V. PEMBAHASAN Penelitian Lapangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. PEMBAHASAN Penelitian Lapangan"

Transkripsi

1 V. PEMBAHASAN 5.1. Penelitian Lapangan Penelitian di Rumah Pototlg Hewan Dari pengamatan pada babi-babi yang disembelih di RPH Denpasar terhadap kemungkinan adanya infeksi alami atau kehadiran sistiserkus Taenia saginata taiwan- ensis di Bali, telah ditemukan adanya bintik-bintik putih pada hati, yang diduga keras sebagai kista yang dimaksud. Sedangkan pada sapi, yang juga diamati selama penelitian berlangsung, jejas-jejas seperti itu tidak ditemukan. Lokasi kista yang ditemukan pada 158 babi yang diamati, adalah pada bagian permukaan dan parensim hati. Kista yang berbentuk.bintik-bintik kecil berwarna kekuningan atau putih susu itu, diameternya antara mm. Ukuran kapsul kista yang matur adalah sekitar 3 mm, sedangkan yang degenerasi dan kalsifikasi, rata- rata berukuran 3,5 mm dan 3,7 mm. Hasil pengamatan tersebut di atas sangat mirip dengan temuan Eom dan Rim (1 992a). Ketika Eom dan Rim ( 1992a) meneliti infeksi alami metacestoda Taenia sagi~ata ruiwanensis pada babi-babi yang disembelih di RPH Cheongju City, Pro- pinsi Chungbuk, Korea, juga menemukan adanya bintik-bintik putih kekuningan pada permukaan hati babi. Adanya lesi seperti ini, merupakan ha1 yang menciri pada infeksi sistiserkus Taeniu saginata taiwanensis. Metacestoda yang hidup, pada peneli tian yang mereka lakukan, dilaporkan berukuran rata-rata 3,20 mm, sedangkan yang mengalami degenerasi rata-rata 4,98 mm dan yang telah mengalami kalsifikasi rata-rata berukuran 3,67 mm. Menurut Fan (1988) sistiserkus Taenia saginata taiwunensis mempunyai ukuran panjang 1290 pm dan lebar pm.

2 Pada penelitian lapangan ini, tidak satupun dari 241 ekor sapi yang diperiksa di RPH Denpasar, memperlihatkan kelainan pada organ hatinya, khususnya yang menjurus pada adanya sistiserkus. Fenomena ini disamping sebagai pertanda bahwa sapi-sapi tersebut sehat, dalam hubungannya dengan infeksi metacestoda Taenia saginata taiwanensis, juga merupakan ha1 yang wajar, sebab menurut Fan (1988); Fan et al. (1990a; 1990b; 19929; Geerts et al. (1992), inang antara alami mnia saginatu tuiwanensis adalah babi, sehingga metacestoda cacing tersebut hanya ditemukan pada hati babi. Namun secara eksperimental Fan et al. (1990b) melaporkan bahwa hati sapi juga dapat terinfeksi oleh kista ini. Pada penelitiannya, dengan menginfeksikan telur Tmnia saginata dari Thailand (Strain Chiengmai), yang diduga sama dengan Tmnia saginata tuiwanensis, diperoleh hasil bahwa disamping 6 ekor babi berhasil terinfeksi oleh 16 kista pada organ hatinya, ternyata 13 kista yang sudah mengalami degenerasi dan kalsifikasi, juga ditemukan pada hati dua ekor sapi yang digunakan sebagai hewan percobaannya. Selanjutnya menurut Fan et al. (1992f), telah dilaporkan bahwa hewan-hewan yang dapat terinfeksi secara eksperimental oleh kista ini adalah babi, sapi, kambing dan kera. Mengingat temuan ini dalam beberapa hal, sangat mirip dengan temuantemuan Fan (1988) dan Eom dan Rim (1992a) mengenai sistiserkus mnia saginata taiwanensis, dan dari fenomena yang berkaitan dengan transmisi sistiserkosis / taeniasis serta kebiasaan penduduk yang gemar makan daging babi yang dimasak setengah matang, serta masih buruknya sanitasi pembuangan kotoran manusia di Bali (Widjana dan Kapti, 1983; Warudju, 1988; Bakta et al., 1993; Widjana et al., 1993), yang hampir mirip dengan keadaan di 'hiwan dan negara-negara Asia lainnya (Fan et ul., 1992d), maka penulis menduga sementara bahwa bintik-bintik kecil berwarna putih kekuningan yang ditemukan pada hati babi seperti dilaporkan di atas,

3 adalah kista dari cacing Zlwnia saginta taiwanensis, dan bukan kista Taenia solium, sebab hati bukanlah merupakan tempat predileksi utama bagi kista Taenia solim. Dengan demikian penulis juga menduga bahwa sistiserkus / cacing Taenia saginta taiwanensis ditemukan di Bali. Temuan ini dapat d i w untuk menjelaskan adanya hubungan antara kasus Taeniu saginata yang cukup dominan di Bali, sementara penduduknya lebih banyak mengkonsumsi daging babi dibandingkan daging sapi Deskripsi Bentuk dan Ukuran Kista yang Ditemukan pada Hati Babi yang Dimbelih di RPH Denpasar Dari hasil pemeriksaan laboratonum terhadap kista yang berhasil dikumpul- kan pada pemeriksaan lapangan di RPH Denpasar, ternyata hanya satu dari 158 kista (0,63 %) yang ditemukan hidup. Sebagian besar kista yang ditemukan itu telah mati (99,37%), yang dapat diklasifikasikan sebagai degenerasi (66,46%) dan kalsifikasi (32,91%). Malahan pada penelitian Eom dan Rim (1992a). hasilnya lebih rendah lagi, hanya 0,012 % (3 dari ) hati babi yang diperiksa di RPH Cheongju City, Chungbuk, Korea yang mengandung kista matur. Kebanyakan metacestoda yang ditemukan pada penelitian mereka, juga telah mengalami degenerasi (12,9%) dan kalsifikasi (87,196). Dari satu kista yang ditemukan hidup tersebut, ternyata scolexnya memiliki rostellum yang dipersenjatai dua baris hit-kait yang tampak seperti Gambar 4 di depan. Adanya kait-kait yang berukuran kecil pada rostellum, menurut Bowles dan McManus (1994) merupakan ciri morfologi yang sangat khas, yang membedakan sistiserkus Taenia saginata taiwanensis / Taenia asiatica dari sistiserkus Taenia saginata yang klasik. Namun tidak semua peneliti melaporkan bahwa kista Taenia

4 saginata taiwanensis memiliki kait yang rudimenter. Fan et al. (1992a) misalnya, tidak menyebutkan secara tegas bahwa kista Twnia suginuta (Strain Filipina) memiliki kait-kait yang rudimenter. Pada hasil penelitian tersebut, hanya dijelaskan bahwa pola kait pada scolex yang diperolehnya, sama dengan pola kait metacestoda Taenia suginata taiwanensis, yang ukurannya sangat kecil. Demikian juga dengan laporan yang Iainnya (Fan et al., 1989b; 1990b), hanya menyebutkan bentuk kait yang sangat kecil. Tetapi peneliti yang sama (Fan et al., 1990a) telah melaporkan bahwa kista yang diperoleh dari hati babi yang diinfeksi telur lhenia saginata (Strain %wan), memiliki rostellum dengan kait yang rudimenter. Kemudian Eom dan Rim (1992a), melaporkan bahwa hanya 8 dari 47 metacestoda yang diamati memiliki kait rudimenter. Fan (1988) bahkan melaporkan, kait-kait kista lbenia saginata taiwanensis yang berada pada lingkaran dalam (inner row) rata-rata berjumlah 13 buah. Hal ini sesuai dengan temuan kami yakni jumlah kait metacestoda tersebut masih bisa dihitung, yaitu sebanyak Penelitian Serologis dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Dari hasil pemeriksaan serologis dengan ELISA untuk mendeteksi adanya antigen yang bersirkulasi dalam serum babi, baik yang diperoleh dari babi-babi yang disembelih di RPH Denpasar maupun yang berasal dari daerah-daerah endemis taeniasis di Bali, menunjukkan beberapa dari serum tersebut positif. Jumlah seropositif dari pemeriksaan serum babi yang berasal dari RPH, yaitu serum dari babi dengan lesi pada hati adalah 12,1% dan serum dari babi tanpa lesi adalah 12,7 % (Tabel 5). Disamping itu, sebanyak 8% seropositif berasal dari babi-babi yang dipelihara di daerah-daerah endemis taeniasis di Bali. Temuan ini, merupakan bukti-

5 bukti secara tidak langsung adanya infeksi metacestoda Taenia saginata taiwaneneis di Bali. Tidak seluruh serum yang berasal dari babi dengan lesi pada hatinya, memperli hatkan seropositi f lewat pemeriksaan ELIS A. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua lesi yang diduga kista tersebut, adalah metacestoda Taenia saginata taiwanensis. Hasil ini sejalan dengan hasil pemeriksaan histopatologis yang memperlihatkan bahwa lesi yang meragukan jumlahnya 13.58%; dan sebanyak 7,162 adalah negatif. Kondisi seperti ini sangat mungkin terjadi, sebab menurut Georgi dan Theodorides (1980), kadang-kadang larva cacing lainnya, seperti Stephanurus dentatus, bisa juga menembus hati dan dapat berkembang menjadi kista di sana. Pada pemeriksaan sepintas, kista seperti ini, bisa kelihatan sama dan dapat dikeliru- kan dengan kista Taenia saginatu taiwanensis. Migrasi larva Ascaris sum ke hati babi, dapat pula menyebabkan timbulnya lesi berupa bintik-bintik kecil berwarna putih susu (Georgi dan Theodorides, 1980; Soulsby, 1982; Sewell dan Brocklesby, 1990), yang secara sepintas, mi rip dengan kista Taenia saginata taiwanensis. Dilain pihak, dengan pemeriksaan ELISA diperoleh seropositif sebanyak (12,7 %), dari babi-babi tanpa lesi pada hati. Hal ini menggambarkan bahwa babi-babi tersebut tidak seiuruhnya terbebas dari infeksi kista Taenia. Keadaan seperti ini dapat terjadi, karena seperti telah dikemukakan pada Bab Materi dan Metode di depan, pemeriksaan hati babi di RPH hanya dilakukan pada bagian permukaan hati saja. Bila keadaan meragukan, ban dilakukan pemeriksaan dengan sedikit mengiris hati tersebut setebal f 2 mm. Padahal menurut Fan et ul. (1992f); Geerts et al. (1992) metacestoda Taenia saginata taiwaneneis, justeru lebih banyak ditemukan pada bagian dalam parensim hati.

6 Serum babi yang berasal dari daerah-daerah endemis taeniasis di Bali, juga menunjukkan seropositif sebanyak 8% (91113). Serum-serum yang positif ini, ternyata berasal dari babi-babi yang dipelihara oleh masyarakat di kotamadya Denpasar. yaitu desa Bekul (dua ekor) dan desa Padangsambian (4 ekor); serta dari kabupaten Tabanan, yaitu dari desa Kerambitan (3 ekor). Menurut Widjana (se- orang dokter manusia - komunikasi pribadi), di desa-dew tersebut, pada paruh waktu dekade terakhir ini - saat penelitian berlangsung - memang dilaporkan masih ditemukan adan ya kasus taeniasis. Kasus taenisasis di desa Padangsambian, pernah dilaporkan oleh Rasidi et al. (1981) dengan prevalensi mencapai 3,3 56. Sementara itu, laporan terakhir yang disampaikan oleh Sutisna (1994), mengungkapkan bahwa dua dari enam kasus sistiserkosis yang ditemukan pada masyarakat di Bali, ternyata penderitanya bertempat tingal di Denpasar. Namun pemeriksaan serologis dengan ELISA tersebut tidak dapat membedakan sistiserkosis yang disebabkan oleh Taenia solium dan Wnia saginata taiwanensis, karena menurut Brandt et (11. (1992) dan Geerts et al. (1992), monoklonal antibodi yang digunakan pada uji ini. memberikan reaksi silang dengan metacestoda Taenia solium. Dengan demikian tidaklah mungkin untuk bisa mengetahui apakah antigen yang terdeteksi tersebut, berasal dari metacestoda Wnia solium atau Taenia saginata tuiwanensis. Namun demi kian, dari laporan Dharrnawan et al. (1992) yang melakukan survei di RPH Denpasar, diketahui bahwa infeksi sistiserkus Taenia solium pada babi di Bali sangat rendah (yaitu 0,1256). Dengan demikian hasil pemeriksaan antigen dengan ELISA ini jelas merupakan bukti-bukti tambahan secara tidak langsung atas kehadiran sistiserkus Taenia saginata tabvanensis di Bali.

7 Pemeriksaan ELISA terhadap serum sapi, baik yang berasal dari sapi-sapi yang disembelih di RPH Denpasar, maupun yang berasal dari daerahdaerah endemis taeniasis di Bali, juga memperlihatkan hasil yang positif terhadap adanya antigen Taenia. Kenyataan ini juga merupakan bukti-bukti lebih lanjut secara tidak langsung bahwa sapi-sapi yang serumnya diperiksa tersebut, terinfeksi kista Taenia, walaupun tidak dapat dibedakan sistiserkus penyebabnya, karena dalam uji ini digunakan antibodi monoklonal terhadap produk-produk ekskretori dan sekretori (ES products) sistiserkus Taenia saginata (Brandt et al., 1992). Jadi jelas sapi-sapi yang serumnya diperiksa tersebut, terinfeksi kista Taenia saginata, entah kista Taenia saginata taiwanensis atau kista Taenia suginata yang klasik. Infeksi sistiserkus Wnia saginata telah diketahui sangat jarang terjadi pada sapi di Bali (Warudju, 1988). Bahkan laporan tahunan Dinas Peternakan Propinsi Bali tahun 1991, sudah tidak mencantum kan lagi kasus infeksi sistiserkus Taenia saginata Deskripsi Bentuk dan Ukuran Cacing yang Diperoleh dari Sukarelawan Penderita 'IBeniasis di Bali Taeniu saginata taiwunensis merupakan parasit yang siklo-zoonosis, yang membutuhkan hewan sebagai inang antaranya. Morfologi cacing dewasanya, sangat sulit dibedakan dengan morfologi cacing Taeniu suginata (Fan et al., 1992a; 1992b; Geerts et ul., 1992; Ito, 1992). Status taxonomi cacing ini telah dideskripsikan oleh Eom dan Rim (1993) dengan nama Taenia asiatica sp. Deskripsi morfologi tentang Tbenia asiatica didasarkan atas pemeriksaan dua strobila dari cacing d e w Taenia saginatu Asia, yang satu dengan scolex dan yang lain tidak. Cacing ini diperoleh dari seorang sukarelawan laki-laki berumur 37 tahun dari Korea. Dalam deskripsinya, disebutkan bahwa panjang tubuh yang terdiri dari 712 segmen, berukuran 341

8 cm. Warna cacing putih kekuningan. Scolex dilengkapi dengan rostellum dan empat sucker (Eom dan Rim, 1993). Hal yang menciri lainnya, yang digambarkan pada taxonomi tersebut adalah bahwa cacing tersebut memiliki jumlah ranting uterus yang banyak (lebih dari 67 pada setiap sisi) dan adanya tonjolan posterior pada proglottid yang gravid. Deskripsi di atas mendukung hasil pemeriksaan morfologi cacing-cacing yang penulis temukan di Bali, yang selanjutnya digunakan sebagai materi pada penelitian eksperimental, pada bagian lain dari penelitian ini. Dari hasil pengarnatan terhadap morfologi cacing pita yang penulis perokh, ukuran panjang cacing bervariasi dari 387 cm cm. Tubuh cacing dibangun rata-rata oleh 673 segmen ( segmen). Scolex dilengkapi dengan rostellum dan empat sucker. Dari gambaran ini jelas cacing pita yang penulis peroleh di Bali bukan Twniu saginata klasik, karena menurut Noble dan Noble (1982) dan Soulsby (1982) Tuenia suginata yang klasik tidak dilengkapi dengan rostellum. Selanjutnya diperkuat pula oleh Bowles dan McManus (1994) yang menyatakan, kendatipun secara mikroskopik Taenia saginata mirip dengan Taenia Asia 1 Taenia saginata taiwanensis. Taenia Asia dapat dengan jelas dibedakan dari kehadiran rostellum pada scolexnya. Pada proglottid yang lepas (proglottid gravid), seperti halnya dilaporkan oleh Eom dan Rim (1993). penulis juga menemukan tonjolan pada bagian posteriornya. Jumlah cabang uterus proglottid tersebut, lebih dari 15 buah dengan jumlah ranting yang banyak. Dengan mikroskop yang sederhana, tidak mungkin atau sangat sulit bagi penulis untuk menghitung jumlah ranting uterus tersebut. Gambaran ini, j uga menunjukkan bahwa cacing pita yang penulis peroleh bukan Taenia solium, karena proglottid gravid Taenia solium mempunyai jumlah percabangan uterus di bawah 10 (Botero. 1989).

9 Pemeriksaan Histopatologi Mengingat langkanya bahkan saat ini boleh dikatakan tidak ada informasi yang terdokumentasikan tentang perubahan histologis dari jaringan hati babi yang terinfeksi kista Tueniu saginuru mi\wnensis. maka pada penelitian awal ini, beberapa materi standar digunakan sebagai bahan acuan (Kumar et ul., 1993). Material yang digunakan sebagai acuan ini meliputi: I) preparat histologis hati babi, yang mengandung lesi akibat infeksi kista hidup Tueniu suginurn tuiwunensis, dari hasil infeksi buatan; 2) preparat serupa, tetapi mengandung metacestoda yang telah mati, dari hasil infeksi buatan; dan 3) preparat histologis hati babi yang berasal dari Indonesia (Denpasar). yang memperlihatkan lesi akibat infeksi kista Taenia saginata taiwanensis (?) - hasil survai penjajagan yang dilakukan oleh Geerts tahun Berdasarkan acuan di atas dan dari hasil pemeriksaan preparat histologis lesi hati yang berasal dari 81 babi. satu lesi per ekor babi yang penulis lakukan, diperoleh hasil seperti telah diutarakan pada Bab Hasil di depan. Ternyata dari hasil tersebut. tidak ada satu lesipun yang memperlihatkan adanya sisa-sisa atau reruntuhan (remnants) kista. Hal ini sebagai pertanda bahwa lesi-lesi tersebut sudah tua. Salah satu gambaran yang tampak pada lesi itu adalah adanya sel-sel limfoid dalam bentuk reaksi granulomatous. Berdasarkan gambaran ini. 48 lesi akhirnya dinyatakan positif terinfeksi metacestoda, 11 lesi dinyatakan meragukan dan 22 lesi dinyatakan negatif. Pada ke-48 lesi yang dinyatakan positif terserang metacestoda tersebut, disamping terlihat adanya sel-sel limfoid dalam bentuk reaksi granulomatous, secara jelas terlihat bahwa mayoritas sel-sel yang menginfiltrasinya adalah eosinofil. Gambaran seperti ini ternyata sesuai dengan laporan oleh Kumar er ul. (1991) yang

10 mengamati respon jaringan inang terhadap infeksi Cysticercus l&nia solium pada babi. Menurut mereka reaksi seluler yang merupakan indikasi adanya infeksi kista ini, adanya infiltrasi eosinofil, limfosit dan sedikit sel-sel plasma, disekitar kista. Aluja dan Vargas (1988) menyatakan bahwa eosinofil merupakan sel-sel penentu terhadap inisiasi perusakan oleh parasit pada babi, akibat infeksi Qsticercus =nia solium secara alami. Peningkatan eosinofil pada kasus yang sama, juga dilaporkan oleh Molinari et al. (1983) clan Kumar et al. (1990). Adanya reaksi granulomatous yang tampak pada hati yang diperiksa, ternyata juga sama dengan reaksi granulomatous yang dilaporkan oleh Butterworth (1984), Sterba dan Dykova (1978) dan Willms dan Merchant (1980) yang masing-masing mengamati reaksi jaringan otototot sapi terhadap infeksi Cysticercus bovis; dan reaksi peradangan disekitar larva mnia soliwn pada otot babi Penelitian Eksperimental Hasil eksperimen pada penelitian yang telah dikerjakan, memperlihatkan bahwa babi Bali dapat bertindak sebagai inang antara Taenia saginta strain Bali. Penelitian Eksperimental yang I, menunjukkan bahwa babi-babi yang diinfeksi telur cacing pita asal Bali tersebut, ternyata menghasilkan sistiserkus yang hanya tumbuh pada organ hati. Dari 18 ekor babi yang diinfeksi hanya seekor yang negatif, dengan demikian tingkat kerentanan babi-babi yang diinfeksi pada percobaan ini adalah %. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh peneliti-peneliti lain. Fan et al. (1989a) mencatat bahwa hewan-hewan percobaan yang diinfeksi dengan telur lhenia asal Korea, menghasilkan sistiserkus yang hanya tumbuh pada organ hati. Hewan-hewan percoban yang digunakannya adalah 4 ekor babi L-SEM,

11 3 ekor babi SEM, 1 ekor DYL dan 1 ekor pedet Holstein, semuanya menunjukkan hasil positif. Sementara hanya satu ekor dari 2 ekor kambing Sannean (50%) yang positif terinfeksi (Fan et al., 198%). Liebih lanjut dilaporkan bahwa tingkat recoverynya, tertinggi ditemukan pada babi-babi L-SEM (5,6%), kemudian diikuti oleh babi-babi SEM, babi DYL, pedet Holstein dan karnbing Sannean, berturut-turut 1,7%; 0,06%; 0,03% dan 0,02%. Demikian pula pada percobaan infeksi dengan telur cacing Ezenia saginata yang berasal dari Samosir, ternyata bahwa enam ekor babi L-SEM dan tiga ekor babi SEM yang diinfeksi, seluruhnya (100%) memperlihatkan pertumbuhan sistiserkus, hanya pada organ hati, dengan tingkat recovery lebih tinggi pada babi-babi SEM (22,0%), dibandingkan babi-babi L-SEM (1,6%)(Fan et al., 1989b). Selanjutnya, Fan et al. (1990a) melaporkan bahwa dari delapan jenis hewan yang diinfeksi secara eksperimental dengan telur Taenia asal l'hiwan, ternyata empat jenis diantaranya dapat bertindak sebagai inang antara parasit ini. Tingkat kerentanan dari hewan-hewan tersebut, sebagai berikut: babi DY L (100%), SEM (88%), L-SEM (83%), pedet Holstein (100%), kambing Sannean (33%) dan kera,(macaca cyclopis) (50%). Sistiserkus tersebut hanya tumbuh pada organ hati. Tingkat recoverynya, tertinggi ditemukan pada babi-babi SEM (19.1 %) dan terendah pada kambing dan kera (0.01 %). Dari penelitian lainnya (Fan et al., 1990b) dilaporkan bahwa enam dari delapan babi SEM yang diinfeksi telur lbenia saginata asal Thailand, juga menghasilkan pertumbuhan kista hanya pada organ hatinya. Disamping itu, sebanyak 13 kista, juga ditemukan pada hati dua ekor pedet. Tingkat recovery sistiserkus terse- but, adalah 0.06% pada babi dan 0,2196 pada sapi. Publikasi yang hampir mirip, melaporkan bahwa infeksi telur Taenia saginata asal Filipina dan Myanmar, juga

12 menghasilkan pertumbuhan kista pada hati babi (Fan et al., 1992a; 1992b). Dengan kata lain, inang antara Taenia saginata-like, yang berasal dari kedua negara tadi, adabh babi. Pola yang sama, untuk Taenia saginata dari Korea, dilaporkan oleh Eom et al. (1992) dan Geerts et al. (1992). Rata-rata persentase pertambahan berat badan babi yang diinfeksi pada percobaan I, tidak berbeda secara berrnakna (P > 0,05), dibanding dengan rata-rata persentase pertambahan berat badan babi kontrol. Hal ini menunjukkan, meskipun ada kerusakan atau gangguan pada organ hati babi-babi yang diinfeksi, akibat pertumbuhan kista, ternyata belum mampu mengakibatkan gangguan metabolisme yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan babi-babi tersebut. Coles (1986) dan Girindra (1988) menyatakan bahwa organ hati sangat khan terhadap infeksi virus, bakteri dan bahan-bahan asing lain yang masuk melalui penyerapan usus, tennasuk parasit. Lebih lanjut dinyatakan, kendatipun 80% sel-sel hati itu rusak, ternyata hati masih sanggup untuk berregenerasi dan bahkan dapat sembuh sama sekali, jika penyebab kerusakannya telah musnah atau hilang (Girindra, 1988). Tabel 9 menunjukkan data persentase pertambahan berat badan babi-babi yang dipakai pada percobaan I, selama penelitian (5 minggu). Secara absolut ratarata pertambahan berat badan babi tersebut adalah berkisar antara 1,7-4,O kg. Rata-rata tarnbahan berat badan babi Bali yang digunakan pada penelitian ini, tidak jauh berbeda dengan pengamatan Oka et al. (1986) yang mendapatkan tambahan bobot badan babi Bali dari lahir sampai disapih adalah 3,81 kg dan hasil penelitian Darmadja dan Sandi (1986) adalah 3,90 kg. Demikian pula dengan publikasi terakhir dari Sandi (1995) yang melaporkan rata-rata tambahan berat badan babi Bali selama delapan minggu adalah 3,78 kg.

13 Pada penelitian Eksperimen 11, yaitu dengan menginfeksikan proglottid Taeniu suginata (Strain Bali) lainnya, pada dua ekor babi Bali, juga diperoleh hasil yang sama seperti pada Eksperimen I. Sistiserkus ditemukan pada organ hati babi yang diinfeksi, sementara babi kontrol negatif. Fenomena penting pada pembaan yang belakangan ini, dengan dosis telur yang ditingkatkan (trickle infections) dan segmen yang akan digunakan terlebih dahulu dituakan selama satu minggu, pada suhu kamar, diperoleh rata-rata jumlah sistiserkus pada hati babi yang dinfeksi, jauh lebih tinggi (+ 86%) dibanding dengan hasil percobaan sebelumnya (+ 14%). Silverman (1954) yang mengamati pertumbuhan dan perkembangan 50 segmen gravid cacing Taenia, melaporkan bahwa sebagian segmen-segmen tersebut akan menunjukkan peningkatan kemampuan aktivasi embrionya, hingga mencapai 10 - SO%, setelah disimpan dalam normal saline selama hari, pada suhu kamar. Semua kista yang diperoleh pada penelitian Eksperimen I dan 11, telah mengalami degenerasi atau kalsifikasi, atau a& yang masih imatur. Tidak satupun dari kist. tersebut ditemukan hidup. Fan et al. (1990a) yang melakukan pengamatan pada babi-babi percobaan yang diinfeksi dengan telur infektif mnia saginata (Strain Thiwan), melaporkan bahwa sistiserkus yang matur ditemukan pada hari ke 27 pasca infeksi pada babi SEM dan pada hari ke 28 pada babi L-SEM. Tetapi pada laporan tersebut, Fan et al. (1990a) juga menyatakan bahwa sistiserkus yang telah mengalami degenerasi dan kalsifikasi, ditemukan pada babi-babi L-SEM, SEM dan DYL berturut-turut pada hari ke 24, 27 dan 43 pasca infeksi. Pada Ekspefirnen I dan I1 penelitian ini, babi-babi percobaan diotopsi pada 5 dan 6-7 minggu pasca infeksi. Pada Eksperimen I11 dari penelitian yang kami lakukan, sebanyak delapan ekor babi diinfeksi dengan telur Taenia saginata (Strain Bali). Hewan-hewan itu dibunuh berturut-turut, mulai minggu ke-3 sampai minggu ke-10 pasca infeksi.

14 Seperti telah disajikan pada Tabel 12, mulai 4 minggu pasca infeksi, sisfiserkus terarnati pada hati babi. Satu kista hidup, yang berlokasi pada parensim hati, ditemukan pada babi yang diotopsi 4 minggu pasca infeksi. Sistiserkus yang hidup ini, setelah diamati ternyata tidak memiiiki kait. Keadaan kista tanpa kait sew ini &pat disebabkan oleh sifat kait taenia ini yang mudah copot. Perkembangan kista yang lainnya menunjukkan tahapan imatur dan &generasi/kalsifikasi. Pa& babibabi yang disembelih 7 minggu keatas pasca infeksi, semua kista tehh mati. Matinya kista akibat adanya respon inang, tampaknyst sejalan dengan bertambahnya waktu serta meningkatnya infeksi. Persentase kista mati yang diperoleh pada penelitian ini, cukup tinggi. Keadaan ini hampir sama dengan pembaan-percubaan sejenis yang telah dilakukan sebelumnya. Geerts et al. (1992), misalnya, melaporkan bahwa babi-babi Landrace Belgia yang diinfeksi dengan telur Z&nia saginata (Strain Korea), menghasilkan kista yang hanya tumbuh pada organ hati. mrsi kista yang mengalami degenerasi, dilaporkan meningkat dari 12 %-39% pada 5 minggu pasca infeksi, menjadi 94%-100% pada 10 minggu pasca infeksi. Sementara itu Eom et al. (1992) melapor@ dari 1540 kista yang diperoleh pada 8 ekor babi yang diinfeksi telur lbenia yang sama, ternyata 92,196 telah mengalami kalsifikasi. Kista yang hidup pada hati babi tersebut, hanya ditemukan 0, Hasil penelitian yang penulis peroleh ini juga sesuai dengan Zbenia Indonesia (Strain Samosir) yang telah diteliti sebelumnya. Kebanyakan sistiserkus yang diperoleh dari hati babi yang diinfeksi Zknia Indonesia (Strain Samosir) telah mengalami degenerasi clan kalsifikasi (Fan et al., 1989b). mnia Indonesia (Strain Samosir) ini, oleh Fan et al. (1989b) dinyatakan sama dengan Taenia saginata taiwanensis yang disebut sebagai spesies baru "henia. Selanjutnya disebutkan bahwa persentase kista degenerasi dan kalsifikasi yang ditemukan pada penelitiannya, berhubungan langsung dengan umur babi dan jumlah telur yang diberikan (Fan et al., 1990a; 1992f).

15 Kedua ekor sapi yang diinfeksi Taenia saginata (Strain Bali) pada Eksperimen IV, memperlihatkan pertumbuhan sistiserkus pada seluruh karkas, terutama pada otot-otot muka, paha, diafragma, intercostae dan jantung. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Taenia saginata yang dipakai pada Eksperimen ini, memiliki sifat yang mirip dengan 'Ibenia saginata yang klasik. Tetapi berbeda dengan 'Ibenia saginata klasik, taenia yang digunakan dalam penelitian ini juga menghasilkan pertumbuhan kista pada babi perlakuan, khususnya pada organ hati. Memang Bowles dan McManus (1994) telah melaporkan bahwa 'Ibenia Asia 1 'Ibenia saginata taiwanensis dapat menginfeksi sapi, kambing, kera dan babi hutan, tetapi babi merupakan inang antara yang dominan dan sistiserkus hanya ditemukan pada hati. Dari pernyataan-pernyataan yang telah disitir di depan (Fan et al. 1989a; 1989b; 1990a; 1990b; 1992a; 1992b; Geerts et al., 1992; Eom et al., 1992), babi diketahui sebagai inang antara dari Wnia saginata taiwanensis. Kejadian infeksi 'Ibenia saginata taiwanensis pada sapi telah dilaporkan oleh Fan et al. (198%; 1 m, 1990b). Sapi yang diinfeksi secara eksperimental dengan telur Taenia asal Korea, Taiwan dan Thailand, memperlihatkan pertumbuhan sistiserkus hanya pada hati, sedangkan pada eksperimen yang penulis kerjakan, kista yang tumbuh pada kedua ekor sapi yang diinfeksi dengan telur Taenia saginata (Strain BaIi), tersebar ke seluruh otot tetapi tidak ditemukan pada organ hati. Lain lagi temuan Fan et al. (1989b) yang menyatakan bahwa sapi tidak rentan terhadap infeksi telur lbenia saginufa asal Samosir. Tidak tumbuhnya kista pada sapi yang diinfeksi dengan telur &nia saginata (Strain Samosir) pada penelitian Fan et al. (1989b), kemungkinan besar akibat pengaruh antibodi maternal yang masih sangat tinggi sebab pada saat diinfeksi dengan telur Tmia saginata (Strain Samosir), sapi tersebut masih sangat muda, baru berumur 5 hari (Fan et al., 1989b;

16 Falconer (1981) menyatakan bahwa pengaruh maternal dalam masa prenatal dan postnatal, antara lain melibatkan pengaruh nutrisional dan status kekebalan induk pada anaknya, sebab pada ternak mammalia, kolostrumnya kaya dengan protein clan antibodi guna melindungi anaknya. Infeksi eksperimental Taenia saginata (Strain Polandia) pada babi dan sapi yang dikerjakan oleh Fan et al. (1992e). hasilnya sama dengan hasil Eksperimen N penelitian ini. Fan et al. (1992e) berkesimpulan bahwa Taenia saginata (Strain Polandia) it- adalah &nia saginata yang klasik. Tetapi, menurut Eorn et al. (1992) babi-babi yang diinfeksi dengan Taenia saginata klasik (berasal dari Belgia) ternyata tidak mempelihatkan pertumbuhan kista. Dengan kata lain, Zzenia saginata klasik tidak tumbuh pada babi. Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian eksperimen ini (Eksperimen I sampai dengan IV), dapat disimpulkan bahwa Xhenia saginuta (Strain Bali) yang penulis gunakan, sama dengan cacing pita Taenia Asia yang lainnya. Cacing pita Taenia Asia yang dimaksud adalah Taenia saginata Strain Cheju, Korea (Fan et al., 1989a; Eorn dan Rim, 1992a; Eorn et al., 1992); Strain Samosir, Indonesia (Fan et al., 1989b); Strain Taiwan yang populer disebut Taenia saginata taiwanensis (Fan et al., 1990a); Strain Chiengmai, Thailand (Fan et al., 1990b); Strain Philippina (Fan et al., 1992a) dan Strain Burma, Myanmar (Fan et al., 1992b). Kesimpulan ini, didukung dengan bukti-bukti langsung dan tidak langsung. dari penelitian lapangan dan laboratorium, seperti diutarakan pada bagian lain dari tulisan ini. Dari pengarnatan lapangan, diketahui bahwa kista yang diperoleh dari hati babi-babi yang disembelih di RPH Denpasar, ternyata sama dengan temuan Eom clan Rim (1992a) yang melakukan penelitian di RPH Cheongju, Propinsi Chungbuk, Korea. Demikian pula dengan hasil analisis di laboratorium, serum babi-babi Bali

17 yang terinfeksi kista, ternyata memperlihatkan hasil positif terhadap adanya antigen Rzenia saginata. Hal yang disebut terakhir ini cocok dengan laporan Bydt et al. (1992) dan Geerts et al. (1992) yang menemukan antigen Taenia saginata dalam serum babi-babi yang diinfeksi dengan telur Taenia asal Korea. Morfologi cacing pita Taenia saginata (Strain Bali) yang diperoleh pada penelitian ini, terutama gambaran scolex cacing dewasa yang memiliki rostellum dan proglottid gravid - dengan tonjolan posteriornya - juga sama dengan deskripsi cacing Taenia asiatica, yang dilaporkan oleh Eom dan Rim (1993), serta Bowles dan McManus (1994). Bbel 13 berikut ini, memberikan ilustrasi mengenai bebempa perbandingan antara Taenia saginata taiwanensis (Rzenia asiatica), yang telah dideskripsikan oleh Fan (1988) serta Eom dan Rim (1993) dengan Taenia saginata (Strain Bali) yang penulis temukan. Tmbel 13. Beberapa perbandingan Taenia sagianata taiwanensis dengan Taenia saginata (Strain Bali) yang diperoleh dari penderita asal Bali Panjang (m) Jumlah proglottid Scolex Rostellum Kait-kait batil isap - hglottid matur Ovarium Sphincter vagina hglottid gravid (P x 1) (mm) Jumlah percabangm uterus Telur Bentuk Uhran (pm) T.s. taiwanensis Cukup menonjol Tidak ada 2 lobus Ada Bulat hingga oval 35,7 x 34,4 T. saginuta (Strain Bali) Cukup menonjol Ti& ada 2 lobus Ada Bulat hingga oval 34,9 x 34,O

18 Pada Tabel 13, tampak bahwa ukuran panjang proglottid gravid Taenia saginata ruiwanensis adalah 12,4 mm, sementara Taenia saginata (Strain Bali) adalah 26.1 mm. Ukuran panjang proglottid gravid Taenia sangat bervariasi, tergantung dari letak proglottid yang diukur. Semakin ke anterior letak proglottid tersebut ukurannya semakin pendek, sebaliknya semakin ke posterior proglottid gravid tersebut akan memiliki ukuran yang lebih panjang. Dari uraian-uraian di atas bisa dicatat indikator-indikator yang menunjukkan kesarnaan antara mnia saginata (Strain Bali) dengan Wnia saginata tabmensis, adalah: (a) kista-kista yang ditemukan pada hati babi di RPH Denpasar, secara morfologi sama dengan kista Taenia saginata taiwanensis yang ditemukan di RPH Cheongju. Korea; (b) uji serum babi Bali terhadap adanya antigen mnia saginata, yang bersirkulasi, dengan monoclonal antibody sandwich ELISA ternyata memberikan reaksi positif; (c) adanya kesamaan morfologi cacing dewasa Z&nia saginata (Strain Bali) yang diperoleh, dengan kunci-kunci morfologi Taenia saginata taiwanensi.r / Taenia asiatica dari Korea; (d) pada studi biologi yang dikerjakan lewat peneli tian eksperimentai, seluruh kista cacing Taenia saginata (Strain Bali), yang tumbuh pada babi, hanya ditemukan pada hati. Berdasarkan hal-ha1 tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa ditemukan bu kti-bukti mengenai kehadiran cacing yang disebut nenia saginata taiwanensis atau Taenia asiatica atau Taenia Asia di Bali. Morfologi cacing Wnia saginata (Strain Bali) yang penulis teliti, memang sangat mirip dengan bnia saginata yang klasik. Kemiripan seperti ini telah disinggung daiam publikasi Bowles dan McManus (1994). Bowles dan McManus (1994) telah berhasil menggunakan pendekatan dengan polymerase chain reaciion - restriction fragment length polpaorphism (PCR-RFLP) untu k rnembedakan secara cepat Taenia Asia dengan taeniataenia lainnya yang menginfeksi manusia. Dengan membandingkan gen mitochondrial cytochrome c oxidase I (COX) dan sekuwen nuclear rdna 28S, temyata l&nia

19 Asia lebih dekat hubungannya dengan Taenia saginata, dibanding spesies Xaenia yang lainnya. Dari bukti-bukti ini, Bowles dan McManus (1994) menyimpulkan bahwa klasi fi kasi Taenia Asia sebagai sub-spesies atau strain dari Taenia saginata, lebih cocok / lebih tepat, dibanding dengan sebutan sebagai species "baru". Berkembangnya taenia ini di Bali dengan baik, dimungkinkan oleh tersedia- nya kondisi yang mendukung, sehingga eksistensi cacing ini bersinambung. Sama dengan TUenia Asia lainnya, mnia saginata (Strain Bali) juga memiliki suatu pola epidemiologi yang khas. Seluruh cacing 7henia saginata-like yang berhasil dikolek- si pada penelitian ini, berasal dari penduduk Bali yang beragama Hindu. Semua pasien tersebut, menyatakan lebih sering mengkonsumsi daging babi tetapi sangat jarang makan daging sapi. Bahkan ada yang sama sekali pantang 1 tidak pernah makan daging sapi. Bila kita cermati kondisi yang ada, ternyata beberapa faktor sosio-kultural setempat sangat mendukung berkembangnya Taenia di kalangan penduduk di Bali. Prilaku sosio-kultural tersebut antara lain adalah sanitasi pem- buangan kotoran manusia yang masih buruk. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa 80% pasien yang berhasil dikoleksi cacingnya, tidak merniliki jamban. Hal ini diperkuat lagi oleh hail penelitian Widjana et al. (1993), yang mengungkapkan bahwa 65 % rumah tangga di daerah pedesaan tidak mempunyai jamban. Banyak penduduk akhirnya membuang kotoran (feses) ditempat-tempat terbuka seperti " teba", sungai, atau tegalan. Sanitasi perorangan di Bali, juga dinilai masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Brequet dan Ney (1985) yang menemukan 8-41 % dari jari-jari tangan penduduk yang diperiksa di suatu daerah pedesaan terkon- tarninasi oleh feses. Selain itu, Sutisna (1989) menemukan 5 dari 12 penderita tae- niasis, ternyata kuku jari tangannya terkontarninasi telur Taenia. Kehidupan pendu- duk yang dekat dengan babi, yaitu kebanyakan rumah tangga memelihara babi yang dilepas berkeliaran (Sutisna, 1990; Dharmawan et al ), juga merupakan faktor

20 yang sangat mendukung berkembangnya Taenia di Bali, karena pada kondisi seperti itu, babi-babi mempunyai akses terhadap feses manusia. Faktor sosio-kultural lainnya yang juga amat berperan disini adalah kebiasaan penduduk di Bali memakan makanan yang dibuat dari daging babi yang tidak dimasak atau hanya dim& setengah matang. Di Bali, sampai saat ini, masih banyak ditemukan masyarakat yang gemar mengkonsumsi "lawar" (Suweta, 1991; Chomel et al., 1993). Menwut von Holzen dan Arsana (1993) tidak ada suatu upacara ritual adat keagamaan yang besar, bahkan ditingkat perayaan keluarga sekalipun, yang diselenggarkan di Bali, berlalu tanpa disajikannya "lawar", untuk dimakan bersama. "Lawar" adalah suatu adonan yang terdiri dari daging, kulit, darah (biasanya daging babi, sapi, ayam, dll.), kemudian dicampur dengan irisan nangka atau parutan kelapa, serta dicampur dengan bumbu (Widjana dan Kapti, 1983). Pada proses pembuatannya tidak jarang daging danlatau darah yang digunakan, belum dimasak atau hanya dimasak setengah matang. Terutama bila dibuat "lawar barak". "Lawar" di Bali, memiliki kesamaan dengan fahb dan nahm di Thailand, dan som-mu, lahb-mu, dan lahb leuat di Laos (Chomel et al., 1993). Kekelintan yang terjadi pada prosedur pemeriksaan kesehatan daging di RPH Denpasar. khususnya untuk mendeteksi adanya sistiserkus, juga ikut bertanggung jawab terhadap berkembangnya taeniasis di Bali. Kekeliruan tersebut tampak bila dikaitkan dengan hasil temuan penulis, yaitu tumbuhnya sistiserkus mnia saginata (Strain Bali) pa& hati babi. Selama ini, untuk mendeteksi adanya infeksi sistiserkus pada babi. orientasi pemeriksaan hanya tertuju pada otot-otot yang dipandang sebagai tempat predileksi utama sistiserkus Taenia solium. Otot-otot yang mendapat perhatian tersebut adalah : otot masseter, otot triceps, otot lidah dan otot-otot diantara tulang wsuk. Kekeliruan yang fatal di sini adalah mengabaikan hati yang ternyata merupakan tempat predileksi utama sistiserkus Taenia saginata (Strain Bali).

21 Dengan prosedur konvensional seperti di atas, bila terdapat infeksi sistiserkus Zlznia saginatu (Strain Bali) pada hati babi, jelas sekali akan 1010s dari pemeriksaan, sehingga ada peluang dikonsumsi oleh masyafakat. Kekeliruan karena ketidak tahuan. ini, tampaknya telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang hampir tiga perempat abad. Le Coultre pada tahun 1920 menemukan Cysticercus cellulosae, kemudian pada tahun 1927 dari hasil pemeriksaan 29 ekor babi yang terinfeksi di Buleleng. dilaporkan bahwa kista tersebut ditemukan pada otot-otot pengunyah, bahu, otot vertebral, otot lidah, otot di daerah perut, otot antar tulang rusuk, juga diafragma. jantung dan otak (Le Coultre, 1928; Viljoen, 1937). Sejak saat itu, pemeri ksaan kesehatan daging terutama yang di tujukan untuk mendeteksi adanya sistiserkus. terkonsentrasi hanya pada otot-otot yang telah disebutkan di atas. Hal ini kemudian diperkuat lagi di zaman kemerdekaan, lebih-lebih dengan keluarnya Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular (Dirjen Petemakan, 1980b), yang menyebutkan bahwa tempat paling banyak ditemukan sistiserkus adalah otot masseter, jantung. lidah, triceps dan diafragma. Kadang-kadang saja di laporkan pada hati, paru-paru dan kelenjar limfe. Dengan demikian, praktis pemeriksaan kesehatan daging yang selama ini dikerjakan di lapangan (RPH), mengacu kepada pedoman tersebut. Hati babi yang kini diketahui sebagai tempat berparasitnya sistiserkus Taenia suginata taiwanensis (Taenia saginata Strain Bali) telah terabaikan. Konsekwensi dari hasil temuan ini dan untuk mencegah terus berkembangnya taeniasissistiserkosis di Bali pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, diperlukan adanya langkah penyempurnaan Peraturan Pemerintah yang ada. Pada Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular yang sudah ada, agar ditambahkan dan diingatkan kembali bahwa prosedur pemeriksaan kesehatan daging babi yang bertujuan untuk mendeteksi adanya sistiserkus, pengamatan tidak hanya tertuju pada karkas saja. tetapi juga terha&p organ-organ dalam, terutama pa& organ hati.

360 ekor, sedangkan ras Saddle Back adalah 50 ekor. Perkiraan kisaran berat badan

360 ekor, sedangkan ras Saddle Back adalah 50 ekor. Perkiraan kisaran berat badan IV. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Pene.litiin di Rumah Potong Hewan Selama kurun waktu Juni - Agustus 1993, telah dilakukan secara acak 11 kali kunjungan pemeriksaan ke Rumah Potong Hewan Denpasar. Pengamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

MELALUI KAJIAN PARASITOLOGI DAN SEROLOGI

MELALUI KAJIAN PARASITOLOGI DAN SEROLOGI PELACARAN.... TERHADAP KEHADIRAN A. TAENIA SAGINA TA TAl WANENSIS DI BALI MELALUI KAJIAN PARASITOLOGI DAN SEROLOGI,. Oleh NYOMAN SADRA DHARMAWAN PROGRAM PASCASAHJANA INSTITUT PERTANIAN RO

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

Distribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi

Distribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi Distribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi DISTRIBUTION AND NUMBER OF CYSTICERCUS BOVIS ON BALI CATTLE OF EXPERIMENTALLY INFECTED

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

ISOLASI ANTIGEN SISTISERKOSIS PADA BABI DAN SAPI

ISOLASI ANTIGEN SISTISERKOSIS PADA BABI DAN SAPI ISOLASI ANTIGEN SISTISERKOSIS PADA BABI DAN SAPI (Isolation Cysticercosis Antigen Form Pig and Cow) TOLIBIN ISKANDAR, D.T. SUBEKTI dan SUHARDONO Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT

Lebih terperinci

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistiserkosis Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae pada

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '/ * i zt=r- (ttrt u1 la l b T'b ', */'i '"/ * I. JENIS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK SEKOLAH DASAR-) Oleh : Dr. Bambang Heru Budianto, MS.**) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

Studi Biologi Perkembangan Metacestoda Taenia Saginata Pada Sapi Bali

Studi Biologi Perkembangan Metacestoda Taenia Saginata Pada Sapi Bali Buletin Veteriner Udayana Volume 8 No. 1: 59-64 p-issn: 2085-2495; e-issn: 2477-2712 Pebruari 2016 Studi Biologi Perkembangan Metacestoda Taenia Saginata Pada Sapi Bali (BIOLOGICAL STUDIES OF Taenia Saginata

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler

Lebih terperinci

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar belakang

1 PENDAHULUAN Latar belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar belakang Trichinellosis adalah zoonosis akibat infeksi cacing nematoda Trichinella spp., tersebar hampir di semua benua dan dapat menyebabkan kematian pada kasus berat. Beberapa data

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan plasma nutfah sapi asli Indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Sapi bali merupakan hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak babi merupakan salah satu bagian penting dalam menunjang perekonomian banyak negara. Populasi babi terus meningkat dari tahun ke tahun terkait meningkatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Novese Tantri 1, Tri Rima Setyawati 1, Siti Khotimah 1 1 Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso BAB II VIRUS TOKSO 2.1. Definisi Virus Tokso Tokso adalah kependekan dari toksoplasmosis, istilah medis untuk penyakit ini. Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PRODUKSI DOMBA DAN KAMBING IDENTIFIKASI UMUR DAN PERFORMANS TUBUH (DOMBA)

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PRODUKSI DOMBA DAN KAMBING IDENTIFIKASI UMUR DAN PERFORMANS TUBUH (DOMBA) LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PRODUKSI DOMBA DAN KAMBING IDENTIFIKASI UMUR DAN PERFORMANS TUBUH (DOMBA) Disusun Oleh : Kelompok 9 Dita Swafitriani 200110140030 Hartiwi Andayani 200110140176 Fathi Hadad 200110140242

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012 1 Summary STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012 TRI ASTUTI NIM 811408115 Program Studi Kesehatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem pemeliharaan yang kurang baik salah satunya disebabkan oleh parasit (Murtidjo, 1992). Menurut Satrija

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT Sasongko W Rusdianto, Farida Sukmawati, Dwi Pratomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan oleh virus tipe A dan B dan ditularkan oleh unggas.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam Bangkok merupakan jenis ayam lokal yang berasal dari Thailand dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental

Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental TOTAL AND DIFFERENTIAL LEUCOCYTES OF BALI CATTLE EXPERIMENTALLY INFECTED WITH CYSTICERCUS BOVIS NI LUH PUTU

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN I. JEMS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK BALITA DAN ORANG YANG PROFESINYA BERHUBTJNGAN DENGAN TANAH Oleh: Dr. Bambang Heru Budianto, MS.*) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Sentul. Tabel 4. Bobot Edible Ayam Sentul pada Masing-Masing Perlakuan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Sentul. Tabel 4. Bobot Edible Ayam Sentul pada Masing-Masing Perlakuan 27 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Sentul Data nilai rataan bobot bagian edible ayam sentul yang diberi perlakuan tepung kulit manggis dicantumkan pada Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS I. Tujuan Percobaan 1. Mempelajari dan memahami golongan darah. 2. Untuk mengetahui cara menentukan golongan darah pada manusia. II. Tinjauan Pustaka Jenis penggolongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protozoa yang ditularkan melalui feses kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. protozoa yang ditularkan melalui feses kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara beriklim tropis, penyakit akibat parasit masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Salah satu di antaranya adalah infeksi protozoa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ternak Kambing Kambing adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh peternakan rakyat dan merupakan salah satu komoditas kekayaan plasma nutfah (Batubara

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang- BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Taeniasis sp. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

1975). Kenyataan ini hembuat beberapa peneliti beranggapan bahwa cacing pita

1975). Kenyataan ini hembuat beberapa peneliti beranggapan bahwa cacing pita 11. TINJAUAN PUSTAKA Cestoda adalah cacing pipih, yang lebih dikenal dengan nama cacing pita. Cacing ini merupakan subfilum di dalam filum Platyhelminthes. Cestoda disebut cacing pita. karena ia mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila dibedakan dengan sapi lainnya

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Sumber penularan penyakit. Penerima. Diagram Penularan Penyakit

Sumber penularan penyakit. Penerima. Diagram Penularan Penyakit BAB 2 PENYAKIT BAWAAN MAKANAN (FOOD BORNE DISEASE) Sumber penularan penyakit orang sakit binatang / insekta tanaman beracun parasit Penerima manusia hewan Penyebaran penyakit tergantung pada kontak langsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS : PENYAKIT ZOONOSIS YANG KURANG DIKENAL OLEH MASYARAKAT DI INDONESIA

TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS : PENYAKIT ZOONOSIS YANG KURANG DIKENAL OLEH MASYARAKAT DI INDONESIA 2004Elok Budi Retnani Posted 20 December 2004 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2004 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy Tarumingkeng, M.F (Penanggung

Lebih terperinci