Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 1 Mei TENTANG KI HADJAR DEWANTARA DAN PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : Ki Supriyoko

Transkripsi

1 Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 1 Mei 1996 TENTANG KI HADJAR DEWANTARA DAN PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : Ki Supriyoko "Sungguh, seandainya aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat atau bangsa yang masih kita kuasai itu, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannya sendiri". ( Ki Hadjar Dewantara, 1913 ) Itulah sepotong kalimat protes yang ditulis pada tahun 1913 oleh Ki Hadjar Dewantara, yang ketika itu masih bernama R.M. Soewardi Soerjaningrat, dalam karyanya yang sangat terkenal 'Als Ik Eens Ne-derlander Was'. Kalimat itu pulalah yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menjadi marah; ada pemuda Indonesia yang secara terang-terangan berani menentang kebijakan pemerintah kolonial. Peristiwa yang sangat bersejarah tersebut bermula dari rencana pemerintah kolonial Belanda yang akan merayakan genap 100 tahun kemerdekaannya dari tangan Perancis. Perayaan ini akan dilakukan di Belanda dan negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. Adapun rencananya, perayaan kemerdekaan Belanda di Indonesia akan dilaksanakan secara besar-besaran dan hura-hura pada 15 November Dari segi apapun rencana ini tentu tidak pas. Bagaimana tidak,mereka merayakan kemerdekaan di tanah jajahan; mereka merayakan kemerdekaan sambil menjajah bangsa lain. Rencana itu langsung diprotes oleh Ki Hadjar melalui dua tulisan: 'Als Ik Eens Nederlander Was' (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan 'Een voor Allen maar Ook Allen voor Een' (Satu untuk Semua tetapi Semua untuk Satu Juga). Di dalam tulisannya ini Ki Hadjar juga menyatakan bahwa rencana Belanda yang demikian itu benar-benar telah menyinggung perasaan dan hati nurani bangsa Indonesia; meski rakyat Indonesia (waktu itu) masih dalam keadaan terjajah. Tulisan Ki Hadjar tersebut bukan saja amat populer di jamannya, akan tetapi betul-betul dapat membangkitkan gairah perjuangan bangsa Indonesia. Dua sahabat

2 2 perjuangan Ki Hadjar yang tergabung dalam Tiga Serangkai, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker, lalu menyusul membuat tulisan yang senada.tjipto Mangoenkoesoemo menulis 'Kracht of Vrees?' (Kekuatan atau Ketakutan?), sedangkan Douwes Dekker menulis 'Onze Helden : Tjipto en Soewardi' (Pah-lawan-Pahlawan Kita: Tjipto dan Soewardi). Adapun Soewardi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Soewardi Soerjaningrat, nama kecil Ki Hadjar. Pemerintah penjajah tidak tahan menerima protes dan kritik pedas atas tulisantulisan tersebut di atas maka ketiganya langsung ditangkap dan "diinternir" (dibuang?) ke Belanda, setelah sebelumnya menurut rencana ketiganya akan diasingkan secara berpencaran; Ki Hadjar ke Bangka, Tjipto ke Banda Neira, dan Dekker ke Pulau Timor. Sejak Usia Muda Ki Hadjar memang seorang pejuang, dan semangat kejuangannya telah tumbuh sejak usia muda. Kejuangan politik Ki Hadjar memang sudah dirintis sejak usianya belasan tahun; di usia 19 tahun Ki Hadjar sudah sangat aktif menjadi anggota Boedi Oetomo (BO) sejak berdiri-nya.lebih daripada itu Ki Hadjar mendapat tugas yang cukup strategis di BO, yaitu pada bagian propaganda. Tugas ini dilaksanakan dengan baik sehingga kemampuan kepemimpinan Ki Hadjar makin mendapat perhatian masyarakat, khususnya masyarakat politik. Ki Hadjar dipercaya di bagian propaganda BO karena statusnya waktu itu yang masih menjadi siswa sekolah dokter STOVIA. Setelah menamatkan Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School) tahun 1904 seterusnya masuk Sekolah Guru (Kweek School) di Yogyakarta sebelum akhirnya masuk STOVIA. Sebenarnya Ki Hadjar tidak berhasil menyelesaikan studinya di STOVIA karena beliau sakit selama empat bulan akibatnya tidak naik kelas dan akhirnya terpaksa dicabut beasiswanya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan studi di STOVIA akan tetapi Ki Hadjar sempat menerima surat keterangan dari Direktur STOVIA atas kepandaiannya dalam Bahasa Belanda. Sekeluarnya dari STOVIA serta setelah bekerja sebagai asisten apoteker di Apotek Rathkamp Yogyakarta maka mulailah Ki Hadjar aktif di dunia pers; antara lain di surat kabar 'Sedyo Tomo' berbahasa Jawa (Yogyakarta), 'Midden Java' berbahasa Belanda (Yogyakarta) dan 'De Express' berbahasa Belanda (Bandung). Pada tahun 1912 Ki Hadjar mendapatkan undangan dari Douwes Dekker (Danudirdjo Setia Boedi) untuk datang ke Bandung membantu mengembangkan surat kabar 'De Express'.Akhirnya bersama Douwes Dekker maka Ki Hadjar mengasuh surat kabar 'De Express' tersebut; meski di luar itu Ki Hadjar juga membantu harian 'Oetoesan Hindia' pimpinan Tjokroaminoto (Surabaya), membantu harian 'Tjahaja Ti-moer' pimpinan Djojosoediro (Malang), serta diminta sebagai anggota redaksi pada harian 'Kaoem Moeda' pimpinan A.H. Wignjadisastra (Bandung). Dari sini terlihat bahwa pengalamannya di bidang pers memang sangat meyakinkan.

3 3 Tulisan-tulisan Ki Hadjar pada berbagai media massa waktu itu benar-benar dapat membangkitkan semangat perjuangan bangsa; di samping tentu saja sekaligus membuat perasaan tidak suka dan sikap permusuhan kaum kolonial. Ki Hadjar memang antikolonial. Pada tahun 1913 bersama Tjipto Mangoenkoesoemo di Bandung mendirikan Komite Boemi Poetra (KBP). Komite ini mengadakan pro-tes atas akan diadakannya peringatan dan perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland (dari penjajahan Perancis) dengan cara menarik uang dari rakyat. Oleh KBP hal ini dianggap sebagai suatu keganjilan dan penghinaan yang dapat menusuk perasaan rakyat. Secara pribadi Ki Hadjar mengungkapkan kekecewaan dan penentangannya melalui dua tulisannya tersebut. Adapun isi tulisannya mengandaikan Ki Ha-djar sebagai seorang Belanda yang tidak akan melakukan peringatan kemerdekaan di tanah jajahan karena hal itu benar-benar akan meng-hina dan menusuk hati rakyat banyak yang masih terjajah. Atas tulisan inilah Ki Hadjar dibuang ke Belanda. Ki Hadjar pun menjalani kehidupan sebagai orang buangan; pada hal saat itu Ki Hadjar baru saja menikah dengan R.A.Sutartinah, yang kemudian dikenal dengan Nyi Hadjar Dewantara. Pendidikan Nasional Tanah pembuangan Belanda dimanfaatkan oleh Ki Hadjar untuk mengembangkan diri. Dipelajarilah secara sistematis pengetahuan dan keterampilan jurnalistik dari S.de Roode pimpinan harian "Het Volk", dipelajarilah seni drama dari Herman Kloppers, dan dipelajarilah ilmu dan praktek pendidikan dari berbagai sumber. Pada tanggal 12 Juni 1915 bahkan sempat memperoleh akte guru. Di Belanda Ki Hadjar pun mengembangkan kemampuan pers dan jurnalistik yang dimilikinya; sempat menjadi redaktur majalah 'Indi-sche Vereeniging', menjadi pembantu mingguan 'De Indier', juga membantu majalah 'Indische Partij' dan majalah 'Het Indonesisch Verbond van Studeerenden'. Dalam hal ini Ki Hadjar benar-benar mengaplikasi ilmu "ngeli ning ora keli"; seolah-olah dapat menerima perlakuan masyarakat Belanda tetapi pendirian anti kolonial tetap ter-patri di dadanya. Ki Hadjar juga memberikan ceramah-ceramah pada masyarakat Belanda maupun masyarakat Indonesia yang ada di Belanda mengenai keadaan Indonesia yang sebenarnya. Kegiatan ini sangat terdukung dengan pengalamannya pada saat masih memegang bagian propaganda di BO. Ketika Ki Hadjar mendengar kesempatan untuk pulang ke Indonesia maka segera menulis di surat kabar 'Het Volk' dan 'De Groene Amsterdammer' dengan judul "Terug Naar Het Front" (Kembali Ke Medan Perjuangan). Dalam tulisan ini jelas niatan Ki Hadjar sekembalinya ke Indonesia akan meneruskan cita-cita perjuangannya. Jiwa dan semangat kebangsaan Ki Hadjar memang telah nampak sejak usia muda; dan ini dibuktikan lagi dengan didirikannya perguru-an kebangsaan untuk

4 4 rakyat banyak. Adapun perguruan yang dimaksud adalah Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa) yang berfondasikan kemerdekaan diri serta berkerangkakan kebangsaan yang berdiri 3 Juli Siapapun rakyat boleh masuk tanpa membeda-bedakan agama, suku bangsa, status so-sial, status ekonomi, dan jenis kelamin. Perguruan Tamansiswa yang didirikan Ki Hadjar bersama teman-teman seperjuangannya sampai kini masih berkiprah aktif dalam dunia pendidikan nasional kita. Konsepsi pendidikan yang bersendikan kemerdekaan dan kebang-saan itulah yang menjadi kerangka dasar sistem pendidikan nasional kita. Oleh karena kerangka dasar ini telah diletakkan oleh Ki Hadjar sejak jaman prakemerdekaan maka wajarlah kalau berbagai badai dan topan sangat sering menerpa; salah satu yang cukup dahsyat terjadi di tahun 1932 dengan peristiwa ordonansi. Setelah Ki Hadjar mendirikan Perguruan Tamansiswa maka per-kembangan lembaga pendidikan di Indonesia menjadi makin semarak, dan hal ini ternyata menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa bagi pemerintah kolonial Belanda. Atas kekhawatirannya itulah maka lalu dikeluarkan kebijakan politis dalam bentuk Onderwijs Ordonnantie (OO). Adapun isi pokok OO ialah:(1) semua sekolah partikelir/swasta yang tidak dibeayai/dikelola oleh pemerintah (Belanda) harus minta izin, (2) guru-guru yang mengajar pada sekolah partikelir/swasta juga harus mendapat izin dari pemerintah terlebih dulu, dan (3) materi pe-lajaran yang akan disampaikan kepada siswa sekolah partikelir/swasta tidak boleh melanggar peraturan negeri dan harus sesuai dengan seko-lah pemerintah (Belanda). Dengan adanya OO maka kerangka dasar pendidikan nasional kita telah mendapat ujian, maka Ki Hadjar dengan Tamansiswanya meng-adakan perlawanan secara terbuka terhadap kebijakan politis pemerintah Belanda itu; dan ternyata hal ini mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat, baik di dalam skala individual, kelompok maupun organisasi. Segenap rakyat Indonesia bersatu padu melawan OO sam-pai akhirnya OO tersebut dapat "dijatuhkan". Apabila bangsa Indonesia secara formal baru mempunyai undang-undang sistem pendidikan nasional pada tahun 1989, secara kebetulan bertepatan satu abad atau seratus tahun terhitung sejak kelahiran Ki Hadjar tahun 1889, maka sebenarnya kerangka dasarnya sudah terba-ngun sejak lama dan sejak jaman prakemerdekaan. Tidaklah sia-sia Ki Hadjar berjuang di bidang politik dan pers karena pengalaman perju-angannya di kedua bidang ini lebih mengokohkan perjuangannya di bidang pendidikan dan kebudayaan. Cita-cita kemerdekaan dan ke-bangsaan yang diperjuangkannya secara politis dan pers telah menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan nasional yang anti kolonial. Atas segala jasanya itu wajarlah kalau pemerintah Republik Indo-nesia melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 316/1959 tertanggal 16 November 1959 memutuskan hari lahir Ki Hadjar tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sampai sekarang tiap tanggal 2 Mei bangsa Indonesia senantiasa merayakan hari pendidikan nasional. Lebih dari itu banyak momentum penting yang oleh pemerintah

5 5 kita sengaja dijatuhkan pada 2 Mei; antara lain pencanangan Wajib Belajar Sekolah Dasar (2 Mei 1984), pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (2 Mei 1994), dan juga ditanda-tanganinya SK Menpan Nomer 26/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru (2 Mei 1989). Kalau pada hari ini, tanggal 2 Mei 1996, dilakukan pencanangan tuntas Wajib Belajar Pendidikan Dasar dan Pembukaan Bulan Buku Nasional 1996 (rencananya oleh Presiden Soeharto), kiranya itu semua dilakukan tidak terlepas dari keinginan untuk menghormati jasa-jasa Ki Hadjar!!!***** BIODATA SINGKAT; *: DR. Ki Supriyoko, M.Pd *: Ketua Bagian Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa; Direktur Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI); serta Ketua Umum Wahana Konsultasi Pendidikan (WKP) Propinsi DIY *: Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan