ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK SAHDA HANDAYANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK SAHDA HANDAYANI"

Transkripsi

1 ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK SAHDA HANDAYANI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Sahda Handayani NIM I

4 iii ABSTRAK SAHDA HANDAYANI. Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dibimbingan SOERYO ADIWIBOWO Analisis strategi nafkah dapat memberi gambaran tentang tindakan-tindakan yang dilakukan rumahtangga dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil cerminan dari pilihan-pilihan yang dilakukan rumahtangga.tindakan masyarakat sehari-hari merupakan gambaran rasionalitas rumahtangga yang melandasi pilihan strategi nafkah rumahtangga. Masyarakat bisa bekerja atau memenuhi kebutuhan hidupnya dari berbagai aktivitas nafkah, biasanya disebut strategi nafkah ganda. Strategi nafkah ganda yaitu aktivitas nafkah yang dimiliki oleh masyarakat lebih dari satu aktivitas memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kampung Sukagalih, selain masyarakat bekerja sebagai petani, setiap ada waktu luang mereka pergi ke hutan untuk mengambil hasil hutan seperti getah damar dan rumput untuk menambah pendapatan mereka. Hak untuk mengelola sumberdaya alam akan terlindungi hakhak kepemilikannya atau biasa disebut Community Based Property Rights atau CBPRs, yaitu hak kepemilikan berbasis masyarakat dimaknai berasal dari dan dilakukan oleh masyarakat. Kata kunci: Community based property rights (CBPRs), strategi nafkah, sumber daya alam ABSTRACT SAHDA HANDAYANI. Analysis of Livelihoods Kampug Sukagalih Community Strategies Concerning Forest Products at Mounten of Taman Nasional Halimun- Salak. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO Analysis of livelihood strategies can give an overview of the actions performed in the household daily life as the result of a reflection of choices that they made. People s daily life is a picture of the household rationality based on the choice of household livelihood strategies. People can work or fulfill their needs from living activities, usually called as multiple livelihood strategies. Multiple livelihood strategies is living activities performed by people more than one activity, to fulfill their needs. The village of Sukagalih, besides working as a farmer, every leisure time they go forestry to get forest products such as damar gum and grass to get an extra income. The rights to manage natural resources will be protected its stake or usually called Community Based Property Rights or CBPRs, is the ownership rights based on community, meaning as what come and performed by community. Key words : Community Based Property Rights, Livelihood strategies, natural resources

5 iv ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK SAHDA HANDAYANI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6 v Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak : Sahda Handayani : I Disetujui oleh Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

7 vi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 sampai Mei 2014 ini ialah strategi nafkah, dengan judul Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh warga Kampung Sukagalih, dan Center for International Forestry Research atau dalam bahasa Indonesia Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) karena telah memberikan pelajaran, pengalaman luar biasa. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, Bapak Agus Mulyana dan Ibu Ani Sukmarani, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014 Sahda Handayani

8 vii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 5 Tujuan Penelitian... 6 Kegunaan Penelitian... 7 PENDEKATAN TEORITIS... 9 Mata Pencaharian... 9 Strategi Nafkah Akses Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Penentuan Informan dan Responden Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN Kondisi Umum Desa Penelitian Karakteristik Responden Penelitian Tingkat Pendidikan Struktur Mata Pencaharian Karakteristik Sistem Pertanian Jenis dan Orientasi Pertanian Akses Modal Usaha Ikhtisar DINAMIKA AKSES MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN Riwayat Penetapan TNGHS Zonasi TNGHS Zona Khusus Dinamika Akses Masyarakat Pra Penetapan TNGHS Dinamika Akses Masyarakat Era TNGHS... 36

9 viii KOLABORASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA CIFOR Share Learning Manfaat Kolaborasi PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN PEMANFAATAN ASSET Status Penguasaan Lahan Masyarakat Pola Pemilikan Lahan Perubahan Penguasaan Lahan Kaitan Strategi Nafkah dan Status Penguasaan Ikhtisar PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI KAMPUNG SUKAGALIH Strategi Nafkah Ganda Strategi migrasi Pemanfaatan Livelihood Asset dalam Penerapan Strategi Nafkah Modal Sumberdaya Alam Modal Fisik Modal Manusia Modal Finansial Modal Sosial Diversifikasi Pendapatan Pendapatan Usaha Tani Pendapatan Usaha Non-Pertanian Pendapatan Total Rumah tangga Ikhtisar PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 87

10 ix DAFTAR TABEL 1 Persentase tingkat pendidikan di Desa Cipeuteuy tahun Persentase tingkat pendidikan responden di Kampung Sukagalih Desa 23 Cipeuteuy tahun Persentase jumlah penduduk menurut jenis mata pencaharian di Desa 24 Cipeuteuy tahun Riwayat pendirian dan penetapan TNGHS 28 5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun Persentase tingkat pengguasaan lahan responden berdasarkan bentuk penguasaan 49 lahan tahun 2003 dan Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun Persentase jenis pekerjaan utama rumah tangga Kampung Sukagalih tahun Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaannya pada tahun Jumlah ternak kambing (ekor) di Kampung Sukagalih tahun 2003 dan Rata-rata pendapatan responden perbulan dari sektor pertanian pada setiap 62 golongan pendapatan menurut sumberdayanya tahun 2003 dan Rata-rata pendapatan responden pertahun dari sektor non-pertanian pada 64 setiap golongan pendapatan menurut sumberdayanya tahun 2003 dan Konstribusi sumber pendapatan bersih pertanian dan non-pertanian terhadap rata-rata pendapatan perbulan pada setiap golongan pendapatan tahun 2003 dan DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran 15 2 Kampung Sukagalih 21 3 Matriks sejarah Kampung Sukagalih 35 4 Pohon damar dan tetesan resin kopal di TNGHS 38 5 Perbandingan pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun 2003 dan DAFTAR LAMPIRAN 1 Identitas responden 73 2 Peta zona ;okasi TNGHS 74

11 x 3 Hasil gambar peta masyarakat Kampung Sukagalih 75 4 Gambar batasan lahan TNGHS dan lahan garapan masyarakat 76 5 Kuesioner penelitian 77 6 Panduan pertanyaan 83 7 Dokumentasi penelitian 85

12 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia menghadapi peluang yang paling dramatik untuk mengubah masa depan rakyat serta falsafah penyelenggaraan negara sejak Proklamasi Kemerdekaan Melepaskan citra penyelenggaraan negara yang otoriter, represif dan korup sepanjang tiga puluh dua tahun, pada 1998 pemimpinpemimpin Indonesia menyatakan kesungguhannya secara terbuka di hadapan publik untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar konsitusi: kedaulatan rakyat, keadilan sosial dan kemanusiaan. Sardi (2010) mengemukakan bahwa dari semakin berkurangnya luas kawasan hutan serta semakin mudahnya akses yang merusak kawasan hutan, maka upaya pemerintah untuk mempertahankan kawasan hutan didorong melalui penetapan hutan konservasi yang berwujud taman nasional, cagar biosfer, suaka margasatwa, taman hutan rakyat (THR), hutan lindung gambut (HLG), dan hutan kota. Pengelolaan dari masyarakat melalui sistem pengelolaan hutan adat, hutan desa, hutan larangan, hutan kemasyarakatan, hutan kampung, hutan rakyat, dan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang disebut hutan tanaman rakyat (HTR). Ketergantungan penduduk Indonesia terhadap kekayaan dan sumbersumber alam dapat mengakibatkan ketidak merataan dalam suatu pencapaian hasil dan dapat mengakibatkan sumber-sumber alam habis atau tereksploitasi apabila pemerintah tidak membuat suatu kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti disebutkan pada Pancasila sila ke- 5 yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menjelaskan bahwa rakyat Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong, untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Maka kekayaan dan sumber-sumber alam seharusnya didapat sesuai kebijakan yang telah dibuat pemerintah mengenai hak setiap manusia dan kewajiban manusia untuk tetap menjaga keasrian sumbersumber alam. Hutan merupakan suatu kawasan luas yang di dalamnya terdapat berbagai macam flora dan fauna. Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara hutan dengan manusia atau masyarakat tidak dapat dipisahkan begitu saja, sebab hutan memiliki fungsi yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Indonesia memiliki luas hutan sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia. Karena wilayahnya yang luas, hutan Indonesia memiliki potensi keanekaragaman yang sangat tinggi. Didalamnya terdapat ribuan

13 2 jenis flora dan ribuan spesies fauna. Dengan keanekaragaman tersebut, hutan sangat bermanfaat bagi manusia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan. Ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar hutan terhadap sumbersumber alam untuk memenuhi kehidupan rumahtangga mereka akan mempengaruhi bagaimana mereka dapat bertahan hidup dan bagaimana mereka mengatur strategi nafkah setiap rumahtangga yang berada di daerah sekitar hutan. Setiap rumahtangga pasti memiliki cara tersendiri untuk tetap bertahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara apapun yang dapat mereka lakukan. Terdapat lembaga-lembaga yang melakukan studi strategi nafkah, seperti studi strategi nafkah yang telah dilakukan oleh lembaga donor seperti DFID ( Department For Internasional Development ) lebih memahami strategi nafkah sebagai hubungan antara sumberdaya, akses dan aktivitas yang dipengaruhi oleh sistem ekologi dan sistem sosial kemasyarakatan (Lynch O,Harwell,2002). Penelitian strategi nafkah banyak dilakukan oleh LSM atau lembaga donor untuk memenuhi hubungan masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan hutan. Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Konsep akses ini erat kaitannya dengan bundle of power. Akses berfokus kepada kemampuan, akses mencakup jangkauan yang lebih luas dari hubungan sosial yang membatai atau mengijinkan mengambil manfaat dari penggunaan sumber daya dibanding hubungan hak milik itu sendiri. Penelitian tentang pengelolaan hutan biasanya dilakukan untuk menekankan property right oleh masyarakat adat atau penekanan pada indigenous knowledge untuk pengelolaan hutan (Anonimous, 2000; Howitt, Connell dan Hirsch 1996; Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001, Pilin 2002) dalam Lynch O,Harwell,2002. Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masyarakat sekitar hutan memiliki kelembagaan dan pengetahuan asli yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan dan pembentukan strategi nafkah setempat. Bila dilihat sekilas sungguh beruntung masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang menghasilkan begitu banyak sumber-sumber alam, namun pada kenyataannya masyarakat yang hidup di sekitar hutan harus diguncang dengan kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai hak-hak atas sumber-sumber alam tersebut, yang memperlihatkan bagaimana masyarakat diuji untuk tetap bertahan dan menjalankan strategi nafkah rumahtangga mereka dengan jalan yang sesuai tujuan mereka. Menurut Dharmawan (2007) pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Strategi nafkah dimaknai lebih besar daripada sekedar aktivitas mencari nafkah belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah berarti cara bertahan hidup ataupun memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan memperhatikan eksistensi infrastruktr sosial, struktur sosial dan sistem budaya yang berlaku. Nafkah atau livelihood sendiri diartikan oleh Chamber dan Conway (1992) dalam Scoones (1998) mengatakan bahwa nafkah terdiri dari kemampuan, aset (termasuk bahan dan sumber daya sosial) dan kegiatan yang dibutuhkan sebagai sarana hidup. Sehingga strategi nafkah dapat diartikan sebagai cara masyarakat mengelola sumber daya atau aset sesuai kemampuannya dalam suatu kegiatan untuk bertahan hidup.

14 Taman nasional merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh pemerintah sebagai kawasan perlindungan alam atau yang lebih dikenal sebagai kawasan konservasi. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Dengan adanya sistem zonasi ini, semula masyarakat bebas menebang pohon atau mengambil kayu, sekarang sudah ada peraturan yang mengatur semakin membatasi akses masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hutan dan lahan. Kepentingan konservasi sumberdaya alam melalui penetapan dan pembentukan sistem pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia mendapat legitimasi secara formal melalui Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dimana taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan konservasi yang memungkinkan untuk mengalami perluasan dengan cara merubah status dan fungsi hutan yang ada. Status hutan yang semula open access berubah menjadi menjadi state property. Menurut Marx dalam Ribot dan Peluso (2003), hak milik yang diganti menjadi state property, atau milik negara menyebabkan penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat dianggap pencurian. Hal ini juga mengakibatkan masyarakat yang semula hidupnya bergantung dari hasil hutan, menjadi kehilangan sumber mata pencahariannya. Perubahan tersebut kadang menimbulkan adanya persoalan tersendiri pada tataran praktek sehingga perlu dilakukan upaya-upaya dengan menggunakan teknik tertentu agar pengelolaan kawasan tersebut dapat dilakukan sesuai yang diinginkan. Perubahan tersebut juga menimbulkan persoalan tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang masih memanfaatkan hutan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Taman Nasional Gunung Halimun Salak ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 pada tanggal 28 Februari Pada awalnya, Taman Nasional Gunung Halimun memiliki luas hektar. Setelah Ditetapkan sebagai kawasan taman nasional, selama lima tahun pengelolaan kawasan ini dititipkan kepada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang wilayahnya berdekatan. Baru pada tanggal 23 Maret 1997, Balai Taman Nasional Gunung Halimun (BTNGH) dibentuk agar lebih terfokus dalam pengelolaan dan pengawasannya. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 selanjutnya dikeluarkan dalam rangka perluasan kawasan TNGH. Kawasan taman nasional ditambah dengan kawasan hutan-hutan Gunung Salak, Gunung Endut, dan beberapa bidang hutan lain di sekelilingnya. Dari SK tersebut, nama taman nasional berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Dengan adanya surat keputusan tersebut taman nasional yang semula memiliki luas kurang lebih hektar melalui surat keputusan tersebut diperluas menjadi hektar, sehingga hampir tiga kali lebih dari luas semula. Balai pengelolaannya pun berubah nama menjadi Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS). Kawasan taman nasional mencatat bahwa terdapat 108 desa yang sebagian atau seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Berdasarkan survey pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada sekitar 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS. Bisa dipastikan, banyaknya 3

15 4 desa yang berada pada kawasan taman nasional menyebabkan penduduk di desadesa tersebut turut memanfaatkan sumberdaya di hutan taman nasional ini. Pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS ini sebenarnya telah berlangsung sejak sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan masyarakat desa yang berada di daerah kawasan memanfaatkan sumberdaya alam di TNGHS antara lain pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena) hanya dapat dimanfaatkan oleh Desa Malasari, pembangunan infrastruktur, dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS. Bahkan sebagian besar penduduk di desa-desa, baik dalam kawasan maupun di sekitar kawasan TNGHS, menjadikan pemanfaatan sumberdaya hutan di taman nasional sebagai sumber pendapatan utama rumahtangga mereka. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat telah menginisiasi pembentukan kelompok pengamanan hutan swakarsa (Pamhut- Swakarsa), dengan maksud membentuk suatu perkumpulan atau kelompok penjaga atau pelestari hutan berdasarkan keinginan masyarakat (swakarsa). Sedangkan tujuannya adalah untuk menjaga keamanan hutan dan memberikan informasi yang selengkap mungkin sehingga dalam penanganan gangguan hutan dapat dikerjakan secara tepat, cepat, efektif dan efisien (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, n.d). Masyarakat yang telah menjadi anggota Pamhut-Swakarsa akan ikut melakukan pengamanan dan pengawasan hutan di taman nasional. Pendapatan-pendapatan masyarakat sebelumnya yang hanya bergantung pada sumberdaya hutan tak lagi bisa diandalkan karena keterbatasan akses, masyarakat desa berusaha mencari strategi nafkah lain untuk bisa tetap bertahan memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga mereka. Mulai dari menambah komoditas pertanian, menerapkan pola nafkah ganda, hingga strategi migrasi ke luar desa atau ke luar negeri (menjadi TKI). Penetapan status kawasan hutan ini sebagai taman nasional dan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah kawasan hutan menjadi permasalahan yang patut mendapatkan perhatian. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari permasalahan ini perlu dikaji lebih dalam, mengingat kawasan hutan dan sumberdaya didalamnya selain untuk tempat bergantungnya masyarakat desa, namun disisilain juga harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai tempat perlindungan terhadap ekosistem. Rumusan Masalah Kampung Sukagalih merupakan salah satu yang berada di pinggir kawasan hutan TNGHS. Kampung ini termasuk sebagai kawasan penyangga Koridor Halimun Salak, suatu kawasan hutan yang menghubungkan antara Hutan di Gunung Halimun dan hutan di Gunung Salak. Keberadaan Kampung Sukagalih yang letaknya dekat dengan kawasan hutan koridor yang memiliki nilai penting secara ekologi membuat kampung ini menjadi salah satu desa yang dianggap penting sebagai kawasan penyangga hutan taman nasional. Penduduk dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melindungi kawasan hutan Koridor Halimun Salak yang dianggap rentan akan terjadinya kerusakan. Pemberdayaan

16 5 masyarakat di Kampung Sukagalih menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Hutan di Indonesia tidak hanya menjadi penyangga kehidupan bagi flora dan fauna, tetapi juga menjadi suatu ekosistem yang saling berkesinambungan untuk kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik dari berbagai pihak. Maka dari itu, keberadaan hutan sangat perlu dijaga dan dilestarikan keberlanjutannya, melihat berbagai kepentingan yang tercakup di dalamnya. Perluasan kawasan TNGHS yang telah di sahkan oleh Perhutani memberikan pengaruh yang begitu besar bagi masyarakat desa Cipeuteuy. Masyarakat Desa Cipeuteuy yang mayoritas penduduknya hanya mengenyam bangku Sekolah Dasar mungkin tidak begitu paham dengan kata konservasi dan menganggap hutan yang telah mereka diami selama berpuluh-puluh tahun sehingga tidak bisa serta-merta diklaim sebagai hutan konservasi. Apalagi jika lahan-lahan hutan yang telah lama mereka manfaatkan bahkan hingga menjadi sumber nafkah utama rumahtangga mereka harus berkurang karena masuk ke dalam zona konservasi. Hal ini sering menimbulkan berbagai pertanyaan dari masyarakat, misalnya pertanyaan: apakah pemerintah lebih mementingkan penyelamatan hewan dan tumbuhan daripada peningkatan kesejahteraan kami? ; apakah taman nasional hanya untuk kaum terpelajar yang ingin belajar tanaman dan binatang yang ada di dalam hutan, atau hanya sebagai tempat untuk bersenang-senang wisatawan dari kota agar bisa menikmati keindahan alam?. Pihak Perhutani menjelaskan mengapa hutan tersebut menjadi hutan konservasi. Bagi Perhutani, perluasan kawasan TNGHS ini justru harus dilakukan untuk bisa tetap melindungi dan melestarikan sumberdaya hutan. Perhutani melihat bahwa hutan adalah penopang kehidupan flora dan fauna yang wajib dilindungi. Jika dibiarkan begitu saja, hutan akan tereksploitasi terus-menerus hingga akhirnya kehabisan tenaga untuk bertahan. Jumlah luas hutan yang makin tahun makin berkurang inilah yang menjadi dasar bagi Perhutani untuk melindungi kawasan hutan yang masih tersisa. Keterbatasan akses masyarakat membuat mereka menjalankan pola hidup yang berbeda dari sebelumnya. Perluasan kawasan TNGHS mengurangi akses dan kontrol masyarakat terhadap lahan dan sumberdaya hutan. Oleh karena itu masyarakat harus mencari jalan keluar terbaik untuk bisa tetap memanfaatkan hutan dan mendapatkan penghasilan yang minimal sama dengan penghasilan mereka sebelum lahan mereka masuk dalam zona konservasi. Selain itu, perluasan kawasan TNGHS ini juga memunculkan sistem zonasi baru. Namun sistem zonasi baru yang ditetapkan menjadi tumpang tindih dengan lahan yang dimanfaatkan masyarakat desa untuk bertani. Lahan yang awalnya tidak masuk dalam zona konservasi harus berubah status menjadi zona konservasi. Akibatnya, lahan garapan masyarakat menjadi berkurang. Imbas dari berkurangnya lahan garapan dan pendapatan adalah masyarakat desa harus memikirkan cara lain untuk bertahan hidup. Nafkah yang awalnya hanya bergantung pada pertanian yang memanfaatkan lahan hutan harus berubah untuk bisa tetap memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Strategi nafkah baru pun dijalankan, ada beberapa pilihan strategi nafkah yang bisa digunakan. Mulai dari perubahan komoditas tanaman yang ditanam sampai melakukan rekayasa spasial atau yang lebih dikenal dengan migrasi. Migrasi di sini pun lebih mengarah pada

17 6 strategi keluar desa untuk mencari pekerjaan lain seperti pedagang, pembantu rumah tangga, atau TKI ke luar negeri. Strategi-strategi yang dijalankan juga tidak harus memilih salah satu dari strategi nafkah yang ada. Bisa jadi masyarakat melakukan diversifikasi nafkah atau lebih dikenal dengan pola nafkah ganda. Masyarakat desa tetap memanfaatkan lahan di zona pemanfaatan untuk bertani, namun di waktu-waktu tertentu melakukan migrasi ke luar desa untuk melakukan pekerjaan lain atau merambah kawasan hutan di zona konservasi. Bisa juga masyarakat menerapkan lebih dari dua strategi nafkah. Yang pasti, apapun dilakukan oleh mereka untuk bisa tetap bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Persoalan-persoalan ini bukan hal yang sederhana dan tidak mudah diterima oleh setiap pihak, mau tidak mau mendapat perhatian yang serius karena menyangkut keberlangsungan sumberdaya hutan dan hubungan-hubungan sosial ekonomi masyarakat. Dari permasalahan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakar menarik perhatian peneliti untuk mengkaji lebih dalam permasalahanpermasalahan tersebut. Maka dari itu, dirumuskanlah pertanyaan penelitian yakni: 1. Sejauh mana keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak mempengaruhi akses warga Kampung Sukagalih? 2. Sejauh mana perubahan akses mempengaruhi strategi nafkah hidup warga Kampung Sukagalih? Tujuan Tujuan penelitian ini diantaranya adalah: 1. Menganalisis perubahan akses warga Kampung Sukagalih di sekitar hutan pasca perubahan Gunung Halimun sebagai kawasan taman nasional 2. Menganalisis perubahan strategi nafkah warga Kampung Sukagalih terhadap hasil hutan Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak terkait, yakni: 1. Akademisi Penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik livelihood studies, pertanian, dan pedesaan. 2. Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan menambah pengetahuan bagi masyarakat umum terkait dengan kondisi pertanian dan permasalahan strategi nafkah masyarakat di dalam kawasan hutan.

18 3. Balai TNGHS Hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu informasi dan data untuk membuat kebijakan yang sesuai untuk masyarakat terkait akses dan kontrol terhadap lahan. 7

19 8

20 9 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Mata Pencaharian Definisi Mata Pencaharian Menurut Reardon dan Vosti (1997) dalam Dharmawan (2007) kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan terhadap berbagai faktor dan pendapatan. Faktor- faktor tersebut adalah: 1. Sumberdaya alam 2. Sumberdaya manusia 3. Faktor fisik dan finansial dari hasil pertanian 4. Faktor fisik dan finansial dari hasil non pertanian 5. Hubungan sosial 6. Politik Menurut Dharmawan (2007), menyatakan suatu rumahtangga mungkin mempunyai salah satu faktor di atas tetapi tidak mempunyai faktor yang lain. Rumahtangga petani yang tergolong miskin biasanya hanya memiliki faktor tenaga (sumberdaya manusia) dan sumberdaya alam dari lingkungannya sedangkan rendah dalam faktor finansial, sosial dan politik sehingga perilaku mereka lebih pada penggunaan sumberdaya alam yang dapat mereka akses untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mata pencaharian adalah aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Mata pencaharian dibagi menjadi tiga sektor, yaitu: a) Mata pencaharian disektor pertanian: Pada umumnya kecenderungan masyarakat desa menanam salah satu jenis tanaman dikarenakan harga jualnya yang tinggi sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih baik. Menurut Arsyad (1989) dalam Astuti A, Dharmawan AH, dkk (2008), faktor yang menentukan manusia memperlakukan tanahnya secara bijaksana adalah: luas lahan pertanian yang diusahakan, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil usaha tani, perpajakan, ikatan hutang, pasar dan sumber keperluan usaha tani, serta insfrastruktur dan fasilitas kesejahteraan. b) Mata pencaharian disektor non pertanian: Menurut Astuti A, Dharmawan AH, dkk (2008) jenis kegiatan non pertanian terdiri atas pedagang, buruh bangunan, buruh pabrik, PNS/ABRI, wiraswasta dan jasa. Dalam satu keluarga tidak hanya kepala keluarga yang bekerja namum anggota keluarga yang lain, seperti istri dan anak juga turut membantu. Kegiatan pedagang dan buruh bangunan ada yang dilakukan musiman namun ada pula yang dilakukan secara permanen. Pada saat musim kemarau disaat kegiatan dibidang pertanian tidak dapat diandalkan, masyarakat yang mempunyai keahlian sebagai buruh bangunan merantau ke luar daerah

21 10 untuk mendapatkan pekerjaan sedangkan bila telah memasuki musim penghujan pelaku profesi ini pulang ke desanya untuk mengerjakan di bidang pertanian. Namun ada pula yang pekerjaan tersebut menjadi pekerjaan utama sehingga dilakukan secara permanen, untuk pulang ke desa biasanya dilakukan tiap selesainya suatu proyek bangunan. Begitu pula yang terjadi terhadap mata pencaharian pedagang. Mata pencaharian di sektor kehutanan: Hasil sumberdaya alam yang terlahir di sekitar kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup yang berada di dalamnya. Seluruhnya menjadi sebuah kesatuan yang saling berkesinambungan dan selaras dengan alam. Strategi Nafkah Definisi Strategi Nafkah Dharmawan AH (2007) memberikan penjelasan bahwa pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar aktivitas mencari nafkah belaka. Strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Lebih lanjut, menurut Scoones (1998) terdapat tiga akar dari strategi nafkah untuk membedakan perbedaan keluaran. Tiga strategi nafkah itu adalah: a) Intensifikasi pertanian: memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien, seperti dengan menambah tenaga kerja, maupun memperluas lahan garapan (ekstensifikasi pertanian) b) Diversifikasi nafkah: atau pola nafkah ganda yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian, dan memperoleh pendapatan. c) Migrasi: antara penyebab migrasi efek investasi ulang pertanian, dan pola perpindahan. Menurut Turasih (2011) strategi nafkah terdiri atas strategi nafkah pertanian dan strategi nafkah non-pertanian, strategi nafkah pertanian terdiri atas : (1) sektor on farm dan (2) sektor off farm. Ellis (2000) dalam Turasih (2011) menjelaskan bahwa sektor on farm merujuk pada nafkah bersumber dari hasil pertanian dalam arti luas seperti pertanian perkebunan, peternakan, perikanan, dll. Selain sektor on farm, sebagian petani juga menambah penghasilannya dari sektor off farm. Menurut Ellis (2000) dalam Turasih (2011) bentuk strategi off farm ini

22 11 masih tergolong pada sektor pertanian, hanya saja pendapatan yang diperoleh berasal dari upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil, kontak upah tenaga kerja non upah, dan lain-lain. Menurut Dharmawan AH (2007) secara umum strategi nafkah masyarakat pedesaan diasumsikan sebagai berikut: (1) Masyarakat pedesaan masih memegang kebudayaan mereka, termasuk mekanisme pertahanan dan peraturan; (2) Jejaring sosial lokal berfungsi dengan baik untuk memenuhi perlindungan sosial dan keamanan nafkah mereka. Sumber Nafkah Scoones (1998) melihat bahwa strategi nafkah dapat dilakukan mengan memanfaatkan sumber nafkah, ataupun mengkombinasikan penggunaan sumber nafkah. Sumber nafkah dapat dilihat sebagai modal dasar, strategi nafkah yang dibentuk nantinya berbeda-beda sesuai dengan nafkah yang dimiliki. Adapun lima sumber daya tersebut adalah : a) Modal alami: serupa sumber daya alam, (seperti tanah, air, udara, dan lainnya) dan jasa lingkungan (siklus hidrologi, penyerapan polusi, dll) dimana nafkah diperoleh dari manfaat yang dihasilkan dari sumber daya. b) Modal finansial: modal dasar (pinjaman, simpanan, dan semua aset ekonomi termasuk infrastruktur dasar dan teknologi dan perlengkapan produksi) yang sangat penting untuk menjalankan strategi nafkah. c) Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya. d) Human Capital: keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan untuk bekerja, kesehatan, dan kemampuan fisik sangat penting untuk menjalankan strateg nafkah yang berbeda. e) Modal sosial: merupakan sumber daya sosial (jaringan, pernyataan sosial, hubungan sosial, afiliasi, asosiasi) yang orang miliki saat menjalankan strategi nafkah. Strategi nafkah yang berbeda membutuhkan aksi koordinasi dengan masyarakat lainnya. Akses Pengertian Akses Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Konsep akses ini erat kaitannya dengan bundle of power. Akses berfokus kepada kemampuan, akses mencakup jangkauan yang lebih luas dari hubungan sosial yang membatasi atau mengijinkan mengambil manfaat dari penggunaan sumber daya dibanding hubungan hak milik itu sendiri. Akses berfokus kepada siapa yang memanfaatkan (dan siapa yang tidak

23 12 memanfaatkan) sesuatu, bagaimana caranya, dan kapan (dalam kondisi apa). Perhatian akses lebih ke arah berbagai cara orang mendapatkan manfaat dari sumber daya, terkait dengan hak kepemilikan namun hal tersebut tidak membatasi. Analisa akses membantu untuk mengerti mengapa beberapa orang atau lembaga dapat menggunakan sumber daya, terlepas dari apakah mereka memiliki hak terhadap sumber daya tersebut. Akses selalu berubah, tergantung dari posisi dan kekuasaan seseorang atau kelompok dalam beragam hubungan sosial. Hak milik adalah hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu. MacPherson (1978) dalam Ribot dan Peluso (2003) mengkarakteristikan hak milik sebagai hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu lebih karena klaim paksaan. Hal ini kaitannya dengan bundle of right. Hak milik, umumnya menimbulkan pernyataan dan dukungan sosial atau hak, dimana pernyataan tersebut berdasarkan hukum, budaya atau perjanjian. Manfaat biasanya dilihat dari akses serta hak. Menurut Marx, hak milik yang diganti menjadi state property, atau milik negara menyebabkan penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat dianggap pencurian. Hak milik dan tenurial hanya menjelaskan hubungan dari kepemilikan sumber daya dan lembaga mana yang arusnya memberikan sangsi kontrol. Perubahan Penguasaan Sumberdaya Hutan Menurut Adiwibowo (2009) perubahan rezim dari de-facto customary property regime (hutan adat) ke de-jure state common property regime (hutan negara) membawa pengaruh besar pada tatanan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Perubahan rejim pengelolaan kawasan hutan akan mengubah struktur akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya hutan yang telah terjalin lama. Menurut undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang sekarang dikenal dengan UUPA, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional, dan hubungan ini bersifat abadi. Dalam UUPA dimuat empat macam hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Dalam wilayah taman nasional hak-hak agraria yang dapat diijinkan adalah Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai namun dengan lingkup terbatas. Menurut Adiwibowo (2009) terdapat lima tipe akses pemukiman dan pertanian di dalam dan sekitar taman nasional. Kelima akses permukiman dan pertanian tersebut direspon berbeda oleh Balai taman nasional, respon tersebut adalah: a) Pengakuan hutan adat : Hutan yang berada di luar batas taman nasional diakui sebagai hutan adat. b) Akses ke taman nasional diakui oleh Balai Taman Nasional karena terletak dalam wilayah adat, atau karena sejak lama dikelola melalui kearifan lokal dan diatur oleh tatanan hukum. Batas desa, pola peggunaan lahan, dan batas wilayah adat ditentukan secara rinci.

24 13 c) Lahan pertanian di dalam taman nasional dapat diakses selama tidak menambah luas lahan. d) Pembinaan daerah penyangga e) Perpindahan penduduk f) Penindakan dan pengendalian terhadap warga yang membuka lahan, ilegal logging, perburuan satwa liar di kawasan g) Koordinasi Dengan respon Balai Taman Nasional terhadap masyarakat, hanya sedikit respon yang dianggap menguntungkan masyarakat, karena posisi tawar masyarakat yang kurang kuat. Balai Taman Nasional bertugas untuk mengendalikan akses masyarakat ke taman nasional dengan menegaskan batas yang jelas antara kawasan konservasi dengan batas administrasi desa. Masyarakat yang memiliki lahan di dalam kawasan masih dapat mengakses namun tidak dapat memperluas lahan. Hal ini dibuat untuk mengendalikan dan membatasi aktivitas masyarakat di dalam konservasi dan menjaga luasan kawasan taman nasional. Common Property Right Common-pool resources atau common property resource menurut Ostrom (1990) dalam PKSDA (2014) adalah suatu jenis barang yang berwujud sebagai sumber daya alam seperti hutan, daerah tangkap ikan, atau sumber daya buatan manusia seperti irigasi, yang sifatnya: a) Substractibility atau rivalness di dalam pemanfaatan b) Tingginya biaya (cost) untuk membatasi akses pihak lain menjadi pemanfaat (beneficiaries) Hak Properti menurut Denison dan Robyn (2012) adalah hak memiliki dan memetik manfaat sumber daya. Hak properti ada berbagai macam dimana masing-masing didefinisikan, dinegosiasikan, dipantau, ditegakan oleh kebijakan, hukum, dan peraturan (institusi). Terdapat empat jenis property-rights regimes menurut Broomley (1991); Feeny et al (1990); Lynch & Harwell (2002) dalam PKSDA (2014), yaitu: a) Properti akses terbuka (open access property): Properti tidak dimiliki oleh siapapun. Properti bebas diakses oleh siapapun (non-cludable) & diperoleh dengan bersaing. Tidak ada regulasi yang mengatur, atau regulasi tidak efektif mengatur, atau hak-hak pemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas. b) Properti privat (private property): Properti bersifat excludable dan diperoleh secara bersaing (rivalry). Akses, eksklusi, dan pengelolaan properti dikontrol oleh individu, privat, atau korporasi (group of legal owners). Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. c) Properti bersama (common property): properti dimiliki oleh sekelompok orang atau komunitas. Akses, pemanfaatan, dan mekanisme eksklusi dikontrol bersama oleh kelompok komunitas bersangkutan. Common property dapat dicegah menjadi open acess

25 14 property karena pemilik mempunyai kemampuan mencegah konflik melalui penegakan aturan dan berbagi manfaat bersama. d) Properti negara (state property): Properti dimiliki oleh semua orang dalam suatu negara juga disebut sebagai pulic property dimana akses dan pemanfaatannya dikontrol oleh negara (pemerintah). Kerangka Pemikiran Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) mengalami perluasan kawasan hutan konservasi tentu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan warga Kampung Sukagalih Desa Cipeuteuy yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan atau sumberdaya hutan. Kampung Sukagalih yang dahulu tinggal dan memiliki lahan garapan di dalam kawasan hutan, sekarang dipindahkan ke lahan kosong di luar kawasan hutan. Munculnya keputusan pemerintah mengenai status lahan, yang awalnya dimanfaatkan oleh masyarakat berubah menjadi zona konservasi dan dilindungi. Warga Sukagalih mayoritas tingkat pendidikannya hanya sampai Sekolah Dasar hanya mengetahui bahwa hutan yang telah lama mereka tempati adalah tempat mereka untuk hidup dan bergantung pada sumberdaya alam yang ada disekitarnya, merasa hak-haknya direnggut oleh keputusan tersebut, karena mereka yang selama ini memiliki rumah untuk tinggal di dalam kawasan, mengelola, memanfaatkan lahan tersebut, dan memiliki tempat makam para nenek moyang menjadi kehilangan lahan garapannya. Perubahan pada status lahan taman nasional menjadi zona konservasi membuat mereka tidak dapat terlalu bergantung dengan sumberdaya hutan, yang berimbas pada variasi penerapan strategi nafkah yang dijalankan oleh rumahtangga petani yang dapat dilihat dari jenis mata pencaharian, tingkat pendapatan, dan tingkat penggunaan livelihood asset dari Scoones (1998) guna menerapkan strategi nafkah yang cocok dan menguntungkan bagi mereka yang berupa lima modal sumberdaya dimanfaatkan seefektif mungkin. Penerapan strategi nafkah tersebut bisa berupa rekayasa sumber nafkah pertanian, diversifikasi nafkah, rekayasa spasial (migrasi), dan ekstraksi sumberdaya. Semua strategi nafkah dijalankan oleh warga Kampung Sukagalih demi memperjuangkan kehidup mereka. Strategi nafkah rumah tangga yang dilakukan tentunya beragam sesuai cara mereka untuk bertahan hidup. Secara ringkas, kerangka pemikiran disajikan pada gambar di bawah ini

26 15 Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Perubahan Penguasaan dan Pemanfaatan Asset Perubahan strategi nafkah Diversifikasi nafkah Migrasi Intensifikasi Pertanian Perubahan Pendapatan Gambar 1 Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang dapat ditarik adalah: 1. Perluasan TNGHS membawa pengaruh kepada perubahan struktur akses dan strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih. Definisi Operasional 1. Karakteristik rumahtangga, yaitu ciri-ciri yang dimiliki oleh rumahtangga masyarakat Kampung Sukagalih. Karakteristik rumahtangga pertanian diukur: a. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan hidup keluarga, dalam hal ini termasuk dengan kepala rumahtangga. b. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian. c. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, yang dibedakan ke dalam kategori.

27 16 d. Jumlah tanggungan adalah banyaknya orang yang kehidupannya masih bergantung pada kepala keluarga tersebut terutama terkait dengan ekonomi, termasuk dirinya sendiri. 2. Sumber nafkah dikategorikan lima modal sumberdaya tersebut adalah : a. Modal manusia dapat dilihat dari pendidikan dan penggunaan tenaga kerja, apakah dari keluarga atau luar keluarga. b. Modal fisik dapat dilihat dari kepemilikan aset produksi, pemilikan rumah dan barang berharga lain, serta transportasi. c. Modal finansial dapat dilihat dari kepemilikan aset, pemilikan rumah dan barang berharga lain, serta transportasi. d. Modal sosial dapat dilihat dari jaringan kerja (networking) dengan penyedia pinjaman modal usaha, penyedia input produksi, dan distributor hasil usaha. e. Modal sumberdaya alam dapat dilihat dari keadaan sumberdaya tanah, kayu-kayuan, air, dan hewan buruan dalam hutan. 3. Strategi nafkah yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya: a. Intensifikasi pertanian: memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien, seperti dengan menambah tenaga kerja. Ekstensifikasi pertanian: memperluas lahan garapan. b. Diversifikasi nafkah: atau pola nafkah ganda yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan. Seperti: 1) kiriman uang dari pekerjaan di luar desa; 2) membuka usaha sendiri bukan bidang pertanian; 3) upah tenaga kerja di dalam pedesaan bukan bidang pertanian. c. Migrasi: mencari pekerjaan di luar daerah maupun luar negri

28 17 PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatori. Menurut Bungin (2005), penelitian deskriptif dimaksudkan hanya untuk menggambarkan, menjelaskan, atau meringkaskan berbagai kondisi, situasi, fenomena atau berbagai variabel penelitian menurut kejadian sebagaimana adanya yang dapat dipotret, diwawancara, diobservasi, serta yang dapat diungkapkan melalui bahan dokumenter. Kemudian Bungin menjelaskan mengenai penelitian eksplanatori yang menjelaskan hubungan berbagai variabel yang timbul di masyarakat dengan menggunakan hipotesis yang diuji secara statistik. Pada umumnya, penelitian deskriptif dilakukan untuk memperkuat hasil yang didapatkan dari penelitian eksplanatori. Penelitian ini menggunakan pendekatan pengumpulan data kuantitatif dengan didukung pengumpulan data kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner yang telah dibuat sehingga dapat memperoleh data dan informasi yang diperlukan dari responden. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan cara wawanacara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait. Selain itu, untuk memperkuat data kuantitatif maka dalam kuesioner ditambahkan slip. Data dikumpulkan untuk menjelaskan atau menggambarkan mengenai hal yang terkait dan mendukung dalam penelitian yaitu mengenai strategi nafkah yang dilakukan masyarakat, serta cara masyarakat menjaga dan melestarikan hutan sebelum dan sesudah konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak daerah Kampung Sukagalih, Kecamatan kabandungan Sukabumi. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kampung Sukagalih yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Beberapa alasan dibalik pemilihan desa ini sebagai lokasi penelitian adalah: (1) Wilayah Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berada di pinggir kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan mengalami perubahan dalam status lahan dan batasbatas wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat ketika terjadi perluasan areal TNGHS, dan (2) Penduduk di Kampung Sukagalih bergantung kepada sumberdaya hutan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak untuk mencari nafkah. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April Mei Tahun 2014.

29 18 Teknik Penentuan Informan dan Responden Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang salah satu anggota rumahtangganya bekerja sebagai petani. Hal ini dikarenakan rumahtangga memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan dan pengalokasian sumberdaya yang berkaitan dengan penerapan bentuk strategi nafkah yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode sensus yaitu mengambil seluruh populasi responden, sebanyak 40 kepala keluarga. Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai dirinya dan keluarganya, sedangkan informan adalah orang yang mampu untuk memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Keberadaan informan ini menjadi penting karena keterangan yang ia miliki tersebut. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bapak Soma sebagai ketua kelompok Kampung Sukagalih, Bapak Rokip sebagai sekretaris dan Bapak Agus Mulyana dari Center for International Forestry Research atau dalam bahasa Indonesia Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang membantu memberikan informasi. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam peneilitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi, kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Data sekunder diperoleh baik dari dokumendokumen tertulis di kantor desa dan kantor TNGHS. Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah TNGHS, data jumlah penduduk Kampung Sukagalih Desa Cipeteuy Kecamatan Kabandungan, data lahan yang dimiliki masyarakat dan TNGHS, data kegiatan masyarakat Kampung Sukagalih dalam melakukan strategi nafkah, dan data yang mendukung dalam penelitian yang akan dibahas. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya. Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat (petani) di Kampung Sukagalih. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh, baik primer maupun sekunder, diolah menggunakan tabel frekuensi dan Microsoft Excel Data hasil kuesioner dicatat apa adanya dan dilakukan analisis serta interpretasi untuk menarik kesimpulan tentang hasil

30 kuesioner. Data mengenai tingkat pendapatan diolah dengan cara pengkategorian (pertanian dan non pertanian) dan dicari rata-rata pendapatannya per bulan. Data kualitatif sendiri diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi datadata yang tidak diperlukan sehingga dapat langsung menjawab perumusan masalah. Kemudian data disajikan dalam bentuk teks naratif dan tabel. Setelahnya, baru ditarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. 19

31 20

32 21 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN Kondisi Umum Desa Penelitian Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan merupakan desa yang terletak di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Secara administratif Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Desa Cipeuteuy memiliki keunggulan dari desa lain yang terletak di sekitar kawasan, yaitu karena Kampung Sukagalih tidak hanya terletak di sekitar kawasan namun berbatasan langsung dengan Kawasan TNGHS. Beberapa desa yang terletak di sekitar kawasan yaitu Desa Purwabakti di sebelah utara, sebelah selatan Desa Cimaherang, sebelah barat Desa Malasari dan sebelah timur Desa Kabandungan. Desa Cipeuteuy memiliki luas wilayah ha dengan ketinggian tempat m dpl. Kondisi lingkungan di Desa Cipeuteuy masih alami dan memiliki banyak lahan persawahan dengan tingkat curah hujan mm per tahun serta suhu udara rata-rata 30 derajat celcius. Jarak Desa Cipeuteuy dari kantor desa sekitar 5 km, jarak dari ibukota kabupaten sekitar 56 km, jarak dari ibukota provinsi sekitar 135 km dan jarak dari ibukota negara sekitar 106 km. Kondisi jalan di Desa Cipeuteuy yaitu jalan tanah dan bebatuan yang sedikit sulit ditempuh karena kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas. Menurut data profil desa tahun 2011, menunjukkan jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak jiwa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak kepala keluarga. Kepadatan penduduk mencapai 562 jiwa/km². Jumlah kepala keluarga Kampung Sukagalih sendiri yang tercatat sebanyak 40 kepala keluarga. Gambar 2 Kampung Sukagalih Desa Cipeuteuy

33 22 Karakteristik Responden Penelitian Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan terakhir menunjukan pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh seseorang. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang dimiliki. Jenis pekerjaan mempengaruhi jumlah pendapatan yang kemudian jumlah pendapatan berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Kampung Sukagalih dan Desa Cipeuteuy sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Alasannya, sebagian besar penduduk dari golongan kurang mampu, biaya sekolah dan keberadaan sekolah yang letaknya jauh menjadi kendala mereka untuk tidak meneruskan sekolah pada masa itu. Kategori tingkat pendidikan penduduk dibagi menjadi tidak tamat SD,SD,SMP, SMA dan Madrasah. Tabel 1 Persentase tingkat pendidikan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011 Tingkat pendidikan Persentase (%) Tidak Tamat SD 4 Sekolah Dasar (SD) 61 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 16 Sekolah Menengah Atas (SMA) 12 Madrasah 7 Total 100 Sumber: Profil Desa Cipeuteuy 2011 Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut tingkat pendidikan Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pendidikan di Desa Cipeuteuy hanya sampai sekolah dasar yaitu sebesar 61 persen. Memperlihatkan masyarakat Desa Cipeuteuy lulusan SMP sebesar 16 persen dan tidak tamat SD sebanyak 4 persen. Komposisi penduduk berdasarkan jenjang pendidikan menggambarkan tingkat sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga menunjukkan tingkat kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan.

34 23 Tabel 2 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Kampung Sukagalih tahun 2014 Tingkat pendidikan Jumlah (n) Persentase (%) Tidak Tamat SD 4 10 Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) 6 15 Sekolah Menengah Atas 0 0 (SMA) Madrasah 0 0 Total Berbeda dengan Tabel 1, Tabel 2 hanya menjelaskan persentase penduduk di Kampung Sukagalih. Memperlihatkan bahwa rata-rata pendidikan di Kampung Sukagalih hanya sampai sekolah dasar yaitu sebesar 75 persen. Penduduk lulusan SMP sebesar 15 persen atau 6 orang dan tidak tamat SD sebanyak 10 persen atau 4 orang. Meskipun sebagian besar didominasikan pada tingkat pendidikan tamatan SD, penduduk Kampung Sukagalih sudah menyadari akan pentingnya pendidikan. Struktur Mata Pencaharian Berdasarkan informasi yang dapat peneliti simpulkan dari informan walau hanya tersirat, ada beberapa hal yang menjadi dasar status sosial dalam masyarakat Kampung Sukagalih, yaitu penghargaan yang diberikan berdasarkan pekerjaan dan penghargaan yang diberikan berdasarkan pendidikan formal atau informal yang dimiliki. Warga akan dianggap mampu jika telah mengganti lantai rumah dengan kramik, memiliki kamar mandi di dalam rumah, memiliki kendaraan bermotor terutama mobil, memiliki pertanian yang luas dan milik sendiri, memiliki rumah yang bagus atau peralatan elektronik. Kemampuan menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi atau kemampuan ilmu agama menempatkan seseorang pada kelas sosial yang tinggi. Penduduk Desa Cipeuteuy memang lebih banyak hanya lulusan SD bahkan ada beberapa orangtua yang tidak tamat SD, tetapi hal itu tidak membuat para orangtua untuk mengharuskan anak-anaknya meneruskan jejak mereka. Para orangtua memiliki cita-cita untuk menyekolahkan anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang tinggi, terlihat dari sudah banyaknya anak petani yang bersekolah bahkan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi lagi, Ujar sekretaris desa, Desa Cipeuteuy pada tanggal 17 April Sebagian besar warga Sukagalih bermata pencaharian sebagai petani, hanya sekitar empat orang yang bekerja diluar bidang pertanian. Warga Sukagalih memiliki lahan-lahan untuk mereka olah sebagai sumber nafkah. Lahan yang diolah oleh warga memiliki status yang beragam, baik itu lahan milik sendiri, lahan dari taman nasional yang dahulu pernah diolah oleh Perhutani, atau hak

35 24 guna usaha (HGU) bekas lahan perusahaan perkebunan. Selain bertani warga Sukagalih memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Semua kepala keluarga warga Sukagalih memiliki ternak kambing yang diberi bantuan sepasang ekor kambing oleh dinas provinsi dan pemda, kemudian mereka kembangkan dan dijadikan pekerjaan sampingan mereka. Tabel 3 Persentase jumlah penduduk menurut jenis mata pencaharian di Desa Cipeuteuy tahun 2011 Mata pencaharian Jumlah penduduk (%) PNS 0,3 Wiraswasta 15,7 Petani dan buruh tani 62,8 Jasa dan pertukangan 10,4 Karyawan swasta 10,5 Pensiunan 0,2 Total 100 Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011 Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut mata pencaharian Dari Tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa kenyataannya warga bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani yaitu 62,8 persen sekitar orang. Tingginya mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dipengaruhi oleh tingkat pendidikan warga yang rata-rata hanya lulusan sekolah dasar, sehingga untuk menjangkau pekerjaan seperti PNS atau karyawan swasta sungguh sulit. Karakteristik Sistem Pertanian Jenis dan Orientasi Pertanian Jenis pertanian yang dilakukan oleh warga Kampung Sukagalih yaitu pertanian sawah dan ladang. Sebagian besar warga menjadikan lahan pertaniannya sebagai ladang untuk menanam sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan tidak lupa menanam pohon seperti sengon, ganitri, raksamala, puspa dan lainlain untuk tabungan masa depan mereka. Warga menanam padi, durian, kelapa, alpuket, dan coklat untuk tujuan konsumsi rumahtangga atau dengan kata lain pertanian subsisten. Selain itu, warga menanam sayuran-sayuran seperti cabai, timun, kacang panjang, kubis, kacang-kacangan dan palawija memang sengaja untuk dijual guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, sisa dari yang mereka jual baru mereka konsumsi atau dibagi-bagikan ke tetangga. Komoditas utama yang menjadi pilihan masyarakat untuk ditanam di lahan pertaniannya adalah padi, sayur-sayuran dan pohon kayu. Hampir seluruh warga bertani dengan menanam tanaman cabai. Hal ini karena iklim dan cuaca di areal lahan pertanian mereka sangat cocok. Selain itu, ada juga beberapa petani yang menjadikan lahannya untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman. Seperti

36 25 sambil menaman timun, mereka menam cabai dan daun bawang, atau dilahan yang masih kosong akan mereka manfaatkan untuk menanam kacang-kacangan, kelapa, alpuket, durian, jeruk, coklat, dan pohon kayu, semua itu demi meningkatkan perekonomian mereka dan mensejahterakan kehidupan warga Akses Modal Usaha Modal awal tentu mempengaruhi cara menjalankan kegiatan pertanian, jika warga tidak memiliki modal maka mereka tak akan bisa bertani. Akses modal usaha di kampung ini cukup mudah, karena terdapat banyak tengkulak-tengkulak yang menawarkan modal usaha kepada para petani. Rata-rata tengkulak hanya menawarkan modal usaha berupa bahan dan alat pertanian saja, mereka tidak menawarkan jasa peminjaman modal dalam bentuk uang. Untuk modal berupa uang, warga lebih sering menjual ternak kambing mereka daripada harus meminjam ke tetangga, bank atau bank keliling. Karena, aset yang sangat berharga yang dimiliki warga Sukagalih, selain hasil pertaniannya yang subur mereka juga memiliki ternak kambing yang berjumlah lebih banyak daripada penduduknya. Ikhtisar Mata pencaharian masyarakat Desa Cipeuteuy mayoritas berprofesi sebagai petani atau buruh tani yaitu sebesar 62,8 persen dan tingkat pendidikan terakhir rata-rata yaitu sekolah dasar (SD). Berdasarkan hasil wawancara dengan warga di Kampung Sukagalih sendiri yang berjumlah 40 orang, terlihat bahwa tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 75 persen atau 30 orang. Tingkat SMP sebesar 15 persen atau 6 orang dan SMA sebesar 0 persen. Sisanya penduduk yang tidak tamat SD sebesar 10 persen atau hanya 4 orang. Namun secara keseluruhan data dari kantor desa tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 61 persen. Komoditas utama yang menjadi pilihan masyarakat untuk ditanam di lahan pertaniannya adalah padi, sayur-sayuran dan pohon kayu, berdasarkan karakteristik sistem pertaniannya, pertanian yang dilakukan oleh petani Sukagali yaitu petani padi, petani sayur, petani kacang-kacangan, palawija dan buah. Namun petani Sukagalih lebih terfokus pada petani sayur untuk diproduksi yang artinya memaksimalkan hasil produksi karena tujuan ekonomi. Hasil panen sayuran dijual untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan seharihari. Berbeda dengan petani padi, kacang-kacangan, palawija dan buah berorientasi pada konsumsi karena hasil panen lebih diutamakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, apabila ada sisanya baru kemudian mereka jual. Jenis tanaman yang biasanya ditanam diantaranya cabai, kacang panjang, kacang merah, daun bawang, timun, kubis, alpuket, durian, pisang, nagka, kopi, dan pohon kayu seperti sengon dan lain-lain. Para petani memilih sistem penanaman yang mudah, waktu panen yang singkat, serta harga jual yang cukup tinggi. Akses modal usaha para petani Sukagalih merupakan modal awal yang sangat penting dibutuhkan oleh para petani. Biasanya para petani meminjam

37 26 modal usaha untuk tani melalui para tengkulak yang datang ke Kampung Sukagalih untuk menawarkan bantuan. Namun bantuan tersebut tidak berupa uang, melainkan berupa bahan dan alat-alat untuk bertani. Untuk modal berupa uang para petani lebih mengandalkan ternak kambingnya untuk dijual.

38 27 DINAMIKA AKSES MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN Riwayat Penetapan TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan wilayah yang mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki hutan hujan tropis di Jawa. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah ( m dpl) yang didomunasi oleh Zona Colin ( m dpl), hutan hujan pegunungan bahwah ( m dpl), dan hutan hujan pegunungan tengah ( m dpl). Pada awalnya TNGHS merupakan kawasan hutan lindung dengan luas ha selama periode masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat (Jabar). Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan kepada PHP (Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam). Usulan mengenai perluasan kawasan cagar alam melebihi ha diusulkan oleh PHPA, namun sebagian besar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Sebagian hutan produksi juga masih merupakan hutan primer. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani dan tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang sudah diperluas menjadi ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1922 tanggal 28 Februari 1992 Kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede pangrango (TNGGP). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA dan Departemen Kehutanan. Melihat kondisi sumberdaya alam hutan yang dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya dan adanya dorongan dari pihak-pihak yang peduli akan konservasi, kawasan TNGH diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialih fungsi menjadi hutan konservasi. Melalu Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

39 28 Tabel 4 Riwayat pendirian dan penetapan TNGHS Periode Keterangan tahun Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup ha Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat Kemudian status cagar alam berubah di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III 2003 Pada akhirnya status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya). Sumber: Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2014) Zonasi TNGHS TN merupakan kawasan yang ditetapkan untuk melindungi ekosistem asli dan dikelola oleh Balai Taman Nasional (BTN) dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjangan budi daya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang No. 5, Tahun 1990). Karena adanya sistem zonasi ini, TN sangat mungkin dikelola bersama masyarakat dan mengakomodasi kepentingan masyarakat.dalam Permenhut No. P. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dijelaskan bahwa zonasi TN adalah suatu proses pengaturan ruang dalam TN menjadi zona-zona. Zona TN adalah wilayah di dalam kawasan TN yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Proses pengaturan tersebut meliputi tujuh kegiatan: 1) persiapan, 2) pengumpulan dan analisis data, 3) penyusunan draf rancangan zonasi, 4) konsultasi publik, 5) pengiriman dokumen, 6) tata batas dan 7) penetapan, (Agus Mulyana, Cifor)

40 29 Menurut Permenhut tersebut, penetapan dan penataan zona didasarkan pada: a. potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya b. tingkat interaksi dengan masyarakat setempat c. efektivitas pengelolaan kawasan Pengkajian dan pemahaman aspek potensi dan fungsi, ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat mutlak diperlukan. Selain itu, penetapan zona juga memperhatikan tiga hal: (a) jenis zona yang dibutuhkan, (b) luas masingmasing zona dan (c) letak/lokasi zona. Zona TN bisa terdiri dari zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, zona pemanfaatan dan zona lain, misal zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, zona budaya dan sejarah serta zona khusus. Penentuan jumlah dan jenis zona untuk tiap TN ditentukan oleh potensi kawasan, kondisi kawasan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat sekitar TN. Peraturan mengatakan bahwa TN sekurangkurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Akan tetapi, peraturan juga mengatakan bahwa pemanfaatan kawasan TN tidak hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan, tetapi juga di zona religi, zona budaya, zona penelitian dan zona khusus untuk mengakomodasi masyarakat. Sesuai dengan peraturan yang ada, penetapan zonasi TN tidak bersifat permanen, tetapi dapat diubah dan disesuaikan dengan perkembangan dan kepentingan pengelolaan TN, kondisi potensi sumber daya alam dan ekosistemnya, serta kepentingan interaksi dengan masyarakat. Karena itu, setiap tiga tahun dimungkinkan untuk dievaluasi. Karena bukan merupakan keharusan, kebijakan tersebut pada satu sisi menjadi peluang bagi penetapan zona yang adaptif. Pada sisi lain dapat menimbulkan perasaan tidak pasti, terutama bagi masyarakat yang berada di wilayah berpotensi menjadi Zona Khusus. Tampaknya penting untuk menjadikan RPTN (Rencana Pengelolaan Taman Nasional) sebagai pedoman pengelolaan kerangka jangka panjang dan kesepakatan para pihak dalam menetapkan sebuah zona karena dapat menjamin kepastian, (Agus Mulyana, Cifor) Tujuh langkah penetapan zona di TN dan kriteria penetapammya berdasarkan Permenhut senantiasa menjadi acuan baku bagi para pengelola TN dalam penataan dan penetapan zona. Namun dalam implementasinya kebijakan tersebut telah mempersulit penetapan dan penataan zona itu sendiri, menjauhkan pencapaian tujuan zonasi, memperburuk keadaan, menimbulkan konflik-konflik baru, dan membawa para pihak ke jalan buntu. Kebijakan tersebut tidak efektif dalam menjawab berbagai tantangan pengelolaan TN yang demikian rumit, serba tidak pasti, dinamis, dan penuh dengan sengketa. Tiga hal utama yang menjadi penyebabnya adalah: a. Proses penetapan zonasi diterapkan secara kaku dan tidak adaptif b. Terlalu beragamnya kriteria penetapan zona yang tidak jelas dan multitafsir c. Hanya mengakomodasi satu tipe masyarakat, yaitu masyarakat yang bermukim di dalam kawasan sebelum TN ditunjuk, padahal kaitan antara masyarakat dan TN lebih beragam.

41 30 TNGHS berdampingan dengan kampung-kampung, baik di dalam kawasan maupun di sekitar perbatasan kawasan. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan masyarakat non kasepuhan. Keberadaan kampung-kampung dengan masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan merupakan suatu kondisi yang bisa menimbulkan hambatan ataupun dukungan bagi kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No.24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. Sistem Zonasi yang dimiliki TNGHS yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Berikut tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode : 1. Zona Inti dan Zona Rimba Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem. 2. Zona Rehabilitasi Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau rimba atau pemanfaatan. 3. Zona Pemanfaatan Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS. 4. Zona Khusus Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan provinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS. 5. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi 2 yaitu: a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makam di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses

42 31 masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS. 6. Zona Lainnya Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak. Zona-zona yang disebutkan di atas, Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan langsung dengan taman nasional yang masuk dalam zona khusus pemanfaatan, perbatasannya antara tanah masyarakat dengan kawasan taman nasional yang dikerjasamakan kepada masyarakat. Luas zona khusus pemanfaatan yaitu 30 ha yang terdiri dari 15 ha ditanami dengan pohon damar dan 15 ha persawahan, ladang dan adopsi tanaman. Masyarakat memiliki olah tanah yang telah memiliki surat pembayaran pajak (SPPT), kemudian masyarakat dapat melakukan kegiatan bertani di zona khusus pemanfaatan, dulunya milik perum Perhutani yang dialihkan kepada pihak taman nasional dan ada perbatasan-perbatasan khusus untuk kelompok pelestarian lingkungan (KOPEL) yang bekerjasama dengan taman nasional. Zona Khusus Peraturan Menteri Kehutanan P.56/2006 memungkinkan penetapan sampai 7 zona berdasarkan fungsi konservasi dan pemanfaatan. Untuk mempermudah pengelolaan, proses penetapan dan pengaturan tata batas, sebaiknya penataan ruang Taman Nasional (TN) disederhanakan dengan membagi ruang TN menjadi hanya dua zona yakni zona pemanfaatan (zona khusus) dan zona bukan pemanfaatan (zona inti). Zona khusus seharusnya merupakan hasil kesepakatan antar pihak yang dikelola secara kolaboratif sebagai satu kesatuan dengan TN. Tujuannya untuk menyatukan pembangunan masyarakat dengan konservasi. Konservasi di Indonesia sedang mengalami kebuntuan. Semua kawasan konservasi yang merupakan aset umum (public good) dan dikelola pemerintah untuk kepentingan umum telah mengalami kerusakan, pengurangan luas, atau diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan lain. Khusus TN, tidak ada yang tidak mengalami tekanan dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat. Akar masalahnya kompleks. Kebanyakan TN baru ditunjuk dan belum dikukuhkan, ditetapkan tanpa konsultasi dengan pihak lain dan tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Kebijakan konservasi di Indonesia pada dasarnya cenderung tidak melibatkan masyarakat dan tidak mengijinkan adanya aktivitas manusia di 534 kawasan konservasi, termasuk 50 taman nasional, yang secara keseluruhan mencakup 28,2 juta hektar. Dalam politik dan ekonomi negara, konservasi dilihat sebagai hambatan terhadap pembangunan sehingga kurang didukung, bahkan dilawan oleh banyak pihak. Akibatnya, konservasi tidak dapat diwujudkan, sementara di dalam dan sekitar TN sudah terlanjur ada masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidup mereka dari kawasan tersebut.

43 32 Menjawab tantangan itu, Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam TN. Juga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut- II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang memungkinkan penataan ruang (zonasi) TN, termasuk penetapan ruang atau zona khusus untuk masyarakat yang berada di dalam TN. Sampai saat ini baru beberapa TN menerapkan pengelolaan kolaboratif dan baru satu dua saja yang menetapkan zona khusus, salah satu diantaranya adalah TNGHS. Pengamatan di TN Gunung Halimun Salak dan pembahasan serta diskusi dengan masyarakat dan organisasi setempat, membicarakan mengenai gagasan untuk mengembangkan zona khusus sehingga dapat mencapai tujuan ideal pengelolaan TN. Dalam konsep yang ditawarkan, zona khusus di TN diharapkan dapat membuka peluang bagi penyelenggara pembangunan dalam mewujudkan ekonomi berwawasan lingkungan dan konservasi lingkungan yang berwawasan pembangunan. Zona khusus juga dapat menjadi jawaban untuk menangani konflik antara masyarakat dan TN, dan permasalahan lainnya. Namun, pembentukan zona khusus tidak cukup hanya dengan peraturan semata. Lagipula, peraturan tersebut mempunyai keterbatasan dalam mengakomodasi berbagai tipe masyarakat dan kebutuhannya. Dibutuhkan keterlibatan para pihak dan komitmen bersama untuk mewujudkannya. Pengalaman menunjukkan tidak ada langkah tunggal untuk menembus kebuntuan dalam pengelolaan TN. Diperlukan berbagai tindakan komprehensif, terintegrasi, dan terkoordinasi. Zona khusus pun bukanlah langkah tunggal, melainkan perpaduan dari langkah jamak (multiaksi) yang secara ideal menghasilkan model zona khusus yang khas bagi tiap TN. Menurut peraturan, zona khusus diartikan sebagai zona untuk mengakomodasi kelompok masyarakat yang telah tinggal di kawasan TN sebelum ditetapkan dan atau mengakomodasi sarana/prasarana, seperti telekomunikasi, transportasi dan listrik. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa kondisi wilayah potensial Zona khusus berbeda-beda di setiap TN. Seperti yang dijelaskan oleh Agus Mulyana selaku pihak Cifor bahwa batasan zona khusus dan kriteria penetapan seharusnya beragam. Kondisi wilayah potensial Zona khusus fakta dilapangannya itu berbeda-beda. Karena itu, batasan Zona khusus dan kriteria penetapan seharusnya beragam, sesuai dengan kondisi setempat dan kesepakatan para pihak. Penetapan sebuah wilayah menjadi zona khusus di TN bukan merupakan pemutihan atas pelanggaran hukum, melainkan sebuah upaya menembus kebuntuan dalam penataan ruang di TN. Gagasan yang mendasari konsep ini adalah terakomodasinya pembangunan ekonomi ramah lingkungan dalam batasan yang ditetapkan fungsi konservasi TN, ujar Agus Mulyana, Cifor. Mulyana menambahkan tujuan umum zona khusus yang harus dicapai adalah membuka peluang bagi para penyelenggara pembangunan untuk mewujudkan konservasi dan ekonomi berwawasan lingkungan. Secara spesifik zona khusus bertujuan membuka jalan keluar, menembus kebuntuan penataan

44 33 ruang, mempermudah pengelolaan TN, dan memungkinkan berfungsinya zona khusus sebagai zona penyangga zona inti. Zona khusus diharapkan menjadi sarana mengatasi konflik antara masyarakat dengan TN. Zona khusus janganlah dibayangkang sebagai penunjukan wilayah, melainkan sebagai kesepakatan mengenai lokasi, luas, hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan dan perjanjian kerja di antara pihak-pihak yang terkait. Zona khusus digagaskan pula sebagai bagian dari TN. Karena itu, tujuan utamanya adalah konservasi. Pembangunan dan pengembangan masyarakat dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan asas konservasi. Zona khusus juga bukan harga mati, melainkan sebuah proses pembelajaran untuk perubahan yang adaptif. Kuncinya adalah kesepakatan dari hasil perundingan yang adil dan transparan berdasarkan rangka negosiasi dan hukum yang jelas. Karena itu, syarat utamanya adalah mengubah paragdigma pengelolaan TN sendiri, dari pengelolaan sepihak oleh Kementrian Kehutanan menjadi pengelolaan kolaboratif dan adaptif. Zona khusus memang bukan solusi yang mudah dan bukan merupakan model yang standar. Sebaliknya, untuk tiap TN, zona khusus harus dirancang berdasarkan kondisi setempat. Seperti dikatakan Bapak Wiratno, Tidak ada langkah tunggal yang dapat menembus kebuntuan. Yang diperlukan adalah berbagai tindakan terintegrasi, terkoordinasi, komplementer. Dinamika Akses Masyarakat Pra Penetapan TNGHS Wilayah tanah yang saat ini dimiliki Kampung Sukagalih merupakan bagian perkebunan teh milik Belanda. Saat pendudukan Jepang, perusahaan menutup perkebunan, dengan para pekerja yang tinggal di kampung sekitar. Tahun 1953, para mantan pekerja dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan yang terjadi pada perusahaan teh ini. Pak Enim yang saat itu mantan mandor di perkebunan, menggunakan kunjungan ke pemerintah untuk memperoleh ijin dari pemerintah agar masyarakat dapat memanfaatkan lahan bekas tanah perkebunan. Maka tanah dibagi menjadi kapling- kapling dan memperoleh Surat Girik (surat bukti penguasaan lahan). Pak Enim dan Pak Empen memilih tempat dan membuka lahan dimana Kampung Sukagalih ini berada. Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Batas ini langsung diambil PERHUTANI. Kampung ini terletak di Desa Cipeteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi. Ketinggian kampung ini berada pada 800 m dpl. Kampung Sukagalih berbatasan dengan: a. Utara : Taman Nasional Gunung Halimun Salak b. Selatan : Kampung Pasir Masigit c. Barat : Sungai Ciraksa d. Timur : Kampung Cilodor Sejak menjadi kawasan hutan konservasi pada tahun 2003, warga tidak dapat mengakses sumberdaya hutan dan tidak dapan menggarap di dalam kawasan. Warga Sukagalih yang ketika itu sangat memprihatinkan kondisi ekonominya

45 34 memjadi banyak perbincangan dan sorotan bagi para relawan untuk membantu. Ketika itu warga Sukagalih memiliki konflik dengan Balai TNGHS, ada salah satu warga Sukagalih yang di tahan karena disangka menebang pohon dan mengambil sumberdaya hutan secara ilegal. Padahal, warga Sukagalih tidak pernah berani untuk menebang pohon apa lagi merusak hutan yang telah mereka tempati sejak dulu. Banyak pihak yang mengadu domba warga Sukagalih dengan pihak TN, agar warga Sukagalih tidak dapat memiliki lahan mereka di dalam kawasan. Pada tahun 2005 Cifor mendatangi Kampung Sukagalih untuk bersilaturahmi dan ingin turun langsung kelapangan ketempat yang sedang menjadi sorotan tersebut. Pada waktu itu warga masih malu dan tertutup untuk bercerita apa yang sebenarnya terjadi dengan kampung mereka. Pertama Cifor membangun hubungan saling percaya dengan masyarakat. Setelah beberapa lama mereka tinggal bersama warga, barulah mereka mulai terbuka namun tetap belum berani berbicara. Selama di Sukagalih, Cifor belajar bersama warga mengenai pengelolaan sumberdaya alam, secara intensif didampingi oleh Cifor dengan kegiatan motivating, coaching, mentoring dan termasuk mengajak mereka studi banding ke lokasi-lokasi lain. Kemudian mereka difasilitasi menyusun suatu perencanaan strategis pengelolaan sumberdaya alam, dimulai dengan menyusun visi praktikal dalam jangka lima tahun. Sepuluh visi praktikal yang mereka targetkan dan sudah sembilan yang terwujud, kecuali pemanfaatan mata air sudah diambil terlebih dahulu oleh PDAM. Beberapa visi praktikal mereka yaitu yang pertama rencana tata guna lahan yang lebih seimbang dan selaras dengan keberadaan kampung dan TNGHS, mereka sudah menetapkan dimana lahan lahan yang dijadaikan hutan, kebun, permukiman dan lainnya. Kedua berkolaborasi dengan pihak TNGHS mengenai lahan 30 ha untuk dapat dimanfaatkan. Agar tidak terjadi lagi konflik pemerintah dengan warga akibat pemanfaatan ilegal, dahulu sebelum adanya konservasi ada pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) karena konservasi sudah tidak dapat diakses lagi. Ketiga Kampung Sukagalih ingin menjadi kampung ekowisata yang mencampurkan antara eko, edu dan pertanian. Pihak Cifor mendampingi warga Sukagalih untuk mewujudkan sepuluh visi praktikal tersebut, dan pada akhirnya warga Sukagalih, pihak TNGHS dan pihak Perhutani telah melakukan diskusi dan warga telah mendapatkan lahan di zona khusus pemanfaatan. Pihak TN menjadikan hutan ke dalam enam zona, yang salah satu zonanya yaitu zona khusus pemanfaatan menjadi bagian yang dapat dikelola oleh masyarakat Sukagalih. Setelah dipindahkan, Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan langsung dengan taman nasional, yang masuk dalam zona khusus pemanfaatan, perbatasannya antara tanah masyarakat dengan kawasan taman nasional yang dikerjasamakan kepada masyarakat. Luas zona khusus pemanfaatan yaitu 30 ha yang terdiri dari 15 ha ditanami dengan pohon damar dan 15 ha persawahan, ladang dan adopsi tanaman. Warga memiliki olah tanah yang telah memiliki SPPT, kemudian warga dapat melakukan kegiatan bertani di zona khusus pemanfaatan, dulunya milik Perum Perhutani yang dialihkan kepada pihak taman nasional dan ada perbatasan-perbatasan khusus untuk kelompok pelestarian lingkungan (KOPEL) yang bekerjasama dengan taman nasional. Semua itu telah disepakati antar pihak TNGHS, Perhutani dan warga Sukagalih. Warga Sukagalih bangkit dan memulai kembali pertanian

46 35 mereka yang sempat hilang dan terbatas akibat perluasan TNGHS. Berikut matriks mengenai sejarah Kampung Sukagalih. Gambar 3 Matriks sejarah Kampung Sukagalih Tahun Status kawasan Akses Lahan di dalam kawasan sebagai hutan lindung dibawah pemerintahan Belanda 2. Lahan di luar kawasan perkebunan teh milik Belanda perkebunan teh Status kawasan berubah menjadi, cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat Lahan perkebunan teh milik Belanda di tutup Status cagar alam berubah di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat (hutan produksi) Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 2. Lahan bekas perkebunan teh menjadi lahan garapan masyarakat Pada akhirnya status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGHS dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya) Warga dapat mengakses hasil hutan dan bekerja sebagai buruh pabrik di sekitar kawasan Warga masih diperkenankan akses ke kawasan hutan Masyarakat hanya dapat bertani, para mantan pekerja diminta pertanggungjawaban atas kerusakan yang terjadi pada perusahaan teh ini. Warga dipindahkan dari kawasan hutan produksi ke lahan kosong dan dijadikan dua kampung, yaitu Kampung Sukagalih 1. Warga tidak mendapatkan lahan yang telah di ambil oleh Perhutani 2. Warga dapat memanfaatkan lahan untuk bertani di kawasan bekas perkebunan teh Warga tidak mendapatkan akses lahan dan tidak dapat mengakses sumberdaya hutan

47 36 Dinamika Akses Masyarakat Era TNGHS Pengelolaan hutan TNGHS pada awalnya berada pada dua kubu, wilayah bagian barat (Gunung Halimun) dikelola oleh Taman Nasional sedangkan wilayah bagian timur (Gunung Salak) dikelola oleh Perum Perhutani (Rinaldi et al. 2008). Seperti yang telah di jelaskan pada Tabel 5 di atas, warga Sukagalih akhirnya memulai semua dengan kehidupan dan strategi nafkah yang baru. Pendapatan mereka pun sangat memprihatinkan, selain mereka mendapat tekanan dari pihak Perhutani yang telah mengambil lahan serta pihak TN yang menjadikan hutan konservasi. Pada Tahun 2005 hingga 2007 proses dimana warga Sukagalih memperjuangkan hak mereka yang telah hilang. Proses itu dimana warga ingin mendapatkan hak atas lahan mereka yang berada di zona khusus, Warga Sukagalih di dampingi oleh pihak Cifor untuk melakukan permohonan kawasan yang dapan dimanfaatkan. Akhirnya Warga Sukagalih akhirnya mendapatkan lahan mereka yang berada di zona khusus pemanfaatan seluas 30ha. Zona khusus pemanfaatan dijadikan salah satu zona yang dapat dikelola oleh masyarakat. Pihak TN memberika surat kontrak kepada masyarakat agar dapat mengelola lahan di kawasan zona khusus pemanfaatan itu selama sepuluh tahun. Kontraknya sudah habis tahun 2013, namun pihak TN selalu mengulur-ngulur untuk memperpanjang kontrak tersebut, padahal masyarakat telah meminta agar pihak TN segera menyelesaikan surat kontrak tersebut. Berikut wawancara salah satu penduduk Kampung Sukagalih. Kami sebagai warga negara yang baik ya neng selalu mengikuti apa kata pemerintah bagaimana prosedurnya. Karena kami tahu kontrak sudah akan habis, kami segera menyelesaikannya untuk diperpanjang. Namun, pihak Taman Nasional ada aja sibuknya, entah itu mereka bilang tidak ada waktu bertemu kami, entah mereka bilang ia dan hanya ia namun sampai saat ini belum ada kejelasannya. Kami selalu menunggu dan berusaha agar pihak TN dengan segera menyelesaikan kontrak untuk diperpanjang. (SM) Tidak hanya itu, ternyata lahan HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan teh telah habis masa HGUnya yang berlaku 35 tahun dan telah habis pada tahun Sampai sekarang pihak pemerintah belum memutuskan apakah lahan tersebut akan diperpanjang kontrak HGUnya kepada PT. Intan atau akan menjadi tanah terlantar. Definisi tanah terlantar tidak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ( PP No.11/2010 ), tetapi diatur di dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Pasal 2 PP No.11/2010, yang termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak

48 37 Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Akibat dari ketidak jelasan antara pemerintah dan pemilih hak atas tanah, masyarakat Sukagalih banyak yang berbondong-bondong mempergunakan lahan eks HGU dan banyak yang menjualnya kepada orang luar. Seharusya pemegang hak segera mengurusi perpanjangan kontrak HGU tersebut, apabila tetap tidak ada kejelasan dari pemegang hak maka Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar. Kepala BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagai tanah terlantar. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan, penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Setelah pemerintah memutuskan akan diapakan lahan tersebut, kalau sudah menjadi tanah terlantar baru dapat di akses oleh masyarakat tanpa ada kontrak yang membebani. Warga Kampung Sukagalih sudah jauh ada sebelum ditetapkannya kawasan hutan konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Mereka sudah sangat bergantung terhadap sumber daya hutan. Karena berada dalam zona khusus pemanfaatan, warga dapat memanfaatkan sumberdaya hutan untuk keperluan sehari-hari. Adapun sumberdaya yang dimanfaatkan oleh warga adalah sebagai berikut: 1. Pohon Damar Pohon damar adalah sejenis pohon anggota tumbuhan runjung (Gymnospermae) yang merupakan tumbuhan asli Indonesia. Pohon yang besar, tinggi hingga 65m², berbatang bulat silindris dengan diameter yang mencapai lebih dari 1,5 m. Damar tumbuh secara alami di hutan. Tumbuhan ini dibudidayakan untuk diambil getahnya, getah akan mengalir keluar dan membeku setelah terkena udara beberapa waktu lamanya. Warga Sukagalih memanfaatkan getah damar diolah untuk dijadikan kopal. Lama-kelamaan getah ini akan mengeras dan dapat dipanen yang dikenal sebagai kopal sadapan. Getah juga dapat diperoleh dari deposit damar yang terbentuk dari luka-luka alami, di atas atau di bawah tanah, jenis ini disebut kopal galian. Kayu damar berwarna keputihputihan, tidak awet, dan tidak seberapa kuat. Di Bogor, kayu ini hanya dimanfaatkan sebagai papan yang digunakan di bawah atap.

49 38 Gambar 4 Pohon damar dan tetesan resin kopal di TNGHS 2. Rumput Rumput merupakan tumbuhan renek dan sering dijadikan pakan ternak kambing yang ada di Sukagalih. Biasanya warga setelah berladang selalu pergi kehutan mengambil rumput untuk pakan ternak, rumput dikumpulkan sebanyak mungkin sekitar 3 karung lebih agar kambing tidak bersuara dimalam hari karena kekurangan rumput. 3. Kayu bakar Segala jenis bahan kayu yang dikumpulkan untuk digunakan sebagai bahan bakar. Umumnya kayu bakar merupakan bahan yang tidak diproses selain pengeringan dan pemotongan, dan masih terlihat jelas bagian-bagian kayu seperti kulit kayu, mata kayu dan sebagainya. Warga Sukagalih sudah jarang memanfaatkan kayu bakar, karena sebagian rumahtangga sudah mulai menggunakan kompor gas. Alasan mereka mengurangi penggunaan kayu bakar karena mereka tidak ingin menghabiskan sumber kayu yang ada di hutan dan sudah mendapat larangan dari pihak TNGHS agar tidak menebang pohon, bila warga melanggar maka akan terkena sanksi. 4. Air Sumberdaya air di Sukagalih sangatlah melimpah, warga disana tidak pernah kesulitan untuk mendapatkan air untuk segala kebutuhan mereka. Air yang ada mereka gunakan untuk persawahan, kebutuhan rumahtangga, dan lain-lain. Namun sumberdaya air tersebut telah lebih dahulu diambil oleh pihak PDAM. Disini setiap warga berangkat ke sawah itu jam 6 abis subuhlah neng. Bapa, ibu berangkat ke sawah sampai jam setengah dua belas. Terus pulang dulu kerumah buat sholat Zuhur sama makan, baru ke ladang neng sama ambil rumput buat ternak. (BI, 38 tahun) Setiap warga boleh memanfaatkan hasil hutan yang ada di TN, cuman yang boleh dimanfaatkan itu yang masih berada di dalam

50 kawasan zona khusus pemanfaatan telah diputuskan oleh pihak TN. Kalau di zona lain mah kami tidak diperkenankan untuk memanfaatkan hasil hutan tersebut maupun lahannya.pohon-pohon yang ada pun kami tidak pernah boleh menebang, malahan kami menanam dan merawat pohon-pohon yang ada dikawasan (AS, 34 tahun) 39

51 40

52 41 KOLABORASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA CIFOR Shared Learning Bertempat di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Sukabumi, tanggal Juni 2007, sekelompok masyarakat, lembaga pendamping dan pemerintah berkumpul. Mereka berbagi kisah dan pengalaman tentang penataan ruang. Kegiatan ini dikemas dalam Shared Learning (SL) VI diprakarsai Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-NGO Movement); didukung pula oleh The Forest Partnership, Japan International Cooperation Agency (JICA), TNGHS, PEKA, Jaringan Masyarakat Koridor (Jarmaskor), dan Kelompok Peduli Lingkungan (KOPEL) dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Sebanyak 35 orang peserta SL, bertema Penataan Ruang: Titik Temu Kolaborasi Pengelolaan Hutan. Para peserta berasal dari berbagai daerah; seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimatan Timur, serta masyarakat lokal Kampung Cisarua dan Sukagalih. Kegiatan ini diawali dengan berbagi pengalaman dari peserta mengenai penataan ruang dan pengelolaan kawasan hutan. Selain berbagi pengalaman, peserta juga mendapatkan informasi lain dari sesi seminar dan sejumlah pembekalan yang terkait dengan peningkatan kapasitas penataan ruang. Pembekalan meliputi: Multidisciplinary Landscape Assesment (MLA), sebuah metode untuk menilai arti penting sumberdaya alam bagi masyarakat lokal dan aplikasinya untuk penataan ruang, PAR (Partisipatory Action Research), Rapid Land Tenure Appraisal (RaTA), seperangkat alat untuk menganalisis, memahami dan menjelaskan masalah dan akar konflik penguasaan tanah, dan Skenario Masa Depan (Future Scenario). Penataan ruang merupakan media untuk menampung berbagai peran dan kepentingan para pihak atas suatu kawasan. Penataan ruang yang baik seharusnya menjamin hak para pihak, mengurangi konflik atas penggunaan ruang dan yang tidak kalah penting, mencegah kerusakan lingkungan. Bermacam kelengkapan peraturan telah tersedia, meskipun belum sepenuhnya menjamin tertib penerapannya. Otonomi daerah juga telah membuka jalan bagi banyak pihak untuk berkontribusi dalam penataan ruang. Peluang partisipasi publik makin terbuka ketika peran pemerintah daerah makin menonjol seiring angin kencang otonomi daerah. Peluang dan tantangan selalu mengiringi setiap dinamika penataan ruang. Semakin berperannya pemerintah daerah justru menimbulkan setiap daerah untuk menata ruang bagi kepentingannya sendiri yang seringkali bertentangan dengan kepentingan pembangunan kehutanan. Tetapi dibalik kecenderungan itu muncul pula harapan agar penataan ruang dapat mendorong pengembangan wilayah untuk meningkatkan kualitas hidup yang adil dalam lingkungan yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, tata ruang bisa juga menjadi jembatan bagi banyak kalangan untuk bekerjasama dalam

53 42 menyelesaikan persoalan yang ada dan dalam mengembangkan pengelolaan hutan yang lebih baik. Penataan ruang di Indonesia yang carut marut ikut menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Terjadinya bencana alam, menunjukkan betapa pentingnya penataan ruang yang menyeluruh. Tata ruang suatu kawasan sangat mempengaruhi kawasan yang lain. Penataan ruang yang mampu menampung banyak kepentingan, sebenarnya juga mencerminkan sebuah kewajiban bagi para pemangku kepentingan; terutama ketika terjadi bencana. Dengan demikian, diperlukan sebuah sudut pandang lain tentang tata ruang. Menyangkut kebencanaan, tata ruang seharusnya dipandang sebagai media tanggung renteng atas pencegahan, penangkalan dan kedaruratan bencana. Tata ruang tak bisa lagi dipandang sebagai pergumulan kepentingan atas sumberdaya di suatu kawasan. Lebih dari itu, tata ruang juga harus dipahami sebagai peluang membagi peran dan tanggung jawab atas kelayakan lingkungan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya bencana alam. Tata ruang bagian hulu sebuah daerah aliran sungai (DAS), misalnya, akan sangat mempengaruhi bagian hilir DAS bersangkutan. Artinya, perlu adanya pemahaman bagi luasnya cakupan penataan ruang; dan tergantung pada cakupan spasial ekosistem dan administratif yang dihadapi. Tata ruang harus menghindari pendekatan parsial; sebaliknya harus menyeluruh. Pada saat yang sama, dipahami juga bahwa watak berbagi tanggung jawab tata ruang bukan berarti sebagai upaya pelemparan tanggung jawab dari satu pihak ke pihak lain. Itulah sebabnya, tata ruang yang menyeluruh dan komprehensif harus dipahami sebagai perwujudan tanggung renteng semua pihak atas bencana yang mungkin dan sedang terjadi. Sebelum berjalannya SL, pihak Cifor melakukan pendekatan dengan masyarakat dengan membangun hubungan saling percaya, agar proses SL berjalan dengan lancar tanpa adanya pihak masyarakat yang tidak ikut berkolaborasi. Seperti yang dijelaskan oleh Agus Mulyana dari Cifor, bahwa sebentar atau lamanya pendekatan kepada masyarakat itu tergantung personaliti kita. Pertama memulai dengan membangun hubungan saling percaya dengan masyarakat. Pertama kali datang Warga masyarakat itu bisa langsung percaya dengan orang luar namun bisa dengan waktu lama sekali percaya pada kita. Lama atau sebentarnya itu tergantung dengan personality kita, kalau saya membangun hubungan saling percaya memulai dengan apresiasi kepada masyaakat, memberi apresisai dengan tulus kepada mereka. Kita tahu semua orang butuh apresiasi, apalagi org desa yang sering kali dihujat, dimarjinilisasi dan tidak dihargai prestasinya oleh orang luar yang merasa lebih pintar dari mereka. Saya tidak pernah mau mempunyai mindset seperti itu, maindset saya adalah menempatkan mereka sebagai guru saya dan ini tidak pura-pura, karena memang mereka itu punya pengalaman empirik yang jauh lebih lama dari saya. Jadi wajar kalau saya menjadikan mereka guru saya, saya belajar dari mereka, dan sungguh luar biasa pengalaman hidup mereka. Dan saya mengapresiasi pengalaman mereka itu sebagai suatu hal yang tidak saya miliki, (Agus Mulyana, Cifor).

54 43 Dalam membangun rasa saling percaya dengan masyarakat, harus ada niat baik yang ditekadkan bulat-bulat di hati datang ke kampung itu. Masyarakat desa itu perasaannya lebih sensitif dan mereka dapat merasakan niat kita. Kalau saya mau datang ke kampung-kampung dimana pun dan terasing, karena ingin membangun niat yang baik. Mereka bisa merasakan niat yang ada dihati kita, orang kampung itu sangat sensitif dan perjelaskan niat kita kepada mereka dengan cara permisi terlebih dahulu kepada mereka dan menjelaskan apa tujuan dan niat baik kita datang ke kampung mereka, Ujar Agus Mulyana, Cifor. Program Shared Learning (SL) ini terutama melibatkan masyarakat Sukagalih. Melibatkan mereka dalam proses pembelajaran bersama tentang pengelolaan sumberdaya alam. Tidak hanya masyarakat Sukagalih saja, banyak peserta dari Jawa yang hadir untuk bertukar pengalaman. Berikut penjelasan dari Agus Mulyana mengenai masyarakat yang ikut berperan dalam segala keputusan. Pertama melibatkan mereka di dalam proses SL pembelajaran bersama tentang pengelolaan sumberdaya alam, dalam proses ini mereka dipertemukan untuk berbagi pengalaman dengan peserta dari seluruh indonesia. Kemudian sebelum mereka menjadi peserta SL didampingi oleh Cifor agar mereka memiliki pemahaman yang lebih lengkap mengenai pengalaman mereka mengenai SDA dan mengatasi masalah-masalah mereka. Berdiskusi menyiapkan satu bahan untuk dibagi kepada peserta lain. Kemudian mereka mempresentasikan tentang Kampung Sukagalih. Ketika itu seketika Kampung Sukagalih menjadi kampung belajar bagi peserta-peserta lain di seluruh Indonesia, semacam berbagi pengalaman saja, Agus Mulyana,Cifor. Keseluruhan proses ini didampingi reviewer dan dukungan tim dokumentasi dalam proses SL memungkinkan peserta untuk memperoleh materi diskusi sebagai bahan refleksi. a. Orientasi Peserta Proses ini bertujuan membuat suasana belajar menjadi lebih dinamis dan nyaman untuk memasuki proses belajar bersama. Orientasi diawali dengan uji kepribadian, peserta diberikan beberapa pertanyaan yang menunjukkan kepribadian masing-masing. Tahap ini bertujuan untuk mengenal karakter setiap peserta sehingga dapat mengetahui potensi dan kapasitas diri. Sesi selanjutnya, harapan dan kekhawatiran dan pengukuran kapasitas.peserta diminta menempelkan sticker di rentang angka 0 9 untuk mengetahui kapasitas dan harapan akan SL 6 ini. untuk konsep tata ruang dan pemahaman kebijakan, peserta lebih banyak menempatkan sticker di rentang 5 kebawah. Sedangkan untuk metode, beberapa peserta menempatkan sticker di rentang 8-9. b. Berbagi Pengalaman Tujuan proses ini adalah melakukan berbagi cerita dan refleksi bersama atas pengalaman masing-masing peserta dan mendapatkan masukan positif

55 44 dari peserta lain serta menarik hikmah dan pelajaran penting dari pengalaman tersebut. Shared learning juga dirancang agar seluruh peserta dapat bersama-sama mengasah dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam metodemetode yang dapat digunakan dalam penataan ruang. Peserta diberikan pembekalan mengenai metode-metode tersebut. Praktik metode dengan melibatkan masyarakat sebagai narasumber bertujuan untuk berbagi informasi bersama dan melakukan kajian lapangan dengan situasi yang hampir mirip situasi sebenarnya. Dalam proses belajar dari lapangan ini, para peserta Shared Learning berperan sebagai fasilitator dan bersama masyarakat setempat melakukan kajian mengenai penataan ruang kampung dan pengelolaan kawasan koridor. Berbagai hasil kajian tersebut, kemudian menjadi bahan masukan bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi daerah mereka dan rekomendasi penataan ruang kampung. Selama proses ini berlangsung Penduduk Kampung Sukagalih memiliki harapan setelah terjadinya konservasi. Harapan Masyarakat Sukagalih: 1. Ada pihak yang menjadi jembatan dengan pihak luar 2. Konservasi hutan 3. Kampung ekowisata 4. Adanya payung hukum bagi masyarakat dalam tata ruang 5. Sarana kegiatan ekonomi. Setelah adanya program SL, seluruh pihak-pihak telah mengetahui programprogram apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan. Sukagalih seperti terangkat kepermukaan dan mendapat perhatian dari banyak pihak. TNGHS dan pemerintah provinsi dan kabupaten daerah sukabumi, kemudian banjir program ke kampung itu. Pemerintah kabupaten seakan-akan berlomba-lomba membawa program ke kampung itu dan terlihat menjadi kurang baik bagi masyarakat. Berikut paparan dari Agus Mulyana. Banyaknya pihak yang berlomba-lomba membawa program ke Sukagalih, menjadi terlihat kurang baik. Karena banyak program dari pemerintah yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat Sukagalih, pemerintah belum ada perubahan mengenai program, masih topdown, kebanyakan orang luar dan pemerintah masih menjadikan masyarakat sebagai objek mereka. Jadi, pemerintah dan masyarakat luar sudah memiliki sejumlah program dan masyarakat hanya disuruh menjalankannya, tidak menanyakan terlebih dahulu kepada mereka apa yang diinginkan, Agus Mulyana, Cifor. Disitulah peran Cifor untuk memperkuat mereka agar mereka dapat memilih dan membuat keputusan proyek mana yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Cifor mendampingi tidak intensif, hanya secara personal saja. Intinya kalau kita mau melakukan pendampingan transformatif atau penelitian yang memberdayakan, itu harus jelas apa yang ingin di berdayakan dan tetap harus disepakati oleh masyarakat. Contohnya pertama yaitu ketika masyarakat sukagalih tidak mandiri untuk membuat keputusan maka harus didorong agar mandiri dan mampu membuat keputusan untuk memilih proyek yang mereka butuhkan,

56 45 keputusan-keputusan itu harus dilembagakan, harus ada perencanaan bersama masyarakat. Kedua ingin mendorong proses perubahan mengenai modal sosial mereka, dari modal sosial yang lemah rentan dan mudah patah menjadi komunitas dengan modal sosial yang kuat. Disitu mereka harus punya pemahaman mengenai masyarakat dengan modal sosial yang kuat itu seperti apa, antara lain hubungan relasi sosial antara anggota masyarakat, hubungan saling percaya, kompak gotong royong dan lain-lain. Sebenarnya elemen itu sudah ada di masyarakat Sukagalih dan hanya diperkuat dengan cara membuat perencanaan bersama masyarakat. Intinya kelembagaan lokal yang ada untuk memperkuat modal sosial mereka, bukan sebaliknya memperlemah. Manfaat Kolaborasi Kolaborasi yang terjalin antara pihak Cifor dan masyarakat Sukagalih membuat perubahan yang begitu besar bagi masyarakat. Masyarakat Sukagalih yang awalnya sudah tidak dapat mengakses lahan di dalam kawasan dan berkurangnya pendapatan dalam bidang pertanian, seketika mulai bangkit dengan keberadaan pihak Cifor yang membantu dalam suatu pencapaian bersama. Kasus adanya hutan yang di jadikan sebagai hutan konservasi dalam penelitianpenelitian yang lain, memperlihatkan bahwa setiap masyarakat lokal yang dahulunya berada di dalam kawasan hutan konservasi tidak akan ada yang mendapatkan lahan untuk dapat di akses oleh warga. Seperti contoh kasus yang berjudul Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Desa Ciputri, Cianjur. Menjelaskan bahwa pada akhirnya TNGGP yang telah menjadi kawasan konservasi, tidak dapat diakses oleh masyarakat setempat. Setiyadi Indra (20013), menjelaskan bahwa pada saat kawasan TNGGP bertambah luas sebagai akibat beralihanya status kawasan hutan produksi menjadi hutan konservasi (salah satunya wilayah yang terkena adalah Desa Ciputri, Cianjur). Petani penggarap di Desa Ciputri mengalami imbas dari perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Diawali petani membuka lahan untuk menggarap lahan kawasan berdasarkan adanya perjanjian PHBM oleh Perum Perhutani pada tahun 1980an. Namun pada tahun 2003 menurut 2003 berdasarkan SK Menhut No 174, lahan garapan tersebut, dialih fungsikan karena mengalami perluasan TNGGP. Perubahan alih fungsidari kawasan hutan produksi Perhutani menjadi kawasa konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Akibat perubahan alih fungsi petani tidak perbolehkan lagi menggarap kawasan hutan. Contoh kasus di atas sangat terlihat jelas perbedaan yang terjadi pada penelitian ini di TNGHS, bahwa masyarakat Kampung Sukagalih yang terkena dampak konservasi mendapatkan lahan di dalam kawasan untuk di kelola oleh masyarakat Sukagalih seluas 30 ha. Masyarakat dapat bernafas lega, karena berkat adanya Cifor yang membantu masyarakat dalam proses negosiasi dengan pihak Balai TNGHS. Akhirnya, masyarakat diberikan lahan oleh TNGHS seluas 30ha

57 46 yang terdiri dari 15ha yang ditanami pohon damar dan 15ha untuk persawahan dan adopsi pohon bersama masyarakat. Awalnya masyarakat Sukagalih merasakan kesulitan ketika belum mendapatkan lahan dari pihak TNGHS. Mereka sulit untuk memulai dari mana agar pendapatan mereka yang hanya berasal dari bidang pertanian dapat kembali seperti sebelum adanya konservasi. Namun, setelah adanya Cifor yang membantu banyak dalam hal negosiasi dalam pengelolaan lahan seluas 30ha tersebut, masyarakat juga diajarkan bagaimana cara bertahan hidup dan mengelola sumberdaya alam dengan baik agar mereka menjadi desa yang sejahtera. Akibat adanya peran Cifor yang mendampingi masyarakat Sukagalih, strategi nafkah yang awalnya hanya sebagai petani, sekarang masyarakat Sukagalih bermata pencaharian lebih dari satu bidang yaitu disebut strategi nafkah multi. Masyarakat Sukagalih saat ini tidak hanya bergantung pada pendapatan dari hasil pertanian naum memiliki pendapatan lain di bidang non pertanian. Terutama pada hasil ternak yang begitu mendominasi pada pendapatan para rumah tangga petani.

58 47 PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN PEMANFAATAN ASSET Status Penguasaan Lahan Masyarakat Pola Pemilikan Lahan Pola penguasaan atas tanah menurut struktur agraria yaitu pola kepemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pola pemanfaatan lahan. Bab ini membahas mengenai pola kepemilikan lahan. Pola kepemilikan lahan adalah pola penguasaan atas tanah yang paling tinggi tingkatannya karena telah memiliki pengukuhan yang sah yaitu hak milik yang bisa ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Pola kepemilikan lahan terdiri dari dua cara yaitu yang pertama kepemilikan tanah dari proses waris terjadi ketika sebuah tanah diwariskan dari seseorang kepada orang lain dengan mengalihkan nama atas kepemilikan tanah tersebut. Di Kampung Sukagalih, mayoritas kepemilikan tanah atau lahan berasal dari kepemilikan melalui proses warisan. Ketika orang tua meninggal, maka hak waris atas tanah tersebut jatuh kepada anaknya. Tanah yang diwariskan biasanya adalah tanah yang telah dibangun rumah di atasnya. Pola kepemilikan yang kedua berasal dari proses jual beli. Kepemilikan tanah dari proses ini terjadi ketika seseorang ingin menjual tanahnya kepada orang lain yang ditandai dengan akta jual beli dan alih nama sertifikat. Di Kampung Sukagalih jual beli tanah jarang dilakukan ketika HGU masih terikat kontrak, namun ketika kontrak HGU sudah habis dan pemerintah belum memutuskan, masyarakat Sukagalih sering menjual lahan eks HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan tersebut kepada orang luar, baik luar kota maupun luar negri yang datang ke Sukagalih dan tertarik untuk membelinya. Contohnya lahan eks HGU itu sudah dijual kepada orang Jepang dan orang Jakarta. Kepemilikan tanah, baik melalui proses warisan maupun jual beli tentu ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Hal tersebut menjadi salah satu cara yang sah bagi pengukuhan atas sebuah tanah yang dimiliki. Sayangnya Sukagalih ini, kepemilikan tanah yang ditandai dengan adanya sertifikat masih sedikit, begitupula bila dilihat secara keseluruhan dari Desa Cipeuteuy. Mayoritas kepemilikan tersebut hanya ditandai dengan surat pengukuhan atau pengakuan dari kepala desa. Tabel 5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011 Kepemilikan tanah Persentase (%) Tanah milik negara 72,01 Tanah milik sendiri (masyarakat) 27,99 Total 100 Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011 Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut mata pencaharian

59 48 Dari Tabel 5 di atas, terlihat bahwa kepemilikan tanah milik sendiri hanya sekitar 27,99 persen, sedangkan tanah milik negara yang berada di desa mencapai 72,01 persen. Tanah milik negara di sini terdiri dari tanah dalam koridor TNGHS dan tanah eks HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan. Sedangkan untuk tanah milik sendiri pun hanya sedikit yang memiliki sertifikat sebagai tanda pengesahan kepemilikan tanah. Sebagian besar masyarakat hanya bermodal surat keterangan dari pihak desa. Proses pembuatan sertifikat yang lama sehingga menjadi alasan masyarakat tidak mau membuat sertifikat atas tanahnya. Padahal sebenarnya, hal tersebut rentan terhadap adanya klaim ganda atas kepemilikan sebuah tanah. Perubahan Penguasaan Lahan Pola penguasaan lahan di lokasi penelitian terdiri dari tiga jenis cara yaitu: 1. Sewa-menyewa Di Kampung Sukagalih tidak ada pola penguasaan lahan melalui sewamenyewa, masyarakat tidak pernah menyewa tanah untuk digarap. Mereka cenderung bergantung pada lahan yang bisa dipakai secara cuma-cuma tanpa harus mengeluarkan biaya sewa. 2. Pinjam-pakai Lahan yang digarap oleh masyarakat kebanyakan lahan di dalam TN. Masyarakat menggunakan lahan tersebut atas pola penguasaan pinjampakai lahan. Masyarakat menggunakan lahan tersebut secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya sewa. 3. Sistem bagi hasil. Selain itu, ada lahan desa yang merupaka milik orang luar, yaitu pemilik dari Jakarta maupun dari Jepang dan lain sebagainya. Lahan-lahan tersebut dibeli namun tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, warga pun memanfatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Sistem bagi hasil ini tidak berpedoman pada perjanjian kontrak bagi hasil, melainkan hanya secara kekeluargaan. Pemilik lahan tersebut kebanyakan merupakan orang yang pernah meneliti di Sukagalih. Sebagai ucapan terima kasih, petani yang memanfaatkan lahannya akan memberikan sebagian kecil hasil panen kepada sang pemilik lahan. Beberapa sistem dan bentuk penguasaan lahan yang telah dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa kawasan hutan TNGHS dan lahan-lahan yang ada di wilayah Kampung Sukagalih telah dimanfaatkan oleh warga melalui berbagai cara perizinan, guna menjadi pendukung sumber nafkah mereka sebagai petani. Warga Sukagalih memiliki lahan yang dikuasai dan digarap, namun mereka tidak hanya bergantung pada satu lahan garapan saja. Setiap responden penelitian memaksimalkan kegiatan pertaniannya tidak dengan satu lahan garapan saja. Warga Sukagalih termasuk warga yang kompak maka dari itu mereka membuat sistem liliuran, yaitu setiap warga Sukagalih selain memiliki lahan sendiri mereka juga membantu menggarap di lahan warga lainnya secara bergilir. Bentuk-bentuk penguasaan lahan responden terdiri dari tiga jenis yaitu tidak memiliki lahan,

60 49 lahan di luar kawasan (lahan milik sendiri, lahan sewa/bagi hasil, dan eks HGU) dan lahan di dalam kawasan. Tabel 6 Jumlah dan persentase tingkat penguasaan lahan penduduk di Kampung Sukagalih berdasarkan bentuk penguasaan lahan tahun 2003 dan 2013 Bentuk penguasaan lahan Tidak memiliki lahan Lahan di luar kawasan - Lahan milik sendiri Tahun 2003 Tahun 2013 N % N % 2 1,94 1 0, , ,18 - Lahan sewa/ba gi hasil 18 17, ,5 - Lahan 24 23, ,24 eks HGU Lahan dalam 30 29, ,12 kawasan Total Tabel 6 di atas memperlihatkan persentase paling besar pada tahun adalah penduduk yang menguasai lahan melalui lahan di dalam kawasan TNGHS yaitu sebesar 29,12 persen atau sebanyak 30 orang. Kemudian penduduk yang memiliki lahan sendiri pada tahun 2003 sebesar 28,15 persen atau 29 orang. Pada tahun 2013 mengalami penurunan hanya sekitar 27,18 persen penduduk yang memiliki lahan sendiri, karena sebagian orangtua memberika warisan tanah kepada anaknya yang telah menikah. Penduduk yang tidak memiliki lahan tahun 2003 berada pada angka 1,94 persen dan mengalami penurunan pada tahun 2013 sekitar 0,97 persen. Persentase yang sama pada tahun muncul pada bentuk penguasaan lahan bagi hasil sebesar 17,5 persen atau sebanyak 18 orang. Secara keseluruhan pada tahun 2003 sekitar 34 orang penduduk yang menggunakan lebih dari satu lahan garapan untuk kegiatan pertanian. Penduduk yang hanya menggunakan satu lahan garapan sekitar empat orang dan dua orang yang tidak memiliki lahan garapan sama sekali. Alasannya, karena mereka masih berumur antara 21 tahun 28 tahun yang pada tahun 2003 mereka masih belum berkeluarga atau belum menikah. Maka, mereka hanya memiliki satu lahan garapan. Tahun 2013 mengalami penambahan untuk penduduk yang hanya menggunakan satu lahan garapan saja sekitar lima orang dan untuk penduduk yang menggunakan lebih dari satu lahan bekurang menjadi 33 orang. Hal ini disebabkan adanya perluasan TN yang berdampak bagi Kampung Sukagalih yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. Pada Tabel 7 dan 8 dibawah ini terlihat pola penguasaan lahan dari 2003 sampai 2013 semakin berkurang. Masyarakat yang memiliki lahan dengan kategori luas pada tahun 2003 di dalam kawasan dengan persentase sebesar 15 persen atau berjumlah enam orang dan mengalami penurunan tahun 2013 di dalam kawasan sebesar 10 persen atau empat orang. Masyarakat yang tadinya

61 50 mendapatkan hak untuk mengolah lahan mereka sendiri sekarang semakin susah karena Kampung Sukagalih berbatasan dengan zona khusus pemanfaatan, masyarakat yang sudah memiliki cucu atau sudah menikahkan anaknya, dan lahan diwariskan untuk mereka. Tabel 7 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun 2003 Kategori Luas lahan (ha) tahun 2003 Dalam kawasan Lahan sendiri Eks HGU N % n % n % x 0, ,3>x 0, x<0, Tabel 8 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun 2013 Kategori Luas lahan (ha) tahun 2013 Dalam kawasan Lahan sendiri Eks HGU N % n % n % x 0, ,3>x 0, x<0, Lebih jelas dapat dilihat pada gambar 5, dibawah ini. Perbandingan Pola Penguasaan lahan Tahun 2003 dan n % n % n % n % n % n % Dalam Kawasan Lahan Sendiri HGU Luas Lahan (Ha) Tahun 2003/2008/2011 Dalam Kawasan Lahan Sendiri HGU Luas Lahan (Ha) Tahun 2013 Luas (> xmax-x) 6 15% 1 3% 4 10% 4 10% 1 3% 2 5% Sedang (xmin+x< x <xmax-x) 7 18% 3 8% 1 3% 7 18% 0 0% 0 0% Sempit (< xmin+x) 27 68% 36 90% 35 88% 29 73% 39 98% 38 95% Patok istilah yang sering dipakai warga untuk mengemukakan luasan lahan. Satu patok = 400m 2 Gambar 5 Perbandingan pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun 2003 dan 2013.

62 51 Sebagaimana terlihat pada gambar 5, bila dilihat dari ketiga lokasi lahan, masyarakat lebih dominan menggunakan lahan di dalam kawasan sebanyak enam orang atau 15 persen yang memiliki lahan pada golongan luas yang berada di dalam kawasan pada tahun 2003 dan mengalami penurunan pada tahun 2013 hanya sekitar empat orang atau 10 persen yang hanya memiliki lahan pada golongan luas. Namun, yang lebih terlihat jelas banyaknya penduduk yang berada di lahan golongan sempit yang berada di lahan sendiri pada tahun 2013 sekitar 39 orang atau 98 persen itu mengalami peningkatan dari tahun 2003 yang hanya 90 persen. Kaitan Strategi Nafkah dan Status Penguasaan Status penguasaan lahan warga Kampung Sukagalih memang bermacammacam bentuk penguasaannya, mulai dari lahan milik sendiri pinjam-pakai, eks HGU hingga bagi hasil. Namun mayoritas yang dipakai oleh warga Sukagalih yaitu lahan milik TNGHS. Petani di Kampung Sukagalih cukup bergantung pada keberadaan lahan TNGHS. Ketergantungan terhadap lahan TNGHS ini tentu mempengaruhi cara petani dalam mencari nafkah bagi rumahtangganya. Saat ini petani Sukagalih merasakan ketidakamanan dalam penggunaan lahan TNGHS tersebut, karena lahan TNGHS telah habis masa kontraknya. Statusnya penguasaan lahannya pun berubah menjadi tidak jelas karena pihak BTNGHS belum memperpanjang kontrak lahan tersebut. Mayoritas petani di Sukagalih memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan pertaniannya. Secara tidak langsung, hal ini mempengaruhi perasaan tidak bebas dalam memanfaatkan lahan dalam keberlangsungan kegiatan pertanian. Kontrak perjanjian yang dijanjikan oleh pihak TNGHS sudah habis masa berlakunya, kami petani disini merasa cemas akibat status penguasaan lahan yang tidak jelas. Kami takut akan ada lahan yang dipersempit. Kalau begitu kami tidak dapat menjamin bisa mendapatkan kehidupan yang baik. (CA) Ketakutan akan ditariknya lahan tersebut sewaktu-waktu oleh pihak TNGHS menimbulkan permasalahan yang baru bagi masyarakat Sukagalih. Terdengar kabar bahwa pihak TNGHS sengaja menunda-nunda surat kontrak kerjasama karena akan adanya penambahan konservasi dan mulai masuknya perusahaan perkebunan teh, sawit dan sebagainya ke daerah Kampung Sukagalih, maka masyarakat Sukagalih terancam ekspansi dan terancam wilayah garapan mereka dipersempit.

63 52 Ikhtisar Pengelolaan hutan TNGHS pada masa sebelum ditunjuk menjadi areal konservasi berada di tangan Perum Perhutani. Pada masa itu, masyarakat masih memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan. Masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan mereka yang berada di dalam kawasan dan jika lahan garapan mereka yang sekarang digusur oleh Perhutani, masyarakat hanya memiliki hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak secara sah memilikinya. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, dilakukan perluasan kawasan taman nasional menjadi TNGHS. Perluasan kawasan TNGHS ini menjadikan lahan masyarakat masuk ke dalam kawasan TNGHS. Meskipun terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh warga, namun lahanlahan garapan warga sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona inti atau zona rimba. Tentu saja status yang sekarang tidak jelas membuat warga Sukagalih tidak merasa aman dan merasa terancam. Inti persoalan yang terjadi di Sukagalih yaitu masyarakat memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya akibat lahan nenek moyang mereka yang diambil, kemudia wilayah garapan mereka yang terancam dipersempit dan terancam ekpansi perkebunan teh, sawit dan sebagainya. Maka dari itu, pengelolaan kawasan TNGHS yang dijalankan oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan masyarakat, terutama lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan pertanian. Jika begitu, masyarakat harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang juga terus meningkat.

64 53 PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KAMPUNG SUKAGALIH Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang ternyata dulunya berada di dalam kawasan TNGHS baik area pemukiman, lahan garapan, area pemakaman dan lain sebagainya. Tempat yang dulunya mereka tempati itu telah dinamakan menjadi zona khusus pemanfaatan, pada tahun 1963 masyarakat Kampung Sukagalih dipaksa pindah oleh pihak-pihak yang ingin merampas lahan nenek moyang mereka. Perlakuan tidak menyenangkan sering mereka dapatkan, dan akhirnya mereka keluar dari lahan nenek moyang mereka dan pindah ke lahan yang sampai sekarang mereka diami. Kondisi yang serba kekurangan dan kebingungan bagaimana mereka harus menjalani hari-hari mereka untuk tetap bertahan hidup. Harapan yang mereka bangun musnah seketika lahan nenek moyang tersebut dimbil alih oleh pihak perum Perhutani. Tahun demi tahun mereka lewati dan memperjuangkan kebutuhan yang lebih baik. Ketika 2003 taman nasional telah resmi disahkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai hutan konservasi. Warga Kampung Sukagalih tidak mendapatkan bagian lahan untuk dapat mereka garap, namun pada tahun akhirnya warga mendapatkan bagian lahan di dalam kawasan seluas 30 hektar yaitu 15 hektar ditanami pohon damar dan 15 hektar untuk persawahan dan ladang yang telah mendapatkan MOU dari pihak taman nasional, yang dinamakan kawasan zona khusus pemanfaatan. Pemberian lahan di dalam kawasan merupakan persetujuan yang dibentuk oleh pihak taman nasional dan warga Sukagalih, untuk mengelola kawasan hutan yang dinamakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Masyarakat lokal itu baru pindah dilahan ini sekitar tahun 1963, dahulunya kami itu tinggal di dalam kawasan hutan. Pihak perkebunan yang menyuruh kami keluar dari kawasan hutan dan memberikan tempat disini.padahal ari kami mah tidak ingin atuh keluar dari rumah dan lahan kami sendiri. Hanya karena kami mah tidak punya surat-surat yang kuat untuk diberitahu. (RP,15 April 2014) Atuh iya kami mah pan tidak punya nanaon neng yang mau ditunjukan, bukti-bukti yang kami miliki hanya sejarah cerita nenek moyang kami dan benda atau semacamna yang dijadikan untuk penyekat ini batasan wilayah kami sampai dieu jeung ieu. (SM, 15 April 2014) Sumber nafkah merupakan hal terpenting untuk setiap keluarga mencapai tujuan rumahtangga dan dapat bertahan hidup di tempat tinggal mereka. Terdapat empat sumber nafkah rumahtangga responden Kampung Sukagalih sekarang ini yaitu lapangan pekerjaan sebagai petani, peternakan, jasa konstruksi, dan instansi negara. Seluruh sumber nafkah tersebut dikategorikan dalam dua struktur nafkah:

65 54 a. Nafkah dari sumber-sumber pertanian (petani dan peternakan) atau disebut sebagai nafkah yang bersumber dari on farm/off farm. b. Nafkah dari sumber-sumber non pertanian (jasa konstruksi,dll) atau disebut sebagai nafkah yang bersumber dari non farm. Sumber nafkah dari pertanian dan non pertanian tersebut merupakan ciri struktur nafkah warga Kampung Sukagalih yang ditunjukan oleh 40 responden yang sudah di dapatkan. Berikut tabel persentase jenis lapangan kerja di Kampung Sukagalih. Tabel 9 Jumlah dan persentase jenis pekerjaan utama rumah tangga Kampung Sukagalih tahun 2014 Jenis pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%) Tani Buruh Tani Karyawan Swasta/BUMN 2 50 Total Tabel 9 menjelaskan beberapa profesi penduduk Kampung Sukagalih. Profesi tersebut meliputi lapangan pekerjaan pertanian dan non pertanian. Terdapat empat jenis profesi penduduk Kampung Sukagalih, yaitu Petani dengan kepemilikan lahan sendiri, buruh petani, karyawan swasta dan karyawan PLN. Profesi sebagai petani berjumlah 20 orang atau 50 persen, profesi sebagai buruh tani 18 orang atau sebanyak 45 persen, sedangkan karyawan swasta dan karyawan PLN hanya 50 persen atau 2 orang. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penduduk Kampung Sukagalih mayoritas bermata pencaharian sebagai petani yang memiliki lahan sendiri namun tetap memanfaatkan lahan kawasan TN. Warga Kampung Sukagalih jarang ada yang merantau keluar atau bekerja dikota, terlihat hanya dua orang saja yang mencari nafkah di luar bidang pertanian, karena mereka bukan asli Sukagalih, melainkan mereka kepala keluarga yang menikah dengan perempuan asli Sukagalih dan ikut menetap disana. Warga Sukagalih tetap menjaga profesi petani agar tidak punah dan memiliki penerus yang tetap berpendidikan tinggi. Penduduk Kampung Sukagalih tidak hanya menggeluti pada satu jenis lapangan pekerjaan saja. Penduduk mencari beberapa jenis pekerjaan yang lain untuk mempertahankan keberlanjutan hidup rumah tangga atau disebut pola nafkah ganda, hampir semua mengatakan perlu memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Adapun jenis strategi nafkah yang dimiliki warga Sukagalih sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup adalah sebagai berikut:

66 55 Tabel 10 Jumlah dan persentase rumah tangga menurut jenis pekerjaan tahun 2014 Jenis pekerjaan Jumlah Persentase (%) Petani 0 0 Strategi nafkah ganda Petani dan Buruh tani 1 2,5 Petani dan Berternak Kambing 7 17,5 Buruh Tani dan Berternak Kambing 9 22,5 Strategi nafkah multi Petani, Buruh Tani, Berternak Kambing/Ikan dan Homestay 12 30,0 Petani/Buruh Tani dan Berternak Kambing, Homestay dan Berdagang 3 7,5 Karyawan, Petani/Buruh Tani, Berternak Kambing/Berternak Ayam dan Homestay 4 10,0 Petani/Buruh Tani, Berternak Kambing, Ojeg/buruh bangunan/penjaga hutan dan Homestay 4 10,0 Total Menurut Tabel 10 warga Kampung Sukagalih mayoritas bekerja sebagai petani, namun tidak ada yang hanya menjadi petani saja (nafkah tunggal). Selain menjadi petani, mereka juga menjadi buruh tani juga dilahan orang lain, hal ini dilakukan oleh satu responden atau sebanyak 2,5 persen. Selain menjadi buruh tani, pekerjaan sampingan yang dilakukan adalah berdagang, berternak kambing, berternak ikan, berternak ayam, ojeg, home stay, penjaga hutan, maupun menjadi buruh bangunan. Masyarakat yang memiliki lebih dari dua pekerjaan disebut strategi nafkah multi, secara keseluruhan penduduk yang melakukan lebih dari dua pekerjaan yaitu sebanyak 23 orang. Berikut yang diungkapkan oleh beberapa penduduk yang memiliki lebih dari dua pekerjaan. Semua yang ada di Sukagalih memiliki pekerjaan sampingan yaitu ternak, ada juga yang jadi buruh bangunan tapi hanya satu orang. Mau bagaimanapun jenis pekerjaan utama mereka, datang ke Sukagalih pasti melakukan ternak atau mengambil rumput untuk pakan ternak. Kalau hanya mengandalkan dari pertanian tidak akan dapat kebeli parabola, tv dan lain-lainnya. (TR, 31 tahun) Bapak mah pekerjaan utamanya itu petani neng, tapi kalau cuman ngandalin tani mah susah gak bisa dilihat pendapatannya seberapa besar. Tami mah pan untung-untungan neng, kalau panennya bagus berhasil harga jual cabai naik baru bisa dapet pendapatan besar. Tapi, kalau lagi gagal panen terus harga jual cabe turun ya harus sabar. Kalau dapet untung besar juga uangnya cepet ilangnya untuk

67 56 dibayar ke pemodal bibit yaitu tengkulak. Jadi, ya segini-gini aja lagi gak akan kaya-kaya. (UK, 43 tahun) Selain jadi petani bapak masih harus kerja di lahan orang atau biasa disebut buruh tani neng, nah kalau buruh tani biasanya bapa dibayar per harinya. Tapi, dalam seminggu paling bapak dapet 2-3 kali untuk jadi buruh. Ya lumayan lah untuk nambahnambah pemasukan. Kalau ada tamu yang sering datang ke Sukagalih biasanya setiap rumah itu dijadikan homestay untuk mereka tinggal, satu kamar perhari itu Rp Karena warga kami sangat kompak kami buat iuran atau seperti uang khas kampung kami, uangya itu berasal dari setiap rumah yang dijadikan homestay dipotong Rp5 000 untuk dimasukan khas. (RP, 24 tahun) Strategi Nafkah Ganda Pola nafkah ganda (diversifikasi nafkah) dapat dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan, atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja. Pola nafkah ganda dilakukan dengan mengerahkan sendi-sendi lain kehidupan untuk memberi jalan menambah pundi-pundi pendapatan. Pola nafkah ganda dapat dilakukan dengan berbagai cara yang pada intinya tidak hanya memanfaatkan satu sumber nafkah saja. Mata pencaharian utama Kampung Sukagalih yaitu pada dasarnya sebagai petani, baik petani padi maupun petani sayur. Rata-rata para petani di Kampung Sukagalih melakukan hal sama yaitu strategi diversifikasi nafkah. Mereka tidak hanya menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian melainkan juga pada sektor lain di luar pertanian. Penghasilan dari sektor pertanian terhitung kecil dan tak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mulai dari kebutuhan pangan, listrik, pendidikan, pengeluaran tak terduga seperti rumah sakit dan sebagainya. Sektor pertanian yang dilakukan warga juga dibatasi oleh akses petani terhadap lahan. Akses petani Sukagalih terhadap lahan yang dipinjam dari TNGHS belum sepenuhnya bebas. Permasalahan pemanfaatan lahan yang dibatasi oleh sistem zonasi dan larangan perluasan menyebabkan petani tak dapat mengintensifkan pendapatannya melalui sektor pertanian. Maka dari itu, sektor non-pertanian menjadi sektor pendukung yang tepat bagi petani untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Sektor non-pertanian yang dijalankan oleh masyarakat jelas ditampilkan pada Tabel 7 terdapat perbedaan pada tiap jenis pekerjaan dari sektor nonpertanian yang menjadi penyumbangan pendapatan terbesar, terutama di sektor perternakan kambing yang menjadi penyumbang pendapatan terbesar. Kampung Sukagalih merupakan kampung yang memiliki banyak ternak kambing dibandingkan jumlah penduduknya. Berikut tabel jumlah ternak kambing yang ada di Sukagalih.

68 57 Tabel 11 Jumlah ternak kambing (ekor) di Kampung Sukagalih Tahun 2003 dan 2013 Jenis kelamin kambing Jumlah kambing (ekor) Tahun 2003 Tahun 2013 Jantan Betina Anakan 0 6 Total Tabel 11 menjelaskan jumlah ternak kambing secara kesuluran di Kampung Sukagalih pada tahun 2003 yaitu 173 ekor dan pada tahun 2013 bertambah menjadi 334 ekor. Kambing yang ada di Sukagalih merupakan sumbangan dari pemerintah provinsi dan kabupaten, setiap rumah tangga diberikan sepasang kambing untuk mereka kembangbiakan agar menjadi penghasilan tambahan mereka. Jumlah kambing yang ada di Sukagalih melebihi jumlah penduduk Kampung Sukagalih, rata-rata warga menjual hasil ternak mereka sesuai kebutuhan yang akan mereka penuhi. Harga jual satu ekor kambing jantan biasanya sekitar Rp Rp , kambing betina Rp Rp , dan anaknya sekitar Rp Mereka menjual ternak ketika kebutuhan meningkat, dan ada pengeluaran tak terduga atau ketika hasil panen mereka tidak begitu baik. Berikut ini adalah hasil wawancara salah satu penduduk Kampung Sukagalih. Bapak mah koleksi kambing aja neng buat tabungan masa depan anak-anak, daripada harus pinjam uang ke bank keliling atau harus pinjam ke sana sini lebih baik jual kambing, jadi gak ada beban utang menumpuk. Biasanya bapa jual kambing buat kebutuhan sekolah anak. Tapi, alhamdulillah sih neng rezeky mah ada aja biarpun penghasilan dari tani tidak begitu besar untuk mencukupi kebutuhan selama sebulan. (SM, 45 tahun) Aset yang paling berguna menurut warga sini mah neng yaitu kambing, disini mah setiap kk pasti piara kambing, malahan kambingnya itu lebih banyak daripada warga disini. Bapa aja alhamdulillah punya kambing 15 ekor, itu untuk tabungan masa depan ke dua anak bapak. Mudah mudahan kambingnya semakin tambah, karena pendapatan terbesar ya dari hasil jual kambing. (AG, 34 tahun) Strategi Migrasi Rekayasa spasial (migrasi) merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen

69 58 maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Di Kampung Sukagalih, migrasi secara sirkuler maupun permanen tidak begitu dilakukan. Migrasi permanen dilakukan oleh anggota keluarga yang kepala keluarganya bukan penduduk asli Kampung Sukagalih, sehingga lebih memilih merantau ke luar desa. Namun, istri dan keluarga yang ditinggalkan tetap menjalankan pertanian namun dengan satu lahan garapan. Migrasi sirkuler kadang terjadi ketika pendapatan para petani berkurang, dan terjadi hanya kepada beberapa anak yang baru lulus SMA dan melanjutkan bekerja di luar desa. Intinya, migrasi menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh para petani untuk membantu menunjang strategi nafkah mereka. Meskipun pada dasarnya migrasi tersebut hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Berikut ini adalah contoh kasus dari responden yang memanfaatkan dengan maksimal dua sektor nafkah yaitu sektor pertanian dan sektor nonpertanian. Kedua sektor ini dijalankan bersama-sama untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kotak 01. Kasus responden AS (42 tahun) Bapak AS adalah seorang kepala keluarga yang bekerja sebagai petani. Ia bertani dengan menanam padi, cabai, timun, kacang panjang, dan kacang merah. Meskipun banyak varietas tanaman yang ditanam, hasil yang diperoleh memang tidak seberapa. Dari padi, per panen ia hanya bisa menghasilkan 2-3kw saja dengan harga jual Rp4 500/kg dan pendapatan bersih sekitar Rp Rp sedangkan tanaman cabai menghasilkan satu ton dengan harga jual yang tidak menentu, apabila harga cabai dipasar naik maka dapat terjual dengan harga Rp6 000 Rp30 000/kg dengan pendapatan kotor sekitar Rp Rp , namun bila harga cabai rendah, petani hanya dapat menjual seharga Rp4 000/kg atau dengan pendapatan sebesar Rp Hal ini dikarenakan tanah yang semakin sering digunakan menanam cabai atau padi akan semakin berkurang kualitas kesuburan tanahnya, maka hasil panen pun dapat menurun. Untuk itu warga Sukagalih mengakalinya dengan cara menanam bibit lain atau menanam bibit lain disela-sela tanaman cabai. Pendapatan dari sektor pertanian ini tidaklah mencukupi kebutuhan rumah tangga, maka ia lebih banyak memanfaatkan sektor nonpertanian. Ia bekerja mengambil rumput untuk pakan ternak kambingnya 32 ekor, selain memiliki ternak kambing ia memiliki ternak ikan. Pendapatan yang di dapat dari hasil ternak kambing dan ikan memang lebih besar yaitu sekitar Rp Rp Selain dari tani dan ternak, iya memiliki uang tambahan dari rumahnya yang sering dijadikan homestay. Jika diakumulasikan, dalam setahun pendapatannya berkisar Rp dan dalam sebulan berkisar Rp Rp namun pendapatan itu pun belum tentu karena pengaruh harga cabai yang tidak menentu. Mengingat pendapatan dari sektor pertanian hanya sekitar Rp Rp perbulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah kedua anaknya yang duduk dibangku SMA dan SD, kebutuhan rumahtangga dan lain-lain. Kasus Bapak AS memperlihatkan sangat memaksimalkan sektor lain, selain ia menjadi petani ia juga menjadi buruh tani, ternak kambing, ternak ikan dan homestay. Secara umum tujuan dari mengintensifikan kedua sektor nafkah ini adalah sebagai tambahan penghasilan bagi rumahtangga. Pemasukan dari sektor pertanian saja tidak cukup sehingga membutuhkan dukungan sektor non-pertanian untuk mencakupi kebutuhan sehari-hari rumahtangga.

70 59 Pemanfaatan Livelihood Asset dalam Penerapan Strategi Nafkah Penerapan strategi nafkah rumahtangga petani juga memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup (Scoones 1998 dalam Turasih 2011). Lima bentuk modal atau biasa disebut livelihood asset menurut Ellis (2000) yaitu modal sumberdaya alam, modal fisik, modal finansial, modal sosial, dan modal manusia. Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital) Modal ini disebut sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya alam yang bisa diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui, diantaranya air, tanah, pepohonan, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan diperairan, maupun sumberdaya mineral seperti minyak, emas, batu bara, dan lainnya. Kampung Sukagalih memiliki modal sumberdaya alam yang lebih mengarah pada keberadaan kawasan hutan konservasi TNGHS. Masyarakat hanya dapat memanfaatkan lahan di dalam kawasan hutan TNGHS sebagai lahan pertanian. Masyarakat berbondong-bondong ingin memiliki lahan-lahan bekas perusahaan perkebunan yang telah di HGU kan kepada masyarakat, namun sekarang lahan HGU itu menjadi lahan yang tidak diketahui statusnya atau dapat dibilang sudah habis masa HGUnya, karena pemerintah belum memutuskan kembali lahan tersebut akan diperpanjang HGUnya atau lahan tersebut menjadi tanah terlantar. Lahan taman nasional, sumber mata air alami dari hutan konservasi TNGHS ini juga dimanfaatkan oleh warga. sumber air dari mata air dipergunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari dengan cara membuat jalur untuk mengalirkan air ke rumah-rumah melalui pipa besar. Air ini selain untuk tanaman pertanian mereka, kebutuhan rumahtangga seperti keperluan mandi, mencuci, dan minum. Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti jalan, gedung dan lain sebagainya. Kampung Sukagalih adalah kampung yang memiliki jalan tidak begitu lebar, tidak beraspal, dan jalanannya pun rusak berbatu. Meskipun jalanan yang tidak begitu baik, Kampung Sukagalih tetap menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh seluruh masyarakat luar yang ingin mengetahui keindahan dan kelebihan yang dimiliki oleh Kampung Sukagalih. Wilayah Kampung Sukagalih cukup luas dan jarak menuju kantor desa serta antar dusun pun sangat jauh sehingga membutuhkan transportasi ojek. Kepemilikan aset dalam rumahtangga pun bisa dikategorikan sebagai modal fisik. Kepemilikan rumah, tanah warisan, kendaraan bermotor, TV, parabola, handphone, perhiasan dan sebagainya dapat dikategorikan sebagai modal fisik bagi masyarakat. Kendaraan bermotor yang mereka miliki biasanya dipergunakan untuk pekerjaan tambahan mengojek jika tidak sedang bertani

71 60 Modal Manusia (Human Capital) Merupakan modal utama pada masyarakat yang dikategorikan miskin. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Rata - rata tingkat pendidikan masyarakat Kampung Sukagalih hanya sampai tamat sekolah dasar. Hal ini karena kemampuan ekonomi yang rendah sehingga tak mampu membiayai pendidikan yang lebih tinggi dan akibatnya mayoritas mata pencahariannya sebagai petani. Tingkat pendidikan mulai meningkat semenjak ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), para orang tua yang dulunya hanya lulusan SD ingin anak-anaknya menduduki bangku sekolah yang lebih tinggi dibanding mereka, agar kelak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik namun tetap tidak melupakan kampung halaman. Rumahtangga petani Kampung Sukagalih cukup memanfaatkan modal manusia untuk membantu meingkatkan pendapatan. Beberapa petani memanfaatkan dan mengupah tenaga kerja di luar tenaga kerja keluarga untuk membantu mengolah tanah pertanian. Upah untuk tenaga kerja atau buruh tani sebesar Rp per hari. Modal Finansial (Financial Capital) Modal berupa uang yang digunakan oleh suatu rumahtangga. Modal ini dapat berupa tabungan, uang tunai, ataupun pinjaman. Peminjaman modal di Sukagalih ini biasanya melalui akses pinjaman ke tengkulak berupa pupuk, bahan dan alat untuk modal pertanian, atau mereka menjual ternak kambing yang mereka miliki. Warga Sukagalih tidak pernah berani meminjam uang ke bank, bank keliling maupun ke tetangga karena, selain para tetangga yang mayoritas sama-sama tidak begitu mampu dan mereka takut apabila pinjam ke bank keliling dapat menambah hutang. Warga cenderung tidak memiliki tabungan, baik di rumah maupun di bank. Alasannya, uang pemasukan telah habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan modal untuk kegiatan pertanian berikutnya. Modal Sosial (Social Capital) Menurut Widianto, Dharmawan, dan Prasodjo (2009), Modal sosial juga berpengaruh terhadap kapabilitas yang menyangkut kemampuan beradaptasi pada tekanan dan menemukan peluang-peluang strategi nafkah. Modal ini merupakan gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Modal sosial disini lebih kepada jaringan kerja (networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi. Hal ini menunjukkan sosial capital berperan penting dalam memfasilitasi rumah tangga petani untuk dapat mengakses sumberdaya lainnya. Hubungan kerja terjalin antara beberapa pihak, jaringan sosial terbentuk antara warga (petani) dengan pihak TNGHS dinilai saling menguntungkan, petani diberi kebebasan untuk bercocok tanam di lahan kawasan zona khusus

72 61 pemanfaatan, namun dengan syarat-syarat tertentu seperti petani tidak boleh menebang pohon hutan dan mengambil kayu untuk dijual atau untuk membangun rumah. Jaringan kerjasama lainnya antara warga dengan peneliti dimana warga diminta untuk menjadi buruh hutan. Tugas buruh hutan adalah membantu peneliti mendapatkan informasi terkait dengan sumberdaya dalam kawasan hutan TNGHS. Kemudian jaringan yang terjalin yaitu antar petani dengan tengkulak, dimana tengkulak membantu para petani untuk meminjamkan modal usaha. Semua hubungan networking, pada dasarnya harus dilandasi oleh kepercayaan (trust). Pihak-pihak yang terkait dengan masyarakat Sukagalih menjalin trust yang kuat sehingga mampu bekerja sama menjaga kelangsungan hutan. Diversifikasi Pendapatan Diversifikasi pendapatan penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga yang besar pengeluarannya. Diversifikasi pendapatan berarti memaksimalkan pendapatan dari berbagai sumbernafkah, entah pertanian atau non-pertanian, untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga. Kebutuhan hidup yang semakin besar tentunya membutuhkan pendapatan yang besar untuk mengimbanginya. Masyarakat Kampung Sukagalih, rata-rata melakukan diversifikasi dalam pendapatannya. Mereka memaksimalkan pendapatan dari berbagai sumber nafkah yang mereka jalankan seperti pekerjaan sebagai petani, buruh tani, buruh ternak, buruh bangunan, pedagang warung, ojek, satpam hutan, dan lainnya. Mereka tidak akan mampu menghidupi keluarga jika hanya mengandalkan atau bergantung pada satu sumber nafkah. Berikut salah satu responden yang bercerita mengenai mata pencahariannya. Mata pencaharian masyarakat Sukagalih mayoritas itu memang petani, namun untuk mengandalkan pendapatan dari tani saja tidak akan mencukupi kebutuhan rumahtangga kami. Semenjak kami pindah tempat tinggak, kami memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dengan cara mencari nafkah selain dari tani. Sebenarnya tidak ingin bekerja banyak-banyak, tapi demi masa depan anak-anak sekarang saya dan istri rela untuk bekerja menjadi buruh tani, ternak kambing, buruh hutan, satpam hutan sampai rumah kami pun sering kami jadikan homestay untuk para wisatawan yang datang dan ingin menginap. Kalau dilihat dari pekerjaan kami yang banyak itu, ternyata masih belum mencukupi kehidupan rumahtangga kami yang semakin kesini kebutuhan semakin meningkat. Namun, dari ternak kambing dan satpam hutan alhamdulillah ada saja rezekynya dan kami tidak harus meminjam uang kepada bank keliling atau tengkulak. (AE, 34tahun) Diversifikasi pendapatan tentu dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi yang besar dan jumlah tanggungan yang banyak. Maka dari itu, masyarakat Sukagalih

73 62 tidak hanya bergantung dari pertanian saja, mereka memanfaatkan sektor nonpertanian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Pendapatan Usaha Tani Pendapatan dari usaha tani masyarakat Kampung Sukagalih bisa diperoleh dari beberapa sumber pemdapatan, diantaranya menghasilkan pendapatan dari mengelola lahan sendiri sebagai petani padi atau sayur dan menjadi buruh tani. Untuk pendapatan dari petani padi tidak memberikan penghasilan secara langsung, karena rata-rata hasil panen padi digunakan untuk kebutuhan konsumsi beras sehari-hari. Dari hasil penelitian 40 responden, mengkonsumsi padi dari hasil panen mereka agar berhemat tidak perlu membeli beras. Mereka mengutamakan uangnya agar dapat membeli lauk, bensin, bayaran sekolah, jajan anak dan sebagainya. Namun, apabila beras yang dimiliki sekiranya masih sangat cukup untuk setahun, mereka baru menjual atau memberikan kepada warga yang tidak memiliki beras. Berikut adalah tabel pendapatan pertanian untuk menjelaskan lebih lengkap mengenai jenis pendapatan kotor dari tiap golongan pendapatan. Tabel 12. Rata-rata pendapatan penduduk perbulan dari sektor pertanian pada setiap golongan pendapatan menurut sumberdaya tahun 2003 dan 2013 Rp/RT/bulan n % n % ,5 1 2, >Rp> , , ,5 Total Kemudian Tabel 13 di bawah ini memperlihatkan rata-rata pendapatan dari usaha pertanian selama satu bulan dalam bentuk angka persentase. Angka persentase ini ditampilkan untuk memudahkan pembaca dalam membandingkan rata-rata pendapatan penduduk pada tiga golongan dari sektor pertanian. Tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah pendapatan sebagai petani menyumbang ratarata tahun 2003 sekitar 95 persen pada golongan rendah, 2,5 pada golongan sedang, dan 2,5 pada golongan tinggi. Persentase pada golongan rendah tahun 2013 rata-rata menigkat sekitar 97,5 persen, 2,5 pada golongan tinggi masih tetap sama, dan pada golongan rendah menurun menjadi 0 persen. Artinya pendapatan masyarakat yang tergantung terhadap lahan dan pertanian ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga yang semakin meningkat. Namun, semakin banyaknya masyarakat di golongan rendah menyatakan bahwa kurangnya akses lahan yang dapat mereka gunakan, hasil panen yang berkurang karena faktor tanah yang sering digunakan, dan harga jual yang sedang rendah.

74 63 Pendapatan Usaha Non-Pertanian Masyarakat Sukagalih telah menjadikan sektor non-pertanian menjadi bagian dari cara bertahan hidupnya. Sektor non-pertanian yang dijalankan masyarakat pun bermacam-macam, mulai dari tukang ternak kambing, ternak ayam, ternak ikan, ojek, pedagang warung, buruh bangunan, satpam hutan, buruh hutan, dan karyawan swasta. Pemasukan dari sektor non-pertanian telah mampu mencukupi kebutuhan rumahtangga masyarakat Sukagalih yang tergolong masih susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendapatan-pendapatan lain dari sektor non-pertanian dijadikan sebagai pekerjaan sampingan ketika tidak bertani atau setelah selesai melakukan pekerjaan tani. Pendapatan yang di dapat dari sektor non-pertanian memberikan pemasukan yang lebih besar dibandingkan dari sektor pertanian. Rata-rata masyarakat yang bekerja di bidang non-pertanian memiliki penghasilan yang lebih besar. a. Golongan tinggi memiliki ternak kambing guna untuk menabung bila keperluan belum terpenuhi. Kemudian, mereka juga membuka warung, menjadi burh hutan, satpam hutan, ataupun menjadikan rumah mereka homestay. b. Golongan Sedang masyarakat masih memiliki ternak kambing, hanya yang berbeda jumlah kambingnya. Selain itu mereka menjadikan rumah mereka homestay, karena mampu memberika pemasukan tambahan. c. Golongan rendah diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh bangunan, buruh ternak, atau pun memiliki ternak ayam dan ikan. Mereka yang masuk kedalam golongan rendah, rata-rata pasangan yang baru menikah dan baru memiliki satu orang anak. Hasil pertanian yang didapat kurang cukup atuh neng untuk kebutuhan sehari-hari. Cabai yang sudah panen tidak dapat diprediksi terkadang harga jual tinggi, kadang hasil panennya kurang bagus, kadang kalau harga jual rendah gak menutupi modal. Makanya saya memperbanyak ternak kambing dan membuka warung agar pendapatan alhamdulillah bertambah. (TR, 31 tahun) Kalau saya hanya bergantung sama pertanian aja itu gak menutupi semuanya. Bapak punya ternak kambing kurang lebih sekitar 15 ekor, itu juga untuk tabungan kalau ada keperluan yang tidak terpenuhi jadi bisa bapak jual kambingnya. Terus, bapak juga jadi satpam hutan karena pendapatannya yang lumayan. Kerja di ladang kan hanya dari hari Senin-Jumat, Jumat juga itu cuman setengah hari jadi untuk mengisi waktu yang kosong bapak bekerja jadi satpam hutan dan kadang suka menjadi buruh hutan. (NY,30 tahun) Persentase pendapatan dari sektor non-pertanian terlihat besar, masyarakat mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian karena dianggap paling mencukupi atau menutupi untuk kebutuhan sehari-hari. Berikut ini adalah tabel

75 64 yang menunjukkan rata-rata jumlah pendapatan non-pertanian pada tiap golongan pendapatan menurut jenis pendapatannya. Tabel 13 Rata-rata pendapatan penduduk perbulan dari sektor non-pertanian pada setiap golongan pendapatan menurut sumbernya tahun 2003 dan 2013 Sumber Rata-rata pendapatan rumahtangga/bulan (Rp) pendapatan Petani golongan tinggi Petani golongan sedang Petani golongan rendah Ternak , , ,29 Warung Buruh Bangunan Satpam Hutan Buruh Hutan Homestay Total Tabel 13 di atas memperlihatkan angka mutlak rata-rata pendapatan nonpertanian per tahun. Hasil analisis memperlihatkan bahwa yang menyumbang pendapatan tertinggi yaitu sumber pendapatan dari ternak pada tahun 2003 sebesar Rp dan tahun 2013 sebesar Rp yang termasuk pada golongan tinggi. Pada golongan tinggi untuk total sumber pendapatan tahun 2003 sebesar Rp dan tahun 2013 sebesar Rp Masyarakat Sukagalih terlihat sangat bergantung pada sumber pendapatan dari ternak yang dapat memenuhi atau mencukupi kehidupan sehari-hari. Pendapatan total rumahtangga Pendapatan total rumahtangga merupakan penjumlahan dari pendapatan yang diperoleh oleh rumahtangga dari berbagai sumber nafkah. Masyarakat Sukagalih memperoleh nafkah dari sektor pertanian dan non-pertanian. Kedua sektor tersebut saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan mereka yang lebih besar daripada pendapatannya. Berdasarkan tabel-tabel di atas, diperoleh bahwa golongan pendapatan rendah dan sedang lebih banyak memperoleh dari sektor pertanian. Sedangkan pada golongan pendapatan tinggi, pendapatan justru lebih banyak diperoleh dari sektor non-pertanian. Pendapatan masyarakat petani dari sektor non-pertanian baik di tingkat pendapatan rendah, sedang, maupun tinggi tergolong cukup besar. Bila dianalisis secara umum, pendapatan dari sektor non-pertanian cukup besar bila dilihat dari

76 65 basis nafkah utama masyarakat yang dasarnya sebagai petani. Masyarakat petani Sukagalih ini melakukan bermacam-macam kegiatan non-pertanian untuk menutupi pendapatan mereka dari sektor pertanian yang terbilang kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan, dan mereka biasanya memanajemen struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki (Ellis 2000). Strategi nafkah rumahtangga merupakan landasan pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan rumahtangga. Sumberdaya yang dimiliki oleh rumahtangga petani mempengaruhi aktivitas nafkah, demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dharmawan (2007) menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Upaya memperjuangkan kehidupan ekonomi rumahtangga petani akibat berbagai risiko, biasanya mekakukan diversifikasi sumber nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Berbagai alasan individu dan rumahtangga melakukan diversifikasi sebagai strategi nafkah adalah karena keterpaksaan dan pilihan mereka. Istilah yang sering digunakan adalah bertahan hidup (survival) dan pilihan atau antara bertahan hidup (survival) dan akumulasi. Contoh kasus suatu kondisi yang memaksa misalnya tidak adanya akses lahan bagi petani, lahan yang semakin sempit dan lain-lain. Kotak 02. Kasus responden UA Bapak UA adalah seorang buruh tani yang bekerja di lahan orang lain, membantu orang lain untuk bertani. Ketika dulu bapak UA memiliki lahan sendiri yang dapat dipakai umtuk bertani. Namun, ketika lahan hutan dijadikan sebagai TN yang dikonservasikan, bapak UA tidak memili lahan sendiri untuk bertani, hanya memiliki lahan rumah untuk bernaung. Susahnya untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, bapak mulai berusaha mencari pekerjaan selain menjadi buruh tani. Karena, buruh tani hanya bekerja jika dipakai oleh pemiliki lahan yang ingin lahannya digarap. Jika bapak UA bergantung dengan pekerjaannya dibidang pertanian saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Akhirnya mulailah dia mencari pekerjaan diluar pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, tidak hanya satu pekerjaan yang dilakukan namun strategi nafkah multi dilakukan oleh bapak agar tetap bertahan dan sejahtera. Jika dia hanya bergantung dan pasrah menerima keadaan lahan yang semakin sempit, dia tidak akan dapat hidup. Semua dia lakukan hanya untuk bertahan dari kesulitan yang dialaminya. Luasnya lahan dan status lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian dan cara untuk bertahan hidup, maka kebanyakan masyarakat Sukagalih memilik cara bertahan hidup dengan melakukan lebih dari satu mata pencaharian. Masalah yang timbul tidak hanya pada contoh kasus 02, namun masih banyak masalah-masalah yang mengakibatkan masyarakat Sukagalih melakukan strategi bertahan hidup yang begitu berat, misalnya: tidak adanya akses lahan bagi

77 66 petani, lahan yang semakin sempit akibat fragmentasi lahan warisan, gagal panen dan lain-lain. White dalam Widiyanto et al (2009), membedakan rumahtangga petani kedalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. 1. Strategi akumulasi: Rumahtangga yang mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi. Pada strategi ini yang diterapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. 2. Strategi konsolidasi: Rumahtangga usaha tani yang hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten. mereka biasanya bekerja pada sektor nonpertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. 3. Strategi bertahan hidup (survival): Rumahtangga usaha tani tidak bertanah, maksudnya yaitu mereka bekerja dari usaha tani namun meminjam lahan orang lain, bekerja di ladang orang lain ataupun disebut buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Dianalisis secara umum, iklim dan cuaca, biaya produksi, luas lahan yang dimanfaatkan, serta nilai jual hasil panen yang rendah adalah beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dari sektor pertanian yang tidak mencukupi. Kebutuhan rumahtangga dan pendidikan anak yang meningkat sehingga mau tidak mau masyarakat petani harus melakukan pekerjaan lain untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Munculnya sektor non-pertanian membuat masyarakat Sukagalih sukses mendapatkan tambahan penghasilan yang membuat masyarakat menjadi lebih sejahtera, bahkan dengan persentase yang lebih besar daripada pendapatan di sektor pertanian. Sektor non-pertanian telah membuat masyarakat Sukagalih menjadi lebih sejahtera. Meskipun pendapatan masyarakat lebih besar didapat dari sektor nonpertanian, mereka tidak akan pernah meninggalkan dan melupakan basis nafkah utama mereka sebagai petani. Karena, bagi mereka pertanian adalah tempat mereka bernaung dan bergantung. Mereka tidak ingin meninggalkan lahan pertanian yang sudah dijalankan oleh nenek moyang mereka terdahulu, dan mereka selalu mengajarkan kepada anak-anak mereka agar tidak pernah lupa dengan masa lalu tidak seperti kacang lupa kulitnya. Berikut ini adalah Tabel 14 yang menunjukan rata-rata dari total pendapatan baik sektor pertanian maupun sektor non-pertanian pada tiap golongan pendpatan menurut jenis pendapatannya.

78 67 Tabel 14 Kontribusi sumber pendapatan bersih pertanian dan non-pertanian terhadap rata-rata pendapatan responden per bulan pada setiap golongan pendapatan tahun 2003 dan 2013 Sumber Rata-rata pendapatan rumahtangga/bulan (Rp) pendapatan Petani golongan tinggi Petani golongan sedang Petani golongan rendah Pertanian Non-pertanian Total Tabel 14 di atas menunjukkan rata-rata dilihat dari total pendapatan dari sektor pertanian maupun sektor non-pertanian pada tahun 2003 sebesar Rp dan 2013 sebesar Rp termasuk kedalam golongan tinggi. Pendapatan dari sektor pertanian tentu saja tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, maka warga mengandalkan sektor non-pertanian untuk mencukupinya. Pada tahun 2007 warga Sukagalih mulai mendapatkan perhatian dari pihak provinsi dan kabupaten. Pihak-pihak tersebut memiliki program yang sekiranya dibutuhkan oleh warga Sukagalih, untuk dapat meningkatkan perekonomian warga. Maka pihak pemerintah provinsi dan kabupaten memberi dua pasang ekor kambing kepada setiap kepala keluarga, agar mereka tidak hanya bergantung pada pendapatan pertanian dan tengkulak untuk meminjam uang. Warga Sukagalih tidak lagi dapat disebut sebagai petani murni, karena pendapatan dari sektor non-pertanian cukup besar dan jumlah kambing yang melebihi jumlah penduduk Kampung Sukagalih. Namun warga Sukagalih tetap bersandar kepada tiang utama yaitu pertanian. Meski pendapatan terbesar mereka di sektor non-pertanian, tidak berarti banyak warga yang melakukan migrasi dan yang bekerja di kota, semua tetap berdiri di sektor pertanian yang dibantu oleh sektor non-pertanian yaitu ternak kambing, polisi hutan, buruh hutan, serta lainnya. Ikhtisar Tingkat pendapatan dari sektor pertanian dari on-farm dan off-farm, yaitu sebagai petani dan buruh tani. Masyarakat Sukagalih mayoritas adalah petani, petani yang menanam padi dan sayur. Namun, mayoritas mereka menjadi petani sayur untuk memperoleh pendapatan yang berbentuk uang dari hasil produksinya. Padi yang mereka tanam lebih sebagai konsumsi keluarga saja (pertanian subsisten). pendapatan dari sektor non-pertanian diperoleh dari pekerjaan seperti buruh bangunan, satpam hutan, buruh hutan, homestay, ojeg, atau pedagang warung.

79 68 Pendapatan pertanian per bulan hampir seimbang, hanya berbeda ketika panen cabai meningkat dan harga jual meningkat. Bila dilihat dari konstribusi pendapatan pertanian dan sektor non-pertanian terhadap rata-rata pendapatan rumahtangga per bulan hampir seimbang. Hasil penelitian telah memperlihatkan bahwa pendapatan masyarakat Sukagalih di dominasi pendapatan melalui nonpertanian yang diperlihatkan dengan tiga golongan, untuk golongan tinggi sebesar Rp , pendapatan pada golongan sedang Rp dan pada gologan rendah sebesar Rp Pemerintah provinsi dan kabupaten memberikan sepasang kambing kepada setiap kepala keluarga di Sukagalih, yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian warga Kampung Sukagalih. Semua itu dilihat dari total pendapatan bersih bidang non-pertanian yang ternyata pendapatan ini yang menyumbang lebih besar dibanding pendapatan dari pertanian. Penyumbang pendapatan terbesar dari non-pertanian itu dari ternak kambing yang dimiliki setiap responden. Karena itu, Kampung Sukagali disebut kampung yang jumlah ekor kambing lebih banyak dibandingkan jumlah manusia.

80 69 PENUTUP Simpulan Studi ini berangkat dari hipotesa bahwa perluasan TNGHS membawa pengaruh kepada perubahan struktur akses dan strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih. Dalam kajian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan penting. Pertama perluasan TNGHS telah menyebabkan perubahan status penguasaan lahan pertanian di Kampung Sukagalih. Setelah adanya perluasan dan penetapan hutan konservasi di kawasan TNGHS, lahan yang semula dapat diakses untuk lahan garapan menjadi lebih sempit dibandingkan sebelumnya. Konservasi dan perluasan TNGHS ini berdampak pada perubahan mata pencaharian, strategi nafkah rumahtangga petani, penguasaan lahan dan aktivitas rumahtangga petani Sukagalih. Namun akibat ada peran Cifor yang mendampingi, masyarakat Sukagalih mendapatkan izin dari pihak Balai TNGHS dapat mengakses lahan seluas 30ha yang terdiri dari 15ha yang ditanami pohon damar dan 15ha persawahan serta adopsi pohon di dalam zona khusus pemanfaatan. Diberbagai TN yang lain seperti TNGGP perluasan membawa pengaruh negatif terhadap luas lahan yang dikuasai. Namun di TNGHS masyarakat dapat mengakses lahan dalam kawasan sesuai perjanjian bersama pihak TNGHS, berkat adanya kolaborasi masyarakat dengan pihak Cifor. Perubahan mata pencaharian yang terjadi terlihat signifikan, pada awalnya responden bermata pencaharian hanya pada sektor pertanian, sekarang sebagian besar bermata pencaharian kombinasi dari sektor pertanian dan non-pertanian. Warga Sukagalih memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dengan beragam cara melakukan strategi nafkah. Mereka mencoba bekerja tidak hanya di satu bidang saja namun mencarai pendapatan dari strategi nafkah ganda dan strategi nafka multi. Perubahan strategi nafkah untuk bertahan hidup ini dilakukan dengan mengkombinasi berbagai aneka nafkah dari sektor pertanian dan non-pertanian. Namun, pendapatan warga Sukagalih didominasi oleh pendapatan dari ternak, ternak kambing milik warga Sukagalih sangat membantu kemajuan perekonomian mereka. Wilayah garapan masyarakat yang dipersempit oleh pihak-pihak berkuasa, mengakibatkan masyarakat susah untuk menggarap dan mencari peruntungan lain. Pola kepemilikan lahan di Kampung Sukagalih antara lain kepemilikan melalui warisan, dan jual beli. Kepemilikan lahan melalui sistem waris lebih banyak dibandingkan melalui jual beli karena rata-rata masyarakat tidak menjual lahan mereka, melainkan menggunakannya untuk kegiatan pertanian. Sedangkan pola penguasaan lahan antara lain sistem pinjam-pakai yang digunakan pada lahan di dalam kawasan TNGHS, sistem bagi hasil yang digunakan untuk lahan milik orang lain di luar kampung, dan juga lahan eks HGU. Khusus untuk lahan di kawasan TNGHS, terdapat sistem zonasi yang mengatur kawasan-kawasan yang boleh dimanfaatkan dan dilarang dimanfaatkan

81 70 untuk kegiatan di luar konservasi. Saat ini kondisi Kampung Sukagalih terancam ekspansi perkebunan teh dan sawit, mulai banyaknya perkebunan sawit yang masuk membuat warga Sukagalih merasa takut dan tidak tenang. Karena perjanjian lahan dengan pihak TNGHS dan eks HGU telah habis kontrak. Saran Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah proses dalam persoalan pengelolaan lahan oleh masyarakat, seharusnya pemerintah melihat dengan benar apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, jangan membuat peraturan tanpa melihat keadaan sekitar. Warga Sukagalih yang sejak dulu berada tinggal di dalam kawasan konservasi merasa hak-hak mereka terenggut. Perjanjian pinjam pakai lahan di TNGHS sudah habis, seharusnya pemerintah cepat menyelesaikan perpanjangan kontrak, jika tidak dapat membuat masyarakat tidak tenang. Inti permasalahan yang ada segera diselesaikan dengan cara pemerintah harus mengetahui sebenarnya program yang dibutuhkan masyarakat itu apa, bukan membuat program demi kekuasaan semata. Selain itu, pemerintah harus melindungi dan melihat bahwa masyarakat sukagalih berhak untuk mendapatkan hak dan kesejahteraan untuk hidup. petani membutuhkan rasa aman dan nyaman dalam melakukan aktivitas nafkah, jika petani telah mendapatkan rasa aman tersebut, tentu saja petani dapat lebih memaksimalkan sektor pertanian yang menjadi basis nafkah mereka sejak dulu.

82 71 DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo S, et al Analisis isu pemukiman di tiga taman nasional Indonesia. Bogor [ID] : Sajogyo Institute. Astuti A, Dharmawan AH, et al Struktur nafkah rumahtangga dan pengaruhnya terhadap kondisi ekosistem subdas Citanduy Hulu. Sodality [Internet]. [dikutip tanggal 18 November 2013]: volume 2 no1. Dapat diunduh dari : Denison M, Robyn K Annotated bibliography for rapid review on property rights. Dharmawan AH, Winfried M Livelihood Strategies and Rural Changes in Indonesia: Studies on Small Farm Communities, Hohenheim. [Internet]. [ diunduh tanggal : 12 November Dapat diunduh dari : %20I/WG%20b/Dharmawan%20A.pdf. Dharmawan AH Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: pandangan sosiologi nafkah (livelihood sociology) mahzab barat dan mahzab Bogor. Sodality [Internet]. [dikutip tanggal 5 Februari 2014]: Volume 01 Nomor 02. Dapat diunduh dari: Ellis F Rural livelihoods and diversity in developing countries. New York: Oxford University Press. Gönner C, et al Menuju kesejahteraan: pemantauan kemiskinan di Kutai Barat, Indonesia. Bogor [ID]: Center for International Forestry Research. Amanda M. Rangkuman Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. [Internet].[dikutip tanggal 11 Juni 2014]. Dapat diunduh dari : Lynch O, Harwell Whose natural resources? whose common good? toward a new paradigm of environmental justice and the national interest in Indonesia. Bogor [ID]: Studio Kendil. Mulyana A Melangkah di atas batu karang pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat di Nusa Tenggara. Sumba Timur [ID]: KOPPESDA.

83 72 [PKSDA] Pengelolaan Kolaoratif Sumberdaya Alam Teori Common-Pool Resource & Property. [ppt]. Bogor [ID] : Departemen SKPM- FEMA. Ribot J, Peluso NL A theory of access. Rural Sociology. 68(02) : USA: Rural Sociological Society. Purnomo, Agustina M Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan. [Tesis]. [Internet]. [dikutip tanggal 3 Maret 2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 218 hal. Dapat diunduh dari : repository.ipb.ac.id/handle/ /8466. Sardi I Konflik sosial dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (studi kasus di Taman Nasional Bukit Dua Belas Propinsi Jambi). [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Scoones I Sustainable rural livelihood: a framework for analysis. [Internet]. [dikutip tanggal: 14 November 2013]. IDS Working Paper 72. Dapat diunduh dari : Senoaji G Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan lindung bukit daun di Bengkulu. Sosiohumaniora [internet]. [dikutip 4 Desember 2013]: Volume 13, No. 1, Maret 2011 : Dapat Diunduh dari: ng-senoaji.pdf. Turasih Sistem nafkah rumahtangga petani kentang di dataran tinggi Dieng (kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 113 hal. Widiyanto, Dharmawan AH, Nuraini W Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau di Lereng Gunung Sumbing (studi kasus di Desa Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung). Sodality [internet]. [diunduh 9 Maret 2014]; Volume 04 Nomor 01. Dapat diunduh dari: Zuhaida Strategi nafkah masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 119 hal.

84 73 Lampiran 1 Identitas Responden No Nama Responden Jenis kelamin Umur Pendidikan terakhir Status perkawinan Pekerjaan utama 1 SO L 43 Tamat SD Menikah Petani 2 RP L 42 SMP Menikah Petani 3 UT L 45 Tamat SD Menikah Petani 4 SA L 51 Tamat SD Menikah Petani 5 SI L 32 SMP Menikah Buruh Tani 6 TG L 50 Tamat SD Menikah Petani 7 UA L 43 Tamat SD Menikah Petani 8 TA L 31 Tamat SD Menikah Buruh Tani 9 EG L 34 Tamat SD Menikah Petani 10 WO L 39 Tamat SD Menikah Buruh Tani 11 MR L 36 Tamat SD Menikah Buruh Tani 12 RT L 24 Tamat SD Menikah Buruh Tani 13 CA L 29 Tamat SD Menikah Buruh Tani 14 IN L 31 Tamat SD Belum Buruh Tani Menikah 15 BI L 38 Tamat SD Menikah Petani 16 AS L 34 SMP Menikah Buruh Tani 17 AH P 50 Tamat SD Janda Petani 18 UKT L 52 Tamat SD Menikah Petani 19 SO L 28 SMP Menikah Buruh Tani 20 AG L 53 Tidak Tamat Menikah Petani SD 21 MH P 21 Tidak Tamat Janda Buruh Tani SD 22 AA P 56 Tidak Tamat Janda Petani SD 23 SN L 45 Tamat SD Menikah Karyawan Swasta 24 AP L 24 Tamat SD Menikah Buruh Tani 25 AEP L 39 Tamat SD Menikah Petani 26 FN L 23 SMP Menikah Buruh Tani 27 NA L 30 Tamat SD Menikah Buruh Tani 28 IWN L 36 SMP Menikah Karyawan PLN 29 IK L 50 Tamat SD Menikah Petani 30 AG L 48 Tamat SD Menikah Petani 31 RA P 56 Tidak Tamat Janda Petani SD 32 AN L 50 Tamat SD Menikah Petani 33 DI L 36 Tamat SD Menikah Petani 34 NO L 45 Tamat SD Menikah Buruh Tani

85 74 35 ANA L 28 Tamat SD Menikah Buruh Tani 36 KM L 38 Tamat SD Menikah Buruh Tani 37 DA L 45 Tamat SD Menikah Petani 38 FI L 50 Tamat SD Menikah Buruh Tani 39 JA L 45 Tamat SD Menikah Buruh Tani 40 TO L 39 Tamat SD Menikah Petani Lampiran 2 Peta Zona Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak

86 Lampiran 3 Hasil Gambar Peta Masyarakat Kampung Sukagalih Tahun

87 76 Lampiran 4 Gambar Batasan Lahan TNGHS dan lahan Garapan Masyarakat

88 77 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian Pintu masuk kawasan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Rumah warga Kampung Sukagalih Bersama Ketua dan Sekretaris Kampung Sukagalih Lahan Kampung Sukagalih tahun 2007 Setelah Shared Learning dan langsung menuju kawasan hutan TNGHS pada tahun2007 Warga Kampung Sukagalih mendiskusikan peta zonasi di dampingi oleh CIFOR pada tahun 2007

89 78 Warga panen cabai Bapak Agus ikut membantu warga yang akan menggarap sawah Lahan persawahan Kampung Sukagalih Kampung Sukagalih

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Taman Nasional Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian 17 BAB III METODOLOGI Metode penelitian memuat informasi mengenai lokasi dan waktu penelitian, teknit penentuan responden dan informan, teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan dan analisis data

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 4 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian industri dan Penggolongannya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian industri adalah kegiatan memproses atau mengolah barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

Teori Sumberdaya Bersama (Common- Pool Resource / Common Property Resource)

Teori Sumberdaya Bersama (Common- Pool Resource / Common Property Resource) Teori Sumberdaya Bersama (Common- Pool Resource / Common Property Resource) Kuliah Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam Soeryo Adiwibowo Tragedi Sumberdaya Bersama (Tragedy of the Common, Garret Hardyn)

Lebih terperinci

PENGARUH TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI TERHADAP STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT DESA NGARGOMULYO ESTYA PERMANA

PENGARUH TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI TERHADAP STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT DESA NGARGOMULYO ESTYA PERMANA PENGARUH TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI TERHADAP STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT DESA NGARGOMULYO ESTYA PERMANA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

BAB VII PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH

BAB VII PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH 59 BAB VII PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH Bab strategi nafkah ini berisi materi mengenai hasil analisis dari bentukbentuk penerapan strategi nafkah dan pemanfaatan livelihood studies dalam penerapan strategi

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI Analysis of Household Livelihood Structure and Strategies of Farmers In ConservationForest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI

ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI SEKITAR KAWASAN HUTAN KONSERVASI DI DESA CIPEUTEUY, KABUPATEN SUKABUMI Analysis of Household Livelihood Structure and Strategies of Farmers In ConservationForest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Studi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Studi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Studi Studi tentang strategi nafkah menjadi tema penelitian sosiologi pedesaan penting pada era 2000-an. Penelitian strategi nafkah dimulai di IPB pada tahun1970-an yang

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN 23 Gambaran penelitian yang dimuat dalam bab ini merupakan karakteristik dari sistem pertanian yang ada di Desa Cipeuteuy. Informasi mengenai pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan hutan lindung, khususnya hutan yang menjadi perhatian baik tingkat daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

Pengaruh Strategi Pencarian Nafkah dan Sistem Penghidupan Masyarakat Desa dalam Rangka Adaptasi. Oleh: Nabiela Rizki Alifa I

Pengaruh Strategi Pencarian Nafkah dan Sistem Penghidupan Masyarakat Desa dalam Rangka Adaptasi. Oleh: Nabiela Rizki Alifa I Pengaruh Strategi Pencarian Nafkah dan Sistem Penghidupan Masyarakat Desa dalam Rangka Adaptasi Oleh: Nabiela Rizki Alifa I34110099 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA (Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat) Oleh FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI ENDAH RIZQI PURI ASTIANTI

PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI ENDAH RIZQI PURI ASTIANTI PENGARUH MODEL KAMPUNG KONSERVASI TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DAN KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI ENDAH RIZQI PURI ASTIANTI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pohon pohon atau tumbuhan berkayu yang menempati suatu wilayah yang luas dan mampu menciptakan iklim yang berbeda dengan luarnya sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi

Lebih terperinci

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria. RINGKASAN FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa guna menciptakan kesinambungan dan keserasian lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN 1 LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN SEKARANG KITA BERSAMA!!!! LANGKAH AWAL UNTUK PENGELOLAAN HUTAN KORIDOR SALAK-HALIMUN YANG ADIL, SEJAHTERA, DAN LESTARI Apa itu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta ribuan pulau oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON Menimbang : a. bahwa Tata Kelola Sumber Daya Air Desa Patemon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. KAJIAN (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. 2009/10 1 FOKUS Mempelajari hubungan antara manusia yang mengatur penguasaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG PENYEMPURNAAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ANALISIS INSTITUSI KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, DESA TAMANJAYA, KAMPUNG CIBANUA, KECAMATAN SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN MONIKA BR PINEM PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian Indonesia yang semakin membaik ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi salah satunya didorong oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap komponen makhluk hidup yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil baik yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan 5.1.1 Karakteristik Responden Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya berupa sumberdaya hutan. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang tersimpan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci