4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada di sebelah utara perairan Papua dan di sebelah timur laut Papua New Guinea dan satu TRITON berada di sebelah barat perairan barat Sumatera (Gambar 22). Parameter data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi terdiri atas suhu potensial, salinitas, arus zonal, meridional dan vertikal. Meskipun hanya parameter suhu potensial data asimilasi GFDL saja yang digunakan untuk mendekompisisi sinyal siklus Muson, DM dan ENSO secara spasial maupun temporal dengan menggunakan metode EOF, tetapi parameter lainnya dianggap perlu untuk diketahui kualitas datanya. Pertimbangannya karena dalam membangun data asimilasi GFDL selain menggunakan data observasi, juga melibatkan komponen pemodelan dengan menggunakan MOM4 dimana suhu potensial sangat ditentukan oleh proses dispersi dan adveksi serta interaksi antara laut-atmosfer dengan komponen CM2.1 dari GFDL. Tabel 2 Hasil perhitungan SE dan RMSE antara data asimilasi GFDL dan data validasi TRITON dengan parameter arus zonal, meridional dan vertikal. Satuan arus dalam cm/s Lokasi Jarak [km] Arus Zonal Arus Meridional Jarak Arus Vertikal SE RMSE SE RMSE [km] SE RMSE TR TR TR TR TR TR TR TR TR TR TR TR TR Sumber: Hasil penelitian N

2 100 Validasi data asimilasi GFDL dengan menggunakan data arus zonal, meridional dan vertikal TRITON disajikan dalam bentuk grafik deret waktu untuk membandingkan pola perubahannya terhadap waktu secara kualitatif. Selain itu, disajikan pula dalam bentuk sebaran melintang kedalaman terhadap waktu untuk parameter suhu potensial dan salinitas. Secara kuantitatif dihitung dengan menggunakan SE dan RMSE. Grafik deret waktu perbandingan arus zonal, meridional dan vertikal antara data asimilasi GFDL dengan TRITON disajikan pada Lampiran 1 dan hasil perhitungan SE dan RMSE disajikan pada Tabel 2. Sebaran melintang kedalaman terhadap waktu untuk parameter suhu potensial dan salinitas antara data asimilasi GFDL dan TRITON disajikan pada Lampiran 2. Secara umum pada semua stasiun TRITON, arus zonal, meridional dan vertikal data asimilasi GFDL memiliki kecenderungan pola yang sama dengan TRITON, hanya saja terdapat beberapa stasiun yang diatas atau dibawah estimasi. Kesesuaian pola arus zonal lebih baik daripada arus meridional dan vertikal, sedangkan arus meridional lebih sesuai daripada arus vertikal. Pada stasiun TR- 01, 02, 06, 10, dan 18 secara umum data asimilasi GFDL lebih sesuai dengan TRITON dibandingkan dengan stasiun lainnya, kemungkinan penyebabnya stasiun tersebut berada di perairan yang jauh dari daratan, kecuali pada stasiun TR-06 yang berada di dekat daratan tetapi berada pada jalur western boundary current. Selain pada stasiun yang disebutkan diatas, arus zonal data asimilasi GFDL berada dibawah estimasi, sedangkan pada arus meridional yang berada diatas estimasi yaitu pada stasiun TR-03, 08, 09 dan 12 dan dibawah estimasi yaitu pada stasiun TR-05 dan 11. Pada semua stasiun arus vertikal data asimilasi GFDL lebih berfluktuatif daripada data TRITON, kemungkinan terjadi karena dalam melakukan validasi hanya pada satu tingkat kedalaman saja sehingga terjadi bias yang besar dimana seharusnya khusus untuk arus vertikal menggunakan rata-rata kolom kedalaman. Secara kuantitatif, berdasarkan nilai SE dan RMSE menunjukkan kecenderungan yang sama dengan validasi secara kualitatif (Tabel 2). Nilai SE dan RMSE terkecil kecenderungannya berada di perairan yang jauh dari daratan, sedangkan nilai yang besar berada di perairan dekat dengan daratan. Secara kuantitatif dengan menggunakan SE dan RMSE, tidak dapat

3 101 membandingkan ketepatan antara data asimilasi GFDL dengan data TRITON, sehingga pendekatan kualitatif akan membantu melengkapinya. Pola sebaran melintang kedalaman terhadap waktu parameter suhu potensial antara data asimilasi GFDL dan TRITON, secara umum memiliki ketepatan yang baik dari permukaan sampai kedalaman 250 m, sedangkan pada parameter salinitas umumnya data asimilasi GFDL diatas estimasi pada kolom permukaan dan kedalaman antara Pada kolom permukaan kemungkinan disebabkan parameterisasi interaksi laut-atmosfer yang berkaitan dengan proses presipitasi dan evaporasi pada CM2.1 kurang tepat. Hal ini mempertajam pendapat McBride et al. (2003) yang menyatakan bahwa dalam melakukan pemodelan di wilayah perairan Asia Tenggara perlu ketelitian yang baik dalam melakukan parameterisasi model gabungan dan juga Neale dan Slingo (2003) yang berpendapat bahwa perairan Asia Tenggara memiliki zona konveksi yang kuat dan berkaitan erat dengan dinamika di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Nilai salinitas diatas estimasi pada kedalaman , kemungkinan besar disebabkan oleh proses parameterisasi komponen baroklinik pada MOM4 yang berkaitan dengan sirkulasi termohalin dan interaksinya dengan kolom permukaan. Hasil validasi data asimilasi GFDL dengan data deret waktu TRITON sangat penting untuk melakukan penyesuaian parameterisasi MOM4 dan CM2.1 GFDL ARGO Sebaran observasi suhu dan salinitas data ARGO yang digunakan untuk validasi data asimilasi GFDL dibagi kedalam 20 petak yang menyebar di perairan sebelah timur Samudera Hindia dan sebelah barat Samudera Pasifik serta sebagian berada di perairan dalam yaitu di Laut Sulawesi, Laut Sulu dan Laut Cina Selatan (Gambar 23). Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas data asimilasi GFDL secara kualitatif dengan disajikan dalam bentuk diagram suhu-salinitas (TS). Perlu ditekankan bahwa penyajian dalam bentuk diagram TS data ARGO dan data asimilasi GFDL di waktu yang sama tetapi tidak dapat dibeda waktu tepatnya antara data ARGO dengan GFDL di dalam diagram TS. Oleh karena itu penyajian dalam bentuk digram TS difokuskan untuk melihat apakah distribusi data TS pada

4 102 diagram TS dari data ARGO berada diantara distribusi data TS dari data asimilasi GFDL. Jika benar maka kualitas data asimilasi GFDL sudah baik karena sirkulasi dan distribusi massa air di sekitar petak yang menjadi acuan validasi sudah sesuai dengan data ARGO. Sebaliknya jika distribusi TS data ARGO pada diagram TS berada diluar distribusi TS data asimilasi GFDL maka kualitas data asimilasi GFDL tidak cukup baik karena terdapat masukan jenis massa air tertentu dari perairan di sekitar petak yang tidak tersimulasikan pada data asimilasi GFDL. Hasil dari validasi data asimilasi GFDL dengan menggunakan data ARGO disajikan pada Lampiran 3. Secara umum pada keseluruhan petak hasil validasi memperlihatkan distribusi TS pada diagram TS antara data asimilasi GFDL dan data ARGO memiliki pola yang sama, kecuali pada Petak-12 dan 13 yang berada di Laut Sulawesi dan Laut Sulu. Perbedaan yang terjadi pada Petak-12 dan 13 kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya data ARGO yang masuk kedalam petak ini sehingga tidak cukup pembanding dengan data ARGO lain dan kualitas data ARGO itu sendiri yang tidak baik meskipun data ARGO yang digunakan telah melalui proses kontrol kualitas data yang ketat dari penyedia data. Hal ini jelas terlihat pada Petak-01, 02 dan 13 bahwa sebagian data ARGO di dalam petak tersebut merupakan kesalahan data dari alat ARGO. Pada beberapa petak juga tertangkap nilai salinitas data asimilasi GFDL berada diatas estimasi, seperti pada hasil validasi dari sebaran melintang kedalaman terhadap waktu. Nilai salinitas diatas estimasi terdapat pada Petak yaitu petak yang berada di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dimana posisi petak tersebut relatif berada dekat dengan daratan dan di daerah western boundary current. Kemungkinan penyebabnya sama dengan pemaparan sebelumnya pada validasi data asimilasi GFDL dengan data TRITON dari sebaran melintang kedalaman terhadap waktu dengan parameter salinitas. 4.2 Dinamika Interaksi Muson, DM dan ENSO Besarnya keragaman (dalam % kontribusi) yang tercermin dari nilai eigen pola spasial EOF masing-masing Mode 10 terbesar pertama dari 50 Mode yang dihitung untuk setiap parameter diberikan pada Gambar 24. Hasilnya memperlihatkan bahwa parameter SPL sangat dominan terkumpul pada beberapa

5 103 Mode terbesar diawal dibandingkan dengan parameter lain. Parameter lainnya berturut-turut adalah kedalaman lapisan tercampur, arus zonal, salinitas, arus meridional, dan arus vertikal. Besarnya nilai keragaman juga sangat ditentukan oleh cakupan lokasi yang digunakan dalam perhitungan EOF. Pemilihan lokasi yang digunakan harus mencakup pengaruh dari Muson, DM dan ENSO atau dengan kata lain cakupan lokasi yang terpilih merupakan bagian dari wilayah yang terlibat dari proses dinamika dan variabilitas Muson, DM dan ENSO. Pada penelitian ini, cakupan lokasi penelitian telah melibatkan wilayah yang terlibat dengan proses dinamika dan variabilitas dari Muson, DM dan ENSO yaitu di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya. Gambar 24 Nilai eigen yang menunjukkan besar keragaman (%) dari 50 Mode terbesar pertama hasil EOF (ditampilkan hanya 10 Mode) untuk parameter SPL (merah), kedalaman lapisan tercampur (biru), arus zonal (coklat), salinitas (hijau), arus meridional (ungu) dan arus vertikal (biru muda). Pada masing-masing Mode berurutan dari Mode ke-1, ke-2 dan seterusnya menunjukkan fenomena dominan terbesar pertama, fenomena dominan terbesar kedua dan seterusnya yang terlihat dari besarnya keragaman dari nilai eigen. Nilai keragaman yang besar memperlihatkan bahwa fenomena pada Mode tersebut memberikan kontribusi variabilitas yang besar di cakupan lokasi penelitian. Semakin kecil nilai keragamannya maka semakin kecil fenomena pada Mode

6 104 tersebut untuk mempengaruhi variabilitas di cakupan lokasi penelitian. Pada penelitian ini dipilih lima Mode terbesar pertama dari parameter SPL dengan nilai keragaman berturut-turut adalah 44.1, 22.7, 12.5, 4.4 dan 2.8% keragaman Variabilitas Mode ke-1 EOF Dekomposisi spasial data deret waktu SPL dari data asimilasi GFDL hasil analisis Mode ke-1 EOF dengan keragaman sebesar 44.1% memperlihatkan bahwa terjadi pola osilasi dengan nilai positif dominan berada di BBU dan negatif berada di BBS (Gambar 25a). Nilai kontur nol yang berada di sekitar ekuator dominan terjadi di perairan sebelah barat Samudera Pasifik, sedangkan di perairan dalam Indonesia dan di perairan sebelah timur Samudera Hindia tidak berada tepat di ekuator terutama di sekitar mulut Teluk Bengal. Kondisi ini memperlihatkan bahwa Teluk Bengal dan perairan dalam Indonesia berperan dalam mempengaruhi siklus yang terjadi pada Mode ke-1 EOF. Data deret waktu koefisien ekspansi hasil dekomposisi temporal Mode ke-1 EOF yang telah ditapis sinyal frekuensi rendah dengan periode dibawah 6 bulan memperlihatkan bahwa siklus waktu pada Mode ke-1 ini selaras dengan MSI yang berarti bahwa pola spasial osilasi SPL dominan terbentuk karena adanya pengaruh dari Muson (Gambar 25b dan c). Hal ini diperkuat lagi dari hasil analisis densitas spektral koefisien ekspansi dengan energi densitas spektral terkuat terjadi pada siklus tahunan (12.2 bulanan) sebesar (satuan) 2 /siklus per bulan dan berikutnya sebesar 2400 (satuan) 2 /siklus per bulan dengan siklus 19.7 bulanan dan 1300 (satuan) 2 /siklus per bulan dengan siklus 25.6 bulan (Gambar 26). Energi densitas spektral dari koefisien ekspansi tidak memiliki satuan karena nilai koefisien ekspansi hasil EOF tidak memiliki satuan, tetapi untuk memudahkan maka untuk selanjutnya satuan akan disebut (satuan) 2 /siklus per bulan. Selain itu, siklus tahunan dari hasil analisis CWT juga ditemukan sepanjang tahun dengan energi sebesar 16 (energi) dengan periode 12.2 bulan (Gambar 27a). Energi pada CWT dan XWT tidak memiliki satuan karena sebelum data deret waktu ditransformasikan melewati fungsi morlet wavelet, anomali nilai deret waktu tersebut harus distandarisasikan dengan dibagi dengan kuadrat

7 105 simpangan bakunya. Untuk memudahkan penyebutan maka selanjutnya satuan dari energi CWT dan XWT akan disebut (energi). Gambar 25 Pola spasial Mode ke-1 (keragaman terbesar pertama dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 44.1% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan skala koefisien ekspansi.

8 106 Gambar 26 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/ke (tanpa satuan) dari tahun pada Mode ke-1 (keragaman terbesar pertama dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman sebesar 44.1%. Hasil analisis XWT antara koefisien ekspansi pada Mode ke-1 EOF dengan MSI memperlihatkan bahwa siklus koefisien ekspansi memiliki fase searah dengan MSI dengan energi sebesar 16 (energi) dan memperkuat bahwa pola spasial EOF data SPL terbentuk dari akitifitas siklus Muson, sedangkan hasil XWT antara koefisien ekspansi dengan DMI dan SOI hanya didapati energi tidak lebih dari 8 (energi). Meskipun terdapat nilai energi yang masuk pada selang kepercayaan lebih 95% pada siklus dengan periode satu tahunan tetapi beda fasenya tidak menunjukkan pola yang teratur, sehingga hubungan diantara keduanya hanya berupa pergeseran fase sesaat siklus MSI terhadap siklus DMI dan SOI.

9 107 Gambar 27 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-1 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-1 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Garis kontur hitam menunjukkan selang kepercayaan 95%, daerah yang diburamkan adalah batas COI dan tanda panah menunjukkan beda fase dengan arah panah ke kanan (kiri) menunjukkan fase searah (berlawanan) dan arah ke bawah (atas) menunjukkan koefisien ekspansi (indeks) mendahului indeks (koefisien ekspansi). Hasil analisis komposit rata-rata anomali SPL pada saat koefisien ekspansi Mode ke-1 EOF sebesar satu kali diatas simpangan baku positif atau untuk selanjutnya disebut fase positif Mode ke-1 EOF (Gambar 28a) dan fase negatif sebesar satu kali dibawah simpangan baku negatif (Gambar 28b), memperlihatkan bahwa variabilitas SPL di Samudera Hindia dan Pasifik memiliki siklus tahunan yang terjadi karena pergerakan semu matahari. Nilai simpangan baku koefisien

10 108 ekspansi Mode ke-1 EOF adalah sebesar ±43.8 (tanpa satuan) dengan nilai minimum sebesar dan maksimum sebesar Puncak anomali positif SPL di BBU terjadi pada fase positif di bulan Juli, sedangkan fase negatif dengan anomali SPL positif terjadi di BBS pada bulan Januari. Nilai anomali nol di perairan Samudera Pasifik cenderung berada di ekuator baik pada saat fase positif maupun negatif, sedangkan pada fase positif di perairan dalam Indonesia dan Samudera Hindia nilai nol cenderung berada di BBU dan pada fase negatif berada di sekitar ekuator. Kondisi ini menunjukkan bahwa kandungan bahang di laut di BBU dan BBS Samudera Pasifik pada fase positif dan negatif cenderung sama (simetris), sedangkan di perairan dalam Indonesia dan Samudera Hindia cenderung tidak seimbang (asimetris). Gambar 28 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali SPL ( C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-1 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku negatifnya (b). Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU pada fase positif dan

11 109 negatif, di Samudera Pasifik cenderung simetris sedangkan di Samudera Hindia asimetris (Gambar 29b). Berbeda halnya dengan hasil analisis komposit rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur memperlihatkan bahwa kondisi asimetri terjadi di Samudera Hindia dan Pasifik (Gambar 29c), meskipun pada anomali SPL di Samudera Pasifik memperlihatkan kondisi yang simetris (Gambar 28a, b dan Gambar 29b). Hal ini menunjukkan bahwa proses dinamika kondisi SPL yang simetris antara BBU dan BBS di Samudera Pasifik adalah hasil dari umpan balik (feedback) interaksi laut-atmosfer, sedangkan kondisi asimetris dari kedalaman lapisan tercampur dikontrol oleh proses dinamika dilaut pada kolom kedalaman. Rata-rata anomali angin zonal ketinggian 10 m pada fase positif dan negatif di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dominan berupa angin timuran dengan kecepatan angin yang lebih kuat pada fase negatif (Gambar 29a). Pada fase positif (negatif) kecepatan angin zonal lebih kuat di sebelah timur (barat) daripada di sebelah barat (timur) ekuatorial Samudera Hindia, sedangkan di Samudera Pasifik pada fase positif (negatif) angin timuran (baratan) kuat terjadi di sebelah timur dan angin baratan (timuran) di sebelah barat dengan kecepatan yang lebih kecil. Kecepatan angin zonal pada fase positif dan negatif atau di Samudera Hindia dan Pasifik sangat kecil dengan nilai maksimum sebesar 0.5 m/s karena pada Mode ke-1 EOF sangat besar dipengaruhi oleh Muson dengan dominan berupa angin meridional. Akan tetapi yang menarik adalah nilai kecepatan angin zonal yang kecil ini ternyata cukup kuat mempengaruhi kedalaman lapisan tercampur pada fase positif dimana kedalaman lapisan tercampur berada lebih dalam di perairan sebelah barat daripada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan kondisi sebaliknya tidak terjadi pada fase negatif (Gambar 29c). Hal ini menunjukkan bahwa kolam air hangat yang berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik semakin intensif terbentuk pada fase positif (Juli) yang berasosiasi dengan Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut. Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bahang melalui evaporasi, sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer pada Mode ke-1 EOF.

12 110 Gambar 29 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL ( C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-1 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari Begitu pula yang terjadi di ekuatorial Samudera Hindia dimana pada fase positif lebih besar kontribusinya dalam membentuk kolam air hangat di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dibandingkan pada fase negatif. Pada fase negatif, variabilitas kedalaman lapisan tercampur sangat besar dipengaruhi oleh

13 111 angin meridional dari aktititas Muson, sementara itu pada fase positif meskipun angin meridional sangat besar berpengaruh tetapi angin zonal sangat berperan dalam mengumpulkan massa air hangat di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia. Hasil dari analisis EOF pada Mode ke-1 data SPL dari data asimilasi GFDL pada cakupan lokasi penelitian di wilayah perairan Asia Tenggara telah dapat menangkap sinyal dominan secara spasial dan temporal variabilitas dari parameter laut-atmosfer di Samudera Hindia dan Pasifik yang dipengaruhi oleh regim Muson dengan siklus satu tahunan. Proses dinamika laut-atmosfer lebih besar dipengaruhi oleh angin meridional dari atifitas Muson yang dibangkitkan oleh pergerakan semu matahari dan perbedaan paparan antara daratan dan lautan. Posisi simetris dan asimetris anomali SPL pada fase positif maupun negatif antara BBU dan BBS di perairan Samudera Hindia, perairan Asia Tenggara dan Samudera Pasifik sangat dominan menentukan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer yang akan mengontrol pergeseran sinyal Muson, DM dan ENSO pada Mode berikutnya dari analisis EOF. Meskipun kecepatan angin zonal sangat kecil dibandingkan dengan angin meridional, tetapi sangat berperan dalam mengumpulkan massa air hangat di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia seiring dengan melemahnya Sirkulasi Walker dan di Samudera Pasifik seiring dengan menguatnya Sirkulasi Walker. Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di perairan Asia Tenggara pada Mode ke-1 hasil analisis EOF data SPL dari data asimilasi GFDL ini untuk selanjutnya akan diberi nama fase Asimetris Muson perairan Asia Tenggara (AMAT) Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif Variabilitas laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-1 EOF dari hasil interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat kuat didominasi oleh Muson. Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik cenderung dalam kondisi normal. Aktifitas Muson diperankan oleh Angin Muson Tenggara di BBS dan Angin Muson Timur Laut di BBU (Gambar 30a) dengan kecepatan yang tinggi berada di BBU maksimum sebesar 8 m/s. Puncak fase positif terjadi pada bulan Juli yang cenderung ditentukan oleh posisi semu matahari. Pola anomali arus

14 112 permukaan laut cenderung mengikuti pola anomali angin di atas permukaan laut di perairan selatan Jawa, barat Sumatera, Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, sedangkan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia arus kuat dari Arus Ekuatorial Utara mendominasi dengan kecepatan mencapai 0.4 m/s dan di Samudera Pasifik didominasi dengan masuknya Arus Balik New Guinea dan Arus Balik Ekuatorial Utara dengan kecepatan berkisar antara m/s (Gambar 30b). Gambar 30 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase positif Mode ke-1 EOF.

15 113 Gambar 31 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-1 EOF. Pola anomali angin melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5 LS-5 LU didominasi oleh anomali angin timuran yang menunjukkan aktifitas Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik mencapai perairan dalam Indonesia di

16 114 sekitar 120 BT dengan kecepatan sekitar 3 m/s (Gambar 31a) dan sangat kuat terlihat dari sebaran melintang anomali angin zonal (Gambar 31b), sedangkan aktifitas Sirkulasi Walker di Samudera Hindia memicu terjadinya zona konvergen kecil di lapisan permukaan dengan menguatnya anomali angin vertikal sebesar 1.5 m/s dan diikuti dengan melemahnya anomali angin zonal dari arah barat. Anomali komponen angin vertikal (omega) memiliki satuan cpa/s karena jika satuannya adalah m/s maka nilainya akan kecil sekali. Oleh karena itu, anomali kecepatan angin adalah tidak benar-benar nilai skalar dari vektor angin dengan tujuan agar vektor angin dari komponen angin vertikal terlihat secara visual. Anomali suhu udara vertikal cenderung dingin di lapisan bawah dan hangat di lapisan atas yang menunjukkan bahwa kecil sekali kemungkinan terjadi kondensasi dari kandungan uap air di udara (Gambar 31c). Masukan uap air dominan berasal dari Samudera Hindia dan Pasifik pada lapisan atas atmosfer dengan anomalinya berkisar antara % dan tidak memungkinkan untuk terjadi kondensasi di wilayah Asia Tenggara (Gambar 31d). Gambar 32 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif Mode ke-1 EOF.

17 115 Pada fase positif Mode ke-1 EOF, anomali SPL memperlihatkan pola sebaran yang sama dengan dekomposisi spasial hasil analisis EOF dimana anomali SPL yang tinggi berada di BBU dengan nilai maksimumnya sebesar 3.0 C berada di Laut Cina Selatan (Gambar 32a) yang diikuti dengan meningkatnya anomali kedalaman lapisan tercampur di BBS dengan nilai maksimum sebesar 35 m dan di BBU mengalami penaikkan kedalaman lapisan tercampur mencapai sekitar -20 m. Kedalaman lapisan tercampur di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan utara Papua memiliki anomali positif yang lebih tinggi mencapai sekitar 20 m, berbeda dibandingkan dengan umumnya di BBU dimana hal ini memperlihatkan bahwa Teluk Bengal memiliki fungsi untuk menjebak bahang, Laut Cina Selatan berfungsi sebagai pengisian/pelepasan bahang dan perairan utara berfungsi sebagai pengisian bahang di perairan dalam Indonesia melalui jalur ARLINDO (Gambar 32b). Kondisi ini akan mengakumulasikan ketidakseimbangan kandungan bahang di darat-laut-atmosfer. Ketidakseimbangan kandungan bahang di laut ini terlihat dari pola sebaran horizontal anomali fluks bahang secara konduksi (sensible heat/q S ) yang ditambahkan dengan fluks bahang melalui evaporasi (latent heat/q L ), untuk selanjutnya akan disebut Q S +Q L. Fluks bahang secara konduksi di laut (Q S ) adalah besarnya energi panas pada luasan tertentu yang masuk atau keluar dari laut ke atmosfer melalui proses konduksi panas, sedangkan fluks bahang melalui evaporasi di laut (Q L ) adalah besarnya energi pada luasan tertentu yang keluar dari laut ke atmosfer melaui prosse evaporasi, sehingga Q S +Q L memberikan arti banyaknya bahang yang keluar dan masuk antara laut dan atmosfer melalui permukaan laut yang menentukan keseimbangan kandungan bahang antara laut dan atmosfer. Nilai anomali Q S +Q L positif berarti banyaknya bahang pada luasan tertentu yang masuk dan tersimpan di laut, sedangkan nilai negatif berarti banyaknya bahang pada luasan tertentu dari laut yang dilepaskan ke atmosfer. Data Q S dan Q L yang digunakan pada penelitian ini juga memiliki data didarat dengan anologi yang sama dengan di laut, sehingga dapat diketahui pula keseimbangan kandungan bahang antara darat, laut dan atmosfer.

18 116 Gambar 33 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-1 EOF. Pada Gambar 33a memperlihatkan ketidakseimbangan kandungan bahang di laut dan atmosfer dimana terlihat di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi memiliki anomali Q S +Q L positif berkisar antara W/m 2 dimana seharusnya pada fase positif Mode ke-1 EOF ini di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi sudah mulai melepaskan bahang ke atmosfer karena kandungan bahang di laut sudah mencapai kondisi maksimum akibat dari intensitas matahari dengan posisi semunya yang berada di BBU pada bulan Juli. Oleh karena itu Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi berperan besar dalam proses penyimpanan bahang di laut dan terlihat dengan jelas dari peningkatan anomali kedalaman lapisan tercampur di perairan ini (Gambar 32b). Sumber bahang terbesar yang dilepaskan ke atmosfer berasal dari perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan anomali maksimumnya sebesar -30 W/m 2 (Gambar 33a). Ketidakseimbangan sistem bahang di laut akan memberikan peranan yang besar terhadap pergeseran awal dan panjang musim pada beberapa siklus periode berikutnya dimana akan terdeteksi pola spasial dan

19 117 temporalnya pada beberapa Mode EOF berikutnya. Kondisi ketidakseimbangan bahang di lautan secara meridional di perairan Asia Tenggara diberi nama fase Asimetris Muson perairan Asia Tenggara (AMAT) positif atau disebut juga fase AMAT positif dimana pada fase ini keseimbangan kandungan bahang dari hasil interaksi darat-laut-atmosfer, peranan laut berfungsi sebagai penyimpanan bahang utama dari sistem keseimbangan kandungan bahang di darat, laut dan atmosfer. Ketidakseimbangan kandungan bahang di darat, laut dan atmosfer berperan besar dalam mengatur pola sirkulasi atmosfer dan kondisi iklim di suatu wilayah. Salah satu parameter untuk melihat pengaruh ketidakseimbangan bahang terhadap variabilitas iklim adalah anomali dari selisih antara presipitasi dengan evaporasi (P E) yang menunjukan anomali laju kandungan air bersih yang keluar atau masuk ke lautan dan daratan. Presipitasi (P) memperlihatkan banyaknya kandungan air terhadap waktu yang masuk ke lautan dan daratan, sedangkan evaporasi (E) memperlihatkan banyaknya kandungan air terhadap waktu yang dilepaskan ke atmosfer dari lautan dan daratan, sehingga P E menunjukkan banyaknya kandungan air bersih yang keluar atau masuk ke lautan dan daratan. Berbeda halnya dengan nilai positif atau negatif kandungan bahang di lautan dan daratan, dimana di lautan dan daratan dianggap sebagai sistem sehingga nilai Q S +Q L positif artinya bahwa kandungan bahang berada di dalam sistem yaitu lautan dan daratan, sedangkan untuk parameter P dan E keduanya dianggap sebagai parameter dari sistem di atmosfer sehingga nilai keduanya selalu positif. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa banyak kandungan air bersih yang masuk ke sistem lautan dan daratan perlu dihitung selisih antara kandungan air yang masuk (P) dengan kandungan air yang keluar (E), sehingga nilai P E positif memiliki arti kandungan air lebih banyak yang masuk ke lautan dan daratan, sedangkan P E bernilai negatif berarti kandungan air lebih banyak berada di atmosfer dengan nilai P lebih kecil dari E. Pada Gambar 33b memperlihatkan pola sebaran anomali P E mengikuti pola aktifitas Muson dimana puncaknya terjadi di bulan Juli pada fase positif Mode ke-1 ini. Anomali P E terbesar terjadi di BBU dengan nilai maksimum sebesar 2.5 mm/hari dan nilai minimumnya terjadi di BBS sebesar -2.5 mm/hari yang terpusat di sekitar 10 LS. Ketidakseimbangan bahang di laut tidak terlalu

20 118 mempengaruhi variabilitas iklim di Asia Tenggara dan sekitarnya. Kemungkinan besar kandungan air di atmosfer lebih besar dikontrol oleh sistem angin Muson, sedangkan ketidakseimbangan bahang di laut masih dapat dikontrol melalui umpan balik ke kolom kedalaman dengan meningkatnya anomali kedalaman lapisan tercampur di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi, sehingga kandungan bahang di lautan tetap tersimpan di perairan ini (Gambar 32b). Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase positif Mode ke-1 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Gambar 34 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada fase positif Mode ke-1 EOF. Huruf (P) menunjukkan massa air hangat dan (D) massa air dingin dengan banyaknya tanda (+) menunjukkan semakin hangat dan tanda (-) semakin dingin. Panah hijau tua menunjukkan pengaruh angin Muson Tenggara dan hijau muda angin Muson Timur Laut dengan panjang panah menunjukkan kekuatannya. Panah merah menunjukkan arah pergeseran Sirkulasi Walker dengan panjang panah menunjukkan besar pergeserannya. Banyaknya tanda (>) menunjukkan kekuatan Sirkulasi Walker. Panah oranye menunjukkan arah arus dan biru muda menunjukkan transpor massa air dengan panjang panah menunjukkan kekuatannya. Skematika interaksi laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-1 EOF cukup sederhana karena peranan interaksi Muson, DM dan ENSO terhadap variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, lebih besar didominasi oleh aktifitas Muson (Gambar 34). Posisi semu Matahari berada di BBU pada 24.5 LU sesuai puncak fase positif Mode ke-1 EOF yaitu pada bulan Juli, sehingga suhu

21 119 udara maupun laut di BBU lebih tinggi dan di BBS lebih rendah. Suhu udara yang tinggi akan mengakibatkan tekanan udara rendah, begitu pula sebaliknya, sehingga tekanan udara di BBS tinggi dan di BBU rendah. Massa udara bergerak (angin) dari tekanan tinggi di BBS ke tekanan rendah di BBU. Di sepanjang pergerakan angin di BBS sampai ke ekuatorial, arah angin dibelokan ke kiri karena adanya parameter Coriolis, sehingga angin bergerak dari tenggara ke arah barat laut di BBS sampai ke ekuator. Setelah melewati ekuator, angin yang seharusnya bergerak ke arah utara dibelokan oleh parameter Coriolis ke kanan sehingga angin dari ekuator ke BBU bergerak dari barat daya ke arah timur laut. Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik dalam kondisi normal sehingga massa air hangat terkumpul di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan Sirkulasi Walker di Samudera Hindia juga dalam kondisi normal tetapi sedikit melemah karena di Samudera Hindia Sirkulasi Walker besar sekali dipengaruhi oleh aktifitas Muson. Melemahnya Sirkulasi Walker ini disebabkan oleh Angin Muson Tenggara yang sedang berada pada fase puncaknya pada bulan Juli, sehingga massa air hangat cenderung tidak terkumpul di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, tetapi terdorong ke arah perairan Teluk Bengal. Angin Muson Tenggara di sepanjang perjalanan membawa massa udara kering yang berasal dari Benua Australia, sehingga di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya tidak berpotensi terjadi hujan. Sementara itu, masukan uap air dari massa air hangat yang terkumpul di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdorong ke arah BBU karena Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut tidak cukup kuat untuk mendorong massa udara dengan uap air yang tinggi masuk ke wilayah Indonesia, sedangkan di Samudera Hindia massa air hangat sebagai sumber uap air tidak terkumpul di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia karena melemahnya Sirkulasi Walker di Samudera Hindia pada bulan Juli. Oleh karena itu, curah hujan yang tinggi cenderung terjadi di BBU Dinamika Laut-Atmosfer Fase Negatif Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi pada fase negatif Mode ke-1 EOF hampir sama dengan kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF. Periode puncak

22 120 fase negatif Mode ke-1 EOF ini terjadi pada Januari. Pola anomali angin di BBU dominan berupa Angin Timur Laut dengan kecepatan tertinggi terjadi di atas perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan sebesar 7.0 m/s. Setelah melewati ekuator anomali angin ini berbelok ke arah tenggara sehingga terbentuk Angin Barat Laut dengan kecepatan tertinggi terjadi di sekitar Laut Banda dengan kecepatan 7.5 m/s (Gambar 35a). Pola anomali arus permukaan laut di Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Banda, perairan selatan Jawa dan Arus Pantai New Guinea secara umum cenderung mengikuti pola anomali angin dengan kecepatan yang tinggi berkisar 0.3 m/s terjadi di Laut Cina Selatan, Selat Karimata, perairan utara NTB dan NTT, selatan Jawa, perairan sebelah tenggara India dan Arus Ekuatorial Selatan di Samudera Pasifik (Gambar 35b). Anomali angin melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5 LS-5 LU terdapat pola yang tidak teratur, banyak terjadi zona turbulen dengan kecepatan yang sangat bervariasi dimana pola ini menunjukkan kondisi atmosfer di sepanjang ekuator mengalami ketidakstabilan yang mengindikasikan terjadi zona divergen di lapisan permukaan (Gambar 36a). Anomali angin zonal baratan terbentuk dari lapisan atas troposfer di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan kecepatan mencapai 3.0 m/s sampai di lapisan permukaan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan kecepatan sekitar 1.0 m/s, sedangkan angin timuran terbentuk kuat di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia di lapisan tengah troposfer sebesar -4.0 m/s dan di lapisan atas torposfer di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 36b). Oleh karena itu, diduga masukan uap air dominan berasal dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan naik ke lapisan atas troposfer sampai di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sehingga berpotensi untuk terjadi proses kondensasi di tengah ekuatorial perairan Asia Tenggara.

23 121 Gambar 35 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Potensi terjadinya proses kondensasi semakin besar karena anomali suhu udara vertikal dominan di bawah normal dengan nilai minimum anomali suhu udara sebesar -0.6 C (Gambar 36c). Anomali kelembapan udara relatif dengan nilai tinggi di lapisan atas troposfer sampai permukaan di tengah ekuatorial Asia Tenggara sebesar % yang berasal dari perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik semakin memperkuat potensi terjadinya proses kondensasi dengan masuknya kandungan uap air yang tinggi, sehingga berpotensi terjadinya proses presipitasi (Gambar 36d).

24 122 Gambar 36 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-1 EOF.

25 123 Gambar 37 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Pada fase negatif Mode ke-1 EOF, pola sebaran anomali SPL hampir sama dengan fase kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF dimana anomali positif SPL dominan berada di BBS dan negatif di BBU. Pada kenyataanya, nilai anomali positif SPL maksimum pada fase negatif ini sebesar 2.0 C lebih rendah 1.0 C daripada fase positif dan anomali negatif SPL minimum sebesar -3.5 C lebih rendah 0.5 C daripada fase positif (Gambar 37a). Selain itu, ternyata pada arah meridional antara luasan area anomali positif SPL pada fase positif dan negatif berbeda atau dengan kata lain nilai anomali 0 C antara fase positif dan negatif tidak sama. Oleh karena itu, aktifitas Muson di wilayah Benua Martim terdapat ketidakseimbangan kandungan bahang di laut baik secara temporal antara maupun spasial, sehingga pada Mode ke-1 EOF ini terdapat kondisi asimetris kandungan bahang di laut yang akan mengakibatkan terjadinya pergeseran awal dan panjang musim dimana sinyal ini diyakini akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Fase ini diberi nama Asimetris Muson perairan Asia Tenggara (AMAT) negatif atau disebut juga fase AMAT negatif dimana pada fase ini keseimbangan

26 124 kandungan bahang dari hasil interaksi darat-laut-atmosfer, peranan laut berfungsi sebagai penyumbang bahang utama ke atmosfer (pelepasan bahang) dari sistem keseimbangan kandungan bahang di darat, laut dan atmosfer. Hasil analisis pola sebaran anomali kedalaman lapisan tercampur memperlihatkan pula bahwa anomali kedalaman lapisan tercampur tidak berfungsi sebagai penyimpan bahang di laut dari umpan balik hasil interaksi laut-atmosfer karena meskipun nilai maksimum anomali kedalaman lapisan tercampur mencapai 50 m tetapi terpusat di BBU dan nilai anomali 0 m berada lebih ke arah utara dibandingkan dengan nilai anomali 0 C dari SPL (Gambar 37b). Selain itu, nilai anomali minimum kedalaman lapisan tercampur dominan terpusat di BBS dengan nilai minimumnya sebesar -25 m dimana kondisi ini memperkuat bahwa kandungan bahang di laut sebelumnya telah dilepaskan ke atmosfer sehingga adveksi vertikal suhu laut mulai melemah yang mengakibatkan kedalaman lapisan tercampur semakin dangkal. Oleh karena itu, dinamika kedalaman lapisan tercampur di wilayah Asia Tenggara dan interaksinya dengan aktifitas Muson menjadi sangat penting dalam mengontrol keseimbangan bahang di darat, laut dan atmosfer yang berperan besar dalam variabilitas iklim di Asia Tenggara dan sekitarnya. Hasil analisis pola sebaran anomali Q S +Q L pada fase negatif Mode ke-1 EOF dengan jelas memperlihatkan bahwa dominan di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya kandungan bahang di laut dilepaskan ke atmosfer dengan nilai anomali negatif Q S +Q L minimum sebesar -40 W/m 2 yang terpusat di sebelah tenggara Samudera Hindia, Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan perairan sebelah barat daya Samudera Pasifik, sedangkan anomali positif Q S +Q L dominan terpusat di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dan di daratan yaitu Pulau Papua, Sumatera, Kalimantan dan Benua Australia dengan anomali positifnya berkisar antara W/m 2 (Gambar 38a). Kondisi ini memperlihat secara spasial terjadi pola asimetris kandungan bahang di laut dan darat pada arah meridional antara BBU dan BBS. Jika dibandingkan antara fase positif dan negatif Mode ke-1 EOF, terlihat sepintas berupa fase kebalikannya, tetapi pada kenyataannya terdapat selisih anomali kandungan bahang di laut dan darat antara fase positif dan negatif dimana pada fase positif anomali positif kandungan bahang yang

27 125 tersimpan di laut dan darat (Gambar 33a) lebih besar daripada anomali negatif kandungan bahang yang dilepaskan dari laut dan darat ke atmosfer pada fase negatif. Selain itu, pada fase positif luasan area anomali positif kedalaman lapisan tercampur lebih besar daripada pada fase negatif. Pada fase positif anomali positif kedalaman lapisan tercampur dominan menyebar dari BBS sampai BBU pada 10 LU (Gambar 32b), sedangkan pada fase negatif dominan hanya menyebar dari BBU sampai di 10 LU (Gambar 37b). Oleh karena itu, pada Mode ke-1 EOF ini terjadi asimetri anomali kandungan bahang di laut dan darat, sehingga memperkuat keberadaan AMAT baik secara temporal maupun spasial dimana pada fase AMAT positif terjadi penyimpanan kandungan bahang di laut yang lebih besar daripada pelepasan kandungan bahang dari laut ke atmosfer pada AMAT negatif. Gambar 38 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Pada fase negatif Mode ke-1 EOF, pola sebaran anomali positif P E dominan berada di BBS yang terpusat di sekitar 15 LS dengan nilai anomali

28 126 berkisar antara mm/hari, sedangkan anomali negatif dominan berada di BBU yang terpusat di sekitar 12 LU dengan kisaran yang sama tetapi dengan nilai anomali yang negatif (Gambar 38b). Kondisi ini memperlihatkan posisi asimetris Muson secara spasial pada periode waktu yang sama meskipun nilai anomali 0 mm/hari berada di sekitar ekuatorial, sedangkan pada fase positif terlihat nilai anomali 0 mm/hari tidak berada di sekitar ekuatorial, tetapi bergeser ke arah utara di sekitar 10 LU (Gambar 33b). Kondisi ini memperlihatkan posisi asimetris Muson secara temporal antara puncak fase negatif pada bulan Januari dengan puncak fase positif pada bulan Juli. Oleh karena itu, pengaruh AMAT terhadap variabilitas iklim dan interaksinya dengan Muson di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya berkontribusi cukup besar dimana pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase negatif Mode ke-1 EOF sehingga lebih mempertegas lagi peran dari penting AMAT dalam mengatur variabilitas iklim dan interaksinya dengan Muson di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Penyebab terjadinya AMAT adalah ketidakseimbangan bahang di lautan baik secara spasial maupun temporal dimana perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi berperan sebagai kapasitor bahang di laut dan pulau-pulau besar serta ribuan pulau kecil di Indonesia berfungsi sebagai stabilisator kandungan bahang di atmosfer. Ketidakseimbangan sistem ini akan mempengaruhi pergeseran awal dan panjang musim pada periode siklus Muson berikutnya dimana sinyalnya diduga akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Skematika interaksi laut-atmosfer pada fase negatif Mode ke-1 EOF cukup sederhana karena merupakan kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF dimana peranan interaksi Muson, DM dan ENSO terhadap variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, lebih besar didominasi oleh aktifitas Muson (Gambar 39). Pada puncak fase negatif Mode ke-1 EOF yang terjadi pada bulan Januari, posisi semu matahari berada di BBS pada 23.5 LS sehingga tekanan udara di BBS lebih rendah daripada di BBU. Oleh karena itu, angin bergerak dari BBU ke BBS dimana parameter Coriolis berperan dalam pembelokan arah angin. Angin Timur Laut di BBU terbentuk dengan membawa kandungan uap air yang tinggi karena di BBU dominan merupakan lautan. Ketika massa udara dengan

29 127 kandungan uap air tinggi yang terbawa oleh Angin Timur Laut mencapai ekuatorial proses kondensasi mulai terjadi di seluruh lapisan troposfer karena suhu udara di lapisan troposfer memiliki anomali negatif. Setelah melewati ekuator, Angin Timur Laut dibelokkan karena adanya parameter Coriolis sehingga terbentuk Angin Barat Laut dengan tetap membawa massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi. Proses kondensasi berlangsung semakin efektif, sehingga intensitas curah hujan semakin bertambah besar yang terpusat disekitar 15 LS. Gambar 39 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar Variabilitas Mode ke-2 EOF Dekomposisi spasial data deret waktu SPL dari data asimilasi GFDL hasil analisis fase positif Mode ke-2 EOF dengan keragaman sebesar 22.7% memperlihatkan bahwa terjadi pola osilasi dengan nilai positif yang tinggi berada di perairan Teluk Bengal, sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, perairan dalam Indonesia, Laut Cina Selatan, sebelah barat dan barat laut Samudera Pasifik dan hampir keseluruhan dari cakupan lokasi penelitian memiliki nilai osilasi positif, kecuali di perairan sebelah timur laut dan sebelah timur ekuatorial Indonesia dengan nilai negatif yang kecil (Gambar 40a). Pola osilasi SPL pada fase positif ini menunjukkan bahwa kandungan bahang di laut sangat tinggi, siap didistribusikan ke perairan lain melalui proses adveksi dan dispersi dan dilepas ke atmosfer berupa bahang melalui evaporasi (latent heat/q L ) atau kemungkinan lain sebagian akan tetap tersimpan dan sebagian lainnya dilepaskan.

30 128 Gambar 40 Pola spasial Mode ke-2 (keragaman terbesar kedua dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 22.7% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan skala koefisien ekspansi. Data deret waktu koefisien ekspansi hasil dekomposisi temporal Mode ke-2 EOF yang telah ditapis sinyal frekuensi rendah dengan periode dibawah 6 bulan memperlihatkan bahwa sinyal koefisien ekspansi Mode ke-2 ini masih selaras dengan MSI dimana koefisien ekspansi mendahului MSI sekitar 3.1 bulan sebelumnya dengan fase searah (Gambar 40b dan c). Puncak fase positif dari Mode ke-2 ini terjadi pada bulan Mei dan fase negatif pada bulan November.

31 129 Ketika sinyal deret waktu koesfisien ekspansi mendekati nilai DMI atau SOI dengan amplitudo yang besar (positif atau negatif), amplitudo koefisien ekspansi turut pula meningkat pada 3-4 bulan sebelumnya. Amplitudo koefisien ekspansi, DMI dan SOI akan mencapai puncak positif atau negatif secara bersamaan jika koefisien ekspansi, DMI dan SOI mencapai amplitudo yang besar secara bersamaan pula seperti pada akhir tahun 1982 dan Koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF ini dapat menjadi penduga awal kedatangan DM atau SOI pada 3-4 bulan sebelumnya jika amplitudo koefisien ekspansi meningkat dengan kuat dimana DM atau ENSO tidak terjadi bersamaan. Gambar 41 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/ke (tanpa satuan) dari tahun pada Mode ke-2 (keragaman terbesar kedua dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman sebesar 22.7%. Hasil analisis densitas spektral koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF memperkuat bahwa sinyal ini masih didominasi oleh pengaruh Muson yaitu siklus satu tahunan (12.2 bulanan) dengan energi sebesar (satuan) 2 /siklus per bulan (Gambar 41) dan hasil analisis CWT pada periode satu tahunan dengan energi sebesar 16 (energi) yang dominan terjadi sepanjang tahun (Gambar 42a). Korelasi antara koefisien ekspansi dan MSI dari hasil analisis XWT terlihat dengan jelas sinyal koefisien ekspansi mendahului MSI kurang lebih 3.1 bulan sebelumnya dengan fase searah pada periode 12.2 bulanan dengan energi sebesar 16 (energi) yang terjadi sepanjang tahun (Gambar 42b). Sinyal dari koefisien

32 130 ekspansi Mode ke-2 EOF ini, kemungkinan besar berkaitan erat dengan pergeseran awal musim dan panjang musim dari hasil interaksi antara DM dan ENSO setelah melewati dua kali siklus satu tahunan Muson dan sinyal ini kemungkinan berkaitan dengan proses terbentunya TBO. Pendapat ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara TBO dengan DM dan ENSO di perairan Indonesia dengan karakteristiknya yang dikelilingi oleh ribuan pulau dengan siklus dominannya Muson (Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011). Gambar 42 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-2 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 27.

33 131 Pada Gambar 42c memperlihatkan korelasi antara koefisien ekspansi dan DMI terdeteksi kuat dengan siklus 1.5 tahunan pada waktu yang bersamaan dengan amplitudo yang besar dari sinyal SOI yaitu tahun 1997, sedangkan pada siklus tahunan dengan fase yang berlawanan setelah bulan dari puncak DMI dimana masing-masing memiliki energi sebesar 16 (energi). Hasil ini diperkuat dengan analisis densitas spektral koefisien ekspansi dimana energi terbesar ketiga setelah siklus 10.7 tahunan, terdapat siklus sekitar 18.2 bulanan atau siklus dua tahunan (biennial) dengan energi sebesar 3800 (satuan) 2 /siklus per bulan (Gambar 41). Hasil ini memperkuat bahwa sinyal ini berkaitan erat dengan TBO dimana aktifitas Muson pada Mode ke-1 EOF dari data SPL, setelah melewati dua kali siklus satu tahunannya akan terbentuk sinyal siklus TBO yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyimpanan bahang di laut dan pelepasan bahang ke atmosfer di sekitar perairan dalam Indonesia, Laut Cina Selatan dan Teluk Bengal. Oleh karena itu, siklus TBO tidak tepat berada pada siklus dua tahunan yaitu 18.2 bulanan karena sebelum mencapai siklus Muson yang kedua kalinya, kandungan bahang di laut telah dilepaskan ke atmosfer yang diduga dipicu oleh menumpuknya massa air hangat, meningkatnya proses tidal mixing dan proses interaksi darat-laut-atmosfer pada skala lokal dan regional sehingga memicu terjadinya zona divergen dan konvergen. Pendapat yang senada telah disampaikan sebelumnya bahwa Teluk Bengal memiliki siklus dominan dua tahunan semu (quasi biennial) dimana siklus ini tidak tepat berada pada periode dua tahunan dan berfungsi sebagai kapasitor bahang di laut (Montegut et al., 2007) dan Xie et al. (2009a) yang menyatakan bahwa perairan di sebelah timur Samudera Pasifik dan perairan Indonesia berfungsi sebagai kapasitor bahang dan memiliki siklus dua tahunan. Selain itu, Qu et al. (2005) menyatakan bahwa Laut Cina Selatan berfungsi sebagai kapasitor bahang dan pembawa bahang dari Samudera Pasifik melalui jalur SCSTF (Qu et al., 2006). Bahang yang dilepas ke atmosfer dipicu oleh meningkatnya proses tidal mixing di Laut Cina Selatan, Laut Jawa sampai Laut Banda (Jochum dan Potemra, 2008; Koch et al., 2010; Brierley dan Fedorov, 2011), sedangkan menurut Qinyan et al. (2011) dipicu oleh proses adveksi yang terlihat dari variabilitas tinggi muka laut.

34 132 Penelitian sebelumnya telah banyak yang menyatakan terdapat keterkaitan yang erat antara TBO dengan DM dan ENSO (Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011). Selain itu, penelitian sebelumnya menyatakan bahwa interaksi darat-laut-atmosfer berkaitan erat dengan mekanisme proses terjadinya DM dan ENSO yang memicu pergeseran siklus TBO menjadi satu tahunan atau lebih (Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001; Guan dan Yamagata, 2003; Yuan et al., 2008), sedangkan Loschnigg et al. (2003) menyatakan bahwa interaksi antara Muson dan DM mengatur aktifitas TBO yang memicu terjadinya fase positif DM. Hasil dari analisis yang dilakukan pada penelitian ini berpendapat bahwa TBO dengan siklus 18.2 bulan terbentuk dari aktifitas Muson dengan siklus satu tahunan pada Mode ke-1 EOF dimana terjadi selisih bahang yang didistribusikan dan disimpan melalui mekanisme proses adveksi horizontal dan vertikal dilaut sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan massa air hangat atau dilepas ke atmosfer melalui proses feedback (umpan balik) atmosfer berupa terbentuknya zona konveksi yang dipicu oleh interaksi darat-laut-atmosfer pada skala lokal dan regional dan menguatnya tidal mixing di perairan Laut Cina Selatan, Laut Jawa sampai Banda (perairan dalam Indonesia) dan Teluk Bengal. Korelasi antara koefisien ekspansi dengan SOI lebih lemah dibandingkan dengan DMI, sekitar setengah energi dari korelasi dengan DMI yang terjadi pada akhir tahun 1982 dan 1997 pada periode tahun dengan energi sekitar 8 (energi) dimana koefisien ekspansi mendahului sekitar bulan dari sinyal SOI dengan fase searah (Gambar 42d). Meskipun hasil korelasi memiliki energi yang lemah tetapi koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF ini berpotensi sebagai penduga awal terjadinya ENSO. Korelasi ini diduga memiliki keterkaitan yang erat dengan aktifitas TBO dan senada dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Meehl dan Arblaster, 2011). Hasil analisis densitas spektral memperkuat pula bahwa sinyal ini berkaitan dengan TBO dimana ditemukan energi densitas spektral terbesar ketiga pada siklus 18.2 bulanan (Gambar 41). Selisih waktu berkisar antara bulan dari siklus 18.2 bulanan TBO adalah waktu proses yang dibutuhkan sehingga terbentuk fase puncak ENSO jika puncak fase ENSO didefinisikan oleh SOI.

35 133 Analisis densitas spektral koefisien ekspansi pada Mode ke-2 EOF ditemukan pula energi kedua terbesar yaitu sebesar (satuan) 2 /siklus per bulan, lebih besar dua kali energi sinyal TBO yang ditemukan ketiga terbesar dengan energi sebesar 3800 (satuan) 2 /siklus per bulan (Gambar 41). Siklus ini terjadi pada siklus dekadal dengan periode sebesar 128 bulanan atau 10.7 tahunan. Siklus dekadal ini kemungkinan merupakan hasil interaksi dari modulasi sistem PDO pada periode transisi yang berasosiasi dengan fase El Nino dimana massa air hangat di tengah Samudera Pasifik lebih menyebar ke arah utara dan selatan ekuatorial. Kemungkinan ini semakin besar karena sebelumnya telah dilakukan penelitian keterkaitan PDO dengan ENSO dari dinamika bahang laut-atmosfer baik dengan menggunakan data observasi (Chang et al., 2007) maupun dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer (Alexander et al., 2010). Gambar 43 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali SPL ( C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku negatifnya (b).

36 134 Hasil analisis komposit rata-rata anomali SPL pada saat koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF sebesar satu kali diatas simpangan baku positif atau untuk selanjutnya disebut fase positif Mode ke-2 EOF (Gambar 43a) dan fase negatif sebesar satu kali dibawah simpangan baku negatif (Gambar 43b), memperlihatkan bahwa pada fase positif hampir seluruh paparan di Samudera Hindia memiliki anomali positif SPL dengan nilai maksimum berada di perairan sebelah utara Samudera Hindia sebesar C. Sementara itu di Samudera Pasifik, anomali positif SPL berada di BBS, perairan sebelah barat laut dan timur laut dan negatif berada di BBU pada daerah lintang tinggi. Nilai simpangan baku koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF adalah sebesar ±25.5 (tanpa satuan) dengan nilai minimum sebesar dan maksimum sebesar Nilai maksimum anomali SPL berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar C dan nilai minimum berada di BBU pada daerah lintang tinggi sebesar C. Pada fase negatif kondisi sebaliknya terjadi dimana perbedaannya adalah di Samudera Hindia nilai minimum anomali SPL berada di sebelah timur berkisar -1 dan di Samudera Pasifik anomali positif SPL di BBU menyebar ke arah selatan sampai memasuki daerah ekuator. Kondisi ini memperlihatkan baik pada fase positif di Samudera Hindia dominan kuat dipengaruhi oleh Angin Muson dan Sirkulasi Walker melemah, sedangkan pada fase negatif Angin Muson melemah dan Sirkulasi Walker sedikit menguat. Hal ini diperkuat dari hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dimana pada fase positif angin baratan di Samudera Hindia melemah menjadi anomali angin timuran sebesar 0.5 m/s di perairan sebelah barat Sumatera (Gambar 44a), sehingga kedalaman lapisan tercampur di perairan barat ekuatorial Samudera Pasifik sedikit meningkat sebesar 4.0 m (Gambar 44c) dan anomali SPL di sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia relatif sama sebesar 0.6 C (Gambar 44b). Pada fase negatif, angin baratan sedikit menguat sebesar 0.25 m/s di tengah ekuatorial Samudera Hindia, sehingga kedalaman lapisan tercampur meningkat sebesar 3.0 m di tengah dan menurun di sebelah barat sebesar -6.0 m tetapi kondisi ini tidak diikuti dengan meningkatnya anomali SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 44b). Pada Lampiran 4

37 135 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bahang melalui evaporasi, sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer pada Mode ke-2 EOF. Gambar 44 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL ( C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari

38 136 Di perairan Samudera Pasifik pada fase positif maupun negatif, pengaruh angin meridional maupun Sirkulasi Walker berperan sama kuat dimana terjadi osilasi SPL arah meridional dan arah zonal (Gambar 43a dan b). Selain itu pada fase positif, diketahui pula bahwa meningkatnya anomali SPL di seluruh paparan Samudera Hindia akan meningkatkan anomali SPL di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 43a), sedangkan menurunnya anomali SPL di paparan Samudera Hindia pada fase negatif akan menurunkan anomali SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan meningkatkan anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 43b). Kondisi diduga berkaitan erat dengan aktifitas TBO dengan siklus 18.2 bulanan dimana pada fase positif, bahang di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan dalam Indonesia siap dilepaskan tetapi belum dilepaskan ke atmosfer sehingga suhu udara di atas perairan ini relatif sama dengan SPL. Pendapat senada disampaikan sebelumnya bahwa TBO berperan dalam mengatur kondisi simetris dan asimetris antara Samudera Hindia dan Pasifik (Kawamura et al., 2003) dan Yang et al. (2010) yang berpendapat bahwa meningkatnya atau menurunya SPL di paparan Samudera Hindia berinteraksi dengan ENSO di Samudera Pasifik dimana perairan Teluk Bengal dan barat Sumatera berperan penting mengatur dinamikanya. Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dimana pada fase positif (negatif) angin baratan terjadi di sebelah timur (barat) dan angin timuran di sebelah barat (timur) Samudera Pasifik (Gambar 44a) sehingga anomali SPL di sebelah timur menjadi meningkat (menurun) sesuai dengan umpan balik dari atmosfer (Gambar 44b). Pada fase positif, kedalaman lapisan tercampur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik meningkat dengan penurunan tertinggi berada di tengah ekuatorial, sedangkan kondisi asimetris terjadi pada fase negatif dimana peningkatan kedalaman lapisan tercampur terjadi di sebelah timur dan penurunan terjadi di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 44c). Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bersih bahang melalui evaporasi sehingga lebih mempertegas

39 137 keterkaitan antar parameter dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer pada Mode ke-2 EOF. Hasil dari analisis EOF pada Mode ke-2 data SPL dari data asimilasi GFDL pada cakupan lokasi penelitian di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya telah dapat menangkap sinyal-sinyal secara spasial dan temporal variabilitas dari parameter laut-atmosfer di Samudera Hindia dan Pasifik yang dipengaruhi oleh pergeseran awal Muson dengan siklus satu tahunan, siklus dekadal dan siklus dua tahunan. Siklus dengan periode 3-5 tahunan DM dan ENSO pada Mode ke-2 EOF tidak ditemukan, sehingga pada Mode ini diduga mengindikasikan awal proses pembentukan DM dan ENSO yang dipicu oleh ketidakseimbangan kandungan bahang antara laut dan atmosfer di Asia Tenggara dan sekitarnya. Posisi simetris dan asimetris anomali SPL pada fase positif dengan puncaknya pada bulan Mei maupun negatif dengan puncaknya pada bulan November antara BBU dan BBS di perairan Samudera Hindia, perairan Asia Tenggara dan Samudera Pasifik dan pada arah zonal antara sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik sangat dominan menentukan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer yang akan mengontrol pergeseran sinyal Muson, DM dan ENSO pada Mode berikutnya dari analisis EOF. Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di Asia Tenggara dan sekitarnya pada Mode ke-2 hasil analisis EOF data SPL dari data asimilasi GFDL ini untuk selanjutnya akan diberi nama fase Penyimpanan/Pelepasan Bahang perairan Asia Tenggara (PBAT) Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif Puncak fase positif Mode ke-2 EOF terjadi pada bulan Mei, sedangkan fase negatif terjadi pada bulan November. Pada fase positif Mode ke-2 EOF siklus dengan periode satu tahunan masih ditemukan menandakan pengaruh Muson masih kuat, tetapi tidak sedominan pada Mode ke-1 EOF karena diikuti dengan siklus dekadal dengan periode 128 bulanan (10.7 tahunan) dengan energi spektral densitasnya sebesar 0.25 kali dari siklus Muson. Muson yang dimaksud pada Mode ke-2 EOF ini adalah Muson dengan siklus yang telah bergeser 3.1 bulan sebelumnya pada periode yang sama yaitu satu tahunan dengan beda fase yang searah dengan Muson pada Mode ke-1 EOF. Artinya bahwa Muson pada Mode

40 138 ke-2 merupakan Muson pada Mode ke-1 yang kedatangannya 3.1 bulan lebih awal dari awal kedatangan Muson pada Mode ke-1 dimana panjang musim antara Muson pada Mode ke-2 menjadi lebih panjang 3.1 bulan dari Muson pada Mode ke-1, sehingga panjang satu kali siklus Muson pada Mode ke-2 sebenarnya adalah 12.2 bulan ditambahkan dengan 3.1 bulan menjadi sebesar 15.3 bulan. Interaksi antara siklus dekadal dengan sistem Muson pada Mode ke-2 diduga akan memperkuat siklus dengan periode 18.2 bulanan (dua tahunan) yang telah terdeteksi sebelumnya pada Mode ke-1 EOF dengan energi spektral densitasnya sebesar setengah kali energi siklus periode dekadal. Sisa kandungan bahang di laut yang tersimpan di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi pada puncak fase positif Mode ke-1 EOF di bulan Juli yang tidak dilepaskan ke atmosfer pada puncak fase negatif Mode ke-1 di bulan Januari, memicu pergeseran awal dan panjang musim yang ditandai oleh kemunculan siklus dengan periode 19.7 bulanan pada Mode ke-1 EOF dengan energi spektral densitas terbesar kedua setelah Muson. Pada Mode ke-2 EOF, masuknya siklus dengan periode 10.7 tahunan yang berinteraksi dengan siklus satu tahunan Muson diduga memperkuat siklus 18.2 bulanan. Siklus dengan periode 10.7 tahunan diduga berasal dari gangguan frekuensi tinggi sinyal siklus dekadal dari PDO di daerah subtropis di BBU Samudera Pasifik. Pada fase positif Mode ke-2 EOF pola anomali angin permukaan laut hampir sama dengan fase positif Mode ke-1 EOF dimana Muson masih berperan mendominasi pola sirkulasi angin permukaan laut. Perbedaannya adalah kecepatan angin maksimum pada Mode ke-2 EOF sebesar 5.0 m/s (Gambar 45a) lebih lemah daripada kecepatan angin maksimum pada Mode ke-1 EOF sebesar 8.0 m/s (Gambar 30a). Selain itu, kecepatan angin di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan di sebelah barat laut Samudera Pasifik jauh lebih lemah daripada kecepatan angin yang tinggi di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan di atas perairan utara Australia (Gambar 45a). Pola anomali arus permukaan laut di perairan Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Laut Banda umumnya mengikuti pola angin di atas permukaan laut. Kecepatan arus yang tinggi terjadi di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berupa anomali arus timuran yang diduga merupakan

41 139 bagian dari Arus Sakal Ekuatorial dengan kecepatan mencapai 0.2 m/s, sedangkan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terjadi di perairan utara Papua dan Papua New Guinea yaitu Arus Pantai New Guinea dan Arus Ekuatorial Selatan dengan kecepatan mencapai 0.3 m/s (Gambar 45b). Gambar 45 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase positif Mode ke-2 EOF. Anomali angin melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5 LS-5 LU terdapat anomali angin vertikal yang bergerak ke lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 46a). Kecepatan angin di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sebesar 2.0 m/s lebih besar

42 140 daripada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 1.5 m/s. Kondisi ini diduga terjadi zona konveksi yang lebih besar di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia daripada di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali angin zonal timuran terbentuk di lapisan bawah troposfer dan anomali angin zonal baratan terbentuk di lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, angin baratan terbentuk di bawah dan angin timuran terbentuk di atas lapisan troposfer (Gambar 46b). Kondisi ini memperlihatkan bahwa baik di Samudera Pasifik maupun di Samudera Hindia Sirkulasi Walker bekerja dengan normal dimana Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik lebih kuat daripada di Samudera Hindia. Kecepatan anomali angin zonal maksimum sebesar 3.0 m/s terjadi di lapisan atas troposfer dan minimum sebesar -2 m/s terjadi di lapisan bawah troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Pola anomali suhu udara melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5 LS-5 LU, terdapat anomali positif suhu udara pada semua lapisan troposfer dengan kisaran sebesar C dengan nilai anomali positif terkecil berada di lapisan bawah di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan tertinggi berada di lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 46c). Anomali positif suhu udara pada semua lapisan troposfer ini mengakibatkan kecil sekali terjadi proses kondensasi pada lapisan troposfer kecuali jika naiknya paket massa udara yang membawa kandungan uap air yang tinggi terjadi dengan cepat sehingga paket massa udara tersebut mengalami pendinginan secara adiabatik. Oleh karena itu, meskipun terdapat kemungkinan terbentuk zona konveksi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 46a dan b) akan kecil sekali terjadi presipitasi karena adanya proses kondensasi di lapisan troposfer.

43 141 Gambar 46 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-2 EOF. Potensi kemungkinan terjadinya presipitasi dapat diketahui lebih baik dari anomali suhu udara melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5 LS- 5 LU dimana di lapisan bawah troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial

44 142 Samudera Pasifik terdapat anomali positif kelembapan udara sebesar 1% dan di tengah ekuatorial sebesar 1.5%, semakin ke arah barat di lapisan atas meningkat sebesar 3% (Gambar 46d). Anomali negatif kelembapan udara dominan berada di lapisan atas di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan di lapisan bawah di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya presipitasi berada di lapisan bawah troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia karena memiliki anomali suhu udara yang lebih kecil, sedangkan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, meskipun terdapat anomali kelembapan udara yang besar tetapi kecil sekali terjadi proses kondensasi karena anomali suhu udara di lapisan ini cukup tinggi. Kemungkinannya adalah massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ini akan terbawa oleh angin mengikuti pola Sirkulasi Hadley ke arah BBU dan BBS. Pola sebaran anomali SPL pada fase positif Mode ke-2 EOF hampir sama dengan pola spasial hasil dekomposisi Mode ke-2 EOF dimana terdapat anomali positif SPL hampir di seluruh cakupan wilayah penelitian kecuali di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar C dan di perairan utara Australia sebesar 0.20 C (Gambar 47a). Anomali positif tertinggi terdapat di sekitar perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia berkisar antara C. Anomali positif SPL hampir di seluruh wilayah penelitian seharusnya memberikan kontribusi yang besar dalam bentuk umpan balik ke atmosfer berupa pelepasan bahang dari laut ke atmosfer baik melalui proses konduksi maupun dalam bentuk bahang melalui evaporasi. Pada kenyataannya, berdasarkan pola melintang terhadap ketinggian dari anomali suhu udara (Gambar 46c) dan anomali kelembapan udara (Gambar 46d), daerah yang memungkinkan terjadinya zona konveksi hanya di lapisan bawah troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Oleh karena itu, dominasi anomali positif SPL ini, kecuali perairan yang memiliki anomali negatif sebagian diduga akan mengalami proses penyimpanan bahang di laut dengan mekanisme penyebarannya sebagian besar melalui proses adveksi horizontal dan sebagian lagi melalui proses adveksi vertikal. Hal ini diperkuat dari pola sebaran anomali kedalaman lapisan tercampur dimana anomali positif hanya ditemukan di BBS berkisar antara m yang dibangkitkan oleh angin dan di perairan

45 143 sebelah barat pantai barat Sumatera berkisar antara m yang dibangkitkan oleh Sirkulasi Walker di Samudera Hindia yang mulai menguat (Gambar 47b). Anomali negatif kedalaman lapisan tercampur menyebar terutama di BBU dengan nilai anomali negatif terkecil sebesar -25 m, Teluk Bengal sebesar -12 m, perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar -7.0 m, Laut Cina Selatan sebesar -8.0 m dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar -5 m. Gambar 47 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif Mode ke-2 EOF. Peranan fase positif Mode ke-2 EOF ini sebagai fase penyimpanan bahang di laut semakin terbukti dimana pola anomali Q S +Q L memperlihatkan lebih banyak kandungan bahang di laut dengan nilai anomali positifnya dibandingkan kandungan bahang yang dilepaskan ke atmosfer dengan nilai anomali negatifnya terutama di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, kecuali di perairan sebelah barat pantai barat Sumatera yang memiliki umpan balik ke laut dan atmosfer. Anomali positif Q S +Q L tertinggi berkisar antara W/m 2 terpusat di perairan sekitar Teluk Bengal, perairan sebelah tenggara Samudera

46 144 Hindia, perairan selatan Jawa, Bali, NTB, NTT dan perairan di sebelah utara dan timur Australia. Anomali negatif Q S +Q L tertinggi dominan berada di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan nilai anomali terendah berada di BBU sebesar -30 W/m 2 (Gambar 48a). Fungsi Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Laut Banda sebagai kapasitor bahang di laut dan stabilisator bahang di atmosfer terlihat dengan jelas dimana terdapat anomali negatif di tengah Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Laut Banda yang berfungsi sebagai stabilisator bahang di atmosfer. Anomali negatif Q S +Q L di perairan ini diduga hasil dari interaksi darat-laut-atmosfer pada skala lokal yang berperan besar dalam mengatur kestabilan atmosfer di atasnya. Gambar 48 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-2 EOF. Hasil analisis pola sebaran anomali P E memperlihatkan sumber kandungan air di atmosfer berasal dan di mana kandungan air ini akan dijatuhkan melalui proses kondensasi dan presipitasi. Pada Gambar 48b memperlihatkan anomali positif P E dimana presipitasi lebih besar daripada evaporasi, terjadi di sekitar

47 145 perairan tenggara Samudera Hindia, Teluk Bengal dan perairan sebelah barat dan barat laut ekuatorial Samudera Pasifik berkisar antara mm/hari. Sumber kandungan air di udara dari proses presipitasi yang terjadi di atas perairan Teluk Bengal berasal dari proses evaporasi yang terjadi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dimana di perairan ini memiliki anomali negatif P E (Gambar 48b) dan sesuai dengan anomali negatif Q S +Q L dimana bahang di laut dilaut dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk bahang melalui evaporasi (Gambar 48a). Massa udara dengan kandungan air yang tinggi di atas perairan ekuatorial Samudera Hindia terbawa oleh Angin Muson Barat Daya (Gambar 45a) dan dijatuhkan di atas perairan Teluk Bengal melalui proses presipitasi. Sumber kandungan air di udara di atas perairan tenggara Samudera Hindia berasal dari perairan utara Australia yang terbawa oleh Angin Muson Tenggara, sedangkan sumber kandungan air di udara di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berasal dari perairan di bawahnya dari hasil proses evaporasi dimana terlihat nilai Q S +Q L memiliki anomali yang negatif. Begitu pula yang terjadi di atas perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dimana sumber kandungan air berasal dari Laut Cina Selatan dan dari perairan itu sendiri. Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase positif Mode ke-2 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses penyimpanan bahang di laut dari hasil proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Pada fase positif Mode ke-2 EOF ini dengan jelas memperlihatkan bahwa tidak hanya terjadi proses pelepasan bahang tetapi terjadi pula proses penyimpanan kandungan bahang di laut yang dominan merata di sekitar perairan Teluk Bengal kecuali persis di tengah Teluk Bengal, sebelah tenggara Samudera Hindia, selatan Jawa, Bali, NTB, NTT dan di perairan sebelah barat, utara dan timur Australia yang menyebar mengikuti mekanisme proses adveksi horizontal (QV). Pemicu fase penyimpanan/pelepasan bahang di laut diduga kuat disebabkan oleh terjadinya pergeseran musim selama 3.1 bulan pada Mode ke-2 dan hasil interaksi antara sistem Muson di Mode ke-2 dengan fenomena siklus pada periode 10.7 tahunan yang diduga berasal dari gangguan frekuensi tinggi sinyal siklus

48 146 dekadal dari PDO. Interaksi darat-laut-atmosfer pada skala lokal dan regional dalam proses penyimpanan/pelepasan bahang di laut dan fungsi laut sebagai stabilisator atmosfer berperan penting dalam dinamika laut-atmosfer pada Mode ke-2 EOF. Selisih bahang yang disimpan di laut dan atmosfer pada fase positif dengan fase negatif Mode ke-2 ini akan mempengaruhi proses interaksi Muson, DM dan ENSO pada Mode EOF berikutnya. Fase positif Mode ke-2 EOF ini dengan dinamika proses yang terjadi di perairan Asia Tenggara diberi nama fase Penyimpanan/Pelepasan Bahang perairan Asia Tenggara (PBAT) positif atau disebut juga PBAT positif. Gambar 49 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-2 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Skematika interaksi darat-laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-2 EOF cukup kompleks dengan melibatkan pergeseran fase Muson, fenomena siklus dengan periode 10.7 tahunan yang diduga berasal dari gangguan frekuensi tinggi sinyal siklus dekadal dari PDO di daerah subtropis di BBU Samudera Pasifik dan menguatnya siklus 18.2 bulanan dimana pada fase positif Mode terjadi proses penyimpanan bahang secara merata kecuali di perairan Samudera Pasifik, sehingga pada fase ini disebut fase Penyimpanan/Pelepasan Bahang perairan Asia Tenggara (PBAT) positif atau disebut juga PBAT positif. Oleh karena itu,

49 147 secara sederhana dinamika proses yang terjadi disajikan pada (Gambar 49) dan penjabaran mekanisme prosesnya akan dipaparkan pada tulisan di bawah ini. Matahari mulai bergerak semu ke arah BBU pada bulan April-Mei. Angin Muson pada Mode ke-2 EOF mulai aktif berhembus di perairan timur Samudera Hindia dari BBS ke arah BBU. Massa air hangat terbawa mengikuti pergerakan angin dan terjebak di Teluk Bengal, sehingga SPL di teluk akan terus bertambah tinggi dan mengakibatkan suhu udara di atasnya semakin meningkat. Gradien SPL dari BBS ke BBU semakin besar, begitu pula suhu udara di atasnya. Kondisi ini menyebabkan terjadi gradien tekanan udara yang besar mulai dari BBS ke arah BBU di perairan barat Sumatera, sehingga mengakibatkan angin semakin kuat mendorong massa air hangat ke arah Teluk Bengal. Sisa massa air hangat di pantai barat Australia dan pantai barat Sumatera terkumpul di Teluk Bengal, sehingga di perairan Teluk Bengal dan perairan barat Sumatera merupakan tempat berkumpulnya massa air hangat dan membentuk kolam air hangat yang besar. Sirkulasi Walker di sebelah timur Samudera Hindia terpicu untuk menguat dan menyebabkan semakin berkumpulnya massa air hangat di Teluk Bengal dan perairan barat Sumatera. Sementara itu, di perairan timur laut Indonesia (perairan barat laut Samudera Pasifik), ITCZ pada bulan ini mulai bergeser sedikit ke utara yang dipicu oleh gangguan frekuensi tinggi sinyal siklus dekadal dari PDO di daerah subtropis di BBU Samudera Pasifik sehingga mengakibatkan Angin Pasat Timur Laut bergerak dari timur ke arah barat mendorong dengan kuat massa air hangat dari barat laut Samudera Pasifik ke arah barat masuk ke parairan utara Papua, jalur ARLINDO, perairan Filipina sampai ke Laut Cina Selatan. Kondisi ini mengakibatkan perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, perairan dalam (Selat Karimata, Laut Jawa dan Laut Banda) dan utara Indonesia berkumpul menjadi kolam air hangat yang besar dengan dikelilingi oleh daratan dan pulau-pulau yang berfungsi sebagai perangkap massa air hangat. Massa air hangat ini lebih lama menetap dan berinteraksi dengan atmosfer dan daratan di sekitarnya. Kondisi ini dapat terjadi karena sesuai dengan sifat daratan dan lautan dimana daratan lebih cepat menerima bahang matahari dan lebih cepat pula melepaskan bahang, sedangkan lautan lebih lama menerima bahang matahari dan lebih lama pula

50 148 menyimpan bahang. Proses ini berlanjut dengan terjadinya angin darat dan angin laut dalam skala lokal. Siklus keseimbangan bahang melalui evaporasi pada skala lokal di atmosfer di atas daratan dan lautan tetap berada di perairan ini, begitu pula di perairan lainnya dalam skala lokal. Bahang tersebut tetap berada di kolam air hangat karena dikelilingi oleh daratan dan pulau-pulau di sekitarnya. Pada skala regional yang lebih luas lagi, kolam air hangat yang berada di Teluk Bengal, perairan Laut Cina Selatan, perairan dalam Indonesia dan perairan utara Indonesia ini akan mencapai titik maksimum kemampuannya dalam menyimpan bahang, sebagian akan dilepaskan dan berinteraksi dengan sistem laut-atmosfer lainnya. Hasil interaksi antara siklus Muson yang telah mengalami pergeseran awal musim pada Mode ke-2 EOF dan siklus dekadal dengan periode 10.7 tahunan yang diduga disebabkan oleh gangguan frekuensi tinggi sinyal siklus dekadal dari PDO akan memperkuat siklus dua tahunan pada Mode ke-2 yang sebelumnya pada Mode ke-1 EOF telah terdeteksi keberadaannya. Siklus ini diduga sebagai pemicu terjadinya fase positif TBO di atas perairan Asia Tenggara dari hasil modulasi awan konveksi yang dilepaskan dari lautan ke atmosfer di atasnya yang berinteraksi dengan paparan daratan di sekitarnya. Mekanisme dinamika prosesnya dimulai dari Mode ke-1 EOF dimana pada fase positif Mode ke-1 EOF terjadi ketidakseimbangan bahang di lautan secara secara temporal dan spasial pada arah meridional antara fase positif dan negatif Mode ke-1 EOF di perairan Asia Tenggara. Kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya pergeseran fase Muson yang terdeteksi pada Mode ke-2 EOF. Pada Mode ke-2 EOF ditemukan pergeseran awal kedatangan Muson sekitar 3.1 bulan lebih cepat dari siklus Muson pada Mode ke-1 EOF. Setelah dua kali melewati siklus satu tahunan (12.2 bulanan) Muson maka akan terjadi dua kali pergeseran fase Muson yang terdeteksi pada Mode ke-2 EOF, sehingga menghasilkan siklus dengan periode 2 kali 12.2 bulan dikurangkan dengan 2 kali pergeseran Muson sebesar 3.1 bulan menjadi siklus dengan periode 18.2 bulanan yang terdeteksi pada Mode ke-2 EOF dengan energi spektral densitas ketiga terbesar setelah siklus dengan periode 10.7 tahunan. Pergeseran dua kali siklus Muson ini mengharuskan terbentuk siklus yang berulang sehingga dibutuhkan pemicu untuk terjadinya fase positif dan negatif siklus 18.2 bulanan atau disebut pula phase

51 149 locking siklus. Siklus dengan energi spektral densitas terbesar kedua pada Mode ke-2 EOF yaitu siklus dekadal dengan periode 10.7 tahunan yang telah berinteraksi dengan pergeseran siklus tahunan Muson pada Mode ke-2 berperan sebagai phase locking dari siklus 18.2 bulanan. Siklus dekadal ini diduga berasal dari daerah subtropis di BBU di Samudera Hindia karena dari hasil analisis EOF pada fase positif Mode ke-2 ditemukan anomali negatif di perairan sebelah timur perairan Asia Tenggara (Gambar 40a dan Gambar 43a). Siklus dekadal ini diduga terbentuk dari gangguan frekuensi tinggi sinyal siklus dekadal dari fase transisi PDO. Fase TBO pada fase positif Mode ke-2 EOF ini merupakan fase positif TBO dengan anomali SPL yang tinggi hampir di seluruh perairan dimana pada saat mencapai puncak fase TBO, massa air hangat yang terkumpul dan menyimpan bahang di lautan akan mencapai titik maksimum sehingga harus dilepaskan ke atmosfer untuk mencapai keseimbangan kandungan bahang di darat-laut-atmosfer. Fase TBO pada fase positif Mode ke-2 EOF ini dihasilkan dari modulasi awan konveksi ke atmosfer yang berasal dari anomali positif SPL di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Jawa dan Laut Banda dari hasil interaksi pada skala lokal dan regional antara darat-laut-atmosfer. Modulasi awan konveksi ke atmosfer ini akan mengakibatkan suhu udara di lapisan troposfer meningkat di sepanjang ekuatorial ketika telah terjadi proses presipitasi. Fase TBO ini terjadi pada periode transisi Muson di bulan Mei ketika posisi semu Matahari telah melewati ekuator ke arah BBU. Oleh karena berinteraksi dengan sistem Muson maka tidak sepenuhnya TBO ini merupakan suatu osilasi yang independen, tetapi merupakan proses respon balik dari pergeseran Muson pada Mode ke-2 EOF. Pada lapisan tropospause, terjadi ketidakstabilan sistem termodinamika sehingga massa udara dengan uap air yang tinggi ini bergerak membentuk gelombang atmosfer (Atmospheric wave). Gelombang ini akan memicu naik-turunnya atau gerakan zonal barat-timur massa udara di lapisan stratosfer sehingga terjadi fenomena QBO (Quasi Biennial Oscillation) yang berasosiasi dengan Gelombang Grafitasi Rossby atau Kelvin.

52 Dinamika Laut-Atmosfer Fase Negatif Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi pada fase negatif Mode ke-2 EOF hampir sama dengan kebalikan dari fase positif Mode ke-2 EOF. Periode puncak fase negatif Mode ke-2 EOF ini terjadi pada November. Pola anomali angin di BBU dominan berupa Angin Timur Laut dengan kecepatan tertinggi terjadi di atas perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan dengan kecepatan angin mencapai 5.0 m/s (Gambar 50a). Perbedaan antara fase negatif dan positif Mode ke-2 ini terlihat bahwa pembalikan arah angin di atas perairan sebelah utara Australia melemah dengan kecepatan sekitar 3.0 m/s dibandingkan pada fase positif dan di perairan sebelah tenggara Samudera Pasifik terdapat pola antisiklon dengan kecepatan yang lemah sekitar 0.2 m/s. Penyebabnya diduga di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia merupakan zona evaporasi dengan tidak diikuti proses presipitasi di lapisan troposfer di atasnya. Kemungkinan besar massa udara dengan kandungan uap air yang besar terbawa ke arah utara sampai di sekitar ekuator dan terbawa ke arah timur sampai di atas perairan sebelah utara Australia. Pola anomali arus permukaan laut pada fase negatif Mode ke-2 EOF umumnya mengikuti pola anomali angin permukaan laut dan merupakan kebalikan dari fase positif Mode ke-2 (Gambar 50b). Perbedaan yang dominan terlihat terjadi di perairan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan di perairan Teluk Bengal dimana pembalikan arah arus pada fase negatif ini lebih besar daripada fase positif. Kecepatan arus di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik mencapai 0.3 m/s, sedangkan di perairan Teluk Bengal mencapai 0.2 m/s. Selain itu, juga terjadi perbedaan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dimana pembalikan arus pada fase negatif lebih lemah daripada fase positif kemungkinan besar Arus Sakal Ekuatorial masih cukup kuat di tengah ekuatorial samudera Hindia. Arus timuran di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera dan arus baratan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, selain dipengaruhi oleh pola angin di atasnya kemunkinan juga dipengaruhi oleh pembalikan pola Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik.

53 151 Gambar 50 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase negatif Mode ke-2 EOF. Dugaan ini diperkuat dari hasil analisis anomali angin melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5 LS-5 LU dimana terlihat pola Sirkulasi Walker baik di Samudera Hindia dan Pasifik telah berbalik arah dimana angin baratan lebih mendominasi di tengah ekuatorial Indonesia (Gambar 51a). Kecepatan angin timuran di lapisan bawah troposfer di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berkisar antara m/s, sedangkan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berkisar antara m/s. Pembalikan arah Sirkulasi Walker juga terlihat dari anomali angin zonal dimana angin timuran berada di lapisan bawah -1.8 m/s dan angin baratan berada di lapisan atas troposfer sebesar 2.1 m/s di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera

54 152 Pasifik (Gambar 51b). Begitu pula di Samudera Pasifik, pembalikan arah Sirkulasi Walker terjadi pada lapisan bawah sampai tengah lapisan troposfer sangat kuat didominasi oleh angin baratan sebesar m/s, sedangkan di lapisan atas troposfer ditemukan lapisan tipis zona angin timuran sebesar -1.0 m/s. Kondisi ini merupakan suatu anomali dari pola normalnya Sirkulasi Walker dimana seharusnya arah Sirkulasi Walker kebalikan dari fase negatif Mode ke-2 ini. Kemungkinan besar penyebabnya adalah mendinginnya lapisan troposfer mulai dari lapisan bawah dan semakin dingin ke arah lapisan atas troposfer, karena dengan menurunnya suhu udara rendah akan memicu terjadinya peningkatan tekanan udara, sehingga pola Sirkulasi Walker lambat laun melemah dan terjadi pembalikan arah Sirkulasi. Dugaan ini semakin kuat setelah melihat hasil analisis pola anomali suhu udara melintang terhadap ketinggian pada 5 LS- 5 LU dimana terdapat anomali negatif suhu udara dari lapisan permukaan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar -0.1 C dan semakin menurun sampai di lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sebesar C (Gambar 51c). Penyebab anomali negatif suhu udara di seluruh lapisan troposfer di sepanjang ekuatorial perairan Asia Tenggara adalah menurunnya SPL hampir diseluruh perairan dengan anomali negatif terendah berada di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar C (Gambar 52a). Secara umum anomali negatif SPL terendah berada di sebelah barat dan semakin meningkat ke arah timur dan ditemukan anomali positif SPL rendah di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik. Anamali positif SPL ditemukan pula dengan di perairan sebelah utara Australia dan semakin menurun sampai di perairan Laut Flores. Anomali negatif suhu udara di seluruh lapisan troposfer berpeluang besar terjadinya proses kondensasi yang diikuti dengan presipitasi, tetapi kondisi ini perlu didukung oleh sumber masukan massa udara dengan kandungan uap air yang cukup tinggi. Potensi sumber uap air dari laut cukup kecil karena hampir di seluruh perairan memiliki anomali negatif SPL sehingga kemungkinan untuk terjadinya evaporasi sangat kecil dan kondisi atmosfer di atas permukaan laut memiliki tekanan udara yang cukup tinggi dengan suhu udara yang rendah. Oleh karena itu, satu-satunya potensi untuk mendukung terjadinya proses presipitasi

55 153 adalah kekuatan angin dan pola sirkulasi angin yang membawa massa udara dengan kandungan uap air yang cukup untuk terjadinya proses kondensasi (Gambar 50a). Gambar 51 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-2 EOF.

56 154 Pada Gambar 51d memperlihatkan anomali kelembapan udara melintang terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial pada 5 LS-5 LU dimana terlihat bahwa terdapat anomali kandungan uap air yang tinggi di lapisan atas troposfer sebesar 3.5% menyebar ke arah barat sampai ke tengah perairan Asia Tenggara di lapisan atas troposfer. Kemungkinan sumber massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ini berasal dari tengah ekuatorial Samudera Pasifik karena sesuai dengan anomali pembalikan arah pola Sirkulasi Walker, sedangkan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, massa udara dengan anomali positif kelembapan udara yang tinggi di lapisan bawah troposfer sebesar 3.0%, kemungkinan berasal dari BBU atau BBS bukan dari tengah ekuatorial Samudera Hindia karena adanya anomali pembalikan arah pola Sirkulasi Walker yang juga terjadi di Samudera Hindia. Gambar 52 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-2 EOF. Dinamika interaksi laut-atmosfer yang kompleks ini ternyata mulai terjawab dari hasil analisis pola sebaran anomali Q S +Q L dimana diketahui bahwa meskipun

57 155 hampir seluruh perairan memiliki anomali negatif SPL dengan kemungkinan kecil untuk memicu terjadinya evaporasi namun ternyata justru kondisi sebaliknya terjadi bahwa meskipun anomali SPL sebagian besar negatif, ternyata di atas perairannya terdapat sejumlah besar bahang yang dilepaskan dari laut ke atmosfer. Anomali negatif Q S +Q L yang berarti bahwa kandungan bahang meninggalkan sistem di laut dan masuk ke atmosfer ternyata menyebar hampir di seluruh perairan di sebelah barat Asia Tenggara. Anomali negatif Q S +Q L terendah terpusat terpusat di perairan utara Australia sampai ke perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan di sekitar perairan mulut Teluk Bengal dengan anomalinya sekitar -30 W/m 2 dan anomali positifnya berada di utara perairan Filipina dan di sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar 40 W/m 2 (Gambar 53a). Seperti pada fase positif Mode ke-2, meskipun terdapat anomali positif SPL hampir di seluruh perairan, tetapi hanya di Samudera Pasifik dan sebagian kecil di perairan dalam Indonesia dan perairan sebelah barat Sumatera saja yang dilepaskan ke atmosfer dimana sebagian yang lain tersimpan di laut terutama di perairan Teluk Bengal dan sebelah tenggara Samudera Hindia (Gambar 48a). Selisih bahang yang disimpan atau dilepaskan baik pada fase yang sama ataupun selisih bahang antara fase positif dan negatif diduga akan mempengaruhi dinamika laut-atmosfer pada Mode ke-3 sampai ke-5. Peranan Mode ke-2 yang berfungsi sebagai fase penyimpanan dan pelepasan bahang membuat fungsi kedalaman lapisan tercampur sebagai penyimpanan bahang menjadi penting karena distribusi bahang di laut selain melalui proses adveksi horizontal, proses adveksi vertikal juga berperan penting dalam menyimpan bahang di suatu perairan dalam jangka waktu yang lebih lama. Anomali positif kedalaman lapisan tercampur maksimum berada di sebelah barat perairan Laut Cina Selatan sebesar 32 m, selain itu hampir di seluruh perairan sebelah barat Samudera Pasifik terdapat anomali positif kedalaman lapisan tercampur yang terpusat di sebelah utara dan di jalur Arus Balik Ekuatorial Utara dengan anomali positifnya sebesar 15 m (Gambar 52b). Anomali positif kedalaman lapisan tercampur juga ditemukan di perairan utara Teluk Bengal sebesar 14 m dan di sekitar perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia

58 156 berkisar antara m. Sementara itu, anomali negatif kedalaman lapisan tercampur hampir semua berada di perairan BBS sebesar -18 m. Gambar 53 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-2 EOF. Jika dibandingkan antara pola sebaran anomali Q S +Q L (Gambar 53a) dengan anomali kedalaman tercampur (Gambar 52b) terlihat bahwa terdapat beberapa perairan meskipun memiliki anomali negatif Q S +Q L dimana bahang dilepaskan ke atmosfer tetapi kemungkinan tersimpan pula melalui mekanisme adveksi vertikal dengan ditandai oleh anomali positif kedalaman lapisan tercampur. Perairan tersebut meliputi Teluk Bengal, perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia, sebagian Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Sulu dan sebagian kecil di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Oleh karena itu, meskipun terdapat sejumlah besar bahang yang dilepaskan ke atmosfer tetapi terdapat pula sebagian besar bahang yang tersimpan di laut melalui mekanisme adveksi vertikal seperti pada perairan yang telah

59 157 disebut diatas dan ditambah dengan perairan di sebelah barat laut Samudera Hindia. Bahang yang dilepaskan ke atmosfer dari hasil analisis anomali negatif Q S +Q L telah diketahui bahwa tidak semuanya membawa kandungan uap air. Hanya komponen bahang Q L saja yang membawa kandungan uap air seiring dengan proses evaporasi, sedangkan komponen Q S menyumbangkan bahang melalui proses konduksi yang berfungsi menyeimbangkan kesetimbangan bahang antara laut dan atmosfer dengan cara meningkatkan suhu udara yang diketahui sebelumnya memiliki anomali negatif di seluruh lapisan troposfer (Gambar 51c). Komponen Q S secara aktif menyetabilkan kesetimbangan bahang di lapisan bawah troposfer, sedangkan Q L berperan meningkatkan suhu udara di lapisan tengah sampai atas troposfer bersamaan dengan terjadinya proses kondensasi dimana ketika paket massa udara dengan uap air yang telah mencapai titik jenuh diikuti dengan proses kondensasi maka selanjutnya akan terjadi proses presipitasi yaitu peralihan dari fase uap menjadi cair (curah hujan) atau langsung diteruskan ke fase padat (salju). Peralihan fase ini akan diikuti dengan pelepasan bahang dari sistem di dalam paket massa udara ke lingkungan (lapisan troposfer). Paket massa udara yang membawa Q L berasal dari perairan yang memiliki anomali negatif SPL, sehingga paket massa udara ini adalah berupa massa udara dingin yang membawa kandungan uap air dan bahang dari laut dalam bentuk bahang melalui evaporasi (Q L ). Paket massa udara dingin ini memerlukan suhu udara lingkungan yang lebih dingin agar terjadi proses kondensasi, sedangkan suhu lingkungan di lapisan bawah troposfer sedikit demi sedikit suhunya akan meningkat dari sumbangan bahang yang berasal dari Q S melalui proses konduksi, sehingga terbentuk profil suhu udara terhadap ketinggian dimana di lapisan bawah troposfer suhu udaranya dingin dan semakin dingin dengan bertambahnya ketinggian (Gambar 51c). Oleh karena itu, tidak memungkinkan paket massa udara dingin ini naik ke lapisan atas troposfer karena beberapa hal yaitu pertama, paket massa udara dingin ini memiliki berat jenis yang lebih besar dari berat jenis massa udara lingkungan, sehingga paket massa udara dengan kandungan uap air ini tidak memungkinkan untuk naik ke lapisan atas meskipun melalui proses pendinginan secara adiabatik. Kedua, gerakan massa udara vertikal cenderung dari

60 158 lapisan atas ke lapisan bawah troposfer karena suhu udara yang lebih dingin di lapisan atas memiliki tekanan udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara yang lebih hangat dengan tekanan udara yang lebih rendah di lapisan bawah troposfer dan yang terakhir telah diketahui sebelumnya bahwa terdapat anomali Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik dimana pola sirkulasinya telah berubah arah menjadi berkebalikan arah, sehingga di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terjadi zona divergen karena gerakan vertikal dari lapisan atas menuju ke lapisan bawah troposfer (Gambar 51a). Oleh karena itu, jika terjadi presipitasi di suatu perairan yang dominan memiliki anomali negatif SPL bisa dipastikan sumber massa udara dengan kandungan uap air di dalamnya bukan berasal dari perairan tersebut, tetapi dari perairan lain di sekitarnya. Paket massa udara dari perairan lain memungkinkan naik ke lapisan troposfer di atas perairan tersebut, kemudian terbawa angin menuju ke lapisan atas troposfer di atas perairan yang memiliki anomali negatif SPL dan anomali negatif suhu udara dengan suhu yang lebih rendah. Di sepanjang perjalanannya menuju ke perairan ini, paket massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi lambat laun mulai mengalami pendinginan dan ketika sampai di perairan ini paket massa udara tersebut sudah cukup dingin untuk melepaskan bahang melalui proses kondensasi dan presipitasi. Suhu udara di sekitar lingkungannya menerima bahang tersebut, sehingga mulai menyeimbangkan kesetimbangan bahang di laut dan atmosfer di sekitar perairan ini. Pada fase negatif Mode ke-2 ini, sumber massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi kemungkinan berasal dari arah BBU dan BBS bergerak menuju ke arah ekuator di wilayah Asia Tenggara. Diduga massa udara ini dibawa oleh anomali Sirkulasi Hadley yang telah berbalik arah sirkulasinya, seperti halnya pembalikan arah sirkulasi dari Sirkulasi Walker di atas perairan Samudera Hindia dan Pasifik (Gambar 51a) yang dipicu oleh anomali negatif SPL hampir di seluruh perairan Asia Tenggara (Gambar 52a), sehingga mengakibatkan lapisan udara di atasnya memiliki zona anomali tekanan udara tinggi. Oleh karena itu, diduga di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara terjadi proses presipitasi dengan kandungan uap air yang berasal dari BBU dan BBS. Dugaan ini semakin kuat,

61 159 setelah melihat hasil analisis pola sebaran anomali P E dimana ditemukan anomali positif P E di antara 5 LS-15 LU dari mulai perairan sebelah timur Samudera Hindia sampai ke perairan sebelah barat Samudera Pasifik berkisar antara mm/hari (Gambar 53b). Kondisi ini memperlihatkan bahwa di perairan ini nilai presipitasi lebih besar daripada evaporasi dimana sumber massa udara dengan kandungan air didalamnya bukan berasal dari perairan ini karena nilai evaporasi (E) lebih kecil daripada presipitasi di perairan ini. Sumber massa udara dengan kandungan air didalamnya dapat diduga dari nilai anomali negatif P E di suatu perairan, dimana anomali negatif menunjukkan bahwa tingkat evaporasi lebih besar daripada presipitasi di perairan ini. Artinya bahwa hanya sebagian kecil proses presipitasi yang terjadi di atas perairan ini dimana sumber massa udara dengan kandungan air yang tinggi dari hasil proses evaporasi berasal dari perairan ini juga. Sisa massa udara dengan kandungan uap air akan terbawa oleh angin ke suatu tempat yang ditentukan oleh pola sirkulasi angin di atmosfer. Anomali negatif P E ditemukan terpusat di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar -1.5 mm/hari, di atas perairan Teluk Bengal menyebar ke arah timur sampai di atas Laut Cina dan utara Filipina berkisar antara -1.3 sampai -0.5 mm/hari dan di atas perairan Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, perairan utara Pulau Papua dan perairan sebelah timur Papua New Guinea dengan kisaran -1 sampai -0.5 mm/hari (Gambar 53b). Berdasarkan pola angin permukaan laut (Gambar 50a), dapat diduga bahwa sumber kandungan uap air dari anomali positif P E di atas perairan sebelah timur Samudera Hindia (Gambar 53b) sebagian besar berasal dari perairan Teluk Bengal yang terbawa oleh Angin Muson Timur Laut dan sebagian kecil berasal dari perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Anomali positif P E di Laut Natuna dan Selat Karimata sumber kandungan uap airnya berasal dari perairan Laut Cina Selatan yang terbawa oleh Angin Muson Timur Laut, sedangkan anomali P E positif di atas perairan barat laut Samudera Pasifik menyebar dari perairan sebelah timur Filipina ke arah timur berasal dari perairan sebelah utara Filipina yang terbawa oleh Angin Muson Timur Laut yang berbelok di atas perairan timur Filipina ke arah timur. Sementara itu, anomali positif P E di perairan barat dan utara Australia, Laut Timor, perairan selatan Jawa dan sebagian Laut Jawa berasal

62 160 dari perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang terbawa oleh sisa Angin Muson Tenggara pada musim peralihan yang berbelok ke arah utara dan timur, sedangkan kandungan uap air dari proses evaporasi dengan anomali negatif P E di atas perairan Laut Banda, utara Papua dan timur Papua New Guinea disumbangkan ke perairan barat dan tengah ekuatorial Samudera Pasifik yang terbawa oleh angin baratan dan pembalikan arah Sirkulasi Walker (Gambar 51a). Jika dibandingkan antara pola sebaran anomali P E pada fase negatif (Gambar 53b) dengan fase positif (Gambar 48b) Mode ke-2 EOF maka terlihat dengan jelas bahwa terdapat osilasi tiga kutub berpasangan yang kuat antara perairan Teluk Bengal, perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dan perairan utara Australia. Pola osilasi tiga kutub berpasangan ini terlihat mengelilingi Asia Tenggara, sehingga diduga terdapat keterlibatan daratan dalam membentuk osilasi ini. Hal ini diperkuat dari pola anomali Q S +Q L dimana baik pada fase positif (Gambar 48a) maupun fase negatif (Gambar 53a) di daratan Asia Tenggara dan Australia ditemukan jika di perairan terdapat anomali positif (negatif) Q S +Q L maka ditemukan anomali negatif (positif) Q S +Q L di daratan. Oleh karena itu, fenomena osilasi tiga kutub berpasangan pada Mode ke-3 EOF ini merupakan suatu fenomena dari hasil interaksi antara darat, laut dan atmosfer dimana pada fase positif (negatif) Mode ke-2 EOF terjadi konveksi yang besar (modulasi bahang) pada skala yang luas diikuti pula dengan proses penyimpanan/pelepasan bahang di laut. Fenomena ini diduga adalah TBO sama seperti fenomena yang ditemukan peneliti sebelumnya yang mengemukakan bahwa hasil dari interaksi laut-atmosfer dimana terdapat fase tinggi SPL dalam skala yang luas pada pada bulan Maret sampai Mei di antara perairan ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik yang mengakibatkan terjadinya konveksi yang besar (Meehl, 1993; Goswami, 1995). Hasil dari penelitian ini sedikit berbeda dengan pendapat dari Meehl (1993) dan Goswami (1995) dimana pada fase anomali positif SPL di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, Indonesia dan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, tidak semua anomali positif SPL yang tinggi ini memberikan

63 161 umpan balik ke atmosfer dengan terjadinya konveksi yang besar, tetapi sebagian bahang di laut tetap tersimpan di laut dan tidak dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk evaporasi. Peneliti lainnya menyebutkan bahwa TBO merupakan fenomena independen hasil interaksi darat-laut-atmosfer yang berinteraksi dengan sistem Muson dan berperan dalam pergeseran fase variabilitas SPL di ekuatorial Samudera Pasifik (Meehl, 1997; Ogasawara et al., 1999), sedangkan dari hasil penelitian ini diketahui bahwa TBO dihasilkan dari pergeseran fase Muson sebesar 3.1 bulan diawal dan setelah mengalami dua kali siklus Muson maka terjadi TBO. Anomali positif SPL yang tinggi terbentuk pada skala yang luas karena terjadi penumpukan massa air hangat pada periode peralihan Muson di bulan Maret-Mei dimana di sekitar ekuatorial kecepatan angin Muson melemah dan terjadi fase puncaknya setelah dua kali siklus Muson. Hasil dari penelitian ini sependapat dengan hasil penelitian dari Tamura et al. (2011) yang menyatakan bahwa TBO merupakan hasil pergeseran fase Muson dari tahunan menjadi dua tahunan, sedangkan sebelumnya beberapa peneliti lainnya (Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001; Guan dan Yamagata, 2003; Yuan et al., 2008) berpendapat bahwa pergeseran siklus tahunan menjadi dua tahunan atau lebih TBO dipicu oleh DM dan ENSO dari hasil interaksi antara darat-laut-atmosfer. Begitu pula dari hasil penelitian dari Loschnigg et al. (2003) yang menyatakan bahwa interaksi antara DM dan Muson mengatur siklus dari TBO berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan saat ini, tetapi sependapat dengan pendapatnya yang menyatahan bahwa TBO mengatur pergerakan meridional transpor bahang di sebelah timur Samudera Hindia yang berasosiasi dengan Muson. Hasil pada penelitian ini berpendapat bahwa pola osilasi tiga kutub berpasangan di perairan Asia Tenggara berperan besar dalam terbentuknya TBO dimana siklus osilasi dari awan konveksi yang dihasilkannya berdampak luas di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik. Pada fase negatif Mode ke-2 EOF ini, gerakan osilasi awan konveksi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia di lapisan bawah dan tengah troposfer yang berasal dari proses evaporasi di atas perairan Teluk Bengal dan di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (Gambar 53b), bergerak ke arah barat di sepanjang ekuatorial

64 162 Samudera Hindia di sekitar 5 LU yang didorong Angin Muson Timur Laut, antisiklon di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (Gambar 50a) dan oleh Sirkulasi Walker di atas Samudera Hindia yang mengalami anomali pembalikan arah (Gambar 51a) karena dipicu mendinginnya SPL di perairan Indonesia (Gambar 52a) sehingga menimbulkan tekanan udara tinggi di atas permukaan laut. Di sepanjang perjalanannya di atas ekuatorial Samudera Hindia, awan konveksi tersebut kemudian terkadang naik ke lapisan atas troposfer kemudian terjadi proses kondensasi dan presipitasi diikuti dengan terjadinya hujan. Awan konveksi ini tidak selalu bergerak di lapisan atas troposfer, terkadang turun ke lapisan bawah troposfer karena dipengaruhi oleh menguat dan melembahnya Sirkulasi Walker sehingga ketika turun ke lapisan di bawahnya, awan konveksi ini tidak berpotensi terjadi proses kondensasi dan presipitasi sehingga tidak terjadi hujan dan kembali naik ke lapisan troposfer di atasnya. Kondisi ini mengakibatkan awan konveksi tersebut berosilasi naik-turun di sepanjang perjalanannya dan mengakibatkan terjadinya Gelombang Grafitasi Rossby di lapisan atas troposfer yang diduga memicu terjadinya QBO di lapisan bawah stratosfer. Sementara itu, proses pembentukan osilasi awan konveksi di lapisan troposfer di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik, kandungan uap airnya berasal dari perairan Laut Banda, utara Papua dan timur Papua New Guinea yang ditandai dengan anomali negatif P E (Gambar 53b) dimana kandungan uap air ini didorong oleh pembalikan arah Sirkulasi Walker (Gambar 51a) ke arah tengah Samudera Pasifik untuk membentuk awan konveksi yang besar. Mekanisme prosesnya sama seperti gerakan osilasi awan konveksi yang terjadi di lapisan troposfer di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia, kecuali perbedaannya adalah terbentuknya Gelombang Grafitasi Kelvin di lapisan atas troposfer. Proses pergerakan awan konveksi ini terjadi pula dengan kondisi sebaliknya pada fase positif Mode ke-2 EOF. Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase negatif Mode ke-2 EOF sehingga lebih mempertegas lagi adanya mekanisme gerakan osilasi awan konveksi dan keterkaitan antara parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan

65 163 peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik. Keterkaitan antara selisih penyimpanan/pelepasan bahang yang diperankan oleh Muson pada Mode ke-1, sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran Muson menjadi siklus periode 18.2 bulanan TBO dan menghilangnya siklus 19.7 bulanan pada Mode ke-2 EOF ini mengakibatkan terjadinnya selisih penyimpanan/pelepasan bahang antara fase positif dan negatif. Selisih penyimpanan/pelepasan bahang tersebut kemungkinan akan memainkan peranan yang penting pada beberapa kali siklus 18.2 bulanan berikutnya dan kemungkinan akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Peranan Mode ke-2 EOF ini sebagai penyimpanan/pelepasan bahang di laut untuk selanjutnya akan diberi nama fase Pelepasan/Penyimpanan Bahang perairan Asia Tenggara (PBAT) negatif atau disebut juga PBAT negatif. Gambar 54 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-2 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Mekanisme proses terbentuknya anomali negatif SPL hampir di seluruh perairan pada fase negatif Mode ke-2 EOF ini sangat berbeda dengan proses menghangatnya SPL pada fase positif. Peranan anomali angin Muson masih mendominasi terbentuknya fase hangat dan fase dingin SPL. Proses penyimpanan dan pelepasan bahang di laut dan dinamika interaksi darat-laut-atmosfer juga

66 164 berperan besar terbentuknya fase negatif ini, sehingga prosesnya cukup komplek. Secara sederhana skematika interaksi darat-laut-atmosfer pada fase negatif Mode ke-2 EOF disajikan pada Gambar 54. Pada fase positif Mode ke-2 EOF, kolam air hangat telah melepaskan bahangnya ke atmosfer berupa fluka bahang secara konduksi dan bahang melalui evaporasi, sedangkan perpindahan melalui proses adveksi horizontal berperan mengumpulkan massa air hangat di sekitar ekuatorial dan di perairan sebelah utara ekuatorial. Pada fase negatif, perpindahan massa air dingin baik di perairan sebelah timur Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik dominan terjadi ke arah selatan. Terjadinya anomali negatif SPL hampir di seluruh perairan disebabkan oleh bahang yang dilepaskan ke atmosfer di sekitar ekuatorial, baik di Samudera Hindia maupun Pasifik. Bahang yang dilepaskan ke atmosfer secara umum lebih besar terjadi di perairan barat laut Samudera Pasifik. Perpindahan bahang yang terjadi baik ke atmosfer maupun melalui proses adveksi, yang terpenting adalah tidak semua bahang dilepaskan atau dipindahkan, tetapi terdapat sejumlah bahang yang tetap tersimpan di laut. Bahang yang dilepaskan ke atmosfer baik pada fase positif maupun negatif di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, perairan di antara pulau-pulau di Indonesia dan perairan sebelah timur Samudera Hindia dan barat Samudera Pasifik, sebagian tertahan dari hasil interaksi laut-atmosfer karena adanya daratan di sekitarnya. Perpindahan bahang ke atmosfer sebagian dikembalikan lagi ke laut melalui proses evaporasi yang dibawa oleh angin darat dan angin laut untuk mempertahankan keseimbangan bahang antara darat, laut dan atmosfer. Proses ini dapat terjadi secara intensif karena baik pada fase positif maupun negatif karena terjadi pada musim peralihan dimana angin di sekitar ekuatorial melemah. Kondisi ini menyebabkan di perairan tersebut masih menyimpan bahang dari proses interaksinya, sehingga tekanan udara di atasnya masih berfluktuasi. Perbedaan bahang yang tersimpan di laut pada arah meridional di perairan timur Samudera Hindia dan barat Samudera Pasifik mengakibatkan fluktuasi tekanan udara yang dominan, sehingga terjadi perubahan gradien tekanan pada arah meridional. Pada fase positif maupun negatif, perubahan gradien tekanan udara pada arah meridional ini, kembali memberikan umpan balik ke atmosfer, sehingga

67 165 mengakibatkan kekuatan angin di atas perairan di sekitar ekuatorial menjadi semakin melemah dengan cepat. Pelemahan angin yang semakin cepat di sekitar ekuatorial akan mengakibatkan arus permukaan laut ikut melemah. Pelemahan arus permukaan laut ini mengakibatkan pada fase positif di perairan di sekitar ekuatorial massa air dengan anomali positif SPL akan tetap bertahan hangat dan pada fase negatif massa air dengan anomali negatif SPL akan tetap bertahan dingin. Kondisi ini akan berakibat pada fase positif anomali positif SPL terjadi hampir di seluruh perairan dan pada fase negatif terjadi anomali negatif SPL juga hampir di seluruh perairan. Selain itu, pada fase negatif anomali Sirkulasi Walker yang berbalik arah di Samudera Hindia mengakibatkan Arus Balik Ekuatorial melemah, sehingga di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, Arus Barat Australia (West Australian Current) yang diperkuat oleh Arus Equatorial Selatan semakin intensif membawa massa air dingin dari BBS memicu tekanan tinggi di atas permukaan laut. Tekanan udara tinggi ini mengakibatkan terjadinya zona divergen yang luas dan melemahkan Angin Muson Timur Laut di BBU yang hendak melewati ekuatorial menuju ke BBS. Oleh karena itu, massa air dingin yang akan meninggalkan perairan ekuatorial akan tertahan di pantai barat Sumatera. Kondisi sebaliknya terjadi pada fase positif Mode ke-2 EOF. Sementara itu di perairan dalam Indonesia, seiring dengan menguatnya Angin Muson Timur Laut di BBU akan menerima massa air dengan sisa bahang yang belum dilepaskan ke atmosfer pada permukaan dan kolom kedalaman laut melalui proses adveksi horizontal dan vertikal dari Laut Cina Selatan, Laut Natuna sampai ke Selat Makassar dan Laut Banda, sehingga di perairan ini terdapat anomali positif kedalaman lapisan tercampur. Massa air dengan sisa kandungan bahang ini akan tertahan pada kolom kedalaman laut di perairan tersebut karena tidak cukup besar untuk dilepaskan ke atmosfer yang disebabkan oleh masuknya udara dingin dari BBU sehingga terdapat tekanan udara tinggi di atas permukaan laut. Masukan massa air dengan sisa bahang juga diterima dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik melalui proses adveksi horizontal dan vertikal pada kolom kedalaman laut yang melewati jalur ARLINDO, sehingga kandungan bahang di kolom kedalaman laut semakin bertambah dan anomali positif kedalaman lapisan tercampur semakin meluas.

68 166 Massa air dengan kandungan bahang ini akan menetap cukup lama dan lambat laun terus bertambah setelah beberapa kali terjadi siklus tahunan dengan periode 12.2 bulanan. Massa air ini kemudian naik ke permukaan laut karena adanya tidal mixing dan mengakibatkan anomali positif SPL semakin meluas dari perairan dalam Indonesia ke arah perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Kondisi ini menghasilkan siklus dua tahunan dengan periode 18.2 bulanan yang dipicu oleh siklus dekadal dengan periode 10.7 tahunan, sehingga menghasilkan pola sebaran anomali positif seperti pada fase positif Mode ke-2 EOF. Kandungan bahang di permukaan laut lambat laut dilepaskan ke atmosfer dan setelah beberapa kali terjadi siklus tahunan dengan periode 12.2 bulanan akan terjadi anomali negatif SPL yang semakin meluas sehingga terbentuk pola anomali negatif SPL seperti pada fase negatif Mode ke-2 ini dan diiringin dengan phase locking siklus dengan periode 18.2 bulanan yang diperankan oleh siklus dengan periode 10.7 tahunan. Pada fase positif dan negatif Mode ke-2 EOF yang terpenting adalah ternyata pada fase positif tidak semua bahang disimpan di laut tetapi sebagian akan dilepaskan ke atmosfer. Begitu pula sebaliknya pada fase negatif, tidak semua bahang di lepaskan ke atmosfer tetapi sebagian akan disimpan di laut. Setiap kali terjadi siklus ini masih terdapat selisih bahang antara fase positif dan negatif yang belum dilepaskan atau masih tersimpan di laut. Selisih bahang ini yang akan mempengaruhi variabilitas interaksi darat-lautatmosfer setelah siklus pada Mode ke-2 ini terjadi beberapa kali dan diduga akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya Variabilitas Mode ke-3 EOF Dekomposisi spasial data deret waktu SPL dari data asimilasi GFDL hasil analisis fase positif Mode ke-3 EOF dengan keragaman sebesar 12.5% memperlihatkan bahwa terjadi pola osilasi dominan antara perairan sebelah barat Samudera Pasifik dengan perairan di sebelah timur Samudera Hindia. Nilai anomali positif sampai memasuki perairan Halmahera, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Jawa, selatan NTT, NTB dan selatan Jawa. Pada perairan sebelah timur Samudera Hindia, terdapat gradien anomali negatif dari perairan barat Australia menurun sampai perairan barat Sumatera dan meningkat kembali sampai

69 167 di Teluk Bengal dan perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia terdapat nilai anomali negatif yang tinggi (Gambar 55a). Pola spasial Mode ke-3 EOF ini terlihat membagi dua perairan Asia Tenggara antara anomali negatif dan positif. Gambar 55 Pola spasial Mode ke-3 (keragaman terbesar ketiga dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 12.5% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan skala koefisien ekspansi. Data deret waktu koefisien ekspansi hasil dekomposisi temporal Mode ke-3 EOF yang telah ditapis sinyal frekuensi rendah dengan periode dibawah 6 bulan memperlihatkan bahwa siklus waktu pada Mode ke-3 ini masih ada pengaruh dari

70 168 siklus Muson dengan keterlambatan awal datangnya Muson sekitar 2-4 bulan dari puncak MSI positif dan negatif (Gambar 55b dan c). Puncak anomali positif koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF terjadi pada bulan November dan puncak anomali negatif terjadi pada bulan Maret. Siklus Muson (12.2 bulanan) ini terdeteksi pula dari hasil analisis spektral densitas koefisien ekspansi dengan energi terbesar pertama sebesar (satuan) 2 /siklus per bulan (Gambar 56) dan hasil analisis CWT koefisien ekspansi dimana sepanjang tahun dominan menunjukkan siklus dengan periode satu tahunan (12.2 bulanan) dengan energi sebesar 16 (energi) dan terlihat pula nilai energi yang tinggi berada pada periode siklus sekitar 4-5 tahunan tetapi tidak masuk dalam selang kepercayaan 95% (Gambar 57a). Pada Gambar 57b terlihat pula korelasi antara koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF dan MSI menggunakan metode XWT dimana energi yang besar terjadi sepanjang tahun pada periode siklus 12.2 bulanan (satu tahunan) dengan beda fase searah sekitar 3.1 bulan dimana MSI cenderung mendahului koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF. Gambar 56 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/ke (tanpa satuan) dari tahun pada Mode ke-3 (keragaman terbesar ketiga dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman sebesar 12.5%. Kondisi ini menunjukkan bahwa pola spasial Mode ke-3 EOF masih didominasi oleh siklus satu tahunan Muson yang telah mengalami keterlambatan awal kedatangannya selama kurang lebih 3.1 bulan. Diduga pergeseran awal

71 169 musim dan panjang musim ini terjadi karena adanya interaksi dengan DM di Samudera Hindia dan ENSO di Samudera Pasifik yang dipicu oleh ketidakseimbangan kandungan bahang antara laut dan atmosfer pada Mode ke-2 EOF. Pendapat yang sama telah disampaikan sebelumnya bahwa terdapat pergeseran awal musim dan panjang musim pada saat terjadi DM (Kulkarni et al., 2007; Zhang dan Li, 2008; Ding et al., 2010; Zuluaga et al., 2010; Yang et al., 2010; Rao et al., 2010) dan pada saat terjadi ENSO (Kitoh et al., 1999; Susanto et al., 2001; Kawamura et al., 2003; Terray et al., 2004; Drumond dan Ambrizzi, 2006; Li et al., 2007; Bracco et al., 2007; Annamalai et al., 2007; Xie et al., 2009b; Yadav et al., 2009; Chang et al., 2009; Shaman dan Tziperman, 2010; Wu et al., 2010; Li et al., 2010; Qian et al., 2010; Yun et al., 2010; Yoon dan Yen, 2010; Kim et al., 2011). Dugaan ini diperkuat dengan pola deret waktu koefisien ekspansi pada Mode ke-3 ini secara umum cenderung mengikuti pola SOI dan memiliki fase yang berlawanan dengan DMI (Gambar 55b dan c). Hasil analisis XWT antara koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF dan DMI memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang kuat terjadi pada antara tahun dengan periode siklus sebesar empat tahunan dan siklus antara 2-4 tahunan yang terjadi antara tahun dengan energi yang sama sebesar 16 (energi) dan beda fase yang sama yaitu sekitar 2.7 bulan sebelum DMI dengan fase yang berlawanan (Gambar 57c). Siklus koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF terlihat jelas berinteraksi dengan siklus DM dan diperkuat hasil dari analisis spektral densitas koefisien ekspansi dengan ditemukannya siklus 42.6 bulanan (3.6 tahunan) dengan energi spektral densitas terbesar kedua sebesar 8000 (satuan) 2 /siklus per bulan (Gambar 56). Hasil analisis ini semakin meyakinkan bahwa sinyal deret waktu koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF ini berinteraksi kuat dengan DM di Samudera Hindia, sehingga pola spasial Mode ke-3 EOF ini terlihat memiliki nilai anomali negatif pada fase positif Mode ke-3 EOF di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yang diduga merupakan fase DM positif (Gambar 55a). Hasil korelasi antara koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF dan SOI dengan menggunakan analisis XWT memperkuat pula dugaan keterkaitan antara sinyal koefisien ekspansi dan ENSO di Samudera Pasifik dengan ditemukannya korelasi

72 170 dengan energi yang besar pada periode sekitar 4-5 tahunan antara tahun sebesar 16 (energi) dan 2-4 tahunan antara tahun dengan energi sebesar 10 (energi) dan masing-masing memiliki beda fase yang hampir sama yaitu sekitar 2.7 bulan dengan fase searah dimana sinyal deret waktu SOI mendahului sinyal koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF (Gambar 57d). Hasil analisis spektral densitas koefisien ekspansi memperkuat pula bahwa siklus dengan periode 42.6 bulanan merupakan sinyal dari ENSO yang berasosiasi dengan DM dengan energi terbesar kedua sebesar 8000 (satuan) 2 /siklus per bulan (Gambar 56). Pola spasial Mode ke-3 EOF memperlihatkan anomali positif yang intensif berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, bahkan sampai memasuki perairan dalam Indonesia yang diduga fase ini merupakan fase La Nina dengan nilai SOI positif kuat (Gambar 55a). Berdasarkan analisis dari sinyal koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF diduga bahwa fase positif (negatif) Mode ke-3 EOF merupakan fase transisi dari DM positif (negatif) ke DM negatif (positif) dengan sinyal koefisien ekspansi 2.7 bulan dengan fase berlawanan mendahului DMI dan fase La Nina (El Nino) dimana sinyal SOI telah mencapai puncak positifnya (negatifnya) 2.7 bulan sebelum puncak positif (negatif) koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF. Selain itu, hasil dari analisis spektral densitas koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF masih ditemukan pula siklus dengan periode 18.2 bulanan dengan energi sebesar 1700 (energi) dimana meskipun energinya sangat kecil tetapi siklus ini cukup penting karena berkaitan erat dengan siklus yang sama pada Mode ke-2 EOF yang berperan sebagai fase penyimpanan bahang di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan dalam Indonesia (Gambar 56). Sisa energi dari siklus dengan periode 18.2 bulanan pada Mode ke-3 EOF ini menunjukkan masih adanya bahang tersimpan dan belum dilepaskan sehingga keseimbangan bahang di darat-lautatmosfer belum mencapai kestabilan. Sistem pada Mode ke-3 EOF ini masih berpotensi untuk memberikan umpan balik ke atmosfer dan berperan untuk mengatur dinamika atmosfer pada Mode EOF berikutnya.

73 171 Gambar 57 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-3 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 27. Hasil analisis komposit rata-rata anomali SPL pada saat koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF sebesar satu kali diatas simpangan baku positif atau untuk selanjutnya disebut fase positif Mode ke-3 EOF (Gambar 58a) dan fase negatif sebesar satu kali dibawah simpangan baku negatif (Gambar 58b), membuktikan bahwa pada fase positif terbentuk periode transisi dari DM positif ke DM negatif yaitu periode perpindahan massa air hangat dari sebelah barat menuju ke kondisi normalnya di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia yang membutuhkan waktu 2.7 bulan sampai mencapai puncak DM negatif, sedangkan di Samudera Pasifik telah terjadi puncak periode La Nina selama 2.7 bulan sebelumnya dimana

74 172 massa air hangat yang biasanya berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, secara intensif masuk ke perairan Indonesia. Nilai simpangan baku koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF adalah sebesar ±20.8 (tanpa satuan) dengan nilai minimum sebesar dan maksimum sebesar Anomali SPL yang tinggi berada di perairan Indonesia dan sekitarnya sebesar 1.0 C dan di tengah dan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia sebesar 0.6 C dan anomali positif tertinggi berada di sekitar Pulau Madagaskar sebesar 1.5 C, sedangkan di Samudera Pasifik anomali negatif SPL secara intensif terbentuk dari tengah sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dengan nilai maksimum anomali negatif SPL sebesar C. Puncak fase positif terjadi pada bulan November dimana terlihat di Samudera Hindia dan Pasifik anomali positif SPL dominan berada di BBS sesuai dengan posisi semu matahari, sehingga terlihat bahwa peranan Muson pada fase ini masih besar dan SPCZ terbentuk dengan kuat (Gambar 58a). Pada fase negatif dengan puncaknya terjadi pada bulan Maret membuktikan pula bahwa fase ini merupakan periode transisi dari DM negatif ke DM positif di Samudera Hindia dimana puncak DM positif akan terjadi setelah 2.7 bulan dari puncak fase negatif, sedangkan di Samudera Pasifik telah terjadi El Nino konvensional selama 2.7 bulan setelah puncak fase negatif (Gambar 58b). Pada perkembangannya El Nino konvensional ini dinamakan EP-ENSO (Kao dan Yu, 2009; Yeh et al., 2009; Yu dan Kim, 2010; Lee dan McPhaden, 2010; Newman et al., 2011) atau CT El Nino (Kug et al., 2009) atau tipe E (Harrison dan Chiodi, 2009; Takahashi et al., 2011) atau EPW (Kim et al., 2011) dengan tujuan untuk membedakan antara tipe El Nino konvensional dengan massa air hangat yang intensif berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan tipe El Nino dengan massa air hangat yang berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik di sekitar dateline pada 180 BT (Larkin dan Harrison, 2005a). Pola anomali SPL pada fase negatif ini sama seperti yang ditemukan oleh Ashok et al. (2007) dari hasil analisis EOF pada Mode ke-1 dengan keragaman sebesar 45% (Gambar 7a). Pola anomali positif SPL pada fase negatif Mode ke-4 EOF dari hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kao dan Yu (2009) dengan menemukannya pada Mode ke-2 EOF dengan

75 173 keragaman sebesar 11.1% (Gambar 10b) dan setelah data anomali SPL dikurangkan dengan Nino4, didapati pola anomali SPL pada Mode ke-1 EOF seperti pada Gambar 11a. Menurut Kao dan Yu (2009), mekanisme proses evolusi dari EP-ENSO berkaitan erat dengan proses delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988). Kug et al. (2009) telah menyeleksi periode-periode EL Nino dan mengelompokkannya kedalam CT El Nino (Gambar 12 kolom tengah) dan Kug et al. (2010) melanjutkan penelitiannya dengan menggunakan luaran model dan diperoleh pola anomali SPL seperti pada Gambar 13a. Kug et al. (2009) berpendapat bahwa anomali angin baratan sangat berperan dalam pembentukan awal CT El Nino dimana proses adveksi vertikal lebih berperan dalam perubahan SPL dan perubahan tinggi muka laut berperan setelah terbentuknya CT El Nino, sehingga mekanisme transpor bahang di lautan lebih dominan dipengaruhi oleh CT El Nino. Pola anomali SPL yang sama ditemukan pula oleh Harrison dan Chiodi (2009) setelah melakukan analisis komposit anomali SPL pada periode WWE diperoleh pola anomali SPL seperti pada Gambar 14e. Harrison dan Chiodi (2009) berpendapat bahwa tipe E sering terjadi sebelum tahun 1999 dimana kejadian angin baratan di sebelah barat dan tengah ekuatorial Samudera Pasifik berperan penting pada saat terbentuknya tipe E. Harrison dan Chiodi (2009) menambahkan pula bahwa MJO tidak berperan dalam pembentukan El Nino Tipe E karena tidak berkaitan dengan WWE. Weng et al. (2009) setelah mengkorelasikan anomali SPL dengan Nino3 diperoleh pola anomali SPL yang sama dengan fase negatif Mode ke-3 EOF dari hasil penelitian ini seperti disajikan pada Gambar 15a. Weng et al. (2009) berpendapat bahwa pergeseran ITCZ pada periode El Nino konvensional berperan penting dalam mengatur zona konveksi. Yu et al. (2010) dengan menggunakan korelasi sederhana dengan anomali SPL di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik diperoleh seperti pada Gambar 16c. Menurut Yu et al. (2010) mekanisme terbentukanya El Nino konvensial dipengaruhi oleh dinamika pada kolom di laut. Hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya diperoleh pola anomali SPL yang mirip seperti El Nino konvensional seperti halnya hasil pada penelitian ini, meskipun metode dan pendekatan yang dilakukan berbeda-beda.

76 174 Hasil penelitian ini yang menarik adalah hanya dengan menggunakan cakupan penelitian di sekitar perairan Asia Tenggara, fase negatif dari Mode ke-3 EOF ternyata secara signifikan dapat menangkap sinyal siklus El Nino konvensial dengan jelas, sehingga kemungkinan pemicu El Nino konvensional berada di Asia Tenggara dan interaksinya dengan Muson dan DM semakin kuat. Penelitian yang berkaitan dengan pola anomali SPL pada fase positif Mode ke-3 EOF yaitu La Nina masih sangat sedikit dilakukan, sehingga tidak diperoleh perbandingannya dengan hasil penelitian dari peneliti lain. Gambar 58 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali SPL ( C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku negatifnya (b). Peranan Muson pada fase negatif ini sangat kecil karena pada bulan Maret posisi semu matahari tepat berada di atas ekuatorial sehingga pemanasan permukaan laut dari matahari secara intensif terjadi di sekitar ekuatorial Samudera Pasifik. Oleh karena itu, anomali positif SPL yang tinggi terkumpul di ekuatorial dan pada fase negatif terjadi El Nino konvensional sehingga massa air hangat

77 175 terkumpul di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomali positif SPL maksimum diatas 1.5 C. Anomali positif SPL tidak ditemukan di BBU dan BBS, berbeda halnya pada fase positif dimana dominan anomali positif SPL berada di BBS. Sementara itu, di Samudera Hindia anomali positif SPL dominan berada di BBU sebesar 0.75 C, padahal posisi semu matahari tepat berada di atas ekuatorial dari BBS menuju BBU dimana seharusnya anomali positif SPL dominan berada di BBS. Oleh karena itu, pada fase negatif ini aktifitas Muson di Samudera Hindia mengalami kondisi anomali. Anomali positif SPL di BBU ini diduga disebabkan oleh proses interaksi darat-laut-atmosfer dimana bahang di laut di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan di perairan sebelah timur India belum dilepaskan ke atmosfer sehingga mendukung terbentuknya periode DM positif sampai terjadi anomali angin timuran di sebelah barat perairan barat Sumatera. Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dimana pada fase positif di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik merupakan umpan balik dari atmosfer ke permukaan dan kolom kedalaman laut memiliki respon yang selaras, sedangkan di Samudera Hindia tidak demikian dimana proses terbentuknya transisi DM positif ke DM negatif dominan mengikuti mekanisme proses di laut (Gambar 59). Pada fase positif di Samudera Pasifik anomali negatif angin zonal (Gambar 59a) dari Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut dengan kecepatan maksimum sebesar 0.35 m/s terjadi di tengah ekuatorial Samudera Pasifik mendorong massa air hangat di sepanjang ekuatorial sehingga terdorong masuk ke perairan Indonesia dengan anomali SPL sebesar 0.5 C sedangkan di perairan sebelah timur sebesar -1.0 C (Gambar 59b). Kondisi ini terjadi dengan intensif sehingga terbentuk anomali positif kedalaman lapisan tercampur di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik mencapai 8 m, sedangkan di perairan sebelah timur sebesar -1.0 m (Gambar 59c). Di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia anomali angin zonal dengan kecepatan tidak lebih dari 0.1 m/s, tidak berperan untuk mengembalikan massa air hangat dari perairan sebelah barat pada periode DM positif ke sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada periode DM negatif karena fase positif ini merupakan periode transisi dari DM positif ke negatif (Gambar 59). Hal ini

78 176 terlihat dari perbedaan anomali SPL di sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia tidak lebih dari 0.4 C (Gambar 59b). Proses mekanisme di laut yang berperan untuk mengembalikan massa air hangat di sebelah barat pantai barat Sumatera yang terlihat dari pola kedalaman lapisan tercampur di sebelah barat lebih dangkal sebesar -8.0 m dan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia lebih dalam sebesar 2.0 m (Gambar 59c). Diduga penyebabnya adalah sedang terbentuknya downwelling Gelombang Kelvin dari tengah sampai ke perairan timur ekuatorial Samudera Hindia. Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bersih bahang melalui evaporasi yang disajikan dalam bentuk pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter, mekanisme proses di laut di Samudera Hindia dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik pada Mode ke-3 EOF. Hasil dari analisis EOF pada Mode ke-3 data SPL dari data asimilasi GFDL pada cakupan lokasi penelitian di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya telah dapat menangkap sinyal-sinyal secara spasial dan temporal variabilitas dari parameter laut-atmosfer di Samudera Hindia dan Pasifik dimana masih terdapat pengaruh Muson dengan keterlambatan awal kedatangan musim sekitar 3.1 bulan. Keterlambatan ini disebabkan oleh aktifnya DM di Samudera Hindia pada periode transisi dari DM positif (negatif) ke negatif (positif) dengan sinyal koefisien ekspansi mendahului sekitar 2.7 bulan sebelumnya pada fase positif (negatif) Mode ke-3 EOF. Sementara itu di Samudera Pasifik, pada fase positif (negatif) telah aktif La Nina (El Nino konvensional) selama 2.7 bulan setelah puncak SOI positif (negatif). Pada fase positif, secara intensif massa air hangat masuk ke perairan dalam Indonesia, sedangkan pada fase negatif secara intensif terkumpul di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Puncak fase positif terjadi pada bulan November dan fase negatif pada bulan Maret.

79 177 Gambar 59 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL ( C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari Mekanisme proses pergerakan massa air hangat di Samudera Pasifik pada fase positif dan negatif dominan merupakan hasil respon umpan balik interaksi antara laut-atmosfer dan dinamika pada kolom laut yang terlihat dari perubahan kedalaman lapisan tercampur, sedangkan di Samudera Hindia proses di laut lebih

80 178 dominan mempengaruhi dinamika DM. Fase positif dipicu oleh aktifnya upwelling Gelombang Kelvin di perairan sebelah barat diikuti dengan downwelling di tengah ekuatorial Samudera Hindia dimana umpan balik dari atmosfer berperan pada saat DM negatif telah mencapai puncaknya 2.7 bulan kemudian, sedangkan pada fase negatif umpan balik dari atmosfer berperan dalam terbentuknya periode transisi DM dari DM negatif ke positif dimana puncak DM positif terjadi pada bulan Maret yang diduga dipicu oleh ketidakseimbangan kandungan bahang di laut dan atmosfer dari hasil interaksi darat-laut-atmosfer di perairan Teluk Bengal dan perairan sebelah utara Samudera Hindia. Sinyal siklus dengan periode 18.2 bulanan masih ditemukan meskipun memiliki energi yang sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya sisa bahang di laut yang masih tersimpan di perairan dalam Indonesia, Laut Cina Selatan dan perairan Teluk Bengal yang belum dilepaskan ke atmosfer seperti sinyal dengan periode 18.2 bulanan pada Mode ke-2 EOF. Sisa energi dari sinyal ini akan berperan pada Mode EOF berikutnya dalam mengatur keseimbangan bahang di darat-laut-atmosfer. Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di Asia Tenggara pada Mode ke-3 hasil analisis EOF data SPL dari data asimilasi GFDL ini untuk selanjutnya akan diberi nama fase Dipole Mode perairan Asia Tenggara (DMAT), sedangkan pola anomali SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada fase positif seiring dengan terjadinya La Nina tetap akan disebut La Nina konvensional dan pada fase negatif disebut El Nino konvensional Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif Puncak fase positif Mode ke-3 EOF terjadi pada bulan November, sedangkan fase negatif terjadi pada bulan Maret. Siklus dengan periode satu tahunan masih ditemukan menandakan pengaruh Muson masih kuat, tetapi tidak sekuat pada Mode ke-1 dan ke-2 EOF karena diikuti munculnya siklus baru antar tahunan pada periode 42.6 bulanan (3.6 tahunan) dengan energi sebesar setengahnya dari siklus tahunan Muson. Siklus dengan periode 18.2 bulanan masih muncul dengan energi terbesar ketiga yang menandakan siklus dua tahunan TBO masih berperan mengatur variabilitas interaksi darat-laut-atmofer pada Mode ke-3 EOF. Siklus baru antar tahunan sebesar 42.6 bulanan memiliki keterkaitan

81 179 dengan DM dan ENSO serta dinamikanya di Samudera Hindia dan Pasifik. Dugaan sebelumnya, pada fase positif Mode ke-3 EOF di Samudera Pasifik terjadi La Nina konvensional 2.7 bulan setelah puncak fase SOI positif dan di Samudera Hindia terjadi periode transisi dari DM positif ke DM negatif dengan puncak fase DMI negatif terjadi setelah 2.7 bulan kemudian. Dinamika proses dan variabilitas laut-atmosfer serta interaksinya antar parameter yang mengiringi terjadinya DM dan ENSO di Samudera Hindia dan Pasifik pada fase positif Mode ke-3 EOF akan dibahas pada sub bab ini. Pola anomali angin permukaan laut pada fase positif Mode ke-3 EOF masih kuat didominasi oleh Angin Muson Timur Laut di BBU dan Angin Muson Barat Laut di BBS. Anomali angin baratan sekitar 4.5 m/s terjadi di atas perairan laut Jawa sampai Laut Banda dan selatan Jawa sampai di atas perairan Laut Arafuru (Gambar 60a) yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan udara antara tekanan tinggi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan anomali negatif SPL dengan tekanan rendah di atas perairan Laut Banda dan utara Papua dengan anomali positif SPL (Gambar 62a). Selain itu, ditemukan pula anomali angin permukaan laut dengan kecepatan yang besar mencapai 5.0 m/s terjadi di atas perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan yang disebabkan oleh zona tekanan tinggi di atas perairan dengan anomali negatif SPL yang rendah. Pola anomali arus permukaan laut umumnya mengikuti pola anomali angin permukaan laut dimana anomali arus dengan kecepatan yang besar terjadi apabila anomali angin permukaan laut di atasnya memiliki kecepatan yang besar. Anomali kecepatan arus di sebelah barat Teluk Bengal terjadi dengan kuat sehingga mengaktifkan Arus Sakal Musim Dingin Timur India dengan kecepatan mencapai 0.3 m/s (Gambar 60b). Begitu pula yang terjadi di perairan Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Jawa sampai Laut Banda memiliki anomali kecepatan arus yang besar berkisar antara m/s dimana angin permukaan laut berperan dalam membangkitkan kecepataan arus permukaan laut. Anomali arus permukaan laut dengan kecepatan yang rendah terjadi di perairan barat laut Samudera Pasifik dengan kecepatan tidak lebih dari 0.02 m/s disebabkan oleh melemahnya Arus Balik Ekuatorial Utara.

82 180 Gambar 60 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase positif Mode ke-3 EOF. Arus Ekuatorial Selatan terlihat terjadi penguatan di sekitar 160 BT dengan anomali kecepatan arus mencapai 0.2 m/s, penyebabnya adalah adanya anomali angin timuran yang berasosiasi dengan Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik. Kondisi ini terlihat pula dari hasil analisis melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5 LS-5 LU dimana terdapat anomali angin timuran dari bawah sampai lapisan tengah troposfer meskipun dengan kecepatan tidak lebih dari 1.0 m/s (Gambar 61a) dan hasil analisis anomali angin zonal dengan kecepatan berkisar -0.5 sampai -1.0 m/s dari bawah sampai lapisan tengah troposfer (Gambar 61b). Arus Pantai New Guinea telah berbalik arah dengan anomali kecepatan arusnya tidak lebih dari 0.03 m/s yang disebabkan oleh

83 181 anomali angin barat laut yang menyusuri sepanjang pantai utara Papua dan Papua New Guinea sampai ke sebelah tenggara Papua New Guinea. Interaksi antara angin dan arus di perairan utara Papua New Guinea ini yang menyebabkan Arus Ekuatorial Selatan melemah di sekitar ekuatorial pada 145 BT. Sementara itu di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, Arus Sakal Ekuatorial di sisi utara maupun di sisi selatan ekuatorial terlihat menguat dengan anomali kecepatan arus mencapai 0.15 m/s (Gambar 60b) yang disebabkan mulai menguatnya Sirkulasi Walker di atas ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 61a). Penguatan Sirkulasi Walker ini dengan jelas terlihat dari hasil analisis anomali angin zonal melintang terhadap ketinggian pada 5 LS-5 LU dimana ditemukan anomali angin baratan dengan kecepatan sekitar 0.5 m/s di lapisan tengah troposfer (Gambar 61b). Arus Ekuatorial Selatan terlihat sedikit melemah dan terdapat anomali arus tenggara di sisi selatannya yang diduga disebabkan oleh melemahnya Angin Muson Tenggara di BBS di atas perairan ini (Gambar 60b). Pola anomali suhu udara melintang terhadap ketinggian pada 5 LS-5 LU di sepanjang ekuatorial perairan Asia Tenggara pada fase positif Mode ke-3 EOF ini terlihat seperti membagi dua kolom troposfer antara sebelah barat dengan anomali negatif dan sebelah timur dengan anomali positif (Gambar 61c). Pola seperti ini terjadi pula pada anomali SPL hasil analisis EOF pada fase positif Mode ke-3 yang terlihat terbagi dua antara perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan anomali negatif SPL dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomali SPL positif (Gambar 62a). Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang kuat antara laut-atmosfer yang diduga laut berperan dalam memberikan umpan balik ke atmosfer. Anomali suhu udara minimum di sebelah barat Asia Tenggara sebesar C, sedangkan anomali suhu udara maksimum sebesar 0.30 C. Pola anomali kelembapan udara memperlihatkan hampir di seluruh lapisan troposfer terdapat anomali positif kelembapan udara dengan nilai maksimum sebesar 10% terpusat disekitar 120 BT pada ketinggian tekanan udara sebesar 400 mbar (Gambar 61d). Kondisi ini berpeluang terjadi curah hujan yang besar

84 182 dengan sumber kelembapan udara berasal dari Samudera Hindia melalui lapisan bawah troposfer dan dari Samudera Pasifik melalui lapisan atas troposfer. Gambar 61 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-3 EOF.

85 183 Anomali negatif suhu udara di semua lapisan troposfer di sebelah barat Asia Tenggara mendukung untuk terjadi proses kondensasi dan presipitasi, sedangkan di sebelah timurnya dengan anomali positif suhu udara kemungkinan terjadi proses kondensasi dan presipitasi lebih kecil dibandingkan di sebelah barat (Gambar 61c). Masukan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi diduga berasal dari atas perairan ekuatorial Samudera Hindia dimana Sirkulasi Walker telah menguat (Gambar 61a dan b) seiring dengan mulai menguatnya fase DM negatif. Perairan ekuatorial Samudera Pasifik diduga pula menyumbangkan sejumlah massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi yang telah berlangsung selama 2.7 bulan sebelumnya dari puncak SOI positif dimana Sirkulasi Walker mulai melemah kembali ke kondisi normalnya (Gambar 61a dan b). Hasil analisis pola sebaran anomali SPL pada fase positif Mode ke-3 EOF memperlihatkan mulai masuknya anomali positif SPL di Samudera Hindia di sekitar 82 BT dan 12 LS sebesar 0.4 C yang menunjukkan mulai masuknya periode DM negatif setelah 2.7 bulan sebelumnya telah mengalami puncak DMI positif (Gambar 62a). Anomali negatif SPL berkumpul di perairan Teluk Bengal sebesar -1.1 C dan di perairan Laut Cina Selatan dengan nilai minimumnya mencapai -1.6 C. Sementara itu di sebelah barat Samudera Pasifik, terdapat anomali SPL yang menyebar hingga perairan sebelah selatan Jawa, utara Jawa, barat laut Australia, Selat Makassar, Selat Flores, Laut Banda, utara Australia, Laut Arafuru, utara Papua dan sebagian besar di perairan barat Samudera Pasifik. Anomali positif SPL ini terpusat di sekitar Laut Banda dan perairan utara Australia berkisar antara C. Pola anomali SPL seperti pada Mode ke-3 EOF diduga terbentuk karena adanya interaksi antara Samudera Hindia dan Pasifik dari hasil proses umpan balik darat-laut-atmosfer di perairan Asia Tenggara. Keseimbangan kandungan bahang di laut-atmosfer dan antara Samudera Hindia, perairan kepulauan Indonesia dan Samudera Pasifik memegang peranan penting dalam pembentukan pola anomali SPL pada fase positif Mode ke- 3 EOF ini.

86 184 Gambar 62 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif Mode ke-3 EOF. Dugaan ini diperkuat dari hasil analisis pola anomali Q S +Q L dimana ditemukan anomali negatif Q S +Q L yang rendah di sekitar perairan Teluk Bengal sebesar -30 W/m 2 dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar -35 W/m 2 (Gambar 63a). Anomali negatif di perairan ini menunjukkan bahang di laut telah dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk bahang terdeteksi melalui proses konduksi di permukaan laut (Q S ) dan bahang melalui proses evaporasi (Q L ). Diduga kuat nilai Q L jauh lebih besar dari pada nilai Q S karena hanya sebagian kecil saja ditemukan anomali positif SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (Gambar 62a). Meskipun anomali SPL di perairan ini memiliki nilai yang negatif, tetapi memberikan komtribusi yang besar untuk mengumbangkan Q L ke atmosfer. Begitu pula yang terjadi di perairan Laut Cina Selatan dengan anomali negatif SPL tetap melepaskan bahangnya dalam bentuk Q L. Perbedaan yang terlihat adalah di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sampai di sekitar pantai barat Sumatera dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dimana ditemukan anomali positif Q S +Q L meskipun

87 185 dengan nilai yang kecil, tetapi terdapat sejumlah bahang yang disimpan di laut dan tidak dilepaskan ke atmosfer. Hal ini diperkuat dari hasil analisis anomali kedalaman lapisan tercampur dimana ditemukan di perairan yang sama anomali positif kedalaman lapisan tercampur berkisar antara m (Gambar 62b). Oleh karena itu di perairan ini, mekanisme perpindahan bahang di laut terjadi melalui proses adveksi vertikal dengan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur dan Q S dari atmosfer masuk ke perairan, sehingga menyebabkan profil melintang terhadap ketinggian anomali suhu udara pada 5 LS-5 LU di sepanjang ekuatorial antara 80 BT-120 BT pada semua lapisan troposfer terdapat anomali negatif suhu udara, sedangkan di sebelah timurnya terdapat anomali positif suhu udara (Gambar 61c). Perairan yang memiliki anomali negatif Q S +Q L (Gambar 63a) dengan anomali positif SPL (Gambar 62a) yang berarti bahwa sebagian besar bahang di laut yang diterima dari atmosfer maupun melalui proses adveksi, kemudian dilepaskan kembali ke atmosfer terdapat di perairan selatan Jawa sampai ke perairan sebelah barat, utara dan timur Australia dan perairan Laut Jawa sampai Laut Banda dan perairan Laut Sulawesi dengan kisaran sebesar -30 sampai -20 W/m 2. Hanya beberapa perairan yang memiliki anomali positif Q S +Q L dengan anomali negatif SPL yaitu perairan di sebelah utara Laut Cina Selatan, Teluk Bengal, perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang berarti perairan ini tidak melepaskan bahang ke atmosfer dan tidak menerima bahang dari perairan lain melalui proses adveksi horizontal. Sejumlah bahang dari atmosfer masuk ke perairan ini melakukan proses fase pengisian bahang di lautan, sedangkan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik selain memiliki anomali positif SPL juga dominan menyimpan bahang di lautan baik menerima Q S dari atmosfer juga melalui proses adveksi horizontal dan vertikal. Nilai anomali positif Q S +Q L maksimum terjadi di perairan utara Laut Cina Selatan, utara Filipina, dan perairan barat laut Samudera Pasifik dengan anomalinya di atas 35 W/m 2. Proses adveksi vertikal terlihat dengan jelas bahwa terdapat anomali positif kedalaman lapisan tercampur yang besar berkisar antara m (Gambar 62b).

88 186 Gambar 63 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-3 EOF. Pada fase positif Mode ke-3 EOF, hampir di seluruh perairan Asia Tenggara di sekitar ekuatorial memiliki anomali positif P E yang tinggi berkisar antara mm/hari dimana potensi curah hujan yang besar akan terjadi di wilayah ini (Gambar 63b). Selain itu, terdapat anomali negatif P E dimana nilai dari evaporasi lebih besar daripada presipitasi. Anomali negatif P E ini adalah sebagai sumber massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi dimana proses kondensasi dan presipitasi terjadi di perairan lain karena kelebihan massa udara dengan kandungan uap air dari sisa evaporasi di atas perairannya terbawa angin ke perairan lain. Anomali negatif P E yang terbesar adalah berasal dari perairan sebelah utara Asia Tenggara meliputi perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, perairan utara Filipina dan perairan sebelah tenggara Samudera Pasifik dengan nilai minimum sebesar -1.5 mm/hari dimana kelebihan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi dari sisa proses evaporasi di atas perairan ini terbawa oleh Angin Muson Timur Laut di BBU ke arah ekuatorial (Gambar 60a). Massa udara ini setelah sampai di atas perairan ekuatorial akan terjadi proses

89 187 kondensasi dan presipitasi sehingga menambah besar nilai anomali positif P E di atas perairan ini. Sumber kedua berasal dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar -0.5 mm/hari dimana sisa massa udara dengan kandungan uap air yang cukup tinggi tidak mengalami proses kondensasi dan presipitasi di atasnya karena suhu udara di lapisan troposfer memiliki anomali positif (Gambar 61c). Massa udara ini terdorong ke arah tengah Indonesia oleh sisa kekuatan Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut (Gambar 60a) yang berasosiasi dengan Sirkulasi Walker (Gambar 61a dan b). Di atas perairan ini memiliki anomali negatif suhu udara di lapisan troposfer, sehingga memungkinkan terjadi proses kondensasi dan presipitasi (Gambar 61c). Ketiga terbesar dan yang terakhir berasal dari perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar -0.3 mm/hari dimana massa udara dengan kandungan uap air yang tidak terlalu tinggi terdorong ke arah perairan di atas perairan selatan Jawa dan utara Australia oleh anomali angin barat daya (Gambar 60a). Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase positif Mode ke-3 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Pada fase positif Mode ke-3 EOF, mekanisme proses terbentuknya anomali positif SPL yang terlihat seperti membagi dua wilayah Asia Tenggara antara sebelah barat dan timur diiringi dengan terjadinya periode La Nina konvensional setelah 2.7 bulan dari puncak fase positif SOI dan bersamaan dengan periode transisi DM dari DM positif ke DM negatif yaitu 2.7 bulan sebelum puncak fase negatif DMI. Angin Muson masih cukup dominan mempengaruhi dinamika atmosfer pada fase positif Mode ke-3 ini dimana terjadi pergeseran waktu awal kedatangannya lebih lambat 3.1 bulan dari siklus MSI dengan puncaknya terjadi pada bulan November dimana di BBU terdapat Angin Muson Timur Laut dan di BBS mulai memasuki fase kuat Angin Barat Daya. Peranan anomali angin Muson dan selisih dari sisa bahang antara fase positif dan negatif pada Mode ke-2 EOF terakumulasi pada fase positif Mode ke-3 EOF ini sehingga mempengaruhi keseimbangan bahang di laut dan atmosfer di wilayah Asia Tenggara. Secara

90 188 sederhana skematika interaksi darat-laut-atmosfer pada fase negatif Mode ke-2 EOF disajikan pada Gambar 64. Gambar 64 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-3 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Telah disampaikan sebelumnya bahwa diduga terdapat selisih bahang yang terjadi seiring dengan aktifitas Muson pada Mode ke-1 EOF antara fase positif dengan negatif, dimana setelah dua kali siklus Muson terdapat sisa selisih bahang yang akan mengaktifkan siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 bulanan dan dipicu oleh siklus dekadal dengan periode 10.7 tahunan dari gangguan sinyal frekuensi tinggi dari fase transisi PDO di perairan sebelah utara Samudera Pasifik. Siklus dua tahunan pada periode 19.7 bulanan dengan energi terbesar kedua setelah Muson pada Mode ke-1 EOF telah bergeser menjadi 18.2 bulanan pada Mode ke-2 EOF. Begitu pula pada Mode ke-2 EOF yang diduga pula terdapat selisih bahang antara fase positif dengan negatifnya. Setelah dua kali terjadi siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 bulanan akan menghasilkan akumulasi sisa selisih bahang yang mengaktifkan sinyal siklus antar tahunan dengan periode 42.6 bulanan (3.5 tahunan) dan mempengaruhi dinamika laut atmosfer di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik yang dikenal dengan nama DM dan ENSO. Siklus dengan periode 42.6 bulanan dihasilkan dari dua kali terjadi TBO

91 189 dengan siklus 18.2 bulanan menjadi 2 dikalikan dengan 18.2 sebesar 36.4 bulan ditambahkan dengan dua kali keterlambatan awal kedatangan Muson sebesar 3.1 bulan menjadi 2 dikalikan dengan 3.1 sebesar 6.2 bulan, sehingga terbentuk siklus interaksi Muson, DM dan ENSO sebesar 36.4 ditambahkan dengan 6.2 menjadi siklus dengan periode 42.6 bulanan. Terbentuknya pola SPL seperti pada fase positif Mode ke-3 EOF ini dihasilkan dari sisa selisih bahang yang terakumulasi berupa kombinasi ulangan siklus tahunan Muson dan siklus dua tahunan TBO. Dinamika proses yang terjadi di laut dan atmosfer ditentukan oleh keseimbangan bahang yang dihasilkan pada Mode ke-3 EOF. Perbedaan kemampuan dalam menyimpan/melepaskan bahang di darat, laut dan atmosfer yang menyebabkan terjadinya penyesuaian keseimbangan bahang dari hasil interaksi darat-laut-atmosfer. Pada tulisan di bawah ini akan membahas proses setelah terbentuknya pola anomali SPL pada fase positif Mode ke-3 EOF, sedangkan pembahasan mengenai keseimbangan bahang itu sendiri akan disampaikan pada Sub Bab 4.3. Suhu udara rendah dengan tekanan udara tinggi di atas perairan pantai barat Sumatera dan suhu udara tinggi dengan tekanan udara rendah di perairan dalam Indonesia menyebabkan terjadinya angin dari ekuatorial perairan pantai barat Sumatera ke arah perairan dalam Indonesia. Angin ini mengakibatkan terkumpulnya massa air hangat di perairan timur Indonesia yang menyebabkan menguatnya Sirkulasi Walker di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Seiring dengan menguatnya Sirkulasi Walker, terbentuk sirkulasi atmosfer arah zonal baru dari angin baratan yang terjadi karena gradien tekanan udara tinggi di atas perairan pantai barat Sumatera ke arah timur sampai perairan dalam Indonesia yang memiliki tekanan udara rendah dan bertemu dengan sirkulasi Walker yang mengakibatkan angin ini bergerak vertikal ke arah atas selaras dengan sirkulasi Walker. Ketika angin ini mencapai zona divergen di lapisan atas troposfer, sebagian angin berbelok ke arah timur sesuai dengan Sirkulasi Walker dan sebagian lagi berbelok ke arah barat. Angin ini kemudian turun ketika sampai di atas perairan dalam Indonesia karena adanya tekanan rendah dengan suhu tinggi di atas permukaan laut dan selanjutnya angin ini bergerak di atas permukaan laut ke arah timur kembali ke zona konvergen di atas

92 190 perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Sirkulasi ini kemudian memicu terjadinya sirkulasi baru di atas perairan pantai barat Sumatera dan di atas perairan Teluk Bengal karena adanya gradien tekanan tinggi di atas perairan ekuatorial pantai barat Sumatera dan tekanan rendah di atas perairan Teluk Bengal. Sirkulasi baru ini mengakibatkan melemahnya Sirkulasi Hadley dan melemahnya Angin Muson Tenggara di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Sirkulasi kedua ini dan sirkulasi di atas perairan dalam Indonesia saling memperkuat satu sama lain, sehingga pada bulan berikutnya mengakibatkan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut semakin menguat. Selain itu, terjadi perubahan sirkulasi di atas perairan dalam Indonesia dimana di tengah sirkulasi ini angin di atas lapisan troposfer bergerak turun sampai di atas permukaan laut karena tekanan udara rendah dan suhu udara tinggi di atasnya. Angin ini kemudian bergerak ke arah timur kembali menuju ke arah zona konvergen di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sehingga semakin memperkuat sel sirkulasi Walker. Kondisi ini mengakibatkan massa air hangat di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik terkumpul dengan intensif di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sampai memasuki perairan dalam Indonesia, sehingga menyebabkan kedalaman lapisan tercampur meningkat dan volume massa air hangat bertambah besar. Proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Pasifik ini disebut La Nina konvensional yang dipicu oleh pelepasan bahang di perairan dalam Indonesia karena di perairan ini telah mencapai batas maksimum untuk menyimpan bahang di laut dari hasil interaksi darat-laut-atmofer di antara kepulauan di Indonesia. Sementara itu, di bagian sebelah barat sirkulasi di atas perairan dalam Indonesia juga terjadi perubahan dimana sel ini melebar ke arah barat menggeser sirkulasi kedua ke arah ekuatorial menjadi sirkulasi arah zonal. Perubahan ini terjadi karena menguatnya Angin Muson Tenggara di sekitar ekuatorial dan perpindahan massa air dari Teluk Bengal ke arah selatan sampai di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia melalui mekanisme Ekman transport. Pergeseran sirkulasi kedua ke arah ekuatorial menyebabkan Sirkulasi Hadley

93 191 kembali menguat dan menyebabkan terjadinya zona divergen di perairan pantai barat Sumatera. Pada fase positif Mode ke-3 ini, telah diketahui sebelumnya bahwa fase ini merupakan peralihan dari periode DM positif ke DM negatif dimana massa air hangat di sebelah barat mulai kembali lagi ke arah timur ekuatorial Samudera Hindia melalui salah satu mekanisme proses dari teori delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988), recharge oscillator (Jin, 1997), western Pacific oscillator (Weisberg dan Wang, 1997), advective-reflective oscillator (Picaut et al., 1997) atau unified oscillator (Picaut et al., 2002). Angin timuran yang terjadi dari pergeseran sel sirkulasi atmosfer kedua akan memperlambat kembalinya massa air hangat sampai ke perairan ekuatorial pantai barat Sumatera, sehingga massa air hangat ini akan tertahan di sekitar 75 BT dan terbentuk zona konvergen yang menimbulkan daerah konveksi di atas permukaan laut. Siklus tahunan Muson masih berpengaruh kuat terhadap sistem ini, sehingga Angin Muson Timur Laut di BBU yang membawa massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ke ekuatorial dan terkumpulnya massa air hangat di perairan dalam Indonesia dengan adanya La Nina konvensional membuat terjadinya curah hujan yang tinggi di atas normal (Lampiran 5). Meskipun terjadi curah hujan di atas normal, tetapi tidak berlebihan secara ekstrim karena massa air hangat di perairan sebelah barat Sumatera belum terkumpul dengan intensif karena sebagian masih berada di tengah ekuatorial Samudera Hindia pada periode transisi DM dari fase DM positif menuju ke fase DM negatif. Setelah 2.7 bulan kemudian barulah terjadi puncak fase DM negatif tetapi diduga diikuti dengan fase normal ENSO karena puncak fase SOI positif telah lewat selama 5.4 bulan yang lalu. Oleh karena itu, meskipun fase DMI negatif telah mencapai puncaknya, tetap tidak terjadi kondisi ekstrim curah hujan yang berlebihan. Pada Mode ke-3 fase positif ini, pelepasan bahang di perairan sebelah barat Sumatera masih berlanjut sehingga di perairan ini SPL menjadi lebih rendah. Sementara itu, di perairan dalam Indonesia masih terjadi penyimpanan bahang dari Laut Cina Selatan dan melalui jalur ARLINDO, sehingga meningkatkan SPL di perairan dalam Indonesia dan sebagian bahangnya dilepaskan ke atmosfer melalui proses evaporasi. Ketika terjadi proses kondensasi dan presipitasi, bahang

94 192 melalui evaporasi ini akan dilepas ke lingkungannya di atmosfer sehingga meningkatkan suhu udara di lapisan troposfer. Siklus dua tahunan TBO yang terbentuk dari aktifitas Muson masih terdeksi di dalam sistem ini, sehingga menunjukan bahwa masih terdapat sisa dari selisih penyimpanan/pelepasan bahang di darat-laut-atmosfer dan sisa dari selisih bahang antara fase positif dan negatif pada Mode ke-3 EOF. Sisa bahang ini yang akan mempengaruhi variabilitas interaksi darat-laut-atmosfer setelah siklus dua tahunan dengan periode 18.2 bulanan yang masih terdeteksi pada Mode ke-3 ini terjadi beberapa kali dan diduga akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Pola anomali negatif SPL di perairan sebelah barat dan anomali positif SPL di perairan sebelah timur Indonesia yang terlihat membagi dua Asia Tenggara, sehingga variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di dalam sistem ini pada fase positif Mode ke-3 EOF untuk selanjutnya akan diberi nama fase Dipole Mode perairan Asia Tenggara (DMAT) positif atau disebut juga DMAT positif Dinamika Laut-Atmosfer Fase Negatif Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi pada fase negatif Mode ke-3 EOF hampir sama dengan kebalikan dari fase positif Mode ke-3 EOF. Periode puncak fase negatif Mode ke-3 EOF ini terjadi pada Maret. Sebelumnya telah diketahui bahwa pada fase ini terdapat siklus dengan periode 42.6 bulanan dimana diduga berasosiasi dengan periode transisi DM dari DM negatif ke DM positif di Samudera Hindia dengan puncak fase DMI positif terjadi setelah 2.7 bulan kemudian dan terjadi El Nino konvensional di Samudera Pasifik 2.7 bulan setelah puncak fase SOI negatif. Secara umum pola anomali angin permukaan laut pada fase negatif merupakan berupa kebalikan arah angin dari pola anomali angin pada fase positif Mode ke-3. Perbedaan utama yang terlihat adalah pada fase negatif memiliki anomali kecepatan angin yang lebih kecil daripada fase positifnya dengan anomali maksimum kecepatan anginnya tidak lebih dari 4.4 m/s yang terjadi di perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan (Gambar 65a). Anomali kecepatan angin minimum dengan kondisi angin tenang berkisar antara m/s terdapat di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan sebelah barat laut Samudera Pasifik.

95 193 Gambar 65 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase negatif Mode ke-3 EOF. Pola anomali arus permukaan laut hampir sama seperti halnya dengan anomali angin permukaan laut dimana pada fase negatif merupakan kebalikan arah dari fase positif dengan kecepatan arus yang lebih rendah daripada fase positifnya. Meskipun memiliki kesamaan, tetapi terdapat perbedaan yang menarik dimana di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan barat ekuatorial Samudera Pasifik dapat diikuti dengan pembalikan arah atau tanpa pembalikan arah dan jika pada fase positif terdapat anomali kecepatan arus yang besar (kecil) maka pada fase negatif memiliki anomali kecepatan arus yang kecil (besar). Kondisi ini terlihat di perairan sebelah timur Samudera Hindia dimana pada fase positif arus baratan pada 80 BT di 5 LU terjadi pembalikan arah dengan

96 194 kecepatan yang lebih rendah pada fase negatif, sedangkan di 2.5 LU terjadi pelemahan arus dari 0.08 m/s menjadi 0.02 m/s tanpa pembalikan arah. Sementara itu, di ekuatorial terjadi pembalikan arah dan penguatan arus dari 0.02 m/s menjadi 0.12 m/s, sedangkan di sekitar 5 LS terjadi pembalikan arah dan pelemahan arus dari 0.15 m/s menjadi 0.02 m/s dan di sekitar 7.5 LS terjadi pembalikan arah dan sedikit penguatan arus (Gambar 65b). Berbeda halnya yang terjadi di Samudera Hindia, di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik selalu terjadi pembalikan arah tetapi jika pada fase positif terdapat arus dengan anomali kecepatan kecil (besar) maka pada fase negatif terdapat anomali kecepatan yang besar (kecil). Kondisi yang terjadi di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia pada fase negatif ini sulit sekali untuk mengidentifikasikan pola arus dengan nama arus yang ada karena terdapat pola arus yang berbeda dari yang biasanya. Selain itu, terdapat kemungkinan meskipun pada fase positif teridentifikasi suatu arus dengan nama tertentu tetapi terjadi bias apakah arus itu terjadi pembalikan arah atau tidak jika ternyata arus tersebut hanya bergeser pada arah meridional. Oleh karena itu, untuk menganalisis keterkaitan arus dengan dinamika DM di Samudera Hindia dan ENSO di Samudera Pasifik cukup dengan melihat pembalikan arah arus yang dominan saja. Pola anomali angin vertikal melintang terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU terdapat anomali angin vertikal ke lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia antara 80 BT-105 BT dengan anomali kecepatan anginnya sekitar m/s dan masih terlihat kecenderungan adanya angin baratan meskipun dengan dominan terlihat berupa angin vertikal (Gambar 66a). Anomali angin baratan terlihat dengan jelas di lapisan bawah sampai lapisan atas troposfer dari pola anomali positif angin zonal dengan kecepatan maksimumnya terpusat di tengah lapisan troposfer sebesar 0.9 m/s (Gambar 66b). Adanya angin baratan ini menunjukkan bahwa masih terdapat pola normal Sirkulasi Walker di Samudera Hindia. Oleh karena itu, masih terlihat Arus Sakal Ekuatorial di 80 BT tepat di sekitar ekuator meskipun dengan anomali kecepatan arus yang melemah sebesar 0.12 m/s (Gambar 65b).

97 195 Gambar 66 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-3 EOF. Anomali angin timuran di lapisan bawah sampai di lapisan tengah troposfer yang terjadi di tengah Indonesia antara 110 BT-145 BT dengan anomali kecepatan berkisar antara -2.1 sampai -1.2 m/s (Gambar 66a). Pada lapisan tengah

98 196 troposfer anomali angin ini cenderung bergerak vertikal ke atas sampai lapisan atas troposfer dan berbelok ke arah timur. Anomali angin timuran ini terlihat dengan jelas dari anomali negatif angin zonal yang terpusat di tengah Indonesia dengan kecepatan maksimun berada di lapisan bawah troposfer dengan anomali kecepatan sebesar -2.1 m/s, sedangkan di lapisan atas troposfer terdapat anomali positif dengan kecepatan maksimum mencapai 2.4 m/s (Gambar 66b). Anomali angin timuran ini terjadi karena terdapatnya gradien tekanan udara tinggi dengan suhu udara rendah sebesar -0.3 C di lapisan bawah troposfer di sebelah timur perairan Indonesia dan tekanan udara rendah dengan suhu udara tinggi sebesar 0.4 C (Gambar 66c) di atas perairan sebelah barat Indonesia, sehingga angin bergerak dari timur ke arah barat. Secara umum pola sebaran anomali angin zonal pada fase negatif ini hampir sama seperti kebalikan dari fase positif Mode ke-3 EOF. Sementara itu, di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdapat angin baratan di lapisan bawah troposfer dengan anomali kecepatan angin sebesar 0.8 m/s, sedangkan di lapisan tengah dan atas troposfer dominan terjadi angin vertikal yang bergerak ke atas dengan kecepatan berkisar antara m/s (Gambar 66a). Adanya angin baratan ini terlihat dengan jelas dari anomali positif angin zonal dari lapisan bawah sampai atas troposfer dengan kecepatan maksimum mencapai 1.0 m/s di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 66b). Pada fase negatif Mode ke-3 EOF, profil melintang suhu udara terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU merupakan kebalikan dari fase positif dimana anomali positif suhu udara pada fase negatif ini lebih meluas ke arah timur di lapisan tengah troposfer dibandingkan pada fase positif dengan anomali negatif suhu udara hanya sampai di tengah ekuatorial Indonesia (Gambar 66c). Anomali positif suhu udara maksimum di sebelah barat Indonesia terpusat di lapisan bawah, tengah dan atas lapisan troposfer dengan anomali suhu udaranya mencapai 0.45 C dan semakin menurun ke arah timur di lapisan tengah troposfer sampai di atas perairan timur Asia Tenggara di sekitar 160 BT dengan anomali positif suhu udara sebesar 0.1 C. Pola anomali suhu udara ini diduga sulit sekali terjadi proses kondensasi dan presipitasi di lapisan

99 197 troposfer meskipun mendapatkan masukan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi kecuali di lapisan bawah troposfer di sebelah timur Asia Tenggara. Hasil analisis pola sebaran anomali kelembapan udara melintang terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU memperlihatkan terdapat anomali negatif kelembapan udara hampir di seluruh lapisan troposfer dengan nilai anomali terendah mencapai -10% yang terpusat di tengah Indonesia pada lapisan atas troposfer (Gambar 66d). Pola sebaran ini hampir sama seperti kebalikan anomali kelembapan udara pada fase positif Mode ke-3 EOF. Nilai anomali negatif ini menunjukkan bahwa massa udara di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara, hampir di semua lapisan troposfer memiliki kandungan uap air yang sangat rendah sehingga pada fase negatif ini kecil kemungkinan terdapat kandungan uap air yang mengalami proses kondensasi dan presipitasi, kecuali sebagian kecil di lapisan atas troposfer di sebelah barat ekuatorial Asia Tenggara dan di sebelah timur Asia Tenggara pada lapisan bawah troposfer. Jika dikaitkan dengan pola sebaran anomali suhu udara maka yang paling memungkinkan untuk terjadi proses kondensasi dan presipitasi adalah di lapisan bawah troposfer di sebelah timur Asia Tenggara karena di lokasi ini memiliki anomali suhu udara negatif, sedangkan di sebelah barat di semua lapisan memiliki anomali suhu udara positif (Gambar 66c). Pola sebaran anomali suhu udara melintang terhadap ketinggian dimana di atas perairan sebelah barat Asia Tenggara (Gambar 66c), dominan terdapat anomali positif sedangkan di sebelah timur terdapat anomali negatif, ternyata pola seperti ini terbentuk dari hasil interaksi laut-atmosfer yang berasal dari umpan balik anomali SPL. Hasil analisis anomali SPL memperlihatkan bahwa di perairan sebelah timur Samudera Hindia terdapat anomali positif SPL, sedangkan di sebelah barat Samudera Pasifik terdapat anomali negatif SPL (Gambar 67a). Pola anomali SPL ini selaras dengan pola anomali suhu udara di atasnya, sama halnya seperti pada fase positif Mode ke-3 EOF. Anomali positif SPL terbesar di sebelah timur Samudera Hindia terdapat di sekitar perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan sebesar 1.1 C dan semakin menurun ke arah selatan sampai di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar 0.2 C. Sementara itu, di perairan sebelah barat Samudera Pasifik anomali negatif SPL terendah berada di perairan

100 198 Laut Arafuru, sebelah timur Australia, sebelah timur Papua New Guinea dan di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar -0.6 C. Gambar 67 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-3 EOF. Kondisi ini berbeda dengan pola sebaran anomali SPL pada fase positif dimana nilai terendah anomali negatif SPL di sebelah timur Samudera Hindia sebesar -1.6 C (Gambar 62a) dan nilai anomali positif SPL pada fase negatif mencapai 1.1 C (Gambar 67a), sedangkan di sebelah barat Samudera Pasifik nilai anomali positifnya sebesar 1.2 C pada fase positif dan anomali negatifnya pada fase negatif ini sebesar -0.6 C. Selisih antara fase negatif dan positif di Samudera Hindia mencapai 2.7 C, sedangkan selisih antara fase positif dan negatif di Samudera Pasifik hanya sebesar 1.8 C. Kondisi ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa variabilitas di perairan sebelah timur Samudera Hindia lebih besar daripada di perairan sebelah barat Samudera Pasifik dimana perairan Indonesia sebagai jembatan diantara keduanya yang berfungsi sebagai penyeimbang kestabilan bahang di darat-laut-atmosfer. Jika terjadi sedikit saja

101 199 perubahan parameter laut-atmosfer di Indonesia maka diduga akan mempengaruhi dinamika yang terjadi di Samudera Hindia dan Pasifik. Peranan perairan Indonesia dapat diibaratkan seperti halnya titik tumpu timbangan dan didalam siklusnya Muson berfungsi sebagai pemberi beban sisa selisih bahang ke arah Samudera Hindia ataukah ke Samudera Pasifik. Beban mana yang lebih berat apakah Samudera Hindia atau Pasifik sangat ditentukan oleh posisi titik tumpu timbangannya yaitu perairan Indonesia. Hasil analisis anomali kedalaman lapisan tercampur pada fase negatif Mode ke-3 EOF, sangat berbeda dengan fase positifnya dimana anomali positif kedalaman lapisan tercampur pada fase negatif ini dominan terdapat di perairan sebelah timur Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, Selata Karimata, utara Jawa, Selat Makssar, Laut Sulawesi dan Laut Maluku dan tidak ditemukan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik kecuali di perairan sebelah timur Australia (Gambar 67b). Pada fase positif anomali positif kedalaman lapisan tercampur tidak hanya terdapat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, perairan utara Australia, Laut Flores, Laut Arafuru dan Laut Banda, tetapi juga di perairan sebelah tenggara dan timur ekuatorial Samudera Hindia juga ditemukan anomali positif kedalaman lapisan tercampur, kecuali di perairan Teluk Bengal dan perairan sebelah barat daya Sumatera (Gambar 62b). Diduga pada fase negatif Mode ke-3 ini, di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan sebagai penyimpan bahang di laut dalam jumlah yang besar, meskipun terdapat pula sebagian kecil anomali negatif kedalaman lapisan tercampur pada fase negatif ini. Anomali positif kedalaman lapisan tercampur pada fase negatif Mode ke-3 EOF terdapat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dengan anomali positif maksimumnya sebesar 13 m di sekitar 10 LS dan menyebar di sepanjang pantai selatan India, pantai Teluk Bengal dan pantai barat Sumatera, sedangkan anomali negatifnya menyebar di tengah perairan Teluk Bengal sebesar -2.0 m dan di perairan tenggara Samudera Hindia di sekitar 20 LS dengan anomali negatif minimumnya sebesar -7.0 m (Gambar 67b). Anomali positif kedalaman lapisan tercampur ditemukan pula di Laut Cina Selatan, Selat Karimata, utara Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi dan Laut Maluku dengan anomali positifnya berkisar

102 200 antara m. Anomali positif kedalaman lapisan tercampur di sekitar perairan Sulawesi dan Halmahera dan di antara pulau-pulau kecil lainnya pada fase negatif ini meskipun memiliki anomali negatif SPL (Gambar 67a) tetapi terdapat anomali positif kedalaman lapisan tercampur, sehingga di perairan ini diduga sebagai penyimpan bahang aktif di lautan yang bersumber dari lapisan kolom kedalaman laut dari perairan ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali positif lainnya ditemukan pula dengan nilai yang tidak terlalu besar, maksimum hanya sebesar 2.5 m terdapat di perairan timur Australia, utara Papua dan utara Papua New Guinea. Anomali negatif kedalaman lapisan tercampur ditemukan menyebar dari tengah Teluk Bengal ke arah ekuatorial sebesar -2.0 m, di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia di sekitar 20 LS sebesar -7.0 m dan di sebelah barat Laut Cina Selatan sebesar -2.0 m. Diduga di perairan ini penyebar anomali SPL melalui mekanisme adveksi horizontal pada fase negatif Mode ke-3 EOF. Sementara itu, anomali negatif kedalaman lapisan tercampur di sekitar perairan Australia sebesar -10 disebabkan oleh pengaruh Angin Muson Tenggara di BBS dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomali negatif minimumnya sebesar -18 m diduga disebabkan oleh adanya gangguan angin baratan di sekitar ekuatorial pada 160 BT yang berasosiasi dengan pembalikan arah Sirkulasi Walker (Gambar 66a). Anomali angin baratan ini terlihat pula dari hasil analisis anomali angin zonal (Gambar 66b) dimana pola anomali angin permukaan laut (Gambar 65a) dan anomali arus permukaan laut (Gambar 65b) yang terbentuk di bawahnya memperlihatkan terjadinya pembalikan arah arus menuju ke arah timur. Oleh karena itu, anomali angin baratan yang muncul mengiringi awal kedatangan El Nino konvensional terjadi di sekitar 2 LU dan 155 BT dimana diketahui sebelumnya bahwa pada fase negatif Mode ke-3 EOF ini terjadi El Nino konvensional setelah 2.7 bulan dari puncak SOI negatif. Sementara itu di perairan sebelah timur Samudera Hindia, baik Sirkulasi Walker, angin permukaan laut, arus permukaan laut dan hasil analisis anomali angin zonal belum memperlihatkan adanya pembalikan arah karena pada fase ini terjadi periode transisi DM dari DM negatif ke DM positif dimana akan mencapai puncak DM positif setelah 2.7 bulan kemudian. Proses pembalikan arah masih terjadi ditengah ekuatorial Samudera Hindia, sesuai dengan hasil analisis

103 201 komposit rata-rata horizontal dan melintang anomali SPL (Gambar 58b dan Gambar 59b), anomali angin zonal (Gambar 59a) dan kedalaman lapisan tercampur (Gambar 59c) di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Respon anomali kedalaman lapisan tercampur pada periode transisi DM lebih cepat dari pada SPL diduga karena terjadi downwelling Gelombang Rossby di perairan timur Benua Afrika Selatan seiring dengan transisi antara DM negatif ke DM positif, sehingga tidak secara cepat mempengaruhi anomali SPL. Dugaan sebelumnya bahwa di perairan sebelah timur Samudera Hindia lebih banyak berfungsi sebagai penyimpan bahang di laut meskipun terdapat anomali positif SPL yang besar tetapi juga memiliki anomali positif kedalaman lapisan tercampur yang besar menjadi semakin kuat setelah melihat hasil analisis anomali Q S +Q L dimana hampir di seluruh perairan sebelah timur Samudera Hindia terdapat anomali positif Q S +Q L mencapai 27 W/m 2 berada di perairan Teluk Bengal, Laut Timor, selatan Jawa dan sebelah barat Australia (Gambar 68a). Anomali Q S +Q L negatif hanya sedikit ditemukan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia tidak lebih dari 5.0 W/m 2 dimana terdapat anomali positif kedalaman lapisan tercampur yang kuat (Gambar 67b). Kondisi ini terjadi karena di sekitar perairan ini sudah tidak mampu lagi untuk menyimpan bahang di laut. Menghangatnya suhu udara di atas perairan sebelah timur Samudera Hindia (Gambar 66c) diduga kuat disebabkan oleh umpan balik dari laut ke atmosfer yang dominan diperankan melalui komponen Q S. Meskipun perairan ini memiliki anomali SPL yang tinggi (Gambar 67a), tetapi potensi terjadinya curah hujan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sangat kecil karena suhu udara di lapisan troposfer di atas perairan ini memiliki anomali positif yang tidak memungkinkan untuk terjadi proses kondensasi dan presipitasi (Gambar 66c). Anomali positif Q S +Q L ditemukan pula di perairan dalam Indonesia meliputi perairan sebelah selatan Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Mekanisme penyimpanan bahang di laut juga dominan melalui proses adveksi vertikal dimana ditemukan anomali positif kedalaman lapisan tercampur di perairan dalam Indonesia. Kemungkinan besar kandungan bahang di laut ini akan bertahan lebih lama di dalam kolom laut ini dimana sisa selisih bahang di laut ini akan

104 202 terakumulasi dan dilepaskan setelah beberapa kali siklus tahunan Muson dan dua tahunan TBO. Pengaruh dari sisa selisih bahang yang terakumulasi ini kemungkinan akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Sementara itu, di beberapa perairan yang memiliki anomali negatif SPL terdapat pula anomali positif Q S +Q L dengan anomali negatif kedalaman lapisan tercampur meliputi perairan sebelah barat dan utara Australia. Diduga bahang yang tersimpan di laut ini hanya berlangsung sementara saja dan akan didistribusikan melalui proses adveksi horizontal. Anomali negatif Q S +Q L ditemukan hampir di seluruh perairan sebelah barat Samudera Pasifik dengan nilai minimumnya berada di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar 35 W/m 2. Kondisi ini memperlihatkan terdapat sejumlah besar bahang di laut yang dilepaskan ke atmosfer melalui komponen Q S dan Q L, tetapi disisi lain suhu udara di lapisan bawah dan atas troposfer memiliki anomali negatif. Oleh karena itu, diduga kuat kontribusi Q S dalam meningkatkan suhu udara di lapisan troposfer sangat kecil, sedangkan komponen Q L sebagian besar akan terbawa ke arah utara mengikuti pola angin permukaan laut (Gambar 65a) dan sebagian lainnya akan terbawa oleh pembalikan Sirkulasi Walker di lapisan bawah troposfer ke arah timur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 66a dan b). Dugaan tersebut ternyata semakin kuat, setelah melihat hasil analisis anomali P E dimana anomali positif P E ditemukan sebagian besar di sebelah utara Indonesia meliputi Perairan Teluk Bengal, utara Laut Cina Selatan dan di perairan utara Filipina berkisar antara mm/hari (Gambar 68b). Komponen P di perairan ini sebagian besar berasal dari sumber massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi hasil proses evaporasi dari perairan di sekitar ekuatorial dengan komponen E yang besar. Sementara itu, di atas perairan ekuatorial pada lapisan troposfer memiliki anomali positif suhu udara terutama di sebelah barat Asia Tenggara yang tidak memungkinkan untuk terjadinya proses kondensasi dan presipitasi. Massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ini terbawa oleh Angin Muson Barat Daya di BBU terdorong ke arah utara dan terjadi proses kondensasi dan presipitasi karena kandungan uap air di udara telah jenuh,

105 203 sehingga mengakibatkan terdapat anomali positif P E yang besar di atas perairan utara Asia Tenggara. Gambar 68 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-3 EOF. Anomali positif P E di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia mencapai sebesar 0.6 mm/hari (Gambar 68b) dimana selain sumber massa udara dengan kandungan uap air berasal dari perairan di bawahnya yang diketahui sebelumnya terdapat anomali negatif Q S +Q L (Gambar 68a), juga terdapat masukan massa udara dari perairan selatan Jawa, Bali, NTB, NTT, Laut Flores, Laut Timor dan perairan utara Australia dengan komponen E lebih besar dari P. Massa udara dengan kandungan uap air hasil proses evaporasi di perairan ini terbawa oleh Angin Muson Tenggara terdorong sampai di sekitar perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang berbelok ke arah barat daya karena adanya anomali angin permukaan laut dengan kecepatan yang sangat rendah (Gambar 65a). Proses presipitasi terjadi di atas perairan ini karena kandungan uap air di

106 204 dalam massa udara yang terbawa oleh angin telah mengalami titik jenuh, sehingga terdapat anomali positif P E di atas perairan ini. Sebagian kecil anomali positif P E terdapat pula di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomalinya tidak lebih dari 0.3 mm/hari. Kecilnya anomali positif P E ini meskipun terdapat anomali negatif Q S +Q L hampir di seluruh perairan, seperti dugaan sebelumnya bahwa ternyata proses evaporasi yang besar di perairan ini bersamaan dengan komponen Q L, massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi terdorong ke arah timur ekuatorial Samudera Pasifik oleh anomali angin baratan di atas permukaan laut (Gambar 65a) dan pembalikan arah Sirkulasi Walker di sekitar 160 BT (Gambar 66a). Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase negatif Mode ke-3 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Gambar 69 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-3 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Pada fase negatif Mode ke-3 EOF dimana terbentuk pola anomali SPL seperti kebalikan dari pola anomali SPL pada fase positifnya memiliki mekanisme

107 205 proses interaksi laut-atmosfer yang berbeda. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa pada fase negatif Mode ke-3 ini diduga siklus antar tahunan dengan periode 42.6 bulanan berkaitan erat dengan terbentuknya dinamika laut-atmosfer di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik. Siklus antar tahunan ini juga telah diketahui sebelumnya dari hasil analisis pada fase positif Mode ke-3 bahwa siklus antar tahunan in terbentuk karena terjadinya dari dua kali siklus dua tahunan dengan periode 18.2 bulanan ditambahkan dengan terjadinya dua kali keterlambatan awal kedatangan siklus Muson sebesar 2 kali 3.1 bulan untuk membentuk dua kali siklus dua tahunan, sehingga total didapati siklus antar tahunan sebesar 42.6 bulanan. Sisa bahang dari selisih bahang setelah terjadi dua kali siklus dua tahunan berperan besar dalam terbentukanya dinamika lautatmosfer di perairan Asia Tenggara pada Mode ke-3 EOF ini. Secara sederhana skematika interaksi darat-laut-atmosfer pada fase negatif Mode ke-2 EOF disajikan pada Gambar 69. Pada Mode ke-2 fase positif di sebelah timur Samudera Hindia, perairan Teluk Bengal berfungsi sebagai penjebak bahang dari aktifitas Angin Muson Barat Daya di BBU. Massa air hangat mulai menumpuk di perairan ini melalui proses adveksi horizontal. Pada fase negatif Mode ke-3 EOF, penumpukan massa air hangat ini akan mencapai kondisi maksimum dimana sebagian besar akan disimpan di laut melalui proses adveksi vertikal dengan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur dan sebagian kecil di perairan sebelah tenggara Samudera Pasifik akan dilepaskan ke atmosfer. Pada fase negatif sebagian besar massa air hangat bergerak ke arah selatan menuju ke perairan ekuatorial pantai barat Sumatera melalui mekanisme Ekman transport. Massa air hangat di perairan ini semakin bertambah dari masukan massa air hangat yang terdorong oleh Sirkulasi Walker di permukaan laut sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Sementara itu, Arus Barat Australia di BBS yang membawa massa air dingin di perairan tenggara Samudera Hindia terdorong ke arah barat oleh Arus Ekuatorial Selatan (South Equatorial Current) yang merupakan kepanjangan dari Arus Selatan Jawa (South Java Current) yang membawa massa air hangat, sehingga di perairan sebelah barat Australia terjadi peningkatan SPL dari kondisi normalnya. Oleh karena itu, terbentuk gradien SPL dari perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, semakin

108 206 meningkat ke arah ekuatorial pantai barat Sumatera dan terdapat pula gradien SPL dari perairan Teluk Bengal, semakin meningkat ke arah ekuatorial perairan barat Sumatera. Sementara itu pada waktu yang sama, di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdapat massa air hangat yang berkumpul karena adanya Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut yang bertiup sepanjang tahun dimana suhu massa air hangat ini jauh lebih rendah daripada suhu massa air hangat yang berkumpul di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera, karena disebabkan massa air hangat di perairan dalam Indonesia telah kehilangan bahangnya di laut akibat dari pelepasan bahang maksimum berupa fluks bahang secara konduksi dan bahang melalui evaporasi ke atmosfer pada periode sebelumnya dari siklus dua tahunan. Pelepasan bahang ini merupakan hasil interaksi antara darat-lautatmosfer di perairan dalam Indonesia. Perbedaan waktu antara penyimpanan dan pelepasan bahang serta perbedaan kandungan bahang di laut antara perairan dalam Indonesia dengan perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera adalah pemicu terjadinya fase negatif dari Mode-3 EOF. Pada Mode ke-3 fase negatif ini, gradien tekanan udara yang terbentuk dari perbedaan SPL antara perairan Teluk Bengal dengan perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera tidak cukup kuat untuk membangkitkan sel Sirkulasi di atmosfer karena sel sirkulasi ini telah ditempati oleh Sirkulasi Hadley, sehingga dampaknya hanya memperkuat simpul Sirkulasi Hadley dan Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Massa air hangat yang telah terkumpul di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera dari hasil akumulasi fase positif Mode ke-2, semakin bertambah intensif karena posisi semu matahari tepat berada di atas ekuatorial. Kondisi ini mempercepat masuknya periode Angin Muson Tenggara di BBS dan Angin Muson Barat Daya di BBU, sehingga di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia terjadi zona konvergen lemah dengan kecepatan angin yang sangat rendah. Massa air hangat di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera mulai mengalami kondisi maksimum dimana bahang dari penumpukan massa air hangat ini harus dilepaskan ke atmosfer. Sementara itu, sirkulasi atmosfer arah zonal di atas perairan dalam Indonesia mulai terbentuk akibat dari perbedaan tekanan udara rendah dengan suhu tinggi di perairan ekuatorial sebelah barat

109 207 Sumatera dan tekanan udara tinggi dengan suhu lebih rendah di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Sel sirkulasi atmosfer arah zonal ini bergerak di atas permukaan laut dari perairan ekuatorial sebelah timur Indonesia ke arah barat sampai ke perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera. Sel sirkulasi atmosfer ini kemudian bergerak ke lapisan atas troposfer karena terdapat zona konvergen di atas perairan ini. Kondisi ini mengakibatkan Sirkulasi Walker di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia semakin menguat. Massa udara yang naik dengan membawa kandungan uap air, sebelum mencapai ketinggian yang cukup untuk terjadi proses kondensasi, massa udara basah ini terbawa oleh Angin Muson Tenggara di BBS dan Angin Muson Barat Daya di BBU yang aktif lebih awal dan menguat sebelum waktunya. Massa udara basah ini mengalami proses kondensasi di atas perairan sebelah timur Teluk Bengal pada lapisan tengah dan atas troposfer, sehingga pada daerah ini mengalami anomali curah hujan yang cukup tinggi dimana seharusnya pada bulan April-Mei mulai memasuki musim kering. Sementara itu, Angin Muson Tenggara yang berada di atas perairan selatan Jawa berbelok ke arah barat daya menuju daerah tekanan rendah dengan zona konveksi yang lemah di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Massa udara dengan kandungan uap air yang ikut terbawa oleh angin di atas perairan ini mengalami proses kondensasi di lapisan tengah troposfer, sehingga di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia pada fase negatif Mode ke-3 ini juga mengalami anomali curah hujan yang cukup tinggi. Massa udara yang naik seiring dengan naiknya angin dari sel sirkulasi baru di atas perairan dalam Indonesia dan Sirkulasi Walker di atas perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera telah kehilangan kandungan uap airnya yang terbawa Angin Muson ke arah perairan Teluk Bengal dan tidak adanya masukan uap air dari perairan selatan Jawa mengakibatkan massa udara yang naik ke lapisan atas troposfer menjadi lebih dingin dan kering. Ketika massa udara di lapisan atas troposfer berbelok ke arah barat yang akan menuju ke arah perairan barat Samudera Hindia, massa udara ini telah mengalami proses pendinginan adiabatik sedangkan suhu udara lingkungannya relatif lebih tinggi daripada massa udaranya. Oleh karena itu, ketika massa udara ini sampai di atas perairan di ekuatorial pada

110 208 posisi sekitar 75 BT akan turun sampai di atas permukaan laut dan berbelok ke arah timur sehingga membentuk sel sirkulasi atmosfer yang baru. Terbentuknya sel sirkulasi atmosfer ini lambat laun akan melemahkan sel Sirkulasi Walker di sisi timur ekuatorial Samudera Hindia karena SPL pada posisi di sekitar 75 BT telah turun dengan cepat akibat dari massa udara yang turun dan mengalami proses pendinginan secara adiabatik dari lapisan atas troposfer. Penurunan SPL di atas perairan ini akan mengakibatkan naiknya tekanan udara di atasnya sehingga terbentuk zona divergen. Sirkulasi Walker semakin melemah sehingga terjadi pembalikan arah sirkulasinya. Pembalikan arah Sirkulasi Walker ini akan membawa massa air hangat di sepanjang ekuatorial bergerak menuju ke arah perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia. Massa air hangat ini akan berkumpul di perairan sebelah timur Benua Afrika sehingga terjadi fenomena yang disebut Dipole Mode fase positif (DM positif) diikuti dengan terjadinya anomali curah hujan yang tinggi di atas perairan ini. Massa air hangat ini diharuskan kembali ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan mengikuti salah satu dari mekanisme proses dinamika laut-atmosfer kembalinya massa air hangat melalui teori delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988), recharge oscillator (Jin, 1997), western Pacific oscillator (Weisberg dan Wang, 1997), advective-reflective oscillator (Picaut et al., 1997) atau unified oscillator (Picaut et al., 2002). Proses interaksi antara sirkulasi atmosfer di atas perairan dalam Indonesia dengan dinamika di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dimulai dengan melebarnya sirkulasi atmosfer di atas perairan dalam Indonesia ke arah timur akibat dari semakin menurunnya SPL di perairan dalam Indonesia dan di perairan ekuatorial barat Samudera Hindia dimana penurunan SPL ini disebabkan oleh pelepasan bahang pada fase positif Mode ke-2 EOF. Penurunan SPL lebih cepat terjadi di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dibandingkan dengan penurunan SPL di perairan dalam Indonesia. Perbedaan ini disebabkan oleh siklus pertukaran bahang masih terjadi dalam skala lokal dari interaksi antara darat-laut-atmosfer di perairan dalam Indonesia sehingga sejumlah bahang yang dilepas ke udara dapat kembali lagi ke laut, sedangkan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik satu-satunya perpindahan

111 209 bahang hanya terjadi antara laut dan atmosfer. SPL di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik semakin bertambah dingin lagi karena sel sirkulasi atmosfer di atas perairan dalam Indonesia semakin menguat akibat dari proses konveksi di atas perairan ekuatorial barat Sumatera dan massa udara dingin yang naik di tengah perairan dalam Indonesia kemudian bersama-sama terbawa di lapisan atas troposfer ke arah timur dan turun di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Turunnya massa udara dingin menyebabkan menurunnya SPL di perairan ini. Seiring dengan menguatnya sel sirkulasi atmosfer di atas perairan dalam Indonesia pada sisi sebelah barat dan tengah sel, akan menyebabkan sisi timur sel atmosfer ini akan turut menguat. Penguatan sisi timur sel sirkulasi atmosfer lambat laut akan menyebabkan melemahnya sel Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Pelemahan Sirkulasi Walker pada sisi barat ini akan menyebabkan tinggi muka laut di perairan ini menurun sehingga menyebabkan terjadinya sedikit pergeseran kolam air hangat ke arah timur. Pergeseran kolam air hangat ke arah timur akan menyebabkan SPL di perairan ini menjadi semakin menurun. SPL yang semakin dingin di perairan ini menyebabkan meningkatnya tekanan udara di atasnya. Tekanan udara tinggi di atas perairan ini dan bergesernya massa air hangat dengan tekanan udara yang lebih rendah ke arah timur mengakibatkan terjadinya anomali angin baratan atau sering disebut gangguan angin baratan (westerly wind burst) yang bergerak dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik ke arah timur. Angin baratan ini lambat laun melemahkan Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut, sehingga mengakibatkan arah sirkulasi Walker di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik menjadi berbalik arah. Massa air hangat yang berada di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik semakin terdorong ke arah timur seiring dengan aktifnya upwelling Gelombang Kelvin di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Massa air hangat ini terus bergerak ke arah timur dan sedikit menyebar ke arah utara dan selatan karena adanya mekanisme Ekman Suction di permukaan laut dan Sverdrup Transport di kolom kedalaman. Ketika massa air hangat ini sampai di perairan pantai barat Peru akan diikuti dengan downwelling Gelombang Kelvin sehingga menyebabkan di perairan pantai barat Peru yang

112 210 biasanya sepanjang tahun terjadi upwelling menjadi menghilang. Dinamika proses interaksi laut-atmosfer yang terjadi di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada fase negatif Mode ke-3 EOF ini disebut El Nino konvensional. Massa air hangat yang telah sampai di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik mengharuskan untuk kembali lagi ke perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Mekanisme proses dinamika laut-atmosfer kembalinya massa air hangat ini ke arah barat sampai di perairan sebelah timur Indonesia mengikuti salah satu dari teori delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988), recharge oscillator (Jin, 1997), western Pacific oscillator (Weisberg dan Wang, 1997), advective-reflective oscillator (Picaut et al., 1997) atau unified oscillator (Picaut et al., 2002). Seperti telah diketahui dari analisis sebelumnya bahwa pada fase negatif Mode ke-3 EOF ini di perairan ekuatorial Samudera Hindia terjadi proses transisi dari DM negatif ke DM positif dimana akan mencapai puncak DMI positif setelah 2.7 bulan kemudian, sedangkan di perairan ekuatorial Samudera Pasifik telah terjadi El Nino konvensional selama 2.7 bulan dari puncak SOI negatif. Oleh karena itu, baik DM maupun El Nino pada fase negatif Mode ke-3 EOF ini tidak terjadi pada puncak fase masing-masing secara yang bersamaan jika fase puncak DMI positif didefinisikan sebagai puncak fenomena DM dan fase puncak SOI negatif didefinisikan sebagai puncak fenomena El Nino konvensional. Kondisi ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa terdapat suatu stabilisator kesetimbangan bahang di laut dan atmosfer yang mengatur dinamika antara fenomena di Samudera Hindia dan Pasifik. Diduga stabilisator tersebut adalah titik tumpu timbangan yang telah disampaikan sebelumnya diperankan oleh dinamika darat-laut-atmosfer yang terjadi di Indonesia dimana sel sirkulasi atmosfer yang terbentuk di ekuatorial tepat di tengah Indonesia adalah pengatur beban timbangan yang akan mendistribusikan seberapa besar bahang di laut dipindahkan ke Samudera Hindia dan Pasifik yang memicu gerakan lengan timbangan Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik untuk menyesuaikan dinamika kesetimbangan bahang di antara kedua Samudera tersebut. Pada Mode ke-3 EOF ini masih ditemukan siklus dua tahunan dengan periode 18.2 bulanan dimana hal ini menunjukkan masih terdapat sisa selisih

113 211 bahang dari aktifitas Muson yang harus disimpan/dilepaskan di darat-lautatmosfer untuk menyeimbangkannya. Diduga sisa selisih bahang ini akan mempengaruhi variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di Asia Tenggara dan akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Pola anomali positif SPL di perairan sebelah barat dan anomali negatif SPL di perairan sebelah timur Indonesia yang terlihat membagi dua Asia Tenggara, sehingga variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di dalam sistem ini pada fase negatif Mode ke-3 EOF untuk selanjutnya akan diberi nama fase Dipole Mode perairan Asia Tenggara (DMAT) negatif atau disebut juga DMAT negatif Variabilitas Mode ke-4 EOF Dekomposisi spasial data deret waktu SPL dari data asimilasi GFDL hasil analisis fase positif Mode ke-4 EOF dengan keragaman sebesar 4.4% memperlihatkan bahwa terdapat pola osilasi dominan antara perairan dalam Indonesia dengan perairan sebelah barat pantai barat Sumatera dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali negatif di perairan dalam Indonesia meluas sampai ke perairan sebelah utara Halmahera, sebelah timur dan utara Filipina, perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik, perairan sebelah timur, utara dan barat Australia, perairan selatan Jawa, perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan Teluk Bengal. Anomali positif dominan terdapat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali positif di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik lebih tinggi dibandingkan di perairan ekuatorial sebelah barat pantai barat Sumatera (Gambar 70a). Pola spasial Mode ke-4 EOF ini terlihat seperti osilasi Mode tiga kutub (tripole mode) antara perairan dalam Indonesia dengan perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Data deret waktu koefisien ekspansi hasil dekomposisi temporal Mode ke-4 EOF yang telah ditapis sinyal frekuensi rendah dengan periode dibawah 6 bulan memperlihatkan bahwa siklus waktu pada Mode ke-4 ini pengaruh dari siklus Muson sangat kecil sekali dan sulit sekali untuk mengetahui beda fasenya.

114 212 Gambar 70 Pola spasial Mode ke-4 (keragaman terbesar keempat dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 4.4% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan skala koefisien ekspansi. Pada waktu tertentu, osilasi yang terbentuk terkadang mengikuti pola SOI dan di waktu yang lain mengikuti pola DMI (Gambar 70b dan c). Umumnya puncak fase positif koefisien ekspansi terjadi pada bulan Juni dan negatif terjadi pada bulan November. Hasil analisis spektral densitas koefisien ekspansi memperlihatkan bahwa terdapat dua siklus dominan yaitu siklus pertama terbesar pada periode 63.9 bulanan (5.3 tahunan) dengan energi sebesar 5000

115 213 (satuan) 2 /siklus per bulan dan siklus kedua terbesar pada periode 12.2 bulanan (satu tahunan) dengan energi sebesar 1300 (satuan) 2 /siklus per bulan (Gambar 71). Meskipun masih terdapat beberapa puncak spektral dengan siklus 16 bulanan, tetapi nilai energi spektral densitasnya sangat kecil dibawah 800 (satuan) 2 /siklus per bulan sehingga cukup kecil untuk diabaikan. Gambar 71 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/ke (tanpa satuan) dari tahun pada Mode ke-4 (keragaman terbesar keempat dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman sebesar 4.4%. Siklus dengan periode 63.9 bulanan diduga adalah sinyal dari DM di Samudera Hindia dan ENSO di Samudera Pasifik, sedangkan siklus dengan periode satu tahunan menunjukkan bahwa pengaruh Muson masih berperan pada Mode ke-4 EOF. Hasil analisis CWT menguatkan bahwa pengaruh Muson berperan pada periode satu tahunan dengan energi 2-4 (energi), tetapi terdapat gangguan sepanjang tahun dengan selang kepercayaan 95%. Selain itu, gangguan kuat terdeteksi pula pada periode 5 tahunan antara tahun yang diduga kontribusi dari sinyal ENSO (Gambar 72a). Korelasi dengan menggunakan analisis XWT antara koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF dengan MSI memperkuat bahwa pengaruh Muson masih berperan pada periode satu tahunan dengan energi sebesar 8 (energi), tetapi terdapat beda fase yang tidak konsisten, sehingga dapat dianggap koefisien ekspansi tidak memiliki anomali yang berkaitan dengan MSI (Gambar 72b).

116 214 Korelasi dengan DMI cukup kuat antara tahun pada periode tahunan dengan energi sebesar 16 (energi), meskipun beda fase bervariasi sekitar bulan mendahului DMI dengan fase searah (Gambar 72c), sedangkan korelasi dengan SOI memiliki energi yang sama dan beda fase yang juga bervariasi sekitar bulan tetapi sinyal SOI mendahului koefisien ekspansi dengan fase berlawanan yang terjadi pada tahun (Gambar 72d). Gambar 72 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-4 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 27. Rata-rata sudut beda fase yang terbentuk pada selang kepercayaam 95% dengan periode dan energi yang hampir sama antara korelasi koefisien ekspansi dengan DMI dan SOI, ternyata hampir sama yaitu sebesar 22.5 sehingga beda

117 215 fase yang terjadi hampir sama yaitu sebesar 3.9 bulan. Untuk selanjutnya, beda fase yang digunakan dari korelasi antara koefisien ekspansi dengan DMI atau dengan SOI adalah sebesar 25 atau sebesar 3.9 bulan. Hasil analisis komposit rata-rata anomali SPL pada saat koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF sebesar satu kali diatas simpangan baku positif atau untuk selanjutnya disebut fase positif Mode ke-4 EOF (Gambar 73a) dan fase negatif sebesar satu kali dibawah simpangan baku negatif (Gambar 73b) dengan nilai simpangan bakunya sebesar 12.8 (tanpa satuan), nilai minimumnya sebesar dan nilai maksimumnya sebesar 25.4, menunjukkan bahwa pada fase positif di Samudera Hindia terlihat seperti periode transisi DM dari DM negatif ke DM positif dimana sinyal koefisien ekspansi mendahului DMI bervariasi sekitar 3.9 bulan. Anomali positif SPL yang tinggi di ekuatorial Samudera Hindia berada di tengah dan sebelah timur ekuator sebesar 0.3 C, dimana anomali positif SPL tertinggi dominan berada di BBU sebesar 0.5 C dan terendah di BBS sebesar C (Gambar 73a). Puncak fase positif yang terjadi pada bulan Juni dengan anomali positif SPL dominan berada di BBU menunjukkan bahwa pengaruh Muson masih berperan pada fase positif Mode ke-4 dan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer dalam kondisi yang stabil. Pada fase positif di perairan Indonesia dominan memiliki anomali negatif SPL sebesar 0.8 C yang menunjukkan terjadi ketidakstabilan kondisi laut-atmosfer yang diduga akan berpengaruh pada arah zonal di ekuatorial Samudera Hindia. Dugaan bahwa pada fase positif di Samudera Hindia terjadi periode transisi DM dari DM negatif ke positif diperkuat dari hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia pada 5 LS-5 LU dimana angin timuran dengan kecepatan sebesar 0.2 m/s mulai terbentuk di sebelah barat perairan pantai Barat Sumatera (Gambar 74a). Anomali angin timuran ini mulai mendorong massa air hangat di permukaan dari perairan sebelah timur sampai ke tengah ekuatorial Samudera Hindia. Anomali positif SPL di tengah ekuatorial Samudera Hindia mulai meningkat, sedangkan anomali SPL di perairan sebelah barat masih lebih rendah daripada di tengah ekuatorial Samudera Hindia sebesar 0.2 C (Gambar 74b). Respon dari angin timuran mulai terbentuk pada kolom laut dengan mulai meningkatnya anomali kedalaman

118 216 lapisan tercampur sebesar 2.0 m di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 74c). Setelah 3.9 bulan kemudian fase DM positif akan mencapai puncaknya dengan ditandai oleh puncak DMI positif. Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bersih bahang melalui evaporasi sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter, mekanisme proses di laut dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia pada fase positif Mode ke-4 EOF. Gambar 73 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali SPL ( C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku negatifnya (b). Pada fase positif di ekuatorial Samudera Pasifik terdapat anomali positif SPL dari perairan sebelah barat sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik dan dari sebelah barat ekuatorial menyebar ke arah tenggara sampai di BBS yang menunjukkan aktifnya SPCZ dengan kisaran anomali SPL sebesar C. Kondisi asimetris terjadi pada arah meridional dimana SPL positif dominan

119 217 berada di BBS, sedangkan puncak fase positif terjadi pada bulan Juni dimana posisi semu matahari berada di BBU. Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan umpan balik laut-atmosfer pada arah meridional. Pola anomali SPL fase positif ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kao dan Yu (2009) yang diberi nama CP-ENSO (Gambar 11b). Terbentuknya pola anomali SPL ini melalui proses interaksi laut-atmosfer karena tidak melibatkan pergerakan lapisan termoklin. Sementara itu pola anomali SPL yang juga sama dengan fase positif Mode ke-4 EOF ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Kug et al. (2009) yang diberi nama tipe El Nino campuran yang terjadi pada tahun , dan dimana anomali positif SPL menyebar merata di lokasi Nino3.4 (Gambar 12 kanan). Mekanisme proses terbentuknya tipe El Nino campuran hampir sama dengan WP El Nino dengan berinteraksinya antara laut dan atmosfer tanpa melibatkan proses adveksi di laut. Pola anomali SPL pada fase positif Mode ke-4 EOF juga ditemukan hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Harrison dan Chiodi (2009). Pola sebaran ini diberi nama tipe W dimana anomali positif SPL menyebar merata dari perairan sebelah barat ekuatorial sampai sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 14a). Harrison dan Chiodi (2009) membagi tipe ENSO berdasarkan kejadian angin baratan yang berada di barat, tengah dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Proses mekanisme terbentuknya tipe W disebabkan oleh menguatnya angin timuran yang berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan sedikit menguatnya angin baratan yang terjadi di sebelah barat Samudera Pasifik. Selain itu, Yu dan Kim (2010) dari hasil penelitian sebelumnya menemukan pola anomali positif SPL yang mirip dengan fase positif Mode ke-4 EOF (Gambar 17e). Tipe El Nino tersebut dikelompokkan masuk kedalam grup-2 CP El Nino dan diberi nama abrupt-decaying pattern (Pola CP El Nino yang berlangsung cepat). Setelah fase puncak CP El Nino grup-2 ini, dengan cepat akan diikuti oleh fase La Nina atau fase netral/normal. Proses mekanisme perubahan dari fase CP El Nino ke La Nina konvensional mengikuti mekanisme proses rechargedischarge oscillator (Jin, 1997) dimana kedalaman lapisan termoklin berperan

120 218 besar dalam proses thermocline feedback sampai berkumpulnya massa air hangat di perairan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Gambar 74 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL ( C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari

121 219 Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter pada fase positif Mode ke-4 EOF di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada 5 LS- 5 LU memperkuat hasil analisis spektral densitas koefisien ekspansi dengan ditemukannya siklus El Nino pada periode 5.3 tahunan (Gambar 71) dan analisis XWT antara koefisien ekspansi dan SOI (Gambar 72d) dengan ditemukannya siklus yang sama pada periode tahunan dimana fase ini berlawanan dengan sinyal koefisien ekspansi dan telah terjadi selama 3.9 bulan sebelumnya (SOI mendahului koefisien ekspansi) dengan anomali positif SPL menyebar dari sebelah barat sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik. Hasil tersebut adalah telah aktifnya anomali angin baratan di sebelah barat sebesar 0.5 m/s dan angin timuran di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 0.15 m/s (Gambar 74a), sehingga terbentuk anomali positif SPL dari barat sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 0.4 C (Gambar 74b) dengan respon perubahan anomali kedalaman lapisan tercampur terhadap SPL dan angin zonal sangat lambat (Gambar 74c). Anomali kedalaman lapisan tercampur di tengah ekuatorial sebesar 1.0 m, di perairan sebelah barat sebesar -2.2 m dan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 1.5 m, sehingga tipe El Nino ini cenderung memiliki mekanisme proses yang dominan berupa interaksi laut-atmosfer yang kuat dengan proses adveksi zonal di laut yang lambat dan proses recharge yang lemah. Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bersih bahang melalui evaporasi sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter, mekanisme proses di laut dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik pada fase positif Mode ke-4 EOF. Pada fase negatif, anomali negatif SPL dominan terjadi di Samudera Hindia dengan anomali negatif terdapat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sebesar C dan anomali positif berada di perairan sebelah barat ekuator dan di sebelah barat daya Samudera Hindia sebesar C (Gambar 73b). Puncak fase negatif ini terjadi pada bulan November dimana dominan SPL yang tinggi terjadi di BBS. Diduga pada fase negatif di Samudera Hindia terjadi periode transisi DM dari DM positif ke DM negatif dimana telah diketahui sebelumnya dari korelasi antara koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF dan DMI

122 220 dengan menggunakan analisis XWT pada tahun terdapat energi yang besar pada siklus dengan periode 4-5 tahunan dengan beda fase yang bervariasi sekitar 3.9 bulan dengan sinyal koefisien ekspansi mendahului DMI (Gambar 72c). Dugaaan ini diperkuat dengan hasil analisis pola melintang komposit ratarata anomali SPL pada fase negatif Mode ke-4 EOF di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia pada 5 LS-5 LU yang memperlihatkan bahwa anomali SPL di sebelah barat ekuatorial masih memiliki anomali positif SPL sebesar 0.2 C dan di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik masih memiliki anomali negatif SPL sebesar 0.1 C (Gambar 74b). Kondisi ini terjadi karena anomali angin baratan sebesar 0.05 m/s di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia masih sangat kecil untuk mendorong massa air hangat di sepanjang ekuatorial sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 74a). Sementara itu, anomali kedalaman lapisan tercampur di perairan sebelah timur telah lebih dahulu lebih dalam sebesar 0.7 m dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia juga telah lebih dahulu lebih dangkal sebesar -2.0 m (Gambar 74c). Oleh karena itu, diduga proses di laut terjadi lebih dahulu dan memberikan umpan balik ke atmosfer. Berbeda halnya pada fase positif dimana anomali angin timuran di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia aktif bersamaan dengan proses di kolom kedalaman laut. Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bersih bahang melalui evaporasi, sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter, mekanisme proses di laut dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia pada fase negatif Mode ke-4 EOF. Pada fase negatif, anomali negatif SPL di Samudera Pasifik terpusat di sekitar dateline dengan anomali negatif maksimum sebesar -1.0 C menyebar ke arah timur laut dan tenggara dimana di perairan sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik terdapat anomali positif sebesar 0.8 C (Gambar 73b). Puncak fase negatif ini terjadi pada bulan November dimana dominan SPL yang tinggi terjadi di BBS. Pola sebaran anomali SPL ini menguatkan hasil analisis spektral densitas koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF dimana ditemukan siklus dengan periode 5.3 tahunan dengan energi terbesar pertama (Gambar 71), hasil analisis

123 221 CWT dengan ditemukannya gangguan sinyal pada periode 5 tahunan antara tahun (Gambar 72a) dan hasil analisis XWT antara koefisien ekspansi dan SOI dimana juga ditemukan siklus pada periode tahunan antara tahun dengan sinyal SOI mendahului koefisien ekspansi yang bervariasi sekitar 3.9 bulan sebelumnya dengan fase berlawanan (Gambar 72d) dimana semua indikasi tersebut diduga merupakan sinyal aktifitas ENSO. Pola anomali negatif SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik ini persis sama dengan fase negatif Mode ke-2 EOF hasil penelitian Ashok et al. (2007) dimana fase ini disebut La Nina Modoki dengan proses dinamika yang terjadi melibatkan interaksi laut-atmosfer (Gambar 7b dan Gambar 8a). Weng et al. (2009) menambahkan dengan menyebut fase positif dan negatif anomali SPL ini terdapat pola seperti bumerang (Gambar 15d). Kao dan Yu (2009) dari penelitian sebelumnya menemukan pula pola anomali SPL dari hasil analisis EOF pada fase negatif Mode ke-1 EOF setelah data anomali SPL dikurangkan dengan Nino1.2, diperoleh hasil yang sama dengan fase negatif Mode ke-4 EOF seperti pada penelitian ini (Gambar 11b). Proses mekanisme terbentuknya pola anomali SPL ini, menurut Kao dan Yu (2009) karena adanya proses lokal interaksi lautatmosfer tanpa melibatkan pergerakan lapisan termoklin. Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada 5 LS-5 LU memperkuat dugaan bahwa pada fase negatif Mode ke-4 EOF di Samudera Pasifik terdapat periode negatif yang sama seperti La Nina Modoki dimana pola sebaran anomali negatif SPL terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan menyebar ke arah timur laut dan tenggara. Pada Gambar 74a terlihat bahwa anomali angin timuran dengan kecepatan sebesar 0.35 m/s terjadi di sebelah barat dan anomali angin baratan dengan kecepatan 0.25 m/s terjadi di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik, sehingga mengakibatkan massa air hangat terkumpul di sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 74b). Anomali negatif SPL minimum sebesar -0.8 C berada di sekitar dateline (180 BT), sedangkan anomali SPL di sebelah barat sebesar 0 C dan di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 0.3 C. Respon yang sama terjadi pada anomali lapisan kedalaman tercampur dimana di sebelah barat kedalaman lapisan tercampur lebih dalam yaitu

124 222 sebesar 6.0 m dan di sebelah timur sebesar 0 m, sedangkan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik kedalaman lapisan tercampur lebih dangkal yaitu sebesar -5.0 m (Gambar 74c). Kao dan Yu (2009) berpendapat bahwa pola anomali SPL ini hanya dipengaruhi oleh proses lokal interaksi laut-atmosfer tanpa melibatkan pergerakan lapisan tercampur, sedangkan dari hasil penelitian ini dengan jelas terdapat umpan balik dari atmosfer yang mempengaruhi kedalaman lapisan tercampur (Gambar 74c) dan sependapat dengan hasil peneltian dari Ashok et al. (2007). Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bersih bahang melalui evaporasi sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter, mekanisme proses di laut dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik pada fase negatif Mode ke-4 EOF. Hasil dari analisis EOF pada Mode ke-4 data SPL dari data asimilasi GFDL pada cakupan lokasi penelitian di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya telah dapat menangkap sinyal-sinyal secara spasial dan temporal variabilitas dari parameter laut-atmosfer di Samudera Hindia dan Pasifik dimana pengaruh Muson sudah sangat kecil di perairan Asia Tenggara, sedangkan di Samudera Hindia pada fase positif dengan puncaknya pada bulan Juni dan negatif pada bulan November masih cukup berperan dalam mengatur keseimbangan bahang di laut. Sementara itu di Samudera Pasifik, terdapat kondisi asimetri anomali SPL arah meridional dimana anomali SPL pada fase positif di bulan Juni justru dominan tinggi di BBS, sedangkan pada fase negatif pengaruh sangat kecil dengan kondisi simetris anomali SPL arah meridional. Dinamika laut-atmosfer pada fase positif dan negatif di Samudera Hindia merupakan periode transisi DM dengan siklus pada periode dominan 5.3 tahunan dengan sinyal koefisien ekspansi mendahului DMI pada beda fase searah yang bervariasi sekitar 3.9 bulan sebelumnya, sedangkan di Samudera Pasifik telah terjadi El Nino dengan anomali positif SPL berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik pada fase positif dan fase negatif dengan anomali negatif SPL terpusat di sekitar dateline dimana sinyal SOI mendahului koefisien ekspansi yang bervariasi sekitar 3.9 bulan sebelumnya. Terdapat perbedaan nyata dari pola sebaran anomali SPL antara fase positif dan negatif yang seharusnya memiliki pola sebaran

125 223 anomali SPL yang berlawanan seperti pada Mode ke-3 EOF, sehingga kondisi ini mengakibatkan terjadi pola asimetris di ekuatorial Samudera Pasifik. Dugaan terbesar penyebabnya kondisi asimetris ini adalah berinteraksinya dinamika PDO di BBU dan SPCZ di BBS dengan variabilitas ENSO di ekuatorial Samudera Pasifik pada periode Muson di bulan Juni dan November. Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di Asia Tenggara dan sekitarnya pada Mode ke-4 hasil analisis EOF data SPL dari data asimilasi GFDL ini untuk selanjutnya akan diberi nama fase Tripole Mode perairan Asia Tenggara (TMAT). Pola anomali SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada fase positif seiring dengan terjadinya El Nino dengan massa air hangat yang terkumpul di sekitar dateline akan disebut El Nino TP tipe tersebar (El Nino Tengah Pasifik tipe tersebar) dan sebaliknya pada fase negatif akan disebut La Nina TP tipe tersebar (La Nina Tengah Pasifik tipe tersebar). Istilah tersebar digunakan karena pada Mode ke-4 EOF ini, pola anomali SPL selain menyebar ke arah zonal juga sebagian menyebar ke arah meridional Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif Hasil analisis EOF data SPL dari data asimilasi GFDL telah diketahui sebelumnya bahwa keragaman pada Mode ke-4 ini adalah sebesar 4.4% dari total keragaman SPL yang terdapat pada wilayah penelitian dari data bulanan antara tahun Nilai keragaman ini sudah terlalu kecil karena hanya 4.4% memberikan kontribusi variabilitas dari total 100% variabilitas yang terjadi di wilayah penelitian. Pada wilayah penelitian yang digunakan di Asia Tenggara dan sekitarnya, hasil analisis EOF pada Mode ke-1 menunjukkan bahwa 44.1% keragaman terjadi di wilayah ini didominasi oleh variabilitas Muson, begitu pula pada Mode ke-2 dan ke-3 masih terdapat sinyal siklus dengan periode satu tahunan, meskipun pada Mode ke-4 dan ke-5 sinyal siklus dengan periode satu tahunan sudah tidak memiliki energi pertama terbesar, tetapi siklus dengan periode satu tahunan tetap ada. Pada Mode ke-4, energi siklus dengan periode satu tahunan berada di terbesar kedua dan pada Mode ke-5 berada di terbesar ketiga, meskipun besarnya energi sudah sangat kecil, tetapi sinyal Muson tersebut tetap ada. Oleh karena itu,

126 224 pada setiap Mode EOF di dalam sistem masih terdapat interaksi antar fenomena dengan Muson, sehingga nilai keragaman pada Mode EOF tertentu dengan fenomena lain diluar Muson menjadi sangat kecil. Tidak dilakukan penapisan pada data untuk menghilangkan sinyal siklus dengan periode satu tahunan karena justru akan menghilangkan proses interaksi antar fenomena didalamnya. Oleh karena itu, meskipun pada suatu Mode EOF tertentu memiliki nilai keragaman yang sangat kecil dimana ditemukan energi yang besar selain siklus Muson maka pada Mode EOF tersebut terdapat fenomena penting yang perlu diperhatikan. Pada Mode ke-4 EOF ini, meskipun memiliki keragaman yang cukup kecil tetapi terdeteksi terdapat siklus antar tahunan pada periode 63.9 bulanan (5.3 tahunan) dengan energi terbesar pertama, sedangkan siklus satu tahunan Muson memiliki energi kedua terbesar dan yang terakhir energi terbesar ketiga adalah siklus dengan periode 16 bulanan. Siklus antar tahunan dengan periode 5.3 tahunan menjadi penting karena memiliki energi terbesar pertama, meskipun nilai keragaman pada Mode ke-4 ini hanya sebesar 4.4% dari total keragaman. Puncak fase positif Mode ke-4 EOF terjadi pada bulan Juni dan fase negatifnya terjadi pada bulan November. Hasil dari analisis sebelumnya telah diketahui bahwa pada fase positif Mode ke-4 EOF, di Samudera Hindia terjadi periode transisi DM dari DM negatif ke DM positif dengan puncak DMI positif terjadi setelah 3.9 bulan kemudian dan di Samudera Pasifik El Nino setelah 3.9 bulan dari puncak SOI negatif. Pola anomali SPL periode transisi DM dari DM negatif ke DM positif atau sebaliknya pada Mode ke-4 (Gambar 73) relatif sama dengan Mode ke-3 EOF (Gambar 58) perbedaan yang terjadi kemungkinan karena selisih waktu antara 3.9 dengan 2.7 bulan, sedangkan pola anomali SPL pada saat El Nino maupun La Nina antara Mode ke-4 dengan ke-3 sangat berbeda jauh. Pada Mode ke-3 perbedaan anomali SPL antara fase positif dan negatif terpusat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan pada Mode ke-4 menyebar dari tengah di sekitar dateline ke arah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Selain itu, perbedaan anomali SPL antara fase positif dan negatif pada Mode ke-4 EOF terlihat tidak simetris sebagai pola yang saling berkebalikan (Gambar 73). Pada fase negatif anomali negatif SPL lebih terkumpul

127 225 di tengah ekuatorial Samudera Pasifik, terpusat di sekitar dateline dan pada arah meridional relatif simetris dibandingkan dengan fase positifnya. Gambar 75 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase positif Mode ke-4 EOF. Dinamika yang terjadi di Samudera Hindia dan pasifik pada fase positif Mode ke-4 ini teridentifikasi dari hasil komposit rata-rata anomali SPL dengan nilai koefisien ekspansi diatas simpangan bakunya. Meskipun EOF dianalisis hanya dari wilayah penelitian saja di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya, tetapi telah dapat menangkap sinyal siklus antar tahunan DM dan ENSO. Oleh karena itu sangat penting untuk mengkaji lebih jauh lagi variabilitas dan interaksi antar parameter di wilayah ini. Pola anomali angin permukaan laut pada fase positif

128 226 Mode ke-4 ini (Gambar 75a) secara umum hampir sama dengan fase positif Mode ke-1, fase positif Mode ke-2 dan fase negatif Mode ke-3, tetapi dengan anomali kecepatan angin yang lebih kecil dari fase negatif Mode ke-3 (Gambar 65a), lebih kecil lagi dari fase positif Mode ke-2 (Gambar 45a) dan jauh lebih kecil dari fase positif Mode ke-1 EOF (Gambar 30a). Anomali kecepatan angin permukaan laut yang besar terpusat di perairan Teluk Bengal dan perairan Laut Cina Selatan berupa Angin Muson Barat Daya di BBU dengan kecepatan maksimum mencapai 3.0 m/s dan di sekitar perairan Laut Timor dan utara Australia hanya mencapai 2.5 m/s berupa Angin Muson Tenggara di BBS (Gambar 75a). Meskipun pada Mode ke-4 ini siklus satu tahunan Muson telah melemah dan energi densitas spektralnya menempati urutan kedua setelah siklus antar tahunan dengan periode 63.9 bulanan, tetapi pola angin Muson tetap terbentuk sama di atas perairan ini. Pola angin permukaan laut yang jauh berbeda terdapat di atas perairan sebelah barat dan barat laut ekuatorial Samudera Hindia dimana anomali angin permukaan laut sangat jauh melemah tidak lebih dari 0.2 m/s dengan pola yang sedikit tidak teratur. Melemahnya anomali angin ini disebabkan oleh anomali angin baratan yang diduga terjadi karena adanya gradien tekanan udara antara tekanan udara tinggi perairan dalam Indonesia dengan tekanan udara rendah perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia yang disebabkan oleh anomali negatif SPL di perairan dalam Indonesia dan anomali positif SPL di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Pola anomali arus permukaan laut secara umum mengikuti pola anomali angin permukaan laut, tetapi di beberapa perairan terdapat anomali kecepatan arus yang jauh lebih lemah daripada yang seharusnya jika dilihat dari anomali kecepatan angin yang membangkitkannya dan di perairan lain terdapat anomali arus permukaan laut yang jauh lebih kuat daripada yang seharusnya jika dibandingkan dengan anomali kecepatan angin di atasnya. Anomali arus permukaan laut yang jauh lebih kecil terdapat di perairan dalam Indonesia meliputi perairan Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Selat Makassar, Laut Maluku dan Laut Sulawesi dengan anomali kecepatan arus tidak lebih dari 0.04 m/s dan di luar perairan dalam Indonesia meliputi perairan selatan Jawa, Bali, NTB, perairan barat Australia dan Laut Arafuru dengan anomali

129 227 kecepatan maksimumnya sebesar 0.03 m/s (Gambar 75b). Sementara itu, anomali arus permukaan laut dengan kecepatan jauh lebih besar dari yang seharusnya dibangkitkan oleh angin permukaan laut terdapat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali arus permukaan laut di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia terlihat menguat pada 80 BT-95 BT di sekitar ekuatorial mencapai sebesar 0.18 m/s bergerak dari arah timur ke barat. Anomali arus ini diduga karena melemah Sirkulasi Walker di sisi timur ekuatorial Samudera Hindia. Sirkulasi Walker melemah diduga karena terjadi anomali angin timuran dari perairan dalam Indonesia sampai di sekitar perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera yang disebabkan oleh adanya gradien tekanan antara tekanan tinggi dengan anomali SPL rendah di perairan dalam Indonesia dan tekanan rendah dengan anomali SPL tinggi di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera. Begitu pula yang terjadi di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dimana anomali angin baratan terbentuk dari perairan dalam Indonesia sampai ke perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik karena terdapat gradien tekanan tinggi dengan anomali SPL rendah di perairan dalam Indonesia dan tekanan rendah dengan anomali SPL tinggi di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali arus timuran ini berasosiasi dengan menguatnya Arus Balik Ekuatorial Utara dengan anomali kecepatan arus mencapai 0.20 m/s seiring dengan menguatnya Arus Ekuatorial Utara (Gambar 75b). Terjadinya angin baratan di atas perairan ini akan mengakibatkan sedikit melemahnya sisi barat Sirkulasi Walker di ekuatorial Samudera Pasifik. Dugaan bahwa pada sisi timur Sirkulasi Walker di atas ekuatorial Samudera Hindia melemah diperkuat dengan hasil analisis pola melintang anomali angin terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU dengan anomali kecepatan angin tidak lebih dari 0.6 m/s dan begitu pula Sirkulasi Walker pada sisi barat di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terjadi pelemahan kecepatan angin lebih melemah dibandingkan dengan Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dengan anomali kecepatan angin maksimum hanya 0.4 m/s (Gambar 76a). Melemahnya Sirkulasi Walker juga terlihat dengan jelas

130 228 dari hasil analisis pola sebaran melintang anomali angin zonal terhadap ketinggian dimana di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia pada lapisan bawah troposfer ditemukan anomali angin timuran dengan anomali kecepatannya mencapai 0.1 m/s dan di lapisan tengah troposfer masih terdapat angin baratan dengan anomali kecepatan angin zonaal sebesar 0.6 m/s (Gambar 76b). Sementara itu di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, di semua kolom lapisan troposfer terjadi pelemahan Sirkulasi Walker dengan dominan masih terdapat anomali angin timur yang lemah sebesar 0.4 m/s. Dugaan bahwa Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terganggu oleh adanya gradien anomali tekanan udara semakin kuat setelah melihat pola anomali suhu udara melintang terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara dimana terlihat anomali suhu udara yang rendah sebesar 0.15 C berada di tengah ekuatorial Indonesia dan semakin meningkat ke arah barat, timur dan lapisan atas troposfer (Gambar 76c). Suhu udara rendah akan memicu terjadinya tekanan udara tinggi dan suhu udara tinggi akan memicu tekanan udara rendah, sehingga terbentuk gradien tekanan udara ke arah barat dan timur Indonesia. Gradien tekanan udara ini yang menimbulkan anomali angin timuran dan anomali angin baratan yang melemahkan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali suhu udara ini diduga terjadi karena adanya umpan balik dari laut ke atmosfer oleh anomali SPL di perairan Indonesia. Hasil analisis pola melintang kelembapan udara terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU terlihat anomali kelembapan udara yang tinggi terdapat di lapisan tengah troposfer di atas perairan sebelah timur Indonesia sebesar 2.2% kemudian menurun menyebar ke arah tengah di lapisan bawah sebesar 1.0% dan menyebar ke lapisan atas troposfer di atas perairan ekuatorial sebelah barat Indonesia (Gambar 76d). Jika dilihat dari kelembapan udara terdapat kemungkinan terjadinya hujan di atas perairan Asia Tenggara, tetapi jika dilihat dari pola anomali positif suhu udara di atasnya sangat kecil terjadi hujan di atas perairan sebelah barat Indonesia. Hujan kemungkinan terjadi di atas perairan sebelah timur Indonesia karena suhu udara di lapisan

131 229 tengah troposfer relatif lebih rendah daripada di sebelah barat Indonesia (Gambar 76c). Gambar 76 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-4 EOF.

132 230 Gambar 77 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif Mode ke-4 EOF. Dugaan sebelumnya bahwa menghangatnya lapisan troposfer merupakan proses umpan balik SPL dari laut ke atmosfer ternyata tepat, terlihat dari hasil analisis Pola sebaran anomali SPL dimana hampir di seluruh perairan memiliki anomali positif SPL kecuali di perairan utara Australia, selatan Bali, NTB, NTT, Laut Timor, Laut Arafuru dan di perairan dalam Indonesia meliputi sebelah selatan Selat Makassar, Laut Flores dan Laut Banda (Gambar 77a). Pola anomali SPL ini sedikit berbeda dengan hasil dekomposisi spasial Mode ke-4 EOF (Gambar 70a) karena bias dari proses statistik perata-rataan anomali SPL satu kali di atas simpangan baku koefisien ekspansinya. Untuk melihat pola osilasi spasial lebih tepat jika menggunakan hasil dekomposisi spasial EOF pada Mode ke-4 karena proses perhitungan keragaman dominan dalam metode EOF menunjukkan osilasi dominan seperti pada pola dekomposisi spasialnya, sehingga pola Tripole Mode perairan Asia Tenggara (TMAT) tetap terlihat. Anomali negatif SPL di tengah perairan dalam Indonesia sampai ke arah utara dan selatan pada arah meridional diduga disebabkan oleh dilepaskannya sebagian bahang dilaut ke

133 231 atmosfer hasil interaksi darat-laut-atmosfer dari akumulasi sisa selisih bahang setelah beberapa kali terjadi ulangan siklus pada Mode ke-2 EOF. Anomali positif SPL terbesar terpusat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 0.7 C dan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sebesar 0.5 C, sedangkan anomali negatif SPL terpusat di sekitar perairan Laut Flores dan Banda sebesar C. Hasil analisis anomali kedalaman lapisan tercampur memperlihatkan bahwa hampir sebagian besar di perairan sebelah timur Samudera Hindia memiliki anomali positif yang terpusat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dengan nilai maksimumnya mencapai 15 m dan tersebar ke arah utara sampai di sebelah timur perairan Teluk Bengal dengan kisaran sebesar m (Gambar 77b). Anomali negatif hanya sebagian kecil terlihat di perairan sebelah barat Teluk Bengal sebesar -6 m dan di sekitar ekuatorial sebesar -1.0 m. Banyaknya perairan dengan anomali positif kedalaman lapisan tercampur di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia diduga bahwa perairan ini berfungsi sebagai penyimpan bahang di laut. Sementara itu, di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik anomali positif kedalaman lapisan tercampur terpusat di sekitar ekuatorial mencapai sekitar 15 m dan menyebar ke arah selatan, sedangkan anomali negatif terpusat di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar - 10 m. Anomali positif juga ditemukan di sebelah timur Laut Cina Selatan sekitar 7.0 m, sedangkan anomali negatif di perairan dalam Indonesia menyebar dari perairan sebelah barat Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Flores, Selat Makassar, Laut Maluku, Laut Banda dan menyebar ke arah selatan sampai ke perairan sebelah utara Australia dengan nilai minimumnya mencapai sekitar -6 m (Gambar 77b). Hasil analisis pola sebaran anomali Q S +Q L memperkuat dugaan sebelumnya bahwa banyaknya perairan dengan anomali positif kedalaman lapisan tercampur di perairan sebelah timur Samudera Hindia berfungsi sebagai penyimpan bahang di laut melalui mekanisme adveksi vertikal dimana ditemukan hampir di seluruh perairan di sebelah timur Samudera Hindia memiliki anomali positif Q S +Q L yang terpusat di sebelah tenggara Samudera Pasifik mencapai 25 W/m 2 (Gambar 78a). Anomali positif Q S +Q L di perairan sebelah timur India sebesar 12 W/m 2 terjadi

134 232 karena adanya perpindahan bahang melalui proses adveksi horizontal dari barat Samudera Hindia yang masuk ke perairan Teluk Bengal terbawa oleh Arus Timur India (Gambar 75b). Anomali positif Q S +Q L juga di temukan di perairan dalam Indonesia dari mulai perairan Laut Cina Selatan sampai ke Laut Banda dan Laut Sulawesi dengan nilai anomali positif Q S +Q L yang tidak terlalu besar sekitar 10 W/m 2, meskipun di perairan dalam Indonesia di sekitar Laut Flores dan Laut Banda memiliki anomali negatif SPL (Gambar 77a). Kondisi ini menunjukkan bahwa di perairan ini setelah melepaskan bahang ke atmosfer pada waktu sebelumnya langsung menerima masukan bahang melalui proses adveksi horizontal dari Laut Cina Selatan dan jalur ARLINDO. Gambar 78 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-4 EOF. Sementara itu, di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik hampir seluruhnya terdapat anomali negatif Q S +Q L sebesar -25 W/m 2 terpusat di perairan utara Filipina, utara Laut Cina, perairan utara Filipina dan perairan barat laut Samudera Hindia dimana sebagian besar bahang di laut dilepaskan ke atmosfer

135 233 dengan komponen Q L yang berkontribusi terbesar karena terdapat anomali positif SPL yang tinggi terutama di sekitar ekuatorial (Gambar 77a). Sebagian besar bahang yang dilepaskan ke atmosfer di perairan sebelah timur Samudera Hindia berupa Q S, sedangkan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik lebih besar kontribusinya dari komponen Q L. Dugaan ini diperkuat dari pola sebaran melintang anomali suhu udara terhadap ketinggian dimana ditemukan anomali positif suhu udara yang tinggi di sebelah barat dan semakin menurun ke arah timur sampai di atas perairan sebelah timur Indonesia (Gambar 76c). Hasil analisis P E memperlihatkan bahwa hampir seluruh wilayah Asia Tenggara terdapat anomali negatif P E kecuali di perairan sebelah utara Indonesia dan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik (Gambar 78b). Anomali negatif terendah berada di perairan sebelah selatan Sumatera menyebar ke arah timur sampai di sekitar perairan Laut Timor sebesar -1.0 mm/hari, sedangkan anomali positif P E tertinggi berada di sekitar ekuatorial di sebelah barat Samudera Pasifik mencapai sekitar 0.8 mm/hari. Interaksi antar parameter dari dinamika lautatmosfer yang terjadi di perairan sebelah timur Samudera Hindia sedikit kompleks karena di satu sisi terdapat anomali positif SPL dimana kemungkinan terjadi evaporasi yang besar, sedangkan nilai anomali Q S +Q L memiliki anomali positif yang berarti lebih banyak bahang yang tersimpan di laut dan kecil sekali komponen Q L yang lepaskan ke atmosfer, sementara itu nilai P E hampir seluruhnya bernilai negatif dimana seharusnya di atas perairan ini terjadi proses evaporasi yang besar. Oleh karena itu, dugaan terbesar adalah sumber massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi sebenarnya berasal dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, meskipun terdapat anomali postif P E dimana kandungan air dari proses presipitasi lebih besar daripada dari proses evaporasi. Massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi di lapisan tengah troposfer dari perairan ini (Gambar 76d) meskipun dengan kecepatan yang rendah terbawa oleh anomali Sirkulasi Walker di atas perairan ini dimana dominan terjadi anomali angin timuran (Gambar 76a), sehingga terdorong ke arah barat sampai di tengah ekuatorial Indonesia di lapisan bawah troposfer. Sebagian kandungan uap air di dalam massa udara ini mengalami proses kondensasi karena terdapat anomali negatif SPL (Gambar 77a) dan di atasnya terdapat anomali suhu udara

136 234 yang rendah dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya (Gambar 76c). Oleh karena itu, di atas perairan ini terdapat nilai anomali positif P E (Gambar 78a) dengan kemungkinan terjadinya hujan di atasnya (Lampiran 5). Sisa kandungan uap air di dalam massa udara tersebut kemudian terdorong lagi oleh anomali angin timuran ke arah tengah lapisan troposfer sampai di sekitar 100 BT di atas perairan barat Sumatera (Gambar 76a dan b). Sampai di atas perairan ini, meskipun memiliki kandungan uap air yang tinggi tetapi tidak terjadi proses kondensasi dan presipitasi karena terdapat anomali positif suhu udara tinggi (Gambar 76c) yang tidak memungkinkan terjadi pendinginan massa udara yang membawa kandungan uap air. Angin Muson Tenggara di BBS dan Angin Muson Barat Daya di BBU (Gambar 75a) kemudian mendorong ke arah timur laut membawa massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ke lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah utara Teluk Bengal dan utara Laut Cina Selatan. Suhu udara di lapisan atas troposfer di atas perairan ini jauh lebih rendah daripada suhu udara di sekitar ekuatorial, sehingga memungkinkan terjadinya proses kondensasi dan presipitasi, oleh karena itu di atas perairan ini terdapat anomali positif P E (Gambar 78b). Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase positif Mode ke-4 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Pada Mode ke-4 EOF ini, seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa pola anomali SPL dari hasil dekomposisi spasial terdapat osilasi membentuk tiga kutub sehingga diberi nama fase Tripole Mode perairan Asia Tenggara atau disebut fase TMAT. Jika terdapat anomali positif (negatif) di perairan dalam Indonesia dan diikuti dengan anomali negatif (positif) di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik maka di Samudera Hindia terjadi periode transisi DM dari DM negatif (positif) ke DM positif (negatif) dengan puncak DMI positif (negatif) terjadi 3.9 bulan kemudian dan di Samudera Pasifik sedang berlangsung La Nina (El Nino) TP tipe tersebar selama 3.9 bulan dari puncak SOI positif (negatif). Pada fase TMAT positif atau fase positif Mode ke-4 EOF, siklus tahunan Muson sudah sangat melemah hanya

137 235 menempati energi kedua terbesar dari hasil analisis densitas spektral koefisien ekspansi pada Mode ke-4 EOF, sedangkan energi terbesar pertama ditempati oleh siklus antar tahunan dengan periode 63.9 bulanan (5.3 tahunan). Siklus ini berkaitan erat dengan terbentuknya dinamika yang terjadi di perairan ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik. Pola osilasi TMAT fase positif terbentuk dari sisa selisih bahang antara fase positif dan negatif pada Mode ke-2 EOF dari aktifitas siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 tahunan setelah terjadi ulangan siklus sebanyak tiga kali. Jika siklus ini dihitung maka akan didapati siklus dengan periode 63.9 bulanan yaitu dihitung dengan cara tiga kali siklus TBO sebesar tiga dikalikan dengan 18.2 bulan menjadi 54.6 bulan dan ditambahkan dengan tiga kali terjadinya keterlambatan awal kedatangan Muson di dalam siklus TBO sebesar tiga dikalikan dengan 3.1 bulan pergeseran fase Muson sebesar 9.3 bulan sehingga total menjadi 63.9 bulan siklus antara tahunan, sehingga terbentuk pola osilasi anomali SPL seperti pada TMAT fase positif. Gambar 79 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-4 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Proses terbentuknya fase positif TMAT cukup kompleks dan secara sederhana skematika interaksi darat-laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-4 EOF disajikan pada Gambar 79. Pada fase positif Mode ke-2 EOF, sisa selisih

138 236 bahang di laut yang masih tersimpan di perairan dalam Indonesia setelah tiga kali pelepasan bahang ke atmosfer dari aktifitas siklus dua tahunan TBO, dilepaskan hampir keseluruhan bahang yang terkandung di perairan dalam Indonesia, sehingga di perairan ini terdapat suhu yang lebih dingin dibandingkan dengan perairan di sebelah timur Samudera Hindia dan di sebelah barat Samudera Pasifik. Kondisi ini diketahui dari hasil analisis densitas spektral koefisien ekspansi EOF pada Mode ke-4 dimana sudah tidak ditemukannya lagi siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 bulanan. Kemungkinan siklus TBO telah bergeser digantikan dengan siklus 16 bulanan dengan energi densitas spektral ketiga terbesar. Tidak ditemukannya siklus dua tahunan karena sebelumnya bahang di laut telah dilepas semua ke atmosfer dan belum aktifnya lagi siklus ini untuk menyimpan bahang di permukaan dan kolom perairan sehingga perairan ini menjadi lebih dingin. Puncak terjadinya periode ini bersamaan dengan siklus dua tahunan pada fase positif Mode ke-2 EOF ketika kandungan bahang di laut telah mencapai kondisi yang maksimum dan harus dilepaskan ke atmosfer dalam jumlah besar sehingga perairan ini menjadi lebih dingin. Pada Mode ke-4 fase positif ini, ketika matahari tepat berada di atas ekuatorial dua bulan sebelumnya yaitu pada bulan Maret, terjadi pemanasan yang intensif di atas perairan dalam Indonesia, perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Intensitas pemanasan matahari yang tinggi di atas perairan dalam Indonesia menyebabkan suhu udara menjadi lebih tinggi, sedangkan di permukaan dan di kolom perairan ini sedang terjadi anomali suhu dingin yang ekstrim. Oleh karena itu, profil vertikal suhu udara di atas perairan dalam Indonesia lebih tinggi di lapisan atas troposfer kemudian menurun sampai ke lapisan bawah troposfer di atas permukaan laut. Kondisi ini menyebabkan tidak memungkinkan terjadinya gerakan vertikal massa udara ke atas melalui proses pendinginan adiabatik. Selain itu, pada bulan Maret kondisi angin relatif tenang karena merupakan periode transisi dari Angin Muson Barat Laut ke Angin Muson Tenggara, sehingga massa udara dengan suhu yang tinggi cenderung tidak terbawa ke arah BBU atau ke arah BBS.

139 237 Sementara itu, di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, memiliki SPL yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan SPL di perairan dalam Indonesia. Meskipun SPL di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik lebih tinggi dibandingkan dengan SPL di perairan sebelah barat Sumatera, tetapi suhu udara di atas perairan barat Sumatera lebih tinggi daripada suhu udara di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Kondisi ini terjadi karena proses pelepasan bahang ke atmosfer melalui proses penguapan pada fase positif Mode ke-2 EOF di perairan barat Sumatera telah hampir habis, sedangkan pelepasan bahang ke atmosfer melalui proses penguapan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik masih terus berlangsung. Kondisi inilah yang menyebabkan curah hujan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan pantai barat Sumatera dibawah normal, sedangkan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan pantai utara Papua masih memiliki curah hujan diatas normal. Suhu udara di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia lebih tinggi daripada suhu udara di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan suhu udara di atas perairan dalam Indonesia yang lebih rendah dari kedua perairan tersebut mengakibatkan terjadinya gradien tekanan udara dari tekanan udara tinggi di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik semakin menurun ke arah perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Gradien tekanan udara ini mengakibatkan angin dominan berhembus di lapisan bawah troposfer dari perairan dalam Indonesia ke arah barat menuju ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, sedangkan angin dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dominan berhembus ke arah barat di lapisan tengah troposfer sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Pada lapisan tengah troposfer di atas perairan dalam Indonesia terjadi pola angin yang tidak teratur meskipun secara umum dominan berhembus ke arah barat dan di beberapa tempat terjadi pola turbulensi. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan yang besar antara suhu udara dengan SPL di perairan dalam Indonesia dimana SPL memiliki suhu yang jauh lebih rendah dan di atmosfer memiliki suhu yang jauh lebih tinggi, sehingga tidak memungkinkan terjadi gerakan vertikal massa udara ke atas dan tidak ada uap air yang terlepas dari permukaan laut. Hasil

140 238 interaksi dinamika darat-l;aut-atmosfer di perairan dalam Indonesia ini, mengakibatkan terbentuknya sel sirkulasi atmosfer baru di atas perairan dalam Indonesia. Sel sirkulasi atmosfer ini terbentuk dimulai dari angin yang berhembus di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik ke arah tengah perairan dalam Indonesia untuk mengisi kekosongan massa udara dari massa udara yang dominan berhembus ke arah barat. Setelah sampai di tengah perairan dalam Indonesia, angin mulai bergerak ke atas sampai di lapisan tengah troposfer dan terus bergerak ke arah barat. Sebelum sampai di atas Pulau Sumatera, angin ini bergerak ke atas sampai di lapisan atas troposfer. Bergeraknya angin vertikal ke atas dari tengah perairan dalam Indonesia ini disebabkan oleh depresi massa udara yang berubah-ubah, sehingga menimbulkan ketidakteraturan pola angin dan turbulensi. Oleh karena itu, angin timuran sedikit terhambat untuk tetap berhembus ke arah barat. Satu-satunya jalan adalah angin dengan massa udara yang dibawanya naik ke lapisan atas troposfer. Ketika sampai di lapisan atas troposfer angin berbelok ke arah timur menuju ke lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan sebagian turun dengan membawa massa udara yang lebih dingin dibandingkan dengan udara di atas permukaan laut dan sebagian lain terus bergerak ke arah timur dan berbalik lagi di lapisan yang lebih rendah membentuk sel sirkulasi atmosfer kecil di atas sel Sirkulasi Walker. Massa udara dingin yang turun dari lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik akan memicu terjadinya proses kondensasi dari massa udara dengan kandungan uap air tinggi yang dibawa oleh Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada periode waktu sebelumnya, sehingga di atas perairan ini tetap mengalami curah hujan di atas normal. Sel sirkulasi atmosfer baru di atas perairan dalam Indonesia, lambat laun akan melemahkan sel Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Kekuatan sirkulasi atmosfer di atas perairan dalam Indonesia tidak menguat dan cenderung konstan, sehingga pembalikan arah sel Sirkulasi Walker terjadi dengan lambat. Pembalikan arah sel Sirkulasi Walker akan terjadi ketika tinggi muka laut di perairan ini mulai menurun akibat tekanan angin

141 239 dengan udara dingin yang berasal dari lapisan atas troposfer. Penurunan tinggi muka laut ini menyebabkan terjadinya pergeseran massa air hangat sedikit ke arah timur. Pergeseran pusat massa air hangat ke arah timur ini menyebabkan bergesernya pula zona konvergen dengan tekanan rendah dimana masukan massa udara dingin dengan tekanan tinggi dari lapisan atas troposfer di sebelah baratnya massa air hangat ini masih terus berlangsung, sehingga massa air hangat ini akan terus bergeser sampai ke tengah ekuatorial Samudera Pasifik karena terbentuknya anomali angin baratan. Perpindahan massa air hangat ini terhenti di tengah ekuatorial samudera Pasifk karena kekuatan angin baratan dan amplitudo dari upwelling Gelombang Kelvin tidak cukup kuat untuk mendorong massa air hangat ini sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Selain itu, Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut dari mulai sebelah timur sampai dengan tengah ekuatorial Samudera Pasifik masih aktif dan cukup kuat untuk menahan pergerakan massa air hangat ke arah timur oleh dorongan anomali angin baratan, sehingga massa air hangat ini terhenti di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Massa air hangat yang berasal dari perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebagian bergerak ke arah BBU melalui mekanisme Ekman transport, sehingga pola sebaran anomali positif SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik lebih banyak menyebar ke arah BBU dan BBS. Terkumpulnya massa air hangat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik ini akan menyebabkan perairan ini menjadi zona konvergen dengan tingkat pembentukan awan konveksi yang besar, sehingga di perairan ini terjadi anomali curah hujan di atas normal. Mekanisme kembalinya massa air hangat ke arah barat sampai ke perairan timur Indonesia, terjadi apabila SPL di perairan dalam Indonesia mulai meningkat melalui proses pengisian bahang pada fase negatif Mode ke-2 dengan siklus dua tahunan. Jika SPL di perairan dalam Indonesia meningkat akan mengakibatkan terjadinya zona tekanan rendah dengan suhu udara yang tinggi, sehingga angin baratan mulai menghilang dan Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut sudah cukup kuat untuk mendorong massa air hangat sampai ke perairan timur Indonesia diiringi dengan downwelling Gelombang Kelvin dan upwelling Gelombang Rossby di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Dinamika proses

142 240 interaksi laut-atmosfer di ekuatorial Samudera Pasifik pada fase positif Mode ke-4 EOF ini disebut fase El Nino TP tipe tersebar bersamaan dengan terjadinya TMAT fase positif di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya. Seiring dengan proses dinamika yang terjadi di Samudera Pasifik, interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia juga berlangsung. Angin baratan yang terbentuk dari perairan dalam Indonesia, berhembus sampai di atas perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera kemudian berinteraksi dengan angin turbulen di lapisan tengah troposfer dan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, sehingga memperkuat sel Sirkulasi Walker yang bergerak ke atas. Massa udara di atas perairan barat Sumatera dengan kandungan uap air yang tinggi dari sumbernya di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan masukan massa udara dengan sebagian kecil uap air yang berasal dari perairan dalam Indonesia, naik ke lapisan tengah troposfer bersamaan dengan Sirkulasi Walker. Massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ini tidak terjadi proses kondensasi karena suhu udara lingkungannya cukup tinggi. Massa udara pada lapisan tengah troposfer akan terdorong ke arah utara oleh Angin Muson Tenggara di BBS dan Angin Muson Barat Daya di BBU yang telah mencapai puncaknya pada bulan Juni meskipun pada fase positif Mode ke-4 EOF ini kekuatannya telah berkurang. Massa udara ini akan mengalami proses kondensasi di atas perairan Teluk Bengal dan sebelah utara perairan Laut Cina Selatan, sehingga di atas perairan ini mengalami anomali curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu, massa udara yang naik bersamaan dengan Sirkulasi Walker di lapisan atas troposfer menjadi massa udara kering dengan suhu udara panas di sekitarnya. Massa udara ini akan terus terdorong oleh Sirkulasi Walker ke arah barat dan di sepanjang perjalanannya akan mengalami penurunan suhu. Ketika sampai di lapisan atas troposfer di atas perairan ekuatorial Samudera Hindia di sekitar 75 BT, massa udara kering ini akan turun sampai di lapisan bawah troposfer karena SPL dan udara di atasnya memiliki suhu yang lebih tinggi dengan tekanan udara yang lebih rendah dibandingkan dengan massa udara di lapisan atas troposfer dengan suhu yang lebih rendah dan tekanan udara yang lebih tinggi. Kondisi ini mengakibatkan sel Sirkulasi Walker terbelah menjadi dua

143 241 dimana pada saat sampai di atas permukaan laut, sebagian terbentuk angin ke arah timur dan sebagian ke arah barat, sehingga perairan ini menjadi zona divergen. Angin yang berhembus ke arah timur memperlihatkan bahwa pada fase positif Mode ke-4 EOF ini, di perairan ekuatorial Samudera Hindia DM masih pada fase DM negatif, sedangkan angin yang berhembus ke arah barat memperlihatkan fase ini mulai memasuki periode DM positif. Fase puncak DM positif akan terjadi pada saat sel Sirkulasi Walker yang terbelah di sebelah timur mulai mengecil dan akhirnya menghilang digantikan dengan melebarnya sel Sirkulasi Walker di sebelah barat ke arah timur sampai ke perairan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Perubahan Sirkulasi Walker ini diikuti dengan meningkatnya SPL di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dan menurunnya SPL di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera. Massa air hangat yang berada di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia mengharuskan kembali ke posisi normalnya di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera. Mekanisme proses dinamika laut-atmosfer kembalinya massa air hangat ke arah timur sampai di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera mengikuti salah satu dari teori delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988), recharge oscillator (Jin, 1997), western Pacific oscillator (Weisberg dan Wang, 1997), advective-reflective oscillator (Picaut et al., 1997) atau unified oscillator (Picaut et al., 2002) Dinamika Laut-Atmosfer Fase Negatif Puncak fase negatif Mode ke-4 EOF terjadi pada bulan November diikuti dengan terjadinya pola osilasi SPL fase negatif TMAT dimana jika terdapat anomali SPL positif di perairan dalam Indonesia dan diiringi dengan anomali negatif SPL di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik maka di ekuatorial Samudera Hindia sedang terjadi periode transisi DM dari DM positif ke DM negatif dengan puncak DMI negatif terjadi 3.9 bulan kemudian, sedangkan di Samudera Pasifik telah terjadi La Nina TP tipe tersebar selama 3.9 dari puncak SOI positif. Berbeda halnya pada Mode ke-1, ke-2 dan ke-3 dimana variabilitas laut-atmosfer antara fase positif dan negatif cenderung merupakan fase kebalikannya, sedangkan pada Mode ke-4

144 242 variabilitas laut-atmosfer antara fase positif dan negatif terdapat perbedaan yang cukup besar. Pola anomali angin permukaan laut pada fase negatif Mode ke-4 EOF tidak sama persis dengan kebalikan dari fase positifnya. Pada fase positif anomali angin permukaan laut yang kuat terdapat di sekitar perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan utara Australia sampai Laut Banda (Gambar 75a). Pada fase negatif, anomali angin permukaan laut dengan kecepatan yang besar terdapat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomali kecepatannya mencapai 2.3 m/s dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia mencapai 1.2 m/s (Gambar 80a). Anomali kecepatan angin permukaan laut di perairan lainnya sangat kecil, tidak lebih dari 1.0 m/s. Pola arah angin yang hampir antara fase negatif dan positif dengan arah yang berkebalikan terdapat di perairan sebelah timur Samudera Hindia, Laut Cina Selatan dan perairan dalam Indonesia, sedangkan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik tidak memperlihatkan pembalikan arah angin yang simetris. Kondisi ini terjadi karena puncak fase positif terjadi pada Juni ketika posisi semu matahari di BBU tepat berada pada jarak terjauh dari ekuatorial, sedangkan pada fase negatif posisi semu matahari di BBS berada pada satu bulan sebelum jarak terjauh dari ekuatorial. Oleh karena itu, peranan Muson pada Mode ke-4 EOF meskipun pada fase positif maupun negatif sama-sama lemah, tetapi pada fase positif Muson lebih berperan daripada fase negatif. Kondisi ini mengakibatkan pada fase negatif, sirkulasi angin arah zonal lebih berperan daripada arah meridional. Angin permukaan laut di atas perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan sebesar 0.7 m/s terlihat masih mengikuti pola angin Muson berupa Angin Muson Timur Laut di BBU, sedangkan di sebelah barat laut Samudera Pasifik terdapat anomali angin dari arah barat daya dengan kecepatan maksimum sebesar 0.3 m/s (Gambar 80a). Angin Muson Barat Laut di BBS masih terbentuk cukup kuat dengan kecepatan mencapai 1.2 m/s di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Anomali kecepatan angin di sekitar ekuatorial sangat kecil dengan kecepatan tidak lebih dari 0.2 m/s. Pola angin permukaan laut di Laut Cina Selatan masih selaras dengan Angin Muson Timur Laut bergerak di sepanjang Selat Karimata, Laut Jawa sampai Laut Flores. Angin permukaan laut di atas

145 243 daratan baik di BBU, Asia Tenggara maupun di dataran Australia sangat tenang dengan kecepatan angin mendekati nol. Gambar 80 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase negatif Mode ke-4 EOF. Pola anomali arus permukaan laut secara umum mengikuti pola angin permukaan laut pada fase negatif Mode ke-4 EOF, meskipun hampir semua perairan memiliki anomali kecepatan arus yang sangat kecil, kecuali di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan kecepatan mencapai 0.07 m/s, perairan sebelah barat laut Teluk Bengal mencapai 0.05 m/s dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sangat kuat mencapai 0.25 m/s (Gambar 80b). Arus yang terbentuk di perairan Teluk Bengal berupa Arus Sakal Musim Dingin

146 244 India Timur dan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia terbentuk berupa Arus Sakal Ekuatorial, sedangkan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik Arus Ekuatorial Selatan berbalik arah ke arah timur di sekitar 155 BT dan Arus Balik Ekuatorial Utara berbalik arah ke arah barat dengan kecepatan yang besar melewati perairan sebelah utara Laut Maluku sampai memasuki perairan Laut Sulawesi. Ketika sampai di perairan ini, sebagian arus memasuki perairan Laut Sulu dan sebagian lagi memasuki Selat Makassar sampai melemah bertemu dengan arus timur dari Laut Jawa di sebelah selatan Selat Makassar. Anomali arus pemukaan laut ke arah barat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik menguat selain disebabkan oleh menguatnya anomali angin timuran permukaan laut (Gambar 80a) juga disebabkan oleh menguatnya Sirkulasi Walker di atasnya (Gambar 81a dan b), sedangkan terdapatnya arus permukaan laut ke arah timur di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia merupakan kondisi normal arus permukaan laut pada Muson Barat Laut di BBS dan sebaliknya terjadi pelemahan Sirkulasi Walker di atasnya. Penguatan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terlihat dengan jelas dari pola melintang angin vertikal terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU dengan kecepatan mencapai 2.2 m/s (Gambar 81a). Penguatan Sirkulasi Walker terlihat pula dari hasil analisis anomali angin zonal dimana anomali angin timuran dengan kecepatan yang besar terdapat di lapisan bawah troposfer di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sampai di lapisan tengah troposfer di atas perairan tengah Indonesia dengan anomali negatif kecepatan angin berkisar antara -0.8 sampai -2.2 m/s (Gambar 81b). Sementara itu, pelemahan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia terlihat pula dimana anomali kecepatan angin yang rendah tidak lebih dari 0.4 m/s terdapat di lapisan bawah sampai atas troposfer dengan pola yang cenderung tidak teratur (Gambar 81a). Anomali angin baratan ditemukan melemah di lapisan bawah troposfer dan angin timuran terbentuk dari lapisan bawah sampai atas troposfer dengan kisaran anomali kecepatan angin maksimum masing-masing antara 0.25 m/s dan -0.2 m/s (Gambar 81b). Penguatan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan pelemahan di atas perairan sebelah timur

147 245 ekuatorial Samudera Hindia diduga berkaitan erat dengan terdapatnya anomali positif SPL di tengah perairan Indonesia, sehingga terjadi gangguan pola sirkulasi angin di atasnya. Gambar 81 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-4 EOF.

148 246 Dugaan ini diperkuat dari hasil analisis pola sebaran melintang suhu udara terhadap ketinggian dimana ditemukan anomali positif suhu udara yang terpusat di lapisan bawah troposfer di tengah ekuatorial perairan Indonesia sebesar 0.1 C yang menyebar semakin menurun ke arah timur di lapisan tengah troposfer (Gambar 81c). Anomali positif suhu udara ini terlihat seperti dikelilingi oleh anomali negatif suhu udara dengan nilai minimumnya terpusat di lapisan bawah dan atas troposfer di ekuatorial sebelah timur Indonesia dan di lapisan atas troposfer di ekuatorial sebelah barat Indonesia sebesar Pola anomali suhu udara ini diduga terjadi karena proses umpan balik SPL dari laut ke atmosfer, sehingga di lapisan bawah troposfer di tengah ekuatorial Indonesia terdapat zona tekanan udara rendah. Zona tekanan udara rendah ini kemungkinan besar sebagai penyebab ketidakteraturan sirkulasi atmosfer di atas perairan ekuatorial Indonesia. Dugaan penguatan Sirkulasi Walker di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik disebabkan oleh anomali positif SPL di tengah perairan dalam Indonesia semakin diperkuat dari hasil analisis sebaran horizontal SPL dimana ditemukan anomali positif SPL di tengah perairan dalam Indonesia yang menyebar ke arah utara dan selatan dengan anomali SPL maksimum sebesar 0.5 C yang terdapat di perairan Laut Banda (Gambar 82a). Anomali positif SPL ini memicu terjadinya zona tekanan udara rendah di atas permukaan laut, sehingga terjadi anomali angin timuran di atas permukaan laut dengan kecepatan yang tinggi (Gambar 80a). Anomali angin timuran ini mengakibatkan sel Sirkulasi Walker di atas ekuatorial sebelah barat Samudera Pasifik ikut menguat (Gambar 81a). Sementara itu, pelemahan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia disebabkan oleh terjadinya ketidakteraturan pola sirkulasi atmosfer di atas perairan sebelah barat Asia Tenggara karena adanya anomali positif SPL di tengah Indonesia. Penguatan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik mengakibatkan massa udara dengan kandungan uap air tinggi yang berasal dari proses penguapan di atas perairan ini terdorongnya jauh ke arah barat mencapai lapisan tengah troposfer di atas perairan Selat Karimata di sekitar 110 BT dengan kelembapan udara maksimum sebesar 3.0% (Gambar 81d). Anomali positif kelembapan udara ini terjadi hampir di seluruh kolom lapisan

149 247 troposfer antara 100 BT-138 BT. Kondisi ini mengakibatkan kandungan uap air di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik menjadi berkurang, sehingga terjadi anomali negatif kelembapan udara di atasnya mencapai sebesar - 6% hampir di semua kolom lapisan troposfer antara 140 BT-160 BT. Sementara itu, di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia masih terdapat anomali negatif kelembapan udara mencapai sekitar -0.5% di semua lapisan troposfer. Anomali negatif ini disebabkan oleh massa air hangat masih berada di sekitar perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia pada periode transisi DM dari DM positif ke DM negatif. Anomali positif kelembapan udara di atas perairan tengah Indonesia pada lapisan tengah dan atas troposfer memiliki potensi yang sangat besar untuk terjadi proses kondensasi dan diikuti dengan proses presipitasi yang mengakibatkan terjadinya anomali curah hujan yang tinggi di atas perairan ini. Proses kondensasi memungkin terjadi karena meskipun tepat di atas perairannya memiliki anomali positif suhu udara, tetapi suhu udara di sekelilingnya memiliki anomali negatif. Sementara itu, di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik diduga tidak terdapat hujan karena massa udara basah telah terdorong ke tengah Indonesia dan di atas sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia diduga pula tidak terdapat curah hujan karena masih dalam periode transisi DM. Pola sebaran horizontal anomali SPL (Gambar 82a) lebih terlihat membentuk pola fase negatif TMAT seperti kebalikan dari hasil dekomposisi spasial Mode ke-4 (Gambar 70a) dibandingkan pada fase positifnya (Gambar 77a). Pada fase positif kemungkinan terdapat respon yang berbeda perata-rataan dari proses statistik untuk nilai satu kali di atas simpangan baku dari koefisien ekspansinya. Kemungkinan kondisi ini terjadi antara tahun dan dimana terdapat nilai positif koefisien ekspansi pada periode tersebut (Gambar 70b dan c). Anomali positif pada negatif Mode ke-4 terpusat di sekitar perairan Laut Banda, sebelah tenggara Samudera Hindia, perairan barat, timur dan utara Australia dan menyebar ke utara dari perairan sebelah timur Laut Cina Selatan sampai sebelah barat laut Samudera Pasifik. Anomali positif SPL ini berkisar antara 0.2 C-0.5 C. Anomali negatif SPL minimum terpusat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar -0.8 C dan menyebar sedikit ke

150 248 arah utara sebesar -0.2 C, sedangkan di perairan sebelah timur Samudera Hindia anomali negatif berada di sekitar ekuatorial sebesar -0.1 C dan di perairan sebelah utara Teluk Bengal sebesar -0.3 C. Pola anomali SPL pada fase negatif ini berpengaruh besar terhadap sirkulasi atmosfer di atasnya. Diduga pada perairan yang memiliki anomali SPL terjadi pelepasan bahang ke atmosfer untuk menyetabilkan kondisi atmosfer di atas perairannya. Gambar 82 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-4 EOF. Dugaan ini semakin diperkuat setelah melihat hasil analisis sebaran horizontal anomali kedalaman lapisan tercampur dimana anomali positif sebagian besar terpusat di perairan barat, utara dan timur Australia, perairan selatan Jawa sampai Laut Arafuru dan Laut Flores sampai Laut Banda (Gambar 82b). Anomali positif kedalaman lapisan tercampur terbesar terdapat di perairan sebelah timur Australia mencapai 20 m, sedangkan diperairan Laut Flores sampai Laut Banda sebesar 4 m. Anomali positif kedalaman lapisan tercampur ini terbentuk karena pengaruh dari angin permukaan laut dari aktifitas Angin Muson Barat Laut di

151 249 BBS meskipun dengan kekuatan yang sangat lemah pada fase negatif Mode ke-4 ini (Gambar 80a). Sebagian kecil anomali positif kedalaman lapisan tercampur tersebar di sekitar perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, sebelah barat Samudera Pasifik di sekitar 10 LU dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia di sekitar 20 LS dengan anomalinya tidak lebih dari 5 m. Kemungkinan besar di perairan inilah bahang di laut akan disimpan meskipun dalam jumlah yang kecil. Hasil dari analisis anomali SPL dan kedalaman lapisan tercampur mengarah pada dugaan bahwa fase negatif Mode ke-4 EOF ini terdapat sejumlah besar bahang yang akan dilepaskan dari laut ke atmosfer terutama di perairan sebelah barat Asia Tenggara dan perairan dalam Indonesia. Anomali Q S +Q L memperlihatkan dugaan bahwa fase negatif Mode ke-4 ini terjadi pelepasan bahang dari laut ke atmosfer dalam jumlah yang besar. Anomali negatif Q S +Q L terdapat hampir di seluruh perairan kecuali di sebelah utara Laut Cina Selatan sebesar 10 W/m 2, perairan sebelah barat Samudera Pasifik di sekitar 5 LU menyebar di 138 BT-160 BT sebesar 5-15 W/m 2 dan di perairan sebelah timur dan tenggara ekuatorial Samudera Hindia dan perairan pantai utara Australia dengan anomali positifnya tidak lebih dari 5 W/m 2 (Gambar 83a). Anomali negatif Q S +Q L dimana sebagian besar bahang di laut dilepaskan ke atamosfer sebagian besar berada di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan perairan dalam Indonesia dengan anomali negatif minimumnya mencapai -20 W/m 2. Sebagian kecil lainnya anomali negatif Q S +Q L terdapat di perairan Teluk Bengal, sebelah selatan Teluk Bengal, sebelah timur Australia, sebelah timur Papua New Guinea dan perairan sebelah timur Filipina utara dengan anomalinya tidak lebih dari -14 W/m 2. Pada fase negatif ini, sebagian besar bahang dilepaskan ke atmosfer karena anomali positif SPL telah menumpuk di tengah perairan Indonesia dan telah mencapai kondisi maksimum kemapuan laut untuk menyimpan bahang di laut. Selain itu, profil melintang suhu udara terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara terdapat anomali negatif suhu udara di lapisan troposfer yang memungkinkan untuk menerima bahang yang dilepaskan dari laut (Gambar 81c).

152 250 Gambar 83 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-4 EOF. Anomali positif Q S +Q L yang besar di perairan sebelah barat Samudera Pasifik terdapat di perairan yang memiliki anomali negatif SPL minimum (Gambar 82a), sehingga laut masih memiliki kemampuan untuk menyimpan bahang di laut. Kemungkinan mekanisme proses penyimpanannya melalui komponen Q S dan adveksi vertikal dimana sebagian kecil anomali positif kedalaman lapisan tercampur terdapat di perairan ini (Gambar 82b). Sebagian besar bahang yang dilepaskan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, di sekitar mulut Teluk Bengal dan di perairan tengah Indonesia kemungkinan dalam bentuk komponen Q L melalui proses evaporasi karena terdapat anomali positif SPL yang besar, sehingga diduga di perairan ini memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Anomali positif Q S +Q L yang cukup besar terdapat pula di perairan utara Laut Cina Selatan dimana di perairan ini memiliki anomali positif SPL dan anomali negatif kedalaman lapisan tercampur serta posisi semu matahari berada di BBS di bulan November pada puncak fase negatif ini, sehingga satu-satunya kemungkinan di perairan ini menerima bahang melalui proses adveksi horizontal.

153 251 Sumber bahang melalui proses adveksi horizontal terlihat dari hasil analisis arus permukaan laut dimana ditemukan arus baratan dari ekuatorial Samudera Pasifik yang memasuki Laut Sulawesi dan terus terdorong memasuki perairan utara Laut Cina Selatan dan berbalik arah kembali menuju ke arah selatan (Gambar 80b). Arus dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik ini merupakan Arus Ekuatorial Selatan yang berbalik arah karena menguatnya Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 81a dan b). Oleh karena itu perairan Laut Cina Selatan dengan variabilitasnya memiliki peranan penting dalam sistem dinamika bahang di laut. Dugaan sebelumnya bahwa di tengah perairan Asia Tenggara memiliki kemungkinan yang besar terdapat curah hujan yang tinggi diperkuat dari hasil analisis sebaran anomali P E. Anomali positif P E yang menunjukkan bahwa nilai presipitasi lebih besar daripada evaporasi terdapat di perairan tengah Asia Tenggara dan sebagian besar terpusat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, Laut Jawa sampai Laut Banda, perairan selatan Jawa sampai Laut Arafuru dan perairan sebelah utara dan timur Australia mencapai 1.0 mm/hari (Gambar 83b). Selain itu, anomali positif P E juga terdapat di perairan mulut Teluk Bengal sebesar 0.2 mm/hari, perairan Laut Cina Selatan dan menyebar ke perairan Filipina sampai ke arah timur memasuki perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar 0.5 mm/hari. Semua anomali negatif P E terpusat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sebesar mm/hari, perairan utara Teluk Bengal sebesar 0.35 mm/hari dan terbesar terdapat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik mencapai -1 mm/hari. Sumber uap air dari proses evaporasi sebagian besar berasal dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang terbawa oleh angin permukaan laut (Gambar 80a) dan memberikan masukan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ke lapisan atmosfer di atas perairan sebelah timur Australia, Laut Arafuru, Laut Banda, Laut Maluku, Laut Sulawesi, sebagian kecil di perairan Laut Cina Selatan dan di perairan sebelah timur Filipina sampai ke arah timur perairan Samudera Hindia di sekitar 20 LU. Perairan sebelah selatan Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Laut Flores, selain mendapatkan massa udara basah dari perairannya sendiri, juga mendapatkan masukan dari perairan utara

154 252 Laut Cina Selatan. Lapisan atmosfer di atas perairan mulut Teluk Bengal mendapatkan masukan massa udara yang berasal dari proses evaporasi di perairan sebelah utara Teluk Bengal, sedangkan anomali negatif P E di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia memberikan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ke lapisan atmofer di atas perairan sebelah tenggara Samudera Pasifik dan sebagian kecil di atas perairan selatan Jawa. Oleh karena itu, dari hasil analisis anomali P E di perairan tengah Asia Tenggara dan perairan di antara 20 LS-10 LS terdapat anomali curah hujan yang tinggi. Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase negatif Mode ke-4 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Gambar 84 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-4 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Fase negatif TMAT terjadi jika terdapat anomali positif di perairan dalam Indonesia dan diikuti dengan anomali negatif di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik maka di Samudera Hindia terjadi periode transisi DM dari DM negatif ke DM positif dengan puncak DMI positif terjadi 3.9 bulan kemudian dan di Samudera Pasifik

155 253 sedang berlangsung La Nina TP tipe tersebar selama 3.9 bulan dari puncak SOI positif. Siklus antar tahunan dengan periode 5.3 tahunan mendominasi fase negatif Mode ke-4 EOF ini dimana siklus tahunan Muson telah melemah diikuti dengan munculnya siklus dengan periode 16 bulanan. Proses terbentuknya fase negatif TMAT cukup kompleks dan secara sederhana skematika interaksi darat-lautatmosfer pada fase negatif Mode ke-4 EOF disajikan pada Gambar 84. Pada Mode ke-2 fase negatif, di perairan dalam Indonesia dimulai pengisian bahang yang berasal dari Samudera Pasifik pada kolom kedalaman laut dan dari Laut Cina Selatan pada permukaan laut. Sementara itu, di perairan Teluk Bengal dimulainya proses pelepasan bahang melalui mekanisme umpan balik lautatmosfer dan perpindahan massa air ke arah selatan. Siklus ini terjadi berulang dengan periode kurang lebih dua tahunan (18.2 bulanan) dimana pada perairan dalam Indonesia ketika bahang telah dilepaskan ke atmosfer, tidak semua kandungan bahang di laut dilepaskan ke atmosfer atau kemungkinan lainnya bahang yang telah dilepaskan ke atmosfer kembali lagi ke laut melalui mekanisme interaksi darat-laut-atmosfer (sea breeze, onshore wind dan lain-lain). Begitu pula yang terjadi di perairan Teluk Bengal dimana kandungan bahang yang dilepaskan ke atmosfer atau melalui perpindahan massa air tidak semua dilepaskan atau dipindahkan. Setelah siklus ini terjadi kurang lebih untuk yang ketiga kalinya, barulah sisa selisih kandungan bahang di laut di perairan dalam Indonesia telah mengalami kondisi yang maksimum, sehingga terdapat anomali positif SPL yang tinggi, sedangkan di perairan Teluk Bengal dimana sisa kandungan bahang di perairan ini telah mengalami kondisi minimum karena hampir semua kandungan bahang di laut telh dilepaskan ke atmosfer. Oleh karena itu, di perairan ekuatorial sebelah barat Sumatera sudah tidak menerima masukan bahang melalui mekanisme perpindahan massa air dari Teluk Bengal. Kondisi ini menciptakan pola spasial seperti pada fase negatif Mode ke-4 EOF ini dimana siklus ini terjadi setiap 63.9 bulan sekali (5.3 tahunan). Siklus tahunan (annual) juga masih ditemukan pada fase negatif Mode ke-4 EOF ini, meskipun nilai densitas spektralnya kecil dan cenderung kurang mempengaruhi sistem. Sementara itu, siklus dua tahunan sudah tidak ditemukan karena proses pengisian bahang dan pelepasan bahang sudah tidak bekerja lagi yang disebabkan oleh kandungan

156 254 bahang di dalam laut di perairan dalam Indonesia telah terisi maksimum dan proses pelepasan kandungan bahang di perairan Teluk Bengal telah selesai semua, sehingga di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia terdapat anomali negatif SPL minimum. Pada fase negatif Mode ke-4 EOF, ketika matahari tepat berada di atas ekuatorial dua bulan sebelumnya yaitu pada bulan September, kandungan bahang di kolom laut di perairan dalam Indonesia telah mencapai kondisi yang maksimum dengan SPL yang tinggi. Sementara itu, profil suhu udara di lapisan troposfer dominan lebih rendah dibandingkan dengan SPL di perairan dalam Indonesia, sehingga tidak memungkinkan terjadinya gerakan massa udara vertikal dari permukaan laut ke lapisan atmosfer di atasnya. Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya masukan massa udara dengan kandungan uap air yang berasal dari proses evaporasi di perairan dalam Indonesia, sehingga SPL di perairan ini semakin meningkat. Sementara itu di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, memiliki SPL yang lebih rendah daripada SPL di perairan dalam Indonesia. Oleh karena itu, suhu udara tinggi dan tekanan udara rendah terjadi di atas perairan dalam Indonesia dan suhu udara lebih rendah dan tekanan udara tinggi terjadi di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya gradien tekanan udara tinggi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia semakin menurun sampai di perairan dalam Indonesia dan meningkat kembali sampai di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Angin baratan berhembus lemah dari atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia karena Sirkulasi Walker telah melemah menuju perairan dalam Indonesia dan angin timuran berhembus dari atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan lebih kuat memasuki perairan dalam Indonesia seiring dengan menguatnya Sirkulasi Walker, sehingga tepat di tengah perairan dalam Indonesia menjadi zona konvergen yang kuat dan ditambah lagi dengan adanya angin vertikal dari lapisan atas troposfer ke arah permukaan laut. Angin vertikal ini disebabkan oleh adanya gradien tekanan tinggi dengan suhu udara rendah di lapisan atas troposfer dan tekanan rendah dengan suhu udara tinggi di atas permukaan laut. Oleh karena itu,

157 255 meskipun hampir mencapai puncak Angin Muson Barat Laut di BBS pada bulan November tetapi Angin Muson di BBU dan BBS di tengah Asia Tenggara melemah karena adanya zona konvergen yang kuat oleh angin dari lapisan atas troposfer ke arah permukaan laut dan dari sebelah timur dan barat ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik. Perbedaan yang besar antara suhu udara rendah di lapisan troposfer dan SPL yang tinggi di perairan dalam Indonesia serta angin baratan dari Samudera Hindia dan angin timuran dari Samudera Pasifik mengakibatkan pola sirkulasi atmosfer di atas perairan dalam Indonesia menjadi tidak beraturan dan terjadi pola turbulen akibat dari depresi tekanan udara. Kondisi ini mengakibatkan perairan dalam Indonesia dan sekitarnya menjadi daerah tekanan rendah dan zona konvergen yang kuat baik secara horizontal maupun vertikal. Akibatnya sel Sirkulasi Walker di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik menjadi lebih kuat, sehingga mengakibatkan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi terdorong masuk ke perairan dalam Indonesia di lapisan tengah troposfer. Oleh karena itu, massa udara di lapisan tengah troposfer tepat di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik menjadi kering dan lebih hangat. Angin berhembus ke atas dengan membawa massa udara kering dan hangat sampai di lapisan atas troposfer kemudian dibelokan ke arah timur, sehingga massa udara kering ini menjadi lebih dingin. Sampai di tengah ekuatorial Samudera Pasifik, angin berhembus ke arah permukaan laut karena adanya tekanan yang lebih rendah di atas permukaan laut dengan suhu udara yang lebih tinggi daripada di lapisan atas troposfer. Ketika angin sampai di atas permukaan laut, angin tersebut sebagian berhembus ke arah barat menuju ke perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan sebagian lagi berhembus ke arah timur menuju ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dengan membawa massa udara kering dan dingin. Perairan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik ini menjadi zona divergen dengan tidak adanya kandungan uap air di atasnya, sehingga mengakibatkan di atas perairan ini terjadi anomali curah hujan dibawah normal. Angin baratan dan timuran dari zona ini, selama dalam perjalannya membawa uap air yang berada di sepanjang ekuatorial dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Ketika sampai di perairan timur Indonesia, angin timuran yang

158 256 membawa uap air tersebut terdorong sampai memasuki perairan dalam Indonesia dan mengalami proses kondensasi dan presipitasi karena adanya suhu udara rendah di lapisan tengah troposfer. Oleh karena itu, pada fase negatif Mode ke-4 EOF ini, perairan dalam Indonesia mengalami anomali curah hujan yang cukup tinggi. Sementara itu, ketika angin baratan sampai di perairan barat Peru, massa udara yang membawa sejumlah uap air sepanjang perjalanannya di ekuator akan terjadi pengangkatan massa udara akibat adanya ketinggian dari topografi dan terjadi proses kondensasi dan presipitasi di lapisan troposfer, sehingga di perairan ini terjadi anomali curah hujan sedikit di atas normalnya. Dinamika proses interaksi laut-atmosfer yang terjadi di Samudera Pasifik pada fase negatif Mode ke-4 EOF ini disebut periode La Nina TP tipe tersebar. Pada periode La Nina TP tipe tersebar ini, mengharuskan periode ini kembali ke fase normalnya. Mekanisme proses dinamika kembalinya periode ini ke fase normalnya, jika SPL tinggi di perairan dalam Indonesia mulai turun karena dilepaskannya bahang dari laut dan mencapai puncaknya pada fase negatif Mode ke-2 EOF, sehingga di perairan ini terjadi zona divergen dengan tekanan udara yang mulai meningkat dan terbentuk angin baratan yang melemahkan sel Sirkulasi Walker di atas perairan barat ekuatorial Samudera Pasifik. Seiring dengan proses dinamika yang terjadi di Samudera Pasifik, interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia juga berlangsung. Pada fase negatif Mode ke-4 EOF ini, kecepatan angin di lapisan troposfer sebelah barat perairan dalam Indonesia lebih kecil daripada sisi sebelah timurnya. Kondisi ini mengakibatkan sel Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur Samudera Hindia mulai melemah dan diikuti dengan melemahnya sel sirkulasi di atas permukaan laut sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Massa air yang sedikit lebih hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dari sisa periode DM positif, mulai bergerak ke arah timur menuju perairan barat Sumatera. Periode massa air hangat di perairan ekuatorial pantai timur Benua Afrika mulai menghilang karena melemah angin Muson di sebelah selatan Benua Afrika, diikuti dengan mulai menguatnya kembali sel Sirkulasi Walker. Ketika angin yang terbentuk dari Sirkulasi Walker sampai di tengah ekuatorial Samudera Hindia, sebagian angin berhembus ke lapisan atas troposfer, kemudian berbelok lagi ke arah barat sampai

159 257 ke atas perairan pantai timur Benua Afrika. Sebagian lagi, angin terus berhembus ke arah timur menuju ke perairan pantai Barat Sumatera, kemudian naik ke lapisan atas troposfer dan berbelok ke arah barat menuju ke atas perairan pantai timur Benua Afrika. Ketika massa air hangat telah berkumpul di perairan barat Sumatera, sel Sirkulasi Walker akan menguat sampai kondisi normal dan sirkulasi di tengah ekuatorial Samudera Hindia akan menghilang. Pada puncak fase negatif Mode ke-4 EOF ini, angin yang berhembus di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dari perairan barat sampai ke perairan timur, sangat sedikit sekali membawa uap air sehingga ketika sampai di perairan barat Sumatera tidak terbentuk zona konveksi. Fase negatif Mode ke-4 EOF ini merupakan periode transisi DM dari DM positif ke DM negatif dan mencapai puncak DMI negatif setelah 3.9 bulan kemudian Variabilitas Mode ke-5 EOF Dekomposisi spasial data deret waktu SPL dari data asimilasi GFDL hasil analisis fase positif Mode ke-5 EOF dengan keragaman sebesar 2.8% memperlihatkan bahwa terdapat pola osilasi dominan antara perairan barat Sumatera, perairan timur Filipina dan perairan tenggara Papua New Guinea dengan perairan Teluk Bengal, perairan tengah ekuatorial Samudera Hindia, perairan dalam Indonesia, Laut Cina Selatan, perairan utara Australia dan perairan ekuatorial barat Samudera Pasifik. Pola osilasi pada Mode ke-5 ini sangat kompleks sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasikan keterkaitan dengan dinamika yang terjadi di Samudera Hindia dan Pasifik. Indikasi yang membantu adalah terdapatnya anomali positif di perairan sebelah barat pantai barat Sumatera dan anomali di perairan ekuatorial barat Samudera Pasifik dimana kemungkinan DM dan ENSO sedang aktif pada waktu yang bersamaan (Gambar 85a). Pola temporal data deret waktu koefisien ekspansi dari hasil analisis pada Mode ke-5 EOF terlihat bahwa pengaruh Muson sudah sangat kecil sekali sehingga sulit terdeteksi, tetapi umumnya sinyal Muson masih ada dengan amplitudo yang sangat kecil dan dengan beda fase searah atau berlawanan mendahului MSI sekitar tiga bulan sebelumnya (Gambar 85b dan c). Secara umum siklus koefisien ekspansi mengikuti pola SOI dengan fase searah terutama setelah tahun 1994 dan

160 258 DMI dengan fase berlawanan dari tahun dengan sedikit pergeseran waktu dan tahun dengan fase berlawanan tanpa ada pergeseran waktu. Puncak fase positif umumnya terjadi pada bulan Juli dan fase negatif pada bulan Oktober. Dugaan kuat bahwa sinyal koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF ini berkaitan erat dengan dinamika di Samudera Hindia dan Pasifik. Gambar 85 Pola spasial Mode ke-5 (keragaman terbesar kelima dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 2.8% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan skala koefisien ekspansi.

161 259 Hasil analisis spektral densitas koefisien ekspansi memperkuat dugaan bahwa terdapat indikasi keterkaitan sinyal ini dengan DM dan ENSO dengan ditemukannya siklus dengan periode 42.6 bulanan (3.6 tahunan) dengan energi sebesar 2800 (satuan) 2 /siklus per bulan yang merupakan bagian dari siklus antar tahunan dari DM dan ENSO (Gambar 86). Selain itu, ditemukan pula siklus dua tahunan pada periode 19.7 bulanan dengan energi yang sangat kecil sebesar 600 (satuan) 2 /siklus per bulan dimana siklus ini pada Mode ke-2 sampai ke-4 EOF sudah tidak terdeteksi lagi. Siklus ini diduga sudah aktif kembali pada Mode ke-5 yang memperlihatkan dimulainya ketidakseimbangan bahang di darat-lautatmosfer di Asia Tenggara yang mulai disimpan di laut dan akan dilepaskan atau didistribusikan pada Mode ke-1 dan seterusnya. Gambar 86 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/ke (tanpa satuan) dari tahun pada Mode ke-5 (keragaman terbesar kelima dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman sebesar 2.8%. Hasil analisis CWT memperkuat dugaan bahwa sinyal siklus koefisien ekspansi Mode ke-5 sudah tidak dipengaruhi oleh Muson dimana sepanjang tahun pada periode satu tahunan sudah sangat berfluktuasi pada selang kepercayaan 95% (Gambar 87a). Energi yang kuat justru terjadi pada periode 3.6 tahunan antara tahun dengan energi mencapai 32 (energi) yang diduga merupakan hasil kontribusi sinyal dari DM dan ENSO. Hasil analisis korelasi antara koefisien ekspansi dan MSI dengan menggunakan metode XWT

162 260 memperkuat bahwa pengaruh Muson sudah mulai menghilang, meskipun masih ditemukan siklus didalam selang kepercayaan 95% pada periode satu tahunan, tetapi dengan energi yang kecil hanya sebesar 8 (energi) dengan beda fase sekitar tiga bulan mendahului MSI pada fase searah atau berlawanan (Gambar 87b). Gambar 87 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-5 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 27. Hasil analisis XWT antara koefisien ekspansi dan DMI memperkuat dugaan sebelumnya bahwa sinyal dengan siklus pada periode 3.6 tahunan merupakan kontribusi dari sinyal DM di Samudera Hindia dimana siklus dengan energi yang sangat kuat ditemukan pada periode 3.6 tahunan antara tahun dengan energi sebesar 32 (energi) dengan fase berlawanan tanpa beda waktu (Gambar

163 261 87c). Dugaan tersebut semakin besar dengan melihat hasil analisis komposit ratarata anomali SPL pada saat koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF sebesar satu kali diatas simpangan baku positif atau untuk selanjutnya disebut fase positif Mode ke-5 EOF (Gambar 88a) dan fase negatif sebesar satu kali dibawah simpangan baku negatif (Gambar 88b) dengan nilai simpangan bakunya sebesar 8.4 (tanpa satuan), nilai minimumnya sebesar dan nilai maksimumnya sebesar 19.2, menunjukkan bahwa pada fase positif di Samudera Hindia terlihat seperti periode DM negatif dan fase negatif seperti DM positif. Gambar 88 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali SPL ( C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku negatifnya (b). Pada fase positif Mode ke-5 EOF terlihat terdapat dua kutub (dipole) dengan anomali positif SPL berada di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar 0.4 C menyebar dari perairan barat pantai barat Sumatera sampai ke perairan selatan Jawa dan anomali negatif SPL berada di sebelah barat Samudera Hindia sebesar -0.4 C menyebar merata dari ekuator sampai ke perairan sebelah barat

164 262 daya Samudera Hindia (Gambar 88a). Pada fase negatif kondisi sebaliknya terjadi dimana anomali negatif SPLsebesar -8.0 C terpusat di perairan sebelah barat daya pantai barat Sumatera yang menyebar dari perairan sebelah barat pantai barat Australia, selatan Jawa, Teluk Bengal dan di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dari tengah sampai perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan anomali positif SPL sebesar 0.6 C terpusat di perairan sebelah barat ekuatorial menyebar ke arah tenggara perairan Samudera Hindia (Gambar 88b). Pola anomali SPL fase negatif ini sama seperti pola dua kutub yang ditemukan oleh Saji et al. (1999) pada puncak fase kejadian dua kutub (Dipole Mode Event/DME) yang terjadi pada Oktober 1997 (Gambar 2c) dan pada saat yang bersamaan ditemukan pula fenomena yang sama oleh Webster et al. (1999) dengan puncak fase yang terjadi pada November 1997 (Gambar 4c). Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) memiliki pendapat yang sama bahwa proses terbentuknya DME atau DM positif hasil dari interaksi laut-atmosfer dimana mekanisme proses di laut merupakan proses umpan balik dari atmosfer yang tercermin dari anomali positif kedalaman lapisan termoklin di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia. Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia pada 5 LS-5 LU dimana pola anomali SPL antara perairan sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 89b) tidak selaras dengan umpan balik atmosfer dari anomali angin zonal (Gambar 89a) yang tercermin dari anomali lapisan kedalaman lapisan tercampur (Gambar 89c). Perbedaan ini terjadi karena posisi pola melintang rata-rata anomali yang digunakan tepat berada di ekuator yaitu pada 5 LS-5 LU, sedangkan awal terbentuknya fase DM positif berada di BBS yaitu di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Kemungkinan besar awal kejadian DM berkaitan erat dengan Osilasi Selatan (Southern Oscillation) di Samudera Hindia atau menurut Terray et al. (2007) bahwa DM positif terjadi karena adanya anomali angin timuran yang dipicu oleh pengaruh getaran tinggi Mascarene (Pulse of Mascarene High) dari Pulau Madagaskar di sebelah timur Benua Afrika Selatan yang kemungkinan berasosiasi dengan Osilasi Selatan. Getaran tinggi Mascarene ini, diduga pula dipicu oleh anomali SPL di sekitar Arus Agulhas dari

165 263 sistem Western Boundary Current di perairan barat daya Samudera Hindia sekitar Pulau Madagaskar yang ditemukan oleh Walker (1990). Anomali SPL ini menurut Reason et al. (2000) dan Behera et al. (2000) terjadi karena pengaruh dari ENSO dan menurut Xie et al. (2002) dan Schouten et al. (2002) dipengaruhi oleh dinamika Gelombang Rossby dari arah timur di bawah permukaan laut. Pada penelitian ini cenderung berpendapat bahwa anomali SPL di perairan tenggara Samudera Hindia terjadi karena hasil interaksi antara anomali SPL yang terjadi di sekitar Pulau Madagaskar yang mengakibatkan terjadinya getaran tinggi Mascarene dimana getaran tinggi Mascarene ini membangkitkan Osilasi Selatan di BBS yang mengakibatkan anomali SPL di perairan tenggara Samudera Hindia. Anomali angin terjadi di perairan ini dari hasil interaksi dinamika atmosfer di perairan sebelah barat pantai barat Sumatera dan di perairan Teluk Bengal. DM positif terjadi jika aktifitas Muson di bulan September-Oktober melemah dan DM negatif terjadi jika aktifitas Muson di bulan Juni-Juli melemah. Mekanisme proses adveksi horizontal di laut pada fase positif maupun negatif lebih berperan daripada adveksi vertikal. Proses dinamika fase DM positif maupun negatif dominan terjadi antara ekuatorial sampai daerah subtropis di BBS Samudera Hindia. Hasil analisis komposit rata-rata anomali SPL pada saat koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF sebesar satu kali diatas simpangan baku positif atau fase positif Mode ke-5 EOF (Gambar 88a) dimana pada saat yang bersamaan di Samudera Hindia terjadi DM negatif dengan anomali positif SPL berada di sebelah timur Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdapat pula anomali positif SPL. Pada fase positif Mode ke-5 EOF, hasil analisis komposit rata-rata anomali SPL di perairan dalam Indonesia dan Teluk Bengal tidak terlihat terjadi anomali negatif SPL, padahal hasil dari dekomposisi spasial Mode ke-5 EOF terdapat anomali negatif. Hal ini terjadi karena terdapat bias dari perata-rataan hasil analisis komposit. Oleh karena itu, untuk melakukan interpretasi hasil analisis komposit tetap harus mempertimbangkan hasil dari dekomposisi spasial EOF karena hasil analisis EOF lebih tepat mencerminkan pola osilasi spasial daripada hasil analisis komposit rata-rata anomali.

166 264 Pada fase positif Mode ke-5 EOF terdapat anomali positif SPL di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik diduga berkaitan erat dengan periode terjadinya La Nina. Dugaan ini diperkuat dari hasil analisis XWT antara koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF dan SOI dimana ditemukan siklus dengan energi yang kuat pada periode 3.6 tahunan sebesar 16 (energi) antara tahun dengan fase searah (Gambar 87d). Sementara itu, hasil analisis XWT antara koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF dan DMI memiliki energi yang lebih besar daripada korelasi dengan SOI yaitu sebesar 32 (energi) dua kalinya dari korelasi dengan SOI (Gambar 87c). Hal ini menunjukkan bahwa sinyal siklus dekomposisi temporal dan spasial pada Mode ke-5 EOF lebih dominan berpengaruh terhadap dinamika DM di Samudera Hindia daripada dinamika ENSO di Samudera Pasifik. Hasil analisis sebelumnya dari spektral densitas koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF diperoleh pula siklus pada periode 3.6 tahunan dengan energi dominan pertama terbesar (Gambar 86) dan hasil analisis dari CWT koefisien ekspansi juga ditemukan siklus dengan periode 3.6 tahunan dengan energi yang sangat besar mencapai 32 (energi) dua kalinya dari energi pada Mode ke-3 dan ke-4 Gambar 87a). Oleh karena itu, pada Mode ke-5 EOF dapat dipastikan bahwa terdapat keterkaitan sinyal koefisien ekspansi dengan dinamika ENSO di Samudera Pasifik. Pada fase positif pola sebaran anomalis SPL memperlihatkan periode La Nina (Gambar 88a) dan pada fase negatif memperlihatkan periode El Nino (Gambar 88b). Pada fase positif (Gambar 88a), anomali positif SPL berada di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan menyebar ke arah timur laut dan tenggara dengan nilai berkisar antara C. Pola anomali SPL ini terlihat seperti fase negatif dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yu dan Kim (2010) yang terjadi pada tahun (Gambar 17g) dan dikelompokkan masuk kedalam grup-1 yang disebut prolonged-decaying pattern (pola CP ENSO yang berlangsung lama). Anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik berlangsung lama dan setelah mencapai puncaknya akan diikuti dengan fase ENSO konvensional. Perubahan dari fase CP ENSO ke ENSO konvensional mengikuti mekanisme proses recharge-discharge oscillator (Jin, 1997) dimana kedalaman lapisan termoklin berperan besar dalam proses thermocline feedback

167 265 sampai pada puncaknya ENSO (Yu dan Kim, 2010). CP ENSO grup-1 ini memiliki dampak yang besar terhadap anomali iklim di sebelah barat laut Samudera Pasifik. Anomali negatif SPL terpusat di sekitar 165 BB sebesar -1.0 C dan menyebar dari perairan sebelah barat sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik dan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada sisi utara dan selatannya terdapat anomali positif SPL dengan nilai yang kecil. Pada fase positif Mode ke-5 EOF yang merupakan periode La Nina, memiliki pola sebaran anomali positif SPL yang sangat berbeda dengan periode La Nina pada fase positif Mode ke-3 EOF (Gambar 58a) dan periode La Nina Modoki pada fase negatif Mode ke-4 EOF (Gambar 73b) dimana keduanya memiliki anomali positif SPL yang besar dominan berada di sebelah barat daya Samudera Pasifik, sedangkan pada fase positif Mode ke-5 EOF anomali positif SPL dominan terjadi di perairan sebelah barat laut ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 88a). Oleh karena itu, dampak yang ditimbulkan oleh periode La Nina antara fase positif Mode ke-3 EOF, fase negatif Mode ke-4 EOF dan fase positif Mode ke-5 EOF masing-masing memiliki pengaruh yang berbeda terhadap variabilitas iklim di sebelah barat laut dan barat daya Samudera Pasifik. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga tipe La Nina pada Mode ke-3, ke-4 dan ke-5 EOF merupakan suatu fenomena tersendiri yang berbeda satu sama lain dimana La Nina pada Mode ke-3 EOF adalah La Nina konvensional. Pola sebaran anomali SPL pada fase positif Mode ke-5 EOF adalah merupakan periode La Nina yang diperkuat dari hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada 5 LS-5 LU untuk mengetahui proses dinamika interaksi antara laut-atmofer dimana terlihat bahwa terdapat anomali angin timuran yang puncaknya berada disekitar dateline sebesar m/s (Gambar 89a) mendorong massa air hangat sampai ke perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomali positif SPL sebesar 0.2 C (Gambar 89b) dan mengakibatkan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur dengan anomali positifnya sebesar 6.0 m (Gambar 89c). Sementara itu di tengah perairan ekuatorial Samudera Pasifik di sekitar 165 BB, anomali negatif SPL turun mencapai -1.0 C (Gambar 89b) dengan anomali kedalaman lapisan tercampur sebesar 1.0 m (Gambar 89c), sedangkan di

168 266 sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik, anomali angin baratan terlihat menguat dengan kecepatan sebesar 0.10 m/s (Gambar 89a), sehingga mengakibatkan peningkatan anomali negatif SPL menjadi sebesar -0.4 C (Gambar 89b) dan anomali kedalaman lapisan tercampur menjadi lebih dangkal sebesar -3.0 m (Gambar 89c). Hasil dari analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter pada 5 LS-5 LU pada fase positif Mode ke-5 EOF memperkuat bahwa fase ini merupakan periode La Nina CP ENSO dimana dinamika proses yang terjadi melibatkan interaksi laut-atmosfer dan dinamika proses yang terjadi di kolom laut melalui mekanisme recharge-discharge oscillator (Jin, 1997) dimana kedalaman lapisan tercampur berperan besar dalam mengontrol anomali SPL. Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut dan anomali fluks bahang melalui evaporasi, sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter dan proses umpan balik interaksi lautatmosfer pada Mode ke-5 EOF. Pola sebaran anomali SPL pada fase negatif Mode ke-5 EOF di Samudera Pasifik memperlihatkan anomali positif SPL terpusat di sekitar 165 BB sebesar 1.0 C menyebar sedikit ke barat dan ke arah timur sampai di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 88b). Anomali negatif SPL sebesar C berada di sisi utara dan selatan perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, terdapat anomali negatif SPL yang dominan menyebar di BBU ke arah timur laut dan sebagian menyebar ke arah tenggara dengan kisaran anomali negatif SPL sebesar -0.1 C sampai -0.8 C. Kondisi asimetris arah meridional terjadi antara BBU dan BBS, begitu pula pada fase negatif Mode ke-5 EOF dimana dominan anomali SPL berada di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik. Pola sebaran anomali SPL ini merupakan periode El Nino yang diperkuat dari hasil analisis sebelumnya dengan menggunakan metode spektral densitas koefisien ekspansi dimana ditemukan siklus dengan periode 3.6 tahunan (Gambar 86), hasil analisis CWT koefisien ekspansi dimana ditemukan pula siklus dengan periode 3.6 tahunan antara tahun (Gambar 87a) dan hasil analisis XWT antara koefisien

169 267 ekspansi dan SOI ditemukan pula siklus dengan periode 3.6 tahunan antara tahun dengan beda fase searah (Gambar 87d). Gambar 89 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik pada 5 LS-5 LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL ( C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari

170 268 Hasil analisis pola sebaran anomali SPL pada fase negatif Mode ke-5 EOF di Samudera Pasifik selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashok et al. (2007) dimana setelah anomali SPL dikompositkan pada puncak EMI positif pada bulan Desember-Januari-Februari didapat pola sebaran anomali SPL yang sama dengan fase negatif Mode ke-5 EOF (Gambar 8b). Ashok et al. (2007) memberi nama periode ini dengan sebutan El Nino Modoki dimana proses terbentuknya El Nino Modoki melibatkan interaksi laut-atmosfer dan pada kolom kedalaman laut di tengah ekuatorial Samudera Pasifik terjadi downwelling Gelombang Kelvin dan upwelling Gelombang Rossby. Pola sebaran anomali SPL fase negatif dari hasil penelitian ini juga memliki kesamaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harrison dan Chiodi (2009) dimana pola anomali SPL yang terbentuk diberi nama Tipe C hasil dari komposit pada periode kejadian angin baratan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi antara tahun (Gambar 14d). Penyebab terjadinya El Nino Tipe C menurut Harrison dan Chiodi (2009) adalah menguatnya angin timuran di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada beberapa dekade terakhir. Yu et al. (2010) sebelumnya menemukan pula pola anomali SPL yang sama dengan fase negatif Mode ke-5 hasil penelitian ini dimana setelah anomali SPL dikorelasikan dengan rata-rata anomali SPL pada petak yang berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik terbentuk pola yang sama dengan fase negatif Mode ke-5 EOF dari hasil penelitian ini (Gambar 16h). Pola sebaran anomali SPL ini oleh Yu et al. (2010) diberi nama EL Nino Tipe-2 dimana proses terjadinya merupakan hasil interaksi lokal laut-atmosfer dan penyebaran SPL melalui mekanisme adveksi SPL zonal ke arah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik yang memiliki keterkaitan yang erat dengan anomali SPL di BBU. Tipe El Nino grup-1 yang diberi nama oleh Yu dan Kim (2010) juga memiliki pola sebaran anomali SPL yang sama dengan fase negatif Mode ke-5 EOF dari hasil penelitian ini dimana proses terbentuknya dikelompokkan sebagai tipe prolonged-decaying pattern (pola CP El Nino yang berlangsung lama) yang bertahan cukup lama di tengah ekuatorial dan setelah mencapai puncaknya akan diikuti dengan periode El Nino konvensional (Gambar 17g). Menurut Yu dan Kim (2010) proses peralihan tersebut mengikuti mekanisme recharge-discharge

171 269 oscillator (Jin, 1997) dimana kedalaman lapisan termoklin berperan besar dalam proses thermocline feedback sampai berkumpulnya massa air hangat di perairan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Lee dan McPhaden (2010) pada penelitian sebelumnya dengan data citra satelit terakhir SPL hasil komposit pada bulan Desember-Januari-Februari menemukan pola sebaran anomali SPL yang sama dengan fase negatif Mode ke-5 EOF pada penelitian ini dimana Lee dan McPhaden (2010) berpendapat bahwa tipe El Nino ini merupakan siklus yang terjadi secara alamiah bukan karena perubahan pola normal SPL di Samudera Pasifik (Gambar 19a). Pendapat senada diutarakan oleh Newman et al. (2011) dan Yeh et al. (2011) bahwa CP El Nino dan EP El Nino adalah merupakan fenomena dari variabilitas alamiah (natural) yang terjadi secara acak (random). Hasil analisis pola melintang komposit rata-rata anomali parameter di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada 5 LS-5 LU lebih mempertegas lagi proses interaksi laut-atmosfer dan mekanisme pergerakan kedalaman lapisan tercampur pada fase negatif Mode ke-5 EOF ini dimana anomali angin baratan maksimum berada di sekitar dateline sebesar 0.35 m/s (Gambar 89a) mendorong massa air hangat di permukaan laut sehingga anomali SPL meningkat dari sebelah barat sampai di sekitar dateline dan mencapai anomali SPL maksimum sebesar 0.8 C (Gambar 89b). Peningkatan anomali angin baratan diiringi dengan peningkatan anomali SPL akan meningkatkan anomali kedalaman lapisan tercampur melalui mekanisme recharge oscillator (Jin, 1997) sebesar 6.0 m di sekitar dateline (Gambar 89c). Anomali angin baratan mulai melemah dari dateline sampai ke sebelah timur ekuatorial, sehingga mengakibatkan anomali SPL mulai menurun sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 0.4 C diikuti dengan menurunnya anomali kedalaman lapisan tercampur hingga mencapai -4.0 m. Anomali angin timuran di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sedikit menguat sehingga meningkatkan kembali anomali kedalaman lapisan tercampur menjadi sebesar 0 m di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Fase negatif Mode ke-5 EOF ini akan membentuk pola sebaran anomali positif SPL yang terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Pada Lampiran 4 dianalisis pula parameter pendukung lainnya meliputi anomali suhu udara pada ketinggian 2 m, anomali tekanan udara permukaan laut

172 270 dan anomali fluks bahang melalui evaporasi, sehingga lebih mempertegas keterkaitan antar parameter dan proses umpan balik interaksi laut-atmosfer pada Mode ke-5 EOF. Hasil dari analisis EOF pada Mode ke-5 data SPL dari data asimilasi GFDL pada cakupan lokasi penelitian di wilayah Asia Tenggara telah dapat menangkap sinyal-sinyal secara spasial dan temporal variabilitas dari parameter laut-atmosfer di Samudera Hindia dan Pasifik dimana pengaruh Muson sudah tidak berperan lagi terhadap dinamika laut-atmosfer di Asia Tenggara, Samudera Hindia dan Pasifik. Siklus dengan periode 19.7 bulanan telah aktif kembali meskipun terdeteksi dengan energi spektral densitas yang rendah menunjukkan bahwa proses penyimpanan/pelepasan bahang antara laut dan atmosfer telah berkerja kembali dimana sebelumnya pada Mode ke-2 sampai ke-4 EOF sudah tidak aktif. Pada fase positif (negatif) koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF terjadi DM negatif (positif) dan La Nina (El Nino) secara bersamaan dengan siklus pada periode 3.6 tahunan dimana puncaknya terjadi pada bulan Juli (Oktober). Dinamika DM di Samudera Hindia dominan terjadi di daerah subtropis di BBS yang kemungkinan berinteraksi dengan getaran tinggi Mascarene membentuk gradien tekanan udara dari sebelah tenggara Samudera Hindia sampai ke perairan di sekitar Teluk Bengal yang memicu terjadinya anomali angin timuran, sedangkan dinamika ENSO di Samudera Pasifik lebih kuat berinteraksi dengan fenomena yang terjadi di daerah subtropis di BBU seiring dengan pergeseran fase PDO. Proses terbentuknya DM di Samudera Hindia sangat kuat melibatkan interaksi laut-atmosfer, mekanisme proses adveksi pada arah meridional cukup kuat dan diduga kuat terdapat keterlibatkan Gelombang Kelvin dan Rosbby dalam mengatur dinamika kedalaman lapisan tercampur pada proses pembentukan DM. Proses terbentuknya ENSO di tengah ekuatorial Samudera Pasifik sangat kuat melibatkan interaksi laut-atmosfer, proses recharge-discharge oscillator (Jin, 1997) berperan dalam pembentukan pola SPL, anomali kedalaman lapisan tercampur dan diduga kuat terdapat indikasi keterlibatan Gelombang Kelvin dan Rossby yang mengatur dinamika kedalaman lapisan tercampur di tengah ekuatorial samudera Pasifik.

173 271 Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi di Asia Tenggara pada Mode ke-5 hasil analisis EOF data SPL dari data asimilasi GFDL ini untuk selanjutnya akan diberi nama fase Mode Campuran perairan Asia Tenggara (MCAT). Pola anomali SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada fase negatif seiring dengan terjadinya El Nino dengan massa air hangat yang terkumpul di sekitar dateline akan disebut El Nino TP tipe terpusat (El Nino Tengah Pasifik tipe terpusat) dan sebaliknya pada fase positif akan disebut La Nina TP tipe terpusat (La Nina Tengah Pasifik tipe terpusat). Istilah terpusat digunakan karena pada Mode ke-5 EOF ini, pola anomali SPL sebagian besar menyebar dan terpusat pada arah zonal dan hanya sebagian kecil yang menyebar ke arah meridional Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif Pada Mode ke-5 EOF memiliki nilai keragaman yang kecil sebesar 2.8% karena didominasi oleh akumulasi siklus tahunan Muson dari Mode ke-1 sampai ke-4. Meskipun memiliki keragaman yang kecil, tetapi Mode ke-5 ini menjadi penting karena ditemukannya kembali siklus antar tahunan dengan periode 42.6 bulanan (3.6 tahunan) dengan energi densitas spektral terbesar pertama yang sebelumnya terjadi pada Mode ke-3 EOF dan terbesar kedua munculnya kembali siklus dengan periode 19.7 bulanan yang sebelumnya hanya ditemukan pada Mode ke-1 EOF. Pada Mode ini pula, siklus tahunan Muson dengan energi terbesar ketiga sudah hampir hilang dan tidak mendominasi pada Mode ke-5 ini. Siklus antar tahunan 42.6 bulanan ini menandai telah habisnya siklus dengan periode 18.2 dari TBO dan dimulainya lagi akumulasi sisa selisih bahang dari aktifitas Muson yang dominan terjadi pada Mode ke-1 EOF sehingga terjadi pergeseran fase Muson yang memicu terjadinya TBO setelah terjadi dua kali siklus ulangan Muson. Pada fase positif Mode ke-5 EOF yang terjadi pada bulan Juli, telah diketahui sebelumnya bahwa di Samudera Hindia terjadi puncak fase DMI negatif dan di Samudera Pasifik terjadi puncak fase La Nina SOI negatif secara bersamaan dengan periode 3.6 tahunan. Pola anomali angin permukaan laut pada fase positif Mode ke-5 EOF, terjadi pelemahan angin di BBU, BBS dan perairan tengah Indonesia yang disebabkan oleh mulai menghilangnya peranan Angin Muson, sedangkan di atas

174 272 perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terjadi penguatan yang besar jika dibandingkan dengan melemahnya Angin Muson (Gambar 90a). Oleh karena itu, pada fase positif Mode ke-5 ini pola angin dominan terjadi hanya pada arah zonal saja. Penguatan anomali angin timuran di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik lebih besar dibandingkan dengan penguatan angin yang terjadi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Anomali angin permukaan laut di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik mencapai anomali kecepatan angin sebesar 2.5 m/s, sedangkan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia hanya mencapai sebesar 1.2 m/s. Pola arah angin permukaan laut yang masih sesuai dengan kondisi normalnya arah Angin Muson pada fase positif Mode ke-1 EOF terdapat di atas perairan Teluk Bengal dengan anomali kecepatan angin sebesar 1.4 m/s, di atas perairan Laut Cina Selatan sekitar 1.0 m/s dan di atas perairan pantai barat dan timur Australia sebesar 1.1 m/s. Pola angin yang dominan terjadi pada arah zonal berupa anomali angin baratan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan angin timuran di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik diduga akan selaras dengan pola Sirkulasi Walker di kedua Benua tersebut. Selain itu, akan berpengaruh besar terhadap sirkulasi arus permukaan laut di perairan Asia Tenggara. Selain itu, di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia terdapat sirkulasi angin siklon meskipun dengan anomali kecepatan angin hanya sebesar 0.2 m/s. Pola angin siklon ini diduga disebabkan oleh anomali positif SPL yang terpusat di bawah pusat angin siklon. Anomali positif ini menyebabkan terjadinya zona tekanan udara rendah yang memicu terjadinya angin siklon di atas permukaan laut. Pada umumnya anomali arus permukaan laut mengikuti pola anomali angin permukaan laut di atasnya. Seperti halnya dengan anomali angin permukaan laut, anomali arus permukaan laut terlihat dominan terjadi pada arah zonal terutama di perairan sekitar ekuatorial (Gambar 90b). Anomali kecepatan arus di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik jauh lebih besar daripada arus permukaan laut di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia. Pola anomali arus permukaan laut di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia pada fase positif Mode ke-5 EOF dengan puncaknya terjadi pada bulan

175 273 Juli ditemukan bahwa Arus Muson Barat Daya telah digantikan Arus Sakal Ekuatorial dengan anomali kecepatan arus mencapai sebesar 0.08 m/s. Anomali arus permukaan laut dengan anomali kecepatan arus sebesar 0.04 m/s di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia mengikuti pola angin siklon di atasnya. Anomali arus permukaan laut di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan dalam Indonesia dengan anomali kecepatan angin sangat kecil tidak lebih dari 0.02 m/s. Gambar 90 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase positif Mode ke-5 EOF. Pola anomali arus permukaan laut di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terjadi perubahan besar dimana Arus Balik Ekuatorial Utara

176 274 telah berbalik arah menuju ke arah barat sebesar 0.15 m/s dan Arus Ekuatorial Utara juga telah berbalik arah ke arah timur sebesar 0.02 m/s karena menguatnya Arus Balik Ekuatorial Utara yang telah berbalik. Arus Ekuatorial Selatan telah melemah di sekitar 160 BT dengan anomali kecepatan arusnya sebesar 0.03 m/s dan Arus Pantai New Guinea menguat sebesar 0.2 m/s. Searahnya arah Arus Ekuatorial Selatan yang telah menguat dan berbaliknya arah Arus Balik Ekuatorial Utara dengan kecepatan yang besar mengakibatkan resultan arus ini sampai memasuki perairan Laut Sulawesi menuju ke perairan Laut Cina Selatan dan perairan Selat Makassar. Menguatnya arus permukaan laut ke arah timur di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan arus ke arah barat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, selain disebabkan oleh anomali angin permukaan laut juga diduga kuat berkaitan dengan anomali yang terjadi pada Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik. Dugaan terjadi penguatan Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik dapat dipastikan setelah melihat hasil analisis pola melintang angin vertikal terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU (Gambar 91a). Penguatan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomali kecepatan angin yang sangat kuat mencapai sebesar 2.5 m/s dan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia mencapai sebesar 1.6 m/s. Sama seperti halnya dengan fase negatif Mode ke-4 EOF, di tengah ekuatorial Indonesia juga terdapat zona konvergen yang kuat baik pada arah zonal maupun vertikal. Perbedaannya pada fase positif Mode ke-5, sel Sirkulasi Walker lebih menguat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, sehingga sel sirkulasi lebih jelas terbentuk dibandingkan pada fase negatif Mode ke-4 EOF. Ciri khas dari kedua fase ini terdapatnya anomali angin vertikal dari lapisan atas ke lapisan bawah troposfer. Pola Sirkulasi Walker yang menguat di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik jelas terlihat dari hasil analisis pola melintang angin zonal terhadap ketinggian dimana di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia di lapisan tengah sampai bawah troposfer terdapat anomali positif angin zonal dan dari lapisan tengah sampai atas troposfer terdapat anomali negatif angin zonal, sedangkan sebaliknya di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdapat

177 275 anomali negatif angin zonal di lapisan bawah sampai tengah dan anomali positif terdapat di lapisan tengah sampai atas troposfer (Gambar 91b). Pada lapisan bawah troposfer terlihat bahwa anomali angin zonal lebih kuat di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berkisar antara -2.5 m/s sampai -2 m/s daripada di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia yang hanya berkisar antara m/s. Pola melintang anomali suhu udara terhadap ketinggian memperlihatkan di tengah ekuatorial Indonesia terdapat anomali positif yang terpusat di lapisan bawah dan atas troposfer, sedangkan di lapisan tengah troposfer terdapat anomali positif suhu udara yang lebih rendah (Gambar 91c). Pada lapisan bawah dan atas troposfer anomali positif berkisar antara 0.10 C-0.15 C, sedangkan di lapisan tengah troposfer berkisar antara 0.01 C C. Oleh karena itu, jika terdapat masukan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi, kemungkinan terjadi proses kondensasi dan presipitasi akan terpusat di lapisan tengah troposfer. Anomali negatif suhu udara di semua lapisan troposfer terdapat di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan nilai minimum terpusat di lapisan atas troposfer sebesar -0.2 C. Di atas perairan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk terjadi proses kondensasi dan presipitasi yang intensif jika mendapatkan masukan massa udara dengan kandungan uap air. Sementara itu, di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdapat kemungkinan yang kecil untuk terjadi proses kondensasi dan presipitasi karena hanya di lapisan bawah dan atas troposfer saja yang memiliki anomali negatif dengan nilai anomali tidak lebih dari 0.15 C. Masukan massa udara dengan kandungan uap air terlihat dari hasil analisis pola melintang kelembapan udara terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU dimana sebagian besar anomali positif kelembapan udara terdapat di tengah ekuatorial Indonesia di semua lapisan yang terpusat di lapisan tengah troposfer sebesar 6.0% (Gambar 91d). Anomali positif ini menyebar ke arah barat di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dari lapisan tengah sampai atas troposfer sebesar 3.1%, sedangkan di lapisan bawahnya terdapat anomali negatif dengan nilai tidak lebih dari -0.2%. Sementara itu, di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdapat

178 276 anomali negatif dengan nilai anomali minimumnya mencapai -6.2% menyebar ke lapisan bawah dan atas troposfer. Meskipun terdapat anomali positif di atas lapisan troposfer tetapi memiliki nilai anomali tidak lebih dari 0.1%. Gambar 91 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-5 EOF.

179 277 Dugaan terdapat proses kondensasi dan presipitasi yang besar di atas perairan tengah sampai barat ekuatorial Indonesia yang terpusat di lapisan tengah troposfer semakin besar karena didukung oleh anomali negatif suhu udara (Gambar 91c) dan anomali positif kelembapan udara di lapisan ini. Dugaan sumber massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi berasal dari proses evaporasi yang terjadi di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik yang terbawa masuk sampai ke tengah perairan Indonesia yang disebabkan oleh menguatnya Sirkulasi Walker di atas kedua samudera tersebut (Gambar 91a dan b). Pola anomali SPL pada fase positif Mode ke-5 ini hampir sama dengan hasil dekomposisi spasial Mode ke-5 EOF. Perbedaan yang besar terjadi di perairan Teluk Bengal dimana hasil komposit rata-rata anomali dengan koefisien ekspansi diatas satu kali simpangan bakunya memiliki nilai anomali SPL positif (Gambar 92a), sedangkan hasil EOF seharusnya terdapat anomali negatif SPL di perairan ini (Gambar 85a). Kemungkinan perbedaan ini terjadi karena bias proses peratarataan anomali SPL dengan menggunakan satu kali diatas simpangan baku koefisien ekspansi. Oleh karena itu, untuk melakukan analisis selanjutnya pola anomali SPL disesuaikan dengan pola osilasi spasial hasil dari analisis EOF karena pembangkit osilasi sebenarnya adalah dari hasil analisis EOF. Pola anomali SPL terbentuk baik pada arah meridional maupun horizontal. Pada arah zonal di sekitar ekuatorial, anomali negatif berada di tengah Indonesia dan ke arah timur terdapat anomali Positif di perairan utara Papua, semakin ke arah timur terdapat anomali negatif yang besar. Ke arah barat di perairan sebelah barat Sumatera terdapat anomali positif dan semakin ke arah barat terdapat anomali negatif SPL. Pada arah meridional di perairan sebelah timur Samudera Hindia, perairan di BBS dominan terdapat anomali positif SPL dan di BBU terdapat anomali negatif, sedangkan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik di sekitar ekuatorial terdapat anomali negatif SPL dan di BBU dan BBS terdapat anomali positif. Oleh karena itu pada fase positif Mode ke-5 EOF ini disebut juga fase positif MCAT (Mode Campuran perairan Asia Tenggara). Anomali positif SPL terpusat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan anomali maksimum

180 278 yang sama sebesar 0.5 C (Gambar 92a). Anomali positif SPL ini seperti terdorong masuk ke arah perairan tengah Asia Tenggara tetapi tertahan oleh Pulau Sumatera di sebelah baratnya dan di sebelah timur tertahan karena terdapat anomali negatif SPL di perairan tengah Asia Tenggara yang menyebar dari perairan sebelah utara Australia, perairan dalam Indonesia, perairan sebelah selatan Laut Cina Selatan sampai ke perairan Teluk Bengal. Kondisi ini sesuai dengan pola anomali arus permukaan laut (Gambar 90a) dan penguatan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 91a dan b). Gambar 92 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif Mode ke-5 EOF. Anomali negatif SPL terdapat di perairan dalam Indonesia, perairan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan di perairan sebelah selatan Teluk Bengal dengan kisaran sebesar -0.7 C sampai -0.2 C. Terbentuknya anomali positif SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berkaitan erat dengan menguatnya Sirkulasi Wakler di atasnya sehingga diduga terbentuk anomali

181 279 positif kedalaman lapisan tercampur di perairan ini. Begitu pula yang terjadi di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Sementara itu, masih terdapatnya anomali negatif SPL di tengah perairan dalam Indonesia yang seharusnya dengan menguatnya Sirkulasi Walker di kedua Samudera akan mengakibatkan di perairan dalam Indonesia sudah terdapat anomali positif SPL dengan nilai yang besar. Oleh karena itu, diduga anomali negatif di tengah perairan dalam Indonesia terjadi karena proses pelepasan bahang dari laut ke atmosfer dalam jumlah yang besar, sehingga suhu laut pada permukaan dan kolom laut menurun dengan cepat. Menurunnya SPL di tengah perairan dalam Indonesia dan dilepaskannya bahang ke atmosfer mengakibatkan terjadi angin vertikal yang bergerak dari lapisan atas ke lapisan bawah troposfer karena terbentuknya zona divergen dengan tekanan udara rendah di atas perairan ini (Gambar 91a). Terbentuknya anomali positif kedalaman lapisan tercampur di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik karena menguatnya Sirkulasi Walker terlihat dengan jelas dari hasil analisis anomali kedalaman lapisan tercampur dimana ditemukan anomali positif yang terpusat di perairan sebelah timur Samudera Hindia dan di sebelah barat Samudera Pasifik mencapai sebesar 10 m (Gambar 92b). Selain itu, di perairan sebelah timur Samudera Hindia di temukan anomali positif di perairan sebelah utara Teluk Bengal sebesar 4.0 m dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia di sekitar 18 LS sebesar 6.0 m, sedangkan anomali negatif berada di antara anomali positif sebesar -3.5 m. Hampir di seluruh perairan dalam Indonesia meliputi Selat Karimata, Laut Jawa sampai Laut Banda, Selat Makassar, Laut Maluku dan Laut Sulawesi menyebar sampai ke perairan Laut Cina Selatan terdapat anomali negatif berkisar antara -4.0 sampai -1.0 m. Perairan ini kemungkinan besar merupakan zona perairan yang melepaskan bahangnya ke atmosfer. Anomali positif di perairan sebelah barat Samudera Pasifik, selain terdapat di sekitar ekuatorial anomali positif menyebar pula ke arah utara sampai di sekitar 20 LU. Perairan ini meskipun memiliki anomali positif kedalaman lapisan tercampur, diduga sebagian besar bahang tidak disimpan di laut tetapi dilepaskan ke atmosfer karena di perairan sebelah barat Samudera Pasifik secara intensif

182 280 mengumpulkan massa air hangat sehingga lebih mudah mencapai titik maksimumnya. Selain itu, pada fase positif Mode ke-5 EOF puncak fase terjadi pada bulan Juli dimana posisi semu matahari berada di BBS sehingga di BBU terdapat suhu udara rendah di atas permukaan laut. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan kandungan bahang di laut dan atmosfer maka kandungan bahang yang terkumpul secara intensif di perairan ini harus dilepaskan ke atmosfer. Kemungkinan besar di sekitar ekuatorial saja bahang akan disimpan di laut melalui mekanisme adveksi vertikal karena di sekitar ekuatorial ini selalu mendapat masukan massa air hangat dari perairan ekuatorial di sebelah timurnya. Sementara itu di perairan sebelah timur Samudera Hindia, diduga hanya di perairan yang memiliki anomali positif kedalaman lapisan tercampur yang menyimpan bahang di laut, sedangkan di perairan dengan anomali negatif akan segera dilepaskan ke atmosfer karena massa air hangat dari sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia tidak terlalu intensif mengumpulkan massa air hangat di perairan ini. Meskipun Sirkulasi Walker di atas perairan ini menguat, tetapi tidak sebesar penguatan Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Hasil analisis anomali Q S +Q L memperkuat dugaan bahwa mekanisme penyimpanan dan pelepasan bahang di perairan dalam Indonesia, perairan sebelah timur Samudera Hindia dan sebelah barat Samudera Pasifik dimana sebagian besar bahang disimpan di laut terpusat di sekitar perairan utara Papua saja dengan anomali positifnya sebesar 10 W/m 2, sedangkan di sekelilingnya terdapat anomali negatif mencapai sekitar -10 W/m 2 (Gambar 93a). Dugaan bahwa mendinginnya SPL di perairan dalam Indonesia dan Laut Cina Selatan disebabkan oleh pelepasan bahang dalam jumlah besar terlihat jelas dari anomali negatif Q S +Q L di perairan tersebut dengan nilai minimum anomalinya sebesar -12 W/m 2. Anomali negatif Q S +Q L ditemukan pula di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar -11 W/m 2 dimana sebelumnya diduga meskipun terdapat anomali positif kedalaman lapisan tercampur tetapi bahang tidak disimpan melalui mekanisme adveksi vertikal tetapi langsung dilepaskan ke atmosfer. Sementara itu, di sebelah timur Samudera Hindia hasil analisis anomali Q S +Q L memperkuat dugaan sebelumnya bahwa hanya perairan dengan anomali positif kedalaman lapisan

183 281 tercampur saja yang berfungsi untuk menyimpan bahang di laut dengan anomali positif Q S +Q L. Gambar 93 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-5 EOF. Anomali positif Q S +Q L menyebar di perairan Teluk Bengal sampai ke perairan ekuatorial sebesar 13 W/m 2 dan di BBS sekitar 20 LS sebesar 8.0 W/m 2. Anomali negatif Q S +Q L terpusat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia mencapai sebesar -5.0 W/m 2. Berbeda halnya pada anomali SPL di sekitar mulut Teluk Bengal yang tidak sesuai dengan hasil analisis dekomposisi spasial EOF, hasil analisis Q S +Q L memperlihatkan anomali positif sedangkan di perairan ini terdapat anomali negatif kedalaman lapisan tercampur yang seharusnya bahang akan dilepaskan ke atmosfer. Perbedaan ini terjadi karena masuknya massa air hangat secara intensif ke perairan Teluk Bengal dari sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia, sehingga sebelum sempat tersimpan melalui mekanisme adveksi vertikal, telah mencapai kondisi maksimum penyimpanan bahang di laut sehingga harus dilepaskan ke atmosfer untuk mencapai keseimbangan bahang di

184 282 laut dan atmosfer. Oleh karena itu, perairan Teluk Bengal, sebelah barat ekuatorial Sumatera dan perairan sebelah tenggara Samudera Hindia memegang peranan terhadap dinamika laut-atmosfer yang terjadi di perairan ekuatorial Samudera Hindia. Hasil analisis anomali P E memperlihatkan bahwa pada fase positif Mode ke-5 EOF terdapat anomali positif P E hampir di seluruh perairan kecuali di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sehingga fase ini terjadi proses presipitasi yang besar di wilayah Asia Tenggara (Gambar 93b). Anomali positif P E terbesar terpusat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, perairan di sekitar perairan Halmahera dan di perairan sebelah barat dan timur Filipina dengan anomali positifnya mencapai sebesar 1.0 mm/hari, sedangkan di perairan Teluk Bengal dan di sebelah tenggara Papua New lebih kecil mencapai sebesar 0.7 mm/hari. Anomali negatif P E terendah berada di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik mencapai sebesar -1.0 mm/hari sedikit menyebar ke arah utara, sedangkan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia hanya sebesar mm/hari. Anomali negatif P E di perairan ini merupakan sumber terbesar massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi dari hasil proses evaporasi yang masuk ke tengah perairan Asia Tenggara karena menguatnya Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik. Komponen E dari perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, selain memberikan masukan terbesar uap ke lapisan troposfer di atas perairan tengah Asia Tenggara, sebagian lagi terbawa oleh sirkulasi angin ke arah Teluk Bengal dan perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Sisa komponen E dilanjutkan dengan proses kondensasi dan presipitasi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia karena meskipun Sirkulasi Walker menguat di atas perairan ini tetapi tidak sekuat di Samudera Pasifik dan kondisi lapisan troposfer mendukung terjadinya proses kondensasi dengan anomali negatif suhu udara di atasnya (Gambar 91c). Sumber komponen E dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan dari perairan di sebelah utaranya memberi masukan massa udara dengan kandungan uap yang tinggi ke lapisan troposfer di atas perairan Filipina dan Halmahera dan sebagai kecil ke lapisan troposfer di atas perairan sebelah tenggara Papua New Guinea. Anomali

185 283 negatif SPL di tengah Indonesia direspon dengan nilai anomali positif P E yang tidak terlalu besar di Selat Karimata 0.1 mm/hari. Pada fase positif Mode ke-5 ini pola anomali SPL yang terbentuk di perairan Asia Tenggara disebut fase positif Mode Campuran perairan Asia Tenggara (MCAT). Fase positif MCAT di Asia Tenggara menunjukkan bahwa di perairan ekuatorial Samudera Hindia sedang terjadi periode DM negatif dan di Samudera Pasifik sedang terjadi periode La Nina TP tipe terpusat. Fase positif MCAT ini akan berdampak terjadinya anomali curah hujan yang besar di wilayah Asia Tenggara. Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase positif Mode ke-5 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi lautatmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Gambar 94 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-5 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Pada fase positif Mode ke-5 merupakan fase positif MCAT dimana pada fase ini siklus tahunan Muson sudah sangat kecil mempengaruhi sistem. Siklus antar tahunan dengan periode 42.6 bulanan telah mendominasi sistem ini dan munculnya siklus dua tahunan dengan periode 19.7 bulanan seperti halnya pada

186 284 Mode ke-1 EOF mengindikasikan bahwa keseluruhan siklus dari Mode ke-1 sampai ke-5 telah dilewati dan mulai kembali ke kondisi normalnya pada Mode ke-1 EOF. Nilai keragaman pada Mode ke-5 EOF sebesar 2.8% memperlihatkan pula bahwa data SPL bulanan dari tahun diduga telah melalui semua siklus fenomena yang berinteraksi kuat dengan SPL. Siklus antar tahunan dengan periode 42.6 bulanan terbentuk setelah fase positif TMAT pada fase positif Mode ke-4 EOF kembali ke kondisi normal dan setelah melewati dua kali siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 dengan dua kali pergesaran awal kedatangan Muson selama 3.1 bulan sehingga menjadi dua dikalikan 18.2 sebesar 36.4 dan ditambahkan dengan dua kali 3.1 menjadi sebesar 42.6 bulanan. Pada fase positif MCAT di Asia Tenggara memperlihatkan bahwa di perairan ekuatorial Samudera Hindia sedang terjadi periode DM negatif dan di Samudera Pasifik sedang terjadi periode La Nina TP tipe terpusat. Proses terbentuknya fase positif MCAT cukup kompleks dan secara sederhana skematika interaksi darat-laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-5 EOF disajikan pada Gambar 94. Pada fase positif Mode ke-2 EOF, di perairan dalam Indonesia terjadi penyimpanan bahang di laut dan di perairan Teluk Bengal massa air hangat terjebak di dalam teluk. Lambat laun bahang yang tersimpan di dalam laut akan mengalami kondisi maksimum dengan siklus dua tahunan. Kandungan bahang di Teluk Bengal sebagian akan dilepaskan ke udara dan sebagian lainnya bergerak mengikuti perpindahan massa air ke arah ekuatorial barat Sumatera melalui mekanisme adveksi horizontal. Begitu pula yang terjadi di perairan dalam Indonesia, ketika mencapai mencapai kondisi maksimum kandungan bahang di laut akan dilepaskan ke udara dengan siklus yang sama yaitu dua tahunan. Setelah kurang lebih proses ini terjadi dua kali, seluruh bahang di laut, baik di perairan Teluk Bengal maupun di perairan dalam Indonesia secara bersamaan dilepaskan ke atmosfer dan di perairan Teluk Bengal sebagian kandungan bahang di laut pindah bersamaan dengan massa air hangat ke perairan barat Sumatera. Periode ini merupakan periode memasuki fase negatif Mode ke-2 EOF. Pada fase positif Mode ke-5 EOF, kandungan bahang di perairan dalam Indonesia telah dilepaskan semuanya ke atmosfer dan belum terjadi pengisian bahang seperti pada fase negatif Mode ke-2 EOF karena SPL di perairan dalam

187 285 Indonesia telah menurun drastis, sedangkan suhu udara di atasnya cukup tinggi. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan di perairan Teluk Bengal, kandungan bahang di lautan juga dilepas ke atmosfer dan berpindah bersama dengan massa air hangat ke perairan ekuatorial barat Sumatera dan terus bergerak sampai di perairan tenggara Samudera Hindia. Kondisi ini mengakibatkan SPL di perairan dalam Indonesia dan di perairan Teluk Bengal menjadi lebih dingin dan di perairan ekuatorial barat Sumatera sampai ke perairan tenggara Samudera Hindia mengalami peningkatan suhu dan massa airnya menjadi lebih hangat. SPL rendah dengan tekanan udara tinggi di perairan dalam Indonesia dan SPL tinggi dengan tekanan udara rendah di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik mengakibatkan di tengah perairan dalam Indonesia menjadi zona divergen. Angin di atas permukaan laut berhembus dari tengah perairan dalam Indonesia ke arah barat menuju ke perairan barat Sumatera dan ke arah timur menuju ke perairan timur Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan terbentuknya dua sel sirkulasi atmosfer kecil di atas perairan Indonesia yang bergerak ke lapisan atas atmosfer di atas perairan barat Sumatera dan di atas perairan timur Indonesia. Angin ini kemudian bergerak ke arah tengah perairan dalam Indonesia di lapisan atas troposfer dan turun sampai di atas permukaan laut di tengah perairan dalam Indonesia. Terbentuknya dua sel sirkulasi atmosfer mengakibatkan di lapisan tengah troposfer dari Sirkulasi Walker di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik menjadi menguat. Sel Sirkulasi Walker di tengah lapisan troposfer baik di perairan barat Sumatera maupun di perairan timur Indonesia menjadi terdorong masuk ke arah tengah perairan dalam Indonesia. Masuknya sel Sirkulasi Walker di tengah lapisan troposfer ke tengah perairan dalam Indonesia mengakibatkan dua sel yang sebelumnya terbentuk di atas perairan Indonesia menjadi melemah dan hilang pada sisi barat sel di atas perairan barat Sumatera dan pada sisi timur di atas perairan timur Indonesia. Pola sirkulasi atmosfer di lapisan troposfer di tengah perairan dalam Indonesia menjadi tidak beraturan, terjadi turbulen dan tepat di tengahnya angin vertikal dominan bergerak dari lapisan atas troposfer menuju permukaan laut.

188 286 Massa udara hangat pada lapisan tengah troposfer sampai di atas permukaan laut yang berasal dari sebelah timur Samudera Hindia terdorong masuk sampai ke tengah perairan dalam Indonesia, sedangkan massa udara dingin terbawa ke lapisan atas troposfer. Massa udara hangat pada lapisan atas troposfer dan di atas permukaan laut yang berasal dari sebelah barat Samudera Pasifik juga terdorong masuk ke tengah perairan dalam Indonesia kemudian menyebar ke lapisan atas dan ke lapisan bawah troposfer. Pola variabilitas suhu udara yang besar di perairan dalam Indonesia ini mengakibatkan terjadi zona divergen dan konvergen secara bersamaan di lapisan troposfer di atas perairan dalam Indonesia. Zona konvergen terjadi di atas permukaan laut dan zona divergen terjadi di lapisan atas troposfer tepat di tengah perairan dalam Indonesia. Sirkulasi Walker di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia yang telah menguat dan terdorong masuk ke arah tengah perairan Indonesia, tepat di atas perairan barat Sumatera terbentuk zona konveksi yang kuat, sehingga massa udara dengan kandungan uap air tinggi yang terbawa di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia bergerak ke lapisan atas troposfer dan mengalami proses kondensasi dan presipitasi yang besar karena suhu udara di lapisan atas troposfer jauh lebih rendah daripada suhu udara di atas permukaan laut. Oleh karena itu, pada fase positif Mode ke-5 EOF ini terjadi anomali curah hujan yang tinggi di atas perairan ekuatorial barat Sumatera, Teluk Bengal dan perairan tenggara Samudera Hindia. Sementara itu, tepat di sisi barat dan tengah perairan dalam Indonesia, meskipun terjadi curah hujan di atas normal tetapi tidak terjadi curah hujan ekstrim yang tinggi seperti halnya di perairan ekuatorial barat Sumatera, Teluk Bengal dan perairan tenggara Samudera Hindia. Kondisi ini disebabkan oleh angin vertikal yang berasal dari lapisan atas troposfer berhembus ke arah permukaan laut, sehingga mengakibatkan tidak terjadinya zona konveksi di atas perairan ini. Curah hujan di atas normal yang terjadi di atas perairan ini disebabkan oleh massa udara dengan kandungan uap air tinggi yang berasal dari perairan timur ekuatorial Samudera Pasifik terdorong masuk ke perairan dalam Indonesia di antara lapisan tengah dan atas troposfer. Sementara itu, anomali curah hujan yang tinggi di atas perairan Teluk Bengal dan di atas perairan tenggara Samudera Hindia disebabkan oleh berbeloknya angin di atas perairan barat Sumatera ke arah

189 287 tenggara dan timur laut. Beloknya angin permukaan ke arah timur laut disebabkan oleh perbedaan antara suhu permukaan di Pulau Sumatera dengan SPL di sebelah baratnya dan profil topografi Pulau Sumatera dan sisi timur Teluk Bengal. Beloknya angin permukaan ke arah perairan tenggara Samudera Hindia disebabkan oleh zona tekanan rendah yang diakibatkan oleh suhu udara tinggi dari massa air hangat yang terdorong ke perairan ini dari perairan ekuatorial barat Sumatera. Angin vertikal pada Sirkulasi Walker yang berhembus ke atas seiring dengan terjadinya zona konveksi, proses kondensasi dan presipitasi di lapisan tengah sampai ke lapisan atas troposfer di perairan ekuatorial barat Sumatera, kemudian dibelokan ke arah barat menuju ke arah tengah ekuatorial Samudera Hindia. Ketika sampai di tengah ekuatorial Samudera Hindia akan dibelokan ke arah permukaan laut dan sebagian kembali ke perairan barat Sumatera dengan membawa uap air di sepanjang ekuatorial barat Samudera Hindia dan sebagian lagi dibelokan ke arah barat menuju ke perairan barat Samudera Hindia. Terbelahnya Sirkulasi Walker di tengah perairan ekuatorial Samudera Hindia disebabkan menguatnya Sirkulasi Walker di sisi barat dan masih lemahnya Sirkulasi Walker di sisi timur. Selain itu, disebabkan pula oleh SPL di tengah ekuatorial Samudera Hindia yang menurun dengan cepat sehingga lebih dingin dibandingkan dengan SPL di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia. SPL rendah di tengah ekuatorial Samudera Hindia ini akan menguatkan masing-masing sel serkulasi atmosfer yang terbelah dua. Oleh karena itu, SPL di perairan timur Benua Afrika sedikit lebih tinggi dibandingkan di tengah ekuatorial Samudera Hindia, sedangkan suhu udara di atas permukaan laut lebih rendah daripada suhu udara di tengah perairan ekuatorial Samudera Hindia. Suhu udara rendah di perairan timur Benua Afrika disebabkan oleh massa udara dingin dan kering yang terbawa dari zona divergen di tengah ekuatorial Samudera Hindia. Proses dinamika laut-atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia pada fase positif Mode ke-5 EOF ini disebut periode DM negatif. Pada saat yang bersamaan dengan proses dinamika laut-atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia, interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik juga berlangsung. Terdorongnya massa udara di lapisan tengah troposfer pada sisi barat

190 288 sel Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik akibat dari zona konvergen di atas permukaan laut di tengah perairan dalam Indonesia mengakibatkan sel Sirkulasi Walker di atas permukaan laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik semakin menguat. Massa air hangat dan massa udara dengan kandungan uap air tinggi di di sepanjang perairan ini bergerak dengan intensif ke arah barat sampai ke perairan timur Indonesia terdorong oleh Angin Pasat Tenggara dan Pasat Timur Laut akibat dari menguatnya Sirkulasi Walker di atas permukaan laut. Massa air hangat terdorong jauh sampai memasuki perairan timur Indonesia dan menyebar ke arah utara dan ke arah selatan, sehingga massa air dingin berupa massa air yang berasal dari perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik ikut terdorong memasuki perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik di sekitar 155 BT. Massa air hangat berhenti sampai di ekuatorial perairan timur Indonesia saja di sekitar perairan utara Papua, sedangkan massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi terus bergerak ke arah barat dan naik ke tengah lapisan troposfer karena adanya dataran tinggi Papua sampai memasuki perairan dalam Indonesia dan bertemu dengan massa udara dingin yang berasal dari ekuatorial pantai barat Sumatera. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya proses kondensasi dan presipitasi yang kuat di sisi barat perairan dalam Indonesia pada lapisan tengah troposfer. Anomali curah hujan tinggi yang ekstrim terjadi di atas perairan ini, sedangkan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terjadi anomali curah hujan dibawah normal karena massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi telah terdorong masuk ke perairan dalam Indonesia dan karena masuknya massa air dingin ke perairan ini. Proses dinamika darat-laut-atmofer di perairan ekuatorial Samudera Pasifik pada fase positif Mode ke-5 EOF ini disebut periode La Nina TP tipe terpusat dimana di perairan Asia Tenggara terbentuk pola fase positif MCAT. Proses dinamika darat-laut-atmosfer yang terjadi di perairan ekuatorial Samudera Hindia berupa fase DM negatif, perairan dalam Indonesia berupa penurunan SPL dan perairan ekuatorial Samudera Pasifik berupa fase La Nina TP tipe terpusat pada fase positif MCAT ini mengharuskan kembali ke kondisi normalnya. Mekanisme yang bekerja untuk kembali ke kondisi normalnya apabila

191 289 di perairan dalam Indonesia mulai terjadi pengisian bahang di laut dan di perairan Teluk Bengal mulai menjebak bahang di lautan, sehingga SPL di kedua perairan tersebut mulai meningkat. Proses pengisian bahang dan jebakan bahang di kedua perairan ini dimulai pada saat mekanisme sistem yang terjadi pada Mode ke-2 EOF mulai berjalan. Keterlibatan sistem pada Mode ke-2 EOF ini diketahui dengan terdeteksinya siklus dua tahunan dengan periode 19.7 bulanan Dinamika Laut-Atmosfer Fase Negatif Pada fase negatif Mode ke-5 EOF, pola osilasi yang terbentuk di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya berupa fase negatif MCAT. Fase negatif MCAT terbentuk dimana jika di perairan dalam Indonesia terjadi anomali positif SPL dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik terdapat anomali negatif SPL serta di perairan Teluk Bengal dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdapat anomali SPL positif maka di Samudera Hindia sedang terjadi puncak fase DM positif dan di Samudera Pasifik sedang terjadi fase El Nino TP tipe terpusat. Siklus antar tahunan DM dan El Nino tersebut terjadi dengan periode 42.6 bulanan sama seperti pada Mode ke- 3 EOF. Perbedaannya terdapat dari pola anomali SPL di Asia Tenggara dan sekitarnya. Pada fase negatif DMAT terdapat osilasi antara perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan anomali positif SPL dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan anomali negatif SPL, sedangkan pada fase negatif MCAT terdapat osilasi campuran antara anomali positif SPL di perairan dalam Indonesia dengan anomali SPL pada arah zonal antara perairan sebelah timur Samudera Hindia dan perairan sebelah barat Samudera Pasifik dan pada arah meridional dari masing-masing samudera dengan anomali SPL beragam baik positif maupun negatif. Puncak fase negatif Mode ke-5 EOF terjadi pada bulan Oktober dimana pola anomali angin permukaan laut telah melemah dengan anomali kecepatan maksimumnya tidak lebih dari 4.0 m/s bersamaan dengan melemahnya sistem Angin Muson di atas perairan Asia Tenggara (Gambar 95a). Pola anomali angin permukaan laut pada fase negatif Mode ke-5 ini hampir sama dengan fase positifnya berupa kebalikan arah angin antara fase positif dan negatif. Perbedaan

192 290 yang terlihat dengan jelas terjadi pada kecepatan anginnya. Pada fase positif kecepatan angin yang besar terdapat di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, sedangkan pada fase negatif kecepatan yang besar terjadi di atas perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan sebelah barat laut Australia. Anomali angin permukaan laut di atas perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan berupa Angin Muson Timur Laut di BBU yang datang lebih awal pada bulan oktober dimana seharusnya puncaknya terjadi pada bulan Januari. Anomali kecepatan angin di atas perairan Teluk Bengal mencapai sebesar 4.0 m/s, sedangkan di perairan Laut Cina Selatan hanya sebesar 3.4 m/s dan di perairan sebelah barat laut Australia lebih kecil lagi sebesar 2.8 m/s berupa Angin Muson Tenggara. Oleh karena itu, perairan Teluk Bengal berperan besar terhadap dinamika lautatmosfer di perairan Samudera Hindia. Anomali angin permukaan laut dengan kecepatan yang rendah terdapat di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, perairan dalam Indonesia, perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dan perairan sebelah timur Australia. Kecepatan maksimum angin di atas perairan ini hanya mencapai sebesar 0.4 m/s. Pola angin permukaan laut di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia terbentuk pola anti siklon yang diduga terjadi karena adanya zona divergen di atas permukaan laut dengan anomali negatif SPL. Angin permukaan laut di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dan Perairan sebelah timur Australia melemah diduga karena terdapat pula anomali negatif SPL di bawahnya, sehingga terbentuk zona tekanan tinggi di atasnya. Anomali angin timuran terlihat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sebesar 1.5 m/s yang terbentuk dari Angin Muson Timur Laut di BBU di atas perairan Teluk Bengal dan dari pola angin anti siklon di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Anomali angin timuran ini diduga selaras dengan pola Sirkulasi Walker di lapisan atmosfer di atasnya. Begitu pula di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, terdapat angin baratan yang terbentuk dari melemahnya Angin Muson Timur Laut di BBU dan berbelok ke arah timur di sekitar ekuatorial dengan anomali kecepatan angin sebesar 2.0 m/s. Anomali angin baratan ini diduga pula selaras dengan pola Sirkulasi Walker di lapisan atmosfer di atasnya.

193 291 Gambar 95 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase negatif Mode ke-5 EOF. Anomali arus permukaan laut secara umum mengikuti pola anomali angin permukaan laut dan merupakan kebalikan dari fase positif Mode ke-5 EOF. Anomali arus permukaan laut yang besar terjadi di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan kecepatan maksimumnya mencapai 0.21 m/s (Gambar 95b). Arus ini bergerak ke arah timur dari mulai perairan Selat Makassar dan Laut Sulu, menyatu di Laut Sulawesi dan Laut Maluku ke arah timur sampai di sekitar 160 BT dan terlihat terus bergerak ke arah tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali arus timuran ini terjadi akibat dari anomali angin permukaan laut berupa angin baratan di atasnya. Anomali arus timuran ini mengakibatkan Arus Balik Ekuatorial Utara semakin kuat dan berbaliknya arah dari Arus Ekuatorial

194 292 Selatan dan Arus Pantai New Guinea. Pola arus permukaan laut dari Laut Cina Selatan ke arah Selat Karimata, Laut Jawa sampai Selat Makassar dan Laut Banda terlihat cukup kuat dengan kecepatan mencapai 0.07 m/s (Gambar 95b) yang dibangkitkan oleh anomali angin permukaan laut yang cukup kuat di perairan Laut Cina Selatan(Gambar 95a). Sementara itu, di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia anomali arus baratan yang kuat terjadi di sekitar 5 LS dan 5 LU dengan kecepatan mencapai 0.14 m/s dimana Arus Sakal Ekuatorial Samudera Hindia telah berbalik arah ke arah barat menuju ke perairan tengah Samudera Hindia. Hasil analisis anomali angin permukaan laut dan anomali arus permukaan laut di perairan sebelah timur Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik semakin memperkuat bahwa diduga arah Sirkulasi Walker di Samudera Hindia maupun Pasifik telah berbalik arah sirkulasinya sesuai dengan pola anomali angin permukaan laut dan arus permukaan laut. Dugaan bahwa arah Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik telah berbalik arah, diperkuat dari hasil analisis melintang anomali angin vertikal terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU dimana dengan jelas terlihat di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia pada lapisan bawah troposfer cenderung berupa anomali angin timuran dengan kecepatan mencapai 2.2 m/s dan di lapisan atas troposfer berupa anomali angin baratan sebesar 2.5 m/s (Gambar 96a). Begitu pula yang terjadi di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dimana pada lapisan bawah sampai tengah troposfer terdapat anomali angin baratan sebesar 2.5 m/s dan di lapisan atas troposfer terdapat anomali angin timuran sebesar 1.4 m/s. Pola anomali angin vertikal di tengah ekuatorial Indonesia pada lapisan bawah troposfer terlihat melemah dan cenderung bergerak ke arah barat menuju Samudera Hindia dan ke arah timur menuju Samudera Pasifik. Pada lapisan tengah troposfer cenderung begerak vertikal ke atas dan ketika sampai di lapisan atas troposfer cenderung melemah dan terdorong ke arah timur bergabung dengan angin baratan di lapisan tengah dan bawah troposfer. Pada lapisan tengah troposfer di sebelah barat Indonesia terjadi sirkulasi atmosfer yang tidak beraturan, sebagian kecil terlihat terjadi turbulen dengan kecepatan yang rendah.

195 293 Pembalikan arah Sirkulasi Walker di Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik juga terlihat dengan jelas dari hasil analisis melintang anomali angin zonal terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara pada 5 LS-5 LU dimana terlihat di lapisan bawah sampai tengah troposfer antara anomali angin timuran di sebelah barat dan angin baratan di sebelah timur Asia Tenggara terpisah di tengah ekuatorial Indonesia (Gambar 96b). Pada lapisan atas troposfer terdapat anomali angin baratan di sebelah barat dan angin timuran di sebelah timur Indonesia yang memperlihatkan pembalikan arah Sirkulasi Walker baik di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia maupun di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Anomali angin timuran di antara lapisan bawah dan tengah troposfer di sebelah barat Indonesia mencapai kecepatan sebesar 2.2 m/s, sedangkan anomali angin baratan di lapisan atas troposfer mencapai sebesar 2.5 m/s. Sementara itu, anomali angin baratan di antara lapisan bawah dan tengah troposfer di sebelah timur Indonesia mencapai kecepatan sebesar 2.5 m/s, sedangkan anomali angin timuran di lapisan atas troposfer mencapai sebesar 1.4 m/s. Pembalikan arah Sirkulasi Walker diduga kuat berkaitan dengan terjadinya anomali SPL di perairan dalam Indonesia yang menpengaruhi suhu udara di atasnya sehingga kondisi sirkulasi atmosfer di atas perairan ini membentuk pola sirkulasi yang memperkuat Sirkulasi Walker di kedua Samudera. Hasil analisis melintang anomali suhu udara terhadap ketinggian di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara terlihat bahwa hampir di seluruh lapisan troposfer terdapat anomali negatif suhu udara dengan anomali minimumnya mencapai sebesar -0.5 C yang terpusat pada lapisan atas troposfer di tengah Indonesia (Gambar 96c). Anomali positif suhu udara hanya ditemukan di sebelah barat Indonesia pada lapisan atas troposfer sedikit menyebar ke arah timur dan di tengah Indonesia pada lapisan bawah troposfer menyebar ke arah timur sampai di sebelah timur Indonesia dengan anomalinya tidak lebih dari 0.02 C. Pola anomali negatif suhu udara ini mendukung untuk terjadinya proses kondensasi dan presipitasi di tengah Asia Tenggara pada lapisan atas troposfer dan ditentukan pula oleh ada tidaknya masukan massa udara dengan kandungan uap air. Pola

196 294 anomali suhu udara ini diduga sebagai proses umpan balik dari anomali SPL ke atmosfer. Gambar 96 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mbar) pada 5 LS-5 LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cpa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara ( C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-5 EOF.

197 295 Meskipun terdapat anomali suhu udara yang mendukung terjadinya kondensasi dan presipitasi tetapi ternyata dari hasil analisis anomali kelembapan udara memperlihatkan bahwa di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara dominan terdapat anomali negatif kelembapan udara yang terpusat di tengah Indonesia pada lapisan tengah troposfer mencapai sebesar -6.0% (Gambar 96d). Anomali negatif ini menyebar sampai ke lapisan bawah troposfer dari sekitar 100 BT- 160 BT dan dari lapisan tengah troposfer menyebar pula ke arah barat sampai di lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah barat Indonesia. Anomali positif hanya ditemukan di lapisan bawah troposfer di atas perairan sebelah barat Indonesia mencapai sebesar 3.0% dan di lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah timur Indonesia sebesar 3.8%. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya hujan dengan intensitas yang kecil hanya terjadi di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Pada fase negatif Mode ke-5 EOF, pola fase negatif MCAT yang terbentuk (Gambar 97a) hampir sama dengan hasil analisis dekomposisi spasial fase negatif Mode ke-5 EOF (Gambar 85a). Perbedaan sedikit terjadi di perairan sebelah selatan Laut Cina Selatan sampai ke perairan Selatan Karimata dan di perairan Teluk Bengal. Pada prinsipnya osilasi spasial yang terjadi mengikuti pola spasial hasil dekomposisi spasial dari Mode ke-5 EOF. Pada fase negatif ini, anomali negatif SPL minimum terpusat di perairan sebelah selatan Sumatera dengan anomalinya mencapai sebesar C yang menyebar dari perairan ini sampai ke perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (Gambar 97a). Anomali negatif SPL terpusat pula di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan anomali negatif minimumnya sebesar C yang menyebar ke arah barat sampai di perairan sebelah utara Laut Cina Selatan dan ke arah timur sampai di sekitar 150 BT. Anomali positif SPL terdapat di perairan dalam Indonesia yang seharusnya menurut hasil dekomposisi spasial Mode ke-5 EOF pada arah meridional akan menyebar ke arah utara dan selatan dari tengah perairan dalam Indonesia. Anomali positif SPL maksimum di perairan mencapai sebesar 0.20 C. Anomali positif SPL ditemukan pula di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dengan anomali positif maksimumnya mencapai sebesar 0.35 C

198 296 terpusat di sekitar 160 BT dan di sebelah utara perairan ini terdapat anomali positif SPL yang kecil. Pada perairan sebelah timur Samudera Hindia, anomali positif SPL di 80 BT menyebar dari pantai selatan India sampai ke perairan di sekitar 20 LS dengan anomali positif maksimumnya terpusat di sekitar 15 LS. Gambar 97 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial ( C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-5 EOF. Dugaan bahwa pola anomali SPL ini memberikan umpan balik ke atmosfer ternyata cukup kuat karena hampir sebagian besar anomali negatif SPL berada di perairan sebelah timur Samudera Hindia dan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik, sehingga menyebabkan terdapat anomali negatif suhu udara hampir di seluruh lapisan troposfer dan sebagian kecil anomali positif di atas perairan tengah Indonesia di bawah lapisan troposfer karena terdapat anomali positif SPL di perairan ini (Gambar 96c). Anomali positif SPL di perairan dalam Indonesia di tengah ekuatorial Asia Tenggara juga memicu berbaliknya arah Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia karena terbentuk zona tekanan udara rendah di atas

199 297 perairan dalam Indonesia. Zona tekanan udara rendah ini mengakibatkan terbentuk anomali sirkulasi atmosfer yang mempengaruhi pola Sirkulasi Walker di kedua samudera. Pola sebaran horizontal anomali kedalaman lapisan tercampur di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik juga memperlihatkan bahwa Sirkulasi Walker di atas perairan di kedua Samudera ini telah berbalik arah (Gambar 97b). Proses umpan balik anomali negatif SPL ke kolom perairan di kedua perairan ini terlihat sangat kuat. Anomali negatif SPL di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 97a) diikuti dengan anomali negatif kedalaman lapisan tercampur sebesar -6.5 m (Gambar 97b) dimana kedalaman lapisan tercampur menjadi lebih dangkal dan upwelling di perairan barat Sumatera menghilang. Pada kondisi normal di perairan ini terjadi anomali positif dengan kedalaman lapisan tercampur meningkat. Penurunan SPL dan mendangkalnya kedalaman lapisan tercampur terjadi karena dorongan angin dari pembalikan arah Sirkulasi Walker ke arah barat menuju ke perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia (Gambar 96a dan b). Kondisi yang sama terjadi di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dimana terdapat anomali negatif kedalaman lapisan tercampur sebesar -3.0 m tetapi tidak sekuat di Samudera Hindia karena di sebelah timur perairan ini sudah ditemukan anomali positif kedalaman lapisan tercampur mencapai sebesar 3.8 m. Meskipun kecepatan angin dari pembalikan arah Sirkulasi Walker di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dan di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik memiliki anomali kecepatan angin yang hampir sama kuat, tetapi perpindahan massa air hangat akibat dorongan Sirkulasi Walker di perairan sebelah barat ekuatorial Pasifik tertahan di tengah ekuatorial di sekitar dateline. Anomali negatif kedalaman lapisan tercampur ditemukan cukup luas di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan anomali negatifnya mencapai sebesar -6.2 m. Terbentuknya anomali negatif di perairan ini berkaitan erat dengan terdorongnya massa air hangat di permukaan laut ke arah ekuatorial oleh anomali Angin Muson Timur Laut di BBU.

200 298 Anomali positif kedalaman lapisan tercampur menyebar hampir di seluruh perairan dalam Indonesia, dimulai dari perairan Laut Cina Selatan, Selat Karimata sampai di perairan Laut Banda, Selat Makassar dan di perairan Laut Sulu dengan anomali positif maksimumnya sebesar 5.2 m berada di perairan Laut Jawa. Anomali positif kedalaman lapisan tercampur juga menyebar dengan luas di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, sebagian kecil perairan sebelah timur Australia dan di perairan Teluk Bengal dengan anomalinya bervariasi antara m. Diduga kuat di perairan dalam Indonesia dan di perairan sebelah timur Samudera Hindia terjadi pelepasan bahang yang cukup besar karena kemungkinan kemampuan laut untuk menyimpan bahang telah mencapai kondisi maksimum yang ditandai oleh banyaknya perairan yang memiliki kedalaman lapisan tercampur yang besar. Sementara itu, di perairan sebelah barat Samudera Pasifik kemungkinan terjadi pelepasan bahang berada di perairan sekitar ekuatorial dan di perairan di sebelah timur Australia. Mekanisme pelepasan bahang di sekitar ekuatorial terjadi karena menguatnya pembalikan arah Sirkulasi Walker dan semakin dangkalnya kedalaman lapisan tercampur di perairan ini, sehingga mengurangi kemampuan laut untuk menyimpan bahang, sedangkan di perairan sebelah timur Australia disebabkan oleh kemampuan laut untuk menyimpan bahang telah mencapai kondisi yang maksimum dengan ditandai oleh anomali positif kedalaman lapisan tercampur. Pola sebaran horizonal anomali Q S +Q L memperlihatkan bahwa dugaan sebelumnya di perairan sebelah timur Samudera Hindia terjadi pelepasan bahang yang besar semakin kuat, karena proses adveksi vertikal telah terhenti dan kedalaman lapisan tercampur telah maksimum sehingga bahang di laut sudah tidak memungkinkan lagi untuk disimpan dan harus di lepaskan ke atmosfer (Gambar 98a). Hampir seluruh perairan di sebelah timur Samudera Hindia dan perairan dalam Indonesia bahang di laut dilepaskan ke atmosfer dengan anomali negatif Q S +Q L yang terpusat di sekitar perairan Teluk Bengal sebesar -18 W/m 2 dan di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia sebesar -20 W/m 2. Begitu pula yang terjadi di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dimana terdapat anomali negatif Q S +Q L sebesar -6.0 W/m 2, sedangkan di perairan sebelah timur Australia mencapai sekitar -18 W/m 2. Anomali negatif Q S +Q L di perairan sekitar ekuatorial

201 299 terjadi karena kuatnya angin baratan yang terjadi di atas perairan ini (Gambar 95a, Gambar 96a dan b) sehingga sebagian bahang yang dilepaskan berupa komponen Q L, sedangkan di perairan sebelah timur Australia terjadi karena bahang di laut telah mencapai kondisi yang maksimum sehingga harus dilepaskan ke atmosfer. Anomali positif Q S +Q L hanya terdapat di perairan sebelah barat laut Samudera Hindia dimana laut masih memiliki kapasitas untuk menyimpan bahang baik melalui proses adveksi vertikal maupun horizontal. Selain itu, puncak fase pada fase negatif Mode ke-5 EOF ini terjadi pada bulan Oktober dimana posisi semu matahari berada di BBS setelah melewati ekuatorial, sehingga masukan bahang dari matahari telah berkurang. Anomali positif Q S +Q L di perairan ini maksimum mencapai sebesar 16 W/m 2, sedangkan anomali positif Q S +Q L yang lebih besar lagi terdapat di perairan sebelah utara Laut Cina Selatan mencapai sebesar 20 W/m 2. Proses penyimpanan bahang di perairan utara Laut Cina Selatan melalui mekanisme adveksi horizontal dimana Angin Muson Timur Laut di BBU (Gambar 95a) dengan kecepatan yang relatif besar mendorong massa air hangat di kolom kedalaman yang berasal dari sebelah barat laut Samudera Pasifik melalui Selat Luzon dan memasuki perairan utara Laut Cina Selatan. Mekanisme adveksi vertikal juga tejadi di perairan ini dimana ditemukan pula anomali positif kedalaman lapisan tercampur yang cukup besar mencapai 8.5 m (Gambar 97b). Oleh karena itu, di perairan utara laut Cina Selatan meskipun memiliki anomali positif kedalaman lapisan tercampur dan anomali positif Q S +Q L yang besar tetapi di permukaan laut terdapat anomali negatif SPL (Gambar 97a). Pada perairan sebelah timur Samudera Hindia dan perairan dalam Indonesia terdapat anomali negatif Q S +Q L dengan skala yang luas dimana kondisi ini menunjukkan bahang di laut dilepaskan ke atmosfer dalam jumlah yang besar. Sementara itu, di perairan ini dominan terdapat anomali negatif SPL dimana kecenderungan bahang mulai disimpan di laut dan kedalaman lapisan tercampur terdapat anomali positif di BBU dan BBS dimana memiliki kecenderungan yang sama bahang untuk disimpan di laut. Selain itu, suhu udara di sepanjang ekuatorial Asia Tenggara hampir di seluruh lapisan troposfer terdapat anomali negatif. Oleh karena itu, diduga bahwa bahang yang dilepaskan ke atmosfer bersumber dari lapisan kolom kedalaman laut yang diperankan oleh anomali

202 300 positif kedalaman lapisan tercampur, sedangkan mendinginnya suhu udara pada lapisan troposfer di atasnya disebabkan oleh komponen Q S dari anomali negatif SPL. Sementara itu, komponen Q L yang dilepaskan dari laut ke atmosfer diduga kuat tidak diikuti dengan proses kondensasi dan presipitasi sehingga bahang di dalam massa udara dari komponen Q L tetap berada di dalam paket massa udara dan tidak dilepaskan ke lingkungannya, sehingga suhu udara di lapisan troposfer tetap memiliki anomali negatif. Komponen Q L ini lebih cepat terbawa oleh angin permukaan laut (Gambar 95a) dan Sirkulasi Walker yang telah berbalik arah dengan kecepatan yang cukup besar (Gambar 96a dan b). Kondisi ini berlaku pula untuk menjelaskan anomali negatif Q S +Q L yang terdapat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan di perairan sebelah timur Australia. Gambar 98 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali Q S +Q L (W/m 2 ) dan (b) rata-rata anomali P E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-5 EOF. Dinamika aliran bahang dari hasil proses interaksi laut-atmosfer dengan mekanisme tersebut di atas semakin diperkuat dari hasil analisis anomali P E yang dapat menjelaskan sumber kandungan massa udara dengan kandungan uap

203 301 air dari hasil proses evaporasi di suatu perairan dan proses presipitasi di perairan yang lain. Anomali positif P E terbesar terdapat di atas perairan sebelah timur Samudera Hindia yang terpusat di 5 LU dan 80 BT mencapai sebesar 1.0 mm/hari (Gambar 98b). Anomali positif ini menyebar ke arah timur sampai ke perairan di sebelah selatan Laut Cina Selatan. Anomali positif P E di perairan sebelah timur Samudera Hindia dimana komponen P lebih besar dari E terjadi karena mendapatkan masukan massa udara dengan kandungan uap air yang berasal dari proses evaporasi di perairan Teluk Bengal yang memiliki anomali negatif P E sebesar -1.0 mm/hari dengan anomali positif SPL. Massa udara dengan kandungan uap air ini terbawa oleh Angin Muson Timur Laut yang cukup kuat di atas perairan Teluk Bengal ke arah ekuatorial (Gambar 95a). Selain itu, di atas perairan ini mendapatkan masukan massa udara dengan kandungan uap air yang berasal dari proses evaporasi di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dengan anomali negatif P E sebesar -1.0 mm/hari yang terdorong masuk ke arah ekuatorial oleh angin permukaan laut yang membentuk pola anti siklon dengan kecepatan yang rendah. Anomali positif P E di perairan sebelah selatan Laut Cina Selatan bersumber dari perairan di sebelah utara Laut Cina Selatan dengan anomali negatif P E sebesar -0.8 mm/hari yang terbawa pula oleh Angin Muson Timur Laut yang cukup kuat di atas perairan ini. Oleh karena itu, meskipun sebagian besar massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi dari hasil proses evaporasi di sekitar perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia terbawa oleh angin permukaan laut (Gambar 95a) dan menguatnya Sirkulasi Walker yang telah berbalik arah (Gambar 96a dan b) ke arah barat sampai di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia, tetapi di perairan ini tetap memiliki anomali positif P E karena mendapatkan masukan massa udara dengan kandungan uap air yang berasal dari proses evaporasi di atas perairan Teluk Bengal dan perairan sebelah tenggara Samudera Hindia. Anomali positif P E di perairan sebelah barat Australia juga mendapatkan masukan massa udara dengan kandungan uap air yang berasal dari proses evaporasi di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia, sedangkan anomali positif P E di perairan sebelah timur Australia, sumber kandungan uap airnya sebagian berasal dari proses evaporasi yang terjadi di atas perairan Laut Banda

204 302 dengan anomali negatif P E sebesar -0.5 mm/hari dan juga berasal dari perairan utara Australia dengan anomali positif P E sebesar 0.7 mm/hari. Sementara itu, anomali positif P E juga terdapat di perairan barat Samudera Pasifik dimana anomali positif di sekitar ekuatorial pada 160 BT, sumber kandungan uap airnya berasal dari proses evaporasi di perairan ini, sehingga terdapat anomali positif P E sebesar 0.4 mm/hari dan juga berasal dari perairan di sebelah baratnya yaitu di perairan sebelah utara Papua dengan anomali negatif P E sebesar -0.8 mm/hari. Massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi dari hasil proses evaporasi di atas perairan utara Papua terdorong oleh anomali angin baratan permukaan laut (Gambar 95a) dan menguatnya Sirkulasi Walker yang telah berbalik arah (Gambar 96a dan b) ke arah timur sampai di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Oleh karena itu, kemungkinan besar di tengah ekuatorial Samudera Hindia terjadi anomali curah hujan yang cukup tinggi. Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase negatif Mode ke-5 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Pada fase negatif Mode ke-5 EOF, di perairan Benua Meritim terjadi pola osilasi spasial berupa fase negatif MCAT yang diketahui sebelumnya bahwa di perairan ekuatorial Samudera Hindia sedang terjadi periode DM positif dan di Samudera Pasifik sedang terjadi periode El Nino TP tipe terpusat. Proses terbentuknya fase negatif MCAT cukup kompleks dan secara sederhana skematika interaksi darat-laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-5 EOF disajikan pada Gambar 99. Terjadinya periode DM positif dan El Nino TP tipe terpusat telah mendominasi fase negatif Mode ke-5 dimana koefisien ekspansi EOF memiliki energi densitas spektral terbesar. Proses terbentuknya fase negatif MCAT dimulai dari hasil akumulasi sisa selisih bahang setelah dua kali terjadi siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 bulanan yang terdeteksi pertama kali pada Mode ke-2 EOF.

205 303 Gambar 99 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-5 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. Pada fase negatif Mode ke-2 EOF, di perairan dalam Indonesia dan di perairan Teluk Bengal pada siklus periode sebelumnya telah terjadi pelepasan bahang di laut ke atmosfer dimana bahang yang dilepaskan memodulasi TBO, sehingga di kedua perairan ini mengalami penurunan SPL. Siklus ini terjadi berulang dengan periode kurang lebih dua tahunan (18.2 bulanan) dimana pada perairan dalam Indonesia ketika bahang telah dilepaskan ke atmosfer, tidak semua kandungan bahang di laut dilepaskan ke atmosfer atau kemungkinan lainnya bahang yang telah dilepaskan ke atmosfer kembali lagi ke laut melalui mekanisme interaksi darat-laut-atmosfer. Begitu pula yang terjadi di perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan dimana kandungan bahang yang dilepaskan ke atmosfer atau melalui perpindahan massa air tidak semua dilepaskan atau dipindahkan. Secara bertahap di perairan dalam Indonesia dimulai pengisian bahang yang berasal dari Samudera Pasifik pada kolom kedalaman laut dan dari Laut Cina Selatan pada permukaan laut. Begitu pula yang terjadi di perairan Teluk Bengal, terjadi pengisi bahang di laut melalui jebakan massa air hangat. Sisa kandungan bahang yang tidak ikut dilepaskan sebelumnya di perairan Teluk Bengal dan perairan dalam Indonesia, terakumulasi dengan pengisian bahang yang baru pada kedua perairan tersebut, sehingga kedua perairan ini menjadi lebih bertambah

206 304 hangat. Pada waktu yang bersamaan dengan fase negatif Mode ke-2 ini yaitu pada bulan September-Oktober, Arus Barat Australia (West Australian Current) yang membawa massa air dingin dari BBS sedang aktif pada puncak fasenya dan Arus Selatan Jawa juga sedang dalam puncaknya, bergerak sepanjang pantai selatan Jawa dan menyusuri pantai barat Sumatera sampai di ekuatorial dengan membawa massa air hangat. Sementara itu, di perairan Teluk Bengal sebagian massa air yang telah hangat bergerak ke arah ekuatorial barat Sumatera melalui mekanisme Ekman transport bertemu dengan massa air hangat dari Arus Selatan Jawa sehingga di perairan ekuatorial barat Sumatera semakin bertambah hangat. Oleh karena itu, terjadi gradien SPL yang tinggi di ekuatorial perairan Barat Sumatera dan semakin menurun di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia karena masuknya massa air dingin yang terbawa oleh Arus Barat Australia. SPL yang tinggi dengan suhu udara tinggi dan tekanan udara yang rendah di atas perairan ekuatorial barat Sumatera dan SPL yang rendah dengan suhu udara rendah dan tekanan udara tinggi di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia mengakibatkan terjadinya anomali angin tenggara yang berhembus dari perairan barat Australia menuju ke perairan ekuatorial barat Sumatera kemudian berbelok ke arah barat menuju ke tengah perairan ekuatorial Samudera Hindia sebagai anomali angin timuran. Massa air dingin terbawa ke perairan ekuatorial barat Sumatera sehingga SPL di perairan ini semakin menurun, sedangkan massa air hangat terbawa ke tengah perairan ekuatorial Samudera Hindia. Sementara itu, di perairan Teluk Bengal dan di perairan dalam Indonesia telah mencapai kondisi maksimum pengisian bahang pada waktu sebelumnya, sehingga di kedua perairan ini terjadi peningkatan SPL. Periode ini terjadi pada saat fase positif Mode ke-2 EOF. Ketika periode puncak fase positif Mode ke-2 EOF telah dimulai, akan diikuti oleh fase negatif Mode ke-5 EOF, dimana perairan dalam Indonesia dan di perairan Teluk Bengal terdapat anomali SPL yang tinggi, sedangkan di perairan ekuatorial barat Sumatera terjadi anomali SPL yang rendah. Mekanisme proses interaksi darat-laut-atmosfer pada fase negatif Mode ke-5 EOF ini dimulai dengan terbentuknya dua sel sirkulasi atmosfer di atas perairan dalam Indonesia yang dipicu oleh SPL yang tinggi di perairan dalam Indonesia, SPL yang rendah di

207 305 perairan ekuatorial barat Sumatera dan SPL dari massa air hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang sedikit lebih rendah daripada SPL di perairan dalam Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya suhu udara rendah dengan tekanan udara tinggi di atas perairan ekuatorial barat Sumatera dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan tepat di tengah perairan dalam Indonesia di atas permukaan laut memiliki suhu udara tinggi dengan tekanan udara rendah. Angin akan berhembus di atas permukaan laut dari perairan ekuatorial barat Sumatera dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik menuju ke tengah perairan dalam Indonesia, sehingga di atas perairan ini terjadi zona konvergen dan angin tersebut berhembus ke lapisan atas troposfer. Sebagian angin berbelok kearah barat dan sebagian lainnya ke arah timur dan kedua angin tersebut masing-masing turun ke arah permukaan laut ketika sampai di atas perairan ekuatorial barat Sumatera dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Pada saat kedua angin tersebut berada di lapisan atas troposfer, massa udara yang sedikit lebih hangat yang berasal dari tengah perairan dalam Indonesia mengakibatkan sel Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan barat Samudera Pasifik terdorong masuk ke arah perairan dalam Indonesia, sehingga menyebabkan kedua sel Sirkulasi Walker ini mengalami pelemahan. Pelemahan kedua sel sirkulasi ini lambat laun akan mengakibatkan pembalikan dari arah sirkulasinya. Kedua sel Sirkulasi Walker ini kemudian akan semakin menguat dan semakin terdorong ke arah perairan dalam Indonesia dengan membawa massa udara dingin yang berasal dari lapisan atas troposfer. Kondisi ini mengakibatkan profil suhu udara di lapisan troposfer dominan menjadi dingin. Profil suhu udara yang dingin ini mengakibatkan kedua sel di atas perairan dalam Indonesia pada sisi barat bergeser ke arah barat dan pada sisi timur bergeser ke arah timur, sehingga mendorong kembali sel Sirkulasi Walker di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Kondisi ini mengakibatkan kedua sel Sirkulasi Walker semakin menguat kembali dan diikuti dengan melemahnya kedua sisi barat dan timur dari kedua sel sirkulasi atmosfer tersebut. Kondisi ini mengakibatkan pola sirkulasi angin di lapisan troposfer di atas perairan dalam Indonesia menjadi tidak

208 306 beraturan, terjadi turbulen dan tepat di tengah perairan dalam Indonesia, angin dominan berhembus dari permukaan laut ke arah lapisan atas troposfer. Pada perairan ekuatorial barat Sumatera, massa air hangat yang telah terdorong ke arah tengah ekuatorial Samudera Hindia (adanya anomali angin timuran) karena masuknya massa air dingin dari perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (adanya anomali angin tenggara), dengan menguatnya Sirkulasi Walker dengan arah yang berlawanan mengakibatkan massa air hangat di tengah ekuatorial Samudera Hindia semakin terdorong ke arah timur menuju ke perairan sebelah barat Benua Afrika. Ketika massa air hangat ini sampai di perairan sebelah barat Benua Afrika, terjadi zona konveksi yang diikuti naiknya massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi dan terjadi proses kondensasi dan presipitasi di lapisan atas troposfer, sehingga di daerah ini terjadi anomali curah hujan yang tinggi. Pada lapisan atas troposfer angin berhembus ke arah timur kembali lagi menuju lapisan atas troposfer di atas ekuatorial perairan barat Sumatera. Angin yang berhembus ke arah barat di atas ekuatorial Samudera Hindia, ketika sampai di tengah samudera sebagian angin terus berhembus ke arah barat dan sebagian lagi berhembus ke atas menuju lapisan atas troposfer. Naiknya massa udara dengan kandungan uap air yang cukup besar diikuti dengan berhembusnya angin ke atas sampai di lapisan atas troposfer disebabkan oleh massa air hangat yang sebelumnya terdorong oleh angin timuran pada fase positif Mode ke-2 EOF. Massa udara dengan kandungan uap air yang cukup tinggi ini sebagian mengalami proses kondensasi dan presipitasi dan sebagian kecil lagi ikut terbawa dengan Sirkulasi Walker memasuki perairan dalam Indonesia. Massa udara dengan kandungan uap ini ketika mencapai Pulau Sumatera bagian utara di lapisan tengah sampai permukaan troposfer terjadi proses kondensasi dan presipitasi karena bertemu dengan udara lingkungan yang rendah. Oleh karena itu, pada fase ini, sebagian wilayah di Sumatera Utara dan NAD mengalami anomali curah hujan yang tinggi. Masukan massa udara dengan kandungan uap air dari Samudera Hindia terhenti sampai di sini dan tidak sampai ke atas perairan dalam Indonesia. Periode pada fase negatif Mode ke-5 ini disebut periode DM positif.

209 307 Pada saat yang bersamaan dengan proses dinamika laut-atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia, interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik juga berlangsung. Ketika pada lapisan troposfer di atas perairan dalam Indonesia terjadi pola sirkulasi atmofer yang tidak teratur, terjadi turbulen dan tepat di tengah perairan dalam Indonesia terdapat angin vertikal yang berhembus ke atas sampai ke lapisan atas troposfer, akan mengakibatkan melebarnya sel sirkulasi atmosfer sebelah timur yang berada di atas perairan dalam Indonesia terdorong ke arah timur. Kondisi ini mengakibatkan semakin menguatkan kembali sel Sirkulasi Walker dengan arah yang berlawanan di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sehingga menyebabkan massa air hangat dan kandungan uap air di atasnya terdorong sampai ke perairan barat Peru dan terjadi zona konveksi yang kuat membawa massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi ke lapisan atas troposfer yang menimbulkan proses kondensasi dan presipitasi. Tekanan angin yang kuat di permukaan laut tepat di ekuatorial di sepanjang Samudera Pasifik menimbulkan gesekan angin di permukaan laut semakin kuat. Kondisi ini mengakibatkan Arus Balik Ekuatorial Utara di BBU semakin kuat dan Arus Ekuatorial Selatan di BBS menjadi berbalik arah, sehingga terjadi equatorial downwelling di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik karena adanya proses Ekman tranport. Proses dinamika laut ini akan menyebabkan massa air hangat akan memanjang dari perairan sebelah barat sampai ke timur ekuatorial Samudera Pasifik. Periode pada fase negatif di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik ini disebut fase El Nino TP tipe terpusat. Periode ini diiringi dengan terjadinya anomali curah hujan yang tinggi di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan pantai barat Benua Amerika Selatan. Angin di lapisan atas troposfer berhembus kembali ke arah barat menuju ke lapisan atas troposfer di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan membawa massa udara dingin dan kering. Massa udara dingin ini akan bertemu dengan massa udara dengan kandungan uap air di lapisan tengah sampai lapisan atas troposfer yang berasal dari proses penguapan dari massa air hangat yang menjulur sampai di sekitar 150 BT, sehingga terjadi proses kondensasi dan presipitasi dan mengakibatkan di atas perairan ini terjadi anomali curah hujan yang tinggi. Massa udara dingin dan kering ini yang telah mengalami proses

210 308 kondensasi sebelumnya, akan terus terdorong masuk lebih jauh lagi ke arah perairan dalam Indonesia, sehingga profil suhu udara di lapisan atas sampai ke lapisan bawah troposfer di atas perairan ini menjadi jauh lebih dingin. Meskipun di perairan dalam Indonesia memiliki SPL dan kandungan bahang yang tinggi, tetapi tidak berpotensi untuk terjadi proses penguapan dari permukaan laut ke udara di atasnya. Proses penguapan tidak terjadi karena tekanan parsial udara di atas permukaan laut dengan suhu udara yang rendah, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan parsial massa air di permukaan laut. Oleh karena itu, di perairan dalam Indonesia dominan terjadi anomali curah hujan di bawah normal. Pada fase negatif Mode ke-5 EOF dimana terbentuk pola osilasi spasial fase negatif MCAT dan berasosiasi dengan terjadinya puncak periode DMI positif dan SOI negatif secara bersamaan. Siklus antar tahunan terjadi dengan periode 42.6 bulanan yang sama dengan fase negatif DMAT pada fase negatif Mode ke-3 EOF, tetapi pola osilasi spasial di Asia Tenggara berbeda dan pola anomali SPL di ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik yang juga berbeda. Sementara itu, fase positif dan negatif TMAT pada Mode ke-4 EOF dengan periode 63.9 bulanan terbentuk pola osilasi spasial yang lebih teratur di Asia Tenggara, tetapi pola anomali SPL yang terbentuk di ekuatorial Samudera Hindia dan Pasifik antara fase positif dan negatif memiliki perbedaan yang besar dengan fase kebalikannya. Diduga bahwa pada fase TMAT ini merupakan periode transisi yang menentukan pada periode berikutnya apakah fase DMAT atau MCAT yang akan aktif. Oleh karena itu, fase TMAT menjadi penting sebagai indikasi pembentukan ENSO konvensional atau ENSO TP tipe terpusat. Sementara itu, fase MCAT terjadi ketika akumulasi sisa selisih bahang dari fase PBAT telah kembali ke kondisi normal untuk terakumulasi kembali pada fase ASBM pada Mode ke-1 EOF dengan ditandai oleh tidak aktifnya siklus dua tahunan dengan periode 18.2 bulanan dan aktifnya kembali siklus dengan periode 19.7 bulanan seperti halnya pada Mode ke-1 EOF. Selain itu, fase MCAT pada Mode ke-5 EOF memiliki keragaman hanya sebesar 2.8% dari total keragaman anomali SPL di Asia Tenggara, sehingga kontribusi fase MCAT didalam sistem ini cukup kecil tetapi tidak dapat diabaikan.

211 Keseimbangan Bahang dan Awal Terjadinya DM dan ENSO Sisa selisih bahang dari Q S +Q L antara fase positif dan negatif pada setiap Mode EOF yang dihitung dari penjumlahan antara fase positif Q S +Q L dan fase negatif Q S +Q L diberikan pada Gambar 100. Nilai nol pada suatu Mode menunjukkan bahwa telah terjadi keseimbangan bahang dan tidak ada sisa selisih bahang yang akan terakumulasi setelah terjadi ulangan siklus di dalam Mode EOF tersebut. Jika terdapat sisa selisih bahang maka setelah terjadi beberapa kali ulangan siklus di suatu Mode EOF maka hasil akumulasi sisa selisih bahang akan terdeteksi pada siklus dengan periode tertentu di dalam Mode EOF berikutnya yang dilepas ke atmosfer atau disimpan di laut. Hasil akumulasi sisa selisih bahang ini yang diduga mempengaruhi kondisi atmosfer di atas Asia Tenggara sehingga terjadi anomali sirkulasi atmosfer sebagai indikasi awal kedatangan DM dan ENSO. Pada fase AMAT terdapat kondisi asimetris keseimbangan bahang secara meridional yang terlihat pada hasil akhir keseimbangan bahang dari nilai fase positif + negatif anomali P E dimana ternyata setelah satu kali siklus dominan Muson dengan periode 12.2 bulanan pada Mode ke-1 EOF ditemukan nilai negatif (evaporasi lebih besar daripada presipitasi) di BBU sekitar 9 LU dan nilai positif dominan terdapat di sekitar 17 LS dan 20 LU (Gambar 101a). Sisa selisih bahang dari hasil perhitungan fase positif + negatif anomali Q S +Q L ternyata lebih banyak tersimpan di laut sekitar ekuatorial, yang menyebar di perairan sebelah timur Samudera Hindia, perairan dalam Indonesia dan di perairan sebelah barat Samudera Pasifik (Gambar 100a). Sisa selisih bahang yang tersimpan di perairan dalam Indonesia selain berasal dari Q SW juga berasal dari masukan massa air hangat dari Laut Cina Selatan yang masuk melalui Laut Natuna, Selat Karimata dan Laut Jawa dan dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang masuk melalui jalur ARLINDO. Oleh karena itu, perairan dalam Indonesia menjadi tempat yang penting untuk penyimpanan bahang di laut. Siklus dominan Muson pada Mode ke-1 EOF setelah terjadi dua kali periode Muson, sisa selisih bahang tersebut akan terakumulasi menjadi lebih besar lagi dan ketika mencapai kondisi maksimum kemampuan laut untuk menyimpan

212 310 bahang maka akan dilepaskan ke atmosfer seiring dengan terjadinya pergeseran awal kedatangan Muson sebesar 3.1 bulan lebih awal. Kondisi ini akan memicu fase negatif Mode ke-2 EOF untuk terbentuk fase negatif PBAT, sehingga bahang yang dilepaskan memodulasi munculnya siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 bulanan dari hasil interaksi antara siklus Muson dan siklus dengan periode 10.7 tahunan. Oleh karena itu, siklus dua tahunan TBO pada Mode ke-1 EOF terdeteksi dengan periode 19.7 bulanan setelah terjadi dua kali siklus Muson dengan pergeseran awal kedatangnnya dan hasil interaksinya dengan siklus dekadal menjadi periode 18.2 bulanan yang terdeteksi pada Mode ke-2 EOF. Hasilnya siklus dua tahunan TBO dapat dihitung yaitu dua kali siklus Muson sebesar 12.2 bulanan menjadi 24.4 bulan dikurang dengan dua kali pergeseran awal kedatangan Muson sebesar dua kali 3.1 bulan sebesar 6.2 bulan sehingga menjadi sebesar 18.2 bulanan. Akumulasi sisa selisih bahang setelah dua kali terjadi siklus tahunan Muson akan disimpan di laut dengan nilai positif dari penjumlahan fase negatif dan fase negatif anomali Q S +Q L yang terdapat di sekitar ekuatorial Asia Tenggara terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia mencapai sebesar 25 W/m 2, perairan dalam Indonesia sebesar 20 W/m 2 dan di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 28 W/m 2 (Gambar 100a). Siklus dua tahunan TBO yang berinteraksi dengan siklus tahunan Muson dan siklus dekadal membentuk pola osilasi PBAT pada Mode ke-2 EOF dimana setelah terjadi satu kali siklusnya juga akan terdapat sisa selisih bahang yang telah dilepaskan ke atmosfer dengan nilai negatif dari penjumlahan fase positif dan negatif anomali Q S +Q L pada Mode ke-2 EOF (Gambar 100b). Kondisi asimetris seperti fase AMAT pada Mode ke-1 EOF juga terlihat dari nilai positif penjumlahan fase positif dan negatif anomali P E dengan presipitasi lebih besar daripada evaporasi (Gambar 101b) sesuai dengan nilai negatif dari sisa selisih bahang yang telah dilepaskan ke atmosfer pada fase PBAT (Gambar 100b). Sisa selisih bahang yang telah dilepaskan ke atmosfer berada di sekitar ekuatorial Asia Tenggara seperti halnya pada fase AMAT (Gambar 100a) yang terpusat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia mencapai sebesar -7.0 W/m 2, di perairan dalam Indonesia sebesar -8.0 W/m 2 dan di perairan sebelah barat

213 311 ekuatorial dan sebelah barat laut Samudera Pasifik sebesar -15 W/m 2 (Gambar 100b). Puncak fase ini terjadi pada periode fase positif PBAT, sehingga pola sebaran anomali Q S +Q L pada fase positif Mode ke-2 EOF (Gambar 48a) hampir sama dengan sisa selisih bahang yang telah dilepaskan ke atmosfer (Gambar 100b), sehingga menghasilkan anomali suhu udara disepanjang ekuatorial Asia Tenggara menjadi lebih hangat (Gambar 46c). Siklus dua tahunan TBO ini akan terjadi berulang dengan menyisakan sisa selisih bahang di atmosfer yang akan terakumulasi pada siklus berikutnya. Gambar 100 Sisa selisih bahang yang tidak dilepaskan/disimpan antara fase positif dan negatif pada setiap Mode EOF berturut-turut (a)-(e) dari Mode ke-1sampai Mode ke-5 EOF, dihitung dengan menjumlahkan fase positif dan negatif. Jika tidak terdapat sisa bahang maka akan memiliki nilai nol. Siklus dua tahunan TBO telah terpicu untuk aktif memberikan sisa selisih bahang yang disimpan di laut dan dilepaskan ke atmosfer. Seiring dengan masih

214 312 aktifnya fase AMAT, sisa selisih bahang di laut akan terus bertambah sampai batas maksimum di perairan tersebut untuk menerima bahang baik melalui QSW maupun QV. Begitu pula bahang di laut yang masih terdapat sisa selisih bahang yang dilepaskan ke atmosfer akan terus dilepaskan melalui komponen Q S +Q L, sehingga setelah terjadi dua kali siklus dua tahunan TBO dan keterlambatan awal kedatangan Muson akan terbentuk pola fase negatif DMAT pada fase negatif Mode ke-3 EOF. Oleh karena itu, pola sebaran anomali Q S +Q L fase negatif DMAT (Gambar 68a) hampir sama dengan dua kalinya nilai penjumlahan dari fase positif dan negatif PBAT pada Mode ke-2 EOF dari akumulasi sisa selisih bahang yang disimpan di laut dan dilepaskan ke atmosfer (Gambar 100b). Gambar 101 Sisa selisih anomali P E antara fase positif dan negatif pada setiap Mode EOF berturut-turut (a)-(e) dari Mode ke-1sampai Mode ke-5 EOF, dihitung dengan menjumlahkan fase positif dan negatif. Jika tidak terdapat sisa anomali P E maka akan memiliki nilai nol.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

sebesar 2.7 bulan dari puncak Dipole Mode Index (DMI) dan terbentuknya periode El Nino/La Nina konvensional dengan beda fase 2.7 bulan dari puncak

sebesar 2.7 bulan dari puncak Dipole Mode Index (DMI) dan terbentuknya periode El Nino/La Nina konvensional dengan beda fase 2.7 bulan dari puncak v ABSTRACT ANDRI PURWANDANI. Variability of Sea Surface Temperature and its Interelationships with The Monsoon, Dipole Mode (DM) and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Southeast Asia and its Surrounding

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

KORELASI ASIAN MONSOON, EL NINO SOUTH OSCILATION DAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP VARIABILITAS CURAH HUJAN DI PROPINSI LAMPUNG

KORELASI ASIAN MONSOON, EL NINO SOUTH OSCILATION DAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP VARIABILITAS CURAH HUJAN DI PROPINSI LAMPUNG AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) KORELASI ASIAN MONSOON, EL NINO SOUTH OSCILATION DAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP VARIABILITAS CURAH HUJAN DI PROPINSI LAMPUNG Eko Efendi 1 Andri

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Pengaruh Fenomena El Niño Southern Oscillation dan Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Muhammad Elifant Yuggotomo 1,), Andi Ihwan ) 1) Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak ) Program Studi Fisika Fakultas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG KUPANG, 12 JANUARI 2017 OUTLINE ANALISIS DINAMIKA SKALA GLOBAL Gerak

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Telp. Fax. : (0386) 2222820 : (0386) 2222820 Email : stamet.mali@gmail.com

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi

Lebih terperinci

ANALISIS EKSTRIM DI KECAMATAN ASAKOTA ( TANGGAL 4 dan 5 DESEMBER 2016 )

ANALISIS EKSTRIM DI KECAMATAN ASAKOTA ( TANGGAL 4 dan 5 DESEMBER 2016 ) BMKG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUHAMMAD SALAHUDDIN BIMA Jl. Sultan Muhammad Salahuddin Bima 84173, NTB Telp : (0374) 43215 Fax : (0374) 43123 Email : stamet_bmu@yahoo.co.id

Lebih terperinci

UPDATE DASARIAN III MARET 2018

UPDATE DASARIAN III MARET 2018 UPDATE DASARIAN III MARET 2018 : Pertemuan Angin dari Utara dan Selatan v Analisis Dasarian III Maret 2018 Aliran massa udara di Indonesia masih didominasi Angin Baratan. Terdapat area konvergensi di

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III NOVEMBER 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Email : stamet.mali@gmail.com Telp. : (0386) 2222820 Fax. : (0386) 2222820

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN I MARET 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN I MARET 2017 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN I MARET 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM * 1 BMKG OUTLINE ΠAnalisis Angin dan OLR ΠAnalisis dan Prediksi SST

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muson

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muson 9 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muson Muson atau disebut pula Monsun (Monsoon) atau jika berkaitan dengan fase basah (hujan) dan kering (kemarau) umumnya disebut pula sebagai musim dan untuk selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I DESEMBER 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup

3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup 73 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Kajian pada penelitian ini membutuhkan pemilihan area riset yang tepat untuk dapat menangkap pengaruh dari Muson, DM dan ENSO. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Email : stamet.mali@gmail.com Telp. : (0386) 2222820 Fax. : (0386) 2222820

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI

STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI STUDI IDENTIFIKASI POLA UTAMA DATA RADIOSONDE MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS SPEKTRUM (STUDI KASUS BANDUNG) SATRIYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A.

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A. Bidang Studi Kode Berkas : GEOGRAFI : GEO-L01 (solusi) 1. B. Terjadinya efek Ekman menyebabkan massa air umumnya bergerak menjauhi daratan ke arah barat sehingga menyebabkan terjadinya upwelling di Cape

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN I FEBRUARI 2018

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN I FEBRUARI 2018 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN I FEBRUARI 2018 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Ø Analisis dan Prediksi Angin, dan Monsun; Ø Analisis OLR; Ø Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN II FEBRUARI 2018 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, dan Monsun; Analisis OLR; Analisis dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES DI DUSUN SORIUTU KECAMATAN MANGGALEWA KABUPATEN DOMPU ( TANGGAL 14 NOVEMBER 2016 )

ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES DI DUSUN SORIUTU KECAMATAN MANGGALEWA KABUPATEN DOMPU ( TANGGAL 14 NOVEMBER 2016 ) NALIS BMKG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MUHAMMAD SALAHUDDIN BIMA Jl. Sultan Muhammad Salahuddin Bima 84173, NTB Telp : (0374) 43215 Fax : (0374) 43123 Email : stamet_bmu@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN Oleh Nur Fitriyani, S.Tr Iwan Munandar S.Tr Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Aji

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Email : stamet.mali@gmail.com Telp. : (0386) 2222820 Fax. : (0386) 2222820

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II MARET 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM BMKG OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR

Lebih terperinci

Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Jakarta

Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Jakarta Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Oleh: Kadarsah, Ahmad Sasmito, Erwin Eka Syahputra, Tri Astuti Nuraini, Edvin Aldrian Abstrak Curah hujan yang sangat deras dan bersifat lokal terjadi

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II JANUARI 2018 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I FEBRUARI 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I FEBRUARI 2017 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I FEBRUARI 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM BMKG OUTLINE Ø Analisis Angin dan OLR Ø Analisis dan Prediksi

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II JANUARI 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM BMKG OUTLINE Analisis Angin dan OLR Analisis dan Prediksi SST

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta Menurut Caljouw et al. (2004) secara morfologi Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III OKTOBER 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci