BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan pembulian, pola asuh orangtua, remaja, kerangka berpikir dan hipotesis. 2.1 Pembulian Definisi Pembulian Bauman (2008, dalam Indira, 2011) mendefinisikan pembulian sebagai berikut : (1) Sebuah perilaku agresif yang ditandai oleh tiga kondisi yang menentukan yaitu (a) perilaku negatif atau berbahaya yang bertujuan untuk menyakiti atau mencelakai, (b) perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang selama periode waktu tertentu, dan (c) terdapat ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan antara pihak yang terlibat (Olweus, 1993). (2) Adanya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang sistematis (Smith & Sharp, 1994). (3) Terpaparnya individu secara berulang terhadap interaksi negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang dominan. Bahaya yang terjadi dapat disebabkan karena perlakuan langsung secara fisik maupun psikis, dan/atau secara tidak langsung melalui proses penguatan atau penghindaran oleh penonton kejadian (Twemlow, Fonagy, & Sacco, 2004) (dalam Indira, 2011). 12

2 13 Sullivan (2000) menambahkan salah satu unsur dari tindakan pembulian adalah ditinggalkannya pengalaman sakit pada korban, baik secara fisik maupun psikologis. Sama halnya dengan pendapat Coloroso (2007), bahwa pembulian memiliki empat unsur berikut : 1. Ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku pembulian bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar dan lebih kuat.pembulian bukan perkelahian yang melibatkan dua pihak yang memiliki kekuatan yang seimbang. 2. Adanya niat untuk menyakiti. Pembulian menyebabkan adanya tekanan emosional atau luka fisik, atau bahkan keduanya. Pelaku akan merasa senang ketika melihat korban tertekan dan terluka. 3. Ancaman agresi lebih lanjut. Pembulian tidak dilakukan hanya sekali. Pelaku dan korban sama-sama mengetahui bahwa tindakan pembulian dapat terjadi berulang-ulang. Jika ketiga unsur di atas terjadi terus-menerus tanpa henti dan justru meningkat intensitasnya, maka unsur keempat akan muncul, yaitu : 4. Teror. Ketika teror yang dilakukan oleh pelaku telah berhasil menghantui korban, maka teror bukan hanya menjadi cara pembulian, tetapi telah menjadi tujuan pembulian. Sekali teror tercipta, maka pelaku tidaka akan takut akan adanya pembalasan atau pemberontak dari korban pembulian.

3 14 Hal ini sejalan dengan pengertian pembulian dari SEJIWA (2008) bahwa pembulian selalu dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, bukan hanya secara ukuran fisik, tapi bisa juga secara mental. Hal yang paling penting dari tindakan pembulian adalah perasaan terintimidasi, tidak senang atau tersakiti yang dirasakan korban harus terwujud. Jika tidak ada perasaan perasaan tersebut, maka tindakan tersebut tidak dapat dikatakan tindakan pembulian. Berdasarkan temuan-temuan riset yang telah dilakukan peneliti sebelumnya (dalam SEJIWA, 2008), terdapat tiga pihak yang terlibat dalam pembulian, antara lain : 1. Pelaku pembulian (bullies). Merupakan pihak utama yang memicu terciptanya pembulian. Pelaku pembulian juga merupakan provokator, agresor, sekaligus inisiator dalam pembulian. 2. Korban pembulian (victims). Korban bukan merupakan pihak yang pasif dalam pembulian. Sebenarnya, mereka juga turut memelihara dan menjaga situasi pembulian tetap terjadi dengan bersikap diam. Sikap diam tersebut dilatarbelakangi dengan pemikiran apabila ia melaporkan pembulian yang menimpanya, hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, serta kepercayaan dirinya bahwa ia pantas menerima pembulian tersebut, dan keyakinan bahwa orangtua dan guru tidak dapat menangani pembulian tersebut. 3. Saksi pembulian (bystander). Saksi berperan dengan dua cara, yaitu menyoraki dengan aktif serta mendukung pelaku

4 15 pembulian, atau diam dan bersikap acuh tak acuh. Saksi pembulian yang aktif menertawakan dan menyoraki korban pembulian yang sedang dianiaya, sebenarnya telah menjadi anggota kelompok yang dipimpin oleh pelaku pembulian. Saksi pembulian memberikan motivasi bagi pelaku pembulian untuk melancarkan aksinya dan membuatnya semakin menjadi-jadi. Sedangkan saksi yang diam dan acuh tak acuh, ia melakukannya karena takut. Karena, jika dia melakukan intervensi, maka dia akan turut menjadi korban saat itu juga maupun nanti. Namun, tidak semua anak dapat dengan mudah dikategorikan semata-mata sebagai pelaku atau korban dari pembulian. Hasil penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa 15 sampai 20 persen siswa merupakan korban pembulian secara rutin (Batsche & Knoff, 1994; Demaray & Malecki, 2003). Demikian juga, 8 sampai 20 persen siswa merupakan pelaku pembulian secara rutin (Haynie et al., 2001 dalam Demaray & Malecki, 2003). Namun, terdapat 4 sampai 7 persen dari siswa yang mengaku bahwa mereka adalah pelaku maupun korban pembulian (dalam Demaray & Malecki, 2003). Schwartz (2000) mengemukakan bahwa terdapat empat kategori kelompok dari pembulian, antara lain : (1) semata-mata pelaku (pure bullies), orang atau siswa yang hanya mengintimidasi atau menganiaya anak lainnya; (2) semata-mata korban (pure victims), orang atau siswa yang hanya menjadi korban pembulian dari anak lainnya, yang lebih kuat secara fisik dan/atau psikologis; (3) pelaku maupun korban (bully-victims), orang atau siswa yang terlibat dalam situasi pembulian dengan menjadi

5 16 pelaku pembulian bagi korban yang lebih lemah darinya dan juga menjadi korban pembulian bagi pelaku pembulian yang lebih kuat darinya; dan (4) bukan pelaku maupun korban (neutral children), orang atau siswa yang tidak terlibat menjadi pelaku maupun korban pembulian (Dukes, Stein & Warren, 2007) Karakteristik Pelaku dan Korban Pembulian Karakteristik Pelaku Karakteristik dari pelaku pembulian yang khas adalah dengan adanya perilaku agresi terhadap teman-teman mereka. Bahkan, perilaku agresi tersebut juga ditujukan terhadap orang dewasa, baik guru maupun orangtua mereka. Biasanya, pelaku juga memiliki sikap yang lebih positif terhadap kekerasan dan lebih sering menggunakan kekerasan dalam kegiatan sehariharinya dibandingkan dengan siswa lainnya (Olweus, 1993). Mereka juga memiliki rasa empati yang rendah terhadap orang lain, sehingga mereka tidak dapat membayangkan perasaan orang yang dianiaya atau disiksa oleh mereka (SEJIWA, 2008). Dalam melakukan perilaku agresi tersebut, pelaku juga merasa senang saat menyakiti korbannya (Astuti, 2008). Sejalan dengan definisi pembulian yang dipaparkan sebelumnya, bahwa terdapatnya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat dalam pembulian, maka dapat dipastikan bahwa pelaku merupakan individu yang dominan (Sullivan, 2000). Untuk siswa laki-laki, mereka cenderung memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan anak laki-laki pada

6 17 umumnya, terutama korban (Olweus, 1993). Sedangkan untuk siswa perempuan, mereka cenderung memiliki kontrol atas tercipta dan terpecahnya sebuah kelompok (cliques) (MacMullin & Owens, 1995, dalam Sullivan, 2000). Ketidakseimbangan kekuatan ini digunakan oleh pelaku untuk membuat korban merasa tertekan (Astuti, 2008). Karakteristik umum lainnya adalah bahwa pelaku cenderung lebih tua dari korban, yang merupakan jenis lain dari dominasi (Sullivan, 2000) Karakteristik Korban Pada korban pembulian (Byrne, 1999) ditemukan bahwa korban memilik perasaan bersalah, malu, dan gagal karena mereka tidak dapat mengatasi masalah pembulian mereka (dalam Sullivan, 2000). Mereka juga sering merasa cemas, tidak bahagia, serta ketakutan, dan cenderung lebih neurotik dibandingkan anak lainnya. Smith (1999) menemukan bahwa korban juga cenderung kurang populer dibandingkan anak-anak lainnya dan lebih senang menyendiri, terlihat dari kurangnya aktivitas bermain mereka dengan anak-anak lainnya dan kurang berkembangnya kemampuan sosial mereka (dalam Sullivan, 2000). Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dapat diidentifikasi dengan akurat bahwa mereka merupakan korban, dan biasanya mereka akan terus menjadi korban selama beberapa tahun, walaupun mereka pindah sekolah (Olweus, 1993 dalam Sullivan, 2000).

7 Jenis-jenis Pembulian Bauman (2008, dalam Indira, 2011) membagi jenis pembulian menjadi tiga jenis besar, yaitu : 1. Pembulian terbuka (overt bullying). Pembulian terbuka lebih mudah untuk disaksikan secara langsung, dan terdiri dari : (a) Pembulian secara fisik, merupakan jenis pembulian yang kasat mata karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dan korban pembulian (SEJIWA, 2008). Contoh dari pembulian secara fisik antara lain menampar, menimpuk, menginjak kaki, melempar dengan barang, menghukum dengan menyuruh berlari keliling lapangan, mendorong hingga jatuh, dan lainnya, serta (b) Pembulian secara verbal, merupakan jenis pembulian yang bisa tertangkap oleh indera pendengaran kita (SEJIWA, 2008). Misalnya dengan memberikan nama julukan, mengancam, menghina, memaki, meneriaki, dan mempermalukan di hadapan umum. 2. Pembulian tidak langsung (indirect bullying). Pembulian tipe ini meliputi agresi relasional, dimana bahaya ditimbulkan oleh pelaku dengan cara menghancurkan hubungan hubungan yang dimiliki oleh korban. Misalnya, pengucilan, menyebarkan gosip dan meminta pujian atau suatu tindakan tertentu sebagai balas budi dari persahabatan

8 19 yang diberikan, memandang sinis, serta mencibir. SEJIWA (2008) mengungkapkan bahwa tipe pembulian ini paling berbahaya karena tidak tertangkap dengan mata atau telinga kita, sehingga kita menjadi susah mendeteksi tindakan pembulian yang terjadi. 3. Pembulian maya (cyber bullying). Pembulian ini melibatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi seperti surat elektronik, telpon seluler, pesan pendek (SMS), situs web pribadi yang menghancurkan reputasi seseorang, dengan maksud untuk mendukung perilaku menyerang seseorang atau sekelompok orang agar orang tersebut tersakiti secara berulang kali Penyebab Terjadinya Pembulian Tindakan pembulian tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor lingkungan, sekolah, keluarga, media, budaya, teman bermain, dan bahkan pribadi anak itu sendiri (Priyatna, 2010). Menurut Priyatna (2010) terdapat 2 faktor yang memberikan kontribusi kepada seorang anak untuk melakukan tindakan pembulian. 1. Faktor keluarga Kurangnya akan kehangatan, pengawasan dan tingkat kepedulian orangtua yang rendah terhadap anaknya,

9 20 dianggap memberikan kontribusi dalam perkembangan anak untuk melakukan tindakan pembulian. Pola asuh orangtua yang terlalu keras sehingga anak menjadi akrab dengan suasana yang mengancam, atau sebaliknya, pola asuh yang terlalu permisif sehingga anak bebas melakukan tindakan apa saja yang dia mau, juga dapat mengembangkan perilaku pembulian pada anak. Dalam bertindak, orangtua yang kerap member contoh perilaku kekerasan, baik disengaja atau tidak juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan perilaku agresifnya sehingga tidak menutup kemungkinan anak akan menirunya menjadi tindakan pembulian. 2. Faktor pergaulan Dalam lingkup pergaulan, tindakan pembulian sering dilakukan. Biasanya, anak yang suka bergaul dengan pelaku pembulian atau dengan anak yang suka kekerasan, cenderung untuk menjadi pelaku pembulian juga. Pembulian juga sering dilakukan untuk meningkatkan status sosialnya dalam pergaulan, agar diakui dan dihargai oleh lingkup pergaulannya. Faktor lain penyebab pembulian terjadi di sekolah, dikarenakan pihak sekolah tidak menaruh perhatian pada tindakan tersebut, juga maraknya contoh perilaku kekerasan di berbagai

10 21 media yang dikonsumsi oleh anak, seperti televisi, film atau video game (Priyatna, 2010). Astuti (2008) mengasumsikan bahwa tindakan pembulian kerap terjadi di sekolah karena adanya : 1. Perbedaan ekonomi, agama, gender, etnisitas/rasisme dan kelas sosial. 2. Adanya tradisi senioritas, dimana hal tersebut justru diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat laten. Bagi mereka tradisi senioritas ini dilakukan untuk hiburan, penyaluran dendam, iri hati, atau mencari popularitas, melanjutkan tradisi atau untuk menunjukkan kekuasaan. 3. Keluarga yang tidak rukun. Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu yang menderita depresi, kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak, perceraian atau ketidakharmonisan orangtua dan ketidakmampuan sosial ekonomi merupakan penyebab tindakan agresi yang signifikan (dalam Magfirah & Rachmawati, 2009). 4. Situasi sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif. 5. Karakter individu atau kelompok, seperti dendam, iri hati, adanya keinginan untuk menguasai korban dengan kekuatan fisik atau daya tarik seksual, dan

11 22 untuk meningkatkan popularitas di antara teman sepermainannya. 6. Adanya nilai persepsi yang salah atas perilaku korban. Korban pembulian banyak yang merasa bahwa diri mereka pantas menerima perlakuan pembulian tersebut karena anggapan adanya tradisi senioritas tersebut, sehingga mendiamkan saja perlakuan yang kerap terjadi berulang kali tersebut dan tidak melaporkannya kepada pihak sekolah Dampak Terhadap Pelaku dan Korban Pembulian Dampak Terhadap Pelaku Rigby (1996) menemukan bahwa remaja yang diidentifikasikan sebagai pelaku, memiliki keterlibatan dalam bentuk-bentuk perilaku antisosial lainnya, seperti mengutil, bolos, menggambar graffiti dan memiliki masalah dengan aparat keamanan (polisi) (dalam Sullivan, 2000). Studi lain di Amerika menemukan bahwa remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku pembulian pada masa sekolah, pada usia 30-an berkemungkinan memiliki catatan kriminal sebesar 25 persen (dalam Sullivan, 2000) Dampak Terhadap Korban Penelitian menunjukkan bahwa korban cenderung untuk menerima konsekuensi jangka panjang. Isolasi dan eksklusi yang sering menyertai intimidasi yang dilakukan

12 23 pelaku tidak hanya menolak interaksi sosial dan permainan anak, tetapi juga menyebakan mereka merasa tidak kompeten dan tidak menarik. Korban sulit untuk membentuk hubungan yang baik dan cenderung kurang berhasil dalam pencapaian akademik mereka (Olweus, 1978 dalam Sullivan, 2000). Dari segi emosional, korban biasanya selalu merasa ketakutan, terasing, marah, malu, putus asa, tidak berdaya, sakit, sedih, bodoh, jelek dan tidak berguna. Dari segi fisik, mereka dapat mengalami patah tulang, patah gigi, dan lainnya bahkan kerusakan otak permanen akibat pembulian yang mereka terima (dalam Sullivan, 2000). 2.2 Pola Asuh Orangtua Pola asuh merujuk pada bagaimana orangtua bersikap disekitar anak anaknya. Pola asuh juga ditentukan oleh bagaimana cara orangtua menanggapi kebutuhan dan tuntutan anak, cara mereka mendisiplikan anak, dan dampak yang diberikan bagi perkembangan anak selanjutnya (dalam Ijaz & Mahmood, 2009). Mengasuh anak merupakan hal yang universal, tetapi pola pengasuhan bervariasi dari budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Sebuah cara bagaimana orangtua mengekspresikan rasa cinta, perhatian, kasih saying dan control terhadap anaknya mungkin berbeda-beda di setiap keluarga. Para psikolog banyak memberikan pandangan mengenai pola asuh yang menghasilkan perkembangan sosial yang tepat bagi remaja. Namun, pandangan Diana Baumrind yang paling dikenal, Baumrind mengidentifikasi tiga jenis cara

13 24 menjadi orangtua, yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial remaja antara lain : 1. Otoriter (Authoritarian) Pengasuhan dengan gaya yang bersifat menghukum dan membatasi di mana orangtua sangat berusaha agar remaja mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati segala keputusan, pekerjaan dan usaha yang telah dilakukan orangtua. Orangtua menetapkan batasan-batasan daan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan keinginan anak-anaknya secara verbal (dalam Santrock, 2007). Orangtua tipe ini juga kurang sensitif, fleksibel dan cenderung membuat banyak aturan dan batasan pada anak mereka, juga terlalu mengharapkan kedewasaan, ketaatan serta kepatuhan anak. Sehingga mereka cenderung memiliki prestasi akademis yang kurang baik, tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah dan menujukkan agresi, serta pengunaan obat-obatan yang lebih tinggi (Steinberg et al., 1994 dalam Greening, Luebbe, & Stoppelbein, 2010). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Diana Baumrind yang menemukan bahwa anak yang dididik dengan pola asuh otoritatif sering berperilaku yang kurang tepat dan kompeten secara sosial, cenderung khawatir mengenai perbandingan sosial, kurang memiliki inisiatif dan memiliki kemampuan komunikasi yang buruk (dalam Santrock, 2007).

14 25 2. Otoritatif (Authoritative) Pola pengasuhan ini mendorong anak-anak mereka untuk mandiri, tetapi dengan tetap menetapkan batasan-batasan dan mengendalikan tindakan mereka. Mereka juga memberikan kesempatan pada anak-anaknya untuk berdialog secara verbal, sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapat dan keinginanannya (dalam Santrock, 2007). Sejalan dengan penyataan lain bahwa pola asuh otoritatif cenderung fleksibel, sensitif, bersikap hangat dan mengasuh anaknya. Sehingga orangtua dapat meningkatkan kemandirian anaknya, namun tetap menekankan tuntutan wajar pada mereka (Steinberg et al., 1994 dalam Greening, Luebbe, & Stoppelbein, 2010). Anak-anak yang diasuh dengan pola asuh otoritatif cenderung menunjukkan prestasi akademis dan perilaku yang baik, memiliki hubungan dengan teman sebaya yang akrab (Steinberg et al., 1994 dalam Greening, Luebbe, & Stoppelbein, 2010). Mereka juga tumbuh menjadi remaja yang kompeten secara sosial, mandiri, percaya diri, dan memiliki harga diri yang tinggi, serta bertanggung jawab secara sosial (dalam Santrock, 2007). 3. Permisif (Permissive) Umumnya, dengan pengasuhan ini orangtua tidak berusaha mengontrol anaknya, membiarkan anak - anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri, dan tidak menuntut anak - anak untuk mematuhi standar peraturan yang ditetapkan oleh orangtua. Orangtua dengan pengasuhan sifat permisif biasanya tidak menggunakan hukuman atau kekerasan dalam mengasuh anak (Baumrind, 1966).

15 26 Belakangan ini, para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan bersifat permisif terdiri dari dua macam yaitu bersifat permisif memanjakan dan bersifat permisif tidak peduli (Maccoby & Martin, 1983, dalam Santrock 2003). a. Pengasuhan permisif-memanjakan Merupakan suatu pola di mana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Orangtua permisif-memanjakan mengijikan anak melakukan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, anak memiliki masalah dengan ketidakmampuan sosialnya, karena tidak belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka dan selalu berharap mendapatkan apa yang mereka inginkan. b. Pengasuhan permisif-tidak peduli Merupakan suatu pola di mana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Sehingga anak memiliki masalah dengan pengendalian diri dan tidak dapat menangani kebebasannya dengan baik. 2.3 Remaja Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin yaitu adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1990). Remaja mempunyai arti yang cukup luas, seperti pandangan Piaget (dalam Hurlock, 1990) bahwa masa remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dimana anak merasa berada pada tingkat yang sama (dalam masalah hak) dengan orang yang lebih tua. Dengan kata lain, masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara anak dan dewasa yang

16 27 mencakup perubahan biologis, sosial, dan kognitif. Pada tahun 1974, World Health Organization (WHO) memberikan batas usia tahun sebagai batasan usia remaja dengan dua bagian yaitu usia tahun sebagai remaja awal, dan remaja akhir dengan usia tahun (Sarwono, 2002). Sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan usia tahun sebagai usia remaja. Hurlock (1990) memberikan batasan usia remaja pada rentang usia 13 tahun hingga 18 tahun, yang merupakan usia matang secara hukum. Di Indonesia sendiri, rentang usia remaja berada pada rentang tahun (Sarwono, 2000) dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa usia 11 tahun anak sudah mengalami tanda-tanda perkembangan seksual sekunder (fisik) dan batas usia 24 merupakan batas maksimal anak menggantungkan diri pada orangtua seecara adat/tradisi. Dalam penelitian ini batasan usia yang digunakan mulai dari 15 tahun dengan asumsi usia anak masuk SMA hingga usia 18 tahun. Menurut Hurlock (1990) banyak faktor yang mempengaruhi remaja dalam bersikap dengan lingkungannya, terutama dengan teman sebayanya. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah keluarga, dalam hal ini adalah pola asuh orangtua yang diterapkan pada remaja di rumah.

17 Kerangka Berpikir Otoritatif Semata-mata Pelaku Otoriter Semata-mata Korban Permisif (memanjakan & mengabaikan) Pelaku maupun Korban Bukan Pelaku maupun Korban Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Perilaku kekerasan anak-anak di Indonesia, khususnya pembulian masih marak terjadi dan terus meningkat. Hal ini diperkuat oleh data dari KPA yang menemukan bahwa aksi pembulian di sekolah telah terjadi sebanyak 472 kasus pada tahun 2009 ( Ruang Eksekusi, 2009). Pembulian tersebut justru muncul dalam format-format yang telah dilegalkan oleh instansi pendidikan yang bersangkutan, seperti Masa Orientasi Siswa (MOS), acara regenerarisasi kegiatan ekstrakurikuler, atau bentuk-bentuk acara lainnya, yang tidak pernah disadari menjadi ajang pembulian ( Awas Bullying, 2007). Dalam acara MOS, regenerarisasi, Latihan Dasar Kepemimpinan Sekolah (LDKS) banyak menerapkan sistem senioritas yang kental. Survei yang dilakukan oleh Plan Indonesia dan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) pada 2008 mencatat bahwa 67,9 persen siswa SMA mengaku bahwa ada tindak kekerasan yang terjadi di sekolah mereka, dengan 43,7 persen pelakukanya adalah sesama siswa ( Young Hearts, 2010).

18 29 Salah satu karakteristik dari perilaku pembulian adalah adanya perilaku agresi yang membuat pelaku senang untuk menyakiti korbannya (Rigby, 1996 dalam Astuti, 2008). Faktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi yang menimbulkan kemarahan dan memicu seseorang untuk melakukan tindakan agresi kepada orang lain, yang merujuk pada perilaku pembulian. Pada remaja, rasa frustasi dapat muncul karena adanya tekanan dari orangtua yang menginginkan anaknya tunduk dan patuh dalam sikap pola asuh otoriter mereka (Sarwono, 2002 dalam Fortuna 2008). Santrock (2007) menjabarkan bahwa orangtua otoriter menetapkan batasan-batasan dan kedali tegas terhadap anak mereka, serta kurang memberikan peluang untuk berdialog secara verbal. Mereka cenderung mengeluarkan kalimat perintah seperti, Lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali. Tidak ada diskusi! Orangtua dengan pola asuh otoriter juga menerapkan pola asuh dengan kekerasan dan memberikan sesuatu yang bersifat menghukum (Smith & Myron- Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Sesuai dengan pendapat Farrington (2000) bahwa pola asuh orangtua memiliki kemungkinan berkorelasi dengan perilaku pembulian pada anak, sehingga anak yang berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, cenderung menjadi pelaku pembulian (Smith & Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Namun, penelitian mengenai pola asuh orangtua yang yang terkait dengan bagaimana seorang anak menjadi korban pembulian masih memuat banyak hasil yang bertentangan. Temuan lain menunjukkan bahwa pola asuh permisif cenderung menjadikan anak kesulitan dalam membatasi perilaku agresif mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian (Miller et al, 2002 dalam Georgiou, 2008). Pola asuh permisif terdiri dari dua macam yaitu permisif yang bersifat memanjakan dan permisif yang bersifat mengabaikan

19 30 (Maccoby & Martin, 1983 dalam Santrock, 2003). Pola asuh permisif memanjakan membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan, tanpa memberikan kendali terhadap mereka. Sehingga, pada saat remaja mereka tidak pernah belajar untuk mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap agar keinginannya dituruti. Orangtua yang mengasuh dengan pola ini, memiliki pemikiran bahwa dengan kombinasi sedikitnya pembatasan yang diberikan dan kelekatan yang terjadi, akan menghasilkan remaja yang percaya diri. Namun, pengasuhan ini justru berkaian dengan rendahnya kompetensi sosial remaja, khususnya dalam pengendalian diri (Santrock, 2007). Serupa dengan permisif bersifat memanjakan, pola asuh permisif bersifat mengabaikan juga menghasilkan remaja yang tidak kompeten secara sosial, tidak menyikapi kebebasan dengan baik dan memiliki pengendalian diri yang buruk. Remaja yang diasuh dengan pola asuh permisif bersifat mengabaikan merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orangtuanya lebih penting dari dirinya, sehingga kebutuhan akan perhatian dari orangtuanya tidak pernah terpenuhi (Santrock, 2007). Orangtua yang menerapkan pola asuh ini bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai dimana keberadaan dan apa kegiatan anaknya (Santrock, 2003). Dengan tidak adanya pengawasan, batasan kendali dan perhatian dari orangtua yang menerapkan sistem pola asuh permisif, memiliki kemungkinan pada anak remaja mereka untuk mengembangkan perilaku agresif mereka dan melakukan tindakan pembulian. Bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya, peneliti lain menemukan bahwa pola asuh orangtua yang permisif memprediksi anak cenderung menjadi korban pembulian, dan pola asuh orangtua yang otoriter

20 31 memprediksi anak cenderung menjadi pelaku pembulian (Baldry & Farrington, 2000; Kaufmann et al, 2000, dalam Georgiou, 2008). Rican, Klicperova dan Koucka (1993) mengamati bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua dengan pola pengasuhan otoritatif dengan mendukung kemandirian dan otonomi anaknya, cenderung kurang terlibat dalam perilaku pembulian (Ahmed & Braithwaite, 2004). Orangtua dengan pola pengasuhan ini memberikan kesempatan berdialog secara verbal dan bersikap hangat. Seperti contoh (Santrock, 2007) mengenai bagaimana seorang ayah dengan pola asuh otoritatif berbicara dengan anak remajanya secara terbuka, Kamu tahu bahwa kamu seharusnya tidak melakukan itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana caranya agar kamu mampu menangani situasi macam ini dengan lebih baik. Para remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan otoritatif biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial yang baik (Santrock, 2007). Reuter & Conger (1995) juga menyatakan bahwa orangtua otoritatif mencapai keseimbangan yang baik antara pengendalian, otonomi, pemberian peluang kepada remajanya untuk mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak mereka (Santrock, 2007). Dengan demikian, berdasarkan sumber literatur di atas menunjukkan bahwa adanya hubungan antara satu pola asuh yang spesifik dengan satu kecenderungan perilaku pelaku-korban pembulian. Saat ini, peneliti ingin melihat hubungan secara integratif antara pola asuh dengan kecenderungan perilaku pelaku-korban pembulian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perilaku kekerasan yang menimpa anak di Indonesia, masih tetap

BAB 1 PENDAHULUAN. Perilaku kekerasan yang menimpa anak di Indonesia, masih tetap BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perilaku kekerasan yang menimpa anak di Indonesia, masih tetap menghantui dari waktu ke waktu dan terus meningkat. Berdasarkan pemberitaan surat kabar nasional yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu proses penting dalam usaha mengembangkan potensi pada anak. Melalui proses pendidikan, seorang anak diharapkan dapat mengembangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying. 1. Pengertian bullying. Menurut Priyatna (2010), bullying merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku kepada korban yang terjadi secara berulang-ulang dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Bullying 2.1.1. Pengertian Bullying Beberapa tokoh mengemukakan bullying dalam berbagai definisi yang beragam. Sullivan (2000) menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pengertian Bullying Bullying adalah perilaku negatif seseorang atau lebih kepada korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan perilaku, pengalaman dan pengetahuan peserta didik. Banyak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying Bullying merupakan aktifitas sadar, dan bertujuan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut dan menciptakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Bullying 2.1.1. Pengertian Bullying Bullying merupakan salah satu dari manifestasi perilaku agresif, Krahe (dalam Suharto, 2014) menyebutkan bahwa terdapat 3 jenis manifestasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian 1. Pengertian Kecenderungan Perilaku Bullying Pengertian perilaku bullying masih menjadi perdebatan dan belum menemukan suatu definisi yang diakui secara universal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Sosial 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Sosial Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,. BAB I RENCANA PENELITIAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan periode perkembangan yang sangat banyak mengalami krisis dalam perkembangannya. Masa ini sering juga disebut dengan masa transisi karena remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bullying 2.1.1 Pengertian Bullying Agresifitas menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang ditujukan untuk menyakiti

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya yang cukup marak akhir-akhir ini adalah kasus kekerasan atau agresivitas baik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Begitu banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahrga Daerah Istimewa Yogyakarta Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dari anak-anak menuju dewasa, dimana terjadi kematangan fungsi fisik, kognitif, sosial, dan emosional yang cepat pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Pustaka BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Persepsi Manusia sebagai makhluk yang memiliki pemikiran yang beragam, maka pasti memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam melihat suatu masalah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, BAB I PENDAHULUAN Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat penelitian serta mengulas secara singkat mengenai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA JENIS POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN MENJADI PELAKU DAN/ATAU KORBAN PEMBULIAN PADA SISWA-SISWI SMA DI JAKARTA SELATAN

HUBUNGAN ANTARA JENIS POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN MENJADI PELAKU DAN/ATAU KORBAN PEMBULIAN PADA SISWA-SISWI SMA DI JAKARTA SELATAN HUBUNGAN ANTARA JENIS POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN MENJADI PELAKU DAN/ATAU KORBAN PEMBULIAN PADA SISWA-SISWI SMA DI JAKARTA SELATAN Mutiara Pertiwi & Juneman, S.Psi., M.Si. BINUS University,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING BAB I PENDAHULUAN Pokok bahasan yang dipaparkan pada Bab I meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penelitian. A.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Istilah pubertas juga istilah dari adolescent yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek yang mendukung maju tidaknya suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada dengan pendapat

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa. 12 BAB I Pendahuluan I.A Latar Belakang Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja tidak termasuk golongan anak tetapi tidak pula golongan dewasa. Remaja

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola asuh 2.1.1 Definisi pola asuh Dalam keluarga terdapat pola pengasuhan anak, Wahyuning,et al.( (2005) mendefinisikan pola asuh sebagai cara atau perlakuan orang tua yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anak Anak a. Pengertian Anak adalah aset bagi suatu bangsa, negara dan juga sebagai generasi penerus yang akan memperjuangkan cita-cita bangsa dan menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang lemah, mudah

Lebih terperinci

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta Aning Az Zahra Prodi Psikologi/Fakultas Psikologi dan Humaniora, Univarsitas Muhammadiyah Magelang Email: aningazzahra@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tindak kekerasan dapat muncul dimana saja, seperti di rumah, di sekolah, maupun masyarakat. Kekerasan yang terjadi di sekolah dikenal dengan sebutan aksi bullying.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti melahirkan anak, merawat anak, menyelesaikan suatu permasalahan, dan saling peduli antar anggotanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kekerasan bukanlah fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan siswa salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. bukanlah sekedar masalah kekerasan biasa. Tindakan ini disebut bullying,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. bukanlah sekedar masalah kekerasan biasa. Tindakan ini disebut bullying, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying Kata bullying yang merupakan bahasa Inggris, berasal dari kata bully yang artinya ialah mengganggu dan juga menggertak orang yang lebih

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang variabel-variabel dimana didalamanya terdapat definisi, faktor dan teori dari masing-masing variabel dan juga berisi tentang hipotesis penelitian ini. 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini fenomena kekerasan sudah menjadi suatu tradisi yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Tak seharipun media massa melewatkan pemberitaan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orangtua. Fenomena yang sering terjadi di sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG. GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG Dyna Apriany ABSTRAK Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, sekolah sering diberitakan dengan permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi lingkungan aman, nyaman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Adolescence (remaja) merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia, karena masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA SMA CHRISTIN Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Semakin hari kita semakin dekat dengan peristiwa kekerasan khususnya bullying yang dilakukan terhadap siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Masa anak usia sekolah merupakan masa dimana anak mulai mengalihkan perhatian dan hubungan dari keluarga ke teman-teman sebayanya. Pada masa sekolah anak lebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami perubahan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa perubahan ini terjadi diantara usia 13 dan 20 tahun

Lebih terperinci

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PERKEMBANGAN SOSIAL : KELUARGA S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PENGANTAR Keluarga adalah tempat dan sumber perkembangan sosial awal pada anak Apabila interaksi yang terjadi bersifat intens maka

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini

Lebih terperinci

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah (School Violence) Oleh : Nandang Rusmana Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan di Sekolah Faktor psikologis (hiperaktivitas, konsentrasi terhadap masalah,

Lebih terperinci

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Selamat membaca, mempelajari dan memahami

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA ABSTRAKSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi dan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Masa remaja merupakan tahap perkembangan individu yang ditandai dengan transisi atau peralihan antara masa anak dan dewasa, meliputi perubahan biologis, kognitif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Komunikasi Rakhmat (1992) menjelaskan bahwa komunikasi berasal dari bahasa latin communicare, yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan. Thoha (1983) selanjutnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan sumberdaya alam yang melimpah. Namun dengan ketiga potensi yang dimilikinya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterikatan antarmanusia adalah wujud harfiah yang telah ditetapkan sebagai makhluk hidup. Hal demikian ditunjukkan dengan sifat ketergantungan antara satu individu

Lebih terperinci