BAB 2. Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2. Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis Definisi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus ataupun hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Helmi 2005) Etiologi dan patogenesis OMSK Ada beberapa faktor yang menjadi etiologi dari otitis media supuratif kronis antara lain : otitis media akut dan otitis media efusi, genetik dan ras, lingkungan, disfungsi tuba Eusthacius, refluks gastroesofagal, abnormalitas kraniofasial, defesiensi imun (Browning 2009). Patogenesis dari OMSK tipe bahaya dengan kolesteatoma masih belum diketahui dengan pasti. Sejumlah kasus disebabkan oleh perforasi membran timpani yang berasal dari episode otitis media akut. Di sejumlah kasus, perforasi terkadang kering dan kasus lainnya dengan telinga berair. Pada kasus OMSK dengan tube timpanostomi, hal tersebut merupakan hasil superinfeksi dari mukosa telinga tengah, organisme dari telinga luar atau nasofaring (Lee 2008) Klasifikasi OMSK OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu : OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna) OMSK tipe bahaya (tipe tulang=tipe maligna) Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang

2 berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma sedangkan OMSK tipe bahaya biasanya perforasi marginal, atik ataupun dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya (Djaafar et al 2008). Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai safe ears. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009). 2.2 Kolesteatoma Definisi Kolesteatoma dapat didefinisikan sebagai lesi non neoplastik dan destruktif yang mengandung lapisan keratin pada suatu kavitas yang dilapisi oleh epitel skuamus dan jaringan ikat subepitelial (Persaud 2007). Istilah kolesteatoma pertama sekali diperkenalkan oleh seorang ahli anatomi kebangsaan Jerman yang bernama Johannes Muller pada tahun 1838 dimana kata kolesteatoma berasal dari kata cole berarti kolesterol, esteado berarti lemak, dan oma yang berarti tumor, yang bila digabungkan berarti suatu tumor yang terbentuk dari jaringan berlemak dan Kristal dari kolesterol. Istilah lain yang digunakan antara lain pearl tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma oleh Craigie pada tahun 1891, epidermoid kolesteatoma oleh Causing pada tahun 1922 dan keratoma oleh Shuknecht pada tahun Bagaimanapun kolesteatoma berasal dari epitel skuamus keratinisasi dari membran timpani atau meatus auditori eksternal (Nunes 2010) Epidemiologi Insiden kolesteatoma berkisar antara 3 kasus dari pada anakanak dan 9 kasus dari pada dewasa dan lebih dominan terhadap laki- laki dibanding perempuan (Nunes 2010).

3 Aquino pada penelitiannya menemukan selama 26 tahun ( ) terdapat 1146 kasus kolesteatoma dengan melakukan prosedur mastoidektomi. Harker et al juga melaporkan insiden kolesteatoma sebesar 6 orang per kasus di Iowa. Insiden lebih tinggi pada dekade ke-2 dan 3 dari kehidupan (Aquino 2012) Padgham et al menemukan insiden tahunan sebesar 13 kasus dari pertahun di Scotland (Aquino 2012). Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma. Aboet (2006) menemukan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan di THT RSUP H Adam Malik. Suryanti (2002) pada penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya menemukan 331 penderita otitis media supuratif Kronik yang berobat periode Januari sd Desember Penderita OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari Desember 2009 adalah sebanyak 47 penderita (Nora 2011). Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1 Januari Desember 2010 sebanyak 119 pasien (Siregar 2013) Patogenesis kolesteatoma Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi kongenital atau acquired. Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Secondary acquired cholesteatoma mengacu pada kolesteatoma muncul akibat perforasi membran timpani (Chloe & Nason 2009). 1. Congenital cholesteatoma Kista keratin bisa terakumulasi karena epitel yang dihasilkan tertutup. Pada umumnya, kista akan terbentuk sebagai kelainan pertumbuhan atau karena penyebab iatrogenik. Kista epidermal akan ditemukan pada daerah

4 medial dengan membran timpani yang utuh. Menurut Derlaki dan Clemis (2005), kolesteatoma dikatakan kongenital apabila memiliki syarat sebagai berikut yakni: Massa putih medial dengan membran timpani utuh. Pars tensa dan pars plaksida normal. Tidak ada riwayat telinga berair, perforasi ataupun prosedur otologik sebelumnya. Kemungkinan bahwa terjadinya otitis media tidak bisa disingkirkan sebagai kriteria ekslusi dari kolesteatoma kongenital ini karena sangat jarang anak tidak memiliki episode dari otitis media pada lima tahun pertama kehidupannya. 2. Acquired cholesteatoma Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi pars flaksida, sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi membran timpani, biasanya pada kuadran posterior superior telinga tengah (Chole & Nason 2009) Bentuk sisa, formasi epidermoid yang berasal dari kolesteatoma kongenital mungkin berasal dari epitimpanum anterior. Tidak seluruh kolesteatoma kongenital berlokasi di daerah anterosuperior dan tidak semua ditemukan menjadi kista epitelial seperti adanya invaginasi epitel skuamosa dari liang telinga atau masuknya elemen skuamosa pada cairan amnion (Browning 2009). Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat yakni: A. Teori invaginasi Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima sebagai salah satu mekanisme primer dalam pembentukan atik

5 kolesteatoma. Retraction pockets dari pars flaksida terjadi karena tekanan negatif telinga tengah dan kemungkinan disebabkan inflamasi berulang. Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat dibersihkan dari reses kemudian terbentuk kolesteatoma. Asal dari retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba Eustachius atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang tahan terhadap pergerakan, biasanya sebagai sumber kolesteatoma. Sebagai hasil dari tipe kolesteatoma ini adalah defek yang terlihat pada kuadran posterosuperior membran timpani dan erosi dari dinding liang telinga yang berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan akumulasi keratin dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi matriks keratin, membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan proliferasi epitel (Chole & Sudhoff 2005 ; Chole & Nason 2009). B. Teori invasi epitel Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain, yang di sebut dengan contact inhibition (Chole & Nason 2009). Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa cytokeratin (CK 10), yang merupakan intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa,ditemukan pada epidermis liang telinga matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab pertumbuhan epidermal dari pada perforasi sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan struktur dinding tulang liang telinga (Chole & Nason 2009).

6 Palva dan peneliti lain menunjukkan perubahan histologi ini pada tulang temporal manusia. Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang temporal dapat terjadi dari mekanisme ini. Fraktur liang telinga menyebabkan pertumbuhan epitel berkeratinisasi dengan mekanisme kontak (Chole & Sudhoff 2005). Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai safe ears. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009). C. Teori hiperplasia sel basal Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars flasida dapat menginvasi ruang sub epitelial normal yang memiliki akses untuk membentuk kolesteatoma di atik (Chole & Nason 2009). Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan subepitelial dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang menginvasi lamina propria, basal lamina (basement membrane) menjadi berubah. Huang dan Masaki meneliti teori ini dengan memperlihatkan bahwa pertumbuhan epitel membran timpani dapat diinduksi dengan meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit. Kerusakan basal lamina menyebabkan invasi kerucut epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan membentuk mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan beberapa tipe kolesteatoma, termasuk yang terbentuk di belakang membran timpani yang utuh. Mikrokolesteatoma membesar dan mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani, meninggalkan ciri khas kolesteatoma atik (Chole & Nason 2009). Perubahan diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks kolesteatoma telah diteliti pada beberapa penelitian. Distribusi abnormal dari marker diferensiasi epidermal, seperti filaggrin dan involucrin, c-jun,

7 p53 protein, peningkatan reseptor epidermal growth factor terlihat dalam matriks kolesteatoma telinga tengah. Peningkatan cytokeratin (CK 13 dan 16), di mana marker diferensiasi dan hiperproliferasi juga ditemukan. Kim dkk mendemonstrasikan peningkatan ekspresi cytokeratin CK 13 dan 16 pada area perifer pars tensa yang diinduksi oleh kolesteatoma oleh ligasi liang telinga dan area perifer serta sentral pars tensa yang diinduksi kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius. Peningkatan ekspresi human intercellular adhesion molecule-1 dan 2 terlihat yang memiliki peran terhadap migrasi sel ke jaringan. Adanya heat shock protein 60 dan 70 menunjukkan proliferasi dan diferensiasi aktif dari keratinosit basal yang berhubungan dengan kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005). Terdapat berbagai laporan bahwa respon imun terlibat dalam derajat hiperproliferasi epitel kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan reaksi imun dan menunjang proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL-1α (Chole & Sudhoff 2005). D. Teori Metaplasia Skuamosa Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole & Nason 2009) Inflamasi dan proliferasi sel Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium dan integritas struktural. Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang

8 bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κb Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokinsitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL. Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factor alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009) Gejala dan tanda Gejala khas dari OMSK adalah telinga berair berkepanjangan melalui membran timpani yang tidak utuh lagi. Telinga biasanya tidak terasa sakit kecuali jika bersamaan dengan otitis eksterna ataupun jika komplikasi intrakranial atau temporal. Pasien juga mengeluhkan telinga berair. Pemeriksaan otoskopi biasanya menemukan perforasi membran timpani dengan mukosa telinga tengah yang sedikit edema. Pada OMSK tipe bahaya, juga sering disertai dengan adanya jaringan granulasi pada sekitar daerah perforasi (Lee 2008)

9 Menurut Djaafar (2007), tanda- tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah : 1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler 2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah. 3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum 4. Sekret berbau nanah dan berbau khas 5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada rontgen mastoid Diagnosis Diagnosis OMSk ditegakkan dengan beberapa tahapan (Lee et al, 2007; Chole & Nason 2009 ; Dhingra 2010, Vercryysse et al. 2010): 1. Anamnesis Penyakit ini datang dengan perlahan lahan dan gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang berbau busuk, kadangkala disertai jaringan granulasi ataupun polip, maka sekret yang keluar berupa darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga berdarah. 2. Pemeriksaan otoskopi Pemeriksaan otoskopi menunjukkan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah. 3. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan foto polos proyeksi schuller berguna untuk menilai kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT Scan dapat lebih efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma. 4. Pemeriksaan audiologi Audiogram nada murni digunakan untuk menilai hantaran udara dan tulang, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.

10 Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold pada kasus untuk memperbaiki pendengaran. 5. Pemeriksaan mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotika yang tepat Penatalaksanaan Prosedur operasi untuk pembedahan kolesteatoma: Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satusatunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright & Valentine 2008). Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright & Valentine 2008). a. Canal wall down procedures Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Dhingra 2007; Merchant, Rosowski & Shelton 2009). b. Intact canal wall procedures Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum. Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan

11 complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dimasuki. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan second look operation setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009) Komplikasi otitis media kronis dan kolesteatoma Komplikasi dapat dibagi atas : ( Dhingra 2010) A. Komplikasi Intratemporal Petrositis Paralisis nervus fasialis Labirinitis Mastoiditis B. Komplikasi intrakranial Abses ekstradural Abses subdural Meningitis Abses otak otogenik Tromboplebitis sinus lateralis Hidrosefalus otikus 2.3 Stadium Kolesteatoma Pembagian stadium pada kolesteatoma secara berguna untuk pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi timpanomastoidektomi yang dipublikasikan. Pada tahun 1999, Saleh & Mills mengajukan stadium kolesteatoma berdasarkan perluasan lesi, keadaan osikel dan komplikasi pre operasi. Hal ini menunjukkan hubungan antara stadium penyakit, kerusakan osikel dan terjadinya komplikasi. Pembagian stadium pada kolesteatoma berguna untuk

12 pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi timpanomastoidektomi yang dipublikasikan (Saleh & Mills 1999). A. Berdasarkan lokasi kolesteatoma, Saleh & Mills (1999) membagi stadium kolesteatoma menjadi: S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal S3 : Bila mengenai tiga lokasi S4 : Bila mengenai empat lokasi S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi. Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi Saleh dan Mills membagi stadium kolesteatoma menjadi: C1 : Bila tidak terdapat komplikasi C2 : Bila terdapat komplikasi C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih (Nunes et al. 2009). B. Menurut Japan Otological Society (JOS) stadium kolesteatoma primer terdiri atas: (Ikihara et al 2011) Stadium I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah atic Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi daerah atic Stadium III : Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan sedikitnya satu komplikasi di bawah ini: Kelumpuhan saraf fasialis Komplikasi intrakranial Fistel labirin Defek luas pada kanal telinga luar Ganguan pendengaran sensorineural luas Adhesi total pada membran timpani C. Berdasarkan derajat dektruksi tulang, kolesteatoma terbagi atas : (kuczkowski et al 2011)

13 Mild : erosi dari skutum dan osikel Moderate : destruksi dari tegmen dan seluruh osikel Severe : destruksi dari seluruh osikel, labirin tulang, kanalis fasialis dan liang telinga luar. Sedangkan derajat invasi kolesteatoma terdiri atas 3 kelompok yaitu: Derajat 1 : melibatkan 1 area (epitimpanum atau mesotimpanum) Derajat 2: melibatkan 2 area (epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum Derajat 3 : mesotimpanum, epitimpanum dan antrum 2.4. Ki-67 Proliferasi sel adalah dasar yang berperan penting terhadap proses biologis yang dikontrol oleh mekanisme yang sangat serasi. Jaringan regulasi kompleks akan bertindak sebagai mediasi pada embrio dan perkembangan normal serta bertanggung jawab terhadap respon sistemik berupa inflamasi ataupun proses infeksi. Kemajuan besar terhadap mekanisme dan regulasi dari siklus sel telah diterima akhir akhir ini. Sejumlah siklus sel yang dihubungkan dengan sejumlah protein tidak hanya bersifat sementara pada bagian siklus sel tetapi keberadaannya tidak selalu dihubungkan dengan sejumlah siklus sel (Schluter 1993). Antigen Ki-67 pertama sekali diidentifikasi karena reaksifitasnya terhadap antibodi Ki-67. Protein ini adalah protein inti dan tidak hanya dihubungkan dengan proliferasi sel somatik tapi juga diintegrasikan dengan jaringan regulasi protein yang menjalankan siklus pembagian sel. Sejak protein Ki-67 diaktifkan pada fase aktif dari siklus sel ( G1,S,G2 dan mitosis tetapi tidak aktif pada fase istirahat (G0), hal ini menunjukkan bahwa Ki-67 merupakan marker proliferasi dihubungkan dengan rangkain penyakit. Gen Ki-67 berasal dari isoform dua protein yang dihasilkan oleh penyambung alternatif dari prekusor M-RNA. Kedua isoform dengan 320 dan 359 kda dikarakteristikan oleh sejumlah tempat posforilasi seperti protein kinase c, casein kinase II, tyrosin kinase dan cdc2 kinase. Fosforilasi dan

14 defosforilasi dari protein Ki-67 dikendalikan oleh kunci regulasi cyclinb/cdc2 yang paralel untuk transit dari mitosis sel (Tian 2010 ; Schluter 1993). Ekspresi KI-67 mencerminkan keadaan fisiologis tertentu dari sel. Walaupun fungsi yang tepat dari protein Ki-67 selama proliferasi sel masih sulit dijelaskan. Baru- baru ini, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sintesis DNA dapat dihambat oleh komplimenter oligodeoksinukleotida dari mrna Ki-67 (Tian 2010). Sejumlah penelitian yang menggunakan Ki-67 selain pada kolesteatoma juga sering digunakan pada beberapa tipe kanker seperti karsinoma, sarkoma, limfoma dan glioma (Torp 2002) Ki-67 terhadap kolesteatoma Kolesteatoma dianggap memiliki karakteristik proliferatif dan sejumlah penelitian telah menguraikan mekanisme proliferatif dari kolesteatoma (Chae et al, 2000). Meskipun telah banyak penelitian berfokus pada mekanisme pembentukan kolesteatoma, patogenese yang tepat dari penyakit ini belum juga berhasil diungkapkan. Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κb Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL. Jeong et al

15 (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factor alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoclastogenesis (Chole & Nason 2009). Proses inilah meningkatkan aktivitas proliferatif sel yang dinilai dengan antigen Ki-67. Sikka et al (2011) di India melakukan penelitian untuk mendeteksi proliferasi kolesteatoma dibandingkan kulit normal dengan menggunakan Ki-67 sebagai marker dan menemukan kolesteatoma memiliki overekspresi yang tinggi dibandingkan kulit normal. Kuczkowski et al (2007) di Polandia melakukan penelitian untuk menganalisis ekspresi Ki-67 pada kolesteatoma telinga tengah dengan jumlah sebanyak 51 spesimen mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 pada 21 sampel (41,5%) dan menyimpulkan bahwa Ki-67 memiliki peran penting pada proliferasi sel. Olsweska et al (2006) di Polandia menemukan penelitian terhadap 29 pasien dengan kolesteatoma dan menemukan ekspresi kolesteatoma meninggi sekitar 22% dibanding kulit yakni sekitar 7 %. Raynov et al (2005) di Bulgaria melakukan penelitian terhadap 5 pasien dengan kolesteatoma dan menemukan bahwa ekspresi Ki-67 terjadi pada setiap fase sel, tetapi tidak terjadi pada fase istirahat. Huisman et al (2003) di Belanda menemukan ekspresi positif Ki-67 pada pasien dengan kolesteatoma dan lebih dominan ditemukan di daerah basal dan parabasal epitel. Chae et al (2000) di Korea melakukan penelitian untuk mendeteksi ekspresi pada Ki-67 pada 27 sampel dan mendapatkan hasil overekspresi Ki-67 lebih tinggi pada kolesteatoma di epitel (36, 6% ± 10,8%) dibandingkan pada liang telinga (23,8% ± 4,0%). Peneliti menemukan

16 terdapat perbedaan yang signifikan antara ekpresi kolesteatoma pada telinga tengah dan liang telinga. 2.6 Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius dan prosesus mastoid (Gacek 2009) Membran timpani Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum nasi. Tinggi 9-10 mm, lebar 8-9 mm dan ketebalan rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat sudut 45º dari dataran sagital dan horizontal. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya (Dhingra 2010). Membran timpani mempunyai tiga lapisan : 1. Stratum kutaneum(lapisan epitel) berasal dari liang telinga 2. Stratum mukosum(lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani 3. Stratum fibrosum (lamina propia) yang letaknya antara stratum kutaneum dan mukosum pada pars tensa (Dhingra 2010). Secara anatomi membran timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars tensa dan pars flaksida atau membrane shrapnell yang letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Antara pars tensa dan pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : plika maleolaris anterior (Lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (Dhingra 2010)

17 Gambar. 2.1 Membran timpani (Dhingra 2010) Kavum Timpani Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal. Kavum timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior. Atap kavum timpani dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap aditus ad antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa kranii media. Lantai kavum timpani juga merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang- kadang secara kongenital tidak sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke telinga tengah dan hanya dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan arteri karotis. Juga terdapat tuba Eustachius dibagian bawah dan kanalis muskulus tensor timpani di bagian atas. Dinding posterior berbatasan dengan sel- sel mastoid muncul sebagai penonjolan tulang yang disebut piramid. Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran yang disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fossa kranii posterior dan sinus sigmoid. Dinding medial

18 berbatasan dengan labirin. Tampak tonjolan promontorium yang merupakan dasar koklea. Foramen ovale terfiksasi pada kaki stapes. Diatas foramen ovale terdapat kanalis saraf fasialis. Tulang penutupnya kadang secara kongenital mengalami dehisensi dan saraf fasialis lebih terekspos yang membuat lebih terangsang infeksi. Dinding lateral berbatasan dengan membran timpani dan liang telinga luar. Kavum timpani terdiri dari tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus,stapes), dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius juga saraf korda timpani, saraf pleksus timpanikus (Dhingra 2010). Gambar 2.2. Dinding dari telinga tengah (Dhingra 2010) Tuba Eustachius Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah yang bertanggung jawab terhadap proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan atmosfir. Stabilnya tuba Eustachius disebabkan karena adanya konstraksi muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat

19 mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa dan epitel saluran nafas (Gacek 2009) Prosesus mastoid Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal (Gacek 2009). Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater, sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Gacek 2009) Vaskularisasi kavum timpani Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang cabang kecil arteri karotis eksterna. Cabang cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah: Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang dapat berasal dari a. Aurikularis posterior atau a. Oksipital. A. Timpani

20 posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang asedens a karotis eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan cabang timpani timpani n IX lalu mendarahi terutama bagian inferior kavum timpani Arteri petrosus superfisialis dan arteri timpani superior yang merupakan cabang-cabang a. Meningea media yang masuk ke kavum timpani masing masing melalui lubang kecil di tegmen timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian superior kavum timpani Arteri karotimpani yang merupakan satu satunya cabang berasal dari arteri karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus dengan telinga tengah. Aliran vena jalan sering dengan arterinya untuk bermuara pada sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi 2005) 2.7 Imunohistokimia Pemeriksaan imunohistokimia dapat 33ntibo informasi mengenai kandungan berbagai 33ntibo molekul didalam sel normal maupun sel neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang terkandung dalam sel) dengan 33ntibody spesifiknya yang diberi label chromogen. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur pembuatan irisan jaringan (33ntibody33) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia (Hardjolukito & Endang 2005) Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan petandapetanda 33ntibody tersebut karena 33ntibody mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin histopatologik. Namun demikian perlu

21 diperhatikan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian hasil pulasan (Hardjolukito & Endang 2005) Metode pewarnaan imunohistokimia Prinsip dari metode imunohistokimia adalah perpaduan antara reaksi imunologi dan kimiawi, dimana reaksi imunologi ditandai adanya reaksi antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi ditandai adanya reaksi antara enzim dengan substrat (Sugiana & Ketut 2005) Pemeriksaan imunohistokimia dimaksudkan untuk mengenali bahan spesifik tertentu didalam jaringan dengan menggunakan antibodi dan antibodi deteksi yang memungkinkan untuk mengenali bahan spesifik tersebut secara visual (Sugiana & Ketut 2005). Dengan diketahuinya bahan spesifik tersebut maka dokter dapat menentukan dengan lebih tepat histogenesis dari lesi tertentu dan prognostiknya (Sugiana & Ketut 2005) Antibodi bereaksi terhadap determinan dari antigen yang berada dalam bahan spesifik yang diperiksa. Antibodi-antibodi ini akan berikatan dengan bahan dalam jaringan, dan antibodi-antibodi ini diketahui dengan menggunakan antibodi-antibodi lain yang dirancang untuk mengenal immunoglobulin tersebut dari spesies-spesies yang terekspos dengan bahan asli (Sugiana & Ketut 2005). Antibodi-antibodi penentu (anti-antibodi dari spesies lain) ini ditempeli (tagged) dengan beberapa molekul pelapor (reporter molecule) misalnya fluorecein atau enzim yang dapat mengkatalisa reaksi selanjutnya menuju produk yang dapat dilihat (Sugiana & Ketut 2005).

22 Cara pewarnaan imunohistokimia ; (Sugiana & Ketut 2005) 1. Metode langsung (direct) : Pada metode ini antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu enzim. 2. Metode tidak langsung (indirect) Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel dengan suatu enzim. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi primer. Namun pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan antibodi yang dilabel enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang dilabel adalah antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect dikenal dengan sebutan antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi sekunder dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung artinya antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu enzim. Sedangkan secara tidak langsung artinya pelabelan antibodi sekunder dengan suatu enzim adalah menggunakan suatu bahan perantara (kombinasi) seperti : biotin-streptavidin atau biotin-avidin.

23 2.8. Kerangka Teori Bakteri Otitis Media Supuratif Kronik Tipe bahaya / Kolesteatoma Usia Jenis kelamin Lama keluhan Derajat destruksi tulang Komplikasi Inflamasi Proliferasi Ki-67 Peningkatan aktivitas osteoklas dalam kolesteatoma Degradasi ekstraseluler matriks Komplikasi Destruksi tulang Intratemporal Intrakranial Ringan Sedang Berat Gambar 2.3. Kerangka teori

24 Keterangan : = Variabel Penelitian Pada pasien OMSK tipe bahaya atau dengan kolesteatoma akan terjadi akumulasi sel debris dan keratinosit yang diinvasi oleh sel-sel sistem imun termasuk sel Langerhans, sel-t dan makrofag. Proses ini distimulasi oleh proliferasi epitel yang tidak seimbang, diferensiasi dan maturasi keratinosit dan pemanjangan apoptosis. Migrasi sel digantikan oleh hyperplasia dalam kondisi inflamasi. Inflamasi yang mendorong proliferasi epitel behubungan dengan peningkatan ekspresi enzim litik dan sitokin termasuk asam arakidonat, Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor Activator Of Nuclear Factor Kappa-β Ligand (RANKL), Interleukin-1, 2 dan 6 (IL-1, IL-2, IL-6), Matrix Metalloproteinase-2 dan 9 (MMP-2, MMP-9) dan Tumor Necrosis Factor Alpha yang sebagian diinduksi oleh antigen bakterial termasuk endotoksin seperti lipopolisakarida. Sel mast banyak terdapat pada jaringan kolesteatoma dan berkontribusi terhadap inflamasi kronis. Sel efektor yang melepaskan sitokin temasuk osteoklas yang menyebabkan degradasi matriks tulang ekstraselular dan hiperproliferasi, sehingga terjadi erosi tulang. Aktivitas proliferasi dari kolesteatoma inilah yang dinilai dengan antigen Ki-67. Derajat destruksi tulang berdasarkan keparahannya dibagi dalang tingkat ringan, sedang dan berat

25 Kerangka konsep Mild Ki-67 KOLESTEATOMA Derajat destruksi tulang moderate USIA JENIS KELAMIN LAMA KELUHAN KOMPLIKASI DERAJAT DESTRUKSI TULANG Severe Gambar 2.4. Kerangka konsep

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 6 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) 2.1.1 Definisi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi telinga tengah Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007). 2.1.1. Membran Timpani Membran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007).

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007). 20 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi telinga tengah Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007). 2.1.1. Membran Timpani Membran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga tersebut lebih dari tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 4 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Anatomi Telinga Tengah 1. Membran timpani 2. kavum timpani 3. prossesus mastoideus 4. tuba eustachius Gambar 2.1 Anatomi Telinga Tengah Gambar ini dikutip dari Netter

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga tersebut lebih dari tiga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 6 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) 2.1.1. Definisi Otitis Media merupakan suatu keadaan inflamasi pada mukosa telinga tengah dan rongga mastoid, tanpa melihat pada etiologi

Lebih terperinci

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon : Lampiran 1 LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :. Agama : No. M R : Tanggal : II. Keluhan Utama : III. Keluhan tambahan : - Sakit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Otitis Media Supuratif Kronis Suatu radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan peradangan dan infeksi kronis pada telinga tengah dan rongga mastoid yang ditandai dengan adanya sekret yang keluar terus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah terdiri dari : 1. Membran timpani. 2. Kavum timpani. 3. Tuba Eustachius 4. Prosesus mastoideus. Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah (Dikutip

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga Untuk memahami tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui dan dipelajari anatomi telinga dan fisiologi pendengaran. Telinga dibagi atas telinga luar,telinga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan adanya lubang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otitis Media Supuratif Kronis 2.1.1 Definisi Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga tengah disertai perforasi membran timpani yang telah berlangsung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi telinga Gambar 1 anatomi telinga (Sumber: Kaneshiro N K,2011) 2.1.1. Anatomi telinga luar Anatomi luar terdiri dari, heliks, lipatan heliks, kanal heliks,kanalis auditorius

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik. Observasi dilakukan dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

Hubungan ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dengan destruksi tulang akibat kolesteatoma

Hubungan ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dengan destruksi tulang akibat kolesteatoma Laporan Penelitian Hubungan ekspresi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dengan destruksi tulang akibat kolesteatoma Sara Yosephine Aruan, Askaroellah Aboet, Devira Zahara, Aliandri, Abdul Rachman Saragih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Telinga tengah adalah rongga yang terdapat antara membran timpani dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Telinga tengah adalah rongga yang terdapat antara membran timpani dengan 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah adalah rongga yang terdapat antara membran timpani dengan kapsul tulang labirin yang terdapat ditulang petrosus yang berisi antara lain

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tubaeustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. otitis media terbagi atas otitis mediasupuratif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga Tengah Rongga yang terdapat antara membran timpani dengan tulang labirin yang terdapat ditulang petrosus berisi antara lain rantai osikuler, tuba eustachius dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Embriologi Telinga Tengah Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal pertama, disamping itu bersama-sama dengan telinga luar, telinga tengah juga mempunyai

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

POLA KUMAN AEROB PENYEBAB OMSK DAN KEPEKAAN TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA DI BAGIAN THT FK USU / RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN. Dr.

POLA KUMAN AEROB PENYEBAB OMSK DAN KEPEKAAN TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA DI BAGIAN THT FK USU / RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN. Dr. POLA KUMAN AEROB PENYEBAB OMSK DAN KEPEKAAN TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA DI BAGIAN THT FK USU / RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN Dr. SITI NURSIAH Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

Hubungan ekspresi RANKL dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada otitis media supuratif kronik

Hubungan ekspresi RANKL dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada otitis media supuratif kronik Laporan Penelitian Hubungan ekspresi RANKL dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada otitis media supuratif kronik Lilia Yarisman*, Harry Agustaf Asroel*, Askaroellah Aboet*, Fotarisman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJUAN KEPUSTAKAAN BAB 2 TINJUAN KEPUSTAKAAN 2. 1. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK 2.1.1. DEFINISI OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran

Lebih terperinci

KOMPLIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

KOMPLIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS KOMPLIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TUGAS REFERAT PENYUSUN Dwi Meutia Julyta 030.13.063 PEMBIMBING Dr. Bima Mandraguna, Sp THT- KL Dr. Aditya Arifianto, Sp THT - KL KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN THT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Anatomi Telinga

BAB II LANDASAN TEORI. A. Anatomi Telinga BAB II LANDASAN TEORI A. Anatomi Telinga Telinga secara anatomi terbagi menjadi 3 bagian : telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Telinga luar dan telinga tengah berhubungan dengan konduksi udara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi telinga Telinga merupakan organ penginderaan dengan fungsi pendengaran dan keseimbangan. Telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan

Lebih terperinci

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK AD AKTIF TIPE AMAN

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK AD AKTIF TIPE AMAN LAPORAN KASUS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK AD AKTIF TIPE AMAN Oleh : SAIFUL BAHRI ( H1A 005 045 ) DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT THT RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Gangguan Pendengaran Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telinga adalah organ penginderaan yang berfungsi ganda untuk pendengaran dan keseimbangan dengan anatomi yang kompleks. Indera pendengaran berperan penting dalam

Lebih terperinci

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN OMSK 1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (aural toilet)

PENATALAKSANAAN OMSK 1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (aural toilet) PENATALAKSANAAN OMSK OMSK Tipe Aman Pengobatan OMSK tipe aman berprinsip pengobatan konservatif atau dengan medikamentosa. Pengobatan OMSK tipe aman secara konservatif, yaitu : 1. Membersihkan liang telinga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB I ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

BAB I ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA BAB I ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA Telinga merupakan salah satu panca indera yang penting bagi manusia yang mempunyai dua fungsi yaitu untuk pendengaran dan keseimbangan. Telinga, menurut anatominya dibagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN 66 Lampiran 1 STATUS PENELITIAN No. I. IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN Nama :... Tanggal lahir :... Jenis Kelamin :... Alamat :... Telepon :... No. M R :... Anak ke/dari :... Jumlah orang yang tinggal

Lebih terperinci

Kesesuaian Temuan Erosi Tulang Dan Kolesteatoma Pada Tomografi Komputer Preoperatif Dengan Temuan Operasi Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya

Kesesuaian Temuan Erosi Tulang Dan Kolesteatoma Pada Tomografi Komputer Preoperatif Dengan Temuan Operasi Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya Kesesuaian Temuan Erosi Tulang Dan Kolesteatoma Pada Tomografi Komputer Preoperatif Dengan Temuan Operasi Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya TESIS Nani Lukmana 0806361074 UNIERSITAS INDONESIA FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012. HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh: DENNY SUWANTO 090100132 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

PERBEDAAN KADAR INTERLEUKIN-1α SERUM DARAH VENA ANTARA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE JINAK DAN TIPE BAHAYA TESIS

PERBEDAAN KADAR INTERLEUKIN-1α SERUM DARAH VENA ANTARA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE JINAK DAN TIPE BAHAYA TESIS PERBEDAAN KADAR INTERLEUKIN-1α SERUM DARAH VENA ANTARA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE JINAK DAN TIPE BAHAYA TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat magister Program

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. STATUS PENELITIAN

LAMPIRAN 1. STATUS PENELITIAN LAMPIRAN 1. STATUS PENELITIAN No. penelitian : Tanggal : No. MR : I. Data-data Pasien : Nama : Umur : tahun Jenis kelamin : Pekerjaan : Alamat : Telepon : II. Keluhan Utama : Telinga berair : ya / tidak,

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Inflamasi merupakan respon fisiologis tubuh terhadap iritasi maupun stimuli yang mengubah homeostasis jaringan. Inflamasi akut dapat mengalami pemulihan sempurna

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Anatomi telinga tengah Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustacius dan prosesus mastoideus Moore, Dhingra,... Membran timpani Membran timpani di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Mempertahankan gigi selama mungkin di dalam rongga mulut merupakan salah satu tujuan kesehatan gigi, khususnya di bidang ilmu konservasi gigi. Idealnya gigi dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI TELINGA TENGAH Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum dijumpai diusia tua. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada perempuan

BAB I PENDAHULUAN. umum dijumpai diusia tua. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Degenerasi sendi pada osteoarthritis (OA) adalah gangguan sendi yang paling umum dijumpai diusia tua. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada perempuan daripada laki-laki.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang

BAB I PENDAHULUAN. fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang menginvasi bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah merupakan ruang berisi udara dalam pars petrosa ossis temporalis yang dilapisi oleh membran mukosa. Di ruang ini memiliki beberapa tulang-tulang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

Korelasi Pneumatisasi Mastoid dengan Derajat Destruksi Tulang Pada OMSK Disertai Acquired Cholesteatoma Secara CT-Scan

Korelasi Pneumatisasi Mastoid dengan Derajat Destruksi Tulang Pada OMSK Disertai Acquired Cholesteatoma Secara CT-Scan Korelasi Pneumatisasi Mastoid dengan Derajat Destruksi Tulang Pada OMSK Disertai Acquired Cholesteatoma Secara CT-Scan Correlation of the Mastoid Pneumatization and Bone Destruction in CSOM with Acquired

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan HEAD INJURY Pendahuluan Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan peralatan keselamatan sabuk pengaman, airbag, penggunaan helm batas kadar alkohol dalam

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker serviks adalah keganasan yang berasal dari epitel pada serviks terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar kanker serviks adalah epidermoid

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan ortodonti sudah semakin dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh masyarakat saat ini. Penelitian yang dilakukan Sony (1990) menyatakan bahwa kebutuhan akan

Lebih terperinci

Abses subgaleal sebagai komplikasi otitis media supuratif kronis

Abses subgaleal sebagai komplikasi otitis media supuratif kronis Laporan Kasus Abses subgaleal sebagai komplikasi otitis media supuratif kronis Riska Adriana, Sally Mahdiani, Bogi Soeseno, Arif Dermawan Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. periodontal dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya kelahiran bayi prematur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. periodontal dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya kelahiran bayi prematur BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelahiran bayi prematur BBLR merupakan salah satu masalah kesehatan utama dalam masyarakat dan merupakan penyebab utama kematian neonatal serta gangguan perkembangan saraf dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Yang dimaksud dengan telinga tengah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang disebabkan oleh suatu infeksi

BAB II KONSEP DASAR. Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang disebabkan oleh suatu infeksi BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang disebabkan oleh suatu infeksi telinga tengah, jika tidak diobati dapat terjadi osteomilitis (Brunner dan Suddarth, 2000). Mastoiditis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Leukemia atau lebih dikenal kanker darah atau sumsum tulang merupakan pertumbuhan sel-sel abnormal tidak terkontrol (sel neoplasma) yang berasal dari mutasi sel normal.

Lebih terperinci

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d.

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d. THT [TELINGA] Jumlah soal : 30 soal 1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis 2. Tuli Konductive berapa db?? a. > 75

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci