PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH"

Transkripsi

1 PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) DI RESORT MANDALAWANGI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO MARLENNI HASAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2012 Marlenni Hasan NRP. E

3 ABSTRACT MARLENNI HASAN. Spatial Modelling for Distribution and Habitat Suitability of Invasive Alien Species Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) in Mandalawangi Resort Gunung Gede Pangrango National Park. Under direction of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRESETYO. The existence of invasive alien species influenced the ecosystem, and at the same time could not be controlled. This could cause disturbance of ecosystem function and also declined forest value, ecologically and economically. Some national parks have been facing serious threat caused by invasive alien species and 37 species were identified in Gunung Gede Pangrango National Park (GGPNP). It is important to carry out this research in GGPNP since the information on the distribution and habitat suitability for invasive alien species, especially for kirinyuh, is still limited. The objectives of this research were to determine the distribution and habitat suitability model for kirinyuh and the suitability degree of GGPNP as habitat for kirinyuh. Binary Logistic Regression Analysis and Principal Component Analysis were used to predict probability of habitat suitability for kirinyuh. Fifty percent of recorded data was used to build a predictive model and the rest was used to validate the model. Habitat requirements were analyzed and quantified from digital topographic maps, ASTER DEM and Landsat 7 ETM+. The result showed that predictive model of habitat suitability for kirinyuh was affected by elevation, NDMI, NDVI, distance to farmland and distance to trail. The result suggested Principal Component Analysis was more appropriate for spatial modelling than Binary Logistic Regression. Keywords: spatial modelling, habitat suitability, binary logistic regression analysis, principal component analysis, kirinyuh, Resort Mandalawangi Gunung Gede Pangrango National Park, GIS

4 RINGKASAN MARLENNI HASAN. Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRESETYO. Beberapa kawasan konservasi seperti taman nasional di Indonesia telah menghadapi masalah dengan menginvasinya spesies tumbuhan asing ke dalam kawasan, salah satunya adalah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Saat ini di TNGGP telah ditemukan 37 spesies tumbuhan asing, 7 diantaranya bersifat invasif dan salah satu yang dominan adalah kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob). Penelitian tentang spesies-spesies tumbuhan asing invasif sudah banyak dilakukan di berbagai tempat termasuk di beberapa kawasan taman nasional di Indonesia, namun data mengenai distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan invasif yang sangat diperlukan sebagai data dasar dalam pengelolaan spesies tersebut masih sangat minim bahkan belum ada sama sekali. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor habitat yang penting bagi suatu spesies adalah pemodelan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mengidentifikasi sebaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi tempat tumbuh kirinyuh, 2) membangun model spasial sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh, 3) merumuskan strategi pengendalian dan pengelolaan spesies asing invasif di TNGGP. Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan sepanjang jalur pendakian Cibodas Resort Mandalawangi TNGGP. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Data yang dikumpulkan adalah titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang berada di dalam plot pengamatan yang dibuat secara sistematis dan titik kehadiran kirinyuh di sepanjang jalur pendakian serta data variabel atau faktor-faktor penentu keberadaan dan kesesuaian habitat kirinyuh yang terdiri dari ketinggian tempat (elevation), kemiringan lereng (slope), arah kemiringan lereng (aspect), penutupan vegetasi (NDVI), kelembaban vegetasi (NDMI), suhu, jarak terdekat dari jalan trail, jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia. Data titiktitik koordinat tersebut kemudian diverifikasi menggunakan data citra melalui analisis spasial menggunakan ArcGis dan Erdas untuk mendapatkan nilai-nilai peubah faktor-faktor penentu keberadaan dan kesesuaian habitat kirinyuh. Analisis data yang digunakan untuk membangun model sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh terdiri dari dua yaitu Analisis Regresi Logistik Biner dan Analisis Komponen Utama. Hasil analisis menggunakan ArcGis terhadap sebaran kirinyuh berdasarkan faktor-faktor penentu kesesuaian habitat menunjukkan bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada ketinggian mdpl mdpl (sub montana) dibandingkan pada ketinggian montana dan sub alpin. Topografi kawasan Resort Mandalawangi

5 yang bergunung menimbulkan kemiringan lereng yang bervariasi pada setiap bagiannya. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa kirinyuh merata ditemukan pada kemiringan lereng 8-15% (landai), 15-25% (agak curam) dan 25-40% (curam) dengan arah kemiringan lereng terbanyak pada arah utara dan selatan hingga barat daya. Hasil penilaian terhadap faktor suhu menunjukkan kirinyuh banyak ditemukan pada kisaran suhu º C. Hasil penelitian terhadap faktor tutupan vegetasi berdasarkan nilai Normalization Difference Vegetation Infrared (NDVI) dan pengaruh kelembaban vegetasi berdasarkan nilai Normalized Difference Moisture Index (NDMI) menunjukkan bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada indeks vegetasi (NDVI) hampir merata di nilai 0,2 hingga >0,4 dan nilai kelembaban vegetasi (NDMI) pada kisaran nilai 0,1 0,2. Hasil penilaian terhadap faktor atau peubah jarak kebun menunjukkan bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada kondisi dekat dengan jalan trail dan kebun. Penghitungan nilai variabel prediktor dengan taraf kepercayaan 95%, menghasilkan konstanta persamaan regresi logistik ( 0 ) sebesar 19,455. Nilai dan bentuk persamaan regresi logistik yang merupakan model kesesuaian habitat kirinyuh adalah: Z = 19,455-(30,571*ndvi)-(28,092*ndmi)-(64,988*jt) Koefisien regresi variabel NDVI sebesar -30,571 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDVI atau semakin tingginya derajat kehijauan suatu vegetasi (berhutan), maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh. Koefisien regresi variabel NDMI sebesar -28,092 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDMI atau semakin tingginya derajat kelembaban vegetasi, maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh begitupula dengan interpretasi yang sama terhadap nilai koefisien regresi variabel untuk jarak ke jalan trail sebesar -64,988. Penurunan nilai -2 Log Likelihood dari 133,084 menjadi 87,806 dengan signifikansi 0,000 (< 0,05) menunjukkan bahwa model regresi layak untuk digunakan. Hasil uji Hosmer and Lemeshow dengan signifikansi sebesar 0,888 (>0,05) menunjukkan variabel prediktor yang dipergunakan cocok (fit) dengan model yang disusun. Nilai Negelkerke R 2 sebesar 0,501 (50,1%) menunjukkan bahwa 50,1% kesesuaian habitat kirinyuh dapat dijelaskan oleh variabel yang dipergunakan di dalam model, sementara 49,9% lainnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk ke dalam model. Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan terhadap faktor peubah yang mempengaruhi tempat tumbuh kirinyuh menunjukkan bahwa dari 8 faktor lingkungan fisik yang diamati dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor komponen utama. Hal ini diindikasikan dengan eigenvaluenya > 1. Ketiga komponen baru tersebut dapat menjelaskan sebesar 73,506 % dari variabilitas keseluruhan variabel faktor yang diamati (Tabel 3). Komponen variabel elevasi/ketinggian adalah variabel yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama (PC1), diikuti Jarak dari kebun. Komponen penutupan vegetasi (NDVI) adalah variabel yang berpengaruh pada

6 faktor komponen kedua (PC2), sedangkan komponen kelembaban vegetasi (NDMI) serta jarak dari jalan trail merupakan variabel yang berpengaruh pada faktor komponen ketiga (PC3). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa variabel elevasi dan jarak kebun mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama pertama. Sedangkan variabel NDVI mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua. Dan terakhir variabel NDMI dan nilai jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama ketiga. Persamaan model kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama adalah: Persamaan diatas menunjukkan bahwa elevasi, jarak kebun dan NDVI mempunyai koefisien (bobot) yang paling tinggi diantara variable yang lain, dimana Y adalah Indeks Kesesuaian Habitat dan nilai variabel yang dimasukkan adalah skor dari masing-masing variabel yang terdapat di dalam persamaan tersebut. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner menghasilkan 3 (tiga) kelas kesesuaian habitat kirinyuh yaitu pada kelas tinggi, sedang dan rendah sedangkan pada model yang dibangun berdasarkan Analisis Komponen Utama hanya menghasilkan 2 (dua) kelas kesesuaian yaitu tinggi dan sedang. Jika ditinjau lebih lanjut berdasarkan jumlah titik kirinyuh yang seharusnya tidak berada pada kelas kesesuaian rendah seperti yang ditemukan pada hasil validasi model berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner maka dapat dikatakan bahwa model yang dibangun untuk memprediksi sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama adalah model yang lebih sesuai dibandingkan model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya atau strategi dalam pengendalian dan pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif pada kawasan koservasi khususnya di TNGGP yaitu 1) pencegahan; 2) pengendalian dan 3) monitoring dan evaluasi. Beberapa hal yang dapat dijadikan saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah bahwa pemodelan sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh menjadi sangat penting untuk upaya pengelolaan dan pengendalian jenis tumbuhan asing di TNGGP, oleh karena itu model ini dapat digunakan sebagai bahan masukan strategis bagi pengelolaan jenis tumbuhan asing invasif di TNGGP secara umum, selain itu pengembangan model dapat dilakukan dengan penelitian lanjutan dengan memasukkan faktor-faktor prediktor lain yang dianggap berpengaruh dalam sebaran dan keseuaian habitat kirinyuh, selain itu hal penting yang perlu diteliti lebih lanjut adalah mengenai bioekologi dari kirinyuh itu sendiri. Kata kunci: pemodelan spasial, kesesuaian habitat, analisis regresi logistik biner, analisis komponen utama, kirinyuh, GIS, Resort Mandalawangi Cibodas.

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) DI RESORT MANDALAWANGI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO MARLENNI HASAN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.

10 Judul Tesis Nama NRP : Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Marlenni Hasan : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F Ketua Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi dari Institut Pertanian Bogor. Tugas Akhir dengan judul Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango disusun sebagai salah satu upaya untuk memperoleh data dasar mengenai distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan asing invasif khususnya kirinyuh yang sangat diperlukan dalam pengelolaan dan pengendalian spesies tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi upaya pengelolaan dan pengendalian spesies tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan sekitarnya pada khususnya, serta kawasan konservasi lainnya pada umumnya. Bogor, September 2012 Marlenni Hasan

12 UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi dari Institut Pertanian Bogor. Selesainya Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ayahanda Ignatius Soeradji dan Ibunda Marlius yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis. 2. Suami tercinta Stefanus Adi Krisviyanto dan putri tercinta Regina Ayu Putri Adini yang dengan sabar dan setia memberikan cinta, pengertian, waktu dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini. 3. Adik-adikku tercinta yang turut mendoakan penulis. 4. Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan, Kepala Pusat Diklat Kehutanan, Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA, Kepala Bagian Kepegawaian dan Perlengkapan Sekdirjen PHKA, Kepala Subag Administrasi Kepegawaian, Kepala Subag Pengembangan Pegawai dan Jabatan Fungsional atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. 5. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango serta jajarannya yang telah memberikan izin, rekomendasi dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor. 6. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Prof.Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. atas bimbingan yang diberikan dari awal penelitian hingga selesainya penulisan Tugas Akhir ini. 7. Ibu Syartinilia selaku dosen tamu mata kuliah GIS yang telah memberikan inspirasi untuk melakukan penelitian ini, serta atas masukan dan kesediannya berdiskusi melalui berbagai media di setiap kesempatan 8. Teman-teman Resort Mandalawangi TNGGP (Pak Sopian, Pak Ace, Iwan Ridwantara, Ranto, Pak Unang, Heri) yang telah memebrikan dukungan dan bantuan selama penelitian berlangsung.

13 9. Rekan-rekan seperjuangan di Program Profesi KKH 2010 atas kebersamaan dan persaudaraannya. 10. Tim GIS Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB (Nana, Irham, Angga, Agus, Age, Mahdi). 11. Bapak Sofwan, Bi Uum, Pak Udin, Rekan-rekan KVT, Rekan-rekan MEJ, Rekan-rekan Forum Pascasarjana Kementerian Kehutanan, serta Keluarga Besar DKSHE Fahutan IPB. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kesehatan, kebahagiaan dan perlindungan kepada kita semua. Bogor, September 2012 Marlenni Hasan

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 15 Maret 1974 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1986 penulis lulus dari SD Negeri IV di Ambon dan pada tahun yang sama masuk SMP Negeri II Ambon dan lulus pada tahun Tahun 1989 penulis melanjutkan sekolah pada SMA Negeri I Ambon dan lulus pada tahun Setelah lulus dari SMA penulis melanjutkan studi di Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan lulus pada tahun Penulis bekerja sebagai pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sejak tahun Pada tahun 2010 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan ke program magister profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Departemen Kehutanan.

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) Taksonomi Morfologi Ekologi dan Penyebaran Spesies Tumbuhan Asing Invasif Peraturan dan Kebijakan Terkait Spesies Asing Invasif Analisis dan Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum TNGGP Topografi Geologi Tanah Iklim Hidrologi Ekosisitem Flora Fauna Sejarah Introduksi Spesies Tumbuhan Asing Invasif di TNGGP Jumlah dan Penyebaran Dampak Ekologi, Sosial dan Budaya IV. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Pemilihan Spesies Alat dan Bahan Jenis Data Metode Pengambilan Data Data Kehadiran dan Ketidakhadiran Kirinyuh [i]

16 4.5.2 Data Variabel Biofisik dan Gangguan Metode Analisis Data Analisis Spasial Analisis Regresi Logistik Biner Analisis Komponen Utama Uji Kelayakan dan Validasi Model Kajian Strategis Pengendalian dan Pengelolaan V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Sebaran Kirinyuh Berdasarkan Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Ketinggian Tempat (Elevation) Kemiringan Lereng (Slope) Arah Kemiringan Lereng (Aspect) Suhu Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) Normalization Difference Moisture Index (NDMI) Jarak terdekat dari jalan/trail Jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia Analisis Pemodelan Spasial Analisis Regresi Logistik Biner Model kesesuaian habitat kirinyuh Uji Kelayakan Model Regresi Logistik Kelas Kesesuaian Habitat Analisis Komponen Utama Model kesesuaian habitat kirinyuh Kelas Kesesuaian Habitat Kirinyuh Validasi Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Variabel Prediktor Strategi Pengendalian dan Pengelolaan VI. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN [ii]

17 DAFTAR TABEL Halaman 1 Peubah-peubah ekologi sebagai variabel-variabel penduga Taraf signifikan dan koefisien regresi variabel prediktor tahap enter Taraf signifikan dan koefisien regresi variabel prediktor tahap enter Taraf signifikan dan koefisien regresi variabel prediktor tahap enter Kelas kesesuaian habitat kirinyuh beserta luas areal Keragaman total komponen utama Vektor ciri PCA Koefisien tiap variabel kesesuaian habitat kirinyuh Skor variabel/faktor kesesuaian habitat Hasil validasi model kesesuaian habitat kirinyuh [iii]

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Spesies tumbuhan asing kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) Peta penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP Peta area studi Resort Cibodas TNGGP Bentuk petak pengamatan Peta sebaran titik objek pada plot contoh Peta lokasi titik kehadiran kirinyuh Peta lokasi titik ketidakhadiran kirinyuh Peta sebaran kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat Jumlah titik kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat Peta sebaran kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng Jumlah titik kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng Nilai aspect berdasarkan arah kompas Peta sebaran kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng Jumlah titik kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng Peta sebaran kirinyuh berdasarkan suhu Jumlah titik kirinyuh berdasarkan suhu Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDVI Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDMI Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDVI Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDMI Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak kebun Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak kebun Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Regresi Logistik Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama [iv]

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data keseluruhan titik koordinat kirinyuh Data titik koordinat Analisis Regresi Logistik Biner Data titik koordinat Analisis Komponen Utama Hasil Analisis Regresi Logistik Biner Hasil Analisis Komponen Utama [v]

20 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Indrawan et al. 2007). Keanekaragaman hayati tersebut memiliki peran yang sangat berarti bagi kehidupan manusia dan lingkungan, antara lain sebagai sumber pangan dan obat-obatan, menjadi reservoir air, menjaga siklus karbon dan lain sebagainya. Saat ini keanekaragaman hayati mengalami penurunan yang cukup tinggi, yang apabila tidak segera dihentikan akan mengalami penurunan secara terus menerus dan diperkirakan sekitar persen habitat asli telah lenyap (KLH, 2011). Kemerosotan keanekaragaman hayati antara lain disebabkan oleh kerusakan habitat akibat kegiatan konservasi lahan dan eksploitasi yang berlebihan serta adanya spesies asing invasif. Tjitrosemito (2004 b) menyebutkan bahwa tumbuhan asing atau eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasive alien plant species (IAS) adalah spesies tumbuhan yang tumbuh di luar habitat aslinya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan spesies tumbuhan lokal dan berpotensi menghancurkan habitat tersebut. Keberadaan tumbuhan asing dalam waktu yang lama akan mempengaruhi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi. Invasi yang dilakukan oleh spesies tumbuhan asing invasif tersebut dapat mengubah relung spesies tumbuhan lokal di suatu habitat, mengubah struktur dan fungsi ekosistem dan mengganggu proses evolusi (D Antonio & Vitousek 1992, Mack et al. 2000). Beberapa kawasan konservasi seperti taman nasional di Indonesia telah menghadapi masalah dengan spesies asing ini. Masuknya spesies asing terutama spesies yang bersifat invasif ke dalam habitat alam taman nasional diketahui telah mempengaruhi aspek ekologi dan memberikan dampak negatif terhadap spesies asli/lokal dan pada akhirnya akan mempengaruhi sektor ekonomi. Berdasarkan hasil kegiatan identifikasi spesies-spesies tumbuhan asing di kawasan hutan Resort Cibodas pada tahun 2006 yang dilakukan oleh Balai Besar Taman

21 2 Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) ditemukan 35 spesies tumbuhan asing yang terdiri atas 7 spesies yang bersifat invasif dan 28 spesies lainnya bersifat non invasif. Dari ketujuh spesies yang bersifat invasif tersebut, kirinyuh [Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob] merupakan spesies yang paling dominan ditemukan di dalam kawasan (BBTNGGP 2006). Pengelolaan dan pengendalian invasi biologi telah menjadi tantangan besar bagi peneliti, pemerintah, dan masyarakat lainnya. Penelitian tentang spesiesspesies tumbuhan asing invasif sudah banyak dilakukan di berbagai tempat termasuk di beberapa kawasan taman nasional di Indonesia, namun data mengenai distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan invasif yang sangat diperlukan sebagai data dasar dalam pengelolaan spesies tersebut masih sangat minim bahkan belum ada sama sekali. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor habitat yang penting bagi suatu spesies adalah pemodelan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Keistimewaan SIG dalam penelitian ekosistem antara lain dalam hal efisiensi dan efektifitas dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan data dalam jumlah yang besar pada cakupan wilayah ekosistem yang cukup luas (Stow 1993). Keistimewaan lain menurut Tian et al. (2008) adalah kemampuan menyediakan informasi spasial terbaru dan relevan untuk mendukung pengelolaan dan konservasi biodiversitas untuk habitat dan lingkungan yang cukup dinamis Perumusan Masalah Salah satu penyebab menginvasinya tumbuhan luar (asing) yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) adalah melalui aktivitas manusia baik berupa penanaman secara langsung di dalam kawasan (sebelum ditetapkan menjadi kawasan konservasi), seperti dikembangkannya kebun aklimatisasi di hutan Cibodas oleh Pemerintah Hindia Belanda, atau secara tidak langsung dari tumbuhan di luar hutan yang menginvasi kawasan hutan melalui biji yang menyebar secara alamiah oleh angin, hewan dan air. Tingginya kecepatan angin di wilayah ini dan banyaknya burung yang ada di kawasan ini yang mencari makan di tepi kawasan dan areal penduduk,

22 3 mengakibatkan biji-biji dari luar kawasan dapat masuk hingga ke bagian dalam sebagai spesies asing. Introduksi spesies asing lebih banyak berpengaruh secara langsung pada spesies dan ekosistem. Dampak yang muncul biasanya tidak langsung terlihat. Distribusi spesies asing dapat merubah seluruh sistem dalam ekosistem, seperti sistem hidrologi, siklus nutrisi dan proses ekosistem lainnya. Melalui pemodelan spasial distribusi dan kesesuaian habitat kirinyuh dengan menggunakan teknologi informasi spasial yang diperkuat melalui survey lapangan diharapkan dapat menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara faktor-faktor biofisik sebagai peubah-peubah ekologi yang mempengaruhi pola distribusi dan kesesuaian habitat kirinyuh. Selanjutnya pemodelan spasial yang dibangun berdasarkan data yang diambil pada sampel lokasi yang representatif ini dapat dikembangkan untuk diterapkan pada seluruh area studi dan dikaji implikasinya untuk merumuskan masukan strategis bagi pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP khususnya kirinyuh Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi distribusi dan karakteristik habitat kirinyuh di Resort Mandalawangi TNGGP. 2. Membangun model spasial distribusi dan kesesuaian habitat kirinyuh di Resort Mandalawangi TNGGP. 3. Merumuskan strategi pengendalian dan pengelolaan spesies asing invasif di TNGGP Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar sebagai masukan strategis pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP khususnya kirinyuh, sehingga program pengelolaan dan pengendalian spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP dapat dilaksanakan secara terfokus dan komprehensif.

23 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Pola distribusi spasial kirinyuh dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik lingkungan antara lain ketinggian (elevasi) dan kelerengan tempat (slope), arah kelerengan (aspect), land cover, suhu dan kelembaban tanah. 2. Faktor gangguan (aktivitas manusia) merupakan faktor dominan yang menyebabkan tingginya laju invasi atau distribusi kirinyuh pada suatu kawasan Kerangka Pemikiran Salah satu penyebab menginvasinya tumbuhan luar (asing) yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) adalah melalui aktivitas manusia baik berupa penanaman secara langsung di dalam kawasan (sebelum ditetapkan menjadi kawasan konservasi), seperti dikembangkannya kebun aklimatisasi di hutan Cibodas oleh Pemerintah Hindia Belanda, atau secara tidak langsung dari tumbuhan di luar hutan yang menginvasi kawasan hutan melalui biji yang menyebar secara alamiah oleh angin, hewan dan air. Tingginya kecepatan angin di wilayah ini dan banyaknya burung yang ada di kawasan ini yang mencari makan di tepi kawasan dan areal penduduk, mengakibatkan biji-biji dari luar kawasan dapat masuk hingga ke bagian dalam sebagai spesies asing. Introduksi spesies asing lebih banyak berpengaruh secara langsung pada spesies dan ekosistem. Dampak yang muncul biasanya tidak langsung terlihat. Distribusi spesies asing dapat merubah seluruh sistem dalam ekosistem, seperti sistem hidrologi, siklus nutrisi dan proses ekosistem lainnya. Sampai saat ini pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP belum dilakukan secara optimal. Idealnya, semua spesies asing harus dieradikasi, dan ekosistemnya direstorasi ke tingkat seperti sediakala. Namun demikian hal tersebut secara teknis dan ekonomis tidak selalu mudah, mengingat banyak spesies yang mungkin sudah beradaptasi dan membentuk ekosistem baru, sehingga eradikasi yang tidak terkendali justru dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang mungkin tidak diinginkan. Untuk itu dalam

24 5 penanganan IAS harus dilakukan secara sistematis dan terencana, melalui sebuah rencana strategis yang didasarkan pada kaidah ilmiah yang memadai. Sifat invasif suatu tumbuhan asing pada ekosistem hutan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah struktur landsekap dan gangguan yang dihadapi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada faktor-faktor tersebut memberikan peluang besar bagi tumbuhan asing seperti kirinyuh untuk menginvasi ekosistem hutan. Sebagai upaya mitigasi invasi tumbuhan asing yang terpenting adalah mengetahui bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi invasi tumbuhan-tumbuhan asing tersebut. Studi mengenai pola distribusi invasi kirinyuh dan kesesuaian habitatnya dapat memberikan informasi bagaimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi proses invasi. Pemodelan spasial menjadi salah satu cara yang dapat diunggulkan untuk mengidentifikasi dan memetakan pola distribusi tumbuhan asing invasif. Melalui pemodelan spasial ini hubungan antara faktor-faktor biofisik sebagai peubahpeubah ekologi yang mempengaruhi pola distribusi kirinyuh dapat diidentifikasi dan diuji signifikansinya. Selanjutnya pemodelan spasial yang dibangun berdasarkan data yang diambil pada sampel lokasi yang representatif ini dapat dikembangkan untuk diterapkan pada seluruh areal dan dikaji implikasinya untuk merumuskan masukan strategis bagi pengelolaan dan pengendalian spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP khususnya kirinyuh. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

25 6 Invasi Spesies Asing Invasif Kirinyuh Akibat Ativitas Manusia dan Faktor Biofisik Lingkungan Pengelolaan Belum Optimal Kawasan TNGGP Strategi Pengelolaan dan Pengendalian Spesies Asing Invasif TNGGP Dampak Ekologi Upaya Mitigasi Dengan Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Distribusi Kirinyuh Ketinggian Slope Aspect NDVI Suhu NDMI Jarak terdekat dari jalur patroli/trek Jarak terdekat dari pemukiman/a ktivitas manusia Analisis Spasial Model Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Kirinyuh Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

26 II. TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Kirinyuh Taksonomi Berdasarkan taksonominya, klasifikasi kirinyuh menurut Global Invasive Species Database (modifikasi terakhir 16 Agustus 2010) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Austroeupatorium Spesies : Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob Morfologi Kirinyuh adalah tumbuhan perdu dengan tinggi 1,5 2 meter dan kadangkadang mencapai 6 7 m apabila terdapat pohon-pohon yang menompangnya. Tumbuhan bersifat herba pada waktu masih muda, kemudian berkayu dan bercabang-cabang banyak. Batang hijau, berbentuk silindris dan sedikit berbulu. Daun berhadapan, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing, bergerigi kasar atau hampir rata dan permukaannya berbulu halus (Tjitrosoedirdjo 1989). Bunga kirinyuh tersusun dalam tipe malai rata, terdiri atas kepala, bunga bertangkai 1-2 cm. Kelopak 5, bunga putih keunguan dan sedikit berbau. Mahkota bunga seperti genta, berlobi 5, masing-masing lobi berbentuk segitiga. Putik berbelah 2 dan panjang. Buah bersudut, berukuran panjang 5 mm coklat atau hitam dengan rambut-rambut pendek pada sudut-sudutnya. Kirinyuh berkembang biak dengan bijinya (Tjitrosoedirdjo 1998). Pada tingkat kepadatan yang tinggi, seperti di Pantai Gading, tumbuhan ini dapat menghasilkan sekitar 10 9 biji/ha. Pelepasan buah sangat memerlukan kondisi

27 8 cuaca yang kering dan berangin. Penyebaran buah secara khas dilakukan oleh angin dan mungkin juga oleh binatang (Binggeli 1997). Gambar 2 Spesies tumbuhan asing invasif kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) Ekologi dan Penyebaran Kirinyuh merupakan tumbuhan asli Amerika bagian selatan (McFadyen et al. 2003). Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Calcuta (India) sebagai tumbuhan hias pada tahun 1840-an yang kemudian menyebar ke Myanmar, Assam, Benggala dan Srilanka pada tahun 1920 (Tjitrosemito 1997). Setelah itu kirinyuh dengan cepat tersebar luas ke Asia Tenggara. Di Indonesia, kirinyuh pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 dari koleksi herbarium di Lubuk Pakam Sumatera Utara oleh Van Meer Mohr dan saat ini masih berada di Herbarium Bogoriense Bogor. Saat ini, peneybaran kirinyuh meliputi seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah lainnya (Tjitrosemito 1999). Kirinyuh merupakan gulma penting bagi sistem produksi pertanian, tumbuhan budidaya dan hutan tumbuhan industri jati karena dapat berkompetisi secara kuat dengan tumbuhan budidaya (Setiadi 1989; Syamsudin et al. 1993; Tjitrosemito 1998). Di daerah pengembalaan hutan lindung Pananjung, Jawa Barat dan Taman Nasional Baluran, keberadaan kirinyuh dapat mengurangi hamparan padang pengembalaan banteng dan rusa. Selain itu, kirinyuh juga dapat menimbulkan keracunan pada hewan-hewan ternak yang memakannya karena kandungan nitrat yang sangat tinggi terutama pada tunas-tunas muda yang tumbuh

28 9 kembali sesudah pemangkasan (Torres & Paller 1989). Di Afrika bagian barat, tumbuhan ini mampu menekan regenerasi spesies pohon pada daerah yang mengalami suksesi, sedangkan di Afrika bagian selatan, mengurangi keanekaragaman spesies dan merupakan ancaman pada daerah tepi hutan (Binggeli 1997). Dibalik kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan kirinyuh di suatu tempat, kirinyuh juga ternyata memiliki sejumlah potensi besar yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012), dari pengolahan gulma kirinyuh dapat dihasilkan pupuk organik, biopestisida, obat, dan herbisida. Daun segarnya dipakai untuk menyembuhkan luka-luka, mengobati malaria, serta gangguan maag dan mata. Selain itu kayu dan rantingnya yang ringan sangat mudah dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan, sekaligus dapat mengurangi dampak buruk keberadaannya Spesies Tumbuhan Asing Invasif Indrawan et all. (2007) menyebutkan bahwa spesies asing atau eksotik adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya. Akibat kegiatan manusia sebaran mereka meluas. Spesies asing yang dikenal dengan sebutan alien species, dibedakan atas dua kategori, yaitu spesies asing yang tidak bersifat invasif dan spesies asing yang bersifat invasif. Di Asia Tenggara banyak spesies tumbuhan yang termasuk kategori spesies asing seperti karet (Hevea brasiliensis), kelapa sawit (Elaeis guinensis), cabai (Capssicum annum), jagung (Zea mays) dll, namun tidak bersifat invasif sehingga keberadaannya tidak menimbulkan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan spesies tumbuhan lokal yang ada di dalam suatu area (Utomo 2006). Menurut Tjitrosemito (2004 a) di pulau Jawa ditemui tidak kurang dari spesies tumbuhan eksotik dan beberapa di antaranya bersifat invasif. Tjitrosemito (2004 b) menyebutkan bahwa tumbuhan eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasive alien plant species (IAS) adalah spesies tumbuhan yang tumbuh di luar habitat aslinya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan

29 10 spesies tumbuhan lokal dan berpotensi menghancurkan habitat tersebut. Tumbuhan-tumbuhan ini mempunyai karakter yang menyebabkan mampu mendominasi kawasan tempat tumbuhnya yaitu : 1. Pertumbuhannya yang cepat 2. Cepat mengalami fase dewasa, sehingga cepat menghasilkan biji 3. Biji yang dihasilkan juga banyak sehingga cepat mendominasi areal 4. Metode penyebaran biji yang efektif, contoh kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium) dan babakoan (Eupatorium sordidum) yang bijinya ringan sehingga mudah terbawa angin; kecubung (Brugmansia suaveolens) yang banyak menyebar melalui air 5. Beberapa spesies tumbuhan eksotik tidak begitu memerlukan serangga penyerbuk karena dapat berkembang secara vegetatif, contoh : kecubung (Brugmansia suaveolens), konyal (Passiflora suberosa). 6. Mampu menggunakan penyerbuk lokal sehingga dapat memproduksi biji 7. Cepat membentuk nuangan, produksi bunga lebih cepat daripada tumbuhan lokal sehingga memberi perlindungan dan pangan bagi penyerbuk bila sumber pangan dari spesies tumbuhan lokal belum tersedia. 8. Selain tajuk yang rapat, perakarannya juga banyak dan rapat sehingga mendominasi perakaran di sekitarnya 9. Seringkali mempunyai allelopathy yang menghambat pertumbuhan spesies lokal, contoh : seustreum (Cestrum aurantiacum) 10. Bebas hama karena berada di luar habitat alaminya. Invasi adalah pergerakan satu atau beberapa spesies tumbuhan dari satu tempat ke tempat lain yang pada akhirnya tempat tersebut mereka kuasai (Weafer 1938 diacu dalam Utomo 2006). Invasi merupakan proses yang kompleks dimana migrasi dan kompetisi memegang peran yang penting. Invasi ke tempat yang baru dimulai dengan migrasi (perpindahan tempat), diikuti dengan agregasi (pengumpulan) dan kompetisi (persaingan). Invasi tumbuhan eksotik dan dominasinya pada kawasan bekas hutan merupakan salah satu bentuk disklimaks dalam dinamika komunitas. Menurut Oosting (1948) disklimaks terjadi karena adanya gangguan manusia pada suatu kawasan dan munculnya spesies yang

30 11 mendominasi. Spesies dominan ini muncul karena adanya kondisi yang tidak normal dan umumnya menginvasi kawasan yang relatif luas dan cepat Peraturan dan Kebijakan Terkait Spesies Asing Invasif Beberapa upaya dalam pengelolaan keanekaragaman hayati didasarkan atas perjanjian internasional. Perjanjian multilateral yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan berhubungan dengan Spesies tumbuhan asing invasif antara lain adalah: Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES): CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk spesiesspesies tumbuhan dan satwa liar, merupakan suatu pakta perjanjian yang berlaku sejak tahun 1975 dan merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun CITES telah terbukti efektif dalam memberikan kontribusi terhadap konservasi flora fauna melalui sistem yang ketat terhadap izin dan penerbitan sertifikat. Hal ini juga efektif dalam hal kemampuan untuk mengendalikan perdagangan komersial jika terbukti merugikan populasi spesies, oleh karena itu konvensi ini mendukung konservasi nasional dan penegakan hukum di negara-negara anggota. Namun meskipun demikian, konvensi ini belum cukup efektif dalam mengendalikan pergerakan internasional flora fauna yang beresiko tinggi atau berpotensi invasif, terutama spesies-spesies yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Convention on Biodiversity (CBD): Spesies tumbuhan asing invasif menjadi ancaman penting bagi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tersebut melalui UU No 5 Tahun Berikut ini adalah amanat yang dihasilkan dalam beberapa

31 12 pertemuan anggota CBD yang berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif: COP V Article 8 In situ conservation: CBD pada pertemuannya di tahun 2000 (COP V) telah menghimbau negara-negara anggotanya untuk mencegah pemasukan spesies-spesies tumbuhan asing invasif yang membahayakan ekosistem, habitat maupun spesies-spesies asli (COP V article 8h). COP VI Decision VI/23 Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Dalam pertemuannya di tahun 2002 negara-negara anggota telah mengadopsi 15 kerangka acuan dan bimbingan untuk pencegahan, introduksi dan mitigasi dampak spesies asing yang invasive dan sejumlah keputusan lainnya untuk mengimplementasikan Article 8(h) CBD secara efektif dan maksimal. COP VII Decision VII/13 Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan beberapa artikel penting yang berhubungan dengan penilaian resiko spesies asing invasive. COP VIII Decision VIII/27 Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi yang berkaitan dengan beberapa jalur dan cara yang harus diperhatikan dalam introduksi spesies tumbuhan asing invasif. COP IX Decision IX/4 In-depth review of ongoing work on alien species that threaten ecosystems, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi mengenai evaluasi jurang pemisah yang dimiliki antara negara maju dan berkembang didalam teknologi identifikasi dini, ilmu taksonomi mengenai spesies-spesies tumbuhan asing invasif dan teknologi pengendalian (Sastroutomo 2010). COP X Decision X/38 Invasive Alien Species: Menghasilkan kerangka acuan tentang teknik penanganan spesies tumbuhan asing invasif sebagai hewan peliharaan, akuarium dan terrarium spesies dan bahan umpan dan penghasil makanan. Convention on Wetlands (Ramsar): Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ramsar melalui Keppres No 48/1991. Dalam Rencana Kerja Aksi Strategis Ramsar disebutkan bahwa Sekretariat Ramsar memiliki mandat untuk

32 13 mengembangkan petunjuk dan mempromosikan protokol serta tindakan untuk mencegah, mengendalikan dan memberantas IAS dalam sistem lahan basah. Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang spesies tumbuhan asing invasif, meskipun banyak instansi yang terlibat antara lain : Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, LIPI, Perguruan Tinggi, dll. Peraturan dan kebijakan nasional yang sudah dikembangkan dan berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif antara lain: 1. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya: pada Bab IV Pasal 19 ayat 3 telah dijelaskan bahwa yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam salah satunya adalah menambah spesies tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Bab VII Pasal 33 ayat 2 menjelaskan bahwa menambahkan spesies tumbuhan dan satwa lain yang bukan tumbuhan dan satwa asli taman nasional merupakan salah satu penyebab perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. 2. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tumbuhan: peraturan ini menekankan pada perlindungan tumbuhan untuk mencegah kerugian akibat dampak dari gulma atau tumbuhan lain yang mengganggu dan tindakan eradikasi untuk memusnahkan tumbuhan pengganggu tersebut yang mampu menyebar luas di lokasi tertentu dan menekan pertumbuhan spesies tumbuhan lainnya (Bab I Pasal 1 ayat 7,8,9), sedangkan pada Bab III pasal 10 dan 21 menjelaskan tentang mekanisme masuknya spesies asing serta monitoring dan pengelolaan gulma dan spesies asing. 3. UU No 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan: mengatur tugas pokok dan fungsi karantina hewan dan tumbuhan yang diterapkan di Bandar udara, pelabuhan, pos perbatasan negara dan pelabuhan antar pulau. Tindakan karantina dilakukan pada komoditas pangan, produk hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Tindakan ini menggunakan SPS (kesepakatan tentang penerapan tindakan sanitasi dan phytosanitary) yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tumbuhan.

33 14 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27/1999 tentang Penilaian Dampak Lingkungan: menekankan pada pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk setiap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan termasuk introduksi tumbuhan, hewan dan genetik. Peraturan ini memmerlukan pedoman teknis penelaah resiko dan manajemen resiko yang berhubungan dengan introduksi spesies. Semua kegiatan yang berhubungan dengan introduksi spesies harus diselesaikan melalui penilaian AMDAL, namun pedoman untuk pengelolaan, penilaian dan evaluasi resiko belum ada. 5. Keputusan Menteri Kehutanan No 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar: bertujuan untuk mengendalikan spesimen tumbuhan dan satwa liar yang akan masuk kedalam wilayah Republik Indonesia (impor). 6. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) Saat ini Indonesia memiliki Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang perlu dilaksanakan secara efektif untuk meminimalkan krisis keanekaragaman hayati. Strategi pengelolaan nasional ini memiliki visi untuk melestarikan dan memanfaatkan keanekaragam hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dokumen ini menyebutkan bahwa berbagai tindakan harus diambil dalam rangka meningkatkan instrumen kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk untuk melaksanakan program pengendalian dan pencegahan penyebaran spesies tumbuhan asing invasif serta spesies budidaya (Bappenas 2003) Analisis dan Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kemampuan untuk menggabungkan, menganalisis dan memetakan informasi geografis di permukaaan bumi dimiliki oleh SIG. Data geografis yang dianalisis dari SIG dapat dipergunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan terutama yang terkait dengan keruangan (spasial). Analisis spasial merupakan proses mendapatkan dan membentuk informasi baru yang berasal dari data geografis. Analisis sering juga disebut dengan pemodelan (modeling) dimana

34 15 tercakup proses pemodelan, pengujian model serta interpretasi hasil model (Jaya 2002). Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 2001). Model juga diartikan sebagai abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Darsihardjo 2004). Jaya (2007) menerangkan bahwa model mengandung 2 pengertian; pertama yaitu abstraksi dari suatu kenyataan yang ada di permukaan bumi dan kedua yaitu representasi dari data realitas. Hasibuan (1988) menyatakan bahwa suatu objek M adalah suatu model objek lain S jika memenuhi syarat; pertama yaitu ada unsur-unsur di dalam M yang masing-masing memiliki padanan dengan unsur-unsur di dalam S dan kedua yaitu ada hubungan tertentu di antara unsur-unsur di dalam M yang analog dengan hubungan antara unsur-unsur padanannya di dalam S. Namun demikian suatu model M tidak perlu merupakan duplikat yang sama persis dengan objek S. Syarat pertama tidak mengharuskan setiap unsur M memiliki padanan unsur di dalam S atau sebaliknya. Demikian pula syarat kedua tidak mengharuskan setiap hubungan yang ada di antara unsur-unsur di dalam S ada analoginya dengan hubungan di antara unsur-unsur padanannya di dalam M. Klasifikasi model adalah model kuantitatif, model kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematika, statistik, atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks yang menyatakan hubungan antarunsur dan tidak digunakan rumus-rumus matematika, statistik, atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil (Muhammadi et al. 2001). Model spasial, yang merupakan model yang berbasis data spasial, dapat dikelaskan dalam ketiga klasifikasi model tersebut bergantung pada masukan data, analisis, maupun luaran dari model tersebut. Jaya (2002) juga mengelompokkan pemodelan berdasarkan proses/teknik analisisnya yaitu; (1) pemodelan kartografi; (2) pemodelan simulasi dan (3) pemodelan prediktif. Pemodelan katografi merupakan metode umum untuk analisis dan sinthesis data geografi. Pemodelan ini menggunakan aljabar dengan

35 16 peta sebagai faktor utama sebagai variabel yang fleksibel untuk dimanipulasi (Tomlin 1991). Pemodelan simulasi merupakan kombinasi antara data atau informasi spasial dan non-spasial. Penyusunan model ini memerlukan keahlian sesuai model yang ingin dibangun. Pemodelan prediktif pada umumnya menggunakan teknik statistik dalam menyusun model. Teknik statistik yang digunakan biasanya adalah analisis regresi. Pada pemodelan ini digunakan variabel-variabel prediktor yang yang berasal dari data spasial. Kesesuaian habitat merupakan suatu kemampuan habitat untuk menyediakan kebutuhan hidup. Indeks kesesuaian habitat dapat menghitung kualitas habitat menggunakan atribut-atribut yang dipertimbangkan penting bagi suatu spesies dan seringkali menandai kualitas habitat relatif. Ndeks kesesuaian habitat didasarkan pada asumsi bahwa individu atau kelompok suatu spesies akan memilih daerah yang palinf memenuhi kebutuhan hidupnya (Coops & Catling 2002). Sehubungan dengan hal tersebut, maka penggunaan suatu kawasan menjadi habitatnya adalah suatu kawasan yang memiliki kualitas lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kawasan lain. Model yang dihasilkan dari analisis spasial merupakan bentuk penyederhanaan informasi spasial. Model akan memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam konteks spasial untuk periode waktu yang berbeda (Moreno 2007). Hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan saat ini maupun untuk memprediksi kondisi masa depan dari perubahan informasi spasial yang dihimpun. Prediksi kesesuaian habitat dapat dimodelkan dari informasi spasial variabel habitat bagi spesies terkait.

36 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Kondisi Umum TNGGP TNGGP yang awalnya memiliki luas hektar dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 Ha), Sukabumi (6.781,98 Ha) dan Bogor (4.514,73 Ha), saat ini sesuai SK Menhut No 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi ha. Secara geografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara ` ` dan ` LS. Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Batas-batas kawasan ini adalah : Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Sukabumi Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Cianjur Berdasarkan sejarahnya, kawasan TNGGP merupakan penggabungan dari beberapa spesies kawasan konservasi yang telah ditetapkan sejak jaman Belanda. Berdasarkan tahun penetapannya, kawasan-kawasan tersebut adalah Cagar Alam seluas 240 ha yang ditetapkan pada tahun 1889, dan diperluas menjadi ha pada tahun Topografi Kawasan TNGGP merupakan rangkaian gunung berapi, terutama Gunung Gede (2.958 m dpl) dan Gunung Pangrango (3.019 m dpl) yang merupakan dua dari tiga gunung berapi tertinggi di Jawa Barat. Topografinya bervariasi mulai dari landai hingga bergunung, dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan m dpl. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai di dalam kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong. Pada bagian Selatan kawasan yaitu daerah Situgunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit (seperti bukit masigit) yang

37 18 memiliki kemiringan lereng sekitar %. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan dengan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ± meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Dibawah puncak Gunung Pangrango ke arah Barat Laut terdapat kawah mati yang berupa alun-alun selluas 5 ha dengan diameter ± 250 m, sedangkan di Gunung Gede masih ditemukan kawah yang masih aktif. Ke arah Timur Gunung Gede sejajar dengan punggung gunung terdapat Gunung Gumuruh yang merupakan dinding kawah pegunungan tua yang terpisahkan oleh alun-alun Suryakancana pada ketinggian sekitar m. alun-alun ini memiliki panjang ± 2 km dengan lebar ± 200 m membujur ke arah Timur Laut Barat Daya Geologi Gunung Gede dan Gunung Pangrango merupakan bagian rangkaian gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, dan terbentuk sebagai akibat pergerakan lapisan kulit bumi secara terus menerus selama periode kuarter, sekitar tiga juta tahun lalu, dan dalam skala waktu geologi keduanya termasuk ke dalam golongan gunung muda. Gunung Gede adalah salah satu dari 35 gunung berapi yang aktif di wilayah Indonesia, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati. Menurut catatan vulkanologi, letusan Gunung Gede pertama kali terjadi pada tahun 1747, kemudian berturut-turut terjadi letusan pada tahun 1840, 1852, 1886, 1947 dan Akibat letusan-letusannya, kawasan TNGGP terdiri atas batuan vulkanik kuarter Gunung Pangrango dan batuan vulkanik tersier Gunung Gede. Batuan vulkanik Gunung Pangrango yaitu (a) formasi Qvpo (endapan tua, lahar dan lava, basal andesit dengan oligoklas andesine, labradorit, olivine, piroksen dan horenblenda) yang menyebar pada bagian Utara, Barat Laut dan Barat Daya; dan (b) formasi Qvpy (endapan muda, lahar dan bersusunan andesit) pada bagian Barat.

38 19 Batuan vulkanik Gunung Gede sebagian besar terdiri atas formasi Qvg (breksi tufaan dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesin, tekstur seperti trakhit); formasi Qvgy (aliran lava termuda) dari puncak Gunung Gede ke arah Utara sepanjang kurang lebih 2,75 km; dan formasi Qvgl (aliran lava bersusunan andesit basal). Patahan dan sesar (fault) tidak dijumpai dalam kawasan TNGGP, tetapi daerah yang rawan bencana geologi karena terjadinya sesar (pergeseran batuan / formasi) dan patahan terdapat di sebelah Selatan Sukabumi dan Cibadak Tanah Faktor-faktor yang mempengaruhi spesies tanah dalam proses pembentukannya adalah bahan induk, topografi, iklim dan vegetasi. Bahan induk merupakan bahan batuan yang telah terlapukan dari batuan-batuan geologi yang didominasi oleh batuan vulkanik tersier dan kuarter. Kondisi iklim dengan curah hujan yang relatif tinggi sepanjang tahun (3.000 mm) mempercepat proses pelapukan bahan induk dan proses pencucian unsure-unsur hara. Proses ini dipercepat dengan keadaan topografi yang curam sampai dengan sangat curam. Dengan merujuk Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat Skala 1 : (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1966), spesies-spesies tanah yang mendominasi kawasan TNGGP adalah latosol coklat, asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, kompleks regosol kaleabu dan litosol, abu pasir, tuf, dan batuan volkan intermedier sampai dengan basis Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, curah hujan di dalam kawasan TNGGP termasuk ke dalam Tipe A (Nilai Q = 5-9 %). Curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara mm mm, menyebabkan kawasan ini merupakan salah satu daerah terbasah di Pulau Jawa. Suhu udara rata-rata di puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango pada siang hari berkisar 10 C dan di Cibodas berkisar 18 C. pada malam hari suhu udara di puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango berkisar 5 C. namun, pada musim kering atau kemarau suhu udara di puncak Gunung Gede dan Gunung

39 20 Pangrango bisa mencapai 0 C. Kelembaban udara tinggi yakni sekitar %, sehingga memungkinkan tumbuhnya spesies-spesies lumut pada batang, ranting dan dedaunan pada pohon-pohon yang ada. Pada hutan pegunungan yang berada antara dan m dpl, kelembaban yang tinggi menyebabkan terhambatnya aktifitas biologi dan pelapukan kimiawi sehingga terbentuk tanah yang khas peaty soil. Secara umum, angin yang bertiup di kawasan ini merupakan angin muson yang berubah arah menurut musim. Pada musim penghujan, terutama pada bulan Desember Maret, angin bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan cukup tinggi dan seringkali mengakibatkan kerusakan hutan. Di sepanjang musim kemarau, angin bertiup dari arah Timur Laut dengan kecepatan rendah Hidrologi Merujuk Peta Hidro-Geologi Indonesia Skala 1 : (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1986), sebagian besar kawasan TNGGP merupakan akuifer daerah air tanah langka, dan sebagian kecil merupakan akuifer produktif sedang dengan sebaran yang luas. Akuifer produktif ini memiliki keterusan yang sangat beragam. Umumnya air tanah tidak tertekan dengan debit air kurang dari 5 liter / detik. Daerah yang paling produktif kandungan sumber air tanahnya dalah daerah kaki Gunung Gede, yaitu daerah Cibadak-Sukabumi dengan mutu yang memenuhi persyaratan untuk air minum disamping untuk air irigasi. Akuifer terpenting di daerah ini adalah bahan lepas hasil produk gunung berapi seperti tufa pasiran, lahar maupun lava vesikuler. Secara berangsur, produktifitas akuifer di daerah lereng Gunung Gede makin membesar ke arah kaki gunungnya. Hal ini disebabkan oleh aliran tanah dari daerah puncak bergerak secara alami ke arah kaki gunung, disamping oleh tahanan batuan sedimen terlipat yang lebih tua di daerah Sukabumi yang bertindak sebagai penghalang aliran air tanah. TNGGP merupakan hulu dari 55 sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil. Aliran-aliran kecil mengalir dari dinding kawah menuju bawah dan menghilang pada tanah vulkanik yang mempunyai porositas tinggi. Umumnya kondisi sungai di dalam kawasan ini masih terlihat baik dan belum rusak oleh

40 21 manusia. Kualitas air sungai cukup baik dan merupakan sumber air utama bagi kota-kota yang terdapat di sekitarnya. Lebar sungai di hulu berkisar 1 2 meter dan di hilir mencapai 3-5 meter dengan debit air yang cukup tinggi. Kondisi fisik sungai ditandai dengan kondisi yang sempit dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir Ekosistem Secara umum tipe-tipe ekosistem di dalam kawasan TNGGP dapat dibedakan menurut ketinggiannya, antara lain (a) ekositem hutan pegunungan bawah; (b) ekosistem hutan pegunungan atas; dan (c) ekosistem sub alpin. Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Ekosistem tersebut yaitu (a) ekosistem rawa; (b) ekosistem kawah; (c) ekosistem alun-alun; (d) ekosistem danau; dan (e) ekosistem hutan tanaman. (a) Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah dan Hutan Pegunungan Atas Tipe ekosistem hutan pegunungan bawah terdapat pada ketinggian m dpl, dan ekosistem hutan pegunungan atas terdapat pada ketinggian m dpl. Pada umumnya tipe ekosistem hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas dicirikan oleh keanekaragaman spesies vegetasi yang tinggi, dengan pohon-pohon besar dan tinggi yang membentuk tiga strata tajuk. Tinggi tajuk hutan di dalam kawasan TNGGP sekitar m, dan strata tertinggi didominasi oleh spesies-spesies Litsea spp dan Castanopsis spp. (b) Ekosistem Hutan Sub Alpin Tipe ekosistem yang terdapat pada daerah dengan ketinggian m dpl, memiliki strata tajuk sederhana dan pendek yang disusun oleh spesies-spesies pohon kecil (kerdil), dan dengan tumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat. Keanekaragaman spesies vegetasi pada tipe ekosistem sub alpina ini lebih rendah dibandingkan kedua tipe ekosistem lain. Keadaan hutan di puncak Gunung Gede memiliki batang yang lebih kurus, kerapatan tinggi, ditumbuhi lumut lebih banyak dibandingkan keadaan hutan di puncak Gunung Pangrango.

41 22 (c) (d) (e) (f) Ekosistem Rawa Di dalam kawasan TNGGP terdapat dua areal lahan basah yang sudah dikenal, yaitu Rawa Gayonggong dan Rawa Denok. Rawa Gayonggong terletak pada ketinggian m.dpl dan berjarak sekitar m dari pitu masuk Cibodas. Rawa kemungkinan terbentuk oleh bekas kawah mati yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah ditempat yang lebih tinggi telah menyebabkan sedimentasi Lumpur yang memungkinkan tumbuhnya berbagai spesies rumput-rumputan terutama rumput gayonggong yang tampak mendominasi rawa ini. Sementara itu rawa Denok yang terletak pada ketinggian mdpl, berjarak sekitar m dari pintu masuk Cibodas hanya berukuran 5 x 5 m2, karena adanya invasi tumbuhan. Ekosistem Kawah Kondisi lingkungan yang steril, batuan asam dan pancaran gas beracun sangat mempengaruhi kehidupan vegetasi dalam ekosistem ini. Tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan kondisi demikian antara lain : Selligues feei, Vaccinium varigiaefolium dan Rhododendron retusum. Pada jarak yang agak jauh dan pengaruh pancaran gas beracun sudah berkurang. Ekosistem Alun-Alun Dalam kawasan TNGGP terdapat dua buah alun-alun, yaitu Alun-alun Suryakencana di Gunung Gede dan Alun-alun Mandalawangi di dekat Gunung Pangrango. Alun-alun Suryakencana memiliki luas sekitar 40 Ha, sementara Alun-alun Mandalawangi memiliki luas sekitar 5 Ha. Factorfaktor yang diduga sebagai penyebab tidak terbentuknya hutan di daerah ini adalah kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tandus dan sering terjadi kabut dingin. Ekosistem Danau Beberapa ekosistem danau dapat ditemukan dalam kawasan TNGGP, antara lain Danau Situ Gunung dan Telaga Biru. Luas Danau Situ Gunung diperkirakan sekitar 10 Ha, dengan kedalaman air sekitar 6 m. air danau berwarna hijau kebiru-biruan, karena pada dasar danau terdapat lumut dan ganggang serta karena pantulan warna langit. Hutan sekunder alami dan

42 23 (g) hutan tanaman damar disekitar danau membuat kondisi lingkungan daerah ini cukup menarik untuk areal wisata. Sementara itu, Telaga Biru yang terletak pada ketingian mdpl dan berjarak 1,5 km dari pitu masuk Cibodas, diperkirakan memiliki luas sekitar 500 m 2 dan kedalaman air rata-rata 2 m dengan permukaan air berwarna biru.pada awalnya danau ini merupakan tempat penampungan air tetapi karena proses alami yang berlangsung lama membuat danau ini seperti terbentuk secara lami pula. Ekosistem Hutan Tanaman Spesies Damar (Agathis lorantifolia) merupakan tanaman dominan dalam satuan ekosistem ini. Spesies ini ditanam pada tahun 1920 dengan luas 2,5 ha Flora TNGGP dikenal dan banyak dikunjungi karena memiliki potensi hayati yang tinggi, terutama keanekaragaman spesies flora. Di kawasan ini hidup lebih dari 1000 spesies flora, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) sekitar 900 spesies, tumbuhan paku lebih dari 250 spesies, lumut lebih dari 123 spesies, ditambah berbagai spesies ganggang, Spagnum, jamur dan spesies-spesies Thalophyta lainnya. Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan wilayah pos Cibodas. Spesies puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di jalur pendakian Selabinta Gunung Gede. Sedangkan pohon jamuju terbesar ditemukan di wilayah Pos Bodogol. Disamping pohon-pohon raksasa, di kawasan ini juga terdapat spesiesspesies yang unik dan menarik, diantaranya; si pembunuh berdarah dingin kantong semar (Nepenthes gymnamphora); saudara si bunga bangkai (Rafflesia rochusseni); si bunga sembilan tahun (Strobilanthus cernua) yang berbunga sekali sembilan tahun.

43 Fauna Keanekaragaman flora di kawasan ini membentuk keanekaragaman habitat berbagai spesies satwa liar antara lain ; mamalia, reptilia, amfibia, aves, insecta dan kelompok satwa tak bertulang belakang. Dari kelompok burung (Aves) hidup 251 spesies atau lebih dari 50 % dari spesies burung yang hidup di Jawa. Salah satunya adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai Satwa Dirgantara melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari Dari kelompok mamalia tercatat sekitar 110 spesies, diantaranya owa jawa (Hylobates moloch) yang langka, endemik dan unik; anjing hutan (Cuon alpinus) yang sudah semakin langka dan kijang (Muntiacus muntjak). Selain itu terdapat serangga (insecta) lebih dari 300 spesies, reptilia sekitar 75 spesies, katak sekitar 20 spesies dan berbagai spesies binatang lunak (molusca) Sejarah Introduksi Spesies Tumbuhan Asing Invasif di TNGGP Kawasan hutan TNGGP merupakan salah satu kawasan terbasah dengan curah hujan yang tinggi. Angin yang berhembus merupakan angin Muson yang bergerak dengan kecepatan tinggi (Cyclon Tropic) terutama di musim hujan sehingga sering menyebabkan kerusakan hutan. Kecepatan angin yang tinggi terutama di bulan Desember hingga Maret selain mampu merobohkan pohon juga turut mengakomodasi penyebaran dan dominasi spesies asing tertentu ke dalam kawasan terutama di areal-areal terbuka (Gap) hutan. Banyaknya tumbuhan asing yang telah menginvasi kawasan hutan TNGGP ini tidak terlepas dari sejarah berdirinya kawasan konservasi ini. Sejak tahun 1800-an kawasan ini telah dilindungi dan di gunakan untuk tujuan penelitian oleh pihak Pemerintah Kolonial Belanda yang ditunjukkan oleh terbitnya buku Vegetation von Cibodas tahun yang mendeskripsikan spesies-spesies tumbuhan yang ada di hutan hujan pegunungan Cibodas. Pada tahun 1839 didirikan Kebun Pegunungan Cibodas yang ditandai dengan dibuatnya kebun aklimatisasi untuk pertama kalinya oleh JA. Teysman di bawah air terjun Cibeureum walau menuai kritik dari beberapa peneliti di kala itu, salah satunya adalah oleh Junghun. Pembuatan kebun aklimatisasi ini terus berlanjut ke beberapa lokasi lainnya dalam wilayah pegunungan ini termasuk di Puncak

44 25 Gunung Pangrango. Kebun pegunungan inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kebun Raya Cibodas yang kini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Baru pada tahun 1889 kawasan ini ditetapkan menjadi Cagar Alam Cibodas yang memiliki luas 240 ha. Kesadaran akan pentingnya kawasan konservasi untuk menyelamatkan ekosistem hutan pegunungan Jawa yang masih tersisa, menyebabkan Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan kawasan ini menjadi taman nasional pada tahun 1980 dengan luas ha dimana spesies-spesies asing yang dimasukkan masih tetap dalam kawasan konservasi. Pada tahun 2003 TNGGP mengalami perluasan menjadi ha dimana areal perluasan tersebut merupakan areal ex hutan produksi yang dikelola PT Perhutani dengan spesies tanaman asing monokultur seperti pinus dan damar. Walaupun tidak bersifat invasif, kondisi ini juga memerlukan penanganan untuk segera dikembalikan ke ekosistem aslinya. Tumbuhan asing yang ditemukan di kawasan hutan TNGGP juga berasal dari kawasan yang berbatasan atau berdekatan dengan kawasan ini, namun diduga ada beberapa spesies yang berasal dari wilayah yang jauh dari kawasan. Hal ini dimungkinkan karena terbawanya biji-biji tumbuhan yang berasal dari wilayah yang jauh oleh kawanan burung yang bermigrasi setiap tahun dimana kawasan TNGGP merupakan salah satu jalur dan tempat persinggahan sementara bagi burung-burung tersebut. Terbentuknya celah akibat robohnya pohon oleh penyakit atau sebab-sebab alam lain memungkinkan masuknya sinar matahari yang merangsang tumbuhnya dan memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya biji-biji spesies asing di dalam kawasan. Menurut Tjitrosemito (2004), walaupun tumbuhan asing non invasif berasal dari luar habitat alaminya namun karena keberadaannya tidak bersifat mengancam ekosistem suatu kawasan maka keberadaannya masih dapat ditolerir. Tumbuhan asing yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasive alien plant species adalah spesies tumbuhan yang tumbuh di luar habitat alaminya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan spesies tumbuhan lokal serta berpotensi menghancurkan habitat tersebut, oleh karena itu keberadaannya perlu di waspadai dan di kendalikan. Untuk itu dalam renstra ini spesies IAS yang dijadikan objek merupakan IAS yang ditetapkan

45 26 berdasarkan prioritisasi terhadap kecepatan tumbuhan ini berkembang dan mengancam keberadaan tumbuhan asli TNGGP Jumlah dan Penyebaran Identifikasi dan inventarisasi alien species atau tumbuhan asing yang dilaksanakan pada tahun 2006 khususnya di kawasan hutan sub montana, montana dan sub alpin berhasil menemukan 35 spesies tumbuhan asing/alien species yang terdiri dari 6 spesies yang bersifat invasif (IAS), 1 kelompok spesies tanaman monokultur yang ditanam secara luas sehingga perlu dikendalikan dan 28 spesies lainnya bersifat tidak invasif yang tersebar pada ketinggian 1200 sampai dengan 2700 mdpl. Tujuh spesies tumbuhan asing /alien species yang bersifat invasif dan perlu dikendalikan adalah sebagai berikut: 1. Kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium Kunth R. M. King & H. Rob) yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan ini ditemukan pada tepi kawasan yang berbatasan dengan penggunaan kawasan perluasan. Umumnya spesies ini menyebar dan berpengaruh ke dalam kawasan sampai tingkat tiang, pengaruh ini dicirikan dengan sifatnya yang mempunyai percabangan banyak, semak menahun dan seringkali mencapai ketinggian 7 m. Laju perkembangbiakannya sangat cepat, memiliki senyawa allelopaty pada anakan pohon, berkompetisi sangat kuat untuk mendapatkan unsur hara tanah dan terlindung dari herbivora karena memiliki minyak esensial dan senyawa sekunder yang tidak disukai oleh satwa (Carrol, 1992). Selain itu spesies ini merupakan pesaing penting bagi regenerasi vegetasi asli, memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap kebakaran di daerah yang berbatasan dengan lahan pertanian, kepadatan populasinya dapat menentukan resiko dari bahaya kebakaran, karena memiliki minyak esensial yang tinggi untuk proses kebakaran. Spesies ini tersebar di semua resort pada kawasan TNGGP dan telah menginvasi hampir seluruh kawasan di hutan sub montana dan hutan montana. Menurut data terakhir berdasarkan hasil monitoring lapangan yang

46 27 dilakukan rutin oleh petugas TNGGP diketahui bahwa penyebaran kirinyuh saat ini sudah mencapai kawasan sub alpin hingga Puncak Pangrango. 2. Kicente (Lantana nitrida) yang mempengaruhi tingkatan semai dan pancang termasuk tumbuhan antropokari yang di introduksikan secara sengaja tetapi tidak terkait dengan kegiatan manusia dalam pemencarannya karena telah diambil alih oleh pemencar alami yaitu burung. Spesies tumbuhan ini berasal dari Amerika (Julien, 1992). Spesies Kicente dapat ditemukan di semua resort pada tepi-tepi kawasan TNGGP yang berbatasan dengan penggunaan kawasan perluasan, kebun masyarakat dan kebun teh. Dari nilai INP terlihat bahwa spesies ini melimpah di temukan di Resort Sarongge dan Bodogol. 3. Spesies tumbuhan asing yang paling mengancam dan dan tergolong IAS di dalam kawasan TNGGP adalah Konyal (Passiflora suberosa dan Passiflora edulis) yang berasal dari Amerika Selatan yang dimanfaatkan oleh penduduk sekitar kawasan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Spesies ini menyebar dan dapat beradaptasi pada ketinggian mdpl mdpl, merupakan spesies asing yang merusak dan menginvasi hampir di setiap celah hutan, bijinya menyebar keseluruh hutan dan tumbuh dengan agresif pada saat terbentuknya celah hutan baru. Spesies tumbuhan ini sangat berkompetisi dengan spesies asli dan menghambat regenerasi hutan. Menurut Sutasurya (1998) penyebaran ini terprediksi akan berlanjut pada setiap celah hutan baru setelah badai tahunan dari bulan Desember sampai bulan Januari dan berpindah ke areal lain melalui tepi atau batas kawasan hutan. Spesies tumbuhan ini sangat berkompetisi atau menjadi pesaing dengan spesies asli dan menghambat regenerasi hutan. Dari nilai INP terlihat bahwa spesies ini sangat melimpah ditemukan di Blok Bobojong Resort Gunung Putri dan di Resort Mandalawangi. 4. Babakoan (Eupatorium sordidum) berasal dari Mexico Amerika Selatan dan banyak menginvasi aliran sungai dan daerah berair lainnya. Spesies ini ditemukan hampir di semua Resort TNGGP. Begitu juga dengan Pisang Kole (Musa acuminata) yang berasal dari Jepang.

47 28 5. Kecubung atau bunga terompet (Brugmansia suaveolens) merupakan tumbuhan asing yang umum di jumpai hampir di seluruh kawasan TNGGP. Spesies ini berasal dari Brazilia Amerika Selatan dan merupakan spesies invasif di TNGGP. Berdasarkan nilai INP spesies ini sangat melimpah ditemukan di Blok Telaga Biru dan Airt Terjun Cibeureum Resort Mandalawangi. 6. Teklan (Austroeupatorium riparium) juga merupakan spesies asing yang bersifat invasif yang tersebar hampir di seluruh kawasan TNGGP. Spesies ini berasal dari Amerika Selatan dan merupakan gulma di areal pertanian penduduk. Kecepatan angin yang tinggi di dalam kawasan menyebabkan penyebarannya cepat dan mendominasi areal-areal terbuka. Daya adaptasi yang tinggi, toleransi terhadap naungan menyebabkan spesies ini ditemui merata di dalam kawasan hingga ketinggian lebih dari mdpl. 7. Satu kelompok spesies hutan tanaman yaitu Kidamar (Agathis damara) merupakan tumbuhan asing yang berasal dari Australia yang ditemukan di Resort Cimungkat Seksi Konservasi Wilayah I Sukabumi dan Resort Cimande, Seksi Konservasi Wilayah II Bogor. Spesies ini ditanam secara luas dan menutupi hampir seluruh kawasan perluasan TNGGP di resortresort tersebut. Spesies tumbuhan lain yang ditemukan pada tepi kawasan TNGGP khususnya di Resort Cimande dan Resort Bodogol adalah Afrika (Maesopsis eminii). Spesies ini berasal dari Afrika dan berada dalam kawasan karena sengaja ditanam pada tahun Selain itu di kawasan ini juga ditemukan Pinus (Pinus merkusii) yang berasal dari Pulau Sumatra. Spesies-spesies tersebut memang tidak bersifat invasif, namun ditanam secara luas di areal yang saat ini masuk ke dalam kawasan taman nasional, sehingga, secara bertahap harus dieradikasi. Berdasarkan penafsiran citra landsat beresolusi tinggi tahun bahwa kehadiran pisang cole (Musa acuminata) telah terlihat secara jelas. Bahkan di beberapa area seperti Geger Bentang dan Mandalawangi beberapa spot telah tertutupi oleh pisang tersebut (Gambar 3).

48 Gambar 3 Peta penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP (menurut Citra Landsat) 29

49 Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Invasi dan dominasi spesies tumbuhan asing invasif pada areal terbuka di TNGGP mengakibatkan terhambatnya regenerasi spesies tumbuhan asli. Dalam banyak hal pertumbuhan dan perkembangan spesies asing invasif, kerapatan tajuk, banyaknya biji yang dihasilkan sepanjang tahun serta kemampuan untuk menghasilkan dan melepaskan senyawa allelopathy yang dimilikinya sehingga mengakibatkan kematian anakan spesies pohon endemik atau lokal karena lambatnya pertumbuhan serta kekalahan dalam memperebutkan sumberdaya baik unsur hara dari dalam tanah maupun cahaya matahari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Utomo (2006) diketahui bahwa terdapat 17 spesies pohon endemik yang populasinya terancam menurun sebagai dampak adanya spesies tumbuhan asing invasif di hutan pegunungan bawah dan 19 spesies pohon endemik di hutan pegunungan atas TNGGP. Spesiesspesies tersebut diantaranya adalah rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manglid (Maglonia blumei), suren (Toona sureni), kisireum (Syzigium rostrattum), salam (Eugenia clavimirtus), serta berbagai spesies tumbuhan obat dan jasad renik. Populasi yang menurun dari spesies pohon endemik tersebut terlihat dari sedikitnya jumlah permudaan pohon di daerah invasi baik di tingkat semai, pancang maupun tiang, bahkan beberapa spesies diantaranya sama sekali tidak memiliki permudaan. Disebutkan pula bahwa konyal (Passiflora suberosa) dan kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium) merupakan 2 spesies tumbuhann asing invasif yang sangat membahayakan kelestarian spesies endemik di TNGGP. Konyal mampu memanjat dan menutup tajuk pohon endemik diantaranya rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manglid (Maglonia blumei), suren (Toona sureni) dan pada akhirnya seluruh tajuk akan tertutup oleh daun-daun konyal sehingga menyebabkan kematian pada pohon yang dirambatinya. Dengan patahnya dahan dan atau robohnya pohon akan menyebabkan masuknya sinar matahari dan menstimulir tumbuh dan berkembangnya spesies tumbuhan asing invasif lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sofian (petugas TNGGP yang telah

50 31 berpengalaman hampir 30 tahun), bahwa terdapat 7 spesies tumbuhan endemik yang saat ini terancam oleh IAS yaitu : a. Kibima (Podocarpus amarus), hanya tinggal 10 pohon di wilayah penyebaran aslinya, b. Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) c. Kiputri (Podocarpus nerifolius) d. Saninten (Castanopsis argentea) e. Pasang Batu (Lithocarpus inditus) f. Huru Koneng (Litsea tomentosa) g. Sintok (Cinnamomum sintox) Penyebab turunnya populasi ketujuh spesies tersebut adalah karena: a. Habitatnya telah di dominasi IAS terutama aster dan pisang kole (Musa acuminata) b. Perkecambahan dan pertumbuhan anakan terhambat oleh IAS c. Penyebaran biji yang tidak terlalu jauh dari habitat induk, selain itu tidak ada agen (satwa/angin/manusia) yang dapat menyebarkan ke aeral yang lebih luas. d. Gangguan iklim pada masa reproduksi seperti tingkat kelembaban tinggi, angin dan curah hujan yang tinggi. e. Hama dan penyakit tanaman pada biji, f. Proses eradikasi IAS yang turut membunuh biji dan bibit tumbuhan. Keberadaan IAS di kawasan TNGGP berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi telah memperlihatkan bahwa: a. Beberapa spesies spesies IAS seperti babakoan, kirinyuh, pisang kole dan teklan telah terkolonisasi secara lokal di wilayah-wilayah tertentu di TNGGP; b. Pada beberapa wilayah kolonisasi tersebut tidak ditemukan tumbuhan lain selain spesies IAS yang mengkolonisasi tersebut (lantai hutan telah tertutup secara rapat) c. Beberapa spesies tanaman endemik seperti Puspa, Saninten, Jamuju dan Rasamala terhambat pertumbuhannya bahkan mati karena kanopinya tertutup ataupun batang yang terlilit sehingga kekurangan cahaya dan unsur hara i

51 32 d. Banjir / kecepatan air permukaan meningkat karena tidak adanya pohon2 besar yang mampu menahan air terutama di areal2 yang telah terkolonisasi oleh IAS. e. Perubahan perilaku satwa. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan terlihat bahwa telah terjadi proses adaptasi beberapa satwa primata seperti lutung dan owa terhadap keberadaan pohon konyal (Passiflora suberosa dan Passiflora edulis) dimana buah konyal telah menjadi salah satu sumber pakan bagi mereka. Keanekaragaman hayati TNGGP merupakan investasi terbesar untuk perekonomian nasional melalui pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam seperti plasma nutfah, air dan keragaman ekosistem. Penyebaran IAS yang tidak terkendali akan menyebabkan menurunnya atau hilangnya potensi keanekaragaman hayati TNGGP serta menimbulkan dampak negatif yang membutuhkan biaya mitigasi yang tinggi untuk mengendalikannya. Selama ini, pengelolaan IAS di TNGGP telah melibatkan dan bekerjasama dengan relawan (volunteer) serta mayarakat lokal yang berada di sekitar kawasan. Beberapa spesies IAS menghasilkan buah yang memiliki pasar dan nilai jual untuk masyarakat lokal. Pada tahun , masyarakat lokal dan BBTNGGP melakukan kerjasama dalam mengeradikasi konyal (Passiflora suberosa dan Passiflora edulis). Pengambilan konyal oleh masyarakat dilakukan untuk membantu kehidupan ekonomi mereka dengan cara menjualnya. Namun kegiatan ini, ternyata memiliki dampak seperti terganggunya kehidupan satwa dan dimungkinkan membantu penyebaran spesies konyal itu sendiri sehingga upaya ini dihentikan. Secara umum, masyarakat lokal di sekitar kawasan mendukung usaha pengelolaan IAS karena kesadaran dari masyarakat tersebut terhadap dampak negatif IAS terhadap kawasan konservasi TNGGP. Tetapi di lain pihak pengendalian IAS di TNGGP berpotensi mengandung konflik kepentingan antara ekologi dan ekonom masyarakati. Namun demikian, sesuai tujuan pengelolaan taman nasional, kepentingan ekologis harus di atas kepentingan ekonomi.

52 33

53 IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan selama 1 (satu) bulan yaitu pada bulan Mei 2012 di kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional Model Mandalawangi pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Cibodas, Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Cianjur, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Lokasi penelitian merupakan jalur trekking/pendakian Cibodas Puncak Pangrango sepanjang 11 km pada ketinggian 800 mdp 3019 mdpl. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP 4.2. Pemilihan Spesies Pemilihan spesies kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium Kunth R. M. King & H. Rob) dalam penelitian ini didasarkan pada kondisi dimana spesies ini tersebar di semua resort pada kawasan TNGGP dan telah menginvasi hampir

54 34 seluruh kawasan di hutan sub montana, hutan montana dan sub alpin hingga Puncak Pangrango. Spesies tumbuhan yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan ini ditemukan pada tepi kawasan yang berbatasan dengan penggunaan kawasan perluasan. Umumnya spesies ini menyebar dan berpengaruh ke dalam kawasan sampai tingkat tiang, pengaruh ini dicirikan dengan sifatnya yang mempunyai percabangan banyak, semak menahun dan seringkali mencapai ketinggian 7 m. Laju perkembangbiakannya sangat cepat, memiliki senyawa allelopaty pada anakan pohon, berkompetisi sangat kuat untuk mendapatkan unsur hara tanah dan terlindung dari herbivora karena memiliki minyak esensial dan senyawa sekunder yang tidak disukai oleh satwa (Carrol, 1992). Selain itu spesies ini merupakan pesaing penting bagi regenerasi vegetasi asli, memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap kebakaran di daerah yang berbatasan dengan lahan pertanian, kepadatan populasinya dapat menentukan resiko dari bahaya kebakaran, karena memiliki minyak esensial yang tinggi untuk proses kebakaran Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu: 1. Perlengkapan lapangan untuk pengukuran komponen fisik seperti: kompas, pita ukur, tally sheet, tambang plastik, meteran, klinometer, GPS, kamera digital, binokuler. 2. Perangkat lunak komputer: a. MINITAB 16 b. SPSS Statistics 19 c. Arc GIS versi 9.3 d. Erdas Imagine versi Jenis Data Data yang diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data kehadiran/ketidakhadiran kirinyuh

55 35 2. Data variabel/faktor biofisik tempat tumbuh kirinyuh yaitu: ketinggian tempat (elevation) dan kemiringan lereng (slope), arah kemiringan lereng (aspect), Normalization Difference Vegetation Infrared (NDVI)/penutupan vegetasi, Normalized Difference Moisture Index (NDMI)/kelembaban vegetasi, suhu dan faktor gangguan yaitu: jarak terdekat dari jalur patroli/trek, jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia 3. Data spasial untuk prediksi model distribusi : Citra Landsat kawasan TNGGP, ASTER GDEM S07, E106 resolusi spasial 30 m, peta digital kawasan TNGGP skala 1:25.000, data koordinat sampel titik observasi di lapangan yang terdiri dari (a) data lokasi kehadiran (presence data) kirinyuh dan (b) data lokasi ketidakhadiran (absence data) kirinyuh dan variabel biofisik tempat tumbuh 4.5. Metode Pengambilan Data Data Kehadiran dan Ketidakhadiran Kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium Kunth). Berdasarkan observasi yang telah dilakukan sebelumnya (TNGGP, 2006), lokasi kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium Kunth) berada hampir disepanjang lokasi trek pendakian Cibodas pada ketinggian 800 mdp mdpl. Penentuan wilayah sampling pada penelitian ini ditentukan berdasarkan ketinggian yang mewakili 3 (tiga) tipe ekosistem kawasan hutan TNGGP yaitu (1) ekosistem hutan sub montana mdpl mdpl (2) ekosistem hutan montana mdpl mdpl dan ekosistem sub alpin mdpl mdpl. Metode penempatan petak ukur pada masing-masing wilayah sampling dilakukan secara systematic pada jalur utama sepanjang 1 km dan terbagi menjadi 20 (dua puluh) segmen dengan jarak antar segmen 50 meter. Pada setiap segmen diletakkan 5 (lima) buah petak ukur di sebelah kiri jalur secara systematic yang masing-masing berukuran 5 x 5 meter, sehingga jumlah total petak ukur pada masing-masing wilayah sampling adalah sebanyak 100 petak ukur (Gambar 6). Pada tiap-tiap petak ukur dihitung data kehadiran kirinyuh (1-kehadiran, 0- ketidakhadiran). Pengidentifikasian lokasi kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh

56 36 ditentukan dengan menandai posisi koordinat pada setiap petak ukur dengan menggunakan GPS. Penandaan lokasi dengan GPS dilakukan pada titik tengah petak ukur sebanyak tiga kali. Selain pengambilan posisi koordinat kirinyuh pada setiap petak ukur dilakukan pula pengambilan posisi koordinat kirinyuh disepanjang jalur pengamatan yang mana datanya dapat digunakan sebagai data validasi model. Pengambilan data yang digunakan untuk membangun prediksi model distribusi spasial kirinyuh diambil secara acak dari total data kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang didapat sebelumnya. Jumlah sampel petak ukur yang diambil untuk membangun model adalah 50% untuk lokasi kehadiran kirinyuh dan 50% untuk lokasi ketidakhadiran kirinyuh. Demikian juga jumlah sampel petak ukur yang diambil untuk validasi model adalah 50% untuk lokasi kehadiran kirinyuh dan 50% untuk lokasi ketidakhadiran kirinyuh. Gambar 5 Bentuk petak pengamatan Data Variabel Biofisik dan Gangguan Data faktor-faktor biofisik tempat tumbuh kirinyuh berupa ketinggian tempat (elevation) dan kemiringan lereng (slope), arah kemiringan lereng (aspect), Normalization Difference Vegetation Index (NDVI)/penutupan vegetasi, Normalized Difference Moisture Index (NDMI)/kelembaban vegetasi, suhu.

57 37 Adapun jarak terdekat dari jalur patroli/trek, jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia adalah data yang digunakan untuk mengetahui gangguan terhadap keberadaan kirinyuh. Data tersebut diperoleh dengan memverifikasi hasil pengambilan titik koordinat di lapangan menggunakan GPS dengan data citra Metode Analisis Data Analisis Spasial Faktor-faktor variabel biofisik jika dirinci secara keseluruhan meliputi banyak sekali peubah-peubah ekologi yang berperan dalam membentuk seluruh komunitas dengan kompleks-kompleks hubungan biotik-fisik di mana spesies ini hidup (Odum 1993). Dalam pemodelan spasial, pemilihan peubah ekologi ini bergantung pada ketersediaan data spasial. Hal ini mengingat ketersediaan data spasial merupakan pembatas utama dalam membangun model-model terkait dengan perjumpaan spesies (Osborne et al. 2001). Sehubungan dengan hal tersebut diatas, untuk membangun model pada penelitian ini dipilih peubah ekologi yang diduga berpengaruh terhadap relung habitat kirinyuh secara fungsional sesuai dengan ekologi kirinyuh di mana peubah ekologi tersebut dapat dibuat data spasialnya (Tabel 1) berdasarkan nilai masingmasing titik koordinat yang diolah melalui proses zonal pada ArcGis. Peubah ekologi tersebut adalah: a) Ketinggian tempat/elevation (x1) b) Kemiringan lereng/slope (x2) c) Arah kemiringan lereng /Aspect (x3) Ketiga faktor di atas merupakan representasi dari komponen fisik yang mendukung relung habitat kirinyuh secara fungsional. d) Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) atau penutupan vegetasi (x4) Penutupan vegetasi ini merupakan representasi dari tingkat kehijauan di sekitar habitat kirinyuh. Penutupan vegetasi ini didekati dengan indeks vegetasi dengan menggunakan NDVI. NDVI berdasarkan hasil reproject

58 38 image untuk transformasi resolusi spasial citra tersebut dari 20 meter menjadi 30 meter. e) Suhu (x5) f) Normalized Difference Moisture Index (NDMI) atau kelembaban vegetasi (x6) Menurut Hemmleb et all. (2006) NDMI umumnya digunakan untuk mengevaluasi kelembaban vegetasi. Indeks ini dapat dinilai menggunakan band 4 yang sensitif terhadap reflektansi kandungan klorofil daun dan band 5 yang sensitif terhadap absorbansi kelembaban daun. g) Jarak terdekat dari jalur patroli/trek (x7). Jarak terdekat dari jalur patroli merupakan representasi dari gangguan yang disebabkan oleh adanya aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi distribusi kirinyuh. h) Jarak terdekat dari kebun atau aktivitas manusia (x8) Tabel 1 Peubah-peubah ekologi sebagai variabel-variabel penduga No. Variabel Representasi Satuan 1. (x1) Ketinggian 2. (x2) Kemiringan Lereng 3. (x3) Arah Kemiringan Lereng (Aspect) 4. (x4) Penutupan vegetasi /NDVI 5. (x5) Suhu 6. (x6) Kelembaban vegetasi/nd MI Komponen fisik Komponen fisik Komponen fisik Kebutuhan akan perlindungan dan tempat mencari makan Komponen fisik Komponen fisik Meter dpl. Persen (%) Derajat (º) Skala Data Rasio Rasio Rasio Sumber Peta ketinggian (DEM) Peta Kemiringan Lereng (DEM) Peta Kemiringan Lereng (DEM) - Ordinal Peta indeks vegetasi (NDVI) Derajat (º) Persen (%) Rasio Rasio Citra Landsat Citra Landsat (NDMI) - Teknik Ekstraksi Data Analisis topografi Kemiringan Lereng permukaan Analisis topografi Kemiringan Lereng permukaan ( 4 3) ( 4 + 3) Landsat 7ETM band 6 ( 4 5 ) ( 4 + 5)

59 39 Tabel 1 Lanjutan No. Variabel Representasi Satuan Skala Data 7 (x7) Gangguan Jarak aktivitas terdekat dari manusia jalur patroli/trek 8 (x8) Jarak dari kebun Gangguan aktivitas manusia Sumber Meter Rasio Peta jarak dari jalur patroli Meter Rasio Peta jarak dari jalur patroli Teknik Ekstraksi Data Analisis spasial dengan teknik Euclidean distance Analisis spasial dengan teknik Euclidean distance Data variabel ketinggian, kemiringan lereng dan arah kemiringan lereng diperoleh dari pemanfaatan langsung data digital ASTER GDEM dan diturunkan menggunakan perangkat lunak ArcMap. Data variabel kemiringan lereng diperoleh dari hasil analisis topografi kemiringan lereng permukaan (surface slope topographic analysis) terhadap data digital ASTER GDEM tersebut menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine dengan persen (%) sebagai satuan luarannya. Data variabel NDVI diperoleh dari pengolahan citra landsat 7 TM TNGGP tahun 2011 menggunakan band 3 (visible red layer) dan band 4 (near infra red layer). Sebelumnya dilakukan ekstraksi data, terlebih dulu dilakukan pra pengolahan data dengan melakukan koreksi geometrik terhadap citra tersebut dengan peta digital kawasan TNGGP sebagai acuan. Selain itu juga dilakukan reproject image dengan nearest neighbor sebagai resample method-nya untuk transformasi resolusi spasial citra tersebut dari 20 meter menjadi 30 meter. Data variabel suhu menggunakan Erdas Imagine 9.1, kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilainilai pixel pada Landsat 7ETM band 6. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai radiansi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai radiansi (USGS 2002). Radiansi = gain x DN + offset Dengan nilai gain sebesar , DN adalah dengan band 6 dan nilai offset sebesar Kemudian dilakukan konversi band 6 pada Landsat 7ETM untuk mengetahui nilai suhu permukaan denagn rumus dibawah ini (USGS 2002):

60 40 T = K2 / ln (K1/L ) Dimana T = Suhu Efektif; K1 = Konstanta Kalibrasi 1 (Tabel 1); K2 = Konstanta Kalibrasi 2 (Tabel 2); L = Spektral Radiansi (W/(m 2* ster * µm)). Data kelembaban vegetasi diperoleh dengan Normalized Difference Moisture Index (NDMI) yang dihasilkan dari Landsat Image band 4 dan band 5 menurut Price dan Tinant (2000): NDMI = ( ) ( ) Data variabel jarak dari jalur patroli/trek dan pemukiman/aktivitas manusia diperoleh dari hasil analisis spasial menggunakan teknik Euclidean distance untuk pemetaan kedekatan (proximity mapping), yaitu masing-masing sel diberi nilai terhadap objek terdekatnya, di mana objek terdekat ditentukan berdasarkan jarak Euclidean (Puntodewo et al.2003) Analisis Regresi Logistik Biner (Binary Logistic Regression Analysis) Data kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh dan variabel biofisik tempat tumbuh dan gangguan diolah dengan Analisis Regresi Logistik Biner untuk mengetahui hubungan faktor-faktor lingkungan dengan keberadaan kirinyuh. Penyusunan model ini menggunakan 50% dari jumlah keseluruhan data yang tersedia. Penggunaan analisis regresi logistik biner pada hasil penelitian ini didasarkan atas 2 alasan yaitu model ini cocok digunakan untuk data biner dan tepat dalam memprediksi distribusi invasi kirinyuh pada skala spasial yang berbeda. Pada dasarnya analisis regresi logistik sama dengan analisis diskriminan, perbedaannya ada pada jenis data dari variabel dependen. Jika pada analisis diskriminan variabel dependen adalah data rasio, maka pada regresi logistik variabel dependen adalah data nominal. Data nominal di sini lebih khusus adalah data biner. Nilai duga regresi logistik biner ( ) ini merupakan nilai peluang (berkisar antara 0 1) di mana dalam penelitian ini adalah berapakah peluang suatu area secara potensial sesuai untuk habitat kirinyuh berdasarkan penilaiannya pada

61 41 variabel penduganya. Nilai peluang 0 <0,5 dikategorikan sebagai area yang tidak sesuai untuk habitat kirinyuh, sedangkan nilai peluang 0,5 1 dikategorikan sebagai area yang sesuai untuk habitat kirinyuh. Nilai ambang batas (threshold) 0,5 ini telah digunakan secara luas dalam pendugaan distribusi spesies (Manel et al. 1999; Bailey et al. 2002; Stockwell & Peterson 2002). Dirumuskan model regresi logistik biner sebagai berikut: = ( ) 1 + ( ) atau: = ( ) 1 + ( ) Dimana = peluang titik observasi ke- i sesuai untuk habitat kirinyuh E = bilangan natural (= 2, ) = variabel penduga ke- j I = titik observasi ke- i = Intersep = koefisien regresi logistik biner dari variabel penduga ke- j K = jumlah variabel penduga (= n) Penghitungan regresi logistik ini menggunakan perangkat lunak SPSS 16. Hasil penghitungan menggunakan regresi logistik berupa persamaan regresi logistik yang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS ver. 9.3 untuk menggabungkan data-data dari berbagai variabel bebas sehingga diperoleh peta kesesuaian habitat bagi kirinyuh. Model spasial regresi logistik kesesuaian habitat kirinyuh hanya menunjukkan area yang sesuai dan tidak sesuai bagi kirinyuh. Pembagian kelas dari sebaran data hasil penghitungan regresi logistik yang diperoleh pada seluruh area studi dilakukan untuk memperoleh gambaran area yang agak sesuai bagi habitat kirinyuh. Pada penelitian ini ditentukan tiga kelas kesesuaian, yaitu

62 42 kesesuaian rendah, sedang dan tinggi. Panjang interval setiap kelas kesesuaian sebagaimana disebutkan Supranto (2000) umumnya ditentukan dengan rumus: c = (X n X 1 ) / k Dimana : c = perkiraan besar interval k = banyaknya kelas X n = nilai observasi (data) terbesar X 1 = nilai observasi (data) terkecil Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) Analisis Komponen Utama dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap sebaran kirinyuh, berdasarkan letak ditemukan kirinyuh pada masing-masing layer yaitu ketinggian (elevation), kemiringan lereng (slope), arah kemiringan lereng (aspect), penutupan vegetasi (NDVI), kelembaban vegetasi (NDMI), suhu, jarak terdekat dari jalan trail, jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia. Data yang digunakan adalah data titik kehadiran kirinyuh di sepanjang petak pengamatan. Analisis Komponen Utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS dan hanya menggunakan data kehadiran kirinyuh. Selanjutnya dari hasil Analisis Komponen Utama ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran kirinyuh sehingga diperoleh persamaan kesesuaian habitat sebagai berikut: F(x) = ax1 + bx2 + cx3 + dx4 + ex5 + fx6 + gx7 + hx8 dimana F(x) adalah indeks kesesuaian habitat; a-h adalah nilai bobot setiap variable. Data hasil perhitungan Analisis Komponen Utama kemudian dikelaskan dalam tiga kelas kesesuaian yaitu kesesuaian rendah, sedang, dan tinggi. Pembagian kelas ini menggunakan rumus (Supranto 2000): c = (X n X 1 ) / k dimana c adalah perkiraan besar interval, k adalah banyaknya kelas, X n adalah nilai observasi (data) terbesar dan X 1 nilai observasi (data) terkecil. Peta kelas kesesuaian dibangun dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS ver. 10

63 Uji Kelayakan dan Validasi Model Kelayakan model regresi logistik yang dibangun dapat dilihat dari penurunan nilai -2 Log Likelihood serta uji Hosmer and Lemeshow hasil pengolahan data menggunakan SPSS 19. Model dinilai layak apabila signifikansi penurunan nilai -2 Log Likelihood kurang dari 0,05. Lain halnya dengan penurunan nilai -2 Log Likelihood, uji Hosmer and Lemeshow digunakan untuk melihat kecocokan variabel prediktor dengan model yang dibangun. Variabel prediktor dinyatakan fit (cocok) dengan model jika signifikansi yang tertera pada hasil uji Hosmer and Lemeshow di atas 0,05. Kemampuan varibel yang dipergunakan dalam model untuk menjelaskan kesesuaian habitat kirinyuh ditunjukkan oleh nilai Negelkerke R 2. Validasi model regresi logistik kesesuaian habitat kirinyuh dilakukan dengan menggunakan data kehadiran (presence) dan ketidakhadiran (absence). Data ini telah dipisahkan terlebih dahulu dan dipilih secara acak sebelum membangun model. Validasi ini berfungsi untuk meminimalisir kesalahan pada penggunaan model selanjutnya. Data yang dipergunakan untuk validasi model adalah sebesar 50% dari jumlah keseluruhan data yang tersedia. Nilai validasi dilakukan terhadap hasil ekstrapolasi model secara spasial. Tingkat validitas model dilihat dari tingginya prosentase nilai data titik kehadiran kirinyuh pada kelas kesesuaian tinggi bagi habitat kirinyuh Kajian Strategi Pengendalian dan Pengelolaan Pada tahap akhir dilakukan kajian hasil penelitian terhadap strategi pengendalian dan pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP. Berdasarkan kajian tersebut selanjutnya dirumuskan masukan dan rekomendasi terkait rencana strategis pengelolaan dan pengendalian spesies asing invasif di TNGGP.

64 44

65 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penilaian Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Titik objek kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang berhasil dikumpulkan di seluruh plot pengamatan adalah sebanyak 255 titik dengan perbandingan masing-masing adalah 48 titik objek untuk kehadiran kirinyuh dan 207 titik objek untuk ketidakhadiran kirinyuh (Gambar 6). Peta sebaran titik objek pada gambar 6 memperlihatkan bahwa titik objek yang diambil tidak merata pada seluruh lokasi penelitian sehingga masih terdapat beberapa lokasi yang terlewati. Hal ini terjadi karena kondisi lokasi penelitian yang cukup sulit untuk dijangkau sehingga tidak memungkinkan untuk membuat plot contoh pada lokasi tersebut seperti adanya tebing, badan air dan bebatuan yang besar. Penyusunan model serta validasi model masing-masing menggunakan 50% data berpasangan. Titik kehadiran mengacu pada titik dimana ditemukan individu kirinyuh di dalam plot pengamatan yang berjumlah 48 titik (Gambar 7). Titik ketidakhadiran ditetapkan secara acak sebanyak 48 titik dari 207 jumlah titik objek ketidakhadiran kirinyuh yang ada (Gambar 8). Selain titik objek tersebut, dilakukan pula pengambilan titik objek kehadiran kirinyuh sebanyak 65 titik di sepanjang jalur pendakian yang akan digunakan untuk keperluan validasi model. 5.2 Sebaran Kirinyuh Bedasarkan Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Ketinggian Tempat (Elevation) Ketingggian kawasan jalur pendakian Cibodas di Resort Mandalawangi TNGGP dapat diamati melalui peta DEM (Digital Elevation Model). Selajutnya dari peta tersebut diklasifikasikan ketinggiannya menjadi beberapa kelas ketinggian yaitu ; dan >2.400 mdpl. Klasifikasi kelas ketinggian ini sesuai dengan klasifikasi tipe ekosistem hutan di TNGGP yaitu (1) ekosistem hutan sub montana mdpl mdpl (2) ekosistem hutan montana mdpl mdpl dan ekosistem sub alpin mdpl mdpl. Berdasarkan data titik lokasi kehadiran kirinyuh yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta ketinggian sehingga didapatkan sebaran titik kirinyuh pada tiap kelas ketinggian (Gambar 9).

66 46 Gambar 6 Peta sebaran titik objek pada plot contoh

67 Gambar 7 Peta lokasi titik kehadiran kirinyuh 47

68 48 Gambar 8 Peta lokasi titik ketidakhadiran kirinyuh

69 Gambar 9 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat 49

70 50 Titik kirinyuh sebanyak 30 titik atau 62,5 % ditemukan pada kelas ketinggian m dpl, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar Jumlah Kirinyuh (individu) > Ketinggian (m dpl) Gambar 10 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat Faktor topografi termasuk ketinggian tempat telah terbukti secara langsung mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman (Keddy 2001). Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa kirinyuh yang berada di kawasan hutan Resort Mandalawangi Cibodas lebih banyak ditemukan pada tipe ekosistem hutan sub montana dibandingkan pada montana dan sub alpin. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penyebaran kirinyuh sangatlah luas dan dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat dengan kelimpahan populasi yang berbeda, namun kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi (Syahidin 2006). Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa kirinyuh dapat ditemukan pada ketinggian mdpl (Berry et al 1997, di PIER 2008). Berbeda dengan spesies kirinyuh lain yaitu Chromolaena odorata (merupakan spesies tumbuhan yang secara taksonomi masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan A. inulaefolium / spesies yang ada di jalur pendakian cibodas), spesies kirinyuh A. inulaefolium lebih banyak ditemukan di daerah

71 51 pegunungan atau daerah dengan ketinggian tinggi (McFadyen et al. 2003). Binggeli (1997) melaporkan bahwa C. odorata hanya dapat tumbuh pada ketinggian dibawah 1000 mdpl. Keadaan ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan di Gunung Bunder, dimana populasi C. odorata hanya ditemukan sampai pada ketinggian 650 mdpl. Pada ketinggian lebih dari 650 mdpl C. odorata tidak dijumpai tetapi lebih didominasi oleh A. inulaefolium dengan kelimpahan populasi yang sangat tinggi (Syahidin 2006) Kemiringan Lereng (Slope) Selain faktor ketinggian, faktor topografi lain yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah pegunungan adalah kemiringan lereng dan aspect atau sudut arah datang sinar matahari (Jin et al. 2008). Topografi kawasan Resort Mandalawangi yang bergunung menimbulkan kemiringan lereng yang bervariasi pada setiap bagiannya. Peta kemiringan lereng Resort Mandalawangi TNGGP (Gambar 11) didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas lereng. Kelas tersebut adalah kemiringan 0-8 % (datar), kemiringan 8-15 % (landai), kemiringan % (agak curam), kemiringan % (curam), kemiringan > 40 % (sangat curam). Berdasarkan hasil overlay titik kehadiran kirinyuh terhadap peta kemiringan lereng terlihat bahwa kirinyuh merata ditemukan pada kemiringan lereng yang landai, agak curam dan curam (Gambar 12). Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa kirinyuh dapat tumbuh hampir disemua tipe kemiringan lereng bahkan di kondisi lereng yang curam sekalipun.

72 52 Gambar 11 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng (slope)

73 Jumlah Kirinyuh (individu) >40 Slope (%) Gambar 12 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng (slope) Arah Kemiringan Lereng (Aspect) Aspect menggambarkan arah hadap dari sebuah permukaan (surface). Aspect mengindikasikan arah kemiringan dari laju maksimum perubahan nilai sebuah sel dibandingkan sel di sekelilingnya. Secara sederhana aspect merupakan arah kemiringan lereng. Nilai output adalah arah aspect: 0 adalah tepat ke utara, 90 adalah timur, dst. Dalam analisis surface, keluaran dari perhitungan aspect adalah derajat sesuai arah kompas, seperti dapat dilihat pada Gambar berikut: Gambar 13 Nilai aspect berdasarkan arah kompas

74 54 Menurut Howard dan Mitchell (1985), aspect memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi suatu spesies tumbuhan. Arah lereng berpengaruh pada aspect (sudut arah datang sinar matahari) yang secara langsung mempengaruhi variasi suhu lingkungan (Barbour et al. 1980). Perbedaan variasi suhu lingkungan ini mempengaruhi pertumbuhan hingga distribusi tumbuhan. Peta arah kemiringan lereng Resort Mandalawangi TNGGP (Gambar 15) didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta arah kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas arah kemiringan lereng. Kelas tersebut adalah 0 45 (Utara), (Timur Laut), (Timur), (Selatan), (Barat Daya Barat Laut). Berdasarkan hasil overlay titik kehadiran kirinyuh terhadap peta arah kemiringan lereng terlihat bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada kelas arah kemiringan lereng 0-45 dan derajat atau pada arah utara dan selatan hingga barat daya (Gambar 14). Kondisi ini dapat memberikan gambaran bahwa besarnya intensitas sinar matahari yang diterima oleh kirinyuh tergantung pada arah kemiringan lereng tersebut; menghadap utara lereng bukit menerima sinar matahari sedikit atau tidak ada; timur dan barat menghadap lereng menerima sinar matahari untuk sebagian setiap hari (kecuali dinaungi oleh bukit dan gunung yang lain); dan selatan menghadap lereng menerima jumlah terbesar dari sinar matahari. Karena aspect mempengaruhi jumlah sinar matahari pada permukaan bumi maka aspect dapat menjadi faktor penting yang membantu dalam penentuan komunitas vegetasi dan habitat. Nilai peubah aspect yang dihasilkan pada penelitian ini masih dianggap lemah karena belum dapat memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap hubungannya dengan keberadaan atau sebaran kirinyuh di TNGGP. Hal ini disebabkan karena penelitian ini hanya dilakukan pada lokasi yang berada di bagian utara kawasan TNGGP sehingga belum mewakili untuk kawasan yang berada di bagian lain dari lokasi penelitian ini.

75 Gambar 14 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng (aspect) 55

76 56 Jumlah Kirinyuh (individu) Aspect ( ) Gambar 15 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng (aspect) Suhu Nilai variabel suhu diperoleh menggunakan Erdas Imagine 9.1, dengan membangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7 ETM band 6, kemudian nilai tersebut digunakan untuk membuat peta suhu permukaan. Berdasarkan data titik lokasi kehadiran kirinyuh yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta suhu maka didapatkan sebaran titik kirinyuh pada tiap kelas suhu (Gambar 16) Selajutnya dari peta tersebut diklasifikasikan suhu menjadi 3 kelas suhu yaitu 18 25, dan >30. Titik kirinyuh sebanyak 48 titik atau 100 % ditemukan pada kelas suhu ºC, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai suhu berhubungan dengan nilai ketinggian suatu tempat, semakin tinggi suatu lokasi maka suhunya akan semakin rendah dan sebaliknya. Hasil di atas sangat relevan dengan hasil pada peubah ketinggian yaitu kirinyuh banyak ditemukan pada ketinngian mdpl yang merupakan hutan sub montana dan montana dimana lokasi tersebut berada pada kisaran suhu tersebut (18 25 ºC).

77 Gambar 16 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan suhu 57

78 58 Jumlah Kirinyuh (individu) >30 Suhu ( C) Gambar 17 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan suhu Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) Menurut Ray (1995) dalam Mirza (2005), Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan indeks vegetasi sederhana namun memiliki sensifitas yang paling tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk vegetasi dibanding indeks vegetasi lainnya. Selain keunggulannya dalam membedakan kerapatan vegetasi, nilai NDVI juga berasosiasi dengan persentase permukaan kedap air pada tiap-tiap piksel (Xian &Crane, 2003; Mathias & Martin, 2003; Sawaya et al, 2003). Tutupan permukaan kedap air dengan persentase rendah akan memiliki nilai NDVI tinggi karena adanya tutupan vegetasi yang dominan, demikian juga sebaliknya. Nilai NDVI suatu lanskap ekologi berkisar antara -1 sampai 1. Nilai indeks yang tinggi umumnya merupakan tutupan vegetasi yang memiliki tingkat kesehatan yang tinggi atau vegetasi dengan kanopi yang baik. Nilai indeks yang mendekati 0 umumnya berhubungan dengan tutupan awan, sedangkan nilai indeks yang < 0 umumnya merupakan badan air atau wilayah tanpa vegetasi (Jaya 2010). Jaya (2010) juga menjelaskan bahwa tutupan vegetasi yang lebat cenderung mempunyai nilai NDVI mendekati satu, sedangkan tutupan badan air umumnya bernilai-1. Nilai lahan kosong (tanah kosong) umumnya mempunyai nilai nol. Besarnya nilai NDVI dari suatu kondisi tutupan vegetasi sangat bergantung pada

79 59 tutupan vegetasi itu sendiri serta kondisi permukaan tanah yang ada di bawah vegetasi yang direkam. Penilaian menggunakan indeks NDVI menghasilkan peta sebagaimana tersaji pada Gambar 19. Tutupan vegetasi yang dinilai menggunakan NDVI dapat merepresentasikan bagian kawasan dengan kondisi vegetasi yang rapat dan bagus. NDVI dihitung dari besarnya pantulan sinar tampak dan sinar infra merah dekat yang dipantulkan tumbuhan hijau, dimana vegetasi yang rapat memiliki kisaran indek antara 0,8 hingga 0,9 (Ryan 1997; Weier dan Herring 2010). Nilai NDVI kawasan Resort Mandalawangi berkisar antara -0,35 - >0,4. Hal ini sesuai dengan kondisi kawasan Resort Mandalawangi terutama di jalur pendakian Cibodas dimana kisaran nilai -0,35 menunjukkan daerah yang digenangi air yaitu berupa rawa dan telaga (rawa gayonggong, telaga biru), sedangkan nilai >0,4 menunjukkan bahwa tutupan vegetasi di kawasan ini cukup baik (mendekati nilai 1). Gambar 18 memperlihatkan bahwa sebaran kirinyuh di kawasan jalur pendakian Resort Mandalawangi pada umumnya berada pada daerah dengan kisaran nilai NDVI 0,2 hingga >0,4 dengan jumlah terbanyak pada kisaran nilai 0,2 0,4. Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa kirinyuh tidak hanya ditemukan pada daerah terbuka tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada daerah dengan tutupan vegetasi yang cukup baik selama masih ada sinar matahari yang masuk. Kondisi ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa ketersediaan cahaya telah tercatat sebagai faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi penyebaran spesies tumbuhan eksotik, hampir seluruh spesies tumbuhan eksotis paling sering ditemukan dalam kondisi cahaya tinggi (Parendes & Jones 2000; Hawbaker & Radeloff 2004).

80 60 Jumlah Kirinyuh (individu) ,35-0,2 0,2-0,4 >0,4 NDVI Gambar 18 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDVI Normalized Difference Moisture Index (NDMI) Normalized Difference Moisture Index (NDMI) merupakan salah satu indeks vegetasi selain NDVI yang umumnya digunakan untuk mengetahui kelembaban vegetasi/permukaan tutupan area (Hemmleb et al. 2006). Nilai NDMI dihitung berdasarkan analisa Citra Landsat Image band 4 dan band 5 menurut Price dan Tinant (2000). Penilaian menggunakan indeks NDMI terhadap sebaran titik kirinyuh di kawasan jalur pendakian Cibodas menghasilkan peta sebagaimana tersaji pada Gambar 21 dimana terdapat 3 (tiga) kelas nilai NDMI yaitu -0,261 0,1; 0,1 0,2 dan 0,2 0,3. Gambar 19 memperlihatkan bahwa sebaran kirinyuh di kawasan jalur pendakian Resort Mandalawangi pada umumnya berada pada daerah dengan kisaran nilai NDMI -0,261 hingga 0,3 dengan jumlah terbanyak pada kisaran nilai 0,1 0,2.

81 61 Jumlah Kirinyuh (individu) ,261-0,1 0,1-0,2 0,2-0,3 NDMI Gambar 19 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDMI Sebagai salah satu indeks vegetasi lain selain NDVI, NDMI mempunyai hubungan yang signifikan dengan nilai NDVI suatu kawasan dimana semakin tinggi nilai NDVI maka semakin tinggi pula nilai NDMI kawasan tersebut. Hal ini dapat dipahami karena jika suatu kawasan memiliki tutupan vegetasi yang bagus atau rapat maka dengan demikian kawasan tersebut juga memiliki kelembaban vegetasi atau kelembaban permukaan tutupan area yang tinggi. Berdasarkan hasil penilaian NDMI pada lokasi penelitian yang berada pada kisaran nilai 0,1 0,2 maka dapat dikatakan bahwa kelembaban permukaan tutupan area atau kelembaban vegetasi di lokasi penelitian ini cukup baik. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya vegetasi yang dapat menyerap panjang gelombang spektral dari band 4 dan 5 yang digunakan dalam menilai NDMI pada suatu kawasan.

82 62 Gambar 20 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDVI

83 Gambar 21 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDMI 63

84 Jarak terdekat dari jalan/trail Berdasarkan beberapa hasil penelitian terhadap penyebaran tumbuhan asing invasif yang dilakukan oleh peneliti asing di luar negeri, membuktikan bahwa gangguan akibat aktivitas manusia merupakan faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi percepatan penyebaran tumbuhan asing invasif. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2011) menunjukkan bahwa kehadiran Japanese honeysukcle sangat berhubungan erat dengan gangguan antropogenik pada umumnya. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa jika kawasan DAS dikaitkan dengan campur tangan kegiatan manusia, maka faktor-faktor seperti jarak dari jalan utama, kelembaban tanah, intensitas cahaya, dan kekayaan spesies semua signifikan terkait dengan distribusi spasial spesies invasif. Hasil penelitian di Panther Creek yang hampir seluruh kawasannya berhutan sangat sesuai dengan kesimpulan yang disebutkan diatas. Kondisi tersebut diatas sangat relevan dengan hasil penelitian di sepanjang jalur trail pendakian cibodas, dimana kirinyuh banyak ditemukan pada kondisi dimana dekat dengan jalan trail (Gambar 23). Jumlah Kirinyuh (individu) >1.000 Jarak dari jalan trail (m) Gambar 22 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail

85 Gambar 23 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail 65

86 Jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa penyebaran tumbuhan asing invasif sangat tergantung kepada aktivitas manusia maka sama halnya dengan jalan trail pendakian, aktivitas kebun juga menjadi salah satu faktor aktivitas manusia yang ikut berperan dalam penyebaran tumbuhan asing invasif. Kawasan hutan Resort Mandalawangi merupakan kawasan hutan yang berbatasan dengan perkebunan penduduk, pemukiman penduduk dan Kebun Raya Cibodas yang merupakan sumber aktivitas manusia. Gambar 25 merupakan peta hasil overlay titik keberadaan kirinyuh terhadap kebun masyarakat yang berada di sekitar kawasan Mandalawangi Cibodas. Peta tersebut dibagi menjadi 3 kelas yaitu ; dan >3.000 mdpl. Keberadaan kirinyuh sangat banyak ditemukan pada kelas jarak kebun mdpl, hal ini menunjukkan bahwa semakin dekat jarak kebun maka semakin banyak probabilitas ditemukannya kirinyuh. Jumlah Kirinyuh (individu) >3.000 Jarak Kebun (m) Gambar 24 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak kebun

87 Gambar 25 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak kebun 67

88 Analisis Pemodelan Spasial Analisis Regresi Logistik Biner (Binary Logistic Regression Analysis) Model kesesuaian habitat kirinyuh Model kesesuaian habitat bukanlah upaya yang pasti untuk memprediksi ada tidaknya suatu spesies tumbuhan atau satwa pada suatu habitat, tetapi lebih merupakan upaya untuk mengidentifikasi areal atau blok kawasan hutan mana yang harus diprioritaskan dalam pengelolaannya (Rahmat 2012). Pemodelan ini menggunakan pendekatan model regresi logistik biner dengan prosedur Enter dengan sistem eliminasi manual. Variabel prediktor untuk membangun model regresi logistik biner kesesuaian habitat kirinyuh menggunakan delapan data spasial yaitu ketinggian (elevasi), kelerengan (slope), arah kelerengan (aspect), penutupan vegetasi (NDVI), suhu, kelembaban vegetasi, jarak terdekat dari jalur patroli/trek dan jarak terdekat dari pemukiman atau aktivitas manusia. Setiap titik kehadiran dan ketidakhadiran yang digunakan dinilai variabel prediktornya melalui bantuan perangkat lunak Arc Gis ver Lampiran 2 menyajikan data atribut pasangan titik kehadiran dan ketidakhadiran yang digunakan untuk membangun model. Perhitungan nilai variabel prediktor menggunakan perangkat lunak SPSS 16 dengan taraf kepercayaan 95%. Dari hasil perhitungan dengan prosedur ini diperoleh empat variabel prediktor yang memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 dan empat variabel dengan taraf signifikansi lebih dari 0,05 (Lampiran 4). Konstanta persamaan regresi logistik ( 0 ) sebesar -22,938 dengan koefisien regresi masing-masing variabel prediktor dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka dikatakan sementara bahwa model regresi pada tahap ini belumlah baik karena nilai konstansta dan nilai 4 prediktor lainnya masih memiliki nilai probabilitas (signifikansi) di atas 0,05. Untuk itu, menurut Santoso (2012) model regresi dapat diulang lagi dengan hanya memasukkan prediktor yang sudah signifikan sebagai variabel independen, dalam kasus ini adalah suhu, NDVI, NDMI dan jarak dari trek.

89 69 Tabel 2 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 1 No. Variabel predictor Koefisien regresi Signifikansi 1. Ketinggian (elv) 6,334 0, Kelerengan (slp) 0,026 0, Arah kelerengan (asp) 0,001 0, Penutupan Vegetasi (NDVI) -45,789 0, Suhu (sh) 1,623 0, Kelembaban vegetasi (NDMI) -30,675 0, Jarak dari trail (jt) -72,932 0, Jarak dari kebun (jk) -0,153 0,901 Konstanta -22,938 0,261 Dari hasil perhitungan tahap ke-2 ini diperoleh tiga variabel prediktor yang memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 dan satu variabel dengan taraf signifikansi lebih dari 0,05 (Lampiran 4). Konstanta persamaan regresi logistik ( 0 ) sebesar 13,588 dengan koefisien regresi masing-masing variabel prediktor dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 2 No. Variabel prediktor Koefisien regresi Signifikansi 1. Suhu (sh) 0,253 0, Penutupan vegetasi (NDVI) -32,046 0, Kelembaban vegetasi (NDMI) -24,742 0, Jarak dari trail (jt) -66, Konstanta 13,588 0,096 Hasil perhitungan ke-2 pada persamaan regresi ini masih menunjukkan adanya satu prediktor yang masih memiliki nilai probabilitas (signifikansi) lebih dari 0,05 begitu pula dengan nilai konstantanya, sehinggga masih dapat dimungkinkan untuk dilakukan analisa regresi yang ke-3 dengan hanya memasukkan prediktor NDVI, NDMI dan jarak dari trail sebagai variabel independennya, dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

90 70 Tabel 4 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 3 No. Variabel prediktor Koefisien regresi Signifikansi 1. Penutupan vegetasi (NDVI) -30,571 0, Kelembaban vegetasi -28,092 0,021 (NDMI) 3. Jarak dari trail (jt) -64,988 0,000 Konstanta 19,455 0,001 Hasil perhitungan ke-3 menunjukkan bahwa konstanta dan tiga variabel prediktor adalah signifikan secara statistik dimana semuanya memiliki nilai signifikan dibawah 0,05 yang berarti bahwa ketiga variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap model kesesuaian habitat atau penyebaran kirinyuh. Dengan demikian, dari hasil ketiga perhitungan tersebut maka hasil analisa regresi yang ke-3 merupakan model regresi yang lebih baik digunakan untuk memprediksi variabel peluang keberadaan kirinyuh. Dengan demikian, bentuk persamaan regresi logistiknya adalah: Z = 19,455-(30,571*NDVI)-(28,092*NDMI)-(64,988*jt) Nilai persamaan P= [e z /(1+e z )] adalah = (,,,, ) 1 + (, (, ) (, ) (, )) Hasil perhitungan nilai P pada persamaan tersebut menunjukkan bahwa ketiga peubah tersebut yaitu NDVI, NDMI dan jarak dari trail memberikan pengaruh nyata terhadap frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat. Sifat dan besarnya hubungan antara ketiga peubah tersebut dengan frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat dapat diketahui dari besarnya nilai koefisien determinasi (R²). Nilai R² sebesar 50,1% mengindikasikan bahwa keragaman frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat dipengaruhi oleh peubah NDVI, NDMI dan jarak dari trail secara simultan sebesar 50,1% sedangkan sisanya (49,9%) dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak digunakan dalam model ini. Peubah NDVI, NDMI dan jarak dari trail merupakan peubah yang signifikan dengan semua koefisiennya bernilai negatif. Koefisien regresi variabel NDVI sebesar -30,571 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDVI atau

91 71 semakin tingginya derajat kehijauan suatu vegetasi (berhutan), maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh. Koefisien regresi variabel NDMI sebesar -28,092 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDMI atau semakin tingginya derajat kelembaban vegetasi, maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh begitupula dengan interpretasi yang sama terhadap nilai koefisien regresi variabel untuk jarak ke jalan trail sebesar -64,988. Hasil tersebut di atas mampu menjelaskan teori yang ada bahwa keberadaan spesies tumbuhan asing invasif sangat tergantung pada ketersediaan cahaya matahari yang sangat tinggi (Parendes & Jones 2000; Hawbaker & Radeloff 2004). Hal ini dapat dijelaskan dengan nilai peubah NDVI dan NDMI yang secara langsung berhubungan dengan sinaran cahaya matahari. Faktor gangguan antropogenik dalam bentuk jalan setapak atau jalan raya juga merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap penyebaran spesies tumbuhan asing invasif dibandingkan dengan gangguan alam (Rew et al. 2006). Selain itu, banyak penelitian yang berhasil menemukan bahwa aktivitas manusia sepanjang jalur setapak seperti menunggang kuda (Tyser & Worley 1992; Campbell & Gibson 2001) dapat meningkatkan kemungkinan masuk dan menyebarnya spesies tumbuhan asing sepanjang jalur tersebut (Campbell & Gibson 2001) Uji Kelayakan Model Regresi Logistik Kelayakan suatu model regresi logistik dapat dilihat dari signifikansi penurunan nilai -2 Log Likelihood serta hasil uji Hosmer and Lemeshow pada pengolahan menggunakan perangkat lunak SPSS 16 sebagaimana terlampir dalam lampiran 4. Penurunan nilai -2 Log Likelihood dari 133,084 menjadi 87,806 dengan signifikansi 0,000 (< 0,05) menunjukkan bahwa model regresi layak untuk digunakan. Uji Hosmer and Lemeshow digunakan untuk melihat kecocokan variabel prediktor yang digunakan dalam membangun model dengan model yang dihasilkan. Berkebalikan dengan signifikansi penurunan nilai -2 Log Likelihood dimana model layak jika nilai signifikansi berada dibawah taraf signifikansi 0,05, signifikansi nilai uji Hosmer and Lemeshow harus lebih besar dari taraf signifikan 0,05 untuk dapat dikatakan model itu cocok (fit) dengan variabel prediktor yang

92 72 digunakan. Nilai uji Hosmer and Lemeshow menunjukkan nilai 3,643 dengan signifikansi 0,888 (> 0,05). Nilai signifikansi ini menunjukkan bahwa model cocok dengan variabel prediktor yang digunakan Kelas Kesesuaian Habitat Kesesuaian habitat kirinyuh ditentukan dari besarnya nilai Indeks Kesesuaian Habitat. Nilai tersebut kemudian dikelas untuk menentukan tingkat kesesuaian habitat yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Penentuan selang kelas kesesuaian habitat dilakukan dengan membagi tiga selisih nilai Indeks Kesesuaian Habitat yang tertinggi dan terendah. Luas tiap kelas kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 5. = 0, = 0,333 Tabel 5 Kelas kesesuaian habitat kirinyuh beserta luas areal No. Kelas Kesesuaian Habitat IKH Luas Areal 1 Kesesuaian rendah 0 0, ,99 Ha 2 Kesesuaian sedang 0,333 0,666 31,61 Ha 3 Kesesuaian tinggi 0,666 0,999 91,46 Ha Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis/PCA) Model kesesuaian habitat kirinyuh Pada dasarnya, Priciple Component Analysis/PCA atau Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan suatu teknik mereduksi banyak data untuk mengubah suatu matrik data awal/asli menjadi satu set kombinasi linear yang lebih sedikit akan tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian dari data awal. Banyaknya faktor (komponen) yang dapat diekstrak dari data awal adalah sebanyak variabel yang ada. Kita harus mereduksi data asli dengan sedikit mungkin komponen/faktor akan tetapi masih memuat sebagian besar variasi dari data asli katakan lebih dari 80% (Supranto 2004). Data yang digunakan dalam analisis komponen utama ini adalah data 48 titik kehadiran kirinyuh. Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan terhadap faktor peubah yang mempengaruhi tempat tumbuh kirinyuh menunjukkan bahwa dari 8 faktor lingkungan fisik yang diamati dapat

93 73 dikelompokkan menjadi 3 faktor komponen utama. Hal ini diindikasikan dengan eigenvaluenya > 1. Ketiga komponen baru tersebut dapat menjelaskan sebesar 73,51% dari variabilitas keseluruhan variabel faktor yang diamati (Tabel 6). Meskipun komponen pertama relatif lebih besar daripada komponen kedua dan ketiga, perbedaannya tidaklah terlalu besar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa antara kedua faktor komponen memberikan informasi yang relatif sama besar untuk dapat menggambarkan kondisi habitat kirinyuh. Tabel 6 Keragaman total komponen utama Komponen Akar Ciri (Initial Eigen Values) Total % Keragaman %Kumulatif Keragaman Hasil analisis tersebut (nilai total dari akar ciri) kemudian digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variable. Keeratan hubungan antara keempat variable kesesuaian habitat kirinyuh. dengan komponen utama seperti disajikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7 Vektor ciri PCA Variabel Komponen Utama Slope Aspect Suhu NDVI NDMI Elevasi Jarak Jalan Trail Jarak Kebun Komponen variabel elevasi/ketinggian adalah variabel yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama (PC1), diikuti jarak dari kebun.

94 74 Komponen penutupan vegetasi (NDVI) adalah variabel yang berpengaruh pada faktor komponen kedua (PC2), sedangkan komponen kelembaban vegetasi (NDMI) serta jarak dari jalan trail merupakan variabel yang berpengaruh pada faktor komponen ketiga (PC3). Hasil di atas menunjukan bahwa variabel elevasi dan jarak kebun mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama pertama. Sedangkan variabel NDVI mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua. Dan terakhir variabel NDMI dan nilai jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama ketiga. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing variabel sajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Koefisien tiap variable kesesuaian habitat kirinyuh No. Variable Nilai Bobot 1. Elevasi (elv) 2, Jarak Kebun (jkb) 2, NDVI (NDVI) 2, NDMI (NDMI) 1, Jarak jalan taril (jtr) 1, Kelas Kesesuaian Habitat Kirinyuh Untuk menentukan indeks kesesuaian habitat kirinyuh digunakan bobot dari tiap variabel yang sudah masuk ke dalam persamaan. Sebelum dilakukan perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan pengkelasan tiap variabel habitat untuk menentukan skor tiap kelas dari variabel tersebut. Setiap kelas dalam satu variabel memiliki nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya. Skor dari masing-masing kelas variabel ditentukan oleh banyaknya titiktitik keberadaan dari habitat kirinyuh sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9.

95 75 Tabel 9 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat No. Variabel Kelas Skor 1 Elevasi/Ketinggian m dpl m dpl 2 >2.400 m dpl 1 2 Jarak dari kebun m m 2 >3.000 m 1 3 NDVI -0,35 0,2 1 0,2 0,4 2 >0,4 3 4 NDMI -0,261 0,1 1 0,1 0,2 2 0,2 0,3 3 5 Jarak dari jalan trail m m 2 >1.000 m 1 Persamaan model kesesuaian habitat kirinyuh didapat melalui perhitungan terhadap masing-masing variabel yang digunakan sebagai prediktor menggunakan SPSS 19, sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut: Y=(2,873*elv)+( 2,873*jkb)+( 2,004*NDVI)+( 1,004*NDMI)+(1,004*jtr) Persamaan di atas menunjukkan bahwa elevasi, jarak kebun dan NDVI mempunyai koefisien (bobot) yang paling tinggi diantara variable yang lain, dimana Y adalah Indeks Kesesuaian Habitat dan nilai variabel yang dimasukkan adalah skor dari masing-masing variabel yang terdapat di dalam persamaan tersebut.

96 76 Gambar 26 Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Regresi Logistik

97 Gambar 27 Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama 77

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Indrawan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Bioekologi Kirinyuh 2.1.2. Taksonomi Berdasarkan taksonominya, klasifikasi kirinyuh menurut Global Invasive Species Database (modifikasi terakhir 16 Agustus 2010) adalah sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan selama 1 (satu) bulan yaitu pada bulan Mei 2012 di kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional Model Mandalawangi pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penilaian Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Titik objek kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang berhasil dikumpulkan di seluruh plot pengamatan adalah sebanyak 255 titik

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan dilindungi yang pengelolaannya lebih diarahkan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari tiga taman nasional yang ada di Sumatera yang dapat mewakili prioritas tertinggi unit konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN No. 1185, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun 2016-2026. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.56/Menlhk/Kum.1/2016 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI MACAN TUTUL JAWA (PANTHERA PARDUS MELAS) TAHUN 2016 2026 DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spesies Invasif Secara ekologi, invasi didefinisikan sebagai pergerakan suatu spesies dari suatu area dengan kondisi tertentu menuju area lain dengan kondisi yang berbeda kemudian

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse No.1959, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Jenis Invasif. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 TENTANG JENIS INVASIF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebun Raya Bogor (KRB) memiliki keterikatan sejarah yang kuat dalam pelestarian tumbuhan obat. Pendiri KRB yaitu Prof. Caspar George Carl Reinwardt merintis kebun ini

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA No.289 2016 KEMEN-LHK. Konsevasi. Amorphophallus. Rencana Aksi. Tahun 2015-2025. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.72/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai luas 1,3% dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan. Dari total sekitar 110 spesies dari marga Anaphalis, di Asia

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan. Dari total sekitar 110 spesies dari marga Anaphalis, di Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Anaphalis spp. merupakan salah satu jenis tumbuhan khas daerah pegunungan. Dari total sekitar 110 spesies dari marga Anaphalis, di Asia Tenggara termasuk New Guinea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon Spp.) di Pulau Seram, Maluku Penutupan lahan dan penggunaan lahan di Pulau Seram sesuai dengan hasil analisis dari peneliti

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) "Ragam spesies yang berbeda (species diversity),

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) Ragam spesies yang berbeda (species diversity), BIODIVERSITAS (Biodiversity) Biodiversity: "variasi kehidupan di semua tingkat organisasi biologis" Biodiversity (yang digunakan oleh ahli ekologi): "totalitas gen, spesies, dan ekosistem suatu daerah".

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU Cecep Kusmana Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

2015 KESESUAIAN LAHAN D I TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI KIARA PAYUNG UNTUK TANAMAN END EMIK JAWA BARAT

2015 KESESUAIAN LAHAN D I TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI KIARA PAYUNG UNTUK TANAMAN END EMIK JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati di Indonesia didukung antara lain oleh posisi Kepulauan Indonesia

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE SKRIPSI Oleh: MARDINA JUWITA OKTAFIA BUTAR BUTAR 080303038 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG IRFIAH FIROROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci