BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SOCIAL LOAFING 1. Definisi Social Loafing Social loafing adalah istilah yang dibentuk oleh Latane, Williams, dan Harkins (1979) untuk mendefinisikan penurunan usaha seseorang yang disebabkan oleh kehadiran orang lain (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Latane dkk (1979) membentuk istilah social loafing setelah mereplikasi penelitian oleh Ringelmann (1913). Ada dua eksperimen yang dilakukan Latane dkk (1979). Pada eksperimen pertama partisipan disuruh untuk membuat suara dengan cara bertepuk tangan. Peneliti mengukur usaha partisipan saat bertepuk tangan sendirian, dengan pasangan, dan dalam kelompok. Pada eksperimen kedua partisipan disuruh untuk membuat suara dengan cara berteriak, prosedur yang dilakukan sama dengan eksperimen pertama, hanya pada eksperimen kedua partisipan tidak bisa melihat partisipan lain. Hasil dari kedua eksperimen tersebut menunjukkan ada penurunan suara yang dihasilkan oleh partisipan saat berada dalam kelompok dibandingkan saat partisipan melakukannya sendirian, meskipun partisipan tidak bisa melihat partisipan lainnya. Hal ini yang menunjukkan bahwa usaha individu akan menurun seiring dengan bertambahnya anggota kelompok. 11

2 12 Penurunan usaha itu sendiri bisa disebabkan oleh menurunnya motivasi individu (dalam Hogg & Vaughan, 2011). Menurut Karau dan Williams (1993) social loafing merupakan kecenderungan individu untuk mengurangi motivasi dan usahanya saat bekerja dalam kelompok atau secara kolektif dibandingkan saat bekerja sendiri. Mereka menurunkan usaha mereka karena yakin tugas tersebut juga dikerjakan oleh orang lain. (Williams, Karau, & Bourgeois dalam Hogg & Vaughan, 2011). Alnuaimi, Robert, & Maruping (2009) mengidentifikasi social loafing sebagai masalah yang disebabkan oleh kurangnya kontrol dan kordinasi dalam sebuah kelompok. Menurut penelitian Ying, Li, Jiang, Peng, dan Lin (2014), social loafing merupakan kebiasaan seseorang berperilaku untuk melakukan loafing yang rentan terjadi saat bekerja di dalam kelompok. Ying dkk (2014), membuat alat ukur Social Loafing Tendency Questionnaire (SLTQ) yang digunakan untuk menguji kecenderungan seseorang melakukan social loafing pada tugas individual dan pada tugas kelompok. Hasil penelitian Ying menunjukkan bahwa performansi individu dengan kecenderungan social loafing yang tinggi akan lebih buruk dibandingkan individu yang kecenderungan social loafingnya rendah saat mengerjakan tugas kelompok dibandingkan saat bekerja secara individual. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa social loafing adalah kecenderungan seseorang untuk menurunkan usahanya saat mengerjakan tugas di dalam kelompok dibandingkan saat bekerja secara individual.

3 13 2. Dampak Social Loafing a. Social loafing bisa memunculkan iri hati dalam kelompok dan menurunkan potensi dan kohesivitas sebuah kelompok dan berpengaruh pada perfomansi, kehadiran dan kepuasan kelompok (Duffy & Shaw, 2000). b. Hilangnya motivasi anggota kelompok juga menjadi dampak dari social loafing, adanya individu yang melakukan loafing akan mempengaruhi kinerja anggota kelompok yang lain (Brickner, Harkins, & Ostrom, 1986). c. Social loafing akan menghilangkan kesempatan individu untuk melatih keterampilan dan mengembangkan diri (Schnake, dalam Liden, Wayne, Jaworski & Bennet, 2003). d. Individu yang melakukan social loafing produktivitasnya akan terhambat karena harus bekerja di dalam sebuah kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi social loafing Beberapa faktor yang mempengaruhi social loafing adalah sebagai berikut: a. Attribution and equity Proses atribusi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan loafing, karena mereka menganggap orang lain tidak kompeten dan tidak ada gunanya mengeluarkan usaha yang lebih keras dari anggota kelompok yang lain (Latane, Williams & Harkins, 1979)

4 14 b. Submaximal goal setting Tujuan kelompok yang tidak dibuat maksimal menyebabkan seseorang melakukan loafing karena menganggap kelompok akan mudah menyelesaikan tugas sehingga usaha dari anggota kelompok yang lain dianggap sudah cukup sehingga individu tidak perlu mengeluarkan usaha yang lebih banyak (Latane, Williams & Harkins, 1979). c. Lessened contingency between input and output outcome Individu melakukan loafing karena menganggap usaha yang dikeluarkannya dengan hasil yang didapatkan nanti tidak sesuai karena berada di dalam kelompok (Latane, Williams & Harkins, 1979). d. Group evaluation Seseorang cenderung akan melakukan loafing bila dirinya sendiri atau orang lain tidak ada yang mengevaluasi pekerjaannya (Harkins & Szymanski, 1989). e. Group cohesion Individu yang berada dalam kelompok yang tidak kohesif akan cenderung melakukan loafing karena sesama anggota kelompok tidak begitu mengenal satu sama lain (Hoigaard, Tofteland, & Ommundsen, 2006). f. Distributive justice Persepsi individu bahwa hasil kerja setiap anggota kelompok tidak akan mendapat reward yang sama akan menyebabkan individu mengurangi usahanya dalam kelompok (Piezon & Ferree, 2008). g. Individualism-collectivism

5 15 Individu yang berasal dari budaya individualis cenderung akan melakukan social loafing dibandingkan individu yang berasal dari budaya kolektivis. Hal ini disebabkan individu dengan budaya kolektivis akan lebih berorientasi pada kelompok dan menempatkan tujuan kelompok sebagai hal yang penting (Earley, 1989). h. Expected coworker performance Individu akan melakukan loafing bila merasa usaha anggota kelompok yang lain akan tinggi sehingga dia tidak perlu mengeluarkan usaha yang lebih keras (Hart, Karau, Stasson, & Kerr, 2004). i. Achievement motivation Individu dengan motivasi berprestasi yang rendah akan cenderung melakukan loafing karena motivasi individu untuk beprestasi rendah sehingga tidak ada motivasi yang bisa mengeliminasi kecenderungan individu untuk melakukan loafing (Hart, Karau, Stasson, & Kerr, 2004). j. Group size Semakin besar anggota kelompok akan meningkatkan kecenderungan seseorang untuk melakukan social loafing. Individu akan merasa kontribusinya terbagi dengan anggota kelompok yang lain (Latane, Williams, & Harkins, 1979). 4. Aspek Social Loafing Menurut teori social impact oleh Latane (1981, dalam Chidambaram & Lai, 2005), social loafing memiliki 2 aspek yaitu:

6 16 a. Dillution effect Individu akan mengurangi usahanya dalam kelompok karena merasa kontribusinya kecil dalam kelompok atau karena mereka merasa penghargaan untuk kelompok bukan hasil dari pekerjaan mereka. b. Immediacy gap Individu akan melakukan loafing jika merasa dirinya terasing dari kelompok. Immediacy gap berarti semakin jauh jarak individu dengan pekerjaannya maka di sisi lain jarak individu dengan anggota kelompok yang lain juga semakin jauh. 5. Social loafing pada mahasiswa dengan tugas berbasis kelompok Social loafing merupakan salah satu kerugian yang terjadi pada mahasiswa saat mengerjakan tugas berbasis kelompok. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Baker (2011) ada beberapa alasan yang menyebabkan mahasiswa melakukan social loafing pada tugas berbasis kelompok. Penyebab mahasiswa melakukan loafing adalah sebagai berikut: a. Mahasiswa tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mengerjakan bagiannya pada tugas kelompok. b. Mahasiswa tidak memiliki ekspektansi yang tinggi pada tugas kelompok sehingga mereka tidak maksimal saat mengerjakan tugas tersebut. c. Tugas kelompok dianggap sebagai waktu luang saat belajar sehingga tidak perlu mengeluarkan usaha yang maksimal saat mengerjakan tugas kelompok.

7 17 d. Pemberian nilai yang sama pada setiap anggota kelompok terlepas dari besar atau kecilnya usaha yang diberikan oleh masing-masing anggota kelompok. e. Mahasiswa tidak merasa ada tekanan bila mendapatkan nilai yang jelek pada tugas kelompok. f. Mahasiswa merasa tidak memiliki kemampuan yang baik dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain untuk mengerjakan tugas kelompok. B. LOCUS OF CONTROL 1. Definisi locus of control Locus of control menurut Rotter (dalam Schultz & Schultz, 2009) adalah keyakinan individu tentang sumber penguatan (reinforcers) seseorang yang berasal dari tindakan mereka sendiri atau bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh lain di luar kendali diri mereka. Locus of control adalah salah satu trait kepribadian yang menggambarkan sejauh mana keyakinan individu bahwa mereka mempunyai kendali atas kehidupan mereka (Lefcourt, 1976, dalam April, Dharani, & Peters, 2012). Rotter menyatakan bahwa kepercayaan seseorang dalam melihat kendali dirinya dalam sebuah situasi atau sebuah kejadian akan mempengaruhi harapan dan perilaku individu tersebut (Halpert, 2011). Rotter mengembangkan skala Internal-External Locus Of Control Scale yang berisi 23 item untuk menilai apakah seseorang mempunyai kecenderungan untuk menilai apakah mereka bisa mengendalikan kehidupan mereka atau mereka percaya bahwa

8 18 kehidupan mereka berada di luar kendali individu dan dipengaruhi oleh faktor eksternal. Skala ini telah dipakai di berbagai penelitian untuk melihat locus of control dalam berbagai situasi (Halpert, 2011). Grimes, Millea, dan Woodruff (2004) mengemukakan bahwa locus of control adalah konstruk psikologis yang mengidentifikasi kepercayaan individu tentang kendali pribadinya dalam mengendalikan lingkungannya. Sedangkan Manichander (2014) mendefinisikan locus of control sebagai pandangan individu dalam melihat kehidupan sebagai sesuatu yang bisa kita kendalikan atau kehidupan yang mengendalikan kita. Menurut Ghonsooly dan Rezvani (2011), locus of control adalah faktor psikologis yang sangat mempengaruhi motivasi seseorang. Sedangkan menurut Karimi dan Alipour (2011), locus of control adalah tingkat kepercayaan yang individu yakini bahwa keberhasilan atau kegagalan berasal dari sumber internal ataupun eksternal, baik dari kendali diri mereka atau karena keberuntungan, kesempatan, atau nasib. Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah keyakinan individu dalam mengendalikan dan mengatribusikan penyebab keberhasilan dan kegagalan dari kejadian dalam hidup mereka. 2. Aspek locus of control a. Internal locus of control Individu dengan locus of control internal meyakini bahwa suatu kejadian merupakan hasil dari tindakan dan perilakunya sendiri (Rotter, 1966) atau

9 19 kemampuan mereka (Carrim, Basson, & Coetzee, 2006). Individu dengan locus of control internal percaya bahwa kerja keras dan kemampuan pribadi mereka akan menghasilkan hal yang positif (Carrim, Basson, & Coetzee, 2006). Mereka mengatribusikan kejadian dalam hidup mereka merupakan hasil dari kendali diri mereka sendiri (Schultz, & Schultz, 2009). Penelitian mengungkapkan bahwa individu dengan locus of control internal cenderung tidak suka melakukan perilaku yang tidak etis dan tidak adil (Suryaningrum, Hastuti, & Suhartini, 2012), tidak melakukan moral disengagement (Cory dkk, 2015), lebih cepat menyesuaikan diri dalam situasi baru (Leontopoulou, 2006; Bacanli, 2006, dalam Schultz & Schultz, 2009). b. External locus of control Rotter (1966) menyebutkan bahwa individu dengan locus of control eksternal meyakini suatu kejadian yang terjadi pada dirinya bukan karena tindakannya melainkan karena hal lain seperti keberuntungan, kesempatan, nasib, dan pengaruh luar lainnya yang berada di sekelilingnya. Mereka percaya bahwa mereka tidak mampu mengubah nasib mereka (Schultz & Schultz, 2009). Penelitian menunjukkan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal memiliki motivasi berprestasi yang rendah (Howerton, Enger, & Cobbs, 1992), lebih susah untuk beradaptasi dan lebih mungkin melakukan bunuh diri (Schultz & Schultz, 2009).

10 20 3. Karakteristik locus of control Menurut Bernardi (2001), Schultz & Schultz (2009), dan Stewart (2012), individu dengan locus of control internal dan eksternal memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Internal locus of control 1) Mudah beradaptasi pada situasi baru atau perubahan 2) Jarang memiliki masalah emosional 3) Lebih baik dalam mengatasi stress 4) Jarang mengalami kecemasan dan depresi 5) Memiliki kontrol diri yang baik 6) Memiliki aspirasi yang tinggi dan inisiatif yang tinggi dalam mencapai tujuan 7) Bertanggung jawab pada perbuatan mereka dan tidak tergantung pada orang lain 8) Aktif dalam mencari informasi 9) Enggan melakukan perilaku yang tidak etis b. External locus of control 1) Lebih susah beradaptasi pada situasi baru atau perubahan 2) Sering merasa cemas 3) Memilik self-esteem yang rendah 4) Lebih sering mengalami stress 5) Mudah mengalami depresi

11 21 6) Kurang aktif dalam mencari informasi 7) Sering merasa bimbang 8) Menyalahkan orang lain bila mengalami kegagalan 9) Cenderung melakukan perilaku yang tidak etis 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control a. Usia Penelitian menunjukkan usia berpengaruh pada locus of control seseorang. Kebanyakan mahasiswa cenderung lebih internal. Seseorang cenderung lebih internal seiring dengan bertambahnya usia dan puncaknya pada usia dewasa madya (Schultz & Schultz, 2009). b. Ras dan kondisi ekonomi Orang Afrika cenderung memiliki locus of control eksternal yang lebih tinggi dibandingkan orang Afrika yang lahir di Amerika. Orang Asia cenderung lebih eksternal dibandingkan orang Amerika, hal ini mungkin disebabkan budaya Amerika yang menekankan individualisme dan budaya Asia lebih menekankan komunitas dan saling bergantung satu sama lain. Penelitian juga menunjukkan remaja dari kalangan ekonomi yang tinggi cenderung lebih internal dibandingkan remaja dari kalangan ekonomi yang rendah (Schultz & Schultz, 2009) c. Keluarga Penelitian menunjukkan bahwa locus of control dipelajari dari masa kanak-kanak dan berhubungan dengan perilaku orang tua. Anak lebih

12 22 cenderung menjadi eksternal bila tidak dibesarkan tanpa sosok pria dewasa atau banyaknya saudara. Orang tua dengan locus of control internal ditemukan lebih suportif, mau memberi pujian jika anak berprestasi, konsisten, dan tidak otoriter (Schultz & Schultz, 2009). C. MAHASISWA DAN TUGAS BERBASIS KELOMPOK Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa adalah individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setara dengan perguruan tinggi (Siswoyo, 2007). Mahasiswa berada di tahap remaja akhir dengan rentang usia 18 tahun sampai 25 tahun (Winkel, 1997). Salah satu tugas mahasiswa adalah mengerjakan tugas. Tugas dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang diberikan oleh dosen dan harus dilakukan oleh mahasiswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Menurut Sudjana (2001), tugas dapat berupa tugas individual atau tugas kelompok. Tugas kelompok digunakan dalam perkuliahan untuk membantu mahasiswa dalam mengerjakan tugas yang memerlukan banyak tenaga dan ide. Davies (2009) memaparkan bahwa tugas kelompok yang efektif akan memberikan keuntungan sebagai berikut: a. Tugas kelompok memperdalam cara belajar mahasiswa. b. Mahasiswa didorong untuk menjadi pelajar yang aktif. c. Mahasiswa belajar untuk lebih kooperatif dan kolaboratif.

13 23 d. Tugas kelompok bisa mendorong mahasiswa dalam problem-basedlearning. e. Menjadi pengalaman mahasiswa saat bekerja dan berkarir. f. Menjadi alternatif dalam mengatasi jumlah siswa yang banyak dan menghemat waktu di kelas. g. Memberikan kemampuan yang berguna di pekerjaan seperti kerja sama, kepemimpinan, project management skills, dan komunikasi. h. Mencegah mahasiswa merasa terasing dalam lingkungan belajar yang ramai. i. Membantu siswa satu sama lain untuk bertukar pendapat dan menghasilkan ide-ide baru. D. Hubungan antara locus of control dengan social loafing mahasiswa pada tugas berbasis kelompok. Salah satu faktor yang mempengaruhi social loafing adalah achievement motivation. Menurut Hart, Karau, Stasson & Kerr (2004), siswa yang memiliki achievement motivation yang rendah cenderung melakukan social loafing disaat mereka yakin kelompok akan tetap bisa menyelesaikan tugas meskipun dia tidak memberikan usaha yang terbaik. Siswa dengan low achievement motivation melakukan loafing bila melihat performa rekan kelompoknya tinggi. Berlawanan dengan siswa dengan achievement motivation yang rendah, siswa yang memiliki achievement motivation yang tinggi tidak akan melakukan social loafing. Mereka bisa menahan

14 24 kecenderungan untuk loafing dan tetap bekerja dengan baik dalam tugas yang kolektif meskipun rekan sekelompoknya juga memiliki performa yang tinggi. Penelitian oleh Fini dan Yousefzadeh (2011) menemukan bahwa siswa dengan achievement motivation yang rendah cenderung memiliki locus of control eksternal. Hal ini dikarenakan siswa dengan locus of control eksternal menganggap nasib ataupun keberuntungan yang bertanggung jawab atas perilaku mereka. Mereka percaya bahwa keberhasilan atau kesukesan mereka berada di luar kendali diri mereka. Menurut Ghonsooly & Rezvani (2011), locus of control adalah faktor psikologis yang sangat mempengaruhi motivasi seseorang. Rotter mendefinisikan locus of control sebagai keyakinan individu tentang sumber penguatan (reinforcers) seseorang yang berasal dari tindakan mereka sendiri atau bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh lain di luar kendali diri mereka (Schultz & Schultz, 2009). Rotter membagi keyakinan individu tersebut kedalam dua kelompok, yaitu individu yang percaya bahwa kejadian dalam hidupnya merupakan hasil dari perilakunya, dinamakan dengan locus of control internal, dan individu yang percaya bahwa kejadian di dalam hidupnya terjadi di luar kendali dirinya melainkan karena faktor-faktor lain seperti nasib dan keberuntung, dinamakan dengan locus of control eksternal. Individu dengan kecenderungan locus of control internal meyakini bahwa suatu kejadian merupakan hasil dari perilakunya sendiri (Rotter, 1966). Mereka cenderung mudah beradaptasi, memiliki kontrol diri yang

15 25 baik, inisiatif yang tinggi dalam mencapai tujuan, dan bertanggung jawab pada perbuatan mereka. Siswa dengan locus of control eksternal memiliki prestasi akademis yang lebih baik (Kader, 2014; Mathur, 2014) dan enggan melakukan moral disengagement (Cory, Reeves, & Martinez, 2015). Karakteristik ini tentu diperlukan untuk menghindari terjadinya social loafing. Sedangkan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal percaya bahwa semua kejadian yang terjadi pada dirinya bukan karena perilaku mereka sendiri melainkan nasib, keberuntungan, kesempatan, dan pengaruh lain di luar kendali mereka (Rotter, 1966; Schults & Schultz, 2009). Mereka juga lebih cenderung melakukan moral disengagement dibandingkan individu dengan locus of control internal (Cory, Reeves, & Martinez, 2015). Berdasarkan uraian tersebut, diasumsikan individu dengan locus of control eksternal yang akan lebih cenderung melakukan social loafing. E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka peneliti memiliki hipotesa bahwa terdapat hubungan positif antara locus of control dengan social loafing mahasiswa pada tugas berbasis kelompok.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penggunaan tugas kelompok semakin populer dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penggunaan tugas kelompok semakin populer dalam dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan tugas kelompok semakin populer dalam dunia perkuliahan. Tugas kelompok telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, baik untuk dosen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diteliti, yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diteliti, yaitu: BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diteliti, yaitu: 1. Variabel bebas : locus of control, terbagi dua yaitu locus of control internal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual (Knopfemacher, 1978). Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SOCIAL LOAFING 1. Pengertian Social loafing Social loafing merupakan pengurangan kinerja individu selama bekerja sama dengan kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri (Latane,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYESUAIAN DIRI 1. Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri merupakan istilah yang digunakan para psikolog, dimana sebelumnya konsep ini merupakan konsep biologis yang disebut

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma (2015), mengerjakan tugas merupakan sebuah bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkuliahan merupakan sebuah proses yang tidak dapat dipisahkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Perkuliahan merupakan sebuah proses yang tidak dapat dipisahkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkuliahan merupakan sebuah proses yang tidak dapat dipisahkan dengan adanya tugas. Mengerjakan tugas merupakan sebuah bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tugas merupakan suatu hal yang sangat dekat dengan perkuliahan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tugas merupakan suatu hal yang sangat dekat dengan perkuliahan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tugas merupakan suatu hal yang sangat dekat dengan perkuliahan dan merupakan bagian yang tidak bisa di pisahkan dalam proses pembelajaran di dunia perkuliahan, tugas

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Untuk mengembangkan dirinya, mahasiswa tidak hanya bisa memanfaatkan ruang kuliah

Bab I Pendahuluan. Untuk mengembangkan dirinya, mahasiswa tidak hanya bisa memanfaatkan ruang kuliah Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah seorang yang sedang menuntut ilmu di tingkat Perguruan Tinggi. Untuk mengembangkan dirinya, mahasiswa tidak hanya bisa memanfaatkan ruang kuliah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PEMALASAN SOSIAL DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK. S K R I P S I Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

HUBUNGAN ANTARA PEMALASAN SOSIAL DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK. S K R I P S I Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 HUBUNGAN ANTARA PEMALASAN SOSIAL DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK S K R I P S I Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh : DANU UTOMO F 100 060 039 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali BAB II LANDASAN TEORI A. Internal Locus Of Control 1. Definisi Internal Locus of Control Locus of control adalah tingkat di mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat merealisasikan dan mewujudkan suatu tujuan pendidikan nasional. Perguruan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat merealisasikan dan mewujudkan suatu tujuan pendidikan nasional. Perguruan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang diharapkan dapat merealisasikan dan mewujudkan suatu tujuan pendidikan nasional. Perguruan tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kebanyakan orang percaya bahwa jika suatu pekerjaan dikerjakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kebanyakan orang percaya bahwa jika suatu pekerjaan dikerjakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebanyakan orang percaya bahwa jika suatu pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama akan memudahkan pekerjaan atau tugas yang sedang dikerjakan tersebut cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kondisi organisasi, namun sebuah sistem pengendalian tertentu hanya efektif BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Kontijensi Teori kontijensi menyatakan bahwa tidak ada rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berada dalam sebuah kelompok dan membangun interaksi didalamnya sering dilakukan setiap individu. Melalui kelompok, individu bisa membangun interaksi, hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mendukung perkembangan dan pembangunan negara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Locus Of Control 2.1.1. Pengertian Locus Of Control Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Antara..., Indah Siti Rachmadani, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Antara..., Indah Siti Rachmadani, FPSI UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Kepuasan kerja adalah variabel sikap yang merefleksikan bagaimana perasaan evaluatif individu mengenai pekerjaannya, baik secara keseluruhan maupun dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Namun, pendidikan di sekolah sampai

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Namun, pendidikan di sekolah sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa adalah manusia berpotensi yang layak dikembangkan untuk mencapai kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Namun, pendidikan di sekolah sampai saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsep Diri Istilah konsep diri biasanya mengarah kepada sebuah pembentukan konsep pribadi dari diri seseorang. Secara umum konsep diri adalah pandangan dan sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang individu dapat dikatakan menginjak masa dewasa awal ketika mencapai usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu mengalami

Lebih terperinci

BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Path-goal theory menjelaskan dampak gaya kepemimpinan pada motivasi

BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Path-goal theory menjelaskan dampak gaya kepemimpinan pada motivasi BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Path Goal Theory Path-goal theory menjelaskan dampak gaya kepemimpinan pada motivasi bawahan, kepuasan dan kinerjanya (Luthans, 2006) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih

BAB II LANDASAN TEORI. individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih BAB II LANDASAN TEORI Penelitian ini akan membahas hubungan antara elemen faktor budaya individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih dahulu akan membahas tentang toleransi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi merupakan salah satu wadah bagi mahasiswa untuk dapat melatih tanggungjawab, belajar bekerjasama dan mengembangkan soft skill yang dimiliki. Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih efisien dan efektif melalui tindakan individu-individu atau kelompok

BAB I PENDAHULUAN. lebih efisien dan efektif melalui tindakan individu-individu atau kelompok 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Aspek yang paling penting dalam setiap organisasi atau perusahaan adalah Sumber Daya Manusia, dimana aspek ini dapat membawa dampak yang paling signifikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya jumlah lembaga pendidikan yang ada di Indonesia baik negeri maupun

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya jumlah lembaga pendidikan yang ada di Indonesia baik negeri maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan dalam dunia pendidikan saat ini semakin kompetitif, tidak terkecuali persaingan dalam peningkatan kualitas di Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, LOCUS OF CONTROL, DAN PENERAPAN SISTEM INFORMASI TERHADAP KINERJA APARAT

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, LOCUS OF CONTROL, DAN PENERAPAN SISTEM INFORMASI TERHADAP KINERJA APARAT PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, LOCUS OF CONTROL, DAN PENERAPAN SISTEM INFORMASI TERHADAP KINERJA APARAT UNIT-UNIT PELAYANAN PUBLIK (Survey Pada Badan Pelayanan Terpadu di Kabupaten Sragen). Diajukan Sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Pada masa saat ini, politik tidak hanya dijumpai dalam kegiatan negara tetapi juga dapat ditemukan saat bekerja. Politik seringkali mempunyai pandangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. hasil penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori, konsep,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. hasil penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori, konsep, BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada Bab II ini akan memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta, hasil penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori, konsep, atau pendekatan terbaru yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemajuan sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemajuan sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, kompetisi global dan perdagangan bebas menuntut sumber daya manusia yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. melihat pengaruh locus of control terhadap proses pengambilan keputusan manager

BAB V PENUTUP. melihat pengaruh locus of control terhadap proses pengambilan keputusan manager BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan untuk melihat pengaruh locus of control terhadap proses pengambilan keputusan manager dan pemilik pada distro

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. suatu hal yang dipastikan memberikan kontribusi terhadap kualitas kinerja pada

BAB 2 LANDASAN TEORI. suatu hal yang dipastikan memberikan kontribusi terhadap kualitas kinerja pada BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Locus of Control 2.1.1.1 Definisi Locus of Control Locus of control menurut Rotter (dikutip Suwarsi & Budianti, 2009) adalah suatu hal yang dipastikan

Lebih terperinci

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Anda mungkin memiliki banyak pengalaman bekerja dalam kelompok, seperti halnya tugas kelompok, tim olahraga dan lain sebagainya. Kelompok kerja merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Locus of Control 2.1.1 Definisi Locus of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap orang pasti pernah mengalami masalah yang menjadi tekanan di

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap orang pasti pernah mengalami masalah yang menjadi tekanan di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang pasti pernah mengalami masalah yang menjadi tekanan di dalam hidup dan situasi seperti ini dapat menimbulkan stres. Lazarus & Folkman (1984) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mahasiswa 1. Pengertian Mahasiswa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia dalam kehidupannya bisa menghadapi masalah berupa tantangan, tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar. Setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. A. Kepuasan Kerja Pada bagian ini akan diuraikan mengenai definisi kepuasan kerja, pendekatan kepuasan kerja, teori kepuasan kerja, faktor-faktor penentu kepuasan kerja, serta

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. self-regulated learning dapat dikatakan berlangsung bila peserta didik secara

BAB II LANDASAN TEORI. self-regulated learning dapat dikatakan berlangsung bila peserta didik secara BAB II LANDASAN TEORI A. SELF REGULATED LEARNING 1. Pengertian Self-Regulated Learning Zimmerman (dalam Schunk & Zimmerman, 1998) mengatakan bahwa self-regulated learning dapat dikatakan berlangsung bila

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir Crites (dalam Salami, 2008) menyatakan bahwa kematangan karir sebagai sejauh mana individu dapat menguasai tugas-tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Niat Berwirausaha Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin maju menuntut masyarakat untuk semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah satu tujuan seseorang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Self-Efficacy Self-Efficacy merupakan penilaian orang tentang kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah akuntan publik 1016 orang. Jumlah ini meningkat pesat

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah akuntan publik 1016 orang. Jumlah ini meningkat pesat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan KAP (Kantor Akuntan Publik) meningkat pesat. Hal ini diperkuat dari penghitungan yang dilakukan IAPI (Ikatan Akuntan Publik Indonesia) pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004) 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Konsep Teoritis 1. Aspek Psikososial Remaja Masa remaja merupakaan masa dimana remaja mencari identitas, dan dalam proses pencarian identitas tersebut tugas utama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Keselamatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Keselamatan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Keselamatan 1. Pengertian Perilaku Keselamatan Menurut Heinrich (1980) perilaku keselamatan atau yang disebutnya perilaku aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Weitz, Sujan dan Sujan (1986) mendefinisikan adaptive selling sebagai:

BAB II LANDASAN TEORI. Weitz, Sujan dan Sujan (1986) mendefinisikan adaptive selling sebagai: BAB II LANDASAN TEORI A. Adaptive Selling 1. Pengertian Adaptive Selling Weitz, Sujan dan Sujan (1986) mendefinisikan adaptive selling sebagai: The altering of sales behaviour during a customer interaction

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada. umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran laporan

BABI PENDAHULUAN. Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada. umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran laporan BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran laporan keuangan perusahaan yang

Lebih terperinci

Interpersonal Communication Skill

Interpersonal Communication Skill Modul ke: 07 Dra. Fakultas FIKOM Interpersonal Communication Skill Kecerdasan Emosi Tri Diah Cahyowati, Msi. Program Studi Marcomm & Advertising Emotional Equotion (Kecerdasan Emosi) Selama ini, yang namanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbincangan mengenai rendahnya mutu pendidikan di Indonesia bukanlah hal

BAB I PENDAHULUAN. Perbincangan mengenai rendahnya mutu pendidikan di Indonesia bukanlah hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbincangan mengenai rendahnya mutu pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang baru lagi, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Kualitas pendidikan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat beberapa komponen yang saling terkait. Adapun komponenkomponen

BAB I PENDAHULUAN. terdapat beberapa komponen yang saling terkait. Adapun komponenkomponen 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sekolah merupakan sebuah intitusi pendidikan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang saling terkait. Adapun komponenkomponen tersebut ialah kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif. impulsif sebagai a consumers tendency to buy spontaneusly, immediately and

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif. impulsif sebagai a consumers tendency to buy spontaneusly, immediately and BAB II LANDASAN TEORI A. KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif Rook dan Fisher (dalam Semuel, 2007), mendefinisikan sifat pembelian impulsif sebagai a consumers

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi 1. Defenisi Motivasi Pintrich & Schunk (2002) mendefenisikan motivasi sebagai proses yang mengarahkan pada suatu tujuan, yang melibatkan adanya aktivitas dan berkelanjutan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Ruky (2001) menyebutkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Ruky (2001) menyebutkan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Kinerja karyawan Kinerja karyawan adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perusahaan. Menurut Handoko (2001)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Locus of Control 2.1.1 Definisi Locus of Control Istilah locus of control muncul dalam teori social learning Rotter yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah penulisan tugas akhir (Iswidharmanjaya, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. adalah penulisan tugas akhir (Iswidharmanjaya, 2006). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa adalah orang yang belajar di sekolah tingkat perguruan tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian tingkat sarjana (Budiman, 2006). Syarat lulus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dan tugas akhir yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dan tugas akhir yang biasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang yang memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya sebagai mahasiswa di salah satu universitas pasti memiliki tujuan yang sama yaitu mendapatkan gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mega Sri Purwanida, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mega Sri Purwanida, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu periode dalam rentang kehidupan individu, masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang disebut juga masa transisi. Siswa SMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bentuk tindakan negatif yang dilakukan oleh pelajar dalam proses pembelajaran adalah menyontek. Menyontek merupakan salah satu perbuatan curang dalam dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) 1. Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational citizenship behavior (OCB) merupakan perilaku yang ada didalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992). BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 30 3. METODE PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara ketidakpuasan akan bentuk tubuh dengan locus of control pada remaja wanita di Jakarta. Untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari hadirnya tekanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari hadirnya tekanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari hadirnya tekanan atau biasa disebut dengan stres, stres bisa hadir dalam keluarga, lingkungan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai hal yang tidak terhindarkan dan terjadi dimana pun mereka

BAB I PENDAHULUAN. sebagai hal yang tidak terhindarkan dan terjadi dimana pun mereka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas dari kehidupan berkelompok. Keanggotaan manusia pada suatu kelompok sebagai hal yang tidak terhindarkan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu komponen yang dapat membantu perkembangan diri individu adalah pendidikan. Melalui pendidikan individu diharapkan bisa mengarahkan dirinya dalam

Lebih terperinci

TORELANSI TERHADAP PEMALASAN SOSIAL: PERAN DIMENSI BUDAYA INDIVIDUALISME-KOLEKTIVISME Santa Vinensia Samosir* Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

TORELANSI TERHADAP PEMALASAN SOSIAL: PERAN DIMENSI BUDAYA INDIVIDUALISME-KOLEKTIVISME Santa Vinensia Samosir* Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 1, hal. 15-24 15 TORELANSI TERHADAP PEMALASAN SOSIAL: PERAN DIMENSI BUDAYA INDIVIDUALISME-KOLEKTIVISME Santa Vinensia Samosir* Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Di dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor LSM di Indonesia kini tengah menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini termasuk perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan dilaksanakannya pendidikan formal. Dilihat berdasarkan prosesnya pendidikan formal dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan akhiran crastinus yang berarti keputusan hari esok. Jika

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan akhiran crastinus yang berarti keputusan hari esok. Jika BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Prokrastinasi Akademik 1. Pengertian Prokrastinasi Akademik Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastination dengan awalan pro yang berarti mendorong maju atau bergerak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Motivasi berasal dari kata latin motivus yang artinya : sebab, alasan, dasar,

BAB II LANDASAN TEORI. Motivasi berasal dari kata latin motivus yang artinya : sebab, alasan, dasar, BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin motivus yang artinya : sebab, alasan, dasar, pikiran dasar, dorongan bagi seseorang untuk berbuat; atau ide pokok yang selalu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya, organisasi biasanya berusaha meningkatkan produktifitas, kemampuan berinovasi, dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting dalam keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Manusia, dalam hal ini karyawan adalah aset utama yang

Lebih terperinci

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN LOCUS OF CONTROL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN LOCUS OF CONTROL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN LOCUS OF CONTROL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI ( Survey pada Rumah Sakit Negeri dan Swasta di Kabupaten Kendal ) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan salah satu bentuk organisasi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan tingkat dasar. Sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982; BAB II LANDASAN TEORI A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi dapat didefenisikan dengan dua cara yang amat berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia usaha dan industri tidak lepas dari adanya unsur manusia. Apa pun bentuk dan kegiatan suatu organisasi, manusia selalu memainkan peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar perusahaan semakin meningkat, dan masalah yang dihadapi semakin UKDW

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar perusahaan semakin meningkat, dan masalah yang dihadapi semakin UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini perkembangan dunia usaha yang semakin pesat mengakibatkan persaingan antar perusahaan semakin meningkat, dan masalah yang dihadapi semakin kompleks. Hal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.A. Penyesuaian Diri terhadap Pensiun II.A.1. Penyesuaian diri Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang kontinu dengan diri

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Flow Akademik 1. Definisi Flow Akademik Menurut Bakker (2005), flow adalah suatu keadaan sadar dimana individu menjadi benar-benar tenggelam dalam suatu kegiatan, dan menikmatinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. yang dikemukakan oleh Edwin Locke pada tahun Teori ini menegaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. yang dikemukakan oleh Edwin Locke pada tahun Teori ini menegaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Konsep Teoritis 1. Pengertian Penetapan Tujuan (goal orientation) Teori orientasi tujuan (goal orientation) merupakan bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh

Lebih terperinci

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan jalur pendidikan formal yang berfungsi untuk mendidik, mengajar dan melatih siswa mempersiapkan dirinya di masa yang akan datang. Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Contoh peran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun. Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational citizenship behavior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan aset paling penting bagi sebuah perusahaan. Ketatnya persaingan global menuntut perusahaan harus mampu bertahan dan tampil

Lebih terperinci