PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

Transkripsi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem pemeliharaan yang kurang baik salah satunya disebabkan oleh parasit (Murtidjo, 1992). Menurut Satrija et al. (2003), peternakan di Indonesia tidak dapat membebaskan diri dari parasit karena kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi parasit. Sebagai contoh, iklim tropis Indonesia baik untuk perkembangan telur cacing, ketahanan hidup larva, dan telur infektif di alam. Di samping itu keragaman hayati fauna yang luas menyediakan berbagai jenis hewan yang dapat menjadi inang perantara, ataupun vektor bagi parasit untuk melengkapi daur hidupnya. Infeksi parasit cacing pada ayam petelur merupakan ancaman serius meskipun penularan penyakit lambat dengan tingkat kematian rendah tetapi dapat menimbulkan kerugian akibat pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, dan penurunan produksi telur (Murtidjo, 1992; Soulsby, 1982). Selain itu, infeksi cacing harus diwaspadai karena dapat memicu terjadinya infeksi sekunder oleh agen penyakit lain seperti bakteri, virus, maupun protozoa (Soulsby, 1982). Umumnya infeksi cacing pada gastrointestinal ayam petelur sering disebabkan nematoda (cacing gilig), dan cestoda (cacing pita), sedangkan infeksi oleh trematoda jarang terjadi. Kasus infeksi oleh nematoda sering terjadi karena siklus hidupnya langsung atau tidak memerlukan inang perantara, sedangkan cestoda dan trematoda mempunyai siklus hidup tidak langsung dan memerlukan inang perantara untuk melengkapi siklus hidupnya. Semut merupakan inang 1

2 2 perantara cestoda, sedangkan siput merupakan inang perantara trematoda. Hal ini yang menyebabkan di peternakan ayam petelur jarang ditemukan infeksi oleh trematoda karena siput sebagai inang perantara mungkin tidak dapat kontak dengan ayam petelur yang sepanjang hidupnya selalu berada di dalam kandang baterai yang jauh dari tanah. Nematoda yang sering menginfeksi ayam petelur antara lain Ascaridia galli, Heterakis sp. dan Capillaria sp, sedangkan cestoda adalah Raillietina sp. (Retnani et al., 2009). Selain nematoda, cestoda, dan trematoda, terdapat cacing kepala berduri atau acanthocephala yang juga dapat menginfeksi unggas. Akibat yang ditimbulkan oleh infeksi acanthocephala tidak kalah pentingnya karena bagian anterior cacing terdapat kait dan dapat menembus mukosa usus sehingga menyebabkan kerusakan mukosa usus (Soulsby, 1982). Cacing acanthocephala telah terdistribusi di seluruh dunia pada usus berbagai hewan mamalia, unggas, dan ikan (Melhorn, 2008). Distribusi acanthocephala pada ayam yang ditemukan di wilayah Asia pernah dilaporkan di India dan Filipina (Tubangui dan Masilungan, 1946), Celebes (Yamaguti, 1954), Terabanon Concepcio n dan Pulau Palawan (Schmidt dan Kuntz, 1977), Papua Nugini (Talbot, 1971; Humphrey, 1979), dan di Yogyakarta (Amin et al., 2013a). Di Indonesia kasus infeksi acanthocephala pada ayam pernah dilaporkan tahun 1954 kemudian dilaporkan kembali di tahun Mengingat cacing acathocephala memiliki banyak spesies maka penting dilakukan identifikasi kembali setelah 59 tahun tidak terjadi kasus atau tidak dilaporkan.

3 3 Prevalensi infeksi acanthocephala spesies M. gallinarum pernah dilaporkan sebesar 24% pada ayam kampung di tujuh lokasi di Papua Nugini (Talbot, 1971), dan beberapa tahun berikutnya dilaporkan sebesar 2,2 42,2% tergantung pada kondisi lingkungan (Humphrey, 1979). Infeksi dilaporkan Amin et al., (2013a) pada ayam petelur di Sleman dengan persentase kejadian sebesar 10 11%. Informasi mengenai cacing acanthocephala pada ayam petelur sampai saat ini masih minim. Kajian mengenai cacing acanthocephala pada ayam di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Terdapat 26 famili, 157 genus, dan 1298 spesies cacing acanthocephala sehingga sulit dilakukan identifikasi (Amin, 2013). Spesies cacing acanthocephala sulit ditentukan berdasarkan pengamatan langsung. Perlu metode untuk pengamatan ciri morfologi yang spesifik dalam menentukan jenis acanthocephala. Scanning electron microscope (SEM) sering digunakan dalam beberapa literatur tentang kajian morfologi cacing acanthocephala. Pengamatan dengan SEM dapat menunjukkan morfologi permukaan (topografi) tubuh cacing acanthocephala dengan baik terutama pada bagian probosis yang spesifik untuk menentukan jenis acanthocephala. Namun morfologi organ dalam cacing yang juga penting untuk penentuan jenis cacing acanthocephala tidak dapat diamati. Selain itu, keterbatasan alat, dan biaya yang mahal juga menjadi kendala dalam identifikasi menggunakan SEM. Diperlukan metode lain yang lebih sederhana dan mudah diterapkan untuk identifikasi cacing acanthocephala seperti pewarnaan Semichon s carmine. Metode pewarnaan tersebut sering digunakan juga untuk

4 4 identifikasi cacing trematoda dan cestoda. Pewarnaan cacing dilakukan agar organ dalam cacing mudah diamati hanya dengan mikroskop cahaya. Salah satu laporan terbaru Amin et al. (2013a) mengenai karakter morfologi hasil pengamatan SEM cacing acanthocephala yang ditemukan pada usus halus ayam petelur di Sleman diidentifikasi sebagai M. gallinarum. Cacing tersebut mempunyai ciri morfologi berwarna putih krem, tidak ada pseudosegmentasi pada tubuh, probosis terbagi menjadi probosis anterior dan posterior, bentuk probosis seperti buah pir dengan dilengkapi kait dan duri, memiliki wadah probosis (receptacle), dan bersifat gonokoris. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai karakterisasi morfologi cacing acanthocephala pada ayam petelur yang ditemukan dari beberapa wilayah lain di Indonesia dengan menggunakan metode lain yang lebih sederhana seperti pewarnaan cacing. Di Indonesia belum ada laporan tentang gambar morfologi acanthocephala dari ayam petelur hasil pewarnaan semichon s carmine. Metode pewarnaan cacing acanthocephala dengan pewarna carmine sebelumya pernah dilakukan oleh Junker dan Boomker (2006) untuk identifikasi spesimen cacing acanthocephala yang ditemukannya pada ayam mutiara (Numida meliagris) di wilayah Afrika Selatan. Gambaran ciri morfologi cacing acanthocephala hasil pewarnaan carmine sangat penting karena dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan identifikasi jenis cacing acanthocephala yang ditemukan. Selama ini laporan mengenai cacing acanthocephala pada ayam di Indonesia hanya berdasarkan identifikasi morfolgi, dan belum ada laporan

5 5 berdasarkan identifikasi molekuler. Belum pernah dilaporkan mengenai karakterisasi molekuler cacing acanthocephala pada ayam petelur dari Indonesia. Metode identifikasi molekuler yang dapat digunakan salah satunya adalah metode dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Perkembangan metode PCR memberikan alternatif identifikasi parasit secara lebih cepat. Teknik PCR merupakan salah satu metode genotyping yang mampu memberikan hasil yang lebih sensitif dan akurat (Sulistyaningsih, 2007). Permasalahan 1. Terdapat banyak spesies cacing acanthocephala sehingga sulit diidentifikasi hanya dengan pengamatan ciri morfologi secara langsung. Diperlukan suatu metode konvensional untuk identifikasi morfologi dan penentuan jenis cacing acanthocephala. 2. Belum pernah dilakukan penelitian molekuler sehingga belum diketahui urutan sekuen nukleotida penyusun gen 18S rrna cacing acanthocephala pada ayam petelur. Keaslian Penelitian Laporan mengenai cacing acanthocephala yang ditemukan pada ayam masih sangat terbatas. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai identifikasi molekuler cacing acanthocephala pada ayam petelur. Kajian yang pernah dilaporkan mengenai cacing acanthocephala pada ayam antara lain dilakukan oleh Talbot (1971) mengenai penemuan cacing Mediorhynchus gallinarum berdasarkan identifikasi morfologi cacing, prevalensi, dan perubahan

6 6 patologi usus pada ayam kampung di tujuh wilayah Papua Nugini. Acanthocephala pada ayam mutiara di Afrika Selatan berdasarkan morfologi dengan pewarnaan carmine dan scanning electron microscope (SEM) diidentifikasi sebagai M. gallinarum oleh Junker dan Boomker (2006). Amin et al. (2013b) melakukan identifikasi ulang dengan SEM dan molekuler pada spesimen acanthocephala dari Afrika Selatan yang ditemukan Junker dan Boomker (2006) dan hasil kajian tersebut didapatkan ciri morfologi yang berbeda yakni adanya pseudosegmentasi trunk dan berdasarkan pemeriksaan molekuler gen 18S rrna serta gen sitokrom oksidase subunit 1 dinyatakan sebagai spesies M. africanus. Di Indonesia, kajian mengenai acanthocephala pada ayam petelur dari wilayah Sleman dilaporkan oleh Amin et al. (2013a) berdasarkan pemeriksaan morfologi cacing menggunakan SEM diidentifikasi sebagai M. gallinarum. Tujuan Penelitian 1. Identifikasi morfologi cacing acanthocephala pada ayam petelur dari wilayah Kulon Progo, Sleman, Magelang, dan Klaten dengan metode pewarnaan semichon s carmine. 2. Identifikasi molekuler cacing acanthocephala dari wilayah Kulon Progo, Sleman, Magelang, dan Klaten berdasarkan sekuen nukleotida penyusun gen 18S rrna. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi cacing acanthocephala lainnya. Selain itu, dapat juga sebagai dasar dalam klasifikasi, dan untuk identifikasi

7 7 membedakan dengan spesies lain, serta untuk peneguhan taksonomi. Dapat juga memberikan informasi kepada peternak dan masyarakat tentang ditemukannya cacing acanthocephala pada ayam petelur dari wilayah Kulon Progo, Sleman, Magelang dan Klaten sehingga diharapkan peternak dapat menerapkan sistem manajemen pemeliharaan ayam petelur yang lebih baik.