BAB II KAJIAN PUSTAKA,KONSEP, DAN KERANGKA TEORI Penelitian Sebelumnya Terhadap Bahasa Gayo

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA,KONSEP, DAN KERANGKA TEORI Penelitian Sebelumnya Terhadap Bahasa Gayo"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA,KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian Sebelumnya Terhadap Bahasa Gayo Penelusuran kepustakaan menunjukkan bahwa bunyi-bunyi dalam bahasa nusantara (bahasa Gayo termasuk di dalamnya) telah disebut-sebut paling tidak sejak berkembangnya penelitian kebahasaan dengan teori linguistik bandingan (Linguistik Komparatif). Pada zaman linguistik modern ini pun penelitian bahasa Gayo terus berkembang dan semakin banyak dilakukan. Namun kajian yang mengkhususkan tentang fonologi bahasa Gayo boleh dikatakan masih langka dilakukan. Akan tetapi, beberapa kajian sebelumnya yang mengambil topik bahasa tersebut dan dapat dijadikan referensi perlu diketengahkan di sini. Penelitian yang dilakukan terhadap bahasa Gayo secara umum dapat dikatakan belum dilakukan secara mendalam hanya pada aspek-aspek tertentu saja. Tulisan Kridalaksana (1980) Tentang Tata Fonem Bahasa Gayo Lut mendeskripsikan perbedaan antara subdialek Bukit dan sub-dialek Cik. Perbedaan antara sub-dialek Bukit dan subdialek Cik selanjutnya disebut dialek (B) untuk Bukit dan (C) untuk Cik. Kridalaksana menekankan perbedaan antara kata, vokal dan konsonan. Beberapa contoh perbedaan tersebut adalah [kas ] (B) [kese] (C) nanti [k ne] (B)- [kone] (C) kesitu. Kajian yang dilakukan Kridalaksana (1980) menemukan vokal adalah /a/, / /, /e/, / /, /i/, /u/, /o/ dan konsonan adalah /p/, /b/, /t/, d/, /k/, /g/,/c/, /h, /j/, /s/, /l/, /m/, /n/, /ή, / /, /ň/, /r/, /w/, /y/.

2 Berdasarkan tulisan Kridalaksana (1980) terhadap tata fonem Bahasa Gayo Lut dialek Bukit dan Cik hanya di bahas secara singkat karena hanya mendeskripsikan ihwal struktur bunyi dan hanya bersifat menginfentarisasi fonem vokal dan fonem konsonan. Penelitian terhadap bahasa Gayo juga dilakukan oleh Baihaki dkk (1981). Penelitian ini dilakukan untuk melihat fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Gayo. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dari segi fonologi ditemukan 9 vokal, 1 vokal rangkap, 21 konsonan. Sementara dari sudut morfologi ditemukan 3 macam afiks, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Dari ketiga macam afiks yang ditemukan ini terdiri atas 10 awalan, 2 sisipan, dan 12 akhiran. Selain itu ditemukan awalan akhiran yang merupakan kesatuan yang utuh. Selanjutnya, dari sudut sintaksis ditemukan pembagian kalimat yaitu lagu kalimat, kalimat hukum DM, kalimat menurut jabatan, dan kalimat menurut maksudnya. Penelitian terhadap bahasa Gayo juga dilakukan oleh Idris Ibrahim dkk (1984) tentang sistem perulangan bahasa Gayo. Perulangan adalah satu proses morfologi yaitu suatu kata yang diulang seluruhnya atau sebagian. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam bahasa Gayo terdapat perulangan kata dan perulangan frase. Frekuensi perulangan pada kata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi frase. Perulangan terdapat pada berbagai jenis kata, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata bilangan, kata ganti orang, dan kata tugas. Sedangkan ciri-ciri perulangan dalam bahasa Gayo dapat dilihat dari dua segi yakni segi fonologi dan segi semantik. Selanjutnya bentuk perulangan dapat dibedakan atas: (1) bentuk perulangan sempurna, dan (2) bentuk perulangan tak sempurna.

3 Penelitian tentang bahasa Gayo lainnya adalah Kata Tugas Bahasa Gayo oleh Ibrahim Makam dkk (1985). Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa dalam bahasa Gayo terdapat sembilan kelompok kata tugas dan yang masing-masing kelompok terdiri dari beberapa jenis dengan ciri semantik dan fungsinya sendiri pula. Dari sembilan kelompok kata tugas yang ditemukan, ternyata terdapat enam jenis kata depan, yaitu kata depan yang menyatakan asal, perbandingan, tempat, tujuan, arah, dan tentang. Terdapat dua jenis kata keterangan, yaitu kata keterangan waktu dan kata keterangan derjah. Dua belas jenis kata penghubung, empat jenis kata modal. Kata bilangan terdiri dari tiga jenis. Jika ditinjau dari segi semantik, kata tugas tidak dapat berdiri sendiri. Sementara berdasarkan fungsinya kata tugas bahasa Gayo tidak dapat menduduki fungsi-fungsi pokok seperti, subjek, predikat, atau objek. Fungsi pokok itu diduduki oleh kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Kata tugas berfungsi membantu kata baku dalam memperluas kalimat dasar dan menggabungkan polapola kalimat dalam berbagai cara. Sejalan dengan bahasa Indonesia, kata tugas bahasa Gayo juga sukar mengalami perubahan bentuk. Ini merupakan ciri dari kata tugas. Kajian tentang bahasa Gayo ditemukan dalam bentuk tesis S2 yang pada umumnya sudah mulai berisi tentang uraian mendalam sesuai dengan tujuan kajiannya. Zainuddin (2001) membahas aspek Sistem Nominalisasi bahasa Gayo. Sesuai dengan tujuan tulisannya yang menggambarkan tentang perolehan nominalisasi melalui proses morfologis. Kajiannya menemukan proses afiksasi

4 berdasarkan bentuk dasar kata sifat dan kata kerja. Proses afiksasi terdapat, prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, dan konfiksasi. Dari keempat afiksasi tersebut jenis konfiksasi yang paling berperan dalam proses pembentukan nomina bahasa Gayo. Makna gramatikal yang dihasilkan oleh proses afiksasi dalam pembentukan nomina bahasa Gayo cenderung bervariasi. Tulisan lain, oleh Husna (2003) tentang Sistem Morfologi Verba Bahasa Gayo dialek Gayo Lut. Sesuai dengan tujuannya kajian ini melihat verba bahasa Gayo dari tiga ciri yaitu: (1) ciri semantik, (2) ciri morfologis, dan (3) ciri sintaksis. Dari kajian ini ditemukan bahwa ciri semantis verba bahasa Gayo ditemukan melalui proses penurunan kata, dimana verba tersebut terdeskripsi melalui perbuatan, proses dan keadaan. Ciri morfologis verba bahasa Gayo ditemukan pada verba yang muncul akibat proses morfologi. Ciri tersebut mencakup prefiks, sufiks, dan konfiks. Ciri sintaksis dilihat pada pemakaian dalam kalimat, klausa, dan frase yaitu berdasarkan fungsi dan posisinya. Berdasarkan fungsi, verba bahasa Gayo berfungsi sebagai predikat, penanda imperatif dan penanda interogatif. Berdasarkan posisi verba bahasa Gayo didahului kata penunjuk aspek, kata negasi dan kata penunjuk modalitas. Karya selanjutnya oleh Dardanila (2004) tentang Pronomina Bahasa Gayo. Sesuai dengan tujuannya ditemukan bahwa dalam bahasa Gayo ada tiga bagian yaitu: (1) pronomina persona, (2) pronomina penunjuk, dan (3) pronomina penanya. Pronomina persona terbagi dua, yaitu pronomina sebenarnya dan pronomina tak sebenarnya. Pronomina merupakan alat penaut klausa untuk membentuk wacana. Pronomina dengan ciri ini diantaranya adalah pronomina persona.

5 Tulisan lainnya oleh Yusradi (2010) tentang Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa masyarakat Gayo memiliki konsep, bentuk, dan muatan tutur tersendiri. Dalam perkembangannya, tutur tersebut kurang dipakai, bahkan cenderung mulai ditinggalkan. Hal tersebut dilatari oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang bersumber dari orang Gayo sebagai pengguna tutur. Tutur tidak diajarkan, tidak dipakai, dan tidak dipelajari. Faktor eksternal yang berasal dari luar yaitu, adanya pengaruh pemakaian bahasa Indonesia, perkawinan silang, interaksi budaya, pengaruh media, pendidikan dan pengaruh perkembangan informasi dan teknologi. Tulisan lain bahasa Gayo oleh Eades (2005) tentang Grammatical of Gayo: Language of Aceh, Sumatera. Sesuai dengan tujuannya melihat bahasa Gayo dari segi (1) fonologi, (2) morfologi dan (3) sintaksis bahasa Gayo. Berdasarkan kajiannya dalam bidang fonologi di gambarkan bahwa terdapat 18 konsonan secara fonologis dalam bahasa Gayo yaitu /p, b, t, d, s, k, g, h, c, j, ny, ng, m, n, r, l, w, y/ dan 18 konsonan secara fonetis, yaitu [ p, b, t, d, s, k, h, t, d,,, m, n, r, l, w, y]. Sementara itu ditemukan 6 vokal yaitu /i, e, u, o,, a/. Dari segi morfologi ditemukan kelas kata, dan segi sintaksis menemukan tentang frasa preposisi dalam bahasa Gayo. Berdasarkan pengamatan penulis khususnya terhadap kajian fonologi yang dilakukan oleh Kridalaksana, Baihaqi dkk tidak sama dengan kajian yang akan dilakukan ini. Pada kajian sebelumnya hanya menginfentarisasi dan memaparkan

6 segmen vokal dan konsonan secara fonemis saja belum sampai tingkat fonetis, kemudian belum memaparkan fitur-fitur distingtif serta belum menentukan proses-proses dan kaidah-kaidah fonologis yang terjadi dalam bahasa Gayo. Dalam deskripsi fonetis realisasi asal fonem belum dilakukan secara komprehensif. Maka dapat dipastikan kajian yang akan dilakukan ini lebih mendalam dari kajian sebelumnya. Tetapi kajian yang telah dilakukan sebelumnya akan tetap menjadi acuan terhadap kajian ini Penelitian Fonologi Generatif Terhadap Bahasa-Bahasa Lain di Indonesia Kepustakaan yang terkait dengan penelitian Fonologi Generatif (teori yang diterapkan pada kajian fonologi bahasa Gayo ini) dimulai sekitar tahun 70-an. Penelitian tersebut dipelopori oleh Chomsky dan Halle (1968) terhadap bahasa Inggris dengan judul The Sound Pattern of English. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa keanekaragaman lahiriah bentuk fonologis memiliki bentuk dasar (underlying form). Misalnya, kata bahasa Inggris absorb dan absorption memiliki bentuk dasar yang disimpan dalam leksikon sebagai / bz: b+ n/, tetapi dilafalkan sebagai / bz +p n/ sehingga diperlukan kaidah fonologis (phonological rule) untuk mengubah /b/ menjadi /p/ dalam lingkungan tersebut. Dengan demikian, pada prinsipnya fonologi itu berisi tiga bagian utama, yaitu bentuk dasar, kaidah fonologis, dan bentuk turunan (realisasi fonetis). Bentuk dasar atau segmen fonologis (underlying form) adalah satuan dasar hipotesis yang dianggap merupakan titik landasan untuk menguraikan atau menurunkan

7 seperangkat satuan atau seperangkat varian dari sebuah satuan (Schane,1973), kaidah fonologis merupakan penetapan secara tepat persyaratan terjadinya proses fonologis (Schane,1992:62), sementara bentuk turunan (derived form) adalah bentuk yang berasal dari bentuk dasar setelah mengalami pelbagai proses. Bentuk turunan baru terbentuk dari bentuk dasar setelah melewati satu atau lebih proses, seperti proses perubahan, penambahan, pelesapan, atau proses penggantian (Schane, 1973). Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam bidang kajian Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul Fonologi Bahasa Indonesia: Suatu Pendekatan Generatif. Lapoliwa (1981) menemukan dalam bahasa Indonesia mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal. Ada 12 ciri pembeda untuk membedakan 29 segmen itu, yaitu [konsonantal], [silabis], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [kontinuan], dan, [tekanan]. Ada 27 kaidah fonologis, yaitu kaidah degiminasi, pelesapan trill, penyisipan glottal stop, realisasi glottal stop dari /k/, pelesapan /h/, despirantisasi (naturalisasi) /f/, naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/, naturalisasi /x/, penyisipan schwa, pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari /m n/, pelemahan vokal, penarikan kembali vokal, pelesapan schwa, nasalisasi vokal, perendahan vokal, penyatuan vokal, penyisipan luncuran, desilabitasi, desimilasi vokal, akhir kata pinjaman, dan penempatan tekanan. Dalam penelitian itu ditemukan adanya

8 rangkaian konsonan s-t, s-l, k-t, k-s, k-d, k-n, k-l, k-r, k-z, p-t, h-t, h-k, h-s, h-b, h- l, h-y, h-w, s-h, m-r, m-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, u-a, u-e, u- u, a-, a-u, a-e, a-a, o-a. Selanjutnya Pastika (1990) melakukan penelitian tentang Fonologi Generatif Bahasa Bali. Penelitian ini terdiri ruas asal (konsonan dan vokal), karakterisasi ruas asal dalam ciri pembeda, syarat struktur morfem, kaidah-kaidah fonologi, dan kaidah-kaidah berurutan. Hasil temuannya menunjukkan bahwa bahasa Bali memiliki 24 ruas asal (konsonan dan vokal). Kedua puluh empat ruas asal itu memerlukan 15 ciri pembeda dalam penggambaran karakteristiknya. Selain itu, ditemukan pula 23 rangkaian dua konsonan dan 17 rangkaian dua vokal. Dalam hal kaidah fonologi ditemukan 17 kaidah yang sebagian merupakan kaidah beurutan. Kulla Lagousi meneliti bahasa Bugis (1992) berjudul Pola Bunyi Bahasa Bugis Ditinjau dari Pendekatan Fonologi Transformasi Generatif. Dalam penelitian ini Kulla menemukan hal-hal sebagai berikut, pertama, ruas-ruas asal bahasa Bugis yang membentuk syarat stuktur morfem terdiri atas /p, t, k, b, d, g, c, j, m,n,, ŋ,l,r,s,h,, w, y, i, e,, u, o, a/. Ruas dan ŋ terletak pada posisi akhir kata fonologis, dan sebaliknya hanya vokal y tidak dapat menduduki posisi akhir kata fonologis dengan rangkaian ruas yang tidak melebihi dari dua ruas. Kedua, ada 15 fitur pembeda untuk menjelaskan sistem bunyi bahasa Bugis secara tepat dan sederhana. Sebagai fitur golongan utama ditemukan [silabis], [konsonantal],

9 [sonoran], sedangkan untuk fitur golongan cara ditemukan yaitu, [malar], [pelepasan tak segera], [kasar], [nasal], [lateral], dan untuk fitur golongan pengucapan ditemukan yaitu, [anterior], [koronal], untuk fitur tubuh lidah dan bentuk bibir ditemukan [bulat], [belakang], dan sebagai fitur tambahan ditemukan [bersuara]. Ketiga, bahasa bugis mengenal empat jenis proses fonologis, yaitu asimilasi, struktur suku kata, pelemahan dan penguatan dan, netralisasi. Keempat, varian morfem imbuhan dalam bahasa Bugis yang beraneka ragam dikelompokkan ke dalam berbagai bentuk asal, seperti /maŋ-/, /paŋ-/, /taŋ-/, /t ŋ- /, /siŋ-/, dan /- ŋ/. Kelima, tekanan utama bahasa Bugis lebih lazim terletak pada peultimat daripada posisi lainnya dalam kata. Jika ada peredaran tekanan utama, karena pengaruh morfem yang mengikutinya, maka tekanan utama itu selalu bergeser ke belakang. Adnyana (1995) meneliti Kaidah-kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah Kajian Transformasi Generatif di Lombok Timur. Dalam penelitian ini ditemukan secara fonemis ada 24 segmen (vokal dan konsonan) dan secara fonetis ada 27 segmen. Diperlukan 15 ciri pembeda dan 18 kaidah dalam pembentukan bentuk turunan. Diantara kaidah tersebut ditemukan pula 3 macam kaidah yang berurutan. Penelitian Berkanis (1996) berjudul Fonologi Bahasa Tetum Dili menemukan bahwa dalam bahasa Tetum Dili menghasilkan 22 segmen konsonan dan 6 segmen vokal, baik secara fonemis maupun fonetis. Diperlukan 15 ciri

10 pembeda untuk membedakan 28 segmen fonologis, yaitu [konsonantal], [silabis], [sonoran], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [lateral], [malar], [pelepasan tak segera], [bersuara], dan, [tegang]. Ada 5 kaidah fonologi yang ditemukan, yaitu kaidah pelesapan /e/, penyuaraan /h/, pengenduran vokal, penambahan semi vokal, dan penempatan tekanan. Dalan penelitian ini juga ditemukan sejumlah rangkaian vokal dan konsonan yaitu, a-u, a-i, a-e, a-o, i- a, i-u, i-o, i-i, u-a, u-i, e-a, e-i, e-u, e-e, o-a, o-i, o-u, o-e, sebagai rangkaian vokal. m-p, m-b, n-t, n-d, ŋ-g, n-t, r-d, r-m, r-t, r-k, s-t, k-s, k-l, k-r, k-f, p-r, m-r, b-r, dan f-r. Penerapan teori Fonologi Generatif juga dilakukan oleh Sudana (1997) pada penelitiannya yang berjudul Fonologi Bahasa Bima: Sebuah Kajian Transformasi Generatif. Berdasarkan kajiannya tersebut dihasilkan antara lain bahwa bahasa Bima secara fonemis memiliki 26 segmen dan secara fonetis ada 31 segmen. Dari ciri-ciri distingtif diperlukan 16 ciri pembeda untuk membedakan 26 segmen fonologis, yaitu [consonantal], [silabis], [sonoran], [malar], [pelepasan tak segera], [nasal], [lateral], [anterior], [koronal], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [bersuara], [teganga], dan [tekanan]. Selanjutnya untuk kaidah fonologi ada 12 kaidah, yaitu kaidah pengenduran vokal, penurunan ketinggian vokal, kaidah kecil perubahan vokal /o/ dan /e/, perubahan vokal /u/, penyisipan semi vokal /y/ dan /w/, pelesapan /h/, pelesapan suku kata, penambahan /m/, penambahan / /, perubahan konsonan /r/, perubahan konsonan /n/, dan kaidah

11 penempatan tekanan. Dalam penelitia Sudana ditemukan rangkaian vokal i-a, a-i, a-e, a-u, a-o, e-a, e-o, e-i, u-a, u-i, u-e, o-a, o-u, o-e, o-i, dan rangkaian kosonan m- b, m-p, n-c, n-d, n-j, n-t, ŋ-g, ŋ-k. Mulyani (1998) dalam penelitian yang berjudul Ayat Fasif Bahasa Melayu Dialek Deli Medan: Suatu Tinjauan Transformasi Generatif. Penelitian ini hanya mengkaji aspek sintaksis transformasi generatifnya. Penelitian ini menemukan ayat (kalimat) pasif, (1) yaitu ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif di-, (2) ayat pasif dengan kata kerja pasif ber-, ber, dan ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif ke- -an. (3) Ayat pasif dengan perkataan kene kena (4) ayat pasif dengan kata ganti diri. Sedangkan frase ditemukan dua jenis, yaitu (1) Frase kerja (FK) transitif dan frase kerja (FK) inti. Marthini (1999) melakukan penelitian terhadap Fonologi Bahasa Osing di Melaya Jembrana: Sebuah Kajian Transformasi Generatif. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa secara fonemis mempunyai 27 segmen vokal dan konsonan, secara fonetis 31 segmen vokal dan konsonan karena segmen /i, u, e, o/ dapat mengalami proses pengenduran. Ditemukan 15 ciri pembeda untuk membedakan 27 segmen fonologis, yaitu [consonantal], [silabis], [sonoran], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah],[belakang], [bulat], [nasal], [lateral], [malar], [pelepasan tak segera], [bersuara], dan [tegang]. Ditemukan juga 10 kaidah fonologi, yaitu kaidah pengenduran vokal, perendahan vokal, pelesapan obsrtuen, penyisipan /k/, penyisipan /ŋ/, penyisipan vokal /a/, penguatan /o/, pelemahan vokal /a/, asimilasi nasal /ŋ-/, dan asimilasi regresif. Dalam penelitian ini

12 ditemukan juga rangkaian segmen vokal, a-i, a-a, a-u, a-o, i-a, u-a, o-i dan rangkaian konsonan b-l, b-r, m-p, n-d, n-t, n-c, n-j, ŋ-k, ŋ-g, ŋ-s, r-l, r-k, s-r, s-k, k-l, k-r, k-s, g-l, dan g-r. Hendrina (2001) melakukan penelitian terhadap bahasa Sumba dengan judul Representasi Fonologis dan Fonetis Bahasa Sumba: Sebuah Analisis Fungsional. Berdasarkan penelitiannya Hendrina menemukan 24 segmen asal (vokal dan konsonan) secara fonemis dan 29 segmen secara fonetis. Sebagai ciri pembeda ada 14, yaitu [consonantal], [silabis], [sonorann], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [malar], [pelepasan tek segera], [bersuara]. Dalam penelitian ini hanya ditemukan rangkaian segmen vokal saja, yaitu i-u, i-a, u-a, u-i, e-u, e-i, o-i, a-i, a-u. selain itu ditemukan juga 5 kaidah fonologi, yaitu kaidah penyisipan semi vokal, pengulangan suku kata, pengenduran vokal, perubahan vokal, dan penempatan tekanan. Penelitian lain juga dilakukan oleh Suparwa (2007) dengan judul Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal. Dalam penelitian ini menemukan bahasa Melayu Loloan Bali memiliki sistem 6 segmen vokal fonemis yang terdistribusi secara simetris; dua vokal depan tinggi dan sedang, dua vokal tengah sedang bawah, serta dua vokal belakang tinggi dan sedang. Keenam vokal itu dapat terealisasi ke dalam 10 segmen fonetik. Keenam vokal tersebut adalah /i, u, e,, o, a/ dan memiliki realisasi fonetik [i, u, e,, o, a,,,, ], dalam hal ini, masing-masing vokal tegang /i, u, e, o/ memiliki alofon kendur [,,, ] yang muncul hanya dalam suku tertutup. Masih berkaitan dengan segmen vokal, penelitian ini juga menemukan fenomena

13 fonologis yang berupa variasi bebas antar alofon. Vokal sedang-depan dan belakang (/e/, /o/) bervariasi bebas dalam lafal dengan alofonnya ([ ], [ ]) pada posisi suku terbuka, seperti pada kata reken [rek n] [r k n] hitung atau toko [toko] [t k ] toko. Dalam gambaran fitur distingtif diperlukan 15 fitur tergolong ke dalam lima golongan utama, fitur cara artikulasi, fitur tempat artikulasi, fitur batang lidah dan bentuk bibir, serta fitur tambahan. Segmen yang digambarkan sebanyak 24 buah, sehingga keseluruhan segman tersebut memakai 360 fitur. Tetapi dalam realisasinya tidak ke-15 fitur itu digunakan karena ada fitur yang redundan. Sedangkan kaidah ditemukan 136 kaidah redundan jika digabungkan menjadi 38 kaidah. Analisis pola kanonik bahasa Melayu Loloan Bali memiliki pola suku kata margin tuggal, yaitu, V, KV, VK dan KVK. Temuan kaidah fonologi leksikal meliputi kaidah fonologi intraleksikal dalam lingkup morfofonemik, kaidah fonologi dalam realisasi fonetik, kaidah fonologi dalam semepadan silabel dan morfem, dan kaidah penempatan tekanan. Selanjutnya kajian fonologi posleksikal merumuskan 14 kaidah fonologi. 7 kaidah merupakan rumusan kajian perubahan bunyi antarkata. 4 kaidah merupakan kaidah sempadan kata dan realisasi fonetis dalam satu kelompok kata, dan sebanyak 3 kaidah merupakan kaidah intonasi, yaitu intonasi pada kalimat berita, intonasi kalimat tanya, dan intonasi kalimat suruh. Kaidah fonologi posleksikal, umumnya ditemukan berupa perubahan bunyi pada kata yang termasuk kelompok kata tugas, seperti kata demonstratif, kata depan, partikel wacana, dan perubahan bunyi dalam kata yang digunakan konteks kalimat.

14 Kajian fonologi yang telah dilakukan itu dapat memperkaya khazanah penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara. Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian pada bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain, bunyi-bunyi yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran bunyi-bunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam penggambaran realisasi bentuk asal dan turunannya. Demikian juga dengan kajian fonologi terhadap bahasa Gayo sangat penting dilakukan mengingat fenomena bahasa Gayo yang belum memiliki sistem tulisan tersendiri. 2.2 Konsep Konsep-konsep yang digunakan dalam kajian ini berkisar pada konsep yang berhubungan dengan teori Fonologi Struktural dan Fonologi Generatif. Berikut ini adalah uraian yang berisi tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penerapan teori tersebut Fonologi Struktural Di antara abad ke-17, 18 dan awal abad ke-19 kajian bahasa terus berkembang dari zaman ke zaman. Pandangan ahli bahasa Ferdinand de Saussure ( ) yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Genarale mengenai konsep: (1) telaah sinkronik, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie, (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik banyak berpengaruh dalam perkembangan linguistik di kemudian hari.

15 2.2.2 Aliran Praha Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius ( ). Tokoh-tokohnya adalah Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar di sekitar tahun tiga puluhan, terutama bidang fonologi. Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyibunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari bunyi tersebut dalam suatu sistem (Chaer, 1994 : 351). Struktur bunyi dijelaskan dengan memakai kontras atau oposisi. Ukuran untuk menentukan apakah bunyi-bunyi ujaran itu beroposisi atau tidak adalah makna. Perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan perbedaan makna adalah tidak distingtif. Artinya, bunyi-bunyi tersebut tidak fonemis. Sedangkan yang menimbulkan perbedaan makna adalah distingtif; jadi bunyi-bunyi tersebut bersifat fonemis. Dalam bahasa Indonesia bunyi /l/ dan /r/ adalah dua fonem yang berbeda, sebab terdapat oposisi di antara keduanya seperti tampak pada pasangan kata lupa dan rupa. Dari sejumlah tokoh aliran Praha di atas kajian Trubetzkoy memberikan pandangan terhadap teori fonologi struktural seperti berikut ini: 1. Kajian fonologi dan kajian fonetik dapat dipisahkan.

16 2. Pandangan terhadap unsur bunyi atau fonem. Pandangan ini beranggapan bahwa fonem adalah unsur bahasa yang paling kecil dan memiliki sifat yang konkret. 3. Sebagian dari bunyi bahasa tidak semestinya dapat disamakan denga fonem. 4. Nilai yang berbeda dari fonetik bagi suatu bahasa dianggap sebagai nadi bagi teori fonologi aliran Praha Konsep Generatif Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal yang ada diluar bahasa tersebut. Konsep yang dimaksud juga berhubungan dengan konsep generatif Chomsky yang di gagas pertama sekali tahun 1957 dalam buku Syntactic Structures, merupakan istilah generative dalam pendekatan linguistik yang memiliki pengertian sebagai berikut (a) dengan sejumlah kaidah dan dengan satuan-satuan yang terbatas mampu dihasilkan unsur-unsur secara tidak terbatas, dan (b) bersifat eksplisit karena dirumuskan dengan kaidah-kaidah (Chomsky, 1971 : 85). Pandangan Chomsky tentang konsep generatif dalam pendekatan linguistik berbeda dari pendekatan struktural. Pandangan itu memastikan bahwa ada sejumlah kaidah-kaidah tersebut diperoleh oleh penutur bahasa selama kurun waktu yang terbatas. Akan tetapi, kaidah yang terbatas dengan cara yang terbatas itu dapat menghasilkan dan memproduksi satuan ujaran yang mungkin terjadi secara tidak terbatas. Ide tersebutlah yang membedakan linguistik generatif dengan aliran-aliran pemikiran lainya dalam linguistik (Cairn dan Cairns, 1976 : 11).

17 Konsep Chomsky berdasarkan pendekatan linguistik generatif tersebut memberi tempat pada pemahaman tentang bahasa yang kreatif. Kreativitas atau produktivitas merupakan ciri bahasa yang universal. Keuniversalan linguistik itu dapat dikeluarkan dari tata bahasa suatu bahasa tertentu karena dapat dikenali dari teori umum tata bahasa (Chomsky, 1965; Silitonga, 1976 : 121). Sifat analisis generatif tersebut akan memberikan warna analisis bahasa (khususnya fonologi) yang dinamis, tidak statis. Analisis fonologi tidak hanya mendeskripsikan polanya, tetapi juga proses-proses perubahan segmen akibat dari interaksi segmen dengan lingkunganya, baik lingkungan fonologis maupun non fonologisnya. Kedua perubahan bunyi tersebut (lingkungan fonologis dan non fonologis) sering tidak dijelaskan secara eksplisit dalam analisis fonologi, tetapi kadang-kadang informasi seperti itu diperlukan Kompetensi dan Performansi Sejalan dengan konsep dalam kajian struktural maka, Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan bahasa (performance). Pemilahan dua tingkatan bahasa oleh Fonologi Generatif adalah pandangan tentang konsep kompetensi (competence) dan performansi (performance). Kompetensi adalah pengetahuan yang dimiliki oleh pendengarpendengar asli tentang bahasanya secara tidak sadar atau secara diam-diam. Kompetensi ini merupakan pengetahuan yang dipunyai pemakai bahasa dan merupakan objek tata bahasa generatif. Cairns dan Cairns (1976 : 19) menyebutnya linguistic competence refers only to the native speaker s knowledge of his language i.e his grammar. Selanjutnya tata bahasa haruslah mampu menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa yang dihasilkan dan mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang sebagian besar, belum pernah dilihatnya atau didengarnya (Silitonga, 1976 : 120). Performansi adalah

18 ujaran sesungguhnya sebagai lawan bahasa. dalam hal ini performansi merupakan cara kompetensi linguistik dipergunakan di dalam pembentukan dan pemahaman ujaran, di dalam produksi dan komprehensi ujaran atau speech (Palmatier, 1972 : 121). Dalam tata bahasa generatif ini, maka yang menjadi objeknya adalah kemampuan. Konsep pemilahan dua tingkatan bahasa oleh Chomsky tersebut, secara operasional, di dalam Fonologi Generatif terlihat dalam pembedaan antara representasi dasar dan representasi turunan. Fonologi Generatif membedakan dua tingkat representasi struktur fonologi, baik morfem, kata, frasa, maupun kalimat, yaitu representasi dasar dan representasi fonetik (Kenstowichz, 1979 : 32). Maka adalah tugas kaidah-kaidah fonologis yang kemudian membangun komponen fonologi dari tata bahasa bertugas untuk mengubah representasi dasar dari suatu uaraian dan menghubungkannya dengan representasi fonetik. Dengan demikian, representasi fonetik suatu kalimat dari struktur permukaan ditarik dari representasi dasarnya dengan memakai rumus-rumus atau kaidah-kaidah fonologis. Pemilahan dua tingkatan representasi dasar dan representasi turunan, bertujuan untuk dapat membedakan bentuk-bentuk yang benar-benar distingtif dengan ciri-ciri berlimpahnya. Di samping itu, juga dapat membantu membuat generalisasi menjadi lebih sederhana yang tidak bisa dilakukan hanya dengan satu tingkat representasi (Kentsowicz, 1994 : 70). Misalnya untuk dapat menyimpulkan bahwa alofon-alofon [t], [t h ], [ ], [D], [N], [t ], [ ], [ ] dalam bahasa Inggris berasal dari satu bentuk abstrak /t/, harus benar-benar dilihat lingkungannya sebagai berikut (Kenstowicz, 1994 : 66).

19 Tabel 2.1 Alofon /t/ dalam Bahasa Inggris Alofon [t] biasa [t h ] beraspirasi [ ] retrofleks [D] sentuhan (flap) [N] flap nasal [t ] glotalisasi [ ] glotal stop [ ] zero Contoh Stem ten strip atom panty hit bottle pants Ket: Simbol fonetis [D] dan [N] masing-masing untuk [t] yang ter-flap dan [t] yang ter-flap nasal merupakan lambang dari Kenstowicz (1994 : 66). Untuk dapat menjelaskan bentuk-bentuk alofon tersebut di atas, diperlukan kaidah-kaidah sistematis sebagai mediator antara bentuk abstrak /t/ dengan alofon-alofonnya Bentuk Dasar dan Bentuk Turunan Bentuk dasar merupakan bentuk dari sebuah morfem yang dianggap paling umum dan paling tidak terbatas. Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata (Chaer, 1994 : 137). Dalam studi fonologi, alofon-alofon yang merealisasikan sebuah fonem itu, dapat dilambangkan secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik. Sementara Hyman memberikan pendapat tentang fonem (1) fonem sebagai realitas fonetis; (2) fonem sebagai realitas fonologis; dan (3) fonem sebagai realitas psikologis (Hyman, 1975 : 60). Dari ketiga pendapat itu, para pakar fonologi generatif lebih suka menggunakan istilah segmen fonologis daripada

20 fonem (Chomsky dan Halle, 1968 : 11; Lapoliwa, 1981 : 11). Segmen fonologis sering diistilahkan dengan bentuk dasar atau bentuk asal. Bentuk dasar ( underlying form) disingkat Bd, tidak merupakan satuan dasar dalam fonologi generatif karena satuan dasar yang sesungguhnya adalah ciri pembeda (Harms, 1968 : 1; Chomsky dan Halle, 1968 : 64; Schane, 1973 : 24; Hyman, 1975 : 24-25). Bentuk Dasar adalah satuan dasar hipotesis yang dianggap merupakan titik landasan untuk menguraikan atau menurunkan seperangkat satuan atau seperangkat varian dari sebuah satuan (Schane, 1973). Bentuk turunan (derived form) disingkat Bt, bentuk turunan adalah bentuk yang berasal dari Bd setelah mengalami pelbagai proses. Bentuk turunan baru terbentuk dari bentuk dasar setelah melewati satu atau lebih proses, seperti proses perubahan, penambahan, pelesapan, atau proses penggantian (Shcane, 1973). Di dalam fonologi generatif digunakan Bd yang abstrak berdasarkan beberapa pertimbangan, (1) suatu morfem yang bervariasi digambarkan dengan satu Bd, peneliti telah memberikan suatu bentuk yang khas kepada suatu morfem yang khas pula, (2) kaidah-kaidah yang mengubah Bd menjadi Bt, yang menandai dengan tegas proses-proses suatu bahasa, dan (3) Bt yang langsung mengemukakan beberapa perwujudan morfem yang fonetis (Schane, 1973 : 74-75). Di dalam hubungannya dengan penentuan Bd, simbol-simbol ortografis bagi morfem pada realisasi fonologis harus didasarkan pada kriteria-kriteria yang dapat

21 diramalkan, hemat, memiliki keteraturan pola, masuk akal, dan wajar (Hyman, 1975 : 91-97, ). Dalam Bahasa Gayo berdasarkan pengamatan sementara yang dilakukan ditemukan delapan bunyi vokal, yaitu [i], [e], [ ], [ ], [a], [u], [o], dan [ ], dan 17 bunyi konsonan, yaitu [p], [b], [t], [d], [k], [g], [c], [j], [s], [h], [m], [n], [ή], [ ], [l], [w], [y]. Berikut contoh pemakaian segmen segmen tersebut. a. Vokal /a/ /awal/ /i/ /ila / /e/ /eleh/ / / / rah/ / / /g r / /u/ /umah/ /o/ /opoh/ / / / g h/ pisang merah ludah lihat tidak rumah kain bodoh b. Konsonan /p/ /pumu/ /b/ /b luh/ /t/ /tulu/ /d/ /d le/ /c/ /c rak/ /j/ /juwah/ /k/ /k n / /g/ /s g r/ /s/ /sara/ /h/ /hana/ /m/ /m ra/ /n/ /nan/ / / /ura / /l/ /l m m/ /r/ /r / tangan pergi tiga banyak bicara liar katanya sekali satu apa mau tambah orang lama leher

22 /w/ /was/ dalam /y/ /iyo/ sore Fitur Pembeda (Distingtive Features) Setiap benda mempunyai ciri-ciri yang membuat benda itu dapat dikenal. Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh benda X yang membedakannya dari semua benda-benda lain sejenisnya. Kita misalnya dapat mengenal bunyi-bunyi bahasa berdasarkan ciri-cirinya. Ciri-ciri yang khusus dalam sebuah bahasa yang dapat membedakannya dengan bahasa lain itu disebut fitur-fitur distingtif dalam kajian fonologi. Konsep fitur sangat penting dalam kajian Fonologi Generatif karena fitur merupakan unit dasar analisisnya. Fitur-fitur pembentuk segmen fonetik mencerminkan instruksi-instruksi mental yang menunjukkan kerja alat-alat ucap dalam memproduksi bunyi (Postal, 1968 : 273). Pengertian fitur sebagai suatu konsep adalah characteristix or striking part atau characteristic property dalam bahasa Indonesia bermakna menjadi ciri atau milik atau sifat yang khusus (Simanjuntak, 1990 : 11). Konsep fitur distingtif ini berlaku untuk semua benda yang ada di dunia ini, termasuk bunyi bahasa manusia di dunia ini. Khusus dalam kajian fonologi, fitur distingtif diartikan sebagai milik fonem terkecil yang dipakai untuk membedakan arti (Simanjuntak, 1990 : 14). Dalam Fonologi Generatif segmen dipandang sebagai kesatuan yang terbentuk dari seperngkat sifat. Untuk itu, setiap segmen dapat dilihat hubungannya dengan segmen lain. Hubungan tersebut secara eksplisit terlihat dengan mendaftar sifat

23 atau fitur tiap segmen. Misalnya, hubungan segmen p,b,d dan n dapat dilihat dalam daftar berikut ini (Schane, 1992 : 3). p b d n labial labial dental dental hambat hambat hambat nasal tak bersuara bersuara bersuara bersuara Gambar di atas mempelihatkan bahwa p dan b berhubungan dalam labial, sementara d dan n berhubungan dalam dental. Selanjutnya, p,b,dan d berhubungan dengan hambat, sedangkan b,d dan n berhubungan dalam bersuara. Secara ideal, fitur-fitur yang sesuai harus memenuhi tiga fungsi, yaitu (1) fungsi fonetis, (fitur itu mampu memerikan fonetik sistematis) (2) fungsi fonemis, (fitur itu berguna untuk membedakan unsur leksikal, dan (3) fitur itu mampu menetapkan kelas wajar (segmen sebagai kelompok yang mengalami proses fonologis yang sama (Schane, 1992 : 27). Selanjutnya, fitur tersebut dibedakan atas dua macam, yaitu fitur yang berpasangan (biner) dan fitur yang mewakili nilai pada skala. Misalnya, fitur untuk kelas vokal adalah [+ silabis], [+ sonoran], dan [- konsonantal]. Berkaitan dengan jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran fonologi bahasa Melayu (Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) sebanyak tiga belas buah (Simanjuntak, 1990 : 96). Representasi fonologis realisasi fonologis- suatu morfem dapat dipandang sebagai matriks yang berdimensi dua, yaitu pertama, kolom-kolomnya yang berisi segmen-segmen suatu morfem; kedua, baris-barisnya yang

24 mendaftarkan ciri-ciri (Schane, 1973 : 41; Chomsky dan Halle, 1968 : 165). Suatu rincian dalam posisi tertentu pada matriks di atas ini menunjukkan apakah segmen itu memiliki ciri tersebut (+) atau tidak (-). Suatu posisi yang kosong berarti ciri itu tidak berkaitan dengan segmen itu. Perbedaan utama dalam representasi fonologis dan representasi fonetis dengan menggunakan sistem ciri distingtif adalah representasi fonologis tidak perlu semua ciri dispesifikasikan untuk semua segmen, sedangkan untuk representasi fonetis harus lengkap. Pada tataran fonetis kosong artinya ciri itu tidak relevan. Pada tataran fonologis kosong bisa berarti terduga (rendundan) +, - atau tidak relevan. Pada tataran representasi fonologis ciri-ciri berlimpah (dapat diduga) tidak perlu dispesifikasi (ini ditampung pada kaidah ciri-ciri berlimpah segmen) Tabel 2.2 Matriks Ciri Pembeda Kata aka dan aku Ciri /a k a/ kakak /a k u/ saya Konsonan Silabik Sonoran Anterior - - Koronal - - Tinggi Rendah Belakang Bulat Nasal Malaran Bersuara Lateral Penggunaan ciri-ciri pembeda sebagai unsur terkecil dari bunyi lebih tepat daripada penggunaan simbol-simbol alfabetis, karena penggunaan ciri-ciri pembeda memungkinkan pembedaan antara golongan seciri dengan golongan

25 yang pengelompokkannya secara sewenang-wenang (Kenstowich dan Kisserbert, 1979 : 240). Selain itu, penggunaan ciri-ciri pembeda menungkinkan pula adanya penjelasan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada Bd menjadi Bt. Ciri pembeda yang dikemukakan oleh Schane ada enam. Pertama, ciri-ciri golongan utama yang meliputi silabis, sonoran, dan konsonan. Kedua, ciri-ciri cara artikulasi yang meliputi malar (kontinuan), pelepasan tertunda (pelepasan tidak segera), kasar (strident), nasal, dan lateral. Ketiga, ciri-ciri tempat artikulasi yang meliputi anterior dan koronal. Keempat, ciri-ciri punggung lidah yang meliputi tinggi, rendah, belakang, dan ciri bentuk bibir yang meliputi bulat dan tidak bulat. Kelima, ciri-ciri tambahan yang meliputi tegang, bersuara, beraspirasi, dan hambat. Keenam ciri-ciri prosodi. Dari keenam ciri-ciri yang disebutkan di atas hanya lima ciri yang akan menjadi fokus kajian ini Ciri-ciri Kelas Utama Ciri-ciri kelas utama ditentukan oleh tiga hal: (1) kemampuan menjadi puncak kenyaringan, (2) kenyaringan segmen yang bersangkutan, dan (3) jenis penyempitan yang terjadi di dalam rongga mulut. Ketiga hal di atas berkaitan dengan ciri silabis, sonoran, dan konsonantal. Ciri-ciri silabis menggambarkan suatu segmen dalam struktur suku kata. Pada umumnya, vokal-vokal bersifat [+silabis] dan konsonan [-silabis]. Di samping itu, ciri ini juga digunakan untuk membedakan bunyi-bunyi nasal dan alir yang silabis dan tidak silabis (Schane, 1973 : 26) Ciri-ciri sonoran menggambarkan sifat-sifat kenyaringan suatu bunyi. Vokal, nasal, alir dan semivokal adalah [+sonoran], sedangkan obstruen yang

26 meliputi hentian, frikatif, luncuran laringal adalah [-sonoran] (Schane, 1973 : 26; Hyman, 1975 : 42; Lass, 1984 : 83). Ciri-ciri konsonantal menggambarkan penyempitn yang terjadi di dalam rongga mulut, baik penyempitan total maupun pergeseran. Bunyi-bunyi hentian, frikatof, afrikat, nasal dan alir bersifat [+konsonantal], sedangkan luncuran laringal [-konsonantal] karena pada saat mengucapkan bunyi ini tidak adanya penyempitan dalam rongga mulut (Schane, 1973 : 26-27; Hyman, 1975 : 42-43; Lass, 1984 : 83) Ciri-ciri Cara Artikulasi Ciri-ciri cara artikulasi meliputi malar (continuant), pengelepasan tertunda (delayed realease), kasar, nasal, dan lateral. Bunyi [+malar] merupakan bunyi yang udaranya ke luar terus-menerus. Obstruen yang bersifat [+malar] adalah frikatif, sedangkan, hentian, dan afrikat bersifat [-malar] Afrikat bersifat pelepasan tertunda [+pelepasan tertunda], sedangkan hentian bersifat [-pelepasan tertunda]. Bunyi afrikat yang bergeser dan beberapa frikatif dapat digolongkan bersifat [+kasar] karena udara yang keluar menyentuh gigi atau uvula sehingga bunyinya lebih kasar. Jadi, f,v,s,z bersifat [+kasar], sedangkan dan bersifat [-kasar]. Bunyi nasal bertentangan dengan bunyi alir, yaitu sebagai [+nasal] bertentangan dengan [-nasal]. Bunyi alir dan lateral saling bertentangan sebagai [+lateral] dan [-lateral] Ciri-ciri Tempat Artkulasi

27 Ciri-ciri tempat artikulasi ini digolongkan atas empat tempat yang mendasar, yaitu labial, dental, palatoalveolar, dan velar. Namun, keempat tempat artikulasi ini tercakup ke dalam dua ciri pembeda yaitu, anterioar dan koronal yang didasarkan apakah penyempitan dari alveolum ke depan (konsonan anterior) atau terletak di belakang alveolum (konsonan tidak anterior). Disamping itu, apakah artikulator berupa daun lidah (koronal) atau tidak (tidak koronal) (Schane, 1973 : 29; hyman, 1975 : 47-48) Ciri-ciri Batang Lidah Dalam penggolongan vokal digunakan sifat depan-belakang dan sifat bulat-hampar (Schane, 1973 : 30) sehingga vokal mempunyai ciri pembeda [tinggi], [belakang], dan [bulat] (Lass, 1984 : 80). Semivokal mirip dengan vokal tinggi, kecuali pada nilai ciri silabis. Oleh karena itu, ciri tinggi, belakang, dan bulat dapat membedakan berbagai semivokal. Disamping itu, ciri-ciri pembeda tinggi belakang dapat dipakai untuk membedakan konsonan, misalnya konsonankonsonan yang [-anterior] dan [-koronal] Ciri-ciri Tambahan Ciri-ciri ini terdiri atas [tegang], [bersuara], dan [hambat]. Ciri-ciri tegang terjadi, baik pada vokal maupun pada konsonan. Bunyi tegang ditandai oleh ketegangan otot secara relatif terdengar lebih panjang dan alat-alat pembentuk suaranya digerakkan lebih jauh dari posisi letaknya (Schane, 1973 : 13).

28 2.2.7 Persyaratan Struktur Morfem. Syarat-syarat struktur morfem pada mulanya disebut kaidah-kaidah redundansi leksikal yang juga disebut kaidah-kaidah struktur morfem (Harms, 1968 : 88-89). Namun para pakar fonologi generatif mengangap penggunaan istilah kaidah-kaidah struktur morfem tidak tepat dan sebagai gantinya digunakan istilah syarat-syarat struktur morfem (Hyman, 1975 : 110). Oleh Schane, syaratsyarat struktur morfem ini disebut sebagai syarat-syarat ciri-ciri berlimpah. Setiap segmen mempunyai nilai yang dinyatakan untuk setiap cirinya. Beberapa nilainya dapat diduga berdasarkan nilai atau ciri yang lain. Hal seperti ini disebut sebagai ciri-ciri berlimpah sehingga matriks dapat mengandung sejumlah ciri-ciri berlimpah (Schane,1973 : 35-40). Sebuah fitur segmen dikatakan berlimpah apabila kehadirannya tidak perlu di dalam mengidentifikasikan segmen tersebut karena fitur tersebut sudah dapat diduga berdasarkan kaidah fitur lainnya. Fitur berlimpah penting untuk membuat rujukan ke kelas wajar, sedangkan fitur tidak berlimpah bersifat distingtif. Stanley membedakan syarat-syarat struktur morfem atas tiga, yaitu (1) syarat-syarat jika- maka, (2) syarat-syarat positif, dan (3) syarat-syarat negatif. Syarat-syarat jika-maka dibedakan atas dua, yaitu syarat-syarat jika-maka untuk segmen, dan syarat-syarat jika-maka untuk rangkaian segmen. Syarat-syarat positif di bedakan atas dua, yaitu (1) afiks dan (2) morfem pangkal (Hyman, 1975 : ). Syarat-syarat jika-maka untuk segmen bermanfaat untuk menjaring keteraturan bentuk-bentuk pada tingkat realisasi asal atau kelimpahan segmen-

29 segmen. Syarat-syarat jika-maka untuk rangkaian segmen bermanfaat untuk mendapatkan gambaran mengenai rangkaian atau kombinasi segmen yang dibolehkan dalam suatu morfem bahasa tertentu. Syarat-syarat positif bermanfaat untuk mendapatkan pola kanonik suku kata dari bahasa asal morfem. Pola-pola ini memberi informasi tentang pembatasan umum dari rangkaian segmen (konsonan dan vokal) dalam gambaran fonologis kata-kata atau ciri leksikal. Dalam kajian ini, syarat-syarat negatif tidak akan diterapkan, karena syarat-syarat ini dapat diganti dengan syarat-syarat jikamaka (Schachter dan Fromklin (dalam Hyman, 1975 : 112). Bahasa Gayo mempunyai empat pola kanonik suku kata. Masing-masing suku kata disertai sebuah vokal, baik sebagai pembuka atau pengiring konsonan. Tetapi ada juga sebuah suku kata yang hanya terdiri dari satu vokal saja. Berikut pola kanonik suku kata tersebut. a. V : /a ra/ ada /i - la / merah /u - r n/ hujan b. VK : /am- pa/ padi kosong /an tak/ makan /u - ke/ rimbang c. KV : /si/ mana /ko nol/ duduk /k m - p / cucu d. KVK : /r m/ padi /tu - l n/ tulang /l - k p/ telungkup

30 Proses-Proses Fonologis Proses fonologis merupakan morfem-morfem yang bergabung untuk membentuk kata, segmen-segmen dari morfem-morfem yang berdekatan berjejeran dan kadang-kadang mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam lingkungan yang bukan berupa pertemuan dua morfem misalnya posisi awal kata dan akhir kata, atau hubungan antara segmen dengan vokal bertekanan. Secara garis besar proses fonologis terbagi menjadi empat kategori: asimilasi, struktur silabel, pelemahan dan penguatan, dan netralisasi (Schane, 1973 : 49-61). Dalam proses asimilasi, sebuah segmen mendapat ciri-ciri dari segmen yang berdekatan. Konsonan mungkin mengambil ciri-ciri dari vokal dan sebaliknya, konsonan yang satu bisa mempengaruhi yang lain, atau vokal yang satu bisa mempengaruhi yang lain. Dalam proses asimilasi sangat penting dan berpengaruh pada kata. Secara rinci proses asimilasi terbagi empat, yaitu, (1) konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri vokal, (2) vokal berasimilasi dengan ciriciri konsonan (3) konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan, dan (4) vokal berasimilasi dengan ciri-ciri vokal (Schane, 1992 : 51). Proses-proses struktur suku kata mempengaruhi distribusi relatif antara konsonan dan vokal dalam kata. Proses ini ada sembilan, yaitu (1) pelesapan konsonan, (2) pelesapan vokal, (3) penyisipan konsonan, (4) penyisipan vokal, (5) penggabungan vokal, (6) perpaduan konsonan, (7) penggabungan konsonan atau vokal, (8) perubahan kelas utama, dan (9) metatesis (Schane, 1992 : 54-62). Pelemahan dan penguatan akan mengakibatkan tidak semuan perubahan dalam struktur silabel selalu berakibat menjadi lebih sederhana. Struktur silabel akan menjadi kompleks, misalnya, jika vokal berkonfigurasi KVKV yang asli dilesapkan, sehingga dua konsonan itu berjejer. Pelesapan yang demikian sering

31 disebabkan oleh segmen yang menduduki posisi lemah dalam silabel itu. Dalam proses pelemahan dan penguatan secara dapat dibedakan atas: (1) sinkop dan apokop, dan (2) pengurangan vokal yang dialami oleh vokal-vokal lemah. Penguatan dapat dibedakan atas diftongisasi dan pergeseran vokal yang dialami oleh vokal-vokal kuat, yakni vokal-vokal tegang atau bertekanan. Netralisasi adalah proses yang membedakan fonologisnya dihilangkan dalam lingkungan tertentu. Proses netralisasi terbagi atas netralisasi konsonan dan netralisasi vokal Kaidah-kaidah Fonologis Kaidah sebenarnya adalah penetapan secara tepat persyaratan terjadinya proses fonologis (Schane, 1992 : 62). Kaidah tersebut dapat dinyatakan dengan bahasa sehari-hari atau dapat pula dinyatakan dengan suatu notasi formal. Hal ini penting karena notasi harus cocok untuk mengungkapkan jenis-jenis proses yang terjadi dalam fonologi dan untuk mencakup generalisasi yang ditemukan di situ. Dalam Fonologi Generatif dikenal empat macam kaidah fonologis (Schane, 1992 : 65). Keempat macam kaidah itu adalah : (3) kaidah perubahan ciri. (4) kaidah pelesapan dan penyisipan (5) kaidah permutasi dan perpaduan, dan (6) kaidah variabel Dalam penulisan kaidah fonologis dikembangkan berbagai konvensi yang merujuk ke segmen dan kelas segmen. Segmen biasanya ditulis dengan notasi fonemis (misalnya /p/), sedangkan kelas segmen digambarkan dengan spesipikasi ciri minimum yang diperlukan untuk identifikasinya (misalnya [-malar, +

32 penglepasan tidak segera] merujuk ke konsonan afrikat). Kelas konsonan dan kelas vokal dilambangkan dengan K dan V. Penanda lain + dipakai untuk menyatakan batas morfem, # dipakai untuk menyatakan batas kata, dan // dipakai untuk batas frasa. Sementara simbol 0 (nol) sebagai kaidah penyisipan jika simbol itu muncul di sebelah kiri tanda panah atau untuk pelesapan jika simbol itu muncul di sebelah kanan tanda panah (Schane, 1992; Hyman, 1975; Kenstowicz, 1994). Untuk menyatakan jumlah minimum dan maksimum gugus segmen silabel digunakan angka subskrip dan superskrip. Misalnya K 2 o berarti nol, satu, dan maksimum dua konsonan. Pembatasan mengenai batas atas dapat juga diungkapkan melalui notasi tanda kurung, seperti K 1 o = (K), K 2 o = (K)(K), dan K 2 1 = K (K). Untuk menggambarkan perubahan-perubahan segmen dalam suatu bahasa juga bisa digunakan notasi formal, fitur pohon, matriks dan lain-lain (Schane, 1992; dan Kenstowicz, 1994). Dalam penetapan sebuah kaidah, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Ketiga hal tersebut adalah (1) segmen mana yang berubah; (b) bagaimana segmen itu berubah, dan (3) dalam kondisi apa segmen itu berubah (Schane, 1992 : 65). Segmen atau kelas segmen yang mengalami perubahan digambarkan dengan perangkat ciri yang minimal untuk identifikasi yang unik. Perubahan itu juga diungkapkan dalam notasi ciri. Selanjutnya, segmen yang berubah dan cara perubahannya dihubungkan dengan tanda panah yang menunjuk kearah perubahan itu. Dalam penggambarannya, segmen yang berubah muncul di sebelah kiri tanda panah, perubahan segmen tersebut muncul di sebelah kanan tanda panah, dan lingkungan perubahan ditulis sesudah garis miring.

33 Berikut ini adalah sebuah contoh kaidah fonologis yang berlaku dalam bahasa Hanunoo di Filipina (data Schane, 1992 : 47). K - kons / V +V + malar Kaidah tersebut mengatakan bahwa dalam bahasa Hanunoo (Filipina), sebuah konsonan /h/ disisipkan untuk memisahkan gugus vokal. contoh itu terlihat pada data jika sufiks i ditambahkan pada kata dasar. upat empat upati jadikan empat unum enam unumi jadikan enam pusa satu usahi jadikan satu Tulu tiga tuluhi jadikan tiga Data bahasa Hanunoo di atas memperlihatkan bahwa penambahan bunyi /h/ terjadi pada kata dasar yang berakhir dengan vokal. Ketika kata dasar yang berakhir dengan vokal tersebut ditambah sufiks i, terjadilah gugus vokal antarmorfem yang tidak diizinkan dalam bahasa tersebut sehingga muncul epentesis /h/. Dalam Bahasa Gayo sebuah konsonan /r/ disisipkan untuk memisahkan gugus vokal. Contoh itu terlihat pada data jika prefiks be ditambahkan pada kata dasar. aba abang b raba memanggil abang ama bapak b rama memanggil bapak in ibu b rin memanggi ibu

34 Dalam Bahasa Gayo diatas memperlihatkan bahwa penambahan bunyi /r/ terjadi diantara prefiks -b dan kata dasar. Ketika kata dasar dimulai dengan vokal di awal, ditambah prefiks -b, terjadilah gugus vokal yang tidak diizinkan didalam bahasa tersebut sehingga terjadilah epentesis /r/. Kaidah fonologis merupakan representasi dari adanya proses-proses fonologis yang terjadi dalam sebuah bahasa. kaidah-kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan adanya proses fonologis, baik sebagai akibat pertemuan dua atau lebih morfem maupun pengaruh dari segmen yang berdekatan. 2.3 Kerangka Teori Kerangka teori yang mendasari teori Fonologi Generatif adalah teori yang pertama sekali digagas oleh Noam Chomsky dan Morris Halle (1968) dalam bukunya The Sound Pattern of English. Teori yang diacu dalam kajian ini adalah teori Fonologi Generatif oleh Schane (1973; diterjemahkan kedalam bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia tahun 1992). Jika teori Schane telah mengacu pada berbagai macam bahasa sehingga lebih meyakinkan bahwa teori tersebut dapat digunakan dalam analisis bahasa Gayo. Seperti yang di ketahui bahwa teori Schane tersebut masih berupa kerangka teoritis, yang sudah dilengkapi dengan berbagai studi operasional bidang-bidang khusus. Bidang proses dan kaidah perubahan bunyi dilengkapi dengan pandangan Kenstowicz (1994) dalam Phonology in Generative Grammar.

BAB I PENDAHULUAN. bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN. bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang beragam dan memiliki bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal- hal lain (Alwi,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal- hal lain (Alwi, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal- hal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

Pendahuluan. 4-Nov-16 Adi Yasran, UPM

Pendahuluan. 4-Nov-16 Adi Yasran, UPM Nota Kuliah BBM3202 Pendahuluan Fitur Distingtif (ciri pembeza) ialah unit terkecil nahu yang membezakan makna. Cth: Pasangan minimal [pagi] dan [bagi] yang dibezakan maknanya pada fitur tak bersuara [p]

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASARN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASARN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASARN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk menemukan jawaban suatu permasalahan atau konsep adalah gambaran

Lebih terperinci

FONOLOGI BAHASA KANAUMANA KOLANA

FONOLOGI BAHASA KANAUMANA KOLANA RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 3, No. 1 April 2017, 145-158 Available Online at http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret FONOLOGI BAHASA KANAUMANA KOLANA Lodia Amelia Banik Universitas Warmadewa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka menguraikan penelitian-penelitian yang dijadikan acuan dalam menyusun landasan atau kerangka teori. Kajian pustaka berfungsi

Lebih terperinci

ANIS SILVIA

ANIS SILVIA ANIS SILVIA 1402408133 4. TATANAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI Kalau kita nmendengar orang berbicara, entah berpidato atau bercakap-cakap, maka akan kita dengar runtutan bunyi bahasa yang terus menerus, kadang-kadang

Lebih terperinci

FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN. Pendahuluan

FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN. Pendahuluan FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN Pendahuluan Pada tahun 1940 sampai dengan tahun 1950-an fonologi adalah cabang linguistik yang banya dibicarakan di antara cabang-cabang linguistik lainnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbahasa merupakan pengalaman universal yang dimiliki oleh manusia. Bahasa adalah sistem bunyi ujar. Bunyi bahasa yang tidak sesuai diucapkan oleh seorang pengguna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fonologi adalah suatu kajian bahasa yang berusaha mengkaji bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi ujaran yang dimaksud adalah pembentukan fonem-fonem

Lebih terperinci

Nama : Hari Agus Prasetyo NIM : Tataran Linguistik (1) : fonologi

Nama : Hari Agus Prasetyo NIM : Tataran Linguistik (1) : fonologi Nama : Hari Agus Prasetyo NIM : 1402408261 4. Tataran Linguistik (1) : fonologi Ketika kita mendengar orang berbicara, tentang berpidato atau bercakapcakap, maka kita akan runtunan bunyi bahasa yang berubah-ubah.

Lebih terperinci

TATARAN LINGUISTIK FONOLOGI

TATARAN LINGUISTIK FONOLOGI Nama : Nugraheni Widyapangesti NIM : 1402408207 TATARAN LINGUISTIK FONOLOGI Runtutan bunyi dalam bahasa ini dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan tingkatan kesatuannya yang ditandai dengan

Lebih terperinci

Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure Tokoh-Tokoh Linguistik Abad 20 Tokoh-Tokoh Linguistik Abad 20 Ferdinand de Saussure Vilem Mathesius Louis Hjemslev John R. Firth M.A.K. Halliday Charles J. Filmore Leonard Bloomfield Kenneth L. Pike Noam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam linguistik bahasa Jepang (Nihon go-gaku) dapat dikaji mengenai beberapa hal, seperti kalimat, kosakata, atau bunyi ujaran, bahkan sampai pada bagaimana bahasa

Lebih terperinci

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI Nama : TITIS AIZAH NIM : 1402408143 LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI I. MORFEM Morfem adalah bentuk terkecil berulang dan mempunyai makna yang sama. Bahasawan tradisional tidak mengenal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debby Yuwanita Anggraeni, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debby Yuwanita Anggraeni, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN Dalam bagian ini, dipaparkan mengenai pendahuluan penelitian yang dapat diuraikan sebagai berikut. Adapun uraiannya meliputi (1) latar belakang, (2) identifikasi masalah, (3) batasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia dalam berinteraksi di lingkungan sekitar. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar

Lebih terperinci

SEJARAH ALIRAN LINGUISTIK

SEJARAH ALIRAN LINGUISTIK SEJARAH ALIRAN LINGUISTIK Linguistik Tradisional Dalam pendidikan formal ada istilah kata tata bahasa tradisional dan tata bahasa structural. Kedua jenis tata bahasa ini banyak dibicarakan orang sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan salah satu prestasi

BAB I PENDAHULUAN. Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan salah satu prestasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan salah satu prestasi manusia yang paling hebat dan paling menakjubkan. Itulah sebabnya masalah ini mendapat perhatian besar.

Lebih terperinci

BAB 4 TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI

BAB 4 TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI BAB 4 TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.pada bidang linguistic yang mempelajari, menganalisis,dan membicarakan

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Nama : Siti Mu awanah NIM : Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Dosen : Drs. Umar Samadhy, M.Pd.

Disusun Oleh : Nama : Siti Mu awanah NIM : Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Dosen : Drs. Umar Samadhy, M.Pd. Disusun Oleh : Nama : Siti Mu awanah NIM : 1402408022 Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Dosen : Drs. Umar Samadhy, M.Pd. PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Lebih terperinci

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM A. PENGANTAR Fonologi adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa. Fonologi secara Etimologi berasal dari kata fon, yang artinya bunyi dan logi yang berarti ilmu. Fonologi

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia Assalamu alaikum Wr. Wb Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia TATA BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA Bahasa yang terpenting di kawasan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 4 4. TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

BAB 4 4. TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI 4. TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI BAB 4 Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Fonologi terbentuk dari kata fon = bunyi dan logi

Lebih terperinci

Bahasa sebagai Sistem. Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd. Dosen Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif

Bahasa sebagai Sistem. Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd. Dosen Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Bahasa sebagai Sistem Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd. Dosen Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Bahasa sebagai sebuah sistem Bahasa terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara teratur. Unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh

Lebih terperinci

OBJEK LINGUISTIK = BAHASA

OBJEK LINGUISTIK = BAHASA Nama : Laela Mumtahanah NIM : 1402408305 BAB III OBJEK LINGUISTIK = BAHASA Objek kajian linguistik yaitu bahasa 3. 1. Pengertian Bahasa Objek kajian linguistik secara langsung adalah parole karena parole

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai ciri khas tersendiri

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak

Lebih terperinci

Nama : MAOIDATUL DWI K NIM : BAB 4 FONOLOGI

Nama : MAOIDATUL DWI K NIM : BAB 4 FONOLOGI Nama : MAOIDATUL DWI K NIM : 1402408303 BAB 4 FONOLOGI Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari tentang runtutan bunyibunyi bahasa. Fonologi dibedakan menjadi dua berdasarkan objek studinya,

Lebih terperinci

PROSES FONOLOGIS DAN PENGKAIDAHANNYA DALAM KAJIAN FONOLOGI GENERATIF

PROSES FONOLOGIS DAN PENGKAIDAHANNYA DALAM KAJIAN FONOLOGI GENERATIF DEIKSIS Vol. 09 No.01, Januari 2017 p-issn: 2085-2274, e-issn 2502-227X hal. 70-78 PROSES FONOLOGIS DAN PENGKAIDAHANNYA DALAM KAJIAN FONOLOGI GENERATIF Saidatun Nafisah Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Setiap bahasa di dunia memiliki sistem kebahasaan yang berbeda. Perbedaan sistem bahasa itulah yang menyebabkan setiap bahasa memiliki ciri khas dan keunikan, baik

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dianalisis pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa persamaan dan perbedaan perubahan fonem yang terjadi pada proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan

BAB I PENDAHULUAN. sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Analisis kalimat dapat dilakukan pada tiga tataran fungsi, yaitu fungsi sintaksis,fungsi semantis dan fungsi pragmatis.fungsi sintaksis adalah hubungan gramatikal antara

Lebih terperinci

BAB IV TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

BAB IV TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI NAMA : TAUFIQ SHOFYAN HADI NIM : 1402408291 BAB IV TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI Kalau kita mendengar orang berbicara, entah berpidato atau bercakap-cakap, maka akan kita dengar runtunan bunyi bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diberikan akal dan pikiran yang sempurna oleh Tuhan. Dalam berbagai hal manusia mampu melahirkan ide-ide kreatif dengan memanfaatkan akal dan pikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana,

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 2008:143). Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Indonesia terletak pada posisi silang jalur lalu-lintas dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Indonesia terletak pada posisi silang jalur lalu-lintas dunia. Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia terletak pada posisi silang jalur lalu-lintas dunia. Hal tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan kebudayaan yang sangat beraneka ragam. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

Tokoh-Tokoh Linguistik Abad 20

Tokoh-Tokoh Linguistik Abad 20 Tokoh-Tokoh Linguistik Abad 20 Tokoh-Tokoh Linguistik Abad 20 Ferdinand de Saussure Vilem Mathesius Louis Hjemslev John R. Firth M.A.K. Halliday Charles J. Filmore Leonard Bloomfield Kenneth L. Pike Noam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga 2.1 Kepustakaan yang Relevan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga penulis

Lebih terperinci

PROSES FONOLOGIS BAHASA JAWA : KAJIAN TEORI OPTIMALITAS. Oleh Drs. Agus Subiyanto, M.A Fakultas Sastra Universitas Diponegoro

PROSES FONOLOGIS BAHASA JAWA : KAJIAN TEORI OPTIMALITAS. Oleh Drs. Agus Subiyanto, M.A Fakultas Sastra Universitas Diponegoro MAKALAH RINGKAS PROSES FONOLOGIS BAHASA JAWA : KAJIAN TEORI OPTIMALITAS Oleh Drs. Agus Subiyanto, M.A Fakultas Sastra Universitas Diponegoro 1. Pendahuluan Proses fonologis dalam bahasa Jawa dapat terjadi

Lebih terperinci

PERBEDAAN TEORI LINGUISTIK FERDINAND DE SAUSSURE DAN NOAM CHOMSKY. Abdullah Hasibuan 1. Abstrak

PERBEDAAN TEORI LINGUISTIK FERDINAND DE SAUSSURE DAN NOAM CHOMSKY. Abdullah Hasibuan 1. Abstrak PERBEDAAN TEORI LINGUISTIK FERDINAND DE SAUSSURE DAN NOAM CHOMSKY Abdullah Hasibuan 1 Abstrak Linguistik merupakan suatu ilmu yang bahasa secara ilmiah atau ilmu tentang bahasa. Kata Linguistik berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. kanak-kanak atau pertumbuhan bahasa kanak-kanak telah menjadi satu disiplin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. kanak-kanak atau pertumbuhan bahasa kanak-kanak telah menjadi satu disiplin BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemerolehan Bahasa Pemerolehan bahasa yang sering juga disebut perkembangan bahasa kanak-kanak atau pertumbuhan bahasa kanak-kanak

Lebih terperinci

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA TUGAS KELOMPOK CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA MATA KULIAH : FONOLOGI DOSEN : Yuyun Safitri, S.Pd DISUSUN OLEH: ANSHORY ARIFIN ( 511000228 ) FRANSISKA B.B ( 511000092 ) HAPPY

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adnyana, Ida Bagus Artha Kaidah-kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah

DAFTAR PUSTAKA. Adnyana, Ida Bagus Artha Kaidah-kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah DAFTAR PUSTAKA Adnyana, Ida Bagus Artha. 1995. Kaidah-kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah Kajian Transformasi Generatif. (Tesis) Denpasar: Program Pasca Sarjana UNUD Akbar,M. Osra. 1985. Pemetaan Bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan mediator utama dalam mengekspresikan segala bentuk gagasan, ide, visi, misi, maupun pemikiran seseorang. Bagai sepasang dua mata koin yang selalu beriringan,

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Nama : Irine Linawati NIM : 1402408306 BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Fonem adalah satuan bunyi terkecil dari arus ujaran. Satuanfonem yang fungsional itu ada satuan yang lebih tinggi yang disebut

Lebih terperinci

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan Prof.Madya Dr. Zaitul Azma Binti Zainon Hamzah Jabatan Bahasa Melayu Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi Universiti Putra Malaysia 43400

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi a. Komponen subglotal b. Komponen laring c. Komponen supraglotal

1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi a. Komponen subglotal b. Komponen laring c. Komponen supraglotal 1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi Alat ucap dan alat bicara yang dibicarakan dalam proses memproduksi bunyi bahasa dapat dibagi atas tiga komponen, yaitu : a. Komponen subglotal

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat

BAB V P E N U T U P. Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Ketika kita membaca semua tulisan dalam tesis yang berjudul Kalimat tunggal bahasa Sula yang dipaparkan bahasan masaalahnya mulai dari bab II hingga bab IV dalam upaya

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat

BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN. Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN PERTANYAAN PENELITIAN A. Kerangka Teoretis Kerangka teoretis merupakan suatu rancangan teori-teori mengenai hakikat yang memberikan penjelasan tentang

Lebih terperinci

Fonologi Dan Morfologi

Fonologi Dan Morfologi Fonologi Dan Morfologi 4. 2 Fonologi Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam kelangsungan hidupnya manusia selalu membutuhkan orang lain untuk hidup bersama. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Kemampuan ini hendaknya dilatih sejak usia dini karena berkomunikasi merupakan cara untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah untuk menyambut kedatangan siswa baru. Kegiatan ini

Lebih terperinci

Tahap Pemrolehan Bahasa

Tahap Pemrolehan Bahasa Tahap Pemrolehan Bahasa Setelah Anda mempelajari KB 2 dengan materi teori pemerolehan bahasa, Anda dapat melanjutkan dan memahami materi KB 3 mengenai tahapan pemerolehan bahasa. Tahapan ini biasa disebut

Lebih terperinci

Kandungan. Pendahuluan. Proses Fonologi. Pengajaran Sebutan Kesimpulan. Sebutan Baku Sebutan Standard (ala Johor-Riau) Fonologi Generatif

Kandungan. Pendahuluan. Proses Fonologi. Pengajaran Sebutan Kesimpulan. Sebutan Baku Sebutan Standard (ala Johor-Riau) Fonologi Generatif Nota Kuliah BBM3202 Kandungan Pendahuluan Sebutan Baku Sebutan Standard (ala Johor-Riau) Fonologi Generatif Proses Fonologi Pembentukan Glotal Pelemahan Vokal Perendahan Vokal Pengguguran Getaran Pengajaran

Lebih terperinci

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR FONOLOGI BAHASA NUSANTARA

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR FONOLOGI BAHASA NUSANTARA BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR FONOLOGI BAHASA NUSANTARA 1. Nama Mata kuliah : Fonologi Bahasa Nusantara 2. Kode/SKS : BDN 120 1/2 SKS 3. Prasyarat : Pengantar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Dialektologi merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. menimbulkan kesalahpahaman dalam penyampaiannya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. menimbulkan kesalahpahaman dalam penyampaiannya, BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dalam bahasa Mandarin sangat penting ketepatan pelafalan vokal dan konsonan. Hal ini disebabkan untuk menghindari kesalahan dalam komunikasi

Lebih terperinci

Pendahuluan. 4-Nov-16 Adi Yasran, UPM 2

Pendahuluan. 4-Nov-16 Adi Yasran, UPM 2 Pendahuluan Dialektologi generatif ialah cabang teori nahu transformasi generatif yang menghuraikan dan membandingkan kelainan yang wujud antara dialek. Aspek fonologi merupakan aspek yang paling banyak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemampuan berbahasa ibu merupakan kemampuan yang dimiliki hampir

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemampuan berbahasa ibu merupakan kemampuan yang dimiliki hampir BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan berbahasa ibu merupakan kemampuan yang dimiliki hampir semua anak yang dilahirkan. Kemampuan itu dapat diperoleh tanpa harus memberikan pengajaran khusus

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK 2.1 Teori-Teori Yang Relevan Dengan Variabel Yang Diteliti 2.1.1 Pengertian Semantik Semantik ialah bidang linguistik yang mengkaji hubungan antara tanda-tanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia memerlukan sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peranan bahasa sangat membantu manusia dalam menyampaikan gagasan, ide, bahkan pendapatnya

Lebih terperinci

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588).

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588). BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan berbahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, menulis. Keempat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang diterapkan dalam melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

SISTEM FONOLOGI BAHASA MINANGKABAU DI KENAGARIAN SINGKARAK KECAMATAN X KOTO SINGKARAK KABUPATEN SOLOK

SISTEM FONOLOGI BAHASA MINANGKABAU DI KENAGARIAN SINGKARAK KECAMATAN X KOTO SINGKARAK KABUPATEN SOLOK SISTEM FONOLOGI BAHASA MINANGKABAU DI KENAGARIAN SINGKARAK KECAMATAN X KOTO SINGKARAK KABUPATEN SOLOK Deni Nofrina Zurmita 1, Ermanto 2, Zulfikarni 3 Program Studi Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna.

BAB 1 PENDAHULUAN. Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Realisasi sebuah bahasa dinyatakan dengan ujaran-ujaran yang bermakna. Ujaran-ujaran tersebut dalam bahasa lisan diproses melalui komponen fonologi, komponen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Penulis mengambil beberapa jurnal, skripsi, disertasi dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan analisis kontrastif, adverbial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecamatan yang berbeda bisa ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahasa itu

BAB I PENDAHULUAN. kecamatan yang berbeda bisa ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahasa itu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu fonologi adalah suatu kajian bahasa dalam hal bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi ujaran yang dimaksud adalah bentukan fonem-fonem yang

Lebih terperinci

Pengertian Universal dalam Bahasa

Pengertian Universal dalam Bahasa Pengertian Universal dalam Bahasa Istilah bahasa didefinisikan sebagai wujud komunikasi antarmanusia untuk dapat saling mengerti satu sama lain, sebagaimana yang dilansir oleh Edward Sapir tahun 1921.

Lebih terperinci

KOMPETENSI DAN PERFORMANSI LINGUISTIK DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA

KOMPETENSI DAN PERFORMANSI LINGUISTIK DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA KOMPETENSI DAN PERFORMANSI LINGUISTIK DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA 1. Pendahuluan Salah satu bahasa daerah yang telah lama menjadi bahasa perhubungan di antara berbagai suku bangsa di Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo dkk., 1985:

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, BAB V KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penulis menghimpun beberapa simpulan, antara lain (1) proses pembentukan mi, ji, dan pi serta penggunaannya sebagai

Lebih terperinci

PROSES MORFONOLOGIS PREFIKS DALAM BAHASA WOLIO (KAJIAN TRANSFORMASI GENERATIF) La Ino

PROSES MORFONOLOGIS PREFIKS DALAM BAHASA WOLIO (KAJIAN TRANSFORMASI GENERATIF) La Ino PROSES MORFONOLOGIS PREFIKS DALAM BAHASA WOLIO (KAJIAN TRANSFORMASI GENERATIF) La Ino Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP, Universitas Haluoleo Kendari Email. Abstract This article studies the Ianguage

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon dalam bidang fonologi, morfologi, dan

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon dalam bidang fonologi, morfologi, dan BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian mengenai penggunaan bahasa Jawa dialek Cirebon di Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon dalam bidang fonologi, morfologi, dan leksikal dengan memanfaatkan tinjauan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

LAPORAN BACA. OLEH: Asep Saepulloh ( ) Hikmat Hamzah Syahwali ( ) Suherlan ( )

LAPORAN BACA. OLEH: Asep Saepulloh ( ) Hikmat Hamzah Syahwali ( ) Suherlan ( ) LAPORAN BACA OLEH: Asep Saepulloh (180210110037) Hikmat Hamzah Syahwali (180210110035) Suherlan (180210110036) Identitas Buku Judul : Linguistik Umum (Bagian 4 TATARAN LINGUISTIK [1]: FONOLOGI halaman

Lebih terperinci

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd KOMPOSISI BERUNSUR ANGGOTA TUBUH DALAM NOVEL-NOVEL KARYA ANDREA HIRATA Sarah Sahidah Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna dan hubungan maknamakna gramatikal leksem anggota tubuh yang

Lebih terperinci

BAB 3 METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN. Bab ini merupakan penjabaran lebih lanjut tentang metode penelitian yang

BAB 3 METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN. Bab ini merupakan penjabaran lebih lanjut tentang metode penelitian yang 49 BAB 3 METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN 3.1 Pengantar Bab ini merupakan penjabaran lebih lanjut tentang metode penelitian yang digunakan. Pada bab ini akan dibahas langkah-langkah penelitian yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan seharihari. Ketika berbahasa ada bentuk nyata dari pikiran yang ingin disampaikan kepada mitra

Lebih terperinci

Kata Kunci: prokem, masyarakat Desa Giri, sosiolinguistik.

Kata Kunci: prokem, masyarakat Desa Giri, sosiolinguistik. ABSTRAK Penelitian yang berjudul Pembentukan Prokem dalam Komunikasi Masyarakat Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik: Kajian Sosiolonguistik bertujuan untuk mendeskripsikan pola pembentukan prokem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara

BAB I PENDAHULUAN. sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perbedaan bahasa sudah tidak lagi menjadi hambatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia. Tuntutan mendapatkan informasi inilah yang memunculkan

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI Kita kembali dulu melihat arus ujaran yang diberikan pada bab fonologi yang lalu { kedua orang itu meninggalkan ruang siding meskipun belum selesai}. Secara bertahap

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati Abstrak. Penelitian ini menggambarkan kesalahan penggunaan bahasa Indonesia terutama dalam segi struktur kalimat dan imbuhan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci