BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi bencana alam di Indonesia termasuk tinggi seperti ancaman tsunami, erupsi gunungapi, gempabumi, longsor, dan banjir. Hal tersebut diperkuat dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2017) yang merilis data statistik bencana Indonesia selama tahun 2017 terhitung hingga bulan April terdapat sebanyak kejadian bencana. Bencana tersebut terdiri dari banjir sebanyak 380 kejadian, banjir dan longsor 27 kejadian, abrasi 5 kejadian, gempabumi 6 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 2 kejadian, kecelakaan transportasi 2 kejadian, puting beliung 343 kejadian, dan longsor 324 kejadian. Bencana tersebut diperparah dengan adanya korban dan kerusakan rumah maupun fasilitas umum. BNPB (2017) menyebutkan terdapat korban meninggal dan hilang sebanyak 183 jiwa, luka luka 359 jiwa, dan korban menderita serta mengungsi sebanyak jiwa. Sementara itu, kerusakan rumah unit ditambah dengan rumah terendam banjir dan kerusakan fasilitas umum sebanyak 453 unit. Sebagian besar bencana di Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologis. Data BNPB (2017) juga menyebutkan bahwa bencana terbanyak didominasi oleh banjir dan longsor sebanyak 731 kejadian. Banyaknya kejadian banjir dan longsor menandakan proses pembentukan lahan yang intensif. Indonesia yang beriklim tropis dengan dua musim yaitu penghujan dan kemarau juga menyebabkan proses pembentukan lahan semakin intensif terjadi. Menurut Sunarto (2014) bahwa bentuklahan menjadi objek paling utama dalam mempelajari geomorfologi. Geomorfologi sebagai ilmu pengetahuan yang menggambarkan bentuk muka Bumi yang berada di permukaan Bumi, di atas, di bawah air laut, penekanan genesa dan perkembangan selanjutnya serta aspek lingkungan (Verstappen, 1983). Geomorfologi merupakan bagian dari geologi yang mempelajari karakteristik permukaan Bumi berupa bentang alam dan bentuk permukaan Bumi sehingga 1

2 menjadi hal yang penting dalam pengkajian bencana alam. Verstappen (1983) juga menambahkan bahwa kajian proses geomorfologi merupakan aspek yang khusus dan penting dalam rekayasa. Oleh karena itu aspek geomorfologi perlu dipertimbangkan dalam usaha untuk menurunkan tingkat kerawanan potensi bencana. Beberapa daerah seperti Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah memiliki beberapa jenis bencana yang kompleks. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Jepara (2012) bahwa seluruh kecamatan di Kabupaten Jepara masuk dalam peta endemis bencana berdasarkan riwayat pengalaman terjadinya bencana banjir, rob, abrasi, dan tanah longsor di Jepara. Situs berita Tempo Interaktif (2010) menyatakan Kabupaten Jepara memiliki wilayah rawan bencana meliputi 34 desa yang berada di delapan kecamatan dengan jenis kerawanan bencana yaitu banjir dan longsor. Wilayah bencana banjir dan longsor yang begitu banyak menjadikan penelitian ini penting untuk dilakukan. Wilayah kajian penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Keling dengan batas kajian yaitu Sub-DAS Gelis karena terdapat beberapa kali kejadian banjir dan longsor di wilayah tersebut. Pemetaan geomorfologi dapat digunakan sebagai sumber informasi dan acuan dasar dalam analisis kerawanan bencana banjir dan longsor. Verstappen (1983) menyatakan pemetaan geomorfologi sebagai instrumen penguatan riset murni dan sistematik geomorfologikal karena kekayaan informasi tematik dalam peta gemorfologikal analitikal. Selanjutnya Verstappen (1983) juga menyatakan bahwa pemetaan geomorfologikal untuk tujuan klasifikasi kerawanan bencana membantu pengambilan kebijakan dan perencanaan. Peta administrasi Jepara disajikan dalam Gambar 1.1. serta peta batas Sub-DAS Gelis sebagai wilayah kajian penelitian disajikan dalam Gambar

3 Gambar 1.1. Peta Administrasi Kabupaten Jepara, Jawa Tengah Gambar 1.2. Peta Batas Sub-DAS Gelis, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara 1.2. Rumusan Masalah Batasan kajian yang digunakan dalam penelitian yaitu Sub-DAS Gelis. Hulu sub-das ini berada di Desa Kunir dengan outlet sub-das Gelis di Desa Bumiharjo. Urgensi penelitian ini karena pernah terjadinya banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis. Kedua desa tersebut berada dalam Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Potensi kerawanan bencana yang terjadi di Sub-DAS Gelis adalah banjir dan longsor. Menurut Badan Pusat Statistik (2011) dalam data Potensi Desa tahun 2011 selama kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2011 terdapat tiga kejadian longsor di Desa Kunir. Selain itu Kementerian Kesehatan (2015) menyatakan adanya banjir di Desa Keling pada 4 Januari Kejadian banjir dan longsor tersebut berada di Kecamatan Keling, Jepara. Jumlah kerugian memang tidak tercatatkan, namun berdampak pada adalah rusaknya akses jalan akibat longsor dan lahan pertanian 3

4 yang rusak akibat banjir. Selanjutnya Kecamatan Keling dipilih untuk melakukan penelitian mengenai kerawanan banjir dan longsor dengan batas area Sub-DAS Gelis. Hal tersebut dilakukan agar kerawanan bencana banjir dan longsor yang terdapat di Sub-DAS Gelis dapat dipetakan. Terdapat beberapa gambaran kondisi lahan pertanian saat terkena banjir pada tahun Lahan sawah milik warga yang ditanami padi namun rusak total terkena banjir disajikan dalam Gambar 1.3. Kemudian beberapa perkebunan hancur dan rusak parah karena terkena terjangan banjir disajikan dalam gambar 1.4. Gambar 1.3. Lahan Sawah Rusak Terkena Banjir. Sumber: Dokumentasi Kelurahan Keling, Gambar 1.4. Lahan Perkebunan Rusak Terkena Banjir. Sumber: Dokumentasi Kelurahan Keling, Potensi bencana tersebut harus diimbangi dengan upaya pengurangan potensi bencana terkait proses pengelolaan lahan dan pengembangan wilayah. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui kondisi geomorfologi dan mengetahui potensi bencana banjir dan longsor yang dapat ditimbulkan. Selanjutnya area berpotensi bencana banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis dapat dipetakan. Pemetaan yang dilakukan adalah pemetaan multirawan banjir dan longsor. Hasil pemetaan juga diperkuat dengan beberapa hasil pengujian laboratorium untuk sampel permeabilitas dan tekstur tanah. Beberapa permasalahan tersebut kemudian dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana karakteristik geomorfologi dan variasi bentuklahan di wilayah kajian? 2. Bagaimana potensi kerawanan bencana banjir dan longsor di wilayah kajian? 4

5 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi karakteristik geomorfologi dan variasi bentuklahan di wilayah kajian. 2. Melakukan analisis kerawanan bencana banjir dan longsor di wilayah kajian Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang informasi geomorfologi dan kerawanan bencana di Sub-DAS Gelis. Kemudian dapat digunakan dalam analisis kebijakan atau perencanaan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek geomorfologi, bencana, dan lingkungan sehingga wilayah yang memiliki potensi bencana yang besar dapat dihindari. Hasil digunakan sebagai pedoman dalam mengurangi potensi bencana khusunya banjir dan longsor. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data tambahan dalam studi penelitian yang lain. Selain itu menjadi aset tentang ilmu pengetahuan tentang aspek geomorfologi di wilayah kajian Tinjauan Pustaka Geomorfologi Geomorfologi erat kaitannya dengan bentuklahan. Lobeck (1939) menyatakan bahwa geomorfologi adalah studi tentang bentuklahan. Thornbury (1969) juga menyatakan bahwa geomorfologi merupakan ilmu pengetahuan tentang bentuklahan. Kemudian Cooke & Doornkamp (1994) juga menyatakan bahwa geomorfologi adalah studi mengenai bentuklahan dan terutama tentang sifat alami, asal mula, proses perkembangan, dan komposisi material penyusunnya. Klasifikasi bentuklahan berdasarkan genesis menurut Verstappen (1983) yaitu bentuklahan asal proses vulkanik, struktural, fluvial, solusional, denudasional, eolin, marin, glasial, organik, dan antropogenik. Sepuluh bentuklahan berasarkan asal proses kejadiannya memiliki spesifikasi yang berbeda dalam analisis dan perlakuannya. Selanjutnya, van Zuidam (1983) menyatakan bahwa geomorfologi adalah studi 5

6 yang menguraikan bentuklahan dan proses yang mempengaruhi pembentukannya serta mengkaji hubungan timbal balik antara bentuklahan dengan proses dalam tatanan keruangannya. Lingkup geomorfologi juga mencakup kondisi bentuklahan di bawah laut. Hugget (2011) juga menjelaskan bahwa geomorfologi lebih rinci membahas tentang bentuklahan dan proses masa lalu maupun sekarang yang menyebabkan terbentuknya bentuklahan di permukaan bumi. Fenomena-fenomena fisik alami yang menjadi bahan kajian geomorfologi adalah litosfer, atmosfer, hidrosfer, dan biosfer (Slaymaker dan Spencer, 1998). Terdapat 4 aspek utama dalam kajian geomorfologi berupa morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoaransemen. Huggett (2011) menyatakan bahwa aspek morfologi dapat dibagi menjadi morfografi dilihat secara kualitatif (visual) dan morfometri yang dilihat secara kuantitatif artinya dapat diukur. Aspek morfogenesa dibagi menjadi morfostruktur aktif seperti tenaga endogen dan morfostruktur pasif seperti litologi. Morfokronologi merupakan urutan berlangsungnya proses. Kemudian morfoaransemen merupakan hubungan saling keterkaitan antara unsur dan proses yang ada. Peristiwa yang mengakibatkan perubahan fisik dan kimia karena fenomena geomorfologi disebut proses geomorfik. Hal ini juga akan terus menerus terjadi. Menurut Sunarto (2004) tenaga endogen dan eksogen merupakan 2 tenaga geomorfologi pembentuk permukaan Bumi. Tenaga endogen berasal dari dalam Bumi yang bersifat konstruktif (agradasi), sedangkan tenaga eksogen merupakan tenaga dari luar Bumi yang bersifat destruktif (degradasi). Menurut Thornbury (1969) bahwa sumber tenaga penyebab perubahan adalah tenaga endogenik yang berasal dari dalam bumi dan tenaga eksogenik yang berasal dari luar bumi Bentuklahan Landform atau bentuklahan merupakan permukaan Bumi dengan relief yang khas dan terjadi karena pengaruh kuat dari struktur kerak Bumi dan proses alam. Kenampakan permukaan Bumi yang memiliki karakteristik bentuk yang khusus, didominasi oleh proses dan struktur tertentu dalam proses perkembangannya (Savigear, 1960). Klasifikasi dapat dilakukan dengan 6

7 menyederhanakan bentuklahan yang kompleks menjadi satuan-satuan yang mempunyai sifat dan perwatakan yang mirip. Menurut Thornbury (1969) konsep pengenalan bentuklahan bahwa proses fisik yang sama serta hukum-hukum yang berlangsung saat ini berlangsung juga sejak dulu sepanjang zaman geologi msekipun dengan adanya perbedaan intensitas. Selain itu struktur geologi merupakan faktor kontrol dominan pada evolusi bentuklahan dalam tingkatan tertentu permukaan bumi memiliki relief yang disebabkan karena adanya proses geomorfik dengan tingkatan yang berbeda. Proses geomorfik yang bekerja akan meninggalkan bekas yang jelas pada bentuklahan dan karakteristik bentuklahannya akan berkembang. Bentuklahan merupakan kenampakan medan yang terbentuk oleh prosesproses alam dan memiliki komposisi serangkaian karakteristik visual dan fisik dalam julat tertentu di manapun bentuklahan tersebut ditemukan (van Zuidam, 1983). Bentuklahan adalah kenampakan di permukaan bumi yang terbentuk karena proses geomorfologis yang bekerja di permukaan bumi diantaranya yaitu tenaga geomorfologis yang mampu mengubah secara fisik maupun kimia bentukan di permukaan bumi (Sunardi, 1985). Santosa dan Muta ali (2014) menambahkan bahwa adanya bentukan alam terjadi karena adanya faktor penentu yang membentuk dan mempengaruhinya diantaranya yaitu keadaan dan sifat topografi, litologi, geologi, stratigrafi, dan proses alam. Secara mendasar adanya variasi bentuklahan memiliki tujuan sama yaitu berusaha menyederhanakan bentukan di permukaan bumi yang bervariasi dan kompleks menjadi satuan-satuan dengan sifat dan karakteristik yang sama Sunardi, 1985). Sunardi (1985) menyebutkan terdapat 3 bentuk sifat dan karakteristik sebagai cerminan persamaan sidat dan karakteristik bentuklahan diantaranya adalah struktur geomorfologis, proses geomorfologis, dan kesan topografik. Struktur geomorfologis menggambarkan asal dan genesa yang membentuk suatu bentuklahan dengan informasi berupa morfologi, morfogenetik, serta sampai informasi morfokronologis. Proses geomorfologis menggambarkan informasi proses pembentukan bentuklahan yang terdiri dari informasi morfografi, morfogenetik, dan morfokronologi. Kesan topografi memberikan informasi 7

8 morfometri sesuai gambaran bentuk/ konfigurasi permukaan suatu bentuklahan. Menurut Sunarto (2004) bentuklahan yang terdapat di Kabupaten Jepara terdiri atas bentuklahan marin, fluvial, dan vulkanik. Bentuklahan marin terdiri dari kompleks beting gisik dan swale, teras pantai terumbu karang, gisik saku, dan rataan pasang surut. Bentuklahan fluvial meliputi satuan-satuan bentuklahan dataran banjir dan rawa belakang. Bentuklahan vulkanik yaitu kerucut gunungapi, lereng gunungapi, kipas aluvial gunungapi, dan lerengkaki gunungapi. Van Zuidam dan Zuidam Cancelado (1979) menyatakan terdapat tiga aspek yang harus dipertimbangkan dalam melakukan klasifikasi bentuklahan yaitu tipe relief secara umum, tipe batuan atau sedimen, dan genesa atau proses dan geomorfologi yang bekerja saat ini dan masa lampau. Perkembangan dari berbagai macam bentuklahan memerlukan pengamatan spesifik dan detail. Hal tersebut dilakukan karena perkembangan dari bentuklahan banyak menimbulkan bencana dan menyebabkan kerugian. Interpretasi dan pengamatan yang dilakukan tidak bisa disamakan untuk masing-masing bentuklahan. Proses geomorfologi yang terus berlangsung pada berbagai macam bentuklahan menghasilkan karakteristik lahan yang berbeda-beda Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai merupakan wilayah ekosistem yang dibatasi topografi yang berfungsi sebagai wilayah pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen serta unsur hara dalam suatu sistem sungai yang keluar melalui satu outlet (titik) tunggal (Asdak, 2010). Menurut Linsley, dkk (1980) bahwa DAS disebut sebagai suatu aliran sungai dalam suatu cekungan yang seluruhnya teraliri sistem sungai yang saling berhubungan dan keluar melaui satu outlet tunggal. Sihite (2001) menyatakan bahwa pengertian dari DAS adalah wilayah yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan menuju ke laut yang dibatasi oleh igir topografi. Kemudian Martopo (1994) menyebutkan bahwa DAS adalah daerah yang dibatasi oleh topografi pemisah air yang terkeringkan oleh sungai atau sistem yang saling berhubungan sehingga semua aliran yang jatuh di dalam akan keluar di satu oulet. DAS merupakan kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara ilmiah, 8

9 di mana air akan mengalir melalui sungai yang bersangkutan. Daerah Aliran Sungai (DAS) disebut juga Daerah Tangkapan Air (DTA) dan dalam istilah bahasa Inggris disebut Catchment Area, Watershed, dan River Basin (Kodoatie, 2002). DAS dalam tinjauan ekosistem dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebegai daerah konservasi dan DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. Kemudian DAS bagian hulu memiliki kegunaan sebagai perlindungan fungsi tata air karena setiap adanya kegiatan di wilayah hulu akan menimbulkan dampak di hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Ekosistem DAS di bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Pengelolaan DAS bagian hulu sering menjadi fokus perhatian karena pada suatu DAS bagian hulu dan hilir memiliki keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Kodoatie, 2002). Menurut Soewarno (1991) apabila ditinjau dari segi hidrologi, sungai berfungsi sebagai penampung curah hujan serta penyalur alamiah aliran air dan material yang terbawa dari hulu menuju hilir, di mana suatu kesatuan unit wilayah tempat air hujan mengumpul ke sungai menjadi suatu aliran yang disebut sebagai Daerah Aliran Sungai. Sihite (2001) juga menambahkan bahwa di dalam suatu DAS terdapat unsur utama meliputi tanah, vegetasi, air, dan manusia yang membentuk ekosistem yang dapat mempengaruhi satu sama lain. Adanya interaksi yang terjadi adalah suatu proses kesetimbangan antara masukan, proses, dan keluaran Pemetaan Geomorfologi Menurut Verstappen (2014) peta geomorfologi memiliki penekanan pada representasi yang benar dari bentuk lahan baik dalam bidang atau relief dengan garis kontur dan atau bayangan bukit. Gustavsson et al (2006) menyatakan informasi yang terdapat pada peta geomorfologi berkaitan dengan informasi material, morfogenesi, morfodinamik, morfologi, morfometri, topografi, batas administrasi, jalan, dan lainnya yang tentunya disesuaikan dengan skala pemetaan. Informasi lapangan disajikan dalam bentuk simbolisasi dengan simbologi warna, garis, titik, dan poligon yang mewakili semua informasi geomorfologi di lapangan. 9

10 Peta geomorfologi berperan dalam memberikan informasi kondisi fisik dan proses alami yang bekerja pada suatu bentanglahan. Peta geomorfologi memiliki karakteristik informasi yang berkaitan dengan morfologi, genesis, dan umur. Informasi morfologi, genesis, dan umur memiliki karakteristik informasi yang berbeda beda. Informasi morfologi menjelasakan tentang deskripsi terkait dengan kondisi morfometri Bumi, kondisi relief relief Bumi yang berhubungan dengan kondisi batuan penyusun Bumi serta proses pembentuknya. Informasi batuan penyusun dilengkapi informasi umur atau yang berhubungan dengan morfokronologinya (Demek dan Embleton, 1978). Lebih lanjut Verstappen (2014) menyatakan bahwa peta geomorfologi tematik memberikan informasi tematik dasar bagi peta geologi. Demek dan Embleton (1978) mengemukakan bahwa peta geomorfologi mampu menunjukkan pemodelan gambar berskala mulai dari relief Bumi yang mengandung informasi tentang geomorfologi hingga umur relief. Selanjutnya dinyatakan bahwa peta geomorfologi merupakan penggambaran bentuklahan, genesa, beserta proses yang mempengaruhinya. Church (2012) menyatakan teknik pengumpulan data untuk pemetaan geomorfologi dilakukan dengan pengukuran langsung serta penginderaan jauh menggunakan foto udara, radar, atau citra satelit. Verstappen (2014) mengemukakan bahwa pemetaan geomorfologi dilakukan dengan melakukan interpretasi bentuklahan, genesa, dan proses kemudian melakukan survei pemetaan menurut informasi yang telah diterima melalui citra agar hasil pemetaan akurat. Smith et al. (2011) menyatakan bahwa peta geomorfologi dapat digunakan untuk melakukan analisis terhadap bahaya alam dan potensi pada suatu wilayah. Van Zuidam (1983) menyatakan tingkat kedetailan informasi dalam pemetaan geomorfologi sebanding dengan informasi yang disajikan. Semakin besar skala pemetaan yang digunakan maka informasi yang disajikan semakin detail demikian pula sebaliknya, sehingga skala peta berpengaruh pada kedetailan informasi dalam peta geomorfologi. Tabel 1.1. menyajikan pembagian informasi peta geomorfologi menurut van Zuidam (1983). 10

11 Peta Skala Detail (besar) dan Medium Peta Skala Kecil Tabel 1.1. Tingkat Kedetailan Peta Geomorfologi Jenis Peta Peruntukan Peta Keterangan Dasar Perencanaan Skala Detail 1: dan >1: pembangunan dan Peta diperoleh dengan cek perencanaan lainnya lapangan keseluruhan 1: : Peta Dasar Semi Detail Kategori Normal Peta Skala Kecil Peta Reconnaissance 1: : : : : : : : : : : : : :< Sumber: van Zuidam, Kerawanan Bencana Peta sinoptik skala besar Peta sinoptik skala medium Peta sinoptik skala kecil Peta kota Peta untuk skala Negara Peta untuk skala Negara Peta untuk skala Dunia Peta diperoleh dengan lapangan secara general dengan ekstrapolasi dan beberapa generalisasi Peta memiliki karakteristik degan tingkat generalisasi yang tingga dan banyak ekstrapolasi Peta diperoleh dengan banyak ekstrapolasi serta hanya beberapa kunci untuk cek lapangan Bencana merupakan peristiwa yang telah terjadi yang mengancam dan mengganggu perikehidupan manusia sehingga menimbulkan kerugian (Peraturan BNPB nomor 13 tahun 2008). Selanjutnya Sudibyakto (2011) juga menyatakan bahwa bencana merupakan suatu kejadian yang merugikan bagi manusia, menyebabkan kerusakan lingkungan serta dapat menimbulkan gangguan terhadap masyarakat. Bencana yang terjadi dapat berbentuk bencana alam, non alam, dan sosial. Schneiderbauer dan Ehrlich (2004) menyatakan bahwa kerawanan (susceptibility) merupakan fase sebelum terjadinya bencana (pre-event phase) dan sebagian besar didominasi oleh ciri-ciri dari aspek fisik atau karakteristik fisik yang pasti dari sebuah kondisi di wilayah yang rentan terhadap bencana. El Fahchouch, dkk. (2010) menyatakan bahwa kerawanan merupakan probabilitas keruangan dari terjadinya fenomena dalam suatu area untuk kondisi lingkungan lokal yang berbeda. Kemudian diasumsikan bahwa seluruh fenomena diidentifikasi dan masuk dalam klasifikasi, terulang kembali dalam geologikal, geomorfologikal, hidrologikal, dan fenomena iklim yang sama. 11

12 Sementara itu kerentanan (vulnerability) merupakan tingkat kerugian yang dihasilkan dalam elemen tertentu atau kelompok elemen terkena risiko akibat fenomena alam dari intensitas tertentu (Pascale, dkk, 2010). Menurut UNDRO (1991) bahwa kerentanan merupakan tingkat kerugian yang diberikan oleh elemen beresiko atau kumpulan elemen berisiko yang dihasilkan oleh kemunculan dari fenomena alam dengan kekuatan tertentu dan ditunjukkan pada skala mulai dari 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1 (kerusakan total) Banjir Banjir menurut Setiawan dkk. (2014) adalah proses meluapnya volume air di luar saluran air. Van Westen, dkk (2011) menyatakan bahwa banjir adalah meluapnya air sungai yang menggenangi daerah lebih rendah yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kehilangan jiwa. Kemudian Sunarto, dkk (2010) mengatakan bahwa banjir merupakan aliran sungai yang meluap akibat air melebihi kapasitas tampungan sungai, sehingga air meluap dan menggenangi dataran atau daerah yang lebih rendah di sekitarnya. Lebih lanjut Setiawan dkk. (2014) membagi banjir dalam 4 jenis yaitu banjir luapan sungai (riverine flood), banjir bandang (flash flood), genang pasang, dan banjir kota. Van Westen, dkk (2011) menambahkan bahwa banjir luapan sungai merupakan kejadian yang pada umumnya terjadi di dataran banjir dan area hilir sungai, dan faktor terjadinya banjir salah satunya adalah tingginya intensitas curah hujan. Maryono (2005) dan National Weather Services (2012) membagi kategori banjir dmenjadi 3 yaitu banjir kecil (minor), banjir menengah (moderate), dan banjir besar (major). Banjir kecil biasanya ditandai dengan genangan air di berbagai tempat seperti jalan serta kerusakan terhadap peorperti hampir tidak ada atau minimal. Banjir menengah ditandai dengan meluapnya sungai, menggenangi daerah bantaran sungai, persawahan, dan permukiman, serta terdapat evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Banjir besar ditandai dengan rusaknya berbagai fasilitas umum, permukiman, jebolnya tanggul pengaman, dan terputusnya jalan jalan utama, serta terdapat evakuasi yang signifikan. 12

13 Maryono (2005) menjelaskan perbedaan banjir berdasarkan waktu kejadian banjir. Kenaikan tinggi muka air yang berlangsung secara bertahap dan relatif lama sampai mencapai puncak banjir kemudian secara bertahap surut disebut banjir normal atau banjir biasa. Sementara itu, banjir yang kenaikan muka air berlangsung secara cepat hingga mencapai maksimal dan turun lagi secara cepat mencapai kondisi normal kurang dari 25 menit disebut banjir bandang. Banjir luapan sungai menurut Yusuf (2005) berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai dan cenderung memiliki sifat negatif. Banjir dapat terjadi karena faktor alam dan manusia. Beberapa faktor alam yang penyebab banjir adalah curah hujan, kemiringan lereng, infiltrasi tanah, penggunaan lahan, bentuklahan, dan kerapatan aliran. Hasil pemetaan geomorfologi digunakan untuk analisis dan identifikasi potensi bencana banjir. ADPC (2005) mengelompokkan faktor faktor penyebab banjir yaitu faktor meteorologi, hidrologi, dan antropogenik. Faktor meteorologi seperti hujan intensif, topan, badai, dan pasang surut menyebabkan keruskan banjir yang merupakan hasil dari kejadian banjir ekstrim intens yang berlangsung dalam waktu yang lama. Faktor hidrologi karena mencairnya es atau salju, permeabilitas tanah yang buruk, lahan cepat jenuh air, rendahnya kecepatan infiltrasi, dan erosi mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan menjadi banjir. Faktor antropogenik berupa aktivitas manusia yang menyebabkan banjir adalah peningkatan populasi, petanian intensif, aktivitas pengembangan sosial ekonomi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Menurut FAO dan CIFOR (2005) bahwa hendaknya banjir tidak sepenuhnya dicegah karena yang diperlukan adalah mengurangi dampak negatif banjir. Banjir merupakan hal penting untuk memelihara keanekaragaman hayati, ketersediaan pasokan ikan, dan kesuburan tanah pada dataran limpasan banjir. Maka dari itu, terdapat banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif banjir. Hal tersebut membutuhkan pengetahuan lebih dalam interaksi antara banjir dengan kegiatan manusia, keterbatasan pengelolaan daerah tangkapan air serta peran dataran limpasan banjir atau pengelolaan DAS dalam mengurangi dampak negatif banjir. 13

14 Longsor Longsor merupakan pergerakan dari massa batuan atau tanah yang jatuh menuruni lereng (Cruden dan Varnes, 1996). Sutikno (1994) menyatakan bahwa longsor merupakan gerakan massa tanah atau batuan sebagai suatu proses gerakan dari massa material hancuran tanah atau batuan menuruni lereng di bawah pengaruh langsung gaya gravitasi. Longsor merupakan gerakan tanah, batuan, dan material organik menuruni lereng karena pengaruh gravitasi (Highland dan Bobrowsky, 2008). Menurut Cornforth, D. H. (2005) bahwa longsor adalah gerakan material tanah yang menyusun lereng menuju lokasi yang lebih rendah akibat faktor-faktor yang memicu terjadi adanya pergerakan. Sementara itu longsor menurut Panizza (1996) adalah salah satu bencana geomorfologi akibat dari adnya geomorfologi yang tidak stabil di ruang dan dalam waktu tertentu. Longsor sebagai gerakan massa tanah yang menuju daerah rendah adalah suatu proes dalam mencapau stabilitas dan keseimbangan lereng (Schaetszl dan Anderson, 2005). Setiawan dkk. (2014) menyatakan longsor diakibatkan oleh struktur tanah lemah akibat kurangnya vegetasi yang dapat mempertahankan struktur tanah. Varnes, 1978 dalam Setiawan (2014) menyatakan bahwa longsorlahan merupakan proses perpindahan material bumi seperti tanah dan juga material batuan yang diakibatkan oleh pengaruh gaya gravitasi menuruni lereng. Highland (2004) mengklasifikasikan jenis longsor menjadi tujuh jenis yang terdiri dari jatuhan (falls), robohan (topples), berputar (rotational), translational, lateral spreads, aliran (flows), dan kompleks. Jenis-jenis longsor tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.5 sebagai berikut. 14

15 Gambar 1.5. Jenis-jenis Longsor (A. Longsor Rotational, B. Longsor Translational, C. Longsor Blok, D. Jatuhan, E. Robohan, F. Longsor Aliran, G. Debris Avalanche, H. Earthflow, I. Creep, dan J. Lateral Spread). Sumber: Highland, Kejadian longsor sering menimbulkan kerugian harta benda maupun korban jiwa. Selain itu, kerusakan sarana prasarana publik seperti putusnya jembatan, rusaknya jalan, dan transportasi juga kerap terjadi. Faktor yang dapat menyebabkan longsor di antaranya seperti kemiringan lereng, ketebalan tanah, pelapukan batuan, adanya rembesan air, dan penggunaan lahan. Selain itu faktor dari aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, pengelolaan tanah secara masif di wilayah lereng, maupun pemotongan lereng juga dapat menjadi faktor pemicu longsor (Sadisan, 2005). 15

16 1.6. Kerangka Penelitian Hasil interpretasi karakteristik geomorfologi yang diturunkan untuk kajian bencana khususnya banjir dan longsor sudah banyak dilakukan dalam penelitian. Meskipun demikian, kajian bencana banjir dan longsor yang fokus pada Sub-DAS Gelis belum pernah dilakukan. Penelitian ini mengidentifikasi karakteristik geomorfologi dan variasi bentuklahan di Sub-DAS Gelis serta menganalisis kerawanan bencana longsor dan banjir berdasarkan variabel yang telah ditentukan. Hasil dari penelitian ini adalah pemetaan geomorfologi skala semi detail 1: dengan variasi bentuklahan. Selain itu tersedianya peta multirawan yang merupakan proyeksi dari peta geomorfologi dan hasil analisis kerawanan banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan kajian berbasis geomorfologi dan bencana diantaranya terdapat pada Tabel 1.2. sebagai berikut. 16

17 Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan. No. Penulis Judul Tujuan Metode Hasil/ Kesimpulan 1. C.J. Van Westen, N. Rengers, dan R. Soeters 2. Mina Arianpour dan Ali Akbar Jamali 3. George Gaprindashvili 4. Hans Kienholz, Guy Schneider, Marcus Bichsel, Martin Grunder dan Pradeep Moll 5. Enliang Guo, Jiquan Zhang, Xuehui Ren, Qi Zhang, dan Zhongyi Sun Use of Geomorphological Information in Indirect Landslide Susceptibility Assessment (Journal Natural Hazard, 2003) Flood Hazard Zonation using Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE) in GIS (Case Study: Omidieh- Khuzestan) (European Online Journal of Natural and Social Sciences, 2015) Landslide Hazard Assessment in Georgia (ITC Publication, 2011) Mapping of Mountain Hazards and Slope Stability (Journal Mountain Research and Development, 1984) Integrater Risk Assessment of Flood Disaster Based on Improved Set Pair Analysis and the Variable Fuzzy Set Theory in Central Liaoning, China (Journal Springer Science, Natural Hazards, 2016) Evaluasi pentingnya pengetahuan geomorfologi untuk pemetaan kerawanan longsor menggunakan GIS dan analisis spasial Mengetahui penyebab risiko banjir dan area rawan banjir. Membuat indeks risiko longsor yang memungkinkan untuk fokus pada area berisiko tinggi untuk studi lanjut yang lebih detail. Metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) dan GIS. Analisis dilakukan dengan pembobotan menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP) dan perangkat ILWIS. Seleksi peta indikator yang dijadikan struktur standarisasi dan metode pembobotan. Model yang digunakan adalah Multi Criteria Evaluation (SMCE) dari Geographic Information System yang berintegrasi dengan Land and Water Information System (ILWIS- Pemetaan bahaya dan kestabilan lereng di Pegunungan Kathmadu- Kakani, Nepal dalam skala detail Pemetaan risiko bencana banjir berbasis GIS dan mitigasi bencana yang akan dilakukan. Metode weight of evidence dengan variasi input aspek geomorfologi. GIS). Survei lapangan dan pengamatan penginderaan jauh dengan menggunakan data sekunder dari peta geomorfologi, dan penggunaan lahan. Basis GIS dan teknologi dari manajemen bencana alam. Dengan rumus dan VFS (Variable Fuzzy Set) Peta kerawanan banjir yang dikualifikasikan dalam tiga kelas. Analisis yang didapat menggunakan informasi geomorfologi yang menjadikan informasi kearawanan lebih akurat. Potensial risiko banjir yang tinggi terdapat di bagian Timur Laut dan Barat Laut. Upaya mengontrol dan mengurangi kerugian dari banjir, pemerintah harus mengambil tindakan yang spesifik. Litologi dan lereng lebih berpengaruh dari penutup lahan pada peta kerawanan longsor. Peta kerawanan longsor bisa bervariasi dari waktu ke waktu sehingga harus ada update. Peta bahaya dan kestabilan lereng di Pegunungan Kathmandu-Kakani, Nepal skala 1: Peta Risiko Banjir dengan bagian Barat Daya Liaoning dan pusat memiliki risiko banjir yang tinggi sedangkan Barat Laut dan Timur Laut Liaoning memiliki risiko banjir yang rendah sehingga mitigasi bencana diutamakan untuk risiko tinggi. 17

18 Lanjutan Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan. No. Penulis Judul Tujuan Metode Hasil/ Kesimpulan 6. Martin Haigh dan J.S. Rawat 7. Yayu Indriati Arifin dan Muh. Kasim Landslide Disasters: Seeking Causes- A Case Study from Uttarakhand, India (Journal Management of Mountain Watersheds, 2012) Penentuan Zonasi Daerah Tingkat Kerawanan Banjir di Kota Gorontaloo Provinsi Gorontalo untuk Mtitigasi Bencana (Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 2012) Mengetahui faktor dan besar longsor yang terjadi di Almora Lower Mall. Zonasi daerah tingkat kerawanan banjir Gorontalo menggunakan SIG dan mitigasi yang tepat berdasarkan jenis/ tipe banjirnya. Monitoring waktu perubahan pola longsor, survei lapangan, analisis GIS, dan pengukuran longsor. Analisis spasial, analisis data sekunder, dan survei lapangan. Longsor di daerah kajian sulit diprediksi, merusak banyak fasilitas serta bangunan, longsor juga diperparah dengan hujan deras. Masyarakat setempat harus dapat melakukan mitigasi. Peta Geomorfologi Kota Gorontalo skala 1: dan peta zonasi banjir Kota Gorontalo skala 1: Harma Arief Kurniawan Kajian Geomorfologi terhadap Daerah Rawan Longsor di Kawasan Perbukitan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman (Skripsi, 2010) Mengetahui geomorfologi daerah kajian dan tingkat kerawanan longsor dan tipe longsor kawasan perbukitan di Kecamatan Prambanan. Survei lapangan, interpretasi foto udara, data sekunder, dan pengambilan data dengan purposive sampling. Pemetaan geomorfologi dan pemetaan kerawanan longsor. Kondisi geomorfologi berupa bentuklahan asal proses struktural dan fluvial. Dominasi longsor berupa rockfall. 9. Guruh Krisnantara Analisis Spasio-Temporal Banjir Genangan Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Wilayah Kepesisiran Kabupaten Jepara: Kasus Kec. Kedung, Tahunan, dan Jepara. (Skripsi, 2015) 10. Ayu Dyah Rahma Kajian Potensi Kerawanan Bencana Banjir dan Longsor Berbasis Karakteristik Geomorfologi di Sub- DAS Gelis, Keling, Jepara, (Skripsi, 2017) Menganalisis kenaikan muka air laut di Wilayah Jepara, luasan genangan tahun , dan luasan penggunaan lahan tergenang tahun Mengetahui geomorfologi dan bentuklahan, pemetaan geomorfologi dan pemetaan kerawanan bencana banjir dan longsor, rekomendasi pengurangan potensi bencana. Survei lapangan, pengolahan data primer dan sekunder, interpretasi citra, dan penerapan ILWIS. Metode analisis spasial, intepretasi citra, survei lapangan, serta penerapan AHP, ILWIS, dan SMCE untuk kerawanan banjir dan longsor. Proyeksi kenaikan muka air laut pada tahun 2020 = 15 cm,, 2030 = 34 cm, 2040 = 53 cm, 2050 = 72 cm, dan 2060 = 91 cm. Prediksi luas genangan di Kec. Kedung = 753, 99 ha. Luas penggunaan lahan tergenang tahun 2060 adalah pasir pantai dan empang. Pemetaan geomorfologi dengan variasi bentuklahan yang kompleks, pemetaan multirawan banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis dengan tingkat multirawan tinggi di lereng tengah Gunungapi Muria dan dataran kaki Gunungapi Muria. 18

19 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa belum adanya analisis kerawanan bencana banjir dan longsor yang fokus pada Sub-DAS Gelis, Jepara. Selain itu karakteristik bentuklahan di Sub-DAS Gelis juga belum dipetakan, sehingga perlu adanya pemetaan geomorfologi di wilayah kajian. Kajian banjir dan longsor pada studi kasus di Sub-DAS Gelis ini merupakan sistem yang saling terkait, namun belum terdapat pemetaan kerawanan banjir dan longsor di Sub-DAS Gelis. Beberapa hal tersebut kemudian menjadi kebaruan dalam penelitian ini dibanding dengan beberapa penelitian sebelumnya Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dalam penelitian ini dimulai dari dasar tentang geomorfologi dan bentuklahan di wilayah kajian. Kemudian bentuklahan dijabarkankan lagi berdasarkan material/ stuktur, relief, dan proses yang menyertainya. Setelah diidentifikasi dan dideskripsikan kemudian dihasilkan karakteristik lahan dari Sub- DAS Gelis. Selanjutnya dilakukan pemetaan geomorfologi secara analitik. Setelah itu dilakukan identifikasi kerawanan bencana di Sub-DAS Gelis dalam hal ini adalah banjir dan longsor. Identifikasi dilakukan dengan adanya validasi dan survei di lapangan. Karakteristik fisik yang pilih dalam survei ditentukan sesuai dengan parameter fisik yang akan diolah dalam membuat pemetaan kerawanan. Hasil survei digunakan untuk validasi pemetaan geomorfologi dan untuk kelengkapan data kerawanan. Kemudian pengolahan data spasial dilakukan dengan software ILWIS menggunakan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE). Hasilnya distribusi banjir dan longsor dapat diketahui beserta tingkat kerawanan banjir dan longsornya. Hasil akhir kerawanan banjir dan longsor dijadikan dalam satu output berupa peta multirawan banjir dan longsor Sub-DAS Gelis. Pemetaan multirawan banjir dan longsor tersebut diperkuat dengah hasil uji laboratorium untuk pemeabilitas tanah dan tekstur agar hasil yang dipemetaan sesuai dengan kondisi fisik di lapangan. Diagram alir yang berisi kerangka pemikiran dalam penelitian ditunjukkan dalam Gambar

20 Geomorfologi Bentuklahan Material/ struktur Relief Proses Karakteristik Lahan Pemetaan Geomorfologi Kerawanan Bencana Banjir Longsor Parameter fisik Pemodelan ILWIS dan SMCE Tingkat kerawanan banjir dan longsor Peta multirawan banjir dan longsor Gambar 1.6. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 1.8. Batasan Istilah Beberapa batasan istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Banjir: proses meluapnya air di luar saluran air (Setiawan dkk, 2014). b. Bencana: peristiwa telah terjadi mengancam dan mengganggu perikehidupan manusia, sehingga menimbulkan kerugian (Peraturan BNPB nomor 13 tahun 2008). 20

21 c. Bentuklahan (landform): kenampakan permukaan Bumi yang memiliki karakteristik bentuk yang khusus, didominasi oleh proses dan struktur tertentu dalam proses perkembangannya (Savigear, 1960). d. Daerah Aliran Sungai (DAS): wilayah ekosistem dibatasi topografi dan berfungsi sebagai wilayah pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen serta unsur hara pada sistem sungai yang keluar melalui satu outlet tunggal (Asdak, 2010). e. Geomorfologi: studi mengenai bentuklahan dan terutama tentang sifat alami, asal mula, proses perkembangan, dan komposisi material penyusunnya (Cooke & Doornkamp, 1994). f. Kerawanan (susceptibility): fase sebelum terjadinya bencana (pre-event phase) yang didominasi oleh ciri-ciri dari aspek fisik yang pasti dari kondisi di wilayah yang rentan bencana (Schneiderbauer dan Ehrlich, 2004). g. Longsor: gerakan tanah, batuan, dan material organik menuruni lereng karena pengaruh gravitasi (Highland dan Bobrowsky, 2008). h. Pemetaan geomorfologi: pemodelan gambar berskala mulai dari relief Bumi yang mengandung informasi tentang geomorfologi hingga umur relief (Demek dan Embleton, 1978). 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan, meliputi proses-proses yang bekerja terhadap batuan induk dan perubahanperubahan yang terjadi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kejadian Bencana Alam di Asia Tahun (Anggraini, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kejadian Bencana Alam di Asia Tahun (Anggraini, 2007) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pulau Jawa merupakan pulau yang mempunyai penduduk paling padat di Indoensia. Kepadatan penduduk ini dipengaruhi oleh kondisi pulau Jawa yang subur dan keindahan alamnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari BNPB atau Badan Nasional

Lebih terperinci

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi?

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi? PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA Suroso Sastroprawiro Bambang Kuncoro Hadi Purnomo Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Contact person: 08122953788

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan kesatuan hidrologi yang kompleks dan terdiri dari berbagai komponen. Komponen-komponen tersebut terdiri atas manusia, iklim, tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian bencana mewarnai penelitian geografi sejak tsunami Aceh 2004. Sejak itu, terjadi booming penelitian geografi, baik terkait bencana gempabumi, banjir,

Lebih terperinci

NILAI KARAKTER PADA MATERI GEOMORFOLOGI. Oleh. Dr. Deasy Arisanty, M.Sc

NILAI KARAKTER PADA MATERI GEOMORFOLOGI. Oleh. Dr. Deasy Arisanty, M.Sc 1 NILAI KARAKTER PADA MATERI GEOMORFOLOGI Oleh Dr. Deasy Arisanty, M.Sc Abstrak Geomorfologi merupakan salah satu disiplin ilmu dalam geografi dan menjadi matakuliah wajib untuk mahasiswa geografi. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN LONGSORLAHAN DENGAN METODE WEIGHT OF EVIDENCE DI SUB DAS SECANG KABUPATEN KULONPROGO. Aji Bangkit Subekti

TINGKAT KERAWANAN LONGSORLAHAN DENGAN METODE WEIGHT OF EVIDENCE DI SUB DAS SECANG KABUPATEN KULONPROGO. Aji Bangkit Subekti TINGKAT KERAWANAN LONGSORLAHAN DENGAN METODE WEIGHT OF EVIDENCE DI SUB DAS SECANG KABUPATEN KULONPROGO Aji Bangkit Subekti adjie_2345@yahoo.com Danang Sri Hadmoko danang@gadjahmada.edu Abstract This research

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Longsorlahan Gerakan tanah atau yang lebih umum dikenal dengan istilah Longsorlahan (landslide) adalah proses perpindahan matrial pembentuk lereng berupa suatu massa tanah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi tanah dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, baik dari geologi, geomorfologi, pertanian, peternakan, ataupun keteknikan. Tanah dari sudut pandang geomorfologi

Lebih terperinci

PETA SATUAN LAHAN. Tabel 1. Besarnya Indeks LS menurut sudut lereng Klas lereng Indeks LS 0-8% 0,4 8-15% 1, % 3, % 6,8 >40% 9,5

PETA SATUAN LAHAN. Tabel 1. Besarnya Indeks LS menurut sudut lereng Klas lereng Indeks LS 0-8% 0,4 8-15% 1, % 3, % 6,8 >40% 9,5 PETA SATUAN LAHAN Pembuatan Satuan Lahan Lereng Faktor lereng sangat mempengaruhi erosi yang terjadi. Pengaruh lereng pada proses terjadinya erosi yaitu mempengaruhi besarnya energi penyebab erosi. Karakteristik

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geomorfologi adalah salah satu hal yang menjadi dasar dalam ilmu geologi, karena geomorfologi dapat dijadikan panduan dalam pemetaan geologi, selain itu pengamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan lahan saat ini semakin meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk tidak hanya dari dalam daerah, namun juga luar daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

01. Pendahuluan. Salahuddin Husein. TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi. Planet Bumi

01. Pendahuluan. Salahuddin Husein. TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi. Planet Bumi TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 01. Pendahuluan Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Planet Bumi Jari-jari katulistiwa: 6.371 km Jari-jari kutub:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di Indonesia adalah

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel 3.1) dan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Oleh : Baba Barus Ketua PS Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah Pasca Sarjana, IPB Diskusi Pakar "Bencana Berulang di Jabodetabek:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana alam adalah salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Bencana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk kedalam pertumbuhunan yang tinggi. Jumlah penduduk semakin tinggi menyebabkan Indonesia menjadi negara ke empat dengan jumlah

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

Beberapa definisi tentang geomorfologi setelah

Beberapa definisi tentang geomorfologi setelah I. PENDAHULUAN Sejarah Perkembangan Geomorfologi Sebagai Suatu ilmu Geomorfologi berasal dari bahasa Yunani kuno (geo = bumi, morfo = bentuk, logos = i l- mu). ang berarti ilmu yang mempelajari bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air di bumi ini sebagian besar terdapat di laut dan pada lapisan-lapisan es (di kutub dan puncak-puncak gunung), air juga hadir sebagai awan, hujan, sungai, muka air

Lebih terperinci

Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Geomorphology is the study which describes landforms and the

Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Geomorphology is the study which describes landforms and the Geo Morpho Logos Ilmu yang menguraikan tentang bentuk bumi, dengan sasaran utama relief permukaan bumi. Zuidam and Cancelado (1979, 1985) Geomorphology is the study which describes landforms and the processes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode 2011-2015 telah terjadi 850 kejadian bencana tanah longsor di Indonesia (BNPB, 2015).

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsorlahan merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau mineral campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekritisan Daerah Resapan Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir dan kekeringan, maka dipandang

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa

Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa puguh.draharjo@yahoo.co.id Floods is one of the natural phenomenon which happened in jawa island. Physical characteristic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan material. DAS kodil bagian tengah terdiri dari Kecamatan Bener,

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan material. DAS kodil bagian tengah terdiri dari Kecamatan Bener, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Longsorlahan (landslide) mewakili bencana yang luas pada wilayah pegunungan dan perbukitan yang telah menyebabkan hilangnya nyawa dan kerusakan material. DAS kodil

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 163 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat enam terrain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banjir merupakan salah satu peristiwa alam yang seringkali terjadi. Banjir dapat terjadi karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peristiwa banjir bandang menjadi perhatian bagi orang hidrologi dan ilmu bencana alam karena menjadi peringkat atas di antara bencana alam lainnya dalam hal jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana banjir termasuk bencana alam yang hampir pasti terjadi pada setiap datangnya musim penghujan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo,

Lebih terperinci

BAB II. METODELOGI PENELITIAN

BAB II. METODELOGI PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Sari... iii Kata Pengantar... iv Halaman Persembahan... vi Daftar Isi... vii Daftar Tabel... xi Daftar Gambar... xii Daftar Foto... xiii Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan berbagai bencana alam, seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, bencana gempa bumi, dan tsunami. Bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menginterpretasi bentuklahan, terutama berkaitan dengan proses-proses yang membentuk dan memodifikasi bentuklahan tersebut

Lebih terperinci

RISIKOBENCANA LONGSORLAHAN DISUB DAS LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS

RISIKOBENCANA LONGSORLAHAN DISUB DAS LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS RISIKOBENCANA LONGSORLAHAN DISUB DAS LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS Suwarno* dan Sutomo* Program Studi Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Purwokerto Email: suwarnohadimulyono@gmail.com Abstrak Kejadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Longsor atau landslide merupakan suatu proses pergerakan massa tanah, batuan, atau keduanya menuruni lereng di bawah pengaruh gaya gravitasi dan juga bentuklahan yang

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Menurut Asdak (2010), daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Sambutan Rektor Institut Teknologi Bandung i. Prakata- Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung iii. Sambutan-Dewan Editorial v

DAFTAR ISI. Sambutan Rektor Institut Teknologi Bandung i. Prakata- Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung iii. Sambutan-Dewan Editorial v DAFTAR ISI Sambutan Rektor Institut Teknologi Bandung i Prakata- Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung iii Sambutan-Dewan Editorial v Dewan Editorial vii ix Daftar Tabel xvi Daftar Gambar xix AMANAH

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Banjir

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Banjir TINJAUAN PUSTAKA Banjir Sunaryo et al (2004) mengemukakan bahwa banjir terjadi ketika volume air tidak lagi tertampung dalam wadah yang seharusnya, sehingga menggenangi daerah atau kawasan lain. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Tanah longsor adalah salah satu bencana yang berpotensi menimbulkan korban jiwa masal. Ini merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA A. Pendahuluan Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk muka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disajikan secara deskriptif. Selain itu, beberapa website

BAB I PENDAHULUAN.  disajikan secara deskriptif. Selain itu, beberapa website BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta tidak hanya memiliki karakteristik yang unik dan menarik yang sebatas pada sosial dan budayanya. Akan tetapi, keunikan lain khususnya dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR PETA... INTISARI... ABSTRACT... i ii iii iv

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup berkaitan erat dengan kegiatan manusia dalam mengelola sumberdaya. Perubahan penggunaan lahan adalah salah satu faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses erosi dan sedimentasi merupakan proses yang memiliki peranan penting dalam dinamika permukaan Bumi. Verstappen dan van Zuidam (1968) mengklasifikasikan bentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki karakteristik wilayah pegunungan dan perbukitan, sehingga seringkali terjadi bencana. Tanah merupakan salah satu bencana alam yang paling sering

Lebih terperinci