LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR TAHUN MODEL PENGEMBANGAN INOVASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK DAN SITU DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN NELAYAN TIM PENELITI : Dr. Asnawi Risna Yusuf, M.Si Ir. Zahri Nasution, M.Si Ir. Tajerin, MM, ME Drs. Sastrawidjaja Dr. Hendra Yusran Siry Ir. Pujoyuwono M. M.Sc Baden Mucharam, S.Pi Tikkyrino Kurniawan M.SE Freshty Yulia Arthatiani, S.Pi Hertria Maharani Putri, S.Sos BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2011

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL...vii DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN...vii I. PENDAHULUAN Latar Belakang dan Masalah Tujuan Penelitian Keluaran Tahapan Penelitian... 5 II. METODOLOGI Kerangka Pemikiran Waktu dan Lokasi Riset / Kajian Data Yang Dikumpulkan Teknik Pengumpulan Data Metoda Analisa Data Tahapan Penelitian III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan Eksisting Sebelum dan Setelah Penguatan Asesment Efektifitas Kelembagaan Eksisting Sebelum Penguatan A. Waduk Malahayu A.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan A.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) A.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan A.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan A.1.4 Kelembagaan Konservasi A.1.5 Kelembagaan Pengawasan A.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan A.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ ii

3 A.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan A.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main A.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama A.3.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan A.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan A.3.4 Kelembagaan Konservasi A.3.5 Kelembagaan Pengawasan A.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan A.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi A.4 Bahan Penguatan Kapasitas Kelembagaan di Waduk Malahayu B. Waduk Jatiluhur B.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan B.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) B.1.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan B.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan B.1.4 Kelembagaan Konservasi B.1.5 Kelembagaan Pengawasan B.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan B.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi B.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan B.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main B.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama B.3.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan B.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan B.3.4 Kelembagaan Konservasi B.3.5 Kelembagaan Pengawasan B.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan B.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi B.4 Bahan Penguatan Kapasitas Kelembagaan di Waduk Jatiluhur C. Waduk Gajah Mungkur C.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan C.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ iii

4 C.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan C.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan C.1.4 Kelembagaan Konservasi C.1.5 Kelembagaan Pengawasan C.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan C.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi C.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan C.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main C.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama C.3.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan C.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan C.3.4 Kelembagaan Konservasi C.3.5 Kelembagaan Pengawasan C.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan C.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Komparasi Efektifitas Kelembagaan Eksisting Sebelum Penguatan A. Komparasi Per Jenis Kelembagaan Eksisting Sebelum Penguatan A.1 Kelembagaan Pelaku Utama A.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan A.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan A.4 Kelembagaan Konservasi A.5 Kelembagaan Pengawasan A.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan A.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi B. Komparasi Keseluruhan Kelembagaan Eksisting Setelah Penguatan B.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan B.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) B.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan B.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan B.1.4 Kelembagaan Konservasi B.1.5 Kelembagaan Pengawasan B.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ iv

5 B.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi B.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan B.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main B.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama B.3.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan B.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan B.3.4 Kelembagaan Konservasi B.3.5 Kelembagaan Pengawasan B.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan B.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Asesment Efektifitas Kelembagaan Eksisting Setelah Penguatan A. Waduk Malahayu A.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu A.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama Setelah Penguatan di Waduk Malahayu A.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan di Waduk Malahayu A.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan di Waduk Malahayu A.1.4 Kelembagaan Konservasi Setelah Penguatan di Waduk Malahayu A.1.5 Kelembagaan Pengawasan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu A.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu A.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Setelah Penguatan di Waduk Malahayu A.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu B. Waduk Jatiluhur B.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur B.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur B.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan di Waduk Jatiluhur B.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan di Waduk Jatiluhur B.1.4 Kelembagaan Konservasi Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur B.1.5 Kelembagaan Pengawasan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur B.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ v

6 B.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur B.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Komparasi Efektifitas Kelembagaan Eksisting Antar Lokasi Waduk Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan di Waduk Malahayu Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan di Waduk Jatiluhur Respon Masyarakat Nelayan Respon Masyarakat Nelayan Berdasarkan Hasil Diskusi Kelompok Terfokus Respon Masyarakat Nelayan Berdasarkan Hasil FGDdi Waduk Malahayu Respon Masyarakat Nelayan Hasil FGD di Waduk Jatiluhur Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey di Waduk Malahayu Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey di Waduk Jatiluhur Perbandingan Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey di Waduk Jatiluhur dan Waduk Malahayu IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SEMENTARA Kesimpulan Rekomendasi Sementara DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ vi

7 DAFTAR TABEL NO. TABEL JUDUL HAL Tabel 1. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 2. Tabel 3. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 4. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 5. Tabel 6. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 7. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 8. Tabel 9. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun Tabel 10. Upaya perbaikan dan bentuk penguatan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk Malahayu berdasarkan jenis kelembagaan dan permasalahannya Tabel 11. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 12. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ vii

8 Tabel 13. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 14. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 15. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 16. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 17. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 18. Sebaran Kategori Efektivitas Keseluruhan Kelembagaan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 19. Kategori Efektifitas Jenis Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden, Tahun Tabel 20. Upaya perbaikan dan bentuk penguatan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur berdasarkan jenis kelembagaan dan permasalahannya Tabel 21. Tabel 1 Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 22. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 23. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 24. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 25. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ viii

9 Tabel 26. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 27. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 28. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 29. Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur,Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun Tabel 30. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 31. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 32. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 33. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 34. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 35. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 36. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 37. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 38. Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun Tabel 39. Perubahan Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ ix

10 Tabel 40. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Pengutan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 41. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 42. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 43. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 44. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 45. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 46. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 47. Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun Tabel 48. Perubahan Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 49. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Pengutan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 50. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 51. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 52. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ x

11 Tabel 53. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 54. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 55. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 56. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun Tabel 57. Karakteristik Perairan Waduk Jatiluhur Tabel 58. Daftar Jenis-jenis Ikan Yang Tertangkap di Waduk Jatiluhur Tahun Tabel 59. Jumlah Nelayan dan Alat Tangkap di Waduk Jatiluhur, Tahun Tabel 60. Topik dan Hasil Kesepakatan FGD Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Tabel 61. Topik dan Hasil Kesepakatan FGD Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Tabel 62. Jenis Kendala, Faktor Penyebab dan Upaya Mengatasinya dalam Pelaksanaan Kegiatan Penelitian, Per 31 Mei Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ xi

12 DAFTAR GAMBAR NO. GAMBAR JUDUL HAL Gambar 1. Kerangka Pemikiran Rancang Bangun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Pengelolaan Waduk dan Situ Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pendapatan... 8 Gambar 2. Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Tahun Gambar 3. Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 4. Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 5. Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 6. Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 7. Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 8. Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 9. Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 10. Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Tahun Gambar 11. Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 12. Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 13. Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ ii

13 Gambar 14. Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 15. Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 16. Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 17. Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 18. Gambar 1. Peta Potensi Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah Gambar 19. Gambar Papan Perda no. 9 tahun Gambar 20. Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Tahun Gambar 21. Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 22. Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 23. Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 24. Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 25. Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 26. Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 27. Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ iii

14 Gambar 28. Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pelaku Utama dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 29. Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 30. Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 31. Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Konservasi dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 32. Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pengawasan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 33. Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 34. Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 35. Komparasi Keseluruhan Kelembagaan Eksisting dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), Gambar 36. Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Tahun Gambar 37. Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 38. Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 39. Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 40. Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 41. Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 42. Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ iv

15 Gambar 43. Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun Gambar 44. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 45. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 46. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 47. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Konservasi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 48. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 49. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 50. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 51. Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Tahun Gambar 52. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 53. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 54. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 55. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Konservasi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 56. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 57. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 58. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 59. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Gambar 60. Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Tahun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ v

16 Gambar 61. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Malahayu Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, Gambar 62. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Malahayu Terhadap aspek pemahaman dan aspek manfaat dari materi pengembangan organsiasi dan usaha dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan, Gambar 63. Respon pelaku Unit Pembenihan Rakyat (UPR) terhadap materi penguatan kapasitas kelembagaan perbenihan di sekitar Waduk Malahayu, Gambar 64. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, Gambar 65. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap aspek pemahaman dan aspek manfaat dari materi pengembangan organsiasi dan usaha dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan, Gambar 66. Respon pelaku Unit Pembenihan Rakyat (UPR) terhadap materi penguatan kapasitas kelembagaan perbenihan di sekitar Waduk Malahayu, Gambar 67. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, Gambar 68. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, Gambar 69. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ vi

17 DAFTAR LAMPIRAN NO. LAMPIRAN JUDUL HAL A. Kendala dan Upaya Mengatasinya B. Rencana Tindak Lanjut C. Notulensi Pelaksanaan Kegiatan FGD IPTEKMAS Waduk Malahayu di Kabupaten Brebes Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ vii

18 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum seyogyanya berdasarkan atas prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara mendasar arti dari pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1988). Dalam prinsip ini, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum harus mempertimbangkan beberapa aspek penting; yaitu aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Dari aspek ekologi, pemanfaatannya harus menggunakan teknologi yang bersifat ramah lingkungan, sementara dari aspek ekonomi, pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut menghasilkan nilai ekonomi terhadap pengguna; misalnya sumber penghasilan. Kemudian, dari aspek sosial, pemanfaatan dan pengelolaan yang dilakukan terhadap sumberdaya perikanan perairan umum tersebut dapat diterima masyarakat yang berkepentingan (pemangku kepentingan; stakeholders). Ketiga aspek yang dikemukakan diatas terbentuk dalam suatu kerangka peraturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum yaitu dalam suatu kelembagaan. Di lain pihak, pengembangan produksi perikanan perairan umum tidak akan optimal jika tidak terintegrasi dengan pengembangan pemasaran, lingkungan, kelembagaan. Hal ini berkaitan dengan pendekatan rasionalitas eko-sosial yang berkeyakinan bahwa segala permasalahan lingkungan hidup berakar pada masalah sosial. Kemudian, secara garis besar masalah-masalah sosial itu bersifat kelembagaan, ideologis, psikologis dan budaya (Little, 2000). Beberapa perairan umum waduk dan situ ini telah melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan sistem re-stocking atau penebaran kembali ikan, khususnya masyarakat nelayan yang melaksanakan usaha penangkapan ikan di perairan umum tersebut (BBRSEKP, 2010). Penebaran ikan tersebut, tidak saja dilaksanakan oleh masyarakat nelayan, tetapi juga dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Penebaran tersebut dilakukan hampir setiap tahun dan telah berlangsung lama beberapa dekade terakhir ini. Terkait dengan penebaran kembali ikan (restocking) yang diadakan oleh berbagai pihak, maka seyogyanya telah dibentuk kelembagaan yang melaksanakan pengelolaan terhadap Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 1

19 sumberdaya perikanan yang ada di perairan umum waduk atau situ tersebut (Purnomo et al., 2008). Sebagai contoh telah ada kelembagaan nelayan di perairan waduk Malahayu, yang didalamnya telah pula tercakup beberapa fungsi pengaturan seperti pengaturan penangkapan ikan, pengaturan konservasi perairan, pengaturan pengawasan penangkapan ikan, dan pengaturan pemasaran ikan (Dislutkan Brebes, 2009). Semua fungsi pengaturan tersebut diharapkan dapat berjalan dengan baik, sehingga produksi ikan di perairan umum waduk dapat berlangsung secara terus-menerus (berkelanjutan) dan pemanfaatan serta pengelolaan sumberdaya perikanannya dapat berlangsung sesuai dengan prinsip-perinsip pembangunan perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries; CCRF) (Purnomo et al., 2009). Berfungsinya suatu pengaturan (aturan main; rule of the game), dapat terlihat dengan efektifnya sanksi dalam penegakan aturan yang dilaksanakan melalui suatu mekanisme yang telah ditentukan (Yustika, 2006). Ostrom (1990) mengemukakan bahwa solusi kebijakan dilema sumberdaya bersama; peranan kelembagaan atau institusi sosial komunitas pengguna sumberdaya yang bersangkutan yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana dan berkelanjutan dalam periode waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, konsepsi sumberdaya bersama sebagai sumberdaya bebas akses tanpa aturan maupun sumberdaya yang diatur komunitas masih relevan untuk memahami pelbagai fenomena penggunaan dan penyalahgunaan sumberdaya alam, sepanjang penerapan masing-masing konsepsi tersebut memperhitungkan konteks sosial ekonomi politik dan ekologis dari fenomena yang bersangkutan. Tambahan pula, terkait dengan sumberdaya alam milik bersama (common-pool resources), Ostrom (1990) dalam Ostrom (1999) berpendapat pula bahwa dalam kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya milik bersama terdapat beberapa prinsip yang harus terkandung didalamnya, agar kelembagaan tersebut dapat berfungsi untuk mencapai tujuannya secara berkesinambungan. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut; 1. Prinsip batas yang dapat ditentukan dengan jelas untuk dapat menentukan kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumberdaya tersebut; 2. Distribusi manfaat dari aturan yang tepatguna proporsional dengan pembiayaannya; kemudian aturan yang tepatguna juga terkait dengan waktu, tempat, teknologi, dan kuantitas unit sumberdaya terkait dengan kondisi lokal; Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 2

20 3. Pengaturan pilihan-kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi oleh aturan operasional yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan pengaturan; 4. Adanya kegiatan yang bersifat memonitor kondisi sumberdaya dan perilaku penggunanya yang akuntabel; 5. Pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang diterapkan sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konsteks kejadian pengguna tersebut dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya. 6. Ada mekanisme penyelesaian konflik diantara pengguna dan antara pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan tersedia secara lokal; 7. Ada pengorganisasian hak kepemilikan yang diakui bagi para pengguna atau kelembagaannya yang tidak dapat dikuasai atau dicampurtangani oleh pemerintah. Dengan demikian, tujuan akhir yang ingin dicapai dalam program dan atau kegiatan penebaran kembali ikan (restocking) pada suatu perairan adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar perairan yang dikelola melalui peningkatan produktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan (DJPB, 2003). Secara sosial ekonomi, kegiatan penebaran kembali ikan ke dalam peraian waduk harus dapat memberikan manfaat kepada masyarakat nelayan, dan hal ini dapat dicapai jika kelembagaan nelayan yang ada dan terbentuk telah melembaga pada masyarakat nelayan tersebut. Sejauhmana inovasi kelembagaan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat pemanfaat dan pengelola sumberdaya perikanan di suatu perairan waduk dan situ akan sangat tergantung dengan efektitivitas inovasi tersebut dalam penerapannya. Disamping itu, karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat juga merupakan aspek yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan umum waduk dan situ (Kartamihardja et al., 2008). Untuk itu perlu diteliti kondisi yang terkait dengan efektivitas inovasi kelembagaan melalui penguatan kapasitas masyarakat dalam kegiatan teknologi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengembangan inovasi kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan waduk dan situ dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan. Secara khusus penelitian ini pada tahun 2011 bertujuan: Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 3

21 1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan eksisting pemanfaatan dan pengelolaan waduk dan situ dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat nelayan. 2. Mempelajari gambaran karakteristik sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat yang berkaitan dengan aspek kelembagaan pengelolaan waduk dan situ. 3. Mengkaji respon masyarakat nelayan terhadap inovasi kelembagaan melalui penguatan kapasitas masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan pengelolaan waduk yang berkelanjutan. 4. Mengkaji penerapan diseminasi inovasi kelembagaan melalui penguatan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan di waduk.. 5. Mengkaji percepatan diseminasi dan penguatan kapasitas kelembagaan melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan waduk. 6. Menganalisis prakiraan dampak inovasi kelembagaan melalui penguatan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan waduk terhadap produktivitas dan pendapatan masyarakat nelayan. 1.3 Keluaran Secara umum keluaran kegiatan ini berupa model pengembangan inovasi kelembagaan pengelolaan sumberdaya perairan dan perikanan dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan nelayan. Keluaran khusus penelitian ini adalah; 1. Data dan informasi kelembagaan eksisting pemanfaatan dan pengelolaan waduk dan situ dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat nelayan. 2. Data dan informasi karakteristik sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat berkaitan dengan aspek kelembagaan pengelolaan waduk dan situ. 3. Data dan informasi respon masyarakat nelayan terhadap inovasi kelembagaan melalui penguatan kapasitas masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan pengelolaan waduk yang berkelanjutan. 4. Data dan informasi efektifitas inovasi kelembagaan melalui penguatan kapasitas masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan pengelolaan waduk. 5. Data dan informasi berkaitan dengan upaya percepatan diseminasi dan penguatan kapasitas masyarakat dalam bentuk kegiatan pelatihan dan pendampingan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 4

22 6. Data dan informasi prakiraan dampak inovasi kelembagaan melalui penguatan kapasitas masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan pengelolaan waduk. 1.4 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian ini adalah: 1. Persiapan dan Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan a. Penyusunan ROKR b. Pemantapan ROKR c. Finalisasi ROKR d. Studi literatur dalam rangka persiapan FGD, terutama bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan eksisting pengelolaan waduk serta menformulasi rencana inovasi kelembagaan terkait upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat pemanfaat sumberdaya perairan dan perikanan waduk. 2. Focus Group Discussion (FGD) dengan Stakeholders FGD dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah (Sekda), Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, LSM dan masyarakat nelayan dan pemanfaat sumberdaya perairan dan perikanan lainnya. 3. Implementasi Pelaksanaan di Lapangan a. Melakukan survei identifikasi dan analisis kelembagaan eksisting pengelolaan waduk serta faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik yang mendukung atau menghambat berfungsinya kelembagaan tersebut. b. Melakukan survei untuk mengetahui dan mempelajari respon masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan dan sumberdaya perairan terhadap inovasi kelembagaan 1 pengelolaan sumberdaya terkait upaya penerapan aturan yang bersinergi untuk tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam perairan waduk yang berkelanjutan. c. Melakukan kaji terap (implementasi) inovasi kelembagaan dengan melakukan penguatan kapasitas masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam perairan waduk. 1 Inovasi kelembagaan akan diidentifikasi dan ditentukan kemudian setelah dilakukan tahapan: (a) Identifikasi kelembagaan eksisting; dan (b) Identifikasi karakteristik ekonomi, sosial, budaya dan politik; dan (c) Pelaksanaan FGD. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 5

23 4. Pelatihan dan Pendampingan a. Melakukan bentuk-bentuk pelatihan kepada masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan dan perairan, terutama nelayan dalam kerangka pengembangan model inovasi kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Dalam hal ini dapat saja berupa topik-topik yang berkaitan dengan pengembangan inovasi kelembagaan. b. Melakukan pendampingan dan mengevaluasi model inovasi kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan. 5. Analisis Data dan Penyusunan Laporan 6. Sosialisasi Hasil Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 6

24 II. METODOLOGI 2.1 Kerangka Pemikiran Setiap aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pasti mewakili struktur organisasi. Organisasi akan berjalan manakala memiliki institusi atau kelembagaan yang mencakup aturan-aturan formal maupun informal serta individu-individu yang menyediakan ataupun melaksanakan aturan-aturan tersebut (Yustika, 2006). Secara formalitas penegakan aturan maupun pengendaliannya dilakukan melalui pengenaan sanksi atas pelanggaran ataupun insentif atas pelaksanaan kelembagaan. Aturan informal dalam hal ini dilatar belakangi oleh interaksi antar individu yang berbadasarkan pada nilai-nilai positif kehidupan setempat (Soekanto, 2003). Dalam kaitannya dengan pengembangan nilai-nilai positif dalam masyarakat dapat pula dilakukan melalui pemberian insentif oleh pemerintah kepada pelaku-pelaku ekonomi di dalam suatu komunitas pemanfaat dan pengelola sumberdaya. Melalui aktivitas tersebut, telah terbangun sebuah kelembagaan yang telah menjembatani dua kepentingan sekaligus yakni pemerintah dan masyarakat. Kelembagan itu merupakan kelembagaan yang sangat relevan di dalam meminimalisir ketidakpastian atas perolehan manfaat dan distribusi manfaat setiap pihak-pihak yang berkepentingan. Diperolehnya kelembagaan yang tersebut diatas dengan demikian memerlukan pemahaman yang mendalam atas aspek ekonomi, sosial, dan pengambilan keputusan pelaku pemanfaat dan pengelola sumberdaya di tingkat masyarakat beserta manfaat dan distribusi manfaatnya (Yustika, 2006). Di sisi lain, dikemukakan pula bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan, umumnya dalam bentuk penentuan kebijakan tanpa dasar, namun harus berdasarkan informasi mengenai segala aspek kehidupan di masyarakat, khususnya yang terkait dengan manfaat dan distribusi manfaat atas pengelolaan sumberdaya. Adanya insentif kebijakan diharapkan dapat meningkatkan manfaat dan memperbaiki distribusi manfaat pengelolaan sumberdaya dalam kerangka inovasi kelembagaan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 7

25 Culture Base Fisheries: - Pengkayaan stok - Pemberdayaan Unit Pembenihan - Pemberdayaan masyarakat sekitar Subsistem Pra Penangkapan Subsistem Pra Penangkapan : : Kelembagaan Penyedia Kelembagaan Penyedia Kelembagaan Sarana Usaha Penangkapan Penyedia Sarana Usaha Sarana Kelembagaan Usaha Nelayan dan Penangkapan Pemanfaat SD lainnya Penangkapan Kelembagaan Pembinaan Nelayan Kelembagaan Nelayan dan Penyuluhan Pemanfaat SD lainnya dan Pemanfaat SD lainnya Subsistem Penangkapan: Subsistem Penangkapan: Kelembagaan Nelayan dan Kelembagaan Nelayan dan Pemanfaat SD lainnya Pemanfaat SD lainnya Kelembagaan Konservasi Kelembagaan Konservasi Kelembagaan Pengawasan Kelembagaan Pengawasan (Pemanfaatan dan (Pemanfaatan dan Konservasi) Konservasi) Kelembagaan Pembinaan Kelembagaan Pembinaan Peningkatan Produktivitas Usaha dan Pendapatan Masyarakat KETERANGAN: Evaluasi Efektivitas: 1. Prinsip batas 2. Distribusi manfaat 3. Pilihan kolektif 4. Kegiatan monitoring 5. Penerapan sanksi 6. Penyelesaian konflik 7. Hak kepemilikan Subsistem Pasca Subsistem Pasca Penangkapan: Penangkapan: Kelembagaan Pemasaran Kelembagaan Pemasaran Kelembagaan Nelayan dan Pemanfaat Kelembagaan SD Nelayan lainnya dan Pemanfaat SD lainnya Kelembagaan Pembinaan dan Kelembagaan Penyuluhan Pembinaan dan Penyuluhan Kelembagaan Monitoring Kelembagaan Monitoring Sistem Kelembagaan Pengelolaan Waduk dan Situ Gambar 1. Kerangka Pemikiran Rancang Bangun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Pengelolaan Waduk dan Situ Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pendapatan Pada pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan dan perikanan di perairan umum, khususnya waduk dan situ, kegiatan pengembangan perikanan berbasis budidaya (CBF; Culture Based Fisheries) merupakan suatu upaya yang telah berhasil diterapkan di beberapa perairan waduk dan situ di Jawa (Purnomo, 2009). Keberhasilan program CBF Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 8

26 tersebut tidak terlepas dari upaya pembentukan dan pengembangan kelembagaan yang berfungsi secara baik terkait pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan dan perikanan yang dikembangkan. Adapun kelembagaan yang secara fungsinya harus dipenuhi agar program CBF dapat berjalan dengan baik adalah kelembagaan yang terkait dengan subsistem pra penangkapan, subsistem penangkapan dan sub sistem pasca penangkapan; sebagaimana dikemukakan oleh Mintoro (1999). Ketiga kelompok kelembagaan tersebut terdiri dari beberapa kelembagaan yang satu sama lain harus dikembangkan secara terpadu dan efektif sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat nelayan dan pemanfaat sumberdaya perairan dan perikanan (Gambar 1). 2.2 Waktu dan Lokasi Riset / Kajian Keseluruhan aktivitas kegiatan penelitian akan dilakukan dalam rentang waktu mulai dari Januari sampai dengan Desember Lokasi kegiatan adalah sentra kegiatan perikanan perairan umum di perairan waduk dan situ pada beberapa propinsi terpilih yang dominan memiliki sumberdaya dan usaha perikanan perairan umum waduk dan situ. Lokasi tersebut adalah Waduk Malahayu- Jawa Tengah; Waduk Jatiluhur-Jawa Barat; Waduk Gajah Mungkur Jawa Tengah; dan Situ Panjalu-Jawa Barat. Waduk Malahayu dan Waduk Jatiluhur dijadikan lokasi utama penelitian (mendapatkan tahapan penelitian secara lengkap) sedangkan Waduk Gajah Mungkur dan Situ Panjalu dalam penelitian ini merupakan lokasi pendukung yang hanya mendapatkan perlakuan survey kondisi awal (Baseline Survey). Wilayah Propinsi Jawa Barat juga digunakan sebagai lokasi untuk kegiatan studi literatur dan atau konsultasi, koordinasi, dan konsinyasi kegiatan riset / kajian. 2.3 Data Yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan pada kegiatan riset ini berupa data sekunder maupun data primer. Data sekunder yang dapat dikumpulkan antara lain berupa laporan hasil penelitian dan atau kajian yang terkait dengan berbagai aspek sosial ekonomi dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perairan dan perikanan di perairan umum waduk dan situ. Data primer yang dikumpulkan disesuaikan dengan fokus kajian dan tujuan penelitian yaitu: 1. Data kelembagaan eksisting pengelolaan waduk dan situ dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat nelayan dan masyarakat pemanfaat lainnya. 2. Data karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat terkait dengan kelembagaan eksisting pengelolaan waduk dan situ. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 9

27 3. Data respon masyarakat nelayan dan pemanfaat sumberdaya lainnya terhadap inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi pengelolaan waduk dan situ yang berkelanjutan. 4. Data efektifitas implementasi inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi pengelolaan sumberdaya perikanan (restoking, pembatasan mata jaring, pembatasan musim penangkapan, dan pembatasan areal penangkapan) berdasarkan indikator: (a) Prinsip batas; (b) distribusi manfaat; (c) pengaturan pilihan-kolektif; (d) kegiatan yang bersifat memonitor; (e) pemberian sangsi; (f) mekanisme penyelesaian konflik; dan (g) pengorganisasian hak kepemilikan. 5. Data penguatan kelembagaan yang disampaikan pada pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan dan perairan, terutama nelayan dalam kerangka pengembangan model inovasi kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. 6. Data prakiraan dampak inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat pemanfaat sumberdaya perairan dan perikanan. 2.4 Teknik Pengumpulan Data Data sekunder akan dikumpulkan dengan cara mempelajari terhadap bahan pustaka atau laporan penelitian yang terkait dengan focus kajian (studi literatur). Di lain pihak, data primer akan dikumpulkan melalui survey terstruktur menggunakan panduan kuesioner dan FGD (Focus Group Discussion). Kuesioner yang dipersiapkan dikembangkan dari topik data yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data yang diperlukan untuk kegiatan penelitian/kajian ini juga dikumpulkan menggunakan teknik Rapid Rural Appraisal (RRA) (Townsley, 1996). RRA dilakukan dengan menggunakan topik data sesuai dengan fokus penelitian. Fokus kajian penelitian ini adalah; 1. Identifikasi kelembagaan eksisting dan rencana inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi pengelolaan waduk dan situ dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat nelayan dan masyarakat pemanfaat lainnya. 2. Karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat terkait dengan kelembagaan eksisting pengelolaan waduk. 3. Respon masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan dan sumberdaya perairan terhadap kegiatan sosialisasi yang dilakukan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 10

28 4. Efektifitas implementasi inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu berupa restoking, pembatasan mata jaring, pembatasan musim penangkapan, dan pembatasan areal penangkapan (reservat). 5. Penguatan kelembagaan yang disampaikan pada pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan dan perairan, terutama nelayan dalam kerangka pengembangan model inovasi kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. 6. Prakiraan dampak inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat pemanfaat sumberdaya perairan dan perikanan. Responden yang terkait dengan penelitian adalah masyarakat pemanfaat sumberdaya periran dan usaha perikanan perairan umum waduk dan situ termasuk masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, petugas pengawas, dan pedagang (bakul ikan). Disamping itu, juga pejabat dinas terkait dengan pengambil kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan dan atau petugas pemerintahan sebagai informan kunci, dan responden perorangan yang terdapat pada instansi terkait dengan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat nelayan. 2.5 Metoda Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antar berbagai kategori data yang berasal dari data yang tersedia (Marshall dan Rossman, 1989). Hal ini sejalan dengan pendapat Patton (1990), yang menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisirnya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Oleh karena itu, pekerjaan menganalisis data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, dan mengkategorikan, data yang didapat berdasarkan keperluan yang terkait dengan tujuan penelitian, dan kemudian diinterpretasikan serta dikemukakan dalam deskripsi analisis, termasuk kaitannya dengan orientasi sosial masing-masing para pemanfaat sumberdaya (Burns, 1987). Berkaitan dengan permasalahan validitas internal dalam penelitian kualitatif, maka agar hasil penelitian ini dapat diyakini sebagai sebuah kebenaran dan dapat dipercaya (sekalipun derajat kebenaran dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditetapkan secara pasti), maka peneliti menerapkan prinsip pengamatan berulang, mempertimbangkan masukan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 11

29 sumber data dan informasi, sebagaimana dimaksudkan oleh Moleong (2004). Akhirnya, kesimpulan yang dirumuskan akan diverifikasi kepada subjek penelitian, sehingga diperoleh kesesuaian pemahaman antara peneliti dengan tineliti. 2.6 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian ini adalah: 1. Persiapan dan Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan a. Penyusunan ROKR b. Pemantapan ROKR c. Finalisasi ROKR d. Studi literatur dalam rangka persiapan FGD, terutama bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan eksisting pengelolaan waduk serta menformulasi rencana inovasi kelembagaan terkait upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat pemanfaat sumberdaya perairan dan perikanan waduk. 2. Focus Group Discussion (FGD) dengan Stakeholders FGD dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah (Sekda), Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, LSM dan masyarakat nelayan dan pemanfaat sumberdaya perairan dan perikanan lainnya. 3. Implementasi Pelaksanaan di Lapangan a. Melakukan survei identifikasi dan analisis kelembagaan eksisting pengelolaan waduk serta faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik yang mendukung atau menghambat berfungsinya kelembagaan tersebut. b. Melakukan survei untuk mengetahui dan mempelajari respon masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan dan sumberdaya perairan terhadap inovasi kelembagaan 2 pengelolaan sumberdaya terkait upaya penerapan aturan yang bersinergi untuk tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam perairan waduk yang berkelanjutan. c. Melakukan kaji terap (implementasi) inovasi kelembagaan dengan melakukan penguatan kapasitas masyarakat nelayan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam perairan waduk. 2 Inovasi kelembagaan akan diidentifikasi dan ditentukan kemudian setelah dilakukan tahapan: (a) Identifikasi kelembagaan eksisting; dan (b) Identifikasi karakteristik ekonomi, sosial, budaya dan politik; dan (c) Pelaksanaan FGD. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 12

30 4. Pelatihan dan Pendampingan a. Melakukan bentuk-bentuk pelatihan kepada masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan dan perairan, terutama nelayan dalam kerangka pengembangan model inovasi kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Dalam hal ini dapat saja berupa topik-topik yang berkaitan dengan pengembangan inovasi kelembagaan. b. Melakukan pendampingan dan mengevaluasi model inovasi kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan. 5. Analisis Data dan Penyusunan Laporan 6. Sosialisasi Hasil Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 13

31 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang didapatkan sampai dengan periode akhir Bulan Juli 2011 telah mencakup dan menjawab tujuan satu dan tujuan dari rencana penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu: (1) Mengidentifikasi dan menganalisis eksisting kelembagaan pengelolaan waduk dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat nelayan dan masyarakat pemanfaat lainnya; dan (2) Mempelajari gambaran karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat yang berkaitan dengan aspek kelembagaan pengelolaan waduk. Hasil dan analisis (pembahasan) penelitian dari kedua hal tersebut, selanjutnya digunakan sebagai bahan penyusunan inovasi kelembagaan dalam bentuk penguatan kapasitasnya. Secara rinci kelembagaan eksisting dari lokasi yang diteliti dijelaskan pada uraian berikut. 3.1 Kelembagaan Eksisting Sebelum dan Setelah Penguatan Asesment Efektifitas Kelembagaan Eksisting Sebelum Penguatan A. Waduk Malahayu Kelembagaan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dalam penelitian ini terdiri dari tujuh jenis kelembagaan, yaitu: (a) Kelembagaan Pelaku Utama; (b) Kelembagaan Penyediaan sarana Produksi Perikanan; (c) Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan; (d) Kelembagaan Konservasi; (e) Kelembagaan Pengawasan; (f) Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan; dan (g) Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi. Hasil asesmen setiap jenis dan keseluruhan kelembagaan tersebut dijelaskan menurut sebaran kategori efektifitas dan dimensi aturan mainnya. Dalam hal ini aturan main yang digunakan sebagai ukuran efektifitas kelembagaan tersebut terdiri dari: (a) Prinsip Batas; (b) Distribusi Manfaat; (c) Pilihan Kolektif; (d) Kegiatan Memonitor; (e) Pemberian sanksi; (f) Mekanisme Penyelesaian Konflik; dan (g) Pengorganisasian Hak Kepemilikan. Informasi sebaran kategori dan kondisi efektifitas kelembagaan eksisting tersebut, selanjutnya dalam penelitian ini digunakan sebagai salah satu bahan penyusunan inovasi kelembagaan dalam bentuk penguatan kapasitas kelembagaan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Keterangan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 14

32 lebih lanjut mengenai hasil asesmen dan sajian bahan penguatan kapasitas kelembagaan tersebut dijelaskan pada uraian berikut. A.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan A.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) Berdasarkan hasil survey dilapangan diketahui bahwa persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah secara keseluruhan kelembagaan tersebut dinilai cukup efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pelaku utama dinilai cukup efektif oleh 80 % responden dan sisanya 20 % dinilai kurang efektif, seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,00 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) A.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori tidak efektif. Tabel 2 menunjukkan bahwa efektifitas kelembagaan tersebut tersebar kedalam dua kategori, yaitu : tidak efektif (60 % responden) dan kurang efektif ( 40 % responden). Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 15

33 Tabel 2. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,00 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 40,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) A.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Efektifitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai kurang efektif. Sebanyak 60,00 % respon den menyatakan kelembagaan tersebut kurang efektif dan sisanya 40,00 % responden menyatakan cukup efektif (Tabel 3). Tabel 3. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,00 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) A.1.4 Kelembagaan Konservasi Berdasarkan persepsi responden, secara umum kelembagaan konservasi terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu dinilai cukup efektif. Sebanyak 86,67 % responden memberikan penilaian bahwa kelembagaa konservasi tergolong cukup efektif dan sisanya tersebar dala dua kategori, yaitu sebanyak 33,33 % menyatakan kurang efektif dan 10,00 % menyatakan efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 4. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 16

34 Tabel 4. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,33 Cukup efektif ,67 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) A.1.5 Kelembagaan Pengawasan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori kurang efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pengawasan tersebut dinilai cukup efektif oleh sebanyak 73,33 % responden dan sisanya sebanyak 16,67 % dinilai kurang efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,67 Cukup efektif ,33 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) A.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Efektifitas kelembagaan pemasaran hasil dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai kurang efektif. Sebanyak 70,00 % respon den menyatakan kelembagaan tersebut kurang efektif dan sisanya 30,00 % responden menyatakan tidak efektif (Tabel 6). Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 17

35 Tabel 6. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,00 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) A.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Berdasarkan persepsi responden, secara umum kelembagaan Monitoring dan Evaluasi terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu dinilai kurang efektif. Sebanyak 73,33 % responden memberikan penilaian bahwa kelembagaan tersebut tergolong kurang efektif dan sisanya sebanyak 26,67 % menyatakan tidak efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,67 Kurang efektif ,33 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) A.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Untuk kelembagaan secara keseluruhan, efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, berdasarkan persepsi responden termasuk dalam kategori kurang efektif. Sebanyak 63,33% responden menilai kelembagaan secara keseluruhan masih kurang efektif, sedangkan sisanya sebanyak 36,67% menilai cukup efektif (Tabel 8). Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 18

36 Tabel 8. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,33 Cukup efektif ,67 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total ,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Bila dicermati lebih lanjut, kurang efektifnya kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu disebabkan oleh masih lemahnya empat jenis kelembagaan, yaitu: (1) Kelembagaan penyediaan sarana produksi perikanan; (2) Kelembagaan pemasaran hasil produksi perikanan; (3) Kelembagaan monitoring dan evaluasi; dan (4) Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan. Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa tiga jenis kelembagaan yang pertama didominasi oleh kategori tidak efektif dan kurang efektif, sedangkan jenis kelembagaan yang ke-empat didominasi oleh kategori kurang efektif dan cukup efektif. Hal ini mengindikasikan pentingnya inovasi (penguatan) kelembagaan-kelembagaan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan waduk tersebut. Dalam rangka inovasi (penguatan) kelembagaan-kelembagaan tersebut, upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melalui: (1) Penguatan kapasitas masyarakat nelayan melalui peningkatan pengetahuan, perubahan sikap/perilaku dan peningkatan kemampuan keterampilan manajerial (skill); (2) Inisiasi pembentukan lembaga koperasi yang dapat menjembatani kebutuhan masyarakat nelayan dalam hal permodalan usaha, sarana produksi dan pemasaran hasil perikanan; dan (3) Peningkatan peran penyuluh perikanan dalam memperkuat keberlanjutan pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk. Sementara terhadap ketiga jenis kelembagaan yang lain, yaitu: (1) Kelembagaan pelaku utama; (2) Kelembagaan konservasi; dan (3) Kelembagaan pengawasan perlu dipertahankan efektifitasnya, karena berdasarkan persepsi responden kelembagaan-kelembagaan tersebut dinilai sudah cukup efektif. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 19

37 KELEMBAGAAN Monev Pemasaran Pengawasan Konservasi Penyuluhan Saprokan Pelaku Utama Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif 0% 20% 40% 60% 80% 100% Gambar 2. Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Tahun Sumber: Data primer yang diolah, A.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main Berdasarkan dimensi aturan main dari masing-masing maupun keseluruhan kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk, kondisi kelembagaan dapat tersebar kedalam lima kategori, yaitu: (1) Sangat lemah; (2) Lemah; (3) Sedang; (4) Kuat; dan (5) Sangat Kuat. Hasil penilaian berdasarkan persepsi responden terhadap tujuh dimensi aturan main yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, diketahui bahwa ketujuh kelembagaan yang terkait tersebar dalam kondisi sangat lemah hingga sedang (cukup kuat). Kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan dinilai sangat lemah, sedangkan kelembagaan pemasaran hasil produksi perikanan dan kelembagaan monitoring dan evaluasi dinilai berada dalam kondisi yang lemah. Sementara kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) dan kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dinilai berada dalam kondisi sedang (cukup kuat), seperti tertera dalam Tabel 9. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 20

38 Tabel 9. Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun 2011 DIMENSI ATURAN MAIN Pelaku Utama KATEGORISASI DAN SKOR KELEMBAGAAN Saprokan Penyuluhan Konservasi Pengawasan Pemasaran Monev 1. Prinsip Batas 2. Distribusi Manfaat 3. Pilihan Kolektif 4. Kegiatan Memonitor 5. Pemberian Sanksi 6. Penyelesaian Konflik 7. Hak Kepemilikan Sedang lemah sedang Kuat kuat sedang Sangat lemah 2,24 1,35 3,00 3,24 3,51 0,56 0,26 Sedang lemah kuat Kuat kuat lemah Sedang 2,53 1,67 3,33 3,17 3,08 1,49 2,06 Sedang lemah kuat sangat kuat sedang lemah Sedang 2,57 1,80 3,22 4,28 2,33 1,78 1,35 Lemah sangat lemah sangat lemah Lemah lemah lemah Lemah 1,67 0,22 0,89 1,61 1,33 1,06 1,09 Lemah sangat lemah Lemah Sedang sedang sangat lemah Sangat lemah 1,80 0,10 1,78 2,53 2,40 0,53 0,78 sedang sedang sangat lemah Sedang sedang lemah Lemah 2,73 0,87 0,55 2,40 2,10 1,60 1,55 lemah sangat lemah sedang sangat lemah lemah sangat lemah Lemah 1,78 1,00 2,38 0,80 1,60 0,47 1,41 Rataan per Kelembaga an Sedang Sangat Lemah Sedang Sedang Sedang Lemah Lemah 17,37 6,80 10,17 20,83 24,73 7,97 12,80 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Setiap dimensi aturan main dari masing-masing kelembagaan berperan dalam menentukan kondisi dari kelembagaan-kelembagaan tersebut. Secara rinci, peran dari aturan main tersebut dapat dijelaskan dalam uraian berikut. A.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama Kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi sedang (cukup kuat). Hal ini didukung oleh empat dimensi atura main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat), yaitu: (1) prinsip batas; (2) distribusi manfaat; (3) pilihan kolektif; dan (4) penyelesaian kolektif. Meskipun demikian kelembagaan ini maih dihadapkan pada beberapa kelemahan dalam beberapa dimensi aturan main, yaitu: (1) kegiatan memonitor; (2) pemberian sanksi; dan (3) hak kepemilikan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 3. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 21

39 Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pelaku utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai hal yang berkaitan dengan ketiga dimensi aturan main tersebut. Gambar 3. Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, A.3.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan termasuk dalam kondisi sangat lemah. Seluruh dimensi aturam main dalam kelembagaan tersebut berada dalam kondisi sangat lemah dan lemah. Ada empat dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi, yaitu: (1) Pemberian sanksi; (2) Kegiatan memonitor; (3) Penyelesaian konflik; dan (4) Hak kepemilikan, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4. Meskipun demikian ketiga dimensi aturan main lainnya perlu juga mendapatkan prioritas penguatan karena masih tergolong dalam kategori lemah. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 22

40 Gambar 4. Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, A.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan secara umum berdasarkan dimensi aturan mainnya sudah termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat). Hal ini didukung oleh empat dimensi aturan main yang termasuk kategori sedang (cukup kuat) dan kuat. Namun demikian masih ada dua dimensi aturan main yang sangat lemah (penyelesaian konflik dan kegiatan memonitor) dan satu dimensi yang lemah (pemberian sanksi). Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 5. Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan penyuluhan dapat dilakukan dengan meningkatkan peran penyuluh perikanan dalam kegatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 23

41 Gambar 5. Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, A.3.4 Kelembagaan Konservasi Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Konservasi secara umum termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat) walaupun masih ada satu dimensi aturan main yang masih sangat lemah, yaitu hak kepemilikan dan satu dimensi lainnya yang termasuk kategori lemah, yaitu kegiatan memonitor. Dimensi aturan main lainnya tersebar dalam kategori sedang, kuat dan sangat kuat sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 6. Berdasarkan kondisi tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/menguatkan peran kelembagaan konservasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu perlu dititikberatkan pada dimensi hak kepemilikan dan kegiatan memonitor. Sedangkan dimensi lainnya perlu dipertahankan untuk menjaga keberlanjutan kondisi kelembagaan konservasi yang sudah cukup kuat. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 24

42 Gambar 6. Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, A.3.5 Kelembagaan Pengawasan Kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi sedang (cukup kuat). Hal ini didukung oleh keseluruhan dimensi aturan main yang ada dalam kelembagaan tersebut kecuali dimensi kegiatan memonitor dan hak kepemilikan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 7. Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu dapat dilakukan dengan meningkatkan kegiatan yang memonitor dan memperhatikan hak kepemilikan pemanfaat sumberdaya perairan Waduk Malahayu khususnya yang terjadi akibat adanya kegiatan pengawasan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 25

43 Gambar 7. Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, A.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan pemasaran hasil produksi Perikanan termasuk dalam kondisi lemah. Seluruh dimensi aturam main dalam kelembagaan tersebut berada dalam kondisi sangat lemah dan lemah. Ada empat dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi, yaitu: (1) Pemberian sanksi; (2) Hak kepemilikan; (3) Prinsip batas; dan (4) Kegiatan memonitor, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 8. Meskipun demikian ketiga dimensi aturan main lainnya perlu juga mendapatkan prioritas penguatan karena masih tergolong dalam kategori lemah. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 26

44 Gambar 8. Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, A.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Kelembagaan monitorin dan evaluasi berdasarkan dimensi aturan mainnya, termasuk dalam kondisi lemah. Ketujuh dimensi aturam main dalam kelembagaan tersebut berada dalam kondisi sangat lemah dan lemah. Terdapat tiga dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi karena tergolong dalam kategori sangat lemah, yaitu: (1) Prinsip batas; (2) Distribusi manfaat; dan (3) Pemberian sanksi, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 9. Meskipun demikian masih ada empat dimensi aturan main lainnya yang perlu mendapatkan prioritas penguatan karena masih tergolong dalam kategori lemah. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 27

45 Gambar 9. Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, A.4 Bahan Penguatan Kapasitas Kelembagaan di Waduk Malahayu Sajian mengenai bahan penguatan kapasitas kelembagaan terkait dalam hal ini dimaksudkan sebagai masukan untuk menyusun acuan materi peningkatan kapasitas masyarakat nelayan pemanfaat sumberdaya periaran Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dalam penelitian ini bahan penguatan kapasitas kelembagaan tersebut disusun berdasarkan data dan informasi berkaitan dengan hasil assesmen kelembagan eksisting sebagaimana telah diuraikan di atas. Secara rinci bahan penguatan tersebut dapat disajikan dalam bentuk matriks seperti terdapat pada Tabel 10 berikut. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 28

46 Tabel 10. Upaya perbaikan dan bentuk penguatan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk Malahayu berdasarkan jenis kelembagaan dan permasalahannya. No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 1 Kelompok Nelayan - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal - Pengadaan fasilitas untuk petugas - Pembuatan sanksi untuk petugas - Penyusunan petugas formal Pelaku Utama - Pemberian sanksi - pembuatan aturan yang tegas - konsistensi penegakan sanksi - kejelasan sanksi dan peraturan - peradilan yang terbuka dan transparan - adanya petugas penangkap/semacam polisi air Pelatihan dan Pendampingan peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok nelayan dengan memprioritaskan upaya-upaya perbaikan dalam kegiatan memonitor, pemberian sanksi dan hak kepemilikan - pemetaan kepemilikan - Hak Kepemilikan - legalitas kepemilikan - kejelasan kepemilikan - hukuman untuk pelanggar kepemilikan - peradilan atas hak kepemilikan Pengawasan - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal Pelatihan dan Pendampingan - Pengadaan fasilitas untuk petugas peningkatan kapasitas kelembagaan pengawasan dengan - Pembuatan sanksi untuk petugas memprioritaskan upaya-upaya - Penyusunan petugas formal perbaikan dalam kegiatan - Pemberian insentif memonitor dan hak kepemilikan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 29

47 Lanjutan Tabel 10. (1) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 1 Kelompok Nelayan - pemetaan kepemilikan - legalitas kepemilikan Pengawasan - Hak Kepemilikan - kejelasan kepemilikan - hukuman untuk pelanggar kepemilikan - peradilan atas hak kepemilikan - Pemberian insentif - Pembuatan Jadwal Konservasi - Kegiatan memonitor - Hak Kepemilikan - Pengadaan fasilitas untuk petugas - Pembuatan sanksi untuk petugas - Penyusunan petugas formal - Pemberian insentif - pemetaan kepemilikan - legalitas kepemilikan - kejelasan kepemilikan - hukuman untuk pelanggar kepemilikan Pelatihan dan Pendampingan peningkatan kapasitas kelembagaan konservasi dengan memprioritaskan upaya-upaya perbaikan dalam kegiatan memonitor dan hak kepemilikan - peradilan atas hak kepemilikan - Pemberian insentif 2 Penyuluh Penyuluhan - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal Penyampaian rekomendasi kepada pihak Dinas Kelautan dan - Pengadaan fasilitas untuk petugas Perikanan sebagai institusi yang - Pembuatan sanksi untuk petugas bertanggung Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 30

48 Lanjutan Tabel 10 (2) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 2 Penyuluh Penyuluhan - Kegiatan memonitor - Penyusunan petugas formal - Pemberian insentif - Pemberian sanksi - Penyelesaian Konflik - pembuatan aturan yang tegas - konsistensi penegakan sanksi - kejelasan sanksi dan peraturan - peradilan yang terbuka dan transparan - adanya petugas penangkap/ semacam polisi air - adanya peraturan - mengefektifkan peran pemimpin atau tokoh masyarakat - mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan adil jawab atas kegiatan penyuluhan untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan penyuluhan dengan memprioritaskan upaya-upaya perbaikan kegiatan memonitor, pemberian sanksi dan penyelesaian konflik. 3 Dinas KP Monev - Prinsip Batas - Pemberian sanksi - Pemetaan Kewenangan dan Tupoksi yang jelas Penyampaian rekomendasi kepada pihak Dinas Kelautan dan - Koordinasi antar Instansi yang efektif Perikanan sebagai institusi yang - Koordinasi antara pemerintah dan swasta yang bertanggung jawab atas kegiatan efektif monitoring dan evaluasi - Koordinasi antara pemerintah dan Nelayan yang pemanfaatan dan pengelolaan efektif Waduk Malahayu untuk - Dukungan anggaran yang jelas dan memadai melakukan penguatan kapasitas kelembagaan monitoring dan evaluasi dengan memprioritaskan - mengawasi pembuatan aturan yang tegas upaya-upaya perbaikan prinsip - mengawasi konsistensi penegakan sanksi batas, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 31

49 Lanjutan Tabel 10 (3) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 3 Dinas KP Monev - Pemberian sanksi - kejelasan sanksi dan peraturan dari instansi diatasnya - mengadakan peradilan yang terbuka dan transparan - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal - Pengadaan fasilitas untuk petugas - Pembuatan sanksi untuk petugas - Penyusunan petugas formal - mengawasi Pemberian insentif - Penyelesaian Konflik - mengawasi penerapan peraturan - mengawasi efektifitas peran pemimpin atau tokoh masyarakat - mengawasi mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan adil - mengawasi Pemberian insentif - Hak Kepemilikan - mengawasi pemetaan kepemilikan - mengawasi legalitas kepemilikan - mengawasi kejelasan kepemilikan - mengawasi hukuman untuk pelanggar kepemilikan - mengawasi peradilan atas hak kepemilikan - mengawasi Pemberian insentif Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 32

50 Lanjutan Tabel 10 (4) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 4 Penyedia Input dan Pemasar Output Saprokan Pemasaran - Kegiatan memonitor - meningkatkan peran penyedia saprokan - Pemberian sanksi - meningkatkan komitemen penyedia saprokan - Hak Kepemilikan - Distribusi Manfaat - meningkatkan peran pemasar hasil/bakul - Pilihan Kolektif - meningkatkan komitemen pemasar hasil/bakul - Kegiatan Memonitor - Pemberian Sanksi Menginisiasi pembentukan lembaga koperasi nelayan yang bergerak dalam penyediaan saprokan dan pemasaran hasil perikanan serta permodalan usaha perikanan. - Penyelesaian Konflik - Hak Kepemilikan Sumber: Diolah Berdasarkan Data dan Informasi Tabel 9. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 33

51 B. Waduk Jatiluhur Kelembagaan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dalam penelitian ini terdiri dari tujuh jenis kelembagaan, yaitu: (a) Kelembagaan Pelaku Utama; (b) Kelembagaan Penyedia sarana Produksi Perikanan; (c) Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan; (d) Kelembagaan Konservasi; (e) Kelembagaan Pengawasan; (f) Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikaan; dan (g) Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi. Hasil asesmen setiap jenis dan keseluruhan kelembagaan tersebut dijelaskan menurut sebaran kategori efektifitas dan dimensi aturan mainnya. Dalam hal ini aturan main yang digunakan sebagai ukuran efektifitas kelembagaan tersebut terdiri dari: (a) Prinsip Batas; (b) Distribusi Manfaat; (c) Pilihan Kolektif; (d) Kegiatan Memonitor; (e) Pemberian sanksi; (f) Mekanisme Penyelesaian Konflik; dan (g) Pengorganisasian Hak Kepemilikan. Uraian mengenai hasil asesmen terhadap kelembagaan tersebut dijelaskan sebagai berikut. B.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan B.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pelaku utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori cukup efektif. Tabel 11 menunjukkan bahwa efektifitas kelembagaan tersebut tersebar kedalam empat kategori, namun didominasi oleh dua kategori, yaitu: cukup efektif (50 % responden) dan kurang efektif (36,67 % responden). Tabel 11. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,67 Cukup efektif ,00 Efektif ,33 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 34

52 B.1.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan penyedia saran peroduksi perikanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori efektif. Tabel 12 menunjukkan bahwa efektifitas kelembagaan tersebut tersebar kedalam empat kategori, namun didominasi oleh dua kategori, yaitu: efektif (50 % responden) dan sangat efektif (23,33 % responden). Tabel 12. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total B.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Efektifitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai kurang efektif. Sebanyak 46,67 % responden menyatakan kelembagaan tersebut kurang efektif dan 33,33% tidak efektif, serta 20,00% menyatakan cukup efektif (Tabel 13). Tabel 13. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,33 Kurang efektif ,67 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 35

53 B.1.4 Kelembagaan Konservasi Berdasarkan persepsi responden, secara keseluruhan kelembagaan konservasi terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur dinilai tidak efektif. Seluruh responden (100%) memberikan penilaian bahwa kelembagaan konservasi tergolong tidak efektif sebagaimana tertera pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,00 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.1.5 Kelembagaan Pengawasan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori kurang efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pengawasan tersebut dinilai cukup efektif oleh sebanyak 53,33 % responden dan sisanya sebanyak 36,67 % dinilai kurang efektif, 6,67% tidak efektif dan hanya 3,33% responden menyatakan efektif (Tabel 15). Tabel 15. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,67 Kurang efektif ,67 Cukup efektif ,33 Efektif ,33 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 36

54 B.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Efektifitas kelembagaan pemsaran hasil dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai cukup efektif. Sebanyak 36,67 % responden menyatakan kelembagaan tersebut cukup efektif, 30% efektif, 16,67% kurang efektif, dan 10,00% tidak efektif. Hanya 6,67% responden yang menyatakan kelembagaan ini sangat efektif (Tabel 16). Tabel 16. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,67 Cukup efektif ,67 Efektif ,00 Sangat Efektif ,67 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Berdasarkan persepsi responden, secara keseluruhan kelembagaan Monitoring dan Evaluasi terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur dinilai tidak efektif. Seluruh responden (100%) menyatakan bahwa kelembagaan monitoring dan evaluasi terkait pemanfaatan dan pengelolaan waduk Jatiluhur tidak efektif (Tabel 17). Tabel 17. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,00 Kurang efektif ,00 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total 30,00 100,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 37

55 B.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Untuk kelembagaan secara keseluruhan, efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, berdasarkan persepsi responden termasuk dalam kategori Kurang efektif. Sebanyak 83,33% responden menilai kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur masih kurang efektif, sedangkan sisanya sebanyak 16,67% menilai tidak efektif. Hal ini tertera dalam Tabel 18. Tabel 18. Sebaran Kategori Efektivitas Keseluruhan Kelembagaan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif ,67 Kurang efektif ,33 Cukup efektif ,00 Efektif ,00 Sangat Efektif ,00 Total ,00 Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Bila dicermati lebih lanjut, kurang efektifnya kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur disebabkan oleh masih lemahnya lima jenis kelembagaan, yaitu: (1) Kelembagaan konservasi; (2) Kelembagaan monitoring dan evaluasi pemasaran hasil produksi perikanan; (3) Kelembagaan pengawasan; (4) Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan; dan (5) kelembagaan pelaku utama. Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa dua jenis kelembagaan yang pertama seluruhnya tidak efektif, sedangkan tiga jenis kelembagaan lainnya didominasi oleh kategori kurang efektif dan tidak efektif. Hal ini mengindikasikan pentingnya inovasi (penguatan) kelembagaan-kelembagaan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan waduk tersebut. Dalam rangka inovasi (penguatan) kelembagaan-kelembagaan tersebut, upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melalui: (1) Penguatan kapasitas masyarakat nelayan melalui peningkatan pengetahuan, perubahan sikap/perilaku dan peningkatan kemampuan keterampilan manajerial (skill); (2) Inisiasi pembentukan lembaga koperasi yang dapat menjembatani kebutuhan masyarakat nelayan dalam hal permodalan usaha, sarana produksi Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 38

56 KELEMBAGAAN dan pemasaran hasil perikanan; dan (3) Peningkatan peran penyuluh perikanan dalam memperkuat keberlanjutan pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk. Sementara terhadap dua jenis kelembagaan yang lain, yaitu: Kelembagaan pemasaran hasil produksi perikanan dan Kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan perlu dipertahankan efektifitasnya, karena berdasarkan persepsi responden kelembagaankelembagaan tersebut dinilai sudah cukup efektif. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur. Monev Pemasaran Pengawasan Konservasi Penyuluhan Saprokan Pelaku Utama Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif 0% 20% 40% 60% 80% 100% Gambar 10.Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Tahun Sumber: Data primer yang diolah, B.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main Berdasarkan dimensi aturan main dari masing-masing maupun keseluruhan kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk, kondisi kelembagaan dapat tersebar kedalam lima kategori, yaitu: (1) Sangat lemah; (2) Lemah; (3) Sedang; (4) Kuat; dan (5) Sangat Kuat. Hasil penilaian berdasarkan persepsi responden terhadap tujuh dimensi aturan main yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, diketahui bahwa ketujuh kelembagaan yang terkait tersebar dalam kondisi sangat lemah hingga sedang (cukup kuat). Kelembagaan konservasi dan kelembagaan monitoring dan evaluasi dinilai sangat lemah, sedangkan kelembagaan pembinaan dan penyuluhan, kelembagaan pengawasan dan kelembagaan pelaku utama dinilai berada dalam kondisi yang lemah. Sementara Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 39

57 kelembagaan pemasaran hasil produksi perikanan dan penyedia sarana produksi perikanan dinilai berada dalam kondisi sedang (cukup kuat). Hal ini tertera dalam Tabel 19. Tabel 19. Kategori Efektifitas Jenis Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden, Tahun 2011 DIMENSI ATURAN MAIN Pelaku Utama KATEGORISASI DAN SKOR KELEMBAGAAN Saprokan Penyuluhan Konservasi Pengawasan Pemasaran Monev 1. Prinsip Batas Lemah Sedang Sedang 2. Distribusi Manfaat Sangat Lemah Lemah Sedang Sangat Lemah Sangat Sangat Sedang Sedang Lemah Lemah Lemah Kuat Lemah Sangat Sangat Lemah Lemah Sangat Kuat Lemah 3. Pilihan Kolektif Lemah Kuat Lemah 4. Kegiatan Memonitor 5. Pemberian Sanksi 6. Penyelesaian Konflik 7. Hak Kepemilikan Sedang Sangat Sangat Sedang Kuat Lemah Lemah Lemah Kuat Lemah Sangat Sangat Sangat Lemah Lemah Lemah Lemah Kuat Lemah Lemah Sangat Sangat Sangat Lemah Lemah Lemah Lemah Sedang Lemah Lemah Sangat Sangat Sangat Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Setiap dimensi aturan main dari masing-masing kelembagaan berperan dalam menentukan kondisi dari kelembagaan-kelembagaan tersebut. Secara rinci, peran dari aturan main tersebut dapat dijelaskan dalam uraian berikut. B.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama Kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi sedang (cukup kuat). Hal ini didukung oleh tiga dimensi atura main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat), yaitu: (1) distribusi manfaat; (2) kegiatan memonitor; dan (3) hak kepemilikan. Meskipun demikian kelembagaan ini maih dihadapkan pada beberapa kelemahan dalam beberapa dimensi aturan main, yaitu: Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 40

58 (1) kegiatan pilihan kolektif; (2) pemberian sanksi; (3) penyelesaian konflik; dan (3) prinsip batas sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 11. Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pelaku utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai hal yang berkaitan dengan keempat dimensi aturan main tersebut. PELAKU UTAMA Pengorganisasian hak kepemilikan 2,22 Mekanisme penyelesaian konflik Pemberian sanksi 1,80 1,73 Kegiatan monitoring 2,78 Pengaturan pilihan-kolektif 1,57 Distribusi manfaat 2,67 Prinsip batas 1,88 Gambar 11.Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat B.3.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan termasuk dalam kondisi cukup kuat. Hal ini didukung oleh tiga dimensi aturan main kelembagaan yang masuk dalam kategori kuat dan cukup kuat. Akan tetapi masih ada 3 dimensi aturan main yang sangat lemah, yaitu: (1) Pemberian sanksi; (2) Penyelesaian konflik; dan (3) Hak kepemilikan serta satu dimensi yang lemah yaitu kegiatan memonitor. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 12. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 41

59 SAPROKAN Pengorganisasian hak kepemilikan Mekanisme penyelesaian konflik Pemberian sanksi Kegiatan monitoring Pengaturan pilihan-kolektif Distribusi manfaat Prinsip batas 0,75 0,83 1,00 1,72 2,62 3,23 3,44 Gambar 12.Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat B.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan secara umum berdasarkan dimensi aturan mainnya sudah termasuk dalam kategori lemah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya keseluruhan dimensi aturan main kecuali dimensi prinsip batas yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat).. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 13. PEMBINAAN & PENYULUHAN Pengorganisasian hak kepemilikan Mekanisme penyelesaian konflik Pemberian sanksi Kegiatan monitoring Pengaturan pilihan-kolektif Distribusi manfaat Prinsip batas 1,07 1,10 0,67 1,06 1,44 1,83 2,33 Gambar 13.Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 42

60 Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan penyuluhan dapat dilakukan dengan meningkatkan peran penyuluh perikanan dalam kegatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu. B.3.4 Kelembagaan Konservasi Seluruh dimensi aturan main dalam kelembagaan Konservasi termasuk dalam kategori sangat lemah sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 14. Berdasarkan kondisi ini, maka upaya untuk menghidupkan kembali kawasan konservasi perikanan di perairan waduk Jatiluhur sangat mendesak untuk dilakukan dan perlu penyadaran kepada pemanfaat sumberdaya perikanan dan perairan Waduk Jatiluhur. Pengorganisasian hak kepemilikan Mekanisme penyelesaian konflik Pemberian sanksi Kegiatan monitoring Pengaturan pilihan-kolektif Distribusi manfaat Prinsip batas Gambar 14.Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, KONSERVASI 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat B.3.5 Kelembagaan Pengawasan Kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi lemah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya seluruh dimensi aturan main yang ada dalam kelembagaan tersebut kecuali dimensi distribusi manfaat dan dimensi pengaturan pilihan kolektif sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 15. Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 43

61 Waduk Jatiluhur dapat dilakukan dengan memperhatikan pentingnya dimensi distribusi manfaat dan dimensi pengaturan pilihan kolektif para pemanfaat sumberdaya perairan Waduk Jatiluhur khususnya yang terjadi akibat adanya kegiatan pengawasan. PENGAWAS Pengorganisasian hak kepemilikan Mekanisme penyelesaian konflik 1,43 1,40 Pemberian sanksi Kegiatan monitoring Pengaturan pilihan-kolektif 1,93 1,83 2,14 Distribusi manfaat 2,64 Prinsip batas 1,86 Gambar 15.Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat B.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan pemasaran hasil produksi Perikanan termasuk dalam kondisi Sedang (cukup kuat). Hal ini didukung oleh kuatnya tiga dimensi aturan main yang masuk dalam kategori kuat dan satu dimensi dalam kategori sedang (cukup kuat). Akan tetapi masih ada tiga dimensi lainnya yang masih lemah, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 16. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 44

62 Pengorganisasian hak kepemilikan Mekanisme penyelesaian konflik Pemberian sanksi Kegiatan monitoring Pengaturan pilihan-kolektif Distribusi manfaat Prinsip batas PEMASARAN 1,73 1,13 1,56 2,72 3,31 3,56 4,06 Gambar 16.Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat B.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Secara keseluruhan kelembagaan monitoring dan evaluasi berdasarkan dimensi aturan mainnya, termasuk dalam kondisi sangat lemah yang ditunjukkan oleh ketujuh dimensi aturam main dalam kelembagaan tersebut. Diperlukan upaya yang sangat kuat untuk bisa meningkatkan kapasitas kelembagaan monitoring dan evaluasi dalam mendukung kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur. Pengorganisasian hak kepemilikan Mekanisme penyelesaian konflik Pemberian sanksi Kegiatan monitoring Pengaturan pilihan-kolektif Distribusi manfaat Prinsip batas Gambar 17.Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, MONEV 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 45

63 B.4 Bahan Penguatan Kapasitas Kelembagaan di Waduk Jatiluhur Sajian mengenai bahan penguatan kapasitas kelembagaan terkait dalam hal ini dimaksudkan sebagai masukan untuk menyusun acuan materi peningkatan kapasitas masyarakat nelayan pemanfaat sumberdaya periaran Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dalam penelitian ini bahan penguatan kapasitas kelembagaan tersebut disusun berdasarkan data dan informasi berkaitan dengan hasil assesmen kelembagan eksisting sebagaimana telah diuraikan di atas. Secara rinci bahan penguatan tersebut dapat disajikan dalam bentuk matriks dalam Tabel 20 berikut: Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 46

64 Tabel 20. Upaya perbaikan dan bentuk penguatan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur berdasarkan jenis kelembagaan dan permasalahannya. No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 1 Kelompok Nelayan Pelaku Utama - Prinsip batas - Pemetaan Kewenangan dan Tupoksi yang jelas - Pemetaan daerah yang Jelas - Peraturan penangkapan yang jelas - Hukum penangkapan yang jelas - Pilihan kolektif - Pembuatan aturan yang tegas - Kejelasan sanksi dan peraturan - Peradilan yang terbuka dan transparan - Adanya pengawasan bersama terhadap peraturan - Membiasakan musyawarah untuk mufakat - Pemberian sanksi - Pembuatan aturan yang tegas - Konsistensi penegakan sanksi - Kejelasan sanksi dan peraturan - Peradilan yang terbuka dan transparan Pelatihan dan Pendampingan peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok nelayan dengan memprioritaskan upayaupaya perbaikan dalam prinsip batas, pilihan kolektif, pemberian sanksi dan penyelesaian konflik - Penyelesaian konflik - Adanya peraturan dan hukum yang jelas - Mengefektifkan peran pemimpin atau tokoh masyarakat - Mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan adil - Peradilan yang terbuka dan transparan jika diperlukan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 47

65 Lanjutan Tabel 20 (1) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 1 Kelompok Nelayan Pengawasan - Prinsip batas - Pemetaan Kewenangan dan Tupoksi yang jelas - Pemetaan daerah yang Jelas - Peraturan penangkapan yang jelas - Hukum penangkapan yang jelas - Adanya petugas penangkap/ semacam polisi air - Distribusi manfaat - Pemetaan areal penangkapan yang jelas - Pemetaan daerah konservasi yang jelas - Peraturan penangkapan yang jelas - Hukum penangkapan yang jelas - Adanya petugas penangkap/ semacam polisi air - Pengaturan yang jelas antar perikanan dan kebutuhan lainnya - Pilihan kolektif - Mengawasi pembuatan aturan yang tegas - Mengawasi kejelasan sanksi dan peraturan - Mengawasi peradilan yang terbuka dan transparan - Adanya pengawasan bersama terhadap peraturan - Mengawasi jalannya musyawarah untuk mufakat Pelatihan dan Pendampingan peningkatan kapasitas kelembagaan pengawasan dengan memprioritaskan upaya-upaya perbaikan dalam kegiatan memonitor dan hak kepemilikan serta menekankan kepada prinsip batas, distribusi manfaat, dan pilihan kolektif - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal - Pengadaan fasilitas untuk petugas - Pembuatan sanksi untuk petugas Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 48

66 Lanjutan Tabel 20 (2) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 1 Kelompok Nelayan Pengawasan - Kegiatan memonitor - Penyusunan petugas formal - Pemberian insentif - Hak Kepemilikan - pemetaan kepemilikan - legalitas kepemilikan - kejelasan kepemilikan - hukuman untuk pelanggar kepemilikan - peradilan atas hak kepemilikan - Pemberian insentif - Prinsip batas - Pemetaan Kewenangan dan Tupoksi yang jelas - Pemetaan daerah Konservasi yang Jelas Konservasi - Peraturan penangkapan yang jelas - Hukum penangkapan yang jelas - Adanya petugas penangkap/ semacam polisi air - Peradilan yang terbuka dan transparan - Distribusi manfaat - Pemetaan daerah konservasi yang jelas - Peraturan penangkapan yang jelas - Hukum penangkapan yang jelas - Adanya petugas penangkap/ semacam polisi air - Pengaturan yang jelas antar perikanan dan kebutuhan lainnya Pelatihan dan Pendampingan peningkatan kapasitas kelembagaan konservasi dengan memprioritaskan upaya-upaya perbaikan dalam kegiatan memonitor dan hak kepemilikan serta menekankan kepada prinsip batas, distribusi manfaat, pilihan kolektif, dan pemberian sanksi Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 49

67 Lanjutan Tabel 20 (3) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 1 Kelompok Nelayan Konservasi - Distribusi manfaat - Menjaga bersama waduk dari limbah - Pilihan kolektif - Pembuatan aturan yang tegas - Kejelasan sanksi dan peraturan - Peradilan yang terbuka dan transparan - Adanya pengawasan bersama terhadap peraturan - Membiasakan musyawarah untuk mufakat - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal - Pengadaan fasilitas untuk petugas - Pembuatan sanksi untuk petugas - Penyusunan petugas formal - Pemberian insentif - Pemberian sanksi - Pembuatan aturan yang tegas - Konsistensi penegakan sanksi - Kejelasan sanksi dan peraturan - Peradilan yang terbuka dan transparan - Penyelesaian konflik - Adanya peraturan dan hukum yang jelas - Mengefektifkan peran pemimpin atau tokoh masyarakat - Mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan adil Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 50

68 Lanjutan Tabel 20 (4) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 1 Kelompok Nelayan Konservasi - Penyelesaian konflik - Peradilan yang terbuka dan transparan jika diperlukan - Hak Kepemilikan - Pemetaan kepemilikan - Legalitas kepemilikan - Kejelasan kepemilikan - Hukuman untuk pelanggar kepemilikan - Peradilan atas hak kepemilikan - Pemberian insentif 2 Penyuluh Penyuluhan - Distribusi manfaat - Pemetaan daerah konservasi yang jelas - Peraturan penangkapan yang jelas - Hukum penangkapan yang jelas - Adanya petugas penangkap/ semacam polisi air - Pengaturan yang jelas antar perikanan dan kebutuhan lainnya - Menjaga bersama waduk dari limbah - Pilihan kolektif - Pembuatan aturan yang tegas - Kejelasan sanksi dan peraturan - Peradilan yang terbuka dan transparan - Adanya pengawasan bersama terhadap peraturan - Membiasakan musyawarah untuk mufakat Penyampaian rekomendasi kepada pihak Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai institusi yang bertanggung jawab atas kegiatan penyuluhan untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan penyuluhan dengan memprioritaskan upaya-upaya perbaikan kegiatan kegiatan memonitor dan hak kepemilikan serta menekankan kepada prinsip batas, distribusi manfaat, pilihan kolektif, dan pemberian sanksi Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 51

69 Lanjutan Tabel 20 (5) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 2 Penyuluh Penyuluhan - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal - Pengadaan fasilitas untuk petugas - Pembuatan sanksi untuk petugas - Penyusunan petugas formal - Pemberian insentif - Pemberian sanksi - Pembuatan aturan yang tegas - Konsistensi penegakan sanksi - Kejelasan sanksi dan peraturan - Peradilan yang terbuka dan transparan - Penyelesaian Konflik - Adanya peraturan - Mengefektifkan peran pemimpin atau tokoh masyarakat - Mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan adil 3 Dinas KP Monev - Prinsip Batas - Pemetaan Kewenangan dan Tupoksi yang jelas Penyampaian rekomendasi kepada - Koordinasi antar Instansi yang efektif pihak Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai institusi yang - Koordinasi antara pemerintah dan swasta yang bertanggung jawab atas kegiatan efektif monitoring dan evaluasi - Koordinasi antara pemerintah dan Nelayan yang pemanfaatan dan pengelolaan efektif Waduk Jatiluhur untuk melakukan - Dukungan anggaran yang jelas dan memadai penguatan kapasitas kelembagaan monitoring dan evaluasi dengan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 52

70 Lanjutan Tabel 20 (6) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 3 Dinas KP Monev - Distribusi manfaat - Pemetaan areal penangkapan yang jelas memprioritaskan upaya-upaya - Pemetaan daerah konservasi yang jelas kegiatan memonitor dan hak kepemilikan serta menekankan - Peraturan penangkapan yang jelas kepada prinsip batas, distribusi - Hukum penangkapan yang jelas - Adanya petugas penangkap/ semacam polisi air manfaat, pilihan kolektif, dan pemberian sanksi - Pengaturan yang jelas antar perikanan dan kebutuhan lainnya - Pilihan kolektif - Pembuatan aturan yang tegas - Kejelasan sanksi dan peraturan - Peradilan yang terbuka dan transparan - Kegiatan memonitor - Pembuatan Jadwal - Adanya pengawasan bersama terhadap peraturan - Membiasakan musyawarah untuk mufakat - Pengadaan fasilitas untuk petugas - Pembuatan sanksi untuk petugas - Penyusunan petugas formal - Mengawasi Pemberian insentif - Pemberian sanksi - mengawasi pembuatan aturan yang tegas - mengawasi konsistensi penegakan sanksi - kejelasan sanksi dan peraturan dari instansi diatasnya - mengadakan peradilan yang terbuka dan transparan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 53

71 Lanjutan Tabel 20 (7) No LEMBAGA/INSTITUSI KELEMBAGAAN (FUNGSI) PERMASALAHAN DALAM DIMENSI ATURAN MAIN Upaya Perbaikan ALTERNATIF SOLUSI Bentuk Penguatan Kapasitas 3 Dinas KP Monev - Penyelesaian Konflik - mengawasi penerapan peraturan - mengawasi efektifitas peran pemimpin atau tokoh masyarakat - mengawasi mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan adil - mengawasi Pemberian insentif - Hak Kepemilikan - mengawasi pemetaan kepemilikan - mengawasi legalitas kepemilikan - mengawasi kejelasan kepemilikan - mengawasi hukuman untuk pelanggar kepemilikan - mengawasi peradilan atas hak kepemilikan - mengawasi Pemberian insentif 4 Penyedia Input dan Pemasar Output Saprokan - Pemberian sanksi - meningkatkan peran penyedia saprokan - Penyelesaian Konflik - meningkatkan komitemen penyedia saprokan - Hak Kepemilikan Pemasaran - Pemberian Sanksi - meningkatkan peran pemasar hasil/bakul - Penyelesaian Konflik - meningkatkan komitemen pemasar hasil/bakul - Hak Kepemilikan Menginisiasi pembentukan lembaga koperasi nelayan yang bergerak dalam penyediaan saprokan dan pemasaran hasil perikanan serta permodalan usaha perikanan. Sumber: Diolah Berdasarkan Data dan Informasi Tabel 9. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 54

72 C. Waduk Gajah Mungkur Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, Jawa Tengah diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 17 November 1981 dengan luas perairan seluas Ha. Waduk ini mempunyai lahan pasang surut seluas Ha dengan fluktuasi perubahan permukaan air setinggi 11m (permukaan tertinggi 138m dari permukaan laut dan terendah 127m dari permukaan laut). Waduk ini juga memiliki kedalamanan maksimal sedalam 28 m dan kedalaman minimal rata-rata yaitu 9 m. Waduk ini terletak pada tujuh (7) kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Wonogiri; (2) Kecamatan Ngadiro; (3) Kecamatan Nguntoronadi; (4) Kecamatan Baturetno; (5) Kecamatan Giriwoyo; (6) Kecamatan Eromoko; dan (7) Kecamatan Wuryantoro (Laporan Singkat Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, 2010). Gambar 18.Gambar 1. Peta Potensi Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Sumber: Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah (2010) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 55

73 Waduk Gajah Mungkur ini mempunyai beberapa fungsi selain untuk pembangkit tenaga listrik, fungsi-fungsi itu antara lain: (1) untuk irigasi ± Ha sawah; (2) Pengendali banjir; (3) Pariwisata; (4) Perikanan; dan (5) Air minum kota Wonogiri. Untuk pengembangan perikanan di waduk itu sendiri sudah di keluarkan beberapa peraturan pemerintah baik dari tingkat nasional maupun peraturan daerah yang mengatur kawasan perikanan setempat bahkan terdapat perda nomer 9 tahun 2003 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan Di Perairan Waduk Serba Guna Gajah Mungkur Wonogiri yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap yang di perbolehkan. Gambar 19.Gambar Papan Perda no. 9 tahun 2003 Sumber: Foto Data primer, dan Data sekunder Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah Sampai akhir 2010 telah terbentuk 48 kelompok petani ikan/ nelayan dengan jumlah anggota sekitar orang. Hasil perikanan tangkap pada tahun 2010 adalah ton. Untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati perikanannya, dari tahun 1981 sampai dengan 2010 telah dilaksanakan penebaran benih ikan di waduk Gajah Mungkur ini sebanyak ekor benih ikan Tawes, ikan Nila, ikan Karper, dan ikan Pangasius oleh pemerintah dengan menggunakan anggaran APBD kabupaten dan APBD propinsi Jawa Tengah. Selain itu kelompok tani dan PT Aquafarm Nusantara juga telah melakukan tebar benih sebanyak ekor dari jenis ikan Tawes, ikan Nila, ikan Karper dan Ikan Jambal Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 56

74 (Pangasius). Pada tahun 2002, Tebar benih juga telah dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Jakarta untuk keperluan penelitian. Keadaan Pemasaran di Waduk Gajah Mungkur cukup hidup. Sudah cukup banyak bakul-bakul ikan dan kelompok bakul ikan tersebar di kabupaten Wonogiri. Pemasaranya mencakup pemasaran di dalam kabupaten Wonogiri itu sendiri dan pemasaran di luar Kabupaten Wonogiri, bahkan ada yang mengeksport ke Amerika, Singapura dan Taiwan. Selain itu warung-warung makan juga cukup menjamur di sekitar waduk tersebut. Pemerintah memfasilitasi kelompok petani ikan/nelayan dan bakul/pengepul dalam mencapai kata sepakat untuk keseragaman harga/harga standar ikan hasil tangkapan di waduk Gajah Mungkur. Beberapa fasilitas infrastruktur pendukung pemasaran, yaitu tempat pendaratan ikan, dermaga, unit los penjualan dan los pasar ikan. Terdapat pendaratan 9 Unit Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang tersebar luas di berbagai kecamatan, antara lain: (1) Kecamatan Wonogiri (1 unit); (2) Kecamatan Wuryantoro (2 unit di kel. Wuryantoro dan desa Sumberejo); (3) Kecamatan Eromoko (1 unit); (4) Kecamatan Ngutoronadi (1 unit); dan (5) Kecamatan Baturetno (4 unit yang tersebar di desa Boto, desa Glesungrejo, desa Gambiranom dan desa Kedungombo). Dermaga perikanan sendiri ada 2 unit yang terletak desa Sendang, Kecamatan Wonogiri dan Desa Wonoharjo, Kecamatan Nguntoronadi. Los penjualan ikan sendiri tersebar di beberapa tempat yaitu di Kecamatan Batu (desa Talunombo sebanyak 1 unit), Kecamatan Wuryantoro (desa Gumiwang sebanyak 2 unit), dan Kecamatan Selogiri (desa Nambangan sebanyak 1 unit). Selain itu ada 1 los pasar ikan yang terletak di Kecamatan Eromoko. Kelembagaan yang ada di waduk Gajah Mungkur sudah cukup lengkap yang terdiri dari kelompok Petani ikan dan nelayan, kelompok pembudidaya KJA, kelompok pengolahan dan Pemasaran hasil perikanan; selain itu terdapat juga hansip nealyan di perairan umum dan kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS). Untuk kelembagaan terdapat beberapa fasilitas balai pertemuan untuk nelayan, hal ini memberikan kemudahan untuk rapat dan penyuluhan. Kerjasama antara kelompok bakul ikan dan PT Aquafarm Nusantara juga sudah terbentuk dimana bakul ikan dapat membeli hasil sortiran yang tidak masuk seleksi ikan untuk eksport dengan harga tertentu. Hansip difasilitasi oleh PT Aquafarm Nusantara untuk menjaga perairam umum agar tidak timbul konflik. Selain itu juga terdapat pokmaswas yang terdiri dari beberapa nelayan yang secara sukarela bekerja untuk mengawasi perairan waduk dari penggunaan bahan-bahan berbahaya dan alat tangkap yang tidak sesuai. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 57

75 Kelembagaan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dalam penelitian ini terdiri dari tujuh jenis kelembagaan, yaitu: (a) Kelembagaan Pelaku Utama; (b) Kelembagaan Penyediaan sarana Produksi Perikanan; (c) Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan; (d) Kelembagaan Konservasi; (e) Kelembagaan Pengawasan; (f) Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan; dan (g) Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi. Hasil asesmen setiap jenis dan keseluruhan kelembagaan tersebut dijelaskan menurut sebaran kategori efektifitas dan dimensi aturan mainnya. Dalam hal ini aturan main yang digunakan sebagai ukuran efektifitas kelembagaan tersebut terdiri dari: (a) Prinsip Batas; (b) Distribusi Manfaat; (c) Pilihan Kolektif; (d) Kegiatan Memonitor; (e) Pemberian sanksi; (f) Mekanisme Penyelesaian Konflik; dan (g) Pengorganisasian Hak Kepemilikan. Informasi sebaran kategori dan kondisi efektifitas kelembagaan eksisting tersebut, selanjutnya dalam penelitian ini digunakan sebagai salah satu bahan penyusunan inovasi kelembagaan dalam bentuk penguatan kapasitas kelembagaan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Keterangan lebih lanjut mengenai hasil asesmen dan sajian bahan penguatan kapasitas kelembagaan tersebut dijelaskan pada uraian berikut. C.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan C.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) Berdasarkan hasil survey dilapangan diketahui bahwa persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah secara keseluruhan kelembagaan tersebut dinilai efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pelaku utama dinilai efektif oleh 57,50 % responden dan sisanya tersebar dalam tiga kategori yaitu kurang efektif (2,50%), cukup efektif (20%) dan sangat efektif (20 %), seperti tertera pada Tabel 21. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 58

76 Tabel 21. Tabel 1 Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) C.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori cukup efektif (55%) dan responden lainnya tersebar dalam kategori tidak efektif (5%), kurang efektif 17,50%, efektif 20% dan sangat efektif 2,5% seperti pada Tabel 22. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) C.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Efektifitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai cukup efektif (40%). Sebanyak 27,50% responden menyatakan kelembagaan tersebut kurang efektif, 15% responden menyatakan efektif, sebanyak 10% responden menyatakan tidak Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 59

77 efektif dan sebanyak 7,50% responden menyatakan kelembagaan pembinaan dan penyuluhan sangat efektif (Tabel 23). Tabel 23. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) C.1.4 Kelembagaan Konservasi Berdasarkan persepsi responden, secara umum kelembagaan konservasi terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Gajah Mungkur dinilai efektif. Sebanyak 27,50% responden memberikan penilaian bahwa kelembagaan konservasi tergolong cukup efektif dan sisanya tersebar dalam dua kategori, yaitu sebanyak 20,00 % menyatakan sangat efektif dan 10,00 % menyatakan kurang efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 24. Tabel 24. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 60

78 C.1.5 Kelembagaan Pengawasan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori efektif. Persentase yang sama dari responden (masing-masing sebesar 13,89%) yang menilai kelembagaan pengawasan di waduk Gajah Mungkur cukup efektif dan sangat efektif. Sebanyak 11,11% responden menilai kelembagaan tersebut tidak efektif dan sisanya 5,56% responden menilai kelembagaan pengawasan kurang efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 25. Tabel 25. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) C.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Efektifitas kelembagaan pemsaran hasil dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai efektif. Sebanyak 27,50% responden menyatakan kelembagaan tersebut cukup efektif dan sebanyak 12,50% responden menilai kelembagaan pemasaran kurang efektif, akan tetapi responden lainnya 12,50% juga menilai kelembagaan tersebut sangat efektif dan sisanya sebesar 7,50% responden menyatakan bahwa kelembagan pemasaran masih tidak efektif (Tabel 26). Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 61

79 Tabel 26. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) C.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Berdasarkan persepsi responden, secara umum kelembagaan Monitoring dan Evaluasi terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur dinilai kurang efektif (37,50%). Sebanyak 30,00% responden memberikan penilaian bahwa kelembagaan tersebut tergolong tidak efektif dan sisanya sebanyak 22,50 % dan 10,00% masing-masing responden menyatakan kelembagaan monev efektif dan cukup efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 27. Tabel 27. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) C.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Untuk kelembagaan secara keseluruhan, efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, berdasarkan persepsi responden termasuk dalam kategori cukup efektif (45%). Sebanyak 35% responden menilai Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 62

80 kelembagaan secara keseluruhan efektif, sedangkan sisanya sebanyak 20% menilai kurang efektif (Tabel 28). Tabel 28. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Bila dicermati lebih lanjut, kurang efektifnya kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur disebabkan oleh masih lemahnya satu jenis kelembagaan, yaitu: Kelembagaan monitoring dan evaluasi; sedangkan kelembagaan yang kurang begitu kuat adalah kelembagaan penyuluhan. Berdasarkan Gambar 20, diketahui bahwa jenis kelembagaan tersebut didominasi oleh kategori tidak efektif dan kurang efektif. Hal ini mengindikasikan pentingnya inovasi (penguatan) kelembagaan monitoring dan evaluasi, serta kelembagaan penyuluhan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan waduk tersebut. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 63

81 Gambar 20.Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Tahun Sumber: Data primer yang diolah, Dalam rangka inovasi (penguatan) kelembagaan-kelembagaan tersebut, upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melalui: (1) Kelembagaan pengasawan perlu dihidupkan dan disahkan karena responden kurang begitu mengetahui keberadaan mereka; (2) Memberikan pengetahuan akan manfaat monitoring dan evaluasi; (3) Memperkuat perundangan dan ketegasan hukum agar pemberian sanksi dan penelesaian konflik dapat dilakukan dengan tegas tanpa memihak untuk mempertahankan sumberdaya perikanan; (4) Meningkatkan kesadaran petugas untuk monitoring dan evaluasi agar dapat menegakkan perda larangan penangkapan; (5) Bekerja sama dengan penduduk setempat untuk menempatkan pokmaswas agar monitoring dan evaluasi dapat dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab; (6) Peningkatan peran penyuluh perikanan dalam memperkuat keberlanjutan pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk. Sementara terhadap ketiga jenis kelembagaan yang lain, yaitu: (1) Kelembagaan pelaku utama; (2) Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan; (3) Kelembagaan konservasi; (4) Kelembagaan pengawasan; dan (5) Kelembagaan Pemasaran perlu dipertahankan efektifitasnya dan lebih diperkuat lagi, karena berdasarkan persepsi responden Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 64

82 kelembagaan-kelembagaan tersebut dinilai sebagian sudah cukup efektif dan sebagian sudah efektif. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Gajah Mungkur. C.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main Berdasarkan dimensi aturan main dari masing-masing maupun keseluruhan kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk, kondisi kelembagaan dapat tersebar kedalam lima kategori, yaitu: (1) Sangat lemah; (2) Lemah; (3) Sedang; (4) Kuat; dan (5) Sangat Kuat. Hasil penilaian berdasarkan persepsi responden terhadap tujuh dimensi aturan main yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, diketahui bahwa ketujuh kelembagaan yang terkait tersebar dalam kondisi sangat lemah hingga sedang (cukup kuat). Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dinilai lemah, sedangkan kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan, kelembagaan penyuluhan, kepembagaan pengawasan dan kelembagaan pemasaran hasil produksi perikanan dinilai berada dalam kondisi yang sedang. Sementara kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) dan kelembagaan konservasi dinilai mempunyai kondisi yang kuat, seperti tertera dalam Tabel 29. Tabel 29. Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur,Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun 2011 DIMENSI ATURAN MAIN 1. Prinsip Batas 2. Distribusi Manfaat 3. Pilihan Kolektif 4. Kegiatan Memonitor 5. Pemberian Sanksi 6. Penyelesaian Konflik 7. Hak Kepemilikan KATEGORISASI DAN SKOR KELEMBAGAAN Pelaku Utama Saprokan Penyuluhan Konservasi Pengawasan Pemasaran Monev kuat kuat kuat kuat kuat kuat Sedang kuat kuat sangat kuat sangat kuat kuat kuat Lemah kuat kuat kuat sangat kuat sedang kuat Lemah kuat lemah kuat kuat kuat sedang Sedang kuat sangat lemah sangat lemah sedang sedang lemah Lemah sedang Sedang lemah kuat kuat sedang Lemah sedang lemah sedang lemah lemah sedang Lemah Rataan per Kelembagaan Kuat Sedang Sedang Kuat Sedang Sedang Lemah Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 65

83 Setiap dimensi aturan main dari masing-masing kelembagaan berperan dalam menentukan kondisi dari kelembagaan-kelembagaan tersebut. Secara rinci, peran dari aturan main tersebut dapat dijelaskan dalam uraian berikut. C.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama Kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi yang kuat (lihat Tabel 29). Hal ini didukung oleh keseluruhan prinsp atau aturan atura main kelembagaan yang termasuk dalam kategori kuat dan sedang (cukup kuat), Lima aturan yang termasuk dalam kategori kuat, yaitu: (1) pemberian sanksi; (2) kegiatan memonitor; (3) pilihan kolektif; (4) distribusi manfaat; dan (5) prinsip batas. Sementara dua aturan main lainnya, yang tergolong dalam kategori sedang (cukup kuat), yaitu: (1) hak kepemilikan; dan (2) penyelesaian konflik sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 21. Gambar 21.Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pelaku utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur dapat dilakukan dengan memperioritaskan pada peningkatan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 66

84 pelaksanaan aturan main yang berkaitan dengan prinsip hak kepemilikan dan penyelesaian konflik. Kedua hal tersebut dapat dilakukan dengan menumbuhkan rasa memiliki dari setiap anggota kelompok terhadap keberadaaan dan fungsi kelompok tersebut, yang diantaranya dengan cara memberikan kewajiban kepada setiap anggota untuk membayar iuran kelompok sesuati dengan kesepakatan. Pada saat ini iuran anggota kelompok, terutama untuk kasus Kelompok Nelayan Sendang Asri (Kecamatan Wonogiri), setiap anggota yang akan bergabung dengan kelompok akan di kenakan Rp diawalnya dan diiukuti sebesear Rp setiap tahunnya. Dari dana yang terhimpun tersebut akan digunakan untuk modal awal dua jenis usaha kelompok nelayan, yaitu: (1) Usaha pembelian ikan hasil budidaya yang stress KJA PT Aquafarm Nusantara yang kemudian dijual ke bakul dan keuntungannnya dimasukkan ke dalam kas kelompok dan (2) Usaha simpan pinjam. Keuntungan dari keuda usaha tersebut pada akhir tahun digunakan untuk membayar SIUP setiap anggotanya, yaitu masing-masing sebesar Rp ,- per tahun; dan sebesar Rp ,- dibayarkan ke pihak Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wonogiri sebagai kontribusi kelompok tersebut dalam pengadaan benih ikan untuk digunakan keperluan restocking. Sedangkan sisanya disimpan sebagai aset/modal kelompok nelayan. Dilain pihak, untuk kasus kelompok nelayan Karya Mina (Kecamatan Baturento) tidak di kenakan uang awal, akan tetapi iuran sebesar Rp setiap tahunnya per anggota yang dana tersebut di titipkan di Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wonogiri untuk membayarkan SIUP anggota aktif sebesar Rp dan sisanya Rp sebagai cadangan pembelian benih yang akan di tebarkan di sekitar area waduk. Kecamatan Wuryantoro mempunyai skema yang serupa. Hal lain yang dilakukan oleh pengurus kelompok nelayan di tiga lokasi kasus tersebiut untuk menumbuhkan rasa memiliki dan upaya mencegah terjadi konflik adalah menumbuhkan rasa kebersamaan sesama anggoat kelompok nelayan. Upaya ini berupa kewajiban anggota untuk membayar iuran dana sosial sebesar Rp pada setiap bulan (yang dibayarkan pada setiap pertemuan kelompok). Dana ini digunakan untuk bantuan sosial seperti untuk kebutuhan nelayan yang sakit dan kebutuhan sosial lainnya. C.3.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan termasuk dalam kategori sedang/cukup kuat (lihat Tabel 29). Hal ini didukung oleh Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 67

85 satu aturan main dengan kategori sangat yaitu hak kepemilikan; tiga aturan main kelembagaan yang termasuk dalam kategori kuat, yaitu: (1) prinsip batas; (2) Distribusi manfaat dan (3) Pilihan kolektif; dan satu aturan main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat) yaitu penyelesaian konflik. Meskipun demikian kelembagaan ini masih dihadapkan pada beberapa kelemahan dalam dimensi/aturan main, yaitu: (1) Pemberian sanksi; dan (2) Kegiatan memonitor; sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 22. Oleh karena itu, kedua dimensi/aturan main ini perlu mendapatkan prioritas dalam penguatan kelembagaan dalam penyediaan sarana produksi karena masih tergolong dalam kategori lemah dan sangat lemah. Gambar 22.Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Berdasarkan kelemahan dari kedua aturan main tersebut, maka perlu penguatan kelembagaan saprokan dengan melakukan perbaikan dari sisi kegiatan memonitor dan pemberian sanksi. Pada umumnya semua nelayan Waduk Gajah Mungkur melakukan pembelian saprokan di toko penyedia yang berada di luar wilayah kecamatan mereka. Toko yang merupakan penyedia saprokan ini juga bukan merupakan bagian dari kelompok nelayan, sehingga nelayan atau kelompok nelayan tersebut mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan monitor terhadap kelembagaan penyediaan saprokan tersebut. Dengan lemahnya Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 68

86 kegiatan tersebut karena kelompok nelayan tersebut tidak memiliki kaitan/hubungan apapun dengan kelembagaan tersebut menyebabkan kelompok nelayan tersebut tidak dapat memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kelembagaan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya menghidupkan kembali pembentukan kelembagaan koperasi sebagai penyedia saprokan dalam kelompok nelayan tersebut. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan ternyata dari tiga lokasi penelitian hanya Kecamatan Wuryantoro yang memiliki koperasi. Koperasi ini didirikan pada tahun 1999 dan sampai saat ini berjalan dengan baik. Saat ini koperasi tersebut hanya melayani simpan pinjam saja, tidak termasuk dalam hal penyediaan sarana produksi. Oleh karena itu, penyediaan saprokan ini perlu dimasukan lagi ke dalam salah satu kegiatan koperasi. Diharapkan dengan masuknya kelembagaan saprokan ini ke dalam koperasi, maka setiap nelayan atau kelompom nelayan akan merasa memiliki, sehingga akan timbul kebersamaan dalam mengembangkan kelembagaan tersebut. Hal ini juga terjadi pada dua wilayah lainnya yaitu Kecamatan Wonogiri dan Kecamatan Baturetno. Kondisi koperasi di kedua wilayah kecamatan ini lebih parah. Hal ini disebabkan karena kurangnya modal yang dimiliki oleh kedua koperasi ini. Keterbatasnya modal tersebut meyebabkan koperasi hanya dapat menjalankan kegiatan simpan pinjam saja, dan tidak menyediakan saprokan. sehingga menyebabkan fungsi kelembagaan saprokan tidak dapat berfungsi dengan baik. C.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan secara umum berdasarkan dimensi aturan mainnya sudah termasuk dalam kategori sedang/cukup kuat (lihat Tabel 29). Hal ini didukung oleh empat dimensi aturan main yang termasuk kategori sedang (cukup kuat) dan kuat. Namun demikian masih ada dua dimensi aturan main yang sangat lemah (pemberian sanksi) dan satu dimensi yang lemah (penyelesaian konflik). Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 23. Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan penyuluhan dapat dilakukan dengan meningkatkan peran penyuluh perikanan dalam kegatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 69

87 Gambar 23.Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Peran penyuluh dalam kegiatan penangkapan di Waduk Gajah Mungkur sangat penting, karena diharapkan dapat membantu nelayan dalam usaha penangkapannya. Kegiatan pembinaan dan penyuluhan dalam kaitannya dengan usaha penangkapan yang pernah dilakukan misalnya penyuluhan tentang larangan-larangan dalam usaha penangkapan. Akan tetapi kegiatan pembinaan dan penyuluhan ini telah mengalami penurunan frekuensi kegiatan. Kegiatan penyuluhan yang semula 3-4 kali setahun saat ini menjadi 2-3 kali setahun. Dari hasil wawancara dengan nelayan bahwa materi yang diberikan oleh petugas penyuluh sebagian besar hanya berupa materi dan proses penyuluhan tersebut bersifat satu arah saja (penyuluh kepada nelayan) tanpa meminta umpan balik (feedback) dari nelayan itu sendiri. Pembinaan dan penyuluhan sepihak ini menyebabkan kegiatan penyuluhan kurang efektif. Berkurangnya frekuensi pembinaan dan penyuluhan ini akan menyebabkan peluang terjadinya konflik antara nelayan dengan petugas penyuluh. Oleh karena itu perlu adanya aturan yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan pembinaan dan penyuluhan mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap monev dan pemberian sanksi. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 70

88 C.3.4 Kelembagaan Konservasi Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Konservasi secara umum termasuk dalam kategori kuat (lihat Tabel 29), walaupun masih ada satu dimensi aturan main yang masih lemah, yaitu hak kepemilikan. Dimensi aturan main lainnya termasuk dalam kategori yang baik (cukup kuat, kuat dan sangat kuat) sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 24. Gambar 24.Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Untuk itu, upaya lebih meningkatkan/penguatan peran kelembagaan konservasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur perlu dititikberatkan pada dimensi pengembangan hak kepemilikan para nelayan terhadap fungsi konservasi yang ada.. Sementara dimensi-dimensi lainnya perlu dipertahankan untuk menjaga keberlanjutan kondisi kelembagaan konservasi yang sudah kuat ke depan. Upaya mengembangkan dimensi/aturan main hak kepemilikan tersebut pada dasarnya akan mendapatkan dukungan dari semua pihak yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur termasuk para pembudidaya, nelayan tangkap, dinas peternakan, perikanan dan kelautan, dan dinas pariwisata serta pihak lainnya. Hal ini Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 71

89 karena secara alami telah disepakati wilayah reservat ikan di sekitar zona budidaya, sekaligius sebagai pintu masuk kegiatan pariwista, sehingga fungsi pengawasan dapat berjalan tanpa harus diintervensi langsung oleh pemerintah setempat. Secara kebetulan sisi terluar dari areal/wilayah konservasi tersebut ditenmpati KJA- KJA yang dimiliki masyarakat pembudidaya dan PT Aquafarm Nusantara, maka bila terdapat pelanggaran kesepatakan (dilarang menangkap ikan pada areal kurang dari 50 m wilayah konservasi) para pembudidaya dan eklompok nelayan akan melakukan upaya pencegahan dan penindakan bagi yang melanggarnya. Di sisi lain, dari hasil survei satu-satu dimensi/aturan main yang tergolong lemah dalam kelembagaan konservasi adalah hak kepemilikan. Oleh karena itu dukungan dan keikutserraan para nelayan terhadap kelembagaan konservasi tersebut dapat ditingkatkan sehingga setiap nelayan dapat secara sadar mengakui manfaat konservasi bagi keberlanjutan usaha penangkapan ikan yang dilakukan. Dengan demikian hak kepemilikan dari para pemanfaat termasuk nelayan dapat diakui secara luas, tidak dari kalangan nelayan tangkap tetapi juga oleh pembudidaya dan pemangku kepentingan lainnya. C.3.5 Kelembagaan Pengawasan Kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi sedang/cukup kuat (lihat Tabel 29). Hal ini didukung oleh keenam dimensi aturan main yang ada dalam kelembagaan tersebut yaitu dimensi prinsip batas, distribusi manfaat, pilihan kolektif, kegiatan memonitor, pemberian sanksi dan penyelesaian konflik yang tersebar dalam kategori cukup kuat dan kuat, sedangkan dimensi hak kepemilikan dalam kategori lemah sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 25. Berdasarkan kekuatan yang dimiliki oleh kelembagaan pengawasan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur dapat dilakukan dengan memperhatikan hak kepemilikan pemanfaat sumberdaya perairan Waduk Gajah Mungkur khususnya yang terjadi akibat adanya kegiatan pengawasan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 72

90 Kelembagaan Pengawasan Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas Gambar 25.Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Kegiatan pengawasan yang telah dilakukan saat ini di Waduk Gajah Mungkur telah berjalan dengan baik, dimana kegiatan pengawasan yang dilakukan tidak hanya dari pihakpihak yang terlibat dalam usaha penangkapan tetapi juga dalam usaha budidaya. Akan tetapi kegiatan pengawasan ini belum terprogram dengan baik sehingga memungkinkan pengawasan yang kurang efektif dan memberikan peluang terjadinya pelanggaran dalam usaha penangkapan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan pengawasan secara berkala yang melibatkan seluruh pihak yang terkait dalam pemanfaatan dan pengelolaan waduk termasuk di dalamnya nelayan. Diharapkan dengan keterlibatan semua pihak akan menimbulkan rasa memiliki waduk tersebut untuk keberlanjutan usaha perikanan baik budidaya maupun penangkapan. C.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan pemasaran hasil produksi Perikanan termasuk dalam kategori sedang/cukup kuat (lihat Tabel 29). sebagian dimensi aturan main dalam kelembagaan tersebut berada dalam kondisi sedang dan kuat. Ada tiga dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 73

91 tinggi, yaitu: (1) Prinsip batas (2) Pemberian sanksi; dan (3) Hak kepemilikan; sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 26. Meskipun demikian dua dimensi aturan main lainnya seperti penyelesaian konflik dan kegiatan memonitor perlu didorong kearah penguatan kelembagaan karena masih tergolong dalam kategori sedang. Gambar 26.Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Kelemahan dari ketiga dimensi (aturan main) kelembagaan pemasaran karena semua nelayan di Waduk Gajah Mungkur dalam menjual ikan hasil tangkapannya masing-masing telah memiliki pedagang (pengepul) langganan, dan biasanya telah terjadi kesepakatan harga antara nelayan dan pedagang (pengepul) sehingga antara nelayan dan pedagang sering tidak terjadi konflik. Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam harga jual beli, nelayan dapat dengan bebas menjual ikan hasil tangkapannya kepada pedagang lainnya. Kesepakatan harga jual beli yang akuntable dan tidak adanya konflik inilah yang menyebabkan tidak adanya sanksi yang diberikan kepada para pedagang. Di Waduk Gajah Mungkur, pedagang (pengepul) yang datang adalah pedagang individu yang tidak ada kaitannya dengan kelompok nelayan ataupun koperasi dan mereka berasal dari kecamatan lain. Hal ini terjadi di dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Wonogiri dan Kecamatan Baturetno, dimana pedagang (pengepul) yang Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 74

92 datang tersebut berasal dari kecamatan lain yang tidak memiliki ikatan apapun dengan kelompok nelayan di waduk tersebut. Hal ini menyebabkan sulitnya pemberian sanksi kepada pedagang (pengepul) yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu perlu adanya ipaya untuk memperkuat kelembagaan pemasaran ini dalam kelompok nelayan tersebut, sehingga dapat membantu nelayan dalam menjual ikan hasil tangkapannya dengan harga yang kompetitif. C.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Kelembagaan monitoring dan evaluasi berdasarkan dimensi aturan mainnya, termasuk dalam kondisi lemah (lihat Tabel 29). Hal ini karena kelembagan monitoring dan evaluasi memiliki lima dimensi/aturan main yang termasuk dalam kategori lemah yaitu: (1) Distribusi manfaat; (2) Pilihan kolektif; (3) Pemberian sanksi; (4) Penyelesaian konflik; dan (5) Hak kepemilikan. kelima dimensi/aturan main tersebut harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi karena tergolong dalam kategori lemah sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 27. Gambar 27.Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Dalam prakteknya, kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan pengelolaan peraitan Waduk Gajah Mungkir belum dilakukan secara terprogram, sehingga Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 75

93 masih dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembinaan dan penyluhan, atau tidak dilakukan secara sendiri dan terencana dengan baik. Oleh karena wajar bila kelembagaan monitoting dan evaluasi ini masih tergolong dalam kategori yang lemah. Untuk itu, diperlukan upaya penguatan terhadap kelembagaan ini secara sungguh-sungguh dengan memberikan prioritas yang lebih besar pada masa mendatang dengan mengintegrasi kepentingan sektor-sektor lain yang terkait. Dengan kata lain, dalam hal mulai dari penganggaran hingga kepada tingkat pelaksanaan di lapangan harus dilakukan secara terpadu, sehingga dapat lebih bermanfaat, tidak hanya bagi sektor perikanan tapi juga untuk sektor lainnya yang terkait Komparasi Efektifitas Kelembagaan Eksisting Sebelum Penguatan A. Komparasi Per Jenis Kelembagaan Eksisting Sebelum Penguatan A.1 Kelembagaan Pelaku Utama Kondisi eksisting kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) dari ketiga lokasi perairan waduk yang diamati (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur) terdistribusi dengan kecenderungan yang berbeda. Waduk Malahayu dan Jatiluhur memiliki kecenderungan mengarah ke kategori cukup efektif, namun dengan proporsi yang berbeda. Waduk Malahayu memiliki proporsi yang lebih baik dibandingkan Waduk Jatiluhur. Berbeda dengan kedua waduk tersebut, Waduk Gajah Mungkur memiliki kecenderungan yang mengarah ke kategori efektif. Dengan kata lain, kondisi eksisting kelembagaan pelaku utama di Waduk Gajah Mungkur relative lebih baik (efektif) dibandingkan Waduk Malahayu dan Jatiluhur. Hal ini dapat dilihat pada Gambar ,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 28.Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pelaku Utama dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 76

94 Kecenderungan efektivitas kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) yang berbeda dari ketiga waduk tersebut berkaitan dengan kondisi kategori dimensi-dimensi aturan main yang menjadi indikator dari efektivitas kelembagaan tersebut sebagaimana tercantum dalam Tabel 9, 19 dan 29. Di Waduk Malahayu didukung oleh empat dimensi atura main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat), yaitu: (1) prinsip batas; (2) distribusi manfaat; (3) pilihan kolektif; dan (4) penyelesaian kolektif; sedangkan di Waduk Jatiluhur didukung oleh tiga dimensi atura main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat), yaitu: (1) distribusi manfaat; (2) kegiatan memonitor; dan (3) hak kepemilikan. Kondisi yang berbeda ditemukan di Waduk Gajah Mungkur yang didukung oleh lima dimensi aturan main termasuk dalam kategori kuat, yaitu: (1) pemberian sanksi; (2) kegiatan memonitor; (3) pilihan kolektif; (4) distribusi manfaat; dan (5) prinsip batas. A.2 Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan Kondisi eksisting kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan dari ketiga lokasi perairan waduk yang diamati (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur) terdistribusi dengan kecenderungan yang berbeda. Waduk Gajah Mungkur dan Jatiluhur memiliki pola kecenderungan yang serupa dengan sedikit perbedaan kategori. Efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan di Waduk Jatiluhur mengarah ke kategori cukup efektif, sedangkan di Waduk Gajah Mungkur mengarah ke kategori efektif. Kondisi yang berneda terjadi di Waduk Malahayu. Efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan di Waduk Malahayu memiliki proporsi yang lebih buruk dibandingkan dengan kedua waduk tersebut, Waduk Malahayu memiliki kecenderungan yang mengarah ke kategori tidak efektif dan kurang efektif. Dengan kata lain, kondisi eksisting kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan di Waduk Gajah Mungkir dan Jatiluhur relatif lebih baik (efektif) dibandingkan Waduk Malahayu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 29. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 77

95 100,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 29.Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Kecenderungan efektivitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan yang berbeda dari ketiga waduk tersebut berkaitan dengan kondisi kategori dimensi-dimensi aturan main yang menjadi indikator dari efektivitas kelembagaan tersebut sebagaimana tercantum dalam Tabel 9, 19, dan 29. Di Waduk Malahayu terdapat empat dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi, yaitu: (1) Pemberian sanksi; (2) Kegiatan memonitor; (3) Penyelesaian konflik; dan (4) Hak kepemilikan. Di Waduk jatiluhur terdapat tiga dimensi aturan main kelembagaan yang termasuk dalam kategori kuat dan cukup kuat. Akan tetapi masih ada 3 dimensi aturan main yang sangat lemah, yaitu: (1) Pemberian sanksi; (2) Penyelesaian konflik; dan (3) Hak kepemilikan serta satu dimensi yang lemah yaitu kegiatan memonitor. Kondisi yang berbeda terdapat di Waduk Gajah Mungkur yang memiliki tiga aturan main kelembagaan yang termasuk dalam kategori kuat, yaitu: (1) prinsip batas; (2) Distribusi manfaat dan (3) Pilihan kolektif; dan satu aturan main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat) yaitu penyelesaian konflik. A.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Kondisi eksisting kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dari ketiga lokasi perairan waduk yang diamati (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur) terdistribusi dengan kecenderungan yang berbeda. Waduk Malahayu dan Jatiluhur memiliki kecenderungan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 78

96 mengarah ke kategori kurang efektif, namun dengan proporsi yang berbeda. Waduk Malahayu memiliki proporsi yang lebih baik dibandingkan Waduk Jatiluhur. Berbeda dengan kedua waduk tersebut, Waduk Gajah Mungkur memiliki kecenderungan yang mengarah ke kategori cukup efektif. Dengan kata lain, kondisi eksisting kelembagaan pembinaan dan penyuluhan di Waduk Gajah Mungkir relatif lebih baik (cukup efektif) dibandingkan Waduk Malahayu dan Jatiluhur. Hal ini dapat dilihat pada Gambar ,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 30.Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Kecenderungan efektivitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan yang berbeda dari ketiga waduk tersebut berkaitan dengan kondisi kategori dimensi-dimensi aturan main yang menjadi indikator dari efektivitas kelembagaan tersebut sebagaimana tercantum dalam Tabel 9, 19 dan 29. Di Waduk Malahayu didukung oleh empat dimensi aturan main yang termasuk kategori sedang (cukup kuat) dan kuat. Namun demikian masih ada dua dimensi aturan main yang sangat lemah (penyelesaian konflik dan kegiatan memonitor) dan satu dimensi yang lemah (pemberian sanksi); sedangkan di Waduk Jatiluhur keseluruhan dimensi aturan main termasuk dalam kategori lemah, kecuali dimensi prinsip batas yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat). Kondisi yang berbeda ditemukan di Waduk Gajah Mungkur yang didukung oleh didukung oleh empat dimensi aturan main yang termasuk kategori sedang (cukup kuat) dan kuat. Namun demikian masih ada dua dimensi aturan main yang sangat lemah (pemberian sanksi) dan satu dimensi yang lemah (penyelesaian konflik). Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 79

97 A.4 Kelembagaan Konservasi Kondisi eksisting kelembagaan konservasi dari ketiga lokasi perairan waduk yang diamati (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur) menunjukkan perbedaan diantara ketiga waduk tersebut. Waduk Gajah Mungkur memiliki kecenderungan mengarah ke kategori efektif. Sedangkan Waduk Malahayu dan Jatiluhur tidak memiliki kecenderungan mengarah ke kondisi efektifitas tertentu. Kondisi efektifitas kelembagaan konservasi di Waduk Jatiluhur menunjukkan kategori sangat tidak efektif, sedangkan Waduk Malahayu didominasi oleh kategori sedang (cukup efektif). Dengan kata lain, kondisi eksisting kelembagaan konservasi di Waduk Gajah Mungkur relatif lebih baik (cukup efektif) dibandingkan Waduk Malahayu dan Jatiluhur. Hal ini dapat dilihat pada Gambar ,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 31.Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Konservasi dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Kecenderungan efektivitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan yang berbeda dari ketiga waduk tersebut berkaitan dengan kondisi kategori dimensi-dimensi aturan main yang menjadi indikator dari efektivitas kelembagaan tersebut sebagaimana tercantum dalam Tabel 9, 19 dan 29. Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Konservasi di Waduk Gajah Mungkur secara umum termasuk dalam kategori kuat, walaupun masih ada satu dimensi aturan main yang masih lemah, yaitu hak kepemilikan. Dimensi aturan main lainnya termasuk dalam kategori yang baik (cukup kuat, kuat dan sangat kuat). Di Waduk Malahayu Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Konservasi di Waduk Malahayu secara Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 80

98 umum termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat) walaupun masih ada satu dimensi aturan main yang masih sangat lemah, yaitu hak kepemilikan dan satu dimensi lainnya yang termasuk kategori lemah, yaitu kegiatan memonitor. Dimensi aturan main lainnya tersebar dalam kategori sedang, kuat dan sangat kuat. Sedangkan di Waduk Jatiluhur seluruh dimensi aturan main dalam kelembagaan Konservasi di Waduk Jatiluhur termasuk dalam kategori sangat lemah. A.5 Kelembagaan Pengawasan Kondisi eksisting kelembagaan pengawasan dari ketiga lokasi perairan waduk yang diamati (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur) terdistribusi dengan kecenderungan yang berbeda. Waduk Malahayu dan Jatiluhur memiliki kecenderungan mengarah ke kategori cukup efektif, namun dengan proporsi yang berbeda. Waduk Malahayu memiliki proporsi yang lebih baik dibandingkan Waduk Jatiluhur. Berbeda dengan kedua waduk tersebut, Waduk Gajah Mungkur memiliki kecenderungan yang mengarah ke kategori efektif. Dengan kata lain, kondisi eksisting kelembagaan pelaku utama di Waduk Gajah Mungkur relatif lebih baik (efektif) dibandingkan Waduk Malahayu dan Jatiluhur. Hal ini dapat dilihat pada Gambar ,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 32.Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pengawasan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 81

99 Kecenderungan efektivitas kelembagaan pengawasan yang berbeda dari ketiga waduk tersebut berkaitan dengan kondisi kategori dimensi-dimensi aturan main yang menjadi indikator dari efektivitas kelembagaan tersebut sebagaimana tercantum dalam Tabel 9, 19 dan 29. Di Waduk Malahayu keseluruhan dimensi aturan main yang ada dalam kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori kuat kecuali dimensi kegiatan memonitor dan hak kepemilikan. Efektivitas kelembagaan pengawasan di Waduk Jatiluhur termasuk dalam kategori lemah. Hal ini disebabkan oleh lemahnya seluruh dimensi aturan main yang ada dalam kelembagaan tersebut kecuali dimensi distribusi manfaat dan dimensi pengaturan pilihan kolektif. Kondisi yang berbeda ditemukan di Waduk Gajah Mungkur yang didukung oleh keenam dimensi aturan main yang ada dalam kelembagaan tersebut yaitu dimensi prinsip batas, distribusi manfaat, pilihan kolektif, kegiatan memonitor, pemberian sanksi dan penyelesaian konflik yang tersebar dalam kategori cukup kuat dan kuat, sedangkan dimensi hak kepemilikan dalam kategori lemah. A.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Kondisi eksisting kelembagaan pengawasan dari ketiga lokasi perairan waduk yang diamati (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur) terdistribusi dengan kecenderungan yang berbeda. Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan di Waduk Jatiluhur dan Gajah Mungkur terdistribusi hampir merata di seluruh kategori dengan kecenderungan yang berbeda diantara kedua waduk tersebut. Waduk Jatiluhur memiliki kecenderungan mengarah ke kategori cukup efektif, sedangkan Waduk Gajah Mungkur cenderung mengarah ke kategori efektif. Kondisi yang berbeda terjadi di Waduk Malahayu, dimana efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan didominasi oleh kategori kurang efektif. Waduk Gajah Mungkur memiliki proporsi yang lebih baik dibandingkan Waduk Jatiluhur maupun Waduk Malahayu. Dengan kata lain, kondisi eksisting kelembagaan pelaku utama di Waduk Gajah Mungkur relatif lebih baik (efektif). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 33. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 82

100 100,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 33.Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Kecenderungan efektivitas kelembagaan pengawasan yang berbeda dari ketiga waduk tersebut berkaitan dengan kondisi kategori dimensi-dimensi aturan main yang menjadi indikator dari efektivitas kelembagaan tersebut sebagaimana tercantum dalam Tabel 9, 19 dan 29. Di Waduk Malahayu seluruh dimensi aturan main dalam kelembagaan tersebut berada dalam kondisi sangat lemah dan lemah. Ada empat dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi, yaitu: (1) Pemberian sanksi; (2) Hak kepemilikan; (3) Prinsip batas; dan (4) Kegiatan memonitor. Meskipun demikian ketiga dimensi aturan main lainnya perlu juga mendapatkan prioritas penguatan karena masih tergolong dalam kategori lemah. Efektivitas kelembagaan pengawasan di Waduk Jatiluhur didukung oleh kuatnya tiga dimensi aturan main yang masuk dalam kategori kuat dan satu dimensi dalam kategori sedang (cukup kuat). Akan tetapi masih ada tiga dimensi lainnya yang masih lemah. Kondisi yang berbeda ditemukan di Waduk Gajah Mungkur. Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan pemasaran hasil produksi Perikanan termasuk dalam kategori sedang/cukup kuat yang didukung oleh tiga dimensi aturan main dalam kelembagaan tersebut berada dalam kondisi sedang dan kuat dan hanya satu dimensi yang termasuk kategori lemah, yaitu dimensi pemberian sanksi; Meskipun demikian terdapat tiga dimensi aturan main, yaitu hek kepemilikan, penyelesaian konflik dan kegiatan memonitor yang perlu didorong kearah penguatan kelembagaan karena masih tergolong dalam kategori sedang. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 83

101 A.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Kondisi eksisting kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dari ketiga lokasi perairan waduk yang diamati (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur) menunjukkan perbedaan diantara ketiga waduk tersebut. Waduk Gajah Mungkur memiliki sebaran yang merata dengan kecenderungan mengarah ke kategori kurang efektif. Sedangkan Waduk Malahayu dan Jatiluhur tidak memiliki kecenderungan mengarah ke kondisi efektifitas tertentu. Kondisi efektifitas kelembagaan monitoring dan evaluasi di Waduk Jatiluhur menunjukkan kategori tidak efektif, sedangkan Waduk Malahayu didominasi oleh kategori kurang efektif. Dengan kata lain, kondisi eksisting kelembagaan konservasi di Waduk Gajah Mungkur relatif lebih baik dibandingkan Waduk Malahayu dan Jatiluhur. Hal ini dapat dilihat pada Gambar ,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 34.Perbandingan Kondisi Eksisting Efektifitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Kecenderungan efektivitas kelembagaan Monitoring dan Evaluasi yang berbeda dari ketiga waduk tersebut berkaitan dengan kondisi kategori dimensi-dimensi aturan main yang menjadi indikator dari efektivitas kelembagaan tersebut sebagaimana tercantum dalam Tabel 9, 19 dan 29. Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Monitoring dan evaluasi di Waduk Gajah Mungkur memiliki lima dimensi/aturan main yang termasuk dalam kategori lemah yaitu: (1) Distribusi manfaat; (2) Pilihan kolektif; (3) Pemberian sanksi; (4) Penyelesaian konflik; dan (5) Hak kepemilikan. kelima dimensi/aturan main tersebut harus Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 84

102 mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi karena tergolong dalam kategori lemah. Di Waduk Malahayu ketujuh dimensi aturam main dalam kelembagaan tersebut berada dalam kondisi sangat lemah dan lemah. Terdapat tiga dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi karena tergolong dalam kategori sangat lemah, yaitu: (1) Prinsip batas; (2) Distribusi manfaat; dan (3) Pemberian sanksi. Meskipun demikian masih ada empat dimensi aturan main lainnya yang perlu mendapatkan prioritas penguatan karena masih tergolong dalam kategori lemah. Sedangkan di Waduk Jatiluhur berdasarkan dimensi aturan mainnya secara keseluruhan termasuk dalam kondisi sangat lemah. B. Komparasi Keseluruhan Kelembagaan Eksisting Setelah Penguatan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori kurang efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pengawasan tersebut dinilai cukup efektif oleh sebanyak 53,33 % responden dan sisanya sebanyak 36,67 % dinilai kurang efektif, 6,67% tidak efektif dan hanya 3,33% responden menyatakan efektif. Untuk kelembagaan secara keseluruhan, efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, berdasarkan persepsi responden termasuk dalam kategori kurang efektif. Sebanyak 63,33% responden menilai kelembagaan secara keseluruhan masih kurang efektif, sedangkan sisanya sebanyak 36,67% menilai cukup efektif. Untuk kelembagaan secara keseluruhan, efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Gajah Mungkur, berdasarkan persepsi responden termasuk dalam kategori cukup efektif (45%). Sebanyak 35% responden menilai kelembagaan secara keseluruhan efektif, sedangkan sisanya sebanyak 20% menilai kurang efektif. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 85

103 100,00 75,00 50,00 25,00 0,00 Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif JATILUHUR MALAHAYU GAJAH MUNGKUR Gambar 35.Komparasi Keseluruhan Kelembagaan Eksisting dari Tiga Waduk (Malahayu, Jatiluhur dan Gajah Mungkur), 2011 Sumber: Data primer yang diolah, B.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan B.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) Berdasarkan hasil survey dilapangan diketahui bahwa persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat secara keseluruhan kelembagaan tersebut dinilai tidak efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pelaku utama dinilai tidak efektif oleh 100% responden seperti tertera pada Tabel 30. Hal ini disebabkan karena kelembagaan pelaku utama yang ada di Situ Panjalu tersebut belum terbentuk dan masyarakat yang ada di sekitar Situ Panjalu sebagian besar bermatapencaharian selain nelayan sehingga mereka tidak menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan penangkap ikan di Situ Panjalu tersebut. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 86

104 Tabel 30. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori cukup efektif (58,70%) dan responden lainnya tersebar dalam kategori kurang efektif (28,26%) dan tidak efektif (13,04%) seperti pada Tabel 31. Tabel 31. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Efektifitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai tidak efektif (100%) seperti pada Tabel 32. Hal ini menunjukkan bahwa Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 87

105 pembinaan dan penyuluhan belum optimal di Situ Panjalu karena memang penyuluh di Situ Panjalu masih relatif baru. Tabel 32. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.1.4 Kelembagaan Konservasi Berdasarkan persepsi responden, secara umum kelembagaan konservasi terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dinilai kurang efektif. Hal ini terlihat dari responden yang memberikan penilaian terhadap kelembagaan konservasi sebanyak 58,70% sedangkan sisanya tergolong cukup efektif yaitu sebanyak 41,30%, sebagaimana tertera pada Tabel 33. Hal ini dikarena Situ Panjalu terdapat pemakaman salah seorang yang dianggap wali oleh masyarakat, sehingga Situ Panjalu dijadikan obyek wisata rohani bagi para pengunjung. Tabel 33. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 88

106 B.1.5 Kelembagaan Pengawasan Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori tidak efektif sebanyak 100%, sebagaimana tertera pada Tabel 34. Tabel 34. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Efektifitas kelembagaan pemsaran hasil dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai kurang efektif sebanyak 56,52% responden dan sisanya sebanyak 43,48% responden menilai kelembagaan pemasaran tidak efektif. (Tabel 35). Ini terjadi karena hasil penangkapan ikan di Situ Panjalu ini tidak untuk dijual, melainkan untuk konsumsi sehari-hari. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 89

107 Tabel 35. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Berdasarkan persepsi responden, secara umum kelembagaan Monitoring dan Evaluasi terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dinilai tidak efektif (100%) sebagaimana tertera pada Tabel 36. Tabel 36. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) B.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Untuk kelembagaan secara keseluruhan, efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, berdasarkan persepsi responden termasuk dalam kategori tidak efektif (100%), sebagimana terlihat pada Tabel 37. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 90

108 Kelembagaan Tabel 37. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR JUMLAH RESPONDEN % Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Total Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Bila dicermati lebih lanjut, kurang efektifnya kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat disebabkan oleh lemahnya sebagian besar kelembagaan yang ada di Situ Panjalu yaitu: Kelembagaan pelaku utama, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan konservasi, kelembagaan pengawasan, kelembagaan pemasaran dan kelembagaan monitoring dan evaluasi. Dari keseluruhan kelembagaan, hanya satu kelembagaan yang kategorinya sedang yaitu kelembagaan saprokan (cukup kuat). Hal ini mengindikasikan pentingnya inovasi (penguatan) hampir sebagian besar kelembagaan yang berada dalam kategori sangat lemah hingga lemah untuk menjaga keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan situ tersebut. Monev Pemasaran Pengawasan Konservasi Penyuluhan Saprokan Pelaku Utama Tidak Efektif Kurang Efektif Cukup Efektif Efektif Sangat Efektif Proporsi (%) Gambar 36.Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Tahun Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 91

109 Dalam rangka inovasi (penguatan) kelembagaan-kelembagaan tersebut, upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melalui: (1) Kelembagaan pelaku utama yang perlu dibentuk sehingga diakui keberadaannya; (2) Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan perlu ditingkatkan perannya, mengingat penyuluh masih relatif baru untuk membina dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dalam memperkuat keberlanjutan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu; (3) membentuk kelembagaan pemasaran yang berfungsi untuk sebagai perantara bagi para nelayan yang menjual ikan hasil tangkapannya; (4) memperkuat kelembagaan konservasi dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan di Situ Panjalu (5) membentuk pokwasmas untuk mengawasi kawasan di sekitar Situ Panjalu (6) membentuk kelembagaan monev agar dapat secara kontinyu melakukan monitoring dan evaluasi di sekitar Situ Panjalu. Sementara kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan dinilai sebagian sudah cukup efektif sehingga hal ini diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan Situ Panjalu. B.3 Kondisi Kelembagaan menurut Dimensi Aturan Main Berdasarkan dimensi aturan main dari masing-masing maupun keseluruhan kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan situ, kondisi kelembagaan dapat tersebar kedalam lima kategori, yaitu: Sangat lemah dan Sedang. Hasil penilaian berdasarkan persepsi responden terhadap tujuh dimensi aturan main yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, diketahui bahwa ketujuh kelembagaan yang terkait tersebar dalam kondisi sangat lemah hingga sedang (cukup kuat). Kelembagaan pelaku utama, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan pengawasan dan kelembagaan monev dinilai sangat lemah. Sementara kelembagaan konservasi dan kelembagaan pemasaran dinilai lemah, sedangkan kelembagaan saprokan dinilai berada dalam kondisi sedang (cukup kuat), seperti tertera dalam Tabel 38. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 92

110 Tabel 38. Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun 2011 DIMENSI ATURAN MAIN Pelaku Utama KATEGORISASI DAN SKOR KELEMBAGAAN Penyuluh Konservas Pengawas Pemasara Saprokan an i an n Monev 1. Prinsip Batas 2. Distribusi Manfaat 3. Pilihan Kolektif 4. Kegiatan Memonitor 5. Pemberian Sanksi 6. Penyelesaia n Konflik 7. Hak Kepemilika n sangat lemah Kuat sangat lemah Kuat sangat lemah lemah sangat lemah sangat sangat sangat sangat lemah Kuat lemah Kuat lemah sangat kuat lemah sangat sangat sangat sangat lemah Kuat lemah sedang lemah sangat kuat lemah sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat lemah lemah lemah lemah lemah lemah lemah sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat lemah lemah lemah lemah lemah lemah lemah sangat sangat sangat sangat sangat sangat lemah Sedang lemah lemah lemah lemah lemah sangat sangat sangat sangat sangat lemah Kuat lemah Lemah lemah lemah lemah Rataan per Kelembaga an Sangat lemah Sedang Sangat lemah Lemah Sangat Lemah Lemah Sangat lemah Sumber: Data primer hasil wawancara dengan responden (2011) Setiap dimensi aturan main dari masing-masing kelembagaan berperan dalam menentukan kondisi dari kelembagaan-kelembagaan tersebut. Secara rinci, peran dari aturan main tersebut dapat dijelaskan dalam uraian berikut. B.3.1 Kelembagaan Kelompok Pelaku Utama Kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi yang kuat (lihat Tabel 38). Hal ini didukung oleh keseluruhan prinsip atau aturan atura main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sangat lemah, yaitu: (1) prinsip batas; (2) distribusi manfaat; (3) pilihan kolektif; (4) kegiatan memonitor dan (5) pemberian sanksi (6) penyelesaian konflik; dan (7) hak kepemilikan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 37. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 93

111 Kelembagaan Pelaku Utama Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas Gambar 37.Kondisi Kelembagaan Pelaku Utama (Kelompok Nelayan) dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pelaku utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu dapat dilakukan dengan meningkatkan semua pelaksanaan di semua aturan main. B.3.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Penyedia Sarana Produksi Perikanan termasuk dalam kategori sedang/cukup kuat (lihat Tabel 38). Hal ini didukung oleh satu aturan main dengan kategori kuat yaitu ada empat aturan main kelembagaan yang termasuk dalam kategori kuat, yaitu: (1) prinsip batas; (2) Distribusi manfaat dan (3) Pilihan kolektif; dan (4) hak kepemilikan; satu aturan main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sedang (cukup kuat) yaitu penyelesaian konflik. Meskipun demikian kelembagaan ini masih dihadapkan pada beberapa kelemahan dalam dimensi/aturan main, yaitu: (1) Pemberian sanksi; dan (2) Kegiatan memonitor; sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 38. Oleh karena itu, kedua dimensi/aturan main ini perlu mendapatkan prioritas dalam penguatan kelembagaan dalam penyediaan sarana produksi karena masih tergolong dalam kategori sangat lemah. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 94

112 Saprokan Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas 0,02 0,98 2,04 3,04 3,12 3,96 3,86 Gambar 38.Kondisi Kelembagaan Penyedia Sarana Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 B.3.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan secara umum berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kategori sangat lemah (lihat Tabel 38). Hal ini dapat dilihat dari keseluruhan aturan dimensi aturan main yang berada dalam kategori sangat lemah. Berdasarkan kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan penyuluhan dapat dilakukan dengan meningkatkan peran penyuluh perikanan dalam kegatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu. Penyuluhan Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas Gambar 39.Kondisi Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 95

113 Peran penyuluh dalam kegiatan penangkapan di Situ Panjalu sangatlah penting, karena diharapkan dapat membantu nelayan dalam usaha penangkapannya. Kegiatan pembinaan dan penyuluhan dalam kaitannya dengan usaha penangkapan yang pernah dilakukan misalnya penyuluhan tentang larangan-larangan dalam usaha penangkapan. Kegiatan penyuluhan ini belum banyak dilakukan, karena memang di Situ Panjalu ini penyuluhnya masih sangat baru, sehingga perannya dalam memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada para nelayan di Situ Panjalu juga belum optimal baik dari kuantitas penyuluhanyang diberikan maupun kualitas penyuluhannya. Diharapkan dengan adanya penyuluh kegiatan penangkapan dana lebih optimal dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan di Situ Panjalu. B.3.4 Kelembagaan Konservasi Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan Konservasi secara umum termasuk dalam kategori lemah (lihat Tabel 38), hal ini dapat dilihat dari dimensi aturan main dalam kelembagaan konservasi. Dari ketujuh dimensi aturan main tersebut yang tergolong kuat adalah aturan main prinsip batas dan distribusi manfaat. Sedangkan aturan main yang tergolong sedang adalah pilihan kolektif. Untuk aturan main kegiatan memonitor, pemberian sanksi dan penyelesaian konflik berada dalam kategori sangat lemah sedangkan aturan main hak kepemilikan termasuk dalam kategori lemah sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 40. Konservasi Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas Gambar 40.Kondisi Kelembagaan Konservasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 96

114 Untuk itu, upaya lebih meningkatkan/penguatan peran kelembagaan konservasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu perlu dititikberatkan pada dimensi kegiatan memonitor, pemberian sanksi, penyelsaian konflik dan hak kepemilikan pengembangan hak kepemilikan. Sementara dimensi-dimensi lainnya perlu ditingkatkan dan dipertahankan untuk menjaga keberlanjutan kondisi kelembagaan konservasi yang sudah kuat ke depan. B.3.5 Kelembagaan Pengawasan Kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu berdasarkan dimensi aturan mainnya termasuk dalam kondisi sangat lemah (lihat Tabel 38). Hal ini didukung oleh keseluruhan prinsip atau aturan atura main kelembagaan yang termasuk dalam kategori sangat lemah, yaitu: (1) prinsip batas; (2) distribusi manfaat; (3) pilihan kolektif; (4) kegiatan memonitor dan (5) pemberian sanksi (6) penyelesaian konflik; dan (7) hak kepemilikan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 41. Berdasarkan kelemahan yang dimiliki oleh kelembagaan pengawasan tersebut yang dilihat dari dimensi aturan main, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu dapat dilakukan dengan memperhatikan semua dimensi aturan main tersebut. Pengawasan Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Gambar 41.Kondisi Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 97

115 B.3.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Berdasarkan dimensi aturan mainnya, kelembagaan pemasaran hasil produksi Perikanan termasuk dalam kategori lemah (lihat Tabel 38). Pada gambar dibawah terlihat bahwa untuk dimensi aturan main distribusi manfaat dan pilihan kolektif termasuk dalam kategori sangat kuat. Sementara dimensi hak kepemilikan, prinsip batas dan hak kepemilikan berada dalam kategori lemah sedangkan sisanya yaitu dimensi aturan main kegiatan memonitor, pemberian sanksi dan penyelesaian konflik berada dalam kategori lemah dan sangat lemah. Ada lima dimensi aturan main kelembagaan yang harus mendapatkan prioritas penguatan yang sangat tinggi, yaitu: (1) Prinsip batas (2) kegiatan memonitor, (3) Pemberian sanksi, (4) penyelesaian konflik; dan (5) Hak kepemilikan; sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 42. Pemasaran Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas Gambar 42.Kondisi Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 B.3.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Kelembagaan monitoring dan evaluasi berdasarkan dimensi aturan mainnya, termasuk dalam kondisi sangat lemah (lihat Tabel 38). Hal ini karena kelembagan monitoring dan evaluasi memiliki semua dimensi/aturan main yang termasuk dalam kategori sangat lemah yaitu: yaitu: (1) prinsip batas; (2) distribusi manfaat; (3) pilihan kolektif; (4) kegiatan memonitor dan (5) pemberian sanksi (6) penyelesaian konflik; dan (7) hak kepemilikan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 43. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 98

116 Monev Hak Kepemilikan Penyelesaian Konflik Pemberian Sanksi Kegiatan Memonitor Pilihan Kolektif Distribusi Manfaat Prinsip Batas Gambar 43.Kondisi Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Berdasarkan Dimensi Aturan Mainnya Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, ,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, maka upaya untuk lebih meningkatkan/ menguatkan peran kelembagaan monev dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Situ Panjalu dapat dilakukan dengan meningkatkan semua pelaksanaan di semua aturan main. Dalam prakteknya memang kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan pengelolaan peraitan Situ Panjalu belum dilakukan secara terprogram, dan hal ini juga didukung oleh kegiatan pembinaan dan penyuluhan yang belum berjalan dengan baik. Oleh karena kelembagaan monev ini masih sangat lemah, perlu adanya upaya penguatan terhadap kelembagaan ini mulai dari tahap kegiatan perencanaan, pelaksanaan hingga montirong evaluasi sehingga hal ini dapat mendukung pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan Situ Panjalu dengan baik Asesment Efektifitas Kelembagaan Eksisting Setelah Penguatan A. Waduk Malahayu Informasi sebaran kategori dan kondisi efektifitas kelembagaan eksisting setelah dilakukan penguatan melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Adapun deskripsi sebaran kategori masing-masing jenis setiap kelembagaan setelah penguatan kelembagaan dijelaskan sebagai berikut. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 99

117 A.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu A.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama Setelah Penguatan di Waduk Malahayu Berdasarkan hasil survey di lapangan, setelah dilakukan penguatan kelembagaan diketahui bahwa persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pelaku utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah secara keseluruhan kelembagaan tersebut dinilai efektif. Kelembagaan pelaku utama dinilai efektif oleh sebanyak 53,33 % responden dan sisanya sebanyak 23,33 % responden menilai kelembagaan tersebut sangat efektif. Selanjutnya bila dibandingkan dengan kondisi sebelum penguatan kelembagaan, maka efektivitas kelembagaan pelaku utama secara keseluruhan berubah meningkat dari dominasi kategori cukup efektif menjadi efektif (lihat Tabel 39). Tabel 39. Perubahan Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 100

118 Skor Efektivitas Kelembagaan 39,00 Sangat Efektif 31,20 Efektif 23,40 Cukup Efektif 15,60 Kurang Efektif 7,80 Tidak Efektif 0,00 Sebelum Penguatan Sesudah Penguatan Gambar 44. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, Sedangkan secara rata-rata efektivitas kelembagaan pelaku utama meningkat dari kategori cukup efektif menjadi efektif (Gambar 44). Hal ini mengindikasikan bahwa inovasi kelembagaan melalui bentuk pelatihan dan pendampingan dan bantuan teknis kepada kelembagaan pelaku utama (kelompok nelayan) telah memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan efektivitas kelembagan tersebut. A.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan di Waduk Malahayu Persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah secara keseluruhan setelah dilakukan penguatan kelembagaan para responden menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori tidak efektif. Tabel 31 menunjukkan bahwa efektifitas kelembagaan tersebut tersebar kedalam dua kategori dominan yaitu: tidak efektif (60 % responden) dan kurang efektif (40 % responden). Namun bila dibandingkan dengan kondisi sebelum penguatan kelembagaan, maka efektivitas kelembagaan sarana produksi perikanan baik secara keseluruhan maupun rata-rata tidak mengalami perubahan kategori (tetap), hal ini dapat dilihat pada lihat Tabel 40 dan Gambar 45. Kondisi ini disebabkan karena secara teknis tidak dilakukan (diberikan) inovasi kelembagaan baik dalam bentuk pelatihan dan pendampingan maupun bantuan teknis kepada kelembagaan sarana produksi perikanan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 101

119 Skor Efektivitas Kelembagaan Tabel 40. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Pengutan Menurut Persepsi Responden Tahun ,00 Sangat Efektif 31,20 Efektif 23,40 Cukup Efektif 15,60 Kurang Efektif 7,80 Tidak Efektif 0,00 Sebelum Penguatan Sesudah Penguatan Gambar 45. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, A.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan di Waduk Malahayu Setelah dilakukan penguatan kelembagaan, efektifitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai efektif. Sebanyak 46,067% respon den menyatakan kelembagaan tersebut efektif dan sisanya 30,00 % responden menyatakan cukup efektif. Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum dilakukan penguatan kelembagaan, efektivas Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 102

120 Skor Efektivitas Kelembagaan kelembagaan pembinaan dan penyuluhan secara keseluruhan mengalami peningkatan dominasi kategori efektivitas dari kurang efektif menjadi efektif (Tabel 41). Demikian pula secara rata-rata kelembagaan tersebut mengalami peningkatan efektivitas kelembagaan dari kategori kurang efektif menjadi cukup efektif (Gambar 46). Namun bila diamati ternyata peningkatan tersebut berada pada posisi cukup efektif yang mendekati kurang efektif. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan efektivitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan setelah penguatan kelembagaan relatif tetap (meningkat tidak secara signifikan). Tabel 41. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun ,00 Sangat Efektif 31,20 Efektif 23,40 Cukup Efektif 15,60 Kurang Efektif 7,80 Tidak Efektif 0,00 Sebelum Penguatan Sesudah Penguatan Gambar 46. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 103

121 A.1.4 Kelembagaan Konservasi Setelah Penguatan di Waduk Malahayu Berdasarkan persepsi responden, setelah dilakukan kegiatan penguatan kelembagaan maka secara umum kelembagaan konservasi yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu dinilai efektif. Sebanyak 56,67 % responden memberikan penilaian bahwa kelembagaan konservasi tergolong efektif dan sisanya tersebar dalam dua kategori, yaitu sebanyak 26,67 % menyatakan cukup efektif dan 16,67 % menyatakan sangat efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 42 dan Gambar 47. Selanjutnya secara keseluruhan bila dibandingkan dengan kondisi sebelum dilakukan penguatan, efektivitas kelembagaan konservasi tersebut berubah meningkat dari dominasi kategori cukup efektif dan efektif (Tabel 42). Demikian pula secara rata-rata efektivitas kelembagaan konservasi, setelah penguatan mengalami peningkatan kategori dari cukup efektif menjadi efektif (Gambar 47). Tabel 42. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 104

122 Skor Efektivitas Kelembagaan 39,00 Sangat Efektif 31,20 Efektif 23,40 Cukup Efektif 15,60 Kurang Efektif 7,80 Tidak Efektif 0,00 Sebelum Penguatan Sesudah Penguatan Gambar 47. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Konservasi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, A.1.5 Kelembagaan Pengawasan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu Setelah dilakukan penguatan kelembagaan, persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pengawasan tersebut dinilai efektif oleh sebanyak 43,33 % responden dan sisanya sebanyak 30,00 % dinilai sangat efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 43. Jika dibandingkan dengan kondisi kelembagaan pengawasan sebelum dilakukan penguatan, efektivitas kelembagaan tersebut mengalami peningkatan dominasi kategori dari cukup efektif menjadi efektif (lihat Tabel 43). Perubahan tersebut lebih nyata lagi bila dilihat dari kondisi sebelum dan sesudah penguatan, dimana efektivitas kelembagaan mengalami peningkatan secara signifikan dari kategori efektif menjadi sangat efekif (Gambar 48). Hal ini mengindikasikan bahwa inovasi kelembagaan khususnya pada materi pelatihan konservasi sumberdaya perairan umum dengan peningkatan keterlibatan petugas pokwasmas. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 105

123 Skor Efektivitas Kelembagaan Tabel 43. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun ,00 Sangat Efektif 31,20 Efektif 23,40 Cukup Efektif 15,60 Kurang Efektif 7,80 Tidak Efektif 0,00 Sebelum Penguatan Sesudah Penguatan Gambar 48. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, A.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu Setelah dilakukan penguatan kelembagaan, efektifitas kelembagaan pemasaran hasil perikanan dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai kurang efektif. Sebanyak 70,00 % respon den menyatakan kelembagaan tersebut kurang efektif dan sisanya 30,00 % responden menyatakan tidak efektif. Kondisi ini ternyata baik secara keseluruhan maupun rata-rata tidak berbeda dengan kategori efektivitas kelembagaan pada saat sebelum dilakukan penguatan kelembagaan tersebut (Tabel 44 dan Gambar 49). Hal ini disebabkan karena secara teknis Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 106

124 Skor Efektivitas Kelembagaan tidak dilakukan (diberikan) inovasi penguatan kelembagaan baik dalam bentuk pelatihan dan pendampingan maupun bantuan teknis kepada kelembagaan pemasaran hasil perikanan. Tabel 44. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun ,00 Sangat Efektif 31,20 Efektif 23,40 Cukup Efektif 15,60 Kurang Efektif 7,80 Tidak Efektif 0,00 Sebelum Penguatan Sesudah Penguatan Gambar 49. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, A.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Setelah Penguatan di Waduk Malahayu Berdasarkan persepsi responden setelah dilakukan penguatan kelembagaan, secara umum kelembagaan Monitoring dan Evaluasi terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu dinilai kurang efektif. Sebanyak 73,33 % responden memberikan penilaian bahwa kelembagaan tersebut tergolong kurang efektif dan sisanya sebanyak 26,67 % menyatakan tidak efektif, sebagaimana tertera pada Tabel 45 dan Gambar Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 107

125 Skor Efektivitas Kelembagaan 50. Namun bila kondisi tersebut dibandingkan dengan sebelum dilakukan penguatan kelembagaan, ternyata baik secara keseluruhan maupun rata-rata efektivitas kelembagaan monitoring dan evaluasi tidak mengalami perubahan kategori (tetap). Tabel 45. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun ,00 Sangat Efektif 31,20 Efektif 23,40 Cukup Efektif 15,60 Kurang Efektif 7,80 Tidak Efektif 0,00 Sebelum Penguatan Sesudah Penguatan Gambar 50. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, A.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Malahayu Untuk kelembagaan secara keseluruhan, setelah dilakukan penguatan kelembagaan diketahui terdapat efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 108

126 perairan Waduk Malahayu termasuk dalam kategori cukup efektif yang dipersepsi oleh sebanyak 90% responden, sedangkan sisanya (10%) menyatakan kurang efektif (lihat Tabel 46). Tabel 46. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Bila dicermati lebih lanjut, cukup efektifnya kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Malahayu disebabkan oleh empat jenis kelembagaan yang termasuk dalam kategori efektif, yaitu (1) Kelembagaan pelaku utama; (2) Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan; (3) Kelembagaan konservasi; dan (4) Kelembagaan pengawasan. Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa kelembagaan satu sampai dengan tiga didominasi oleh kategori efektif, sedangkan jenis kelembagaan yang ke-empat didominasi oleh kategori sangat efektif. Hal ini mengindikasikan bahwa inovasi (penguatan) terhadap kelembagaan-kelembagaan tersebut dapat dikatakan memberikan dampak yang positif bagi perubahan efektivitasnya. Sementara terhadap ketiga jenis kelembagaan yang lainnya, yaitu: (1) Kelembagaan penyediaan sarana produksi perikanan; (2) Kelembagaan pemasaran hasil perikanan; dan (3) Kelembagaan monitoring dan evaluasi perlu ditingkatkan efektifitasnya, melalui upaya-upaya penguatan lanjutan dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan (need assessment) yang sebenarnya di tingkat masyarakat nelayan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 109

127 Kelembagaan Monev Pemasaran Pengawasan Konservasi Penyuluhan Saprokan Tidak Efektif Kurang Efektif Cukup Efektif Efektif Sangat Efektif Pelaku Utama Proporsi (%) Gambar 51.Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Tahun Sumber: Data primer yang diolah, Berdasarkan dimensi aturan main dari masing-masing maupun keseluruhan kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan waduk setelah dilakukan inovasi penguatan kelembagaan, kondisi kelembagaan dapat tersebar kedalam lima kategori, yaitu: (1) Sangat lemah; (2) Lemah; (3) Sedang; dan (4) Kuat. Hasil penilaian berdasarkan persepsi responden terhadap tujuh dimensi aturan main setelah dilakukan penguatan kelembagaan tersebut maka ketujuh kelembagaan yang terkait tersebar dalam kondisi sangat lemah hingga kuat. Dari ketujuh kelembagaan tersebut, yang mengalami peningkatan efektivitas adalah kelembagaan pelaku utama, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan konservasi dan kelembagaan pengawasan, sedangkan tiga kelembagaan lainnya tidak mengalami perubahan (tetap). Jika dilihat berdasarkan dimensi aturan main, peningkatan efektivitas kelembagaan di keempat kelembagaan tersebut disebabkan oleh kontribusi dari dimensi (1) Distribusi manfaat; (2) Kegiatan memonitor; (3) Pemberian sanksi; (4) Penyelesaian konflik; dan (5) Hak kepemilikan. ketiga kelembagaan lainnya yang tidak mengalami perubahan (tetap) disebabkan karena dimensi aturan main yang ada cenderung tidak mengalami perubahan (lihat Tabel 47). Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 110

128 Tabel 47. Kategorisasi Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Menurut Jenis dan Dimensi Aturan Mainnya, Tahun 2011 Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 111

129 B. Waduk Jatiluhur B.1 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk setiap Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur B.1.1 Kelembagaan Pelaku Utama Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Berdasarkan hasil survey di lapangan, setelah dilakukan penguatan kelembagaan diketahui bahwa persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pelaku utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan kelembagaan tersebut dinilai efektif (Tabel 48 dan Gambar 52). Secara keseluruhan, 50% responden menilai kondisi kelembagaan kelompok nelayan masuk dalam kategori cukup efektif sampai sangat efektif, dan 50% menilai tidak efektif dan kurang efektif. Dibandingkan dengan survey pada saat sebelum penguatan terjadi pergeseran penilaian yang cukup signifikan, terutama pada kategori efektif dan sangat efektif. Kedua kategori tersebut secara kumulatif mencapai peningkatan sebesar 20%. Walaupun demikian terjadi peningkatan pada kategori kurang efektif walaupun tidak signifikan, yaitu hanya sebesar 6,7%.. Tabel 48. Perubahan Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan JUMLAH RESPONDEN % Setelah Penguatan JUMLAH RESPONDEN Tidak efektif Menurun Kurang efektif Meningkat Cukup efektif Menurun Efektif Meningkat Sangat Efektif Meningkat Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan. % Perubahan (%) Keterangan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 112

130 19,70 20,00 15,33 15,00 10,00 5,00 0,00 sebelum penguatan sesudah penguatan Gambar 52. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pelaku Utama dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, B.1.2 Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan di Waduk Jatiluhur Setelah dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan, persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan penyedia sarana produksi perikanan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori sangat efektif. Tabel 49 dan Gambar 53 menunjukkan bahwa efektifitas kelembagaan tersebut tersebar kedalam kategori kurang efektif, yang dinyatakan oleh 60% responden. Perubahan pada setiap kategori, baik peningkatan atau penurunan tidak terlihat terlalu signifikan. Kategori yang mengalami peningkatan adalah cukup efektif dan sangat efektif, walaupun secara kumulatif hanya terjadi peningkatan sebesar 6,7%. Skor efektifitas kelembagaan pengadaan sarana produksi perikanan secara keseluruhan tidak mengalami perubahan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 113

131 Tabel 49. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Pengutan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan JUMLAH JUMLAH % % (%) RESPONDEN RESPONDEN Keterangan Tidak efektif Menurun Kurang efektif Menurun Cukup efektif Meningkat Efektif Tetap Sangat Efektif Meningkat Total Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan sebelum penguatan 15,60 15,60 sesudah penguatan Gambar 53. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Penyediaan Sarana Produksi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, B.1.3 Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan di Waduk Jatiluhur Setelah dilakukan penguatan kelembagaan, efektifitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur, secara umum berdasarkan persepsi responden dinilai kurang efektif (Tabel 50 dan Gambar 54). Sebanyak 40% responden menyatakan kelembagaan tersebut kurang efektif dan sisanya tersebar tidak efektif (17%), cukup efektif (7%) dan efektif (7%). Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum dilakukan penguatan kelembagaan, secara keseluruhan efektivas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan tidak mengalami mengalami peningkatan kategori efektifitas, tetapi skor efektivitas kelembagaan pembinaan dan penyuluhan di perairan waduk Jatiluhur mengalami Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 114

132 Skor efektifitas kelembagaan peningkatan dari 7 menjadi 10%. Walaupun terjadi peningkatan kategori efektivitas kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan tetap berada dalam kategori kurang efektif. Tabel 50. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan JUMLAH JUMLAH % % (%) RESPONDEN RESPONDEN Keterangan Tidak efektif Menurun Kurang efektif Menurun Cukup efektif Meningkat Efektif Meningkat Sangat Efektif Tetap Total Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan ,57 9, sebelum penguatan sesudah penguatan Gambar 54. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pembinaan dan Penyuluhan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 115

133 B.1.4 Kelembagaan Konservasi Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Berdasarkan persepsi responden, setelah dilakukan kegiatan penguatan kelembagaan maka secara umum kelembagaan konservasi yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur dinilai efektif. Sebanyak 53 % responden memberikan penilaian bahwa kelembagaan konservasi tergolong cukup efektif dan sisanya tersebar dalam dua kategori, yaitu sebanyak 20 % menyatakan kurang efektif dan 24 % menyatakan efektif, sementara masih ada yang menyatakan tidak efektif sebanyak 3 % sebagaimana tertera pada Tabel 51. Selanjutnya bila dibandingkan dengan kondisi sebelum dilakukan penguatan, efektivitas kelembagaan konservasi tersebut berubah meningkat dari kategori tidak efektif menjadi kurang efektif sebagaimana tertera pada Gambar 55. Hal ini mengindikasikan bahwa inovasi kelembagaan melalui bentuk pelatihan dan pendampingan dan bantuan teknis kepada kelembagaan konservasi telah memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan efektivitas kelembagan tersebut. Tabel 51. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Konservasi Terkait dengan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan JUMLAH JUMLAH % % (%) RESPONDEN RESPONDEN Keterangan Tidak efektif Menurun Kurang efektif Meningkat Cukup efektif Meningkat Efektif Meningkat Sangat Efektif Tetap Total Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 116

134 sebelum penguatan sesudah penguatan Gambar 55. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Konservasi Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, B.1.5 Kelembagaan Pengawasan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Setelah dilakukan penguatan kelembagaan, persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori kurang efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pengawasan tersebut dinilai cukup efektif oleh sebanyak 53 % responden dan sisanya sebanyak 23 % dinilai efektif, 20 % kurang efektif dan 4 % tidak efektif,. sebagaimana tertera pada Tabel 53. Jika dibandingkan dengan kondisi kelembagaan pengawasan sebelum dilakukan penguatan kelembagaan, efektivitas kelembagaan tersebut mengalami peningkatan kategori dari tidak cukup efektif menjadi kurang efektif (lihat Gambar 56). Kondisi ini menunjukkan bahwa penguatan terhadap kelembagaan tersebut melalui pelatihan dan pendampingan maupun bantuan teknis telah memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan efektivitas kelembagan tersebut Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 117

135 Tabel 52. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pengawasan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan JUMLAH JUMLAH % % (%) RESPONDEN RESPONDEN Keterangan Tidak efektif Menurun Kurang efektif Menurun Cukup efektif Tetap Efektif Meningkat Sangat Efektif Tetap Total Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan sebelum penguatan sesudah penguatan Gambar 56. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, B.1.6 Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi Perikanan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Setelah dilakukan penguatan kelembagaan, persepsi responden mengenai efektifitas kelembagaan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat secara keseluruhan menyatakan bahwa kelembagaan tersebut termasuk dalam kategori kurang efektif. Berdasarkan persepsi responden tersebut diketahui bahwa kelembagaan pengawasan tersebut dinilai cukup efektif oleh sebanyak 37 % responden dan sisanya sebanyak 30 % dinilai efektif, 17 % kurang efektif, 10 % tidak efektif, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 118

136 sementara 6% responden menilai sangat efektif. sebagaimana tertera pada Tabel 53. Jika dibandingkan dengan kondisi kelembagaan pengawasan sebelum dilakukan penguatan kelembagaan, efektivitas kelembagaan tersebut mengalami peningkatan kategori dari tidak cukup efektif menjadi kurang efektif (lihat Gambar 57). Hal ini disebabkan karena secara teknis hanya sebagian kecil yang disampaikan (diberikan) dalam upaya penguatan kelembagaan baik dalam bentuk pelatihan dan pendampingan maupun bantuan teknis kepada kelembagaan pemasaran hasil perikanan. Tabel 53. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Pemasaran Hasil Produksi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan JUMLAH JUMLAH % % (%) RESPONDEN RESPONDEN Keterangan Tidak efektif Menurun Kurang efektif Meningkat Cukup efektif Menurun Efektif Menurun Sangat Efektif Meningkat Total Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan sebelum penguatan sesudah penguatan Gambar 57. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 119

137 B.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Berdasarkan persepsi responden setelah dilakukan penguatan kelembagaan, secara umum kelembagaan Monitoring dan Evaluasi terkait dengan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur dinilai kurang efektif. Sebanyak 80 % responden memberikan penilaian bahwa kelembagaan tersebut tergolong tidak efektif dan sisanya tersebar pada kategori kurang efektif sebanyak 3 %, cukup efektif 6 % dan efektif 10 % sebagaimana tertera pada Tabel 54. Namun bila kondisi tersebut dibandingkan dengan sebelum dilakukan penguatan kelembagaan, ternyata efektivitas kelembagaan monitoring dan evaluasi mengalami perubahan kategori dari tidak efektif menjadi kurang efektif (lihat Gambar 58). Kondisi ini disebabkan karena secara teknis tidak dilakukan (diberikan) inovasi kelembagaan baik dalam bentuk pelatihan dan pendampingan maupun bantuan teknis kepada kelembagaan monitoring dan evaluasi. Tabel 54. Sebaran Kategori Efektivitas Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan JUMLAH JUMLAH % % (%) RESPONDEN RESPONDEN Keterangan Tidak efektif Menurun Kurang efektif Meningkat Cukup efektif Meningkat Efektif Meningkat Sangat Efektif Tetap Total Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan sebelum penguatan sesudah penguatan Gambar 58. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pengawasan Perikanan dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 120

138 B.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur Untuk kelembagaan secara keseluruhan, setelah dilakukan penguatan kelembagaan diketahui terdapat efektifitasnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur termasuk dalam kategori kurang efektif yang disampaikan oleh 67% responden, dan hanya 30% responden menilai kelembagaan termasuk dalam kategori cukup efektif dan efektif. Masih ada 3% responden yang menyatakan kelembagaan pengelolaan waduk Jatiluhur termasuk dalam kagtegori sangat tidak efektif. Walaupun demikian terdapat peningkatan skor efektivitas kelembagaan pengelolaan Waduk jatiluhur dari 71 menjadi 99 dari total skor 250 (Tabel 55 dan Gambar 59). Tabel 55. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 KATEGORISASI INTERVAL SKOR Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan JUMLAH JUMLAH % % (%) RESPONDEN RESPONDEN Keterangan Tidak efektif Menurun Kurang efektif Menurun Cukup efektif Meningkat Efektif Meningkat Sangat Efektif Tetap Total Sumber: Data primer yang diolah, Keterangan: Warna hijau menunjukkan setelah dilakukan penguatan kelembagaan, terjadi peningkatan pada kategori kelmbagaan, warna kuning tetap, dan warna merah menunjukkan penurunan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 121

139 Skor Efektivitas kelembagaan ,27 sebelum penguatan 99,17 sesudah penguatan Gambar 59. Perubahan Efektivitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk dari Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penguatan Sumber: Data primer yang diolah, Bila dicermati lebih lanjut, cukup efektifnya kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur disebabkan oleh empat jenis kelembagaan yang termasuk dalam kategori efektif, yaitu (1) Kelembagaan pelaku utama; (2) Kelembagaan pembinaan dan penyuluhan; (3) Kelembagaan konservasi; dan (4) Kelembagaan pengawasan. Berdasarkan Gambar 60, diketahui bahwa kelembagaan pengawasan dan konservasi didominasi oleh kategori efektif, sedangkan penyedia sarana produksi perikanan dan kelembagaan pelaku utama masih termasuk dalam ketgori kurang efektif. Hal ini mengindikasikan bahwa inovasi (penguatan) terhadap kelembagaan-kelembagaan tersebut dapat dikatakan memberikan dampak yang positif bagi perubahan efektivitasnya. Masih perlu ditingkatkan efektifitas kelembagaan-kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan Waduk jatiluhur melalui upaya-upaya penguatan lanjutan dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan (need assessment) yang sebenarnya di tingkat masyarakat nelayan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 122

140 KELEMBAGAAN Monev Pemasaran Pengawasan Konservasi Penyuluhan Saprokan Pelaku Utama Tidak efektif Kurang efektif Cukup efektif Efektif Sangat Efektif Gambar 60.Proporsi Sebaran Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Tahun Sumber: Data primer yang diolah, % 20% 40% 60% 80% 100% Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 123

141 Tabel 56. Sebaran Kategori Efektifitas Kelembagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Setelah Penguatan Menurut Persepsi Responden Tahun 2011 DIMENSI ATURAN MAIN KATEGORISASI DAN SKOR KELEMBAGAAN Pelaku Utama Saprokan Penyuluhan Konservasi Pengawasan Pemasaran Monev 1. Prinsip Batas 2. Distribusi Manfaat 3. Pilihan Kolektif 4. Kegiatan Memonitor 5. Pemberian Sanksi 6. Penyelesaian Konflik 7. Hak Kepemilikan Sedang Sedang Sedang Lemah Sedang Kuat Sangat Lemah Kuat Kuat Sedang Lemah Kuat Sangat Kuat Sangat Lemah Sedang Kuat Sedang Lemah Sedang Kuat Sangat Lemah Kuat Lemah Lemah Lemah Sedang Lemah Sangat Lemah Sedang Sangat Lemah Sangat Lemah Lemah Sedang Lemah Sangat Lemah Sedang Sangat Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Sangat Lemah Sedang Lemah Lemah Sangat Lemah Lemah Sedang Sangat Lemah Sumber: Data primer yang diolah, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 124

142 3.1.4 Komparasi Efektifitas Kelembagaan Eksisting Antar Lokasi Waduk Persepsi responden di Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dan Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat mengenai efektifitas kelembagaan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan perairan di masing-masing waduk secara keseluruhan memiliki kecenderungan yang berbeda antara sebelum dan setelah dilakukan inovasi penguatan kelembagaan (lihat Tabel 48). Tabel 48. Komparasi dan Perubahan Efektivitas Keseluruhan Kelembagaan Eksisting Antara Waduk Malahayu dan Waduk Jatiluhur, 2011 Lokasi Waduk Sebelum Penguatan Setelah Penguatan Perubahan (per Kelembagaan) Skor Kategori Skor Kategori Arah % I. Malahayu 1. Pelaku Utama sedang kuat Meningkat Saprokan 6.8 sangat lemah 6.8 sangat lemah Tetap Penyuluhan Sedang Kuat Meningkat Konservasi Sedang Kuat Meningkat Pengawasan Sedang Kuat Meningkat Pemasaran 7.97 Lemah 7.97 Lemah Tetap Monev 12.8 Lemah 12.8 Lemah Tetap 0.00 Rataan lemah (kurang efektif) sedang (cukup efektif) Meningkat II. Jatiluhur 1. Pelaku Utama Sangat Kuat 19.7 Sangat Kuat Tetap Saprokan 15.6 Sangat Kuat 15.6 Lemah Menurun Penyuluhan 6.57 Sedang 9.83 Kuat Meningkat Konservasi 0.00 Lemah Sangat Kuat Meningkat Pengawasan 18.1 Sangat Kuat Sangat Kuat Tetap Pemasaran Sangat Kuat Sangat Kuat Tetap Monev 0.00 Lemah 5.63 Sedang Meningkat 0.00 Rataan lemah lemah (kurang efektif) (kurang efektif) tetap Dari Tabel 48 diketahui bahwa efektivitas kelembagaan secara keseluruhan untuk lokasi Waduk Malahayu mengalami peningkatan dari kondisi sebelum dilakukan inovasi penguatan kelembagaan, sedangkan untuk lokasi Waduk Jatiluhur tidak mengalami perubahan (tetap) antara sebelum dan sesudah dilakukan penguatan. Hal ini mengindikasikan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 125

143 bahwa upaya inovasi penguatan kelembagaan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan di Waduk Malahayu memberikan dampak yang positif terhadap perubahan efektivitas kelembagaan tersebut. sementara di Waduk Jatiluhur hal tersebut justru tidak terjadi perubahan. Perbedaan kecenderungan ini diduga berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut aspek kondisi seosial ekonomi, politik dan budaya pada masyarakat di masingmasing lokasi waduk. Sebagai contoh untuk komunitas nelayan di Waduk Malahayu dengan karakteristik masyarakatnya yang relatif memelihara pentingnya modal sosial (partisipasi sosial, tingkat resprositas dan proaktivitas, rasa saling mempercayai, jaringan dan koneksi dalam komunitas, toleransi dan kebhinekaan, nilai hidup dan kehidupan, jaringan dan koneksi di luar komunitas dan partisipasi dan keanggotaan kelompok) berpotensi meningkatkan efektivitas kelembagaan yang ada. Dengan kata lain, melalui modal sosial yang tinggi cenderung diperoleh perubahan efektivitas kelembagaan kearah yang lebih baik atau meningkat. Hal ini dpat dilihat pada Tabel 49 dan hasil pengujiannya pada Tabel 50. Sementara untuk komunitas nelayan di Waduk Jatiluhur secara relatif memiliki kondisi modal sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan komunitas nelayan di Waduk Malahayu, yang diduga karena secara goegrafis posisi Waduk Jatiluhur lebih dekat dengan perkotaan dan pusat ibukota propinsi dan negara sehingga mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakatnya. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 126

144 Tabel 49. Rata-rata Skor dan Kategori Modal Sosial Nelayan di Periaran Waduk Malahayu, Jawa Tengah untuk Masing-masing dan Keseluruhan Indikator, 2011 Indikator Modal Sosial Interval Skor Skor Ketgori 1. Partisipasi Sosial Masyarakat di Dalam Komunitas 5, Sedang 2. Tingkat Resiprositas dan Proaktivitas di dalam Kegiatan Sosial 6,00-24, Sedang 3. Perasaan Saling Mempercayai dan Rasa Aman 10,00-40, Sedang 4. Jaringan dan Koneksi Dalam Komunitas 6,00-24, Sedang 5. Jaringan dan Koneksi Antar Teman dan Keluarga 5,00-20, Tinggi 6. Toleransi dan Kebhinekaan 5,00-20, Sedang 7. Nilai Hidup dan Kehidupan 7,00-28, Tinggi 8. Koneksi/ Jaringan kerja di Luar Komunitas 5,00-20, Sedang 9. Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas 5,00-20, Sedang Keseluruhan Indikator Modal Sosial 49,00-216, Sedang Sumber: Data primer hasil wawancara yang diolah (2011) Tabel 50. Hasil Pengujian Korelasi antara Peubah Bebas Indikator-Indikator Modal Sosial dengan Peubah Terikat Efektivitas Kelambagaan Pemanfaatan dan Pengelolaan Waduk Malahayu, Jawa Tengah Peubah Bebas Nilai Koefisien Asymp. Person-X 2 Contengensi Sign. (2-sided) 1. Partisipasi sosial masayarakat di dala * komunitas 2. Tingkat resiprositas dan proaktivitas di dalam ** Kegiatan sosial 3. Perasaan saling mempercayai dan rasa aman ns Jaringan dan koneksi di dalam komunitas ns Jaringan dan koneksi antar teman dan keluarga *** 6. Toleransi dan kebhinekaan ns Jaringan/koneksi di luar komunitas ns Nilai hidup dan kehidupan , * 9. Partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar Komunitas , ** Sumber: Hasil Pengujian menggunakan Sofware SPSS 16.0 (2011) Keterangan: *** = sangat nyata; ** = nyata; * = cukup nyata; ns = tidak nyata Berdasarkan hasil pengujian korelasi Chi-Square antara peubah bebas indikatorindikator modal sosial dengan peubah terikat tingkat efektivitas kelambagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, Jawa Tengah diketahui bahwa semua peubah bebas Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 127

145 indikator-indikator modal sosial menunjukkan hubungan arah yang positif. Hal ini berarti secara nyata semakin tinggi peubah beas indikator-indikator modal sosial tersebut maka semakin tinggi pula tingkat efekftivitas kelembagaannya. Bila hubungan antara peubah tersebut diamati menurut taraf nyatanya, maka ditemukan bahwa terdapat satu peubah bebas indikator modal sosial yang memiliki hubungan dengan kelembagaan pada taraf yang sangat nyata, yaitu peubah jaringan dan koneksi antar teman dan keluarga; dua peubah bebas yang memiliki hubungan yang nyata, yaitu: peubah tingkat resiprositas dam proaktivitas di dalam kegiatan sosial; dan peubah partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas; dan dua peubah bebas yang memiliki hubungan cukup nyata, yaitu peubah partisipasi sosial masyarakt di dalam komunitas, dan peubah nilai hidup dan kehidupan. Sisanya, memiliki hubungan yang tidak nyata dengan peubah terikat tingkat efektvitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur, yaitu peubah perasaan saling mempercayai dan rasa aman, peubah jaringan dan koneksi di dalam komunitas, peubah toleransi dan kebhinekaan, dan peubah jaringan koneksi di luar komunitas. Beikut dijelaskan faktor-faktor pembentuk yang menyebabkan hubungan peubah bebas dari modal sosial tersebut berdasarkan derajat taraf nyatanya (sangat nyata, nyata dan cukup nyata) dengan peubah terikat tingkat efektivitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu. Untuk peubah bebas jaringan dan koneksi di dalam komunitas yang memiliki hubungan positif yang sangat nyata dengan peuibah terikat tingkat efektivitas kelembagaan tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor pembentuk peubah jaringan dan koneksi di dalam komunitas, yaitu: percaya kepada tetangga, silaturahmi ke teman dan komunitas, berusaha mendapat teman lebih banyak, menyenangkan tetangga, memberi makanan untuk tetangga, dan menjenguk tetangga yang sakit. Sementara untuk peubah bebas yang memiliki hubungan yang nyata dengan peubah terikat tingkat efektvitas kelembagaan tersebut adalah dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, hubungan positif yang nyata antara peubah bebas tingkat resiprositas dan proaktivitas di dalam kegiatan sosial menunjukkan bahwa faktor-faktor pembentuk peubah tingkat resiprositas dan proaktivitas di dalam kegiatan sosial, yaitu: bersedia mengambil sampah yang dibuang orang lain, menolong orang lain berarti kebaikannya pada jangka panjang, menyumbang untuk kegiatan sosial, menyumbang untuk yang terkena musibah, bertukar ide dengan yang berbeda suku, dan inistiatif mengadakan kegiatan sosial adalah berhubungan nyata dengan peubah terikat tingkat efektivitas kelembagaan tersebut. Kedua, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 128

146 peubah bebas partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas yang memiliki hubungan psitif yang nyata dengan peubah terikat tingkat efektivitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur menunjukkan bahwa faktor-faktor pembentuk peubah bebas tersebut, yaitu: pengurus organisasi organisasi keagamaan, pengurus partai politik, pengurus perkumpulan olahraga, pengurus dan anggota aktif organisasi nelayan, dan menghadiri pertemuan rapat kelompok adalah berhubungan nyata dengan peubah terikat tingkat efektivitas kelembagaan tersebut. Ketiga, hubungan positif yang nyata antara peubah bebas partisipasi sosial masyarakat di dalam komunitas dengan tingkat efektivitas kelembagaan tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membentuk peubah partisipasi sosial masyarakat di dalam komunitas, yaitu: kehadiran pada pertemuan lokal, keterlibataan pada kepengurusan lokal, keaktifan dalam berbagai kepengurusannya, aktif dalam berbagai kepanitiaan dan partisipasi dalam pembuatan pelayanan umum atau gotong royong adalah nyata berhubungan positif dengan tingkat efektifitas kelembagaan tersebut. Keempat, peubah nilai hidup dan kehidupan yang memiliki hubungan positif yang nyata dengan tingkat efektivitas kelembaan tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor pembentuk peubah tersebut, yaitu: merasa dibutuhkan masyarakat, marasa puas dengan apa yang telah dilakukan, hidup di masyarakat terasa seperti di rumah sendiri, bahagia dengan apa yang telah diperoleh, bahagia dengan kedudukannya sekarang, merasa bebas berbicara, dan cepat memaafkan dan kembali berbaikan dengan pihak lain atau teman. Secara keseluruhan, hubungan yang sangat nyata dan nyata antara peubah-peubah bebas di atas dengan tingkat efektivitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, Jawa Tengah menujukkan bahwa masyarakat nelayan di sekitar Waduk Malahayu masih memiliki banyak peluang untuk meningkatkan efektivitas kelembangaan tersebut melalui dukungan pengembangan aspek modal sosial masyarakat nelayannnya. Namun, di sisi lain, dari hasil pengujian diperoleh informasi masih cukup banyak peubah-peubah bebas yang tidak meunjukkan hubungan yang nyata dengan tiingkat efektifitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu (lihat Tabel 5).. Berdasarkan hasil pengujian (Tabel 5) terdapat empat peubah bebas dari modal sosial yang tidak menunjukkan hubungan yang tidak nyata dengan peubah terikat tingkat efektivitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, yaitu: peubah bebas perasan saling mempercayai dan rasa aman, peubah jaringan dan koneksi di dalam komunitas, peubah toleransi dan kebhinekaan, dan peubah jaringan/koneksi di luar komunitas. Hal ini meunjukkan kecenderungan adanya gejala kepada bentuk (sifat dan tipologi) kelompok Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 129

147 masyarakat nelayan yang cenderung ke arah bonding social capital, lebih bersifat ekslusif sehingga mereka tampak cenderung konservatif dan lebih mengutamakan solidarity making daripada hal-hal yang lebih nyata dan norma masyarakat yang lebih terbuka (Hasbullah, 2006). Dengan tidak-nyatanya hubungan antara keempat peubah bebas tersebut dengan tingkat efektivitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, khususnya pada sektor perikanan tangkap, menunjukkan bahwa masyarakat nelayan yang ada tidak memiliki rentang radius jaringan (the radius of network) yang terbentuk dan menghubungkan meraka dengan kelompok-kelompok di luar komunitasnya yang bersifat lintas suku, kelas sosial dan lintas profesi, serta jenis pekerjaan. Di samping masyarakat nelayan tersebut juga kurang memiliki kekayaan dalam prinsip-prinsip kehidupan masyarakat yang modern yang tentunya lebih mengutamakan aspek efisiensi, produktivitas dan kompetisi yang dibangun atas prinsip-prinsip pola dan bentuk pergaulan yang egaliter dan bebas. Di saming itu, gambaran sifat dan tipologi masyarakat yang seperti demikian itu, akan melahirkan konsekuensi logis yaitu sulitnya mereka dalam mengembangkan ide-ide baru, orinetasi baru dan nilai-nilai serta norma-norma baru yang memperkaya nilai dan norma yang telah ada. Kelompok banding social capital (sebagaimana yang cenderung dimiliki masyarakat nelayan sekitar Perairan Waduk Malahayu, Jawa Tengah) pada akhirnya akan memiliki resistensi yang kuat terhadap perubahan. Pada situasi tertentu, kelompok masyarakat ini bahkan berpotensi dapat menghambat hubungan yang kreatif dengan kelompok-kelompok lain di louar komunitasnya, dan pada gilirannya akan menghambat pembangunan masyarakt itu sendiri secara keseluruhan (Hasbullah, 2006). Hal inilah yang kemudian membuat modal sosial masyarakat nelayan yang sedang (cukup baik) secara internal sehingga berpotensi mengurangi hubungannnya dalam meningkatkan efektivitas kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, Jawa Tengah. Oleh karena itu, untuk tujuan memngefektifkan kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu melalui peran modal sosial, maka masyarakat nelayan di sekitar Waduk Malahayu seyogyanya dapat lebih mampu untuk mngurangi atau menghilangkan ketrisoliran tersebut, seperti dengan membuka akses meraka ke luar komunitas yang lebih luas, sehingga jaringan yang mereka miliki dapat lebih meningkat dan akan membuat mereka lebih mampu berinteraksi secara produkstif dengan masyarakat luas, serta lebih terdorong untuk berinteraksi dengan para pemangku kepentingan (stake-holders) potensial yang dapat memberikan kontribusinya terhadap upaya pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu tersebut ke depan. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 130

148 3.2. Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan di Waduk Malahayu Gambaran mengenai karakteristik sosial ekonomi masyarakat nelayan di Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah diperoleh dari hasil wawancara dengan responden. Wawancara tersebut dilakukan baik secara terstruktur maupun tidak terstruktur yang dipandu dengan topik data yang dipersiapkan dalam penelitian ini. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat nelayan yang diteliti antara lain adalah hubungan kekerabatan, status sosial, jaminan ekonomi, jaminan sosial pada masyarakat nelayan dan masyarakat pemanfaat yang lainnya. Termasuk pula tingkat penghasilan dan gambaran umum hubungan sosial, jaringan sosial, dan relasi antar aktor, terutama masyarakat nelayan dengan aktor lainnya. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan paradigma penelitian kualitatif. Seacara teoritis, penelitian kualitatif beranjak dari cara pandang bahwa manusia merupakan makhluk kebudayaan yang unik dan spesifik, karena perilaku manusia tidak terstruktur (Rothe, 2000). Kebenaran diperoleh apabila tercapai pemahaman terhadap suatu perilaku, karena perilaku adalah sebuah kebudayaan yang khas. Manusia sama sekali berbeda dengan gejala-gejala alam. Dalam penelitian kualitatif, kenyataan dipandang sebagai sebuah keutuhan makna yang dihasilkan dari interaksi berbagai variabel yang tidak dapat dipisah-pisahkan (Rothe, 2000). Dijelaskan pula bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah pendekatan penelitian yang melihat bahwa kebudayaan menjadi amat penting dalam penelitian manusia. Fenomena tidak dilihat sebagai produk, tapi sebagai proses dan dinamika. Tujuan penelitian bukan untuk menguji: deskripsi, asosiasi, diskriminasi, dan analisis kuantitatif lain yang menghentikan proses, tapi untuk memahami perilaku manusia (cultural behavior). Pada penelitian kualitatif, penelitian dimaksudkan untuk melihat proses sosial dan komunikasi serta yang dicari bukan keberlakuannya bagi populasi (generalizability), tetapi makna dan keunikan. Dalam hal ini, peneliti sendiri menjadi instrumen untuk mengamati perilaku budaya subjek penelitian. Hal itu disebabkan karena konsep dalam otak manusia direfleksikan dalam tingkah laku (Denzin dan Lincoln, 1994). Untuk itu, peneliti kualitatif harus mengalami pengalaman (experiencing experience) dalam pengumpulan datanya. Kemudian, karakteristik penelitian kualitatif yang menjunjung tinggi pemahaman (verstehen) yang menuntut beberapa kriteria. Kriteria itu adalah sifat naturalistik, membutuhkan pengamatan partisipatif (patisipant observation), dan interpretasi pengalaman. Maksud penelitian kualitatif harus natural yaitu dalam melakukan penelitian tidak boleh melakukan intervensi terhadap subjek penelitian, karena intervensi dapat membuat subjek Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 131

149 penelitian menampilkan perilaku yang tidak sebenarnya (manipulatif). Oleh karena itu, untuk dapat meneliti tanpa harus membuat intervensi, maka peneliti harus terlibat dalam pengamatan, penggalian data berkembang dalam wawancara. Pada proses ini, peneliti sendiri menjadi instrumennya dalam mengumpulkan fakta tentang subjek penelitian sebanyak mungkin dari berbagai informan (snowball) dan melakukan cek dan ricek (triangulation) hingga diperoleh data yang valid. Namun demikian, oleh karena peneliti sendiri menjadi instrumennya, maka dia memasukkan unsur subjektivitas dalam pengumpulan datanya. Di sisi lain, interpretasi pengalaman terkait dengan kondisi subjektivitas yang bukan hanya terjadi dalam pengumpulan data, tapi juga dalam analisis dan penafsiran (Rothe, 2000). Data aspek sosial ekonomi dan kelembagaan yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antar berbagai kategori data, untuk membangun teori substantif yang berasal dari data yang tersedia (Marshall dan Rossman, 1989). Hal ini sejalan dengan pendapat Patton (1990), yang menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisirnya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Oleh karena itu, pekerjaan menganalisis data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, dan mengkategorikan, data yang didapat berdasarkan keperluan yang terkait dengan tujuan penelitian, dan kemudian diinterpretasikan serta dikemukakan dalam deskripsi analisis. Berkaitan dengan permasalahan validitas internal dalam penelitian kualitatif, maka agar hasil penelitian ini dapat diyakini sebagai sebuah kebenaran, dan dapat dipercaya (sekalipun derajat kebenaran dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditetapkan secara pasti), maka peneliti akan menerapkan prinsip pengamatan berulang, mempertimbangkan masukan sumber data dan informasi, sebagaimana dimaksudkan oleh Moleong (2004). Akhirnya, kesimpulan sementara yang dirumuskan akan diverifikasi kepada subjek penelitian, sehingga diperoleh kesesuaian pemahaman antara peneliti dengan informan yang diteliti. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif tersebut, diperoleh gambaran bahwa hubungan sosial diantara masyarakat (nelayan, bakul, satgas, pengurus lembaga nelayan) dalam wilayah waduk Malahayu antara lain didasarkan atas pengorganisasian mereka dalam satu wadah kelompok tani nelayan, yaitu Kelompok Tani Nelayan Nila Jaya. Namun demikian, sistem sosial masing-masing kelompok masyarakat pada setiap blok atau sub kelompok masyarakat nelayan juga berpengaruh terhadap hubungan sosial yang terjadi. Sebagai contoh, misalnya hubungan sosial antara masyarakat nelayan di blok Cawiri Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 132

150 dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat di wilayah tersebut. Hubungan tersebut terlihat di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu-Balsiah ternyata terdapat rata-rata sebanyak 50% nelayan dari kelima blok tersebut merupakan anak kandung, saudara isteri, dan keluarga lainnya terhadap bakul yang membeli ikan dari wilayah tersebut. Berdasarkan hubungan sosial yang terbentuk antara masyarakat nelayan dan bakul di di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu- Balsiah terlihat bahwa status sosial antara nelayan lebih rendah daripada bakul, jika dilihat berdasarkan dimensi sosial dan ekonomi. Akibatnya, yang terjadi saat ini antara lain jaminan sosial dan jaminan ekonomi masyarakat nelayan di perairan waduk Malahayu terbentuk dengan adanya kelembagaan nelayan tersebut. Bakul (pedagang pengumpul ikan) pada masing-masing blok atau sub kelompok menjadi tumpuan jaminan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan tersebut, meskipun tidak terdapat ketentuan tersebut dalam aturan main kelembagaan nelayan. Jaminan sosial yang ada dan terjadi saat ini di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu-Balsiah berupa pinjaman uang yang diperlukan masyarakat nelayan jika terjadi musibah atau keperluan berobat jika sakit. Sementara, jaminan ekonomi yang diharapkan nelayan diberikan bakul antara lain berupa pinjaman uang jika diperlukan untuk pembelian dan atau pengadaan alat dan sarana penangkapan ikan (terutama alat tangkap dan perahu), dan kebutuhan sehari-hari keluarga, terutama biaya untuk membeli bahan pangan. Jaringan sosial diantara masyarakat nelayan antar blok (sub kelompok) terlihat pula terbentuk antara lain sebagai akibat adanya sistem kekerabatan yang berasal dari hubungan kekerabatan keluarga. Kelembagaan nelayan yaitu Kelompok Tani Nelayan Nila Jaya sementara ini merupakan gabungan dari nelayan-nelayan dari lima blok (di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu-Balsiah) yang terbentuk terutama bertujuan agar ada aturan main (pengaturan) dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Malahayu. Kelembagaan nelayan yang dibentuk telah berfungsi sebagaimana mestinya sebuah organisasi (lembaga) ataupun kelembagaan dalam arti pengorganisasian (aturan main) yang memilki tujuan akhir meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan melalui upaya pemacuan stok ikan di perairan waduk Malahayu. Dalam hal ini kelembagaan yang terbentuk sudah didasarkan cara yang benar yaitu didasarkan musyawarah dan mufakat sesama anggota masyarakat nelayan yang ada di Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 133

151 seluruh wilayah perairan waduk Malahayu tersebut. Proses pemilihan pengurus kelembagaan tersebut juga telah cukup baik yaitu melalui upaya pemilihan yang didasarkan atas musyawarah dan mufakat. Hak dan kewajiban masyarakat nelayan serta hak dan kewajiban pengurus kelembagaan nelayan tersebut juga telah diketahui, diapahami dan dilaksanakan secara operasional pada tingkat masyarakat nelayan. Dalam hal ini, hak masyarakat nelayan adalah melaksanakan usaha penangkapan ikan pada wilayah perairan waduk yang telah sama-sama disepakati sebelumnya, yaitu pada wilayah yang bukan merupakan wilayah konservasi (suaka). Penggunaan alat tangkap bagi masyarakat nelayan juga telah ditetapkan harus menggunakan jaring dengan mata jaring lebih besar dari 2 inci. Kemudian, ikan hasil tangkapan juga harus dijual kepada bakul yang telah ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan diantara mereka (sistem yang diatur dalam kelompok nelayan). Kewajiban anggota kelembagaan kelompok nelayan dari gabungan lima blok (di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu- Balsiah) yang telah disepakati juga dijalankan oleh masyarakat nelayan dan bakul, yang antara lain berupa kewajiban membayar iuran anggota kelompok nelayan sebesar Rp setahun. Disamping itu, juga pembayaran iuran Rp setiap kg ikan yang dibeli oleh bakul, yang mereka istilahkan dengan lotus atau sekilo seratus. Sistem pembayaran dan penagihan iuran dan biaya lotus ini juga telah terbentuk dengan baik melalui jalur nelayan bakul bendaharawan kelompok nelayan. Uang yang terkumpul di kelembagaan kelompok yang berasal dari iuran anggota dan penghasilan lotus ini nantinya juga merupakan sumber pembiayaan yang digunakan untuk membeli benih ikan yang akan direstoking ke perairan Waduk Malahayu. Jaringan sosial adalah hubungan-hubungan yang terbentuk diantara rumah tangga atau para anggota kelompok atau komunitas yang diamati (Rudito dan Famiola, 2008). Pemetaan jaringan sosial penting untuk melihat hubungan yang ada dan juga akan terdeteksi kekuatan dari masing-masing hubungan antar-individu yang berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kemudian, juga dikumpulkan data tentang relasi antara nelayan dengan aktor lainnya yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Malahayu. Relasi antara nelayan dengan aktor lainnya tersebut dapat diartikan sebagai relasi antar aktor. Relasi antar aktor ditentukan oleh orientasi para aktor dalam pengambilan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 134

152 keputusan tertentu. Orientasi sosial 3 merupakan dasar masing-masing aktor dalam mengevaluasi dan mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu atau menentukan suatu pilihan dalam berinteraksi (Burns, 1987). Orientasi sosial tersebut dapat bersifat individualisme, altruisme, permusuhan, atau kerja sama. Hubungan sosial dan jaringan sosial yang diteliti terdapat dalam cakupan wilayah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Malahayu, terutama yang terdapat pada sub kelompok Cawiri di wilayah perairan waduk Malahayu. Sementara, relasi nelayan terhadap aktor lainnya adalah berupa; a). Relasi antara nelayan dan nelayan lainnya; b). Relasi antara nelayan dan pedagang ikan di tingkat perairan; c). Relasi antara nelayan dan pengawas perairan (satgas); d). Relasi antara nelayan dan petani padi. Pertama, Relasi antara nelayan di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu-Balsiah masing-masing dengan aktor lainnya terkait dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Malahayu dikemukakan hubungan antar aktor (relasi aktor). Pertama, relasi antara nelayan dan nelayan lainnya tidak hanya berorientasi pada kepentingan diri pribadi masing-masing nelayan, atau kerja sama. Dalam hal ini, seorang nelayan sebagai sesama anggota masyarakat dalam satu blok Cawiri dalam mengadakan evaluasi terhadap alternatif-alternatif tindakan dan akibatnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan, tidak hanya didasarkan kepada nilai-nilai pribadinya masing-masing. Dalam relasi ini nelayan menyatakan bahwa bagi seorang nelayan juga harus memikirkan kepentingan nelayan lainnya sesuai dengan aturan yang telah disepakati dalam kelembagaan kelompok Nila Jaya. Kedua, relasi antara nelayan di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu-Balsiah masing-masing dengan pedagang, kesimpulan dari beberapa pernyataan masyarakat nelayan dapat diketahui bahwa penting bagi nelayan adalah harga ikan meningkat atau minimal stabil sesuai dengan perkembangan harga di luar perairan 3 Masing-masing orientasi sosial tersebut (Burns, 1987) dapat dijelaskan sebagai berikut; a). Individualisme yaitu orientasi sosial yang bersandarkan kepada kepentingan diri pribadi; Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap alternatif-alternatif tindakan dan akibatnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan dan nilai-nilai hanya didasarkan kepada kepentingan pribadinya. b). Altruisme yaitu seseorang mengadakan evaluasi terhadap pilihan dan akibatnya untuk memenuhi pencapaian tujuan dan nilai-nilai aktor lainnya. Kepentingan pribadi disini tidak merupakan prioritas dalam pemenuhan kebutuhan terhadap alternatif pilihan untuk mencapai tujuan dan nilai-nilainya. c).permusuhan yaitu orientasi sosial yang bersandarkan pada orientasi pemikiran negatif terhadap kepentingan orang lain; Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi dan memilih tindakan-tindakan alternatif yang dapat menimbulkan kekecewaan (kehilangan atau kerugian) terhadap tujuan dan nilai-nilai bagi seorang aktor lainnya. d).kerja sama yaitu orientasi sosial yang bersandarkan kepentingan pribadi sekaligus juga berdasarkan kepada kepentingan orang lain. Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap tindakan-tindakan dan akibatnya berdasarkan maksud dan nilai-nilainya sendiri dan juga berdasarkan tujuan dan nilai aktor lainnya. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 135

153 dari waktu ke waktu dan pedagang selalu siap dan bersedia membeli ikan hasil tangkapan mereka. Sementara pedagang lebih banyak menyatakan bahwa mereka membantu kelembagaan nelayan dalam mengumpulkan iuran anggota dan pengumpulan uang iuran sekilo seratus dan kemudian menyerahkannya kepada bendahara yang menjadi petugas pengumpul dana pada kelembagaan nelayan. Dengan demikian, relasi antara nelayan dan pedagang ikan dapat digolongkan kedalam kategori kerja sama, yaitu nelayan dan pedagang memiliki orientasi sosial yang juga mempertimbangkan kepentingan bersama dalam mengevaluasi dan pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu atau menentukan suatu pilihan. Pengaturan hal demikian dikemukakan dalam mekanisme kelembagaan nelayan Nila Jaya. Untuk itu, diketahui bahwa nelayan dan pedagang memahami, mematuhi dan melaksanakan mekanisme yang disepakati tersebut. Ketiga, relasi antara nelayan di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu-Balsiah masing-masing dengan pengawas (satgas), maka berawal dari rangkuman pernyataan masyarakat nelayan yang secara umum mengemukakan bahwa masyarakat nelayan telah mengetahui dan memahami pentingnya pengawasan terhadap kelestarian sumberdaya perikanan di perairan waduk Malahayu. Dan kemudian, pengawas pun telah lebih dahulu mengetahui dan memahami akan pentingnya kelestarian sumberdaya perikanan tersebut. Kemudian, pengawas dalam melaksanakan tugas lebih banyak berorientasi kepada kepentingan masyarakat nelayan secara keseluruhan. Bagi pengawas, kepentingan masyarakat nelayan, juga merupakan kepentingan pengawas karena pengawas juga adalah anggota masyarakat nelayan. Dengan demikian, kepentingan pribadi pengawas juga merupakan kepentingan nelayan lainnya. Oleh karena itu, relasi antara nelayan dan pengawas perairan (satgas) tergolong kedalam kategori kerja sama. Keempat, relasi antara nelayan di wilayah Blok Cawiri, Blok Kracak, Blok Penanggapan, Blok Rembet dan Blok Malahayu-Balsiah masing-masing dengan petani padi, dapat dikemukakan bahwa nelayan beranggapan air berada di perairan waduk Malahayu digunakan sebagai tempat hidup ikan, dan juga dapat digunakan sebagai areal yang digunakan untuk mengairi persawahan melalui penyaluran air ke bagian hilir waduk. Sementara petani padi juga berpikiran bahwa adanya perairan waduk Malahayu ini berguna sebagai sarana pengairan yang berfungsi sebagai sumber air bagi sawah mereka. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang saling mengerti dan dipahami oleh kedua pihak. Untuk itu, relasi antara kedua aktor ini lebih bersifat kerja sama juga. Bahkan beberapa nelayan juga menanam padi di areal pinggiran perairan waduk yang kering. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 136

154 Terkait dengan aktivitas pengembangan perikanan berbasis budidaya di perairan waduk ini, diketahui pula bahwa pengadaan benih ikan telah berjalan dengan baik. Pelaksanaan penentuan jenis ikan yang akan dibeli dan pelaksana pembelian yang disepakati oleh masyarakat nelayan dilakukan oleh sebagian nelayan yang memiliki kesempatan (waktu) untuk melaksanakannya. Artinya, terbuka bagi masyarakat nelayan yang berminat untuk membantu pelaksanaan pengadaan benih ikan yang nantinya ditebar ke perairan tersebut. Pelaksanaan penebaran ikan juga disaksikan oleh masyarakat nelayan secara terbuka dengan perhitungan yang jelas di hadapan masyarakat nelayan. Terkait dengan upaya konservasi sumberdaya perikanan, masyarakat nelayan juga telah bersepakat melalui suatu musayawarah menetapkan 6 (enam) bagian perairan ditetapkan sebagai daerah suaka. Diantara ke-enam zona konservasi tersebut satu zona sudah tidak dapat difungsikan, sehingga saat ini tinggal lima lokasi yang masih berfungsi dengan baik yang tersebar di lima dukuh (blok) kelompok nelayan. Daerah suaka inipun telah dibuat masyarakat nelayan secara gotong royong dan sesuai dengan konsep biologi dan ekologi suaka yang dilarang ditangkapi ikannya, cukup memadai dalam persyaratan fungsi sebuah suaka,kecuali pada blok Penanggapan yang kering pada saat air surut. Dalam hal ini, pada semua suaka telah diberi ranting kayu yang berukuran kecil hingga besar, diberi paralon, dan diberi batas penciri di permukaan air, sehingga memiliki batas yang jelas bagi anggota masyarakat nelayan. Untuk pengawasan telah dibentuk sistem pengawasan dengan petugas yang juga memiliki jiwa kewirausahaan sosial yang cocok untuk berfungsi sebagai satgas (satuan tugas) keamanan wilayah suaka perikanan. Kewirausahaan sosial petugas terlihat dengan adanya kesediaan petugas (satgas) yang bertugas tanpa pamrih, tanpa batasan jam kerja, dan siap menghadapi resiko apapun di lapangan. Disamping itu satgas ini juga siap memberikan pendekatan mulai dari kekeluargaan hingga yang bersifat lebih keras sekalipun jika diperlukan dalam menangani permasalahan yang ada di lapangan. Pendekatan petugas dalam penyadaran kepada pelanggar aturan juga telah memadai, yaitu dilakukan mulai dari pendekatan personal (baik di perairan maupun ke rumah-rumah) hingga pendekatan penyelesaian pada tingkat kelompok dan jika diperlukan penyelesaian diserahkan kepada pihak yang berwajib (kepolisian). Di lain pihak, sebagai alternatif penghasilan nelayan, terutama pada saat adanya larangan penangkapan ikan pada seluruh wilayah perairan waduk Malahayu (closed season) antara lain adalah kegiatan pemeliharaan blengong (bebek hasil persilangan antara itik (bebek petelur) dan bebek entog ) yang dapat dilakukan di sekitar wilayah perairan waduk. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 137

155 Sebagai contoh misalnya, dengan memelihara 150 ekor bibit blengong selama 75 hari dapat menghasilkan keuntungan usaha sebesar Rp Pakan yang digunakan berupa pelet komersil, dedak, dan ikan-ikan kecil yang kesemuanya didadapatkan dengan cara membeli. Dalam hal ini, berdasarkan pengalamannya, seorang anggota masyarakat nelayan menyarankan sebaiknya pemeliharaan blengong ini dilakukan dengan jumlah minimal 500 ekor. Hal ini didasarkan atas pertimbangan efisiensi waktu pemeliharaan dan efisiensi penggunaan lahan dan kandang ternak. Dengan pemeliharaan 500 ekor ini diharapkan selama 75 hari akan didapatkan keuntungan sebesar Rp Arah pengembangan/penguatan kelembagaan nelayan di wilayah perairan waduk Malahayu ini antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan peningkatan kapasitas anggota pengurus lembaga nelayan, peningkatan kemampuan anggota masyarakat nelayan dalam berusaha (jiwa wirausaha) serta sosialisasi manfaat bekerja secara berkelompok (dinamika kelompok). Perlu dilakukan peningkatan upaya keterkaitan kelembagaan nelayan terhadap kelembagaan lainnya dalam fungsinya untuk pengembangan perikanan berbasis budidaya (CBF). Dalam hal ini misalnya berupaya agar program restoking terutama dalam kaitannya dengan penyediaan benih yang berkualitas dapat bekerja sama antara Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, Balai Benih Ikan yang ada di Malahayu, serta Penyuluh Perikanan Lapangan (PPL), sehingga ada jaminan ketersediaan benih ikan tebar yang keberlanjutan dalam mendukung upaya peningkatan kuantitas dan kualitas ikan hasil tangkapan masyarakat nelayan Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan di Waduk Jatiluhur Waduk Jatiluhur (Ir. H. Jatiluhur) merupakan salah satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan tujuan utama sebagai pembangkit Listrik yang terletak di Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Waduk Jatiluhur memiliki luas Ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 Milyar m 3 dan duga muka air maksimum mencapai ± 107 meter dpl. Selain digunakan sebagai PLTA dan penyediaan air minum, waduk ini juga berfungsi sebagai lahan untuk perikanan tangkap dan budidaya ikan. Pola penangkapan ikan di Waduk Jatiluhur menggunakan jaring insang, jala, anco dan pancing dimana hasil tangkapan rata-rata sebesar Kg/tahun atau sebesar 1.359,439 ton/tahun (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, ). Waduk Ir. H. Jatiluhur atau yang lebih dikenal dengan nama Waduk Jatiluhur dibangun pada awal tahun 1957 dan dinyatakan selesai pada tahun 1967 serta kemudian dikelola oleh Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 138

156 Perusahaan Negara (PN) Jatiluhur ( ). Waduk Jatiluhur terletak pada Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 1999 tentang pengelolaan, perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan waduk Jatiluhur membentuk badan otorita pengelola yaitu Perum Jasa Tirta II (PJT II). Berdasarkan PP tersebut kewenangan PJT II yaitu sebagai BUMN pengelola air dan atau sumber air. Waduk Jatiluhur mempunyai luas Ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 Milyar m 3 dan duga muka air maksimum mencapai ± 107 meter dpl. Waduk ini merupakan waduk serbaguna dengan peruntukkan bagi PLTA, penyediaan baku air minum dan industri, penyediaan air irigasi, perikanan, pariwisata dan pengendalian banjir. Sumber air waduk Jatiluhur berasal dari DAS Citarum yaitu, daerah pengaliran waduk saguling dan Cirata (Tabel 48). Tabel 57. Karakteristik Perairan Waduk Jatiluhur Lokasi pada DAS Di bagian bawah/ hilir Ketinggian dari muka laut (m) 111 Volume air x 1000 m Luas permukaan (A), ha Kedalaman rata-rata (m) 35,8 Kedalaman maksimum (Zmaks), m 90 Status kesuburan Mesotrophic Eutrophic Pola percampuran massa air Oligomictic (rare) Rasio A/Zmaks 0,92 Kondisi tanpa oksigen dimulai pada lapisan (anoxic) Sumber : Prihadi (2004) Waduk Jatiluhur mempunyai luas Ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 Milyar m 3 dan duga muka air maksimum mencapai ± 107 meter dpl. Karakteristik perairan waduk Jatiluhur disajikan pada Tabel 21. Namun kondisi tersebut banyak berubah seperti kedalaman rata-rata sepanjang tahun 2003 menurun menjadi 26,2 m, terlebih lagi pada bulan Agustus September kedalaman rata rata mencapai 23,7 m hal ini disebabkan kemarau yang berkepanjangan, sehingga volume air berkurang hingga 30%, dari keadaan normal sebelumnya (Prihadi, 2004). Jenis sumberdaya ikan di perairan waduk beragam dan termasuk dalam jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun dengan adanya usaha KJA menyebabkan perubahan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 139

157 komposisi ikan dan ada beberapa jenis ikan yang mengalami kepunahan (Krismono, et al., 1983 dalam Purnamaningtyas, et al., 2008). Dugaan sementara bahwa ikan-ikan yang mengalami kepunahan disebabkan karena perubahan lingkungan perairan yang terjadi dan persaingan dalam memperebutkan makanan. Komposisi ikan setelah adanya KJA yang berkembang pesat (diduga adalah jenis ikan yang masuk bersama benih ikan yang dibudidayakan yang selanjutnya terlepas ke perairan dan dapat berkembang dengan baik karena adanya ketersediaan makanan yang ada di perairan waduk). Kegiatan perikanan di Waduk Jatiluhur merupakan salah satu fungsi waduk yang harus saling mendukung dengan fungsi keserbagunaan lainnya, tidak boleh saling mengalahkan dan tetap mengutamakan kelestarian air atau sumber air serta keamanan waduk atau bendungan. Untuk itu diperlukan koordinasi yang baik antar lembaga atau instansi yang terkait. Dalam pengelolaan KJA di waduk Jatiluhur terdapat beberapa lembaga atau instansi yang terkait yaitu Perum Jasa Tirta II (PJT II) sebagai pengelola badan air Waduk Jatiluhur, Pokja Bidang Perikanan PJT II (dibentuk tahun 1996) sebagai penasihat Direksi PJT II dalam hal perikanan, Pemda Kabupaten Purwakarta, Dinas Perikanan Kab. Purwakarta, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta, Instalasi Penelitian Perikanan Air Tawar (Inlitkanwar/Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur (LRPSI), dan HIMPUJAT (Himpunan Pengusaha Jaring Terapung). Aspek Legal Pemanfaatan Perairan Waduk untuk Kegiatan Perikanan terdiri dari : 1. Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 39 tahun 2000 tentang Peruntukkan Air dan Baku Mutu Air pada Sungai Citarum dan Anak-anak Sungainya di Jawa Barat. 2. Keputusan Bupati Kabupaten Purwakarta No. 06 tahun 2000 tentang Pemanfaatan Waduk untuk Kegiatan Perikanan 3. Keputusan Bupati Kabupaten Purwakarta No /Kep.234-Diskan/2000 tentang Juklis Pelaksanaan Pemanfaatan Waduk untuk Kegiatan Perikanan 4. Perda Kabupaten Purwakarta No. 6 tahun 1996 tentang Surat Ijin Usaha Perikanan 5. Keputusan Direksi Perum Otorita Jatiluhur No. 1/289/KPTS/1992 tentang Tatacara dan Persyaratan Pemanfaatan Waduk untuk Usaha Perikanan dengan Jaring di daerah Kerja Divisi Waduk POJ 6. Keputusan Direksi Perum Otorita Jatiluhur No. 1/290/KPTS/1992 tentang Tarif Pemanfaatan Waduk Jatiluhur untuk Usaha Perikanan dengan Jaring. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 140

158 Berdasarkan data DKP dan ACIAR (2007) diperoleh bahwa jenis ikan yang tertangkap di Waduk Jatiluhur didominasi oleh ikan nila (79-96%), ikan mas, patin sius dan gabus (Tabel 49). Selain itu juga ditemukan jenis ikan oscar, kongo dan goldsom yang tidak disukai nelayan dan termasuk jenis ikan yang tidak ekonomis. Ikan-ikan tersebut sering disebut hama karena sifat berkembang biak yang sangat tinggi sehingga ikan-ikan ekonomis lainnya semakin terdesak dengan keberadaan ikan hama tersebut. Pengolahan ikan non ekonomis tersebut dilakukan dengan cara dijemur hingga kering, baru kemudian dijual ke konsumen. Hasil tangkapan ikan di Waduk Jatiluhur bervariasi antara kg/bulan dengan rata-rata kg/bulan atau total tangkapan ikan sebesar 1.359,439 ton/tahun. Di waduk Cirata hasil tangkapan ikan berfluktuasi antara kg/bulan dengan rata-rata kg/bulan atau 344,969 ton/tahun. Pemerintah pusat melalui Departemen Kelautan Perikanan (DKP) telah melakukan kebijakan berupa penebaran benih ikan nila maupun bandeng ke Waduk Jatiluhur dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan. Tabel 58. Daftar Jenis-jenis Ikan Yang Tertangkap di Waduk Jatiluhur Tahun 2005 No Ikan Introduksi Kelimpahan Ikan Asli Kelimpahan 1 Nila +++ Tawes + 2 Mas + Hampal + 3 Sius ++ Tagih + 4 Bandeng ++ Kebogerang + 5 Betutu + Gabus ++ 6 Oscar ++ 7 Goldsom + 8 Kongo ++ 9 Sepat + Keterangan: +++ = tinggi; ++ = sedang; + = jarang Sumber : ACIAR (2007) Sementara berdasarkan data DKP dan ACIAR (2007), jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Waduk Jatiluhur yaitu jaring insang, jala, anco dan pancing. Namun, saat ini nelayan umumnya menggunakan alat tangkap jaring insang dan jala (Tabel 50), dengan perahu kayu yang dilengkapi motor tempel ataupun tanpa motor tempel dan rakit bambu. Alat tangkap gillnet relatif lebih banyak digunakan nelayan karena efisien dalam penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan hasil tangkapan biasanya berukuran kecil yang sesuai dengan mata jaring gillnet. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 141

159 Tabel 59. Jumlah Nelayan dan Alat Tangkap di Waduk Jatiluhur, Tahun 2004 No Jenis Alat Tangkap Aktif Pasif Jumlah Nelayan 1 Gillnet Jala Jumlah Sumber : DKP dan ACIAR (2007) Pengelolaan perikanan tangkap meliputi berbagai kegiatan yang ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Pola pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan perikanan tangkap, umumnya berdasarkan pada tinggi muka air oleh badan otorita dan curah hujan. Pada saat air muka tinggi, nelayan menggunakan alat tangkap berukuran kecil (mata jaring ± 1,5 inci), sehingga ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukurannya kecil dan melimpah. Sedangkan pada saat air muka rendah (air mengumpul di tengah), nelayan menangkap ikan menggunakan alat tangkap berukuran besar (mata jaring ± 3 inci), sehingga ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukurannya besar (> 500 gram). Namun pada saat ini nelayan tidak menghiraukan ukuran alat tangkap yang ideal digunakan sesuai dengan tinggi muka air tersebut, sehingga menyebabkan kepunahan sumberdaya ikan di perairan waduk. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, diperoleh gambaran bahwa hubungan sosial diantara masyarakat (nelayan, bakul, satgas, pengurus lembaga nelayan) dalam wilayah waduk Jatiluhur antara lain didasarkan atas pengorganisasian mereka dalam satu wadah kelompok nelayan dan kelompok pengawas. Kelompok Nelayan dibentuk tidak berdasarkan kepentingan nelayan sebagai pelaku utama usaha perikanan tangkap, tetapi lebih didasarkan pada kepentingan bandar dalam arti bahwa kelompok tersebut berafiliasi terhadap bandar tertentu yang menguasai pemasaran produk perikanan tangkap dan budidaya di perairan Waduk jatiluhur. Kelompok tersebut tidak terbentuk sebagaimana kelompok nelayan pada umumnya yang didasarkan pada azas musyawarah, tetapi lebih didasarkan pada hubungan patron-client antara bandar dan nelayan. Kepengurusan kelompok tidak dibentuk atas kesepakatan dalam rapat anggota, tetapi langsung dipimpin oleh bandar. Posisi anggota tidak lebih sebagai ikatan kebutuhan ekonomi dimana nelayan menjual produk tangkapannya kepada bandar. Kelompok Nelayan yang berada di Perairan Waduk Jatiluhur bernama kelompok Matahari yang diketuai oleh Warisdi, Kelompok Acon (bandar), dan Kelompok Kodir. Selain kelompok Nelayan terdapat kelompok pengawas (POKMASWAS) Mandiri Jaya yang lebih berperan dalam pengawasan usaha penangkapan ikan oleh nelayan. Walaupun Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 142

160 demikian, anggota kelompok pengawas ini juga berprofesi sebagai nelayan sehingga ada kepentingan usaha panangkapan selain kepentingan pengawasan. Kelompok Mandiri jaya berlokasi di desa Cibinong, kecamatan Jatiluhur, dan diketuai oleh Pak Dadeng. Sistem sosial masing-masing kelompok masyarakat pada setiap kelompok masyarakat nelayan juga berpengaruh terhadap hubungan sosial yang terjadi. Hubungan sosial antar masyarakat nelayan di perairan Waduk jatiluhur dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat di wilayah tersebut. Hubungan tersebut terlihat hampir di seluruh wilayah desa dimana nelayan bertempat tinggal, dimana pedagang pengumpul Berdasarkan hubungan sosial yang terbentuk antara masyarakat nelayan dan bakul di perairan Waduk Jatiluhur terlihat bahwa status sosial antara nelayan lebih rendah daripada bakul, jika dilihat berdasarkan dimensi sosial dan ekonomi. Akibatnya, yang terjadi saat ini antara lain jaminan sosial dan jaminan ekonomi masyarakat nelayan di perairan waduk Jatiluhur terbentuk dengan adanya kelembagaan nelayan tersebut. Bakul (pedagang pengumpul ikan) pada masing-masing blok atau sub kelompok menjadi tumpuan jaminan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan tersebut, meskipun tidak terdapat ketentuan tersebut dalam aturan main kelembagaan nelayan. Jaminan sosial yang ada dan terjadi saat ini di perairan waduk Jatiluhur berupa pinjaman uang yang diperlukan masyarakat nelayan jika terjadi musibah atau keperluan berobat jika sakit. Sementara, jaminan ekonomi yang diharapkan nelayan diberikan bakul antara lain berupa pinjaman uang jika diperlukan untuk pembelian dan atau pengadaan alat dan sarana penangkapan ikan (terutama alat tangkap dan perahu), dan kebutuhan sehari-hari keluarga, terutama biaya untuk membeli bahan pangan. Jaringan sosial diantara masyarakat nelayan antar blok (sub kelompok) terlihat pula terbentuk antara lain sebagai akibat adanya sistem kekerabatan yang berasal dari hubungan kekerabatan keluarga. Jaringan sosial adalah hubungan-hubungan yang terbentuk diantara rumah tangga atau para anggota kelompok atau komunitas yang diamati (Rudito dan Famiola, 2008). Pemetaan jaringan sosial penting untuk melihat hubungan yang ada dan juga akan terdeteksi kekuatan dari masing-masing hubungan antar-individu yang berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kemudian, juga dikumpulkan data tentang relasi antara nelayan dengan aktor lainnya yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Jatiluhur. Relasi antara nelayan dengan aktor lainnya tersebut dapat diartikan sebagai relasi antar aktor. Relasi antar aktor ditentukan oleh orientasi para aktor dalam pengambilan Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 143

161 keputusan tertentu. Orientasi sosial 4 merupakan dasar masing-masing aktor dalam mengevaluasi dan mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu atau menentukan suatu pilihan dalam berinteraksi (Burns, 1987). Orientasi sosial tersebut dapat bersifat individualisme, altruisme, permusuhan, atau kerja sama. Hubungan sosial dan jaringan sosial yang diteliti terdapat dalam cakupan wilayah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Jatiluhur, terutama yang terdapat pada kelompok-kelompok nelayan dan kelompok pengawas. Sementara, relasi nelayan terhadap aktor lainnya adalah berupa; a). Relasi antara nelayan dan nelayan lainnya; b). Relasi antara nelayan dan pedagang ikan di tingkat perairan; c). Relasi antara nelayan dan pengawas perairan (satgas); Relasi antara nelayan dan nelayan lainnya lebih berorientasi pada kepentingan diri pribadi masing-masing nelayan. Hal ini tercermin dari dihapuskannya kearifan lokal pernah terbentuk di masyarakat nelayan di perairan waduk jatiluhur. Masyarakat nelayan tidak lagi berfikir untuk menjaga keberlanjutan usaha mereka di perairan ini, tetapi lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari sebagai individu nelayan. Kelembagaan kelompok nelayan bersifat semu karena tidak dibentuk berdasarkan kepentingan mereka sebagai nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya, tetapi lebih pada kepentingan penjualan produk tangkapan mereka. Hubungan antara nelayan dengan pedagang (bakul) lebih bersifat pada hubungan Patron-Client dimana posisi bandar sebagai patron berada lebih tinggi dari nelayan, baik secara sosial maupun ekonomi. Nelayan memiliki ikatan yang kuat dengan bandar tertentu dalam bentuk ikatan ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, nelayan merasa mendapat kemudahan dengan menjual produknya pada satu bandar tertentu dengan pertimbangan jarak dan dalam pengadaan sarana usaha. Bandar juga berperan memberikan pinjaman untuk pengadaan sarana usaha (alat tangkap, perahu) dengan syarat nelayan harus menjual 4 Masing-masing orientasi sosial tersebut (Burns, 1987) dapat dijelaskan sebagai berikut; a). Individualisme yaitu orientasi sosial yang bersandarkan kepada kepentingan diri pribadi; Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap alternatif-alternatif tindakan dan akibatnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan dan nilai-nilai hanya didasarkan kepada kepentingan pribadinya. b). Altruisme yaitu seseorang mengadakan evaluasi terhadap pilihan dan akibatnya untuk memenuhi pencapaian tujuan dan nilai-nilai aktor lainnya. Kepentingan pribadi disini tidak merupakan prioritas dalam pemenuhan kebutuhan terhadap alternatif pilihan untuk mencapai tujuan dan nilai-nilainya. c).permusuhan yaitu orientasi sosial yang bersandarkan pada orientasi pemikiran negatif terhadap kepentingan orang lain; Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi dan memilih tindakan-tindakan alternatif yang dapat menimbulkan kekecewaan (kehilangan atau kerugian) terhadap tujuan dan nilai-nilai bagi seorang aktor lainnya. d).kerja sama yaitu orientasi sosial yang bersandarkan kepentingan pribadi sekaligus juga berdasarkan kepada kepentingan orang lain. Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap tindakan-tindakan dan akibatnya berdasarkan maksud dan nilai-nilainya sendiri dan juga berdasarkan tujuan dan nilai aktor lainnya. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 144

162 produknya kepada bandar tersebut. Secara sosial, sebagian nelayan juga menggantungkan kebutuhan jaminan sosialnya kepada bandar dimana mereka berafiliasi. Hubungan antara nelayan dan kelompok pengawas juga relatif lemah, karena kelompok pengawas yang juga berprofesi sebagai nelayan memiliki keterbatasan jangkauan operasionalnya. Hal ini terjadi karena kelompok pengawas tidak dibentuk berdasarkan zonasi tempat tinggal nelayan. Satu-satunya kelompok pengawas, yaitu kelompok mandiri jaya berlokasi di desa Cibinong, Kecamatan Jatiluhur. Sedangkan waduk Jatiluhur sendiri mencakup beberapa kecamatan. Selain itu wilayah konservasi (reservat) yang pernah dibetuk dahulu sudah tidak berfungsi lagi sejak tahun Hal ini semakin mempersempit fungsi kelompok pengawas yang tidak lagi mengawasi operasi penangkapan di wilayah-wilayah yang sempat menjadi zona konservasi. Tugas pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan ukuran mata jaring yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebesar 2,5 inch. Akan tetapi wewenang yang dimiliki oleh kelompok pengawas juga tidak didukung oleh perangkat peraturan daerah yang memberikan wewenang kepada Pokmaswas dalam upaya penindakan. Upaya yang dilakukan terbatas pada upaya penyadaran masyarakat untuk menjaga keberlanjutan usaha perikanan tangkap oleh nelayan. Walaupun demikian upaya tersebut tidak banyak mendapatkan respon positif dari nelayan lain dengan alasan ekonomi sesaat. 3.3 Respon Masyarakat Nelayan Respon Masyarakat Nelayan Berdasarkan Hasil Diskusi Kelompok Terfokus Respon masyarakat nelayan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah pendapat atau tanggapan masyarakat nelayan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan rencana inovasi kelembagaan yang akan diterapkan kepada mereka. Inovasi kelembagaan yang dimaksud tidak lain adalah perbaikan-perbaikan dan/atau pembentukan serta penyempurnaan yang dilakukan terhadap kelembagaan yang sudah ada, baik kelembagaan dalam arti organisasi atau aturan main. Respon masyarakat dalam hal ini didapatkan pada saat pelaksanaan diskusi kelompok terfokus (FGD). Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 145

163 Respon Masyarakat Nelayan Berdasarkan Hasil FGD di Waduk Malahayu Respon masyarakat nelayan di Waduk Malahayu yang dihimpun selanjutnya berasal dari hasil kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD). Kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus/Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan terkait dengan rencana inovasi kelembagaan dalam kegiatan penelitian model pengembangan inovasi kelembagaan pengelolaan waduk dan situ dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan telah dilakukan di Kabupaten Brebes. FGD tersebut dihadiri oleh sebanyak 30 orang yang terdiri komponen masyarakat nelayan Waduk Malahayu (12 orang), instansi terkait dengan pengelolaan dan pengelolaan Waduk Malahayu (14 orang), dan Peneliti Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (4 orang). Kegiatan FGD ini pada awalnya dimaksudkan untuk mendapatakan masukan dan kesepakatan dari para peserta yang hadir mengenai: (1) Berbagai permasalahan baik teknis maupun non-teknis (ekonomi, sosial, budaya dan politik) berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah; (2) Berbagai usulan untuk mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengelolaan waduk tersebut; dan (3) Rencana (kemungkinan dilakukannnya) inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi Culture Base Fisheries (CBF) menggunakan dorongan kegiatan penebaran kembali ikan (restocking) dan penambahan unit kapal pengawasan 5. Adapun hasil dari FGD tersebut dapat dilihat pada Tabel 51. Tabel 60. Topik dan Hasil Kesepakatan FGD Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, 2011 No TOPIK HASIL KESEPAKATAN FGD A. KEGIATAN RESTOCKING 1. Jenis ikan untuk restoking Nila Hitam (nila best) 2. Saat/kapan dilakukan restoking Paling lambat akhir bulan april Lokasi/dimana dilakukan restoking (1) Lebak Salam; (2) Kracak; dan (3) Citamiang 4. Siapa yang terlibat restoking - Seluruh pengurus dan angggota kelompok nelayan - Pemda dan DPRD - Muspika Banjarharjo - Empat Kepala Desa sekitar Waduk Malahayu - BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dan LPM 5 Dalam perkembangannya rencana inovasi kelembagaan yang semula menggunakan dorongan restocking dan penambahan kapal pengawasan, kemudian menjadi ditiadakan karena kebijakan kepala Balitbang KP yang tidak memperbolehkan Satker BBRSEKP untuk mengadakan bantuan teknis (BANTEK) dan dialihkan kepada satker lain yang bersifat teknis di lingkup Balitbang KP. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 146

164 (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) masingmasing desa - Muspika Kecamatan Cibingbin - Pemda Provinsi Jateng - KKP - BBWS Cimanuk-Cisanggarung B. SARANA PENGAWASAN (PERAHU JAGA) Akan dilakukan study kelayakan (spesifikasi, proses pembuatan dan sebagainya) dengan dikordinasikan oleh DINAS KP KABUPATEN BREBES. Sumber: Hasil FGD dengan Stakeholders (2011) Berdasarkan Tabel 51, diketahui bahwa masyarakat nelayan menginginkan jenis ikan yang direstocking adalah jenis nila best, yang pelaksanaannya diharapkan dapat dilakukan pada akhir bulan April Adapaun lokasi yang disarankan untuk dilakukan restoking adalah Lebak Salam, Kracak dan Citamiang. Para peserta diskusi menginginkan berbagai pihak terlibat dalam kegiatan restoking ini, terutama seluruh pengurus dan anggota kelompok nelayan. Disamping itu, masyarakat nelayan juga menginginkan adanya keterlibatan Pemerintah daerah dan DPRD, termasuk Muspika Banjarharjo serta BPD dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat di desa-desa terkait. Selain kegiatan restoking, masyarakat nelayan juga mengharapkan adanya pengadaan sarana pengawasan berupa perahu jaga. Namun demikian, terkait dengan proses pengadaan tersebut masih perlu dilakukan studi kelayakan mencakup spesifikasi, proses pembuatan dan sebagainya yang dikoordinasikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Disamping kedua hal tersebut diatas, beberapa tanggapan yang dikemukakan oleh peserta diskusi antara lain adalah: 1. Dalam kegiatan restoking, diutamakan jenis ikan nila, sementara ikan mas dapat dijadikan alternatif. 2. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat nelayan, perlu dikembangkan warung serba ada (waserda) terutama kaitannya dengan pengadaan sarana produksi perikanan dan kebutuhan sehari-hari masyarakat nelayan. Dalam hal ini ada usul waserda seyogyanya dapat dibiayai melalui skim PUMP (Pemberdayaan Usaha Masyarakat Perdesaan). 3. Perlu pengembangan unit pengolahan hasil perikanan, terutama diperlukan pada saat panen raya atau pada saat musim penangkapan intensif. Dalam hal ini ada pula yang Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 147

165 menyarankan pengolahan ikan hasil tangkapan melalui pembuatan produk olahan dalam bentuk abon dan nugget. 4. Untuk mendukung permodalan yang diperlukan masyarakat nelayan, sudah saatnya dibentuk koperasi yang berbadan hukum Respon Masyarakat Nelayan Hasil FGD di Waduk Jatiluhur Respon masyarakat nelayan di Waduk Jatiluhur yang dihimpun selanjutnya berasal dari hasil kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD). Kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus/ Focus Group Discussion (FGD) terkait dengan rencana inovasi kelembagaan dalam kegiatan penelitian model pengembangan inovasi kelembagaan pengelolaan waduk dan situ dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan telah dilakukan di Kabupaten Purwakarta. FGD tersebut dihadiri oleh 30 orang yang terdiri komponen masyarakat nelayan Waduk Jatiluhur (12 orang), instansi terkait dengan pengelolaan dan pengelolaan Waduk Jatiluhur (12 orang), dan Peneliti Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (3 orang). Kegiatan FGD ini pada awalnya dimaksudkan untuk mendapatakan masukan dan kesepakatan dari para peserta yang hadir mengenai: (1) Berbagai permasalahan baik teknis maupun non-teknis (ekonomi, sosial, budaya dan politik) berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan Waduk jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa barat; (2) Berbagai usulan untuk mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengelolaan waduk tersebut; dan (3) Rencana (kemungkinan dilakukannnya) inovasi kelembagaan melalui penerapan teknologi Culture Base Fisheries (CBF) menggunakan dorongan kegiatan penebaran kembali ikan (restocking). Adapun hasil dari FGD tersebut dapat dilihat pada Tabel 52. Tabel 61. Topik dan Hasil Kesepakatan FGD Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, 2011 No TOPIK HASIL KESEPAKATAN FGD C. KEGIATAN RESTOCKING 1. Jenis ikan untuk restoking Nila Hitam (nila best) 2. Saat/kapan dilakukan restoking Paling lambat akhir bulan april Lokasi/dimana dilakukan restoking2 lokasi Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 148

166 Lanjutan Tabel No TOPIK HASIL KESEPAKATAN FGD D. KEGIATAN RESTOCKING 4. Siapa yang terlibat restoking - Seluruh pengurus dan angggota kelompok nelayan - Pemda dan DPRD - BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dan LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) masingmasing desa - KKP - Perum Jasa Tirta II Sumber: Hasil FGD dengan Stakeholders (2011) Berdasarkan Tabel 52, diketahui bahwa masyarakat nelayan menginginkan jenis ikan yang direstocking adalah jenis nila best, yang pelaksanaannya diharapkan dapat dilakukan pada akhir bulan April Adapun lokasi yang disarankan untuk dilakukan restoking adalah Panyindangan dan Galumpit. Para peserta diskusi menginginkan berbagai pihak terlibat dalam kegiatan restoking ini, terutama seluruh pengurus dan anggota kelompok nelayan. Disamping itu, masyarakat nelayan juga menginginkan adanya keterlibatan Pemerintah daerah, termasuk Muspika Kecamatan Sukatani dan Tegalwaru serta Perum Jasa Tirta II dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat di desa-desa terkait Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey Respon masyarakat nelayan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah pendapat atau tanggapan masyarakat nelayan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan inovasi kelembagaan yang telah dilakukan melalui pemberian materi pelatihan sebagai upaya untuk memperkuat kelembagaan. Pengumpulan respon masyarakat ini dilakukan dengan metoda survey pada kedua lokasi waduk yang akan diurakan dibawah ini Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey di Waduk Malahayu Ada dua jenis materi inovasi kelembagaan yang didapatkan oleh masyarakat nelayan, yaitu pengembangan organisasi dan pengembangan usaha. Masyarakat nelayan di Waduk Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 149

167 Skor Efektivitas Kelembagaan Malahayu cenderung lebih merespon secara positif terhadap materi pengembangan usaha dibandingkan materi pengembangan organisasi (Gambar 53). 18,00 Tinggi Sedang 14,00 10,00 Rendah 6,00 Organisasi usaha Gambar 61.Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Malahayu Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, 2011 Sumber: Data Primer diolah, 2011 Kecenderungan tersebut disebabkan karena menurut respon yang diberikan oleh masyarakat nelayan, materi yang berikatan dengan pengembangan usaha lebih mudah dipahami dan lebih memberikan manfaat dibandingkan dengan materi pengembangan organisasi (Gambar 53). Jika dilihat lebih mendalam, aspek pemahaman dan manfaat yang diperoleh dari materi pengembangan usaha direspon secara positif yang relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka dapat memahami materi dan menyadari manfaat yang mungkin akan diperoleh bila materi tersebut diterapkan. Sementara terhadap aspek dan pemahaman dari materi pengembangan organisasi oleh masyarakat nelayan di Waduk Malahayu direspon secara berbeda antara aspek pemahaman dan aspek manfaat. Dalam hal ini, masyarakat nelayan tersebut memberikan respon yang lebih positif bekaitan dengan aspek pemahaman dari pengembangan organisasi dibanding dengan aspek manfaat pengembangan organisasi. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa menurut respon yang diberikan oleh masyarakat nelayan di Waduk Malahayu, manfaat dari materi pengembangan organisasi belum dapat dirasakan secara nyata dalam kegiatan organisasi sehingga mereka cenderung lebih memberikan respon yang lebih positif terhadap aspek pemahaman dari materi tersebut. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 150

168 Skor Efektivitas Kelembagaan Skor Efektivitas Kelembagaan 9,00 Tinggi 7,00 Sedang 5,00 Rendah 3,00 Paham Organisasi Manfaat Organisasi Paham Usaha Manfaat Usaha Gambar 62. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Malahayu Terhadap aspek pemahaman dan aspek manfaat dari materi pengembangan organsiasi dan usaha dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan, 2011 Sumber: Data Primer diolah, 2011 Secara keseluruhan dari enam aspek penerapan teknologi perbenihan ikan patin di sekitar Waduk Malahayu direspon secara berbeda. Untuk aspek pemahaman teknologi dan keuntungan dari penerapan teknologi mendapat respon yang lebih positif oleh para pelaku Unit Pembenihan Rakyat (UPR) dibandingkan dengan empat aspek lainnya (penerapan teknologi, kerumitan teknologi, ketersediaan sarana prasarana, dan kecepatan memperoleh hasil). Hal ini secara rinci dapat dilihat pada Gambar ,00 Tinggi 14,00 Sedang 10,00 Rendah 6,00 Pahaman teknologi Penertapan teknologi keuntungan teknologi kerumitan teknologi Ketersediaan Sarpras Kecepatan hasil Gambar 63.Respon pelaku Unit Pembenihan Rakyat (UPR) terhadap materi penguatan kapasitas kelembagaan perbenihan di sekitar Waduk Malahayu, 2011 Sumber: Data Primer diolah, 2010 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 151

169 Skor Efektivitas Kelembagaan Bila dilihat lebih lanjut dari Gambar 55, dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan respon pelaku UPR yang tergolong rendah terhadap aspek ketersediaan Sarpras (Sarana Prasarana) dan mempunyai skor efektivitas yang paling rendah dibandingkan dengan aspek lainnya. Hal ini disebabkan untuk melaksanakan yang UPR dapatkan dalam pelatihan tersebut membutuhkan fasilitas yang memenuhi persyaratan tertentu yang sangat kompleks dan spesifik pada setiap lokasi, meskipun hal tersebut bisa mereka lakukan di BBI akan tetapi sangat terbatas dan memerlukan waktu. Dilain pihak, sarana di BBI tergolong kurang optimal untuk menunjang keberhasilan penerapan teknologi perbenihan patin tersebut Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey di Waduk Jatiluhur Ada dua jenis materi inovasi kelembagaan yang didapatkan oleh masyarakat nelayan, yaitu pengembangan organisasi dan pengembangan usaha. Masyarakat nelayan di Waduk Jatiluhur cenderung jauh lebih merespon secara positif terhadap materi pengembangan usaha dibandingkan materi pengembangan organisasi (Gambar 56). 18,00 Tinggi Sedang 14,00 10,00 Rendah 6,00 Organisasi usaha Gambar 64.Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, 2011 Sumber: Data Primer diolah, 2011 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 152

170 Skor Efektivitas Kelembagaan Kecenderungan tersebut disebabkan karena menurut respon yang diberikan oleh masyarakat nelayan, materi yang bermuatan pengembangan usaha jauh lebih mudah dipahami dan lebih memberikan manfaat dibandingkan dengan materi pengembangan organisasi (Gambar 57). Jika dilihat lebih mendalam, aspek pemahaman yang diperoleh dari materi pengembangan usaha direspon secara positif paling tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka dapat memahami materi pengembangan usaha lebih baik dan menyadari manfaat yang mungkin akan diperoleh bila materi tersebut diterapkan. Sementara aspek pemahaman dan manfaat dari materi pengembangan organisasi mempunyai tingkatan efektifitas paling rendah. Dalam hal ini, masyarakat nelayan tersebut memberikan respon yang lebih kurang baik bekaitan dengan aspek pemahaman dan aspek manfaat dari pengembangan organisasi. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa menurut respon yang diberikan oleh masyarakat nelayan di Waduk Malahayu, baik teori maupun manfaat dari materi pengembangan organisasi agak sulit untuk diterima sehingga mereka cenderung lebih memberikan respon yang kurang begitu baik terhadap aspek pemahaman dari materi tersebut. 9,00 Tinggi 7,00 Sedang 5,00 Rendah 3,00 Paham Organisasi Manfaat Organisasi Paham Usaha Manfaat Usaha Gambar 65. Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap aspek pemahaman dan aspek manfaat dari materi pengembangan organsiasi dan usaha dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan, 2011 Sumber: Data Primer diolah, 2011 Secara keseluruhan dari enam aspek penerapan teknologi perbenihan ikan patin di sekitar Waduk Jatiluhur direspon secara berbeda. Untuk aspek pemahaman teknologi, Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 153

171 Skor Efektivitas Kelembagaan keuntungan dari penerapan teknologi dan kecepatan hasil mendapat respon yang lebih positif oleh para pelaku Unit Pembenihan Rakyat (UPR) dibandingkan dengan ketiga aspek lainnya, (penerapan teknologi, kerumitan teknologi, dan ketersediaan sarana prasarana). Kerumitan teknologi mempunyai respon positif tapi tidak sebesar ketiga resepon tersebut. Hal ini secara rinci dapat dilihat pada Gambar Tinggi Sedang 14 Rendah 10 6 Pahaman teknologi Penertapan teknologi keuntungan teknologi kerumitan teknologi Ketersediaan Sarpras Kecepatan hasil Gambar 66.Respon pelaku Unit Pembenihan Rakyat (UPR) terhadap materi penguatan kapasitas kelembagaan perbenihan di sekitar Waduk Malahayu, 2011 Sumber: Data Primer diolah, 2010 Bila dilihat lebih lanjut dari Gambar 58, dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan respon pelaku UPR yang tergolong rendah terhadap aspek ketersediaan Sarpras (Sarana Prasarana) dan mempunyai skor efektivitas yang paling rendah dibandingkan dengan aspek lainnya. Hal ini disebabkan untuk melaksanakan yang UPR dapatkan dalam pelatihan tersebut membutuhkan fasilitas yang memenuhi persyaratan tertentu yang sangat kompleks dan spesifik pada setiap lokasi, meskipun hal tersebut bisa mereka lakukan di BBI akan tetapi tingkat keberhasilannya juga terbatas dan memerlukan waktu. Dilain pihak, sarana di BBI tergolong kurang optimal untuk menunjang keberhasilan penerapan teknologi perbenihan patin tersebut. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 154

172 Skor Efektivitas Kelembagaan Perbandingan Respon Masyarakat Nelayan Setelah Penguatan Kelembagaan Berdasarkan Hasil Survey di Waduk Jatiluhur dan Waduk Malahayu Kedua jenis inovasi kelembagaan (pengembangan organisasi dan pengembangan usaha), dapat terlihat bahwa masyarakat nelayan lebih cenderung merespon positif terhadap materi pengembangan usaha dibandingkan materi pengembangan organisasi pada kedua lokasi (Gambar 59). Dari Gambar tersebut terlihat bahwa respon masyarakat nelayan pada Waduk Malahayu lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat nelayan pada Waduk Jatiluhur. 18,00 Tinggi 14,00 Sedang 10,00 Rendah 6,00 Organisasi Jatiluhur Malahayu usaha Gambar 67.Respon Masyarakat Nelayan Di Waduk Jatiluhur Terhadap materi penguatan kelembagaan melalui pengembangan organisasi dan usaha, 2011 Sumber: Data Primer diolah, 2011 Kecenderungan tersebut disebabkan karena masyarakat nelayan di Waduk Malahayu memberikan respon yang lebih positif berikatan dengan materi pengembangan usaha dan manfaatnya daripada masyarakat nelayan di Waduk Jatiluhur (Gambar 60). Bahkan respon terhadap aspek manfaat dari pengembangan usaha di Waduk Jatiluhur hanya menduduki peringkat sedang saja. Jika dilihat lebih mendalam, respon keempat aspek inovasi kelembagaan di Waduk Malahayu berada dibawah respon di Waduk Jatiluhur. Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 155

Seri Data dan Informasi Sosek KP 7

Seri Data dan Informasi Sosek KP 7 Seri Data dan Informasi Sosek KP 7 Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Pengelolaan Waduk dan Situ Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pendapatan Nelayan Asnawi, dkk 1 Seri Data dan Informasi

Lebih terperinci

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN (Perairan Umum Daratan) Tim Penelitian : Zahri Nasution

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKE HOLDER) WADUK SEMPOR DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN YANG BERKELANJUTAN. Fuquh Rahmat Shaleh*

ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKE HOLDER) WADUK SEMPOR DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN YANG BERKELANJUTAN. Fuquh Rahmat Shaleh* ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKE HOLDER) WADUK SEMPOR DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN YANG BERKELANJUTAN Fuquh Rahmat Shaleh* Fakultas Perikanan Universitas Islam Lamongan Jl. Veteran no. 53A

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 126 VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 8.1 Pembelajaran Dari Sistem Lelang Lebak Lebung Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan

Lebih terperinci

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Kode penelitian: 0.13 Disversifikasi Pengolahan Catfish sebagai Aneka Makanan Ringan untuk Pengembangan Usaha Kecil Menengah Dra. Th. Dwi Suryaningrum, MS; Ir.Ijah Muljanah, MS Suryanti, S.Pi, M.Si; Prof.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ALSINTAN PENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS HASIL KENTANG

PENGEMBANGAN ALSINTAN PENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS HASIL KENTANG KODE JUDUL: X-130 PENGEMBANGAN ALSINTAN PENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS HASIL KENTANG KEMENTERIAN PERTANIAN Perekayasa/ Peneliti: Dr. Ir. Teguh Wikan Widodo, MSc Ir. M. Hidayat Ir. D.A.Budiman,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Konsep yang diajukan dalam penelitian ini adalah konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders yang

Lebih terperinci

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN 2013/11/02 08:31 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan PEMANTAPAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN Mendiskusikan sistem penyuluhan perikanan yang membumi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN FORUM KONSULTASI PUBLIK DI LINGKUNGAN UNIT PENYELENGGARA PELAYANAN

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA PENERAPAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA OLAHAN HASIL LAUT DI KAB.

EXECUTIVE SUMMARY INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA PENERAPAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA OLAHAN HASIL LAUT DI KAB. KODE JUDUL : I.227 EXECUTIVE SUMMARY INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA PENERAPAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA OLAHAN HASIL LAUT DI KAB. KUPANG NTT KEMENTERIAN/LEMBAGA: LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo, APi, MPS Anggota Komisi Penyuluhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Lokasi dan Waktu

METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Lokasi dan Waktu METODE KAJIAN Sifat dan Tipe Kajian Komunitas Rancangan penelitian yang dilakukan dalam melakukan kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2005) penelitian kualitatif adalah penelitian

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KOTA SEMARANG. 2.1 Profil Singkat Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KOTA SEMARANG. 2.1 Profil Singkat Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KOTA SEMARANG 2.1 Profil Singkat Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang merupakan badan atau organisasi

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT Rika Astuti, S.Kel., M. Si rika.astuti87@yahoo.com Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan

Lebih terperinci

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegiatan Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) merupakan

Lebih terperinci

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegiatan Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) merupakan

Lebih terperinci

Pengembangan Sumberdaya Ekowisata Bahari Berbasis Masyarakat di Lombok Barat

Pengembangan Sumberdaya Ekowisata Bahari Berbasis Masyarakat di Lombok Barat O.30 Pengembangan Sumberdaya Ekowisata Bahari Berbasis Masyarakat di Lombok Barat Sri Suryo Sukoraharjo Luh Putu Ayu Savitri Chitra Kusuma Ariani Andayani Vivi Yovita Indriasari Hendra Yusran Siry Kementerian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DIBIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN UMUM DARATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegiatan Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) merupakan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian.

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian. BAB III METODA PENELITIAN 3.. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Agustus 20. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Luwu, di 7 (tujuh) kecamatan yaitu

Lebih terperinci

[ nama lembaga: Kementerian Hukum dan HAM RI ] 2012

[ nama lembaga: Kementerian Hukum dan HAM RI ] 2012 logo lembaga [ kode kegiatan: M.5. ] [ judul kegiatan: PERLINDUNGAN HAK ANAK DALAM SISTEM PEMBINAAN DAN PENGAWASAN (PEMBIMBINGAN DAN PENDAMPINGAN) ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI BALAI PEMASYARAKATAN]

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SERANG RINCIAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN

PEMERINTAH KABUPATEN SERANG RINCIAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN Urusan Pemerintahan : 2 Urusan Pilihan Bidang Pemerintahan : 2. 05 Kelautan dan Perikanan Unit Organisasi : 2. 05. 01 DINAS KELAUTAN, PERIKANAN, ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL Sub Unit Organisasi : 2. 05.

Lebih terperinci

Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan. Program Inovasi Desa (PID)

Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan. Program Inovasi Desa (PID) Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan Program Inovasi Desa (PID) 2017 1 Selayang Pandang SOP Percepatan PID Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan Program Inovasi Desa (PID) sebagai langkah

Lebih terperinci

Bab 7 FORMULASI STRATEGI DAN KEBIJAKAN UNTUK MENGEFEKTIFKAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN

Bab 7 FORMULASI STRATEGI DAN KEBIJAKAN UNTUK MENGEFEKTIFKAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN Bab 7 FORMULASI STRATEGI DAN KEBIJAKAN UNTUK MENGEFEKTIFKAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN Strategi dan kebijakan merupakan hal yang memiliki peran penting dalam suatu permasalahan yang terjadi serta

Lebih terperinci

DOKUMEN PELAKSANAAN PERUBAHAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. PEMERINTAH KABUPATEN SERANG Tahun Anggaran 2015

DOKUMEN PELAKSANAAN PERUBAHAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. PEMERINTAH KABUPATEN SERANG Tahun Anggaran 2015 DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Formulir DPPA SKPD 2.2 PEMERINTAH KABUPATEN SERANG Tahun Anggaran 2015 Urusan Pemerintahan : 2 Urusan Pilihan Bidang Pemerintahan : 2. 05 Kelautan

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. Efektivitas strategi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

3.1.1 Tahap Persiapan Pada tahap ini rencana kerja yang akan dilakukan meliputi tahap tahap antara lain sebagai berikut.

3.1.1 Tahap Persiapan Pada tahap ini rencana kerja yang akan dilakukan meliputi tahap tahap antara lain sebagai berikut. BAB 3.1 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan 3.1.1 Tahap Persiapan Pada tahap ini rencana kerja yang akan dilakukan meliputi tahap tahap antara lain sebagai berikut. 1) Pekerjaan Persiapan Awal (a) (b) (c) (d)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PENDAMPINGAN PROGRAM KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI PROVINSI BENGKULU

PETUNJUK PELAKSANAAN PENDAMPINGAN PROGRAM KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI PROVINSI BENGKULU PETUNJUK PELAKSANAAN PENDAMPINGAN PROGRAM KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI PROVINSI BENGKULU BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU 2013 1 PETUNJUK PELAKSANAAN NOMOR : 26/1801.018/011/E/JUKLAK/2013

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DA TAHUN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANA

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DA TAHUN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANA RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DA TAHUN 2018-2021 DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANA No Tujuan OPD Indikator Tujuan Sasaran OPD Indikator Sasaran (impact) Program/ Kegiatan Indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Balangan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Balangan STRATEGI SANITASI KABUPATEN (SSK) I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi sesungguhnya masih menjadi isu strategis di Indonesia. Tidak hanya di tingkat masyarakat, namun juga pada sisi para pengambil

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KOTA SEMARANG. 2.1 Profil Singkat Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KOTA SEMARANG. 2.1 Profil Singkat Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KOTA SEMARANG 2.1 Profil Singkat Dinas Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang Dinas Kelautan dan Perikanan adalah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.

Lebih terperinci

PENDEDERAN IKAN PATIN DI KOLAM OUTDOOR UNTUK MENGHASILKAN BENIH SIAP TEBAR DI WADUK MALAHAYU, BREBES, JAWA TENGAH

PENDEDERAN IKAN PATIN DI KOLAM OUTDOOR UNTUK MENGHASILKAN BENIH SIAP TEBAR DI WADUK MALAHAYU, BREBES, JAWA TENGAH Media Akuakultur Volume 7 Nomor 1 Tahun 2012 PENDEDERAN IKAN PATIN DI KOLAM OUTDOOR UNTUK MENGHASILKAN BENIH SIAP TEBAR DI WADUK MALAHAYU, BREBES, JAWA TENGAH Septyan Andriyanto *), Evi Tahapari **), dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 29 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lokasi pencadangan pembangunan HTR di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang yang secara administratif terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 30 METODOLOGI PENELITIAN Metode Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pilihan strategi studi kasus. Menurut Moleong (2005), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

PENGANTAR. Ir. Suprapti

PENGANTAR. Ir. Suprapti PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan tersusunnya Rencana Strategis Direktorat Alat dan Mesin Pertanian Periode 2015 2019 sebagai penjabaran lebih lanjut Rencana Strategis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.01/MEN/2011 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT PELATIHAN MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

Kementerian Pertanian 2012

Kementerian Pertanian 2012 ANALISIS PERILAKU PETANI DALAM MENGANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM PADA BERBAGAI AGROEKOLOGI DI MALUKU UTARA Peneliti: Dr. Ir. Moh. Ismail Wahab, M.Si. Miskat Ramdani, SP, MSi Ahmad Yunan Arifin, SPt, MSi Hermawati

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SUKAMARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

Lebih terperinci

Monitoring Dampak Sosial Kawasan Konservasi Laut Daerah Bahan Wawancara Inform Kunci v 2.0 (September 2011)

Monitoring Dampak Sosial Kawasan Konservasi Laut Daerah Bahan Wawancara Inform Kunci v 2.0 (September 2011) Monitoring Dampak Sosial Kawasan Konservasi Laut Daerah Bahan Wawancara Inform Kunci v 2.0 (September 2011) Michael B. Mascia, Fitry Pakiding and Louise Glew. World Wildlife Fund US, Washington, D.C.,

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, TUGAS POKOK DAN SUSUNAN ORGANISASI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO, Menimbang:

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegiatan Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) merupakan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 36 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Landasan Filosofis Pemanfaatan sumber daya perikanan PULL tanpa memperhatikan proses alam dalam menyediakan sumber daya perikanan tersebut adalah suatu perbuatan yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.44, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Industrialisasi. Kelautan. Perikanan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya perikanan yang belum banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

2 Kegiatan usaha perikanan, khususnya perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh Nelayan Kecil dan Pembudiday

2 Kegiatan usaha perikanan, khususnya perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh Nelayan Kecil dan Pembudiday No.5719 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI SUMBER DAYA ALAM. Pembudidaya. Ikan Kecil. Nelayan Kecil. Pemberdayaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 166). PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

FASILITASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA MALANG - TAHUN

FASILITASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA MALANG - TAHUN LAPORAN KEGIATAN FASILITASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA MALANG - TAHUN 2008 BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MALANG Jl. Teluk Cendrawasih 1, Malang Telp

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tengang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negar

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tengang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negar KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. /MEN/SJ/2016 TENTANG PEDOMAN TEKNIS MONITORING DAN EVALUASI TERPADU PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong percepatan

Lebih terperinci

[I.75. [Rekayasa rantai Makanan untuk Meningkatkan Produktivitas Biota Perairan pada. Sistem Aliran Tertutup]

[I.75. [Rekayasa rantai Makanan untuk Meningkatkan Produktivitas Biota Perairan pada. Sistem Aliran Tertutup] [I.75 [Rekayasa rantai Makanan untuk Meningkatkan Produktivitas Biota Perairan pada Sistem Aliran Tertutup] [ Drs. Tjandra Chrismadha, M.Phill Ir. Fachmijany Sulawesty Dra. Awalina, M.Si. Ir. Gunawan Pratama

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

Lebih terperinci

URAIAN PENDAPATAN , Pendapatan Asli Daerah ,00

URAIAN PENDAPATAN , Pendapatan Asli Daerah ,00 PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINCIAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH,ORGANISASI, PENDAPATAN,BELANJA DAN PEMBIAYAAN TAHUN ANGGARAN 2015 URUSAN PEMERINTAHAN : 2.05. - KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG - 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Materi Ruang lingkup materi yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kajian pengetahuan/persepsi masyarakat, berisi mengenai pandangan

Lebih terperinci

DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR Tahun Anggaran 2017

DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR Tahun Anggaran 2017 DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Formulir DPA SKPD 2.2 PEMERINTAH KABUPATEN TANAH DATAR Tahun Anggaran 207 Urusan Pemerintahan : 2. 0 Urusan Wajib Bukan Pelayanan Dasar Pangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 29 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LUMAJANG NOMOR 77 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MANAJEMEN PERUBAHAN. Johnson K Rajagukguk, SH, MH (Kepala Badan Keahlian DPR RI)

MANAJEMEN PERUBAHAN. Johnson K Rajagukguk, SH, MH (Kepala Badan Keahlian DPR RI) MANAJEMEN PERUBAHAN Johnson K Rajagukguk, SH, MH (Kepala Badan Keahlian DPR RI) GAMBARAN UMUM AGENDA Salah satu tonggak penting pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah ditetapkannya budaya unggul Religius,

Lebih terperinci

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 81 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 81 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 81 TAHUN 2016 TENTANG RINCIAN TUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI, DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN DARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MASYARAKAT DI LOMBOK BARAT

PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MASYARAKAT DI LOMBOK BARAT PENGEMBANGAN SUMBERDAYA EKOWISATA BAHARI BERBASIS MASYARAKAT DI LOMBOK BARAT Peneliti Utama : Sri Suryo Sukoraharjo Peneliti Anggota : Luh Putu Ayu Savitri Chitra Kusuma Ariani Andayani Vivi Yovita Indriasari

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masalah Sanitasi, khususnya sanitasi di perkotaan adalah isu yang sampai hari ini belum terselesaikan secara maksimal bahkan sehingga sangat memerlukan perhatian semua

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 608 TAHUN 2003 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PERTANIAN, KEHUTANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN JEMBRANA BUPATI JEMBRANA,

KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 608 TAHUN 2003 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PERTANIAN, KEHUTANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN JEMBRANA BUPATI JEMBRANA, KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 608 TAHUN 2003 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PERTANIAN, KEHUTANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN JEMBRANA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

Pengembangan Klaster Industri Pariwisata & Pangan di Kabupaten Gunung Kidul

Pengembangan Klaster Industri Pariwisata & Pangan di Kabupaten Gunung Kidul logo lembaga SIDa.F.50 Pengembangan Klaster Industri Pariwisata & Pangan di Kabupaten Gunung Kidul Dr. Anugerah Widiyanto, M.Eng. Ir. Ismariny, M.Sc. Wenny Oktaviani, SE., MSM Prof. Dr. Sumaryanto Ir.

Lebih terperinci

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan

Lebih terperinci

SIDa F 24. Dr. Ir. Suhendar I Sachoemar, MSi Ir. Nenie Yustiningsih, MSc Wisnu Sujatmiko, APi, MS Dra. Jeni Hariyanti Drs. Dedy Roesmajadi, MM

SIDa F 24. Dr. Ir. Suhendar I Sachoemar, MSi Ir. Nenie Yustiningsih, MSc Wisnu Sujatmiko, APi, MS Dra. Jeni Hariyanti Drs. Dedy Roesmajadi, MM SIDa F 24 KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT SECARA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA Dr. Ir. Suhendar I Sachoemar, MSi Ir. Nenie

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Blitar 2005-2025

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Blitar 2005-2025 BAB I PENDAHULUAN A. UMUM Di era otonomi daerah, salah satu prasyarat penting yang harus dimiliki dan disiapkan setiap daerah adalah perencanaan pembangunan. Per definisi, perencanaan sesungguhnya adalah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN (RESEARCH DESIGN).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN (RESEARCH DESIGN). BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN (RESEARCH DESIGN). Rancangan (design) riset studi ini dilakukan dengan melalui beberapa tahapan pelaksanaan, sebagaimana tertuang pada tabel berikut

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2012 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN ATAU

Lebih terperinci