BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Fungsi gangguan vesika urinaria normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan vesika urinaria dapat (cdk: diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat. Salah satu penelitian pertama prevalensi neurogenic bladder di Asia adalah sebuah survei oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board) pada tahun 1998 yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70% perempuan) dari 11 negara (termasuk 499 dari Indonesia); didapatkan bahwa prevalensi neurogenic bladder secara umum pada orang Asia adalah sekitar 50,6%. Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya neurogenic bladder, sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medula spinalis berupa trauma yang merupakan penyebab akut serta memberikan manifestasi klasik. (cdk)

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Kandung Kemih Kandung kemih merupakan jalinan otot polos yang dibedakan atas kandung kemih dan leher kandung kemih. Bagian terbawah leher kandung kemih disebut sebagai uretra posterior karena berhubungan dengan uretra. Kandung kemih bagian fundus terdiri atas 3 lapisan otot polos yang saling bersilangan dan disebut otot detrusor. Pada dinding kandung kemih bagian posterior terdapat area berbentuk segitiga yang lazim disebut trigonum. Sudut bagian bawah segitiga merupakan bagian leher kandung kemih, yaitu muara uretra posterior, sedangkan kedua sudut lainnya merupakan muara kedua ureter. Kedua ureter menembus otot detrusor dalam posisi oblik dan memanjang 1-2 cm di bawah mukosa kandung kemih sebelum bermuara ke dalam kandung kemih. Struktur tersebut dapat mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter. (uki: Gerakan peristaltik ureter memungkinkan urin mengalir menuju kandung kemih karena peningkatan tekanan intraureter. Otot detrusor selain meluas ke seluruh kandung kemih juga meluas ke arah bawah dan mengelilingi leher kandung kemih sepanjang 2-3 cm lalu turun hingga ke uretra posterior yang disebut sebagai sfingter interna. Otot detrusor secara tidak langsung berfungsi sebagai katup mencegah pengosongan kandung kemih oleh leher kandung kemih dan uretra posterior hingga tekanan pada kandung kemih mencapai ambang potensial yang berlangsung secara otonom. Pada bagian bawah uretra posterior, uretra melalui diafragma urogenital yang terdiri dari kumpulan otot sfingter eksterna yang bekerja secara volunter. (uki) B. Struktur Otot Detrusor dan Sfingter Susunan sebagian besar otot polos kandung kemih apabila berkontraksi akan menyebabkan pengosongan pada kandung kemih. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher kandung kemih berbeda antara pria dan wanita di mana pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung kemih yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang equivalen. Sfingter uretra terdiri dari serabut otot lurik berbentuk sirkuler. Pada pria, sfingter uretra terletak tepat di distal prostat, sementara pada wanita

3 mengelilingi hampir seluruh uretra. Sfingter uretra secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pada pemeriksaan elektromiografi, otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada (usu: awal proses miksi. C. Persarafan Kandung Kemih dan Sfingter 1. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus) Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringan halus yang menutupi kandung kencing dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ- organ pelvis. Tak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglionik dan otot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan. (usu) 2. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral) Kandung kencing menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a.hipogastrik. Leher kandung kencing menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kencing pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kencing untuk mencegah ejakulasi retrograde. (usu) 3. Persarafan somantik (N.pudendus) Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai

4 diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah. (usu) 4. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sakral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi kandung kencing tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kencing yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut Aδ bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kencing dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kencing. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerahdaerah penting pada medula spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kencing dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen. (usu) D. Hubungan dengan Susunan Saraf Pusat 1. Pusat miksi pons Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-bulber-spinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur

5 sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kemih. Pusat miksi pons berperan sebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak. (usu) 2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kencing yang hiperrefleksi. (usu) E. Regulasi Fungsi Kandung Kemih 1. Kontinensia urin Didapat melalui aktivasi sfingter uretra internus dan eksternus, dan, pada perempuan, terutama melalui aktivasi otot-otot dasar panggul. Serabut eferen simpatis dari T11-L2 mengaktivasi reseptor-alfa sfingter internus dan juga diduga menghambat otot detrusor melalui mekanisme yang belum dapat ditentukan. Sfingter uretra eksternus adalah otot rangka yang seperti otot-otot dasar panggul menerima persarafan somatisnya melalui serabut eferen nervus pudendus (S2- S4). Ketika kandung kemih terisi dan tekanan dinding kandung kemih meningkat, kontraksi refleks involunter muskulus detrusor secara efektif dilawan oleh aktivasi sfingter internus oleh neuron motorik somatik sakral. Pada saat yang bersamaan, aktivasi simpatis lumbal menginduksi penutupan sfingter internus dan relaksasi muskulus detrusor. (duus) 2. Mikturisi Stimulus terpenting untuk mikturisi adalah regangan dinding kandung kemih yang mengeksitasi neuron eferen sensoris viseral, menginduksi keinginan untuk berkemih dan dengan bantuan pusat saraf yang lebih tinggi menyebabkan kontraksi muskulus detrusor. Otot yang cekung ini menerima persarafan parasimpatis dari medula spinalis sakral melalui nervus pelvikus. Pengosongan kandung kemih dipicu oleh penekanan abdomen somatik yang terkontrol secara volunter dan melalui relaksasi simultan sfingter uretra internus dan eksternus. Pada tingkat supraspinal, mikturisi dikontrol melalui pusat mikturisi pons yang membuat proyeksi serabut eferen desendens di traktus retikulospinalis medialis dan lateralis untuk mengoordinasikan relaksasi simultan sfingter internus dan sfingter eksternus serta kontraksi otot detrusor. Neurotransmiter glutamat mungkin berperan pada jaras ini. Pusat mikturisi pons secara anatomis tidak khas.

6 Pusat ini dapat dihambat melalui serabut aferen dari pusat yang lebih tinggi, termasuk korteks frontalis, girus cinguli, lobus parasentralis, dan ganglia basalis. ( duus) 3. Kontrol volunter berkemih Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih juga menyadarkan yang bersangkutan akan keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternus secara refleks melemas, memberi peringatan bahwa miksi akan segera terjadi. Akibatnya, kontrol volunter berkemih yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dini dapat mengalahkan refleks berkemih, sehingga pengosongan kandung kemih dapat berlangsung sesuai keinginan yang bersangkutan dan bukan ketika pengisian kandung kemih pertama kali mengaktifkan reseptor regang. Jika waktu refleks miksi tersebut dimulai kurang sesuai untuk berkemih, maka yang bersangkutan dapat dengan sengaja mencegah pengosongan kandung kemih dengan mengencangkan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Impuls eksitatorik volunter dari korteks serebri mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron motorik yang terlibat, sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar. Berkemih tidak dapat ditahan selamanya karena kandung kemih terus terisi maka sinyal refleks dari reseptor regang meningkat seiring waktu. Akhirnya, sinyal inhibitorik refleks ke neuron motorik sfingter eksternus menjadi sedemikian kuat, sehingga tidak lagi dapat diatasi oleh sinyal eksitatorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak terkontrol mengosongkan isinya. Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai, meskipun kandung kemih tidak teregang, dengan secara sengaja melemaskan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Turunnya dasar panggul memungkinkan kandung kemih turun, yang secara simultan menarik terbuka sfingter uretra internus dan meregangkan dinding kandung kemih. Pengaktifan reseptor regang yang kemudian terjadi akan menyebabkan kontraksi kandung kemih melalui refleks berkemih. Pengosongan kandung kemih secara sengaja dapat dibantu oleh kontraksi dinding abdomen dan diafragma pernapasan. Peningkatan tekanan intraabdomen yang ditimbulkan menekan kandung kemih ke bawah untuk mempermudah pengosongan. (sherwood) F. Disfungsi Kandung Kemih

7 Regulasi kontinensia dan mikturisi memerlukan kerjasama fungsional yang baik antara berbagai struktur anatomi, beberapa di antaranya terletak sangat jauh satu sama lain. Lesi pada berbagai lokasi yang berbeda pada sistem saraf pusat atau perifer dapat memiliki efek kerusakan pada fungsi kandung kemih dengan berbagai derajat. Disfungsi kandung kemih dapat terjadi akibat lesi anatomis/struktural kandung kemih atau uretra (disfungsi kandung kemih akibat penyebab urologis: tumor vesika urinaria, obstruksi infravesikal oleh striktururetra atau hipertrofi prostat), atau dapat disebabkan oleh lesi struktur saraf yang mempersarafi kandung kemih (disfungsi kandung kemih neurogenik). Lesi neural yang menyebabkannya dapat terjadi di jaras saraf perifer, pleksus otonom, medula spinalis, atau pusat yang lebih tinggi. (duus) Gangguan mekanisme kontrol supraspinal sering menyebabkan disfungsi kandung kemih pada pasien dengan multipel sklerosis, misalnya. Gangguan interaksi antara pusat miksi pons dan lainnya, pusat yang lebih tinggi yang memodulasinya berperan penting pada jenis disfungsi kandung kemih neurogenikyang terjadi pada penyakit neurodegeneratif, termasuk penyakit Parkinson. (duus) Disfungsi Kandung Kemih Neurogenik Manifestasi khas disfungsi kandung kemih neurogenik meliputi frekuensi dan urgensi mikturisi, inkontinensia, pengosongan kandung kemih yang sulit dan tidak lampias, dan infeksi saluran kemih berulang. Langkah awal untuk mendapatkan keberhasilan terapi adalah penegakan diagnosis klinik secara tepat. Berbagai aspek fungsi mikturisi harus diperhitungkan, termasuk jawaban terhadap beberapa pertanyaan berikut ini: kapan dan seberapa sering buang air kecil? Apakah buang air kecil lampias? Apakah keinginan buang air kecil normal, berkurang, atau sangat sering (urinary urgency)? Apakah infeksi saluran kemih telah disingkirkan? Apakah pasien dapat mengontrol mikturisinya? (duus) G. Patologi Gangguan Miksi Gangguan kandung kemih dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan kandung kemih: 1. Lesi supra pons Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya

8 inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunter. (usu) 2. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sakral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain: (duus) a. Instabilitas dan hiperrefleksi detrusor Ditandai oleh kontraksi detrusor secara prematur pada fase pengisian kandung kemih. Istilah instabilitas berarti berkurangnya inhibisi normal kontraksi detrusor; istilah hiperrefleksia menunjukkan bahwa gangguan neurologislah yang menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih. Dengan demikian, masalah klinis seperti kandung kemih neurogenik yang tidak terinhibisi, kandung kemih otomatis, dan instabilitas motorik kandung kemih semuanya berada dalam kategori etiologis hiperrefleksia detrusor. Pada kasus tersebut, lesi terdapat di atas medula spinalis sakral dan mengganggu fungsi proyeksi inhibisi suprasakral ke otot detrusor. Gejala utama hiperrefleksia detrusor terisolasi adalah urinary urgency yang sangat mendesak dengan inkontinensia yang mendesak dan rendahnya volume residu. Penyebab yang paling sering adalah sklerosis multipel, gangguan serebrovaskular, normal pressure hydrocephalus, Parkinson, trauma medula spinalis, dan trauma atau tumor yang mengenai lobus frontal otak. b. Dissinergia detrusor-sfingter (DDS) Didefinisikan sebagai kontraksi detrusor involunter involunter tanpa relaksasi sfingter uretra eksternus. Lesi terletak di antara medula spinalis sakral dan pusat miksi pons. Gejala utamanya adalah urinary urgency yang sangat mendesak dengan pengosongan kandung kemih yang tidak total (tidak lampias). DDS menyebabkan komplikasi (khususnya, infeksi saluran kemih asendens) yang lebih sering pada laki-laki dibandingkan pada perempuan karena perempuan memiliki resistensi pintu keluar kandung kemih yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Penyebab tersering adalah sklerosis

9 multipel, mielopati servikal, tumor medula spinalis, malformasi vaskular, dan trauma. Keadaan ini harus dibedakan dari obstruksi leher kandung kemih fungsional yang jarang, suatu gangguan dengan etiologi yang tidak diketahui yang berkaitan dengan peningkatan volume residu dan dapat mengganggu fungsi ginjal. c. Kontraksi detrusor yang lemah Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan kandung kencing yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu paska miksi. d. Peningkatan volume residu paska miksi Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan kandung kencing yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi kandung kencing. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit. 3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN) Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunter hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya persarafan. Sensibilitas dari peregangan kandung kencing terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan disebabkan informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah torakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher kandung kencing memungkinkan terjadinya kontinens. Mekanisme untuk mempertahankan kontinens selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin. (usu) H. Gejala Gangguan Disfungsi Miksi Gejala-gejala disfungsi kandung kencing neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai

10 lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. (usu) Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medula spinalis bagian sakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. (usu) Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow. (usu) (Brunicardi, 2006; Ropper and Brown, 2005; Rackley,2009; Greenfield, 1997; Waxman, 2010) I. Evaluasi Pendekatan sistematis untuk mengetahui masalah gangguan miksi selama rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan vesica urinaria dan deteksi hiperrefleksia detrusor. 1. Penilaian saluran kencing bagian atas Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas, gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks vesikoureteral. 2. Penilaian pengosongan kandung kemih Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama pemeriksaan maupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100 ml dikatakan bermakna.

11 3. Deteksi hiperrefleksia detrusor Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan baik dengan menggunakan fillingcystometrogram (CMG). Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian vesica urinaria bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita dengan hiperrefleksia vesica urinaria, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada pengisian. 4. Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, reflex anal dan refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus dan lengkung refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan utuhnya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medulla spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, vesica urinaria bersifat arefleksi dan memerlukan drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz air dingin steril suhu 4 o C tidak akan menimbulkan aktifitas refleks vesica urinaria. Tes air es dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari vesica urinaria. Drainase vesica urinaria yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari vesica urinaria yang arefleksi. (Brunicardi, 2006; Ropper and Brown, 2005; Rackley,2009; Greenfield, 1997; Waxman, 2010) J. Penatalaksanaan Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala. 1. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara: Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede s manoeuvre Clean intermittent self-catheterisation Indwelling urethral catheter

12 2. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor Bladder training (bladder drill) Pengobatan oral, propantheline, imipramine, oxybutinin 3. Penatalaksanaa operatif Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis kongenital atau cedera medula spinalis. K. Rehabilitasi (cdk) Bladder training Bladder training atau latihan kandung kemih adalah salah satu upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi. Mencegah/mengurangi infeksi saluran kemih, mencegah komplikasi saluran kemih lebih lanjut akan menurunkan angka kematian, terutama pada penderita cedera medula spinalis. Gagal ginjal merupakan penyebab utama kematian pada pasien cedera medula spinalis. Untuk mencegah komplikasi tersebut, diupayakan mempertahankan fungsi pengosongan kandung kencing dengan residu urin seminimal mungkin, mencegah masuknya mikroorganisme kedalam sistem saluran kemih, serta eradiksi dini terhadap infeksi saluran kemih yang mungkin terjadi. Ketiga upaya tersebut tercakup dalam penatalaksanaan neurogenic bladder yang akan dibahas, yang bertujuan mempertahankan fungsi ginjal secara efektif sehingga penderita cedera medula spinalis dapat mandiri mengatur kandung kencingnya. Tujuan rehabilitasi: 1. Kelancaran aliran urine mulai dari ginjal bebas kateter kandung kemih dan uretra menghilangkan obstruksi uretra 2. Keadaan bakterial sterile intermittent catherization pengosongan kandung kemih secara sering dan teratur 3. Pengosongan kandung kemih secara tuntas pada setiap masa pengosongan dengan cara mengembangkan/meningkatkan kekuatan ekspulsi pada waktu yang cukup, sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal-hal yang tercakup dalam pengertian bladder training

13 1. Kateterisasi intermiten 2. Pengaturan dan pengontrolan masuknya cairan ke dalam tubuh 3. Refleks stimulasi terhadap kandung kemih 4. Crede manuever 5. Bantuan medikamentosa yang dapat mempunyai efek terhadap kandung kemih Hal tersebut dapat diatur kombinasinya sesuai kondisi neurogenic bladder. Kontra indikasi bladder training antara lain sistitis berat, pielonefritis, gangguan/kelainan uretra, hidronefrosis, vesicourethral reflux, batu traktus urinarius, dan penderita tidak kooperatif. Program kateterisasi kontinu Kateterisasi kontinu tidaklah fisiologis karena kandung kemih selalu kosong, sehingga kehilangan potensi sensasi miksi; terjad iatrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih; ditambah lagi dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu, dianjurkan program kateterisasi intermiten. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan bebas kateter berkisar antara hari atau sekitar 8-10 minggu, jika tidak ada obstruksi. Paremeter keberhasilan: 1. Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar,baik secara spontan, dengan bantuan stimulasi refleks ataupun dengan crede/valsava manuever secara mudah. 2. Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml.tak didapat perubahan patologis pada saluran kemih. 3. Penderita bebas kateter. Program kateterisasi intermiten Metoda ini dengan teknik non touch pertama kali diperkenalkan oleh Guttmann. Karena hasilnya memuaskan, cara ini dengan cepat diikuti oleh klinik-klinik lain. Pada saat ini hampir seluruh klinik di seluruh dunia menganggap kateterisasi intermiten merupakan method of choice. Sebagian kecil penulis meragukan perbedaannya dibandingkan dengan metoda lain. Keberatan atau kerugian tersebut antara lain adalah: a. Bahaya distensi kandung kemih tetap ada b. Risiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secaraberulang c. Risiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar ataudari ujung distal uretra (flora normal)

14 Terhadap bahaya-bahaya tersebut diajukan beberapa cara pencegahan, antara lain: a. Restriksi cairan. Bila penderita dirawat dalam ruangan ber-ac, maka jumlah cairan total yang dapat diberikan ialah 1500 ml/hari, dibagi rata tiap 2 jam. Kateterisasi dilakukan tiap 6 jam. Berdasarkan ketentuan ini maka pada tiap kateterisasi akan diperoleh urin tidak lebih dari 500 ml. Bila ternyata lebih, maka pemberian cairan dikurangi atau frekuensi kateterisasi ditambah. Tentunya restriksi cairan ini harus disesuaikan bila ruang perawatan tanpa AC. b. Risiko trauma uretra dapat dicegah, paling tidak dikurangi dengan menggunakan kateter jenis lunak yang biasanya dibuat dari bahan polivinil. Sebaiknya dengan ujung bulat (misalnya kateter Jacques polivinil no. 14 Fr). c. Sebelum pemasangan, baik pada kateter maupun uretra diberi pelumas terlebih dahulu. Jangan sekali-kali memasang kateter pada seorang penderita pria dalam keadaan refleksi ereksi. d. Pencegahan infeksi dilakukan dengan teknik non touch. Di samping itu berikan cairan antibiotika/antiseptika ke dalam kandung kemih setiap habis kateterisasi; bahan yang dipergunakan bervariasi antara satu klinik dengan klinik lainnya. Rehabilitasi pada lesi UMN Pada tahap akut pengosongan kandung kemih dilakukan dengan cara kateterisasi intermiten. Dua hari kemudian lakukan pemeriksaan refleks bulbokavernosus dan tes air dingin. Bila belum ada respons, evaluasi diulang tiap 72 jam. Setelah percobaanpercobaan tersebut positif, latihan kandung kemih dimulai. Caranya adalah dengan ketokan pada dinding abdomen daerah suprapubis setiap 2 jam. Tindakan yang dimaksudkan untuk merangsang refleks miksi ini harus dilakukan oleh penderita di luar jam-jam tidur (kecuali penderita tetraplegi). Pada jam-jam tidur pekerjaan diambil alih oleh perawat. Bila jumlah urin yang dapat dikeluarkan melalui cara ini kira-kirasebanyak jumlah urin yang didapat melalui kateter, maka pada jadual tersebut tak perlu kateterisasi. Jika kurang, kateterisasi tetap dilakukan. Mudah dipahami bahwa makin efisien refleks miksi, makin kurang frekuensi kateterisasi. Kateterisasi dapatdihentikan sama sekali bila keadaan ini sudah tercapai, restriksi cairan dapat dilonggarkan.

15 Kadang-kadang bladder training tak memberikan hasil memuaskan, biasanya disebabkan oleh dua kemungkinan: 1. Kontraksi otot detrusor kurang efisien 2. Sfingter uretra kurang efisien Rehabilitasi pada Lesi LMN Prosedur rehabilitasi kandung kemih LMN biasanya tidak sulit. Miksi spontan dilaksanakan dengan manipulasi Crede dengan hasil memuaskan. Hanya sedikit penulis yang meragukan efektifitasnya. Di samping itu biasanya penderita masih mempunyai kemampuan mengejan sehingga dapat membantu evakuasi urin. Langkah-Langkah Pelaksanaan Program Kateterisasi Intermiten adalah menentukan tipe kandung kemih UMN, LMN atau campuran dengan cara: Lakukan pemeriksaan ACR/BCR Tentukan fase shock sudah terlewati atau belum (dribble) Bila telah dribble, lakukan pengukuran IBV (Initial Bladder Volume), yaitu mengukur jumlah urin spontan, residu urin dan dengan tapping/express Lakukan pemeriksaan IWT (Ice Water Test). Bila hasil positif; berarti fungsi otot detrusor masih baik Dari hasil pemeriksaan di atas dapat ditentukan jenis/tipe bladder dan jumlah cairan yang diminum. Jika IBV > 400 ml, minum 125 ml/2 jam Jika IBV < 400 ml, minum 150 ml/2 jam Kateterisasi dilakukan setiap 6 jam. Sebelum menjalani program ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan antara lain : urine, kultur dan sensitifitas, serum kreatin dan serum urea nitrogen, bila perlu pemeriksaan radiologi maupun uretro sistografi. Setelah menjalani program kateterisasi intermiten, bila residu urine < l00 ml, frekuensi kateterisasi dikurangi dan jumlah urin ditambah. Ditunggu sampai 3 kali berturut-turut. Demikian seterusnya sampai bebas kateter. Apabila terdapat kendala, misalnya sampai 7 hari sisa urin masih lebih dari 200 ml atau bila dalam 2 hari program tanda-tanda miksi spontan negatif, dapat diberi urocholin dengan dosis

16 maksimum 100 mg/hari. Dimulai dengan mg/hari dibagi 3dosis. Dosis awal: 5 mg (3x5 mg) diobservasi tiap 2 hari. Bila respon kurang, dosis dapat ditingkatkan sampai dosis efektif. Pemberian dihentikan bila sisa urine menetap sampai 1 minggu. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pemberian obat-obatan dapat dipertimbangkan. L. Pengobatan (cdk) Obat untuk retensi urin I. Jenis Penyekat Alfa Cara kerja: merelaksasi otot polos dan meningkatkan urinary flow rate pada II. obstruksi akibat spasme Efek samping: sedasi, dizziness, hipotensi postural, depresi, nyeri kepala, mulut kering, mual, takikardi dan palpitasi Obat yang dipakai: 1. Alfuzozin HCl 2,5 mg/tbl. Dosis 2,5 mg tiga kali sehari dengan max 10 mg/hari2. 2. Indoramin 20 mg/tbl. Dosis 20 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan setiap 2 minggu 1 tbl sampai 100 mg/hari 3. Prazosin HCl (Minipress 1 mg/2 mg/tbl.). Dosis 0,5 mg dua kali sehari dapat ditingkatkan setiap 3-7 hari sampai max 2x2 mg. 4. Terazosin HCl (Hytrin 1 mg/2 mg/tbl). Dosis awal 1 mg saat tidur dapat ditingkatkan 1 mg setiap minggu sampai max 10 mg/hari dosis tunggal. Jika pasien mengeluh pusing, suruh tetap tidur sampai pusingnya hilang. Jenis Para Simpatomimetik Cara kerja: meningkatkan efek muskarinik dan meningkatkan aktivitas m. Detrusor. Pada keadaan tidak ada obstruksi jalan keluar kandung kemih, peranannya untuk mengatasi retensio urine terbatas. Efek samping : keringat, bradikardi, kolik intestinal. Obat yang dipakai: 1. Carbachol 2 mg/tbl2 2. Bethanechol chloride. Urecholin 10 mg/tbl). Dosis 3-4 x 10-25mg sebelum makan 3. Distigmine bromide 5 mg/tbl. Dosis 5 mg/hari atau 2 hari sebelum makan Obat untuk inkontinensia urine

17 Bersifat anti muskarinik untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan mengurangi kontraksi m. detrusor yang tidak stabil. Efek samping, antara lain mulut kering, pandangan kabur, dan glukoma. Obat yang dipakai, antara lain: 1. Flavoxate HCl 100 mg/tbl. Indikasi: inkontinensia, disuria, spasme kandung kemih akibat kateterisasi. Dosis : 3 x 200 mg/hari2. 2. Oxybutynin HCl 2,5 mg atau 5 mg/tbl. Indikasi: inkontinensia, neurogenic bladder instability noctural enuresis. Dosis: 2-3 x 5 mg/hari maksimum 4x5 mg/hari. Untuk orang tua dosis dimulai dari 2x2,5 mg perhari dengan dosis maksimum 2x5 mg/hari. Untuk anak di atas usia 5 tahun dimulai dari 2x2,5 mg/hari maksimum 3x5 mg/hari. Hati-hati pada: gagal ginjal/hepar, hipertiroid, penyakit jantung, hipertrofi prostat, kehamilan, dan menyusui. Kontraindikasi: obstruksi/atoni intestinal atau bladder glaucoma 3. Propantheline bromide. Dosis: 2-3 x mg/hari satu jam sebelum makan. 4. Antidepresan trisiklik, Imipramine HCl (Tofranil 25 mg/tbl). Indikasi: inkontinensia, noctural enuresis. Dosis : 1-3 x 25 mg/hari dapat ditingkatkan bertahap setiap minggu sampai maksimum 6-8 tbl/hari. Untuk enuresis pada anak-anak di atas 5 tahun diberikan dosis tunggal setelah makan malam. Usia 5-8 tahun: 1 tbl. Usia 8-12tahun: 1-2 tbl. Usia 12 tahun : sampai maksimum 3 tbl. Jangan diberikan bersama obat MAO. Toleransi terhadap alkohol berkurang. bila terjadi reaksi kulit, stop pemberian agranulositosis, hati-hati pada kehamilan. Kontraindikasi tidak diketahui; relatif pada penyakit jantung, gangguan kandung kemih akibat obstruksi, glaucoma. M. Tatalaksana Alternatif (cdk) Jika bladder training dan obat-obatan masih belum berhasil baik, beberapa prosedur konservatif non operatif, dapat dipertimbangkan.tindakan-tindakan tersebut ialah: 1. Anestesi mukosa kandung kemih. Berlawanan dengan kandung kemih normal, pada neurogenic bladder, kontraksi otot detrusor kadang-kadang justru mengakibatkan aktivasi impuls tonik pada sfingter uretra. Akibatnya sfingter uretra menjadi sulit terbuka. Di pihak lain keadaan tonik sfingter uretra secara reflektoris akan mengakibatkan inhibisi kontraksi otot detrusor,

18 sehingga kontraksi makin lemah, jadi timbul keadaan kontraksi otot sulit terbuka. Pemberian anestesi lokal ke dalam kandung kemih diharapkan dapat mengurangi rangsangan, sehingga refleks miksi tidak berlebihan. Dianjurkan mengulangi prosedur ini tiap hari untuk kira-kira dua minggu. 2. Blok n. Pudendus. Prosedur ini diindikasikan pada keadaan sfingter uretra terlampau spastik. Dengan blok n. pudendus bilateral diharapkan impuls tonik pada sfingter uretra berkurang. Secara reflektoris kontraksi otot detrusor juga diharapkan lebih efisien. Bahan yang biasa dipergunakan adalah larutan fenol atau lignokain. N. Follow Up (cdk) Follow up harus teratur dan berkesinambungan. Pada tahun pertama dapat dilakukan tiap 2-3 bulan. Pada tahun-tahun selanjutnya mungkin cukup tiap 4-6 bulan. Patokan ini untuk penderita dengan kandung kemih yang tergolong memuaskan (residu <80 ml). Untuk penderita dengan kandung kemih yang tergolong tidak memuaskan (>150 ml) ada baiknya lebih sering memeriksakan diri, karena volume residual urine yang besar mempunyai kecenderungan menyebabkan re-\infeksi (potensi washout rendah). Pada dasarnya hal-hal yang perlu dilakukan padafollow up ialah: 1. Urinalisis 2. Ada tidaknya hambatan arus miksi. Dinilai dari catatan titik terjauh pancaran urin 3. Kultur urin. Biasanya spesimen diambil dari urin pancaran tengah midstreamurine). Perlu ditekankan bahwa ada tidaknya infeksi kandung kemih yang membakat jangan didasarkan atas gejala klinis; pada penderita paraplegi/tetraplegi biasanya secara subjektif terlambat ketimbang orang normal. Pedoman berikut patut dipergunakan sebagai referensi: a. Bila jumlah koloni < 10 4 per ml, dianggap tak ada infeksi b. Bila jumlah koloni > 10 5 per ml, infeksi sudah membakat sehingga perlu pemberian terapi adekuat. c. Bila jumlah koloni antara per ml, meragukan sehingga perlu kultur ulang.

19 4. Residual urine. Diharapkan volume residual urine berkurang, paling tidak menetap. Bila ternyata bertambah, maka harus dilakukan evaluasi ulang, terutama untuk menilai efisiensi kontraksi otot detrusor dan ada tidaknya resistensi outflow yang bertambah 5. Tes fungsi ginjal 6. IVP/sistouretrografi ada kalanya perlu dilakukan atas indikasi. Umumnya follow up membutuhkan rawat inap selama 1-2 hari; suatu spinal unit yang baik selalu menyediakan beberapa tempat tidur kosong untuk maksud tersebut. BAB III PENUTUP

20

MANIFESTASI NEUROLOGIS GANGGUAN MIKSI. Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara

MANIFESTASI NEUROLOGIS GANGGUAN MIKSI. Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara MANIFESTASI NEUROLOGIS GANGGUAN MIKSI Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi

Lebih terperinci

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S Secara biologis pada masa usia lanjut, segala kegiatan proses hidup sel akan mengalami penurunan Hal-hal keadaan yang dapat ikut

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Berkemih Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat otomatis. Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi berkemih, keadaan ini

Lebih terperinci

Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked

Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked Authors : Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.tk 0 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk

BAB I PENDAHULUAN. Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebocoran urin merupakan keluhan terbanyak yang tercatat pada Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk mengatasinya. Pada tahun 2001 Asia Pacific

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pemasangan Kateter Urin Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi

Lebih terperinci

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2.

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2. BLADDER TRAINING BLADDER TRAINING Bladder training biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan pola eliminasi urin (inkontinensia) yang berhubungan dengan dysfungsi urologik. Pengkajian : Manifestasi

Lebih terperinci

Neurogenic Bladder A. Pendahuluan

Neurogenic Bladder A. Pendahuluan Neurogenic Bladder A. Pendahuluan A.1. Latar Belakang Berkemih (mikturisi) merupakan sebuah proses pengosongan kadung kemih setelah terisi dengan urin. Proses ini membutuhkan kerjasama dari fungsi sistem

Lebih terperinci

INKONTINENSIA URIN. Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta

INKONTINENSIA URIN. Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta INKONTINENSIA URIN Dr. Budi Iman Santoso, SpOG (K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta Inkontinensia urin dapat terjadi pada segala usia Asia Pasific

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Bladder Retention Training 1.1. Defenisi Bladder Training Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Definisi Traktus Spinotalamikus Anterior Traktus Spinotalamikus Lateral Daftar Pustaka

DAFTAR ISI. Definisi Traktus Spinotalamikus Anterior Traktus Spinotalamikus Lateral Daftar Pustaka DAFTAR ISI Definisi 2 Traktus Spinotalamikus Anterior 2 Traktus Spinotalamikus Lateral 4 Daftar Pustaka 8 1 A. Definisi Traktus Spinotalamikus adalah traktus yang menghubungkan antara reseptor tekanan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TEORI 1. Lanjut Usia (Lansia) Menurut Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 yang termuat dalam pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50 tahun, tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada periode post partum atau setelah pembedahan pelvis. Menurut Stanton, retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih selama 24

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kateter Urin Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System

LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA. Blok Urinary System LAPORAN NURSING CARE INKONTINENSIA Blok Urinary System Oleh: Kelompok 3 TRIGGER JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 Ny Sophia, usia 34 tahun, datang ke klinik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan 2.1.1 Ginjal Ginjal merupakan organ yang berpasangan dan setiap ginjal memiliki berat kurang lebih 125 g, terletak pada posisi di sebelah

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

NEUROGENIK BLEDDER. Dr.dr. Jumraini Tamasse, Sp.S PENDAHULUAN. sistem saraf. Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik

NEUROGENIK BLEDDER. Dr.dr. Jumraini Tamasse, Sp.S PENDAHULUAN. sistem saraf. Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik NEUROGENIK BLEDDER Dr.dr. Jumraini Tamasse, Sp.S PENDAHULUAN Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem

Lebih terperinci

disampaikan oleh : nurul aini

disampaikan oleh : nurul aini disampaikan oleh : nurul aini 1. Enuresis 2. Inkontinensia 3. Retensi urine Definisi : pengeluaran air kemih yg tidak disadari seseorang yg pada saat itu pengendalian kendung kemih diharapkan sudah tercapai

Lebih terperinci

CEDERA SPINAL DANIEL, PUTU DEASY, APRIL, MURNI, DESI, JERRY, DAVID, HERNA, SARI, VANI, OCTA, ESTER,

CEDERA SPINAL DANIEL, PUTU DEASY, APRIL, MURNI, DESI, JERRY, DAVID, HERNA, SARI, VANI, OCTA, ESTER, CEDERA SPINAL DANIEL, PUTU DEASY, APRIL, MURNI, DESI, JERRY, DAVID, HERNA, SARI, VANI, OCTA, ESTER, Medula Spinalis Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat Kendali untuk sistem gerak

Lebih terperinci

BAHAN AJAR III NEUROGENIC BLADDER

BAHAN AJAR III NEUROGENIC BLADDER 1 BAHAN AJAR III NEUROGENIC BLADDER Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Level Kompetensi Alokasi Waktu : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang menyebabkan kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan Alatas, 1985).

Lebih terperinci

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Definisi Inkontiensia Urine

Lebih terperinci

Anita Widiastuti Poltekkes Semarang Prodi Keperawatan Magelang

Anita Widiastuti Poltekkes Semarang Prodi Keperawatan Magelang PERBEDAAN KEJADIAN INKONTINENSIA URIN PADA PASIEN POST KATETERISASI YANG DILAKUKAN BLADDER TRAINING SETIAP HARI DENGAN BLADDER TRAINING SEHARI SEBELUM KATETER DIBUKA DI BPK RSU TIDAR MAGELANG Anita Widiastuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Perkemihan 1. Definisi Sistem Perkemihan Sistem perkemihan merupakan suatu sistem organ tempat terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor lainnya. Insidens ISK tertinggi terjadi pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eliminasi Urin 1. Defenisi Eliminasi Urin Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi dari plasma darah di glomerulus. Dari 180 liter darah yang

Lebih terperinci

Referat Fisiologi Nifas

Referat Fisiologi Nifas Referat Fisiologi Nifas A P R I A D I Definisi Masa Nifas ialah masa 2 jam setelah plasenta lahir (akhir kala IV) sampai 42 hari/ 6 bulan setelah itu. Masa Nifas adalah masa dari kelahiran plasenta dan

Lebih terperinci

TUGAS MANDIRI 1 Bladder Training. Oleh : Adelita Dwi Aprilia Reguler 1 Kelompok 1

TUGAS MANDIRI 1 Bladder Training. Oleh : Adelita Dwi Aprilia Reguler 1 Kelompok 1 TUGAS MANDIRI 1 Bladder Training Oleh : Adelita Dwi Aprilia 135070201111005 Reguler 1 Kelompok 1 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015 1. Definisi Bladder

Lebih terperinci

TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING

TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING Disusun untuk memenuhi tugas Blok Urinary Oleh: Puput Lifvaria Panta A 135070201111004 Kelompok 3 Reguler 2 PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan lunak yang menyebabkan jaringan kolagen pada fasia, ligamen sekitar

BAB I PENDAHULUAN. jaringan lunak yang menyebabkan jaringan kolagen pada fasia, ligamen sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama kehamilan produksi hormon progesteron dan hormon relaksin meningkat sehingga menimbulkan efek negatif terhadap integritas struktur jaringan lunak yang menyebabkan

Lebih terperinci

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI 1 BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI Judul mata Kuliah : Neuropsikiatri Standar Kompetensi : Area Kompetensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompetensi dasar : Menerapkan ilmu Kedokteran klinik pada sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir setiap wanita akan mengalami proses persalinan. Kodratnya wanita dapat melahirkan secara normal yaitu persalinan melalui vagina atau jalan lahir biasa (Siswosuharjo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Nosokomial 1. Pengertian Infeksi nosokomial atau hospital acquired infection adalah infeksi yang didapat klien ketika klien tersebut masuk rumah sakit atau pernah dirawat

Lebih terperinci

M.Biomed. Kelompok keilmuan DKKD

M.Biomed. Kelompok keilmuan DKKD SISTEM PERKEMIHAN By: Tuti Nuraini, SKp., M.Biomed Kelompok keilmuan DKKD TUJUAN PEMBELAJARAN Mhs memahami struktur makroskopik sistem perkemihan (Ginjal, ureter, vesika urinaria dan uretra) dan struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi kerusakan. Salah satu keluhan yang sering dialami lansia akibat

BAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi kerusakan. Salah satu keluhan yang sering dialami lansia akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan adalah proses penurunan secara bertahap kemampuan untuk mempertahankan struktur dan fungsi normal tubuh dan memulihkannya kembali apabila terjadi kerusakan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Sistem Perkemihan 1.1. Defenisi Sistem perkemihan merupakan suatu sistem organ tempat terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia laki-laki yang terletak mengelilingi vesica urinaria dan uretra proksimalis. Kelenjar prostat dapat mengalami pembesaran

Lebih terperinci

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatri, responrespon yang mengantarkan atau reaksi-reaksi yang ditimbulkan

Lebih terperinci

PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN

PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN FUNGSI PRIMER SALURAN PENCERNAAN Menyediakan suplay terus menerus pada tubuh akan air, elektrolit dan zat gizi, tetapi sebelum zat-zat ini diperoleh, makanan

Lebih terperinci

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA 2012

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA 2012 KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA 2012 BLADDER TRAINNING A. PENGERTIAN Bladder training adalah salah upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi saluran kemih adalah keadaan adanya infeksi (ada pertumbuhan dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi saluran kemih adalah keadaan adanya infeksi (ada pertumbuhan dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi dan prevalensi infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih adalah keadaan adanya infeksi (ada pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yaitu berupa pembesaran prostat atau hiperplasia prostat. Kelainan kelenjar prostat dapat

Lebih terperinci

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung INKONTINENSIA URIN Dandy Utama Jaya Dedi Rachmadi Januari 2009 Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung INKONTINENSIA URIN Inkontinensia

Lebih terperinci

Anesty Claresta

Anesty Claresta Anesty Claresta 102011223 Skenario Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar sejak seminggu yang lalu. Keluhan berdebar ini terjadi ketika ia mengingat suaminya yang

Lebih terperinci

GINJAL KEDUDUKAN GINJAL DI BELAKANG DARI KAVUM ABDOMINALIS DI BELAKANG PERITONEUM PADA KEDUA SISI VERTEBRA LUMBALIS III MELEKAT LANGSUNG PADA DINDING

GINJAL KEDUDUKAN GINJAL DI BELAKANG DARI KAVUM ABDOMINALIS DI BELAKANG PERITONEUM PADA KEDUA SISI VERTEBRA LUMBALIS III MELEKAT LANGSUNG PADA DINDING Ginjal dilihat dari depan BAGIAN-BAGIAN SISTEM PERKEMIHAN Sistem urinary adalah sistem organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia, sistem ini terdiri dari dua ginjal, dua ureter,

Lebih terperinci

Sistem saraf. Kurnia Eka Wijayanti

Sistem saraf. Kurnia Eka Wijayanti Sistem saraf Kurnia Eka Wijayanti Sistem saraf SSP SST Otak Medula spinalis Saraf somatik Saraf Otonom Batang otak Otak kecil Otak besar Diencephalon Mesencephalon Pons Varolii Medulla Oblongata Saraf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi, penyebab, mekanisme dan patofisiologi dari inkontinensia feses pada kehamilan. INKONTINENSIA

Lebih terperinci

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI 1.1PENGERTIAN NYERI Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan dan penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu. Nyeri terjadi sebagai mekanisme

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASPEK MOTORIK

PERKEMBANGAN ASPEK MOTORIK HAMBATAN MOTORIK Oleh : dr. Euis Heryati M.Kes MK. HAMBATAN KONSENTRASI, ATENSI, PERSEPSI, DAN MOTORIK; JURUSAN PLB PERKEMBANGAN ASPEK MOTORIK PRINSIP PERKEMBANGANNYA: - Proksimal distal - Fleksi ekstensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya Nyeri bukan hanya suatu modalitas

Lebih terperinci

A. SEL-SEL PADA SISTEM SARAF

A. SEL-SEL PADA SISTEM SARAF A. SEL-SEL PADA SISTEM SARAF 1. Neuron Neuron adalah unit fungsional sistem syaraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan sitoplasma, dengan komponen-komponennya antara lain: a. Badan sel Berfungsi

Lebih terperinci

LAPORAN PEDAHULUAN ABDOMINAL PAIN

LAPORAN PEDAHULUAN ABDOMINAL PAIN LAPORAN PEDAHULUAN ABDOMINAL PAIN A. PENGERTIAN Nyeri abdomen merupakan sensasi subjektif tidak menyenanngkan yang terasa disetiap regio abdomen (Pierce A. Grace &Neil R.Borley, 2006). Nyeri abdomen ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi infeksi diparenkim

Lebih terperinci

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ANTAGONIS KOLINERGIK Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Antagonis kolinergik disebut juga obat peng hambat kolinergik atau obat antikolinergik. Yang paling bermanfaat

Lebih terperinci

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar.

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar. Pengertian Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan, mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari

Lebih terperinci

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH.

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. 2 Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. BPH terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal oleh proses

Lebih terperinci

Berkemih adalah koordinasi dari: -1) Internal sphincter -2) Extern Sphincter - 3) Detrussor muscle N.Hypogastric (Simpatic N)

Berkemih adalah koordinasi dari: -1) Internal sphincter -2) Extern Sphincter - 3) Detrussor muscle N.Hypogastric (Simpatic N) 14. GANGGUAN POLA KEMIH 1. AKAN DIBICARAKAN: 14.1.ENURESIS (NGOMPOL) 14.2.INCONTINENTIA URINE 14.3.KANDUNG KEMIH NEUROGENIK (NEUROGENIC BLADDER) 14.1.ENURESIS (NGOMPOL) 2. ENURESIS (NGOMPOL) Sudah dikenal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih (Fadlol & Mochtar. 2005). Penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPRES HANGAT DI SUPRA PUBIK TERHADAP PEMULIHAN KANDUNG KEMIH PASCA PEMBEDAHAN DENGAN ANESTESI SPINAL DI RSUD BATANG

PENGARUH KOMPRES HANGAT DI SUPRA PUBIK TERHADAP PEMULIHAN KANDUNG KEMIH PASCA PEMBEDAHAN DENGAN ANESTESI SPINAL DI RSUD BATANG PENGARUH KOMPRES HANGAT DI SUPRA PUBIK TERHADAP PEMULIHAN KANDUNG KEMIH PASCA PEMBEDAHAN DENGAN ANESTESI SPINAL DI RSUD BATANG Skripsi ARI WIJAYANTO NIM : 11.0758.S TAUFIK NIM : 11.0787. S PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI SISTEM SARAF SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI 1. SEL SARAF SENSORIK. 2. SEL SARAF MOTORIK. 3. SEL SARAF INTERMEDIET/ASOSIASI. Sel Saraf Sensorik Menghantarkan impuls (pesan) dari reseptor ke sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Apapun yang dilakukan pemerintah tanpa kesadaran individu dan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi sewaktu sfingter uretra interna dan eksterna didasar kandung kemih berelaksasi. Derajat regang yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inkontinensia Urin 2.1.1 Definisi Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau

Lebih terperinci

BAB II. Struktur dan Fungsi Syaraf

BAB II. Struktur dan Fungsi Syaraf BAB II Struktur dan Fungsi Syaraf A. SISTEM SARAF Unit terkecil dari system saraf adalah neuron. Neuron terdiri dari dendrit dan badan sel sebagai penerima pesan, dilanjutkan oleh bagian yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam

Lebih terperinci

Clinical Science Session Pain

Clinical Science Session Pain Clinical Science Session Pain Disusun oleh : Nurlina Wardhani 1301-1214-0658 William Reinaldi 1301-1214-0503 Preseptor : Arnengsih, dr., Sp.KFR BAGIAN ILMU KESEHATAN FISIK DAN REHABILITASI FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua ginjal akibat obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium yang melapisi saluran kemih karena adanya invasi bakteri dan ditandai dengan bakteriuria dan

Lebih terperinci

Kandung Kemih Neurogenik pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2

Kandung Kemih Neurogenik pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2 Majalah Kedokteran FK UKI 2012 Vol XXVIII No.4 Oktober-Desember Tinjauan Pustaka Kandung Kemih Neurogenik pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana Rhyno Febriyanto, 1 Bernadetha Nadeak, 2 Sudung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak

Lebih terperinci

Cedera medulla spinalis yang disebabkan trauma terjadi karena : Axial loading Hiperfleksi Hiperekstensi Rotasi Lateral bending

Cedera medulla spinalis yang disebabkan trauma terjadi karena : Axial loading Hiperfleksi Hiperekstensi Rotasi Lateral bending Cedera medulla spinalis adalah cedera pada medulla spinalis yang dapat mempengaruhi fungsi motorik, sensorik, dan otonom. Perubahan ini dapat sementara atau permanen. Cedera medulla spinalis paling banyak

Lebih terperinci

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan

Gambar 1 urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esophagus melalui penyekatan usus sederhana depan EMBRIOLOGI ESOFAGUS Rongga mulut, faring, dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorium (tunas paru) Nampak di dinding ventral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BP H) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak

Lebih terperinci

Sistem Saraf. Dr. Hernadi Hermanus

Sistem Saraf. Dr. Hernadi Hermanus Sistem Saraf Dr. Hernadi Hermanus Neuron Neuron adalah unit dasar sistem saraf. Neuron terdiri dari sel saraf dan seratnya. Sel saraf memiliki variasi dalam bentuk dan ukurannya. Setiap sel saraf terdiri

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi saluran kemih paska kateterisasi urin pada anak Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau kontaminasi dari uretra, vagina ataupun

Lebih terperinci

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) :

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) : Sindrom Kanalis Cubitalis (Cubital Tunnel Syndrome) Kesemutan atau baal biasanya terjadi di jari manis. Atau terjadi di wilayah saraf ulnaris. Gejalanya seperti sindrom ulnaris. Baal biasanya terjadi tidak

Lebih terperinci

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Bio Psikologi Modul ke: Fakultas Psikologi SISTEM SENSORI MOTOR 1. Tiga Prinsip Fungsi Sensorimotor 2. Korteks Asosiasi Sensorimotor 3. Korteks Motorik Sekunder 4. Korteks Motorik Primer 5. Serebelum dan

Lebih terperinci

Pendahuluan. Bab Pengertian

Pendahuluan. Bab Pengertian Bab 1 Pendahuluan 1.1 Pengertian Nyeri dento alveolar yang bersifat neuropatik merupakan salah satu kondisi nyeri orofasial dengan penyebab yang hingga saat ini belum dapat dipahami secara komprehensif.

Lebih terperinci

Kriteria Diagnosis Berdasaran IDSA/ESCMID :

Kriteria Diagnosis Berdasaran IDSA/ESCMID : Kriteria Diagnosis Berdasaran IDSA/ESCMID : Kategori Presentasi Klinis Laboratorium ISK non-komplikata akut pada wanita, sistitis non komplikata akut pada wanita Pielonefritis non komplikata akut ISK komplikata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan kondisi klinis yang kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi (S thypi). Pada masa inkubasi gejala awal penyakit tidak tampak, kemudian

Lebih terperinci

Cedera Spinal / Vertebra

Cedera Spinal / Vertebra Cedera Spinal / Vertebra Anatomi 7 Servikal Anterior 12 Torakal Posterior 5 Lumbal Sakral Anatomi Posterior Anterior Motorik Cedera Spinal Sensorik Otonom Susunan Syaraf ke Ekstremitas Plexus Brachialis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme.

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Urosepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS Program Studi Kode Blok Blok Bobot Semester Standar Kompetensi : Pendidikan Dokter : KBK403 : UROGENITAL : 4 SKS : IV : Mengidentifikasi dan menyusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prolaps organ panggul (POP) adalah turun atau menonjolnya dinding vagina ke dalam liang vagina atau sampai dengan keluar introitus vagina, yang diikuti oleh organ-organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) merupakan kondisi patologis yang paling umum terjadi pada pria lansia dan penyebab kedua untuk intervensi medis pada pria diatas usia

Lebih terperinci

Inkontinensia urin. Pendahuluan

Inkontinensia urin. Pendahuluan Inkontinensia urin Pendahuluan Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit, bukan merupakan diagnosis, sehingga perlu

Lebih terperinci

MASALAH ELIMINASI FECAL

MASALAH ELIMINASI FECAL e Obat-obatan Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang normal Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global,

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat sangat sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, banyak stresor dan

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN DAMPAK SOSIAL OVERACTIVE BLADDER

PREVALENSI DAN DAMPAK SOSIAL OVERACTIVE BLADDER Curriculum Vitae Name: Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Education: FKUI tahun 1980 Pasca Sarjana Spesialis Obstetri Ginekologi FKUI tahun 1987 Konsultan Uroginekologi tahun 2003 Working Experience: 1989

Lebih terperinci

Jaras Desenden oleh Evan Regar,

Jaras Desenden oleh Evan Regar, Jaras Desenden oleh Evan Regar, 0906508024 Pendahuluan Telah diketahui bahwa terdapat serabut saraf yang terletak di substansia alba medulla spinalis mengandung dua arah pembawaan informasi, yakni arah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 2006). Kateterisasi urin ini dilakukan dengan cara memasukkan selang plastik

BAB 1 PENDAHULUAN. 2006). Kateterisasi urin ini dilakukan dengan cara memasukkan selang plastik BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kateterisasi urin merupakan salah satu tindakan memasukkan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urin (Brockop, 2006). Kateterisasi

Lebih terperinci

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 PENGERTIAN SISTEM SARAF Merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh Merupan

Lebih terperinci