang disebut sebagai sigma (Σ) yang tergantung pada nilai suhu, salinitas, dan tekanan σ (s,t,p) (Steward, 2003); σ (s,t,p) = ρ (s,t,p) kg/m 3

37 19 ρ (s,t,p) adalah densitas in situ yang merupakan fungsi dari suhu, salinitas, dan tekanan. Fungsi empiris untuk menghitung sigma-t (σ t ) dari nilai sigma-0 (σ 0 ) berdasarkan perhitungan fungsi D (Forch, 1902) dalam Neumann dan Pearson (1966). Fungsi D merupakan suatu fungsi yang menyatakan efek suhu dengan σ 0 yang berbeda. Perhitungan hubungan suhu terhadap densitas yang dinyatakan dengan persmaan : σ t = σ 0 D dimana D = t (perubahan suhu), sigma-t (σ t ) merupakan nilai densitas yang dihitung pada tekanan atmosfer (p=0 dan suhu (t-0) yang dinyatakan dalam persamaan : σ t = (ρ (s,t,0) 1)x 1000, kebalikan dari nilai densitas in situ adalah volume spesifik in situ dari nilai densitas pada tekanan (P), suhu (t) dan salinitas (s) yang dinyatakan dengan persamaan : α s,t,p = Fluks Nutrien Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, tembaga, dan vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemenelemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element. Proses sirkulasi massa air mempunyai peranan penting dalam distribusi dari suatu perairan ke perairan lainnya. Proses sirkulasi ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu angin dan distribusi densitas air laut, dimana perbedaan

38 20 densitas ini sebagai hasil dari variasi suhu dan salinitas (King, 1963). Massa air yang berasal dari bawah laut relatif dingin, salinitas tinggi dan kaya nutrien. Menurut Hutabarat (1984) bahwa massa air yang berasal dari bawah kandungan oksigennya rendah, tetapi kaya nutrien, terutama nitrat dan fosfat yang berguna untuk proses fotosintesis fitoplankton. Skema aliran nitrogen dalam lapisan pelagis melalui lima bilik, dimana nitrit (NO - 2 ), Nitrat (NO - 3 ) dan amonium (NH + 4 ) diserap oleh komitas fitoplankton (Gambar 3). Gambar 3. Simulasi jalur aliran nitrogen dalam lapisan atas perairan pada ekosistem (Bahamon, 2003) Klorofil-a dan Produktivitas Perairan Laut tropik dicirikan oleh cukup tersedianya cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien yang sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan produktivitas laut tropik sangat rendah. 60% produktivitas yang ada di laut terdapat di pantai sedangkan 90% laut terbuka dari laut dunia memiliki laju produktivitas yang lebih rendah (Valiela, 1984). Selain faktor cahaya, silus musiman. Sedangkan perairan Indonesia sendiri menurut Nontji (1794) dalam Monk et al. (1979) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m 3 dan 0,16 mg/m 3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m 3 selama Musim Timur.

39 21 Menurut Tubalawony (2007) bahwa cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin. Ditambahkan oleh Matsuura et al. (1979) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin Fachruddin Syah (2009) mengatakan bahwa klorofil-a digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton dan potensi organik di suatu perairan dan merupakan salah satu param yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Menurut Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktifitas primer meningkat disekitar ekuator secara vertikal. Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan. Ketika kondisi suatu massa air dapat diketahui dengan melihat sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan nutrien. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di

40 22 perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela,1984) dalam Tubalawony (2007). Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989) dalam Tubalawony (2007) bahwa nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara m. Suhu memiliki peranan terhadap produktivitas primer lautan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Tomascik et al. (1979) bahwa suhu secara lansung berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Laju maksimum fotosintesis (P max ) sejalan dengan meningkatnya suhu, atinya perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu tinggi. Secara tidak langsung, suhu juga berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang menjadi batasan dalam pergerakan organisme fitoplankton secara vertikal. Pada suhu rendah organisme fitoplankton dapat mempertahankan konsentrasi pigmenpigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar, sehingga pemanfaatan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada (Vailela, 1984 dalam Tubalawony (2007) Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO 3 pada lapisan permukaan dan

41 23 secara relatif meningkatkan produksi baru. Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal. Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor. Percampuran secara horizontal massa air kuat dipengaruhi oleh angin muson dan Arlindo. Menurut (Tubalawony, 2007) mengatakan bahwa sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan.

42 24 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus, 2010, dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Data dari pelayaran difokuskan pada perairan Selatan Selat Makassar, dimana perairan ini diketahui terdapat aktivitas pasang surut internal yang sangat energik, terutama Stasiun yang melintas pada kanal timur Dewakang Sill. Pengambilan dan pengukuran sampel yang dilakukan di perairan Selatan Selat Makassar dengan menempatkan lima Stasiun serta mencakup dua kanal utama yang menjadi jalur Arlindo, salah satunya kanal timur Dewakang Sill. Tiap Stasiun secara umum akan dilihat profil CTD/SACDP. Rute jadwal pengukuran dan pengambilan sampel yang melewati perairan tersebut dapat dilihat pada tampilan Gambar 4, berdasarkan pada data peta peta rupa bumi (RBI) tahu 2009, dengan data batimetri dari etopo2 berupa reanalisis dan pengukuran topografi dasar laut. A St 2 B Dewakang Sill A B Cross Section (A-B) Sumber Peta : 1. Rupa Rumi Skala 1: Satelit Etopo2 Gambar 4. Peta lokasi/stasiun penelitian di perairan Selatan Selat Makassar.

43 25 Alat dan Bahan Beberapa instrumen alat yang digunakan dalam pengambilan/pengukuran sampel di lapangan bersama dengan Kapal Riset Baruna Jaya IV serta spesifikasi alat pada lampiran 6, di antaranya; a. CTD (Conductivity, Temperature, and Depth) digunakan alat untuk mengukur param oseanografi berupa suhu, salinitas, densitas, dan oksigen. Instrumen dengan tipe Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus. b. SADCP (Shipboard Acustic Doppler Current Profiler) tipe RDI 150 Khz. Alat mengukur arus perairan (vertikal dan horinzontal). Alat ini sangat baik digunakan untuk mengukur kecepatan dan arah arus pada perairan yang sempit dan berada di lintang equator. c. Bottle Rosette Sampler tipe Models and Rosette, digunakan untuk pengambilan sampel air untuk pengukuran konsentrasi dan distribusi nutrien juga kandungan krolofil-a. Metode Pengambilan Data Data Fisik Perairan Pengukuran data oseanografi dengan menggunakan CTD (Conductivity, Temperature, and Depth) akan menampilkan data suhu ( o C), salinias (psu), sigmat (kg/m 3 ), kedalaman (m), dan tekanan (dbar). Sensor termisor, digiquartz and conductivity yang terdapat pada CTD secara terus-menerus akan merekam data setelah diturunkan dan ditarik kembali ke atas. Data hasil pengukuran yang terekam dalam deck unit berupa sinyal analog kemudian diubah oleh probe CTD yang dihubungkan langsung dengan komputer dengan kabel data menjadi sinyal digital. Pembuatan Map rute perjalanan sebelumnya untuk memudahkan dalam penentuan lokasi pengukuran dan pengambilan sampel. GPS (Global Position System) dapat menampilkan posisi penelitian dalam bentuk derajat dan waktu, secara teknis mengirimkan sinyal ke satelit dan dikembalikan ke GPS. Pengukuran arus secara langsung menggunakan SADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) dengan prinsip kerja berdasarkan perambatan bunyi, dimana kekuatan alat ini mengirimkan berkas bunyi (tranduser) dengan frekuensi tinggi dan merekam hamburannya (scattering) oleh partikel material organik

44 26 terlarut dalam air dan disambungkan ke penerima (receiver). Pola pergerakan partikel yang sebanding perubahan frekuensi, memberi gambaran kecepatan yang diamati selanjutnya bunyi tersebut dikalibrasi dengan alat SADCP. Alat ini menentukan kecepatan arus (mm/det), arah arus (derajat), dan kedalaman (m). Data direkam dengan perangkat lunak VMP yang dihubungkan dengan kabel ke deck box, komputer, kompas kapal dan sumber energi/listrik. Alat ini bekerja secara real time. Kemudian data diolah dengan menggunakan perangkat lunak microsof excel dan surfer untuk menghitung besarnya volume transport serta mengetahui arah arus pada kedalaman standar. Perekaman data CTD dan SADCP pada waktu yang tidak bersamaan karena adanya pergeseran posisi kapal pada titik Stasiun pengamatan, seperti disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Lokasi data CTD Stasiun CTD Koordinat Tanggal dan Waktu Tekanan (db) Kedalaman CTD S; T 20/08/ :10: S; T 20/08/ :50: S; T 21/08/ :28: S; T 21/08/ :02: S; T 22/08/ :24: Tabel 2. Lokasi data SADCP Stasiun SADCP Koordinat Tanggal dan Waktu Bin Size (m) Jumlah Bin S; T 20/08/ :17: S; T 20/08/ :35: S; T 21/08/ :27: S; T 21/08/ :37: S; T 22/08/ :06: Data Kontur Kedalaman Data tampilan kontur kedalaman berupa peta topografi dapat diakses dari langsung dari data best satelit USGS pada website ( dengan perangkat lunak yang disebut Global Mapper berupa data raster (gambar), vektor, atribut, dan topografi. Peta ini dapat menampilkan kondisi kontur dasar

45 27 perairan, gunung/bendul dasar lautan (Sill). Bentuk kontur kedalaman dan kemiringan slope di gunakan untuk mengidentifiksi pengaruhnya terhadap pergerakan massa air dan pelapisan suhu, proses turbulensi dan percampuran. Proses-proses ini juga dapat menjabarkan fenomena-fenomena tersebut terutama kaitanya dengan proses pengangkutan zat hara (nutrien) bersama pergerakan massa air secara vertikal. Data Nutrien Sampel nutrien dengan komponen utama yaitu, nitrat (NO 3 ), fosfat (P), dan Silikat (S) di peroleh melalui riset pelayaran Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2010 dengan 5 titik Stasiun pengambilan sampel di tiap kedalaman standar yang telah di tentukan (5, 25, 50, 75, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500, 600, 700 dan 1000). Konsentrasi nitrat sebagai dasar analisis nutrien berdasarkan metode oleh Eaton et al., (2005), diukur menggunakan teknik Spektrofotom. Masing-masing komponen dianalisis dengan metode berbeda seperti dijelaskan pada tahapan penentuan. Alat ini dapat menganalisis air contoh dalam tabung dengan acuan larutan stadar sebagai pembanding, kemudian hasilnya direkam dan menampilkan grafik dengan volume tertentu dengan satuan dinyatakan dalam µg-a l. Analisis data nutrien dikerjakan di laboratorium kimia oseanografi LIPI. Penentuan nitrat dalam air laut dianalisis menggunakan metode reduksi kadmium, dengan prosedur kerja sebagai berikut : 1. Siapkan kolom reduksi yang dielusi dengan ammonium chloride. 2. Tambahkan 2 ml larutan ammonium chloride pekat ke dalam 100 ml sampel. 3. Masukkan 5 ml sample ke dalam kolom reduksi. Biarkan mengalir. 4. Masukkan sisa sampel. 40 ml eluen pertama untuk membilas wadah penampung. Ambil 50 ml eluen berikutnya. 5. Tambahkan 1 ml larutan sulfanilamide ke dalam eluen. Biarkan selama 2 menit kemudian tambahkan 1 ml larutan N-(Napthyl)-Ethylendiamine dihidrochloride.

46 28 6. Diamkan selama 10 menit sampai 2 jam. Ukur absorbansinya pada panjang gelombang 543 nm. 7. Lakukan tahapan 1-6 dengan mengganti sample dengan aquades (sebagai reagen blanko) dan juga larutan standar II. Penentuan fosfat dalam air laut di analisis menggunakan metode molibdat, dengn prosedur kerja sebagai berikut : 1. Masukkan 10 ml pereaksi campuran ke dalam 100 ml sampel. 2. Sesudah 5 menit, ukur absorbansinya pada 885 nm. 3. Koreksi absorbansi dengan reagen blanko. (Penentuan blanko seperti no. 1, hanya sampel diganti aquadest). 4. Lakukan hal yang sama terhadap larutan standar fosfat. 5. Hitung konsentrasi fosfat dalam sample. Penentuan silikat silikat dalam air laut dianalisis menggunakan metode molibdosilikat, dengan prosedur sebagai berikut : ml sampel di dalam labu ukur 50 ml bertutup ditambah dengan 10 ml Larutan molibdate, kocok dan diamkan selama 10 menit. 2. Tambahkan reagen pereduksi sampai volume 50 ml dan kocok. 3. Biarkan 2 3 jam. 4. Ukur absorbansi larutan pada panjang gelombang 810 nm. Koreksi absorbansi dengan reagen blanko. (Penentuan blanko seperti diatas, 1 3 hanya sampel diganti aquadest). Data Krolofil Data krolofil-a diperoleh melalui Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Contoh air untuk penentuan kandungan klorofil-a fitoplankton diambil dengan menggunakan Rosette Sampler pada kedalaman standar, yaitu pada kedalaman (5, 25, 50, 75, 100, 150, 200, 250, dan 300) pada 5 Stasiun yang tersebar di perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill (Gambar 4). Metode untuk pengukuran konsentrasi klorofil-a fitoplankton dilakukan secara fluorometrik mengikuti cara yang dilakukan Strickland dan Parsons (1968). Sebanyak liter air di saring dengan menggunakan kertas saring Whatman

47 29 CNM berpori 0.45 µm dan berdiam 25 mm. Untuk mempercepat penyaringan dibantu dengan pompa vacum dengan kekuatan hisap <30 cmhg. Setelah penyaringan, filter diekstrak dengan menggunakan larutan aseton 90 % dan selanjutnya disentrifuge pada putaran 4000 rpm selama kurang lebih 30 menit untuk memisahkan antara filtrat dengan cairan yang mengandung klorofil. Kemudian cairan tersebut dibaca fluororecence-nya dengan menggunakan Flurom Turner Model 450 pada besaran 50 kali. Setelah diberi HCl 0,1 N, sampel tersebut kemudian dibaca kembali pada besaran yang sama. Konsentrasi klorofil a fitoplankton diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: F s τ Klorofil a = F τ x x τ 1 = faktor kalibrasi fluorom = R B /R A Ve 1 3 ( R R ) x g l ( mg m ) s B A µ Vs... (1) R B = Reading Before (bacaan pada flurom sebelum penambahan asam) R A = Reading After (bacaan pada flurom setelah penambahan asam) V e = volume ektraksi (penambahan aseton 90 % = liter) V s = volume saring (liter) Analisis Data Pengolahan data hasil pengukuran langsung dalam penelitian dengan menggunakan pengukuran SADCP (Shipboard Acustic Doppler Current Profiler) CTD (Conductivity, Temperature, and Depth) dan Botol Rosette Sampler. Data yang diperoleh dikonversi ke dalam format ASCII (American Standard Code for Information Interchage), sehingga pengolahan data dapat dilakukan dengan program/software, yaitu Microsoft Excel, Surfer 9, MATLAB R2009a, dan Ocean Data View (ODV). Pengolahan data secara umum di sajikan melalui diagram alir seperti pada Gambar 5.

48 30 Wilayah Sill/Slope ROSSETE (Nutrien dan Klorofil-a) CTD (suhu, salinitas, densitas, kedalaman) Brunt-Vaisala (N 2 ) SADCP Koreksi Pasut (Detide) Data Vektor (u, v) Shear Vertikal Arus Difusivitas Vertikal Eddy (Kz) Richardson Number (Ri) Flux Nitrat (J No3 ) Klorofil-a Gambar 5. Diagram alur pengolahan data Sebaran Menegak dan Melintang Suhu dan Salinitas Data terukur yang diolah dalam Software ODV, hasilnya berupa gambaran profil menegak dan melintang dari suhu, salinitas, sigma-t. Profil sebaran melintang salinitas, suhu, dan sigma-t yang dapat dijadikan dasar analisa tentang karakteristik massa air juga menampilkan variasi salinitas dan suhu maksimum dan minimum. Profil ini juga memberi gambaran terbentuknya pelapisan perairan yang didasarkan pada suhu dan salinitas, bagaimana kondisi di lapisan homogen, termoklin, halohalin, dan lapisan dalam. Nilai sigma-t (σ t ) air laut diperoleh dengan terlebih dahulu menghitung nilai sigma-0 (σ 0 ) dengan menggunakan persamaan Knudsen sebagai berikut:

49 31 σ 0 = S S S 3... (2) Kemudian oleh Fotonoff dan Tabata (1958) persamaan tersebut di atas dirumuskan dalam notasi Sigma ( ): σ 0 = 3 j= 0 B j S 3... (3) dimana: B 0 : ( ), B 1 : ( ),B 2 : ( E-4), B 3 : ( E-6), dan S : Salinitas Kemudian nilai Sigma-t dapat dihitung dengan persamaan: σ = t 4 t= 1 a j t t + A 0 i + 3 j= 0 2 j= 1 i A ( δ ) t ij 0 j... (4) dimana: T : Suhu ( o C) A 22 : A 10 : E-8 A 23 : 1.667E-8 A 11 : E-3 A 0 : A 12 : E-5 a 2 : A 13 : E-6 a 1 : A 20 : 0 a 3 : E-3 A 21 : E-5 a 1 : E-7 Percampuran (Mixing) Frekuensi Apung (Bouyancy Frequency) Metode perhitungan percampuran massa air secara vertikal dari lapisan dalam perairan, sebagai analisis awal dengan menghitung nilai frekwensi apung (Bouyancy frequency) menggunakan persamaan Brunt-Vaisala (Millard et al. 1990) dalam Bahamon (2003).... (5) Dimana ; N 2 = frekuensi apung (s -2 )

50 32 g = percepatan gaya gravitasi (9.8 m s -2 ) ρ = densitas rata-rata selang kedalaman z = beda kedalaman (m) σ θ = beda sigma thetha, densitas air laut (σ θ = ρ 1000 kg m -3 ) Bilangan Richardson (Ri) Nilai dari bilangan Richarson sendiri digunakan untuk melihat bagaimana kondisi stratifikasi lapisan, dimana apa aliran fluida tersebut lamier atau turbulen. Nilai bilangan Richarson (Ri) diperoleh dengan frekuensi apung (Bouyancy frequency) dibagi dengan nilai shear vertikal dari kecepatan arus horizontal dengan menggunakan persamaan dari gradien bilangan Richardson (Polzin et al. 1996) dalam Thurnherr (2006).... (6a)... (6b) Dimana : Ri = Gradien Richardson number N = frekuensi apung (Bouyancy Frequency) S 2 = arus vertikal shear u = kecepatan arus komponen timur-barat (m s -1 ) v = kecepatan arus komponen utara-selatan (m s -1 ) Difusi Eddy Vertikal (K z ) Penghitungan data konsentrasi dan nilai fluks dari nutrien dari kolom perairan dalam kelapisan atas dengan menggunakan data nutrien (Nitrat). Data yang disajikan dalam bentuk grafik sebaran menegak, melintang, kemudian dilakukan analisa mengenai sebaran konsentrasi nutrien dan faktor-faktor pendukung keberadaanya. Kemudian beberapa titik pengambilan dilakukan perbandingan konsentrasi nutrien. Dari data tersebut juga diamati distribusi perlapisan, baik pada lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin maupun lapisan terdalam di bawah termoklin. Untuk memperkirakan difusi fluks dengan

51 33 param difusivitas turbulen eddy vertikal menurut Osborn (1980) dalam Bahamon (2003).... (7a) = frekuensi apung (Brunt-Vaisala) = nilai turbulen energi kinetik (TKE) disipasi pada kedalaman tertentu Г = efesiensi percampuran (0.2) Penentuan nilai turbulen energi kinetik disipasi digunakan untuk mengambarkan jumlah energi kinetik yang hilang atau berubah bentuk dalam lautan. Perhitungan besaran energi kinetik yang mengalami proses disipasi (Ԑ ᶥ ) berdasarkan skala Ozmidov (1965) dalam Park et al, (2008) sebagai berikut.... (7b)... (7c) Dimana : Lo = Skala Panjang Ozmidov. Penentuan nilai skala Ozmidov pada setiap lapisan digunakan skala Thorpe (L τ ) dengan menggunakan persamaan (Dillon, 1982).... (8a)... (8b) Sebelum perhitungan dengan beberapa skala Thorpe (, skala Ozmidov dilakukan penentuan nilai Thorpe displacement (d), nilai ini ditentukan dari penyusunan ulang (reorder) densitas dalam bentuk stabilitas statis sesuai dengan densitas awal/kedalaman, dimana posisi massa air dengan densitas rendah berada di atas densitas tinggi sesuai konsep densitas. Persamaaan Thorpe displacement (Dillon, 1982 dalam Thompson et al., 2007). Dimana z a = posisi tekanan awal (db)... (9) z b = posisi tekanan setelah reorder (db)

52 34 Selanjutnya penentuan batasan nilai pembalikan dari data yang telah disusun ulang dengan menggunakan metode skala dgk (Galbraith dan Kelley, 1996), berdasarkan metode skala dgk nilai yang kurang (±5 m) akan diabaikan dan tidak akan diikutkan untuk perhitungan selanjutnya. Interval kedalaman vertikal ( z ) data CTD dibuat 1 meter untuk mendukung batas pembalikan massa air berdasarkan metode skala dgk... (10) Estimasi nilai difusi eddy vertikal (K z ) dengan menggunakan dengan shear arus, dengan mengunakan persamaan Cisewski et al., (2005) dalam Park et al., (2008), terlebih dahulu menentukan nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy (Ԑ) dari shear arus dengan persamaan Osborn (1980)... (11) Dimana υ = kostanta kinematik viskositas (1.3 x 10-6 m 2 s -1 ) u'/ z = varian gradien vertikal dari fluktuasi turbulen Fluks Nutrien Untuk melihat proses pengangkutan dan distribusi nurtrien dari perairan dalam ke lapisan temoklin dan lapisan permukaan tercampur dengan melihat pengaruh param fisik dan proses pencampuran massa air. Fluks vertikal nutrien karena difusi turbulen nitracline adalah produk dari gradien nutrien dan koefisien difusi, yang dihitung dengan menggunakan metode dari Law et al. (2003) untuk melihat profil dan estimasi nutrien fluks (µg-a m 2 s -1 ) pada lapisan pycnocline sebagai berikut ;... (12) Dimana : nut z adalah perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman z (m) berdasarkan kedalaman standar pengukuran nutrien.

53 35 Estimasi fluks vertikal nutrien dengan nilai difusien eddy vertikal (K z ) pada persamaan 12, digunakan sebagai estimasi nilai fluks menggunakan kontribusi nilai shear arus (S 2 ). Hubungan Klorofil-a dan Nitrat Klorofil-a diestimasi sebagai partikel non-fraksi, meskipun klorofil b dan c adalah direduksi dari persamaan yang digunakan, tetapi nilai-nilai klorofil-a merupakan variabel utama digunakan dalam penelitian ini, karena ini merupakan estimasi yang lebih akurat dari biomassa fitoplankton (Jeffrey & Welschmeyer 1979). Hubungan antara konsentrasi nitrat (NO 2 +NO 3 ) dengan konsetrasi klorofil-a terhadap kedalaman terukur dengan menggunakan analisis regresi dan korelasi. Analisis regresi linier korelasi nutrien (nitrat, fosfat dan silikat) terhadap konsentrasi klorofil-a per kedalaman perairan dari semua Stasiun pengamatan dengan selang kepercayaan (r 2 ) = 99%. Perubahan konsentrasi nitrat terhadap konsentrasi klorofil-a pada gradien kedalaman ditunjukkan pada nilai keeratan (r) diplotkan dalam bentuk grafik sebaran dari dua konsentrasi tersebut dengan persamaan :... (10) Dimana : Y = taksiran / dugaan nilai Y(klorofil-a) untuk nilai X (nitrat) a = konstanta regresi (Y) b = koefisien regresi, perubahan Y terhadap X

54 36 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Topografi Selatan Selat Makassar Dewakang Sill berada di bagian kanal timur Selatan Selat Makassar merupakan ambang (sill) yang menjadi pembendung dan jebakan pergerakan massa air di lapisan dalam sepanjang Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Bentuk kontur dasar sepanjang titik Stasiun pengambilan data yaitu menunjukkan kontur yang relatif datar dan lebih dangkal di sepanjang Laut Jawa. Penampang melintang kontur dasar topografi pada Gambar 6 dalam hitungan mil atau sekitar km. Profil vertikal salinitas dan suhu ditemui pada Stasiun 4 dengan kanal yang dangkal (Lampiran 2), kanal ini merupakan jalur Arlindo menuju Selat Lombok dan Laut Flores. Stasiun 3 berada di punggung gunung dengan slope yang dangkal dan sempit, sedangkan Stasiun 1 memiliki kedalamaan slope hingga m, lebih dalam dari slope di Stasiun 4 dengan kedalaman sekitar 600 m. Pada Stasiun 2 pada kedalaman 908 m, berada disisi Selatan Dewakang Sill seperti pada Cross-section Gambar 4. Secara melintang dari Stasiun pengamatan di Selatan Selat Makassar memotong dua kanal, yaitu kanal pada sisi barat (Stasiun 4) dan kanal disisi timur (Stasiun 2). Gambar 6. Bentuk kontur topografi dasar sepanjang perairan Selatan Selat Makassar (satelit USGS, etopo 2) Stasiun 2 yang berada di Selatan Dewakang Sill yang melintang pada kanal timur dengan kedalaman 908 m, memberi kontribusi nyata terhadap pembatasan penyebaran dan keberadaannya menjadi penciri karakteristik massa

55 37 air pada kedalaman kolom/palung yang berbeda. Kontur topografi dasar laut Indonesia sebagai lintasan arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia akan terjebak dalam kolom cekungan dasar perairan sepanjang aliran. Kondisi arus menurut Talley dan Sprintall (2005) menjelaskan bahwa arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui laut Indonesia adalah kompleks, dengan setiap ambang menyediakan lokasi pencampuran untuk membentuk karakteristik ITF dengan salinitas rendah. Karakteristik massa air Selat Makassar merupakan jalur transpor utama bagian barat yang membawa 80% massa air dari Samudera Pasifik, mengalami modifikasi fluks percampuran dan daya apung pasang surut yang diinduksi interaksi permukaan laut dan tekanan atmosfer yang menciptakan relatifitas isohalin di lapisan termoklin (Gordon et al. 2008). Proses pertukaran dan perbaharuan massa air khususnya di wilayah Dewakang Sill dengan kedalaman sill yang terisolasi sangat ditentukan oleh tingkat percampuran diapycnal. Pelapisan aliran massa air di wilayah tersebut sangat ditentukan oleh kontur dari sill dan proses percampuran sebagai akibat dari proses turbulen oleh shear arus dan proses transpor serta pengaruh aktivitas gelombang internal. Kondisi Selatan Selat Makassar dibandingkan dengan Laut Baltik (Bendtsen et al. 2007) menunjukkan intensitas percampuran dipengaruhi oleh luasnya kanal yang memungkinkan suplai air ke lapisan dalam cukup besar dan menurut Lozovatsky et al.(2008) menjelaskan bahwa aktivitas pasang surut yang mendominasi proses turbulensi dan percampuran secara spasial dan temporal yang menyebabkan adanya adveksi dan konveksi panas dari siklus pasut dan interaksinya dengan kontur dasar dan berpengaruh pada kecepatan disipasi dan shear arus. Selanjutnya ditambahkan oleh Gordon et al.,(2003a) dalam Hendrik et al.,(2009) mengatakan bahwa Dewakang Sill memiliki karakteristik arus seperti dengan karakteristik arus dari Selat Makassar sekitar dengan volume teranspor adalah 10 Sv, terlihat dominan pada lapisan termoklin ( m). Profil Pelapisan Massa Air Sebaran Melintang Suhu Profil sebaran melintang suhu perairan Selatan Selat Makassar termasuk Dewakang Sill berdasarkan kedalaman dari lima Stasiun ditunjukkaan pada

56 38 Gambar 7. Sebaran suhu secara melintang memiliki karakteristik pelapisan massa air secara umum sesuai kedalaman, tetapi ada perbedaan ketebalan lapisan di setiap Stasiun akibat adanya pengaruh pasokan massa air pada titik pengamatan yang melewati celah sill dan slope yang berbeda. Sesuai dengan profil melintang suhu menunjukkan adanya perubahan pola pelapisan suhu terhadap kedalaman secara umum. Pola pelapisan secara vertikal menunjukkan adanya fluktuasi gradien suhu seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada lapisan dalam di kedua sisi utara dan selatan sill yang dangkal tidak terbentuk stratifikasi dengan pemekatan yang tinggi, namun dengan meningkatnya kedalaman menunjukkan degradasi suhu yang rendah pada kedalaman 700 m m. Gambar 7. Profil suhu perairan Dewakang Sill secara melintang berdasarkan data CTD Secara umum lapisan yang terbentuk dari profil suhu lautan pada Gambar 7, menunjukkan adanya tiga lapisan utama, yaitu lapisan tercampur permukaan (mixed surface layer), lapisan termoklin (thermocline layer), dan lapisan dalam (deep layer). Lapisan tercampur permukaan (mixed surface layer) merupakan lapisan homogen dengan kisaran nilai bahang yang relatif sama. Lapisan homogen dari profil melintang suhu sepanjang Stasiun di perairan Selatan Selat Makassar dengan ketebalan lapisan relatif sedikit berbeda antara Stasiun. Ketebalan lapisan tercampur permukaan dari Stasiun 1-5 ditemukan pada kedalaman pengukuran CTD, antara 50 m m dengan nilai kisaran suhu antara 21 o - 28 o C dengan fluktuasi gradien suhu antara 0.01 o C o C, sedangkan pada Stasiun 5 dengan kedalaman pengukuran CTD sampai kedalaman 2-50 m menunjukkan lapisan

57 39 suhu homogen dengan nilai 28 o C, hal ini disebabkan lokasi Stasiun 5 berada pada perairan dangkal di Laut Jawa. Lapisan termoklin merupakan lapisan pembatas antara lapisan permukaan tercampur dan lapisan dalam, ditandai adanya drastisitas penurunan suhu terhadap kedalaman. Profil ketebalan lapisan termoklin bervariasi terhadap kedalaman secara melintang sepanjang antar masing-masing Stasiun pengamatan. Variasi lapisan termoklin hanya ditemukan di antara Stasiun 1-4, pada kisaran kedalaman antara 114 m m, dengan variasi ketebalan lapisan mulai dari 4 m - 21 m, sedangkan Stasiun 5, tidak ditemukan karena interval kedalaman perairan dangkal. Meskipun ada variasi ketebalan lapisan terbentuk di antara lapisan tercampur dan lapisan dalam, tetapi interval lapisan sangat tipis ditemukan pada kisaran 20 o C di masing-masing kedalaman antar Stasiun (1-4) dengan ketebalan umum sekitar 49 m. Stasiun 1, ditemukan lapisan termoklin pada kedalaman 156 m m dengan ketebalan lapisan sekitar 7 m. Pada Stasiun 2, ditemukan pada kedalaman 129 m m dengan ketebalan lapisan 4 m. Pada Stasiun 3, ditemukan pada kedalaman 114 m m dengan ketebalan lapisan 21 m, selanjutnya, Stasiun 4 ditemukan pada kedalaman 131 m m dengan ketebalan lapisan 9 m. Variasi suhu tinggi di lapisan termoklin masih terlihat sampai di lapisan bawah menyerupai kondisi termoklin Selat Makassar, kecepatan sekitar 50% lebih besar dari lapisan permukaan, dan sekitar dua sampai tiga kali kecepatan di lapisan termoklin celah Laut Leste (Gordon et al. 2010). Lapisan dalam (deep layer) merupakan lapisan ketiga dari lapisan dalam lautan secara umum dengan karakteristik suhu yang relatif homogen dan mengalami penurunan sangat lambat. Penurunan suhu pada kisaran kedalaman pengukuran CTD terlihat variasi relatif homogen di kedalaman 200 m hingga batas terdalam pengukuran sekitar 1000 m. Lapisan termoklin terbawah merupakan batasan lapisan dalam dengan suhu homogen yang berkisar antara 4 o C o C. Profil lapisan dalam perairan terdapat pada kedalaman Stasiun 1 sampai Stasiun 4, dengan kedalaman lapisan dalam (deep layer) ditemukan pada Stasiun 1 (1001 m) dan 2 (900 m) yang dapat mewakili karakteristik lapisan dalam. Pada Stasiun 3 (521 m) dan 4 (604 m) mewakili lapisan dalam yang berada pada daerah slope, dengan nilai suhu terendah berkisar antara 6.77 o C o C.

58 40 Variabilitas suhu dan kecepatan degradasi suhu terhadap kedalaman perairan dengan tiga pola pelapisan utama pada perairan Selatan Selat Makassar, mengalami stratifikasi dengan gradien fluktuasi yang berbeda terhadap kedalaman. Kondisi ini relatif rendah dengan pengamatan yang ditemukan oleh Gordon at el., (2010) di Selat Makassar dengan profil suhu yang membagi lapisan kedalaman berdasarkan rata-rata besaran gradien suhu vertikal yang lebih spesifik ke dalam empat bagian (lapisan permukaan tercampur, termoklin, lapisan tengah dan lapisan dalam). Lapisan permukaan tercampur (0 m - 50m) memiliki rataan gradien suhu vertikal o C/10 m, lapisan termoklin (50 m m) gradien suhu lebih besar dari -0,91 o C/10 m, kembali menurun di lapisan tengah (200 m - 500m) hanya o C/10 m dan lebih rendah -0,05 o C/10 m di lapisan dalam (500 m m). Sebaran Melintang Salinitas Profil sebaran melintang salinitas di perairan Dewakang Sill menunjukkan pola pelapisan massa air terhadap kedalaman. Seperti pada pola pelapisan massa air berdasarkan suhu terhadap kedalaman maka pada sebaran salinitas terhadap kedalaman terbentuk pelapisan massa air. Karakteristik pelapisan massa air dengan parameter salinitas dibagi ke dalam tiga lapisan utama, yaitu lapisan tercampur permukaan (mixed surface layer), lapisan haloklin (halocline layer), dan lapisan dalam (deep layer). Profil sebaran melintang salinitas seperti pada Gambar 8, menunjukkan pola pelapisan akibat adanya perbedaan karakteristik massa air, kondisi tersebut sebagai indikasi sumber massa air yang masuk dan sebagai penciri massa air pada perairan tersebut. Lapisan homogen permukaan yang ditandai dengan bertambahnya kedalaman perairan yang ditemukan pada lapisan dalam homogen seperti pada profil melintang salinitas bervariasi dengan kisaran psu dengan gradien salinitas psu/m, pada kedalaman 2 m m. Penyebaran massa air dengan nilai salinitas tinggi pada batas bawah lapisan permukaan tercampur dengan batas atas lapisan termoklin terlihat dari Stasiun 1 sampai Stasiun 4. Profil sebaran salinitas tertinggi sekitar m psu pada Stasiun 1, 2, dan 3 mengalami fluktuasi dengan kisaran ketebalan berbeda dan mengalami penurunan salinitas pada Stasiun 4.

59 41 Lapisan tercampur permukaan (mixed surface layer) secara umum memiliki karakteristik dengan besaran salinitas lebih rendah dibandingkan lapisan haloklin dan lapisan dalam. Lapisan permukaan perairan Selatan Selat Makassar menunjukkan adanya dua lapisan massa air yang berbeda. Lapisan permukaan dengan kisaran salinitas psu, dengan kondisi yang relatif homogen sampai dasar (50 m) di Stasiun 5. Salinitas ini merupakan karakteristik massa air Laut Jawa yang banyak mendapatkan intrusi massa air tawar. Selanjutnya mengalami pendangkalan pada Stasiun 4 dengan ketebalan lapisan sekitar 20 m, dengan kisaran salinitas psu, di lapisan ini ditemukan adanya lekukan ke dalam antara batas lapisan isohalin atas ( psu) dengan lapisan isohalin bawah ( psu). Ketebalan lapisan menipis ditemukan pada Stasiun 3 dan 2, sekitar 10 m - 15 m, dengan kisaran salinitas psu. Selanjutnya terlihat kembali penebalan lapisan hingga kedalaman sekitar 17 m dengan salinitas psu pada Stasiun 1. Gambar 8. Profil melintang salinitas perairan Dewakang Sill berdasarkan data CTD Gradien salinitas relatif berfluktuasi pada lapisan haloklin sepanjang Stasiun terhadap kedalaman antara 99 m m, (Stasiun 1-4) dengan kisaran salinitas antara psu dengan gradien salinitas psu. Variasi salinitas pada lapisan haloklin memiliki ketebalan berbeda pada tiap Stasiun. Pada Stasiun 1 lapisan haloklin terletak di kedalaman m dengan kisaran salinitas psu, pada Stasiun 2 lapisan haloklin terletak di kedalaman 169 m m dengan kisaran salinitas psu, pada Stasiun 3 lapisan haloklin terletak di kedalaman 163 m m dengan kisaran

60 42 salinitas psu, sedangkan pada Stasiun 4 lapisan haloklin terletak di kedalaman 163 m m dengan kisaran salinitas psu. Lapisan dalam (deep layer) relatif homogen terhadap kedalaman dengan karakteristik relatif sama dengan lapisan haloklin ( psu). Peningkatan salinitas pada lapisan dengan gradien densitas yang rendah ( psu/m) sehingga tidak terlihat fluktuasi lapisan. Laju penurunan densitas terhadap tekanan yang relatif sedang jika dibanding dengan nilai hasil pemodelan suhu dan salinitas permukaan di Pasifik-Khatulistiwa oleh Friedrich et al. (2011) yang menemukan gradien psu/m sebagai konsekuensi dari proses upwelling. Nilai salinitas pada lapisan dalam mengalami perubahan yang sangat kecil dan menjadi lebih stabil seiring bertambahnya kedalaman. Peningkatan salinitas sepanjang Stasiun 4 sampai 2 relatif sama, hanya pada Stasiun 1 mengalami peningkatan salintas mencapai psu hingga kedalaman 1001 m pada kedalaman pengukuran CTD. Kedalaman perairan berperan dalam menentukan terbentuknya lapisan dalam, selain interaksi dari arus dengan topografi dasar lautan. Kontur dasar suatu perairan berkontribusi besar terhadap karakterisasi massa air (salinitas dan suhu kedalaman), di antaranya berkontribusi menciptakan aktifitas interal wave, upwelling dan downwelling massa air, juga terjadinya turbulensi. Profil sebaran menegak suhu dan salinitas perairan Selatan Selat Makassar menunjukkan profil berbeda terhadap kedalaman. Suhu menegak menunjukkan grafik dengan nilai maksimum di lapisan permukaan dan mengalami fluktuasi pada lapisan termoklin, selanjutnya mengalami penurunan secara drastis dan relatif homogen pada lapisan dalam. Berbeda dengan grafik salinitas menegak, menunjukkan salinitas rendah di lapisan permukaan dan mengalami fluktuasi peningkatan di lapisan haloklin, selanjutnya konsentrasi salinitas mengalami perubahan lambat dan relatif homogen di lapisan dalam. Pembagian lapisan utama suatu kolom perairan berdasarkan diagram T-S dapat dilakukan penentuan langsung pada software ODV atau berdasarkan ketentuan yang tercantum pada tulisan Cisewski et al. (2005) bahwa lapisan permukaan tercampur berada pada kisaran antara (< 0,1 o C) dan (< 0,02 kg m -3 ),

61 43 sedangkan lapisan termoklin berada pada kisaran antara (> 0,1 o C) dan (> 0,02 kg m -3 ). Variasi suhu permukaan tercampur relatif homogen sebagai akibat aktifitas pengadukan oleh tekanan atmosfer (angin), pasang surut, arus, pemaparan sinar matahari dan sumber massa air di perairan tersebut. Lapisan tercampur permukaaan mengalami peningkatan suhu dengan bertambahnya kedalaman dengan fluktuasi gradien berbeda, seperti ditunjukkan pada Stasiun 1-5, dengan ketebalan lapisan antara 50 m m. Lapisan termoklin relatif tipis sebagai pembatas lapisan atas pada Stasiun 1-4, tidak terpengruh intensitas pemanasan matahari ditemukan pada kedalaman 114 m 163 m, dengan variasi ketebalan lapisan mulai dari 4 m hingga 21 m dan tidak ditemukan pada Stasiun 5, akibat perairan yang dangkal. Lapisan dalam menunjukkan variasi suhu mengalami penurunan sangat lambat sehingga relatif homogen dengan fluktuasi gradien yang rendah terhadap kedalaman, kondisi ini terlihat di sepanjang Stasiun 1-4 dengan kedalaman pengukuran CTD (160 m m). Kondisi ini sebagai karakter Arlindo melalui jalur utara Selat Makassar dengan massa air lebih hangat, menyebabkan adanya penipisan lapisan termoklin. Stratifikasi salinitas vertikal terhadap kedalaman terbentuk seperti grafik pada suhu, yang terbagi ke dalam tiga lapisan utama (permukaan, haloklin, dan lapisan dalam). Pola pelapisan menegak salinitas dengan kisaran ketebalan maksimal dan minimal sesuai kedalaman lapisan utama perairan. Grafik lapisan permukaan menunjukkan garis menegak dengan variasi relatif homogen, dimana kondisi ini dapat diwakili Stasiun 5 dengan garis relatif tegak lurus sampai kedalaman 50 m (salinitas psu). Kondisi berbeda ditunjukkan pada Stasiun lain (Stasiun 1-4), akibat ada peningkatan secara drastis nilai salinitas terhadap kedalaman di lapisan permukaan. Variasi salinitas membentuk dua lapisan dengan ketebalan berbeda pada lapisan permukaan, lapisan atas permukaan memiliki ketebalan dangkal dibandingkan dengan lapisan dalam permukaan. Lapisan atas dan bawah permukaan terlihat berhimpit dengan batas lapisan isohalin atas ( psu) dan lapisan isohalin bawah ( psu). Lapisan termoklin berada di bawah lapisan permukaan yang ditandai dengan garis miring dengan degradasi salinitas menurun terhadap kedalaman (163 m m) dengan kisaran salinitas psu. Selanjutnya lapisan dalam

62 44 kembali tegak lurus dengan variasi peningkatan salinitas sampai kedalaman batas terukur CTD sangat lambat/konstan, sehingga gradien densitas berkisar antara psu/m. Profil menegak salinitas berbanding terbalik dengan profil menegak suhu (Lampiran 2), terlihat adanya pergeseran nilai salinitas terhadap kedalaman dan gradien fluktuasi densitas mengalami peningkatan seiring bertambahnya kedalaman (tekanan). Suhu secara vertikal mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya kedalaman, sebagai akibat lemahnya penetrasi matahari terhadap kedalaman perairan. Salinitas permukaan yang relatif rendah pada Stasiun 5 sampai Stasiun 1 jika dibanding dengan lapisan temoklin diketahui adanya masukan massa air dari Laut Jawa dengan karakteristik salinitas yang relatif rendah. Salinitas dan densitas massa air sepanjang Stasiun pengamatan di Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill lebih tinggi jika dibandingkan dengan kisaran pada jalur/selat keluar massa air ke Samudera Hindia di Selatan Jawa. Kondisi salinitas dan suhu yang sangat tinggi di lapisan termoklin menyerupai dengan kondisi salinitas dan suhu di Selat Makassar dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi perairan Selat Ombai, Lombok, Dao, dan Timor yang lebih rendah, seperti yang didapatkan oleh Atmadipoera et al. (2009) melalui kajian data menggunakan model KL07 menunjukkan hasil bahwa lapisan permukaan hingga lapisan termoklin terlihat pengenceran salinitas di beberapa lokasi akibat adanya curah hujan berlebih dan run-off air tawar di Laut Jawa sedangkan di Ombai yang cukup salin masih ditemukan lapisan permukaan yang lebih tawar (salinitas rendah), hal ini disebabkan adanya pengaruh musiman. Kajian ini menemukan lapisan permukaan di Laut Jawa dan Ombai yang hangat dengan densitas σ ᶿ (20-22), dengan salinitas tinggi ( psu) sedangkan di laut Timor lebih hangat (29 o C). Hal ini yang menyebabkan percampuran diapycnal yang kuat sepanjang muson. Identifikasi Jenis Massa Air Karakteristik massa air yang melewati perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill sepanjang Stasiun pengamatan dapat diketahui melalui diagram TS seperti pada Gambar 9. Pada grafik yang didasarkan pada Stasiun pengamatan, dapat dilihat adanya tiga jenis massa air dengan kondisi nilai

63 45 salinitas dan densitas (σ o ) yang berbeda tetapi relatif rendah dan ditandai dengan stratifikasi suhu yang tinggi berdasarkan lapisan. Gambar 9. Diagram TS Selatan Selat Makassar berdasarkan titik pengamatan (a). Hasil pembesaran kotak hijau pada Gambar (b) massa air NPSW dan (c) massa air NPIW Tabel 3. Karakter aliran massa air Selatan Selat Makassar dan sekitarnya berdasarkan Stasiun pengamatan Karakter Massa Air Jenis Tekanan Temperatur Salinitas (psu) Densitas (sigma- Massa Air (db) Potensial ( o C) theta) (kg m -3 ) Laut Jawa NPTW NPIW Berdasarkan tabulasi karakteristik setiap massa air dapat dilihat pada Tabel 1, terlihat karateristik massa air dapat diketahui dengan melihat param salinitas, suhu, dan densitas (σ o ). Terdapat tiga jenis massa air yang melintasi Stasiun pengamatan, diantaranya karakteristik massa air Laut Jawa (Java Sea Water - JSW), North Pacific Subtropical Water (NPSW), dan North Pacific

64 46 Intermediate Water (NPIW). Karakteristik massa air ditandai dengan salinitas ( psu) dan densitas (σ o ) terendah (21.50 kg m -3 ) serta suhu yang tinggi mencirikan massa air Laut Jawa dan merupakan karakteristik massa air pada lapisan tercampur sepanjang Stasiun pengamatan. Karaktristik massa air dengan densitas σ o kg m -3 dan salinitas ( psu) yang mencirikan lapisan termoklin ditandai sebagai karakteristik massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) melalui jalur Arlindo dari Pasifik Utara melewati Perairan Makassar. Pada Gambar 9b ditemukan profil berbeda (Stasiun 4) jika dibandingkan salinitas Stasiun lainnya pada kisaran salinitas psu, kondisi tersebut diindikasikan akibat adanya aktivitas dari pasut internal sepanjang slope. Di lapisan termoklin bawah diindikasikan sebagai karakteristik massa air North Pasific Intermediate Water (NPIW) ditandai dengan σ o kg m -3 dan salinitas ( psu). Salinitas massa air NPSW mengalami penurunan konsentrasi daripada massa air NPIW yang tinggi, disebabkan oleh proses percampuran vertikal yang kuat pada lapisan dalam sepanjang jalur Arlindo menyebabkan adanya perubahan karakteristik massa air. Arus Melintang Perairan Selatan Selat Makassar Profil melintang kecepatan pergerakan arus dengan menggunakan data komponen vektor u dan v, seperti pada Gambar 10 dan 11. Profil ini menunjukkan nilai laju kecepatan arus sepanjang Stasiun (1-5) pada koordinat 114 o BT o BT. Secara keseluruhan arus di vektor u (Gambar 10) sesuai kedalaman lapisan bin (Tabel 1), terlihat sedang antara 2.5 x x 10-3 m s -1. Pada jarak km menunjukkan pergerakan arus tertinggi pada kedalaman 8-12 m dengan kecepatan arus berada pada kisaran 2.5 x x 10-3 m s -1, selanjutnya ditemukan pada kedalaman bin antara 16 m - 18 m dengan kekuatan arus sama pada lapisan bin pemukaan. Profil warna ketebalan lapisan arus lebih tipis dibandingkan lapisan permukaan, kondisi ini menunjukkan adanya dua lapisan arus dengan nilai yang sama pada lapisan kedalaman berbeda dengan gradien yang berbeda. Sinyal pergerakan arus melemah pada lintang 114 o BT o BT dan 05 o LS - 07 o LS dengan kedalaman dangkal (18 m) mendekati antara 1.0 x x

65 m s -1, selanjutnya pada lintang antara 115 o BT o BT menunjukkan peningkatan laju pergerakan arus dengan kedalaman berturut sampai kedalaman 206 m, dengan kisaran arus antara 2.8 x x 10-3 m s -1. Sinyal kembali mendekati 1.0 x x 10-3 m s -1 dengan kedalaman rata-rata sampai 150 m, selanjutnya mengalami peningkatan sinyal sampai kedalaman antara 135 m m, dengan kekuatan arus pada nilai sama (2.8 x x 10-3 m s -1 ). Pergerakan arus pada komponen vektor u dengan nilai mendekati 0.1 x 10 3 s -1, terlihat sepanjang lintang (114 o BT o BT dan 05 o LS - 07 o LS ), ditemukan pada kedalaman antara m batas lapisan interval bin dan sinyal-sinyal ini masih ditemukan pada lintang selanjutnya di kedalaman bin ( m). Kondisi ini menjelaskan perbedaan kekuatan pergerakan arus massa air pada kanal-kanal atau slope menjadi pembatas pergerakan arus ditiap lapisan kedalaman perairan. Sinyal-sinyal pergerakan arus yang lemah ini pada lapisan dalam sejalan dengan suhu yang rendah memiliki kesamaan pada Selatan ambang Laut Seram dan Maluku seperti yang ditemukan oleh Van Aken et al. (2009), menunjukkan volume transpor rata-rata adalah 2.5 Sv dengan penurunan suhu 3.2 o C, dimana hasil ini merupakan sisa arus di atas ambang oleh pengaruh pasang surut diurnal yang intensif di lapisan dalam sill. Gambar 10. Penampang melintang kecepatan arus komponen U (m s -1 ) Variabilitas arus dari komponen u dan v di atas ambang (sill) secara horizontal pada Stasiun 1 hingga Stasiun 4, menunjukkan aliran yang kuat dan bervariasi berdasarkan kedalaman bin (8 m) di lapisan permukaan hingga lapisan dalam. Kondisi ini berbeda dengan kajian oleh Gordon et al., (2010) yang

66 48 membandingkan data Indronesian throughflow dari International Nusantara Stratification and Transport (INSTAN) dan Simple Ocean Data Assimilation (SODA) di Selat Makassar, menemukan adanya variasi profil transportasi dari Sv dengan rata-rata 10.4 Sv. Berdasarkan data SODA di lapisan permukaan yang terlihat aliran yang tinggi, namun di lapisan tengah dan lapisan dalam yang lebih padat justru melemah hanya sekitar 3.9 Sv dan 4.3 Sv, dan perhitungan data Arlindo ada perbedaan 0.3 Sv antara lapisan tengah dengan lapisan dalam dan lebih tinggi 0.9 Sv dari data INSTAN. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan tekanan di lapisan dalam. Komponen vektor v secara melintang seperti profil pada Gambar 11, menunjukkan sinyal adanya pergerakan arus dominan berada pada kisaran 0 x 10-3 ± 0 x 10 3 m s -1 (114 o BT o BT). Pergerakan arus dominan ke arah barat laut sangat lemah, sebagai indikasi adanya tekanan dari pergerakan arus massa air laut Jawa menuju timur laut. Pada lintang antara 114 o BT o BT (0-24 x 10 3 m), menunjukkan sinyal pergerakan arus ± 0 x 10-3 m s -1. Sepanjang lintang tersebut ditemukan sinyal-sinyal kekuatan pergerakan arus dengan nilai berkisar -1 x x 10-3 m s -1 sampai kedalaman bin 40 (166 m). Sinyal arus bernilai positif ditemukan pada kedalaman 166 m m, mencapai x 10-3 m s -1. Pada jarak antara 24 x x 10 3 m (117 o BT o BT) lebih didominasi sinyal negatif mulai dari permukaan sampai kedalaman bin 40 (166 m) dengan nilai (-1 x x 10 3 m s -1 ). Pada jarak antara 301 x x 10 3 m (118 o BT o BT) menunjukkan nilai positif sampai kedalaman 202 m dengan nilai arus antara 5 x x 10-3 m s -1, selanjutnya didominasi oleh sinyal - sinyal negatif. Komponen arus dengan sinyal-sinyal positif menunjukkan pembelokan pergerakan arus akibat adanya tekanan dari arus komponen vektor u. Kuat dan rendahnya pergerakan arus pada komponen u dan v yang bergerak antara barat-timur dan utara-selatan yang dominan mengalir menuju Selatan laut Jawa dan laut Flores melewati ambang yang dangkal dari profil seperti pada Gambar 11, antara slope Dewakang Sill sampai kontur dasar Laut Jawa. Kondisi aliran permukaan yang dikontrol oleh angin lokal dan terhalang oleh kontur dasar yang dangkal menurut Gordon dan Susanto (1999) dalam Potemra et al. (2003) yang menjelaskan pengaruh aktivitas aliran permukaan

67 49 perairan Selat Makassar, Ombai, dan Timor dengan nilai kisaran arus berada pada ± 0 x 10 3 s -1 terlihat sampai kedalaman 300 m. Ditambahkan lagi bahwa anomali transpor aliran permukaan dikontrol angin lokal sehingga terlihat melemah ke utara tetapi pada lapisan tengah bergerak maksimal ke selatan dan lapisan terdalam terlihat pergerakan yang lemah kembali ke utara. Adanya pelemahan aliran permukaan disebabkan oleh ambang yang dangkal yang menghalangi aliran lapisan bawah ke permukaan menuju selatan dan kuatnya siklus musiman di lapisan permukaan di Selat Makassar. Gambar 11. Penampang melintang kecepatan arus komponen V (m s -1 ) Profil kecepatan aliran arus Arlindo di Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill terhadap kedalaman yang relatif rendah dengan kisaran mendekati 0 m s -1, tetapi tetap menunjukkan pergerakan yang signifikan. Penurunan aliran yang signifikan ke lapisan dalam ditunjukkan pada kedalaman 150 m dan 200 m, berdasarkan data Aanderaa MAK-2 dan SADCP (Gordon et al. 1999). Dari model instrumen ini disimpulkan bahwa profil percampuran bervariasi terhadap lapisan aliran termoklin dari tahun adalah 9-10 Sv, dengan kontrol musim. Jika dibandingkan dengan nilai kekuataan aliran dari komponen arus Dewakang Sill terlihat pda lapisan terdalam bin maksimal Sv, hal ini dikarenakan profil kedalaman aliran yang dangkal di atas penampang kontur sill/slope yang relatif dangkal. Selanjutnya ditambahkan dengan membandingkan perubahan aliran di Selat Makassar antara NOAA-MAK ( ) dengan periode INSTAN (2004 hingga akhir 2006) oleh Gordon (2010) menyimpulkan bahwa aliran

68 50 termoklin yang intensif dengan kecepaatan maksimal di kedalaman 75 m di atas lapisan termoklin bukan pada kedalaman termoklin 140 m dan adanya peningkatan pengangkutan aliran dari 11,6 Sv menjadi 13,5 Sv pada tahun dengan peningkatan suhu dari 15 C sampai 18 C. Laju aliran yang ditunjukkan oleh komponen arus pada lapisan termoklin dengan kedalaman interval bin yang variatif terlihat bahwa laju pengangkutan aliran kuat, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan aliran di Selat Makassar. Proses Percampuran Massa Air Frekuensi Apung (N 2 ) Profil distribusi melintang frekuensi apung (N 2 ) perairan Selatan Selat Makassar pada Gambar 12, menunjukkan adanya fenomena lapisan-lapisan berbeda dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan permukaan, tengah, dan dalam. Distribusi frekuensi apung yang terbentuk sepanjang Stasiun memiliki pola pelapisan dengan kisaran yang berbeda. Kisaran nilai apung sangat tinggi pada lapisan permukaan dapat dilihat sepanjang Stasiun dengan kedalaman m, mencapai 5 x 10-3 s -2. Berbeda di Stasiun 4, menunjukkan adanya pola pelapisan frekuensi apung permukaan pada kedalaman 0-60 m dengan nilai kisaran 1 x 10-4 s -2 dan 5 x 10-3 s -2, memiliki kesamaan pada nilai frekuensi di lapisan dalam. Kondisi ini menjelaskan bahwa nilai negatif dalam kolom perairan (permukaan dan lapisan dalam), dimana kolom perairan tidak stabil atau berada dalam kondisi instabilitas statis. Fenomena pelapisan oleh frekuensi apung berdasarkan kedalaman menunjukkan adanya pembentukan pola sebaran dengan nilai frekuensi maksimum dan minimum pada kedalaman tertentu. Variasi aktivitas frekuensi apung menjelaskan bagaimana aliran berada dalam kondisi unstabil atau stabil. Secara vertikal Nilai frekuensi pada lapisan permukaan memiliki perbedaan pola sebaran sepanjang Stasiun, perbedaan ditemukan pada Stasiun 5 dengan nilai frekuensi sangat tinggi kemudian pada Stasiun 4 dengan kisaran nilai yang rendah, kembali meningkat pada Stasiun 1. Secara keseluruhan dari Stasiun 2 dan 3 memiliki kisaran dengan pola sebaran relatif sama terhadap kedalaman dari permukaan sampai ke lapisan dalam (0 m m). Nilai frekuensi apung

69 51 terendah (1 x 10-4 s -2 ) kembali ditemukan sama pada lapisan terdalam sepanjang Stasiun 4 hingga Stasiun 1. Gambar 12. Profil distribusi melintang frekuensi apung (N 2 ) berdasarkan data CTD Perubahan gradien densitas terhadap kedalaman suatu perairan memberi pengaruh pada nilai frekuensi apung. Berdasarkan pola pelapisan menjelaskan bahwa lapisan piknoklin merupakan lapisan dengan karakter densitas yang mengalami perubahan besar sebagai petunjuk yang menjelaskan lapisan dengan nilai frekuensi apung tinggi. Keberadaaan lapisan piknoklin dengan ketebalan dan kedalaman berbeda berperan sebagai penghalang pergerakan massa air secara vertikal dari lapisan dalam ke permukaan. Perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman sepanjang Stasiun menunjukkan adanya perbedaan nilai frekuensi yang signifikan. Pada Stasiun 5 memiliki variasi suhu relatif homogen terhadap kedalaman karena perairan cukup dangkal, terlihat nilai frekuensi apung tinggi

70 52 (positif) pada kisaran 2.00 x x 10-3 s -2, hal ini disebabkan oleh densitas relatif sama terhadap kedalaman sampai 50 m dan pada Stasiun 1, menunjukkan lapisan tipis dengan kisaran nilai positif (1.14 x 10-4 s -2 ) pada kedalaman 37 m - 42 m. Besaran nilai N 2 dengan stabilitas tinggi sampai batas terdalam di bawah lapisan termoklin dengan kirasan nilai N 2 ± 0 s -2 dominan di seluruh bagian lapisan (tiga lapisan utama), terutama di lapisan bawah cekungan. Pola distribusi K z dan N 2 dari data CTD berbanding terbalik dan sangat bervariasi dengan nilai K z meningkat pada kedalaman dengan stabilitas terendah pada nilai N 2. Nilai terbesar dari K z di lapisan atas termoklin terlihat kontras dengan nilai terendah pada lapisan di bawah termoklin seperti Gambar 15, sehingga terlihat difusi turbulen veertikal meningkat ke arah batas bawah lapisan, mencapai hampir tiga kali nilai pada termoklin ( 6 x x 10-4 m 2 s -1 ). Shear Arus Vertikal (S 2 ) Vertikal shear merupakan salah satu mekanisme terhadap proses turbulensi yang menghasilkan percampuran internal dalam kolom perairan, hal ini dapat ditelaah dengan melihat nilai kecepatan shear (tegangan secara vertikal). Berdasarkan konsep Steward (2008) menjelaskan bahwa apabila kecepatan berubah terhadap kedalaman pada kondisi perairan stabil dengan aliran yang terstratifikasi, maka aliran akan mengalami kondisi tidak stabil. Berdasarkan grafik shear arus (S 2 ) menunjukkan pola yang bervariasi terhadap kedalaman dari 5 Stasiun. Stasiun 2 yang melintasi Dewakang Sill secara melintang di selatan Selat makassar merupakan perairan dengan topografi berupa slope dan sill yang relatif dangkal berkontribusi terhadap variasi besaran shear arus vertikal (Gambar 13). Variasi pola shear arus vertikal yang terbentuk dengan variasi kedalaman bin antara m m terlihat fluktuatif yang relatif kuat, dikarenakan batas kedalaman verktor arus hanya mewakili kedalam pada lapisan tercampur sampai lapisan termoklin. Kedalaman bin pada Stasiun 5 (12.79 m m) menunjukkan nilai shear yang paling kuat (6.98 x 10-3 s -2 ) dengan variasi pola yang relatif melemah hingga (1.08 x 10-5 s -2 ) dengan bertambahnya kedalaman

71 53 dan kembali meningkat dibagian dasar. Kondisi dengan kedalaman yang dangkal masih dipengaruhi angin yang dominan mengaduk pada lapisan tersebut. Penguatan shear arus pada lapisan permukaan dari semua Stasiun menunjukkan nilai yang cukup besar dengan variasi kedalaman yang berbeda. Berdasarkan interval kedalaman densitas dengan lapisan permukaan tercampur (2 m - 99 m) dan lapisan termoklin (99 m - 209m) untuk batas lapisan dengan kedalaman bin (12.79 m m) pada Stasiun 1, terlihat nilai shear kuat pada kedalaman m (1.20 x 10-3 s -2 ) dan nilai terendah pada kedalaman m (3.13 x 10-6 s -2 ). Nilai shear rendah ditemukan pada lapisan termoklin dari kedalaman m (3.13 x 10-7 s -2 ) kemudian mengalami peningkatan secara fluktuatif hingga kedalaman m (3.26 x 10-4 s -2 ). Pada Stasiun 2 nilai shear tertinggi pada kedalaman m (2.77 x 10-2 s -2 ) selanjutnya shear arus menunjukkan variasi yang kecil dari kedalaman m m dengan kisaran shear antara 1.51 x 10-5 s x 10-4 s -2. Pada Stasiun 3 dan 4 menunjukkan pola shear arus vertikal yang bervariatif terhadap kedalaman. Lapisan permukaan Stasiun 3 antara kedalaman m m dengan nilai tertinggi 1.11 x 10-3 s -2 dan terendah 1.56 x 10-5 s - 2, sedangkan pada kedalaman antara m m, ditemukan nilai tertinggi 1.02 x 10-3 s -2 dan nilai terendah 5.56 x 10-6 s -2. Nilai shear pada Stasiun 4 di lapisan permukaan dua kedalaman dengan nilai tertinggi pada kedalaman m (1.18 x 10-3 s -2 ) dan m (1.76 x 10-3 s -2 ) sedang nilai terendah pada kedalaman m (9.56 x 10-6 s -2 ). Lapisan termoklin m m dengan variasi fluktuasi shear terlihat meningkat dengan bertambahnya kedalaman, dengan nilai tertinggi pada kedalaman m (1.10 x 10-3 s -2 ) dan terendah pada kedalaman m (3.12 x 10-6 s -2 ). Peningkatan nilai shear di lapisan termoklin pada Stasiun 4 dan 3 sebagai fungsi dari perubahan kecepatan komponen arus (u dan v) terhadap kedalaman. Adanya perbedaan perubahan kecepatan arus dengan kedalaman yang berbeda berkontribusi terhadap terbentuknya turbulensi akibat adanya percampuran. Selain itu kontribusi dari perbedaan karakter massa air di titik tersebut berkontribusi terhadap arah dan kecepatan komponen arus akibat adanya perbedaan gradien densitas.

72 54 Gambar 13. Profil vertikal shear arus (S 2 ) perairan Selatan Selat Makassar Bilangan Richardson (Ri) Profil stratifikasi vertikal sebagai penanda adanya proses percampuran dalam kolom perairan, yang ditandai dengan adanya perubahan kecepatan terhadap kedalaman. Nilai rasio dari frekuensi apung (N 2 ) dengan shear vertikal arus dapat dijelaskan berdasarkan nilai bilangan Richardson (Ri) seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Rasio bilangan Richardson sangat ditentukan oleh nilai shear arus kedalaman atau dapat dikatakan berbanding terbalik. Kedalaman bin SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiller) dengan arah arus u dan v digunakan sebagai kedalaman dari estimasi difusi vertikal eddy (K z ) dengan menggunakan nilai gradien shear vertikal. Profil Ri sebagai gambaran aliran secara vertikal berada dalam kondisi berseteratifikasi atau aliran bersifat lamier.

73 55 Gambar 14. Profil distribusi melintang bilangan Richardson perairan Selatan Selat Makassar Bilangan Richardson (Ri) seperti pada Gambar 14, menunjukkan profil lapisan yang tercampur dengan dominansi warna yang memiliki nilai seperti pada aturan bilangan Richardson yang dikemukakan oleh Emery et al. (2005) bahwa jika nilai Ri berada pada kisaran di bawah 0.25 hingga 1, menjelaskan bahwa kolom perairan mengalami percampuran. Dominan bilangan Ri terlihat dari lapisan permukaan sepanjang Stasiun (1-4) pada kedalaman m, dengan kisaran nilai 0.32 sampai Profil Ri tetinggi secara horizontal terlihat pada kedalaman 48 m - 54 m pada Stasiun 4 dan 5, dengan kisaran nilai bilangan Ri antara Tingginya nilai bilangan Richardson pada lapisan ini menjelaskan percampuran di lapisan tersebut sangat lemah. Besaran nilai Ri dengan batas kesesuaian shear arus secara horizontal dan vertikal pada kedalaman bin (4.79 m) pada 1-50 level atau kedalaman m m. Interval kisaran Ri dengan kontrol dari perubahan gradien salinitas dan suhu berkontribusi stabilitas densitas apabila Ri < 0, yang mendominasi hingga kedalaman 208 m dengan menggunakan param stabilitas sesuai dengan estimasi dari Thorpe (2005) dengan rentang Ri (-0,01 < Ri < 100). Jika dibandingkan dengan hasil pada profil Ri yang memiliki rentang yang tinggi antara , hal ini dapat diartikan bahwa ketika shear relatif lebih kecil dari Ri > 1 dan Ri < 4 dikatakan relatif kuat. Berdasarkan nilai ini dapat dikatakan shear arus relatif kuat dan stabilitas dalam kategori sedang sampai tinggi, hal ini dikarenakan perbedaan

74 56 gradien densitas sangat berperan dalam proses percampuran meskipun lapisan termoklin tidak terbentuk lapisan yang seragam. Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (K z ) Koefisien difusi eddy vertikal (K z ) secara melintang merupakan asumsi dari param bilangan Richardson (Ri). Nilai koefisien difusi eddy secara vertikal mengambarkan aktivitas turbulensi dalam kolom perairan yg menjelaskan proses percampuran, sehingga kondisi dimana nilai percampuran sejalan dengan bertambahnya nilai koefisien difusi. Kondisi fluida mengalami turbulensi dengan melemahnya nilai bilangan Richardson, sehingga nilai tersebut akan berbanding terbalik dengan nilai koefisien difusi eddy secara vertikal. Rata - rata Nilai difusivitas vertikal eddy dari 5 Stasiun dengan perataan 50 m, yang didasarkan dengan kedalaman dari Stasiun 5 yang hanya memiliki kedalamaan hingga 50 m, selanjutnya nilai dari displacement (d). Dari nilai K z dominan tinggi ditemukan pada tiap Stasiun (1-4) di lapisan dalam, tetapi fluktuasi dari aktivitas K z sangat kecil di Stasiun 4, dikarenakan nilai - nilai displacement yang terbentuk rendah dan tidak memenuhi kriteria dari metode Galbraith and Kelley (dgk). Tinggi rendahnya nilai K z sebagai indikasi dari aktivitas gelombang internal sepanjang Stasiun. Indikasi dari aktivitas pasang surut internal yang menghasilkan gelombang internal pada waktu pengukuran di Stasiun tersebut berpengaruh terhadap tahap perhitungan besar kecilnya nilai difusivitas vertikal eddy pada tiap lapisan kolom perairan melalui kalkulasi nilai displacement, skala Thorpe, dan energi kinetik disipasi turbulen eddy ( Ԑ ). Nilai K z dengan nilai frekuensi apung dari data densitas (σ o ) pada Gambar 15, menunjukkan nilai aktivitas difusivitas vertikal eddy pada tiap lapisan yang sangat variatif terhadap tekanan sepanjang profil melintang pengamatan (Stasiun 1-5). Lapisan permukaan dari Stasiun 1 4 tidak ditemukan nilai difusivitas vertikal eddy dengan nilai 0 m 2 s -1, dikarenakan kondisi densitas yang statis. Nilai K z keseluruhan di lapisan termoklin dari 4 Stasiun, menunjukkan nilai rata - rata K z pada lapisan termoklin sebesar 1.40 x 10-2 m 2 s -1. Nilai tertinggi ditemukan pada Stasiun 3 (7.17 x 10-2 m 2 s -1 ) dan terendah pada Stasiun 4 dengan nilai 1.54 x 10-4 m 2 s -1, dimana kondisi ini sangat tergantung dari lapisan pycnocline dan

75 57 halocline yang menyebabkan adanya perbedaan tingkat stabilitas stasis sepanjang Stasiun. Aktivitas dengan nilai rata - rata vertikal K z (Tabel 4) menunjukkan energi fluks yang tinggi di lapisan termoklin yang diindikasikan sebagai hasil dari aktivitas gelombang internal berpengaruh besar dikarenakan energi disipasi kinetik turbulen yang kuat dari nilai energi fluks itu sendiri. Menurut Hatayama (2004) yang menemukan nilai difusi vertikal eddy sebesar 6,0 x 10-3 m 2 s -1 dengan mempertimbangkan faktor komponen pasut M2, jika dibandingkan dengan nilai K z di Dewakang Sill dari keseluruhan Stasiun pada lapisan termoklin 7.37 x 10-3 m 2 s -1. Hal ini di karenakan adanya fluktuasi gradien densitas pada lapisan termoklin yang mmenyebabkan terbentuknya percampuran turbulensi meskipun lapisan tersebut umumnya dalam kondisi stabilitas statis. Sesuai hasil pemodelan oleh Green et al. (2008) di Laut Celtic dengan menggunakan teori pertubasi pada kedalaman 200 m dan model sirkulasi non-hidrostatik 2 dimensi, menunjukkan bahwa energi fluks dari perbedaan baroklinik di lapisan termokline musiman dan besaran tekanan baroklinik, sehingga gelombang internal yang terbentuk di cekungan dasar tidak menjadi pemicu terjadinya percampuran. Estimasi nilai difusivitas vertikal eddy berdasarkan densitas kedalaman juga dilakukan estimasi nilai difusivitas vertikal eddy menggunakan nilai shear vertikal dari vektor arus (u dan v). Komponen arus sebelumnya dilakukan pengkoreksian komponen pasut sehingga pengaruh pasang surut pada aliran tidak mempengaruhi perhitungan shear arus vertikal. Profil seperti disajikan pada Gambar 16, menjelaskan sebaran koefisien difusi eddy vertikal (K z ) sepanjang Stasiun (1-5) pada interval kedalaman bin terukur antara m m. Difusi eddy vertikal (K z ) secara melintang yang merupakan asumsi dari param bilangan shear arus. Nilai difusi eddy secara vertikal mengambarkan aktivitas turbulensi dalam kolom perairan yg menjelaskan proses percampuran, sehingga kondisi dimana nilai percampuran sejalan dengan bertambahnya nilai koefisien difusi. Kondisi fluida mengalami turbulensi dengan meningkatnya nilai bilangan Richardson, sehingga nilai tersebut akan berbanding terbalik dengan nilai koefisien difusi eddy secara vertikal. Peningkatan nilai dari Ri berbanding terbalik

76 58 dengan shear, yang berkontribusi terhadap tinggi rendahnya percampuran yang dapat menyebabkan perairan mengalami turbulen. Gambar 15. Profil koefisien difusi vertikal eddy (Kz) dengan densitas (σo) perairan Selatan Selat Makassar Tabel 4. Nilai rata - rata difusi vertikal eddy (K z ) dengan densitas (σ o ) Stasiun Rata - rata K z [m 2 s -1 ] Standar deviasi Permukaan Thermoklin Dalam Permukaan Thermoklin Dalam x x 10-1 ±3.60 x 10-3 ±2.58 x x x 10-3 ±4.03 x 10-4 ±8.25 x x x 10-1 ±2.31 x 10-2 ±3.54 x x x 10-5 ±1.56 x 10-3 ±6.16 x x 10-1 ±4.40 x 10-2 Kisaran rata - rata difusi vertikal pada Stasiun 1 dan 5, 4.67 x 10-5 m 2 s -1 (±1.00 x 10-4 m 2 s -1 ) dapat diartikan estimasi dari K z dengan shear arus vertikal menunjukkan bahwa lemahnya percampuran yang terbentuk secara vertikal. Nilai K z tertinggi ditemukan pada lapisan permukaan di Stasiun 2 sebesar (9.60 x 10-4

77 59 m 2 s -1 ) dan lapisan termoklin pada Stasiun 4 (7.68 x 10-4 m 2 s -1 ). Kedua lapisan pada Stasiun 1 sendiri menunjukkan nilai tertinggi pada lapisan permukaan (1.50 x 10-4 m 2 s -1 ) dan lapisan termoklin (1.04 x 10-4 m 2 s -1 ) jika dibandingkan dengan Stasiun lain pada kedua lapisan tersebut dengan nilai K z rendah dengan kisaran antara 3.00 x 10-5 m 2 s x m 2 s -1. Tabulasi rata - rata estimasi K z berdasarkan nilai shear arus vertikal seperti ditunjukkan pada Tabel 5, terlihat bahwa nilai K z tertinggi pada lapisan permukaan 1.70 x 10-4 m 2 s -1 (±2.34 x 10-4 m 2 s -1 ). Kondisi ini menunjukkan bahwa pada lapisan permukaan di Stasiun 2 mengalami percampuran yang lebih kuat dibandingkan dengan lapisan lainnya, dimana dipengaruhi oleh aktivitas arus yang kuat pada lapisan permukaan dan pengadukan angin. Selain itu nilai disipasi ( Ԑ ) dan skala Osmidov (L o ) yang rendah sejalan dengan lemahnya nilai shear arus vertikal berpengaruh terhadap nilai K z terhadap kedalaman. Pada lapisan isopiknal di atas lapisan piknoklin menunjukkan percampuran dengan instabilitas fluida dari fluks difusi massa, dimana lapisan massa air berdensitas ringan berada di atas lapisan berdensitas berat. Nilai fluks vertikal antara 1.50 x x 10-5 m 2 s -1 yang terlihat sampai ke permukaan. Kondisi ini di jelaskan oleh Staquet (2007) bahwa adanya pengaruh gelombang gravitasi internal yang menembus instabilitas dinamis (daya apung). Selanjutnya Ledwell et al. (1998) dalam Martin et al. (2010) menjelaskan bahwa difusivitas turbulen biasanya 10 2 m 2 s -1 atau lebih di lapisan campuran tapi beberapa kali lipat lebih kecil di lapisan dalam. Hal ini mencerminkan kontribusi utama dari pendinginan atmosfer dan tekanan angin mendorong percampuran turbulen di lapisan permukaan serta interaksi topografi dengan gelombang internal. Variasi sebaran nilai difusi eddy vertikal menunjukkan pola gradien fluktuasi terhadap kedalaman. Variasi koefisien difusi eddy vertikal menunjukkan adanya variasi nilai, kondisi ini sangat dipengaruhi tekanan atmosfer (pergerakan angin) yang mengaduk lapisan permukaan sampai kedalaman 200 m dan pengaruh adanya pembalikan densitas serta pergerakan shear arus sepanjang punggung seamount dan sill. Variasi nilai koefisien difusi eddy vertikal sepanjang Stasiun sangat berbeda, sehingga terlihat pelapisan dengan kisaran nilai yang sama di beberapa kedalaman dan Stasiun berbeda.

78 60 Gambar 16. Profil Koefisien Difusivitas Eddy Vertikal (K z ) berdasarkan nilai shear (S 2 ) arus perairan Dewakang Sill Tabel 5. Rata - rata K z berdasarkan nilai shear arus vertikal (S 2 ) Stasiun Rata - rata K z [m 2 s -1 ] Standar deviasi Permukaaan Termoklin Permukaaan Termoklin x x 10-5 ±3.63 x 10-5 ±2.33 x x x 10-5 ±2.34 x 10-4 ±3.77 x x x 10-5 ±8.44 x 10-6 ±1.04 x x x 10-5 ±1.46 x 10-5 ±1.68 x x 10-6 ±8.93 x 10-6 Analisis param turbulen yang menciptakan percampuran vertikal dalam kolom perairan menurut Kawabe (2008) menjelaskan bahwa dengan difusivitas vertikal eddy (K z ) merupakan parameter kunci untuk konservasi densitas air, suhu, salinitas, dan konsentrasi bahan. Parameter ini memainkan peranan penting dalam

79 61 pembentukan dan konversi massa air dan penentuan struktur sirkulasi vertikal dalam lautan. Percampuran vertikal sendiri dalam lautan berfungsi sebagai kontrol stratifikasi dalam kolom perairan. Fungsi mekanisme menekan fluks vertikal nutrien dan mempertahankan klorofil maksimum di zona eufotik. Nilai fluks vertikal yang tinggi dari lapisan dalam yang terlihat pada kedalaman bin (206 m) sampai ke lapisan permukaan di atas lintasan pengamatan, menunjukkan adanya profil aliran fluks yang sama pada kedua sisi dengan nilai yang sama jika dibandingkan dengan bagian tengah. Tingginya difusi vertikal sebagai estimasi fluks di lapisan isopiknal di atas lapisan termoklin pada perairan yang relatif dangkal dan menjadi gambaran karakteristik aktivitas percampuran vertikal di bagian utara dan selatan Dewakang Sill. Karakter aliran dengan shear arus yang kuat bagian utara dibandingkan dengan bagian Selatan berkontribusi terhadap disipasi energi secara vertikal. Energi disipasi merupakan perubahan bentuk energi dari shear arus dengan gradien vertikal, sebagai hasilnya berkontribusi terhadap jumlah nilai fluks vertikal. Perbedaan percampuran pada berbagai bagian di atas topografi menurut Aucan et al. (2008) akibat aktivitas gelombang pasut internal di sisi elevasi slope (rigde), dimana aktivitas gelombang semidiurnal yang kurang energik di bagian utara dibanding bagian Selatan bedasarkan shear arus horizontal dan vertikal yang menyebabkan perbedaan aktivitas percampuran. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya interval pemisah yang sangat dalam antara lapisan propagasi gelombang internal dengan lapisan dalam. Variasi Turbulensi Fluks Nutrien Nilai koefisien difusi eddy vertikal digunakan sebagai param turbulen untuk menjelaskan fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) pada lapisan fluida, sehingga besaran nilai percampuran oleh aktivitas turbulensi memberi kontribusi yang sama terhadap konsentrasi nutrien secara vertikal. Variasi fluks nitrat berbanding lurus seiring dengan fluktuasi koefisien difusi eddy vertikal, dimana kondisi terlihat jelas dengan bertambahnya tekanan. Variasi turbulensi fluks nutrien secara diagram seperti pada Gambar 17, menunjukkan kisaran konsetrasi nutrien secara vertikal yang ditentukan oleh

80 62 besaran nilai koefisien difusi eddy vertikal (K z ). Fluks nutrien dibagi ke dalam 3 lapisan utama sesuai dengan kedalaman lapisan densitas (permukaan tercampur, termoklin, dan lapisan dalam) dari 5 Stasiun. Pada grafik tersebut terdapat kisaran nilai fluks masing-masing nutrien yang didasarkan pada standar deviasi dengan interval yang terbentuk merupakan penanda dengan semakin tinggi error bars maka kisaran nilai fluks akan semakin lebar. Kisaran nilai difusi vertikal sepanjang Stasiun di lapisan permukaan tergantung dari nilai difusi vertikal eddy (K z ) dengan kisaran nilai fluks hampir dominan 0 m 2 s -1 pada kedalaman fluks dan rendahnya nilai nutrien lapisan permukaan pada kedalamana standar nutrien. Secara keseluruhan nilai fluks nutrien, nilai fosfat paling rendah (4.70 x 10-5 µg-a m 2 s -1 ), selanjutnya nilai nitrat (8.49 x 10-3 µg-a m 2 s -1 ) dan tertinggi pada fluks silikat (2.19 x 10-2 µg-a m 2 s -1 ). Besaran nilai fluks nutrien mendominasi dengan kedalaman lapisan permukaan berbeda pada setiap Stasiun, meskipun masih ditemukan pada lapisan permukaan pada Stasiun 4 dan 5 terlihat nilai fluks 2.54 x 10-2 µg-a m 2 s -1. Besaran fluks nutrien di lapisan permukaan tidak bervariasi pada nilai fluks dari unsur nitrat, fosfat, dan silikat, hal ini dikarenakan nilai K z pada kedalaman tersebut 0 µg-a m 2 s -1. Fluks nitrat pada lapisan permukaan ditemukan pada Stasiun 4 untuk nitrat (1.14 x 10-4 µg-a m 2 s -1 ), fosfat (9.40 x 10-5 µg-a m 2 s -1 ), dan silikat (7.89 x 10-4 µg-a m 2 s -1 ). Pada Stasiun 5 besaran pada kedalaman yang dangkal (50 m) dengan aktifitas percampuran K z sejalan dengan konsentrasi nutrien pada kedalaman tersebut, sehingga fluks nutrien yang tinggi, dimana nilai fosfat (1.41 x 10-4 µg-a m 2 s -1 ), nitrat (4.23 x 10-2 µg-a m 2 s -1 ), dan silikat (1.09 x 10-1 µg-a m 2 s -1 ). Pada lapisan dalam menunjukkan nilai fluks nutrien vertikal yang tinggi, terutama pada konsentrasi unsur silikat kemudian unsur nitrat selanjutnya fosfat. Besaran fluks silikat tertinggi mencapai 8.90 x 10-2 µg-a m 2 s -1, diikuti fluks nitrat 2.11 x 10-2 µg-a m 2 s -1, kemudian fosfat 6.92 x 10-2 µg-a m 2 s -1. Nilai fluks silikat secara vertikal terlihat tinggi pada lapisan dalam jika dibandingkan dengan permukaan dan lapisan termoklin, kondisi ini menjelaskan konsentrasi unsur silikat yang terabsorpsi dalam kolom perairan. Senyawa organik terlarut silikat dalam kolom perairan yang merupakan sisa - sisa dan peluruhan jasad renik

81 63 fitoplankton dari kelompok diatom, dimana komunitas ini merupakan jenis fitoplankton yang mendominasi perairan terbuka. Gambar 17. Grafik fluks nitrat vertikal (µg-a m 2 s -1 ) berdasarkan difusi vertikal eddy (K z ) dari densitas (σ o ) Adanya peningkatan kembali dengan gradien 0.01 µg-a m 2 s -1 terhadap tekanan sebagai akibat melemahnya difusi di lapisan dalam dengan nilai terendah ditunjukkan pada Gambar 15 (data CTD). Kondisi secara umum adanya fluktuasi gradien penurunan konsentrasi fosfat dari lapisan permukaan hingga di bawah lapisan termoklin, diakibatkan oleh penyerapan alga dalam fotosintesis. Gradien fluks kembali meningkat diakibatkan adanya konsentrasi oleh dekomposisi organisme tersebut. Fluks vertikal silikat menunjukkan nilai konsentrasi fluks relatif sama dengan nilai fluks fosfat dan memiliki kisaran tertinggi setelah fluks nitrat. Profil melintang menunjukkan adanya dominasi kisaran yang relatif sama dengan tampilan pada profil melintang fluks fosfat. Fluktuasi gradien fluks silikat kembali meningkat di lapisan dalam dengan gradien µg-a m 2 s -1, dimana kondisi ini konsentrasi merupakan ciri bahwa nilai silikat meningkat pada lapisan dalam di atas dasar perairan. Estimasi difusivitas vertikal yang tinggi di lapisan dalam dan melemah di lapisan termoklin hingga permukaan dengan skala kedalaman yang signifikan pada lapisan kritis secara vertikal. Estimasi fluks nutrien dengan menggunakan nilai difusi vertikal eddy (K z ) dari shear arus vertikal (S 2 ) seperti pada grafik Gambar 18. Nilai fluks vertikal nutrien berdasarkan kedalaman K z dari vertor arus pada kedalaman bin

82 m m. Nilai difusi vertikal eddy (K z ) fluks vertikal nutrien mewakili kedalaman standar nutrien sampai kedalaman m. Besaran nilai fluks nutrien sangat tergantung pada kuatnya K z pada interval kedalaman dan konsentrasi nutrien itu sendiri. Fluks nutrien secara vertikal dibagi kedalam 2 lapisan utama (lapisan permukaan tercampur dan termoklin) dengan ketebalan lapisan permukaan bervariatif pada setiap Stasiun. Secara detail fluks nutrien dengan K z dari interval kedalaman shear vertikal arus, dan interval besaran fluks nutrien dengan error bars dari konsentrasi nutrien ditunjukkan juga berdasarkan interval kedalaman shear vertikal arus. Gambar 18. Grafik fluks nitrat vertikal (µg-a m 2 s -1 ) berdasarkan difusi vertikal eddy (K z ) dari shear arus (S 2 ) Secara keseluruhan rata - rata nilai fluks nutrien pada lapisan permukaan tercampur dari Stasiun 1-5 dengan interval m m. Pada lapisan ini menunjukkan besaran nilai fluks nutrien 4.6 x 10-5 µg-a m 2 s -1 dari 3 unsur dengan fluks tertinggi dimulai dari unsur silikat (9.8 x 10-5 µg-a m 2 s -1 ) kemudian nitrat (3.7 x 10-5 µg-a m 2 s -1 ) dan fosfat (2.2 x 10-6 µg-a m 2 s -1 ). Kondisi lapisan termoklin yang relatif stabil terlihat kisaran fluks yang lebar dengan nilai fluks tinggi kedua meskipun lebih rendah dari lapisan permukaan tercampur. Secara keseluruhan rata - rata fluks nutrien di lapisan termoklin tertinggi dari unsur silikat (2.0 x 10-5 µg-a m 2 s -1 ) kemudian nitrat (1.4 x 10-5 µg-a m 2 s -1 ) dan terendah fosfat (1.5 x 10-6 µg-a m 2 s -1 ). Besaran nilai fluks di lapisan termoklin dengan fluida yang stabil dengan kontribusi shear arus dengan rendahnya gradien densitas menyebabkan aktivitas percampuran vertikal. Semakin besarnya gradien densitas

83 65 terhadap tekanan antar fluida di lapisan termoklin sebagai pemicu terbentuknya shear fluida, dimana densitas di lapisan termoklin menekan percampuran vertikal di lapisan tersebut. Penggunaan param konsentrasi nitrat menjadi variabel utama dalam estimasi fluks turbulen nutrien dalam kolom perairan dikarenakan menurut Martin et al. (2010) bahwa nilai nitrat memiliki korelasi yang baik dengan laju serapan unsur hara oleh fitoplankton dalam produktivitas dan memiliki hasil pengukuran yang simultan dalam penyerapan nitrat. Selanjutnya jika dikaitkan antara presentase percampuran turbulen vertikal dengan laju serapan nitrat hanya sepertiga dari jumlah serapan pada wilayah perairan Khatulistiwa dan nilai tersebut diabaikan pada lintang tinggi dari pengamatan sebelumnya oleh Carr et al. (1995) dalam Martin et al. (2010). Jika dibandingkan dengan pengamatan Ledwell et al. (2008) pada zona eufotik Sargasso dengan memodelkan dinamika eddy permukaan, dimana kecepatan vertikal fluks nutrien oleh difusi turbulensi eddy berkontribusi 4 kali lebih rendah jika dibandingkan dengan pengaruh energi fluks difusi apung (diffusive buoyancy flux) dan sejauh mana serapan sinar matahari oleh fitoplankton. Nilai fluks nitrat di bawah lapisan eufotik sangat dipengaruhi oleh gradien densitas dan besaran nilai difusi turbulen vertikal. Besaran energi percampuran turbulen vertikal tidak menjadi penentu ketebalan konsentrasi klorofil-a hingga batas bawah termoklin dimana fluktuasi densitas yang tidak stabil. Ketebalan dan gradien fluktuasi densitas di lapisan tengah menekan laju fluks nitrat vertikal. Fluks nitrat vertikal di bawah zona eufotik berdasarkan Bahamon,Velasquez, dan Cruzado (2003) yang memodelkan fluks nitrat, menjelaskan bahwa perkiraan fluks nitrat itu sendiri lebih dipengaruhi oleh gradien nitrat daripada gradien densitas itu sendiri. Ditambahkan lagi bahwa jumlah radiasi menentukan kedalaman maksimum klorofil-a dan pada lapisan tengah dipengaruhi oleh lapisan termoklin. Hasil yang berbeda pada perairan dengan pelapisan bertingkat, dimana konsentrasi klorofil-a ditemukan pada lapisan termoklin pada kedalaman 30 m dengan suhu 25 o C di Laut Iris. Selanjutnya dikatakan bahwa implikasi dari perbedaan antara dyapicnal fluks dan fluks nitrat adalah sebagian besar nitrat

84 66 menjadi tercampur ke dalam zona eufotik adalah nitrat dalam air yang merupakan sisa dari produktivitas bentik di musim dingin sebelumnya (Rippeth et al. 2009). Korelasi Nutrien Terhadap Kandungan Klorofil-a Profil pada Gambar 19a, menyajikan sebaran melintang konsentrasi klorofil-a di perairan Dewakang Sill Selatan Selat Makasar. Konsentrasi klorofil-a melimpah di lapisan permukaan sampai termoklin berkisar antara µg- A m -3 dan bernilai 0 (nol) pada lapisan dalam (350 m). Gambar 19b, menunjukkan rata-rata dan standar deviasi dari gradien klorofil-a yang dihitung dari semua Stasiun pengamatan, juga memperlihatkan konsentrasi klorofil-a melimpah di lapisan permukaan sampai termoklin (250 m). Melimpahnya konsentrasi kolrofila di permukaan dikarenakan ketersediaan sinar matahari dan nutrien yang dimanfaatkan untuk proses fotosintesis klorofil-a. Lapisan dalam memiliki konsentrasi klorofil nol disebabkan tidak tersedianya sinar matahari, walaupun memiliki konsentrasi nutrien (N, P, Si) yang relatif lebih besar. a b Gambar 19. a) Profil distribusi melintang kandungan klorofil-a perairan Dewakang Sill b) rata-rata (solid) dan rata-rata +/- standard deviasi (dashed) profil gradien klorofil dari data Roxcete CTD. Konsentrasi klorofil-a permukaan di daerah perairan Indonesia dipengaruhi oleh kuatnya stratifikasi akibat interaksi tekanan atmosfer dan interaksi dengan topografi yang dangkal. Peningkatan konsentrasi klorofil di lapisan permukaan hingga kedalaman 400 m lebih dipengaruhi oleh adanya massa air yang bergerak dari lapisan bawah pada bagian Selatan sill dan slope

85 67 Dewakang. Ketebalan konsentrasi klorofil secara melintang dan vertikal sampai pada batas bawah lapisan termoklin. Kondisi ini menurut Tubalawony (2007) dipengaruhi oleh kenaikan lapisan massa air membawa kandungan hara ke lapisan permukaan oleh aktivitas upwelling musim timur (Juli - Agustus). Kedalaman lapisan klorofil permukaan lebih dominan akibat adanya suplai nutrien dari limpasan di lapisan dalam Selat Makassar dan Laut Flores. Ketersedian klorofil di sisi barat Dewakang sill yang rendah akibat adanya pengenceran aliran massa air di Laut Jawa dengan curah hujan musiman tinggi (Agustus) yang menyebabkan kurangnya intensitas cahaya meskipun aliran unsur hara cukup tersedia dari daratan. Berdasarkan model percobaan yang dilakukan oleh Friedrich et al. (2011) menunjukkan peningkatan produktivitas primer di lapisan permukaan pada lintang rendah akibat percampuran yang disimulasikan oleh fluktuasi gradien suhu dan salinitas permukaan serta pengaruh topografi. Penguatan produktivitas primer dengan tingginya intrusi suhu permukaan mengangkat konsentrasi nutrien di atas lapisan termoklin. Intensitas penetrasi sinar matahari dengan gradien suhu yang kecil hingga lapisan di bawah lapisan termoklin memicu adanya upwelling. Efek dari pemanasan lapisan permukaan/eufotik yang menyebabkan peningkatan fotosintesis hingga di bawah lapisan tercampur, dimana kedalaman yang relatif dangkal dengan lapisan termoklin yang tebal dan tipis pada kedalaman 150 m dan suhu 20 o C. Adanya intrusi oleh dua suplai massa air di atas perairan Dewakang Sill menciptakan front yang menyebabkan adanya mekanisme konveksi dan subduksi yang menyebabkan percampuran pada lapisan permukaaan. Adanya perbedaan konsentrasi salinitas menjelaskan penyebaran konsentrasi klorofil tidak menyeluruh di lapisan eufotik. Kuatnya pengaruh Angin Timur (Mei - Agustus) yang menekan lapisan permukaan di sisi timur perairan Dewakang menyebabkan pengangkatan massa air ke lapisan permukaan. Kondisi ini dijelaskan oleh Nagai et al. (2008) bahwa mekanisme subduksi dan udveksi daya apung (buoyancy) dari upwelling yang lokal mengangkut lapisan nitrakline pada lapisan termoklin, sehingga peningkatan fotosintesis hanya terjadi pada batas termoklin dan di bawah lapisan permukaan tercapur oleh pengaruh tekanan angin.

86 68 Gambar 20, menyajikan korelasi regresi linier nutrien (nitrat, fosfat dan silikat) terhadap konsentrasi klorofil-a per kedalaman perairan dari semua Stasiun pengamatan. Konsentrasi klorofil-a pada kedalaman m menunjukkan nilai konsentrasi 0 (nol) dan dikorelasikan dengan nilai nutrien (N, P, Si) yang secara umum semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Sumbu X (konsentrasi nutrien) dan Y (konsentrasi klorofil-a) dikorelasikan dengan selang kepercayaan 99%. Hasil menunjukkan terjadi korelasi negatif antara fluks nutrien (nitrat dan fosfat) dengan konsentrasi klorofil-a pada gradien kedalaman dan berkorelasi positif dengan fluks silikat dengan nilai keeratan (r) untuk Si, N, P berturut-turut adalah; ; ; dan Pada Gambar 21, menunjukkan korelasi negatif antara fluks nutrien dan konsentrasi klorofil-a dengan kedalaman bin. Korelasi negatif dengan nilai koefisien keeratan (r) fluks Si, P, N dengan konsentrasi klorofil-a secara berturut - turut adalah; ; - 0,4210; -0,3621. Gambar 20. Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan K z densitas (σ o ) Nilai korelasi pada Gambar 20 merupakan nilai yang digunakan untuk mengukur persentase pengaruh variabel independen (fluks nutrien) terhadap perubahan variabel dependen (klorofil-a). Nilai ini dapat diartikan bahwa pengaruh konsentrasi silikat sebesar 3.81%, pengaruh nitrat sebesar -2.37%, dan

87 69 pengaruh fosfat sebesar -2.75%. Nilai ini menunjukkan bahwa walaupun memiliki korelasi negatif akan tetapi terlihat secara berturut-turut nitrat lebih mempengaruhi konsentarsi klorofil-a kemudian fosfat. Korelasi positif pada silikat sebagai penanda dominasi fitoplankton dari komunitas jenis diatom dalam perairan terbuka. Persentase pengaruh dari tingkat nilai keeratan (r) antara variabel independen (fluks nutrien) dengan konsentrasi klorofil-a sebagai variabel dependen. Sesuai dengan persentase keeratan yang berkorelasi negatif, dapat diartikan bahwa fluks nutrien dengan menggunakan estimasi K z dari shear arus vertikal. Secara persentase pengaruh yang berkorelasi negatif, silikat lebih berpengaruh (4.32%) selanjutnya fosfat (4.21%) terakhir nitrat (3.62%). Jika dibandingkan antara korelasi fluks nutrien dengan K z dari sigma-theta (σ o ) terlihat nilai nitrat lebih berpengaruh dibanding nilai fosfat, sedangkan korelasi fluks nutrien dengan K z dari shear arus vertikal menunjukkan bahwa setelah silikat, fosfat lebih berpengaruh dibanding nitrat. Kondisi ini disebabkan oleh batasan estimasi nilai aktivitas difusi vertikal eddy dan kontribusi dari aktivitas percampuran dengan perbedaan pada lapisan kedalaman. Gambar 21. Korelasi fluks nutrien dengan konsentrasi kandungan klorofil-a berdasarkan K z dari shear arus vertikal

88 70 Hasil estimasi korelasi regresi fluks nutrien dan konsentrasi klorofil-a hanya korelasi fluks silikat dan klorofil-a pada Gambar 20, yang berpengaruh positif. Kondisi ini disebabkan oleh keberadaan komunitas jenis diatom yang mendominasi lapisan perairan oceanik, juga tergantung dari perbedaan besaran kebutuhan nutrien dari jenis fitoplankton itu sendiri. Korelasi negatif fluks nutrien dari nitrat dan fosfat, dapat diartikan bahwa pada kondisi tersebut komunitas fitoplankton tidak lagi membutuhkan nutrien untuk proses metabolisme dan produktivitas lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh Pomeroy (1991) dalam Tubalawony (2007) bahwa laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi, selanjutnya pertumbuhan fitoplankton tidak lagi tergantung pada konsentrasi nutrien.

89 71 KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap profil dan pola yang terbangun dari dinamika perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Perairan Selatan Selat Makassar dan Dewakang Sill memiliki stratifikasi lapisan terhadap kedalaman dengan karakteristik yang dipengaruhi oleh pertemuan massa air dari Selat Makassar dan Laut Jawa juga dari Laut Flores yg menyebabkan adanya front di lapisan permukaan tercampur. Keberadaan sill/slope yang relatif dangkal berkontribusi terhadap karakter aliran dan dinamika percampuran massa air. 2. Laju shear arus yang kuat pada komponen vektor arus menyebabkan nilai bilangan Richardson (Ri) melemah di lapisan permukaan dan sebaliknya meningkat pada lapisan tengah dan dalam perairan. 3. Fluks nitrat akibat proses percampuran vertikal turbulen dengan menggunakan estimasi koefisien difusian vertikal (K z ) dan rasio frekuensi apung menunjukkan bahwa nilai energi fluks oleh difusi vertikal berkontribusi kecil pada perpindahan nilai konsentrasi nutrien (nutrien) dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (zona eufotik). 4. Distribusi konsentrasi nutrien vertikal secara umum selalu berada di bawah lapisan termoklin dan lebih dalam dari nilai konsentrasi klorofil-a terukur. Kondisi ini menjelaskan kontrol difusi fluks nitrat ke lapisan eufotik hanya terjadi pada batas lapisan nitraklin daripada kedalaman lapisan termoklin. 5. Korelasi nilai fluks nutrien dengan konstrasi klorofil-a dengan tingkat keeratan (r) berdasarkan kedalaman standar, menunjukkan pengaruh silikat lebih dominan jika dibandingkan dengan nitrat dan posfat.

90 72 Saran Analisis fluks nutrien dan stratifikasi konsentrasi klorofil-a dalam kolom perairan secara vertikal dan horizontal dapat juga dijelaskan melalui metodologi pemodelan untuk prediksi fluktuasi dan pola penyebarannya secara spasial. Untuk menjelaskan pengaruh dinamika internal (internal tide, internal wave) terhadap proses percampuran vertikal dibutuhkan data rekaman minimal dalam 1 siklus (24 jam) Pelapisan dan dinamika percampuran massa air perairan Dewakang Sill, akan menunjukkan pola yang signifikan terhadap pengaruh masukan massa air, dan musiman dengan menggunakan data time series secara spasial dan temporal. Menjelaskan estimasi koefisien difusi vertikal eddy kaitannya fluks nutrien harus juga mempertimbangkan shear arus dari komponen vektor w model tiga dimensi, selain komponen u dan v data SADCP secara microstrukture dalam menjelaskan gradien tekanan terhadap sumbu z secara vertikal. Dibutuhkan data rekaman data flouroense dalam menjelaskan kosentrasi dan sebaran nutrien (nitrat) pada setiap m jarak kedalaman.

91 73 DAFTAR PUSTAKA Atmadipoera A, Molcard R, Madec G, Wijffels S, Sprintall J, Koch-Larrouy A, Jaya I, Supangat A Characteristics and Variability of the Indonesian Throughflow Water at the Out flow Straits. Deep-Sea Research I. 56: Aucan J, Merrifield M Boundary mixing associated with tidal and nearinertial internal waves. Journal of Physical Oceanography 38 : Bahamon N, Velasquez Z, Cruzado A Chlorophyll-a and Nitrogen Flux in the Tropical North Atlantic Ocean. Deep-Sea Research I. 50: Cullen JJ, Lewis MR, Davis CO, Barber RT Photosynthetic characteristics and estimated growth rate incate grazing is proximate control pf primary production in the Equatorial Pasific. Journal of Geophysical Research Letter 79 : Eaton AD, Clesceri LC, Rice EW, Greenberg AE, editor Standard Method fo the Examination of Water and Wastewater. Ed ke-21. United State of America: American Public Health Association Ffield A Tidal Mixing in the Indonesia Seas. Paper presented at Internasional Scientific symposium at the IOC-WESTPAC, IOC Bali. Indonesia. Fotonof NP, Tabata POG Manuscript Report Series. No 25. Roma. Friedrich T, Timmermann A, Decloedt T, Luther DS, Mouchet A The Effect of Topography-Enhanced Diapycnal Mixing on Ocean and Atmospheric Circulation and Marine Biogeochemistry. Journal Ocean Model 39: Gordon AL, Ffield A, Ilahude AG Thermocline of the Flores and Banda Seas. Journal of Geophysical Research 99: Gordon AL, Fine RA Pathways of water between the Pasific and Indian ocean in the Indonesian seas. Nature. 379 : Gordon AL, Giulivi CF, Ilahude AG Deep topographic barriers within the Indonesian seas. Deep-Sea Research II. 50: Gordon AL, Susanto RD, Ffield A, Huber BA, Pranowo W, Wirasantosa S Makassar Strait Throughflow, 2004 to Journal of Geophysical Research Letter 35:1-5.

92 74 Gordon AL, Sprintall J, Van Aken HM, Susantoa D, Wijffels S, Molcarde R, Ffieldf A, Pranowog W, Wirasantosa S The Indonesian throughflow during as Observed by the INSTANT program. Journal Dynamic of Atmospheres and Oceans 50: Gordon AL Measuring the Makassar Strait Throughflow, the Primary Component of the Indonesian Throughflow. Observing the Oceans for Science and Society Climate. Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University, New York, USA. Green JAM, Simpson JH, Legg S, Palmer MR Internal waves, baroclinic energy fluxes and mixing at the European shelf edge. Journal Continental Shelf Research 28: Hatayama T Transpormation of the Indonesian throughflow water by vertical mixing and its relation to tidally generated internal waves. Journal of Oceanography 60: Hautala SL, Reid JL, Bray N The Distribution and mixing of Pasific water masses in the Indonesian seas. Journal of Geophysical Research 101: Ilahude AG, Gordon A Thermocline stratification within the Indonesian Sea. Journal of Geophysical Research 101: Ilahude, AG Pengantar Oseanologi Fisika. P3O-LIPI. Jakarta. Khaira A Kondisi Alih Bahang Dalam Proses Internal Mixing Melalui Tahapan Difusi Ganda Dan Turbulensi Di Perairan Raja Ampat. [Skripsi]. IPB Bogor. Kawabe M Vertical and horizontal eddy diffusivities and oxygen dissipation rate in the subtropical Northwest Pacific. Deep-Sea Research I. 55: King CAM An Introduction to Oceanography. McGraw Hill Book Company, Inc. New York. Klymak, Jody M, Legg S, Pinkel R A simple paramization of turbulent tidal mixing near supercritical topography. Journal of Physical Oceanography 40: Laevastu T, Hela I Fisheries Oceanography. Fishing News Book Limited. London. Levinton JS Marine Ecology. Printice-Hall.

93 75 Ledwell JR, McGillicuddy Jr DJ, Anderson LA Nutrient flux into an intense deep chlorophyll-a layer in Mode-Water Eddy. Deep-Sea Research II. 55: Law CS, ER Abraham, AJ Watson, MI Liddicoat Vertical eddy diffusion and nutrient supply to the surface mixed layer of the Antarctic Circumpolar Current. Journal of Physical Oceanography 108: Lane-Serff G F "Topographic and boundary effects on steady and unsteady flow through straits". Topical Studies in Oceanography. Deep-Sea Research II 51; Martin AP, Lucas M, Painter SC, R Pidcock, Prandke H, Prandke H, Stinchcombe MC The supply of nutrients due to vertical turbulent mixing : A study at the porcupine abyssal plain study site in the Northeast Atlantic. Deep-Sea Research II. 57: Matsuura M, Sigimoto T, Nakai M, Tsuji S Oceanographic conditions near the spawning ground of soutrm Bluefin Tuna; Northeastern Indian Ocean. Journal of Oceanography 53: Munk W, Wunsch C Abyssal recipes II: Energetics of tidal and wind mixing, Deep-Sea Research I. 45: Nagai T, Tandon A, Gruber N, McWilliams JC Biological and physical impacts of ageostrophic frontal circulations driven by confluent flow and vertical mixing. Journal of Dynamic Atmospheres and Oceans 45: Naulita Y Karakteristik massa air pada perairan lintasan Arlindo. [Tesis]. IPB. Bogor. Neumann G, Pierson WJ Principles of Physical Oceanography. Engle Wood Cliffs, N.J. Prentice Hall Inc. New York. Osborn TR Estimates of the local rate of vertical diffusion from dissipation measurement. Journal of Physical Oceanography 10: Parsons TR, Takashi M, Hargrave B Biological Oceanography Processes. Third Edition. Pargamon Press. New York. Park YH, Fuda JL, Duran I, Garabato ACN. Internal Tides and Vertical Mixing Over the kerguelen Plateau. Deep-Sea Research II. 55 ; Pond S, Pickard GL Introductory Dynamical Oceanography. Pergamon Press. New York.

94 76 Potemra JT, Hautala SL, Sprintall J Vertical Structure of Indonesian throughflow in a large-scale model. Deep-Sea Research. 50: Rippeth TP, PhilWiles, Palmer MR, Harples J, Tweddle J The Diapcynal Nutrient flux and shear-induced diapcynal mixing in the seasonally stratified Western Irish Sea. Journal of Continental Shelf Research 29: Robertson R, Ffield R Baroclinic tides in the Indonesian seas: Tidal fields and comparisons to observations. Journal of Physical Oceanography 113:1-22. Ross DA Introduction to Oceanography. Appleton-Century-Croft. Meredith Corporation. New York, NY. Strang EJ, HJS Fernando. Vertical mixing and transport trough a stratified shear layer. Journal of Physical Oceanography 31: Serff GFL Topographic and boundary effects on steady and unsteady. Deep-Sea Research II: 51: Sprintall J, Gordon AL, Murtugudde R, Susanto D A semiannual Indian Ocean forced Kelvin Wave observed in the Indonesian Seas in may Journal of Physical Oceanography 105: Staquet C Boussinesq approximation, geophysical flows internal gravity waves: parametric instability and deep ocean mixing. Journal of Continental Shelf Research. 335: Stewart RH Introduction to Phisycal Oceanography. Departement of Oceanography. Texas A & M University. Stewart RH Introduction to Phisycal Oceanography. Departement of Oceanography. Texas A & M University. Strickland JDH, Parsons TR A Practical hand Book of seawater analysis. Fisheries Research Board of Canada. Sverdrup HU, Jhonson MW, Fleming RH The Ocean, their Physics, Chemistry and General Biology. Prentice Hall. New York. Syah AF Distribusi Vertikal Klorofil-a di Laut Banda Berdasarkan Neural Networking. [Tesis]. IPB. Bogor. Talley LD, Sprintall J Deep expression of the Indonesian Throughflow: Indonesian Intermediate Water in the South Equatorial Current, Journal of Geophysical Research 110, C10009.

95 77 Talley LD, Pickard GL, Emery WJ, Swift JH Chapter S7 Dynamical Processes for Descriptive Ocean Circulation. Descriptive Physical Oceanography: An Introduction [Sixth Edition], Elsevier, Boston, Pages Thorpe SA The Turbulent Ocean. Published in the United States of America by Cambridge University Press, New York. Thurnherr AM Diapycnal mixing associated with an overflow in a deep submarine Canyon. Deep-Sea Research II. 53: Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK, The Ecology of Indonesian seas. Part I. The Ecology of Indonesian series. Peripus Eds. (HK) Ltd. Tomczak, M, Godfrey JS Regional Oceanography: An Introduction. Pergamon Press. Australia. Tubalawony S Kajian klorofil-a dan nutrien serta interlasinya dengan dinamika massa air di perairan barat Sumatera dan Selatan Jawa Sumbawa. Sekolah Pascasarjana. [Disertasi]. IPB. Bogor. Umasangaji H Variabilitas dan karakteristik arus lintas Indonesia hubungannya dengan fluktuasi lapisan Termoklin di perairan selat makassar. Sekolah Pascasarjana [Tesis]. IPB. Bogor. Van Aken HM, Brodjonegoro IS, Jaya I The Deep-water Motion Through the Lifamatola Passage and its Contribution to the Indonesian Throughflow. Deep Sea Res. Part I. 56 ; Wyrtki K Physical Oceanography of the Southeast Asian water. NAGA Report Vol 2. Scripps Inst. Oceanogr. The University of California. La Jolla, California. Xing J, Davies AM On the importance of non-hydrostatic processes in determining tidally induced mixing in sill regions. Journal of Continental Shelf Research. 27:

96 78 LAMPIRAN Lampiran 1. Rata-rara ± standar deviasi (dashed) profil gradien nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) dari data Roxette CTD Pressure (dbar) Konsentrasi nitrat (µa/l) Pressure (dbar) Konsentrasi fosfat (µa/l)

97 Pressure (dbar) Konsentrasi silikat (µa/l) Lampiran 2. Grafik vertikal suhu dan salinitas Perairan sepanjang Stasiun pengamatan Selatan Selat Makassar

98 80

99 Lampiran 3. Profil vertikal Thorpe displacement (d) berdasarkan nilai densitas (σ o ) terhadap kedalaman (m) 81

100 82 Lampiran 4. Diagram alir pengolahan param fisik dari CTD dengan perangkat lunak ODV Data CTD Text File Statioun Mode Section Mode Output : Sebaran Menegak Sebaran Melintang Configuration Derived Variable : Potensial densitas Gravity Geometric height Brunt Väisälä frequency

101 Lampiran 5. Fluks nutrien berdasarkan estimasi difusi vertikal eddy (K z ) dari shear arus (S 2 ) 83

102 84 Lampiran 6. Spesifikasi instrumen alat sampling dan rekaman data 1. CTD (Conductivity,Temperature and Depth) SBE 911 plus Sumber ;

103 85 2. SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler) Profile Parameters Velocity accuracy: ± 1% ± 5mm/s Velocity resolution: 1mm/s Velocity range: ± 5m/s default ± 10m/s max Depth cell size: 2 24m Number of depth cells: Ping rate: 1Hz (typical) Transducer and Hardware Beam angle: 20 Beam width: 4 Configuration: 4-beam, convex Internal memory: Two PCMCIA card slots; one memory card included Communications: RS-232 or RS-422; ASCII or binary output at ,400 baud. Power DC input: 20 50VDC. Standard configuration includes 2 alkaline batteries. (Select from 0, 2, or 4 battery configuration.) Voltage: 42VDC (new) 28VDC (depleted) Capacity Each 0 C: 450 watt hrs Data Communications Interface: RS-232 (default) or RS-422 Baud rate: 300 to 115,200 (9600 default) Input data format: ASCII commands Output data format: Binary or ASCII Standard Sensors Pressure Sensor: 2000m Pressure Accuracy: ±5m Temperature (mounted on transducer): Range: -5 to 45 C Precision: ±0.4 C Resolution: 0.01 Tilt: Range: ±15 Accurac y: ±0.5 Precision: ±0.5 Resolution: 0.01 Compass (fluxgate type, includes built-in field calibration feature): Accuracy: ±2 7 Precision: ±0.5 Resolution: 0.01 Maximum tilt: ±15 Sumber : TELEDYNE RD INSTRUMENTS (

104 86 3. Rosette Sampler Description Models and Rosette multibottle arrays - accommodating 12 or 24 bottles - are two- component systems (deck command unit and a submersible bottle mounting array) for remotely actuating (in sequence) General Oceanics water sampling bottles. Model 1015 series Rosettes are used with models 1010 Niskin, 1080 GO- FLO, or 1010X external spring bottles. The Rosette can be operated either independently, or in conjunction with CTD systems. Bottles on the Rosette may be fitted with model M or M reversing thermometer assemblies (number and volume of bottles determine number of thermometer-reversing assemblies). Sumber :

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan) 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turbulensi (Olakan) Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart, 2002; Thorpe, 2007).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O-

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O- . BAHAN DAN METODE.1 Waktu dan Tempat Penelitian Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data oseanografi perairan aja Ampat yang diperoleh dari program terpadu PO- LIPI dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 Oleh: Alfina Khaira C64104058 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Suhu rata rata permukaan laut

Suhu rata rata permukaan laut Oseanografi Fisis 2 Sifat Fisis & Kimiawi Air Laut Suhu Laut Suhu rata rata permukaan laut Distribusi vertikal Suhu Mixed layer Deep layer Distribusi vertikal Suhu Mixed Layer di Equator lebih tipis dibandingkan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air 7. TINJAUAN PUSTAKA.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas,

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

OSEANOGRAFI. Morfologi Dasar Laut

OSEANOGRAFI. Morfologi Dasar Laut OSEANOGRAFI Morfologi Dasar Laut Outline Teori Continental Drift Teori Plate Tectonic Morfologi Dasar Laut 2 Games!!! Bagi mahasiswa menjadi 3 kelompok. Diskusikan mengenai hal-hal berikut : - Kelompok

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015 JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 425 434 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 15,2 (21) : 173-184 SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Syaifuddin 1) 1) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI

PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI i PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI YULIANTO SUTEJA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ii iii PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR

HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR 1 HUBUNGAN ANTARA SALINITAS DAN TEMPERATUR Dalam setiap penelitian oseanografi parameter-parameter yang selalu diukur ialah suhu, salinitas, kandungan O2, dan kandungan zat hara (nutrien): fosfat, nitrat,

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat 17 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Studi tentang percampuran turbulen merupakan bagian dari pelayaran INDOMIX yang dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Marion

Lebih terperinci

Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut

Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut Bentuk bentukan dasar laut / topografi dasar laut I. Bentuk-bentukan Dasar Laut Keadaan dasar laut seperti juga di daratan terdapat bentukan-bentukan dasar laut seperti pegunungan,plato, gunung, lembah,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor

Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor h ILMU KELAUTAN Maret 214 Vol 19(1):43 54 ISSN 853-7291 Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor Adi Purwandana 1*, Mulia Purba 2, dan Agus S. Atmadipoera 2 1 Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : 2088-3137 ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA Valdi Muhamad Haikal*, Ankiq Taofiqurohman** dan Indah Riyantini** *) Alumni Fakultas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA Salah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Samudera Hindia bagian timur dengan koordinat 5 o LS 20 o LS dan 100 o BT 120 o BT (Gambar 8). Proses pengolahan dan

Lebih terperinci

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran Oseanografi Fisis 4 Massa Air dan Proses Percampuran Karakteristik Massa Air Pemanasan Pendinginan Pembentukan Es Penguapan Pengenceran Permukaan Laut Massa Air Paling Berat dan Paling Dalam Terbentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-18, Desember 21 MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Hadikusumah Bidang Dinamika Laut

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok Pada sub bab ini dipaparkan mengenai keadaan di kawasan Selat Lombok yang menjadi daerah kajian dalam tugas akhir

Lebih terperinci

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON)

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) Adi Purwandana Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI DAFTAR ISI ALAMAN JUDUL... i ALAMAN PENGESAAN... ii PERSEMBAAN... iii ALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMBANG... xiii INTISARI...

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT

PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Hlm. 71-82, Juni 2015 PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT Yulianto Suteja 1*, Mulia Purba 2, dan Agus S. Atmadipoera

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo Indonesia-USA pada dua lokasi di Selat Makassar masingmasing pada posisi

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait Dwi Fajriyati Inaku Diterima:

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm.525-536, Desember 2014 KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT LOMBOK. Oleh: Iriana Ngesti Utami C

STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT LOMBOK. Oleh: Iriana Ngesti Utami C STUDI KARAKTERISTIK DAN ALIRAN MASSA AIR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SELAT LOMBOK Oleh: Iriana Ngesti Utami C64102052 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung STUDI EDDY MINDANAO DAN EDDY HALMAHERA TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh MARTONO NIM : 22405001 Program Studi Sains Kebumian

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK Surya Octagon Interdisciplinary Journal of Technology, September 2015, 101-117 Copyright 2015, ISSN : 2460-8777 Vol.1, No.1 ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar belakang

1. PENDAHULUAN Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sebagai salah satu pusat marine megabiodiversity dunia, Indonesia memiliki kekayaan spesies cetacea yang tinggi. Dari sekitar 80 extanct spesies cetacea, sedikitnya ada

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci