BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan
|
|
- Sri Tanudjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistiserkosis Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae pada inang antaranya, yaitu pada babi dan juga pada manusia. Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari T. solium dewasa pada manusia sebagai inang definitif. Kedua penyakit tersebut merupakan efek yang ditimbulkan oleh perjalanan hidup T. solium dan digolongkan sebagai siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis akibat siklus hidup agen yang memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya. Sistiserkosis akibat C. cellulosae dikenal dengan pork measles, beberasan (Bali), manis-manisan (Tapanuli), banasom (Toraja). Ciri morfologi sistiserkus berupa gelembung ellipsoid berukuran 6-10 x 5-10 mm (Gambar 2.1). Stuktur tubuh C. cellulosae terdiri atas kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah. Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang dilengkapi dua baris kait (Noble & Noble 1989; Kusumamiharja 1992). Menurut Ngurah (1987), gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh sistiserkosis lebih fatal dibandingkan dengan taeniasis. Hal ini disebabkan oleh gejala klinis yang muncul pada penderita taeniasis lebih ringan daripada sistiserkosis. Gejala klinis taeniasis hanya berupa mual, nyeri di daerah
2 2 epigastrium, menurunnya napsu makan, diare atau terkadang konstipasi, anemia, dan gejala yang asimtomatik sedangkan gejala klinis dari sistiserkosis tergantung lokasi infiltrasi sistiserkus. Gejala klinis dari infiltasi sistiserkus di otot dan subkutan berupa kekejangan otot, benjolan, dan kelemahan otot, sedangkan infiltrasi sistiserkus di mata berupa gangguan pengelihatan. Sakit kepala hebat, paralisis, dan epilepsi merupakan gejala dari infiltrasi sistiserkus di otak. Kalsifikasi merupakan efek peradangan yang timbul akibat infiltrasi sistiserkus yang mati. Biasanya kalsifikasi yang timbul ini tidak menimbulkan gejala apapun selama satu tahun, selanjutnya efek buruk akan muncul setelah lima sampai sepuluh tahun kemudian (Bogisth et al., 2005). Infeksi C. cellulosae pada babi biasanya ditemukan di otot lurik yang aktif bergerak. Tempat predileksi dari infiltrasi sistiserkosis pada babi berada di lidah, musculus masseter (otot pipi), leher, jantung, musculus intercostae (otot antar tulang rusuk), dan musculus brachiocephalicus (otot bahu). Infiltrasi sistiserkus pada otot jantung biasanya akan menimbulkan kematian pada babi. Kematian ini terjadi akibat gangguan kontraksi otot jantung sehingga proses pemompaan darah tidak berjalan dengan baik. Sistiserkosis dan taeniasis sangat berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, menejemen peternakan, dan cara mengkonsumsi daging babi (Flisser et al., 2003). Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian sistiserkosis adalah kepemilikan toilet dan kebiasaan defekasi masyarakat. Defekasi di sembarang tempat merupakan cara penyebaran telur infektif T. solium
3 3 pada lingkungan. Penderita taeniasis dalam kondisi ini berperan sebagai pencemar lingkungan sekitarnya. Memelihara babi secara tidak dikandangkan (diumbar) merupakan tindakan yang memudahkan penularan telur infektif T. solium dari lingkungan menuju inang antaranya. Babi yang diumbar mempunyai kesempatan berkontak dengan feses penderita taeniasis lebih besar daripada babi yang dipelihara secara intensif. Cara masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi adalah hal yang sangat penting dalam penyebaran zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya kasus taeniasis di Bali akibat kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi daging babi mentah dalam setiap perayaan upacara adat (Sutisna et al., 1999). Prevalensi kedua penyakit ini dapat diturunkan melalui beberapa langkah pengendalian terhadap siklus hidup dari T. solium. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini secara berkala pada peternakan babi, penyuluhan, pengobatan pada penderita taeniasis dan babi penderita sistiserkosis, vaksinasi, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Gonzalez et al., 2003; Ngowi et al., 2008). Pengobatan yang dapat dilakukan terhadap babi penderita sistiserkosis adalah pemberian oxfendazole dengan dosis mg/kg bb (Plumb & Pharm 1999). Pencegahan sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi. Tipe vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic peptidebased vaccine (Deckers et al., 2008).
4 4 Gambar 2.1 Morfologi Sistiserkus (Dasanayake, 2011) Manifestasi Klinis Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan reaksi jaringan. Suatu penelitian post mortem menyebutkan bahwa 80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik. Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen. Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan subkutan, dan mata (Wiria, 2008). Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4: a) infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya (kalsifikasi intraparenkimal) dengan gejala: sakit kepala, kejang, psikosis; b) infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis
5 5 sistiserkal; c) neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk neurosistiserkosis ventricular; d) bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrovaskular, dan lain-lain (Wiria, 2008). Pada mata (sistiserkosis oftalmika/ocular-cysticercosis), sistiserkus paling sering ditemukan pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat, sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis (CFSPH, 2005). Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan. Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang menimbulkan stroke, akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005) Cara Penularan Sistiserkosis dan taeniasis sangat berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, menejemen peternakan, dan cara mengkonsumsi daging babi (Flisser et al., 2003). Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian sistiserkosis adalah kepemilikan toilet dan kebiasaan defekasi masyarakat. Defekasi di sembarang tempat ditambah dengan memelihara babi di sembarang tempat merupakan cara penyebaran telur infektif T. solium pada lingkungan. Babi yang diumbar mempunyai kesempatan berkontak dengan feses penderita taeniasis lebih besar daripada babi yang dipelihara secara intensif. Cara masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi adalah hal yang sangat penting dalam penyebaran
6 6 zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya kasus taeniasis di Bali akibat kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi daging babi mentah dalam setiap perayaan upacara adat (Sutisna et al., 1999) Deteksi Sistiserkosis OIE (2008) telah menetapkan bahwa metode pemeriksaan standar untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah palpasi lidah dan pemeriksaan postmortem. Pemeriksaan palpasi lidah digunakan untuk mendeteksi sistiserkus pada babi hidup. Pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi sistiserkus pada daging babi sebelum dipasarkan. Selain metode pemeriksaan sistiserkosis standar yang ditetapkan oleh OIE tersebut, keberadaan C. cellulosae dapat dideteksi menggunakan teknik immunodiagnostik. Teknik immunodiagnostik tersebut berupa enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), enzyme linked immuno-electrotransfer blot, antigen spesifik IgM dalam cairan selebrospinal (celebro spinal fluid), dan CFT (Ansari et al., 2003) Sistiserkosis di Indonesia Papua (semula bernama Irian Jaya) adalah daerah yang terinfeksi NCC cukup tinggi (Wandra et al., 2007). Wabah NCC di Papua telah dilaporkan sejak awal 1970-an, dengan laporan sejarah kejadian penyakit yang dilaporkan oleh (Simanjuntak et al., 1997). Pemerintah Indonesia memulai sebuah proyek selama 10 tahun untuk mengontrol taeniasis dan NCC di Papua dari tahun 1990 (Wandra et al., 2007). Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa Papua masih menjadi
7 7 daerah sangat endemis dengan masih banyaknya kasus NCC dan juga memperlihatkan kasus subcutaneous cysticercosis (Ito et al., 2004). Pemeriksaan serologi merupakan hal yang penting untuk awal mendiagnosis dan pengobatan kasus NCC asimtomatik serta untuk mengidentifikasi babi dan anjing yang terinfeksi (Ito et al., 2002), dan memutusnya dari rantai makanan. Hasil dari ELISA tanpa bukti langsung akibat infeksi harus dievaluasi kembali oleh imunoblot menggunakan antigen yang dimurnikan (Sako et al., 2013), karena reaksi silang dapat terjadi antara berbagai Taenia spp. yang dapat menginfeksi babi (Ito, 2013). Pada bulan Desember 2010, kasus OCC dikonfirmasi terjadi pada seorang gadis 9 tahun dari desa terpencil di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Desa ini terletak di bagian timur lereng gunung tertinggi di Bali yaitu Gunung Agung (ketinggian 3132 m). Di daerah endemis tinggi di negara-negara lain, tidak begitu mudah untuk mendeteksi cacing pita seperti yang ditemukan di daerah kecil. Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Januari 2011 di desa domisili pasien dan desa-desa tetangga mengungkapkan tiga orang terinfeksi taeniasis akibat T. solium. Secara total, enam T. solium yang menyebabkan kasus taeniasis (6/265, 2,26%) terdeteksi pada tahun 2013, dan tambahan dua kasus (2/138, 1,45%) yang diidentifikasi pada 2014 di Karangasem (Wandra et al., 2015). 2.2 Ocular-cysticercosis Sistiserkosis yang disebabkan oleh T. solium, dapat menimbulkan gangguan pada sistem saraf pusat, otot, visceral, subkutan jaringan dan gangguan
8 8 kulit (Kaliaperumal et al., 2005). Di dalam mata, T. solium dapat mempengaruhi setiap bagian dari kelopak mata, konjungtiva, ruang anterior, uvea, vitreous, retina, otot-otot ekstraokular dan bahkan saraf optik (Pushker et al., 2001). Diagnosis intraocular cysticercosis dilakukan secara khusus karena berisiko tinggi terhadap gangguan penglihatan. Mekanisme yang memungkinkan teradinya kehilangan penglihatan dapat disebabkan akibat tekanan baik dari pembesaran kista maupun dari reaksi radang yag berasal dari dinding kista dan racun yang dilepaskan dari kista yang sudah mati (Rath et al., 2010). Diagnosis cysticercosis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan, serologi dan melalui penggambaran yang relevan. Jika kista dapat dikeluarkan, maka hasil pemeriksaan secara histopatologi dapat dikonfirmasi (Jain et al., 2015). Lokasi kista pada kasus OCC paling banyak ditemukan pada subretinal (35%), dan yang paling sedikit pada orbit (1%), dan untuk lokasi lainnya di viterus (22%), konjungtiva (22%), dan segmen anterior (5%). Penderita orbital cysticercosis lebih sering ditemukan dibandingkan dengan penserita OCC akibat T.solium yang berpredileksi sebagian pada daerah mata. OCC menunjukkan berbagai gejala klinis yang berdasarkan lokasi kista, ukuran kista, status imun inang serta reaksi radang yang berbeda-beda pada setiap individunya (Swastika et al., 2012) Pengobatan Ocular-cysticercosis Obat antihelminthik seperti albendazole atau praziquantel dapat mengurangi jumlah kista dan frekuensi kejang akibat infeksi NCC. Namun, obat
9 9 ini tidak memberikan efek yang memuaskan pada infeksi kista subretinal (Steinmetz et al., 1989). Pembedahan merupakan pilihan pengobatan yang harusnya lebih awal dilakukan pada kasus intraocular cysticercosis (Steinmetz et a.,l 1989). Apabila ada infeksi sekunder terhadap intraocular cysticercosis dan intracranial cysticercosis, maka hal pertama yang harus dilakukan kista dari intraocular cysticercosis harus sepenuhnya diangkat melalui operasi pembedahan, kemudian diikuti oleh pemberian obat-obatan cysticidal dan kortikosteroid. Terapi obat-obatan antihelminthik memiliki kontraindikasi pada OCC karena akan menyebabkan lisis dan degenerasi intraocular cysticercosis, sehingga dapat menyebabkan reaksi inflamasi intraocular dan hasilnya menyebabkan hilangnya penglihatan (Jain et al., 2015). 2.3 Pemeriksaan Serologi dan Hematologi untuk Kasus Sistiserkosis Pemeriksaan Serologi dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) Pada tahun Ito et al berhasil mengembangkan ELISA untuk mendeteksi keberadaan C. cellulosae melalui pemeriksaan antibodi anti- C. cellulosae pada serum (Sato et al., 2003). Prinsip kerja dari teknik ELISA adalah mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau sebaliknya. Burgess (1995) menyatakan bahwa ELISA memiliki variasi model uji yang beragam. ELISA dan metode pemeriksaan sistiserkosis konvensional bila dibandingkan dari segi sensitifitas dan spesifisitas ujinya, maka ELISA dianggap lebih baik. Menurut Dorny et al., (2004), teknik palpasi lidah memiliki sensitivitas
10 10 sebesar 16.1% dan spesifisitas sebesar 100%, pemeriksaan postmortem memiliki sensitivitas sebesar 38.7% dan spesifisitas sebesar 100%, model ELISA yang mendeteksi antibodi memiliki sensitivitas sebesar 45.2% dan spesifisitas sebesar 88.2%, model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki sensitivitas sebesar 64.5% dan spesifisitas sebesar 91.2%. Hal di atas menunjukkan bahwa model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik dibandingkan teknik diagnosis lainnya. Model ini juga dapat membedakan sistiserkus yang mati dari hidup. Kelebihan tersebut memberikan hasil pengujian yang tidak bias dan menggambarkan infeksi yang sebenarnya (Dorny et al., 2000). Pada Gambar 2.2 menunjukkan tahapan kerja dari model ELISA pendeteksi antigen yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia. Model ELISA ini menggunakan antibodi penangkap dan pendeteksi berupa monoklonal antibodi. Monoklonal antibodi merupakan antibodi spesifik yang memilki satu jenis paratop (bagian dari antibodi yang berikatan dengan epitop dari antigen). Keadaan ini merupakan kelebihan dari monoklonal antibodi karena sifatnya akan lebih spesifik dalam mengikat antigen yang dideteksinya (Burgess, 1995; Assa et al., 2012). Monoklonal antibodi yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia merupakan monoklonal antibodi anti-cysticercus bovis. Namun, monoklonal ini bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus lain misalnya C. cellulosae, Cysticercus tenuicollis dan metacestoda dari Taenia asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga kerugian
11 11 untuk diagnosis sistiserkosis. Keuntungan dari sifat ini yaitu dengan menggunakan satu monoklonal antibodi dapat mendeteksi sistiserkosis yang disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia. Kerugian dari sifat monoklonal antibodi ini ditemui apabila digunakan untuk mengetahui spesies penyebab sistiserkosis di daerah yang endemis lebih dari satu spesies anggota dari genus Taenia (Kusuma, 2011; Assa et.al., 2012). Gambar 2.2 Skema model ELISA pendeteksi antigen (ITM 2009) Pemeriksaan Hematologi Parameter hematologi dan biokimia dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk usia, jenis kelamin, gizi dan status kesehatan, status reproduksi, musim, dan stres (Boyd et al., 1982). Ketika mengevaluasi hasil tes hematologi dan biokimia faktor-faktor ini harus dipertimbangkan. Interval referensi dari berbagai parameter hematologi yang diantaranya hematokrit (HCT), neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, trombosit, blood urea nitrogen (BUN), glukosa, aspartate
12 12 aminotransferase (AST) / glutamic oxaloacetate transaminase (GOT), dan kreatinin memiliki jarak nilai interval yang luas. Interpretasi hasil biokimia dan data hematologi dari setiap hewan terbatas berdasarkan berbagai macam jenis hewan yang terdapat pada populasi normal. Usia merupakan informasi penting dalam berbagai parameter. Jumlah protein serum, mean corpuscular haemoglobin (MCH) dan mean concentration haemoglobin corpuscular (MCHC) meningkat dengan bertambahnya umur babi. Jumlah leukosit, fosfor serum dan konsentrasi kolesterol dan aktivitas alkali fosfatase lebih rendah pada babi yang berumur tua. Faktor-faktor lain, seperti jenis kelamin, genetika, tingkat pertumbuhan, pakan dan metode cara pemberian pakan telah terbukti berpengaruh terhadap nilai parameter biokimia. Tahap kehamilan juga dapat mempengaruhi profil serum biokimia. Serum albumin, total protein, total konsentrasi bilirubin lebih rendah pada awal kehamilan, sedangkan aspartat transferase amino dan laktat dehidrogenase lebih tinggi pada awal kehamilan (Nachreiner, 1972).
ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA
ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu
Lebih terperinciBAB 2 TI JAUA PUSTAKA
BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.
4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae
Lebih terperinciDeteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar
Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya
Lebih terperinciTaenia saginata dan Taenia solium
Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia
Lebih terperinciSeroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar
Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,
Lebih terperinciNI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM
TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH
Lebih terperinciCiri-ciri umum cestoda usus
Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata
Lebih terperinciPada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,
CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.
Lebih terperinciPETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA
PETUNJUK PEMBERANTASAN TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI INDONESIA A. DEFINISI. 1.. ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,taenia solium
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Taeniasis sp. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hematologi Hasil pemeriksaan hematologi disajikan dalam bentuk rataan±simpangan baku (Tabel 1). Hasil pemeriksaan hematologi individual (Tabel 5) dapat dilihat pada lampiran dan dibandingkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian bidang Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ atau kelenjar terbesar dari tubuh yang berfungsi sebagai pusat metabolisme, hal ini menjadikan fungsi hepar sebagai organ vital. Sel hepar rentan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah
PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan
Lebih terperinciPenyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio
Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama
Lebih terperinciBAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING
BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala
5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga pada bulan Desember 2012 - Februari 2013. Jumlah sampel yang diambil
Lebih terperinciSKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI
SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI Skrining nutrisi adalah alat yang penting untuk mengevaluasi status nutrisi seseorang secara cepat dan singkat. - Penilaian nutrisi merupakan langkah yang peting untuk memastikan
Lebih terperinciHOST. Pejamu, adalah populasi atau organisme yang diteliti dalam suatu studi. Penting dalam terjadinya penyakit karena :
HOST Pendahuluan Definisi Pejamu, adalah populasi atau organisme yang diteliti dalam suatu studi Penting dalam terjadinya penyakit karena : Bervariasi : geografis, sosekbud, keturunan Menentukan kualitas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica
Lebih terperinciFAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH
FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
Lebih terperinci360 ekor, sedangkan ras Saddle Back adalah 50 ekor. Perkiraan kisaran berat badan
IV. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Pene.litiin di Rumah Potong Hewan Selama kurun waktu Juni - Agustus 1993, telah dilakukan secara acak 11 kali kunjungan pemeriksaan ke Rumah Potong Hewan Denpasar. Pengamatan
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di
Lebih terperinciFAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 2002
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 22 Wilfried H. Purba, 1 Tri Yunis Miko W 1, Akira Ito 4, Widarso
Lebih terperinciTAENIASIS DAN SISTISERKOSIS MERUPAKAN PENYAKIT ZOONOSIS PARASITER
TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS MERUPAKAN PENYAKIT ZOONOSIS PARASITER SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 (Makalah diterima 5 Pebruari 2009
Lebih terperinciHEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung
16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta dapat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung, adalah penyebab penyakit parasit yang serius pada anjing, hidup pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Malaria masih menjadi masalah kesehatan di daerah tropis dan sub tropis terutama Asia dan Afrika dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Patel
Lebih terperinciCATATAN SINGKAT IMUNOLOGI
CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dan cairan tubuh lain. Disamping itu pemeriksaan laboratorium juga berperan
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fungsi pemeriksaan laboratorium adalah menganalisis secara kuantitatif atau kualitatif beberapa bahan, seperti darah, sumsum tulang, serum, tinja, air kemih
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien
Lebih terperinciPREVALENSI DAN DISTRIBUSI TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS
MAKARA, KESEHATAN, VOL. 5, NO. 2, DESEMBER 2001 PREVALENSI DAN DISTRIBUSI TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS HS Widarso 1, Sri S Margono 2, Wilfried H Purba 1, Rizal Subahar 1 1. Subdirektorat Zoonosis, Direktorat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan nyamuk. Dampak dari kondisi tersebut adalah tingginya prevalensi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia memiliki iklim tropis dan merupakan tempat yang baik untuk perkembangan nyamuk. Dampak dari kondisi tersebut adalah tingginya prevalensi penyakit yang ditularkan
Lebih terperinciEvaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 31-38 Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti pada kasus demam tifoid di
Lebih terperinci1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan di PMI antara lain mencakup pengerahan donor, penyumbangan darah, pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan, dan penyampaian darah kepada pasien. Kegiatan
Lebih terperinciAnjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis
Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebiasaan mengadakan hubungan seksual bebas mungkin dapat dianggap sebagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola perilaku seksual Kebiasaan mengadakan hubungan seksual bebas mungkin dapat dianggap sebagai suatu bentuk kenakalan. Hubungan bebas diartikan sebagai hubungan seksual yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi (S thypi). Pada masa inkubasi gejala awal penyakit tidak tampak, kemudian
Lebih terperinciTotal dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental
Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental TOTAL AND DIFFERENTIAL LEUCOCYTES OF BALI CATTLE EXPERIMENTALLY INFECTED WITH CYSTICERCUS BOVIS NI LUH PUTU
Lebih terperinciCrude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 13-21 Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi Crude Antigen of Taenia saginata Cysticercus
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar belakang
1 1 PENDAHULUAN Latar belakang Trichinellosis adalah zoonosis akibat infeksi cacing nematoda Trichinella spp., tersebar hampir di semua benua dan dapat menyebabkan kematian pada kasus berat. Beberapa data
Lebih terperinci1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah
Lebih terperinciTREMATODA PENDAHULUAN
TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap
Lebih terperinciBAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI
1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam, dengan fokus untuk mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr. Kariadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler
Lebih terperinciTESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS
TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i CRUDE ANTIGEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol merupakan obat antipiretik dan analgesik yang sering digunakan sebagai obat manusia. Parasetamol menggantikan
Lebih terperinciDistribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi
Distribusi dan Jumlah Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi Telur Taenia saginata Empat Bulan Pasca Infeksi DISTRIBUTION AND NUMBER OF CYSTICERCUS BOVIS ON BALI CATTLE OF EXPERIMENTALLY INFECTED
Lebih terperinciSurvei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua
Buletin Veteriner Udayana Volume 7 No. 2 ISSN: 2085-2495 Agustus 2015 Survei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua (SEROPREVALENCE SURVEY OF TAENIA SOLIUM CYSTICERCOSIS
Lebih terperinciPENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan
PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (KLB). Penyakit ini termasuk common source yang penularan utamanya melalui
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis A merupakan infeksi hati akut. Karena sifat menularnya maka penyakit ini disebut juga hepatitis infeksiosa. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan di Indonesia
Lebih terperinci(Cryptococcus neoformans)
INFEKSI JAMUR PADA SUSUNAN SARAF PUSAT (Cryptococcus neoformans) Cryptococcus neofarmans adalah jamur seperti ragi (yeast like fungus) yang ada dimanamana di seluruh dunia. Jamur ini menyebabkan penyakit
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata
Lebih terperinciHepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini
Hepatitis Virus Oleh Dedeh Suhartini Fungsi Hati 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Metabolisme lemak. 5. Penyimpanan vitamin dan mineral. 6. Metabolisme
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. terabaikan atau Neglected Infection Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,
Lebih terperinciDisebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:
Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hati adalah organ terbesar dalam tubuh. Penyakit pada hati merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius. Hepatitis adalah suatu peradangan difus jaringan hati
Lebih terperinci2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis Kasus tuberkulosis pertama kali dikenal dan ditemukan pada tulang mummi Mesir kuno, kira-kira lebih dari 2000 tahun
Lebih terperinciNEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( )
Pendahuluan : NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin (078114032) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Newcastle Disease (ND) juga di kenal
Lebih terperinciKAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG HERI YULIANTO
KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG HERI YULIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit hepatitis virus masih menjadi masalah serius di beberapa negara. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan masalah kesehatan di beberapa
Lebih terperinci