KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG"

Transkripsi

1 KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 ABSTRACT Barnabas Bara padang, Study of aquaculture waste load on Holtekam coastal water of Jayapura City, Province of Papua. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and IRZAL EFFENDI. This study was conducted to determine water quality and the carrying capacity of Holtekam coastal, identify the aquaculture activities that contribute waste on coastal and impact of aquaculture waste load on status of coastal waters. Water and plankton samples were collected from brackishwater pond, canal of Kali Buaya and coastal. Questionnaires was administered to 25 farms. Results of water quality analyses showed Holtekam coastal water is characterized with higher concentration of BOD 5 (Biological oxygen demand), N-total, COD (chemical oxygen demand) and TOM (total organic matter) 4.96, 4.19, and mgl -1,turbidity (7.02 NTU) and TSS (total suspended solid) mgl -1 were higher in stream and PO 4 -P (2.08) in ponds. Carrying capacity of coastal water is m 3 and maximum of effluents m 3, respectively. Sustainable aquaculture based on carrying capacity and management practices levels are intensive system ha, semi intensive 563 ha and traditional plus ha. Ponds management practices is categorized as extensive plus based few input such as fertilizers, seeds and pumps. Aquaculture activities that contributed waste on coastal was harvesting. Keywords : Ponds, effluents, water quality, carrying capacity

3 RINGKASAN BARNABAS BARA PADANG. Kajian Beban Limbah Budidaya Ikan terhadap Lingkungan Perairan Pesisir Holtekam Kota Jayapura Provinsi Papua. Di bawah bimbingan ACHMAD FAHRUDIN dan IRZAL EFFENDI selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing Kawasan pesisir Holtekam potensial bagi pengembangan budidaya perikanan pantai (tambak). Luas areal tambak saat ini sekitar 583 hektar, telah berproduksi sekitar 350 hektar dengan jumlah produksi ikan tahun 2009 adalah ton. Data spesifik jumlah buangan limbah budidaya tambak dan dampak ekologisnya terhadap perairan pesisir Holtekam masih sangat kurang. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kajian tentang kondisi kualitas air dan daya dukung perairan pesisir Holtekam serta kegiatan budidaya tambak yang berperan menghasilkan limbah. Mengkaji pengaruh limbah buangan budidaya terhadap status lingkungan perairan pesisir Holtekam. Hasil kajian ini diharapkan sebagai data awal dan masukan bagi pelaku usaha tambak dan Pemerintah Kota Jayapura dalam memformulasi kebijakan pengelolaan lingkungan perairan pesisir Holtekam bagi pengembangan perikanan budidaya secara lestari dan bertanggung jawab. Penelitian dilakukan di perairan pesisir Holtekam Kampung Holtekam Distrik Muara Tami Kota Jayapura, pada posisi antara 1⁰ ⁰ Lintang Selatan dan antara 137⁰ ⁰8.22 Bujur Timur. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama selama 2 bulan, yaitu pada April Mei Lokasi sampling sebanyak 18 titik, 12 titik di tambak dan saluran Kali buaya dan 6 titik di laut. Pengambilan data parameter kualitas air (fisika kimia dan biologi) pada setiap stasiun. Metode analisis parameter kualitas air mengacu pada APHA (1989). Data hidro-oseanografi, data sosial ekonomi dan teknis budidaya tambak diperoleh dengan wawancara (interview), kuisioner dan pengamatan lapangan (visual observation). Daya dukung perairan pesisir dianalisis dengan mengacu pada kriteria eko-biologis. Data paremeter kualitas air dianalisis dengan metode analisis komponen utama (AKU/principal component analysis-pca). Data parameter biologis (fitoplankton) dianalisis untuk melihat komposisi jenis, kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Analisis teknis budidaya tambak untuk mengetahui tingkat teknologi budidaya tambak. Estimasi beban limbah dianalisis dengan menghitung volume air tambak dan konsentrasi bahan limbah yaitu TOM (total organic matter), N-total dan PO 4 -P. Analisis Finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani tambak serta kelangsungan usaha budidaya menggunakan metode Undisconted criterion dan discounted criterion. Analisis keterkaitan antara kegiatan budidaya, buangan limbah dan keuntungan usaha budidaya dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan masing-masing variabel dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan. Hasil analisis PCA menunjukkan saluran dikarakterisasi oleh kecepatan arus, TSS (total suspended solid)dan Nitrat, sedangkan stasiun Laut dikarakterisasi oleh TOM, N-total, DO (dissolved oxygen), BOD5 (biological

4 oxygen demand), COD (chemical oxygen demand) dan ph. Korelasi dari variable variabel ini sangat erat dan searah (korelasi positif). Keterkaitan di antara parameter kualitas air dicirikan oleh tingginya konsentrasi dari TOM, N-Total, DO, BOD 5 dan COD serta ph di laut. Konsentrasi TOM berkorelasi positif dengan konsentrasi N-total, BOD 5 dan COD. Nilai konsentrasi BOD 5, N-Total dan COD yang tinggi menjadi indikator bahwa perairan pesisir Holtekam mengandung bahan organik (TOM) yang tinggi. Konsentrasi N-Total juga berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan. Volume air yang tersedia sebesar m dapat menampung, mengencerkan dan mengasimilasi 1/100 limbah tambak yang masuk dan tidak menyebabkan dampak yang berbahaya. Apabila produktivitas tambak intensif maksimal setiap hektarnya 7 ton/ha/mt, maka daya dukung kawasan pesisir holtekam untuk produksi budidaya tambak intensif sebesar ton dengan luas tambak ha. Namun, jika produktivitas tambak tradisional plus 0,5 ton/ha/mt maka luas lahan tambak berkelanjutan adalah 1125 ha. Sedangkan teknologi budidaya semi intensif dengan target produksi 1,3 ton maka luas tambak 563 ha. Luas tambak di Holtekam sekarang adalah 583 hektar (DKP Kota Jayapura 2010) dengan luas petak tambak yang telah berproduksi 350 hektar. Produksi maksimum yang dapat dicapai dengan target produksi 0.5 ton/ha/mt dengan tekhnologi tradisional plus adalah 175 ton/mt. Luas areal tambak saat ini yang telah berproduksi 350 ha, dengan padat tebar ikan rata-rata 20 ekor/200 m 2, tinggi air rata-rata 0.35 m, frekuensi pengurasan 1 kali/mt dan tanpa pergantian air. Jadi volume air tambak yang dilepaskan ke lingkungan adalah 3500 m 3 /ha/mt atau m 3 /350 ha/mt. Hasil pengukuran TOM, N-total dan PO 4 -P di tambak diperoleh nilai rata-rata masing-masing 3.86 mg/l, 0.28 mg/l dan 2.67 mg/l, maka jumlah TOM, N-total dan PO 4 -P yang dilepaskan ke lingkungan adalah kg/tahun, kg/tahun dan kg/tahun. Hasil analisis teknis budidaya tambak teknologi pengelolaan tambak di Holtekam dapat dikategorikan dengan sistim tradisional plus dengan input berupa pupuk, bibit dan pompanisasi. Selama proses produksi, yang memberikan limbah berupa bahan organik adalah kegiatan panen dan cara pemanenan (panen total), Apabila teknologi budidaya ditingkatkan ke teknologi semi intensif maka potensi memberikan limbah ke lingkungan pesisir akan semakin besar. Analisis usaha budidaya tambak menunjukkan pendapatan yang diperoleh petambak skala sempit (1-3 ha) berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,-, dengan pendapatan rata-rata Rp ,- /1 ha/tahun, dengan R/C = 1.96 dan BEP produksi 225 kg dan BEP harga Rp ,-. Pada skala sedang, pendapatan petambak berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,- dengan pendapatan rata-rata Rp ,- dengan R/C = 2.72 dan BEP produksi 781 kg dan BEP harga Rp ,-. Pendapatan rata-rata petambak setiap skala usaha tersebut telah pendapatan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup di Kota Jayapura, dimana di dekati dengan Upah Minimum Ragional (UMR) yakni Rp ,-/bulan atau Rp / tahun. Usaha budidaya bandeng secara monokultur selama 10 tahun dengan discount rate 19% layak untuk dilakukan. Skala usaha kecil dengan luas 1 ha menghasilkan NPV sebesar Rp ,-, net B/C sebesar 1.16 dan IRR sebesar 26.9%. Skala usaha sedang dengan luas 5 ha menghasilkan NPV sebesar Rp. 3

5 ,-, net B/C sebesar 2.90 dan IRR sebesar 50.9%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya bandeng di tambak baik skala kecil maupun sedang dengan teknologi tradisional plus menguntungkan dan berpeluang ditingkatkan ke teknologi semi intensif. Pengaturan dan penetapan luas areal pertambakan serta penerapan teknologi budidaya harus sesuai dengan daya dukung dan dinamika lingkungan perairan pesisir. Karakteristik parameter kualitas air dan daya dukung perairan menunjukkan bahwa perairan pesisir Holtekam masih mampu mendukung keberlanjutan usaha budidaya tambak saat ini. Tingkat tekhnologi budidaya yang diterapkan masih kategori tradisional plus dengan input produksi ( benih, pupuk dan pompanisasi) dan padat tebar ekor/100 m 2. Kategori tradisional plus memberikan dampak yang relatif kecil terhadap lingkungan perairan. Limbah buangan budidaya tambak dapat dikurangi dengan menerapkan cara budidaya yang baik (best management practice). Pemanfaatan kawasan mangrove yang berfungsi sebagai filter alami mempertahankan zona green belt dan rehabilitasi mangrove di sepanjang pinggiran sungai dan Saluran tambak. Pengembangan teknologi budidaya seperti sistim resirkulasi, integrasi budidaya dan silvofishery merupakan salah satu alternatif budidaya yang mendukung keberlanjutan usaha budidaya dan kelestarian sumberdaya pesisir. Kata kunci : Perairan pesisir, limbah budidaya, tambak, holtekam

6 KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

7 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Beban Limbah Budidaya Ikan terhadap Lingkungan Perairan Pesisir Holtekam Kota Jayapura Provinsi Papua adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Barnabas Bara padang NRP. C

8 ABSTRACT Barnabas Bara padang, Study of aquaculture waste load on Holtekam coastal waters of Jayapura City, Province of Papua. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and IRZAL EFFENDI. This study was conducted to determine water quality and the carrying capacity of Holtekam coastal, identify the aquaculture activities that contribute waste on coastal and impact of aquaculture waste load on status of coastal waters. Water and plankton samples were collected from brackishwater pond, canal of Kali Buaya and coastal. Questionnaires was administered to 25 farms. Results of water quality analyses showed Holtekam coastal water is characterized with higher concentration of BOD 5 (Biological oxygen demand), N-total, COD (chemical oxygen demand) and TOM (total organic matter) 4.96, 4.19, and mgl -1,turbidity (7.02 NTU) and TSS (total suspended solid) mgl -1 were higher in stream and PO 4 -P (2.08) in ponds. Carrying capacity of coastal water is m 3 and maximum of effluents m 3, respectively. Sustainable aquaculture based on carrying capacity and management practices levels are intensive system ha, semi intensive 563 ha and traditional plus ha. Ponds management practices is categorized as extensive plus based few input such as fertilizers, seeds and pumps. Aquaculture activities that contributed waste on coastal was harvesting. Keywords : Ponds, effluents, water quality, carrying capacity

9 RINGKASAN BARNABAS BARA PADANG. Kajian Beban Limbah Budidaya Ikan terhadap Lingkungan Perairan Pesisir Holtekam Kota Jayapura Provinsi Papua. Di bawah bimbingan ACHMAD FAHRUDIN dan IRZAL EFFENDI selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing Kawasan pesisir Holtekam potensial bagi pengembangan budidaya perikanan pantai (tambak). Luas areal tambak saat ini sekitar 583 hektar, telah berproduksi sekitar 350 hektar dengan jumlah produksi ikan tahun 2009 adalah ton. Data spesifik jumlah buangan limbah budidaya tambak dan dampak ekologisnya terhadap perairan pesisir Holtekam masih sangat kurang. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kajian tentang kondisi kualitas air dan daya dukung perairan pesisir Holtekam serta kegiatan budidaya tambak yang berperan menghasilkan limbah. Mengkaji pengaruh limbah buangan budidaya terhadap status lingkungan perairan pesisir Holtekam. Hasil kajian ini diharapkan sebagai data awal dan masukan bagi pelaku usaha tambak dan Pemerintah Kota Jayapura dalam memformulasi kebijakan pengelolaan lingkungan perairan pesisir Holtekam bagi pengembangan perikanan budidaya secara lestari dan bertanggung jawab. Penelitian dilakukan di perairan pesisir Holtekam Kampung Holtekam Distrik Muara Tami Kota Jayapura, pada posisi antara 1⁰ ⁰ Lintang Selatan dan antara 137⁰ ⁰8.22 Bujur Timur. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama selama 2 bulan, yaitu pada April Mei Lokasi sampling sebanyak 18 titik, 12 titik di tambak dan saluran Kali buaya dan 6 titik di laut. Pengambilan data parameter kualitas air (fisika kimia dan biologi) pada setiap stasiun. Metode analisis parameter kualitas air mengacu pada APHA (1989). Data hidro-oseanografi, data sosial ekonomi dan teknis budidaya tambak diperoleh dengan wawancara (interview), kuisioner dan pengamatan lapangan (visual observation). Daya dukung perairan pesisir dianalisis dengan mengacu pada kriteria ekobiologis. Data paremeter kualitas air dianalisis dengan metode analisis komponen utama (AKU/principal component analysis-pca). Data parameter biologis (fitoplankton) dianalisis untuk melihat komposisi jenis, kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Analisis teknis budidaya tambak untuk mengetahui tingkat teknologi budidaya tambak. Estimasi beban limbah dianalisis dengan menghitung volume air tambak dan konsentrasi bahan limbah yaitu TOM (total organic matter), N-total dan PO 4 -P. Analisis Finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani tambak serta kelangsungan usaha budidaya menggunakan metode Undisconted criterion dan discounted criterion. Analisis keterkaitan antara kegiatan budidaya, buangan limbah dan keuntungan usaha budidaya dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan masing-masing variabel dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan. Hasil analisis PCA menunjukkan saluran dikarakterisasi oleh kecepatan arus, TSS (total suspended solid)dan Nitrat, sedangkan stasiun Laut dikarakterisasi oleh TOM, N-total, DO (dissolved oxygen), BOD5 (biological oxygen demand), COD (chemical oxygen demand) dan ph. Korelasi dari variable

10 variabel ini sangat erat dan searah (korelasi positif). Keterkaitan di antara parameter kualitas air dicirikan oleh tingginya konsentrasi dari TOM, N-Total, DO, BOD 5 dan COD serta ph di laut. Konsentrasi TOM berkorelasi positif dengan konsentrasi N-total, BOD 5 dan COD. Nilai konsentrasi BOD 5, N-Total dan COD yang tinggi menjadi indikator bahwa perairan pesisir Holtekam mengandung bahan organik (TOM) yang tinggi. Konsentrasi N-Total juga berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan. Volume air yang tersedia sebesar m dapat menampung, mengencerkan dan mengasimilasi 1/100 limbah tambak yang masuk dan tidak menyebabkan dampak yang berbahaya. Apabila produktivitas tambak intensif maksimal setiap hektarnya 7 ton/ha/mt, maka daya dukung kawasan pesisir holtekam untuk produksi budidaya tambak intensif sebesar ton dengan luas tambak ha. Namun, jika produktivitas tambak tradisional plus 0,5 ton/ha/mt maka luas lahan tambak berkelanjutan adalah 1125 ha. Sedangkan teknologi budidaya semi intensif dengan target produksi 1,3 ton maka luas tambak 563 ha. Luas tambak di Holtekam sekarang adalah 583 hektar (DKP Kota Jayapura 2010) dengan luas petak tambak yang telah berproduksi 350 hektar. Produksi maksimum yang dapat dicapai dengan target produksi 0.5 ton/ha/mt dengan tekhnologi tradisional plus adalah 175 ton/mt. Luas areal tambak saat ini yang telah berproduksi 350 ha, dengan padat tebar ikan rata-rata 20 ekor/200 m 2, tinggi air rata-rata 0.35 m, frekuensi pengurasan 1 kali/mt dan tanpa pergantian air. Jadi volume air tambak yang dilepaskan ke lingkungan adalah 3500 m 3 /ha/mt atau m 3 /350 ha/mt. Hasil pengukuran TOM, N-total dan PO 4 -P di tambak diperoleh nilai rata-rata masing-masing 3.86 mg/l, 0.28 mg/l dan 2.67 mg/l, maka jumlah TOM, N-total dan PO 4 -P yang dilepaskan ke lingkungan adalah kg/tahun, kg/tahun dan kg/tahun. Hasil analisis teknis budidaya tambak teknologi pengelolaan tambak di Holtekam dapat dikategorikan dengan sistim tradisional plus dengan input berupa pupuk, bibit dan pompanisasi. Selama proses produksi, yang memberikan limbah berupa bahan organik adalah kegiatan panen dan cara pemanenan (panen total), Apabila teknologi budidaya ditingkatkan ke teknologi semi intensif maka potensi memberikan limbah ke lingkungan pesisir akan semakin besar. Analisis usaha budidaya tambak menunjukkan pendapatan yang diperoleh petambak skala sempit (1-3 ha) berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,-, dengan pendapatan rata-rata Rp ,- /1 ha/tahun, dengan R/C = 1.96 dan BEP produksi 225 kg dan BEP harga Rp ,-. Pada skala sedang, pendapatan petambak berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,- dengan pendapatan rata-rata Rp ,- dengan R/C = 2.72 dan BEP produksi 781 kg dan BEP harga Rp ,-. Pendapatan rata-rata petambak setiap skala usaha tersebut telah pendapatan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup di Kota Jayapura, dimana di dekati dengan Upah Minimum Ragional (UMR) yakni Rp ,-/bulan atau Rp / tahun. Usaha budidaya bandeng secara monokultur selama 10 tahun dengan discount rate 19% layak untuk dilakukan. Skala usaha kecil dengan luas 1 ha menghasilkan NPV sebesar Rp ,-, net B/C sebesar 1.16 dan IRR sebesar 26.9%. Skala usaha sedang dengan luas 5 ha menghasilkan NPV sebesar Rp ,-, net B/C sebesar 2.90 dan IRR sebesar 50.9%. Hal ini menunjukkan 3

11 bahwa usaha budidaya bandeng di tambak baik skala kecil maupun sedang dengan teknologi tradisional plus menguntungkan dan berpeluang ditingkatkan ke teknologi semi intensif. Pengaturan dan penetapan luas areal pertambakan serta penerapan teknologi budidaya harus sesuai dengan daya dukung dan dinamika lingkungan perairan pesisir. Karakteristik parameter kualitas air dan daya dukung perairan menunjukkan bahwa perairan pesisir Holtekam masih mampu mendukung keberlanjutan usaha budidaya tambak saat ini. Tingkat tekhnologi budidaya yang diterapkan masih kategori tradisional plus dengan input produksi ( benih, pupuk dan pompanisasi) dan padat tebar ekor/100 m 2. Kategori tradisional plus memberikan dampak yang relatif kecil terhadap lingkungan perairan. Limbah buangan budidaya tambak dapat dikurangi dengan menerapkan cara budidaya yang baik (best management practice). Pemanfaatan kawasan mangrove yang berfungsi sebagai filter alami mempertahankan zona green belt dan rehabilitasi mangrove di sepanjang pinggiran sungai dan Saluran tambak. Pengembangan teknologi budidaya seperti sistim resirkulasi, integrasi budidaya dan silvofishery merupakan salah satu alternatif budidaya yang mendukung keberlanjutan usaha budidaya dan kelestarian sumberdaya pesisir. Kata kunci : Perairan pesisir, limbah budidaya, tambak, holtekam

12 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

13 KAJIAN BEBAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN PESISIR HOLTEKAM KOTA JAYAPURA PROVINSI PAPUA BARNABAS BARA PADANG Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

14 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.

15 Judul Penelitian : Kajian Beban Limbah Budidaya Ikan terhadap Lingkungan Perairan Pesisir Holtekam Kota Jayapura Provinsi Papua Nama mahasiswa : Barnabas Bara padang Nomor Pokok : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua Komisi Ir. Irzal Effendi, M. Si Anggota Komisi Diketahui : Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 20 September 2010 Tanggal Lulus:

16 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas penyertaan dan perlindungan-nya sehingga laporan penelitian yang berjudul Kajian Beban Limbah Budidaya Ikan terhadap Lingkungan Perairan Pesisir Holtekam Kota Jayapura Provinsi Papua dapat diselesaikan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan informasi bagi Pemerintah Kota Jayapura dan pihak yang berkepentingan lainnya dalam memanfaatkan dan mengelola kawasan perairan pesisir Holtekam. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. dan Ir. Irzal Effendi, M.Si., selaku pembimbing yang telah membantu penulis dalam diskusi dan memberi masukan dan saran. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB beserta Staf, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura beserta Staf, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua beserta Staf, Tim Pengelola COREMAP II - WB yang telah memberikan bantuan beasiswa. Secara khusus terima kasih kepada Istri tercinta Elvin Somalinggi dan kedua anak kami Kevin Joy Nasserino dan Karenhapuk Gracelia Dwinova atas segala doa, kesabaran dan dukungannya. Kepada Mama yang selalu setia mendoakan, serta seluruh keluarga terima kasih atas segala doa dan dukungannya. Juga kepada teman-teman yang telah membantu dalam penelitian di lapangan maupun di laboratorium, yaitu petambak di Holtekam, mahasiswa perikanan UNIYAP Jayapura Angkatan 2007, Pimpinan dan Staf Laboratorium Lingkungan Balai Kesehatan Lingkungan Daerah Provinsi Papua, serta kepada semua pihak lain yang sudah membantu dalam diskusi dan saran sehingga penelitian ini selesai. Semoga tulisan penelitian ini bisa bermanfaat. Bogor, September 2010 Barnabas Bara padang

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sarira, 30 Agustus 1970 dari Ayah Petrus Salempang (Alm.) dan Ibu Rode Mambela Bangalino. Penulis merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus Penulis bekerja sebagai Staf di Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura sejak 2003 sampai sekarang. Pada 2008 diberi kesempatan mengikuti program Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor atas bantuan biaya dari COREMAP-II WB melalui Magister Sandwich Program Institut Pertanian Bogor (Indonesia) dengan University of The Ryukyus (Japan).

18 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. xiii DAFTAR GAMBAR.. xiv DAFTAR LAMPIRAN.. xvii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan dan Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir Daya Dukung Perairan Pesisir Kualitas Perairan Pesisir Suhu Salinitas Oksigen Terlarut Derajat Keasaman (ph) Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nitrogen (Amonia, Nitrit dan Nitrat) dan Fosfat Limbah di Perairan Potensi Limbah Perikanan Budidaya Potensi Limbah Tambak Dampak Limbah Budidaya Terhadap Ekosistem Analisis Usaha Budidaya Tambak METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Waktu Pengumpulan Data Kualitas Air Kondisi Hidro oseanografi Budidaya Tambak Analisis Data Komposisi Jenis (K), Indeks keanekaragaman (H ) Indeks Keseragaman (E) dan Dominansi Fitoplankton Analisis Spasial karakteristik Kualitas Air Analisis Daya Dukung perairan Analisis Estimasi beban Limbah Budidaya Tambak.. 27 xi

19 xii Analisis Teknis Budidaya Tambak Analisis Finansial Analisis keterkaitan Antara Kegiatan Budidaya, Limbah Perairan dan Keuntungan Usaha Budidaya HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Stasiun Pengamatan Karakteristik Parameter Kualitas Air Suhu dan Salinitas Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Derajat Keasaman (ph) Oksigen Terlarut (DO) Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD 5 ) Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nitrogen (NO 2, NO 3, N-Total) Fosfat (PO4-P) Bahan Organik Total (TOM) Fitoplankton Analisis Spasial Karakteristik Parameter Kualitas Air dengan Stasiun Pengamatan Tambak, Saluran dan Laut Analisis Daya Dukung Perairan Estimasi Beban Limbah Budidaya Tambak Analisis Teknis Budidaya tambak Kondisi Petakan tambak Sarana dan Prasarana Budidaya Teknik Pemeliharaan Bandeng Analisis Finansial Keterkaitan antara Kegiatan Budidaya, Limbah perairan dan Keuntungan Usaha Budidaya bagi Pemanfaatan Lahan Pesisir secara berkelanjutan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 71 DAFTAR PUSTAKA.. 73 LAMPIRAN. 81

20 DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter fisika kimia perairan yang diukur, alat dan analisisnya Nilai rata-rata konsentrasi parameter kualitas air perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut di pesisir Holtekam Kota Jayapura Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua komponen utama untuk pengamatan parameter kualitas air pada stasiun tambak, saluran dan laut Korelasi antar variabel parameter kualitas air pada stasiun pengamatan tambak, saluran dan laut Hasil perhitungan daya dukung (kuantitas air) kawasan perairan pesisir holtekam untuk budidaya tambak Daya dukung kawasan pesisir Holtekam terhadap tingkat produksi dan luas areal budidaya tambak maksimal yang dapat dikembangkan Estimasi beban limbah budidaya tambak ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) di Holtekam Kota Jayapura Skenario estimasi beban limbah budidaya tambak ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) dengan teknologi semi intensif di Holtekam Kota Jayapura 59 xiii

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema kerangka berpikir Peta lokasi penelitian Holtekam distrik Muara Tami Kota Jayapura Provinsi Papua Tingkat kecerahan perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Tingkat kekeruhan perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Padatan tersuspensi (TSS) pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Oksigen terlarut (DO) pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Kebutuhan oksigen biologis (BOD) pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Konsentrasi nitrit (NO 2 -N) pada Perairan tambak, saluran/kali Buaya dan Laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Konsentrasi nitrat (NO 3 -N) pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Konsentrasi N-total pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Konsentrasi fosfat (PO 4 -P) pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Kisaran bahan organik total (TOM) pada perairan tambak, saluran/kali Buaya dan laut pesisir Holtekam, Kota Jayapura Komposisi jenis (%) fitoplankton pada perairan tambak, pesisir Holtekam, Kota Jayapura.. 49 xiv

22 15. Komposisi jenis (%) fitoplankton pada saluran/kali Buaya, pesisir Holtekam, Kota Jayapura Komposisi jenis (%) fitoplankton pada perairan laut, pesisir Holtekam, Kota Jayapura Hasil analisis PCA keterkaitan antara karakteristik parameter kualitas air dengan stasiun pengamatan tambak, saluran dan laut xv

23 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Titik koordinat stasiun pengamatan dan pengambilan sampel parameter kualitas air Hasil analisis fitoplankton pada stasiun pengamatan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura Perhitungan nilai daya dukung kawasan pesisir Holtekam untuk tambak Estimasi beban limbah budidaya tambak Struktur biaya usaha tambak dan analisa penjualan bandeng (1 ha) Struktur biaya usaha tambak dan analisa penjualan bandeng (5 ha) Analisisa usaha tambak bandeng (luas 1 ha) Analisis usaha tambak bandeng (luas 5 ha) Analisis NPV, Net B/C dan IRR pada budidaya ikan bandeng dengan luas tambak 1 ha di tambak Holtekam Kota Jayapura Analisis NPV, Net B/C dan IRR pada budidaya ikan bandeng dengan luas tambak 5 ha di tambak Holtekam Kota Jayapura Foto lokasi stasiun pengamatan. 92 xvi

24 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai perairan yang memiliki potensi sumberdaya hayati yang sangat besar. Berbagai aktivitas perekonomian di kawasan pesisir diantaranya kegiatan perikanan (penangkapan dan budidaya ikan), pariwisata, industri dan pembangunan berbagai sarana penunjang bagi transportasi laut. Selain dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi, wilayah pesisir juga merupakan tempat bermuara berbagai jenis limbah (Primavera 2006) dari berbagai aktivitas manusia baik di darat maupun di dalam kawasan pesisir itu sendiri. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap kondisi biofisik pesisir yang rentan terhadap berbagai perubahan lingkungan. Perikanan budidaya merupakan suatu kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan masyarakat pesisir, penyedia lapangan kerja dan sumber devisa negara yang potensial. Keberlanjutan pemanfaatan wilayah pesisir bagi perikanan budidaya sangat dipengaruhi oleh dinamika kualitas lingkungan pesisir sebagai akibat adanya interaksi antar pengguna di wilayah ini, disamping kegiatan budidaya itu sendiri. Pemanfaatan wilayah pesisir yang tidak terkendali dan mengabaikan aspek daya dukung lingkungan sering memberikan dampak negatif terhadap ekosistem perairan. Dampak tersebut, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kualitas perairan pesisir, dan pada akhirnya berdampak kepada kegiatan perikanan budidaya itu sendiri. Kegiatan perikanan budidaya berpengaruh terhadap ekosistem perairan (Boyd 2003; Lin & Yi 2003; Silva & Camargo 2006). Pengaruh tersebut dapat berasal dari limbah pakan, pupuk, buangan metabolisme ikan dan zat pemberantas hama (Tacon & Foster 2003; Gyllenhammar et al. 2008). Limbah pakan dan pupuk (nutrien) serta bahan organik dalam jumlah yang berlebih dapat menyebabkan pengayaan (eutrophication), sehingga dapat menstimulir terjadinya ledakan populasi (blooming) fitoplankton (Tacon & Foster 2003; Boyd 2003) dan mikroba yang bersifat pathogen (Schneider et al. 2005). Limbah nutrien dan bahan organik dari aktivitas budidaya yang masuk ke perairan pesisir

25 2 dikarakterisasi oleh peningkatan jumlah TSS (total suspended solid), BOD 5 (biological oxygen demand), COD (chemical oxygen demand) serta kandungan N dan P (Sumagaysay & Diego 2003). Kawasan pesisir Holtekam Teluk Yos Sudarso merupakan kawasan yang potensial bagi pengembangan budidaya perikanan pantai. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 16 Tahun 2008, tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kota Jayapura, pengembangan kawasan ini guna memperkuat peranannya dalam memberikan sumbangan bagi Pendapatan Asli Daerah. Salah satu kegiatan budidaya perikanan yang telah dikembangkan adalah budidaya tambak. Kawasan pertambakan di Holtekam saat ini telah mencapai luas sekitar 583 hektar, sedangkan yang dikelola sekitar 350 hektar dengan jumlah produksi ikan bandeng hingga tahun 2009 adalah Ton (DKP Kota Jayapura 2010). Pengembangan budidaya tambak Holtekam dimungkinkan dengan adanya ketersediaan lahan yang potensial, dukungan tekhnologi budidaya baik pembenihan maupun pembesaran, tersedianya sarana prasarana budidaya, pangsa pasar yang luas dan harga jual yang cukup tinggi. Disamping itu, kebijakan Pemerintah Kota Jayapura yang meletakkan subsektor perikanan budidaya menjadi prioritas utama dalam pembangunan perikanan turut mendorong berkembangnya perikanan budidaya di kawasan ini. Budidaya tambak di Holtekam berpotensi melepaskan limbah ke perairan. Limbah buangan budidaya tambak tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan daya dukung lingkungan perairan pesisir serta akan berdampak buruk bagi kegiatan budidaya tambak itu sendiri. Jumlah limbah budidaya yang dapat diterima oleh perairan pesisir ditentukan oleh kapasitas asimilasi dan kondisi hidro-oseanografi. Data spesifik tentang jumlah buangan limbah dari budidaya tambak yang berhubungan dengan dampak ekologis pada perairan pesisir masih sangat kurang. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kajian parameter kualitas air dan daya dukung perairan pesisir sebagai suatu penduga jumlah maksimal buangan limbah budidaya yang masih di perkenankan tanpa mempengaruhi keberlanjutan produksi budidaya tambak di Holtekam. Informasi ini dapat digunakan sebagai masukan untuk kegiatan pengelolaan budidaya tambak

26 3 sekaligus dalam memformulasi kebijakan pengelolaan lingkungan perairan pesisir Holtekam bagi pengembangan perikanan budidaya secara lestari dan bertanggung jawab. Kajian ini diarahkan untuk memperoleh informasi beban limbah dari aktivitas budidaya ikan di tambak dan dampaknya terhadap lingkungan pesisir dengan pendekatan ekologis. Hal ini disebabkan karena air dari perairan pesisir Holtekam digunakan sebagai sumber utama pengairan tambak, dimana limbah buangan tambak masuk kembali ke perairan pesisir tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Wilayah pesisir Holtekam di Teluk Yos Sudarso merupakan salah satu kawasan pengembangan ekonomi Kota Jayapura. Wilayah ini sudah dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata pantai, budidaya tambak. kolam air tawar dan pertanian. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan perubahan ekologi. Saat ini luasan tambak di Holtekam yang tersedia sekitar 583 hektar, sedangkan yang sudah berproduksi sekitar 350 hektar dengan jumlah petani tambak 56 KK (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura 2010). Komoditas ikan yang dibudidayakan adalah ikan bandeng (Chanos chanos Forskal). Sejak dimulainya pembukaan lahan tambak pada tahun 1980, kebutuhan benih (nener) ikan bandeng diperoleh dari sekitar perairan pesisir Holtekam. Namun saat ini, hasil tangkapan nener semakin berkurang dan untuk memenuhi permintaan nener yang semakin meningkat maka didatangkan dari Makassar dan Surabaya. Kelangkaan nener di perairan Holtekam diduga karena menurunnya kualitas lingkungan pesisir Holtekam sebagai tempat asuhan larva ikan bandeng sebagai akibat konversi mangrove untuk tambak (Rumbekwan 2010). Data dan informasi mengenai kualitas perairan pesisir Holtekam sebagai kawasan budidaya hingga saat ini belum ada. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kajian mengenai kondisi kualitas perairan pesisir Holtekam yang nantinya dapat digunakan sebagai informasi bagi pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir Holtekam bagi pengembangan budidaya tambak secara lestari dan bertanggung jawab.

27 4 1.3 Kerangka Pemikiran Kegiatan budidaya tambak di Holtekam diduga berpotensi menyebabkan perubahan ekologis perairan pesisir. Buangan limbah tambak masuk ke perairan pesisir melalui saluran kali Buaya yang bermuara di pantai Holtekam. Kondisi ini dikuatirkan akan mempertinggi konsentrasi bahan organik dan nutrien, baik yang berada di dalam saluran tambak, kali buaya maupun perairan laut yang dapat mempengaruhi fungsi ekologis perairan pesisir. Disamping itu, akan berdampak bagi produktivitas tambak karena merupakan sumber air bagi pengairan tambak. Besarnya buangan limbah dari tambak dapat diketahui dari tingkat teknologi budidaya yang diterapkan dan hasil pengukuran parameter kualitas air. Limbah budidaya sebagian besar berasal dari sisa pakan, sisa buangan metabolime, bangkai plankton dan nutrien sebagai residu dari pemupukan tambak. Kemampuan perairan pesisir menerima limbah dapat diketahui dari kapasitas asimilasi dan daya dukung perairan tersebut. Budidaya tambak merupakan usaha padat modal dan memerlukan pengetahuan, ketrampilan serta ketekunan yang khusus. Keberlanjutan usaha tambak tergantung pada produktivitas tambak, keamanan lingkungan dan pemasaran komoditas hasil tambak. Budidaya tambak dengan menggunakan tekhnologi yang tepat dan memperhatikan kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan serta kelayakan usaha secara ekonomis akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan petambak. Diagram kerangka berpikir perumusan beban limbah budidaya ikan terhadap kualitas perairan pesisir Holtekam Kota Jayapura Provinsi Papua dapat dilihat pada Gambar Tujuan dan Kegunaan Tujuan penelitian ini adalah : Mengkaji kondisi kualitas air dan daya dukung perairan pesisir Holtekam dengan melihat karakteristik fisika kimia perairannya. Mengkaji kegiatan budidaya tambak yang berperan memberikan limbah. Mengkaji pengaruh limbah buangan tambak terhadap status lingkungan perairan pesisir Holtekam dilihat dari kondisi parameter fisika kimia perairan

28 5 dihubungkan dengan kelayakan untuk pengembangan budidaya perikanan pantai. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai masukan bagi petani tambak, Pemerintah Kota Jayapura dan stakeholder lainnya dalam mengambil kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan perairan pesisir Holtekam Teluk Yos Sudarso bagi pengembangan perikanan budidaya dan peruntukan lainnya. Perairan pesisir Holtekam Budidaya Tambak Limbah Produksi/ Pendapatan Aspek Ekologis (Karakteristik Parameter Kualitas air Air) Aspek Teknis Manajemen Budidaya Tambak Aspek Ekonomis (Modal, Biaya operasional, Keuntungan) Analisis : Karakteristik Kualitas air Daya Dukung Perairan Estimasi beban limbah Analisis : Teknis Budidaya Tambak Analisis : Finansial Pemanfaatan dan Pengelolaan Ekosistem Perairan Pesisir Holtekam secara Berkelanjutan Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

29 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir ke arah daratan, baik yang kering maupun terendam air masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin (Dahuri et al. 1996). Defenisi di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, baik di darat maupun di laut dan antara habitat tersebut saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rentan terhadap dampak negatif aktivitas manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap ekosistem pesisir (Primavera 2006). Wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik, problem yang unik dan kompleks. Secara ekonomis, wilayah pesisir sebagai sarana pelabuhan dan bisnis komersial, serta mempunyai daya tarik yang besar sebagai tujuan wisata dan tujuan lainnya yang dapat menghasilkan banyak keuntungan finansial (Cicin-Sain and Knecht 1998). Disamping itu, wilayah pesisir dihuni oleh lebih dari setengah penduduk dunia. Hampir dua pertiga dari kota-kota terbesar dunia terletak di wilayah pesisir dan pertumbuhan populasi penduduknya lebih cepat dibanding wilayah lainnya. Hingga saat ini, lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di wilayah pesisir (meliputi areal 50 km dari garis pantai) dan dua pertiga dari kota-kota di Indonesia berlokasi di wilayah pesisir (Dahuri et al. 1996). Produksi dan jasa dari wilayah pesisir dan laut juga menyediakan berbagai peluang dan kesempatan kerja. Diperkirakan satu dari lima pekerjaan yang ada di Indonesia berhubungan dengn pesisir dan laut. Sekitar 20% dari produk domestik regional bruto (PDRB) berasal dari wilayah pesisir dan laut, melalui kegiatan

30 8 ekonomi seperti: perikanan, pariwisata, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan industri (Dahuri et al. 2009). Dibalik prospek cerah dari wilayah pesisir dengan laju pertumbuhan penduduk dan berbagai aktivitas di sekitarnya, menimbulkan berbagai tekanan terhadap sumberdaya, yang diindikasikan dengan munculnya berbagai problem di wilayah pesisir. Beberapa kawasan pesisir dan laut di Indonesia, seperti: Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Teluk Jakarta, Selat Makassar dan lain-lain telah mengalami kerusakan sampai pada tingkat daya dukung lingkungan yang tidak mampu lagi ditolelir. Eksploitasi yang berlebihan terhadap ekosistem mangrove dan terumbu karang akan menghilangkan fungsi ekologisnya seperti peredam badai dan gelombang, menurunnya jumlah tangkapan dan produksi perikanan serta terjadinya pencemaran perairan pesisir akan berdampak terhadap hilangnya beberapa jenis spesies ekonomis penting (Cicin-Sain & Knecht 1998). Pencemaran merupakan salah satu faktor yang paling penting di antara penyebab kerusakan wilayah pesisir dan laut (Dahuri et al. 1996). Hal ini disebabkan karena pencemaran tidak saja merusak habitat atau mematikan komponen biota perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota dari wilayah pesisir yang tercemar. 2.2 Daya Dukung Perairan Pesisir Daya dukung adalah batasan banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran. Jadi, daya dukung adalah ultimate constrait yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang, tempat berpijah, penyakit, siklus predator, cahaya matahari atau salinitas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memperkirakan daya dukung suatu kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya adalah faktor kualitas dan kuantitas perairan. Faktor kualitas perairan berhubungan dengan kualitas fisik, kimia dan biologi perairan, sedangkan faktor kuantitas berhubungan dengan kemampuan wilayah pesisir untuk melakukan

31 9 degradasi secara alami terhadap limbah yang masuk kedalam perairan pesisir tersebut (Widigdo & Suwardi 2002). Kuantitas atau volume air yang tersedia telah digunakan untuk menentukan jumlah pakan maksimum tahunan yang dapat diberikan untuk menentukan daya dukung lahan pada budidaya air tawar di Denmark (Roque d Orbcastel et al. 2008). Metode yang sama digunakan oleh Widigdo & Pariwono (2003) untuk menentukan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan di kabupaten Subang (Jawa barat), Teluk Jakarta (Jakarta) dan Kabupaten Serang (Banten), Sitorus (2005) in Prasita (2007) di Kabupaten Subang (Jawa Barat), Prianto et al. (2006) di Kota Dumai (Riau), Prasita (2007) di Kabupaten Gresik, dan Mustafa dan Tarunamulia (2009) di Kabupaten Barru. Modifikasi Metode tersebut telah digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk mengetahui daya dukung perairan dan kapasitas asimilasi alaminya untuk menampung limbah bagi pengelolaan tambak secara berkelanjutan. Allison (1981) in Widigdo & Suwardi (2002) menyatakan bahwa kelayakan perairan umum untuk kegiatan budidaya maka perairan penerima limbah harus memiliki volume kali lipat volume limbah cair yang dibuang ke perairan tersebut. Jumlah limbah cair maksimum dari kegiatan budidaya yang masuk ke perairan umum adalah 10% dari total volume air perairan penerima limbah. Limbah cair maksimum dari kawasan budidaya yang dibuang ke perairan umum sebesar 10% dari total volume tambak atau kolam, maka volume air tambak/kolam maksimum adalah 10% volume air perairan umum (air yang masuk ke perairan pantai). Daya dukung kawasan untuk perikanan budidaya dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : daya dukung lahan, tingkat tekhnologi budidaya yang diterapkan dan manajemen usaha. Daya dukung lahan budidaya dipengaruhi oleh gabungan berbagai faktor seperti mutu sumber air (salinitas), arus air di pantai, pasang surut, ketinggian lahan, dan kondisi tanah pantai. Untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir dari kerusakan maka menjadi sangat penting untuk menentukan adanya kawasan penyangga (green belt), menetapkan atau mempertahankan kawasan lindung. Menurut Kepres Nomor 32 Tahun 1990, penentuan zona lindung untuk sempadan sungai memperhatikan :

32 10 (1) sekurang-kurangnya 100 m kiri-kanan sungai besar dan 50 m di kiri-kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman; dan (2) untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inpeksi antara m. Kriteria yang dapat dipakai untuk penentuan kawasan lindung mangrove adalah minimal 130 kali rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis surut terendah kea rah darat. Secara ekologis terdapat saling keterkaitan antara tambak dan mangrove. Ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar khususnya bahan-bahan organik (Robertson & Phillips 1995; Primavera 2006). Disamping itu, mangrove berfungsi sebagai kawasan penting untuk breeding grounds, nursery area dan habitat bagi berbagai biota perairan (Odum 1972; Widigdo & Suwardi 2002). 2.3 Kualitas Perairan Pesisir Suhu Suhu perairan merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sebaran organisme akuatik dan reaksi kimia. Peningkatan suhu perairan secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme suatu perairan (Wardoyo 1987). Suhu perairan merupakan suatu parameter penting, karena suhu perairan dapat mempengaruhi parameter fisika dan kimia yang lain. Di samping itu suhu merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup, serta meningkatnya laju metabolisme. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh suhu udara di atasnya. Dengan demikian suhu air dipengaruhi oleh kondisi iklim clan cuaca saat pengamatan. Menurut Nybakken (1992) suhu perairan di daerah pesisir mempunyai perbedaan yang nyata di bagian permukaan dan dasar perairan, dimana suhu di bagian permukaan lebih tinggi daripada di dasar perairan. Suhu air yang berkisar antara C, merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme air, yang dapat menyebabkan kematian Salinitas Salinitas menggambarkan kandungan garam dalam air suatu perairan. Air laut pada umumnya memiliki salinitas 32 ppt. Salinitas di daerah perairan

33 11 pesisir bertluktuasi dan dipengaruhi oleh musim, topografi, pasang surut serta jumlah air tawar yang masuk ke laut. Pasang surut dapat menyebabkan perubahan salinitas, sewaktu pasang air taut jauh masuk ke arah hulu dan sebaliknya sewaktu surut garis isohalin bergeser ke arah hilir (Odum 1971). Salinitas perairan sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan sistem osmoregulasi organisme perairan. Menurut Nybakken (1992) salinitas di berbagai tempat Oksigen Terlarut Oksigen terlarut atau dikenal dengan istilah DO (dissolved oksigen) adalah faktor penting bagi kehidupan makhuk hidup termasuk biota. perairan. Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut pada perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2000) Welch (1952) in Sulardiono (1997) menyatakan bahwa oksigen terlarut dalam air umumnya berasal dari difusi oksigen, arus atau aliran air melalui air hujan dan fotosintesis, sedangkan oksigen terlarut dapat berkurang disebabkan karena naiknya suhu air, meningkatkan salinitas, proses respirasi organisme perairan dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Alaerst & Sartika (1987) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dapat mencapai 14.6 mg/l pada suhu 0 C dan 7 mg/l pada suhu 35 C pada tekanan 1 atmosfer. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan, sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhimya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen terlarut dipergunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu 1991). Pada perairan yang menerima limbah organik, proses dekomposisi bahan buangan yang dilakukan oleh bakteri memerlukan oksigen yang cukup. Apabila jumlah bahan organik melimpah, aktivitas perombakan bakteri

34 12 memerlukan oksigen yang sangat banyak, sehingga konsentrasi oksigen di perairan menjadi berkurang, bahkan dalam kondisi tertentu perairan dapat dalam keadaan tanpa oksigen (anaerob), konsentrasi oksigen kurang dari 1 mg/l dapat mematikan organisme perairan hanya dalam selang beberapa hari (Swingle 1965 in Sulardiono 1997). Kondisi kelarutan oksigen yang rendah yang diikuti secara simultan oleh meningkatnya karbondioksida, penurunan ph air, meningkatnya sama laktat darah dan menurunnya ph darah ikan, meningkatnya amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya mengakibatkan adanya kondisi yang disebut sebagai Low Dissolved Oxygen Syndrome (LODOS) atau dikenal sebagai kondisi hypoxia. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju beban maksimum yang diperkenankan atau daya dukung. Kebutuhan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi oleh bakteri dan hewan. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung dari suatu perairan (Widigdo 2000) Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman atau ph merupakan gambaran jumlah atau lebih tepatnya aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai ph menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Di perairan pesisir atau laut ph relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara (Nybakken 1992). Perubahan nilai ph perairan pesisir yang kecil saja dari nilai alaminya menyebabkan sistem penyangga perairan tersebut terganggu, sebab air laut sebenarnya mempunyai kemampuan untuk mencegah perubahan ph. Di dalam perairan, ph dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd 1982).

35 Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam kolom air. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Perairan yang kekeruhannya tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolam air, sehingga membatasi proses fotosintesa. Besarnya jumlah partikel tersuspensi (TSS) dalam perairan pesisir, setidaknya pada waktu tertentu dalam setahun, menyebabkan air menjadi sangat keruh. Kekeruhan tertinggi biasanya terjadi pada saat aliran sungai maksimum, sedangkan kekeruhan terendah biasanya di dekat mulut muara (Nybakken 1992). Menurut Wardoyo (1987) tingkat kecerahan suatu perairan dipengaruhi oleh inklinasi cahaya dan panjang gelombang air. Semakin dalam intensitas cahaya menembus air, semakain besar nilai kecerahannya. Kekeruhan berbanding terbalik dengan tingkat kecerahan. Kecerahan suatu perairan menggambarkan sifat optik terhadap transmisi cahaya. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000). Padatan terlarut menunjukkan tingkat kepekatan padatan dalam suatu volume air. Sastrawijaya (1991) menyatakan perairan dapat mengandung larutan yang berupa zat organik dan anorganik. Jika bahan terlarut berupa hara, maka perairan tersebut akan memiliki produktivitas tinggi, sebaliknya jika zat terlarut merupakan unsur yang berbahaya (seperti merkuri, timbal) akan meracuni biota perairan yang tidak jarang dapat mengakibatkan kematian. Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Effendi 2000).

36 Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD 5 ) BOD5 (biological oxygen demand) yang merupakan gambaran secara tak langsung kadar bahan organik adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000). Menurut Boyd (1982) nilai BOD 5 menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi selama proses respirasi oleh mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD 5 yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya. BOD 5 juga memberikan gambaran seberapa besar oksigen yang diperlukan dalam proses dekomposisi secara biologis (biodegradable) di perairan. Dengan demikian semakin tinggi nilai BOD 5 maka akan memberikan gambaran semakin besarnya bahan organik yang akan terdekomposisi dengan menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Tingginya aktivitas dekomposisi mengakibatkan banyaknya jumlah bahan organik yang juga dapat berakibat lebih lanjut pada timbulnya bahan-bahan beracun dan berbau sebagai hasil sampingan dari proses dekomposisi, seperti amonia dan hidrogen sulfida. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut dalam air yang dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme biota perairan. Limbah ikan dan udang yang terbuang ke perairan akan mengalami proses dekomposisi (degradasi) yang dilakukan oleh bakteri. Salah satu kebutuhan utama dalam mendekomposisi limbah yang dapat diukur adalah oksigen. Sehubungan dengan hal tersebut Huisman (1987) in Widigdo et al. (2000) menyatakan bahwa untuk mendekomposisi 1 kg bahan organik diperlukan oksigen sebesar kg Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai COD (chemical oxygen demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik, baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi biologi (non-biodegradable), menjadi CO2 dan H 2 S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd 1989). Nilai COD juga dapat

37 15 memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam perairan, bila nilai COD jauh lebih besar dari nilai BOD (Alaerst & Santika 1987) Nitrogen (Amonia, Nitrit, Nitrat) dan Fosfat Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa amonia, nitri, nitrat dan senyawa bentuk lain. Senyawa tersebut berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri (Alaerst & Santika 1987). Secara alami senyawa amonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar amonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi, lebih besar dart 1.1 mg/l pada suhu 25 C dan ph 7.5 dapat diduga adanya pencemaran. Amonia (NH 3 ) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air. Senyawa ini berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi (Effendi 2000). Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total (NH 3 dan NH 4 ). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l dan kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH 3 ) pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0.02 mg/l. Kadar amonia bebas melebihi 0.2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer & Mc Carty 1978 in Effendi 2000). Nitrit (NO 2 ) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi) (Effendi 2000). Kadar NO 2 di perairan alami sekitar mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0.06 mg/l. kadar nitrit melebihi 0.05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sensitif (Moore 1991 in Effendi 2000) Nitrat (NO 3 ) merupakan salah satu senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme (fitoplankton,

38 16 tumbuhan air), apabila didukung oleh nutrien (nitrogen) terlarut (Alaerst & Santika 1987). Fosfat merupakan komponen yang penting bagi kesuburan perairan. Fosfat dalam air dapat berupa bahan padat atau bahan terlarut. Fosfat padat dapat terbentuk sebagai suspensi garam-garam yang ticlak larut (Sastrawijaya 1991). Fosfat yang diserap oleh organisme nabati berada dalam bentuk ortophosphat yang merepresentasikan nutrien fosfor (P) terlarut dan merupakan bioavailable phosphorus. Ketersediaan kedua nutrien ini merupakan gambaran tingkat kesuburan perairan, yang merupakan faktor paling penting bila perairan hendak dimanfaatkan untuk keperluan perikanan. Konsentrasi fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0.1 mg/l. Menurut Wardoyo (1987) kandungan fosfat yang melebihi normal akan meningkatkan kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton. 2.4 Limbah di Perairan Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah faktor biofisika-kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut Wardoyo (1987) perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Menurut Boyd (1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Pencemaran didefenisikan sebagai dampak negatif yang berbahaya bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem, serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari suatu ekosistem (Dahuri 2003). Berdasarkan sumbernya, bahan pencemaran dapat dikategorikan menjadi dua golongan yaitu dari alam dan kegiatan manusia. Pencemaran yang berasal dari alam, seperti sedimentasi akibat terjadinya abrasi pantai dan erosi. Menurut Sutamihardja (1992), pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia di antaranya adalah penggalian dan pengelolaan sumberdaya melalui pertambangan, perindustrian dan pertanian (termasuk Perikanan). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber pencemaran menjadi dua golongan yaitu : 1) limbah bahan organik yang berupa pengkayaan hara yang relatif tinggi,

39 17 sehingga terbentuk komunitas biotik yang berlebih (blooming) dan 2) zat-zat kimia toksik yang dapat menurunkan kelimpahan biota perairan dan mematikan kehidupannya. Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan, apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun, sehingga menurun pula nilai guna dan fungsi perairan bagi peruntukan lainnya (Dahuri & Arumsyah 1994). Nilai kisaran parameter kualitas air yang terukur dari lingkungan perairan pantai secara langsung dipengaruhi oleh proses hidrodinamika, misalnya pasang surut, gerakan ombak, pengenceran oleh air tawar dan sebagainya. 2.5 Potensi Limbah Perikanan Budidaya Kegiatan budidaya dapat menghasilkan limbah budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan dan secara nyata dapat mempengaruhi kualitas lingkungan pesisir (Johnsen et al. 1993). Secara langsung dan tidak langsung dampak pencemar terhadap lingkungan perairan yaitu menurunnya populasi organisme dan kerusakan habitat lingkungan perairan sebagai media hidupnya. Dalam kegiatan perikanan budidaya, penurunan kandungan oksigen terlarut yang merupakan faktor pembatas bagi kehidupan biota perairan, terjadinya eutrofikasi akibat pengayaan nutrien (N dan P), yang mengakibatkan terganggunya proses ekologis perairan serta nilai guna perairan (Karydis 2005) Kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah selain ditentukan oleh jumlah beban limbah yang masuk, juga ditentukan oleh faktorfaktor yang mendukung kemampuan asimilasi perairan tersebut, yaitu faktor hidro-oseanografi (arus, pasang surut, batimetri) dan volume air penerima limbah. Apabila limbah yang masuk ke lingkungan perairan pesisir melampaui kapasitas asimilasi atau kemampuan daya dukung maka akan berdampak terhadap berubahnya fungsi ekologis perairan pesisir tersebut. Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir adalah buangan limbah budidaya selama operasional. Buangan limbah tersebut mengandung bahan organik, nutrien dan pestisida dengan konsentrasi tinggi sebagai konsekuensi dari masukan akuainput dalam budidaya (Johnsen et al. 1993; McDonal et al. 1996; Boyd et al.

40 ; Horowitz & Horowitz 2000; Montoya & Velasco 2000; Lin & Yi 2003). Pada budidaya secara komersial, sebanyak 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan (Mc Donal et al. 1996). Hasil ekskresi dan feases akan meningkatkan nutrien anorganik dan organik yang masuk kedalam ekosistem perairan. Dampaknya cenderung memperburuk pertukaran air dari perairan pesisir ke dalam tambak terutama jika kegiatan budidaya terkonsentrasi pada satu lokasi. Limbah yang berasal dari tambak di sepanjang pesisir pantai akan langsung masuk ke laut dan akan berdampak pada penurunan kualitas perairan. Limbah tersebut akan mengalami proses dekomposisi oleh bakteri, dimana oksigen merupakan komponen yang sangat dibutuhkan dalam proses dekomposisi limbah (Widigdo 2000). Hasil monitoring yang dilakukan Primavera (1994) in Widigdo et al. (2000) menyebutkan bahwa pada tambak udang intensif 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85% yang dimakan sebagian besar juga akan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17% dari pakan yang diberikan dikonversikan menjadi daging udang, sementara 45% terbuang dalam bentuk ekskresi (metabolism, kelebihan nutrien), pergantian kulit (moulting) dan pemeliharaan (energi) dan 20% dari pakan akan dikembalikan dalam bentuk limbah padat berupa feases. Buangan limbah budidaya dapat mendegradasi lingkungan perairan apabila limbah tersebut mengandung konsentrasi P terlarut 0.1 mg/l, cenderung dapat menimbulkan proses eutrofikasi (Alabaster 1982 in Kibria et al. 1996). Terdapat empat jenis dampak lingkungan yang spesifik dari budidaya intensif yaitu hipernutrifikasi, pengayaan bentik, BOD 5 dan perubahan bakterial (Gowen et al in Silvert 1992). Selanjutnya Barg (1992) menyatakan bahwa limbah nutrien dan bahan organik dalam bentuk terlarut maupun partikel, berasal dari pakan yang tidak termakan dan ekskresi, umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan jumlah bahan tersuspensi (TSS), BOD 5, COD dan kandungan C, N, dan P. Sayangnya, sebagian besar informasi yang tersedia tentang limbah yang dilepaskan dari kegiatan budidaya tambak masih kurang.

41 19 Laju pergantian air oleh arus dan pasang surut sangat berperan di dalam proses pembuangan limbah dan memasok oksigen (Barg 1992). Dinamika arus dan kedalaman air yang menerima beban limbah menentukan tingkat pengenceran atau penyebaran areal sedimentasi dari pembuangan limbah dan dampaknya terhadap ekologi sekitar lokasi budidaya (Silvert 1992; Buschmann et al. 1996). 2.5 Potensi Limbah Tambak Salah satu penyebab pencemaran dalam kegiatan budidaya tambak, terutama untuk budidaya tambak intensif dan semi intensif adalah melimpahnya buangan limbah cair organik yang dibuang ke sungai, perairan pantai atau langsung ke laut (Widigdo 2000). Limbah tambak dapat bersumber dari sisa pakan, sisa hasil metabolisme (urine dan faeces), bangkai, dan mikroorganisme lainnya (Poernomo 1992; Sumagaysay & Diego 2003). Limbah organik terakumulasi dalam bentuk sedimen yang tertahan dan mengendap di dasar tambak atau terikat pada dinding pematang. Limbah organik banyak mengandung nutrien (Nitrogen-N dan fosfor-p) yang dapat menimbulkan eutrofikasi (Dahuri et al 2001). Batas daya tahan (holding capacity) pada lingkungan budidaya dicapai ketika pertumbuhan ikan terhenti walaupun makanan tersedia, rendahnya suplai oksigen terlarut dan tingginya buangan metabolisme karena input nutrien yang tinggi (Helper & Pruginin 1981 in Sumagaysay & Diego 2003). Pada biomassa ikan yang lebih tinggi, holding capacity lebih dipengaruhi oleh kualitas air seperti ammonia (N-total), kelarutan oksigen (DO), kebutuhan oksigen biologis (BOD 5 ) dan padatan tersuspensi (TSS) (Sumagaysay 1998). 2.6 Dampak Limbah Budidaya Terhadap Ekosistem Ekosistem pesisir dan laut juga merupakan tempat penampung limbah dari berbagai aktivitas manusia di sekitarnya. Sebagai tempat penampung limbah, ekosistem ini memiliki kemampuan yang terbatas tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui batas kemampuan asimilasi wilayah pesisir dan laut, maka akan terjadi kerusakan lingkungan di kawasan pesisir (Bengen 2000). Salah satu contoh kerusakan kawasan pesisir akibat limbah buangan aktivitas manusia adalah kawasan pantai utara Pulau Jawa.

42 20 Pengayaan perairan pantai dengan nutrien, khususnya nitrogen dan fosfor menyebabkan peningkatan pertumbuhan alga dan tanaman air. Hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan perairan pantai. Ketika nutrien masuk ke dalam perairan pantai, alga dan fitoplankton yang pertumbuhannya dibatasi oleh suplai nitrogen dan fosfor akan meningkat aktivitas fotosintesisnya. Pada umumnya fitoplankton akan mengalami blooming dan jenis yang ada berubah menjadi jenis yang tidak diinginkan dalam jumlah sangat besar. Fenomena ini disebut sebagai red tide yang berbahaya bagi ikan dan kerang (Dahuri et al. 2001). Potensi dampak negatif kandungan nutrien (Nitrogen dan fosfor) yang masuk ke perairan pantai, dapat dicegah dengan memprediksi kemampuan perairan pantai melakukan pengenceran terhadap limbah nutrien tersebut. Untuk menghitung kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak dapat digunakan rumusan hasil kegiatan Penyusunan Kriteria Eko-Biologis (Widigdo 2000). 2.7 Analisis Usaha Budidaya Tambak Pada semua usaha termasuk budidaya tambak, keuntungan menjadi tujuan utama. Analisis finansial digunakan untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh. Menurut Kadariah et al. (1978) keuntungan adalah total penerimaan atau total revenue (TR) dikurangi total biaya atau total cost (TC). Usaha tambak memerlukan modal yang besar dengan resiko yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis kelayakan usaha, untuk mengevaluasi apakah usaha tersebut layak atau tidak diusahakan dengan mengetahui besar manfaat dan besar biaya dari setiap unit yang dianalisis. Komponen biaya dalam analisis usaha budidaya tambak dibedakan menjadi: (1) biaya investasi, yang terdiri dari pengadaan lahan tambak, pembersihan lahan, konstruksi tambak, pengadaan peralatan; (2) Biaya operasional; (3) Biaya cicilan modal dan (4) biaya bunga modal. Komponen penerimaan yaitu nilai penjualan hasil budidaya tambak (Kadariah et al. 1978). Analisis finansial adalah analisis terhadap biaya dan manfaat dalam suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya atau yang berkepentingan langsung terhadap usaha tersebut.

43 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di perairan pesisir Holtekam, Kampung Holtekam, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Secara geografis berada pada posisi antara 1⁰ ⁰ Lintang Selatan dan antara 137⁰ ⁰ Bujur Timur. Titik sampling sebanyak 18 titik, 12 titik di tambak dan saluran Kali buaya dan 6 titik di laut (Lampiran 1). Kegiatan penelitian dilaksanakan selama selama 2 bulan, yaitu April Mei Pengukuran parameter kualitas air dilakukan selama 3 hari dari pukul WIT. Gambar 2. Peta lokasi Penelitian di Holtekam Distrik Muara Tami Kota Jayapura Provinsi Papua Berdasarkan data dari Balai Besar Moteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah V Jayapura 2009, Kota Jayapura mempunyai curah hujan yang bervariasi antara 29 mm sampai 456 mm per tahun dengan suhu harian berkisar antara ⁰C. Kelembaban udara bervariasi antara 76-93%. Iklim Kota Jayapura dikategorikan basah, dimana konsentrasi hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember hingga Januari, sedang konsentrasi hujan terendah terjadi antara bulan Mei hingga bulan Agustus setiap tahun.

44 Perairan Holtekam merupakan lekukan pantai yang terletak di dalam teluk Yos Sudarso, dimana pantainya terdiri dari pantai berpasir yang landai. sedangkan pada lahan atas merupakan kawasan mangrove yang sebagian telah di konversi menjadi lahan pertambakan. Bagian luar perairan Holtekam terdapat dua pulau karang yang dikelilingi oleh terumbu karang namun kondisinya sudah rusak akibat aktivitas masyarakat dan proses sedimentasi. Saluran pemasok air bagi kawasan pertambakan adalah Kali buaya yang bermuara di pantai Holtekam, sebelumnya merupakan sungai mati. Setelah irigasi teknis di Koya dibangun maka saluran pembuangan irigasi teknis dari Koya di hubungkan dengan kali buaya. Sepanjang pinggiran kali buaya ditumbuhi oleh mangrove dengan lebar hamparan 5 15 m. Pada musim hujan perairan saluran keruh akibat luapan lumpur dari sungai Muara Tami melalui saluran irigasi teknis yang masuk ke Kali Buaya. Kawasan pertambakan Holtekam terletak pada pesisir pantai yang sebelumnya merupakan kawasan hutan mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan dimulai sejak tahun 1980 oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Jenis mangrove yang mendominasi kawasan ini adalah Rhizopora sp., Sonneratia sp. dan Ceriops tagal. Aktivitas budidaya tambak masih dalam skala tradisional karena masih dilakukan secara perorangan berdasarkan pengalaman bertambak di daerah asal yakni Bugis dan Makassar. Lokasi penelitian di Perairan/Teluk Holtekam dapat dijangkau dengan menggunakan sarana transportasi darat dan laut. Jalan darat melalui ruas jalan Internasional Jayapura (RI) - Wutung (PNG) yang membutuhkan waktu ±30 menit dari Kota Jayapura. 3.2 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer yang meliputi data kuantitas dan kualitas air (parameter fisika-kimia dan biologi) dengan melakukan pengambilan sampel secara langsung di lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data pasang surut, pola arus, topografi, potensi wilayah dan tata guna lahan, Data sekunder ini diperoleh dari Dinas/instansi dan lembaga terkait yaitu : Pemda Kota Jayapura, Bappeda Kota Jayapura, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan

45 Moteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jayapura, Dinas hidro oseanografi AL Jayapura dan instansi lainnya Kualitas Air Pengumpulan data kualitas air untuk menentukan status perairan pesisir Holtekam yang terkait dengan kelayakan kehidupan biota perairan. Sampel air di ambil pada stasiun pengamatan yang telah ditentukan yakni di tambak, saluran dan laut. Sampel air untuk pengamatan parameter fisika kimia perairan disimpan dalam botol sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis lebih lanjut. Tabel 1 Parameter fisika kimia perairan yang diukur, alat dan cara analisisnya No Parameter Alat/Cara Analisis Keterangan Sifat Fisika Suhu air ( o C) Kedalaman (m) Kecerahan (m) Kekeruhan (NTU) (TSS) (mg/l) Kecepatan Arus (m/dtk) Sifat Kimia Salinitas (ppt) ph Oksigen terlarut (mg/l) BOD 5 (mg/l) COD (mg/l) Nitrit (N-NO 2 ) (mg/l) Nitrat (N-NO3) (mg/l) N-Total (mg/l) Fosfat (PO 4 ) (mg/l) TOM Thermom air raksa Tali penduga Secchi Disc Turbidimeter Gravimetrik Current meter Refraktometer ph meter DO meter Titrimetrik, inkubasi Titrimetrik dengan Bikromat Spektrofotom metode AgSO4 Spektrofotom metode AgSO4 Spektrofotom metode Nessler Spektrofotom metode SuCl2 Titrimetrik (KMnO ) 4 In Situ In Situ In Situ In Situ Laboratorium In Situ In Situ In Situ In Situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboraatoriu Analisis kualitas air (parameter fisika kimia) sebagian dilakukan langsung di lokasi pengamatan (in situ) dan di Laboratorium Lingkungan Badan Kesehatan Lingkungan Daerah Jayapura Provinsi Papua. Parameter yang diukur secara langsung di lokasi adalah: suhu, kedalaman, kekeruhan, kecerahan, kecepatan arus, salinitas, oksigen terlarut dan ph. Sedangkan parameter kualitas air yang di amati di laboratorium adalah: TSS, BOD, COD, Nitrat, Nitrit, N-Total, Fosfat dan

46 TOM. Metode pengambilan dan penanganan contoh air serta metode analisis kualitas air mengacu pada APHA (1989). Pengambilan sampel fitoplankton dari setiap substasiun dilakukan secara bersamaan pada saat pengukuran parameter kualitas air. Air sampel sebanyak 50 liter disaring dengan menggunakan plankton net diam 0.25 mm. Hasil saringan sebanyak 100 ml diawetkan dengan Formalin 10%, selanjutnya diamati kandungan fitoplanktonnya di Laboratorium Avertebrata Air IPB Kondisi Hidro Oseanografi Pengamatan hidro-oseanografi perairan pesisir Holtekam meliputi: pengukuran panjang pantai yang sejajar dengan lebar tambak yang menjadi pemasok air tambak, gradien perairan pantai rata-rata, pasang surut dan pola arus. Menentukan jarak pengambilan air laut (intake) untuk keperluan tambak yakni dihitung dari garis pantai (saat pasang) ke arah laut hingga mencapai kedalaman 1 m di bawah muka air laut pada saat surut, mengukur kedalaman air rata-rata dalam tambak dan pergantian air tambak Budidaya Tambak Pengamatan aktivitas budidaya tambak yang dilakukan selama penelitian meliputi luas areal tambak, luas petakan tambak, deskripsi fisik tambak yang meliputi kondisi sarana dan prasarana produksi tambak. Pengamatan terhadap tingkat tekhnologi dan manajemen budidaya tambak yang meliputi : persiapan tambak (jenis dan dosis pupuk, pestisida, kapur), benih (sumber benih, umur, jumlah, perlakuan, aklimatisasi), pengelolaan air dan lingkungan, pakan (jenis, jumlah ukuran dan frekuensi pemberian pakan), pemantauan pertumbuhan, penanganan hama dan penyakit, panen dan pasca panen. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara kepada responden utama baik secara tertutup (kuisioner) maupun terbuka dan pengamatan visual di lapangan (visual survey).

47 3.3 Analisis Data Komposisi Jenis, Indeks keanekaragaman (H ) Indeks Keseragaman (E) dan Dominansi Fitoplankton Komposisi jenis fitoplankton dimaksudkan untuk melihat persentase jenis fitoplankton yang menyusun komunitas fitoplankton pada suatu perairan. Komposisi jenis fitoplankton dihitung sebagai berikut : Dimana, K = Komposisi jenis (%) Ni = Jumlah spesies ke-i N = Jumlah total spesies Keragaman/keanekaragaman (H ) sangat penting untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu komunitas. Semakin tinggi indeks keanekaragaman suatu habitat maka semakin baik kestabilan habitat tersebut terhadap tekanan dari luar (external pressure) semakin baik. Penentuan indeks keanekaragaman jenis pada penelitian ini menggunakan indeks Shannon-Wiener dengan berpedoman pada Brower et al. (1990); Setyobudiandi et al. (2009), dengan formula sebagai berikut: Dimana : H = indeks keanekaragaman jenis ρi = ni/n ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah total individu seluruh jenis Agar nilai Indeks keanekaragaman jenis (H ) dapat ditafsirkan maknanya maka digunakan kriteria sebagai berikut : Jika H < 1 : keanekaragaman jenis rendah Jika 1 H 3 : keanekaragaman jenis sedang Jika H > 3 : keanekaragaman jenis tinggi Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui tingkat keseragaman suatu komunitas dan penyebaran jumlah individu tiap jenis plankton. Indeks

48 keseragaman dihitung dengan membandingkan nilai indeks keanekaragaman dan nilai keanekaragaman maksimum. Keseragaman jenis fitoplankton (E) dihitung dengan rumus : dimana : H = indeks keanekaragaman Shannon-wiener H maks = log 2 S S = jumlah spesies Nilai indeks keseregaman berkisar antara 0 1, dengan kriteria sebagai berikut : E < 0.4 : keseragaman kecil 0.4 E < 0.6 : keseragaman sedang E 0.6 : keseragaman besar Bila indeks keseragaman mendekati 0, maka ekosistem tersebut mempunyai kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu dan bila indeks keseragaman mendekati 1 maka ekosistem tersebut relatif stabil. Sedangkan untuk mengetahui dominansi (D) suatu jenis fitoplankton dalam komunitasnya digunakan indeks dominansi Simpson (Legendre & Legendre 1983), sebagai berikut : Dimana : D = indeks dominansi ni = jumlah spesies jenis ke-i N = jumlah total individu seluruh jenis Nilai indeks dominansi berkisar 0 1. Jika indeks dominansi mendekati 0 berarti tidak ada jenis fitoplankton yang mendominasi. Sebaliknya jika nilai indeks dominansi mendekati 1 berarti ada salah satu jenis fitoplankton yang mendominasi komunitas tersebut Analisis Spasial Karakteristik Kualitas Air Analisis spasial karakteristik kualitas perairan pesisir antara stasiun pengamatan, digunakan pendekatan analisis statistik multivariable, yaitu Analisis Komponen Utama (PCA) (Bengen et al. 1994). PCA merupakan metode statistik

49 deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan parameter kualitas perairan sebagai variable kualitatif (kolom). Sebelum melakukan PCA terlebih dahulu dilakukan analisis varians. Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu/baris dan variabel/kolom yang berkoresponden) pada data yang didasarkan pada rumus : Keterangan : D 2 = jarak euklidien = 2 stasiun (pada baris ke-i) Ji = parametereter kualitas perairan (indeks pada kolom, bervariasi dari 1 ke-p) X ij = jumlah kolom j untuk semua baris i Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun pengamatan, maka makin mirip karakteristiknya, sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara dua stasiun pengamatan, maka semakin berbeda karakteristik parameter fisika kimia perairan antara kedua stasiun pengamatan Analisis Daya Dukung Perairan Perhitungan kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak sangat penting demi kelestarian lingkungan pesisir dan kegiatan tambak yang berkelanjutan. Perhitungan kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak mengacu pada rumus hasil kegiatan penyusunan kriteria eko-biologis (Widigdo 2000). Data yang digunakan dalam analisis daya dukung perairan diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan (data primer), maupun dari berbagai sumber (data sekunder). Data yang dikumpulkan meliputi : 1. Amplitudo atau kisaran pasut (tidal range) (h), diambil dari hasil pengamatan

50 lapangan dan daftar pasang surut yang dikeluarkan oleh Dinas hidro oseanografi AL (data sekunder). 2. Panjang garis pantai (y), diperoleh dari dokumen Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kota Jayapura (data sekunder). 3. Jarak garis pantai dengan lokasi pantai yang kedalaman airnya 1 m pada saat surut terendah (x), diperoleh dari hasil pengukuran lapangan (data primer). 4. Sudut kemiringan dasar laut pantai ( ), diperoleh dari peta batimetri yang dikeluarkan oleh Dinas hidro oseanografi AL Jayapura (data Sekunder). Setelah data-data tersebut terkumpul, dilakukan perhitungan untuk mengetahui kapasitas kawasan perairan pesisir menerima limbah dari budidaya tambak. Secara lengkap tahapan dalam perhitungan daya dukung adalah : 1. Menghitung volume air laut yang masuk ke dalam kawasan pesisir atau air yang tersedia dengan menggunakan rumus : Dimana, Vo = volume air laut yang memasuki perairan pantai (m 3 ). h = Kisaran pasang surut (tidal range) setempat (m) y = lebar areal tambak yang sejajar garis pantai (m). x = Jarak dari garis pantai (pada waktu pasang) hingga lokasi intake air laut untuk keperluan tambak (m). θ = Sudut kemiringan pantai Setelah diketahui V o, maka nilai tersebut dikalikan dengan frekuensi pasang harian dan hasilnya merupakan nilai volume air tersedia (Vs). 2. Menghitung kapasitas limbah yang maksimal yang bisa diterima kawasan pesisir berdasarkan asumsi dari Racocy & Alison (1981) in Widigdo & Suwardi (2002) yaitu maksimal limbah tambak yang bisa di asimilasi atau didegradasi oleh lingkungan secara alami sebanyak 1% dari volume air yang tersedia. Volume air per satuan waktu dalam suatu kawasan adalah merupakan debit air di kawasan tersebut, sehingga semakin besar debit air berarti semakin besar juga daya tampungnya terhadap limbah. Artinya semakin besar juga produksi tambak yang mungkin dapat dicapai di kawasan tersebut.

51 3.3.4 Estimasi Beban Limbah Budidaya Tambak Konsentrasi limbah dari sisa pakan dan feses ikan sebenarnya akan mengalami penurunan karena terurai menjadi unsur hara yang kemudian dikonversi untuk pertumbuhan fitoplankton (Widigdo 2000). Namun di dalam memperhitungkan jumlah limbah, penurunan tersebut tidak diperhitungkan, karena belum adanya metoda perhitungan kuantitatif yang memadai untuk itu. Adanya asumsi bahwa over prediction limbah masih lebih baik dibanding dengan under prediction. Perhitungan beban limbah budidaya adalah dengan mengalikan volume air tambak dengan nilai konsentrasi N-Tot al, TOM dan PO 4 -P di perairan tambak. Nilai ini selanjutnya dihubungkan dengan nilai baku mutu perairan untuk budidaya (KLH 2004). Formula yang dipakai pada perhitungan ini didasarkan atas perhitungan nutrient loading model yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Barg (1992), yaitu : x F Dimana, N = jumlah limbah di perairan (mg/l) E = konsentrasi limbah dalam air (mg/l) V = volume perairan (m 3 ) F = flushing time (m /dtk)(f tambak = 1) Analisis Teknis Budidaya Tambak Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi teknis pengelolaan tambak bandeng yang saat ini sedang dilakukan oleh masyarakat. Untuk tujuan tersebut dilakukan pengumpulan data yang meliputi : luas tambak, prasarana dan sarana budidaya serta teknik produksi yang meliputi : persiapan tambak (jenis dan dosis pupuk, pestisida, kapur), benih (sumber benih, umur, jumlah, perlakuan, aklimatisasi), pengelolaan air dan lingkungan, pakan (jenis, jumlah, ukuran dan frekuensi pemberian pakan), pemantauan pertumbuhan, penanganan hama dan penyakit, panen dan pasca panen. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara kepada responden utama baik secara tertutup dan terbuka dan pengamatan visual di lapangan (visual survey). Data tersebut kemudian di analisis secara deskriptif dan hasilnya disajikan secara naratif dan sebagian dalam bentuk Tabel.

52 3.3.6 Analisis Finansial Untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya tambak bandeng, maka dilakukan analisis finansial dengan melihat hasil yang mungkin diterima oleh pelaku usaha, menguntungkan atau tidak. Analisis finansial yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua kriteria yaitu undiscounted criterion dan discounted criterion. A. Undiscounted Criterion Dalam melakukan analisis disini tidak mempersoalkan apa yang diperoleh dikemudian hari, besaran nilainya diukur dengan nilai uang sekarang. Kriteria yang digunakan meliputi : 1) Analisis pendapatan usaha (π); 2) Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C); 3) Analisis titik impas (BEP). Analisis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Pendapatan Usaha Tambak ( Analisis ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output dari usaha tambak dan besar keuntungan atau pendapatan yang diperoleh dari usaha tambak yang dilakukan (Djamin, 1993). Konsep pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut : Dimana, = Pendapatan (keuntungan) per musim tanam (Rp.) Y = Total produksi (jumlah kg produksi per musim tanam)(kg) X = Jumlah input yang digunakan (kg) P y P xi = Harga per satuan produk (Rp.) = Harga per satuan input (Rp.) P.Y = Total Penerimaan = TR y = Total Pengeluaran = TC Dengan kriteria usaha : TR>TC, maka usaha tambak menguntungkan TR=TC, maka usaha tambak impas TC<TR, maka usaha tambak rugi

53 Revenue Cost Ratio (R/C) Analisis ini dikenal dengan istilah imbangan penerimaan dengan biaya. Analisis ini berguna untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha selama periode waktu tertentu (satu musim tanam). Rumus yang digunakan untuk menghitung R/C dijelaskan oleh Riyanto (1989) in Tahir (2000). dimana, TR = Total Penerimaan (Total Revenue) TC = Total pengeluaran (Total Cost) Kriteria usaha : R/C > 1, usaha menguntungkan R/C = 1, usaha impas R/C < 1, usaha merugikan Break Event Point (BEP) Analisis titik impas (BEP) adalah suatu cara untuk mengetahui kaitan antara volume produksi, volume penjualan, harga jual, biaya produksi, dan biaya lainnya serta laba dan rugi. Hasil analisis BEP akan diketahui pada volume (jumlah) penjualan (Rp.) dan produksi (kg) berapa suatu usaha tidak rugi dan tidak untung (impas) (Sigit 1993). Rumus yang digunakan adalah : Dimana : TC TP BEP = Biaya total (Rp.) = Total produksi (kg) = Harga Produksi minimum (Rp.) Dimana : TC CPU BEP = Biaya total (Rp.) = Harga per Unit (Rp./kg) = Produksi minimum (Rp.)

54 B. Discounted Criterion Dalam analisis ini dipersoalkan apa yang akan diperoleh dikemudian hari dengan dasar nilai sekarang. Semua aliran cost dan benefit selam umur ekonomis tertentu diukur dengan dasar nilai uang sekarang, artinya kita melakukan discount nilai dikemudian hari dengan suatu discount factor. Aliran cost dan benefit yang telah di-discount akan menghasilkan present value dari cost dan benefit. Discounting factor yang dipakai tergantung pada tingkat suku bunga yang akan dipakai sebagai discount rate. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Net present value (NPV); 2) net benefit cost ratio (Net B/C); 3) Internal Rate of Return (IRR). Uraian setiap kriteria tersebut adalah sebagai berikut : Net Present Value (NPV) Manfaat yang diperoleh dari suatu usaha kaitannnya dengan nilai waktu penerimaan laba, dapat ditentukan dengan jalan mencari nilai netto pada saat ini, atau mencari tingkat presentase discount rate dengan menyamakan jumlah nilai investasi dengan nilai penerimaan usaha pada saat ini (Kadariah et al. 1978). Cara tersebut lazim disebut dengan istilah metode mendiskonto, yaitu mencari nilai saat ini dari arus peneriman/pengeluaran pada beberapa tahun yang akan datang berdasarkan suatu tingkat diskon tertentu. NPV merupakan selisih antara present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Bila dalam analisis diperoleh nilai NPV > 0, berarti usaha layak untuk dilaksanakan; bila NPV = 0, pengembalian persis sama dengan opportunity cost dari modal dan bila NPV < 0, berarti usaha tidak layak dilakukan. Untuk menghitung nilai NPV digunakan persamaan sebagai berikut : Dimana, B t n r t C t = manfaat usaha pada tahun ke-t = biaya unit usaha pada tahun ke-t = umur ekonomis = discount rate = 0, 1, 2, 3, tahun ke-n

55 Net Benefit Ratio (Net B/C) Net B/C adalah perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu usaha dengan biaya investasi pada awal usaha (Kadariah et al. 1978). Untuk menghitung nilai Net B/C digunakan persamaan sebagai berikut : dimana, B t C t = manfaat pada tahun ke-t = biaya pada tahun ke-t n = umur ekonomis r = discount rate t = 0, 1, 2, 3, tahun ke-n Internal Rate Return (IRR) IRR merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV = 0, Jadi dalam keadaan batas untung dan rugi. Hal ini dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, asalkan setiap manfaat yang diperoleh ditanam kembali pada tahun berikutnya (Kadariah et al. 1978). IRR dirumuskan sebagai : dimana, i 1 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif i 2 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV pada tingkat suku bunga i NPV2 = NPV pada tingkat suku bunga i kriteria, IRR>1, berarti kegiatan budidaya tambak dapat dilanjutkan IRR<1, berarti kegiatan budidaya tambak ini lebih baik dihentikan Struktur Biaya Struktur biaya adalah seluruh komponen biaya yang terlibat didalam kegiatan budidaya tambak mulai dari persiapan sampai panen. Biaya pengeluaran 1 2

56 meliputi : (1) biaya investasi, yang terdiri dari pembangunan fisik tambak, dan pengadaan peralatan; (2) Modal kerja, yang meliputi biaya penyusutan, biaya tenaga kerja dan biaya produksi; (3) biaya cicilan dan bunga modal. Biaya penerimaan adalah hasil penerimaan dari penjualan hasil produksi budidaya. Komponen biaya ini bermanfaat untuk digunakan dalam analisis finansial kegiatan budidaya tambak, sehingga dapat diketahui keuntungan yang diperoleh, kelayakan dan keberlanjutan usaha budidaya tambak tersebut Analisis Keterkaitan antara Kegiatan Budidaya, Limbah Perairan dan Keuntungan Usaha Budidaya. Berdasarkan data yang diperoleh serta analisis sebelumnya yang meliputi : daya dukung kawasan perairan pesisir Holtekam, analisis karakteristik parameter kualitas air, analisis teknis budidaya dan analisis kelayakan usaha, maka dilakukan analisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan masing-masing dalam upaya pengembangan budidaya tambak dalam rangka pemanfaatan lahan pesisir secara berkelanjutan. Hasil analisis disajikan secara naratif.

57 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Stasiun Pengamatan Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan pada tiga stasiun yakni laut, saluran kali Buaya dan tambak dimana masing-masing stasiun terdiri atas 6 substasiun. Stasiun laut terletak di perairan pesisir pantai Holtekam, merupakan lekukan pantai di dalam Teluk Yos Sudarso yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Sebelah timur pesisir Holtekam dibatasi oleh sebuah tanjung yang menghalangi hempasan gelombang secara langsung dari Samudera Pasifik. Bagian depan perairan Holtekam terdapat dua pulau karang yang dikelilingi oleh terumbu karang, namun kondisinya sudah rusak akibat aktivitas masyarakat dan sedimentasi. Lebar pantai pada saat surut sekitar 150 m, dan jarak perairan dengan daratan sekitar 10 m. Topografi pantai landai dengan kemiringan pantai antara 1-3% dengan rata-rata 2%. Perairan ini mempunyai substrat pasir dan merupakan tempat bermuara kali Buaya. Pola arus pada saat pasang dari arah Timur Laut ke arah Barat Daya menyusur pantai menuju Teluk Yotefa dan pada saat surut arah arus kembali menuju arah timur laut. Saluran kali Buaya merupakan sungai kecil dengan lebar di daerah muara ±60 m, namun lebar mulut muara menyempit akibat pembuatan jembatan menjadi ±16 m. Di sepanjang pinggiran sungai ditumbuhi oleh mangrove yang didominasi oleh Rhizophora sp. dan Sonneratia sp. Lebar sungai ke arah hulu semakin menyempit dan pada sub stasiun 3 lebar sungainya ±30 m (daerah basah). Substrat dasar pada daerah dekat muara adalah pasir sedangkan di daerah hulu mempunyai substrat lumpur. Stasiun tambak merupakan areal pertambakan yang terletak di sepanjang pesisir pantai Holtekam di sebelah kiri-kanan Kali Buaya, namun sebagian besar areal tambak terletak di sebelah kiri. Suplai air dari Kali Buaya ke tambak melalui saluran sekunder dengan lebar 5-10 m. Saluran ini berfungsi mensuplai air tambak sekaligus sebagai saluran pembuangan tambak pada saat panen. Kedalaman air pelataran tambak berkisar antara cm, sedangkan pada saluran keliling (caren) berkisar antara cm. Kawasan hutan mangrove yang masih utuh masih dapat dijumpai di antara areal tambak.

58 Karakteristik Parameter Kualitas Air Hasil pengamatan parameter kualitas perairan tambak, saluran Kali Buaya dan laut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Nilai rata-rata konsentrasi parameter kualitas air perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut pesisir Holtekam Kota Jayapura No. Parametereter Stasiun Baku Satuan Kualitas Air Tambak (n = 6) Saluran (n = 6) Laut (n = 6) Mutu 1 Suhu (⁰C) ± ± ± * 2 KCRH (cm) 24 ± ± ± >5* 3 KKRH NTU 3 ± ± ± 0.71 <5* 4 TSS mg/l ± ± ± * 5 K. Ars m/det 0.04 ± ± ± Salinitas 10.5 ± ± ± *, 7 ph ± ± ± * 8 DO mg/l 4.47 ± ± ± 0.10 >5* 9 BOD5 mg/l 3.28 ± ± ± * 10 COD mg/l ± ± ± 6.65 <20** 11 Nitrat mg/l ± ± ± * 12 Nitrit mg/l ± ± ± ** 13 N-Total mg/l ± ± ± * 14 PO4-P mg/l 2.08 ± ± ± * 15 TOM mg/l 3.86 ± ± ± * Baku Mutu kualitas air berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 ** UNESCO/WHO/UNEP (1992) Suhu dan Salinitas Hasil pengamatan rata-rata suhu permukaan perairan (Tabel 2) pada kawasan tambak 31.27⁰C, saluran Kali Buaya 31.27⁰C dan perairan laut 28⁰C hingga 31.1⁰C. Kisaran suhu yang tidak terlalu besar selama pengamatan menunjukkan suhu perairan pada ketiga stasiun tersebut relatif stabil. Kisaran suhu permukaan pada ketiga stasiun pengamatan masih dalam kategori baik untuk untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup biota perairan (Poernomo 1992; KLH 2004). Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme perairan, serta peningkatan dekomposisi

59 37 bahan organik oleh mikroba sehingga konsumsi oksigen akan meningkat (Effendi 2000). Peningkatan suhu perairan sekitar 10 o C menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme perairan 2 3 kali lipat. Sebaliknya dengan meningkatnya suhu, konsentrasi oksigen terlarut akan menurun. Hasil pengukuran salinitas dari ketiga stasiun pengamatan berkisar antara Salinitas pada tambak berkisar antara 5-17, saluran kali Buaya berkisar antara 5-25 dan salinitas perairan Laut berkisar antara (Tabel 2). Salinitas Saluran kali Buaya fluktuasinya dipengaruhi oleh masukan air tawar dari saluran irigasi dan masukan air laut pada saat terjadi pasang (Effendi 2000). Proses percampuran air laut dan air tawar secara alami pada saat terjadi pasang memberikan kondisi yang cocok bagi kelangsungan hidup biota budidaya. Pada saat pasang, air laut yang masuk ke saluran kali Buaya akan meningkat sehingga salinitas akan meningkat, dan pada saat surut maka suplai air tawar akan lebih besar terutama di daerah hulu saluran sehingga salinitas akan menurun. Salinitas perairan tambak relatif lebih rendah pada tambak yang jauh dari saluran kali Buaya atau yang berada di daerah hulu karena lebih dipengaruhi oleh masukan air tawar terutama pada saat musim hujan Kecerahan, Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam kolom air. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya proses fotosintesa. Hasil pengamatan tingkat kecerahan perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing berkisar antara 23 25%, 15 5%, dan %. Tingkat kecerahan pada perairan tambak dan saluran kali Buaya relatif lebih rendah karena kedalaman tambak dan saluran relatif dangkal. Tingkat kecerahan di tambak dipengaruhi oleh kelimpahan fitoplankton, sementara di saluran dipengaruhi oleh konsentrasi lumpur yang terbawa oleh saluran irigasi sampai di muara. Hal ini nampak di stasiun laut dimana nilai kecerahan secara gradual meningkat. Tingkat kecerahan dari masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.

60 38 Kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Perairan yang tingkat kekeruhannya tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga membatasi proses fotosintesa. Kecerahan substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 3. Tingkat kecerahan perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai rata-rata tingkat kekeruhan di perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing adalah 3.0 NTU, 7.02 NTU dan 2.13 NTU (Tabel 2). Tingkat kekeruhan yang di saluran Kali Buaya diduga disebabkan oleh akumulasi buangan bahan organik dan anorganik dari tambak pada saat panen dan lumpur yang terbawa dari saluran irigasi. Hal ini senada dengan pernyataan Davis & Cornwell (1991) in Effendi (2000), bahwa kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut seperti lumpur, pasir halus, plankton dan mikroorganisme lainnya. Perairan yang kekeruhannya disebabkan oleh plankton memberikan indikasi bahwa perairan tersebut subur dan produktifitasnya tinggi. Hasil pengamatan padatan tersuspensi (TSS) menunjukkan nilai rata-rata pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing adalah mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2). Nilai TSS tertinggi di saluran Kali Buaya yakni mg/l. Hasil pengamatan TSS ketiga stasiun ini lebih tinggi dari standar kualitas air yang diisyaratkan yakni <20 mg/l (KLH 2004) dan 50 mg/l Boyd (2003). Hasil pengamatan visual di lapangan pada saat

61 39 dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel menunjukkan bahwa saluran kali Buaya keruh karena lumpur yang terbawa oleh adanya saluran irigasi teknis dimana sumber airnya berasal dari sungai Muaratami yang sepanjang tahun airnya sangat keruh akibat erosi di bagian hulu sungai. Kekeruhan (NTU) , ,8 2,5 8, ,5 2, Substasiun 1 Substasiun 2 Substasiun 3 Substasiun 4 Substasiun 5 Substasiun Tambak Saluran Laut Gambar 4. Tingkat kekeruhan perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Kekeruhan berkaitan erat dan berkorelasi positif dengan TSS. Semakin tinggi TSS maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Hasil pengamatan menunjukkan adanya korelasi positif antara TSS dengan nilai kekeruhan, dimana rata-rata nilai kekeruhan tinggi di saluran Kali Buaya juga ditandai dengan tingginya TSS. Sebaliknya, tingginya konsentrasi TSS di laut tidak selamanya diikuti oleh tingginya kekeruhan (Effendi 2000). Jika padatan tersuspensi adalah bahan organik sebagai akibat buangan limbah lumpur cair (sludge) dari tambak pada saat pemanenan. Kekeruhan akibat lumpur akan mempengaruhi kehidupan organisme perairan. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme membutuhkan banyak oksigen untuk mengoksidasi bahan organik yang ada.

62 40 TSS (mg/l) substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Gambar 5. Padatan tersuspensi (TSS) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Keberadaan lumpur akan menyebabkan tingginya tingkat kekeruhan yang dapat menghambat penetrasi cahaya masuk ke kolom air sehingga menurunkan efisiensi fotosintesa fitoplankton dan tanaman air khususnya lamun (Gacia et al. 2005). Disamping itu, akan mengganggu pernapasan organisme perairan Derajat Keasaman (ph) Tambak Saluran Laut Derajat keasaman (ph) merupakan gambaran seberapa asam atau basa suatu perairan. Hasil pengukuran ph pada ketiga stasiun pengamatan menunjukkan Kisaran rata-rata pada tambak, saluran kali Buaya dan laut masingmasing 7.55, 7.58, dan 8.17 (Tabel 2). Nilai ph ini masih dalam Kisaran yang layak dan stabil (Boyd 2003). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken et al. (1992) bahwa di perairan pesisir ph relatif lebih stabil dan berada dalam Kisaran yang sempit. Pertumbuhan ikan optimal terjadi pada kisaran ph (Poernomo 1988; KLH 2004). Nilai ph berpengaruh terhadap proses biokimiawi perairan (Novotny & Olem 1994 in Effendi 2000). Proses nitrifikasi akan terganggu pada ph rendah, sementara pada ph tinggi toksisitas ammonia meningkat. Proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba berlangsung lebih cepat pada kondisi ph netral dan alkalis (Boyd 1988).

63 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) adalah faktor penting bagi kehidupan biota perairan. Hasil pengukuran oksigen terlarut menunjukkan nilai rata-rata pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut adalah 4.47 mg/l, 4.33 mg/l dan 7.23 mg/l (Gambar 7). Kadar oksigen terlarut pada masing-masing stasiun pengamatan masih berada dalam kisaran yang layak bagi kehidupan organisme (Poernomo 1988) yakni 4 7 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat mengganggu kehidupan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen yang rendah 2,1 mg/l mengganggu aktivitas metabolisme bahkan menyebabkan kematian biota perairan. DO (mg/l) ,5 5,1 7,4 7,2 7,2 7,1 7,3 7,2 4,5 4,3 4,3 4,3 4,6 3,5 5,4 4,5 4,5 4,3 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 6. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Penurunan oksigen terlarut di tambak dapat di gunakan untuk menentukan kapasitas menahan beban (holding capacity) terhadap biomassa ikan budidaya dan masukan pakan yakni pada tingkat 1 mg/l pada pagi hari (Sumagaysay & Diego 2003). Sumber oksigen terlarut di perairan dapat berasal dari difusi akibat pergolakan massa air karena adanya gelombang/ombak, namun sumber utama oksigen di perairan adalah fotosintesa (Tebbut 1992 in Effendi 2000).

64 Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD 5 ) Kebutuhan oksigen biologis (BOD5) merupakan gambaran secara tak langsung konsentrasi bahan organik dalam perairan. BOD 5 menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Boyd 1982; Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2000). Hasil pengukuran BOD 5 pada perairan Tambak, Saluran Kali Buaya dan Laut masing masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan nilai rata-rata 3.28 mg/l, 3.15 mg/l dan 4.96 mg/l (Gambar 7). Konsentrasi BOD 5 pada perairan tambak relatif sama yakni rata-rata 3.28 mg/l, sementara pada Saluran Kali Buaya ada kecenderungan semakin ke arah hilir (substasiun 1 dan 2) konsentrasi BOD 5 makin meningkat sampai di Laut. Nilai BOD 5 yang tinggi ditemukan pada pada semua substasiun laut (substasiun 1-6) dimana rata-rata nilai BOD 5 yang terukur adalah 4.96 mg/l. BOD 5 (mg/l) 6 5 4,92 4,86 4,76 4,15 4,24 3,99 4 3,05 3,05 3 2, ,10 5,26 4,84 3,68 3,18 3,203,05 2,33 2,33 0 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 7. Kebutuhan oksigen biologis (BOD 5 ) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai konsentrasi BOD 5 di muara dan laut lebih tinggi dibandingkan di Tambak, diduga karena pada perairan muara dan laut merupakan tempat terkonsentrasinya bahan organik dari tambak dan saluran kali Buaya. Nilai BOD 5 dari ketiga stasiun pengamatan masih berada dalam kondisi yang layak. Perairan alami memiliki nilai BOD 5 antara mg/l. Perairan dengan nilai BOD 5

65 43 lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2000) sedangkan batas konsentrasi BOD 5 pada tingkat maksimum buangan limbah adalah 30 mg/l (Boyd & Gautier 2000 in Boyd 2003) Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand, COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik, baik yang bisa terdegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar terdegradasi secara biologis (nonbiodegradable), menjadi CO 2 dan H 2 O (Boyd 1988). Konsentrasi COD pada stasiun Tambak, Saluran Kali Buaya dan Laut masing-masing berkisar antara mg/l, mg/l dan mg/l dengan rata-rata mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2, Gambar 8). COD (mg/l)) ,5 11,5 23,4 26,9 19,2 11,2 7,7 8,4 11,2 11,2 37,2 38,4 38,9 15,4 10,5 7,7 8,4 36,4 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 8. Konsentrasi kebutuhan oksigen kimiawi (COD) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai konsentrasi COD yang pada perairan laut lebih tinggi dibanding nilai COD pada perairan tambak dan saluran kali Buaya. Hal ini memberikan indikasi adanya sejumlah bahan organik terlarut yang relatif tinggi pada perairan laut. Nilai COD di perairan yang tidak tercemar biasanya <20 mg/l, sedangkan di perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/l (WHO 1992 in Effendi 2000).

66 Nitrogen (NO 3, NO 2, N-Total) Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan senyawa bentuk lain. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur melalui proses amonifikasi. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (urea dan protein) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air. Nitrit (NO 2 ) merupakan produk nitrifikasi ammonia yang relatif beracun terhadap biota perairan apabila berada dalam konsentrasi yang tinggi. Hasil pengamatan konsentrasi nitrogen dalam bentuk NO 2 pada stasiun tambak, saluran Kali Buaya dan laut menunjukkan rata-rata kisaran mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2). (mg/l)) 0,0025 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 NO 2 0,0015 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0, substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Gambar 9. Konsentrasi nitrit (NO 2 ) pada perairan tambak, saluran Kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Konsentrasi NO 2 ini masih dalam Kisaran yang layak bagi biota perairan, dimana masih lebih rendah dari persyaratan kualitas air tambak udang yakni 0.25 mg/l (Poernomo 1992). Perairan alami umumnya mengandung NO 2 sebesar mg/l dan sebaiknya tidak lebih dari 0.06 mg/l. Konsentrasi NO 2 sebesar 6.4 mg/l dapat menghambat laju pertumbuhan udang putih (Penaeus indicus) sebanyak 50% (Poernomo 1988). Tambak Saluran Laut

67 45 Nitrat (NO 3 ) merupakan produk akhir dari proses nitrifikasi sebagai sumber unsur N yang esensial bagi pertumbuhan fitoplankton dan tanaman air. Hasil pengamatan konsentrasi NO 3 pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut menunjukkan Kisaran nilai rata-rata masing-masing mg/l, mg/l dan mg/l (Tabel 2; Gambar 10). Nilai konsentrasi NO 3 dari hasil pengamatan masih dalam kategori baik jika dihubungkan dengan konsentrasi NO 3 yang dipersyaratkan untuk kehidupan biota laut yaitu mg/l (KLH 2004). (mg/l)) NO 3 0,0045 0,004 0,0035 0,003 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0, ,004 0,003 0,003 0,003 0,003 0,002 0,002 0,002 0,001 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,001 0,001 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 10. Konsentrasi nitrat (NO 3 ) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Hasil pengukuran konsentrasi N-total pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan nilai rata-rata 0.28 mg/l, 1.29 mg/l dan 4.19 mg/l (Tabel 2). Nilai N-total secara gradual meningkat dari tambak, saluran kali Buaya dan laut. Nilai N-total cukup tinggi terutama terdapat pada dua substasiun di perairan muara saluran kali Buaya dan laut. Kondisi ini diduga berkaitan dengan perilaku nitrogen yang mudah larut dalam air. Sebagai contoh ion nitrat yang bermuatan negatif bersifat lebih mobile sehingga jika tidak di manfaatkan oleh produser primer akan mudah larut dalam air. Hal sebaliknya terjadi pada

68 46 konsentrasi fosfat, dimana sangat mudah mengalami sedimentasi. N-total yang terukur masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan biota perairan, berdasarkan rekomendasi standar kualitas air limbah untuk udang oleh Boyd dan Gautier (2000) in Boyd (2003) yakni 5 mg/l. (mg/l)) N-Total 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 4,611 4,554 4,524 4,152 3,835 3,812 3,794 2,721 0,102 0,401 0,412 0,255 0,401 0,382 0,101 0,102 0,253 0,106 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 11. Konsentrasi N- total pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura Fosfat (PO 4 -P) Fosfat merupakan komponen yang penting bagi kesuburan perairan. Fosfat yang diserap oleh organisme nabati dalam bentuk ortophosphat yang merepresentasikan nutrien fosfor (P) terlarut dan merupakan bioavailable phosphorus. Hasil pengukuran PO4-P pada perairan tambak, saluran Kali Buaya dan laut masing-masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan rata-rata 2.08 mg/l, 1.33 mg/l dan 0.81 mg/l. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa konsentrasi fosfat lebih tinggi dari konsentrasi fosfat pada perairan alami yang berkisar mg/l, sedang pada air tanah sekitar 0.02 mg/l. Konsentrasi fosfat pada perairan alami jarang melebihi dari 1 mg/l (Boyd 1998). Konsentrasi fosfat pada perairan tambak lebih tinggi dari saluran dan laut, diduga karena tambak di pupuk dengan pupuk fosfat secara berkala untuk menumbuhkan lumut, klekap dan plankton. Penurunan konsentrasi fosfat

69 47 secara gradual mulai dari tambak, saluran Kali Buaya dan laut diduga sebagai akibat dari adanya sedimentasi fosfat. Pelarutan senyawa fosfat berlangsung lambat karena terikat oleh kalsium, besi oksida dan aluminium oksida (Balzer 1986 in Erftemeijer & Middelburg 1993). Konsentrasi fosfat dalam kolom air pada saluran kali Buaya dan laut relatif lebih rendah, namun masih lebih tinggi dari konsentrasi fosfat air laut yang di persyaratkan untuk kehidupan biota laut adalah mg/l (KLH 2004). Fosfat diperlukan bagi kegiatan budidaya tambak tradisional untuk menumbuhkan klekap, plankton dan makrofita sebagai pakan alami ikan. PO 4 - P (mg/l)) 3,00 2,50 2,50 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 0,50 0,50 0,50 0,10 1,50 2,50 2,50 2,50 2,50 1,00 1,00 1,00 0,50 0,45 0,40 0,50 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 12. Konsentrasi Fosfat (PO 4 -P) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura Bahan Organik Total (TOM) Bahan organik total (total organic matter, TOM) merupakan jumlah total bahan organik yang terlarut dalam air. Hasil pengukuran konsentrasi TOM di perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut masing-masing berkisar mg/l, mg/l dan mg/l dengan nilai rata-rata adalah 3.86 mg/l, 9.76 mg/l dan mg/l (Gambar 13). Peningkatan TOM terjadi secara gradual mulai dari tambak, saluran kali Buaya dan laut. Hal ini menunjukkan bahwa buangan limbah bahan organik dari Tambak yang dialirkan melalui saluran kali Buaya masuk ke perairan laut. Tingginya nilai TOM di laut juga diikuti dengan tingginya konsentrasi BOD 5, TSS dan COD dan N-Total. Hal ini senada

70 48 dengan pernyataan Barg (1992) bahwa limbah nutrien dan bahan organik baik dalam bentuk terlarut maupun partikel, umumnya dikarakterisasi oleh peningkatan TSS, BOD, COD dan konsentrasi N, dan P. Hasil pengukuran konsentrasi TOM dari masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13. TO M 30(mg/l)) , ,4 6,32 17, ,5 3,54 2,52 2,21 25,3 23,1 8,64 6,32 3,79 4,76 26,5 substasiun 1 substasiun 2 substasiun 3 substasiun 4 substasiun 5 substasiun 6 Tambak Saluran Laut Gambar 13. Konsentrasi bahan organik total (TOM) pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Nilai konsentrasi TOM di atas 26 mg/l tergolong subur. Kondisi ini cocok untuk tambak tradisional, namun tidak cocok untuk tambak intensif karena berpotensi menurunkan kualitas air (Reid 1961 in Utojo 2009). Jika dibandingkan antara konsentrasi TOM pada perairan tambak, saluran kali Buaya dan laut memberikan indikasi bahwa tingginya konsentrasi TOM pada perairan laut tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh buangan limbah dari tambak, namun diduga juga berasal dari massa air Teluk Yotefa yang terbawa arus dan masukan saluran irigasi Fitoplankton Untuk analisis kelimpahan fitoplankton dilakukan pengambilan sampel air di tambak, saluran kali Buaya dan laut. Tujuan analisis kelimpahan fitoplankton untuk mengetahui komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton dari ketiga stasiun pengamatan sebagai pengaruh adanya buangan limbah dari kegiatan budidaya tambak. Jenis dan kelimpahan fitoplankton dari ketiga stasiun pada masing-masing substasiun pengamatan cukup fluktuatif. Data jenis

71 49 plankton, kelimpahan dan komposisi jenis, Indeks Keseragaman, Indeks Keanekaragaman dan Indeks Dominansi dari masing-masing stasiun pengamatan dapat di lihat pada Lampiran 3. 12% 11% 8% 22% Thallassiotrix sp. Branchiorus sp. Coscinodiscus sp. Cypridina sp. 47% Chaetoceros sp. 1% 1% 3% 2% 45% 48% Bacillaria sp. Nitzschia sp. Thallassiothrix sp. Navicula sp. Branchiorus sp. Coscinodiscus sp. St. Tambak 1 St. Tambak 2 5% 8% 87% Bacillaria sp. Thallassiotrix sp. Coscinodiscus sp. 14% 70% 16% Nitzschia sp. Coscinodiscus sp. Thallassiothrix sp. St. Tambak 3 St. Tambak 4 11% 5% 3% 2% 79% St. tambak 5 Coscinodiscus sp. Thallassiothrix sp. Nitzschia sp. Chaetoceros sp. Gloeotrichia sp. 1% 8% 91% St. tambak 6 Chaetoceros sp. Nitzschia sp. Coscinodiscus sp. Gambar 14. Komposisi Jenis (%) fitoplankton pada perairan tambak Pesisir Holtekam Kota Jayapura. Penyebaran jenis fitoplankton pada ketiga stasiun pengamatan tidak merata dan didominasi oleh jenis tertentu. Suatu jenis plankton dikatakan pendominan apabila memiliki komposisi jenis 10% dari total komposisi jenis yang ditemukan. Hasil pengamatan pada stasiun tambak menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton umumnya didominasi oleh kelompok Bacillariophyceae yakni Chaetoceros sp., Thallasiothrix sp. dan Coscinodiscus sp. Komposisi jenis fitoplankton pada setiap substasiun tambak dapat dilihat pada Gambar 14.

72 50 Pada stasiun pengamatan saluran kali Buaya jenis fitoplankton yang mendominasi adalah kelompok Bacillarophyceae, tetapi pada substasiun saluran 3 kelimpahan fitoplankton didominasi oleh plankton air tawar Microspora willeana. Komposisi fitoplankton pada stasiun saluran kali Buaya dapat dilihat pada Gambar 15. 3% 9% 7% 31% 5% 3% 6% 2% 34% St. Saluran 1 Merismopedia sp. Bidullphia sp. Thallassiothrix sp. Nitzchia sp. Aphanizomenon sp. Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Pleurosigma sp. Bacillaria sp. 7% 12% 3% Chaetoceros sp. Thallassiothrix sp. 75% Nitzschia sp. Trichodesmium sp. 3% Distephanus sp. St. Saluran 2 76% 24% St. Saluran 3 Microspora willeana (FW Algae) Mycrocytis aeroeginosa 30% 1% 1% 2% 2% 5% 2% 4% 53% St. Saluran 4 Navicula sp. Microspora willeana (FW) Chaetoceros sp. Bacillaria sp. Thallassiothrix sp. 1% 2%1% 4% Cestum veneris Thallasiothrix sp. Tricodesmium sp. 2% 5% 40% 53% Chaetoceros sp. Naviculla sp. 92% St. Saluran 5 Coscinodiscus sp. Chaetoceros sp. St. Saluran 5 Thallassiothrix sp. Gambar 15. Komposisi Jenis (%) fitoplankton pada saluran kali Buaya Pesisir Holtekam Kota Jayapura.

73 51 Pada stasiun laut, komunitas fitoplankton didominasi oleh kelompok Bacillarophyceae yakni Chaetoceros sp., Coscinodiscuss sp., dan Thallassiothrix sp. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis dan kestabilan komunitas relatif lebih rendah. Komposisi jenis fitoplankton pada stasiun laut dapat dilihat pada Gambar 16. Keberadaan jenis Chaetoceros sp. yang mendominasi kelimpahan jenis fitoplankton pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut, diduga karena jenis ini mampu memanfaatkan nutrien secara optimal serta mampu beradaptasi dengan kondisi fisik kimia perairan yang ada. 2% 3% 3% 5% 87% Thallasiothrix sp. Coscinodiscus sp. Ceratium sp. 34% 7% 2% 57% Chaetoceros sp. Biddulphia sp. Thallassiothrix sp. Coscinodiscus sp. St. Laut 1 St. Laut 2 6% 7%3% 27% 27% 30% Thallassiothrix sp. Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Nitzschia sp. Ceratium sp. Biddulphia sp. 5% 5% 3% 41% 41% 3% 2% Coscinodiscus sp. Thallassiothrix sp. Bacilaria sp. Pleurosigma sp. Chaetoceros sp. Nitzschia sp. Ceratium sp. St. Laut 3 St. Laut 4 4% 6% 6% 5% Thallassiothrix sp. 19% Coscinodiscus sp. Pleurosigma sp. Chaetoceros sp. 60% Biddulphia sp. Melosira sp. St. Laut 5 2%5% 2% Nitzschia sp. 4% 2% Novicula sp. 1% Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Biddulphia sp. Thallassiothrix sp. 84% Ceratium sp. St. Laut 6 Gambar 16. Komposisi Jenis (%) fitoplankton pada perairan laut Pesisir Holtekam Kota Jayapura.

74 52 Hasil pengamatan komposisi jenis fitoplankton pada ketiga stasiun pengamatan, tidak ditemukan adanya dominansi jenis plankton yang merupakan indikator adanya limbah pencemaran. Hal ini menunjukkan bahwa perairan pesisir Holtekam masih berada pada kondisi baik. 5.3 Analisis Spasial Karakteristik Parametereter Kualitas Air Berdasarkan hasil analisis PCA dari nilai-nilai yang diperhitungkan pada variabel yang terukur, maka komponen yang digunakan sebanyak dua komponen yaitu Komponen Utama 1 yang memberikan informasi terbesar dari ragam total setiap stasiun (tanda cetak tebal pada Tabel 5) dan Komponen Utama 2 yang memberikan korelasi nihil dengan komponen utama pertama. Hal ini didasarkan pada nilai eigen (akar ciri) dari kedua komponen ini yang lebih dari 1. Hasil analisis PCA terhadap hubungan variabel yang diperbandingkan dapat dilihat pada Tabel 4. Total Keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1 dan Komponen Utama 2 adalah 62.29%, dimana keragaman yang mampu dijelaskan oleh Komponen Utama 1 sebesar 44.67% sedangkan Komponen Utama 2 sebesar 17.62%. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ketiga stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis variabel parameter kualitas air yang diperbandingkan di antara stasiun pengamatan tambak, saluran kali Buaya dan laut, dapat dilihat pada Gambar 17. Pada substasiun saluran 1 dikarakterisasi oleh kecepatan arus, TSS dan NO 3, sedangkan stasiun laut (substasiun laut 1,2,3,4,5 dan 6) dikarakterisasi oleh TOM, N-Total, DO, BOD 5, COD dan ph. Korelasi dari variable-variabel ini sangat erat dan searah (korelasi positif). Tabel 3 Akar ciri dan persentasi ragam pada kedua Komponen Utama untuk pengamatan parameter kualitas air pada stasiun tambak, saluran kali Buaya dan laut. Eigen Analisis Komponen Utama 1 2 Eigen value(akar ciri) Ragam (%) Kumulatif (%) Sumber : Hasil analisis data primer (2010)

75 53 Tabel 4 Korelasi antar variabel parameter kualitas air pada stasiun pengamatan tambak, saluran kali Buaya dan laut Variabel Korelasi terhadap Korelasi terhadap Komponen Utama 1 Komponen Utama 2 Suhu Kecerahan Kekeruhan TSS Kec. Arus Salinitas ph DO BOD COD Nitrat Nitrit N-Total PO4-P TOM Fitoplankton Sumber : Hasil analisis data primer (2010) Keterkaitan antara parameter kualitas air dicirikan oleh konsentrasi dari TOM, N-total, DO, BOD 5 dan COD serta ph pada stasiun laut. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai konsentrasi TOM, N-total, DO, BOD 5 COD serta ph pada stasiun laut bukan karena hasil buangan limbah budidaya tambak, namun diduga adanya pengaruh pola arus dimana pada saat surut arus berasal dari Teluk Yotefa yang mana merupakan tempat terkonsentrasinya limbah domestik dari pemukiman disekitarnya. Konsentrasi TOM berkorelasi positif dengan konsentrasi N-total, BOD5, salinitas DO dan COD namun berkorelasi negatif dengan Kekeruhan, kecerahan dan PO 4 -P. Nilai konsentrasi BOD 5, N-total dan COD yang tinggi sebagai indikator bahwa perairan pesisir laut Holtekam mengandung bahan organik (TOM) yang tinggi. Demikian juga dengan konsentrasi N-total yang tinggi dapat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan. Pada stasiun pengamatan tambak dikarakterisasi oleh PO4-P. Sementara itu pada stasiun pengamatan saluran (saluran 2, 3, 4, 5 dan 6) dikarakterisasi oleh kekeruhan dan kecerahan. Korelasi dari kedua variabel ini sangat erat dan dan

76 54 berbanding terbalik dimana semakin tinggi nilai kekeruhan maka nilai kecerahan akan semakin menurun. 1 K. Ars 0,75 KKRH TSS Nitrat Komponen Utama 2 (17.62 %) 0,5 0,25 0-0,25-0,5 PO4-P KCRH Suhu Fito Nitrit ph TOM N-Total Sal COD BOD5 DO -0, ,75-0,5-0,25 0 0,25 0,5 0,75 1 Komponen Utama 1 (44.67 %) 3 Slr 3 Slr 1 Komponen Utama 2 (17.62 %) Slr 4 Slr 5 Slr 2 Slr 6 Laut2 Laut4 Laut1 Laut5 Laut3 Laut6 Tbk1 Tbk3 Tbk4Tbk5 Tbk2 Tbk Komponen Utama 1 (44.67 %) Gambar 17. Hasil analisis PCA keterkaitan antar karakteristik parameter kualitas air dengan stasiun pengamatan tambak, saluran kali Buaya dan laut.

77 Analisis Daya Dukung Perairan Daya dukung diartikan sebagai sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam (Departemen Dalam Negeri 1988 in Bengen et al, 2002). Daya dukung kawasan pesisir untuk pertambakan adalah kemampuan dari kawasan pesisir menghasilkan sejumlah maksimum produksi tambak yang berlangsung terus menerus tanpa merusak sumberdaya kawasan tersebut. Hasil analisis tipe pasang surut di perairan Kota Jayapura termasuk perairan Holtekam (LKL Papua 2008 in Rumbekwan 2010), diperoleh nilai F (Formzahl) sebesar 1.13 yang menunjukkan bahwa tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed semi diurnal). Tipe pasang surut demikian apabila ada limbah, maka dalam waktu kurang dari 24 jam limbah tersebut akan terbilas secara maksimal. Hasil analisis daya dukung kawasan perairan pesisir Holtekam berdasarkan pada volume air laut yang masuk ke perairan pantai untuk kepentingan tambak (Widigdo 2000) dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5 Hasil perhitungan daya dukung (kuantitas air) kawasan perairan Pesisir Holtekam untuk budidaya tambak ikan bandeng Sudut pantai (ө) Panjang pantai (y) (m) o Jarak intake air ke tambak (x) (m) Kisaran pasut (h) (m) Frek. pasut (F) Vol.air pantai (Vo) (m 3 ) Vol. air tersedia (Vs) (m 3 ) Vol. limbah maks. (m 3 ) Vol. tambak maks. (m 3 ) Luas tambak maks. (ha) Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa pasokan air laut yang masuk ke perairan pantai setiap kali pasang adalah m 3. Tipe pasang surut di lokasi penelitian merupakan tipe pasang surut semidiurnal sehingga volume air laut yang tersedia setiap hari adalah m 3. Racocy & Alison (1981) in Widigdo & Pariwono (2003) menyatakan bahwa agar perairan tidak tercemar maka kuantitas air laut penerima limbah minimal 100 kali kuantitas limbah yang dibuang. Dengan demikian, limbah tambak maksimum yang dapat didegradasi atau diasimilasi secara alami sebanyak 1% dari volume air yang tersedia atau m 3 dan volume tambak maksimal adalah 10% dari air tersedia atau

78 m 3. Jika ketinggian air tambak rata-rata 1 m, maka luas tambak maksimal adalah ha. Dengan kata lain maksimal limbah air tambak yang dapat diterima adalah 10% dari air laut yang masuk ke pantai setiap hari. Volume air yang tersedia ini mampu menampung, mengencerkan dan mengasimilasi semua limbah yang masuk dan tidak menyebabkan dampak yang berbahaya. Limbah yang masuk ke perairan pesisir dan laut akan berinteraksi dengan air laut dan menghasilkan perilaku limbah yang khas yang dapat menguap, melarut dan terdispersi (Mukhtasor 2007). Jika asumsi produktivitas tambak intensif yang masih ramah lingkungan 7 ton/mt (Boyd and Musig 1992), maka daya dukung kawasan pesisir holtekam untuk produksi budidaya tambak sebesar ton/mt. Jika diterapkan teknologi budidaya semi intensif dengan tinggi air 0.9 m dan pergantian air 30% setiap 2 minggu maka luas tambak adalah 563 ha. Namun, jika diasumsikan produktivitas budidaya bandeng dengan pola usaha tradisional plus adalah 0.5 ton/ha per musim tanam maka luas lahan tambak berkelanjutan di kawasan pesisir Holtekam adalah ha (Tabel 6). Tabel 6 Daya dukung kawasan pesisir Holtekam terhadap tingkat produksi dan luas areal budidaya tambak maksimal yang dapat dikembangkan Tingkat teknologi Uraian Tradisional Semi Intensif plus intensif Produksi (ton/ha/mt) Daya dukung kawasan (ton) Luas areal maksimal (Ha) Total produksi (kg/mt) Produksi (kg/tahun) Luas total areal tambak 583 ha Luas areal yang berproduksi (Ha) 350 Luas areal yang belum produksi (Ha) 233 Potensi produksi (ton/mt) Luas areal maksimal (Ha) Luas kawasan pertambakan di Holtekam sekarang adalah 583 ha (DKP Kota Jayapura 2010) dengan luas petak tambak yang telah berproduksi 350 ha. Apabila diterapkan teknologi budidaya tradisional plus dengan target produksi 0.5 ton/ha/mt, produksi maksimum yang dapat dicapai 175 ton/mt. Daya dukung kawasan Holtekam untuk produksi tambak adalah ton/mt. Dengan demikian. pemanfaatan lahan pesisir Holtekam untuk tambak belum optimal dan

79 57 masih memungkinkan untuk dikembangkan. Daya dukung lahan pesisir Holtekam untuk produksi tambak yang belum dimanfaatkan sebanyak ton/mt. Jika tambak diusahakan dengan teknologi tradisional plus dengan target produksi 0.5 ton/ha/mt, maka luas lahan yang masih dapat dikembangkan adalah ha. Jika diusahakan dengan menggunakan teknologi semi intensif dengan target produksi 1.3 ton/ha/mt, maka luas tambak di Holtekam yang dapat dikembangkan adalah 428 ha. Jadi, dari luasan tambak yang telah dibuat yakni 583 ha masih jauh dari luasan tambak maksimal sesuai daya dukung perairan pesisir Holtekam yaitu ha dengan pola tradisional plus. Hasil analisis daya dukung perairan pesisir ini dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Kota Jayapura dan instansi teknis terkait untuk membuat regulasi mengenai luasan tambak yang masih di perbolehkan. Komoditas utama budidaya yang diusahakan petambak selama ini adalah ikan bandeng dan beberapa petambak telah mencoba udang windu, yang dilakukan secara polikultur dengan pola budidaya tradisional. Dengan pengalaman petambak yang sebagian besar telah memiliki pengalaman lebih dari 3 tahun dan dengan peningkatan pengetahuan petambak melalui penyuluhan yang intensif dan kontinyu, maka pola tanam ini dapat di kembangkan sistim budidaya semi intensif dengan pola monokultur (udang, bandeng dan nila) atau polikultur (bandeng/nila dan udang). Hal ini dimungkinkan karena harga udang dua kali lebih tinggi dibanding harga ikan bandeng, sementara ikan nila merupakan ikan yang bersifat herbivora dan juga bernilai ekonomis penting. Produktivitas tambak dapat ditingkatkan melalui peningkatan efisiensi penggunaan petak tambak dan input produksi. Optimalisasi penggunaan petak tambak dapat dilakukan dengan meningkatkan ketinggian air di pelataran tambak. Peningkatan input produksi dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan pupuk, pakan, kepadatan benih, pergantian air (pompanisasi) dan penanganan/pengelolaan limbah buangan pada saat panen.

80 Estimasi Beban Limbah Budidaya Tambak Untuk menghitung jumlah beban limbah tambak yang dilepaskan ke perairan pesisir, beberapa faktor yang menjadi dasar analisanya yakni : luas areal tambak, jumlah dan luas petakan, tingkat teknologi dan padat tebar, pengelolaan dan tinggi air rata-rata dalam tambak. Hasil pengamatan di peroleh bahwa luas areal tambak yang telah berproduksi 350 ha, dengan padat tebar ikan rata-rata 20 ekor/200 m 2, tinggi air rata-rata 0.35 m, waktu pemeliharaan 6 bulan, frekuensi pengurasan 1 kali/mt dan tanpa pergantian air. Jadi volume air tambak yang dilepaskan ke lingkungan adalah m 3 /ha/mt atau m 3 /350 ha/mt. Hasil pengukuran TOM, N-total dan PO 4 -P di tambak diperoleh nilai rata-rata masing-masing 3.86 mg/l, 0.28 mg/l dan 2.67 mg/l, maka jumlah TOM, N-total dan PO 4 -P yang dilepaskan ke lingkungan adalah kg/ha/tahun, 1.96 kg/ha/tahun dan kg/ha/tahun dan untuk luasan 350 ha masing-masing adalah 9457 kg/tahun, 686 kg/tahun dan kg/tahun (Tabel 7). Tabel 7 Estimasi beban limbah budidaya tambak ikan bandeng (Chanos-chanos Forskal) di Holtekam Kota Jayapura Luas tambak 1 ha Luas tambak 350 ha Parameter kualitas air (kg/ MT) (kg/thn) (kg/mt) (kg/thn) Konsentrasi nutrien TOM mg/l N-total mg/l PO₄ -P mg/l Volume air yang dibuang (m³) Apabila kegiatan budidaya ditingkatkan menjadi semi intensif (skenario) dengan kedalaman air rata-rata 0.9 m 2, pergantian air 30% dari volume tambak setiap 2 minggu dan kepadatan ikan 8/10 m 2. Diasumsikan nilai kualitas air yang terukur (Sumagaysay & Diego 2003) yakni NO 2 - N, NO 3 - N, N-total, BOD 5, PO 4 -P dan TSS masing-masing adalah mg/l, mg/l, mg/l, 21.7 mg/l, mg/l dan 142 mg/l maka volume air dan jumlah beban limbah nutrien yang dilepaskan ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 8.

81 59 Tabel 8 Skenario Estimasi beban limbah budidaya tambak ikan bandeng (Chanos-chanos Forskal) dengan teknologi semi intensif di Holtekam Kota Jayapura Karakteristik Tambak Luas Tambak 1 ha Luas Tambak 350 ha (2 mgg) ( MT) (Thn) (2 mgg) (MT) (Thn) Volume air dibuang (m³) NO2- N (mg/l) 0.082* NO3- N (mg/l) 8.649* N-total (mg/l) 0.811* BOD5 (mg/l) 0.512* PO4-P (mg/l) 21.7* TSS (mg/l) 142* *Sumagaysay & Diego (2003) Daya dukung perairan Pesisir Holtekam menerima limbah yakni m 3 /hari atau m 3 /2 minggu, sementara jumlah air yang dibuang dari tambak semi intensif adalah m 3 /ha/2 minggu atau m 3 /350 ha/2 minggu. Jika dalam 2 minggu terdapat 20 ha yang melakukan penggantian air tambak maka volume air air yang dibuang adalah m 3 /2 minggu. Volume air yang terbuang ini masih lebih kecil dari volume air perairan pesisir yakni m 3 /2 minggu. Berdasarkan kemampuan daya dukung perairan Holtekam menerima beban limbah buangan dapat dikatakan masih memungkinkan untuk meningkatkan teknologi ke tingkat semi intensif. Namun tidak hanya kuantitas air yang perlu dipertimbangkan tetapi juga perlu mempertimbangkan parameter kualitas air limbah budidaya. 3 Saluran Kali buaya mempunyai volume pada saat pasang m dan pada saat surut m 3 dengan rata-rata kecepatan arus 0.53 m/dtk. Buangan limbah dari tambak akan mengalami pengenceran dan pengendapan, disamping itu dengan adanya pohon mangrove disepanjang salauran kali Buaya dimana banyak terdapat berbagai jenis kerang akan membantu dalam mereduksi nitrogen dan fosfat (Robertson & Phillips 1995), selanjutnya limbah tersebut dilepaskan ke laut. Berdasarkan pengamatan terhadap pola arus di perairan pesisir Holtekam, arus pada saat surut bergerak dari pantai menuju lautan Pasifik yang lebih dalam. Hal ini sangat membantu dalam proses pembilasan limbah yang masuk ke perairan pantai Holtekam.

82 Analisis Teknis Budidaya Tambak Kondisi Petakan Tambak Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura (2010) bahwa luas tambak yang sudah dibuka adalah 583 ha dengan jumlah petakan 519 petak tambak. Luas setiap petakan tambak bervariasi antara 1 4 ha. Luasan lahan tambak yang sudah dibuka, yang berproduksi hingga saat ini adalah 350 ha. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 40% lahan tambak yang belum beroperasi. Umumnya tambak yang belum berproduksi letaknya jauh dari sarana jalan sehingga menyulitkan bagi pemilik tambak untuk mengangkut sarana produksi tambak. Hasil pengamatan lapangan secara visual (visual survey) diketahui bahwa bentuk petakan kebanyakan (>90%) adalah bujur sangkar atau empat persegi panjang dengan pintu pembuangan air berada pada pinggir pematang yang dekat dengan saluran Prasarana dan Sarana Budidaya Tersedianya prasarana dan sarana budidaya merupakan pendukung kelancaran usaha tambak bandeng. Hingga saat ini sarana jalan dalam kawasan pertambakan masih sangat minim, dimana untuk menjangkau lokasi tambak yang jauh dari jalan utama harus lewat saluran Kali Buaya atau pematang tambak lain. Kondisi ini menyebabkan petambak kesulitan untuk mengangkut sarana produksi seperti pupuk, benih dan juga hasil panen. Dukungan pemerintah Kota Jayapura dalam rangka peningkatan produksi perikanan budidaya melalui Dinas Perikanan dan Kelautan sejak tahun anggaran telah melakukan perbaikan saluran sekunder, dimana saluran-saluran tersebut diperdalam sehingga volume air yang masuk saluran pada saat pasang lebih besar. Kegiatan perbaikan saluran ini dilakukan secara bertahap. Berdasarkan hasil wawancara dengan petambak, bahwa mereka sangat terbantu dengan adanya bantuan perbaikan saluran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jayapura, bantuan sarana produksi tambak yang lain berupa pupuk dan benih juga telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua. Disamping itu, penyuluhan dan bimbingan teknis

83 61 budidaya bandeng terhadap kelompok petambak di Holtekam setiap tahun dilaksanakan atas kerja sama Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura serta instansi terkait lainnya Teknik Pemeliharaan Bandeng Pengamatan terhadap kegiatan budidaya bandeng yang dilakukan oleh petambak di Holtekam dikelompokkan menjadi beberapa tahapan budidaya yaitu : persiapan tambak (pengeringan, pemberantasan hama, pengolahan dasar tambak, pemupukan dan pemasukan air), penebaran benih, pemeliharaan (pengelolaan air dan lingkungan, penanganan hama dan penyakit) panen dan pasca panen. A. Persiapan Tambak Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini meliputi : pengeringan, pemberantasan hama, pengolahan tanah dasar dan perbaikan dinding pematang, dan pemupukan dasar. Kegiatan awal budidaya bandeng adalah pengeringan tambak. Tujuan pengeringan adalah mengeluarkan air tambak selama pemeliharaan, membasmi hama penyakit dan benih-benih ikan liar yang bersifat pemangsa dan penyaing. Pengeringan dasar tambak juga dimaksudkan untuk mengurangi senyawa-senyawa asam sulfat dan senyawa beracun yang terjadi selama tambak terendam air, yang memungkinkan terjadinya proses mineralisasi bahan organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan klekap dapat berlangsung. Tahap selanjutnya adalah pemberantasan hama dan penyakit ikan. Secara tidak langsung dengan melakukan pengeringan telah memutuskan siklus hidup hama dan penyakit ikan yang mungkin ada dalam tambak. Untuk membasmi hama ikan petambak biasanya menggunakan pestisida jenis Akodan 50 ml dengan bahan aktif endosulfan. Aplikasi pemberantasan hama ikan dilakukan pada saat air hanya tergenang pada saluran keliling tambak dan dilakukan pada saat panas terik. Untuk meminimalisir limbah pestisida maka perlu menggunakan saponin sebagai pengganti pestisida. Kelebihan saponin adalah dapat diurai oleh lingkungan dengan cepat dan tidak meninggalkan residu, bahkan menjadi pupuk. Hasil wawancara dengan petambak dan pengamatan visual di lapangan didapatkan bahwa pengeringan tambak dilakukan setelah panen total, dimana petambak ada yang hanya mengganti air karena lumut masih tersedia dan ada

84 62 yang melakukan pengeringan total. Tahap selanjutnya adalah perbaikan pematang, saluran air dan pengolahan tanah dasar dengan tujuan menciptakan kondisi lingkungan yang memenuhi syarat bagi kehidupan dan pertumbuhan bandeng. Perbaikan pematang dilakukan dengan menutup bocoran-bocoran pada pematang yang dibuat oleh kepiting dan belut. Pemupukan dasar dilakukan setelah dilakukan pemberantasan hama. Pupuk yang digunakan oleh petambak di Holtekam adalah pupuk anorganik (urea, TSP dan NPK) dan pupuk organik cair (Ursal). Menurut Cholik et al. (1998), pemakaian pupuk anorganik dalam tambak akan mempercepat pertumbuhan plankton, sedangkan pupuk organik akan mempertahankan stabilitas kehidupan plankton. Pupuk organik sebelumnya diperoleh dari peternakan ayam petelur, namun hingga saat ini sudah sulit diperoleh sehingga petambak hanya menggunakan pupuk anorganik. Pemupukan tambak dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan makanan alami yang dibutuhkan ikan selama pemeliharaan. Sebelum pemupukan, air di masukkan ke dalam tambak sampai ketinggian 5-10 cm di pelataran dan dibiarkan selama 1-2 hari. Petambak di Holtekam melakukan pemupukan dengan menebar pupuk di seluruh permukaan dasar tambak. Namun, ada juga petambak yang melakukan pemupukan dengan menarik kantung pupuk yang telah dilubangi sampai pupuk habis terserap oleh air. Alasannya adalah dengan menarik kantung pupuk diseluruh permukaan tambak, akan lebih cepat terserap oleh air dan lumut untuk tumbuh kembali. Jumlah pupuk yang digunakan rata-rata 100 kg/ha Urea dan 100 kg/ha TSP, disamping itu, sebagian petambak menggunakan pupuk organik merek Ursal untuk merangsang pertumbuhan fitoplankton dan klekap. Setelah pemupukan, dilakukan pengisian air sampai mencapai ketinggian cm dan dibiarkan menguap selama 1 minggu. Selanjutnya setelah klekap tumbuh, dilakukan penambahan air secara bertahap sampai mencapai kedalaman cm. Idealnya, tinggi air tambak berkisar antara cm, namun kondisi tambak di Holtekam umumnya di bangun secara manual sehingga tinggi dan lebar pematang hanya memungkinkan untuk menahan volume air sedikit. Rata-rata tinggi air di pelataran tambak berkisar cm.

85 63 B. Penebaran Benih Penebaran benih ikan bandeng dilakukan setelah kondisi air sudah stabil, hal ini ditandai perubahan warna air menjadi coklat kehijauan. Penebaran benih dilakukan pada saat cuaca sejuk dan biasanya pada pagi hari. Ukuran benih yang ditebar bervariasi dan umumnya berumur 1 2 bulan. Penggunaan benih ukuran gelondongan lebih menguntungkan karena daya toleransinya yang besar terhadap fluktuasi salinitas. Benih ikan diperoleh dari petani penggelondong atau hasil penggelondongan sendiri. Sebagian petambak melakukan penggelondongan sendiri dengan menyediakan satu petakan untuk penggelondongan yang nantinya untuk digunakan pada tahap pembesaran. Sebagian petambak yang lain langsung membeli dari petambak yang secara khusus mendatangkan nener. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa petambak memperoleh nener pada saat musim nener di perairan Holtekam, dimana penangkapan nener dilakukan oleh masyarakat lokal (masyarakat Papua) dan dari petambak yang menampung nener dari Makassar dan Palu (Sulawesi). Penebaran benih dilakukan dengan melakukan aklimatisasi terlebih dahulu dengan cara mengapungkan kantong benih di permukaan air, selang menit kemudian, kantong secara perlahan ditenggelamkan sehingga benih keluar dengan sendirinya. Padat tebar benih yang dilakukan oleh petambak di Holtekan rata-rata berkisar antara ekor/ha, alasannya karena tidak dilakukan pemberian pakan tambahan dan hanya mengandalkan pakan alami berupa makrofita dan klekap yang tumbuh dalam tambak. Disamping itu, biaya operasionalnya yang relatif lebih sedikit. Melihat tingkat teknologi yang diterapkan di tambak Holtekam, memberikan peluang besar untuk ditingkatkan ke tingkat teknologi tradisional plus dan semi intensif, mengingat sumber benih yang cukup tersedia dan juga adanya dukungan Pemerintah Kota Jayapura untuk membenahi sarana prasarana produksi di kawasan Tambak Holtekam. C. Pemeliharaan Keberhasilan usaha budidaya tambak tidak hanya ditentukan oleh konstruksi dan tata letak tambak, pengolahan tanah dan pengadaan benih, tetapi

86 64 juga ditentukan oleh proses pemeliharaan sejak penebaran benih sampai panen. Kegiatan yang dilaksanakan selama proses pemeliharaan adalah : - Pengelolaan Kualitas air dan Pemantauan Lingkungan Untuk mempertahankan kondisi kualitas perairan tambak tetap stabil dan ketersediaan pakan alami tetap tersedia secara kontinu, maka setelah masa pemeliharaan sekitar satu bulan. Jenis pupuk susulan yang digunakan adalah pupuk urea dan TSP atau NPK. Pemupukan susulan bertujuan untuk mempertahankan kecerahan air dan memasok unsur hara. Dosis pupuk yang digunakan adalah urea kg dan TSP 5-10 kg/ha atau NPK dengan dosis kg/ha. Aplikasi pupuk dapat dilakukan dengan menebar di pelataran, diletakkan dalam kantong dan direndam sampai kedalaman 20 cm, diletakkan diatas para-para yang berada sekitar 20 di bawah permukaan air atau diletakkan dekat pintu pemasukan air. Pemberian pupuk dilakukan setiap dua minggu sekali. Hasil wawancara dan pengamatan visual di lapangan, petambak di Holtekam melakukan pemupukan dengan cara meletakkan pupuk dalam kantong kain dan digantung pada beberapa tempat di pelataran kolam dimana bagian bawah kantong pupuk terendam air. Aplikasi pupuk susulan dilakukan setiap dua minggu sekali. Selama proses pemeliharaan perlu dilakukan penambahan air. Penambahan air dimaksudkan untuk mengganti kehilangan air dari tambak akibat penguapan dan rembesan. Kualitas air yang digunakan harus baik dan bebas dari bahan pencemar. Penambahan air dilakukan setiap dua minggu sekali sebanyak 20-25% dari volume air tambak. Hasil wawancara dengan petambak menunjukkan bahwa selama pemeliharaan tidak dilakukan pergantian air, namun hanya dilakukan penambahan air untuk mengganti air yang hilang akibat rembesan dan penguapan. Hal ini dilakukan karena selama proses pemeliharaan tidak dilakukan pemberian pakan hanya pemberian pupuk susulan setiap dua minggu sekali. Pemantauan lingkungan selama proses pemeliharaan dilakukan secara rutin dengan memeriksa kondisi pematang dan tambak. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi dan mencegah adanya kebocoran pematang, predator dan memantau pertumbuhan ikan yang dipelihara.

87 65 - Penanggulangan Hama dan Penyakit Hama adalah organisme yang dapat menimbulkan gangguan terhadap ikan peliharaan. Berdasarkan aktivitasnya, hama dapat dikelompokkan ke dalam golongan pemangsa (predator), pesaing (competitor), perusak sarana budidaya dan pencuri. Pemangsa (predator) adalah organisme yang dapat memangsa ikan yang dipelihara. Pemangsa di tambak dapat berupa burung, ular, biawak dan ikan-ikan buas (kakap). Upaya penanggulangan terhadap hama burung dilakukan dengan menangkap atau dengan selalu mengontrol tambak. Hasil pengamatan dan wawancara dengan petambak, dikatakan bahwa hama burung merupakan hama yang paling berbahaya disamping biawak. Hama burung dapat menghabiskan ikan peliharaan dalam waktu singkat, apabila mereka memasuki areal tambak. Pengendalian yang dilakukan dengan memasang tali saling melintang dan membuat patung orang-orangan untuk menakuti burung. Penanggulangan ikan pemangsa dilakukan dengan memasang saringan pada pintu pemasukan air. Hama pesaing (competitor) berupa hewan yang menjadi pesaing dalam hal pemanfaatan ruang dan makanan. Hama kompetitor di tambak bandeng berupa ikan mujair (Oreochromis mossambica), siput, kepiting. Penanggulangan hama pemangsa dilakukan pada saat pengeringan tambak dengan menggunakan pestisida dan memasang saringan pada pintu pemasukan air untuk mencegah masukknya benih ikan liar ke dalam tambak (Effendi 2004). Hama perusak sarana di tambak berupa kepiting dan belut yang membuat lubang pada pematang, demikian juga dengan adanya teritip yang melubangi pintu air yang terbuat dari bahan kayu. Penanggulangan hama jenis perusak ini dilakukan dengan pengeringan tambak dan penggunakan pestisida organik. Penanggulangan hama kepiting dilakukan dengan menangkap secara langsung dan membunuhnya. Hasil wawancara dengan petambak di Holtekam bahwa hama perusak sarana adalah kepiting dan udang penggali (udang doser, nama lokal). Kepiting, belut dan udang penggali membuat lubang pada pematang tambak. Kehilangan air dari tambak akibat bocoran pematang hama perusak ini cukup besar sehingga menambah biaya bahan bakar untuk mengisi air ke dalam tambak.

88 66 Penyakit ikan didefenisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari organ-organ tubuh baik sebagian maupun secara keseluruhan, baik secara langsung maupun tidak langsung (Effendi 2004). Penyakit timbul sebagai hasil dari interaksi yang tidak serasi antara faktor lingkungan (kualitas air), ikan dan patogen. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress pada ikan yang dipelihara, sehingga mekanisme pertahanan tubuh menjadi lemah dan akhirnya mudah terserang penyakit. Penyakit ikan dapat mengakibatkan kerugian ekonomis yang tinggi karena penyakit dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ikan, organorgan tubuh yang tidak sempurna, pertumbuhan lambat, konversi pakan yang tinggi dan produksi yang rendah. Jenis-jenis penyakit yang menyerang ikan bandeng adalah penyakit pilek/flu (cold) sebagai akibat perubahan cuaca yang mendadak (hujan dan penurunan suhu air). Penyakit ini ditandai dengan menurunnya nafsu makan, kondisi ikan lemah dan warna kulit kusam, pertumbuhan lambat dan meningkatkan peluang dimangsa oleh predator. Disamping itu penyakit parasiter yang umum menyerang adalah bacteria yakni Vibrio sp. yang menyebabkan vibriosis (haemorrhagic septicemia), Flexibacter columnaris yang menyebabkan ekor busuk (finn root). Penyakit parasiter ini umumnya menyerang benih dan gelondongan ikan bandeng. Disamping penyakit yang disebabkan oleh bakteri, juga terdapat penyakit non parasiter yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk, pakan yang jelek, benih yang kualitasnya rendah serta perubahan iklim yang ekstrim, sehingga ikan yang dipelihara mengalami stress dan mudah terserang penyakit infeksi. Hasil pengamatan dan wawancara dengan petambak di Holtekam diperoleh informasi bahwa penyakit yang menyerang ikan bandeng di tambak belum ada, hal ini disebabkan karena padat tebar yang masih rendah dan kondisi lingkungan tambak yang relatif stabil dan baik. D. Panen dan Pasca Panen Panen dilakukan setelah ikan mencapai ukuran konsumsi. Biasanya ukuran ikan konsumsi adalah 3 4 ekor/kg dengan lama pemeliharaan 4-5 bulan. Panen dapat dilakukan secara selektif/bertahap atau secara total. Panen secara

89 67 bertahap dilakukan apabila ukuran ikan tidak seragam, dimana hanya ikan yang telah mencapai ukuran konsumsi yang ditangkap dengan jaring sedangkan sisanya di pelihara lagi sampai mencapai ukuran konsumsi. Waktu panen disesuaikan dengan permintaan konsumen, dalam hal ini pedagang pengumpul. Setelah panen, maka pembeli langsung datang ke lokasi tambak dan transaksi jual beli dilakukan. Pembayaran dilakukan dengan dua cara yakni secara tunai di lokasi tambak dan setelah ikan habis terjual (2-3 hari). Pemanenan secara total dilakukan dengan menguras tambak sehingga ikan dapat di panen semuanya, selanjutnya dilakukan persiapan tambak untuk pemeliharaan periode berikutnya. Metode panen ikan yang dilakukan oleh petambak di Holtekam adalah dengan panen selektif dan juga panen total. Pengelolaan air limbah pada saat panen perlu dilakukan sehingga peluang tergelontornya lumpur cair yang mengandung banyak bahan organik ke saluran dapat dikurangi. Hasil pengamatan dan wawancara selama penelitian didapatkan bahwa rata-rata jumlah petakan yang dipanen adalah 10 petak atau setara 10 ha setiap minggu. Buangan bahan organik dapat dikurangi pada saat panen dengan melakukan pengurangan air secara bertahap sehingga lumpur cair dari tambak yang terbuang dapat dikurangi. Setelah panen, sisa air dalam tambak di diamkan 2 3 hari untuk memberikan waktu terjadinya pengendapan lumpur dan bahan organik yang ada. Penanganan ikan yang telah dipanen dilakukan oleh pembeli yang selanjutnya diantar ke pasar atau rumah makan dan restoran. Penanganan ikan segar umumnya dilakukan dengan sistim rantai dingin yakni diusahakan ikan berada pada suhu dingin sejak panen sampai tiba di konsumen. Sistim rantai dingin ini umumnya menggunakan es curah yang diletakkan dalam wadah berupa boks Styrofoam, selanjutnya ikan disusun secara berlapis dengan serpihan es. Hal ini dimaksudkan agar ikan dapat tiba di tangan konsumen dalam keadaan segar dan mutunya baik. 4.7 Analisis Finansial Analisis yang dilakukan terhadap usaha tambak bandeng berdasarkan data musim tanam terakhir. Penerimaan petambak adalah jumlah nilai hasil tambak

90 68 yaitu perkalian produksi tambak pada musim tanam tersebut dengan harga yang berlaku pada saat penelitian (Kadariah et al. 1978). Produksi utama tambak di Holtekam adalah ikan bandeng dan hasil sampingan lainnya berupa udang dan ikan liar yang diperoleh selama masa pemeliharaan. Namun, hasil sampingan itu digunakan untuk keperluan rumah tangga pengelola tambak. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan (nilai hasil produksi) dengan pengeluaran (nilai total biaya). Total biaya pengeluaran merupakan biaya produksi yang dikeluarkan. Rincian biaya investasi dan biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5, sedangkan struktur biaya usaha tambak dan hasil analisis pendapatan usaha bandeng pada lampiran 6 dan 7. Keuntungan atau pendapatan yang diperoleh petambak skala sempit (1 3 ha) berkisar antara Rp ,-/tahun sampai Rp ,-/tahun, dengan pendapatan rata-rata Rp ,- /1 ha/tahun, dengan R/C = 1.96 dan BEP produksi 225 kg dan BEP harga Rp ,- (Lampiran 6). Pada skala sedang pendapatan petambak berkisar antara Rp ,-/5 ha/tahun sampai Rp ,-/tahun dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp ,-/ 5 ha/tahun dengan R/C = 2.72 dan BEP produksi 781 kg dan BEP harga Rp ,- (Lampiran 7). Pendapatan rata-rata petambak pada masing-masing skala usaha tersebut telah melampaui pendapatan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup di Kota Jayapura, dimana pendapatan minimal tersebut di dekati dengan Upah Minimum Ragional (UMR). UMR untuk Kota Jayapura Provinsi Papua adalah Rp ,-/bulan atau Rp / tahun (Bappeda Kota Jayapura 2010). Hasil analisis kelayakan usaha budidaya bandeng secara monokultur (lampiran 9 dan 10) menunjukkan bahwa usaha budidaya yang dilakukan selama 10 tahun dengan discount rate 19% layak untuk dilakukan. Skala usaha kecil dengan luas 1 ha menghasilkan NPV sebesar Rp ,-, Net B/C sebesar 1.16 dan IRR sebesar 26.9%. Sedangkan skala usaha sedang dengan luas 5 ha menghasilkan NPV sebesar Rp ,-, Net B/C sebesar 2.90 dan IRR sebesar 50.9%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya bandeng di tambak baik skala kecil maupun sedang walaupun dengan pola tradisional menguntungkan dan berpeluang untuk di kembangkan ke arah teknologi

91 69 tradisional plus dan semi intensif. Pengembangan budidaya bandeng dengan teknologi semi intensif adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan input sarana produksi, sehingga peningkatan produksi budidaya dapat tercapai dan dampak limbah budidaya dapat diminimalisir sehingga kelestarian sumberdaya perairan pesisir tetap terjaga. 4.8 Keterkaitan antara Kegiatan Budidaya, Limbah Perairan dan Keuntungan Usaha Budidaya bagi Pemanfaatan lahan Pesisir secara Berkelanjutan. Pengembangan kegiatan budidaya tambak sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya alam pesisir. Untuk menjaga keberlanjutan usaha budidaya tambak dalam kawasan pesisir, pengaturan dan penetapan luas areal pertambakan serta penerapan teknologi budidaya harus sesuai dengan daya dukung dan dinamika lingkungan perairan pesisir. Dari hasil pengamatan terhadap karakteristik parameter kualitas air dan perhitungan daya dukung perairan menunjukkan bahwa perairan pesisir Holtekam mampu mendukung keberlanjutan usaha budidaya tambak. Hal ini dapat dilihat dari kondisi parameter kualitas air yang umumnya relatif baik dan kapasitas volume perairan untuk mengencerkan limbah dari tambak cukup besar. Tingkat teknologi budidaya yang diterapkan saat ini di tambak Holtekam masih dalam kategori tradisional plus dimana ada input produksi yaitu benih, pupuk dan pompa dengan padat tebar ekor/100 m 2. Kategori tradisional plus ini dapat dikatakan memberikan dampak yang relatif kecil terhadap lingkungan perairan karena belum ada input pakan buatan. Sebagaimana diketahui bahwa limbah utama dari budidaya intensif berupa bahan organik dan nutrien sekitar 35% sebagai hasil buangan dari sisa pakan, buangan metabolisme dan feses ikan (Primavera 1994). Analisis finansial menunjukkan bahwa usaha budidaya tambak saat ini memberikan keuntungan yang cukup besar, hal ini didukung oleh potensi pasar yang besar dengan harga komoditas ikan yang tinggi. Oleh sebab itu dalam rangka pengembangan usaha budidaya tambak di Holtekam masih memungkinkan terutama untuk meningkatkan teknologi budidaya. Hasil perhitungan skenario pengembangan tambak menjadi semi intensif menunjukkan bahwa dari segi

92 70 volume buangan limbah tambak yang masuk ke saluran Kali Buaya dan Laut masih dapat diasimilasi dan mengalami pengenceran dan pembilasan. Namun dari segi kualitas air beberapa parameter kualitas air telah melampaui standar baku mutu yang diisyaratkan. Pengembangan usaha budidaya tambak harus tetap memperhatikan aspek sosial, aspek ekologi (daya dukung) dan aspek ekonomi karena ketiga aspek ini saling berkaitan. Keterkaitan antara daya dukung dengan pengembangan tambak secara berkelanjutan, perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak (stakeholder) yang mengelola dan memanfaatkan kawasan pesisir Holtekam. Pemerintah Kota Jayapura dan pelaku usaha (petambak) harus bertanggung jawab secara bersama untuk meminimalisasi dampak limbah budidaya terhadap lingkungan perairan pesisir. Peraturan yang jelas tentang lokasi pengembangan dan luas areal tambak di Holtekam yang dibangun harus berdasarkan data daya dukung kawasan perairan pesisir. Selain itu, Pemerintah harus mendorong dan mendukung penelitian praktek budidaya berkelanjutan (sustainable management practice) serta terus menerus mensosialisasikan kegiatan tersebut melalui penyuluhan dan pelatihan, baik oleh penyuluh perikanan maupun melalui lembaga teknis, lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Sosialisasi ini perlu didukung percontohan dengan membuat demplot-demplot percontohan untuk lebih meyakinkan petambak akan pentingnya praktek budidaya berkelanjutan, Bagi pelaku usaha budidaya tambak, harus disadari bahwa praktek budidaya tambak yang tidak berkelanjutan (unsustainable management practices) dengan mengejar keuntungan semata, hanya akan memberikan manfaat sementara dan pada akhirnya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang permanen. Kerusakan lingkungan akan menurunkan produksi tambak sehingga secara ekonomi menyebabkan kerugian yang besar. Kegiatan usaha budidaya tambak yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan menerapkan cara budidaya yang baik (best management practice) dengan pengelolaan usaha yang baik dan terencana yakni melakukan persiapan seperti pengeringan dan pengolahan dasar tambak yang baik, penggunaan pupuk dan pakan yang efisien dan pengelolaan kualitas air yang baik, pemantauan hama dan penyakit dan metode panen yang benar (Tacon &

93 71 Forster 2003; Lin & Yi 2003). Penggunaan probiotik (bakteri pengurai) yang benar untuk mengoptimalkan pemanfaatan nutrien dan makanan sehingga diharapkan akan diperoleh hasil produksi yang maksimal dan bahan limbah buangan tambak dapat dikurangi. Pengelolaan air limbah tambak dapat dilakukan dengan mengendapkan terlebih dahulu air limbah dalam kolam pengendapan (Michael Jr 2003; Schneider et al. 2005; Machibya & Mwanuzi 2006); Brazil & Sumnerfelt 2006; Khan & Khan 2007) sebelum dibuang ke saluran atau dialirkan melalui kawasan mangrove yang berfungsi sebagai filter alami (Robertson & Phillips 1995; Primavera 2006). Pemanfaatan kawasan mangrove sebagai filter alami tambak dapat dimaksimalkan dengan mempertahankan zona green belt dan menanam pohon mangrove kembali di sepanjang pinggiran saluran tambak dan sungai di areal pertambakan. Kawasan hutan mangrove yang dibutuhkan untuk mereduksi nitrogen dan fosfat dari limbah buangan 1 ha tambak udang semi intensif adalah 2-3 ha, dan untuk tambak intensif dibutuhkan ekitar 22 ha (Robertson & Phillips 1995) Pengembangan teknologi budidaya seperti sistim resirkulasi dan integrasi budidaya dapat mengurangi dampak negatif dan keberlanjutan usaha budidaya. Disamping itu, kegiatan budidaya tambak dapat dilakukan dengan diversifikasi spesies budidaya baik secara monokultur (udang, bandeng, nila dan kepiting), maupun polikultur (bandeng/nila dan udang) atau jenis ikan lainnnya yang bernilai ekonomis. Salah satu jenis ikan alternatif budidaya yang dapat dikembangkan adalah ikan nila (Oreochromis niloticus), karena mempunyai beberapa keunggulan baik secara biologis maupun secara ekonomis. Secara biologis karena jenis ikan ini pemakan fitoplankton dan makrofita (herbivore), pertumbuhannya cepat, toleransi terhadap salinitas cukup besar dan tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim. Secara ekonomis rasa daging lebih gurih dan nilai jualnya tinggi. Penerapan Silvofishery juga merupakan salah satu alternatif yang sangat mendukung keberlanjutan usaha budidaya sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya pesisir (Primavera 2006). Melalui diversifikasi sistim budidaya, diharapkan dapat memanfaatkan sumberdaya pesisir secara optimal sehingga memberikan keuntungan ekonomi secara maksimal dan kelestarian sumberdaya pesisir tetap terpelihara.

94 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kondisi kualitas perairan pesisir Holtekam masih baik dengan daya dukung sebesar m 3 dengan tingkat produktifitas tambak maksimal lestari sebesar 1463 ton/thn. 2. Aktivitas budidaya tambak Holtekam yang berpotensi memberikan limbah terhadap lingkungan perairan pesisir adalah pemanenan. 3. Limbah buangan budidaya tambak belum menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan perairan pesisir Holtekam. 5.2 Saran Mengacu pada hasil dan pembahasan serta kesimpulan di atas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Berdasarkan daya dukung perairan maka tambak Holtekam dapat ditingkatkan teknologi pengelolaanya menjadi tradisional plus seluas ha atau semi intensif 563 ha dan/atau intensif ha. 2. Produktivitas kawasan tambak Holtekam dapat dimaksimal dengan menerapkan pola budidaya terpadu (polikultur udang bandeng, kepiting, ikan nila). 3. Pengembangan pengelolaan tambak tambak holtekam diharapkan menerapkan cara budidaya ikan yang baik (best management practices) untuk memaksimalkan produksi dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan serta meminimalisir dampak buangan limbah terhadap lingkungan. 4. Kawasan mangrove (green belt) di sepanjang pantai Holtekam dan pinggir saluran Kali Buaya diharapkan tetap dijaga dan dipertahankan sehingga fungsi ekologisnya sebagai filter alami dapat terpelihara.

95 DAFTAR PUSTAKA Alaerst G, Santika S Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. APHA (American Public Health Association) Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 17 th ed. APHA, AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control Federation). APHA Publication. Washington, DC. Ansah YB Characterization of pond effluents and biological and physicochemical assessment of receiving waters in Ghana [tesis]. Virginia: Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. Virginia. Anna S Analisis beban pencemaran dan asimilasi teluk Jakarta [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Jayapura Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota Jayapura. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda). Jayapura. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Jayapura Kota Jayapura dalam Angka Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Jayapura Jayapura. Barg UC Guidelines for The Promotion of Environmental Management of Coastal Aquaculture Development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122 p. Bengen DG, Dahuri R, Wardiatno Y, Naulita Y, Atmadipoera AS Pengaruh Buangan Lumpur Kolam Pelabuhan Tanjung Priok Terhadap Perairan Pantai Muara Gembong, Bekasi. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian. IPB. Bogor. Bengen DG Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. PKSPL. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut pertanian Bogor. Bogor. Boyd CE Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experimental Station. Auburn, Alabama. 359 p. Boyd CE, Massaut, L, Weddig, LJ Towards reducing environmental impacts of pond aquaculture. INFOFISH International 2/98, p: Boyd CE Management of shrimp ponds to reduce the eutrophication potential of effluents. The Advocate

96 70 Boyd CE Guidelines for aquaculture effluent management at the farmlevel. Aquaculture 226: Boyd CE, Musiq Y Shrimp Pond Effluent: Observation of the Nature of the Problem on Commercial Farm. In: Wyban J. (ed.), Proceeding of the Special Session on Shrimp Farming. World Aquaculture Society. Baton Rouge. P Brazil BL, Summerfelt ST Aerobic treatment of gravity thickening tank supernatant. Aquacultural Enginering 34: Brower JE, Zar JH, Von Ende C General Ecology. Field and Laboratory Methods. Dubugue Iowa. Wm. C. Brown Company Publish. Buschmann AH, Lopez DA, Medina A A review of the environmental effects and alternative production strategies of marine aquaculture in Chile, Aquacultural Engineering 15: Cicin-Sain B, Knecht R Integrated Ocean and Coastal Management. Island Press. Washington D.C. Cholik F, Azwar ZI, Sutarmat T Bertambak Udang yang Sehat. Prosiding Seminar Tekhnologi Perikanan Pantai. Bali 6-7 Agustus Perkembangan Terakhir Tekhnologi Budidaya Pantai untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Pantai-Japan International Cooperation (JICA). Denpasar. Dahuri R, Arumsyah S Ekosistem Pesisir. Makalah pada Marine and Management Training. PSL Undana. Kupang. NTT. Dahuri R, Rais SP, Ginting M, Sitepu J Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Cetakan I. Pradnya Paramita, Jakarta. 305 hal. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT gramedia Utama. Jakarta. 412 hal Dahuri R, Kusumastanto T, Hartono A, Anas P, Hartono P Enhancing Sustainable Ocean Development: An Indonesian Experience. Centre for Coastal and Marine Resource Studies Bogor Agricultural University and Partnership for Governance Reform (Kemitraan). An-Nada Press. Jakarta. 224 p. Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura Laporan Tahunan Tahun Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Jayapura. Provinsi Papua. Jayapura.

97 71 Djamin Z Perencanaan dan Analisa Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Effendi H Telaahan Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan. IPB. Bogor. 259 hal. Effendi I Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. 188 hal Erftemeijer PLA, Middelburg JJ Sediment nutrient interactions in trophical seagrass bed: A comparison between a carbonate and terrigenous sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Bull Mar Sci 54: Gacia E, Kennedy H, Duate CM, Terrados J, Marba, Papadimitriou S, Fortes M Lighr-dependence of the metabolic balance of a highly productive Philliphine seagrass community. J. Exp Mar Bio and Ecol 316: Gillerhammar A, Håkanson L, Lehtinen KJ A mesocosm fish farming experiment and its implication for reducing nutrient load on a regional scale. Aquacultural Enginering 38: Horowitz A, Horowitz S Microorganisms and feed management in aquaculture. Global Aquaculture Alliance. Advocated 3: Johnsen RI, Grahl-Nielsen O, Lunestad BT, Environmental distribution on organic waste from a marine fish farm. Aquaculture 118: Jones AB Environmental management of aquaculture effluent: development of biological indicators and biological filters [tesis]. Queensland: Departement of Botany, The University of the Queensland. Kadariah L, Kartina, Gray C Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Karydis M Understanding marine eutrophication from agricultural run off in semi enclosed areas: a short review in the gulf of Geras, Greece. Proceeding of the 9 th International Conference on Environmental Science and Technology Rhodes Island, Greece, 1-3 September P Khan M, Khan MA The potential of waste stabilization ponds effluents as liquid fertilizer. Pak J. Bot 39: Kibria G, Nugegoda D, Lam P, Fairclough R Aspects of phosphorus pollution from aquaculture. Naga, The ICLARM Quarterly, July p: Kinne O Marine Ecology. John Wiley & Sons Limited. London.

98 72 KLH Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No. 51 Tahun 2004, tanggal 8 April 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. 11 hal. Lin CK, Yi Y Minimizing environmental impacts of freshwater aquaculture and reuse of pond effluents and mud. Aquaculture 226: Legendre L, Legendre P Numerical Ecology. Elsevier Scientific Pub. Co. Ludwig JA, Reynolds JF Statistical ecology : a perimer on method and computing. John Wiley and Sons Inc. New York. Machibya M, Mwanuzi F Effect of low quality effluent from wastewater stabilization ponds to receiving bodies, case of Kilombero Sugar ponds and Ruaha river, Tanzania. Int. J. Environ. Ras. Public Health 3: McDonald ME, Tikkanen CA, Axler RP, Larsen CP, Host G Fish simulation culture model (FIS-C): a bioenergetics based model for aquacultural wasteload application. Aquacultural Engineering 15: Michael Jr JH Nutrient in salmon hatchery wastewater and its removal through the use of a wetland constructed to treat off-line settling pond effluent. Aquaculture 226: Montoya R, Velasco M Role of Bacteria on Nutritional and Management Strategies in Aquaculture Systems. Advocate 3: Mustafa A, Tarunamulia Analisis daya dukung lahan tambak berdasarkan pada kuantitas air perairan di sekitar kecamatan Balusu Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. J. Ris. Akuakultur 4: Mukhtasor Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan Pertama. PT Pradnya Paramita. Jakarta. 322 hal Nybakken JW Biologi laut. suatu pendekatan ekologi. Penerbit CV. Gramedia. Jakarta. Penerjemah Eidman, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo. 458 hal. Odum, E.O Fundamental of Ecology. Toppan Company Ltd. Tokyo. Pasaribu AM, Gusti A, Yusmasari Analisis usaha budidaya bandeng (Chanos-chanos, F) pada karamba jaring apung (KJA). Bulletin BPPTP Sulawesi Selatan 1(1). Phillips MJ, Clarke R, Mowat A phosphorous leaching from atlantic salmon diets. Aquacultural Engineering 12:

99 73 Poernomo A Pembuatan Tambak Udang di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 30 hal. Poernomo Pemilihan lokasi tambak udang berwawasan lingkungan. Pusat penelitian dan pengembangan perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Hal Prasetyawati R Kajian pengembangan perikanan di pesisir barat Pangandaran (Teluk Parigi), Kabupaten Ciamis Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Primavera JH Overcoming the impact of aquaculture on the coastal zone. Ocean and Coastal management 49: Rahayu S Penelitian Kadar Oksigen Terlarut (DO) Dalam Air bagi Kehidupan Ikan. BPPT No. XLV/ Jakarta. Robertson AI, Phillips MJ Mangrove as filters of shrimp pond effluent: predictions and biogeochemical research needs. Hydrobiologia 295: Rumbekwan EP Perlindungan sumberdaya larva ikan Bandeng (Chanoschanos Forskal) untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan di pesisir Kota Jayapura Provinsi Papua [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 136 hal. Sastrawijaya TA Pencemaran Lingkungan. Bhinneka Cipta. Jakarta. Schneider O, Sereti V, Eding EH, Verret JAJ Analysis of nutrients flow in integrated intensive aquaculture system. Aquaculture Enginering 32: Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar Sampling dan analisis data perikanan. Terapan metode pengambilan contoh di wilayah pesisir dan laut. Makaira FPIK. IPB Bogor. Sigit S Analisa Break Even. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 58 hal. Silvert W Assessing environmental impacts of finfish aquaculture in marine waters. Aquaculture 107: Silva GGH, Camargo AFM Efficiency of aquatic macrophyta to treat nile tilapia effluent. Sci. Agric 63: Southwick CH Ecology and The Quality of our Environment. Second Edition. D. Van Nostran Company. New York.

100 74 Sulardiono B Evaluasi beban pencemaran dan kualitas perairan pesisir Kotamadya Semarang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumagaysay NS, Diego MLS Water quality and holding capacity of intensive and semi-intensive milkfish (Chanos chanos) ponds. Aquaculture 219: Sumagaysay NS Milkfish (Chanos chanos) production and water quality in brackishwater ponds at different feeding levels and frequencies. J. Appl. Ichthyol 14: Sutamihardja RTM Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. Seminar on Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management, 6-10 Januari 1992 at Hotel Wisata Jakarta. Tacon AGJ, Foster IP Aquafeeds and the environments: policy implications. Aquaculture 226: Tahir AG Kajian pengembangan pertambakan dalam pemanfaatan lahan pesisir secara lestari : studi kasus Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). Agenda 21, ( ). Utojo, Mustafa A, Rachmansyah, Hasnawi Penentuan lokasi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan dengan aplikasi sistem informasi geografis di kabupaten Lampung Selatan. J. Ris. Akuakultur 4 : Wardoyo STH Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Makalah pada Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen. Pengairan. Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. Widigdo B Diperlukan pembakuan kriteria eko-biologis untuk menentukan potensi alami kawasan pesisir untuk budidaya udang. Prosiding pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor Februari PKSPL-IPB. 5 hal. Widigdo B, Kaswadji RF, Pariwono J, Haruyadi S, Patria AD, Rakasiwi G, Taurusman A, Imran Z Penyusunan Kriteria Eko-Biologis untuk Pemulihan dan Pelestarian Kawasan Pesisir Pantura Jawa barat. Laporan Akhir. Kerjasama PKSPL-IPB dan Ditjen Urusan Pesisir Pantai, dan Pulau-Pulau kecil, DKP. PII-9.

101 75 Widigdo B, Soewardi K Rumusan Kriteria Eko-Biologis dalam Menentukan Potensi Alami Kawasan Pesisir untuk Budidaya Tambak. Diktat Bahan kuliah Pengembangan Perikanan Kawasan Pesisir dan Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 32 hal Widigdo B, Pariwono J Daya dukung perairan di pantai Jawa Barat untuk Budidaya Udang (studi kasus di Kabupaten Subang, Teluk Jakarta dan Serang). Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan P

102 Lampiran 1. Titik Koordinat Stasiun Pengamatan dan Pengambilan sampel Parameter Kualitas Airdi Pesisir Holtekam Kota Jayapura No Stasiun Substasiun Titik Koordinat ⁰37.619" Lintang Selatan 140⁰46.818" Bujur Timur 2 02⁰37.523" Lintang Selatan 140⁰47.150" Bujur Timur 3 02⁰37.812" Lintang Selatan 140⁰47.334" Bujur Timur Tambak 4 02⁰37.456" Lintang Selatan 140⁰47.776" Bujur Timur 5 02⁰37.413" Lintang Selatan 140⁰47.862" Bujur Timur 6 02⁰38.124" Lintang Selatan 140⁰47.106" Bujur Timur ⁰37.604" Lintang Selatan 140⁰46.818" Bujur Timur 2 02⁰37.996" Lintang Selatan 140⁰46.875" Bujur Timur 3 02⁰38.447" Lintang Selatan 140⁰46.417" Bujur Timur Saluran 4 02⁰38.053" Lintang Selatan 140⁰47.336" Bujur Timur 5 02⁰37.838" Lintang Selatan 140⁰47.042" Bujur Timur 6 02⁰37.535" Lintang Selatan 140⁰ " Bujur Timur ⁰37.419" Lintang Selatan 140⁰46.863" Bujur Timur 2 02⁰37.298" Lintang Selatan 140⁰46.764" Bujur Timur 3 02⁰37.155" Lintang Selatan 140⁰46.601" Bujur Timur laut 4 02⁰37.601" Lintang Selatan 140⁰46.051" Bujur Timur 5 02⁰36.804" Lintang Selatan 140⁰46.863" Bujur Timur 6 02⁰37.177" Lintang Selatan 140⁰47.201" Bujur Timur

103 Lampiran 2. Hasil Pengamatan rata-rata nilai parameter kualitas air pada stasiun pengamatan Tambak, Saluran Kali Buaya dan Laut di Pesisir Holtekam Kota Jayapura No. Parameter Stasiun Baku Satuan Kualitas Air Tambak (n = 6) Saluran (n = 6) Laut (n = 6) Mutu 1 Suhu (⁰C) 31,27 ± 0,36 31,27 ± 0,52 31,1 ± 0, * 2 KCRH (cm) 24 ± 0,89 24,67 ± 7,12 78,33 ± 29,27 >5* 3 KKRH NTU 3 ± 0,45 7,02 ± 1,11 2,13 ± 0,71 <5* 4 TSS mg/l 47,83 ± 8,98 196,17 ± 48,68 162,17 ± 56,54 20* 5 K. Ars m/det 0,04 ± 0,02 0,53 ± 0,04 0,35 ± 0,05-6 Salinitas 10,5 ± 4,23 12,33 ± 7,55 31,83 ± 0, *, 7 ph 7,55 ± 0,29 7,58 ± 0,26 8,13 ± 0, * 8 DO mg/l 4,47 ± 0,61 4,33 ± 0,51 7,23 ± 0,10 >5* 9 BOD5 mg/l 3,28 ± 0,64 3,15 ± 0,78 4,96 ± 0,19 20* 10 COD mg/l 10,78 ± 2,73 11,53 ± 4,09 33,53 ± 6,65 <20** 11 Nitrat mg/l 0,0017 ± 0,0005 0,0027 ± 0,0008 0,0022 ± 0, * 12 Nitrit mg/l 0,0013 ± 0,0005 0,0013 ± 0,0005 0,0018 ± 0, ** 13 N-Total mg/l 0,2752 ± 0,1461 1,29 ± 1,7271 4,19 ± 0, * 14 PO4-P mg/l 2,08 ± 0,66 1,33 ± 0,93 0,41 ± 0, * 15 TOM mg/l 3,86 ± 1,52 9,77 ± 5,31 22,19 ± 3,36 * Baku Mutu kualitas air berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 ** UNESCO/WHO/UNEP (1992)

104 Tabel 2 Hasil Analisis Fitoplankton pada Stasiun Pengamatan Tambak, Saluran/kali Buaya dan Laut di Pesisir Holtekam Kota Jayapura Jenis Tambak Saluran/Kali Buaya Laut Fitoplankton Bacillariophiceae Chaetoceros sp Biddulphia sp Thallassiothrix sp Coscinodiscus sp Nitzschia sp Naviculla sp Bacillaria sp Melosira sp Branchiorus sp Gleotrichia sp Pleurosigma sp Merismopedia sp Crysococcus teselatus Aphinozomenon flosaquae Cypridina sp Cestum veneris Microspora willeana (FW algae) Cyanophyceae Trichodesmium sp Mycrocystis aeroeginosa Dinophyceae Ceratium sp Taxa Kelimpahan (H') 0,6023 0,4201 0,2113 0,3585 0,3302 0,1493 0,6995 0,2388 0,5573 0,44 0,1657 0,2483 0,3153 0,6573 0,5732 0,5366 0,1563 0,3045 (E) 0,2896 0,202 0,1924 0,2001 0,1697 0,0928 0,2815 0,1901 0,2174 0,2324 0,3174 0,0925 0,1276 0,1959 0,3378 0,239 0,258 0,0597 C 0,3023 0,4382 0,7571 0,5300 0,638 0,6380 0,2778 0,5894 0,6363 0,3811 0,4180 0,8373 0,7559 0,5989 0,2489 0,3435 0,4098 0,7132

105 Appendix 3. Calculation of carrying capacity values of Holtekam coastal waters for ponds 1. Calculating the volume of sea water entering the coastal waters Where: Vo = Volume of seawater that entering tocoastal waters h = tidal ranges x = distance from the shoreline (at tide) to limit the intake of sea water ponds y = length of coastline that parallel with pond areas tan θ = slope of the seabed Results of survey data is revealed that: h = 0.9 m with a tidal frequency 2 times per day (Navy hidro-oceanography service office, the data field) y = m (the measurement map) where the measurement is based on point coordinates. x = 400 (results of field measurements 2010) tan θ = angle of slope of the coast between 0 o 3 o with an average 2 o From these data, the volume of seawater entering coastal area is: Vo = 0.5 x 0.9 x [ 2 x /0.035] = 6750 x = m 3 2. Calculating Volume of Water Available If volume of water in coastal waters is knew, then the calculation volume of available water using the formula: Vs = Vo x F Where Vs = volume of water available Vo = The volume of water that enter waters F = Frequency of daily tidal So that Vs = x 2 = m3

106 3. Calculation the maximum capacity of waste The assumption of a maximum capacity of waste by Racocy & Alison (1981) in Widigdo & Suwardi (2002) that the maximum of waste that could be assimilated or degraded by natural environment is 1% of volume water available. Data volume water available (Vs) is the maximum acceptable x m 3 = m 3 4. Calculation the maximum pond area Maximum pond volume is 0.1 from the volume of water available. From the data available water volumes (Vs) as mentioned above, the maximum pond volume are: 0.1 x m 3 = m 3 If the pond water depth 1 m on average (resulting in a volume of m 3 ha -1 of ponds), the maximum pond area are: m 3 / m 3 = ha Calculation the sustainable productivity of ponds Basic assumption made in the calculation of productivity is as follows: 1. For maximal intensive pond production of environmentally friendly is still 7 tons / ha / MT (Boyd & Musig For semi-intensive pond, the maximum production of environmentally friendly is 1.3 tons / ha / MT (Sumagaysay & Diego 2003) 3. For traditional farms, which can be obtained from the maximum production is 500 kg / ha / MT (Sumagaysay 1998)), From the extensive data from the calculation of the maximum pond, if all production is considered intensive pond then the maximum that can be obtained and still is environmentally friendly

107 Appendix 4. Aquaculture Waste Load Estimates 1. Calculating the volume of pond water for 1 ha of pond area Results obtained by measuring an average depth of pond water is 0,35 m. Pond area is already producing 350 ha, production period is 6 months. Stocking density 20/100 m 2. For maintenance is not done running water. So the pond water volume (V) which is discharged into the environment is: m x 0.35 m = 3500 m 3 ha -1 crop -1 or 3500 m 3 x 350 ha = m ha -1 crop Calculating the concentration of waste discharged into the environment TOM concentration measurement results, the N-Total and PO4-P, respectively, are 3.86 mg / l, 0.28 mg / l and 2.67 mg / l, then the total amount of waste into the environment of coastal waters is: mg/l x 3500 m 3 = m 3 ha -1 crop -1, mg/l x 3500 m 3 = 1.96 m 3 ha -1 crop mg/l x 3500 m 3 = m 3 ha -1 crop While for the area of 350 ha can be calculated by: mg/l x m 3 = 9457 kg crop mg/l x m 3 = 686 kg crop mg/l x m 3 = 6541,5 kg crop

108 Lampiran 6. Karakteristik Sosial ekonomi Petambak di Pesisir Holtekam Kota Jayapura Nomor Umur Tingkat Pekerjaan Pengalaman Jumlah Anggota Responden Pendidikan Lain Bertambak Keluarga (tahun) (orang) 1 45 SMU SD* SD SD SD* SMP SMP SMP SMK SMU SD* SMK SMU SMU SMU SMK SMP SMU SMU SMU SMP SMU SMU SMP SMU 15 6

109 Appendix 7 Analysis of 1 hectare Milkfish Cultivation No Component of Cost Volume Units Amount A Investation cost 1 Physical development of ponds 1,1 Liberation farm m² ,2 Opening and Printing Pond Farm m² ,3 Sluice 1 unit ,4 Guard house 1 unit Sub Total Procurement of pond equipment 2,1 Nets for harvest 2 piece ,2 Hoe 2 piece ,3 Spade 2 piece ,4 Machete 2 piece ,5 harvest container 2 piece ,6 Water pump 1 unit Sub Total Total cost investation B Capital cost 1 Fixed cost Depreciation cost 1,1 Sluice (5 years) 1 unit ,2 Guard house (10 years) 1 unit ,3 Nets for harvest (4 years) 2 piece ,5 Hoe (5 Years) 2 piece ,6 Spade (5 years) 2 piece ,7 Machete (5 years) 2 piece ,9 Container to harvest (10 years) 2 piece ,10 Water pumps (10 years) 1 unit Sub total Unfixed cost 2,1 Labor costs a. Preparation 3 days b. Cultivation 4 m c. Harvesting ,2 Production cost a. Milkfish seedling 2200 tails b. Manure - Urea 250 kg TSP 250 kg Ursal 5 botles c. Drugs 1 botles d. Fuel 100 litres Sub total cost of no fixed (2.1 and 2.2) Total cost of capital cost (1 + 2) Investment and total cost of capital cost (A + B) Total cost of working capital every year Note : 1. The entire cost of own funds 2. 2 cycles production a year

110 Liberation Farm Opening and Printing Pond Farm Sluice Guard house Nets For Harvest Nets to harvest fish / shrimp wild Hoe Spade Machete Kerosene lamp lights To harvest container Water pump Sluice (5 years) Guard house (10 years) Nets For Harvest (4 years) Nets to harvest fish / shrimp wild (4 years) Hoe (5 Years) Spade (5 years) Machete (5 years) Container to harvest (10 years) Water Pumps (10 years) Labor Costs Production Cost a. Milkfish seedling b. Manure Urea TSP Ursal c. Drugs d. Fuel Sub Total Cost of No Fixed (2.1 and 2.2) Total Cost of Working Capital (1 + 2) Investment and Total Cost of Working Capital (A + B) Total cost of working capital every year

111 Appendix 8 Analysis of 5 hectares Milkfish Cultivation A B No Component of Cost Volume Investation cost 1 Physical constructions of ponds 1,1 Liberation farm m² ,2 Opening and printing pond farm m² ,3 Sluice 5 unit ,4 Guard house 1 unit Sub total Procurement of Pond Equipment 2,1 Nets for harvest 2 pieces ,2 Nets to harvest fish / shrimp wild 2 pieces ,3 Hoe 2 pieces ,4 Spade 2 pieces ,5 Machete 2 pieces ,6 Kerosene lamp lights 1 pieces ,7 harvest container 2 pieces ,8 Water pump 1 unit Sub total Total Investation Cost Capital Cost 1 Fixed Cost Depreciation Cost 1,1 Sluice (5 years) 5 unit ,2 Guard house (10 years) 1 unit ,3 Nets For Harvest (4 years) 2 pieces ,4 Nets to harvest fish / shrimp wild (4 years 2 pieces ,5 Hoe (5 Years) 2 pieces ,6 Spade (5 years) 2 pieces ,7 Machete (5 years) 2 pieces ,9 Container to harvest (10 years) 2 pieces ,10 Water Pumps (10 years) 1 unit Sub Total Unfixed cost 2,1 Labour cost 12 days ,2 Production Cost a. Milkfish seedling tails b. Manure - Urea 1000 kg TSP 1250 kg Ursal 25 bottle c. Drugs 5 bottle d. Fuel 500 litres Sub Total Cost of No Fixed (2.1 and 2.2) Total Cost of Capital cost (1 + 2) Investment and Total Cost of Capital cost (A + B) Total cost of working capital every year Note : 1. The entire cost of own funds 2. 2 cycles production a year Units Amount

112 Lampiran 9. Struktur Biaya Usaha Tambak dan Analisa Penjualan Bandeng (1 ha) No Komponen Biaya Nilai Sub Total Biaya Total (Rp/Ha/Th) (Rp/Ha/Th) 1 Biaya Investasi Biaya modal kerja per tahun A. Biaya Tetap B. Biaya Tidak Tetap Total Biaya Usaha per hektar per tahun Biaya dari dana sendiri Kredit Bank (0%) Analisa Penjualan Bandeng No Komponen Analisis Penjualan Satuan Jumlah 1 Luas Petak tambak ha 1 2 Jumlah Tebar benih bandeng per 100 m² ekor 22 3 Jumlah Bandeng yang hidup selama pemeliharaan % 80 4 Ukuran bandeng yang dipanen ekor/kg 5 Berat hasil panen bandeng yang dipanen kg 6 Harga jual ikan bandeng di tingkat petambak Rupiah Penjualan ikan bandeng hasil panen Rupiah 8 Total Penjualan per siklus produksi Rupiah 9 Total penjualan per tahun Rupiah No. Komponen Analisis Satuan Nilai 1 Total biaya/tahun (Rp.) Rp ,00 2 Jual/MT (Rp.) Rp ,00 3 Biaya operasional Rp ,00 4 laba operasional Rp ,00 5 laba bersih Rp ,00 6 laba bersih 1 thn Rp ,00 7 arus kas Rp ,00 8 RE kali 19,83 9 R/C kali 1,96 10 Payback period (Thn) Tahun 3 11 BEP Produksi (Kg) kg BEP Harga (Rp.) Rp

113 Lampiran 10. Struktur Biaya Usaha Tambak dan Analisa Penjualan Bandeng (5 ha) No Komponen Biaya Nilai Sub Total Biaya Total (Rp/Ha/Th) (Rp/Ha/Th) 1 Biaya Investasi Biaya modal kerja per tahun A. Biaya Tetap B. Biaya Tidak Tetap Total Biaya Usaha per per tahun Biaya dari dana sendiri Kredit Bank (0%) Analisa Penjualan Bandeng No Komponen Analisis Penjualan Satuan Jumlah 1 Luas Petak tambak ha 5 2 Jumlah Tebar benih bandeng per 100 m² ekor 20 3 Jumlah Bandeng yang hidup selama pemeliharaan % 85 4 Ukuran bandeng yang dipanen ekor/kg 4 5 Berat hasil panen bandeng yang dipanen kg 6 Harga jual ikan bandeng di tingkat petambak Rupiah Penjualan ikan bandeng hasil panen Rupiah 8 Total Penjualan per siklus produksi Rupiah 9 Total penjualan per tahun Rupiah Total biaya/tahun (Rp.) Jual/MT (Rp.) Biaya operasional laba operasional laba bersih laba bersih 1 thn arus kas RE 28,15 R/C 2,72 Payback period 2,4 BEP Produksi 781,39 BEP Harga 10296

114 93 Appendix 11. Picture of Study site A. Sea B. Kali Buaya

115 94 C. Fishpond

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di perairan pesisir Holtekam, Kampung Holtekam, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Secara geografis berada pada posisi antara 1⁰28 17.26-3⁰58

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan berada di Teluk Yos Sudarso. Kawasan pesisir Kota Jayapura terbagi atas pesisir bagian barat dan bagian timur. Pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI This research was conducted to find out the impact of agricultural

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara

Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara Muh. Farid Samawi *, Ahmad Faisal, Chair Rani Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP, Universitas Hasanuddin Jl. Perintis

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perairan yang menutupi seperempat bagian dari permukaan bumi dibagi dalam dua kategori utama, yaitu ekosistem air tawar dan ekosistem air laut (Barus, 1996).

Lebih terperinci

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN Jalil 1, Jurniati 2 1 FMIPA Universitas Terbuka, Makassar 2 Fakultas Perikanan Universitas Andi Djemma,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah satu unsur yang dapat mempengaruhi kualitas air yakni unsur karbon (Benefield et al., 1982).

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem Tabel Parameter Klasifikasi Basis Data SIG Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Kelautan No Parameter Satuan 1 Parameter Fisika Suhu ºC Kecerahan M Kedalaman M Kecepatan Arus m/det Tekstur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM Mhd F Cholis Kurniawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN TESIS DAN MENGENAI SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Stasiun Pengamatan Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan pada tiga stasiun yakni laut, saluran kali Buaya dan tambak dimana masing-masing stasiun terdiri

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP Lutfi Noorghany Permadi luthfinoorghany@gmail.com M. Widyastuti m.widyastuti@geo.ugm.ac.id Abstract The

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan sekitar 18. 110 buah pulau, yang terbentang sepanjang 5.210 Km dari Timur ke Barat sepanjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Budidaya Tambak Kegiatan budidaya tambak merupakan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk masyarakat

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

PENCEMARAN ORGANIK DI PERAIRAN PESISIR PANTAI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA, PAPUA

PENCEMARAN ORGANIK DI PERAIRAN PESISIR PANTAI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA, PAPUA PENCEMARAN ORGANIK DI PERAIRAN PESISIR PANTAI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA, PAPUA TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Lebih terperinci