BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Superkonduktor Superkonduktor merupakan material yang memiliki hambatan listrik bernilai nol (ρ=0) pada temperatur yang sangat rendah. Temperatur dimana hambatan listrik bernilai nol disebut dengan temperatur kritis (Tc). Hubungan temperatur dan resistivitas untuk superkonduktor dan logam ditunjukkan seperti pada gambar 1. (Wiendartun, 2008). Logam Hambatan Superkonduktor 0 K Tc Temperatur Gambar 1. Grafik Hubungan Temperatur dan Hambatan pada Logam dan Superkonduktor (Callister & Rethwisch, 2007) Hambatan jenis pada logam mengalami penurunan yang linear jika didinginkan hingga mendekati temperatur mutlak, sedangkan resistivitas pada superkonduktor juga mengalami penurunan, namun pada temperatur mendekati temperatur mutlak terjadi penurunan resistivitas yang drastis hingga bernilai nol (Callister & Rethwisch, 2007). Fenomena turunnya hambatan listrik suatu zat padat menjadi nol jika temperaturnya diturunkan hingga temperatur tertentu dikenal sebagai superkonduktivitas (Hidayat, 1991). 2.2 Sejarah dan Perkembangan Superkonduktor Sifat superkonduktor suatu bahan pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes tahun Onnes berhasil mencairkan helium dengan cara mendinginkan sampai 4 K atau -269 C. Sejak saat itu Onnes mulai mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada temperatur yang sangat dingin.

2 6 Pada waktu itu telah diketahui hambatan suatu logam akan turun (bahkan hilang sama sekali) ketika logam tersebut didinginkan jauh dibawah temperatur ruang (temperatur yang sangat dingin) atau lebih rendah dari temperatur kritis logam tersebut, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika temperatur logam mendekati 0 K atau nol mutlak (Wiendartun, 2010). Beberapa ilmuwan pada waktu itu seperti William Kelvin memperkirakan bahwa ketika dicapai temperatur nol mutlak (0 K) maka elektron akan berhenti mengalir (arus statis). Ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada keadaan tersebut. Sehingga untuk mengetahui hal yang terjadi sebenarnya, Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri murni kemudian mengukur hambatannya sambil menurunkan temperaturnya. Pada temperatur 4,2 K Onnes mendapatkan bahwa hambatannya tiba-tiba menjadi hilang. Tanpa adanya hambatan arus mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus. Sehingga arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi. Kemudian fenomena ini oleh Onnes diberi nama superkonduktivitas (Ismunandar & Sen, 2004). Superkonduktor kini telah banyak digunakan dalam berbagai bidang. Penggunaan superkonduktor dibidang transportasi memanfaatkan efek Meissner, yaitu pengangkatan magnet oleh superkonduktor. Hal ini diterapkan pada kereta api super cepat di Jepang yang diberi nama The Yamanashi MLX01 MagLev train. Kereta api ini melayang diatas magnet superkonduktor. Dengan melayang, maka gesekan antara roda dengan rel dapat dihilangkan dan akibatnya kereta dapat berjalan dengan sangat cepat sekitar 550 km/jam. Di dalam bidang kedokteran, bahan-bahan yang bersifat superkonduktor dipakai pada peralatan MRI (Magnetic Resonance Imager) untuk mendeteksi sistem tubuh manusia. Penggunaan bahan superkonduktor dapat menyebabkan ukuran peralatan semakin kecil, seperti penggunaan komputer dimana kerangka utama dapat dikecilkan hingga ukuran tas tangan. Bahan-bahan superkonduktor kemungkinan akan menggantikan pemakaian dan penggunaan bahan-bahan konduktor listrik biasa dan ia akan menjadi bahan yang paling penting di masa depan (Susanti, 2010).

3 7 2.3 Jenis Jenis Superkonduktor Superkonduktor dapat dibedakan berdasarkan medan magnet kritis dan temperatur kritis. Berdasarkan medan magnet kritisnya superkonduktor dibagi menjadi 2 jenis, yaitu superkonduktor tipe I dan superkonduktor tipe II. Sedangkan superkonduktor berdasarkan temperatur kritis, yaitu superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor HTS) dan superkonduktor temperatur rendah (Low Temperatur Superconductor LTS) Superkonduktor Tipe I Superkonduktor tipe I menurut teori BCS (Bardeen, Cooper, dan Schrieffer) dijelaskan menggunakan pasangan elektron (yang sering disebut pasangan Cooper). Pasangan elektron bergerak sepanjang terowongan penarik yang dibentuk ion-ion logam yang bermuatan positif. Akibat dari pembentukan pasangan dan tarikan ini arus listrik akan bergerak dengan merata dan akan terjadi superkonduktivitas. Superkonduktor yang berkelakuan seperti ini disebut superkonduktor tipe I yang secara fisik ditandai dengan efek Meissner, yakni gejala penolakan medan magnet luar (asalkan kuat medannya tidak terlalu tinggi) oleh superkonduktor. Bila kuat medan melebihi batas kritis, gejala superkonduktivitasnya akan menghilang. (Amalia, 2013) Superkonduktor Tipe II Superkonduktor tipe II mempunyai dua nilai medan magnet kritis Hc 1 (di bawah) dan Hc 2 (diatas). Selain itu, superkonduktor tipe II memiliki tiga keadaan seperti ditunjukkan pada gambar 2. MEISSNER STATE H < Hc 1 MIXED STATE Hc 1 < H < Hc 2 NORMAL STATE H > Hc 2 Gambar 2. Fluks Magnet pada Jangkauan Kritis (Widodo & Darminto, 2010)

4 8 Keadaan bahan superkonduktor tipe II berdasarkan gambar 2, ketika H < Hc 1 bahan superkonduktor tipe II berada dalam keadaan Meissner, yaitu fluks magnetik ditolak sempurna hingga medan magnet kritis dengan resistivitas (ρ) adalah nol dan induksi magnetik (B) adalah nol. Selain itu ketika Hc 1 < H < Hc 2 maka superkonduktor berada dalam keadaan campuran, yaitu sebagian fluks magnetik menerobos spesimen superkonduktor. Ketika H > Hc 2 bahan superkonduktor berada dalam keadaan normal, yaitu fluks magnetik dapat menembus bahan superkonduktor seluruhnya (ρ 0 dan B 0) (Cyrot & Pavuna, 1992) Superkonduktor Temperatur Tinggi Superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor HTS) merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis diatas temperatur nitrogen cair (77 K), sehingga sebagai pendinginnya dapat digunakan nitrogen cair untuk memunculkan sifat superkonduktivitasnya (Wiendartun, 2008). Adapun contoh superkonduktor temperatur tinggi yaitu YBa 2 Cu 3 O 7 -x dengan Tc = 92 K Superkonduktor Temperatur Rendah Superkonduktor temperatur rendah (Low Temperature Superconductor LTS) merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis di bawah temperatur nitrogen cair (77 K), sehingga sebagai pendinginnya dapat digunakan helium cair untuk memunculkan sifat superkonduktivitasnya (Kamihara et al., 2008). Adapun contoh superkonduktor temperatur rendah adalah Hg (Tc = 4,2 K), Pb (Tc = 7,2 K) dan niobium nitride (Tc = 16 K). 2.4 Karakteristik Superkonduktor Material superkonduktor memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki medan magnet kritis (Hc), rapat arus kritis (Jc) yang berbeda dengan material konduktor dan memiliki temperatur kritis (Tc) Medan Magnet Kritis (Hc) Sifat lain dari superkonduktor yaitu bersifat diamagnetisme sempurna. Jika sebuah superkonduktor ditempatkan pada medan magnet, maka tidak akan ada

5 9 medan magnet dalam superkonduktor. Hal ini terjadi karena superkonduktor menghasilkan medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diberikan. Efek yang sama dapat diamati jika medan magnet diberikan pada bahan dalam temperatur normal kemudian didinginkan sampai menjadi superkonduktor. Pada temperatur kritis, medan magnet akan ditolak. Efek ini dinamakan Efek Meissner (Pikatan, 1989). B T > Tc T < Tc Gambar 3. Efek Meissner (Mundy & Cross, 2006) B Rapat Arus Kritis (Jc) Pada bahan superkonduktor terdapat kisi, basis serta elektron bebas. Namun, atom-atomnya diam dan susunannya teratur disebabkan temperatur mendekati temperatur mutlak. Jika terjadi interaksi antara elektron dengan inti atom karena medan magnet, elektron dapat melewatinya tanpa hambatan dari atom kisi seperti yang ditunjukkan pada gambar Elektron melewati inti atom bermuatan positif disebabkan distorsi dari kisi + Gambar 4. Keadaan Kisi Atom pada Superkonduktor (Wiendartun, 2008)

6 Temperatur Kritis (Tc) Temperatur dimana terjadi perubahan sifat konduktivitas menjadi superkonduktor disebut dengan temperatur kritis (Tc). Temperatur kritis terbagi menjadi 2, yaitu temperatur kritis pada Tc onset dan temperatur kritis pada Tc 0. Kondisi temperatur kritis superkonduktor saat mengalami penurunan resistivitas yang drastis disebut Tc onset. Sedangkan, kondisi temperatur kritis superkonduktor saat penurunan resistivitas yang drastis hingga mencapai nol disebut Tc 0 (Ismunandar, 2004). Suatu bahan dikatakan sebagai bahan superkonduktor apabila menunjukkan sifat khusus, yaitu konduktivitas sempurna dengan resistivitas (ρ) adalah nol. ρ (Ohm.m) Tc onset Tc0 T (K) Gambar 5. Grafik Resistivitas terhadap Temperatur (Amirani, 2016) Berdasarkan gambar 5, menunjukkan kurva resistivitas terhadap temperatur kritis. Kurva ini menunjukkan ketika temperatur kritis superkonduktor turun pada titik Tc onset maka material mengalami penurunan resistivitas secara drastis hingga mencapai temperatur Tc 0 yang menunjukkan resistivitas nol. (Amirani, 2016). 2.5 Magnesium Diboride (MgB 2 ) Pada tahun 1953, Jones et al dan Russell et al melaporkan pembentukan fasa MgB 2 dengan interaksi antara Mg dan amorf B pada atmosfer hidrogen atau argon. Atom Boron memiliki ukuran yang cocok dan struktur elektonik untuk membentuk ikatan B-B langsung yang dapat membentuk berbagai macam ikatan boron lainnya. Ada lebih dari 50 senyawa diboride dengan struktur yang berbeda (Buzea & Yamashita, 2001).

7 11 Diagram sejarah penemuan superkonduktor konvensional, dimana titik-titik mendistribusikan erat bersama kesesuaian kurva. Oleh karena itu, tidak diherankan bahwa superkonduktivitas dari MgB 2 telah diungkapkan hingga 2001 dan superkonduktor dengan temperatur transisi diatas titik didih nitrogen cair, mungkin dapat ditemukan setelah 2060 yang dapat dilihat pada gambar Superconducting Metals and alloys 40 T c = Year Year 2 T c = 77 K in 2060 (predicted by this fit) MgB 2 Tc (K) NbN NbAlGe Nb 3Sn Nb 3Ge 10 Pb Nb 0 Hg Tahun Gambar 6. Grafik Perkembangan Superkonduktor Konvensional terhadap Temperatur Kritis (Tc) (Luiz, 2010) MgB 2 merupakan material superkonduktor (terdiri dari dua unsur logam yang mempunyai perilaku superkonduktor) dengan temperatur kritis ~ 39 K (diatas helium cair), dengan rapat arus kritis yang tinggi sebesar A/cm 2 dan medan magnet 0 pada temperatur rendah. Stuktur kristal MgB 2 adalah Hexagonal Closed Pack (HCP), termasuk dalam sistem kristal heksagonal dengan golongan ruang P6/mmm (Nagamatsu et al., 2001). Mg B a c a Gambar 7. Struktur Kristal MgB 2 (Buzea, 2001)

8 12 Bila dibandingkan dengan superkonduktor temperatur rendah (LTS) dan superkonduktor oksida tembaga temperatur tinggi (HTS), karakteristik MgB 2 memiliki temperatur kritis lebih tinggi dari pada temperatur rendah (LTS). Atom boron membentuk grafit seperti sarang lebah dan atom Mg terletak pada poros segienam (Eltsev et al., 2002; Masui et al., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., mengungkapkan perbedaan yang siginifikan dalam temperatur penguraian fasa magnesium diboride dibandingkan dengan temperatur pada literatur. Penguraian fasa MgB 2, MgB 4 dan MgB 7 yang awalnya diperkirakan masing-masing berada pada temperatur 1550 C, 1830 C dan 2150 C. Untuk reaksi penguraian fasa boride: 2MgB 2 MgB 4 + Mg (g) dan 7MgB 4 4MgB Mg(g), batas tertinggi dan terendah untuk temperatur penguraian pada literatur untuk MgB 2 sebesar 850 C T decomp (MgB 2 ) 1550 C dan untuk MgB 4 sebesar 1020 C T decomp (MgB 4 ) 1827 C. Sehingga menurut hasil penelitian memperkirakan temperatur penguraian MgB 2 sebesar 1174 C, MgB 4 sebesar 1273 C dan MgB 7 sebesar 2509 C, dapat dilihat pada gambar 8. (Kim et al., 2008) G + MgB 7 G + L MgB 7 + L 1500 Mg(G) + MgB 2 Mg(G) + MgB Mg(L) + MgB 2 Mg(S) + MgB 2 MgB 2 + MgB 4 MgB4+ MgB7 MgB 7 + β-b Gambar 8. Diagram Fasa MgB 2 (Kim et al., 2008) 2.6 Serbuk dalam Tabung Tertutup / Powder In Sealed Tube (PIST) Pembuatan PIST bertujuan agar partikel sampel campuran tersusun rapat dan padat sehingga tidak terjadi reaksi antara udara dan sampel yang mengindikasikan adanya perlakuan lain yang tidak diinginkan, dan apabila diberi perlakuan panas (sintering) akan terjadi proses difusi atom dan terbentuk ikatan yang kuat antar partikel. Proses ini dapat menghindari pori yang timbul dari reaksi kimia dan

9 13 membantu dalam membentuk densitas inti yang relatif tinggi. Cara ini meminimalisasi oksidasi dan pengurangan sampel di dalam tabung Fe dari sintesis dan merupakan metode paling sederhana dibandingkan dengan inert gas dan vacuum furnaces (Li et al., 2016; Varghese et al., 2009). Dalam proses PIST digunakan Stainless steel yang merupakan baja paduan yang mengandung sedikitnya 11,5% krom berdasarkan beratnya. Stainless steel memiliki sifat tidak mudah terkorosi. Stainless steel berbeda dari baja biasa dari kandungan kromnya. Stainless steel memiliki persentase jumlah krom yang memadahi sehingga akan membentuk suatu lapisan pasif kromium oksida yang akan mencegah terjadinya korosi lebih lanjut. Baja paduan SS 304 tube merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel yang memiliki komposisi 0.042%C, 1.19%Mn, 0.034%P, 0.006%S, 0.049%Si, 18.24%Cr, 8.15%Ni, dan sisanya Fe. Beberapa sifat mekanik yang dimiliki baja karbon tipe 304 ini antara lain: kekuatan tarik 646 Mpa, yield strength 270 Mpa, elongation 50%, kekerasan 82 HRB. Stainless steel tipe 304 merupakan jenis baja tahan karat yang serbaguna dan paling banyak digunakan. Komposisi kimia, kekuatan mekanik, kemampuan las dan ketahanan korosinya sangat baik dengan harga yang relatif terjangkau. Stainless steel tipe 304 ini banyak digunakan dalam dunia industri maupun skala kecil. Penggunaannya antara lain untuk: tanki dan container untuk berbagai macam cairan dan padatan, peralatan pertambangan, kimia, makanan, dan industri farmasi (Sumarji, 2011). 2.7 Differential Thermal Analysis / Thermal Gravimetric Analysis Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan analisis termal yang mengukur perbedaan temperatur antara sampel yang akan diukur dan material inert sebagai referensi. Sampel dan material referensi dipanaskan dalam satu dapur yang berisi lingkungan gas yang telah distandarisasi. Perbedaan temperatur yang terjadi direkam selama proses pemanasan dan pendinginan. Lalu ditampilkan dalam bentuk kurva entalpi. Kurva DTA dapat menangkap transformasi saat penyerapan ataupun pelepasan panas. DTA membantu memahami hasil XRD, analisis kimia dan mikroskopis. Kurva DTA merupakan kurva perbedaan temperatur antara sampel dengan referensi terhadap waktu (Klancnik et al., 2010). Analisis DTA-TGA

10 14 dilakukan untuk mengetahui karakteristik termal sampel secara fisis berdasarkan termodinamika, meliputi reaksi eksotermis dan endotermis (Tahta et al., 2012). Analisis termal untuk karakterisasi solid diilustrasikan pada gambar 9 : Solids Crystalline Amorphus Polymorphism H L Phase transition H, Cp L Decomposition m, H L Liquid Crystal Glass transition Crystallization H L Cp, L Softening L Decomposition m, H L Glass-Ceramics, Polymers Gambar 9. Ilustrasi Analisis Termal pada Solid (Tahta et al., 2012) Terdapat banyak fasa perubahan yang dapat terjadi ketika suatu solid dipanaskan. Setiap fasa tersebut memberikan respon berbeda ketika dilakukan pemanasan. Ketika dipanaskan fasa kristalin mengalami perubahan fasa kemudian terdekomposisi. Sementara fasa amorfus mengalami perubahan menjadi fasa glass sebelum terdekomposisi. Respon ini merupakan pengaruh dari pelepasan atau penyerapan energi panas (entalpi). T Sampel Termokopel Referensi Heat Sink Tungku T Gambar 10. Skematis Komponen DTA (Tahta et al., 2012)

11 15 DTA mengukur perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi, yang kemudian dikonversi menjadi perubahan entalpi. Perhitungan entalpi DTA dilakukan menggunakan metode perubahan massa. Material referensi merupakan material atau substance yang secara termal inert dan tidak mengalami perubahan fasa pada rentang temperatur tertentu. Material referensi, misalnya safir atau alumina, digunakan untuk mengestimasi faktor konversi. Material inert yang digunakan tidak mengalami perubahan struktur dengan perubahan panas selain panas laten. Jika terdeteksi bahwa tidak terdapat perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi berarti sampel tidak mengalami perubahan kimiawi ataupun fisik. Jika terdapat perubahan temperatur, maka sampel dapat teridentifikasi dikarenakan kurva DTA berfungsi selayaknya finger print bagi material EXOTHERM 0.0 (5) DTA SIGNAL 0 T ( o C ) -0.2 (1) (2) (4) (6) - ENDOTHERM -0.4 (3) FURNACE TEMPERATURE Temperature o C Gambar 11. Kurva DTA (Tahta et al., 2012) Kurva endotermik biasanya menandakan adanya perubahan fisik. Sementara kurva eksotermik menandakan adanya perubahan (reaksi) kimia. Kurva endotermik yang tajam menandakan adanya perubahan kristalinitas. Kurva endotermik yang lebar menandakan adanya reaksi dehidrasi (Yang & Roy, 1996). Prinsip dasar TG adalah perubahan temperatur yang menyebabkan terjadinya perubahan berat. Apabila temperatur sampel (Ts) lebih besar dari temperatur pembanding (Tr) yang terjadi adalah reaksi pertambahan berat (+TG). Apabila temperatur sampel (Ts) lebih kecil dari pada temperatur pembanding (Tr) maka yang terjadi adalah reaksi pengurangan berat (-TG) (Safira, 2016).

12 16 Berdasarkan penelitian dari Aksu, 2013, menjelaskan bahwa kedua puncak eksotermik dan endotermik bergeser ke temperatur yang lebih tinggi dengan kenaikan laju pemanasan seperti yang diharapkan. Hasil pengukuran mengenai eksperimen termal dalam hal ini, menunjukkan bahwa sensitivitas dan prosedur kalibrasi sangat penting dalam jenis penelitian ini. Tingkat pemanasan memainkan peranan penting dalam pembentukan MgB 2, sehingga saat temperatur reaksi bergeser ke temperatur yang lebih tinggi maka laju pemanasan meningkat karena durasi reaksi antara atom Mg dan B tidak cukup pada temperatur yang lebih rendah. Hasil kurva DTA/TGA dapat dilihat pada gambar 12 (Aksu, 2013). Gambar 12. Kurva DSC Untuk Bubuk Campur Mg:B (1:2), Laju Pemanasan 5, 7,5, 10 dan 15 0 C/min. Pada Grafik Menunjukkan Kurva Turunan dari Kurva DSC (Aksu, 2013) Berdasarkan hasil penelitian Kadam et al, dari plot DTA/TGA campuran bubuk kelebihan Mg dan MgB 2 diamati bahwa saat temperatur mulai naik dari temperatur kamar, bubuk kehilangan beratnya dalam tiga langkah yang berbeda sekitar C. Langkah pertama adalah dari temperatur kamar sampai C, penurunan berat ini dikaitkan dengan hilangnya kelembaban teradsopsi (terserapnya bubuk). Langkah kedua, kehilangan berat pada temperatur kisaran C disebabkan oleh hilangnya residu larutan organik dalam bubuk yang diendapkan. Namun, langkah yang ketiga pada kisaran temperatur C sampai sekitar C, diamati sangat sedikit hilangnya campuran dan dikaitkan dengan penguapan bubuk Mg dalam rezim ini (Kadam et al, 2009).

13 Teknik Perlakuan Panas (Heat Treatment) Perlakuan panas merupakan proses pemanasan dan pendinginan bahan yang terkontrol dengan maksud merubah sifat fisik untuk tujuan tertentu. Perlakuan panas terdiri dari beberapa tipe. Salah satunya berupa sintering. Sintering digunakan untuk meningkatkan kerapatan sampel sesuai dengan struktur mikro dan komposisi fase yang diinginkan (Saputra, 2010). Temperatur sintering biasanya dilakukan di bawah titik leleh bahan dasarnya. Melalui proses ini terjadi perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas dan penyusutan (shrinkage). Faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering adalah jenis bahan, komposisi bahan dan bahan pengotor (Reynen & Bastius, 1986). Mekanisme perpindahan materi (difusi) selama sintering dapat berlangsung melalui difusi volume, difusi permukaan, difusi batas butir, difusi secara penguapan dan kondensasi. Tiap-tiap difusi akan memberikan efek terhadap perubahan sifat fisis bahan setelah sintering, antara lain perubahan densitas, porositas, penyusutan, dan pembesaran butir. Dengan adanya difusi, maka terjadi kontak antara partikel dan terjadi suatu ikatan yang kuat diantara partikel-partikel. Selain itu terjadi juga rekonstruksi susunan partikel yang dapat menghilangkan atau mengurangi pori-pori yang berada diantara partikel. Umumnya peningkatan densitas, pengurangan dan penyusutan disebabkan karena adanya difusi volume dan difusi antar butir (Ristic, 1989). Sintering dilakukan dengan pemanasan cuplikan yang telah dicetak berbentuk pelet pada temperatur tinggi tertentu. Penurunan temperatur dari temperatur sintering secara teratur dan perlahan dilakukan untuk proses pengurangan tekanan internal, menstabilkan bentuk dimensi dan memperhalus ukuran butir. Dengan demikian tahapan annealing tidak perlu dilakukan (Margono, 1997). Terdapat tiga tahapan sintering, yaitu: 1. Tahap awal Secara mikrostruktural pada keadaan awal terdapat pemuaian, belum terjadi proses sintering dan susunan patikel tidak berubah. Selama sintering tahap awal terjadi penyusunan kembali (rearrangement), yaitu sedikit gerakan atau rotasi partikel untuk mempertinggi jumlah kontak antar partikel dan pembentukan kaitan antar butir (neck).

14 18 2. Tahap kedua Pada tahap kedua ukuran kaitan antar butir tumbuh dan porositasnya menurun dikarenakan partikel-partikel saling mendekat. Pada tahap ini mulai terjadi pertumbuhan butir (grain growth), terbentuk pori yang berbentuk pipa, jarak antar butir semakin dekat dan terjadi penyusutan. 3. Tahap akhir Pada tahap ini pori yang berbentuk pipa akhirnya menjadi pori yang bulat, ukuran butir meningkat dan laju penyusutan pori lebih kecil (Oktara et al., 2007). Tahap awal Tahap kedua Tahap akhir Gambar 13. Pertumbuhan Ikatan Mikrostruktur Antar Partikel Selama Proses Sintering (Subekti, 2011) 2.9 X-Ray Diffraction (XRD) Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun Roentgen menemukan sejenis radiasi yang keluar dari sebuah tabung muatan (discharge tube) yang karena misteriusnya diberi nama sinar-x. Sinar-X pada tabung muatan ini terbentuk dengan cara pemberian beda tegangan pada elektroda-elektroda tabung yang menghasilkan sinar elektron yang ditumbukkan ke bahan tertentu (Nisa, 2016). Teknik difraksi X-Ray Diffraction (XRD) sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat bahan seperti logam, paduan logam, keramik, polimer, dan sebagainya. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase pada sampel, ukuran butir, tekstur dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncakpuncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak difraksi. Posisi spasial dari sinar-x yang didifraksikan oleh sampel mengandung semua informasi geometri dari kristal. Intensitas sinar-x berhubungan dengan jenis atom dan susunannya dalam kristal. Ketajaman sinar-x yang didifraksikan

15 19 merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal. Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi (2θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-x karena panjang gelombang sinar-x berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-X yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3-2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-x dengan kisi pada bidang kristal menghasilkan interferensi konstruktif berupa puncakpuncak intensitas. Interferensi konstruktif terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991). Hukum Bragg memenuhi persamaan berikut: nλ = 2d hkl sin θ (2.1) Dengan: λ = panjang gelombang sinar x d hkl = jarak antar kisi kristal θ = sudut datang sinar n = orde difraksi (1,2,3 dan seterusnya) (Triaminingnsih, 1998). Pada tahun 2004, Yan et al melaporkan bahwa sampel disintering pada C memiliki MgB 4 dan kemurnian fasa MgO dan sampel disintering di atas C memiliki lebih kemurnian MgO sebagai kenaikan temperatur. Sampel yang dibuat pada suhu C adalah fasa tunggal dengan sedikit kotoran MgO. Hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan antara Mg dan B tidak cukup apabila temperatur proses di bawah C. Pola XRD MgB 2 bulk sintesis dengan temperatur berbeda dapat dilihat pada gambar 14. Gambar 14. Pola XRD MgB 2 Bulk Sintesis dengan Temperatur Berbeda (Yan et al., 2004)

16 20 Pada tahun 2013, Aksu melaporkan pola difraksi sinar-x dari sampel yang disintering pada temperatur yang berbeda untuk menentukan pembentukan dari fasa MgB 2. Aksu melaporkan bahwa bahwa sintesis MgB 2 dengan temperatur sintering C, C dan C masih memperlihatkan fasa Mg yang dominan dan disertai dengan jumlah kecil fasa MgO dan MgB 2. Namun keberadaan MgO dan puncak Mg, MgB 2 secara bertahap menjadi fasa dominan untuk sampel yang dihasilkan pada temperatur yang lebih tinggi dari C. Untuk sampel yang dihasilkan pada temperatur lebih tinggi dari C, fasa Mg tidak terdeteksi pada gelombang MgB 2 yang terbentuk struktur kristal heksagonal dengan kelompok ruang P6/mmm. Pembentukan optimal fasa MgB 2 pada temperatur diatas C C yang dapat dilihat dalam pola XRD pada gambar 15. Gambar 15. Pola XRD dari Sampel MgB 2 yang Disintering pada Sembilan Temperatur Selama 1 Jam (Aksu, 2013)

17 Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) Scanning Electron Microscope (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menggunakan elektron untuk menghasilkan citra dalam bentuk gambar dari sampel dengan scanning sinar elektron yang terfokus. Berkas elektron umumnya di scan dalam pola scan raster, dan posisi balok ini dikombinasikan dengan sinyal terdeteksi untuk menghasilkan gambar (Yahya et al., 2017). SEM didesain untuk menyelidiki permukaan dari objek solid secara langsung yang memiliki perbesaran x, depth of field mm dan resolusi sebesar 1-10 nm. Fungsi utama SEM antara lain dapat digunakan untuk mengetahui informasi mengenai: a. Topografi, yaitu ciri-ciri permukaan dan teksturnya (kekerasan, sifat memantulkan cahaya, dan sebagainya). b. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek (kekuatan, cacat pada Integrated Circuit (IC), chip, dan sebagainya). c. Komposisi, yaitu data kuantitatif unsur dan senyawa yang terkandung di dalam objek (titik lebur, kereaktifan, kekerasan, dan sebagainya). d. Kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari butirbutir di dalam objek yang diamati (konduktifitas, sifat elektrik, kekuatan, dan sebagainya) (Prasetyo, 2012). Prinsip kerja SEM adalah menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi. Secara lengkap skema SEM dijelaskan pada gambar 16. Gambar 16. Skema SEM (Atteberry, 2009)

18 22 Berdasarkan gambar 16, elektron dihasikan oleh sebuah sumber elektron yang disebut electron gun dan dipercepat oleh anoda. Vacuum chamber dibutuhkan agar berkas elektron yang dihasilkan oleh electron gun akan menemukan interferensi konstan dari partikel udara di atmosfer, sehingga tidak akan merusak permukaan spesimen. Elektron tersebut ditembakkan ke arah sampel yang difokuskan oleh condenser lens. Scanning coils mengarahkan sinar elektron yang terfokus memindai (scan) ke seluruh sampel. Ketika elektron mengenai sampel yang diletakkan pada sample chamber, maka sampel akan mengeluarkan elektron baru. Selanjutnya elektron tersebut diperkuat dan besar amplitudonya ditampilkan pada layar monitor Cathode Ray Tube (CRT) dengan pola gelap-terang. Pada layar CRT gambar struktur sampel diperbesar dan bisa dilihat (Rahmat, 2011). Interaksi elektron dengan atom sampel akan menghasilkan berbagai macam sinyal termasuk diantaranya Secondary Electron (SE) dan Back Scattered Electron (BSE) (Qulub, 2011). Pada tahun 2004, Yan et al melaporkan bahwa reaksi keadaan padat antara partikel Mg dan partikel B tidak dapat menginduksi porositas dalam jumlah besar setelah pembentukan MgB 2. Temperatur sintering memiliki efek yang luar biasa pada kepadatan MgB 2 dan menunjukkan bahwa kabel MgB 2 dan pita perekat dengan kerapatan tinggi dapat dibuat pada temperatur C, yang dapat dilihat pada gambar 17. Gambar 17. Morfologi SEM MgB 2 pada Temperatur C (Yan et al., 2004) Berdasarkan gambar 17, bahwa kondisi dinamis termal pada C atau yang tinggi akan mendorong peningkatan ukuran butiran MgB 2 (Yan et al., 2004). Pada

19 23 tahun 2007, Yan et al melakukan penelitian morfologi dari dua MgB 2 bulks yang disiapkan mulai dari Mg + B (sampel I) atau MgB 4 + Mg (sampel II) dan campurancampuran telah diselidiki oleh Scanning Electron Microscope. Mikrostruktur dari sampel I menunjukkan sebuah porositas lebih besar dibandingkan dengan sampel II. Di sisi lain, ternyata rata-rata ukuran butir sampel II lebih kecil dari pada sampel I, mungkin karena pertumbuhan kristal dan penggabungan butir selama perlakuan panas menjelang akhir. Mikrostruktur dari sampel II menjadi lebih padat dan lebih ringkas dibandingkan dengan sampel I. Pada sampel II, residu MgB 4 + Mg yang tidak bereaksi, partikel MgO, dan kristal MgB 2 diidentifikasi oleh Energy Spektroskopi Dispersive (EDS): tampaknya, ini menunjukkan perbedaan morfologi dan dapat dengan mudah dibedakan; masing-masing MgB 2 terbentuk menjadi padat karena adanya campuran MgB 4 dan Mg yang dapat dilihat pada gambar 18. Gambar 18. Hasil Uji SEM dari Dua MgB 2 Bulk yang Disiapkan Mulai dari Mg + B (a, c) dan MgB 4 + Mg (b,d) (Yan et al., 2007) Energy Dispersive X-Ray (EDX) menggunakan spektrum sinar-x yang diemisikan oleh sampel padat dengan sinar elektron terfokus untuk mendapatkan analisis kimia suatu area. Analisis kualitatif EDX meliputi identifikasi garis dalam spektrum. Sedangkan analisis kuantitatif berupa penentuan konsentrasi unsur melalui

20 24 pengukuran intensitas garis untuk setiap unsur dalam sampel dan untuk unsur-unsur yang sama dalam standar kalibrasi dari komposisi yang diketahui. Dengan scanning sinar dalam raster dan menampilkan intensitas garis sinar X dipilih, gambar distribusi unsur atau map dapat dihasilkan. SEM juga dapat digunakan untuk mapping unsur jika ditambahkan spektrometer X-ray (Nisa, 2016) Cryogenic Magnet Cryogenic magnet adalah teknologi vakum dan pemampatan/ekspansi gas yang berdasarkan pada prinsip Four-Point Probe (FFP) berguna dalam menurunkan temperatur gas Helium, sehingga dalam menciptakan kondisi temperatur super rendah jauh lebih sederhana. Metode pengukuran four-point probe adalah salah satu metode untuk mengukur resistivitas (Callister & Rethwisch, 2007; Schuetze et al. 2004). dc power supply V A Digital Voltmeter Ammeter Voltage Probes Current Ptobe Current Probe Gambar 19. Skema Pengukuran Resistivity Memakai Metode Four Point Probe (Imaduddin et al., 2014) Aliran arus pada FPP membentuk pola setengah bola sehingga luas yang dialiri arus adalah A = 2 πr 2, dan untuk memperoleh resistivitas sampel digunakan persamaan sebagai berikut: ρ = R A l (2.2) Dengan: ρ = Resistivitas (Ohm.m) A = Luas Penampang (m 2 ) l = Panjang sampel (m) R = Resistansi (Ohm) (Schuetze et al., 2004)

SUPERKONDUKTOR 1. Sejarah Superkonduktor 2. Teori Superkonduktor 2.1. Pengertian Superkonduktor

SUPERKONDUKTOR 1. Sejarah Superkonduktor 2. Teori Superkonduktor 2.1. Pengertian Superkonduktor SUPERKONDUKTOR 1. Sejarah Superkonduktor Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun 1911. Pada tanggal 10 Juli 1908,

Lebih terperinci

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Pelarutan Pengendapan Evaporasi 350 0 C 1 jam 900 0 C 10 jam 940 0 C 20 jam Ba(NO 3 ) Pelarutan Pengendapan Evaporasi Pencampuran Pirolisis Kalsinasi Peletisasi Sintering Pelet YBCO Cu(NO 3

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena

I. PENDAHULUAN. Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena sifat resistivitas nol yang dimilikinya dan dapat melayang dalam medan magnet. Kedua sifat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi 4.1.1 Sol Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan ZrOCl 2. 8H 2 O dengan perbandingan mol 1:4:6 (Ikeda, et al. 1986) dicampurkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Superkonduktor Suatu bahan superkonduktor merupakan material yang dapat menghantarkan arus listrik tanpa adanya hambatan, sehingga dapat mengalirkan arus listrik tanpa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hingga suhu 4 K atau -269ºC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai

II. TINJAUAN PUSTAKA. hingga suhu 4 K atau -269ºC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Superkonduktor Bahan superkonduktor pertama kali ditemukan pada tahun 1911 oleh seorang fisikawan Belanda dari Universitas Leiden yaitu Heike Kamerlingh Onnes. Pada tanggal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. 10 dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sintesis paduan CoCrMo Pada proses preparasi telah dihasilkan empat sampel serbuk paduan CoCrMo dengan komposisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. walaupun tanpa adanya sumber tegangan (Rusdi, 2010). Suatu superkonduktor

II. TINJAUAN PUSTAKA. walaupun tanpa adanya sumber tegangan (Rusdi, 2010). Suatu superkonduktor II. TINJAUAN PUSTAKA A. Superkonduktor 1. Definisi dan Sejarah Superkonduktor Superkonduktor adalah suatu material yang tidak memiliki hambatan di bawah suatu nilai suhu tertentu. Sehingga superkonduktor

Lebih terperinci

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sintesa Garam Magnesium Klorida Garam magnesium klorida dipersiapkan melalui dua bahan awal berbeda yaitu bubuk magnesium oksida (MgO) puritas tinggi dan bubuk

Lebih terperinci

Bahan Listrik. Bahan Superkonduktor

Bahan Listrik. Bahan Superkonduktor Bahan Listrik Bahan Superkonduktor Superkonduktor Konsep superkonduktor : Suatu bahan yang dapat mengalirkan arus listrik tanpa tahanan listrik sedikitpun. Apakah ini mungkin didapatkan? Superkonduktor

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material FMIPA Unila, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999).

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Superkonduktor merupakan material yang dapat mengalirkan arus listrik tanpa adanya hambatan atau resistansi (ρ = 0), sehingga dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan

Lebih terperinci

BAB IX SUPERKONDUKTOR

BAB IX SUPERKONDUKTOR BAB IX SUPERKONDUKTOR MATERI SUPERKONDUKTIVITAS 9.1. Superkonduktor suhu kritis rendah. 9.1.1.klasifikasi logam ( isolator, semikonduktor, konduktor,konduktor bagus,superkonduktor) 9.1.2.efek Meissner,suhu

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bubuk magnesium oksida dari Merck, bubuk hidromagnesit hasil sintesis penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas 31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis material konduktor ionik MZP, dilakukan pada kondisi optimum agar dihasilkan material konduktor ionik yang memiliki kinerja maksimal, dalam hal ini memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan 20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Desain Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan menggunakan metode tape

Lebih terperinci

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP LOGO PRESENTASI TESIS STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP. 1109201006 DOSEN PEMBIMBING: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc, Ph.D. JURUSAN FISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Serbuk Awal Membran Keramik Material utama dalam penelitian ini adalah serbuk zirkonium silikat (ZrSiO 4 ) yang sudah ditapis dengan ayakan 400 mesh sehingga diharapkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi serbuk. 3.2

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Aplikasi Superkoduktor yang mencakup:

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Aplikasi Superkoduktor yang mencakup: PENDAHULUAN Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Aplikasi Superkoduktor yang mencakup: Teknologi Superkomputer dan Teknologi Transmisi Daya Listrik serta Teknologi Kereta Api Berkecepatan Tinggi. Oleh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menampilkan bentuk struktur mikro sampel, cuplikan yang terdapat pada sample holder dietsa dengan larutan HCL yang telah diencerkan dengan aquades. Pengenceran dilakukan dengan mencampurkan HCL pekat

Lebih terperinci

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA Oleh : Frischa Marcheliana W (1109100002) Pembimbing:Prof. Dr. Darminto, MSc Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Superkonduktor Superkonduktor merupakan suatu material dengan temperatur tertentu yang sangat rendah (critical temperature) dan nilai hambatan listriknya (electrical resistivity)

Lebih terperinci

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA NANOSILIKA PASIR Anggriz Bani Rizka (1110 100 014) Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat Triwikantoro M.Si JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat yang Digunakan Alat yang akan digunakan dalam

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA ITB sejak September 2007 sampai Juni 2008. III.1 Alat dan Bahan Peralatan

Lebih terperinci

METODE SOL-GEL RISDIYANI CHASANAH M

METODE SOL-GEL RISDIYANI CHASANAH M SINTESIS SUPERKONDUKTOR Bi-Sr-Ca-Cu-O/Ag DENGAN METODE SOL-GEL RISDIYANI CHASANAH M0204046 (Bi-Sr-Ca-Cu-O/Ag Superconductor Synthesis with Sol-Gel Method) INTISARI Telah dibuat superkonduktor sistem BSCCO

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun Sebelumnya, pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun Sebelumnya, pada 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penemuan Superkonduktor Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun 1911. Sebelumnya, pada

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III. 1. Tahap Penelitian Penelitian ini terbagai dalam empat tahapan kerja, yaitu: a. Tahapan kerja pertama adalah persiapan bahan dasar pembuatan LSFO dan LSCFO yang terdiri

Lebih terperinci

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab ini memaparkan hasil sintesis, karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ (LSFO) dengan x = 0,2 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,6

Lebih terperinci

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) Oleh: Kusnanto Mukti / M0209031 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012 I. Pendahuluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan 6 didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 3.3.3 Sintesis Kalsium Fosfat Sintesis kalsium fosfat dalam penelitian ini menggunakan metode sol gel. Senyawa kalsium fosfat diperoleh dengan mencampurkan serbuk

Lebih terperinci

BAB 4 DATA DAN ANALISIS

BAB 4 DATA DAN ANALISIS BAB 4 DATA DAN ANALISIS 4.1. Kondisi Sampel TiO 2 Sampel TiO 2 disintesa dengan memvariasikan jenis pelarut, block copolymer, temperatur kalsinasi, dan kelembaban relatif saat proses aging. Kondisi sintesisnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium Riset (Research Laboratory) dan Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Karakterisasi Awal Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 sebagai bahan utama membran merupakan hasil pengolahan mineral pasir zirkon. Kedua serbuk tersebut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS 4.1 Analisis Hasil Pengujian TGA - DTA Gambar 4.1 memperlihatkan kuva DTA sampel yang telah di milling menggunakan high energy milling selama 6 jam. Hasil yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan nanoteknologi terus dilakukan oleh para peneliti dari dunia akademik maupun dari dunia industri. Para peneliti seolah berlomba untuk mewujudkan karya

Lebih terperinci

BAB IV PERHITUNGAN & ANALSIS HASIL KARAKTERISASI XRD, EDS DAN PENGUKURAN I-V MSM

BAB IV PERHITUNGAN & ANALSIS HASIL KARAKTERISASI XRD, EDS DAN PENGUKURAN I-V MSM BAB IV PERHITUNGAN & ANALSIS HASIL KARAKTERISASI XRD, EDS DAN PENGUKURAN I-V MSM Pada bab sebelumnya telah diperlihatkan hasil karakterisasi struktur kristal, morfologi permukaan, dan komposisi lapisan.

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill I Wayan Yuda Semaradipta 2710100018 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Agustus Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Agustus Penelitian 34 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Agustus 2012. Penelitian dilakukan di beberapa tempat yaitu preparasi sampel dan uji fisis

Lebih terperinci

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd)

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd) Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd) Spektroskopi difraksi sinar-x (X-ray difraction/xrd) merupakan salah satu metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan

Lebih terperinci

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF YUNI SUPRIYATI M 0204066 Jurusan Fisika Fakultas MIPA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sifat superkonduktivitas bahan ditemukan pertama kali oleh Heike Kammerlingh

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sifat superkonduktivitas bahan ditemukan pertama kali oleh Heike Kammerlingh 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Superkonduktor Sifat superkonduktivitas bahan ditemukan pertama kali oleh Heike Kammerlingh Onnes pada tahun 1911. Pada saat itu, dia sedang mencoba mengamati hambatan jenis (resistivity)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai pada bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun 2012. Tempat penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong,

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. permukaan (SEM), dan Analisis difraksi sinar-x (XRD),

Lebih terperinci

PEMBUATAN ALUMINIUM BUSA MELALUI PROSES SINTER DAN PELARUTAN SKRIPSI

PEMBUATAN ALUMINIUM BUSA MELALUI PROSES SINTER DAN PELARUTAN SKRIPSI PEMBUATAN ALUMINIUM BUSA MELALUI PROSES SINTER DAN PELARUTAN SKRIPSI Oleh AHMAD EFFENDI 04 04 04 004 6 DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP 2007/2008 PEMBUATAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) (www.fda.gov).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) (www.fda.gov). pati. Selanjutnya, pemanasan dilanjutkan pada suhu 750 ºC untuk meningkatkan matriks pori yang telah termodifikasi. Struktur pori selanjutnya diamati menggunakan SEM. Perlakuan di atas dilakukan juga pada

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI 140310110018 JURUSAN FISIKA OUTLINES : Sinar X Difraksi sinar X pada suatu material Karakteristik Sinar-X Prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Batu bara + O pembakaran. CO 2 + complex combustion product (corrosive gas + molten deposit

BAB I PENDAHULUAN. Batu bara + O pembakaran. CO 2 + complex combustion product (corrosive gas + molten deposit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemadaman listrik yang dialami hampir setiap daerah saat ini disebabkan kekurangan pasokan listrik. Bila hal ini tidak mendapat perhatian khusus dan penanganan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan,

Lebih terperinci

Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III. 1 Diagram Alir Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah penelitian laboratorium yaitu mensintesis zeolit K-F dari kaolin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat sehingga untuk mentransmisikan energi yang besar digunakan sistem

BAB I PENDAHULUAN. pesat sehingga untuk mentransmisikan energi yang besar digunakan sistem BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permintaan kebutuhan energi listrik akan terus mengalami peningkatan secara pesat sehingga untuk mentransmisikan energi yang besar digunakan sistem tegangan tinggi

Lebih terperinci

Karakterisasi XRD. Pengukuran

Karakterisasi XRD. Pengukuran 11 Karakterisasi XRD Pengukuran XRD menggunakan alat XRD7000, kemudian dihubungkan dengan program dikomputer. Puncakpuncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pressure die casting type cold chamber yang berfungsi sebagai sepatu pendorong cairan

BAB I PENDAHULUAN. pressure die casting type cold chamber yang berfungsi sebagai sepatu pendorong cairan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Plunger tip adalah salah satu rangkaian komponen penting pada mesin high pressure die casting type cold chamber yang berfungsi sebagai sepatu pendorong cairan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemeriksaan Bahan Baku GMP Pada tahap awal penelitian dilakukan pemeriksaan bahan baku GMP. Hasil pemeriksaan sesuai dengan persyaratan pada monografi yang tertera pada

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

PENENTUAN SIFAT THERMAL PADUAN U-Zr MENGGUNAKAN DIFFERENTIAL THERMAL ANALYZER

PENENTUAN SIFAT THERMAL PADUAN U-Zr MENGGUNAKAN DIFFERENTIAL THERMAL ANALYZER No. 02/ Tahun I. Oktober 2008 ISSN 19792409 PENENTUAN SIFAT THERMAL PADUAN UZr MENGGUNAKAN DIFFERENTIAL THERMAL ANALYZER Yanlinastuti, Sutri Indaryati Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN ABSTRAK PENENTUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Magnet permanen adalah salah satu jenis material maju dengan aplikasi yang sangat luas dan strategis yang perlu dikembangkan di Indonesia. Efisiensi energi yang tinggi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen secara langsung. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit pelet CSZ-Ni

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pembuatan magnet barium ferit, tahap karakterisasi magnet

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN

PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN Laporan Tugas Akhir PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN Nama Mahasiswa : I Made Pasek Kimiartha NRP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh pengelasan..., RR. Reni Indraswari, FT UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh pengelasan..., RR. Reni Indraswari, FT UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Baja tahan karat Austenitic stainless steel (seri 300) merupakan kelompok material teknik yang sangat penting yang telah digunakan luas dalam berbagai lingkungan industri,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, pembuatan soft magnetic menggunakan bahan serbuk besi dari material besi laminated dengan perlakuan bahan adalah dengan proses kalsinasi dan variasi

Lebih terperinci

BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI

BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI Pada bab ini dibahas penumbuhan AlGaN tanpa doping menggunakan reaktor PA- MOCVD. Lapisan AlGaN ditumbuhkan dengan variasi laju alir gas reaktan, hasil penumbuhan dikarakterisasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 METODOLOGI PENELITIAN Proses pembuatan sampel dilakukan dengan menggunakan tabung HEM dan mesin MILLING dengan waktu yang bervariasi dari 2 jam dan 6 jam. Tabung HEM

Lebih terperinci

Gambar 4.7. SEM Gelas BG-2 setelah perendaman di dalam SBF Ringer

Gambar 4.7. SEM Gelas BG-2 setelah perendaman di dalam SBF Ringer Porositas Gambar 4.7. SEM Gelas BG-2 setelah perendaman di dalam SBF Ringer Dari gambar 4.6 dan 4.7 terlihat bahwa partikel keramik bio gelas aktif berbentuk spherical menuju granular. Bentuk granular

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan Bab ini memaparkan hasil dari sintesis dan karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit Sr 2 Mg 1-X Fe x MoO 6-δ dengan x = 0,2; 0,5; 0,8; dan

Lebih terperinci

Superkonduktor Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

Superkonduktor Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ Superkonduktor Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ Pengaruh Konsentrasi Doping Ce (X) Terhadap Sifat Listik Material Superkonduktor Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ under-doped M. Saputri, M. F. Sobari, A. I. Hanifah, W.A. Somantri,

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE

PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE 1 PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE Arum Puspita Sari 111010034 Dosen Pembimbing: Dr. Mochamad Zainuri, M. Si Kamis, 03 Juli 2014 Jurusan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan 27 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai selesai. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material FMIPA Universitas Lampung. Uji

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007)

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007) BAB II DASAR TEORI 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Proses pengelasan semakin berkembang seiring pertumbuhan industri, khususnya di bidang konstruksi. Banyak metode pengelasan yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan pengaruh suhu sintering terhadap struktur Na 2 O dari Na 2 CO 3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa. Pada

Lebih terperinci

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei 17 III.METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei 2012. Adapun tempat pelaksanaan penelitian ini

Lebih terperinci

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis 7 konsentrasi larutan Ca, dan H 3 PO 4 yang digunakan ada 2 yaitu: 1) Larutan Ca 1 M (massa 7,6889 gram) dan H 3 PO 4 0,6 M (volume 3,4386 ml) 2) Larutan Ca 0,5 M (massa 3,8449) dan H 3 PO 4 0,3 M (volume

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini menggunakan 2 macam sampel paduan alumunium silikon dengan kadar penambahan Fe yang berbeda-beda. Yang pertama adalah sampel paduan alumunium

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Untuk mempelajari sintesis geopolimer maka dibuat sampel yang selanjutnya akan dikarakterisasi dimana langkah pembuatan dan pengujiannya tertera pada

Lebih terperinci

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS SKRIPSI Oleh : Ahsanal Holikin NIM 041810201063 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di

BAB I PENDAHULUAN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di dunia, yang menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang besar. PLTN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich Schönbein pada tahun 1838, sel bahan bakar telah berkembang dan menjadi salah

Lebih terperinci

LATIHAN UJIAN NASIONAL

LATIHAN UJIAN NASIONAL LATIHAN UJIAN NASIONAL 1. Seorang siswa menghitung luas suatu lempengan logam kecil berbentuk persegi panjang. Siswa tersebut menggunakan mistar untuk mengukur panjang lempengan dan menggunakan jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. logam menjadi satu akibat adanya energi panas. Teknologi pengelasan. selain digunakan untuk memproduksi suatu alat, pengelasan

BAB I PENDAHULUAN. logam menjadi satu akibat adanya energi panas. Teknologi pengelasan. selain digunakan untuk memproduksi suatu alat, pengelasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelasan adalah suatu proses penggabungan logam dimana logam menjadi satu akibat adanya energi panas. Teknologi pengelasan selain digunakan untuk memproduksi suatu

Lebih terperinci

DASAR TEKNOLOGI PENGELASAN

DASAR TEKNOLOGI PENGELASAN DASAR TEKNOLOGI PENGELASAN Pengelasan adalah suatu proses dimana bahan dengan jenis sama digabungkan menjadi satu sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Anorganik Program Studi Kimia ITB. Pembuatan pelet dilakukan di Laboratorium Kimia Organik dan di Laboratorium Kimia Fisik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK SERBUK 4.1.1. Serbuk Fe-50at.%Al Gambar 4.1. Hasil Uji XRD serbuk Fe-50at.%Al Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental dan pembuatan keramik film tebal CuFe 2 O 4 dilakukan dengan metode srcreen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Al yang terbentuk dari 2 (dua) komponen utama yakni silika ( SiO ) dan

I. PENDAHULUAN. Al yang terbentuk dari 2 (dua) komponen utama yakni silika ( SiO ) dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 3 3 Mullite ( AlO.SiO ) merupakan bahan keramik berbasis silika dalam sistem Al yang terbentuk dari (dua) komponen utama yakni silika ( SiO ) dan O3 SiO alumina ( Al

Lebih terperinci

PENGUKURAN SIFAT TERMAL ALLOY ALUMINIUM FERO NIKEL MENGGUNAKAN ALAT DIFFERENTIAL THERMAL ANALYZER

PENGUKURAN SIFAT TERMAL ALLOY ALUMINIUM FERO NIKEL MENGGUNAKAN ALAT DIFFERENTIAL THERMAL ANALYZER ISSN 979-409 PENGUKURAN SIFAT TERMAL ALLOY ALUMINIUM FERO NIKEL MENGGUNAKAN ALAT DIFFERENTIAL THERMAL ANALYZER Yanlinastuti, Sutri Indaryati Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir - BATAN ABSTRAK PENGUKURAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Paduan Fe-Al merupakan material yang sangat baik untuk digunakan dalam berbagai aplikasi terutama untuk perlindungan korosi pada temperatur tinggi [1]. Paduan ini

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan selama penelitian agar dapat tercapai hasil serta kesimpulan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Sinter Terhadap Struktur Kristal

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Sinter Terhadap Struktur Kristal 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Suhu Sinter Terhadap Struktur Kristal Hasil karakterisasi struktur kristal dengan menggunakan pola difraksi sinar- X (XRD) keramik komposit CS- sebelum reduksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. No Jenis Pengujian Alat Kondisi Pengujian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. No Jenis Pengujian Alat Kondisi Pengujian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Pengujian Termal Pada pengujian termal menggunakan metode DSC, ABS Original + ABS Recycle mendapatkan hasil yang bervariasi pada nilai Tg dan nilai Tm. Didapatkannya

Lebih terperinci

Gambar 10. Skema peralatan pada SEM III. METODE PENELITIAN. Untuk melaksanakan penelitian digunakan 2 jenis bahan yaitu

Gambar 10. Skema peralatan pada SEM III. METODE PENELITIAN. Untuk melaksanakan penelitian digunakan 2 jenis bahan yaitu 18 Electron Optical Colw.in Anqcl* Apcftvte High Voitag«E)>clron Gwi Elsctfofi Bern Deflection Coiis- G«aef«tor CftT Oitpliy t Flnjl Aperlur* Oetcdo' Sample Oiiplay Controls Gambar 10. Skema peralatan

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING I Dewa Gede Panca Suwirta 2710100004 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda eksperimen.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda eksperimen. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda eksperimen. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yang digambarkan dalam diagram alir

Lebih terperinci

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J 1. Bila sinar ultra ungu, sinar inframerah, dan sinar X berturut-turut ditandai dengan U, I, dan X, maka urutan yang menunjukkan paket (kuantum) energi makin besar ialah : A. U, I, X B. U, X, I C. I, X,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 Sintesis Padatan ZnO dan CuO/ZnO Pada penelitian ini telah disintesis padatan ZnO dan padatan ZnO yang di-doped dengan logam Cu. Doping dengan logam Cu diharapkan mampu

Lebih terperinci