BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu proses penting dalam usaha mengembangkan potensi pada anak. Melalui proses pendidikan, seorang anak diharapkan dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada diri mereka dan membentuk kepribadian yang dimiliki secara maksimal sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat. Pendidikan dapat diperoleh pada saat berada dirumah bersama orang tua dan disekolah bersama guru. Sekolah merupakan tempat yang ideal untuk penyelenggaraan pendidikan dan mengembangkan potensi pada anak. Di sekolah seorang anak tidak hanya mengembangkan potensi kognitif, akan tetapi juga mengembangkan kemampuan emosional, moral dan psikososial. Seorang anak dapat belajar berhitung sekaligus belajar menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan teman seusia dan belajar berperilaku sesuai dengan tata tertib yang berlaku disekolah. Sekolah tidak hanya dapat menjadi tempat yang sesuai untuk mengembangkan potensi anak. Akan tetapi, sekolah juga dapat menimbulkan stressor-stressor yang dapat menganggu perkembangan pada seorang anak. Salah satu stressor yang dapat mengganggu perkembangan diri anak adalah adanya perilaku kekerasan di sekolah. Sebagian pihak sekolah dan orang tua mengganggap kekerasan di sekolah merupakan fenomena yang biasa terjadi disekolah. Padahal, kekerasan di sekolah dapat menimbulkan berbagai masalah bagi seorang anak. 1

2 2 Perilaku kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang lain yang terjadi dilingkungan sekolah (Riauskina dkk, 2005). Kekuasaan yang dimaksudkan dalam pengertian diatas adalah adanya budaya senioritas antara adik kelas dengan kakak kelas, bahwa kakak kelas memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan adik kelas. Pengertian agresif sendiri adalah suatu serangan, serbuan atau tindakan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau benda (Chaplin, 2006). Kekerasan dan perilaku agresif memiliki kesamaan dalam melakukan serangan kepada orang lain, akan tetapi ada perbedaan antara kekerasan dan perilaku agresif yang terletak pada jangka waktunya. Kekerasan terjadi secara berkelanjutan dengan waktu yang lama, sehingga menyebabkan korbannya terus menerus dalam keadaan cemas dan terintimidasi sedangkan perilaku agresif dilakukan hanya dalam waktu satu kali kesempatan dan dalam waktu yang pendek (Krahe, 2005). Maraknya kasus-kasus perilaku kekerasan di lingkungan sekolah sudah menjadi permasalahan yang mendunia, perilaku kekerasan juga terdapat di negara-negara maju contohnya seperti di Amerika Serikat dan Jepang. Beberapa fakta di Amerika Serikat tentang perilaku kekerasan di sekolah dikutip dari National Institute for Children and Human Development, pada tahun 2001 bahwa lebih dari 16% murid mengaku menjadi korban kekerasan di sekolah oleh murid yang lain. Sedangkan menurut Elliot (2005), bahwa 6 dari setiap 10 anak usia sekolah pernah melakukan kekerasan atau menjadi korban kekerasan di sekolah.

3 3 Di Jepang, menurut Richard Werly dalam tulisannya Persecuted Even On The Playground For Liberation 2001 bahwa 10% murid yang stress karena mengalami kekerasan, sudah pernah melakukan bunuh diri paling tidak satu kali. Pada Januari 1999, Marie Bentham (8 tahun), seorang siswa sekolah dasar di Inggris, menggantung diri di kamar tidurnya dengan alat lompat talinya karena merasa tak mampu lagi menghadapi kekerasan di sekolahnya. Marie Bentham dianggap sebagai korban bunuh diri termuda akibat kekerasan di sekolah di Inggris (Coloroso, 2007) Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8 hingga 16 tahun menunjukkan bahwa hingga 8% hingga 38% siswa adalah korban kekerasan di sekolah (McEachern dkk, 2005). Sementara itu, menurut Swearer & Doll (2001) bahwa angka kejadian dunia untuk kekerasan pada remaja di sekolah adalah sekitar 10% siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) hingga 27% siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) tercatat sering mengalami kekerasan. Penelitian terhadap usia 11 hingga 16 tahun di Spanyol, terhadap 25% anak yang mengaku melakukan kekerasan pada teman-teman di sekolah, disampaikan juga bahwa lakilaki lebih agresif dan lebih banyak terlibat dalam perilaku kekerasan daripada perempuan (McEachern dkk, 2005). Kasus perilaku kekerasan juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2005 Fifi Kusrini (13 tahun), siswi SMPN 10 Bekasi nekad bunuh diri karena sering diejek sebagai anak tukang bubur. Pada tahun 2006, Linda Utami (15 tahun) siswi kelas 2 SLTPN 12 Jakarta ditemukan gantung diri di rumahnya. Sebelum bunuh diri, Linda diketahui depresi karena sering diejek teman-temannya lantaran pernah

4 4 tidak naik kelas (Sejiwa, 2010). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Sejiwa terhadap lebih dari orang pelajar dan guru di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta, menunjukkan bahwa setiap sekolah pasti ada kasus kekerasan mulai dari yang ringan hingga berat (Sejiwa, 2010). Selain itu, menurut Aris Merdeka Sirait sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa kasus kekerasan cukup tinggi di tahun 2011 terdapat 139 kasus dan di tahun 2012 terdapat 39 kasus yang ditemukan di lingkungan sekolah (DetikNews, 2012). Bukti lain mengenai fenomena kekerasan yang menjadi temuan di lapangan adalah di SMA Negeri Karangpandan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru bimbingan konseling, terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh siswa senior terhadap siswa junior di sekolah tersebut. Penyalahgunaan wewenang tersebut seperti menertibkan siswa junior dengan kekerasan fisik sehingga siswa junior menjadi takut dengan siswa yang lebih senior, pemalakan serta perkelahian yang diakibatkan karena salah paham. Selain itu, selama mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) siswa junior mengalami tindak kekerasan seperti didorong dan ditendang apabila perintah dari siswa senior tidak dilaksanakan, dipermalukan di depan umum, dan diancam. Sehingga, dalam kegiatan MOS di sekolah tersebut menjadi ajang balas dendam dan sudah menjadi tradisi secara turun menurun. Berdasarkan fenomena di atas, bahwa beberapa pihak sekolah menganggap masalah tersebut belum dianggap serius karena masih terjadi berulang-ulang. Biasanya masalah tersebut dianggap serius dan dikatakan sebagai perilaku

5 5 kekerasan di sekolah ketika perilaku tersebut telah mengakibatkan timbulnya cedera atau masalah fisik pada murid yang menjadi korban kekerasan tersebut. Padahal dari definisi kekerasan di sekolah sendiri tidak terbatas pada tindakan kekerasan yang menyebabkan cedera fisik semata. Secara psikis juga akan terganggu, sehingga akan mengalami trauma secara psikis. Penelitian yang dilakukan oleh Damantari (2011) menyebutkan mengenai bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, kekerasan tersebut terjadi di kalangan (SMA) Sekolah Menengah Atas. Bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, antara lain : menghina, menyoraki, melempar barang dengan sengaja, memukul, memanggil nama dengan julukan, dengan sengaja menginjak kaki atau mendiamkan teman. Dengan demikian, berdasarkan penelitian tersebut bahwa kekerasan tidak hanya menyerang secara fisik seseorang tetapi juga secara psikis dan mengakibatkan psikis seseorang akan menjadi terganggu. Perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasari. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dapat menyebabakan memunculkan perilaku kekerasan adalah faktor keluarga, lingkungan (rumah dan sekolah), dan teman sebaya. Sedangkan faktor internal meliputi karakteristik kepribadian dan adanya sifat pengganggu yang dimiliki oleh individu. Sifat penganggu muncul apabila terjadi interaksi yang kurang baik antara sesama teman serta kurangnya identifikasi kelompok. Seperti diketahui, anak pada masa sekolah akan mengalami perkembangan dalam hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk sebuah kelompok yang terdiri dari anak-anak yang memiliki usia serta minat yang sama (Wong dkk, 2009).

6 6 Memahami masalah perilaku kekerasan, tidak terlepas dari memahami pelaku dan korban kekerasan. Diketahui bersama, bahwa kekerasan bisa terjadi dimana saja, bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif yang beragam, sehingga pelaku dan korban bisa berasal dari kedua belah pihak laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Menteri Pendidikan Nasional periode tahun Bambang Sudibyo yang menyatakan bahwa kekerasan muncul dimana-mana. Kekerasan tidak memilih umur atau jenis kelamin korban (Astuti, 2008). Biasanya yang menjadi korban adalah kelompok laki-laki atau kelompok perempuan yang lemah secara fisik dibandingkan dengan kelompok sebanya. Selain itu, yang menjadi korban kekerasan adalah kelompok yang lebih muda (yunior). Korban laki-laki lebih sering mendapat kekerasan secara fisik, akan tetapi apabila korban perempuan lebih sering mendapat kekerasan secara tidak langsung, seperti melalui kata-kata. Hubungan antara pelaku dan korban kekerasan terdapat perbedaan kekuatan yang tidak seimbang, sehingga korban pada kondisi yang tidak berdaya untuk mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterima oleh korban. Hal ini sesuai dengan pernyataan Olweus (dalam Philips & Cornell, 2011) bahwa adanya ketidakseimbangan kekuatan tersebut mengakibatkan pelaku akan mencederai, mengancam atau mempermalukan korban. Dengan demikian, seseorang dikatakan sebagai korban apabila dihadapkan pada tindakan yang negatif dari seseorang atau lebih, dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu.

7 7 Byrne (dalam Sullivan, 2000) menyatakan bahwa korban kekerasan merasa malu, merasa bersalah dan merasa gagal karena tidak dapat mengatasi tindak kekerasan. Selain itu, korban kekerasan akan selalu merasa tidak bahagia, mengalami kecemasan, ketakutan dan selalu mengalami ketegangan lebih dari batas normal. Sehingga, korban merasa sangat dirugikan dari segi akademis yaitu anak akan merasa terganggu dalam kegiatan belajar, menurunkan prestasi disekolah dan minat belajar. Kehadiran korban perilaku kekerasan di sekolah seringkali memunculkan masalah bagi pihak sekolah. Dalam kegiatan di sekolah, korban seringkali ditemukan takut untuk bersekolah. Hal ini terlihat dari tingginya absensi korban untuk sekolah akibat keinginan korban untuk menghindar dari kemungkinan dirinya terluka secara fisik akibat adanya kekerasan di sekolah. sehingga, dengan terjadi kekerasan disekolah dapat menimbulkan trauma dan akan mengalami gangguan pada proses belajar. Salah faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan adalah situasi di lingkungan sekolah, situasi di sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan di sekolah (Astuti,2008). Situasi yang terjadi dalam lingkungan sekolah yang diciptakan oleh pola hubungan antarpribadi dalam sekolah merupakan bagian dari iklim sekolah (Koehler dkk, 1981). Iklim sekolah sangat mendukung terjadinya perilaku kekerasan, apabila guru dan berbagai pihak sekolah yang bersikap tidak peduli dan mengabaikan perilaku kekerasan sehingga perilaku tersebut akan meningkat. Dengan meningkatnya perilaku tersebut, korban yang ditimbulkan akan semakin tinggi. Korban akan merasa tidak diperhatikan, sehingga mengalami ketakutan dan

8 8 bersikap tertutup terhadap guru. Hal tersebut akan membuat siswa menyimpan masalah dan tidak menceritakan kepada guru karena takut apabila tidak dipercaya sehingga menimbulkan resiko bagi siswa yang menjadi mengalami kekerasan. Menurut Sergiovanni & Startt (dalam Hadiyanto, 2004) iklim sekolah merupakan karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri psikologis dari suatu sekolah tertentu yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah yang lain dalam mempengaruhi tingkah laku guru dan murid sekaligus mempengaruhi perasaan psikologis yang dimiliki guru dan murid di sekolah tertentu. Dengan demikian nampak jelas bahwa peran sekolah memberikan pengaruh terhadap tingkah laku seorang murid di sekolah, terutama dalam menjalin hubungan interaksi antara murid satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan adanya iklim sekolah yang mendukung menjadikan perilaku kekerasan akan berkurang terutama terjadi pada korban. Pencapaian akademik yang rendah dan pemahaman yang rendah tentang iklim sekolah juga berkaitan dengan tindak kekerasan di sekolah (Milson & Gallo, 2006). Berdasarkan pernyataan Espelage & Swearer (2009) iklim sekolah merupakan faktor yang penting dalam mempertimbangkan bagaimana keyakinan siswa mengenai kekerasan, gambaran tentang peran dari orang dewasa, dan karakteristik kepribadian yang menyebabkan teradinya kekerasan di sekolah. Sebuah studi mengungkapkan bahwa sekolah yang memiliki standar akademis yang tinggi, keterlibatan orang tua yang tinggi, dan disiplin yang efektif, maka kecenderungan tindak kekerasan di sekolah akan lebih sedikit (Ma dalam Santrock, 2007)

9 9 Berbagai pihak sekolah, terutama pada guru dan murid dituntut untuk menciptakan iklim sekolah yang aman, dapat berinteraksi dengan baik dan menyadari perbedaan setiap individu di dalam lingkungan sekolah. Sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya kekerasan di lingkungan sekolah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti Magfirah dan Rachmawati (2010), menyatakan bahwa semakin negatif iklim sekolah semakin tinggi pula kecenderungan perilaku kekerasan terjadi dan sebaliknya semakin positif iklim sekolah semakin rendah pula kecenderungan perilaku kekerasan. Faktor personal yang mempengaruhi kekerasan adalah harga diri (O Connell, 2003). Harga diri merupakan tingkat individu terhadap kepuasan dirinya, menerima dirinya, menghargai dirinya, dan mencintai dirinya, sehingga dapat dikatakan bahwa harga diri merupakan tingkat kebanggaan individu terhadap dirinya sendiri (Setiawan, 2005). Harga diri bukanlah faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk dari suatu pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Dalam interaksi ini setiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi setiap individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri. Sarwono dan Meinarno (2009) menyatakan bahwa harga diri dapat mempengaruhi tingkah laku individu. Branden (1992) mengungkapkan bahwa harga diri adalah evaluasi atau penilaian individu terhadap kemampuan dan keberhargaan dirinya. Apabila individu menilai dirinya sendiri sebagai orang yang

10 10 tidak berharga, maka perilakunya akan menunjukkan ketidakberhargaan tersebut. Begitu juga sebaliknya apabila individu yang menganggap dirinya berharga dan bermanfaat, maka individu akan berusaha yakin terhadap dirinya. Setiap individu memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri, terutama pada individu yang menjadi korban kekerasan di sekolah. Casidy (2009) berpendapat bahwa korban kekerasan di sekolah memperlihatkan level distress psikologi yang tinggi, perilaku tidak sehat, dukungan yang rendah dari orang tua maupun guru, gaya pemecahan masalah yang buruk, dan identitas sosial yang rendah. Apabila kekerasan di sekolah tetap dibiarkan maka dapat mengganggu keadaaan psikologis sehingga korban memiliki harga diri yang rendah. Hal tersebut diperkuat dengan sebuah studi longitudinal bahwa individu yang menjadi korban kekerasan di sekolah maka mereka memiliki harga diri yang rendah dan lebih depresi (Olweus dalam Santrock, 2007). Menurut Rosenberg & Owens (dalam Mruk, 2006) karakteristik individu yang memiliki harga diri rendah adalah hypersensitivity, tidak stabil, kepercayaan diri yang kurang, lebih memperhatikan perlindungan terhadap ancaman daripada mengaktualisasikan kemampuan dan menikmati hidup, depresi, pesimis, kesepian dan mengasingkan diri. Dengan demikian, korban kekerasan di sekolah biasanya memiliki harga diri yang rendah. Korban biasanya akan memandang dirinya tidak berharga. Perasaan tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga, dan keadaan fisiknya. Sehingga korban memiliki interaksi sosial yang

11 11 rendah dengan teman-temannya, menganggap sebagai anak yang tidak popular, dan kemampuan sosial korban dengan teman sebayanya kurang. Korban yang memiliki harga diri rendah biasanya akan bersikap patuh dan pasif kepada pelaku. Sikap patuh akan ditujukan dengan mengikuti keinginan pelaku, sedangkan bersikap pasif hanya diam dan tidak melakukan apa-apa ketika kekerasan terjadi pada dirinya. Menurut Coutrney dkk (2003) bahwa sikap patuh dan pasif yang ditujukan korban seringkali membuat korban tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, teman-teman sebayanya akan lebih menghindari korban karena meraka takut akan menjadi korban berikutnya. Sikap pasif korban akan cenderung menarik diri dalam hubungan dengan teman-teman sebayanya. Sehingga korban memilih untuk menunggu ajakan teman daibandingkan untuk berinisiatif memulai pembicaraan. Akibatnya korban tidak memiliki banyak teman di sekolah, seringkali merasa kesepian dan tidak betah berada di sekolah. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. Alasan pemilihan SMA Negeri Karangpandan sebagai tempat penelitian karena berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru bimbingan konseling, ditemukan beberapa fakta yang berkaitan dengan penelitian ini. Lebih lanjut, pemilihan siswa kelas XI sebagai subjek penelitian didasarkan atas beberapa alasan. Siswa kelas XI masuk ke dalam kategori remaja pertengahan, hal ini sesuai dengan pernyataan Monks, dkk (2004) bahwa remaja pertengahan berkisar pada usia 15 sampai 18 tahun. Pada masa remaja, terjadi perubahan baik fisik, psikis, maupun sosial yang pesat dan berbeda dari masa sebelumnya. Perilaku

12 12 kekerasan sebagai bagian pola perilaku antisosial yang berhubungan dengan peningkatan kemungkinan perilaku menyimpang di masa remaja (Krahe, 2005). Selain itu, siswa XI adalah siswa junior yang biasanya menjadi sasaran perilaku kekerasan disekolah karena memiliki kekuasaan yang rendah dibandingkan siswa senior dan siswa XI juga pernah mengalami MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah yang dilakukan oleh siswa senior. Berdasarkan uraian mengenai perilaku kekerasan, iklim sekolah dan harga diri yang telah dijelaskan serta krusialnya masalah tersebut pada masa remaja, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan dari ketiga variabel tersebut. Oleh karena itu, penulis berinisiatif melakukan penelitian dengan judul : Hubungan Antara Iklim Sekolah Dan Harga Diri Dengan Perilaku Kekerasan pada Siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan? 2. Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan? 3. Apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan?

13 13 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. 2. Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. 3. Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain : 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan memberikan pengembangan referensi di bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan dan psikologi sosial dalam memahami fenomena kekerasan di sekolah kaitannya dengan pandanganpandangan ilmu psikologi pendidikan dan psikologi sosial mengenai iklim sekolah dan harga diri. 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu pengetahuan mengenai iklim sekolah, harga diri dan perilaku kekerasan, yang selanjutnya dapat memberi masukan untuk meningkatkan kualitas pribadi menjadi lebih baik b. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran jelas berupa data empiris mengenai hubungan antara iklim

14 14 sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan, yang selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam mendidik anak pada masa remaja. c. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan sekaligus dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya, khususnya penelitian mengenai kekerasan di sekolah dengan pengembangannya dengan variabel-variabel lain yang lebih kompleks

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa. 12 BAB I Pendahuluan I.A Latar Belakang Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja tidak termasuk golongan anak tetapi tidak pula golongan dewasa. Remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,

Lebih terperinci

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan perilaku, pengalaman dan pengetahuan peserta didik. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, BAB I PENDAHULUAN Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat penelitian serta mengulas secara singkat mengenai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap negara pasti memerlukan generasi penerus untuk menggantikan generasi lama. Bangsa yang memiliki generasi penerus akan tetap diakui keberadaannya, oleh

Lebih terperinci

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING BAB I PENDAHULUAN Pokok bahasan yang dipaparkan pada Bab I meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penelitian. A.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan sumberdaya alam yang melimpah. Namun dengan ketiga potensi yang dimilikinya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, kasus tindak kekerasan semakin marak terjadi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di tempat yang rawan kriminalitas saja tetapi juga banyak terjadi di berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada periode ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan sebuah tahap perkembangan manusia dimana seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini adalah masa krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kekerasan di lingkungan pendidikan atau sekolah ini telah menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, 16% siswa kelas akhir mengatakan bahwa mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orangtua. Fenomena yang sering terjadi di sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dalam masyarakat industri modern adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja berlangsung dari usia 10 atau 11 tahun sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyesuaian diri lainnya Damon dkk (dalam Santrock, 2003). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyesuaian diri lainnya Damon dkk (dalam Santrock, 2003). Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri merupakan kunci untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan pribadi, pekerjaan dan sosial. Di dalam kehidupan setiap individu akan mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian 1. Pengertian Kecenderungan Perilaku Bullying Pengertian perilaku bullying masih menjadi perdebatan dan belum menemukan suatu definisi yang diakui secara universal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini fenomena kekerasan sudah menjadi suatu tradisi yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Tak seharipun media massa melewatkan pemberitaan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kekerasan bukanlah fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan siswa salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian perilaku bullying Randall (2002) berpendapat bahwa Bullying dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya.

Lebih terperinci

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,. BAB I RENCANA PENELITIAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah remaja merupakan suatu masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan membawa kehancuran bagi remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas dan ambang dewasa.

Lebih terperinci

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING PADA SISWA SMA CHRISTIN Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Semakin hari kita semakin dekat dengan peristiwa kekerasan khususnya bullying yang dilakukan terhadap siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global depresi merupakan penyebab nomor satu penyakit dan kecacatan pada remaja usia 10-19 tahun (WHO, 2014). Depresi adalah gangguan suasana perasaan, perubahan

Lebih terperinci

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA ABSTRAKSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi dan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemahaman tentang pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang erat dalam proses sejarah kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam. Ia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk memberikan pengajaran kepada siswa atau murid di bawah pengawasan guru dan kepala sekolah. Di dalam sebuah institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Masa anak usia sekolah merupakan masa dimana anak mulai mengalihkan perhatian dan hubungan dari keluarga ke teman-teman sebayanya. Pada masa sekolah anak lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan periode perkembangan yang sangat banyak mengalami krisis dalam perkembangannya. Masa ini sering juga disebut dengan masa transisi karena remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang tidak hanya mengajarkan peserta didiknya pengetahuan secara kognitif akan tetapi juga mengajarkan kepada peserta didiknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek yang mendukung maju tidaknya suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada dengan pendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya mereka dapat menggantikan generasi terdahulu dengan sumber daya manusia, kinerja dan moral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan mental memiliki arti penting dalam kehidupan seseorang, dengan mental yang sehat maka seseorang dapat melakukan aktifitas sebagai mahluk hidup. Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan dengan berbagai macam masalah yang menghadang di hadapannya.dari masalah yang ringan seperti mencontek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya yang cukup marak akhir-akhir ini adalah kasus kekerasan atau agresivitas baik

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anak Anak a. Pengertian Anak adalah aset bagi suatu bangsa, negara dan juga sebagai generasi penerus yang akan memperjuangkan cita-cita bangsa dan menentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Begitu banyaknya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fenomena yang akhir-akhir ini sangat memprihatinkan adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan berita harian di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying. 1. Pengertian bullying. Menurut Priyatna (2010), bullying merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku kepada korban yang terjadi secara berulang-ulang dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri,

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri, 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Harga diri adalah penilaian seseorang mengenai gambaran dirinya sendiri yang berkaitan dengan aspek fisik, psikologis, sosial dan perilakunya secara keseluruhan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Kekerasan. kekuasaan antara pelaku (bullies/bully) dengan korban (victim), pelaku pada

BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Kekerasan. kekuasaan antara pelaku (bullies/bully) dengan korban (victim), pelaku pada BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Kekerasan 1. Pengertian Perilaku Kekerasan di Sekolah Menurut Papler & Craig (2000) kekerasan atau bullying dapat diartikan sebagai bentuk agresi dimana terjadi ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul

BAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekolah menjadi lingkungan pada siswa atau murid dalam proses untuk berinteraksi sosial secara langsung dengan teman sebaya atau guru. Akan tetapi, sekarang ini banyak

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Emosi adalah respon yang dirasakan setiap individu dikarenakan rangsangan baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena di masyarakat khususnya bagi warga yang tinggal di perkotaan, aksiaksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan memberi pelajaran (http://www.sekolahdasar.net). Sekolah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai tiga kemampuan yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku. Kemampuan kognitif merupakan respon perseptual atau kemampuan untuk berpikir,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI Disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya perilaku seksual pranikah di kalangan generasi muda mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak didik. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak didik. Untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Tujuan dari pendidikan adalah perkembangan kepribadian secara optimal dari anak didik. Dengan demikian setiap proses pendidikan harus diarahkan pada tercapainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dari anak-anak menuju dewasa, dimana terjadi kematangan fungsi fisik, kognitif, sosial, dan emosional yang cepat pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kegiatan belajar dengan aman dan nyaman. Hal tersebut dapat terjadi, karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kegiatan belajar dengan aman dan nyaman. Hal tersebut dapat terjadi, karena adanya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini kasus kekerasan di sekolah makin sering ditemui baik melalui informasi di media cetak maupun di layar televisi. Selain perkelahian antar pelajar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar

BAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar terhadap kehidupan remaja baik yang

Lebih terperinci

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut; Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (usia 18 sampai 20 tahun) (WHO, 2013). Remaja merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. (usia 18 sampai 20 tahun) (WHO, 2013). Remaja merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah kelompok umur 10-20 tahun. Masa remaja terdiri dari tiga subfase yang jelas, yaitu masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perilaku bullying dari waktu ke waktu terus menghantui anak-anak Indonesia. Kasus bullying yang sering dijumpai adalah kasus senioritas atau adanya intimidasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecemasan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecemasan masing-masing BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecemasan masing-masing dalam dirinya, baik untuk menghadapi masalah dalam dirinya sendiri atau dalam bersosialisasi dengan teman-teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal small-group yang berupaya secara

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal small-group yang berupaya secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal small-group yang berupaya secara sadar untuk melakukan perbaikan dan perubahan perilaku, pengalaman serta pengetahuan peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman pembangunan di Indonesia dan globalisasi dunia yang menuntut kinerja yang tinggi dan persaingan semakin ketat, semakin dibutuhkan sumber daya

Lebih terperinci