V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penilaian Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Titik objek kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang berhasil dikumpulkan di seluruh plot pengamatan adalah sebanyak 255 titik dengan perbandingan masing-masing adalah 48 titik objek untuk kehadiran kirinyuh dan 207 titik objek untuk ketidakhadiran kirinyuh (Gambar 6). Peta sebaran titik objek pada gambar 6 memperlihatkan bahwa titik objek yang diambil tidak merata pada seluruh lokasi penelitian sehingga masih terdapat beberapa lokasi yang terlewati. Hal ini terjadi karena kondisi lokasi penelitian yang cukup sulit untuk dijangkau sehingga tidak memungkinkan untuk membuat plot contoh pada lokasi tersebut seperti adanya tebing, badan air dan bebatuan yang besar. Penyusunan model serta validasi model masing-masing menggunakan 50% data berpasangan. Titik kehadiran mengacu pada titik dimana ditemukan individu kirinyuh di dalam plot pengamatan yang berjumlah 48 titik (Gambar 7). Titik ketidakhadiran ditetapkan secara acak sebanyak 48 titik dari 207 jumlah titik objek ketidakhadiran kirinyuh yang ada (Gambar 8). Selain titik objek tersebut, dilakukan pula pengambilan titik objek kehadiran kirinyuh sebanyak 65 titik di sepanjang jalur pendakian yang akan digunakan untuk keperluan validasi model. 5.2 Sebaran Kirinyuh Bedasarkan Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Ketinggian Tempat (Elevation) Ketingggian kawasan jalur pendakian Cibodas di Resort Mandalawangi TNGGP dapat diamati melalui peta DEM (Digital Elevation Model). Selajutnya dari peta tersebut diklasifikasikan ketinggiannya menjadi beberapa kelas ketinggian yaitu ; dan >2.400 mdpl. Klasifikasi kelas ketinggian ini sesuai dengan klasifikasi tipe ekosistem hutan di TNGGP yaitu (1) ekosistem hutan sub montana mdpl mdpl (2) ekosistem hutan montana mdpl mdpl dan ekosistem sub alpin mdpl mdpl. Berdasarkan data titik lokasi kehadiran kirinyuh yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta ketinggian sehingga didapatkan sebaran titik kirinyuh pada tiap kelas ketinggian (Gambar 9).

2 46 Gambar 6 Peta sebaran titik objek pada plot contoh

3 Gambar 7 Peta lokasi titik kehadiran kirinyuh 47

4 48 Gambar 8 Peta lokasi titik ketidakhadiran kirinyuh

5 Gambar 9 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat 49

6 50 Titik kirinyuh sebanyak 30 titik atau 62,5 % ditemukan pada kelas ketinggian m dpl, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar Jumlah Kirinyuh (individu) > Ketinggian (m dpl) Gambar 10 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat Faktor topografi termasuk ketinggian tempat telah terbukti secara langsung mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman (Keddy 2001). Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa kirinyuh yang berada di kawasan hutan Resort Mandalawangi Cibodas lebih banyak ditemukan pada tipe ekosistem hutan sub montana dibandingkan pada montana dan sub alpin. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penyebaran kirinyuh sangatlah luas dan dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat dengan kelimpahan populasi yang berbeda, namun kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi (Syahidin 2006). Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa kirinyuh dapat ditemukan pada ketinggian mdpl (Berry et al 1997, di PIER 2008). Berbeda dengan spesies kirinyuh lain yaitu Chromolaena odorata (merupakan spesies tumbuhan yang secara taksonomi masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan A. inulaefolium / spesies yang ada di jalur pendakian cibodas), spesies kirinyuh A. inulaefolium lebih banyak ditemukan di daerah

7 51 pegunungan atau daerah dengan ketinggian tinggi (McFadyen et al. 2003). Binggeli (1997) melaporkan bahwa C. odorata hanya dapat tumbuh pada ketinggian dibawah 1000 mdpl. Keadaan ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan di Gunung Bunder, dimana populasi C. odorata hanya ditemukan sampai pada ketinggian 650 mdpl. Pada ketinggian lebih dari 650 mdpl C. odorata tidak dijumpai tetapi lebih didominasi oleh A. inulaefolium dengan kelimpahan populasi yang sangat tinggi (Syahidin 2006) Kemiringan Lereng (Slope) Selain faktor ketinggian, faktor topografi lain yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah pegunungan adalah kemiringan lereng dan aspect atau sudut arah datang sinar matahari (Jin et al. 2008). Topografi kawasan Resort Mandalawangi yang bergunung menimbulkan kemiringan lereng yang bervariasi pada setiap bagiannya. Peta kemiringan lereng Resort Mandalawangi TNGGP (Gambar 11) didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas lereng. Kelas tersebut adalah kemiringan 0-8 % (datar), kemiringan 8-15 % (landai), kemiringan % (agak curam), kemiringan % (curam), kemiringan > 40 % (sangat curam). Berdasarkan hasil overlay titik kehadiran kirinyuh terhadap peta kemiringan lereng terlihat bahwa kirinyuh merata ditemukan pada kemiringan lereng yang landai, agak curam dan curam (Gambar 12). Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa kirinyuh dapat tumbuh hampir disemua tipe kemiringan lereng bahkan di kondisi lereng yang curam sekalipun.

8 52 Gambar 11 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng (slope)

9 Jumlah Kirinyuh (individu) >40 Slope (%) Gambar 12 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng (slope) Arah Kemiringan Lereng (Aspect) Aspect menggambarkan arah hadap dari sebuah permukaan (surface). Aspect mengindikasikan arah kemiringan dari laju maksimum perubahan nilai sebuah sel dibandingkan sel di sekelilingnya. Secara sederhana aspect merupakan arah kemiringan lereng. Nilai output adalah arah aspect: 0 adalah tepat ke utara, 90 adalah timur, dst. Dalam analisis surface, keluaran dari perhitungan aspect adalah derajat sesuai arah kompas, seperti dapat dilihat pada Gambar berikut: Gambar 13 Nilai aspect berdasarkan arah kompas

10 54 Menurut Howard dan Mitchell (1985), aspect memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi suatu spesies tumbuhan. Arah lereng berpengaruh pada aspect (sudut arah datang sinar matahari) yang secara langsung mempengaruhi variasi suhu lingkungan (Barbour et al. 1980). Perbedaan variasi suhu lingkungan ini mempengaruhi pertumbuhan hingga distribusi tumbuhan. Peta arah kemiringan lereng Resort Mandalawangi TNGGP (Gambar 15) didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta arah kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas arah kemiringan lereng. Kelas tersebut adalah 0 45 (Utara), (Timur Laut), (Timur), (Selatan), (Barat Daya Barat Laut). Berdasarkan hasil overlay titik kehadiran kirinyuh terhadap peta arah kemiringan lereng terlihat bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada kelas arah kemiringan lereng 0-45 dan derajat atau pada arah utara dan selatan hingga barat daya (Gambar 14). Kondisi ini dapat memberikan gambaran bahwa besarnya intensitas sinar matahari yang diterima oleh kirinyuh tergantung pada arah kemiringan lereng tersebut; menghadap utara lereng bukit menerima sinar matahari sedikit atau tidak ada; timur dan barat menghadap lereng menerima sinar matahari untuk sebagian setiap hari (kecuali dinaungi oleh bukit dan gunung yang lain); dan selatan menghadap lereng menerima jumlah terbesar dari sinar matahari. Karena aspect mempengaruhi jumlah sinar matahari pada permukaan bumi maka aspect dapat menjadi faktor penting yang membantu dalam penentuan komunitas vegetasi dan habitat. Nilai peubah aspect yang dihasilkan pada penelitian ini masih dianggap lemah karena belum dapat memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap hubungannya dengan keberadaan atau sebaran kirinyuh di TNGGP. Hal ini disebabkan karena penelitian ini hanya dilakukan pada lokasi yang berada di bagian utara kawasan TNGGP sehingga belum mewakili untuk kawasan yang berada di bagian lain dari lokasi penelitian ini.

11 Gambar 14 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng (aspect) 55

12 56 Jumlah Kirinyuh (individu) Aspect ( ) Gambar 15 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng (aspect) Suhu Nilai variabel suhu diperoleh menggunakan Erdas Imagine 9.1, dengan membangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7 ETM band 6, kemudian nilai tersebut digunakan untuk membuat peta suhu permukaan. Berdasarkan data titik lokasi kehadiran kirinyuh yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta suhu maka didapatkan sebaran titik kirinyuh pada tiap kelas suhu (Gambar 16) Selajutnya dari peta tersebut diklasifikasikan suhu menjadi 3 kelas suhu yaitu 18 25, dan >30. Titik kirinyuh sebanyak 48 titik atau 100 % ditemukan pada kelas suhu ºC, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai suhu berhubungan dengan nilai ketinggian suatu tempat, semakin tinggi suatu lokasi maka suhunya akan semakin rendah dan sebaliknya. Hasil di atas sangat relevan dengan hasil pada peubah ketinggian yaitu kirinyuh banyak ditemukan pada ketinngian mdpl yang merupakan hutan sub montana dan montana dimana lokasi tersebut berada pada kisaran suhu tersebut (18 25 ºC).

13 Gambar 16 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan suhu 57

14 58 Jumlah Kirinyuh (individu) >30 Suhu ( C) Gambar 17 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan suhu Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) Menurut Ray (1995) dalam Mirza (2005), Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan indeks vegetasi sederhana namun memiliki sensifitas yang paling tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk vegetasi dibanding indeks vegetasi lainnya. Selain keunggulannya dalam membedakan kerapatan vegetasi, nilai NDVI juga berasosiasi dengan persentase permukaan kedap air pada tiap-tiap piksel (Xian &Crane, 2003; Mathias & Martin, 2003; Sawaya et al, 2003). Tutupan permukaan kedap air dengan persentase rendah akan memiliki nilai NDVI tinggi karena adanya tutupan vegetasi yang dominan, demikian juga sebaliknya. Nilai NDVI suatu lanskap ekologi berkisar antara -1 sampai 1. Nilai indeks yang tinggi umumnya merupakan tutupan vegetasi yang memiliki tingkat kesehatan yang tinggi atau vegetasi dengan kanopi yang baik. Nilai indeks yang mendekati 0 umumnya berhubungan dengan tutupan awan, sedangkan nilai indeks yang < 0 umumnya merupakan badan air atau wilayah tanpa vegetasi (Jaya 2010). Jaya (2010) juga menjelaskan bahwa tutupan vegetasi yang lebat cenderung mempunyai nilai NDVI mendekati satu, sedangkan tutupan badan air umumnya bernilai-1. Nilai lahan kosong (tanah kosong) umumnya mempunyai nilai nol. Besarnya nilai NDVI dari suatu kondisi tutupan vegetasi sangat bergantung pada

15 59 tutupan vegetasi itu sendiri serta kondisi permukaan tanah yang ada di bawah vegetasi yang direkam. Penilaian menggunakan indeks NDVI menghasilkan peta sebagaimana tersaji pada Gambar 19. Tutupan vegetasi yang dinilai menggunakan NDVI dapat merepresentasikan bagian kawasan dengan kondisi vegetasi yang rapat dan bagus. NDVI dihitung dari besarnya pantulan sinar tampak dan sinar infra merah dekat yang dipantulkan tumbuhan hijau, dimana vegetasi yang rapat memiliki kisaran indek antara 0,8 hingga 0,9 (Ryan 1997; Weier dan Herring 2010). Nilai NDVI kawasan Resort Mandalawangi berkisar antara -0,35 - >0,4. Hal ini sesuai dengan kondisi kawasan Resort Mandalawangi terutama di jalur pendakian Cibodas dimana kisaran nilai -0,35 menunjukkan daerah yang digenangi air yaitu berupa rawa dan telaga (rawa gayonggong, telaga biru), sedangkan nilai >0,4 menunjukkan bahwa tutupan vegetasi di kawasan ini cukup baik (mendekati nilai 1). Gambar 18 memperlihatkan bahwa sebaran kirinyuh di kawasan jalur pendakian Resort Mandalawangi pada umumnya berada pada daerah dengan kisaran nilai NDVI 0,2 hingga >0,4 dengan jumlah terbanyak pada kisaran nilai 0,2 0,4. Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa kirinyuh tidak hanya ditemukan pada daerah terbuka tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada daerah dengan tutupan vegetasi yang cukup baik selama masih ada sinar matahari yang masuk. Kondisi ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa ketersediaan cahaya telah tercatat sebagai faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi penyebaran spesies tumbuhan eksotik, hampir seluruh spesies tumbuhan eksotis paling sering ditemukan dalam kondisi cahaya tinggi (Parendes & Jones 2000; Hawbaker & Radeloff 2004).

16 60 Jumlah Kirinyuh (individu) ,35-0,2 0,2-0,4 >0,4 NDVI Gambar 18 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDVI Normalized Difference Moisture Index (NDMI) Normalized Difference Moisture Index (NDMI) merupakan salah satu indeks vegetasi selain NDVI yang umumnya digunakan untuk mengetahui kelembaban vegetasi/permukaan tutupan area (Hemmleb et al. 2006). Nilai NDMI dihitung berdasarkan analisa Citra Landsat Image band 4 dan band 5 menurut Price dan Tinant (2000). Penilaian menggunakan indeks NDMI terhadap sebaran titik kirinyuh di kawasan jalur pendakian Cibodas menghasilkan peta sebagaimana tersaji pada Gambar 21 dimana terdapat 3 (tiga) kelas nilai NDMI yaitu -0,261 0,1; 0,1 0,2 dan 0,2 0,3. Gambar 19 memperlihatkan bahwa sebaran kirinyuh di kawasan jalur pendakian Resort Mandalawangi pada umumnya berada pada daerah dengan kisaran nilai NDMI -0,261 hingga 0,3 dengan jumlah terbanyak pada kisaran nilai 0,1 0,2.

17 61 Jumlah Kirinyuh (individu) ,261-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 NDMI Gambar 19 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDMI Sebagai salah satu indeks vegetasi lain selain NDVI, NDMI mempunyai hubungan yang signifikan dengan nilai NDVI suatu kawasan dimana semakin tinggi nilai NDVI maka semakin tinggi pula nilai NDMI kawasan tersebut. Hal ini dapat dipahami karena jika suatu kawasan memiliki tutupan vegetasi yang bagus atau rapat maka dengan demikian kawasan tersebut juga memiliki kelembaban vegetasi atau kelembaban permukaan tutupan area yang tinggi. Berdasarkan hasil penilaian NDMI pada lokasi penelitian yang berada pada kisaran nilai 0,1 0,2 maka dapat dikatakan bahwa kelembaban permukaan tutupan area atau kelembaban vegetasi di lokasi penelitian ini cukup baik. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya vegetasi yang dapat menyerap panjang gelombang spektral dari band 4 dan 5 yang digunakan dalam menilai NDMI pada suatu kawasan.

18 62 Gambar 20 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDVI

19 Gambar 21 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDMI 63

20 Jarak terdekat dari jalan/trail Berdasarkan beberapa hasil penelitian terhadap penyebaran tumbuhan asing invasif yang dilakukan oleh peneliti asing di luar negeri, membuktikan bahwa gangguan akibat aktivitas manusia merupakan faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi percepatan penyebaran tumbuhan asing invasif. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2011) menunjukkan bahwa kehadiran Japanese honeysukcle sangat berhubungan erat dengan gangguan antropogenik pada umumnya. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa jika kawasan DAS dikaitkan dengan campur tangan kegiatan manusia, maka faktor-faktor seperti jarak dari jalan utama, kelembaban tanah, intensitas cahaya, dan kekayaan spesies semua signifikan terkait dengan distribusi spasial spesies invasif. Hasil penelitian di Panther Creek yang hampir seluruh kawasannya berhutan sangat sesuai dengan kesimpulan yang disebutkan diatas. Kondisi tersebut diatas sangat relevan dengan hasil penelitian di sepanjang jalur trail pendakian cibodas, dimana kirinyuh banyak ditemukan pada kondisi dimana dekat dengan jalan trail (Gambar 23). Jumlah Kirinyuh (individu) >1.000 Jarak dari jalan trail (m) Gambar 22 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail

21 Gambar 23 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail 65

22 Jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa penyebaran tumbuhan asing invasif sangat tergantung kepada aktivitas manusia maka sama halnya dengan jalan trail pendakian, aktivitas kebun juga menjadi salah satu faktor aktivitas manusia yang ikut berperan dalam penyebaran tumbuhan asing invasif. Kawasan hutan Resort Mandalawangi merupakan kawasan hutan yang berbatasan dengan perkebunan penduduk, pemukiman penduduk dan Kebun Raya Cibodas yang merupakan sumber aktivitas manusia. Gambar 25 merupakan peta hasil overlay titik keberadaan kirinyuh terhadap kebun masyarakat yang berada di sekitar kawasan Mandalawangi Cibodas. Peta tersebut dibagi menjadi 3 kelas yaitu ; dan >3.000 mdpl. Keberadaan kirinyuh sangat banyak ditemukan pada kelas jarak kebun mdpl, hal ini menunjukkan bahwa semakin dekat jarak kebun maka semakin banyak probabilitas ditemukannya kirinyuh. Jumlah Kirinyuh (individu) >3.000 Jarak Kebun (m) Gambar 24 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak kebun

23 Gambar 25 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak kebun 67

24 Analisis Pemodelan Spasial Analisis Regresi Logistik Biner (Binary Logistic Regression Analysis) Model kesesuaian habitat kirinyuh Model kesesuaian habitat bukanlah upaya yang pasti untuk memprediksi ada tidaknya suatu spesies tumbuhan atau satwa pada suatu habitat, tetapi lebih merupakan upaya untuk mengidentifikasi areal atau blok kawasan hutan mana yang harus diprioritaskan dalam pengelolaannya (Rahmat 2012). Pemodelan ini menggunakan pendekatan model regresi logistik biner dengan prosedur Enter dengan sistem eliminasi manual. Variabel prediktor untuk membangun model regresi logistik biner kesesuaian habitat kirinyuh menggunakan delapan data spasial yaitu ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), arah kelerengan (aspect), penutupan vegetasi (NDVI), suhu, kelembaban vegetasi, jarak terdekat dari jalur patroli/trek dan jarak terdekat dari pemukiman atau aktivitas manusia. Setiap titik kehadiran dan ketidakhadiran yang digunakan dinilai variabel prediktornya melalui bantuan perangkat lunak Arc Gis ver Lampiran 2 menyajikan data atribut pasangan titik kehadiran dan ketidakhadiran yang digunakan untuk membangun model. Perhitungan nilai variabel prediktor menggunakan perangkat lunak SPSS 16 dengan taraf kepercayaan 95%. Dari hasil perhitungan dengan prosedur ini diperoleh empat variabel prediktor yang memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 dan empat variabel dengan taraf signifikansi lebih dari 0,05 (Lampiran 4). Konstanta persamaan regresi logistik ( 0 ) sebesar -22,938 dengan koefisien regresi masing-masing variabel prediktor dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka dikatakan sementara bahwa model regresi pada tahap ini belumlah baik karena nilai konstansta dan nilai 4 prediktor lainnya masih memiliki nilai probabilitas (signifikansi) di atas 0,05. Untuk itu, menurut Santoso (2012) model regresi dapat diulang lagi dengan hanya memasukkan prediktor yang sudah signifikan sebagai variabel independen, dalam kasus ini adalah suhu, NDVI, NDMI dan jarak dari trek.

25 69 Tabel 2 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 1 No. Variabel predictor Koefisien regresi Signifikansi 1. Ketinggian (elv) 6,334 0, Kelerengan (slp) 0,026 0, Arah kelerengan (asp) 0,001 0, Penutupan Vegetasi (NDVI) -45,789 0, Suhu (sh) 1,623 0, Kelembaban vegetasi (NDMI) -30,675 0, Jarak dari trail (jt) -72,932 0, Jarak dari kebun (jk) -0,153 0,901 Konstanta -22,938 0,261 Dari hasil perhitungan tahap ke-2 ini diperoleh tiga variabel prediktor yang memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 dan satu variabel dengan taraf signifikansi lebih dari 0,05 (Lampiran 4). Konstanta persamaan regresi logistik ( 0 ) sebesar 13,588 dengan koefisien regresi masing-masing variabel prediktor dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 2 No. Variabel prediktor Koefisien regresi Signifikansi 1. Suhu (sh) 0,253 0, Penutupan vegetasi (NDVI) -32,046 0, Kelembaban vegetasi (NDMI) -24,742 0, Jarak dari trail (jt) -66, Konstanta 13,588 0,096 Hasil perhitungan ke-2 pada persamaan regresi ini masih menunjukkan adanya satu prediktor yang masih memiliki nilai probabilitas (signifikansi) lebih dari 0,05 begitu pula dengan nilai konstantanya, sehinggga masih dapat dimungkinkan untuk dilakukan analisa regresi yang ke-3 dengan hanya memasukkan prediktor NDVI, NDMI dan jarak dari trail sebagai variabel independennya, dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

26 70 Tabel 4 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 3 No. Variabel prediktor Koefisien regresi Signifikansi 1. Penutupan vegetasi (NDVI) -30,571 0, Kelembaban vegetasi -28,092 0,021 (NDMI) 3. Jarak dari trail (jt) -64,988 0,000 Konstanta 19,455 0,001 Hasil perhitungan ke-3 menunjukkan bahwa konstanta dan tiga variabel prediktor adalah signifikan secara statistik dimana semuanya memiliki nilai signifikan dibawah 0,05 yang berarti bahwa ketiga variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap model kesesuaian habitat atau penyebaran kirinyuh. Dengan demikian, dari hasil ketiga perhitungan tersebut maka hasil analisa regresi yang ke-3 merupakan model regresi yang lebih baik digunakan untuk memprediksi variabel peluang keberadaan kirinyuh. Dengan demikian, bentuk persamaan regresi logistiknya adalah: Z = 19,455-(30,571*NDVI)-(28,092*NDMI)-(64,988*jt) Nilai persamaan P= [e z /(1+e z )] adalah = (,,,, ) 1 + (, (, ) (, ) (, )) Hasil perhitungan nilai P pada persamaan tersebut menunjukkan bahwa ketiga peubah tersebut yaitu NDVI, NDMI dan jarak dari trail memberikan pengaruh nyata terhadap frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat. Sifat dan besarnya hubungan antara ketiga peubah tersebut dengan frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat dapat diketahui dari besarnya nilai koefisien determinasi (R²). Nilai R² sebesar 50,1% mengindikasikan bahwa keragaman frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat dipengaruhi oleh peubah NDVI, NDMI dan jarak dari trail secara simultan sebesar 50,1% sedangkan sisanya (49,9%) dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak digunakan dalam model ini. Peubah NDVI, NDMI dan jarak dari trail merupakan peubah yang signifikan dengan semua koefisiennya bernilai negatif. Koefisien regresi variabel NDVI sebesar -30,571 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDVI atau

27 71 semakin tingginya derajat kehijauan suatu vegetasi (berhutan), maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh. Koefisien regresi variabel NDMI sebesar -28,092 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDMI atau semakin tingginya derajat kelembaban vegetasi, maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh begitupula dengan interpretasi yang sama terhadap nilai koefisien regresi variabel untuk jarak ke jalan trail sebesar -64,988. Hasil tersebut di atas mampu menjelaskan teori yang ada bahwa keberadaan spesies tumbuhan asing invasif sangat tergantung pada ketersediaan cahaya matahari yang sangat tinggi (Parendes & Jones 2000; Hawbaker & Radeloff 2004). Hal ini dapat dijelaskan dengan nilai peubah NDVI dan NDMI yang secara langsung berhubungan dengan sinaran cahaya matahari. Faktor gangguan antropogenik dalam bentuk jalan setapak atau jalan raya juga merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap penyebaran spesies tumbuhan asing invasif dibandingkan dengan gangguan alam (Rew et al. 2006). Selain itu, banyak penelitian yang berhasil menemukan bahwa aktivitas manusia sepanjang jalur setapak seperti menunggang kuda (Tyser & Worley 1992; Campbell & Gibson 2001) dapat meningkatkan kemungkinan masuk dan menyebarnya spesies tumbuhan asing sepanjang jalur tersebut (Campbell & Gibson 2001) Uji Kelayakan Model Regresi Logistik Kelayakan suatu model regresi logistik dapat dilihat dari signifikansi penurunan nilai -2 Log Likelihood serta hasil uji Hosmer and Lemeshow pada pengolahan menggunakan perangkat lunak SPSS 16 sebagaimana terlampir dalam lampiran 4. Penurunan nilai -2 Log Likelihood dari 133,084 menjadi 87,806 dengan signifikansi 0,000 (< 0,05) menunjukkan bahwa model regresi layak untuk digunakan. Uji Hosmer and Lemeshow digunakan untuk melihat kecocokan variabel prediktor yang digunakan dalam membangun model dengan model yang dihasilkan. Berkebalikan dengan signifikansi penurunan nilai -2 Log Likelihood dimana model layak jika nilai signifikansi berada dibawah taraf signifikansi 0,05, signifikansi nilai uji Hosmer and Lemeshow harus lebih besar dari taraf signifikan 0,05 untuk dapat dikatakan model itu cocok (fit) dengan variabel prediktor yang

28 72 digunakan. Nilai uji Hosmer and Lemeshow menunjukkan nilai 3,643 dengan signifikansi 0,888 (> 0,05). Nilai signifikansi ini menunjukkan bahwa model cocok dengan variabel prediktor yang digunakan Kelas Kesesuaian Habitat Kesesuaian habitat kirinyuh ditentukan dari besarnya nilai Indeks Kesesuaian Habitat. Nilai tersebut kemudian dikelas untuk menentukan tingkat kesesuaian habitat yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Penentuan selang kelas kesesuaian habitat dilakukan dengan membagi tiga selisih nilai Indeks Kesesuaian Habitat yang tertinggi dan terendah. Luas tiap kelas kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 5. = 0, = 0,333 Tabel 5 Kelas kesesuaian habitat kirinyuh beserta luas areal No. Kelas Kesesuaian Habitat IKH Luas Areal 1 Kesesuaian rendah 0 0, ,99 Ha 2 Kesesuaian sedang 0,333 0,666 31,61 Ha 3 Kesesuaian tinggi 0,666 0,999 91,46 Ha Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis/PCA) Model kesesuaian habitat kirinyuh Pada dasarnya, Priciple Component Analysis/PCA atau Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan suatu teknik mereduksi banyak data untuk mengubah suatu matrik data awal/asli menjadi satu set kombinasi linear yang lebih sedikit akan tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian dari data awal. Banyaknya faktor (komponen) yang dapat diekstrak dari data awal adalah sebanyak variabel yang ada. Kita harus mereduksi data asli dengan sedikit mungkin komponen/faktor akan tetapi masih memuat sebagian besar variasi dari data asli katakan lebih dari 80% (Supranto 2004). Data yang digunakan dalam analisis komponen utama ini adalah data 48 titik kehadiran kirinyuh. Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan terhadap faktor peubah yang mempengaruhi tempat tumbuh kirinyuh menunjukkan bahwa dari 8 faktor lingkungan fisik yang diamati dapat

29 73 dikelompokkan menjadi 3 faktor komponen utama. Hal ini diindikasikan dengan eigenvaluenya > 1. Ketiga komponen baru tersebut dapat menjelaskan sebesar 73,51% dari variabilitas keseluruhan variabel faktor yang diamati (Tabel 6). Meskipun komponen pertama relatif lebih besar daripada komponen kedua dan ketiga, perbedaannya tidaklah terlalu besar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa antara kedua faktor komponen memberikan informasi yang relatif sama besar untuk dapat menggambarkan kondisi habitat kirinyuh. Tabel 6 Keragaman total komponen utama Komponen Akar Ciri (Initial Eigen Values) Total % Keragaman %Kumulatif Keragaman Hasil analisis tersebut (nilai total dari akar ciri) kemudian digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variable. Keeratan hubungan antara keempat variable kesesuaian habitat kirinyuh. dengan komponen utama seperti disajikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7 Vektor ciri PCA Variabel Komponen Utama Slope Aspect Suhu NDVI NDMI Elevasi Jarak Jalan Trail Jarak Kebun Komponen variabel elevasi/ketinggian adalah variabel yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama (PC1), diikuti jarak dari kebun.

30 74 Komponen penutupan vegetasi (NDVI) adalah variabel yang berpengaruh pada faktor komponen kedua (PC2), sedangkan komponen kelembaban vegetasi (NDMI) serta jarak dari jalan trail merupakan variabel yang berpengaruh pada faktor komponen ketiga (PC3). Hasil di atas menunjukan bahwa variabel elevasi dan jarak kebun mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama pertama. Sedangkan variabel NDVI mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua. Dan terakhir variabel NDMI dan nilai jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama ketiga. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing variabel sajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Koefisien tiap variable kesesuaian habitat kirinyuh No. Variable Nilai Bobot 1. Elevasi (elv) 2, Jarak Kebun (jkb) 2, NDVI (NDVI) 2, NDMI (NDMI) 1, Jarak jalan taril (jtr) 1, Kelas Kesesuaian Habitat Kirinyuh Untuk menentukan indeks kesesuaian habitat kirinyuh digunakan bobot dari tiap variabel yang sudah masuk ke dalam persamaan. Sebelum dilakukan perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan pengkelasan tiap variabel habitat untuk menentukan skor tiap kelas dari variabel tersebut. Setiap kelas dalam satu variabel memiliki nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya. Skor dari masing-masing kelas variabel ditentukan oleh banyaknya titiktitik keberadaan dari habitat kirinyuh sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9.

31 75 Tabel 9 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat No. Variabel Kelas Skor 1 Elevasi/Ketinggian m dpl m dpl 2 >2.400 m dpl 1 2 Jarak dari kebun m m 2 >3.000 m 1 3 NDVI -0,35 0,2 1 0,2 0,4 2 >0,4 3 4 NDMI -0,261 0,1 1 0,1 0,2 2 0,2 0,3 3 5 Jarak dari jalan trail m m 2 >1.000 m 1 Persamaan model kesesuaian habitat kirinyuh didapat melalui perhitungan terhadap masing-masing variabel yang digunakan sebagai prediktor menggunakan SPSS 19, sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut: Y=(2,873*elv)+( 2,873*jkb)+( 2,004*NDVI)+( 1,004*NDMI)+(1,004*jtr) Persamaan di atas menunjukkan bahwa elevasi, jarak kebun dan NDVI mempunyai koefisien (bobot) yang paling tinggi diantara variable yang lain, dimana Y adalah Indeks Kesesuaian Habitat dan nilai variabel yang dimasukkan adalah skor dari masing-masing variabel yang terdapat di dalam persamaan tersebut.

32 76 Gambar 26 Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Regresi Logistik

33 Gambar 27 Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama 77

34 Validasi Model Validasi model ditujukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Validasi model dilakukan dengan menguji model menggunakan data validasi sebanyak 48 pasang data yang dioverlaykan ke dalam peta kesesuaian habitat. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat kirinyuh dihitung berdasarkan perbandingan jumlah titik pertemuan kirinyuh yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian dengan jumlah total titik pertemuan kirinyuh hasil survey. Hasil validasi terhadap model regresi logistik menunjukkan bahwa 31 titik (64,6%) masuk ke dalam kelas kesesuaian tinggi, 11 titik (22,9%) kelas kesesuaian sedang, sedangkan untuk kelas kesesuaian rendah sebanyak 6 titik (12,5%). Tingginya persentase data yang ditemui pada kelas kesesuaian tinggi menunjukkan bahwa model yang digunakan memiliki validitas yang tinggi pula. Nilai validasi untuk Analisis Komponen Utama menunjukkan 31 titik (64,6%) masuk ke dalam kelas kesesuaian tinggi, 17 titik (35,4%) kelas kesesuaian sedang, sedangkan untuk kelas kesesuaian rendah tidak ditemukan titik kirinyuh (Tabel 10). Tabel 10 Hasil validasi model keseusaian habitat kirinyuh No. Kelas Kesesuaian Model Berdasarkan Analisis Regresi Logistik Model Berdasarkan Analisis Komponen Utama Jumlah Titik Kirinyuh Persentase (%) Jumlah Titik Kirinyuh Persentase (%) 1. Tinggi 31 64, ,6 2. Sedang 11 22, ,4 3. Rendah 6 12,5 0 0 Model yang dihasilkan ini merupakan model peramalan (predictif model). Walaupun dalam pengertian tertentu sebuah model dianggap tidak realistis, model ini sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk mempelajari kesesuaian habitat dan penyebaran kirinyuh di TNGGP. Selain itu, setiap jenis analisis spasial yang digunakan dalam membangun sebuah model memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga ada kemungkinan asumsi-asumsi yang dibangun dalam membangun sebuah model tersebut salah, tetapi diharapkan model tersebut dapat bermanfaat.

35 79 Berdasarkan hasil validasi model di atas (Tabel 10), terlihat bahwa model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner menghasilkan 3 (tiga) kelas kesesuaian habitat kirinyuh yaitu pada kelas tinggi, sedang dan rendah sedangkan pada model yang dibangun berdasarkan Analisis Komponen Utama hanya menghasilkan 2 (dua) kelas kesesuaian yaitu tinggi dan sedang. Jika ditinjau lebih lanjut berdasarkan jumlah titik kirinyuh yang seharusnya tidak berada pada kelas kesesuaian rendah seperti yang ditemukan pada hasil validasi model berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner maka dapat dikatakan bahwa model yang dibangun untuk memprediksi sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama adalah model yang lebih sesuai dibandingkan model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner. 5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Variabel Prediktor Variabel prediktor yang berasal dari data spasial memiliki faktor-faktor yang akan berpengaruh pada akurasi data pembangun model. Faktor-faktor tersebut diantaranya (a) akurasi titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran, (b) akurasi data DEM, (c) penyimpangan letak jalur jalan dan sungai, serta (d) akurasi nilai NDVI akibat pengaruh topografi. a. Akurasi titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran Akurasi titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran tergantung pada dua hal utama yaitu alat yang digunakan dan surveyor. Alat GPS sebagai pemberi informasi posisi koordinat memegang peranan penting dalam perolehan data yang teliti. Tingkat ketelitian GPS dapat ditunjukkan dari jumlah satelit yang dapat dideteksi oleh GPS. Semakin banyak satelit yang dapat ditangkap, akurasi titik yang diperoleh juga semakin tinggi. Kemampuan dan konsistensi surveyor sebagai pengguna alat GPS juga berperanan. Error data lapangan sering ditimbulkan oleh kesalahan pada manusia. b. Akurasi data Digital Elevation Model (DEM) Data DEM yang diperoleh melalui hubungan berkala gistutorial.net/id/resources/dat/download-aster-gdem.html mengandung datadata yang menyimpang (anomali). Penyimpangan data ini muncul akibat sisa awan pada citra yang digunakan untuk menyusun ASTER GDEM, tahapan

36 80 dalam menyusun batasan layer (scene), bentuk atau kenampakan benda yang muncul dan mempengaruhi batasan nilai seperi bentuk lubang atau benjolan, ketinggian badan air di daratan termasuk gangguan tekstur yang terlihat, serta detail ekspresi topografi yang ditetapkan ASTER GDEM (ASTER Global DEM 2009). Bentuk-bentuk penyimpangan ini mempengaruhi akurasi data yang diperoleh. c. Penyimpangan letak jalur jalan dan kebun Penyimpangan jalur jalan dan kebun pada peta vektor dengan yang ada pada citra satelit salah satunya dapat disebabkan oleh manusia selaku subjek penyusun. Peta vektor dibuat melalui digitasi sehingga penyimpangan dapat terjadi pada saat proses tersebut berlangsung. Sumber penyimpangan yang lain adalah sumber data untuk digitasi yang dipergunakan oleh penyusun. Data yang telah lama sering mengalami perubahan, dan lambat untuk diperbaiki. Lain halnya dengan citra satelit yang mampu memperoleh data baru secara cepat. Untuk mengatasi penyimpangan ini, koreksi geometrik dapat dilakukan baik pada citra satelit maupun peta vektor. Koreksi ini menggunakan data titik yang sama yang ada pada citra satelit maupun peta vektor. d. Akurasi nilai NDVI, NDMI dan Suhu akibat pengaruh topografi Nilai NDVI, NDMI dan Suhu diperoleh berdasarkan data citra satelit yang digunakan. Akurasi data ini dapat dipengaruhi oleh kondisi topografi. Pada topografi yang berbukit-bukit dan kemiringan lereng relatif curam, vegetasi akan terlindungi oleh bayang-bayang lereng. Kondisi ini akan mempengaruhi pantulan sinar oleh vegetasi dan menyebabkan perbedaan nilai tersebut meskipun kondisi vegetasi dan kerapatan sama di setiap pikselnya. 5.5 Strategi Pengendalian dan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan dilindungi yang pengelolaannya lebih diarahkan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.

37 81 Pesatnya perkembangan penduduk diikuti peningkatan kebutuhan yang semakin kompleks memaksa banyak jalur hijau beralih fungsi menjadi jalan raya dan bangunan fisik lainnya. Pembukaan areal dan pembangunan fisik pun terus berlangsung hingga kini baik untuk pemukiman, industri, tambang, dsb. Akibatnya lambat laun terjadi ketimpangan ekologi yang ada di sekitarnya dan kini telah dirasakan dampaknya oleh masyarakat luas berupa banjir dan kekeringan. Di sisi lain luas kawasan konservasi yang ditetapkan untuk menunjang keseimbangan tata air bagi wilayah di sekitarnya tidak banyak mengalami peningkatan karena tekanan perkembangan penduduk, bahkan cenderung mengalami degradasi fungsi akibat berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah terhambatnya regenerasi spesies endemik akibat masuknya spesies tumbuhan eksotik yang bersifat invasif. Beberapa instrumen telah dikeluarkan oleh oleh pemerintah Indonesia dalam rangka membatasi atau meminimalkan penyebaran spesies asing di Indonesia antara lain dengan peraturan yang terkait dengan karantina dan lainlain, namun instrumen tersebut belum cukup dalam menangani permasalahn spesies asing invasif di Indonesia. Kendala yang dihadapi dalam hal ini karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai spesies asing invasif, akses informasi mengenai spesies asing invasif yang masih terbatas, masih lemahnya sistem monitoring terhadap masuknya atau penyebaran spesies asing invasif dan koordinasi antar instansi terkait masih lemah. Pengelolaan dan pengendalian invasi biologi telah menjadi tantangan besar bagi peneliti, pemerintah, dan masyarakat lainnya. Penelitian tentang keberadaan tumbuhan invasif sudah banyak dilakukan di berbagai tempat termasuk di beberapa kawasan taman nasional di Indonesia, namun data mengenai pola distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan invasif tersebut kurang didokumentasikan. Melalui hasil penelitian yang diwakili dengan spesies asing kirinyuh ternyata dapat menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara faktorfaktor biofisik sebagai peubah-peubah ekologi yang mempengaruhi pola distribusi dan kesesuaian habitat kirinyuh dan hasil ini dapat dijadikan bahan masukan

38 82 strategis bagi pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP secara umum. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya atau strategi dalam pengendalian dan pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif pada kawasan koservasi khususnya di TNGGP yaitu: 1. Pencegahan Menurut Utomo (2006) pertumbuhan dan perkembangan spesies tumbuhan asing invasif di suatu kawasan hutan terjadi karena adanya celah-celah terbuka di dalam kawasan hutan yang memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya spesies tumbuhan asing invasif di tempat terbuka tersebut, karena itu pencegahan yang terbaik adalah mengusahakan agar celah-celah tidak dibiarkan terbuka, yaitu dengan melakukan penanaman spesies-spesies pohon lokal yang rendah populasinya terutama dari spesies-spesies klimaks yang mencirikan komunitas vegetasi hutan saat ini agar tidak terjadi pergeseran dan mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati di TNGGP. Pencegahan dilakukan dengan melakukan pengaturan terhadap berbagai aktifitas dan kegiatan masyarakat seperti kegiatan pertanian, perkebunan dan lainlain pada areal penyangga kawasan konservasi dan pengunjung juga dilakukan untuk mencegah masuknya spesies tumbuhan asing ke dalam kawasan TNGGP. Pengaturan terhadap pengunjung dilaksanakan baik terhadap pengunjung pendakian, penelitian maupun expedisi. Hal tersebut dilakukan dengan memberlakukan SIMAKSI yang memuat aturan-aturan untuk masuk dalam kawasan konservasi. Walaupun SIMAKSI belum memuat hal-hal spesisfik atas pencegahan IAS, namun aturan ini dapat menjadi filter (saringan) terhadap potensi penyebaran IAS yang lebih luas. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dibuat suatu Standard Operational Procedure (SOP) sebagai bagian dari SIMAKSI untuk pencegahan penyebaran IAS baru dalam TNGGP. Penetapan kuota pendakian sebanyak 600 orang perhari, selain sebagai upaya pengelolaan terhadap sistem keamanan dan kenyamanan pendakian juga merupakan upaya pengelolaan sampah di TNGGP. Dengan adanya penetapan kuota, pemantauan pendaki/pengunjung juga lebih mudah dilakukan terutama

39 83 terhadap barang bawaan pendaki/pengunjung yang berpotensi membawa IAS spesies baru. 2. Pengendalian Tindakan pengendalian spesies tumbuhan asing invasif yang dilakukan di kawasan TNGGP adalah dengan cara manual mengingat kawasan TNGGP merupakan daerah tangkapan air bagi masyarakat sekitar dan masyarakat di daerah hilir. Metode yang digunakan adalah metode containment yaitu aktifitas pengendalian dilakukan pada batas-batas terluar dari daerah yang terinvasi, setelah dikendalikan perlu dimonitor secara berkala untuk jangka waktu tertentu. Setelah benar-benar terbebas dari gangguan spesies asing invasif, pengendalian dilakukan semakain ke dalam dari kawasan yang terinvasi, demikian seterusnya hingga seluruh kawasan terinvasi benar-benar telah bebas dari spesies tumbuhan asing invasif. Keberadaan spesies tumbuhan asing invasif di kawasan konservasi saat ini sesuai dengan historikalnya telah berada pada tahapan mengkolonisasi lokal (wilayah tertentu). Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) telah melakukan beberapa usaha untuk melakukan pengelolaannya, diantaranya: 1. Pada tahun 2006, BBTNGGP telah melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi spesies tumbuhan eksotik/ alien sp di kawasan TNGGP 2. Pada tahun 2009, BBTNGGP telah melakukan kegiatan eradikasi dengan tahapan: a) Eradikasi melalui perlakuan mekanis dan fisik dengan menarik akar tumbuhan IAS sampai dengan cm (tergantung spesiesnya), menebang dan memotong. b) Pengolahan hasil eradikasi melalui pembuatan kompos. c) Pembinaan habitat melalui penanaman kembali menggunakan spesies tumbuhan lokal seperti congkok, tepus, paku-pakuan serta rasamala. Kegiatan pembinaan habitat berupa penanaman pohon endemik TNGGP merupakan salah satu cara terbaik dalam pemulihan habitat yang terinvasi spesies asing invasif di TNGGP. Tumbuhan yang digunakan untuk merestorasi kawasan tersebut adalah spesies asli/endemik terutama

40 84 spesies pioneer yang pertumbuhannya relatif cepat dibandingkan spesies tumbuhan asing invasif untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dan yang mempunyai potensi tumbuh tinggi dan cepat seperti congkok, tepus, paku-pakuan serta rasamala. d) Pemulihan Kegiatan pemulihan dilakukan juga dengan cara restorasi. Menurut Sutomo (2009) restorasi merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara aktif dengan spesies yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan komposisi spesies seperti semula. Tujuannya untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju. Restorasi suatu wilayah untuk mencapai struktur dan komposisi spesies semula dapat dilakukan melalui suatu program reintroduksi yang aktif, terutama dengan cara menanam dan membenihkan spesies tumbuhan semula. Dalam beberapa waktu terakhir, telah banyak diakui bahwa konsep suksesi dan restorasi sangat erat kaitannya satu dengan yang lain. Restorasi suatu ekosistem yang terdegradasi yang tengah melalui proses suksesi dilakukan untuk mempercepat proses tersebut sehingga memiliki fungsifungsi ekosistem yang sehat. Percepatan proses ini dilakukan dengan upayaupaya yang bersifat manipulasi lingkungan maupun sumber daya. 3. Monitoring dan Evaluasi Kegiatan monitoring dilakukan secara berkala untuk mengantisipasi kemungkinan masuk, tumbuh dan berkembangnya kembali spesies tumbuhan asing invasif di dalam kawasan TNGGP. Salah satu upaya monitoring yang telah dilakukan adalah dengan dibuatnya Permanen Sample Plot (PSP) di TNGGP. Plot ini selanjutnya dijadikan tempat/lokasi untuk memantau dan melakukan kajian terhadap perkembangan spesies asing invasif di kawasan TNGGP yang akan digunakan dalam pengelolaan spesies asing invasive. Upaya lainnya adalah monitoring terhadap pencegahan masuknya spesies IAS yang baru. Aktifitas ini dilaksanakan dengan melakukan pemantauan terhadap pengunjung/ pendaki. Pencegahan sekaligus juga dilakukan untuk mencegah masuknya satwa eksotik baik invasif maupun non-infasif yang kemungkinan dibawa pengunjung masuk dalam TNGGP.

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan selama 1 (satu) bulan yaitu pada bulan Mei 2012 di kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional Model Mandalawangi pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Indrawan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon Spp.) di Pulau Seram, Maluku Penutupan lahan dan penggunaan lahan di Pulau Seram sesuai dengan hasil analisis dari peneliti

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH

PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) DI RESORT MANDALAWANGI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial 5.1.1 Peta Ketinggian Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-1351 meter dpl dengan tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat yaitu di kawasan Cikaniki dan Koridor TNGHS. Waktu pelaksanaan rangkaian kegiatan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O Sidang Tugas Akhir Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur Agneszia Anggi Ashazy 3509100061 L/O/G/O PENDAHULUAN Latar Belakang Carolita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan dilindungi yang pengelolaannya lebih diarahkan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan,

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN. PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN

LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN. PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN AGUNG SISWOYO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci