VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG"

Transkripsi

1 126 VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 8.1 Pembelajaran Dari Sistem Lelang Lebak Lebung Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan dalam penelitian ini diketahui bahwa dari sisi pemerintah terdapat hambatan dalam menegakkan peraturan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung. Hambatan yang ada terdapat pada berbagai faktor yang mendukung pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum yang menjadi wilayah binaannya. Sebagai contoh, belum adanya bentuk atau sistem pengawasan yang dapat memberikan sanksi terhadap pengemin ataupun nelayan yang melanggar aturan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan unuk penegakan peraturan juga belum ada mekanismenya pada tingkat lapangan, sehingga tidak ada mekanisme pemberian sanksi terhadap pelanggar aturan. Di lain pihak, pemerintah memiliki kepentingan untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap perairan umum lebak lebung yang menjadi objek lelang yang dilelangkan kepada masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk kelembagaan yang ada di antara nelayan dan pedagang lokal dalam hubungannya dengan penangkapan ikan yang dilaksanakan nelayan, yaitu pedagang menyediakan modal untuk pengadaan sarana penangkapan ikan bagi nelayan. Untuk itu, nelayan berperan sebagai penangkap ikan, sementara pedagang berperan sebagai pembeli ikan yang membentuk suatu ikatan yang sosial yang saling menguntungkan. Dalam ikatan tersebut, harga ikan ditentukan berdasarkan harga pasar, sementara pinjaman dibayar secara angsuran sesuai dengan kondisi keuangan nelayan. Ikatan ini terbentuk secara lokal antara lain sebagai akibat adanya hubungan kekerabatan diantara mereka. Dengan demikian terdapat relasi antar aktor yang terbentuk dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yaitu hubungan antar aktor yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung (PULL). Relasi antar aktor dipengaruhi oleh orientasi sosial yaitu luas lingkup dan cara para aktor saling

2 127 memperhitungkan satu sama lain dalam evaluasi dan pengambilan keputusan. Artinya, ada dimensi kepentingan yang menjadi orientasi sosial dalam setiap aktor yang terkait yang menjadi dasar evaluasi dan penentuan pilihan. Untuk itu, sebuah orientasi sosial terhadap diri pribadi, aktor yang lain, sebuah kelas aktor atau sebuah kolektivitas merupakan sebuah dasar bagi evaluasi dan pilihan. Orientasi para aktor dan dasar pilihannya tergantung dari kepribadiannya, hubungannya satu sama lain, serta konteks kultural tempat interaksi itu terjadi. Berbagai kondisi sosial dan pskologis yang membuat suatu pola tingkah laku atau dasar evaluasi dan pilihan tertentu lebih mungkin terjadi daripada yang lainnya, dipengaruhi oleh beberapa faktor atau kondisi. Faktor dan atau kondisi yang mempengaruhi relasi antar aktor antara lain adalah hambatan dan tersedia kemungkinan untuk bertindak. Juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kelembagaan dari pertukaran dan hubungan menurut peranan. Juga, faktor-faktor kultural, etnis dan kelas serta hubungan yang terus menerus antara para aktor dan konteks hubungan, serta faktor-faktor keperibadian. Terkait dengan relasi antar aktor, Burns (1987) mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) rumusan orientasi sosial yang dimiliki para aktor dalam mengevaluasi dan pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu atau menentukan suatu pilihan. Menurut Burns (1987) orientasi sosial tersebut dapat bersifat individualisme, altruisme, permusuhan, dan kerjasama. Individualisme yaitu orientasi pada kepentingan diri pribadi; dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap alternatif-alternatif tindakan dan akibatnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan dan nilai-nilai pribadinya. Altruisme yaitu orientasi positif pada kepentingan orang lain; dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap pilihan dan akibatnya untuk memenuhi pencapaian tujuan dan nilai-nilai aktor lainnya (misalnya kepentingan kelompok mengalahkan kepentingan individu pribadi). Di lain pihak, permusuhan yaitu orientasi negatif terhadap kepentingan orang lain. Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi dan memilih tindakantindakan alternatif yang dapat menimbulkan kekecewaan (kehilangan atau kerugian) terhadap tujuan dan nilai-nilai bagi seorang aktor lainnya. Kerjasama yaitu orientasi terhadap kepentingan pribadi sekaligus terhadap kepentingan orang

3 128 lain. Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap tindakan-tindakan dan akibatnya berdasarkan maksud dan nilai-nilainya sendiri berdasarkan tujuan dan nilai aktor lainnya. Hasil identifikasi orientasi sosial yang terbentuk dalam relasi antar aktor terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung di wilayah Kab. OKI dapat dikemukakan berdasarkan relasi antara pemerintah daerah, pengemin, dan nelayan. Relasi antar pemerintah dan pengemin, antar pemerintah dan nelayan, antar pengemin dan pemerintah, antar pengemin dan nelayan, antar nelayan dan pemerintah, dan antar nelayan dan pengemin; kesemuanya lebih berorientasi individualisme. Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya orientasi terhadap masing-masing aktor. Dalam hal ini, pemerintah berkepentingan terhadap nilai hasil lelang terhadap sumber daya perikanan yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga mengadakan evaluasi terhadap tindakan-tindakan dan akibatnya berdasarkan maksud dan nilai-nilainya sendiri berdasarkan tujuan dan nilai yang ada pada pemerintah. Sementara pengemin sebagai aktor yang ingin mendapatkan keuntungan dari kekuasaan memegang hak usaha penangkapan ikan berorientasi kepada kepentingan pribadinya. Pada pelaksanaannya masyarakat nelayan selalu mendapatkan hambatan untuk dapat memenangkan pelelangan dengan adanya kewajiban membayar tunai objek lelang dengan nilai yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya orientasi terhadap kepentingan pribadi pengemin yang tidak mempertimbangkan kepentingan lainnya (nelayan dan kelestarian sumber daya). Dalam hal ini, pengemin berkepentingan terhadap objek lelang yang dapat menjadi sumber keuntungan baginya jika menguasai lisensi hak usaha penangkapan ikan. Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya perjanjian diantara pengemin dan nelayan yang memberatkan masyarakat nelayan. Dalam hal ini, pengemin juga menetapkan harga ikan lebih rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Di lain pihak, nelayan beranggapan bahwa pemerintah berkepentingan terhadap nilai hasil lelang terhadap sumber daya perikanan yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD), tanpa memikirkan bagaimana masyarakat nelayan ditekan oleh pengemin sebagai pemegang kekuasaan hak usaha penangkapan ikan

4 129 yang didapatkan dari pemerintah.hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya orientasi masyarakat nelayan hanya terhadap kepentingan pribadinya yaitu berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kelestarian sumber daya dan lingkungannya. Dalam hal ini, nelayan beranggapan bahwa pengemin juga tidak memikirkan masyarakat nelayan dalam menetapkan sewa perairan sebagai lisensi usaha penangkapan ikan bagi nelayan, yang berkepentingan sebagai sumber mata pencaharian. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi sosial yang terbentuk pada semua relasi antar aktor bersifat individualism dan lebih mengarah kepada aspek ekonomi, yang berorientasi jangka pendek serta belum mengindahkan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan pelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan. Oleh karena itu, optimasi peran kelembagaan sebagai konsekuensi dari relasi antar aktor tersebut memberikan makna bahwa seluruh relasi antar aktor harus berorientasi ke depan dalam bentuk kerja sama, yang bermuara kepada keberlanjutan pemanfaatan sumber daya dan pelestarian lingkungan perairan umum. 8.2 Kelembagaan Adaptif Pengelolaan Sumber daya Perikanan Pada sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, degradasi sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dapat merupakan akibat interaksi proses pengaturan terkait pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang merupakan intervensi pemerintah dan tindakan nelayan dalam keseharian melaksanakan penangkapan ikan. Kemudian sejalan dengan itu, titik tolak perbaikan teknologi atau ketersediaan peraturan saja tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan di perairan umum lebak lebung. Perbaikan teknologi harus diimbangi dengan penyempurnaan komponen penggerak pembangunan lainnya termasuk sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Perubahan kelembagaan berarti melaksanakan rekayasa sosial. Rekayasa sosial atau perubahan kelembagaan adalah terjemahan dari social engineering dimana secara eksplisit menekankan penerapan ilmu pengetahuan untuk

5 130 menghasilkan sesuatu, misalnya memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi manusia (petani/nelayan) (Pakpahan, 1989). Sudah saatnya rekayasa sosial kelembagaan dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum dilakukan dan dirasakan semakin dibutuhkan serta memegang peranan yang cukup penting karena sumber daya alam yang milik bersama cenderung akan punah jika tidak dikelola dengan baik. Pengaturan alokasi hak penangkapan di perairan umum lebak lebung Sumsel yang ada saat ini lebih bersifat top down approach sehingga masyarakat nelayan harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh panitia pengawas dan pelaksana lelang. Dalam hal ini masyarakat lebih merasa sebagai objek yang bertujuan meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini juga tergambar dari susunan panitia pengawas dan panitia pelaksana pelelangan yang sama sekali tidak melibatkan unsur kelompok nelayan. Akibat lebih lanjut adalah kecilnya rasa memiliki (sense of belonging) bagi nelayan terhadap sumber daya dan lingkungan hidup perikanan yang ada. Dengan demikian, pada gilirannya upaya yang bertujuan kepada kelestarian sumber daya dan lingkungan hidup perikanan tidak akan tercapai. Salah satu aspek sosial budaya yang dapat diperkirakan akan kuat mempengaruhi struktur dan perilaku organisasi formal adalah struktur masyarakat sendiri, dan nilai-nilai serta sikap yang cenderung ditimbulkan oleh struktur itu (Paramita, 1985) seperti yang terjadi pada alokasi sumber daya perikanan di perairan umum lebak lebung ini. Oleh karena itu, salah satu usaha yang memungkinkan untuk dapat merubah rasa memiliki nelayan terhadap sumber daya dan lingkungan hidup perikanan tersebut adalah dengan merekayasa kelembagaan. Antara lain dengan cara mengikutsertakan perwakilan dari kelompok nelayan dalam rangka pengelolaan alokasi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Artinya pengambil keputusan dalam pengalokasian hak penangkapan ikan dan penggunaan sumber daya perikanan tersebut perlu memperhatikan arus bawah (bottom up approach), meskipun menurut Henry and Heinke (1989) pengawasan-pengawasan legislatif dan pengaruh-pengaruh politik para pengambil keputusan (birokrat) tidak dapat dihilangkan sama sekali.

6 131 Efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung dan diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan 8 (delapan) unsur penyusun kelembagaan menurut Ostrom (1999; 2008); dan dikelompokkan berdasarkan dua periode pemerintahan yang diberlakukan dalam wilayah Sumatera Selatan, termasuk di Kabupaten OKI. Masa pemerintahan yang pertama adalah masa pemerintahan Marga yaitu masa pemerintahan sebelum dibentuknya desa-desa di Sumatera Selatan dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (yaitu sejak adanya pemerintahan Marga sekitar tahun 1830 hingga tahun 1982). Kemudian, masa pemerintahan kabupaten, yaitu masa pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung tersebut diserahkan oleh pemerintahan propinsi kepada pemerintah kabupaten (sejak tahun 1983 hingga tahun 2008). Kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung pada masa pemerintahan Marga masih berada pada kondisi yang efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung pada masa pemerintahan kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung pada masa pemerintahan Marga berfungsi sebagai wadah pengaturan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Meskipun demikian, pada tahun penangkapan ikan 2009 dan 2010 kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan pada PULL dibagi dua kategori yaitu ada yang dilelang dan ada perairan yang tidak dilelang. Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi isi, ternyata peraturan desa yang dirancang di salah satu desa yang memiliki areal PULL sama efektifnya dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung yang berlaku pada periode pemerintahan Marga. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis yang dikemukakan pada keberlanjutan kelembagaan menggunakan pendekatan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan diketahui bahwa lelang lebak lebung yang ada saat ini tidak efektif dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Tidak efektifnya kelembagaan lelang lebak lebung diikuti dengan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber

7 132 daya perikanan PULL jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Marga. Hal ini berdampak terhadap perolehan keuntungan bagi masyarakat nelayan pada masa pemerintahan kabupaten menjadi semakin kecil dan sulit untuk didapatkan, dan akses yang didapatkan masyarakat nelayan adalah illegal. Dengan teori akses ini dapat diketahui bahwa ada kekuasaan-kekuasaan yang tidak formal berpengaruh terhadap proses pelelangan hak usaha penangkapan ikan. Untuk itu, pedagang yang ingin memenangkan pelelangan harus memberikan semacam uang tutup mulut kepada para calon pengemin lainnya yang ikut dalam pelelangan. Uang yang diberikan kepada calon pengemin ini berkisar Rp hingga Rp dengan total nilai untuk lelang perairan di Desa Berkat ini mencapai sekitar Rp hingga Rp (pada usaha penangkapan ikan tahun 2008). Terlihat bahwa pemilik modal mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar untuk mendapatkan hak usaha penangkapan. Tetapi proses pelelangan yang biasanya meningkatkan harga objek lelang tidak terjadi, karena penawar lelang hanya satu orang. Pada saat ini terjadi privatisasi hak usaha penangkapan ikan, yang dengan segala daya upaya pengemin berusaha mengembalikan modalnya. Untuk itu, dipastikan terjadi pengurasan sumber daya perikanan PULL pada perairan yang di lelang tersebut. Pengemin berusaha mengembalikan modalnya dengan upaya menjalankan penangkapan ikan dengan berbagai cara dan alat tangkap. Pada saat ini nelayan kecil hanya dapat menyewa kepada pengemin dengan membayar hak usaha penangkapan kepada pengemin, dengan harga yang tinggi (mencapai jutaan rupiah untuk jenis alat tangkap tertentu dan wilayah penangkapan tertentu). Lebih jauh terlihat pula bahwa tidak efektifnya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung terbukti pula memiliki dampak adanya degradasi kondisi sumber daya perikanan dan habitatnya, yang pada akhirnya berdampak pula terhadap terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan. Dampak tersebut sebagai akibat semakin mahalnya nilai objek lelang dan pembayarannya harus dilakukan secara tunai. Dengan tingginya harga perairan yang harus dibayar oleh masyarakat, maka biaya sewa untuk mendapatkan lisensi

8 133 hak usaha penangkapan ikan di perairan umum lebak lebung sampai pada tingkat masyarakat nelayan akan semakin mahal. Dengan semakin mahalnya sewa perairan, maka nelayan akan berusaha menangkap ikan dengan segala daya upaya, menggunakan semua teknik penangkapan ikan yang mereka kuasai untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya. Namun demikian, kemiskinan masyarakat nelayan terlihat dengan besarnya pangsa pengeluaran konsumsi pangan yang mereka keluarkan dibandingkan dengan konsumsi non pangan, yang memperlihatkan bahwa rata-rata pangsa pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di wilayah ini masih termasuk kategori miskin. Penghasilan nelayan hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari menyebabkan masyarakat nelayan tidak dapat menyisihkan penghasilan untuk tabungan dan anggaran untuk kegiatan rekreasi bersama tidak dapat dilakukan dalam waktu 1 kali dalam 6 bulan. Di lain pihak, pengemin atau pemenang lelang merupakan orang yang paling banyak mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan PULL yang dikuasainya. Hal ini terlihat dari pendapatan mereka yang mencapai Rp pada tahun Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung tidak efektif dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan, sehingga mengakibatkan sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL, terjadinya degradasi kondisi sumber daya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Meskipun demikian, diketahui bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung pada masa pemerintahan Marga terlihat efektif kaitannya dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Oleh karena itu, alternatif kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang efektif dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya perikanan PULL adalah kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang isinya mempedomani Peraturan Desa (Perdes) memenuhi kriteria efektif dalam mengalokasikan hak usaha penangkapan ikan kepada masyarakat sesuai dengan 8 (delapan) kriteria keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom (1990; 2008) dan

9 134 selanjutnya telah pula memenuhi kriteria teori akses yang dikemukakan oleh Ribot dan Peluso (2003). Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan (termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan) yang diusulkan adalah berupa kelembagaan komunitas nelayan (Kelompok Nelayan) yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada masyarakat (community based management). Upaya ini sebenarnya untuk skala lokal telah dipraktekkan di beberapa tempat di Indonesia, misalnya pengelolaan Sumber daya perikanan sistem SASI di Maluku (dalam; Bailey et al, 1993). Kemudian berdasarkan atas hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia, penerapan pengelolaan bersama dalam bidang perikanan berupa pengelolaan sumber daya perikanan memiliki dasar hukum (Nikijuluw, 1998). Pengambilan keputusan pada Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat dalam rangka penyusunan konsepsi pengelolaan (termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan) dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumber daya perikanan. Dalam hal ini, nelayan juga berfungsi sebagai subjek dalam pembangunan dengan adanya wakil dari kelompok nelayan. Pemimpin informal yang tergabung dalam Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan atau Badan Perwakilan Desa (BPD) turut merupakan wakil masyarakat secara menyeluruh yang merupakan fasilitator dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Dengan demikian, pelaksanaannya di lapangan cukup diorganisasi oleh kelompok nelayan yang ada, namun difasilitasi oleh Kepala Desa, BPD dan Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) setempat. Hal ini dilakukan untuk satu desa yang mempunyai wilayah sumber daya perikanan. Di sisi lain, berdasarkan hasil analisis terhadap data empiris yang ditemui dilapangan, maka dapat dikemukakan bahwa penggunaan teori Ostrom (1990) tentang prinsip keberlanjutan kelembagaan untuk menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung tidak cukup mampu menjelaskan fakta yang ada di lapangan. Dalam hal ini, harus ditambah dengan penggunaan teori akses dari Ribbot dan Peluso (2003) terkait dengan adanya kekuasaan yang dalam hal ini mengatur alokasi sumber daya

10 135 perikanan PULL tersebut terhadap masyarakat. Dengan perpaduan dua teori tersebut untuk membedah kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung akan tertangkap bagaimana hubungan kekuasaan yang dimainkan oleh pedagang dalam pelaksanaan lelang lebak lebung. Lebih lanjut, dapat dijelaskan pula pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama masyarakat, maka partisipasi masyarakat nelayan merupakan unsur penting dalam kerangka evaluasi efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Sedangkan untuk pengelolaan sumber daya yang meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar menjadi penting pula. Dengan demikian efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dapat dilakukan menggunakan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom (1990; 2008) dan teori akses Ribot dan Peluso (2003) ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (komanajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan pengaturan terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan yang diamanatkan dalam Peraturan Desa tersebut memerlukan pengorganisasian dan kejelasan fungsi dan peran para pemangku kepentingan (aktor) yang terkait. Pengorganisasian yang dimaksud diusulkan sebagaimana dikemukakan pada Gambar 3. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. OKI mewakili BUPATI berfungsi sebagai Pembina (Tingkat Kabupaten) Kades & BPD & Ketua Pokmaswas berfungsi sbg Koordinator Lapangan (Fasilitator Tingkat Desa) Operasional Pokmaswas Untuk Pemanfaatan, Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Perikanan Masyarakat Nelayan Sebagai Penangkap Ikan (Kelompok Nelayan) Gambar 3. Struktur Pengorganisasian Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Umum Lebak Lebung.

11 136 Pada Gambar 3 terlihat bahwa sudah saatnya perairan umum lebak lebung yang berada pada lokasi di sekitar pemukiman, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda Kab. OKI 9 Tahun 2008 tidak dilelangkan agar tetap dipertahankan tidak dilelangkan. Begitu juga untuk perairan umum lebak lebung yang jauh dari pemukiman penduduk yang biasanya dilelangkan sebagai sarana pengumpulan pembiayaan pembangunan, seyogyanya tidak dilelangkan semuanya, terutama kaitannya dengan upaya peningkatan kehidupan masyarakat nelayan (PKN) yang dicanangkan oleh pemerintah (Program Kluster IV). Bahkan jika dilihat nilai pendapatan asli daerah yang berasal dari sumber daya perikanan tidak lebih besar dari 5 milyar merupakan jumlah yang kecil bagi APBD Kabupaten OKI, sehingga jika tidak adapun dapat diusahakan dari sumber yang lain. Hal ini terlihat juga di wilayah lainnya di Kabupaten OKI yang tidak melelangkan seluruh perairan lebaknya. Pada tingkat kabupaten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten OKI sesuai dengan tugas pokoknya adalah sebagai pembina dalam pembuatan dan berfungsinya peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan pedesaan tersebut. Fungsi pembinaan ini juga jika terdapat suatu ekosistem perairan umum lebak lebung pada dua desa atau lebih di dalam satu kecamatan atau dua kecamatan, sehingga memerlukan koordinasi antara dua atau tiga desa di dalam satu kecamatan atau dua kecamatan yang berkaitan dalam satu kerangka pengelolaan sumber daya perikanan PULL secara terpadu. Pada tingkat pedesaan diusulkan tim fasilitasi tingkat desa yang tersusun atas Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang fungsinya sebagai penghubung masyarakat desa (Kelompok Nelayan) terhadap pemerintahan atas desa jika diperlukan. Tim ini juga berfungsi sebagai perwakilan masyarakat desa jika terdapat hal-hal yang perlu dikoordinasikan antar desa atau pada tingkat kecamatan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Sebagai ujung tombak perwakilan masyarakat nelayan pada tingkat pedesaan adalah Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas yang merupakan seorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin masyarakat nelayan dan dipilih

12 137 secara langsung oleh masyarakat nelayan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa orang yang menjadi ketua POKMASWAS memang benar-benar legitimate sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Marga. Pada masyarakat nelayan diharapkan adanya partisipasi masyarakat terkait dengan berlangsungnya pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan pengaturan demikian diharapkan rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL akan muncul dan diterapkan dalam kondisi yang kondusif. Hal ini dibarengi dengan saling mengawasi diantara masyarakat nelayan atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dapat membantu ditegakkannya sanksi terhadap pelanggar aturan. Oleh karena itu, peranan kelompok masyarakat pengawas menjadi penting dalam pengelolaan sumber daya perikanan PULL ini. Jiwa kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) tim yang tergabung dalam kelompok masyarakat pengawas akan sangat menentukan berhasil tidaknya pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan tersebut. Hal ini sangat memungkinkan untuk berhasil dengan catatan bahwa seluruh masyarakat pedesaan merasakan bahwa sumber daya perikanan PULL yang ada di desa mereka merupakan milik mereka bersama. Keberhasilan tim POKMASWAS ini telah terjadi di beberapa perairan umum waduk di Jawa, antara lain di perairan umum waduk Malahayu yang terdapat di wilayah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (Nasution dan Purnomo, 2010). Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kelembagaan adaptif untuk pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung tidak cukup hanya memenuhi prinsip keberlanjutan kelembagaan Ostrom dan teori akses menurut Ribot dan Peluso, tetapi harus pula diterapkan menggunakan pendekatan ko-manejemen yang terpadu antara pemerintah desa dan masyarakat nelayan. Untuk itu, dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi merupakan syarat adaptifnya suatu kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan demikian, kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang diusulkan (Kelompok Nelayan dan Kelompok Masyarakat Pengawas) dapat dikatakan merupakan suatu kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi pemerintah desa, dapat

13 138 diakses dengan mudah dan murah oleh nelayan, serta dapat mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan merupakan kelembagaan adaptif dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Lebih lanjut dengan adanya kelembagaan tersebut dapat dijelaskan bahwa aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi dari pemerintah desa yang pro rakyat. Dalam hal ini isi yang terkandung dalam Perdes dapat menjadi pedoman untuk mengembangkan aturan main tersebut. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL, maka dalam musyawarah dan mufakatnya harus mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Termasuk didalamnya perlu diikutsertakan para ahli perikanan atau pembina perikanan terkait dengan pembuatan dan atau perumusan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang terdapat pada lokasi pedesaan yang bersangkutan. Akses dikatakan mudah diatur dengan hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya (tidak lebih dari Rp per tahun per nelayan). Begitu upaya kelestarian sumber daya diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama. 8.3 Ikhtisar Suatu hal yang dapat dipelajari dari kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung adalah semua relasi antar aktor terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL bersifat individualisme. Optimasi peran kelembagaan sebagai konsekuensi dari relasi antar aktor tersebut memberikan makna bahwa seluruh relasi antar aktor harus berorientasi ke depan dalam bentuk kerjasama, yang bermuara kepada keberlanjutan pemanfaatan sumber daya perikanan PULL. Hasil identifikasi dan analisis yang dikemukakan pada keberlanjutan kelembagaan menggunakan pendekatan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom diketahui bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung yang ada saat ini tidak efektif dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya

14 139 perikanan PULL. Kemudian, tidak efektifnya kelembagaan lelang lebak lebung tersebut juga diikuti dengan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Marga, dan akses yang didapatkan masyarakat nelayan adalah illegal. Tidak efektifnya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung terbukti pula memiliki dampak adanya degradasi kondisi sumber daya perikanan dan habitatnya, yang pada akhirnya berdampak pula terhadap terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, dengan rata-rata pangsa pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di wilayah ini masih termasuk kategori miskin karena penghasilan mereka hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari dan tidak dapat menabung dan menyediakan biaya rekreasi. Di lain pihak, pengemin atau pemenang lelang merupakan orang yang paling banyak mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan PULL yang dikuasainya. Hal ini terlihat dari pendapatan mereka tahun 2008 mencapai Rp Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan (termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan) yang diusulkan adalah berupa kelembagaan komunitas nelayan (Kelompok Nelayan) yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada masyarakat. Pengambilan keputusan pada Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat dalam rangka penyusunan konsepsi pengelolaan (termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan) dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumber daya perikanan. Pelaksanaannya di lapangan cukup diorganisasi oleh kelompok nelayan, namun difasilitasi oleh Kepala Desa, BPD dan Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Hal ini dilakukan untuk satu desa yang mempunyai wilayah sumber daya perikanan. Dengan dasar bahwa pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama masyarakat, maka partisipasi masyarakat nelayan merupakan unsur penting dalam kerangka evaluasi efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL; dan untuk pengelolaan sumber daya yang meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar desa

15 140 menjadi penting pula. Dengan demikian efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dapat dilakukan menggunakan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan Ostrom dan teori akses Ribot dan Peluso ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi. Pada tingkat kabupaten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten OKI sesuai dengan tugas pokoknya adalah sebagai pembina dalam pembuatan dan berfungsinya peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan pedesaan tersebut. Pada tingkat pedesaan diusulkan tim fasilitasi tingkat desa yang tersusun atas Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang fungsinya sebagai penghubung masyarakat desa (Kelompok Nelayan) terhadap pemerintahan atas desa jika diperlukan. Tim ini juga berfungsi sebagai perwakilan masyarakat desa jika terdapat hal-hal yang perlu dikoordinasikan antar desa atau pada tingkat kecamatan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Sebagai ujung tombak perwakilan masyarakat nelayan pada tingkat pedesaan adalah Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas yang merupakan seorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin masyarakat nelayan dan dipilih secara langsung oleh masyarakat nelayan. Pada masyarakat nelayan diharapkan adanya partisipasi masyarakat terkait dengan berlangsungnya pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan pengaturan demikian diharapkan rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL akan muncul dan diterapkan dalam kondisi yang kondusif. Hal ini dibarengi dengan saling mengawasi diantara masyarakat nelayan atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dapat membantu ditegakkannya sanksi terhadap pelanggar aturan. Aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi dari pemerintah desa yang pro rakyat. Dalam hal ini isi yang terkandung dalam Perdes dapat menjadi pedoman untuk mengembangkan aturan main tersebut. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya

16 141 perikanan PULL, maka dalam musyawarah dan mufakat harus mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Akses dikatakan mudah diatur dengan hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya. Begitu upaya kelestarian sumber daya diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama.

VI. AKSES MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

VI. AKSES MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 101 VI. AKSES MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG Akses dapat bermakna sebagai kemampuan dan karena itu permasalahan akses dapat dilihat dalam tatanan hubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan umum sungai dan rawa adalah perairan umum air tawar yang memiliki ciri spesifik, yang berbeda dengan perairan umum air tawar lainnya. Perairan umum sungai dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 36 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Landasan Filosofis Pemanfaatan sumber daya perikanan PULL tanpa memperhatikan proses alam dalam menyediakan sumber daya perikanan tersebut adalah suatu perbuatan yang

Lebih terperinci

V. EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LELANG LEBAK LEBUNG,

V. EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LELANG LEBAK LEBUNG, 77 V. EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LELANG LEBAK LEBUNG, Efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung dalam hal ini dikemukakan dalam bentuk

Lebih terperinci

VII. DEGRADASI KONDISI SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG DAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN

VII. DEGRADASI KONDISI SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG DAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN 112 VII. DEGRADASI KONDISI SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG DAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN Degradasi sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung dan kemiskinan masyarakat nelayan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG LELANG LEBAK LEBUNG KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG LELANG LEBAK LEBUNG KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG LELANG LEBAK LEBUNG KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang : a. b. bahwa dalam

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 23 TAHUN 2005 TENTANG LELANG LEBAK LEBUNG DALAM KABUPATEN BANYUASIN DENGAN

Lebih terperinci

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN (Perairan Umum Daratan) Tim Penelitian : Zahri Nasution

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI JEMBER PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN MODAL LEMBAGA KEUANGAN MIKRO MASYARAKAT DAN KOPERASI PEDESAAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT DI DALAM DAN ATAU SEKITAR HUTAN DALAM RANGKA SOCIAL FORESTRY MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK, Menimbang : a. Bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah berlaku secara efektif sejak awal Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 616 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Pemerintah Kabupaten Wakatobi

Pemerintah Kabupaten Wakatobi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Wakatobi memiliki potensi kelautan dan perikanan serta potensi wisata bahari yang menjadi daerah tujuan wisatawan nusantara dan mancanegara. Potensi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia.

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKE HOLDER) WADUK SEMPOR DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN YANG BERKELANJUTAN. Fuquh Rahmat Shaleh*

ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKE HOLDER) WADUK SEMPOR DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN YANG BERKELANJUTAN. Fuquh Rahmat Shaleh* ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKE HOLDER) WADUK SEMPOR DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN YANG BERKELANJUTAN Fuquh Rahmat Shaleh* Fakultas Perikanan Universitas Islam Lamongan Jl. Veteran no. 53A

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU 1 PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGAWASAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN DI PERAIRAN UMUM KABUPATEN KAPUAS HULU DENGAN

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi Dampak Penetapan Daerah terhadap Eksistensi Hak Nelayan Tradisional di Kabupaten Kepulauan Selayar oleh Ryan Anshari (B11108 416), yang dibimbing oleh Farida Patittingi dan Sri Susyanti Nur. ABSTRAK Penetapan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Masih ditemukannya banyak penduduk miskin wilayah pesisir Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, menunjukkan adanya ketidakoptimalan kegiatan pemberdayaan ekonomi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG,

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 3 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI,

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. b. c. Mengingat : 1.

Lebih terperinci

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81 (1)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa Panas Bumi merupakan energi yang

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah turut berperan sertanya seseorang atau masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan laporan di dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN

LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN TIM PENELITI : Dr. Asnawi Risna Yusuf, M.Si Ir. Zahri

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN DARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

f. bahwa untuk penyempurnaan tersebut, perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir.

f. bahwa untuk penyempurnaan tersebut, perlu dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir. PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR NOMOR : 30 TAHUN 2002 TENTANG LELANG LEBAK LEBUNG DALAM KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ILIR Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural,

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 02 Tahun : 2008 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti

BAB I PENDAHULUAN. daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era otonomi daerah telah diberikan kewenangan lebih besar pada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti idealnya pelaksanaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 15 TAHUN 2006 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR Menimbang

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir 33 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Adanya fakta bahwa fungsi dan pengelolaan kawasan taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA DI KABUPATEN LAMONGAN TAHUN ANGGARAN 2015

BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA DI KABUPATEN LAMONGAN TAHUN ANGGARAN 2015 SALINAN BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA DI KABUPATEN LAMONGAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. b. c. bahwa sesuai Peraturan

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAGIRI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

KERJA SAMA DESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

KERJA SAMA DESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG KERJA SAMA DESA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB.III AKUNTABILITAS KINERJA

BAB.III AKUNTABILITAS KINERJA BAB.III AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas Kinerja adalah perwujudan suatu kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/pimpinan kolektif

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun I - 1

1.1. Latar Belakang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun I - 1 1.1. Latar Belakang RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Bupati Mandailing Natal yang akan dilaksanakan dan diwujudkan dalam suatu periode masa jabatan. RPJMD Kabupaten Mandailing Natal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Bantul memiliki potensi kekayaan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang memberikan keleluasaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 827 Tahun : 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA PALU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU,

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA PALU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU, PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA PALU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU, Menimbang : a. bahwa partisipasi para pemangku kepentingan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR 16 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ASAHAN, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 14 TAHUN 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA MATARAM TAHUN 2015

WALIKOTA MATARAM PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 14 TAHUN 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA MATARAM TAHUN 2015 WALIKOTA MATARAM PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA MATARAM TAHUN 2015 TIM PENYUSUN RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA MATARAM TAHUN 2014

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Strategi Strategi adalah perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 16 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA DOKUMEN PENGADAAN BARANG / JASA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 16 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA DOKUMEN PENGADAAN BARANG / JASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 16 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA DOKUMEN PENGADAAN BARANG / JASA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN BARAT, Menimban: a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG TENTANG DESA

PENUNJUK UNDANG-UNDANG TENTANG DESA PENUNJUK UNDANG-UNDANG TENTANG DESA 1/2 (satu perdua) ditambah 1 (satu) ~ paling sedikit, pemungutan suara dinyatakan sah pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, pemerintah daerah memerlukan perencanaan mulai dari perencanaan jangka panjang, jangka menengah hingga perencanaan jangka pendek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dikembangkan dan dikelola sumberdaya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah

I. PENDAHULUAN. bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada dasarnya merupakan suatu proses perubahan struktural dalam bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SIAK KECAMATAN BUNGARAYA DESA BUNGARAYA

PEMERINTAH KABUPATEN SIAK KECAMATAN BUNGARAYA DESA BUNGARAYA PEMERINTAH KABUPATEN SIAK KECAMATAN BUNGARAYA DESA BUNGARAYA Jl. Hang Tuah No. 18 BUNGARAYA Kode Pos 28663 PERATURAN DESA BUNGARAYA KECAMATAN BUNGARAYA KABUPATEN SIAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG BADAN KERJASAMA

Lebih terperinci

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I S A L I N A N P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pada tahun 2014 APBD Kabupaten Berau menganut anggaran surplus / defisit. Realisasi anggaran Pemerintah Kabupaten Berau dapat terlihat dalam tabel berikut

Lebih terperinci

DUKUNGAN PENYULUH DI KELEMBAGAAN PETANI PADA PENGUATAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT

DUKUNGAN PENYULUH DI KELEMBAGAAN PETANI PADA PENGUATAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DUKUNGAN PENYULUH DI KELEMBAGAAN PETANI PADA PENGUATAN PERKEBUNAN KOPI RAKYAT Dayat Program Studi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Bogor E-mail: sttp.bogor@deptan.go.id RINGKASAN Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 42 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN,

PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 42 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 42 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan pasal 63 Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Salinan Peraturan Desa Berkat No. 01 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lebak, Lebung dan Sungai yang Tidak Dilelang.

Lampiran 1. Salinan Peraturan Desa Berkat No. 01 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lebak, Lebung dan Sungai yang Tidak Dilelang. 155 Lampiran 1. Salinan Peraturan Desa Berkat No. 01 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lebak, Lebung dan Sungai yang Tidak Dilelang. PERATURAN DESA DESA BERKAT, KECAMATAN SIRAH PULAU PADANG, KABUPATEN OGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci