2. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu. berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu. berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai salah satu Kabupaten Administrasi berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Negara Republik Indonesia. Secara geografis letak Kepulauan Seribu berada di koordinat BT dan LS. Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa disebelah Utara, Barat, Timur dan sebelah Selatan berbatasan langsung dengan perairan Jakarta Utara, Banten dan Jawa Barat. Kepulauan Seribu memiliki luas perairan perairan dan gugusan pulau sekitar 1.180,80 Ha. Ditinjau dari letak kontinental dan karakter oseanografisnya, perairan Kepulauan Seribu mempunyai iklim muson tropis, yakni adanya pergantian arah angin setiap setengah tahun yang disebut angin muson. Banyaknya uap air laut yang berpengaruh terhadap suhu udara. Hal ini juga sebagai akibat karena Kepulauan Seribu berada pada daerah equator yang mempunyai sistem equator yang dipengaruhi variasi tekanan udara. Musim basah mencapai kondisi maksimum pada bulan Januari, sedang musim kering mencapai puncak pada bulan Juni-Agustus. Pengaruh musim terlihat sebagai tiupan angin Barat Laut- Utara yang kuat selama musim Barat pada bulan Oktober -April; serta angin Tenggara-Timur pada musim Tenggara atau Timur pada bulan Mei September. Musim hujan berlangsung pada bulan November-April dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei- Oktober dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (BPLHD DKI Jakarta 2002). 3

2 Karakteristik dan Jenis Gelombang Laut Gelombang permukaan merupakan gerakan berombak dari permukaan air yang dihasilkan oleh tiupan angin diatasnya (Bascom 1959 dalam Bird 1984). Gelombang terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfer (angin), gempa bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari/ pasut), gaya coriolis (akibat rotasi bumi) dan tegangan permukaan (Komar 1998). Menurut Davis (1991), ada tiga faktor yang menentukan karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin yaitu: Pertama, lama angin bertiup atau durasi angin, Kedua, kecepatan angin dan Ketiga, fetch merupakan jarak yang ditempuh oleh angin dari arah pembangkit gelombang atau daerah pembangkit gelombang. Menurut Komar (1998) menyatakan bahwa gelombang akan mentransfer energi melalui partikel air sesuai dengan arah hembusan angin. Mekanisme transfer energi yang terjadi terdiri dari dua bentuk, yaitu: Pertama, akibat adanya variasi tekanan angin pada permukaan air yang diikuti oleh pergerakan gelombang dan Kedua, transfer momentum dan energi dari gelombang frekuensi tinggi ke gelombang frekuensi rendah (periode tinggi dan panjang gelombang besar). Viskositas air laut secara langsung dapat mempengaruhi efek dari tekanan angin, sehingga kecepatan angin permukaan menghilang makin menuju ke arah dalam perairan dan di kedalaman tertentu menjadi nol (Hutabarat dan Evans 2006). Prediksi suatu penjalaran gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang terjadi di daerah ekosistem terumbu karang sangat lah penting untuk dipelajari dari segi karakteristiknya. Menurut Longuet-Higgins and Stewart (1962) dalam Lowe et al (2005) gelombang pecah yang terjadi di terumbu karang, mampu meningkatkan

3 5 ketinggian permukaan air rata-rata dan gradien tekanan yang kemudian memengaruhi pergerakan sirkulasi hewan-hewan di terumbu tersebut. Pergerakan gelombang yang diikuti oleh arus memiliki peran penting dalam transport nutrien untuk karang, sedimen, plankton dan larva. Selain itu, gelombang juga merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam penentuan morfologi dan komposisi bentik terumbu karang (Lowe et al. 2005). Gelombang yang bergerak menuju pantai akan mengalami deformasi gelombang sebagai akibat dari perubahan kedalaman suatu perairan yang cenderung dangkal. Menurut Triatmodjo (1999) ada tiga deformasi gelombang yang terjadi ketika mendekati pantai akibat perbedaan kedalaman sebelum akhirnya mengalami pemecahan gelombang (wave breaking), yaitu refraksi, difraksi dan refleksi. Menurut Carter (1993) arah perambatan berangsur-angsur berubah dengan berkurangnya kedalaman, sehingga dapat diamati bahwa muka gelombang cenderung sejajar dengan kontur kedalaman. Refraksi terjadi jika suatu gelombang datang membentuk suatu kemiringan terhadap pantai yang mempunyai kemiringan dasar landai dengan kontur-kontur kedalaman sejajar dengan garis pantai, maka puncak gelombang akan berubah arah dan cenderung menjadi sejajar dengan garis pantai. Bila kondisi pantai cenderung landai, ada kemungkinan gelombang tidak pecah tapi mengalami pemantulan yang sering disebut refleksi. Arah perambatan gelombang juga dapat berubah dan mengalami pembelokan selain diteruskan kembali ketika melewati kedalaman yang konstan dan menuju kesuatu pulau atau zona pemecah gelombang, yang juga disebut difraksi gelombang.

4 6 Berdasarkan CERC (1984) dalam Siwi (2008) mengatakan bahwa refraksi dan pendangkalan gelombang dapat menentukan ketinggian gelombang pada kedalaman tertentu serta distribusi energi gelombang sepanjang pantai. Perubahan gelombang yang terjadi dari hasil refraksi akan menghasilkan suatu daerah energi gelombang konvergen (memusat) jika mendekati semenanjung atau divergen (menyebar) ketika menemui cekungan (Pariwono 1992). Menurut Sorensen (1991) pada umumnya ada tiga penggolongan gelombang pecah yang ada pada suatu kemiringan pantai, yaitu: spilling, plunging dan surging. Plunging terjadi dikarenakan seluruh puncak gelombang melewati kecepatan gelombang dan umumnya berbentuk swell atau gelombang-gelombang panjang. Spilling merupakan bentuk pecah gelombang dengan muka gelombang sudah pecah sebelum sampai ke pantai, sedangkan gelombang dengan muka gelombang yang belum pecah dan mendekati garis pantai serta sempat mendaki kaki pantai sering disebut surging. Menurut Sachoemar (2008) kondisi Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim. Pada saat terjadi musim timur, tinggi gelombang air laut mencapai 0,5-1,0 meter dan tinggi gelombang pada musim barat mencapai 2-3 meter. Kecepatan gelombang rata-rata yang terjadi disekitar Kepulauan Seribu mencapai 1 knot. Pengukuran di Pulau Pramuka tercatat memiliki tinggi rata-rata gelombang mencapai 69,6-70 cm dengan periode gelombang 2,4-6,3 detik. Karakteristik perambatan gelombang di daerah tubir akan lebih besar dibandingkan perambatan yang terjadi di daerah dangkal. Peredaman gelombang terjadi ketika gelombang menjalar di daerah rataan karang dangkal.

5 Karakteristik dan Jenis Arus Laut Arus laut merupakan pergerakan massa air laut secara horizontal atau vertikal sehingga menuju keseimbangannya atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi di seluruh lautan dunia. Pergerakan arus dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: arah angin, perbedaan tekanan air, perbedaan densitas air, gaya Coriolis dan arus Ekman, topografi dasar laut, arus permukaan, upwelling dan downwelling (Wyrtki 1961). Menurut Gross (1990), Berdasarkan gaya-gaya yang menimbulkannya, arus dibagi menjadi 4 macam, yaitu: 1. Arus bentukan angin (Wind Driven Current) yang disebabkan oleh gesekan angin. 2. Arus geostropik (Geostropic Curren) yang disebabkan oleh adanya gradien tekanan mendatar dan gaya coriolis 3. Arus termohalin (Thermohaline Current) yang disebabkan oleh adanya perbedaan jenis suhu air laut. 4. Arus pasang surut (Tidal Current) yang disebabkan oleh adanya gaya pembangkit pasang surut. Metode pengambilan data arus dibagi menjadi dua, yaitu secara langsung (in situ) dan tidak langsung (ex situ). Adapun pengambilan data arus secara langsung terdiri dari metode pengukuran pada titik tetap (Euler) dan metode Langrangiang, yaitu dengan benda hanyut (drifter), kemudian mengikuti gerakan aliran massa air laut. Selain itu, pengukuran arus secara insitu dapat dilakukan dengan sistem mooring, yaitu menempatkan current meter pada kedalaman tertentu dengan dilengkapi acoustic release yang berfungsi untuk melepas rangkaian mooring dan akan mencatat data arus yang akan disimpan ke dalam komputer dalam bentuk data numerik. Pengambilan data arus secara tidak langsung terbagi menjadi dua, yaitu menggunakan satelit altimetri dan model hidrodinamika.

6 8 Menurut Seeber (1993) pengukuran arus menggunakan satelit altimetri sudah berkembang sejak Informasi utama yang ingin ditentukan dengan satelit altimetri adalah topografi muka laut. Hal ini dilakukan dengan mengukur ketinggian satelit di atas permukaan laut menggunakan waktu tempuh dari gelombang elektromagnetik yang dikirimkan kepermukaan laut dan dipantulkan kembali ke satelit sehingga menghasilkan data rekaman waktu tempuh gelombang elektromagnetik untuk menentukan lokasi dan kecepatan arus. Pengukuran arus dengan membangun model hidrodinamika adalah dengan mengubah fenomena oseanografi ke dalam persamaan numerik yang bersifat diskret. Kecepatan arus pada daerah Kepulauan Seribu sebesar 5-49 cm/detik ketika pasang purnama dan mencapai 4-38 cm/detik ketika pasang perbani (Sachoemar 2008) Ekosistem Terumbu Karang Karang Terumbu Karang adalah hewan yang mampu memproduksi kerangka kalsium karbonat dan hampir seluruhnya memiliki zooxanthellae (Spalding et al. 2001). Menurut Nybakken (1992) terumbu karang merupakan suatu bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota, baik hewan maupun tumbuhan secara terusmenerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut yang menghasilkan rangka kapur, kemudian secara keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur. Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang mampu membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Ada empat tipe asosiasi

7 9 karang yaitu (1) karang yang bersimbiosis dengan alga (zooxanthellae) dan menghasilkan terumbu, (2) karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae) tetapi tidak menghasilkan terumbu, (3) karang yang tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae tetapi menghasilkan terumbu, dan (4) karang yang tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae dan tidak menghasilkan terumbu (Veron, 1986). Selain hewan karang yang termasuk kategori bentik terumbu adalah makro benthos (others), berupa kima, ekhinodermata, moluska, spons, makro alga Ikan Terumbu Ikan terumbu merupakan organisme yang memiliki peranan penting di ekosistem terumbu karang, sehingga dengan adanya keberadaan ikan terumbu di ekositem terumbu karang menjadikan daerah ekosistem terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya (Nybakken 1982). Ikan terumbu memanfaatkan ekosistem terumbu karang sebagai daerah mencari makanan, perlindungan dari predator dan lain-lain (Hutomo 1986). Komunitas ikan terumbu tidak terlepas dari faktor fisik yang memengaruhi kelangsungan hidup, yaitu: suhu, cahaya, kedalaman dan gelombang. Keberadaan ikan terumbu di perairan sangat bergantung pada kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persen penutupan terumbu karang hidup. Adapun beberapa komponen yang penting diperhatikan dalam hal mengkaji komunitas ikan terumbu, yaitu: distribusi ikan terumbu dan struktur komunitas ikan terumbu Distribusi Ikan Terumbu Menurut Hutomo (1995) bahwa distribusi harian ikan terumbu dibagi menjadi tiga, yaitu ikan terumbu yang aktif pada saat siang hari (diurnal),

8 10 peralihan siang dan malam (crepuscular) dan saat malam hari (nokturnal). Ikan terumbu sebagian besar di dominasi oleh ikan diurnal (siang hari). Ikan terumbu yang sifatnya diurnal mencari makan dan beraktifitas di daerah permukaan terumbu karang dan memakan plankton yang melewati terumbu karang. Beberapa famili ikan-ikan diurnal, seperti: Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Acanthuridae, Labridae, Lutjanidae, Serranidae, Siganidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blenniidae dan Gobiidae. Adapun famili yang termasuk dalam ikan nokturnal adalah: Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Scorpaenidae, Muraenidae, Serranidae dan beberapa Labridae. Ikanikan nokturnal pada siang hari mereka menempati celah-celah karang dan menetap di daerah gua-gua (Allen dan Steene 1987). Faktor kedalaman memiliki peran penting dalam distribusi ikan terumbu. Pada umumnya ikan terumbu memiliki kisaran kedalaman yang relatif sempit. Hal ini disebabkan oleh faktor ketersediaan makanan, dinamikagelombang/ombak dan predator. Ikan akan cenderung membuat daerah teritorial yang kaya akan makanan dan menghindari pecahan gelombang dengan menempati daerah yang lebih dalam. Menurut Montgomery et al. (1980) Famili Pomacentridae merupakan ikan terumbu yang cukup tinggi keanekaragaman spesiesnya. Pola yang cerah dan unik, ukuran yang bervariasi namun pada umumnya berukuran kecil dan jumlah yang sangat melimpah sehingga mudah dikenali. Ikan terumbu ini menempati hampir di setiap bentuk morfologi terumbu karang, sebagian besar ikan ini bersifat teritorial, spasial dan relatif stabil. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 300 spesies dari 22 genus dan sekitar 100 spesies dari 18 genus Famili Pomacentridae mendiami perairan Samudra Hindia.

9 11 Menurut Kuiter (1992) Famili Labridae merupakan ikan terumbu yang dominan ditemukan di ekosistem terumbu karang dengan ukuran yang bervariasi, selain Famili Pomacentridae. Labridae pada umumnya merupakan omnivora, pemakan udang, bintang laut, gastropoda, zooplankton, ikan-ikan kecil dan alga. Mayoritas ikan terumbu ini cenderung menetap pada suatu lokasi atau mengelompok di suatu bentuk terumbu tertentu seperti genus Cirrhilabrus dan Paracheilinus dan mereka akan membentuk suatu kelompok besar ketika memakan plankton yang berada di sekitar terumbu karang. Banyak dari spesies ikan terumbu ini hidup dengan nyaman pada setiap lokasi terumbu karang. Ikan Famili Labridae ini banyak ditemukan di perairan hangat dengan kedalaman 3 hingga 20 meter (Kuiter 1992). Famili Chaetodontidae merupakan jenis yang ikan terumbu yang dominan ditemui di ekosistem terumbu karang. Famili Chaetodontidae merupakan ikan terumbu yang dijadikan sebagai indikator kesehatan perairan ekosistem terumbu karang (Adrim et al. 1991). Penyusutan jumlah Famili Chaetodontidae berbanding lurus dengan kerusakan ekositem terumbu karang. Ikan Famili Chaetodontidae banyak ditemukan pada kedalaman kurang dari meter. Ketersediaan makanan juga mempengaruhi distribusi ikan terumbu ini, yaitu: invertebrata kecil, karang lunak, alga, plankton, karang batu dan lainnya. Pada umumnya ikan-ikan terumbu yang dijadikan konsumsi mendiami lapisan dasar terumbu karang, celah-celah karang dan lebih dominan soliter kecuali Famili Caesionidae dan Siganidae. Famili yang dijadikan target sebagai ikan konsumsi adalah Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Holocentridae,

10 12 Siganidae dan lainnya (Adrim 1993). Ukuran tubuh ikan-ikan target ini biasanya lebih besar dibandingkan ikan-ikan terumbu lainnya. Distribusi spasial ikan terumbu berhubungan dengan karakteristik habitat dan interaksi di antara ikan-ikan terumbu tersebut. Distribusi spasial beberapa jenis ikan terumbu secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik habitat tertentu. Karakteristik habitat yang paling berperan dalam distribusi ikan terumbu secara berurutan adalah arus dan gelombang, kecerahan, suhu air dan kedalaman Struktur Komunitas Ikan Terumbu Keanekaragaman spesies ikan terumbu mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaaan terumbu karang di perairan tersebut. Tingkah laku ikan terumbu baik dari kecenderungan untuk berkelompok, mencari makan, dan bertahan dari serangan predator tidak terlepas dari lingkungan yang berstruktur akibat bentuk terumbu yang komplek (Hutomo 1995). Faktor yang memengaruhi keberadaan ikan terumbu antara lain: habitat ikan yang terlindung dari angin (leeward) atau tidak terlindung oleh angin (windward) (Nagelkerken 1981), topografi dasar perairan (Amesbury dalam Hutomo 1986) dan penutupan karang hidup atau mati. Kumpulan ikan terumbu masing-masing memiliki habitat yang berbeda, tetapi banyak spesies yang terdapat pada lebih dari satu habitat. Pada umumnya tiap spesies ikan terumbu yang mendiami suatu perairan memiliki kesukaan habitat tertentu (Hutomo 1986). Ekosistem terumbu karang tidak hanya berupa terumbu saja, tetapi daerah pasir, teluk dan celah, daerah alga, dan perairan dangkal serta dalam. Habitat yang beranekaragam ini dapat menerangkan peningkatan jumlah ikan-ikan terumbu tersebut (Nybakken 1982).

11 13 Menurut English etal. (1994) bahwa ruang merupakan sumber daya terpenting sebagai faktor pembatas utama bagi kelimpahan ikan terumbu di ekositem terumbu karang dibandingkan makanan. Kepemilikan teritorial sangat mempengaruhi penggunaan ruang dan variasi spasial berkaitan erat dengan kerumitan habitat secara topografi. Namun dengan adanya sistem rantai makanan yang terjadi diantara ikan-ikan terumbu dapat mengurangi persaingan ruang di ekosistem terumbu karang (Luckhurst dan Luckhurst 1978). Tipe pemangsaan yang paling umum di ekosistem terumbu karang adalah karnivora, yang berkisar 50-70% dari seluruh spesies ikan terumbu. Ikan herbivora dan koralivora merupakan kelompok ikan terumbu besar kedua yaitu sebesar 15% dari spesies ikan terumbu dengan ikan yang paling dominan adalah Scaridae dan Acanthuridae. Ikan terumbu yang tergolong sebagai omnivora, zooplankton memiliki persentase sisa dari tipe pemangsa karnivora, herbivora dan koralivora, yaitu ikan famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Monacanthidae (Nybakken 1982). Ikan terumbu yang tergolong herbivora adalah ikan-ikan yang aktif di siang hari dengan postur mulut yang kecil dan berwarna cemerlang dan beberapa jenis pada umumnya membentuk kelopok yang cepat bergerak, sedangkan ikan terumbu yang tergolong karnivora pada umumnya mencari mangsa di malam hari (nokturnal) Uji Deskriptif Ekostruktur Ikan Terumbu dan Hidrodinamika Keterkaitan suatu fenomena di alam tidak selamanya dapat dihitung menggunakan perumusan aljabar maupun sistematika. Hal ini memicu para ilmuwan untuk mengembangkan suatu metode untuk mengkaitkan fenomena alam

12 14 yang mengalami perubahan dalam suatu lingkungan dengan mengkaitkan parameter- parameter yang telah diambil dan di olah secara deskriptif. Fenomena gerak massa air permukaan yang dikaitkan dengan ekostruktur ikan terumbu sebagaimana dikaji dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa perhitungan seperti: indeks kesamaan (Index of Similarity), analisis pengelompokkan (Cluster Analysis) dan analisis koresponden (Correspondence Analysis) Koefisien Kesamaan (Index of Similarity) Pengukuran kesamaan merupakan koefisien yang sebagian besar terdeskripsi, tidak menilai dari beberapa pengukuran statistik. Menurut Krebs (1989) ada dua kelas dalam pengukuran kesamaan yaitu: koefisien kesamaan biner dan koefisien kesamaan kuantitatif. Koefisien kesamaan biner bisa digunakan ketika tersedia data yang bersifat ada-tidak untuk tiap spesies dalam komunitas ikan terumbu dan tepat digunakaan untuk pengukuran skala nominal. Koefisien kesamaan kuantitas dibutuhkan pengukuran kelimpahan relatif dari tiap spesies. Beberapa pengukuran kelimpahana relatif adalah jumlah individu, biomassa, produktivitas dan pengukuran kuantitas spesies yang penting lainnya dalam komunitas. Menurut Krebs (1989) beberapa perhitungan yang berbeda yang termasuk kedalam koefisien kesamaan biner dan kuantitas. Pada Tabel 1. ditunjukkan perbedaan perhitungan dan rumus serta kriteria pemakaian koefisien tersebut.

13 15 Tabel 1. Kriteria Pemakaian Koefisien Kesamaan Biner dan Kuantitas (Krebs 1989) Kelas Koefisien Rumus Kriteria Coefficient of Jaccard S Koefisien ini digunakan untuk mencocokkan berat dalam komposisi spesies antara dua sampel yang berbeda Binari Coefficient of Sorensen Simple Matching Coefficient Baroni-Urbani and Buser Coefficient S S S Koefisien ini digunakan ketika tidak ada dalam sampel tetapi ada dalam komunitas yang sama Koefisien sederhana untuk data biner menggunakan data negatif maupun positif Koefisien kompleks untuk data biner yang menggunakan nilai negatif Kuantitatif (Koefisien Jarak) Jarak Euclidean Indeks Bray-Curtis Indeks Canberra = ( ij ik) = ij ik ( ij + ik) Measure of Similarity: 1,0 = 1 ij ik ij + ik Measure of Similarity: 1,0 Koefisien ini digunakan pada jumlah kelas dari fungsi matriks untuk mengukur panjang Digunakan ketika spesies tidak ada di dalam kedua atau lebih sampel komunitas dan kelimpahan didominasi oleh satu/beberapa spesies Hampir sama dengan Bray-Curtis namun tidak berpengaruh besar dengan penggunaan data kelimpahan.

14 Analisis Pengelompokkan (Cluster Analysis) Analisis pengelompokkan (clustering) merupakan teknik matematis untuk mengelompokkan sejumlah sampel yang memiliki indeks pengukuran kesamaan satu dengan yang lainnya. Menurut Krebs (1989) ada beberapa klasifikasi dalam metode pengelompokkan: Hirarki, aglomerasi, monotetik atau politetik, kualitatif atau kuantitatif. Single Linkage Clustering merupakan teknik pengelompokkan yang sederhana dengan bentuk analisis pengelompokkan berupa hirarki. Teknik ini sering disebut metode data terdekat. Complete Linkage Clustering sering disebut metode data terjauh. Konsep teknik ini berlawanan dengan Single Linkage Clustering, meskipun proses kerja yang dilakukan secara umum sama kecuali definisi kesamaannya. Average Linkage Clustering merupakan teknik yang sangat mudah dikembangkan untuk menghindari kesulitan dalam menggunakan Single Linkage Clustering dan Complete Linkage Clustering. Secara keseluruhan Average Linkage Clustering menggunakan komputerisasi tiap proses pengelompokkan/ clustering. Komputer meratakan kesamaan diantara sampel dan mengelompokkannya. Strategi pengelompokkan yang sering digunakan pada Average Linkage Clustering sering disebut Underweighted Pair-Group Method using aritmethic Average (UPGMA) Analisis Koresponden (Correspondence Analysis) Analisis koresponden (correspondence analysis) merupakan metode yang dapat mendeskripsikan berbagai tipe data yang berbeda, dependensi dan korespondensi antara dua himpunan karakter i dan j (contohnya: sektor spesies

15 17 dan stasiun). Menurut Bengen (2000) tujuan utama penggunaan analisis faktorial koresponden adalah untuk mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter/variabel pada tabel/matriks data. Bentuk data yang digunakan pada analisis koresponden memiliki dua tipe matriks, yaitu: pertama, matriks kontingensi yang mempertemukan n baris dan p kolom, pada baris ke-i dan kolom ke-j berisi nilai n (i,j) yang merupakan jumlah individu yang memiliki secara bersama karakter i dan j. Kedua, matriks logik/ disjungtif lengkap yang mempertemukan/ menyilangkan baris i dan kolom j (bernilai 1 dan 0) berdasarkan terjadi atau tidaknya fenomena pada baris i dan kolom j.

PENGARUH GELOMBANG DAN ARUS PERMUKAAN LAUT YANG DIBANGKITKAN ANGIN TERHADAP EKOSTRUKTUR IKAN TERUMBU DI KARANG KEPULAUAN SERIBU

PENGARUH GELOMBANG DAN ARUS PERMUKAAN LAUT YANG DIBANGKITKAN ANGIN TERHADAP EKOSTRUKTUR IKAN TERUMBU DI KARANG KEPULAUAN SERIBU PENGARUH GELOMBANG DAN ARUS PERMUKAAN LAUT YANG DIBANGKITKAN ANGIN TERHADAP EKOSTRUKTUR IKAN TERUMBU DI KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU MUCHAMAD GUFRON SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara.

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Arah dan Kecepatan Angin Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Ada beberapa data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data angin serta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab Definisi Arus Pergerakkan horizontal massa air Penyebab Fakfor Penggerak (Angin) Perbedaan Gradien Tekanan Perubahan Densitas Pengaruh Pasang Surut Air Laut Karakteristik Arus Aliran putaran yang besar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Gelombang merupakan salah satu fenomena laut yang paling nyata karena langsung bisa dilihat dan dirasakan. Gelombang adalah gerakan dari setiap partikel air laut yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER VI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kedalaman laut dan salinitas air laut. 2.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A.

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A. Bidang Studi Kode Berkas : GEOGRAFI : GEO-L01 (solusi) 1. B. Terjadinya efek Ekman menyebabkan massa air umumnya bergerak menjauhi daratan ke arah barat sehingga menyebabkan terjadinya upwelling di Cape

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto 1, Wahyu Andy Nugraha 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Fenomena dan dinamika

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Menjangan Kecil terletak di sebelah selatan Pulau Karimunjawa, yang memiliki luas 56,0 ha dengan 0,79% daratan. Pulau Menjangan Kecil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai ARUS LAUT. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai ARUS LAUT. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai ARUS LAUT Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 3. Arus TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Pulau Biawak Pulau Biawak terletak di sebelah utara pantai Indramayu secara geografis berada pada posisi 05 0 56 002 LS dan 108 0 22 015 BT. Luas pulau ± 120 Ha,

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pantai Ada dua istilah tentang kepantaian dalam bahasa indonesia yang sering rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai kepantaian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang hidup plantonik, merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS ARUS DAN GELOMBANG PERAIRAN BATU BELANDE GILI ASAHAN DESA BATU PUTIH KECAMATAN SEKOTONG LOMBOK BARAT

ANALISIS ARUS DAN GELOMBANG PERAIRAN BATU BELANDE GILI ASAHAN DESA BATU PUTIH KECAMATAN SEKOTONG LOMBOK BARAT 1 ANALISIS ARUS DAN GELOMBANG PERAIRAN BATU BELANDE GILI ASAHAN DESA BATU PUTIH KECAMATAN SEKOTONG LOMBOK BARAT Sukuryadi Dosen Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas Muhammadiyah Mataram Email

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Geografi Kepulauan Seribu Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, yang berlangsung selama 9 bulan, dimulai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Kepulauan Seribu sebagian besar diisi oleh 108 pulau karang dengan dasar batu karang, serta 30 pulau lainnya terletak di Teluk Jakarta. Terumbu karang Kepulauan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin Proses pembentukan gelombang oleh angin Menurut Komar (1976) bahwa angin mentransfer energi ke partikel air sesuai dengan arah hembusan angin.

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan di Kabupaten Bekasi yang terletak pada posisi 06 0 00 06 0 05 lintang selatan dan 106 0 57-107 0 02 bujur timur. Secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pantai 2.1.1. Pengertian Pantai Pengertian pantai berbeda dengan pesisir. Tidak sedikit yang mengira bahwa kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama, karena banyak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami TSUNAMI Karakteristik Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata tsu dan nami. Tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh masyarakat untuk menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang Usep Sopandi. C06495080. Asosiasi Keanekaragaman Spesies Ikan Karang dengan Persentase Penutupan Karang (Life Form) di Perairan Pantai Pesisir Tengah dan Pesisir Utara, Lampung Barat. Dibawah Bimbingan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk wilayah di Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angin Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal maupun secara vertikal dengan kecepatan bervariasi dan berfluktuasi secara dinamis. Faktor

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci