BAB II LANDASAN TEORI
|
|
- Sonny Hardja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ikan Patin Ikan patin (Pangasius spp) merupakan salah satu jenis Pangasidae yang mana ciri-ciri umumnya adalah tidak memiliki banyak duri, tidak bersisik, pertumbuhan relatif cepat dan dapat diproduksi secara masal. Pertumbuhan ikan patin bisa mencapai cm dalam pemeliharaan kurang lebih enam bulan. Di alam, patin bisa mencapai panjang 1,2 meter. Keunggulan ikan patin dalam hal pembudidayaan adalah ikan ini tidak harus menggunakan air mengalir. Dengan air tergenang dan kadar oksigen rendah pun patin masih dapat bertahan hidup, oleh karena itu ikan patin banyak dibudidayakan (Saparinto dan Susiana, 2013). Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perdagangan tahun 2013, produksi ikan patin di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga Pada tahun 2012, produksi patin mencapai ton dan terus meningkat hingga mencapai ton di tahun Ikan patin merupakan salah satu komoditas ikan yang berpeluang besar di pasar domestik maupun internasional. Jenis ikan ini dinilai paling potensial dan dapat diandalkan untuk meningkatkan ekspor dari sektor perikanan dengan tingginya permintaan dari pasar Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), Eropa Timur dan Eropa Tengah. Ikan patin yang diekspor dapat berupa ikan segar, ikan asap, dan fillet ikan patin. fillet ikan patin lebih banyak diminati masyarakat global terutama Amerika dan Eropa dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan patin segar (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2013). Jenis patin yang ada di Indonesia sebagian merupakan introduksi dari Bangkok, Thailand dan sebagian jenis patin lokal yang hidup di sungai-sungai di Indonesia, seperti pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Jenis patin yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah 5
2 6 patin siam (Pangasius hypophthalmus), patin jambal (Pangasius djambal), dan patin pasupati (Pangasius sp) (Saparinto dan Susiana, 2013). Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru biruan. Kepala ikan relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba. Perbedaan antara ikan patin siam dan jambal terletak pada warna punggungnya, ikan patin jenis jambal memiliki warna abu-abu keperakan sedangkan ikan patin siam cenderung kebiruan (Hastarini dkk, 2012). Patin siam (Pangasius hypophthalmus) dikenal sebagai patin siam dari Bangkok (Pangasius sutchi) yang masuk ke Indonesia tahun Ciri-ciri jenis ini adalah warna badan kelabu kehitaman, sirip anal putih dengan garis hitam di bagian tengah. Badan patin siam memanjang dan pipih. Mulut subterminal (agak sebelah bawah) dengan empat barbel (kumis). Sirip punggung mempunyai duri yang bergerigi dan bersirip tambahan. Bentuk sirip ekor bercagak dengan ujung berwarna putih. Patin siam bisa mencapai panjang 1,5 meter (Saparinto dan Susiana, 2013). Bentuk tubuh ikan patin siam tampak seperti Gambar 2.1. Gambar 2.1 Induk Patin Siam (SNI ). Taksonomi ikan patin siam adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Pisces Sub Class : Teleostei
3 7 Ordo Sub Ordo Family Genus Species : Ostariophysi : Siluroidae : Pangasidae : Pangasius : Pangasius hypophthalmus 2. Bakteriosin-Nisin Bakteriosin merupakan protein ribosomal yang dihasilkan oleh bakteri yang mempunyai aktivitas antimikroba sebagai bakteriostatis atau bakteriosidal (Hwanhlem et al., 2014). Aktivitas antimikroba bakteriosin merupakan hasil dari modifikasi asam amino oleh enzim pada proses post-translasi (Cleveland et al., 2001). Bakteriosin pertama kali dikarakterisasi berasal dari bakteri Gram negatif, yaitu colicin yang berasal dari E. coli yang memiliki aktivitas antibakteri dengan cara menghambat sintesis dinding sel target, mengganggu permeabilitas membran sel, dan menghambat RNase dan DNase. Beberapa spesies dari bakteri Gram positif terutama golongan bakteri asam laktat juga menghasilkan senyawa bakteriosin yang banyak diaplikasikan pada produk makanan (Ghaly et al., 2001). Bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat mempunyai keunggulan yang dapat digunakan untuk pengawetan pangan, yaitu (i) dikategorikan sebagai substansi yang aman (GRAS), (ii) inaktif pada sel eukariot dan bersifat non-toksik, (iii) dapat dicerna oleh protease di saluran pencernaan dan memiliki efek lemah terhadap mikroflora usus, (iv) memiliki spektrum yang luas terhadap bakteri penyebab kerusakan pangan, (v) memiliki rentang ph dan suhu yang luas, (vi) memiliki efek bakteriosidal dengan cara merusak membran sitoplasma sel (Hwanhlem et al., 2014). Beberapa spesies dari genus Lactococcus, Lactobacillus dan Pediococcus telah diidentifikasi dapat menghasilkan bakteriosin misalnya nisin diproduksi oleh Lactococcus lactis, pediosin AcH dihasilkan Pediococcus acidilactic (Usmiati dan Marwati, 2007). Bakteriosin
4 8 memiliki spektrum hambat yang sempit pada spesies sejenis namun memiliki spektrum yang luas dalam menghambat spesies yang berbeda (White, 2011). Mekanisme aktivitas bakterisidal bakteriosin adalah sebagai berikut: (1) molekul bakteriosin kontak langsung dengan membran sel, (2) proses kontak ini mampu mengganggu potensial membran berupa destabilitas membran sitoplasma sehingga sel menjadi tidak kuat, dan (3) ketidakstabilan membran mampu memberikan dampak pembentukan lubang atau pori pada membrane sel melalui proses gangguan terhadap PMF (Proton Motive Force). Kebocoran yang terjadi akibat pembentukan lubang pada membran sitoplasma ditunjukkan oleh adanya aktivitas keluar masuknya molekul seluler. Kebocoran ini berdampak pada penurunan gradient ph seluler. Pengaruh pembentukan lubang sitoplasma merupakan dampak adanya bakteriosin yang menyebabkan terjadinya perubahan gradient potential membrane dan pelepasan molekul intraseluler maupun masuknya substansi ekstraseluler (lingkungan). Efeknya menyebabkan pertumbuhan sel terhambat dan menghasilkan proses kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin (De Vuyst, 2007). Jeevaratnam et al. (2005) menyebutkan bahwa bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat diklasifikasikan menjadi empat kelas utama, yaitu: kelas I (Lantibiotik), kelas II, kelas III, dan kelas IV. Kelas lantibiotik merupakan membran aktif peptida yang umumnya mempunyai thio-ether amino acid lanthionin dan β-methyl lanthionin yang merupakan modifikasi dari asam amino seperti serine dan threonin pada proses posttranslasi. Contoh yang paling umum dari kelas ini adalah nisin dari Lactococcus lactis subps. lactis yang termasuk dalam golongan Ia. Bakteriosin kelas I dibagi menjadi subdivisi Ia dan Ib. Bakteriosin kelas Ia mempunyai peptida bersifat kationik dan hidrofobik yang mampu membentuk lubang pada membran target serta mempunyai struktur yang lebih fleksibel. Marwati dkk, (2012) menyebutkan bahwa kelas Ia
5 9 (Lantibiotik A) memiliki molekul panjang dengan berat molekul <4 kda, seperti nisin. Sedangkan bakteriosin kelas Ib berbentuk globular dengan struktur melingkar dan berat molekul 1,8-2,1 kda seperti mersacidin dan actagardin. Bakteriosin kelas II merupakan bioaktif peptida bermolekul kecil (<13 KDa) dan relatif tahan panas yang tidak mempunyai residu asam amino termodifikasi seperti lanthionin. Kelas ini juga dibagi menjadi dua divisi yaitu kelas II a dan II b. Kelas IIa (pediosin dan pediocin-like bacteriocin) mempunyai aktivitas sebagai anti-listerial dengan sequence Tyr-Gly-Asn-Gly-Val pada N-terminalnya dan mempunyai jembatan S-S yang terbentuk dari dua sistein yang berada di tengah peptida. Contoh dari kelas IIa adalah pediocin AcH. Sedangkan kelas IIb merupakan bakteriosin dengan dua peptida yang berbeda. Contoh dari kelas IIb adalah plantaricin EF (Jeevaratnam et al., 2005). Bakteriosin kelas III merupakan protein dengan berat molekul besar (>30 KDa) yang bersifat labil terhadap panas. Contoh dari kelas ini adalah helviticin-j, lantacin A dan B. Sampai saat ini masih sedikit sekali informasi mengenai bakteriosin kelas III. Sedangkan bakteriosin kelas IV merupakan kompleks protein yang membutuhkan molekul karbohidrat atau lipida untuk memperoleh aktivitas antimikroba. Contoh dari bakteriosin kelas IV adalah plantaicin S. Dari keempat golongan bakteriosin tersebut yang umum digunakan dalam makanan sebagai preservatif adalah kelas I dan II (Jeevaratnam et al., 2005). Nisin merupakan golongan kelas I yang dinyatakan aman untuk ditambahkan langsung dalam ingredient makanan. Nisin pertama kali ditemukan di Inggris pada tahun 1928, kemudian di tahun 1951 nisin diperkenalkan sebagai salah satu bahan pengawet makanan. Alpin dan Barrett merupakan penemu nisin komersial dengan nama Nisaplin yang telah banyak digunakan sebagai pengawet produk susu, makanan kaleng, daging curing, dan produk-produk fermentasi (Jeevaratnam et al., 2005).
6 10 Struktur molekul nisin terdiri dari 34 residu asam amino dengan berat molekul Da. Pada awalnya nisin disintesis sebagai prepropeptida dari 57 asam amino, kemudian 27 residu asam amino membentuk N-terminal leader sequence, sedangkan 34 residu asam amino yang mengandung serine, threonin, dan sistein mengalami modifikasi menjadi dehydroalanine, dehydrobutyrine, lanthionin, dan methyllanthionine. Nisin umumnya berbentuk dimer (7 kda) atau tetramer (14 kda). Nisin bersifat stabil terhadap panas dan larut dalam asam. Kelarutan nisin berkurang dengan meningkatnya ph dalam bahan (Jeevaratnam et al., 2005). Dua varian nisin yang terkenal adalah nisin A dan nisin Z yang memiliki perbedaan pada salah satu asam aminonya, namun memiliki aktivitas serupa (Balciunas et al., 2013). Nisin A memiliki asam amino histidine (His) di posisi 27, sedangkan pada nisin Z posisi asam amino ini digantikan oleh asparagin (Asn). Struktur molekul dan susunan asam amino nisin A dan nisin Z dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Struktur Nisin A dan Nisin Z (Abu: aminobutyric acid; Dha: dehydroalanine; Dhb: dehydrobutyrine atau β- methyldehydroalanine; Ala-S-Ala: lanthionine; Abu-S-Ala: β-methyllanthionine) (EFSA, 2006). Nisin banyak digunakan sebagai senyawa antimikroba alami yang efektif dalam menghambat pertumbuhan sel vegetatif dan spora dari bakteri Gram positif terutama genus Alicyclobaccillus, Bacillus, Brochothrix, Clostridium, Enterococcus, Lactobacillus, Listeria,
7 11 Micrococcus, dan Staphylococcus. Namun kebanyakan bakteri Gram negatif resisten terhadap nisin karena struktur dinding selnya yang lebih kompleks. Bakteri Gram negatif memiliki membran luar yang terdiri dari lipopolisakarida yang melindungi membran sitoplasmanya. Kemampuan nisin sebagai senyawa antimikroba dalam melawan bakteri Gram negatif hanya bisa terjadi ketika nisin dikombinasikan dengan senyawa yang mampu melemahkan atau merusak kestabilan membran sel bakteri Gram negatif seperti senyawa EDTA (ethylene diamine tetra acetate). Selain itu nisin juga kurang efektif dalam menghambat yeast dan jamur (White, 2011). Nisin telah dinyatakan aman penggunaannya oleh Badan Pangan Dunia (FAO/WHO) sejak Di Eropa, nisin diberi nomor E234 sebagai bahan tambahan makanan (food additive) dan dinyatakan sebagai pengawet alami yang aman. Pada tahun 1988, nisin diijinkan penggunaannya oleh FDA pada makanan dalam kaleng untuk menghambat pertumbuhan Clostridium botulinum. Saat ini nisin merupakan satu-satunya bakteriosin murni yang disetujui penggunaannya untuk pengawetan makanan di Amerika Serikat, dan juga telah diijinkan penggunaannya oleh lebih dari 50 negara. Beberapa negara seperti Australia, Prancis, Inggris, dan Peru bahkan tidak menetapkan batas maksimal penggunaan nisin pada produk keju (Fawzya, 2010). Di Indonesia, nisin termasuk dalam satu di antara 10 jenis bahan pengawet yang diijinkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Batas maksimum penggunaan nisin pada produk keju dan keju analog berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet adalah sebesar unit atau setara dengan 12,5 mg/kg keju. Pada uji toksisitas akut, subkronik, dan kronik secara in vitro, nisin dinyatakan aman untuk dikonsumsi pada Acceptable Daily Intake (ADI) 2,9 mg/orang/hari. Nisin juga tidak memberikan pengaruh pada
8 12 mikroflora usus karena setelah dikonsumsi nisin diinaktivasi oleh enzim tripsin (Cleveland et al., 2001). Nisin dapat digunakan sebagai biopreservasi pada produk pangan termasuk produk perikanan. Selain tidak toksik, beberapa faktor lain yang dapat dipertimbangkan untuk nisin sebagai biopreservasi adalah nisin mudah mengalami biodegradasi karena merupakan senyawa protein, tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan dan tidak menyebabkan resistensi bakteri sebagaimana antibiotik pada terapetik, aman bagi lingkungan dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai bahan pengawet, serta dapat digunakan dalam bentuk kultur bakteri yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba atau dalam bentuk senyawa antimikrobial yang telah dimurnikan (Fawzya, 2010). 3. Potensi Nisin sebagai Bahan Pengawet Fillet Ikan Produk perikanan merupakan bahan yang tergolong mudah rusak. Proses penurunan kualitas ikan segar berlangsung secara bertahap melalui fase pre rigor mortis, rigor mortis, dan post rigor mortis. Pada tahap pre rigor kondisi daging ikan mempunyai sifat yang mirip dengan kondisi ketika ikan masih hidup yaitu lunak dan elastis karena proses respirasi masih berlangsung secara anaerob melalui perombakan cadangan glikogen menjadi asam laktat. Dari respirasi anaerob tersebut dihasilkan ATP yang berguna dalam relaksasi otot sehingga otot tetap elastis. Ikan yang berada di tahap pre rigor mengalami penurunan ph menjadi asam karena akumulasi asam laktat. Fase pre rigor berlangsung singkat (1-7 jam setelah kematian ikan) dan lamanya tergantung jenis dan kondisi ikan serta lingkungan penyimpanan. Ketika cadangan glikogen pada ikan habis, ikan akan memasuki fase rigor mortis. Tekstur daging ikan yang elastis akan berubah menjadi kaku dan kehilangan elastisitasnya. Pada fase rigor, ph ikan berada pada kondisi paling rendah dan cadangan glikogen pada jaringan otot mulai habis sehingga proses respirasi melambat. Hingga akhir tahap rigor mortis, kondisi ikan masih sama
9 13 dengan ikan ketika masih hidup dan masih digolongkan sebagai ikan segar. Lamanya fase rigor juga tergantung jenis dan kondisi ikan serta kondisi penyimpanannya. Setelah melewati fase rigor, ikan akan memasuki fase post rigor mortis dimana mulai terjadi serangkaian proses yang mengarah pada kebusukan. ph ikan yang rendah selama fase rigor akan memicu aktifnya enzim proteolitik yang berada di lisosom daging. Enzim proteolitik akan memecah protein daging menjadi senyawa yang lebih sederhana yang menyebabkan perubahan citarasa dan pelunakan tekstur. Kondisi demikian akan mempercepat pertumbuhan mikroba pembusuk yang menyebabkan kerusakan ikan (Liviawaty dan Afrianto, 2010). Secara umum, proses pembusukan ikan segar disebabkan oleh proses autolisis, pertumbuhan mikroba, dan oksidasi. Autolisis merupakan proses perombakan yang disebabkan oleh aktivitas enzim pada jaringan otot ikan (Liviawaty dan Afrianto, 2010). Ghaly et al. (2010) menjelaskan bahwa proses autolisis merupakan penyebab utama kerusakan tekstur pada tahap awal setelah kematian ikan. Enzim pencernaan akan menyebabkan pelunakan daging, meluruhnya dinding perut dan menyebabkan keluarnya darah dan cairan yang mengandung protein dan lemak. Pembentukan peptida dan asam amino bebas merupakan hasil dari autolisis protein otot yang selanjutnya digunakan oleh mikroba pembusuk untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan mikroba merupakan penyebab utama kebusukan ikan karena produksi amina, amina biogenik (putrescine, histamin, dan cadaverin), senyawa sulfit, aldehid, dan keton yang menyebabkan off-flavor. Pada ikan tanpa perlakuan pengawetan, pembusukan umumnya terjadi karena aktivitas bakteri dari golongan Gram negatif tipe fermentatif seperti Vibrinonaceae yang menghasilkan senyawa TMA (Trimethylamine) dari TMAO (Trimethylamine Oxide) dan H 2 S. Sedangkan penyebab kerusakan pada ikan yang disimpan pada suhu rendah terjadi karena aktivitas bakteri Gram negatif psikrotoleran seperti Pseudomonas dan Shewanella. Selain itu kemunduran mutu pada ikan
10 14 segar juga disebabkan oleh proses oksidasi yang menyebakan kerusakan komponen lemak pada daging ikan dan menyebabkan bau tengik. Oksidasi dapat terjadi secara enzimatis atau non-enzimatis. Oksidasi secara enzimatis terjadi karena aktivitas enzim lipolitik yang secara alami terdapat pada jaringan ikan atau dihasilkan oleh mikroba, sedangkan oksidasi secara non-enzimatis disebabkan oleh komponen hematin yang merupakan agen pro-oksidatif (Ghaly et al., 2010). Pada umumnya proses pengolahan ikan patin di Indonesia menghasilkan produk fillet yang kemudian dijual dalam bentuk fillet segar maupun beku. Berdasarkan Surat Keputusan Badan POM tahun 2006 tentang Kategori Pangan, fillet ikan didefinisikan sebagai irisan ikan dengan bentuk dan ukuran tidak beraturan yang dilepaskan dari karkasnya dengan memotongnya secara paralel terhadap tulang belakang dengan atau tanpa kulit. Rendemen pada proses pengolahan fillet ikan patin ini sekitar 45% namun tergantung jenisnya (Hastarini dkk., 2012). Keuntungan fillet adalah penanganannya mudah dan dapat diolah menjadi berbagai produk lainnya. Namun salah satu kelemahan fillet adalah mudah mengalami penurunan kesegaran dan pembusukan. Indrayanti dkk., (2013) menyatakan bahwa fillet ikan merupakan produk hasil perikanan yang bersifat high perishable sehingga memerlukan penanganan yang baik dari segi penyimpanan dan penanganan fillet. Secara alami, ikan membawa berbagai jenis mikroflora pada bagian sisik, sirip, insang, dan saluran pencernaan yang berasal dari lingkungan hidupnya. Populasi bakteri pada ikan segar normalnya berkisar antara 10 3 hingga 10 8 sel/gram. Namun setelah penangkapan, jumlah mikroba pada ikan dapat meningkat secara cepat disebabkan oleh faktor a w dan ph pada jaringan otot ikan yang tinggi, dan banyak tersedia sumber karbon dan nitrogen yang berasal dari otot. Kerusakan pada ikan segar karena aktivitas mikroba pembusuk ditandai dengan perubahan warna terutama pada bagian insang dan mata, perubahan tekstur otot, dan terbentuknya
11 15 komponen volatil yang menyebabkan off-odor yang diindikasikan dengan meningkatnya nilai TVB, TBA, dan ph (Ray, 2003). Noseda et al. (2012) melaporkan bahwa jenis mikro floara awal yang umumnya terdapat pada ikan patin segar terdiri dari berbagai spesies bakteri Gram negatif dan Gram positif dari genus Acinetobacter, Aeromonas, Citrobacter, Enterobacter, Escherichia, Flavobacterium, Micrococcus, Moraxella, Pseudomonas, Staphylococcus, Streptococcus dan Vibrio. Pembekuan merupakan salah satu cara untuk menurunkan jumlah mikroba pada produk perikanan, umumnya jumlah bakteri Gram negatif lebih cepat berkurang dengan perlakuan pembekuan dibandingkan Gram positif. Namun setelah proses pencairan, produk beku cepat mengalami kerusakan sama halnya dengan produk yang tidak dibekukan. Sedangkan dalam memperpanjang umur simpan dengan cara pendinginan dalam kondisi aerobik, bakteri Gram negatif terutama dari genus Pseudomonas dan Acinetobacter merupakan bakteri yang dominan dan menjadi penyebab kebusukan pada produk perikanan tropis sehingga umur simpan produk juga terbatas. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperpanjang umur simpan produk perikanan, misalnya dengan metode pengawetan secara fisik seperti pendinginan dan pembekuan, secara kimiawi dengan penambahan bahan pengawet, atau secara biologis menggunakan mikroba dengan cara fermentasi. Mohan et al. (2008) melaporkan bahwa fillet ikan patin yang disimpan pada suhu dingin (0-2 C) dalam kondisi aerob hanya bertahan selama 10 hari, hal ini disebabkan karena selama penyimpanan dingin aktivitas mikroba psikrofilik tidak terhambat sehingga menimbulkan kebusukan. Aktivitas mikroba psikrofilik pada bahan makanan yang disimpan pada suhu rendah dapat dihambat dengan menambahkan senyawa yang bersifat antimikroba. Heller (2001) menyatakan bahwa komponen antimikroba yang terdapat dalam bahan pangan dapat melalui berbagai cara, yaitu terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, ditambahkan secara sengaja ke
12 16 dalam makanan dan terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi pangan. Suatu preservatif untuk memperpanjang masa simpan produk pangan, harus memenuhi kriteria antara lain tidak mengubah flavor, bau dan tekstur bahan pangan; aman bagi konsumen dan efektif sebagai preservatif atau aman untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu; preservatif harus mudah dikenali dan kadarnya dapat dipastikan secara pasti serta harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan; kualitas bahan pangan tidak merugikan konsumen; ekonomis dan tidak menyebabkan timbulnya galur resisten dan diutamakan bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba. Penggunaan bakteriosin sebagai biopreservatif sudah dilakukan di beberapa negara. Strategi yang mungkin dilakukan dalam aplikasi bakteriosin untuk pengawetan pangan antara lain: 1) inokulasi bakteri asam laktat penghasil bakteriosin dalam makanan (produksi in situ) contohnya pada proses fermentasi; 2) penambahan bakteriosin murni atau murni parsial dalam produk sebagai pengawet makanan yang biasanya digunakan dalam bahan makanan segar, serta 3) menggunakan produk hasil fermentasi sebelumnya yang telah mengandung bakteriosin yang dihasilkan oleh strain bakteri dalam formulasi makanan, contohnya pada pembuatan keju (Jeevaratnam et al., 2005). Penggunaan nisin sebagai bahan pengawet telah banyak diteliti dan diujikan pada beberapa produk pangan liquid atau solid, makanan kaleng, makanan kemasan, makanan beku atau makanan yang disimpan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu ruang. Berdasarkan mikroorganisme targetnya, penggunaan nisin efektif untuk: 1) menghambat kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan spora bakteri Gram positif, terutama pada makanan olahan, 2) mencegah pembusukan karena bakteri asam laktat dan organisme sejenis seperti Brocothrix thermosphacta, dan 3) membunuh atau menghambat bakteri patogen Gram positif seperti L. monocytogenes, B. cereus, dan C. Botulinum (Jeeveratnam et al., 2005).
13 17 Pada aktivitas 400 IU/ml dan IU/ml nisin dilaporkan efektif untuk menghambat Brochothrix thermosphacta pada lean beef dan Listeria monocytogenes pada cottage cheese (Cleveland et al., 2001). Nisin paling baik ditambahkan dalam bentuk larutannya dibandingkan dalam bentuk serbuk. Nisin dengan konsentrasi yang lebih tinggi bisa juga diaplikasikan dengan cara spraying atau dipping (Jeeveratnam et al., 2005). Aplikasi nisin pada produk perikanan sebelumnya telah diteliti oleh Behnam, et al., (2013) yang menguji efek penyemprotan larutan nisin komersial (Serva-Nurk yang diproduksi dari Lactococcus lactis, Art number: 30413) pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) yang disimpan pada suhu 4⁰C dan dikombinasikan dengan penyimpanan dalam kondisi vakum. Sampel dengan nisin menunjukkan aktivitas penghambatan mikroba yang tumbuh pada ikan hingga hari ke-16 dengan jumlah mikroba akhir kurang dari 6 log CFU/g. Standard maksimal jumlah mikroba yang digunakan pada penelitian ini adalah 7 log CFU/g, sehingga di hari ke-16 sampel dengan nisin masih dapat diterima. Sedangkan jumlah total mikroba pada sampel kontrol telah mencapai 7 log CFU/g di hari penyimpanan ke-12. Dari parameter ph tidak terdapat perbedaan nyata antar sampel dengan nisin dan sampel kontrol. Keduanya masih berada di kisaran ph 6,3-6,5 di akhir penyimpanan. Namun dilihat dari TVB-N keduanya menunjukkan perbedaan nyata. Batas maksimal TVB-N yang digunakan pada penelitian ini adalah tidak lebih dari 25 mg N/100 gram bahan, sedangkan TVB-N akhir untuk sampel kontrol dan sampel dengan nisin masing-masing mencapai 26,10 mg N/100 gram dan 20,87 mg N/100 gram bahan di hari penyimpanan ke-16. Dilihat dari indeks TBA, sampel dengan nisin memiliki nilai TBA akhir sebesar 0,60 mg MDA/kg bahan, sedangkan sampel kontrol memiliki nilai TBA yang lebih tinggi (0,98 mg MDA/kg bahan) di hari penyimpanan ke-16. Penggunaan nisin pada konsentrasi 100 µg/g dapat mempertahankan kualitas ikan hingga 16 hari penyimpanan dilihat dari jumlah mikroba tumbuh, angka peroksida, indeks TBA, ph, dan TVB-N ikan.
14 18 B. Kerangka Berpikir Ikan patin merupakan salah satu ikan komoditas ekspor yang unggul di Indonesia Fillet ikan patin banyak diminati oleh pasar global Fillet ikan lebih mudah rusak karena autolisis, pertumbuhan mikroba dan oksidasi sehingga umur simpannya pendek Disimpan pada suhu rendah (0-10 C) untuk memperpanjang umur simpan fillet Pertumbuhan mikroba psikrofilik tidak terhambat Memerlukan senyawa yang bersifat antimikroba untuk memperpanjang umur simpan fillet yang disimpan pada suhu rendah Nisin Mempunyai aktivitas antimikroba yang efektif dalam menghambat bakteri Gram positif dan beberapa spesies Gram negatif Aman dan disetujui penggunaannya oleh FDA dan lebih dari 50 negara Digunakan sebagai alternatif pengawetan fillet ikan patin yang disimpan pada suhu rendah Kualitas fillet ikan patin yang disemprot dengan larutan nisin diketahui dari angka lempeng total (ALT), ph, TVB-N, dan TBA fillet pada 16 hari penyimpanan Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
15 19 C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah penggunaan nisin dari Lactococcus lactis subsp. lactis dengan metode spray akan berpengaruh terhadap kualitas fillet ikan patin siam yang disimpan pada suhu dingin (4±1 C) dihihat dari angka lempeng total, ph, TVB-N, dan TBA ikan selama 16 hari penyimpanan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan patin adalah ikan air tawar yang banyak ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk, dan rawa. Di Indonesia, ikan patin telah banyak dibudidayakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ikan Patin Ikan patin merupakan anggota kelompok catfish dari perairan Asia Tenggara yang beriklim tropis dengan suhu berkisar 22-26 0 C dengan ph 6,7-7,5.
Lebih terperinci2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)
3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pangasidae yang memiliki ciri-ciri umum tidak bersisik, tidak memiliki banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Patin (Pangasius sp) merupakan spesies ikan air tawar dari jenis Pangasidae yang memiliki ciri-ciri umum tidak bersisik, tidak memiliki banyak duri, kecepatan
Lebih terperinciDAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN.. HALAMAN PENGESAHAN.. RIWAYAT HIDUP.. i ABSTRAK... ii ABSTRACT.. iii UCAPAN TERIMAKASIH. iv DAFTAR ISI....... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL
Lebih terperinciDINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.
DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mikroorganisme tersebar luas di alam seperti di udara, air, tanah, dalam saluran pencernaan hewan, pada permukaan tubuh dan dapat dijumpai pula pada pangan. Mikroorganisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat
I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6)
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen Penelitian diawali dengan tahap persiapan dan pemurnian kembali dari keempat kultur bakteri asam laktat (BAL) yaitu Lactobacillus
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.
HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim. Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi kultur yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.
BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian
Lebih terperinciPENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)
TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN
Lebih terperinciUji Organoleptik Ikan Mujair
Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang
Lebih terperinciBAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan
BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan Jumlah dan jenis populasi mikroorganisme yang terdapat pada berbagai produk perikanan sangat spesifik. Hal ini disebabkan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik
Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Salami Daging Kelinci
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Salami Daging Kelinci Hasil penelitian penggunaan starter yogurt terhadap total bakteri Salami daging kelinci disajikan pada Tabel
Lebih terperinciPrinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri
Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dilakukan pengembangan
PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan produk perikanan untuk kebutuhan domestik maupun ekspor semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dilakukan pengembangan budidaya perikanan dengan intensif (Gardenia
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat
TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil
Lebih terperinciSNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)
SNI : 01-6483.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Deskripsi...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu sumber protein hewani. Ikan juga merupakan bahan makanan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat sebagai salah satu sumber protein hewani. Ikan juga merupakan bahan makanan yang cepat mengalami proses
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang memiliki beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini dikarenakan asam - asam organik yang dihasilkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia telah banyak mengenal produk pangan fermentasi antara lain yang berasal dari susu seperti yogurt, keju, es krim dan dadih (produk olahan susu fermentasi
Lebih terperincibio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN
I. PENDAHULUAN Yoghurt merupakan minuman yang dibuat dari susu sapi dengan cara fermentasi oleh mikroorganisme. Yoghurt telah dikenal selama ribuan tahun dan menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat
I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Kita mengenal tempe, oncom, kecap, tahu, yang dibuat
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lainnya, karena jenis tersebut yang paling banyak di tangkap dan di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ikan pada umumnya lebih banyak di kenal daripada hasil perikanan lainnya, karena jenis tersebut yang paling banyak di tangkap dan di konsumsi. Hasil perikanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan bahan makanan yang banyak mengandung protein dan dikonsumsi oleh manusia sejak beberapa abad yang lalu. Ikan banyak dikenal karena termasuk lauk pauk
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi bahan pangan yang
1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi bahan pangan yang bermanfaat bagi kesehatan mendorong berbagai inovasi pengolahan produk pangan, salah satunya poduksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Berdasarkan data dari Kementerian
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.
4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai
II. TINJAUAN PUSTAKA Bahan Baku Kerang Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai ciri-ciri: cangkang terdiri dari dua belahan atau katup yang dapat membuka dan menutup dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lactobacillus merupakan salah satu mikroorganisme yang aman jika ditambahkan dalam bahan pangan karena sifatnya tidak tosik dan tidak menghasilkan toksik. Bahkan, Lactobacillus
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri Asam laktat (BAL) yaitu kelompok bakteri gram positif, katalase
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakteri Asam Laktat Bakteri Asam laktat (BAL) yaitu kelompok bakteri gram positif, katalase negatif yang dapat memproduksi asam laktat dengan cara memfermentasi karbohidrat, selnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%,
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PENGESAHAN DEDIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS ABSTRAK
DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i PENGESAHAN ii PRAKATA iii DEDIKASI iv RIWAYAT HIDUP PENULIS v ABSTRAK vi ABSTRACT vii DAFTAR ISI viii DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR TABEL xii DAFTAR LAMPIRAN
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Klasifikasi ikan patin siam menurut Saanin, 1984 adalah sebagai berikut:
I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Klasifikasi ikan patin siam menurut Saanin, 1984 adalah sebagai berikut: Filum Sub Filum Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Famili Genus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu adalah cairan yang dihasilkan dari sekresi kelenjar mammae hewan mamalia yang fungsi utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi anak hewan yang baru lahir.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Klasifikasi Ikan Cakalang Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, panjang tubuh sekitar 25cm dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tahu merupakan makanan yang biasa dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Asia lainnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengkonsumsi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi Hasil penelitian pengaruh berbagai konsentrasi sari kulit buah naga merah sebagai perendam daging sapi terhadap total bakteri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. laut maupun ikan air tawar. Menurut Arias dalam Fernandes (2009) ikan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan bahan pangan hewani bernilai ekonomis tinggi dan banyak dikonsumsi masyarakat karena kandungan gizinya yang tinggi, baik ikan air laut maupun ikan air
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pelelehan es dan proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang sangat baik. Ikan juga mengandung asam lemak, terutama asam lemak omega-3 yang sangat penting
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)
TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies
I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies Pangasius hypophthalmus yang hidup di perairan tropis Indo Pasifik.
Lebih terperinciPenambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk
Firman Jaya 2 Diartikan sebagai penambahan jumlah sel Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk 3 4
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,
I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Itik merupakan salah satu unggas penting yang diternakkan di Indonesia. Ternak ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dengan produk yang dihasilkannya. Produk yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam famili Brassicaceae, tumbuh di daerah yang berhawa sejuk, yaitu pada ketinggian 800-2000 m di atas permukaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Karakteristik morfologi L. plantarum yang telah didapat adalah positif, berbentuk batang tunggal dan koloni berantai pendek. Karakteristik
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin Siam Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ikan Patin jenis Pangasius hypopthalmus merupakan ikan air tawar yang mempunyai
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Patin jenis Pangasius hypopthalmus merupakan ikan air tawar yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi untuk dikembangkan (Ghufran, 2010). ikan Patin banyak dikonsumsi
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis putih (Brassica oleracea) merupakan salah satu komoditi pertanian yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dapat dipasarkan tanpa terpengaruh musim. Di Jawa Tengah,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan inroduksi yang telah lebih dulu dikenal masyarakat indonesia. Budidaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas budidaya perikanan yang banyak dikonsumsi, karena dagingnya enak, juga merupakan sumber protein
Lebih terperinciII. RERAN DAN KARAKTERISTIK MIKROBIA YANG PENTING DALAM PANGAN
II. RERAN DAN KARAKTERISTIK MIKROBIA YANG PENTING DALAM PANGAN 2.1. KLASIFIKASI DAN NOMENCLATUR Klasifikasi Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menurut berbagai kriteria Contoh : suhu optimum pertumbuhan
Lebih terperinciPengawetan bahan pangan
Pengawetan bahan pangan SMA Negeri 5 Mataram Dhita Fajriastiti Sativa, S.Pd. Prinsip pengawetan pangan Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan Mencegah kerusakan yang
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA
PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK ROSELA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP MUTU FILLET IKAN JAMBAL SIAM (Pangasius hyphopthalmus) SEGAR SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Oleh Noviantari 1), Mirna Ilza 2), N. Ira
Lebih terperinciThe Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT
The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The objective of this research was to determine the differences
Lebih terperinciAKTIVITAS ANTIMIKROBIA EKSTRAK RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galangal) TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBIA PERUSAK IKAN DENGAN PENGEMULSI TWEEN 80
AKTIVITAS ANTIMIKROBIA EKSTRAK RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galangal) TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBIA PERUSAK IKAN DENGAN PENGEMULSI TWEEN 80 NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh: ANISAH NURUL KHASANAH J310 090 060
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)
I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat
TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Kelompok yang telah diketahui sebagai bakteri asam laktat saat ini adalah termasuk kedalam genus Lactococcus, Streptococcus (hanya satu spesies saja), Enterococcus,
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) Sumber : Dokumentasi Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) Klasifikasi ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo :
Lebih terperinciBAB II EKOLOGI MIKROBIOLOGI PANGAN
BAB II EKOLOGI MIKROBIOLOGI PANGAN TIGA FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN: Faktor intrinsik Faktor ektrinsik Faktor implisit FAKTOR INTRINSIK: komposisi kimia, sifat fisik, dan struktiir biologi pangan
Lebih terperinciBAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan hasil penelitian pengaruh pemberian bakteri asam laktat dalam air minum terhadap konsumsi air minum dan ransum dan rataan pengaruh pemberian bakteri asam laktat dalam
Lebih terperincimolekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus
Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan
Lebih terperinciTOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti
TOKSIN MIKROORGANISME Dyah Ayu Widyastuti Toksin bisa juga disebut racun Suatu zat dalam jumlah relatif kecil, bila masuk ke dalam tubuh dan bekerja secara kimiawi dapat menimbulkan gejala-gejala abnormal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah menyebar ke wilayah Asia Tenggara dan Cina. Ikan tersebut termasuk komoditas yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu jenis buah yang akhir-akhir ini populer adalah buah naga. Selain
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu jenis buah yang akhir-akhir ini populer adalah buah naga. Selain karena bentuknya yang eksotik, buah naga juga memiliki rasa yang manis dan beragam manfaat untuk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan adalah salah satu hasil komoditi yang sangat potensial, karena keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, suku, dan agama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan pangan hewani (daging, telur, dan susu) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan pola hidup,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budidaya ikan hias dapat memberikan beberapa keuntungan bagi pembudidaya antara lain budidaya ikan hias dapat dilakukan di lahan yang sempit seperti akuarium atau
Lebih terperinciANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU. (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR. Oleh RONNY MARTHA FO
ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR Oleh RONNY MARTHA FO3496087 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 I. PENDAHULUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang aman dan beberapa spesies digunakan sebagai terapi dalam proses
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan bakteri asam laktat di dunia pangan dan kesehatan sudah banyak diaplikasikan. Dalam pengolahan pangan, bakteri ini telah lama dikenal dan digunakan, yaitu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu
Lebih terperinciDr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.
BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 6. NUTRISI DAN MEDIA Kebutuhan dan syarat untuk pertumbuhan, ada 2 macam: fisik suhu, ph, dan tekanan osmosis. kimia
Lebih terperinciPERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN
PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN Pertemuan Minggu ke 6 Kelas B Juni Sumarmono & Kusuma Widayaka ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN 2017 Kualitas Baik Edible (dapat dimakan)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam saluran pencernaan unggas khususnya sekum dan tembolok, terdapat populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri tersebut umumnya bersifat fermentatif.
Lebih terperinci1 BAB I. PENDAHULUAN
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu komponen penting bahan pangan bagi manusia. Hal ini disebabkan karena kandungan gizinya, terutama protein (Ababouch, 2012; Anene et al.,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan bahan pangan. Kandungan gizi yang ada pada ikan sangatlah
Lebih terperinciPENDAHULUAN. segar seperti diolah menjadi sosis, nugget, dendeng, kornet dan abon.
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya peningkatan konsumsi masyarakat akan daging dan bergesernya pola konsumsi masyarakat dari mengkonsumsi daging segar menjadi daging olahan siap konsumsi menjadi
Lebih terperinci