4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Stasiun Pengamatan Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan pada tiga stasiun yakni laut, saluran kali Buaya dan tambak dimana masing-masing stasiun terdiri atas 6 substasiun. Stasiun laut terletak di perairan pesisir pantai Holtekam, merupakan lekukan pantai di dalam Teluk Yos Sudarso yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Sebelah timur pesisir Holtekam dibatasi oleh sebuah tanjung yang menghalangi hempasan gelombang secara langsung dari Samudera Pasifik. Bagian depan perairan Holtekam terdapat dua pulau karang yang dikelilingi oleh terumbu karang, namun kondisinya sudah rusak akibat aktivitas masyarakat dan sedimentasi. Lebar pantai pada saat surut sekitar 150 m, dan jarak perairan dengan daratan sekitar 10 m. Topografi pantai landai dengan kemiringan pantai antara 1-3% dengan rata-rata 2%. Perairan ini mempunyai substrat pasir dan merupakan tempat bermuara kali Buaya. Pola arus pada saat pasang dari arah Timur Laut ke arah Barat Daya menyusur pantai menuju Teluk Yotefa dan pada saat surut arah arus kembali menuju arah timur laut. Saluran kali Buaya merupakan sungai kecil dengan lebar di daerah muara ±60 m, namun lebar mulut muara menyempit akibat pembuatan jembatan menjadi ±16 m. Di sepanjang pinggiran sungai ditumbuhi oleh mangrove yang didominasi oleh Rhizophora sp. dan Sonneratia sp. Lebar sungai ke arah hulu semakin menyempit dan pada sub stasiun 3 lebar sungainya ±30 m (daerah basah). Substrat dasar pada daerah dekat muara adalah pasir sedangkan di daerah hulu mempunyai substrat lumpur. Stasiun tambak merupakan areal pertambakan yang terletak di sepanjang pesisir pantai Holtekam di sebelah kiri-kanan Kali Buaya, namun sebagian besar areal tambak terletak di sebelah kiri. Suplai air dari Kali Buaya ke tambak melalui saluran sekunder dengan lebar 5-10 m. Saluran ini berfungsi mensuplai air tambak sekaligus sebagai saluran pembuangan tambak pada saat panen. Kedalaman air pelataran tambak berkisar antara cm, sedangkan pada saluran keliling (caren) berkisar antara cm. Kawasan hutan mangrove yang masih utuh masih dapat dijumpai di antara areal tambak.

2 Karakteristik Parameter Kualitas Air Hasil pengamatan parameter kualitas perairan tambak, saluran Kali Buaya dan laut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Nilai rata-rata konsentrasi parameter kualitas air perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut pesisir Holtekam Kota Jayapura No. Parametereter Stasiun Baku Satuan Kualitas Air Tambak (n = 6) Saluran (n = 6) Laut (n = 6) Mutu 1 Suhu (⁰C) ± ± ± * 2 KCRH (cm) 24 ± ± ± >5* 3 KKRH NTU 3 ± ± ± 0.71 <5* 4 TSS mg/l ± ± ± * 5 K. Ars m/det 0.04 ± ± ± Salinitas 10.5 ± ± ± *, 7 ph ± ± ± * 8 DO mg/l 4.47 ± ± ± 0.10 >5* 9 BOD5 mg/l 3.28 ± ± ± * 10 COD mg/l ± ± ± 6.65 <20** 11 Nitrat mg/l ± ± ± * 12 Nitrit mg/l ± ± ± ** 13 N-Total mg/l ± ± ± * 14 PO4-P mg/l 2.08 ± ± ± * 15 TOM mg/l 3.86 ± ± ± * Baku Mutu kualitas air berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 ** UNESCO/WHO/UNEP (1992) Suhu dan Salinitas Hasil pengamatan rata-rata suhu permukaan perairan (Tabel 2) pada kawasan tambak 31.27⁰C, saluran Kali Buaya 31.27⁰C dan perairan laut 28⁰C hingga 31.1⁰C. Kisaran suhu yang tidak terlalu besar selama pengamatan menunjukkan suhu perairan pada ketiga stasiun tersebut relatif stabil. Kisaran suhu permukaan pada ketiga stasiun pengamatan masih dalam kategori baik untuk untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup biota perairan (Poernomo 1992; KLH 2004). Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme perairan, serta peningkatan dekomposisi

3 37 bahan organik oleh mikroba sehingga konsumsi oksigen akan meningkat (Effendi 2000). Peningkatan suhu perairan sekitar 10 o C menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme perairan 2 3 kali lipat. Sebaliknya dengan meningkatnya suhu, konsentrasi oksigen terlarut akan menurun. Hasil pengukuran salinitas dari ketiga stasiun pengamatan berkisar antara Salinitas pada tambak berkisar antara 5-17, saluran kali Buaya berkisar antara 5-25 dan salinitas perairan Laut berkisar antara (Tabel 2). Salinitas Saluran kali Buaya fluktuasinya dipengaruhi oleh masukan air tawar dari saluran irigasi dan masukan air laut pada saat terjadi pasang (Effendi 2000). Proses percampuran air laut dan air tawar secara alami pada saat terjadi pasang memberikan kondisi yang cocok bagi kelangsungan hidup biota budidaya. Pada saat pasang, air laut yang masuk ke saluran kali Buaya akan meningkat sehingga salinitas akan meningkat, dan pada saat surut maka suplai air tawar akan lebih besar terutama di daerah hulu saluran sehingga salinitas akan menurun. Salinitas perairan tambak relatif lebih rendah pada tambak yang jauh dari saluran kali Buaya atau yang berada di daerah hulu karena lebih dipengaruhi oleh masukan air tawar terutama pada saat musim hujan Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam kolom air. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya proses fotosintesa. Hasil pengamatan tingkat kecerahan perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing berkisar antara 23 25%, 15 5%, dan %. Tingkat kecerahan pada perairan tambak dan saluran kali Buaya relatif lebih rendah karena kedalaman tambak dan saluran relatif dangkal. Tingkat kecerahan di tambak dipengaruhi oleh kelimpahan fitoplankton, sementara di saluran dipengaruhi oleh konsentrasi lumpur yang terbawa oleh saluran irigasi sampai di muara. Hal ini nampak di stasiun laut dimana nilai kecerahan secara gradual meningkat. Tingkat kecerahan dari masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.

4 38 Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Perairan yang tingkat kekeruhannya tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga membatasi proses fotosintesa. Kecerahan substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 3. Tingkat kecerahan perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai rata-rata tingkat kekeruhan di perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing adalah 3.0 NTU, 7.02 NTU dan 2.13 NTU (Tabel 2). Tingkat kekeruhan yang di saluran Kali Buaya diduga disebabkan oleh akumulasi buangan bahan organik dan anorganik dari tambak pada saat panen dan lumpur yang terbawa dari saluran irigasi. Hal ini senada dengan pernyataan Davis & Cornwell (1991) in Effendi (2000), bahwa kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut seperti lumpur, pasir halus, plankton dan mikroorganisme lainnya. Perairan yang kekeruhannya disebabkan oleh plankton memberikan indikasi bahwa perairan tersebut subur dan produktifitasnya tinggi. Hasil pengamatan padatan tersuspensi (TSS) menunjukkan nilai rata-rata pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing adalah mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2). Nilai TSS tertinggi di saluran Kali Buaya yakni mg/l. Hasil pengamatan TSS ketiga stasiun ini lebih tinggi dari standar kualitas air yang diisyaratkan yakni <20 mg/l (KLH 2004) dan 50 mg/l Boyd (2003). Hasil pengamatan visual di lapangan pada saat

5 39 dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel menunjukkan bahwa saluran kali Buaya keruh karena lumpur yang terbawa oleh adanya saluran irigasi teknis dimana sumber airnya berasal dari sungai Muaratami yang sepanjang tahun airnya sangat keruh akibat erosi di bagian hulu sungai. Kekeruhan (NTU) , ,8 2,5 8, ,5 2, Substasiun 1 Substasiun 2 Substasiun 3 Substasiun 4 Substasiun 5 Substasiun Tambak Saluran Laut Gambar 4. Tingkat kekeruhan perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Kekeruhan berkaitan erat dan berkorelasi positif dengan TSS. Semakin tinggi TSS maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Hasil pengamatan menunjukkan adanya korelasi positif antara TSS dengan nilai kekeruhan, dimana rata-rata nilai kekeruhan tinggi di saluran Kali Buaya juga ditandai dengan tingginya TSS. Sebaliknya, tingginya konsentrasi TSS di laut tidak selamanya diikuti oleh tingginya kekeruhan (Effendi 2000). Jika padatan tersuspensi adalah bahan organik sebagai akibat buangan limbah lumpur cair (sludge) dari tambak pada saat pemanenan. Kekeruhan akibat lumpur akan mempengaruhi kehidupan organisme perairan. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme membutuhkan banyak oksigen untuk mengoksidasi bahan organik yang ada.

6 40 TSS (mg/l) substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Gambar 5. Padatan tersuspensi (TSS) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Keberadaan lumpur akan menyebabkan tingginya tingkat kekeruhan yang dapat menghambat penetrasi cahaya masuk ke kolom air sehingga menurunkan efisiensi fotosintesa fitoplankton dan tanaman air khususnya lamun (Gacia et al. 2005). Disamping itu, akan mengganggu pernapasan organisme perairan Derajat Keasaman (ph) Tambak Saluran Laut Derajat keasaman (ph) merupakan gambaran seberapa asam atau basa suatu perairan. Hasil pengukuran ph pada ketiga stasiun pengamatan menunjukkan Kisaran rata-rata pada tambak, saluran kali Buaya dan laut masingmasing 7.55, 7.58, dan 8.17 (Tabel 2). Nilai ph ini masih dalam Kisaran yang layak dan stabil (Boyd 2003). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken et al. (1992) bahwa di perairan pesisir ph relatif lebih stabil dan berada dalam Kisaran yang sempit. Pertumbuhan ikan optimal terjadi pada kisaran ph (Poernomo 1988; KLH 2004). Nilai ph berpengaruh terhadap proses biokimiawi perairan (Novotny & Olem 1994 in Effendi 2000). Proses nitrifikasi akan terganggu pada ph rendah, sementara pada ph tinggi toksisitas ammonia meningkat. Proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba berlangsung lebih cepat pada kondisi ph netral dan alkalis (Boyd 1988).

7 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) adalah faktor penting bagi kehidupan biota perairan. Hasil pengukuran oksigen terlarut menunjukkan nilai rata-rata pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut adalah 4.47 mg/l, 4.33 mg/l dan 7.23 mg/l (Gambar 7). Kadar oksigen terlarut pada masing-masing stasiun pengamatan masih berada dalam kisaran yang layak bagi kehidupan organisme (Poernomo 1988) yakni 4 7 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mengganggu kehidupan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen yang rendah 2,1 mg/l mengganggu aktivitas metabolisme bahkan menyebabkan kematian biota perairan. DO (mg/l) ,5 5,1 7,4 7,2 7,2 7,1 7,3 7,2 4,5 4,3 4,3 4,3 4,6 3,5 5,4 4,5 4,5 4,3 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 6. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Penurunan oksigen terlarut di tambak dapat di gunakan untuk menentukan kapasitas menahan beban (holding capacity) terhadap biomassa ikan budidaya dan masukan pakan yakni pada tingkat 1 mg/l pada pagi hari (Sumagaysay & Diego 2003). Sumber oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari difusi akibat pergolakan massa air karena adanya gelombang/ombak, namun sumber utama oksigen di perairan adalah fotosintesa (Tebbut 1992 in Effendi 2000).

8 Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD 5 ) Kebutuhan oksigen biologis (BOD5) merupakan gambaran secara tak langsung konsentrasi bahan organik dalam perairan. BOD 5 menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Boyd 1982; Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000). Hasil pengukuran BOD 5 pada perairan Tambak, Saluran Kali Buaya dan Laut masing masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan nilai rata-rata 3.28 mg/l, 3.15 mg/l dan 4.96 mg/l (Gambar 7). Konsentrasi BOD 5 pada perairan tambak relatif sama yakni rata-rata 3.28 mg/l, sementara pada Saluran Kali Buaya ada kecenderungan semakin ke arah hilir (substasiun 1 dan 2) konsentrasi BOD 5 makin meningkat sampai di Laut. Nilai BOD 5 yang tinggi ditemukan pada pada semua substasiun laut (substasiun 1-6) dimana rata-rata nilai BOD 5 yang terukur adalah 4.96 mg/l. BOD 5 (mg/l) 6 5 4,92 4,86 4,76 4,15 4,24 3,99 4 3,05 3,05 3 2, ,10 5,26 4,84 3,68 3,18 3,203,05 2,33 2,33 0 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 7. Kebutuhan oksigen biologis (BOD 5 ) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai konsentrasi BOD 5 di muara dan laut lebih tinggi dibandingkan di Tambak, diduga karena pada perairan muara dan laut merupakan tempat terkonsentrasinya bahan organik dari tambak dan saluran kali Buaya. Nilai BOD 5 dari ketiga stasiun pengamatan masih berada dalam kondisi yang layak. Perairan alami memiliki nilai BOD 5 antara mg/l. Perairan dengan nilai BOD 5

9 43 lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2000) sedangkan batas konsentrasi BOD 5 pada tingkat maksimum buangan limbah adalah 30 mg/l (Boyd & Gautier 2000 in Boyd 2003) Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand, COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik, baik yang bisa terdegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar terdegradasi secara biologis (nonbiodegradable), menjadi CO 2 dan H 2 O (Boyd 1988). Konsentrasi COD pada stasiun Tambak, Saluran Kali Buaya dan Laut masing-masing berkisar antara mg/l, mg/l dan mg/l dengan rata-rata mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2, Gambar 8). COD (mg/l)) ,5 11,5 23,4 26,9 19,2 11,2 7,7 8,4 11,2 11,2 37,2 38,4 38,9 15,4 10,5 7,7 8,4 36,4 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 8. Konsentrasi kebutuhan oksigen kimiawi (COD) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai konsentrasi COD yang pada perairan laut lebih tinggi dibanding nilai COD pada perairan tambak dan saluran kali Buaya. Hal ini memberikan indikasi adanya sejumlah bahan organik terlarut yang relatif tinggi pada perairan laut. Nilai COD di perairan yang tidak tercemar biasanya <20 mg/l, sedangkan di perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/l (WHO 1992 in Effendi 2000).

10 Nitrogen (NO 3, NO 2, N-Total) Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan senyawa bentuk lain. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur melalui proses amonifikasi. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (urea dan protein) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air. Nitrit (NO 2 ) merupakan produk nitrifikasi ammonia yang relatif beracun terhadap biota perairan apabila berada dalam konsentrasi yang tinggi. Hasil pengamatan konsentrasi nitrogen dalam bentuk NO 2 pada stasiun tambak, saluran Kali Buaya dan laut menunjukkan rata-rata kisaran mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2). (mg/l)) 0,0025 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 NO 2 0,0015 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0, substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Gambar 9. Konsentrasi nitrit (NO 2 ) pada perairan tambak, saluran Kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Konsentrasi NO 2 ini masih dalam Kisaran yang layak bagi biota perairan, dimana masih lebih rendah dari persyaratan kualitas air tambak udang yakni 0.25 mg/l (Poernomo 1992). Perairan alami umumnya mengandung NO 2 sebesar mg/l dan sebaiknya tidak lebih dari 0.06 mg/l. Konsentrasi NO 2 sebesar 6.4 mg/l dapat menghambat laju pertumbuhan udang putih (Penaeus indicus) sebanyak 50% (Poernomo 1988). Tambak Saluran Laut

11 45 Nitrat (NO 3 ) merupakan produk akhir dari proses nitrifikasi sebagai sumber unsur N yang esensial bagi pertumbuhan fitoplankton dan tanaman air. Hasil pengamatan konsentrasi NO 3 pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut menunjukkan Kisaran nilai rata-rata masing-masing mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2; Gambar 10). Nilai konsentrasi NO 3 dari hasil pengamatan masih dalam kategori baik jika dihubungkan dengan konsentrasi NO 3 yang dipersyaratkan untuk kehidupan biota laut yaitu mg/l (KLH 2004). (mg/l)) NO 3 0,0045 0,004 0,0035 0,003 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0, ,004 0,003 0,003 0,003 0,003 0,002 0,002 0,002 0,001 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,001 0,001 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 10. Konsentrasi nitrat (NO 3 ) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Hasil pengukuran konsentrasi N-total pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan nilai rata-rata 0.28 mg/l, 1.29 mg/l dan 4.19 mg/l (Tabel 2). Nilai N-total secara gradual meningkat dari tambak, saluran kali Buaya dan laut. Nilai N-total cukup tinggi terutama terdapat pada dua substasiun di perairan muara saluran kali Buaya dan laut. Kondisi ini diduga berkaitan dengan perilaku nitrogen yang mudah larut dalam air. Sebagai contoh ion nitrat yang bermuatan negatif bersifat lebih mobile sehingga jika tidak di manfaatkan oleh produser primer akan mudah larut dalam air. Hal sebaliknya terjadi pada

12 46 konsentrasi fosfat, dimana sangat mudah mengalami sedimentasi. N-total yang terukur masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan biota perairan, berdasarkan rekomendasi standar kualitas air limbah untuk udang oleh Boyd dan Gautier (2000) in Boyd (2003) yakni 5 mg/l. (mg/l)) N-Total 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 4,611 4,554 4,524 4,152 3,835 3,812 3,794 2,721 0,102 0,401 0,412 0,255 0,401 0,382 0,101 0,102 0,253 0,106 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 11. Konsentrasi N- total pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura Fosfat (PO 4 -P) Fosfat merupakan komponen yang penting bagi kesuburan perairan. Fosfat yang diserap oleh organisme nabati dalam bentuk ortophosphat yang merepresentasikan nutrien fosfor (P) terlarut dan merupakan bioavailable phosphorus. Hasil pengukuran PO4-P pada perairan tambak, saluran Kali Buaya dan laut masing-masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan rata-rata 2.08 mg/l, 1.33 mg/l dan 0.81 mg/l. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa konsentrasi fosfat lebih tinggi dari konsentrasi fosfat pada perairan alami yang berkisar mg/l, sedang pada air tanah sekitar 0.02 mg/l. Konsentrasi fosfat pada perairan alami jarang melebihi dari 1 mg/l (Boyd 1998). Konsentrasi fosfat pada perairan tambak lebih tinggi dari saluran dan laut, diduga karena tambak di pupuk dengan pupuk fosfat secara berkala untuk menumbuhkan lumut, klekap dan plankton. Penurunan konsentrasi fosfat

13 47 secara gradual mulai dari tambak, saluran Kali Buaya dan laut diduga sebagai akibat dari adanya sedimentasi fosfat. Pelarutan senyawa fosfat berlangsung lambat karena terikat oleh kalsium, besi oksida dan aluminium oksida (Balzer 1986 in Erftemeijer & Middelburg 1993). Konsentrasi fosfat dalam kolom air pada saluran kali Buaya dan laut relatif lebih rendah, namun masih lebih tinggi dari konsentrasi fosfat air laut yang di persyaratkan untuk kehidupan biota laut adalah mg/l (KLH 2004). Fosfat diperlukan bagi kegiatan budidaya tambak tradisional untuk menumbuhkan klekap, plankton dan makrofita sebagai pakan alami ikan. PO 4 - P (mg/l)) 3,00 2,50 2,50 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 0,50 0,50 0,50 0,10 1,50 2,50 2,50 2,50 2,50 1,00 1,00 1,00 0,50 0,45 0,40 0,50 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 12. Konsentrasi Fosfat (PO 4 -P) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura Bahan Organik Total (TOM) Bahan organik total (total organic matter, TOM) merupakan jumlah total bahan organik yang terlarut dalam air. Hasil pengukuran konsentrasi TOM di perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan nilai rata-rata adalah 3.86 mg/l, 9.76 mg/l dan mg/l (Gambar 13). Peningkatan TOM terjadi secara gradual mulai dari tambak, saluran kali Buaya dan laut. Hal ini menunjukkan bahwa buangan limbah bahan organik dari Tambak yang dialirkan melalui saluran kali Buaya masuk ke perairan laut. Tingginya nilai TOM di laut juga diikuti dengan tingginya konsentrasi BOD 5, TSS dan COD dan N-Total. Hal ini senada

14 48 dengan pernyataan Barg (1992) bahwa limbah nutrien dan bahan organik baik dalam bentuk terlarut maupun partikel, umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan TSS, BOD, COD dan konsentrasi N, dan P. Hasil pengukuran konsentrasi TOM dari masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13. TO M 30(mg/l)) , ,4 6,32 17, ,5 3,54 2,52 2,21 25,3 23,1 8,64 6,32 3,79 4,76 26,5 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 13. Konsentrasi bahan organik total (TOM) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai konsentrasi TOM di atas 26 mg/l tergolong subur. Kondisi ini cocok untuk tambak tradisional, namun tidak cocok untuk tambak intensif karena berpotensi menurunkan kualitas air (Reid 1961 in Utojo 2009). Jika dibandingkan antara konsentrasi TOM pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut memberikan indikasi bahwa tingginya konsentrasi TOM pada perairan laut tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh buangan limbah dari tambak, namun diduga juga berasal dari massa air Teluk Yotefa yang terbawa arus dan masukan saluran irigasi Fitoplankton Untuk analisis kelimpahan fitoplankton dilakukan pengambilan sampel air di tambak, saluran kali Buaya dan laut. Tujuan analisis kelimpahan fitoplankton untuk mengetahui komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton dari ketiga stasiun pengamatan sebagai pengaruh adanya buangan limbah dari kegiatan budidaya tambak. Jenis dan kelimpahan fitoplankton dari ketiga stasiun pada masing-masing substasiun pengamatan cukup fluktuatif. Data jenis

15 49 plankton, kelimpahan dan komposisi jenis, Indeks Keseragaman, Indeks Keanekaragaman dan Indeks Dominansi dari masing-masing stasiun pengamatan dapat di lihat pada Lampiran 3. 12% 11% 8% 22% Thallassiotrix sp. Branchiorus sp. Coscinodiscus sp. Cypridina sp. 47% Chaetoceros sp. 1% 1% 3% 2% 45% 48% Bacillaria sp. Nitzschia sp. Thallassiothrix sp. Navicula sp. Branchiorus sp. Coscinodiscus sp. St. Tambak 1 St. Tambak 2 5% 8% 87% Bacillaria sp. Thallassiotrix sp. Coscinodiscus sp. 14% 70% 16% Nitzschia sp. Coscinodiscus sp. Thallassiothrix sp. St. Tambak 3 St. Tambak 4 11% 5% 3% 2% 79% St. tambak 5 Coscinodiscus sp. Thallassiothrix sp. Nitzschia sp. Chaetoceros sp. Gloeotrichia sp. 1% 8% 91% St. tambak 6 Chaetoceros sp. Nitzschia sp. Coscinodiscus sp. Gambar 14. Komposisi Jenis (%) fitoplankton pada perairan tambak Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Penyebaran jenis fitoplankton pada ketiga stasiun pengamatan tidak merata dan didominasi oleh jenis tertentu. Suatu jenis plankton dikatakan pendominan apabila memiliki komposisi jenis 10% dari total komposisi jenis yang ditemukan. Hasil pengamatan pada stasiun tambak menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton umumnya didominasi oleh kelompok Bacillariophyceae yakni Chaetoceros sp., Thallasiothrix sp. dan Coscinodiscus sp. Komposisi jenis fitoplankton pada setiap substasiun tambak dapat dilihat pada Gambar 14.

16 50 Pada stasiun pengamatan saluran kali Buaya jenis fitoplankton yang mendominasi adalah kelompok Bacillarophyceae, tetapi pada substasiun saluran 3 kelimpahan fitoplankton didominasi oleh plankton air tawar Microspora willeana. Komposisi fitoplankton pada stasiun saluran kali Buaya dapat dilihat pada Gambar 15. 3% 9% 7% 31% 5% 3% 6% 2% 34% St. Saluran 1 Merismopedia sp. Bidullphia sp. Thallassiothrix sp. Nitzchia sp. Aphanizomenon sp. Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Pleurosigma sp. Bacillaria sp. 7% 12% 3% Chaetoceros sp. Thallassiothrix sp. 75% Nitzschia sp. Trichodesmium sp. 3% Distephanus sp. St. Saluran 2 76% 24% St. Saluran 3 Microspora willeana (FW Algae) Mycrocytis aeroeginosa 30% 1% 1% 2% 2% 5% 2% 4% 53% St. Saluran 4 Navicula sp. Microspora willeana (FW) Chaetoceros sp. Bacillaria sp. Thallassiothrix sp. 1% 2%1% 4% Cestum veneris Thallasiothrix sp. Tricodesmium sp. 2% 5% 40% 53% Chaetoceros sp. Naviculla sp. 92% St. Saluran 5 Coscinodiscus sp. Chaetoceros sp. St. Saluran 5 Thallassiothrix sp. Gambar 15. Komposisi Jenis (%) fitoplankton pada saluran kali Buaya Pesisir Holtekam Kota Jayapura.

17 51 Pada stasiun laut, komunitas fitoplankton didominasi oleh kelompok Bacillarophyceae yakni Chaetoceros sp., Coscinodiscuss sp., dan Thallassiothrix sp. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis dan kestabilan komunitas relatif lebih rendah. Komposisi jenis fitoplankton pada stasiun laut dapat dilihat pada Gambar 16. Keberadaan jenis Chaetoceros sp. yang mendominasi kelimpahan jenis fitoplankton pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut, diduga karena jenis ini mampu memanfaatkan nutrien secara optimal serta mampu beradaptasi dengan kondisi fisik kimia perairan yang ada. 2% 3% 3% 5% 87% Thallasiothrix sp. Coscinodiscus sp. Ceratium sp. 34% 7% 2% 57% Chaetoceros sp. Biddulphia sp. Thallassiothrix sp. Coscinodiscus sp. St. Laut 1 St. Laut 2 6% 7%3% 27% 27% 30% Thallassiothrix sp. Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Nitzschia sp. Ceratium sp. Biddulphia sp. 5% 5% 3% 41% 41% 3% 2% Coscinodiscus sp. Thallassiothrix sp. Bacilaria sp. Pleurosigma sp. Chaetoceros sp. Nitzschia sp. Ceratium sp. St. Laut 3 St. Laut 4 4% 6% 6% 5% Thallassiothrix sp. 19% Coscinodiscus sp. Pleurosigma sp. Chaetoceros sp. 60% Biddulphia sp. Melosira sp. St. Laut 5 2%5% 2% Nitzschia sp. 4% 2% Novicula sp. 1% Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Biddulphia sp. Thallassiothrix sp. 84% Ceratium sp. St. Laut 6 Gambar 16. Komposisi Jenis (%) fitoplankton pada perairan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura.

18 52 Hasil pengamatan komposisi jenis fitoplankton pada ketiga stasiun pengamatan, tidak ditemukan adanya dominansi jenis plankton yang merupakan indikator adanya limbah pencemaran. Hal ini menunjukkan bahwa perairan pesisir Holtekam masih berada pada kondisi baik. 5.3 Analisis Spasial Karakteristik Parametereter Kualitas Air Berdasarkan hasil analisis PCA dari nilai-nilai yang diperhitungkan pada variabel yang terukur, maka komponen yang digunakan sebanyak dua komponen yaitu Komponen Utama 1 yang memberikan informasi terbesar dari ragam total setiap stasiun (tanda cetak tebal pada Tabel 5) dan Komponen Utama 2 yang memberikan korelasi nihil dengan komponen utama pertama. Hal ini didasarkan pada nilai eigen (akar ciri) dari kedua komponen ini yang lebih dari 1. Hasil analisis PCA terhadap hubungan variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 4. Total Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2 adalah 62.29%, dimana keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1 sebesar 44.67% sedangkan Komponen Utama 2 sebesar 17.62%. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis variabel parameter kualitas air yang diperbandingkan di antara stasiun pengamatan tambak, saluran kali Buaya dan laut, dapat dilihat pada Gambar 17. Pada substasiun saluran 1 dikarakterisasi oleh kecepatan arus, TSS dan NO 3, sedangkan stasiun laut (substasiun laut 1,2,3,4,5 dan 6) dikarakterisasi oleh TOM, N-Total, DO, BOD 5, COD dan ph. Korelasi dari variable-variabel ini sangat erat dan searah (korelasi positif). Tabel 3 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan parameter kualitas air pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut. Eigen Analisis Komponen Utama 1 2 Eigen value(akar ciri) Ragam (%) Kumulatif (%) Sumber : Hasil analisis data primer (2010)

19 53 Tabel 4 Korelasi antar variabel parameter kualitas air pada stasiun pengamatan tambak, saluran kali Buaya dan laut Variabel Korelasi terhadap Korelasi terhadap Komponen Utama 1 Komponen Utama 2 Suhu Kecerahan Kekeruhan TSS Kec. Arus Salinitas ph DO BOD COD Nitrat Nitrit N-Total PO4-P TOM Fitoplankton Sumber : Hasil analisis data primer (2010) Keterkaitan antara parameter kualitas air dicirikan oleh konsentrasi dari TOM, N-total, DO, BOD 5 dan COD serta ph pada stasiun laut. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai konsentrasi TOM, N-total, DO, BOD 5 COD serta ph pada stasiun laut bukan karena hasil buangan limbah budidaya tambak, namun diduga adanya pengaruh pola arus dimana pada saat surut arus berasal dari Teluk Yotefa yang mana merupakan tempat terkonsentrasinya limbah domestik dari pemukiman disekitarnya. Konsentrasi TOM berkorelasi positif dengan konsentrasi N-total, BOD5, salinitas DO dan COD namun berkorelasi negatif dengan Kekeruhan, kecerahan dan PO 4 -P. Nilai konsentrasi BOD 5, N-total dan COD yang tinggi sebagai indikator bahwa perairan pesisir laut Holtekam mengandung bahan organik (TOM) yang tinggi. Demikian juga dengan konsentrasi N-total yang tinggi dapat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan. Pada stasiun pengamatan tambak dikarakterisasi oleh PO4-P. Sementara itu pada stasiun pengamatan saluran (saluran 2, 3, 4, 5 dan 6) dikarakterisasi oleh kekeruhan dan kecerahan. Korelasi dari kedua variabel ini sangat erat dan dan

20 54 berbanding terbalik dimana semakin tinggi nilai kekeruhan maka nilai kecerahan akan semakin menurun. 1 K. Ars 0,75 KKRH TSS Nitrat Komponen Utama 2 (17.62 %) 0,5 0,25 0-0,25-0,5 PO4-P KCRH Suhu Fito Nitrit ph TOM N-Total Sal COD BOD5 DO -0, ,75-0,5-0,25 0 0,25 0,5 0,75 1 Komponen Utama 1 (44.67 %) 3 Slr 3 Slr 1 Komponen Utama 2 (17.62 %) Slr 4 Slr 5 Slr 2 Slr 6 Laut2 Laut4 Laut1 Laut5 Laut3 Laut6 Tbk1 Tbk3 Tbk4Tbk5 Tbk2 Tbk Komponen Utama 1 (44.67 %) Gambar 17. Hasil analisis PCA keterkaitan antar karakteristik parameter kualitas air dengan stasiun pengamatan tambak, saluran kali Buaya dan laut.

21 Analisis Daya Dukung Perairan Daya dukung diartikan sebagai sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam (Departemen Dalam Negeri 1988 in Bengen et al, 2002). Daya dukung kawasan pesisir untuk pertambakan adalah kemampuan dari kawasan pesisir menghasilkan sejumlah maksimum produksi tambak yang berlangsung terus menerus tanpa merusak sumberdaya kawasan tersebut. Hasil analisis tipe pasang surut di perairan Kota Jayapura termasuk perairan Holtekam (LKL Papua 2008 in Rumbekwan 2010), diperoleh nilai F (Formzahl) sebesar 1.13 yang menunjukkan bahwa tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed semi diurnal). Tipe pasang surut demikian apabila ada limbah, maka dalam waktu kurang dari 24 jam limbah tersebut akan terbilas secara maksimal. Hasil analisis daya dukung kawasan perairan pesisir Holtekam berdasarkan pada volume air laut yang masuk ke perairan pantai untuk kepentingan tambak (Widigdo 2000) dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5 Hasil perhitungan daya dukung (kuantitas air) kawasan perairan Pesisir Holtekam untuk budidaya tambak ikan bandeng Sudut pantai (ө) Panjang pantai (y) (m) o Jarak intake air ke tambak (x) (m) Kisaran pasut (h) (m) Frek. pasut (F) Vol.air pantai (Vo) (m 3 ) Vol. air tersedia (Vs) (m 3 ) Vol. limbah maks. (m 3 ) Vol. tambak maks. (m 3 ) Luas tambak maks. (ha) Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa pasokan air laut yang masuk ke perairan pantai setiap kali pasang adalah m 3. Tipe pasang surut di lokasi penelitian merupakan tipe pasang surut semidiurnal sehingga volume air laut yang tersedia setiap hari adalah m 3. Racocy & Alison (1981) in Widigdo & Pariwono (2003) menyatakan bahwa agar perairan tidak tercemar maka kuantitas air laut penerima limbah minimal 100 kali kuantitas limbah yang dibuang. Dengan demikian, limbah tambak maksimum yang dapat didegradasi atau diasimilasi secara alami sebanyak 1% dari volume air yang tersedia atau m 3 dan volume tambak maksimal adalah 10% dari air tersedia atau

22 m 3. Jika ketinggian air tambak rata-rata 1 m, maka luas tambak maksimal adalah ha. Dengan kata lain maksimal limbah air tambak yang dapat diterima adalah 10% dari air laut yang masuk ke pantai setiap hari. Volume air yang tersedia ini mampu menampung, mengencerkan dan mengasimilasi semua limbah yang masuk dan tidak menyebabkan dampak yang berbahaya. Limbah yang masuk ke perairan pesisir dan laut akan berinteraksi dengan air laut dan menghasilkan perilaku limbah yang khas yang dapat menguap, melarut dan terdispersi (Mukhtasor 2007). Jika asumsi produktivitas tambak intensif yang masih ramah lingkungan 7 ton/mt (Boyd and Musig 1992), maka daya dukung kawasan pesisir holtekam untuk produksi budidaya tambak sebesar ton/mt. Jika diterapkan teknologi budidaya semi intensif dengan tinggi air 0.9 m dan pergantian air 30% setiap 2 minggu maka luas tambak adalah 563 ha. Namun, jika diasumsikan produktivitas budidaya bandeng dengan pola usaha tradisional plus adalah 0.5 ton/ha per musim tanam maka luas lahan tambak berkelanjutan di kawasan pesisir Holtekam adalah ha (Tabel 6). Tabel 6 Daya dukung kawasan pesisir Holtekam terhadap tingkat produksi dan luas areal budidaya tambak maksimal yang dapat dikembangkan Tingkat teknologi Uraian Tradisional Semi Intensif plus intensif Produksi (ton/ha/mt) Daya dukung kawasan (ton) Luas areal maksimal (Ha) Total produksi (kg/mt) Produksi (kg/tahun) Luas total areal tambak 583 ha Luas areal yang berproduksi (Ha) 350 Luas areal yang belum produksi (Ha) 233 Potensi produksi (ton/mt) Luas areal maksimal (Ha) Luas kawasan pertambakan di Holtekam sekarang adalah 583 ha (DKP Kota Jayapura 2010) dengan luas petak tambak yang telah berproduksi 350 ha. Apabila diterapkan teknologi budidaya tradisional plus dengan target produksi 0.5 ton/ha/mt, produksi maksimum yang dapat dicapai 175 ton/mt. Daya dukung kawasan Holtekam untuk produksi tambak adalah ton/mt. Dengan demikian. pemanfaatan lahan pesisir Holtekam untuk tambak belum optimal dan

23 57 masih memungkinkan untuk dikembangkan. Daya dukung lahan pesisir Holtekam untuk produksi tambak yang belum dimanfaatkan sebanyak ton/mt. Jika tambak diusahakan dengan teknologi tradisional plus dengan target produksi 0.5 ton/ha/mt, maka luas lahan yang masih dapat dikembangkan adalah ha. Jika diusahakan dengan menggunakan teknologi semi intensif dengan target produksi 1.3 ton/ha/mt, maka luas tambak di Holtekam yang dapat dikembangkan adalah 428 ha. Jadi, dari luasan tambak yang telah dibuat yakni 583 ha masih jauh dari luasan tambak maksimal sesuai daya dukung perairan pesisir Holtekam yaitu ha dengan pola tradisional plus. Hasil analisis daya dukung perairan pesisir ini dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Kota Jayapura dan instansi teknis terkait untuk membuat regulasi mengenai luasan tambak yang masih di perbolehkan. Komoditas utama budidaya yang diusahakan petambak selama ini adalah ikan bandeng dan beberapa petambak telah mencoba udang windu, yang dilakukan secara polikultur dengan pola budidaya tradisional. Dengan pengalaman petambak yang sebagian besar telah memiliki pengalaman lebih dari 3 tahun dan dengan peningkatan pengetahuan petambak melalui penyuluhan yang intensif dan kontinyu, maka pola tanam ini dapat di kembangkan sistim budidaya semi intensif dengan pola monokultur (udang, bandeng dan nila) atau polikultur (bandeng/nila dan udang). Hal ini dimungkinkan karena harga udang dua kali lebih tinggi dibanding harga ikan bandeng, sementara ikan nila merupakan ikan yang bersifat herbivora dan juga bernilai ekonomis penting. Produktivitas tambak dapat ditingkatkan melalui peningkatan efisiensi penggunaan petak tambak dan input produksi. Optimalisasi penggunaan petak tambak dapat dilakukan dengan meningkatkan ketinggian air di pelataran tambak. Peningkatan input produksi dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan pupuk, pakan, kepadatan benih, pergantian air (pompanisasi) dan penanganan/pengelolaan limbah buangan pada saat panen.

24 Estimasi Beban Limbah Budidaya Tambak Untuk menghitung jumlah beban limbah tambak yang dilepaskan ke perairan pesisir, beberapa faktor yang menjadi dasar analisanya yakni : luas areal tambak, jumlah dan luas petakan, tingkat teknologi dan padat tebar, pengelolaan dan tinggi air rata-rata dalam tambak. Hasil pengamatan di peroleh bahwa luas areal tambak yang telah berproduksi 350 ha, dengan padat tebar ikan rata-rata 20 ekor/200 m 2, tinggi air rata-rata 0.35 m, waktu pemeliharaan 6 bulan, frekuensi pengurasan 1 kali/mt dan tanpa pergantian air. Jadi volume air tambak yang dilepaskan ke lingkungan adalah m 3 /ha/mt atau m 3 /350 ha/mt. Hasil pengukuran TOM, N-total dan PO 4 -P di tambak diperoleh nilai rata-rata masing-masing 3.86 mg/l, 0.28 mg/l dan 2.67 mg/l, maka jumlah TOM, N-total dan PO 4 -P yang dilepaskan ke lingkungan adalah kg/ha/tahun, 1.96 kg/ha/tahun dan kg/ha/tahun dan untuk luasan 350 ha masing-masing adalah 9457 kg/tahun, 686 kg/tahun dan kg/tahun (Tabel 7). Tabel 7 Estimasi beban limbah budidaya tambak ikan bandeng (Chanos-chanos Forskal) di Holtekam Kota Jayapura Luas tambak 1 ha Luas tambak 350 ha Parameter kualitas air (kg/ MT) (kg/thn) (kg/mt) (kg/thn) Konsentrasi nutrien TOM mg/l N-total mg/l PO₄ -P mg/l Volume air yang dibuang (m³) Apabila kegiatan budidaya ditingkatkan menjadi semi intensif (skenario) dengan kedalaman air rata-rata 0.9 m 2, pergantian air 30% dari volume tambak setiap 2 minggu dan kepadatan ikan 8/10 m 2. Diasumsikan nilai kualitas air yang terukur (Sumagaysay & Diego 2003) yakni NO 2 - N, NO 3 - N, N-total, BOD 5, PO 4 -P dan TSS masing-masing adalah mg/l, mg/l, mg/l, 21.7 mg/l, mg/l dan 142 mg/l maka volume air dan jumlah beban limbah nutrien yang dilepaskan ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 8.

25 59 Tabel 8 Skenario Estimasi beban limbah budidaya tambak ikan bandeng (Chanos-chanos Forskal) dengan teknologi semi intensif di Holtekam Kota Jayapura Karakteristik Tambak Luas Tambak 1 ha Luas Tambak 350 ha (2 mgg) ( MT) (Thn) (2 mgg) (MT) (Thn) Volume air dibuang (m³) NO2- N (mg/l) 0.082* NO3- N (mg/l) 8.649* N-total (mg/l) 0.811* BOD5 (mg/l) 0.512* PO4-P (mg/l) 21.7* TSS (mg/l) 142* *Sumagaysay & Diego (2003) Daya dukung perairan Pesisir Holtekam menerima limbah yakni m 3 /hari atau m 3 /2 minggu, sementara jumlah air yang dibuang dari tambak semi intensif adalah m 3 /ha/2 minggu atau m 3 /350 ha/2 minggu. Jika dalam 2 minggu terdapat 20 ha yang melakukan penggantian air tambak maka volume air air yang dibuang adalah m 3 /2 minggu. Volume air yang terbuang ini masih lebih kecil dari volume air perairan pesisir yakni m 3 /2 minggu. Berdasarkan kemampuan daya dukung perairan Holtekam menerima beban limbah buangan dapat dikatakan masih memungkinkan untuk meningkatkan teknologi ke tingkat semi intensif. Namun tidak hanya kuantitas air yang perlu dipertimbangkan tetapi juga perlu mempertimbangkan parameter kualitas air limbah budidaya. 3 Saluran Kali buaya mempunyai volume pada saat pasang m dan pada saat surut m 3 dengan rata-rata kecepatan arus 0.53 m/dtk. Buangan limbah dari tambak akan mengalami pengenceran dan pengendapan, disamping itu dengan adanya pohon mangrove disepanjang salauran kali Buaya dimana banyak terdapat berbagai jenis kerang akan membantu dalam mereduksi nitrogen dan fosfat (Robertson & Phillips 1995), selanjutnya limbah tersebut dilepaskan ke laut. Berdasarkan pengamatan terhadap pola arus di perairan pesisir Holtekam, arus pada saat surut bergerak dari pantai menuju lautan Pasifik yang lebih dalam. Hal ini sangat membantu dalam proses pembilasan limbah yang masuk ke perairan pantai Holtekam.

26 Analisis Teknis Budidaya Tambak Kondisi Petakan Tambak Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura (2010) bahwa luas tambak yang sudah dibuka adalah 583 ha dengan jumlah petakan 519 petak tambak. Luas setiap petakan tambak bervariasi antara 1 4 ha. Luasan lahan tambak yang sudah dibuka, yang berproduksi hingga saat ini adalah 350 ha. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 40% lahan tambak yang belum beroperasi. Umumnya tambak yang belum berproduksi letaknya jauh dari sarana jalan sehingga menyulitkan bagi pemilik tambak untuk mengangkut sarana produksi tambak. Hasil pengamatan lapangan secara visual (visual survey) diketahui bahwa bentuk petakan kebanyakan (>90%) adalah bujur sangkar atau empat persegi panjang dengan pintu pembuangan air berada pada pinggir pematang yang dekat dengan saluran Prasarana dan Sarana Budidaya Tersedianya prasarana dan sarana budidaya merupakan pendukung kelancaran usaha tambak bandeng. Hingga saat ini sarana jalan dalam kawasan pertambakan masih sangat minim, dimana untuk menjangkau lokasi tambak yang jauh dari jalan utama harus lewat saluran Kali Buaya atau pematang tambak lain. Kondisi ini menyebabkan petambak kesulitan untuk mengangkut sarana produksi seperti pupuk, benih dan juga hasil panen. Dukungan pemerintah Kota Jayapura dalam rangka peningkatan produksi perikanan budidaya melalui Dinas Perikanan dan Kelautan sejak tahun anggaran telah melakukan perbaikan saluran sekunder, dimana saluran-saluran tersebut diperdalam sehingga volume air yang masuk saluran pada saat pasang lebih besar. Kegiatan perbaikan saluran ini dilakukan secara bertahap. Berdasarkan hasil wawancara dengan petambak, bahwa mereka sangat terbantu dengan adanya bantuan perbaikan saluran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jayapura, bantuan sarana produksi tambak yang lain berupa pupuk dan benih juga telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua. Disamping itu, penyuluhan dan bimbingan teknis

27 61 budidaya bandeng terhadap kelompok petambak di Holtekam setiap tahun dilaksanakan atas kerja sama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura serta instansi terkait lainnya Teknik Pemeliharaan Bandeng Pengamatan terhadap kegiatan budidaya bandeng yang dilakukan oleh petambak di Holtekam dikelompokkan menjadi beberapa tahapan budidaya yaitu : persiapan tambak (pengeringan, pemberantasan hama, pengolahan dasar tambak, pemupukan dan pemasukan air), penebaran benih, pemeliharaan (pengelolaan air dan lingkungan, penanganan hama dan penyakit) panen dan pasca panen. A. Persiapan Tambak Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini meliputi : pengeringan, pemberantasan hama, pengolahan tanah dasar dan perbaikan dinding pematang, dan pemupukan dasar. Kegiatan awal budidaya bandeng adalah pengeringan tambak. Tujuan pengeringan adalah mengeluarkan air tambak selama pemeliharaan, membasmi hama penyakit dan benih-benih ikan liar yang bersifat pemangsa dan penyaing. Pengeringan dasar tambak juga dimaksudkan untuk mengurangi senyawa-senyawa asam sulfat dan senyawa beracun yang terjadi selama tambak terendam air, yang memungkinkan terjadinya proses mineralisasi bahan organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan klekap dapat berlangsung. Tahap selanjutnya adalah pemberantasan hama dan penyakit ikan. Secara tidak langsung dengan melakukan pengeringan telah memutuskan siklus hidup hama dan penyakit ikan yang mungkin ada dalam tambak. Untuk membasmi hama ikan petambak biasanya menggunakan pestisida jenis Akodan 50 ml dengan bahan aktif endosulfan. Aplikasi pemberantasan hama ikan dilakukan pada saat air hanya tergenang pada saluran keliling tambak dan dilakukan pada saat panas terik. Untuk meminimalisir limbah pestisida maka perlu menggunakan saponin sebagai pengganti pestisida. Kelebihan saponin adalah dapat diurai oleh lingkungan dengan cepat dan tidak meninggalkan residu, bahkan menjadi pupuk. Hasil wawancara dengan petambak dan pengamatan visual di lapangan didapatkan bahwa pengeringan tambak dilakukan setelah panen total, dimana petambak ada yang hanya mengganti air karena lumut masih tersedia dan ada

28 62 yang melakukan pengeringan total. Tahap selanjutnya adalah perbaikan pematang, saluran air dan pengolahan tanah dasar dengan tujuan menciptakan kondisi lingkungan yang memenuhi syarat bagi kehidupan dan pertumbuhan bandeng. Perbaikan pematang dilakukan dengan menutup bocoran-bocoran pada pematang yang dibuat oleh kepiting dan belut. Pemupukan dasar dilakukan setelah dilakukan pemberantasan hama. Pupuk yang digunakan oleh petambak di Holtekam adalah pupuk anorganik (urea, TSP dan NPK) dan pupuk organik cair (Ursal). Menurut Cholik et al. (1998), pemakaian pupuk anorganik dalam tambak akan mempercepat pertumbuhan plankton, sedangkan pupuk organik akan mempertahankan stabilitas kehidupan plankton. Pupuk organik sebelumnya diperoleh dari peternakan ayam petelur, namun hingga saat ini sudah sulit diperoleh sehingga petambak hanya menggunakan pupuk anorganik. Pemupukan tambak dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan makanan alami yang dibutuhkan ikan selama pemeliharaan. Sebelum pemupukan, air di masukkan ke dalam tambak sampai ketinggian 5-10 cm di pelataran dan dibiarkan selama 1-2 hari. Petambak di Holtekam melakukan pemupukan dengan menebar pupuk di seluruh permukaan dasar tambak. Namun, ada juga petambak yang melakukan pemupukan dengan menarik kantung pupuk yang telah dilubangi sampai pupuk habis terserap oleh air. Alasannya adalah dengan menarik kantung pupuk diseluruh permukaan tambak, akan lebih cepat terserap oleh air dan lumut untuk tumbuh kembali. Jumlah pupuk yang digunakan rata-rata 100 kg/ha Urea dan 100 kg/ha TSP, disamping itu, sebagian petambak menggunakan pupuk organik merek Ursal untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton dan klekap. Setelah pemupukan, dilakukan pengisian air sampai mencapai ketinggian cm dan dibiarkan menguap selama 1 minggu. Selanjutnya setelah klekap tumbuh, dilakukan penambahan air secara bertahap sampai mencapai kedalaman cm. Idealnya, tinggi air tambak berkisar antara cm, namun kondisi tambak di Holtekam umumnya di bangun secara manual sehingga tinggi dan lebar pematang hanya memungkinkan untuk menahan volume air sedikit. Rata-rata tinggi air di pelataran tambak berkisar cm.

29 63 B. Penebaran Benih Penebaran benih ikan bandeng dilakukan setelah kondisi air sudah stabil, hal ini ditandai perubahan warna air menjadi coklat kehijauan. Penebaran benih dilakukan pada saat cuaca sejuk dan biasanya pada pagi hari. Ukuran benih yang ditebar bervariasi dan umumnya berumur 1 2 bulan. Penggunaan benih ukuran gelondongan lebih menguntungkan karena daya toleransinya yang besar terhadap fluktuasi salinitas. Benih ikan diperoleh dari petani penggelondong atau hasil penggelondongan sendiri. Sebagian petambak melakukan penggelondongan sendiri dengan menyediakan satu petakan untuk penggelondongan yang nantinya untuk digunakan pada tahap pembesaran. Sebagian petambak yang lain langsung membeli dari petambak yang secara khusus mendatangkan nener. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa petambak memperoleh nener pada saat musim nener di perairan Holtekam, dimana penangkapan nener dilakukan oleh masyarakat lokal (masyarakat Papua) dan dari petambak yang menampung nener dari Makassar dan Palu (Sulawesi). Penebaran benih dilakukan dengan melakukan aklimatisasi terlebih dahulu dengan cara mengapungkan kantong benih di permukaan air, selang menit kemudian, kantong secara perlahan ditenggelamkan sehingga benih keluar dengan sendirinya. Padat tebar benih yang dilakukan oleh petambak di Holtekan rata-rata berkisar antara ekor/ha, alasannya karena tidak dilakukan pemberian pakan tambahan dan hanya mengandalkan pakan alami berupa makrofita dan klekap yang tumbuh dalam tambak. Disamping itu, biaya operasionalnya yang relatif lebih sedikit. Melihat tingkat teknologi yang diterapkan di tambak Holtekam, memberikan peluang besar untuk ditingkatkan ke tingkat teknologi tradisional plus dan semi intensif, mengingat sumber benih yang cukup tersedia dan juga adanya dukungan Pemerintah Kota Jayapura untuk membenahi sarana prasarana produksi di kawasan Tambak Holtekam. C. Pemeliharaan Keberhasilan usaha budidaya tambak tidak hanya ditentukan oleh konstruksi dan tata letak tambak, pengolahan tanah dan pengadaan benih, tetapi

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Budidaya Tambak Kegiatan budidaya tambak merupakan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR Ba b 4 KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR 4.1. Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuala Kampar memiliki potensi perikanan tangkap dengan komoditas ikan biang, ikan lomek dan udang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di perairan pesisir Holtekam, Kampung Holtekam, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Secara geografis berada pada posisi antara 1⁰28 17.26-3⁰58

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Penentuan carrying capacity dalam lingkungan dapat didekati secara biologi dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan konsep ekologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG

KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ABSTRACT Barnabas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya di Kabupaten Banjarnegara dengan rata-rata turun sebesar 4,12 % per

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya di Kabupaten Banjarnegara dengan rata-rata turun sebesar 4,12 % per BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan Daerah Aliran Sungai Merawu didominasi oleh lahan pertanian. Jenis sayuran yang menjadi komoditas unggulan wilayah ini yaitu jagung, daun bawang, wortel,

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan keseragaman.induk yang baik untuk pemijahan memiliki umur untuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR 3 Dhani Dianthani Posted 3 May, 3 Makalah Falsafah Sains (PPs ) Program Pasca Sarjana /S3 Institut Pertanian Bogor Mei 3 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Dr Bambang Purwantara IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Kabupaten Dompu secara geografis terletak di antara 117 o 42 dan 180 o 30 Bujur Timur dan 08 o 6 sampai 09 o 05 Lintang Selatan. Kabupaten Dompu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan menyebabkan sumber air bersih berkurang, khususnya di daerah perkotaan. Saat ini air bersih menjadi barang yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan salah satunya protein ikan akan turut memicu perkembangan produksi akuakultur. Produksi ikan nila

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1) Desa Tulabolo Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Boalngo, Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

4. KONDISI HABITAT SIMPING

4. KONDISI HABITAT SIMPING 4. KONDISI HABITAT SIMPING Kualitas habitat merupakan tempat atau keadaan dimana simping dalam melakukan proses-proses metabolisme, pertumbuhan, sampai produksi. Proses biologi tersebut ditentukan oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN Jalil 1, Jurniati 2 1 FMIPA Universitas Terbuka, Makassar 2 Fakultas Perikanan Universitas Andi Djemma,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci