TINJAUAN PUSTAKA. Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan Ketahanan pangan (food security) menjadi suatu topik yang menarik dan mulai populer diperbincangkan sejak timbulnya krisis pangan dan kelaparan pada awal tahun 1970 (Maxwell & Frankenberger 1992). Dalam konteks yang lebih global istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan oleh PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen intemasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afiika dan Asia. Berdasarkan Declaration of Human Right 1998 yang disepakati pemerintah Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak azazi manusia (HAM). Artinya negara (pemerintah dan masyarakat) harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan), apalagi sampai tejadi kelaparan dan gizi buruk dapat dikategorikanlmempakan indikasi pelanggaran HAM. Pada mulanya pengertian ketahanan pangan terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Perserikatan Bangsa-bangsa (1975) mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten serta dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. World Bank (1986) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua mmahtangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Lebih lanjut World Bank (1986) mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan International Conference of Nutrition 1992 (FA0 1992), pengertian ketahanan pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), diiensi daya ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan

2 kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi bola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan) dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Hardinsyah dan Martianto 2001). Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat dipahami sebagai berikut : 1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, temak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi perturnbuhan kesehatan manusia. 2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama. 3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. 4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumahtangga dengan harga yang terjangkau. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi mmahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan te jangkau. Makna dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup ilntuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Definisi tersebut sesuai dengan konsep ketahanan pangan yang dikemukakan oleh Chung (1997), bahwa ketahanan pangan mempunyai tiga komponen utama yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan (Gambar 1). Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi, ketersediaan pangan di pasar maupun di tingkat mmahtangga. Pada dasarnya produksi pangan mencerminkan kondisi pendapatan petani. Selain itu produksi pangan diharapkan dapat menyediakan pangan dengan harga yang dapat dijangkau konsumen.

3 Sumberdaya Alam Fisik Manusia Ketersediaan Pangan -t Produksi Pertanian *Nan Pertanian Akses Pangan Pendapatan Konsumsi Pertanian Pangan Non Non Pertanian Pangan -- Pemanfaatan pangan t Status gizi Anak * Dewasa INDIKATOR GENERIK Sumberdaya Produksi Pendapatan Konsumsi Status Cizi Alum -Total luas lahan - Pendapatan dari -Total - Anh-opometri - Curah hujan garapan tanaman pengeluaran - Kadar serum - Kualitas tanah - Luas lahan - Pendapatan dari - Pengeluaran - Angka beririgasi ternak pangan kesakitan - Ketersediaan air - Luas laha,, Upah - Pengeluaran - Angka - Akses terhadap diberakan - Harga jual non pangan kematian sumberdaya hutan - Akses terhadap - Pasar - Harga beli - Angka Fisik input dan Akses jalan - Konsusmsi kelahiran - Pemilikan ternak PeWgUnaan - Kiriman uang pangan - Akses - Pemilikan sarana - - Frekuensi pelayanan - Keragaman Pagan kesehatan pertanian tanaman - Akses - Pemilikan tanah - Produksi terhadap air - Akses infrastruktur. produksi non bersih Manusia pertanian - Sanitasi yang - Rasio memadai ketergantungan - Pendidikan - Besar keluarga -Umur KK Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan (Chung 1997) Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa untuk mencapai ketersediaan pangan yang diperoleh dari proses produksi sangat tergantung pada sumberdaya alam, fisik, dan manusia. Komponen akses pangan terkait dengan akses ekonomi bagi individu untuk memperoleh pangan. Hal ini terkait dengan kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi pangan yang dibutuhkan seperti kualitas lahan pemilikan dan penguasaan lahan, pemilikan ternak dan aset lainnya, harga pangan maupun daya beli (Maxwell & Frankenberger 1992 dan Chung 1997). Suhardjo (1994) menyatakan bahwa ketidaktahanan pangan rumahtangga disebabkan oleh

4 kemiskinan atau pendapatan yang rendah. Pemanfaatan pangan dapat diartikan sebagai konsumsi pangan. Konsumsi pangan sangat berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Faktor yang rnempengaruhi adalah ketersediaan air bersih, sanitasi, pola asuh balita, fasilitas kesehatan, dan pendidikan. Dengan demikian untuk mewujudkan ketahanan pangan rumahtangga perlu memperhatikan faktor ketersediaan pangan, daya beli, dan pengetahuan gizi (Suhardjo 1994). Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga sub sistem, yaitu : (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (3) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kernampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumahtangga mengakses pangan yang cukup melalui kegiatan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsurnsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang. Ketiga aspek tersebut juga merupakan indikator ketahanan pangan pada berbagai level (Dewan Ketahanan Pangan 2006), yang mana ketersediaan pangan dapat diartikan bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah rnaupun mutunya, serta aman. Tidak terpenuhinya keadaan tersebut pada suatu wilayah, rnaka dapat disimpulkan bahwa wilayah tersebut tidak tahan pangan. Ketersediaan pangan berganthmg pada pada sumberdaya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung disertai sumberdaya manusia yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinu. Akses pangan hanya dapat tejadi bila rumahtangga berpenghasilan cukup. Konsumsi pangan akan menentukan apakah seluruh anggota rumahtangga

5 bisa mencapai derajat kesehatan optimal (Khomsan 1996). Aspek distribusi menjadi indikator yang dapat menjelaskan bahwa suatu wilayah dikatakan tahan pangan apabila pasokan pangan dapat menjangkau keseluruh wiiayah sehingga harga stabil dan masyarakat dapat menjangkau pangan dengan baik (akses fisik maupun ekonomi). Dari aspek konsumsi suatu wilayah dapat dijelaskan tahan atau tidak tahan pangan dengan mengetahui apakah setiap rumahtangga dapat mengakses pangan yang cukup sesuai kebutuhannya untuk mampu mengelola kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Ketahanan pangan rumahtangga sebagaimana hasil rumusan Infernational Congres of Nufrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: "Ketahanan pangan rumahtangga (Household food securiv) adalah kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari". Dalam sidang Commitfee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan "Hams diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culfure)". Hal lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumahtangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan tejangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Untuk mewjudkan ketahanan pangan tingkat rumahtangga diperlukan kelembagaan paiigan karena ketahanan pangan mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan perundangan, organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan ketatalaksanaan (Soetrisno 1998). Saat ini di Kabupaten Lampung Barat telah ada Kantor Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pmgan. Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewjudkan ketahanan pangan diperlukan kejasama yang baik antara pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat. Kejasama tersebut dimaksudkan sebagai penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan seperti peningkatan jaminan ekonomi dan

6 pekejaan, bantuan pangan melalui jaringan pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya. Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan lfood insecuri[y) tingkat nunahtangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering te jadi di daerah terisolir dan gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut (transitori) tejadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (IFPRI 1992). Menurut Soetrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup. Ketahanan pangan bukan saja bagaimana menyediakan pangan yang cukup (melalui kebijakan peningkatan produksi), tetapi juga bagaimana rakyat banyak, khususnya rakyat miskin bisa menjangkaunya. Ini berarti pangan bukan saja tersedia dalam jumlah cukup, tetapi juga kualitas, harga tejangkau untuk rakyat di mana saja mereka berada. Kejangkauan rakyat akan pangan hendaknya juga berlaku dalam waktu relatif lama. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara ringkas ketahanan pangan sebenamya hanya menyangkut tiga ha1 penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan (Khomsan 1996), selanjutnya dikemukakan pula bahwa konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Tercapainya ketahanan pangan nasional tidak berarti tiada masalah dalam ketahanan pangan rumahtangga. Distribusi pangan yang tidak merata di tingkat regional atau rumahtangga dapat memunculkan masalah ketahanan pangan di level bawah.

7 Indikator Ketahanan Pangan Ketahanan pangan bisa dikatakan terwujud, jika tiga indikator telah terpenuhi, yakni ketersediaan cukup untuk selumh penduduk, distribusi merata dan terjangkau masyarakat, serta konsumsi setiap mmahtangga mampu mengakses dan mengelola pangan dengan gizi seimbang. Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa ketahanan pangan global, nasional, regional, lokal mmahtangga serta individu mempakan suatu rangkaian sistem hirarkis, dimana ketahanan pangan nasional dan regional mempakan syarat keharusan (necessary condition) bagi ketahanan pangan masyarakatlrumahtangga dan individu. Sementara ketahanan pangan tingkat individu merupakan syarat kecukupan (sufjciency condition) bagi ketahanan pangan nasional. Mengacu pada pengertian ketahanan pangan yang ada pada Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1996 dan rencana aksi KTT pangan dunia, maka indikator yang dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi ketahanan pangan tingkat wiiayah dan nasional adalah indeks ketahanan pangan ~mahtangga, rasio stok pangan dan konsurnsi pada berbagai tingkatan wilayah, skor Pola Pangan Harapan (PPH), kondisi ketahanan pangan, keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat dan tingkat cadangan pangan pemerintah dibandingkan perkiraan kebutuhan (Soetrisno 1996). Sawit dan Ariani (1997) rnengemukakan bahwa penentu utama ketahanan pangan nasional, regional dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Maxwell & Frankenberger (1992) menyatakan bahwa indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan. Indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi mmahtangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai coping abilig indicator. Indikator dampak meliputi dua kategori yaitu langsung dan tak langsung.

8 Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan, indikator dampak secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Indikator proses yang telah dikembangkan oleh IFRI (1999), yang dapat dipakai untuk membuat peta kerawanan pangan meliputi: 1) pertanian yang terdiri dari penggunaan lahan, rata-rata produksi tanaman, indeks keragaman tanaman, tanaman yang tahan kekeringan per hektar; 2) meteorologi yaitu curah hujan, risiko banjir dan kekeringan; 3) cadangan pangan; 4) infrastruktur terdiri dari akses pasar, kepadatan per hektar, jalan raya, terminal. Sedangkan indikator dampak yang dapat digunakan adalah 1) pelayanan kesehatan terdiri dari tingkat vaksinasi, rasio penduduk terhadap puskesmas, tingkat kehamilan yang berisiko; 2) kesakitan meliputi kasus diare pada balita, kasus gizi kurang, kasus malaria; 3) sanitasi yang ditunjukkan oleh akses terhadap air bersih; 4) tingkat pendidikan. Kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan pangan masyarakat yang ada diwilayahnya diukur berdasarkan tingkat ketersediaan pangannya dalam kurun waklu tertentu baik yang diperoleh dari produksi sendiri, cadangan pangan ataupun melalui impor. Kemampuan produksi pangan merupakan hasil kerjasama antara para pelaku usaha produksi pertanian dan usaha terkait lainnya, serta para petugas pemerintah yang berkewajiban memberikan pelayanan prasarana dan sarana usaha di bidang pangan (Maxwell & Frankenberger 1992). Cadangan pangan pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan pangan nyata masyarakat dan ketersediaan pangan, serta dengan mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau keadaan darurat. Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan wilayah, pemerintah harus: (a) mengembangkan, membina dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan pemerintah di tingkat pedesaan, perkotaan, provinsi dan nasional; (b) mengembangkan, menunjang dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi peran swasta dan koperasi dalam mewujudkan cadangan pangan masyarakat. Dengan kata lain pemerintah mempunyai peran ganda dalam pengembangan sistem cadangan pangan, yaitu pengadaan cadangan pangan pemerintah dan niemfasilitasi pengembangan cadangan pangan masyarakat.

9 Pergerakan harga pangan disuatu wilayah pada periode tertentu dapat mencerminkan tingkat stabilitas harga pangan diwilayah tersebut dan merupakan petunjuk dari stabilitas pasokan, yang merupakan salah satu elemen penting ketahanan pangan. Stabilitas harga pangan ini dapat dipengaruhi oleh sifat bahan pangan dan kesesuaian pengelolaan sistem produksi dengan permintaan pasar. Sebagai indikasi dari ketahanan pangan di tingkat mikro, digunakan ketersediaan dan konsumsi pangan dalam bentuk energi dan protein per kapita per hari. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah (pasar) tidak dapat menjamin ha1 yang sama di tingkat rumahtangga, karena tergantung kemampuan rumahtangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli) (Su~yana 2004). Menurut Hardinsyah et al. (2002), penganekaragaman pangan dapat dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu pengganekaragaman produksi pangan, distribusi dan penyediaan pangan, serta konsumsi pangan. Tujuan utarna penganekaragaman pangan adalah untuk peningkatan mutu gizi pangan dan mengurangi ketergantungan pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Konsep diversifikasi saat ini menjadi sangat penting disebahkan semakin menwnnya kapasitas produksi beberapa pangan strategis, misalnya beras. Menurut Hardinsyah (1996), untuk mengukur keberhasilan upaya diversifikasi di bidang penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter. Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dielary Paltern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energikelompok pangan (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. Dengan pendekatan PPH, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (flubilioflal adequancy), akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrilional balance) yang didukung cita daya cema (digeslability), daya terima masyarakat (acceptabilily), kuantitas dan kemampuan daya beli (afforlrability) (Hardinsyah et al. 2002).

10 Munculnya berbagai indikasi kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh sampai sejauh mana rumahtangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Kerawanan pangan dibedakan atas kerawanan kronis, yaitu yang terjadi secara kontinu (terns menerus) karena ketidakmampuan membeli atau memproduksi pangan sendiri yang akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan; dan kerawanan sementara (transitori) yang te jadi karena kondisi tak terduga seperti bencana alam atau bencana lainnya. Status gizi masyarakat mernpakan keadaan gizi setiap individu yang sangat dipengaruhi oleh asupan bahan pangan yang dikonsumsi, yang ditentukan oleh kemampuan penyediaan dan pengelolaan konsumsi pada masing-masing rumahtangga dan merupakan hasil lanjutan (outcome) dari ketahanan pangan rumahtangga (Suryana 2004). Istilah hunger paradox sering digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena mantapnya ketahanan pangan nasional, yang dicerminkan ketersediaan kalori dan protein di atas angka kebutuhan gizi, namun kelaparan atau kekurangan gizi masih tejadi dimana-mana. Sebenamya mereka yang mengalami rawan pangan bukan hanya golongan miskin, tetapi juga yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Pengkasifikasian ketahanan pangan rumahtangga kedalam food secure (tahan Pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan), berdasarkan penelitian-penelitian sebelurnnya dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara. Salah satnya yang paling mum dilzkukan adalah pengukuran dengan indikator out put yaitu konsumsi pangan (intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan baduta). Rumahtangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut offpoint atau TKE < 70 % (Zeitlin & Brown 1990). Sumanvan dan Sukandar (1998) juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumahtangga di Indonesia dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumahtangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dan proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan (E > 100% dan P > 100%). Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari

11 kecukupan (E < 100% dan P < loo%), maka rumahtangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan. Acuan kuantitatif untuk ketersediaan pangan adalah angka kecukupan gizi (AKG) rekomendasi Widya Karya Pangan dan Gizi VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita per hari sebesar 2200 kkal. Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumahtangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui suwei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, stmktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga (Sukandar et al. 2001). Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang dikembangkan Hardinsyah relatif sederhana dan mudah. Selain sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsurnsi (aspek kuantitas) dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempuma (makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan susu) dan dihitung kuantitasnya menggunakan unit konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin anggota rumahtangga dapat dipertimbangkan dalam perhitungan ini. Ukuran sederhana ini dapat digunakan untuk menduga pemenuhan kebutuhan gizi mmahtangga sebagai ukuran ketahanan pangan mmahlangga. Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketahanan Pangan Rumahtangga Suhardjo, Hardinsyah dan Riyadi (1988), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengamhi ketahanan pangan nunahtangga ada empat yaitu: (1) produksi pangan untuk keperluan mmahtangga, (2) pengeluaran uang untuk pangan rumahtangga, (3) pengetahuan gizi, dan (4) tersedianya pangan. Sedangkan Sudjono ef al. (1986) menemukan bahwa selain pengeluaran rumahtangga, besar keluarga, dan pendidikan formal kepala keluarga dan isteri

12 juga merupakan faktor utama yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan pangan mmahtangga. Hasil penelitian Jutomo (2000) menemukan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan mahtangga petani di Desa Sukajadi adalah produksi pangan surnber energi dari lahan usahatani dan pendapatan rumahtangga petani. Pertanian berpengaruh temtama terhadap gizi melalui produksi pangan untuk keperluan rumahtangga dan distribusi hasil tanaman perdagangan, temak dan lain jenis pangan yang dijual di pasar lokal atau tempat lain (Jutomo (2000) Harper, Deaton, & Driskel(1985) juga mengemukakan bahwa pangan yang diproduksi dalam jumlah dan ragam yang cukup, kemudian bahan tadi cukup tersedia di tingkat desa atau masyarakat dan kalau keluarga memiliki uang cukup untuk membeli keperluan pangan yang tidak ditanam ditempatnya, tidak akan terjadi kurang gizi. Kurang gizi mengakibatkan kurangnya tenaga untuk melakukan kerja. Kemampuan keja petani dan keluarganya menjadi rendah kalau kurang makan. Keadaan ini mengakibatkan produksi pertanian menjadi rendah, kehidupan lebih buruk dan bahkan kemiskinan lebih parah. Suatu lingkaran spiral yang berbahaya dapat timbul dan mengakibatkan keadaan makin bumk. Penjelasan dengan grafik tentang beberapa praktek pertanian yang tidak baik dan kondisi kehidupan yang miskin berakibat rendahnya produksi pangan, rendahnya pendapatan dan keadaan kurang gizi disajikan pada Gambar 2. Jumlah penduduk dengan mata pencaharian bercocok tanam di negara yang sedang berkembang masih besar, walaupun misalnya terjadi urbanisasi yang tinggi, jumlah petani akan tetap tinggi sampai beberapa dekade ini. Bagi keluarga petani di negara yang sedang berkembang, jenis produksi makanan adalah sangat penting, karena perbaikan kualitas gizi dalam makanan sehari-hari penduduk pedesaan tergantung pada pertimbangan-pertimbangan yang luas terhadap pembahan-perubahan produksi pangan yang dihasilkan oleh petani tersebut untuk dikonsumsi sendiri (Suhardjo 1989). Umumnya bumh tani di negara-negara yang sedang berkembang paling menderita akibat rendahnya produksi pertanian apalagi mereka tidak mempunyai lahan tempat mengusahakan pangan mereka sendiri. Hal ini merupakan sebab mengapa mereka dan keluarganya lebih sering terkena

13 hang gizi daripada keluarga petani yang memiliki lahan (Harper, Deaton, & Driskel 1985). Selain ha1 diatas latar belakang masalah gizi pada negara sedang berkembang adalah cepatnya laju pertarnbahan penduduk yang tidak diimbangi dengan laju kenaikan produksi pertanian (Suhardjo 1996). Apalagi persediaan pangan terbatas, biasanya keluarga besar dan miskin menderita kurang gizi lebih parah daripada keluarga yang lebih kecil (Harper, Deaton & Driskel 1985). Gambar 2 Lingkaran spiral yang berbahaya (Harper, Deaton, & Driskel, 1985) Menumt Suhardjo (1989) bahwa anak-anak yang sedang tumbuh dalam rumahtangga miskin akan sangat rawan terkena gizi kurang, temtama anak paling kecil diantara seluruh anggota keluarga. Hasil penelitian Latief et al. (2000), juga menemukan bahwa jumlah anggota rumahtangga akan mempengamhi kontribusi karbohidrat, lemak, dan protein terhadap total intik energi per kapita per hari. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka akan semakin berkurang kontribusi karbohidrat, lemak, dan protein terhadap total energi yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Hal ini berkaitan erat dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi

14 terutama tentang gizi dan kesehatan. Pendidikan akan menentukan besar kecilnya penggunaan pendapatan keluarga untuk pengadaan pangan sehari-hari (Birowo diacu dalam Haerani 1998). Lnformasi yang dimiliki seseorang tentang kebutuhan gizi akan menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung memilih makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi, sesuai jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan pangan sejak kecil, sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi (Husaini 1983). Tujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan sering berubah menjadi tujuan asal kenyang. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pendapatan, artinya peningkatan pendapatan perlu disertai dengan peningkatan pendidikan gizi (Suhardjo, Hardinsyah, & Riyadi 1988). Bahkan Syarief (1997) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan derajat pendidikan rendah tidak mampu menyediakan makanan yang bergizi bagi seluruh keluarganya. Tingkat kecukupan pangan rumahtangga juga tergantung pada kemampuan penduduk untuk membeli pangan agar mencukupi kebutuhan rumahtangga yang seimbang sesuai dengan pendapatan rumahtangga, oleh karena itu pendapatan juga mempakan salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga (Sudaryanto er al. 2000). Selanjutnya tingkat pendapatan ~mahtangga tersebut tergantung pada kemampuan anggota rumahtangga untuk memperoleh kesempatan kerja dan penghasilan yang cukup sesuai produktivitas yang dimiliki. Sumardi (1982), menyatakan bahwa tingkat pendapatan rumahtangga dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan dan status pekerjaan maka akan semakin besar pendapatan rumahtangga, demikian pula sebaliknya. Pendidikan individu dapat mempengaruhi kualitas seseorang dalam berbagai hal, misalnya seseorang yang berpendidikan biasanya masuk dalam tingkat golongan pekerjaan yang diupah lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan (FA0 1989). Jumlah pendapatan yang diterima rumahtangga mempakan kompensasi dari produktivitas anggota rumahtangga tersebut. Pada akhimya, tingkat produktivitas yang tinggi

15 tergantung pada kondisi fisik untuk tetap hidup sehat dan ha1 ini tergantung pada konsumsi gizi seimbang (Moeloek 2000). Menurut Sutrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumahtangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menumt Aziz (1990) ketahanan pangan mmahtangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Sementara menurut Hasan (1995) risiko ketidaktahanan pangan tingkat rumahtangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar) dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa ha1 yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan mmahtangga tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 3 faktor yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi. Ketersediaatr pangan. Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Menumt Djogo (1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) hams sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya (Suhardjo 1989). Sedangkan Soemarwoto (1994) menyatakan keluarga yang lebih suka menjual bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi.

16 Daya beli. Kemampuan membeli atau "daya beli" mempakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian mempakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin (Hardjana 1994). Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIP1 1998) kurangnya ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan mempakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogjo et al. 1986). Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo 1989). Hal yang sama dinyatakan Soemanvoto (1994) bahwa faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan. Pengetalruan pangan dan gizi. Secara mum perilaku konsurnsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan/keluarga berencana, ciri-ciri sosial yang dimiliki (umur, jenislgolongan etnik, pendidikan, peke jaan dan sebagainya), dan informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai sumber (Susanto 1996). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula nilai sosial yang rendah (Soemanvoto 1994).

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU RI No 7 tahun 1996 tentang pangan menyatakan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan

Lebih terperinci

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup 7 II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Pola makan anak balita Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup khususnya manusia. Pangan merupakan bahan yang

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan No.60, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Pangan. Gizi. Ketahanan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5680) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAMBI Menimbang PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Ketahanan pangan Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai mengemuka saat terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan esensial dan komoditas paling strategis dalam kehidupan manusia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia. Ketahanan pangan berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagaimana hasil rumusan

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagaimana hasil rumusan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5360 KESEJAHTERAAN. Pangan. Ketahanan. Ketersediaan. Keamanan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) 66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73 Mewa Ariani et al. ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 14 II. TINJAUAN PUSTAKA Aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan sawah erat kaitannya dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga sebagaimana hasil rumusan Internasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT, PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan memp&aii kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan mempakan bagian dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen

Lebih terperinci

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB Gedung Badan Ketahanan Provinsi Nusa Tenggara Barat 1. ALAMAT Badan Ketahanan Provinsi Nusa Tenggara Barat beralamat di Jl. Majapahit No. 29 Mataram Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN Faharuddin, M.Si. (Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Sumatera Selatan) 8.1. Konsep Dasar Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dikonseptualisasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Oleh karena itu, semua elemen bangsa harus menjadikan kondisi tersebut sebagai titik

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 50 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PANGAN KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

PROFIL DINAS KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB

PROFIL DINAS KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB PROFIL DINAS KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB Gedung Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat ALAMAT Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat beralamat di Jl. Majapahit No. 29 Mataram

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN : SUBSISTEM KETERSEDIAAN

KETAHANAN PANGAN : SUBSISTEM KETERSEDIAAN KETAHANAN PANGAN : SUBSISTEM KETERSEDIAAN Aku sehat karena panganku cukup, beragam, bergizi seimbang, aman, dan halal TEORI KETAHANAN PANGAN Indikator Swasembada Pangan Kemandirian Pangan Kedaulatan Pangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

II. PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN Nuhfil Hanani AR

II. PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN Nuhfil Hanani AR 19 II. PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN Nuhfil Hanani AR Swasembada Pangan versus Ketahanan Pangan Pada level nasional pengertian ketahanan pangan telah menjadi perdebatan selama tahun 1970 sampai tahun 1980an.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akses pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang menghubungkan antara ketersediaan pangan dengan konsumsi/pemanfaatan pangan. Akses pangan baik apabila

Lebih terperinci

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KETAHANAN PANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a. bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa ketahanan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan Ketahanan pangan adalah fenomena yang kompleks. Selain terkait aspek hukum (hak), ketahanan pangan juga mencakup aspek pasar, waktu, tempat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.227, 2012 KESEJAHTERAAN. Pangan. Ketahanan. Ketersediaan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN INDIKATOR KINERJA (IKU) INSTANSI VISI MISI TUJUAN TUGAS : BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TIMUR : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN :

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Program

Lebih terperinci

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA BAB II T1NJAUAN PUSTAKA A. Pola Konsumsi Anak Balita Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah, frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan harus memperhatikan

Lebih terperinci

5 / 7

5 / 7 LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL A. LATAR BELAKANG Keberhasilan pembangunan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat 20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola menu empat sehat lima sempurna adalah pola menu seimbang yang bila disusun dengan baik mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pola menu ini diperkenalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan Masyarakat

Ketahanan Pangan Masyarakat Ketahanan Pangan Masyarakat TIK : MAHASISWA DIHARAPKAN MAMPU MENJELASKAN KONSEP UMUM, ARAH DAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN Pendahuluan Pada akhir abad ini penduduk dunia sudah 6 miliar Thomas Malthus (1798):

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kebijaksanaan dan perencanaan pangan dan gizi harus mendapat tempat yang utama dalam mensejahterakan kehidupan bangsa. Sebab, apabila orang tidak cukup makan, maka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010 telah dicanangkan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tanggal 1 Maret 1999. Untuk mendukung

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 08 TAHUN 2017 TENTANG PENGANEKARAGAMAN PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Rumah Tangga

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Rumah Tangga 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rumah Tangga Besar Rumah Tangga Menurut BKKBN (1998), besar rumah tangga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Penanggungjawab Kegiatan, Dr. Agus Heri Purnomo

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Penanggungjawab Kegiatan, Dr. Agus Heri Purnomo RINGKASAN EKSEKUTIF Ikan sebagai salah satu sumber protein, memegang peran penting dalam program ketahanan pangan terutama ketahanan gizi masyarakat. Pembangunan ketahanan pangan diarahkan guna mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga ketersedian pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI disampaikan pada : Temu Ilmiah Internasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian November 2014 OUTLINE 1. Pendahuluan 2. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki penduduk 230 juta dengan beraneka ragam budaya, sosio-ekonomi dan letak geografis menduduki peringkat 107 dari 177 negara untuk indeks pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga 20 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga Konsep ketahanan pangan menurut World Food Conference on Human Rights 1993 dan World Food Summit 1996 memiliki arti setiap orang pada setiap saat memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS DETERMINAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN NATHASA WEISDANIA SIHITE

ANALISIS DETERMINAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN NATHASA WEISDANIA SIHITE ANALISIS DETERMINAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN NATHASA WEISDANIA SIHITE DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ABSTRACT NATHASA WEISDANIA

Lebih terperinci

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN A. Landasan Hukum Memahami pentingnya cadangan pangan, pemerintah mengatur hal tersebut di dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, khususnya dalam pasal

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas

Lebih terperinci

WALIKOTA PANGKALPINANG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

WALIKOTA PANGKALPINANG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI WALIKOTA PANGKALPINANG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG,

Lebih terperinci

PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT

PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-11 PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Dr. Ir. Budiarto, MP. Program Studi Agribisnis UPN Veteran Yogyakarta 1 PANGAN Definisi PANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan

Lebih terperinci

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang 121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci