HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi"

Transkripsi

1 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari pelacakan (dan penarikan garis) pada igir pembatas DAS pada saat melakukan interpretasi terhadap garis kontur secara visual (RBI). Adapun secara digital wilayah DAS dapat diperoleh melalui komputer, yakni melalui perintah pembentukan DAS pada piranti lunak Global Mapper v12 (tools: create watershed ). Dari hasil analisis secara manual atau visual Peta RBI (cetak) skala 1: didapatkan bahwa luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.207,64 Ha, sedangkan dari hasil analisis Peta RBI digital (dengan software Global Mapper v12) didapatkan bahwa luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.279,56 Ha. Dari hasil analisis data SRTM dengan software yang sama didapatkan luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.163,07 Ha. Dari ketiga hasil pengukuran tersebut di atas terlihat bahwa hasil luasan DAS berbeda-beda, meskipun tidak berbeda jauh. Perbedaan luasan tersebut jika dilihat dari masing-masing peta tampak bersumber pada geometri batas DAS (Gambar 4). Perbedaan terlihat terutama pada wilayah hulu bagian ujung (selatan) dan bagian hilir (utara) serta pada bagian barat. Perbedaan tampak lebih menyolok terutama dari DAS hasil analisis secara manual dengan hasil analisis secara digital (RBI), sedangkan dua DAS dari hasil analisis secara digital (RBI dan SRTM) perbedaan tampak lebih kecil dan hanya terdapat pada hulu bagian ujung dan di bagian hilir DAS. Perbedaan seperti ini wajar terjadi disebabkan data yang digunakan untuk analisis secara manual dan secara digital berbeda. Untuk yang pertama berasal dari data vektor, sedangkan yang kedua berasal dari data raster. Data raster dari Peta RBI ini diperoleh dari hasil konversi data vektor RBI, sedangkan untuk data SRTM tidak dilakukan konversi (karena data aslinya sudah berupa data raster). Berdasarkan sumber data ini, maka cukup wajar jika hasil pemetaan DAS dari analisis secara digital (antara Peta RBI dengan data SRTM) tidak jauh berbeda. Adanya sedikit perbedaan yang muncul mungkin lebih disebabkan oleh asal data yang berbeda, yaitu Peta RBI berasal dari proses fotogrametri (foto udara), sedangkan data SRTM berasal dari sistem Radar.

2 10 (a) Peta DAS Cileungsi dipetakan secara visual dari Peta RBI cetak skala 1: (b) Peta DAS Cileungsi dipetakan dari peta RBI digital melaui Global Mapper v12 (c) Peta DAS Cileungsi dipetakan dari data SRTM melalui Global Mapper v12 Gambar 4 DAS Cileungsi dari Tiga Sumber Data yang Berbeda. Titik-titik yang Secara Menonjol Berbeda ditunjukkan oleh Tanda Lingkaran

3 11 Kelas Lereng dari Peta RBI (Cetak & Digital) dan SRTM Berdasarkan hasil analisis secara visual dari Peta RBI cetak didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas di daerah penelitian adalah kelas B (8%-15%) yaitu seluas 2.303,2 Ha, sedangkan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) yaitu seluas 82,4 Ha. Adapun hasil dari analisis secara digital dari Peta RBI didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas adalah kelas A (0%- 8%) seluas 3.012,5 Ha dan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) seluas 26,5 Ha. Hasil analisis dari data SRTM secara digital didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas adalah kelas C (15%-30%) seluas 2.495,96 Ha dan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) seluas 289,06 Ha (Gambar 5, Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4). Dari angka-angka tersebut tampak bahwa kelas kemiringan lereng yang dominan dari ketiga analisis di atas tampak berbeda. Perbedaan ini bisa dikarenakan oleh sumber data yang berbeda, yaitu peta RBI cetak berasal dari data vektor sedangkan RBI digital dan SRTM berasal dari data raster. Tabel 2 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Visual Peta RBI Cetak Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%) A (0%-8%) 1202,79 16,69 B (8%-15%) 2303,24 31,96 C ( 15%-30%) 1897,19 26,32 D (30%-45%) 1721,97 23,89 E (>45%) 82,44 1,14 Total 7207,64 Tabel 3 Persebaran Kelas KemiringanLereng dari Metode Digital Peta RBI Digital Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%) A (0%-8%) 3012,46 41,38 B (8%-15%) 2409,72 33,1 C ( 15%-30%) 1501,35 20,62 D (30%-45%) 329,53 4,53 E (>45%) 26,51 0,36 Total 7279,56 Tabel 4 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Digital Data SRTM Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%) A (0%-8%) 1481,43 20,68 B (8%-15%) 2093,22 29,22 C ( 15%-30%) 2495,96 34,84 D (30%-45%) 803,40 11,22 E (>45%) 289,06 4,04 Total 7279,56

4 12 (a) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis dari Peta RBI Cetak

5 (b) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis dari Peta RBI Digital 13

6 14 (c) Peta Kemirigan Lereng Hasil Analisis dari Data SRTM Gambar 5 Peta Perbandingan (a) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Secara Visual Peta RBI Cetak Skala 1: (Lembar Peta : Cileungsi, Tajur, Cisarua), (b) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Peta RBI Digital Skala 1:25.000, (c) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Data SRTM Digital Resolusi 30 Meter

7 15 Perbandingan Kelas Lereng dari data RBI (Cetak dan Digital) Seperti telah diungkapkan dalam metode penelitian bahwa pengukuran kemiringan lereng dari Peta RBI dilakukan dengan dua metode, yaitu secara cetak dan secara digital dengan software SIG. Mengingat bahwa geometri DAS hasil dari kedua metode ini sedikit berbeda (termasuk luasannya), maka hasil dan pembahasan terhadap perbandingan dua metode ini hanya dilakukan pada daerah yang tercakup oleh keduanya (overlap). Luas wilayah yang overlap di dalam DAS ini didapatkan seluas 6.978,5 Ha. Untuk membandingkan pola persebaran spasial masing-masing kelas lereng dari kedua metode tersebut maka dilakukan proses tumpang-tindih (overlay) (Gambar 5a dan 5b). Dengan cara demikian maka dapat dilihat bagaimana persebaran poligon-poligon kelas-kelas lereng yang sama dari kedua peta. Melalui proses tumpang-tindih ini dapat diketahui persebaran kelas lereng yang sama dan menempati lokasi yang sama (overlap) atau menempati lokasi yang berbeda (tidak overlap). Luasan dari hasil proses tumpang-tindih tersebut disajikan pada Tabel 6. Tabel 5 Hasil Overlay Peta RBI Cetak dan RBI Digital Kelas Lereng Luas Total (Cetak & Digital) (Ha) Luasan overlap Luasan tidak overlap (%) (%) A (0%-8%) 1127,7 95,6 4,4 B ( 8%-15%) 2247,7 36,5 63,5 C (15%-30%) 1848,8 18,8 81,2 D (30%-45%) 1678,5 15,6 84,4 E (>45%) 75,9 21,7 78,3 Jumlah Nilai Rata-rata 6978,5 37,64 62,36 Dari Tabel 5 di atas terlihat bahwa nilai persentase overlap yang terbesar adalah pada kelas kemiringan lereng A (95,6%), disusul dengan kelas B (36,5%), sedangkan untuk kelas C, D, dan E relatif hampir sama (± 20 %). Hal ini mengindikasikan bahwa untuk daerah yang mempunyai kemiringan lereng datar hingga landai (0-8%) kedua metode mempunyai akurasi yang relatif sama. Namun jika kemiringan lereng semakin besar (> 8%), maka akurasi dari kedua metode tersebut sudah tidak sama lagi. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai persentasi dari luasan yang tidak overlap. Adapun nilai rata-rata luas area yang overlap adalah 37,64%. Perbandingan Lereng dari Data RBI (Digital) dan SRTM (Digital) Luas daerah penelitian yang terliput oleh kedua sumber data yang berbeda ini (Peta RBI Digital dan SRTM) adalah sebesar 7.107,1 Ha. Luasan dari hasil proses tumpang-tindih dari kedua data disajikan pada Tabel 6. Untuk kedua sumber data ini semuanya berasal dari jenis data yang sama (raster) dan metode analisis yang digunakan adalah sama, yaitu secara digital dengan software SIG. Data raster RBI dibuat dengan resolusi 30m agar memiliki resolusi yang sama dengan data SRTM (=30m).

8 16 Tabel 6 Hasil Overlay Peta RBI Digital dan Peta SRTM Digital Kelas Lereng Luas Total (RBI & SRTM) (Ha) Luasan overlap (%) Luasan tidak overlap (%) A (0%-8%) 2876,0 44,7 55,3 B ( 8%-15%) 2385,9 29,3 70,7 C (15%-30%) 1490,6 47,8 52,2 D (30%-45%) 328,0 40,1 59,9 E (>45%) 26,5 88,3 11,7 Total Nilai Rata-rata 7107,1 50,04 49,96 Bila dilihat dari persebarannya (Gambar 5b dan 5c) terlihat bahwa kelas lereng A dari data RBI digital lebih mendominasi, sedangkan dari data SRTM cenderung lebih mirip dengan data RBI hasil analisis visual. Untuk membandingkan pola persebaran spasial dari masing-masing kelas lereng dari dua sumber data yang berbeda ini maka dilakukan proses tumpang-tindih (overlay). Dari hasil proses tumpang-tindih ini dapat diketahui persebaran kelas-kelas lereng yang sama yang menempati lokasi yang sama (overlap) dan yang tidak menempati lokasi yang sama (tidak overlap). Tabel 6 menyajikan hasil dari proses tersebut dan terlihat bahwa persentase terbesar dari kelas lereng yang overlap terdapat pada kelas E (>45%) yaitu sebesar 88,3%, sedangkan persentase luasan terbesar yang tidak overlap terdapat pada kelas B (8%-15%) sebesar 70,7%. Untuk nilai rata-rata luas area yang overlap adalah sebesar 50,04%. Jika melihat Tabel 6, maka tampak bahwa meskipun jenis data adalah sama (raster) dengan resolusi yang sama (30m) namun hasilnya tetap saja berbeda. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab terjadinya perbedaan ini adalah asal sumber data. Asal data raster dari RBI berbeda dengan data raster dari SRTM, dimana yang pertama berasal dari hasil konversi data vektor, sedangkan yang kedua masih asli dari sensornya berupa data raster. Perbandingan Kelas Lereng dari Data RBI Cetak dan SRTM Digital Dari perbandingan antara peta kemiringan lereng hasil analisis RBI cetak secara visual dengan SRTM digital didapatkan bahwa secara umum antara kedua peta tersebut tampak lebih banyak memiliki kesamaan (Tabel 7). Nilai persentase overlap yang terbesar adalah kelas lereng A (74,4%), sedangkan untuk kelas lereng B, C, dan E relatif hampir sama (± 60 %) dan luasan overlap terkecil adalah kelas lereng D (37,1%). Tabel 7 Hasil Overlay Peta RBI Manual dan Peta SRTM Digital Kelas Lereng Luas Total (RBI & SRTM) (Ha) Luasan overlap (%) Luasan tidak overlap (%) A (0%-8%) 1108,3 74,4 25,6 B ( 8%-15%) 2236,8 56,0 44,0 C (15%-30%) 1836,2 62,0 38,0 D (30%-45%) 1666,2 37,1 62,9 E (>45%) 75,3 65,1 34,9 Total Nilai Rata-rata 6922,7 58,92 41,08

9 Dari hasil proses overlap pada Tabel 7, angka-angka persentase overlap antara peta-peta kemiringan lereng dari RBI cetak dan SRTM digital ini tampak lebih baik dari perbandingan-perbandingan lainnya (Tabel 5 dan 6) artinya nilai overlapnya lebih besar. Hal ini mungkin dikarenakan kedua data yang digunakan dalam analisis masih asli atau tidak mengalami konversi sebelumnya, sehingga data tidak mengalami perubahan sifat dasar geometrik. Data dari RBI cetak merupakan data kontur yang langsung dianalisis di atas peta, sedangkan data dari SRTM berupa data raster yang juga langsung dilakukan analisis di dalam piranti lunak tanpa adanya proses konversi. Untuk nilai rata-rata luas area yang overlap dari perbandingan ini adalah 58,92%. Perbandingan Pemetaan Kemiringan Lereng dan Pengukuran di Lapangan Dari ketiga metode yang telah dihasilkan dan telah dibahas, selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan. Hasil perbandingan ini secara visual disajikan pada Gambar 6 (menunjukkan titik-titik sampel) dan Tabel 8 (yang menunjukkan secara detil titik-titik sampel yang dimaksud pada Gambar 8). Pada Tabel 8 hanya menunjukan 6 titik perbandingan antara peta lereng hasil analisis RBI cetak, RBI digital, dan SRTM. Berdasarkan pengukuran dan verifikasi lapang dengan titik sampel yang lebih banyak lagi terlihat bahwa metode digital dari data SRTM memiliki persamaan dengan pengukuran lapangan yang lebih baik, yaitu 80,9% (Tabel 9 ). Adapun metode digital dari data RBI = 76,2%, dan metode visual dari data RBI cetak = 66,7%. Rendahnya nilai RBI digital mungkin lebih disebabkan oleh adanya proses konversi data (vektor ke raster) dalam persiapan sebelum di analisis, sedangkan rendahnya nilai RBI cetak hasil disebabkan oleh kesalahan penafsir (interpreter) dalam melakukan analisis secara visual. Dalam hal ini pengalaman, ketekunan, dan ketelitian dalam mengukur jarak antar kontur oleh penafsir merupakan bagian terpenting dari hasil analisis yang diperoleh. Dengan kata lain pengalaman, ketekunan, dan ketelitian penafsir untuk kasus ini dapat dikategorikan sedang. Dalam penelitian ini jumlah titik pengukuran lapangan hanya mencapai 42 titik (Gambar 7), sehingga untuk penelitian lanjutan mungkin perlu ditambah agar dapat diperoleh perbandingan nilai yang lebih baik. 17

10 C D A F B E 18 C C A A D D B B F E F E Gambar 6 Peta Lokasi Contoh Titik Sampel

11 Kemiringan Lereng Di Lapang Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang 19 Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang Nama Titik A Peta Kemiringan Lereng dari RBI Cetak Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital Peta Kemiringan Lereng dari SRTM B Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi di lapang lereng kelas A

12 KemiringanLereng Di Lapang Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelasb Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang Nama Titik C Peta Kemiringan Lereng dari RBI Cetak Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital Peta Kemiringan Lereng dari SRTM D Terklasifikasi sebagai lereng kelas D Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas D Terklasifikasi sebagai lereng kelas C

13 Kemiringan Lereng Di Lapang Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas C 21 Nama Titik E 18 Peta Kemiringan Lereng dari RBI Cetak Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital Peta Kemiringan Lereng dari SRTM F Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas B

14 22 Tabel 9 Perbandingan Nilai Kelas Lereng dari Hasil Analisis Visual-Digital (RBI), SRTM, dan Hasil Verfikasi Lapang Titik Observasi RBI Visual Metode Analisis Kelas yang Sama Kelas yang Berbeda RBI Digital SRTM Lapangan RBI Manual RBI Digital SRTM RBI Manual RBI Digital SRTM 1 A A A A 2 A A A A 3 A A A A 4 A A A A 5 A A A A 6 A A A A 7 A A A A 8 A A A A 9 A A A A 10 A A A A 11 A A A A 12 A A B A 13 B A B A 14 B A B A 15 B A B A 16 B A B A 17 B B B B 18 B B B B 19 B B B B 20 B B B B 21 B B B B 22 B B B B 23 B B C B 24 C C C C 25 C B C C 26 C B C B 27 C B C C 28 C B C C 29 C B C C 30 C B C C 31 C B C C 32 C B C C 33 C B C C 34 D B C C 35 D C C C 36 D C C C 37 D C C C 38 D C C C 39 D C C C 40 D C D C 41 D C D C 42 D C D C Jumlah Jumlah % 66,7% 76,2% 80,9% 33,3% 23,8% 19,1%

15 23 Gambar 7 Titik Observasi Lapang Profil Melintang Selain melakukan pengukuran terhadap kemiringan lereng pada saat kerja lapang, dilakukan pula pembuatan transek untuk membuat profil permukaan lahan. Lokasi pengukuran ditunjukan pada Gambar 8 yaitu terdiri atas 3 lokasi, sedangkan hasil pengukuran ditunjukan pada Tabel 10. Profil melintang (toposkuen) yang dihasilkan disajikan pada Gambar 9 Berdasarkan pada Gambar 8 dan 9 dapat dilihat bahwa Profil 1 (dari titik A hingga B) menggambarkan suatu profil lereng yang melintas dari permukaan lahan dengan kemiringan lereng datar atau kelas A (0-8%) ke kemiringan lereng sangat miring atau kelas D (30% - 45%). Peta kemiringan lereng pada Gambar 8 diambil contoh dari peta lereng (RBI cetak), sedangkan Gambar 9 memperlihatkan profil melintang dari hasil

16 24 pengukuran lapangan. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa di dalam kelas lereng A ternyata kemiringan lereng di lapangan masih cukup bervariasi seperti yang dapat dilihat dari Tititk A-1 ke titik 4 pada Profil 1 (A-B). Dari transek ini terdapat 3 kemiringan lereng yang berbeda, yaitu 9%, 15%, dan 10% (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa kelas lereng di dalam peta sesungguhnya merupakan hasil penyederhanaan atau generalisasi dari fenomena sebenarnya di lapangan. Penyederhanaan terjadi karena adanya skala yang membatasi kerincian data yang dapat ditampilkan. Dalam kasus ini hasil pengukuran lapangan yang mempunyai skala 1:1 disederhanakan menjadi skala 1:25.000, sehingga generalisasi di sini terjadi lebih disebabkan oleh adanya interval kontur sebesar 12,5 m yang ditetapkan di dalam peta RBI. Dengan demikian nilai dari kemiringan lereng di lapangan yang cukup beragam tidak dapat dipetakan satu per satu di dalam peta skala 1: Tabel 10 Kemiringan Lereng dari setiap Profil Melintang Titik Profil 1 (A B) Profil 2 (C D) Profil 3 (E F) kemiringan lereng (%) kemiringan lereng (%) kemiringan lereng (%) Menurut proses generalisasi ini, maka yang seharusnya termasuk ke dalam kemiringan lereng Kelas B pada profil 1 adalah mulai dari titik pertama (titik A-1) hingga ke titik 8, sedangkan dari titik 8 ke titik 9 (titik B) masuk ke dalam kemiringan lereng Kelas C (Tabel 10). Dengan kata lain kesalahan pada peta lereng tidak dapat di hindari akibat proses generalisasi. Untuk Profil 2, dari titik C-1 ke titik 2 mempunyai kemiringan lereng 1% (kelas A), sedangkan dari titik 2 hingga titik 6 mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi namun berdekatan, yaitu antara 9% hingga 12% (kelas B) adapun, dari titik 6 hingga ke titik 8 masuk ke dalam kemiringan lereng kelas C (kemiringan 20% dan 23%). Berdasarkan profil ini maka seharusnya kelas lereng hanya dapat dipilah menjadi Kelas A, B dan C (pengukuran lapang), namun pada peta lereng dibedakan menjadi 4 kelas, yaitu kelas A, B, C, dan D. Untuk Profil 3, dari Titik E-1 ke titik 2 mempunyai kemiringan lereng 9%, dari titik 2 ke titik keempat berturut-turut mempunyai kemiringan lereng 12% dan 16%, dan dari titik 4 ke titik 5 mempunyai kemiringan lereng 20% (Tabel 10). Menurut profil ini, kelas lereng seharusnya hanya dibedakan menjadi 2, yaitu kelas lereng B dan C atau sesuai dengan peta lereng yang dibuat namun terjadi kesalahan dalam persebarannya. Ketepatan dalam interpretasi kemiringan lereng untuk kasus yang terakhir ini mungkin lebih disebabkan oleh adanya dua kelas kemiringan lereng yang kontras dan berdampingan, sehingga lebih mudah untuk dibedakan secara visual.

17 25 Profil 1 Profil 2 Profil 3 Gambar 8 Tiga Titik Pengamatan untuk Pembuatan Profil Melintang (Profil 1, 2 dan 3) dengan Latar Belakang Peta Kemiringan Lereng (RBI Cetak)

18 26 ELEVASI (m) PROFIL 1 B A JARAK (m) ELEVASI (m) PROFIL 2 D C JARAK (m) ELEVASI (m) PROFIL 3 F E JARAK (m) Gambar 9 Profil Melintang ( Profil 1, 2, dan 3 dari Gambar 6)

19 27 Bentuklahan (landform) Geomorfologi daerah penelitian dapat digambarkan dari keragaman bentuklahannya. Dengan mempelajari atau memetakan bentuklahan maka akan dapat diketahui sifat fisik lingkungan dari daerah penelitian. Manfaat dari pemetaan bentuklahan antara lain adalah dapat mengetahui sifat bentanglahan melalui keterkaitan antara persebaran bentuklahan dengan pola spasial proses geomorfik (Goudie, 2004). Secara mikro kemiringan lereng adalah salah satu sifat dari bentuklahan hasil dari proses geomorfik yang dapat mencirikan karakteristik bentanglahan dimaksud. Berdasarkan hasil interpretasi dari citra SRTM (resolusi spasial 30 meter) yang dibantu dengan peta kontur untuk melihat kondisi umum relief, peta geologis untuk melihat litologi serta struktur dan proses, dan peta jaringan sungai untuk melihat pola dan kerapatan torehan, didapatkan 17 bentuklahan untuk daerah penelitian. Nama-nama bentuklahan disajikan pada Tabel 11 termasuk kode dan luasannya, sedangkan persebaran spasial bentuklahan ditampilkan pada Gambar 10. Beberapa foto bentuklahan yang diambil di lapangan disajikan pada Gambar 11. Menurut peta geologis (skala 1: ) daerah penelitian tersusun oleh material batuan sedimen berumur Miosen, batuan vulkanik berumur Pleistosen, dan alluvium berumur Pleistosen, Jenis-jenis batuan yang menyusun bentuklahan di daerah penelitian tercantum di dalam Tabel 11. Berdasarkan tabel tersebut, bentuklahan perbukitan denudasional-berbatu liat tertoreh sedang (D3) merupakan bentuklahan terluas di daerah penelitian, yaitu seluas 1302,08 hektar atau 18,18% dari total luasan daerah penelitian, sebaliknya bentuklahan yang terkecil adalah dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping (K3) dengan luasan 29,47 hektar (0,29%). Untuk dataran- fluvio vulkanik (FV) yang dibentuk oleh proses deposisi aliran sungai serperti tampak pada Gambar 10 tersebar memanjang di bagian selatan daerah penelitian (hilir), yaitu mengikuti lembah sungai di bagian hilir, sedangkan bentuklahan Lembah Sungai Lereng Atas (F1) persebarannya juga mengikuti aliran sungai namun berada pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan (hulu). Bentuklahan lain yang berupa tebing berada di perbukitan bagian selatan yang mudah dikenali di lapangan tersusun dari batugamping, sehingga dinamakan Tebing Karst (K2). Bentuklahan perbukitan yang lain cukup bervariasi, sebagian besar berada pada elevasi < 400 m, terdiri dari perbukitan karst (K1), perbukitan denudasional berbatuan sedimen (batupasir, batuliat) (D2, D4), dan perbukitan denudasional vulkanik. Untuk bentuklahan pegunungan sebagian besar persebarannya berada pada elevasi > 400 m, yaitu pegunungan denudasioanl vulkanik (DV1, DV2), yang terletak di bagian hulu hingga pada ketinggian m.

20 28 Tabel 11 Nama Bentuklahan dan Luasannya di DAS Cileungsi No KODE Nama Bentuklahan Luas (Ha) luas (%) 1 FV Dataran fluvio vulkanik 64,68 0,90 2 D2 Perbukitan denudasional berbatu liat,tertoreh ringan 95,78 1,34 3 D3 Perbukitan denudasional,berbatu liat tertoreh sedang 1302,08 18,18 4 D4 Perbukitan, denudasional, berbatu liat, tertoreh kuat 577,71 8,07 5 F1 Lembah sungai lereng atas bermaterial alluvium 283,89 3,96 6 F2 Lembah sungai dataran banjir dan teras alluvial bermaterial alluvium 141,05 6,58 7 K1 Perbukitan karst berbatu gamping tertoreh sedang 631,28 8,81 8 K2 Tebing karst berbatu gamping 134,73 1,88 9 K3 Dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping 20,47 0,29 10 DV1 Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh 332,70 4,65 ringan 11 DV2 Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh 489,87 6,84 sedang 12 DV3 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu 33,22 0,46 lava tertoreh sangat ringan 11 DV4 Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik 321,25 4,49 berbatu lava tertoreh ringan 14 DV5 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan 471,01 1,97 15 DV6 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang 166,18 2,32 16 DV7 Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh 1042,96 14,56 kuat 17 DV8 Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh 624,90 8,72 sedang Total Luas 7162,32 100,00

21 7 K1 Perbukitan Karts Miosen Batu kapur, batu liat, tuff Perbukitan karst berbatu gamping tertoreh sedang 631,28 8,81 29 Tabel 12 Deskripsi dan Nama Bentuklahan DAS Cileungsi No Kode Morfologi Morfogenesis Morfo kronologi Litologi Nama Bentuklahan Luas (Ha) Luas (%) 1 FV Dataran Denudasional Miosen Endapan kipas aluvium Dataran fluvio vulkanik 64,68 0,90 2 D2 Perbukitan Denudasional Miosen Batu liat, batu kapur, batu lumpur, tuff 3 D3 Kerucut Denudasional Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur 4 D4 Perbukitan Denudasional Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur 5 F1 Dataran Fluvial Pleistosen Andesit, alluviumvulkan Perbukitan denudasional berbatu liat,tertoreh ringan 95,78 1,34 Perbukitan denudasional,berbatu liat tertoreh sedang 1302,08 18,18 Perbukitan, denudasional, berbatu liat, tertoreh kuat 577,71 8,07 Lembah sungai lereng atas bermaterial alluvium 283,89 3,96 6 F2 Dataran bergelombang Fluvial Misosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur Lembah sungai dataran banjir dan teras alluvial bermaterial alluvium 471,01 6,58 8 K2 Kerucut Karst Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur 9 K3 Dataran puncak perbukitan 10 DV1 Perbukitan Denudasional, vulkanik Karst Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur Tebing karst berbatu gamping 134,73 1,88 Dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping 20,47 0,29 Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan 332,70 4,65 11 DV2 Kerucut Denudasional, vulkanik Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang 489,87 6,84 12 DV3 Kerucut Denudasional, vulkanik 13 DV4 Perbukitan Denudasional, vulkanik 14 DV5 Kerucut Denudasional, vulkanik 15 DV6 Kerucut Denudasional, vulkanik 16 DV7 Kerucut Denudasional, vulkanik 17 DV8 Pegunungan Denudasional, vulkanik Pleistosen Andesit, alluviumvulkan ringan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sangat 33,22 0,46 Pleistosen Andesit, alluviumvulkan Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan 321,25 4,49 Pleistosen Andesit, alluviumvulkan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan 141,05 1,97 Pleistosen Andesit, alluviumvulkan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang 166,18 2,32 Pleistosen Andesit, alluviumvulkan Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh kuat 1042,96 14,56 Miosen Batu kapur, batu pasir Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang 624,90 8,72

22 30 Gambar 10 Peta Bentuklahan diatas Citra SRTM

23 31 Perbukitan Denudasional Berbatu Liat (D3) Lembah Sungai Alluvium (F2) Sungai Cileungsi (a) Lembah Sungai Dataran Banjir & Teras Alluvial (F2) Batu Gamping Yang Tersingkap (b) Perbukitan Kasrt (K1)

24 32 Tebing Karts (c) Tebing Karst (K2) (d) Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV2) (e) Dataran Puncak Perbukitan Karst (K3) Gambar 11 Gambaran Bentuklahan di Lokasi Penelitian

25 33 Hubungan bentuklahan dan kemiringan lereng Kemiringan lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yang mencerminkan ukuran derajat kemiringan permukaan lahan terhadap bidang horisontal. Kemiringan ini dilahirkan oleh proses geomorfik, baik endogen maupun eksogen, yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh faktor litologi dan struktur material penyusun bentuklahan. Oleh karena itu karakter bentuklahan seharusnya dapat dihubungkan dengan pola kemiringan lereng yang dimilikinya. Hubungan antara bentuklahan (landform) dengan kemiringan lereng dalam penelitian ini dihasilkan dari proses tumpang-tindih (overlay) antara peta bentuklahan dengan peta lereng. Dalam hal ini peta lereng hasil analisis dari peta RBI secara manual diambil contoh untuk overlay karena pada peta ini tidak memerlukan proses filterisasi guna mendapatkan kelas lereng yang bersih (tanpa poligon berukuran kecil) karena keduanya dihasilkan dari interpretasi dan analisis manual. Gambaran hasil overlay disajikan pada Gambar 12, sedangkan besarnya persentase dari luas kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan disajikan pada Gambar 13. Gambar 12 Tumpang Tindih Antara Peta Bentuklahan dengan Peta Kelas Lereng

26 LEMBAH LUAS KELAS LERENG (ha) Lembah sungai lereng atas Lembah sungai dataran banjir dan teras aluvial A B C D E 120 (a) DATARAN LUAS KELAS LERENG (ha) A B C D E 0 Dataran puncak perbukitan, karst (b) Dataran Bergelombang LUAS KELAS LERENG (ha) PERBUKITAN A B C D E (c)

27 LUAS KELAS LERENG (ha) PEGUNUNGAN (d) A B C D E 35 Gambar 13 Diagram Hubungan Kelas Lereng dengan Bentuklahan (dikelompokan berdasarkan morfografi) (d) Pada Gambar 12 dapat dilihat hubungan antara bentuklahan dengan kelas kemiringan lereng yang dikelompokkan berdasarkan morfografi dalam hal ini adalah hubungan luasan kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan. Secara tabular persebaran luas kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan dapat dilihat pada Tabel 11 dan berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 13 tersebut terlihat bahwa pada bentuklahan dengan morfografi Lembah, kelas lereng C dan D mendominasi bentuklahan Lembah Sungai Lereng Atas, sedangkan pada bentuklahan Lembah Sungai Dataran Banjir dan Teras Alluvial lebih didominasi oleh kelas lereng A. Hal ini tampak logis karena bentuklahan yang pertama persebarannya berada di daerah perbukitan dan pegunungan atau di daerah erosional (hulu), sedangkan bentuklahan yang kedua berada di daerah hilir atau di daerah deposisional. Oleh sebab itu lembah sungai yang berada pada daerah perbukitan dan pegunungan di bagian selatan memiliki kelas lereng yang lebih curam di bandingkan dengan di daerah dataran bagian utara. Untuk bentuklahan dengan morfografi Dataran, sesuai dengan namanya maka kelas lereng A dan B lebih mendominasi bentuklahan ini. Dalam hal ini bentuklahan Dataran Puncak Perbukitan Karst lebih didominasi oleh kelas lereng B, sedangkan pada bentuklahan Dataran fluvio vulkanik lebih didominasi oleh kelas lereng A. Hal ini juga terkait dengan elevasi, dimana yang pertama mempunyai elevasi ± 140m, sedangkan yang kedua berada pada elevasi ± 500m. Elevasi berkaitan pula dengan proses geomorfik, dimana pada elevasi yang lebih tinggi umumnya terjadi proses denudasional, sedangkan pada elevasi yang lebih rendah terjadi proses deposisional yang umumnya menghasilkan lereng dengan kemiringan kelas A. Pada bentuklahan dengan morfografi perbukitan, kelas lereng yang mendominasi bentuklahan tampak lebih bervariasi tergantung pada jenis bentuklahannya. Di grup perbukitan ini terdapat 7 jenis bentuklahan dimana morfografi tebing dimasukkan di dalamnya. Pada bentuklahan Tebing Karst (K2) kelas kemiringan lereng yang mendominasi adalah kelas D, sedangkan pada bentuklahan Perbukitan Karst Tertoreh Sedang (K1) lebih didominasi oleh kelas lereng B dan C. Hal ini cukup relevan dikarenakan tebing karst merupakan bagian ujung atau tepi dari bentuklahan berbatugamping yang umumnya mempunyai batas lereng yang tegas. Untuk bentuklahan Perbukitan Denudasional Berbatu Liat, baik yang tertoreh ringan, sedang, maupun kuat (D2, D3, D4), kelas kemiringan lereng yang mendominasi adalah kelas kemiringan lereng B, C, dan D. Dalam hal ini

28 36 bentuklahan D2 dan D4 (tertoreh ringan dan berat) lebih didominasi oleh kelas lereng C dan D, sedangkan bentuklahan D3 (tertoreh sedang) didominasi oleh kelas kemiringan lereng B dan C. Torehan tampaknya mempuyai hubungan yang erat dengan dominasi kelas lereng (bentuklahan D4 dan D3), kecuali untuk bentuklahan D2. Hal ini mungkin disebabkan oleh posisi bentuklahan D2 yang berada pada elevasi paling rendah ( m) dibandingkan dengan bentuklahan D3 ( m) dan D4 ( m) dengan demikian bentuklahan D2 mempunyai tingkat torehan paling ringan. Tingkat kemiringan perlapisan batuan (dip) batuliat yang menyusun perbukitan ini, yang mungkin juga mempengaruhi kemiringan lereng, tidak diamati dalam penelitian ini (di lapangan). Untuk bentuklahan Perbukitan Denudasional Vulkanik baik yang teroreh ringan dan sedang (DV1 dan DV2) didominasi oleh kelas kemiringan lereng B dan C berturut-turut. Dalam hal ini tingkat torehan juga tampak berpengaruh terhadap dominasi kelas kemiringan lereng, dimana tingkat torehan yang lebih tinggi lebih didominasi oleh kelas kemiringan lereng yang lebih besar. Pada bentuklahan dari grup morfografi pegunungan, terdapat 6 jenis bentuklahan yang kesemuanya tersusun dari material vulkanik sehingga diklasifikasikan sesuai dengan posisi topografinya, yaitu yang berada pada lereng bawah, lereng atas, dan lainnya. Untuk bentuklahan Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Vulkanik Tertoreh Ringan (DV4) lereng yang mendominasi adalah kelas kemiringan C, D, dan B yang ketiganya tidak mempunyai perbedaan luasan yang sangat menyolok, sedangkan untuk yang berada pada lereng atas, baik yang tertoreh ringan, sedang, maupun kuat (DV5, DV6, DV7), lereng yang mendominasi berturut-turut adalah kelas kemiringan B-C, C-D, dan D. Pada bentuklahan ini juga tampak ada hubungan erat antara tingkat torehan dengan dominasi kelas lereng. Adapun untuk bagian yang lain, yaitu pada bentuklahan Pegunungan Denudasional Vulkanik Tertoreh Sedang dan Kuat (DV7 dan DV8) hubungan antara tingkat torehan dengan dominasi lereng juga tampak jelas, dimana untuk yang tertoreh sedang didominasi oleh kemiringan lereng kelas B-C, dan untuk yang tertoreh kuat didominasi oleh kelas kemiringan lereng D. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa selain proses geomorfik dan material penyusun bentuklahan, maka tingkat torehan juga mengindikasikan dominasi kelas lereng pada setiap bentuklahan di wilayah hulu.

29 37 Tabel 13 Nama Bentuklahan dan Luas Persebaran Kelas Lereng di DAS Cileungsi No KODE Nama Bentuklahan Kelas Kemiringan Lereng 1 FV Dataran fluvio vulkanik A,B,C A(87,30%) B(3,50) C (9,20%) 2 D2 Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh ringan A, B, C,D A(7,71%) B(22,02%) C(38%%) D(32,25%) 3 D3 Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh sedang A,B,C,D A(10,01%) B(51,56%) C(31,61%) D(6,73%) 4 D4 Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh kuat A,B,C,D A(3,78%) B(13,63%) C(43,24%) D(39,35%) 5 F1 Lembah sungai A,B,C,D,E A(26,59%) B(2,12%) C (35,56%) D(39,53%) E(0,39%) 6 F2 Lembah sungai, dataran banjir dan teras alluvial A,B,C,D A(78,65%) B(18,3%) C(2,5%) D(0,6%) 7 K1 Perbukitan karst tertoreh sedang A, B, C,D A(20,6%) B(43,3%) C(30,5%) D(4,3%) E(0,04%) 8 K2 Tebing karst A,B,C,D,E A(0,3%) B(7,6%) C(27,4%) D(52,4%) E(12,3%) 9 K3 Dataran puncak perbukitan, karst A,B,C A(26,30%) B(71,20%) C (2,50%) 10 DV1 perbukitan denudasional vulkanik tertoreh ringan A,B,C,D A(19,51%) B(47,67%) C(24,75%) D(8,07%) 11 DV2 perbukitan denudasional vulkanik tertoreh sedang A,B,C,D,E A(0,77%) B(27,07%) C(43,08%) D(28,55%) E(0,54%) 12 DV3 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sangat ringan A,B,C,D A(12,74%) B(59,65%) C(12,8%) D(15,26%) 13 DV4 Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik tertoreh ringan B,C,D B(38,38%) C(44,41%) D(17,20%) 14 DV5 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh ringan A,B,C,D,E A(4,95%) B(42,72%) C(30,64%) D(20,13%) E(1,56%) 15 DV6 lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sedang B,C,D B(12,94%) C(46,32%) D(40,75%) 16 DV7 pegunungan denudasional vulkanik tertoreh kuat A,B,C,D,E A(0,04%) B(1,8%) C(16,92%) D(75,46%) E(5,78%) 17 DV8 Pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sedang A,B,C,D A(3,39%) B(65,74%) C(21,18%) D(9,69%)

PEMETAAN KEMIRINGAN LERENG BERBASIS DATA ELEVASI DAN ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KEMIRINGAN LERENG DENGAN BENTUKLAHAN SILVIA HELGA AFWILLA

PEMETAAN KEMIRINGAN LERENG BERBASIS DATA ELEVASI DAN ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KEMIRINGAN LERENG DENGAN BENTUKLAHAN SILVIA HELGA AFWILLA PEMETAAN KEMIRINGAN LERENG BERBASIS DATA ELEVASI DAN ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KEMIRINGAN LERENG DENGAN BENTUKLAHAN SILVIA HELGA AFWILLA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR) FATRIANI LUKMAN

HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR) FATRIANI LUKMAN HUBUNGAN GEOMORFOMETRI DENGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: DAS CILEUNGSI-CITEUREUP, KABUPATEN BOGOR) FATRIANI LUKMAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo DATA DEM DALAM ANALISIS MORFOMETRI (Aryadi Nurfalaq, S.Si., M.T) 3.1 Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN. Abstrak

PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN. Abstrak PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN ASAL PROSES FLUVIAL DI WILAYAH KARANGSAMBUNG Puguh Dwi Raharjo Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Abstrak Obyek kajian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI 4. 1 Pengambilan dan Pengolahan Data Pengukuran laju infiltrasi di daerah penelitian menggunakan alat berupa infiltrometer single ring. Hasil pengujian

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbandingan Data Elevasi 1. DEM dan Kontur BIG Perbandingan antara data elevasi DEM dan Kontur BIG disajikan dalam perbandingan 100 titik tinjauan elevasi yang tersebar merata

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel

KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI. didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel 3.1) dan dalam

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah Kota Bogor yang terletak di antara 106 0 43 30 106 0 51 00 Bujur Timur dan 6 0 30 30 6 0 41 00 Lintang Selatan.

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis) 5 PEMBAHASAN 5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya 5.1.1 Pulau Kecil Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau struktural dan di daerah penelitian didominasi

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi tanah dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, baik dari geologi, geomorfologi, pertanian, peternakan, ataupun keteknikan. Tanah dari sudut pandang geomorfologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Analisis Data DEM/DTM Untuk mengetahui kualitas, persamaan, dan perbedaan data DEM/DTM yang akan digunakan untuk penelitian, maka dilakukan beberapa analisis. Gambar IV.1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv SARI... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... x DAFTARTABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB 1 PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi. BENTUK LAHAN ASAL VULKANIK 1.Dike Terbentuk oleh magma yang menerobos strata batuan sedimen dengan bentuk dinding-dinding magma yang membeku di bawah kulit bumi, kemudian muncul di permukaan bumi karena

Lebih terperinci

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi?

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi? PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA Suroso Sastroprawiro Bambang Kuncoro Hadi Purnomo Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Contact person: 08122953788

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA

GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA Fisiografi Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

Pemetaan Geologi Skala 1:50000 dengan Menggunakan Citra Radarsat 2 dan Landsat 8 (Studi Kasus : Nangapinoh Provinsi Kalimantan Barat)

Pemetaan Geologi Skala 1:50000 dengan Menggunakan Citra Radarsat 2 dan Landsat 8 (Studi Kasus : Nangapinoh Provinsi Kalimantan Barat) Pemetaan Geologi Skala 1:50000 dengan Menggunakan Citra Radarsat 2 dan Landsat 8 (Studi Kasus : Nangapinoh Provinsi Kalimantan Barat) Oleh : Desi Ismawati (3510 100 027) Dosen Pembimbing : 1.Prof. Dr.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR PETA... INTISARI... ABSTRACT... i ii iii iv

Lebih terperinci

INTEGRASI DATA PENGINDERAAN JAUH CITRA LANDSAT 8 DAN SRTM UNTUK IDENTIFIKASI BENTUK LAHAN DOME KULONPROGO

INTEGRASI DATA PENGINDERAAN JAUH CITRA LANDSAT 8 DAN SRTM UNTUK IDENTIFIKASI BENTUK LAHAN DOME KULONPROGO INTEGRASI DATA PENGINDERAAN JAUH CITRA LANDSAT 8 DAN SRTM UNTUK IDENTIFIKASI BENTUK LAHAN DOME KULONPROGO 1 2 Ignatius Adi Prabowo, Dianto Isnawan Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN

PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH DI UNIT GEOMORFOLOGI DAERAH ALIRAN (DA) CI MANDIRI, SUKABUMI TAHUN 1989 2014 Amalia Fathiningrum 1, Supriatna 2 dan Hari Kartono 3 123 Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus Universitas

Lebih terperinci

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian Jurnal Geografi Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian PENGGUNAAN DATA PENGINDERAAN JAUH DALAM ANALISIS BENTUKAN LAHAN ASAL PROSES FLUVIAL DI WILAYAH KARANGSAMBUNG Puguh Dwi Raharjo¹

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendiskripsikan bentuklahan, proses-proses yang bekerja padanya dan menyelidiki kaitan antara bentuklahan dan prosesproses tersebut

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbandingan Peta Topografi 1. DEM dan Kontur RBI Perbandingan peta topografi antara data DEM dan Kontur RBI disajikan dalam bentuk degredasi warna yang diklasifikasikan menjadi

Lebih terperinci

KONDISI W I L A Y A H

KONDISI W I L A Y A H KONDISI W I L A Y A H A. Letak Geografis Barito Utara adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Kalimantan Tengah, berada di pedalaman Kalimantan dan terletak di daerah khatulistiwa yaitu pada posisi 4 o

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran.

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Dalam kegiatan penelitian ini, objek yang diteliti dan dikaji adalah sebagai berikut. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Bendung Kaligending terletak melintang di Sungai Luk Ulo, dimana sungai ini merupakan salah satu sungai yang cukup besar potensinya dan perlu dikembangkan untuk dimanfaatkan

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA PULAU BALI 1. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8 3'40" - 8 50'48" Lintang Selatan dan 114 25'53" -

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN FISIK LAHAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2016

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN FISIK LAHAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2016 ANALISIS POTENSI KEKERINGAN FISIK LAHAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2016 Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Geografi Fakultas Geografi Oleh: LILIS ISTIYANI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian ini secara fisiografi menurut van Bemmelen (1949)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian ini secara fisiografi menurut van Bemmelen (1949) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Daerah Penelitian Daerah penelitian ini secara fisiografi menurut van Bemmelen (1949) merupakan sebagian dari Zona Bogor bagian Timur (Gambar 2.1). Zona Bogor merupakan

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... i ii iii v ix x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 18 Geologi Daerah Penelitian BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1. Geomorfologi Daerah Penelitian merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian yang berkisar antara 40-90 meter di atas

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci