VII. POSISI DAYA SAING PRODUK AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. POSISI DAYA SAING PRODUK AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA"

Transkripsi

1 121 VII. POSISI DAYA SAING PRODUK AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA 7.1. Faktor Intrinsik Produk Berdasarkan analisis SWOT-Kuantitatif telah dikemukakan penilaian terhadap kondisi saat ini atas kekuatan, kelemahan ancaman dan potensi pengembangan agroindustri halal yang ada. Faktor-faktor yang dipertimbangkan meliputi delapan belas faktor internal dan eksternal. Dari kedua kelompok faktor tersebut, kemudian ditelaah lebih dalam dengan memisahkan faktor-faktor yang ke dalam kelompok berdasarkan karakteristik kelembagaan dan karakterikstik produk. Faktor ekstrinsik kelembagaan meliputi faktor-faktor komitmen dan kelembagaan yang mempengaruhi perkembangan dan kebijakan agorindustri halal pada suatu negara, sedangkan faktor intrinsik produk dilihat dari sudut pandang pengembangan produk dimata konsumen dan pasar. Faktor-faktor intrinsik produk dalam pengembangan agroindustri halal merupakan faktor-faktor penting yang menjadi fokus perhatian utama konsumen dalam memilih produk halal yang akan dikonsumsi atau digunakannya serta berkaitan langsung dengan karakteristik produknya. Faktor-faktor intrinsik produk yang digunakan dalam pengembangan agroindustri halal meliputi delapan faktor yakni 1) Penampilan Produk, 2) Rasa, 3) Harga, 4) Mutu, 5) Variasi, Produk, 6) Cara Penyajian, 7) Apresiasi Konsumen dan 8) Level of trust. Faktor-faktor di atas dibobotkan kepentingannya berdasarkan pertimbangan dari para pakar agroindustri halal terpilih dengan kriteria yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap faktor intrinsik produk dilakukan pada lima kelompok produk-produk halal yang dikaji yakni 1) Produk Daging, (2) Produk makanan dan minuman olahan, (3) Produk mikrobial, (4) Produk seasoning dan flavour, serta (5) Produk kosmetik dan obat-obatan yang berasal dari enam negara ASEAN. Karena kelima kelompok produk tersebut merupakan produk halal yang secara umum telah dikonsumsi atau digunakan secara langsung oleh konsumen. Dengan demikian, penilaian dilakukan atas kelima kelompok tersebut sebagai satu kategori penilaian dengan asumsi produk-produk yang diamati memiliki karakteristik yang sama.

2 122 Penelaahan diawali dengan pembobotan kepentingan atas ke-delapan faktor yang diujikan dengan mensyaratkan masing-masing tiga kriteria yang telah terpenuhi. Tabel 18 berikut menjelaskan mengenai kriteria pemenuhan faktor intrinsik produk. Tabel 18. Kriteria Pemenuhan Faktor Intrinsik Produk No. Faktor Intrinsik Produk Kriteria Pemenuhan 1 Penampilan Produk 2 Rasa 3 Harga 4 Mutu 5 Variasi Produk 6 Cara Penyajian 7 Apresiasi Konsumen 8 Level of Trust Inovasi dan Teknologi Kemasan Kemudahan Identifikasi (Warna, Bentuk) Ukuran Berat dan Volume Produk Kualitas Sensorik Rasa Kualitas Sensorik Aroma Konsistensi Rasa dan Aroma Willingness To Pay Kelayakan Harga Harga Produk Subtitusi Adanya Produk yang Diunggulkan Jaminan Mutu Produk Fungsional Produk Jumlah Variasi Produk Konsistensi Inovasi Kelengkapan Variasi Kemudahan Kepraktisan Keamanan Merek Dagang Promosi Track Record Produk dan Negara Asal dan Lokasi Negara Label dan Sertifikasi Halal Lokal Kelengkapan Informasi Produk Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor Ekstrisnsik Agroindustri Halal Dalam memetakan kekuatan agroindustri Indonesia dalam faktor intrisnsik, faktor-faktor tersebut dibobotkan kepentingannya. Tabel 19 berikut menjelaskan pembobotan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan terhadap faktor-faktor intrinsik produk pengembangan agroindustri halal.

3 123 Tabel 19. Penilaian Bobot Terhadap Faktor Intrinsik Produk No. FAKTOR INTRINSIK Responden BOBOT 1 Penampilan Produk 0,22 0,19 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,19 0,19 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,19 0,19 0,21 2 Rasa 0,14 0,17 0,11 0,19 0,17 0,14 0,14 0,19 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,14 0,17 0,17 0,14 0,16 3 Harga 0,17 0,14 0,19 0,08 0,19 0,17 0,17 0,17 0,22 0,14 0,19 0,19 0,14 0,19 0,19 0,22 0,22 0,18 4 Mutu 0,11 0,11 0,14 0,11 0,11 0,11 0,08 0,14 0,11 0,11 0,11 0,08 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 5 Variasi Produk 0,03 0,08 0,08 0,14 0,06 0,03 0,11 0,08 0,03 0,08 0,08 0,11 0,08 0,03 0,14 0,06 0,08 0,08 6 Cara Penyajian 0,19 0,22 0,17 0,17 0,14 0,19 0,19 0,11 0,14 0,22 0,14 0,14 0,19 0,17 0,03 0,08 0,17 0,16 7 Apresiasi Konsumen 0,06 0,03 0,03 0,03 0,08 0,06 0,03 0,06 0,08 0,03 0,03 0,03 0,03 0,06 0,08 0,14 0,06 0,05 8 Level of trust 0,08 0,06 0,06 0,06 0,03 0,08 0,06 0,03 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,08 0,06 0,03 0,03 0,05 Total 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 Pada tabel 19 di atas, setiap responden mengurutkan faktor-faktor yang diajukan yang kemudian berdasarkan bobot kepentingannya dan merata-ratakan hasil yang diperoleh dari ke-tujuh belas responden. Berdasarkan penilaian para pakar, penampilan produk merupakan faktor intrinsik produk yang memiliki bobot nilai tertinggi dengan skor 0,21. Skor tersebut mencerminkan bahwa penampilan produk merupakan hal paling dominan, dimana pasar akan menerima produk tersebut atau tidak. Pada posisi ke dua, harga menjadi pertimbangan penting dengan bobot kepetingan sebesar 0,18. Faktor lain yang juga memiliki pengaruh tinggi dalam pemilihan produk adalah rasa dan cara penyajian yang mendapatkan nilai yang sama yakni 0,16. Pada posisi selanjutnya mutu, variasi produk masingmasing mendapatkan skor 0,11 dan 0,05, sedangkan level of trust dan apresiasi konsumen terhadap produk halal yakni masing-masing memiliki skor terkecil dengan nilai 0,05. Faktor level of trust dipertimbangkan sebagai salah satu faktor intrinsik produk mengingat status halal dalam suatu produk dan suatu wilayah negara tertentu merupakan jaminan bagi ketentraman konsumen dalam mengkonsumsi atau menggunakan produk yang ada. Level of trust diperlukan agar pasar ataupun konsumen terbebas dari rasa khawatir jika produknya yang dikonsumsinya memiliki status haram. Pada faktor selanjutnya yakni apresiasi konsumen dipertimbangkan menjadi faktor penilaian karena adanya tingkat apresiasi yang berbeda-beda terhadap produk yang diproduksi suatu negara dibandingkan dengan negara lain. Suatu produk dari suatu negara tertentu sering kali diapresiasi lebih tinggi dibandingkan dengan produk negara lainnya. Untuk itu apresiasi konsumen dan level of trust dimasukkan dalam faktor-faktor intrinsik produk untuk

4 124 mengetahui tingkat apresiasi pasar serta tingkat ketentraman kosumen terhadap produk dari negara tertentu. Untuk mengetahui posisi kekuatan yang melibatkan faktor-faktor instrinsik pada enam negara ASEAN, Tabel 20 berikut menjelaskan besarnya nilai kekuatan setiap negara untuk setiap faktor-faktor intrinsik produk Nilai lima menunjukkan pencapaian yang paling ideal, sebaliknya nilai yang semakin kecil menunjukkan kondisi yang semakin jauh dari ideal. Tabel 20. Penilaian Kekuatan Faktor-Faktor Intrinsik Produk Di Setiap Negara No Faktor Intrsinsik Indonesia Malaysia Brunei D Thailand Filipina Singapura 1. Penampilan Produk 3,06 4,18 4,24 4,53 2,29 4,47 2. Rasa 3,53 3,65 3,41 3,94 3,18 3,82 3. Harga 3,94 4,35 3,47 4,18 3,06 2,53 4. Mutu 3,00 4,53 4,29 4,59 2,88 4,00 5. Variasi Produk 3,29 4,00 3,12 4,41 2,88 3,12 6. Cara Penyajian 2,82 4,06 3,88 4,24 2,88 3,94 7. Apresiasi Konsumen 2,82 4,29 3,65 2,88 2,47 2,53 8. Level of trust 3,59 4,47 4,53 2,94 2,53 2,71 Rata-Rata 3,26 4,19 3,82 3,96 2,77 3,39 Malaysia dan Thailand merupakan dua negara yang memiliki faktor-faktor intrinsik produk yang sangat baik dengan nilai diatas 4,0, sedangkan Indonesia, Singapura dan Brunei Darussalam memiliki kondisi yang cukup baik dengan nilai diantara 3,0 dan 4,0. Nilai tertinggi yang diperoleh Thailand adalah pada penampilan produk. Thailand juga unggul dalam rasa dan cara penyajian, walaupun mendapatkan nilai yang rendah pada faktor apresiasi konsumen dalam negerinya terhadap produk halal, sedangkan Indonesia memiliki kekuatan yang merata, tidak unggul dalam setiap faktor manapun namun juga tidak menjadi yang terburuk. Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa, Indonesia memiliki harga yang bersaing dengan produk negara lain dengan rasa cukup unik dan variasi produk halal yang cukup banyak. Meskipun perolehan Indonesia masih jauh

5 125 dibawah Malaysia dan Thailand, namun dengan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam dengan tingkat kreativitas yang tinggi, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan kekuatan faktor-faktor intrinsik produknya. Secara keseluruhan, Malaysia memiliki kekuatan dalam penguasaan faktor intrinsik produk yang sangat baik dengan perolehan skor 4,19, sedangkan Thailand, walaupun bukan negara muslim mampu memiliki skor yang tinggi yakni 3,96 hampir sama dengan Brunei Darussalam yang fokus dalam mengembangkan produk halal premiumnya. Kondisi yang lain terjadi pada Singapura, walaupun bukan negara tertinggi populasinya, Singapura merupakan tempat transit dan pintu perdagangan Internasional, sehingga faktor-faktor halal sebagai pemenuhan komitmen untuk mengembangkan produk dan jasa yang halal compatible menjadi penting. Hal tersebut menjadikan Singapura mendapatkan nilai yang baik sengan skor 3,39, sedangkan Indonesia dengan skor 3,26 walaupun dalam kategori baik, namun berada diposisi ke-lima dalam pengembangan faktorfaktor intrinsik produknya, hanya unggul dari Filipina (2,77). Dengan hasil tersebut, Indonesia perlu dengan sinergis mengembangkan faktor-faktor intrisnik sebagai upaya menambah nilai tambah dan daya saing produknya 7.2. Analisis Kondisi Faktor-Faktor Intrinsik Produk Di Setiap Negara Faktor-faktor intrinsik produk dari enam negara memiliki keunikan masing-masing sesuai dengan standar industri yang telah dicapai, perbedaan latar budaya dan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap pengembangan produk halalnya masing-masing. Sebagai contoh, Malaysia memiliki produk halal yang seluruh faktor-faktor intrinsik produknya pada umumnya mendapatkan skor yang sangat baik, sedangkan Thailand lebih cenderung unggul pada faktor cita rasa dan mutunya yang telah dikenal luas secara global. Secara lebih jelas, penguasaan faktor-faktor instrinsik oleh setiap negara dijelaskan pada Gambar 40 berikut.

6 126 Gambar 40. Kondisi Faktor-Faktor Intrinsik Produk Di Enam Negara ASEAN

7 127 Dari Gambar 40 di atas, sub-bab berikut menjelaskan secara rinci perkembangan setiap negara dalam hal penguasaan faktor-faktor intrinsik produk agroindustri halal-nya Penampilan Produk Penampilan produk merupakan faktor yang memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan faktor-faktor intrinsik produk lain dengan skor 0,21. Hal tersebut menujukkan bahwa penampilan produk menjadi pertimbangan utama konsumen memilih produk yang ada. Dalam penampilan produk halal, Thailand memiliki penampilan produk yang terbaik dengan nilai 4,53, kemudian Singapura (4,47), Brunei Darussalam (4,18) dan Malaysia (4,24). Kriteria-kriteria penampilan produk yang terdiri atas inovasi kemasan, mudah diidentifikasi dari warna, bentuk, berat dan volume. Produk dengan nilai terbaik dalam hal penampilan produk diperoleh Thailand, Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia. Ke-empat negara tersebut memiliki inovasi kemasan produk yang lebih maju dan inovatif dibandingkan dengan Indonesia dan Filipina. Selain itu, penampilan produk yang dimiliknya selain dijadikan faktor daya tarik utama, juga diposisikan untuk memiliki fungsi jaminan terhadap kesehatan, keamanan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi, dan informasi. Keberhasilan empat negara dengan perolehan skor tertinggi tersebut, terutama bagi Malaysia dan Thailand, jika dianalisis lebih lanjut, skor yang diperoleh merupakan hasil dari kebijakan pemerintahannya yang tertuang dalam arah pengembangan agroindustri halalnya yang jelas. Kebijakan pemerintahnya mengupayakan berbagai nilai tambah dan daya tarik produk yang mampu menembus pasar Internasional dan sesuai dengan kriteria standar keamanan dan kemajuan jaman. Khusus bagi Brunei Darussalam yang menempati posisi ke-tiga, penampilan produk dinilai sebagai kriteria utama yang harus dipenuhi sesuai dengan visi pengembangan bisnis halalnya, yakni menciptakan produk-produk halal premium untuk kebutuhan global, sehingga faktor penampilan produk menjadi faktor yang harus dikuasai.

8 128 Kekuatan penampilan produk halal Indonesia, skornya memiliki nilai yang cukup baik yakni 3,06 diatas Filipina dengan skor 2,29. Walaupun dinilai cukup baik, namun jika diperbandingkan dengan negara-negara yang berada diatasnya, kelemahannya terdapat pada inovasi dan teknologi kemasan serta standar kemasan yang tidak dimiliki secara merata oleh produk-produk halal Indonesia, sedangkan Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand memiliki standar yang baik. Contoh penerapan tersebut adalah, ketika penampilan produkproduk usaha kecil dan menengah ke-empat negara tersebut memiliki kesamaan dengan produk-produk industri besar, yang membedakannya hanya dari skala produksinya saja Rasa Rasa menjadi faktor intrinsik produk terpenting ke-tiga setelah penampilan produk dan harga dengan skor 0,16. Faktor intrinsik produk rasa dinilai berdasarkan kriteria pemenuhannya terhadap kualitas sensorik rasa, kualitas sensorik aroma serta konsistensi rasa dan aroma. Kriteria rasa dan aroma lebih dikenal dengan istilah cita rasa yang melekat pada produk yang dihasilkan. Dalam hal rasa, Thailand sangat kuat posisinya dalam industri kuliner dan produk makanan di dunia, hal tersebut dikuatkan dengan perolehan skor 3,94 sebagai negara yang memiliki faktor intrinsik produk rasa terbaik. Posisi dibawahnya adalah Singapura (3,82), Brunei Darussalam (3,41), Malaysia (3,65), Indonesia (3,53) dan Filipina (3,18). Perolehan skor akhir atas faktor rasa relatif mendapatkan nilai yang sama sebagai produk yang identik dengan produk dengan cita rasa Asia. Posisi kekuatan rasa Indonesia lebih rendah dan pencitraan rasa yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain terutama Thailand. Thailand berhasil mengidentikkan cita rasa produk makanannya pada dunia Internasional dengan berbagai upaya promosi pariwisata dan ekspansi bisnisnya ke negara-negara barat. Selain Thailand, upaya yang lebih keras dilakukan oleh Malaysia untuk mempromosikan cita rasa Asia-nya melalui beragam ciri khas nya seperti rendang, kari, sate, rujak yang dijadikan ikon makanannya. Melalui strategi promosinya, produk Malaysia digambarkan memiliki kekayaan rempah yang sangat tinggi dan

9 129 unik. Promosi cita rasa diintegrasikan dengan promosi industri pariwisatanya. Strategi promosi yang baik juga dijalankan oleh pemerintah Thailand dan Singapura. Upaya-upaya tersebut menjadikan ciri khas rasa suatu negara menjadi identitas yang kuat dan melekat sehingga penilaianannya dinggap menjadi lebih baik Harga Harga merupakan indikator yang jelas dari daya saing produk di pasar Internasional. Faktor harga menjadi faktor terpenting ke-dua setelah penampulan produk dengan skor 0,18. Dengan demikian harga produk halal harus kompetitif, karena konsumen memiliki preferensi yang kuat terhadap produk dengan harga paling rasional. Selain hal di atas, harga produk halal terutama makanan dan minuman di suatu negara dipengaruhi oleh infrastruktur dan kemudahan birokrasi di suatu negara. Penilaian kekuatan faktor intrisik dinilai dengan penenuhan kriteria atas besarnya kesediaan pasar dalam menerima harga produk halal (willingness to pay), kelayakan harga atas dasar besaran biaya produksi dan pertimbangan harga produk-produk halal subtitusi. Malaysia menjadi negara yang memiliki kekuatan harga yang paling baik dengan skor 4,35 bersama dengan Thailand dengan skor 4,18, sedangkan Indonesia masih dalam kategori yang paling baik dengan skor 3,94. Produk-produk Malaysia, Thailand dan Indonesia dikenal sebagai produkproduk yang memiliki tingkat harga yang paling kompetitif sehingga menjadi daya tarik konsumen untuk membelinya, sedangkan Brunei Darussalam dengan skor 3,47 memiliki tingkat kekuatan harga dibawah Indonesia, Thailand dan Malaysia. Dengan segmentasi produk-produk premium, dapat dipahami bahwa produk-produk Brunei Darussalam memiliki harga yang lebih tinggi dibandungkan negara lain. Produk-produk lain dari Filipina dan Singapura menempati posisi lima dan enam dengan skor masing-masing 3,06 dan 2,53. Hal tersebut menggambarkan bahwa produk-produk halalnya memiliki harga yang kurang kompetitif.

10 Mutu Faktor intrsinsik mutu menjadi kriteria dengan bobot kepentingan 0,11 dibawah faktor penampilan produk, harga, rasa dan cara penyajian. Faktor mutu dinilai berdasarkan kriteria pemenuhan atas adanya produk yang diunggulkan, ada tidaknya jaminan mutu produk dan kriteria fungsional produk. Mutu produkproduk Thailand mendapatkan tertinggi nilai dengan skor 4,59 bersama dengan Singapura (4,53) dan Brunei Darussalam (4,29) dalam kelompok negara yang memiliki mutu produk yang paling baik. Sedangakan Malaysia dengan skor 4,00 menjadi negara dengan produk yang mutunya baik, dan Indonesia memiliki mutu dengan kategori cukup baik dengan perolehan skor 3,00 yang berada dibawah rata-rata negara ASEAN. Konsumen belum begitu menyakini bahwa produk Indonesia memiliki mutu yang sebanding dengan yang diproduksi di Thailand, Malaysia, terlebih lagi dengan Singapura yang senantiasa dijadikan tolok ukur mutu produk yang paling tinggi bagi konsumen. Terdapat beberapa kebijakan pemerintah Malaysia dalam meningkatkan mutu produknya dengan menyiapkan perusahaan-perusahaan menengah sebagai pelaku utama dimasa yang akan datang untuk juga dapat bermain sebagai pemain utama dalam perdagangan global (HDC, 2010). Produk-produk perusahaan menengah di Malaysia dan Thailand sulit dibedakan mutunya dengan produksi perusahaan besar karena memiliki standar yang sama yang harus dipenuhi. Satu-satunya yang membedakan antara produk perusahan besar dengan menengah hanya pada skala produksi dan pemasarannya. Di Indonesia, mutu produk halalnya rata-rata belum mencapai standar Internasional. Produk-produk Indonesia yang berhasil menembus pasar Internasional hanya produk-produk dari perusahaan-perusahan berskala besar dengan cakupan pasar Internasional Variasi Produk Variasi produk memiliki bobot 0,08 dan menempati urutan ke-lima dalam tingkat kepentingan faktor intrinsik produk. Faktor variasi produk memiliki kriteria yang terdiri dari jumlah variasai produk, tingkat konsistensi inovasi dan kelengkapan variasi. Jumlah Variasi Produk Thailand mendapatkan skor tertinggi

11 131 dengan nilai 4,41 diikuti oleh Malaysia (4.00), Brunei Darussalam, Indonesia (3,39), Singapura (3,12), Brunei Darussalam (3,12) dan Filipina (2,88). Keunggulan Thailand dalam variasi produk yang sangat tinggi dibuktikan dengan fakta pencapaian industri halal Thailand yang maju pesat. Hingga tahun 2010 Thailand telah memiliki unit pabrik makanan, unit pabrik diantaranya telah berstandar Internasional, sedangkan yang potensial dikembangkan untuk industri halal mencapai 18,000 unit, dengan jumlah pabrik yang tersertifikasi halal mencapai 1,937 unit. Pada masa yang akan datang, akan dikembangkan pabrik dengan setndar intenasional sebanyak 7,500 unit dan 1,100 unit pabrik diantaranya bersertifikasi halal (Saifah, 20010). Pola pengembangan agroindustri halal yang dikembangkan secara terarah terutama oleh Thailand, Malaysia dan Brunei Darussalam membuat jumlah variasi produknya semakin meningkat dengan perkembangan yang bertahap sesuai dengan kebijakan pengembangan agroindustri halal yang dijalankan. Di Indonesia, perkembangan variasi produk halal teridentifikasi dari kenaikan jumlah unit produk yang tersertifikasi oleh lembaga independen non pemerintah, Arah pengembangan industri dikembangkan Kementrian Perdagangan, sedangkan agroindustri halal belum mengarah pada sektor industri, hanya baru tingkat penanaman kesadaran atas produk-produk halal dan hal tersebut dilakukan oleh Kementrian Agama dan lembaga non pemerintah Cara Penyajian Faktor cara penyajian mempertimbangkan beberapa kriteria, yaitu kemudahan, kepraktisan dan keamanan. Dari faktor cara penyajian tersebut, Thailand menempati posisi paling tinggi dengan skor 4,24, Malaysia (4,06), Singapura (3,94) Brunei Darussalam (3,88), Filipina (2,88) dan Indonesia (2,82). Cara penyajian menjadi penting sebagai pertimbangan faktor intrinsik produk dimana konsumen akan mempertimbangkan untuk membeli kembali atau produk yang sebelumnya telah dikonsumsi atas pengalamannya dalam mendapatkan penyajian yang baik atas produk halal yang dibelinya.

12 132 Produk-produk yang dikembangkan Thailand dan Malaysia memiliki pertimbangan estetika penyajian produk yang lebih baik, tidak hanya memperhatikan faktor-faktor kemasannya saja, namun pengembangannya juga dilakukan hingga kemudahan penggunaan dari mulai membuka kemasan sampai dengan suatu produk siap saji dengan aman dan praktis. Keunggulan kolaborasi estetika kemasan dan produk, cara penyajian, kepraktisan dan keamanan yang diraih Thailand dan Malaysia adalah upaya dari pemerintah dalam mengembangkan standar mutu secara lebih luas pada produk-produk yang dikembangkan oleh pelaku agroindustri halal Apresiasi Konsumen Kriteria yang berpengaruh pada apresiasi konsumen terdiri dari merek dagang, kekuatan promosi, track record produk dan negara asal produk halal. Tingkat kepentingan apresiasi konsumen memiliki nilai 0,05. Skor tertinggi faktor apresiasi konsumen didapatkan oleh Malaysia dengan skor 4,49, sedangkan Brunei Darussalam dengan skor 3,65 menjadi negara dengan tingkat apresiasi konsumen kedua terbaik. Untuk produk-produk halal Indonesia memiliki posisi yang hampir sama dengan Thailand dengan skor masing-masing 2,82 dan 2,88 yang masuk kedalam kelompok cukup baik, sedangkan Singapura dan Filipina memiliki skor 2,53 dan 2,47 merupakan negara yang tingkat apresiasi konsumen terhadap produk halalnya cukup rendah. Apresiasi konsumen pada umumnya dilatarbelakangi oleh mayoritas kepercayaan yang dimiliki penduduknya, sedangkan faktor yang mempengaruhi apresiasi adalah dorongan kebijakan pemerintah. Seperti yang dilakukan Thailand yang berhasil mendapatkan apresiasi yang tinggi terhadap produk halalnya walaupun latar belakang penduduk mayoritas Budha. Thailand mengedepankan halal sebagai jaminan kualitas produk dan potensi bisnis dibandingkan menjadikannya sebagai faktor perlindungan konsumen terutama konsumen minoritas.

13 Level of Trust Level of Trust dapat juga diselaraskan dengan pandangan kacamata konsumen muslim yang diungkapkan oelh Wilson (2011) sebagai tingkatan resiko dalam mengambil keputusan dalam memilih suatu produk. Keputusan tersebut dapat menajdi sebuah keputusan beresiko rendah ataupun tinggi. Dalam pemilihan produk perlu mengkolaborasikan berbagai pertimbangan rasional dan emosional dengan dasar perintah agama. Konsumen muslim dalam melakukan pengambilan keputusan pemilihan atas produk yang akan dikonsumsinya, memerlukan tingkat keyakinan yang tinggi atas kehalalan produk yang dipilihnya agar memiliki resiko yang rendah. Keyakinan akan kehalalan produk harus selaras dengan paradigma halal yang menuntut suatu produk halal dapat dibuktikan secara kontekstual sehingga menghasilkan pemikiran logis, perasaan aman hingga bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Gambar 41 berikut mengilustrasikan keputusan dalam pemilihan produk halal akan semakin rendah resikonya jika kegiatan pengambilan keputusan tersebut dapat dibuktikan dalam suatu paradigma halal, dan akan semakin tinggi resikonya jika kehalalan produk tidak dapat dibuktikan secara kontekstual (Wilson, 2011). Kacamata Budaya Konsumen Muslim Haram Keputusan Beresiko Tinggi Halal (Perintah Allah SWT) Rasional Kepercayaan Emosional Bukti Kontekstual Pemikiran Paradigma Halal Perasaan Bukti Tertulis Peleburan antara emosi dan pemikiran Kebiasaan Berpikir-Perasaan- Tindakan Perasaan-Berpikir- Tindakan Keputusan Beresiko Rendah Gambar 41. Proses Pengambilan Keputusan Muslim (Wilson, 2011)

14 134 Level of Trust merupakan faktor instrinsik terhadap ke-halalan produk yang berasal dari suatu negara. Tingkat kepercayaan tersebut identik dengan seberapa besar muslim menjadi penduduk mayoritasnya, pelaksanaan standar sertifikasi halal, kepercayaan terhadap label halal serta kelengkapan informasi produk yang tercantum pada produk negara yang bersangkutan. Tingkat kepercayaan atau level of trust tertinggi diraih oleh Brunei Darussalam dengan skor 4,53 dan Malaysia dengan skor 4,47. Dengan skor tersebut menggambarkan bahwa konsumen sangat yakin jika produk tersebut diproduksi Brunei Darussalam dan Malaysia akan terjamin ke-halalannya. Pencapaian Indonesia sebagai negara terbesar populasi Muslimnya memperoleh skor 3,59 yang dikategorikan sebagi negara yang dipercayai tingkat ke-halalannya dengan baik. Untuk negara-negara dengan penduduk mayoritas non-muslim ratarata mendapatkan tingkat kepercayaan yang rendah seperti Thailand (2,94), Singapura (2,71) dan Filipina (2,53). Untuk menyiasati rendahnya tingkat kepercayaan, beberapa negara mengambil strategi dengan meningkatkan promosi mengenai ke-halalan produknya, membangun pencitraan negara dan produk-produknya, penciptaan merek dagang, pencantuman label halal dan informasi produk yang lengkap sesuai dengan standar Internasional. Sebagai contoh, upaya tersebut dilakukan oleh Thailand yang produk-produknya banyak diragukan ke-halalan-nya karena Thailand berlatarbelakang penduduk dan pemerintahan non-muslim. Strategi tersebut berhasil dilakukan Thailand yang ditunjukkan dengan pencapaian tingkat kekuatan agroindustri halal-nya yang baik dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti dijelaskan dalam sub bab analisis kekuatan faktor-faktor intrinsik produk di setiap negara berikut Analisis Kekuatan Faktor- Faktor Intrinsik Produk Di Setiap Negara Setelah dilakukan pembobotan kepentingan, penilaian terhadap faktorfaktor intrinsik dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan nilai kekuatan masing-masing negara yang kemudian didapatkan perbandingan agroindustri halal yang ada di enam negara ASEAN. Peringkat daya saing negara berdasar faktor intrinsik agroindustri halal diperlihatkan pada Gambar 42 berikut.

15 135 Gambar 42. Kekuatan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Enam Negara ASEAN Dari Gambar 42 di atas, negara dengan kekuatan faktor-faktor intrinsik tertinggi adalah Malaysia dengan skor 4,15, kemudian Thailand (4,13), Brunei Darusaalam (3,82), Singapura (3,59), Indonesia (3,28) dan Filipina (2,82). Melihat posisi Indonesia, maka perlu didorong untuk segera melakukan berbagai inovasi berkaitan dengan faktor-faktor intrinsik yang harus dikembangkan secara berkesinambungan. Secara keseluruhan, penampilan produk, rasa, harga, mutu, variasi produk, cara penyajian, apresiasi konsumen dan level of trust, Indonesia menempati urutan ke lima dari enam anggota negara ASEAN. Indonesia hanya unggul dari Filipina. Banyak faktor yang mengakibatkan produk Indonesia kalah jika dibandingkan secara langsung dengan produk-produk halal ke-lima negara lainnya, antara lain adalah karena rendahnya faktor inovasi yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan, serta rendahnya unsur kreativitas yang dikembangkan dalam pengembangan produknya. Dalam perkembangan agroindustri halal, ke-enam negara ASEAN yang dibandingkan memiliki tingkat kematangan yang berbeda dalam penguasaan faktor-faktor intrisnik produk halalnya. Gambar 43 berikut memperlihatkan tingkat kematangan agroindustri setiap negara dari faktor-faktor insintrik pengembangan agroindustri halal.

16 136 Gambar 43. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Enam Negara ASEAN Malaysia memiliki penguasaan faktor-faktor intrinsik produk, yang lebih tinggi dan merata, serta menjadi negara yang menjadi acuan dalam pengembangan agroindustri halal global, sedangkan Thailand tingkat kematangannya baik, kecuali pada faktor apresiasi konsumen dan level of trust. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor kepercayaan penduduknya yang mayoritas non muslim yang mengakibatkan pasar muslim belum meyakini jaminan kehalalannya. Tampilnya Brunei Darussalam sebagai negara dengan tingkat kematangan yang terbaik setelah Malaysia dan Thailand merupakan bukti dari berhasilnya komitmen pemerintahnya pada pengembangan agroindustri halal. Mengenai variasi nilai produk nilai yang rendah pada produk-produk halal Brunei Darussalam, hal tersebut lebih diakibatkan bahwa saat ini Brunei Darussalam lebih fokus dalam pengembangan produk-produk berbasis daging sapi. Negara-negara yang memiliki kategori cukup berkembang baik berturutturut adalah Singapura dan Indonesia. Singapura tingkat kematangannya lebih baik dari Indonesia walaupun tidak berlangsung merata karena Singapura lemah pada apresiasi konsumen halal, tingkat kepercayaan atau keyakinan terhadap kehalalan produk dan harganya yang relatif mahal. Indonesia memiliki tingkat kematangan faktor intrinsik produk halal pada tingkat sedang dengan tingkat

17 137 penguasaan faktor-faktor intrinsik yang cukup baik dan merata, namun nilainya masih lebih rendah dibanding Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam. Indonesia memiliki nilai yang kurang baik pada faktor penampilan dan mutu produk berkaitan dengan belum tingginya tingkat penguasaan standar internasional pada industrinya. Untuk negara yang paling rendah tingkat kematangannya adalah Filipina yang merupakan pemain baru yang berupaya mengembangkan faktor-faktor intrinsik produknya Malaysia Malaysia menjadi unggul dalam penguasaan faktor-faktor intrinsik produk, dari ke-delapan faktor, Malaysia rata-rata memiliki tingkat penguasaan yang sangat baik dan faktor yang paling menonjol dari produk-produk Malaysia adalah mutu produk, harga dan tingkat keyakinan ke-halalan produknya. Ketiga faktor tersebut selain tertinggi nilainya juga memiliki bobot kepentingan yang tertinggi dalam mempengaruhi pasar dalam membeli produk halalnya. Gambar 44 berikut menjelaskan tingkat kematangan dan pencapaian skor penguasaan faktor intrinsik produk Malaysia. Gambar 44. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal di Malaysia Visi Malaysia untuk menjadi pelopor pelaku bisnis halal dunia tercermin dari pencapaian dalam penguasaan faktor-faktor di atas. Hal yang menjadi kelemahan Malaysia adalah dari cita rasa yang kurang mencirikan ke-khasannya

18 138 dibandingkan dengan negara-negara lain, namun secara umum Malaysia adalah negara terbaik dalam penguasaan faktor-faktor intrinsik produk agroindustri halal Thailand Thailand adalah negara dengan produk-produk agroindustrinya yang terkenal secara internsional, yang terintegrasi sejalan dengan visi dan kebijakan industri manufaktur dan pariwisatanya. Selama ini, walaupun Thailand sebagai penghasil produk agroindustri yang unggul di tingkat Internasional, namun Thailand tidak identik citranya sebagai penghasil produk-produk halal. Lain halnya dengan Malaysia dan Brunei Darussalam yang identik dengan Islam yang memiliki tingkat keyakinan ke-halalan produknya yang tinggi, Thailand memiliki kelemahan dalam level of trust dan apresiasi konsumen terhadap produk-produk halalnya. Namun demikian, karena kondisi tersebut, Thailand dengan serius mengembangkan konsep Hal-Q sabagai konsep penjaminan dan standar mutu yang disinergiskan dengan konsep halal untuk melakukan penetrasi pasar halal global. Thailand sangat unggul dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam hal penampilan, harga, variasi produk, cara penyajian dan mutu produk seperti yang digambarkan dalam Gambar 45 berikut. Gambar 45. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Thailand Penguasaan Thailand terlihat pada enam faktor intrinsik penampilan produk, rasa, harga, mutu, variasi dan cara penyejian produk dengan skor di atas empat dengan bobot kepentingan yang tinggi. Dua faktor yang paling rendah

19 139 nilainya dibandingkan dengan negara-negara lain adalah level of trust dan apresiasi konsumen, namun bobot kepentingannya tidak begitu besar sehingga menempatkan Thailand sebagai negara terbaik ke-dua dalam penguasaan faktorfaktor intrinsik produk pengembangan agroindustri halal Brunei Darussalam Sesuai dengan visi Brunei Darussalam untuk menciptakan produk-produk halal premium, maka penguasaan faktor-faktor intrinsik produk menjadi faktor paling penting untuk dikembangkan karena berkaitan langsung dengan produknya. Selain itu, Brunei Darussalam memiliki keuntungan yang tidak dimiliki negara lain dalam mengembangkan agroindustri halalnya, seperti pada faktor tingkat keyakinan ke-halalan (level of trust) produk-produk Brunei Darussalam yang sangat tinggi. Hal tersebut membuat konsumen merasa yakin apapun yang dibuat di Brunei Darussalam akan memiliki status halal. Keunggulan lainnya adalah dalam hal mutu dan penampilan produk. Baiknya mutu produk halal Brunei Darussalam didukung oleh bahan baku unggul yang didapatkan dari produsen-produsen terbaik utama dunia yang menjadi pemasok utama produk-produk halal Brunei Darussalam, sedangkan untuk penampilan produk, sebagai konsekwensi dari visi penciptaan produk premium global, penampilan produk Brunei Darussalam telah mencapai kematangan yang sangat baik. Lebih jelasnya, Gambar 46 berikut menerangkan tingkat kematangan dan skor yang diperoleh faktor intrinsik produk agroindustri halal Brunei Darussalam. Gambar 46. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Brunei Darussalam

20 140 Perolehan skor yang rendah didapatkan dari faktor variasi produk halal. Hal tersebut disebabkan karena Brunei Darussalam saat ini lebih fokus dalam memenuhi permintaan produk halal berbasis daging sapi untuk memenuhi pasar Timur Tengah dan Eropa. Secara keseluruhan, faktor intrinsik produk halal Brunei Darussalam termasuk ke dalam kategori baik dan menempati peringkat ke-tiga dibandingkan dengan enam negara ASEAN lainnya Singapura Halal tidak dijadikan acuan pengembangan industri di Singapura, namun pemerintah dan industrinya memiliki kesadaran yang tinggi akan potensi bisnis halal. Unuk hal tersebut, Singapura mengupayakan kebijakan yang mengarah pada penyelenggaraan bisnis dan industri yang mampu memenuhi peryaratan halal. Saat ini, walaupun tidak berbasiskan pada agroindustri halal, namun kriteriakriteria dari faktor-faktor intrisnik pengembangan agroindustri halal dicapai dengan baik oleh Singapura. Gambar 47 berikut menggambarkan kematangan dan skor faktor-faktor intrisik yang dicapai oleh Singapura. Gambar 47. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Singapura Indonesia Faktor intrisnik agroindustri halal Indonesia berada pada kategori baik dan tingkat kematangan yang merata dengan skor rata-rata 3,26. Faktor-faktor yang baik tingkat kekuatannya antara lain faktor harga, tingkat keyakinan ke-halalan produk, rasa dan variasi produk, sedangkan yang masuk kedalam kategori cukup

21 141 baik adalah faktor penampilan dan mutu produk. Faktor lain yakni apresiasi konsumen dan cara penyajian mendapatkan skor yang relatif rendah dan berada di bawah negara-negara lain. Gambar 48 berikut menjelaskan pencapaian kematangan dan skor yang dicapai Indonesia dalam penguasaan faktor-faktor intrinsik produk agroindustri halalnya. Gambar 48. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Indonesia Indonesia berpeluang mengembangkan produk-produk halalnya di pasar global dengan tingkat level of trust produk halal yang tinggi. Namun saat ini, Indonesia masih memiliki visi perlindungan konsumen dalam negeri dan belum memiliki rencana ekspansi produk halal secara global kecuali dilakukan beberapa industri secara mandiri. Visi yang ada selama ini bukan dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang kebijakan, tetapi dmiliki oleh LPPOM-MUI sebagai lembaga audit halal yang tidak memiliki kewenangan dalam menentukan arah dan kebijakan industri. Jika pun ada dalam rancangan undang-undang jaminan produk halal yang sedang dibuat, tidak mencantumkan halal sebagai tujuan, pondasi ataupun arah kebijakan dalam pembangunan agroindustri. Di lain pihak Indonesia merupakan sasaran produk-produk halal global dengan tingkat kematangan faktor intrinsik produk Indonesia masih dalam tahap menengah, dimana dalam tingkatan kematangan kemampuan agroindustri halal Indonesia belum mencapai titik-titik terluar, sehingga masih memiliki peluang pengembangan yang lebih lanjut.

22 142 Dengan kondisi tersebut maka pasar Indonesia akan terancam oleh produk-produk halal asing yang memiliki tingkat daya saing yang lebih baik Filipina Tingkat kematangan Filipina dalam penguasaan faktor intrinsik produk menjadi yang paling rendah diantara negara-negara lain. Filipina dikategorikan sebagai negara yang baru memulai agroindustri halalnya sehingga memiliki nilainilai skor yang rendah. Gambar 49 berikut menjelaskan tingkat kematangan dan pencapaian skor faktor-faktor intrinsik produk Filipina. Gambar 49. Tingkat Kematangan Faktor Intrinsik Produk Halal Di Filipina Faktor dengan nilai tertinggi yang diperoleh Filipina terletak pada faktor rasa dengan 3,18 dan harga dengan skor 3,06. Selain ke-dua faktor tersebut, memliliki skor dibawah 3,0 yang menunjukkan bahwa kondisinya masih kurang baik. Latar belakang budaya, lokasi geografis dan kondisi sosial budaya yang relatif jauh dari negara-negara ASEAN lain melatarbelakangi tidak fokusnya pengembangan agroindustri Filipina dengan platform halal, namun seiring dengan perkembangan bisnis halal global, Filipina mulai mencoba memasuki pasar halal global dengan berpartisipasi dalam beberapa pameran dagang produk halal internasional termasuk MIHAS di Malaysia.

23 Dampak Kekuatan Intrinsik ASEAN Terhadap Indonesia Dari ke-enam negara ASEAN yang mengembangkan agroindustri halal yang diperbandingkan faktor-faktor intrinsik produknya, didapatkan berbagai keunggulan dan kelemahan sekaligus potensi yang dapat didayagunakan serta ancaman-ancaman yang datang dari produk negara-negara yang diperbandingkan. Hasil perbandingan hasil analiss kekuatan, kelemahan, potesi dan ancaman secara keseluruhan menunjukkan bahwa, Malaysia dan Thailand menjadi negara yang memiliki tingkat kematangan faktor intrinsik produk yang jauh lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dari hasil analsis yang dilakukan, Walaupun Indonesia berada pada posisi kelima dan dalam kategori cukup baik dalam penguasaan fakor-faktor intrinsik produk dengan skor rata-rata di atas 3,0. Keunggulan Indonesia dalam hal harga, rasa, variasi produk dan level of trust adalah modal penting dalam pengembangan agroindustri halal, karena faktor-faktor tersebut berkaitan dengan citra yang sulit dibangun oleh negara lain dalam waktu dekat. Dalam hal mutu, penampilan produk dan cara penyajian, Indonesia perlu memberikan perhatian lebih dalam agar mampu ditingkatkan atau menyamai kekuatan produk-produk halal kompetitor dari negara lain. Dalam mengembangkan agroindustri halal lebih lanjut, diperlukan kebijakan khusus dari pemerintah dalam meningkatkan tingkat kematangan faktor-faktor intrinsik produk halal dalam koridor kebijakan pengembangan agroindustri halal nasional.

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 49 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Dalam penelitian ini dipelajari upaya-upaya agar agroindustri halal di Indonesia mampu bersaing secara global dan mampu memenuhi

Lebih terperinci

V. ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS HALAL MIHAS

V. ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS HALAL MIHAS V. ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS HALAL MIHAS 93 5.1. Perkembangan Umum MIHAS Pada bab ini dijelaskan perkembangan bisnis halal yang ditampilkan pada pameran bisnis halal Malaysia International Halal Showcase

Lebih terperinci

ANALISIS POSISI DAYA SAING AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA

ANALISIS POSISI DAYA SAING AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA 105 VI. ANALISIS POSISI DAYA SAING AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA 6.1. Posisi Daya Saing Agroindustri Halal Indonesia Posisi daya saing ditentukan dengan metode analisis SWOT-Kuantitatif dengan membandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan sekitar 87%

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan sekitar 87% 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan sekitar 87% beragama Islam merupakan potensi pasar yang sangat besar bagi produk-produk halal. Apabila

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Pengembangan Agroindustri Nasional

PENDAHULUAN 1.1. Pengembangan Agroindustri Nasional 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Pengembangan Agroindustri Nasional Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan maritim. Keunggulan komparatif tersebut merupakan fundamental perekonomian

Lebih terperinci

PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA Kondisi Eksisting dan Urgensi Permasalahan Agroidustri Halal Indonesia

PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA Kondisi Eksisting dan Urgensi Permasalahan Agroidustri Halal Indonesia 175 IX. PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI HALAL INDONESIA 9.1. Kondisi Eksisting dan Urgensi Permasalahan Agroidustri Halal Indonesia Penelaahan lebih dalam dari posisi daya saing agroindustri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat. Jumlah populasi muslim telah mencapai seperempat dari total populasi dunia dan diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin ketat dan berbentuk sangat kompleks. Menghadapi persaingan

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin ketat dan berbentuk sangat kompleks. Menghadapi persaingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang, Indonesia menjadi pasar yang sangat memberikan peluang bagi dunia bisnis. Fenomena tersebut menggambarkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Strategi adalah suatu cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis

BAB V PENUTUP. Strategi adalah suatu cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Strategi adalah suatu cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis meliputi perluasan geografis, diversifikasi, akuisisi, pengembangan produk, penetrasi pasar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di Indonesia, Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki peranan penting dalam lajunya perekonomian masyarakat. UKM sangat berperan dalam peningkatan lapangan pekerjaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan (brand loyalty) loyalitas merek. Loyalitas terhadap merek

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan (brand loyalty) loyalitas merek. Loyalitas terhadap merek 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kondisi persaingan usaha saat ini semakin ketat, setiap perusahaan harus mampu bertahan hidup, bahkan harus dapat terus berkembang. Salah satu hal penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait dengan daging babi dan lemak babi yang dicampur dalam produk

BAB I PENDAHULUAN. terkait dengan daging babi dan lemak babi yang dicampur dalam produk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Baru-baru ini, keaslian halal merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam industri makanan. Dalam beberapa tahun terakhir, kabar yang terkait dengan daging

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan munculnya integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. dengan munculnya integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara atau yang biasa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keadaan perekonomian Indonesia saat ini semakin kompleks, seiring dengan munculnya integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara atau yang biasa disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu. pembuatan makanan atau minuman. 1

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu. pembuatan makanan atau minuman. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhannya merupakan hak asasi setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum syara yang saling berseberangan. Setiap muslim diperintahkan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. hukum syara yang saling berseberangan. Setiap muslim diperintahkan hanya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah muslim terbesar didunia, lebih kurang 80% penduduknya menganut agama Islam. Dalam Islam, halal dan haram adalah bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pula pada kemampuan pengusaha untuk mengkombinasikan fungsi-fungsi. tersebut agar usaha perusahaan dapat berjalan lancar.

BAB I PENDAHULUAN. pula pada kemampuan pengusaha untuk mengkombinasikan fungsi-fungsi. tersebut agar usaha perusahaan dapat berjalan lancar. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh para pengusaha dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan. Globalisasi dan liberasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar dalam membantu perekonomian rakyat. UKM Menurut UU No. 20 tahun 2008 Usaha Kecil dan Menengah adalah usaha

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar dalam membantu perekonomian rakyat. UKM Menurut UU No. 20 tahun 2008 Usaha Kecil dan Menengah adalah usaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran UKM telah teraktualisasi sejak masa krisis sampai saat sekarang ini. Selama masa krisis hingga saat ini, keberadaan UKM mampu menjadi motor penggerak utama ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu pendorong peningkatan perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional, melalui kegiatan ekspor impor memberikan keuntungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wanita merupakan simbol dari keindahan. Salah satu upaya wanita untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN. Wanita merupakan simbol dari keindahan. Salah satu upaya wanita untuk menjaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wanita merupakan simbol dari keindahan. Salah satu upaya wanita untuk menjaga keindahannya adalah dengan cara merawat diri baik dari dalam yaitu dengan berolahraga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini konsumen semakin kritis dalam mencari dan menggali

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini konsumen semakin kritis dalam mencari dan menggali BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini konsumen semakin kritis dalam mencari dan menggali informasi tentang produk yang akan mereka gunakan. Informasi tentang produk dapat diperoleh melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan. Dimana kebutuhan-kebutuhan tersebut semakin bervariasi

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan. Dimana kebutuhan-kebutuhan tersebut semakin bervariasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk homo economicus, tidak akan lepas dari pemenuhan kebutuhan. Dimana kebutuhan-kebutuhan tersebut semakin bervariasi pada tiap individu. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat krisis ekonomi berlangsung di Indonesia, UKM merupakan sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat krisis ekonomi berlangsung di Indonesia, UKM merupakan sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha Kecil Menengah (UKM) mempunyai peran penting dan strategis bagi pertumbuhan ekonomi negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Pada saat krisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran Agama Islam sebagai raḥmatallil ālamīn sesungguhnya telah

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran Agama Islam sebagai raḥmatallil ālamīn sesungguhnya telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran Agama Islam sebagai raḥmatallil ālamīn sesungguhnya telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari hal-hal yang besar hingga bagian terkecil dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang turut

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang turut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan bisnis di Abad ke-21 telah berkembang sangat pesat dan mengalami metamorfosis yang berkesinambungan. Tidak terkecuali di Indonesia yang ditandai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Fenomena persaingan yang ada telah membuat para pengusaha

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Fenomena persaingan yang ada telah membuat para pengusaha 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena persaingan yang ada telah membuat para pengusaha menyadari suatu kebutuhan untuk mengeksploitasi sepenuhnya aset-aset mereka demi memaksimalkan kinerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan manusia merupakan suatu keadaan akan sebagian dari pemuasan

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan manusia merupakan suatu keadaan akan sebagian dari pemuasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan manusia merupakan suatu keadaan akan sebagian dari pemuasan dasar yang dirasakan atau disadari. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, terlebih

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan tumbuhan obat. Beberapa sumber menyebutkan terdapat sekitar 30 ribu jenis tanaman obat di sini. Dari jumlah sebanyak itu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai jenis tanaman rempah rempah dan menjadi negara pengekspor rempah rempah terbesar di dunia. Jenis rempah rempah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, teknologi dan informasi, maka semakin luas alur keluar dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, teknologi dan informasi, maka semakin luas alur keluar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi dan perdagangan bebas, dengan dukungan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, maka semakin luas alur keluar dan masuknya barang dan jasa melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Exhibition) atau Wisata Konvensi, merupakan bagian dari industri pariwisata

BAB I PENDAHULUAN. Exhibition) atau Wisata Konvensi, merupakan bagian dari industri pariwisata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan bisnis MICE (Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition) atau Wisata Konvensi, merupakan bagian dari industri pariwisata dan muncul pada dekade tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini, bisnis kian berfluktuasi dan persaingan bisnis semakin ketat. Fluktuasi bisnis ini disebabkan oleh ketidakpastian lingkungan bisnis dan stabilitas perekonomian.

Lebih terperinci

VI. ANALISIS SIKAP DAN PREFERENSI KONSUMEN MINUMAN PROBIOTIK (YAKULT DAN VITACHARAM)

VI. ANALISIS SIKAP DAN PREFERENSI KONSUMEN MINUMAN PROBIOTIK (YAKULT DAN VITACHARAM) VI. ANALISIS SIKAP DAN PREFERENSI KONSUMEN MINUMAN PROBIOTIK (YAKULT DAN VITACHARAM) Analisis sikap dan preferensi konsumen diukur dengan menggunakan analisis multiatribut fisbhein. Model ini mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang beragama muslim, ada hal yang menjadi aturan-aturan dan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang beragama muslim, ada hal yang menjadi aturan-aturan dan A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan globalisasi yang berkembang saat ini, gaya hidup masyarakat pada umumnya mengalami banyak perubahan. Perubahan tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau melihat pemandangan semata, akan tetapi wisatawan juga ingin mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. atau melihat pemandangan semata, akan tetapi wisatawan juga ingin mencari dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pariwisata menjadi suatu industri yang berpotensial dalam meningkatkan perekonomian suatu negara. Kegiatan pariwisata tidak hanya berekreasi atau melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan perilaku konsumen, kebijakan pemerintah, persaingan bisnis, hanya mengikuti perkembangan penduduk namun juga mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. perubahan perilaku konsumen, kebijakan pemerintah, persaingan bisnis, hanya mengikuti perkembangan penduduk namun juga mengikuti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dalam segala bidang di Indonesia akan mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya perubahan perilaku konsumen, kebijakan

Lebih terperinci

syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya agar dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di

syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya agar dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan (makanan dan minuman) yang halal dan baik merupakan syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya agar dapat bersaing dengan

Lebih terperinci

Sertifikasi dan Sistem Jaminan Halal

Sertifikasi dan Sistem Jaminan Halal Sertifikasi dan Sistem Jaminan Halal Apa itu Perbuatan Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara. (Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram) Hukum Halal/Haram Menjadi dasar dalam proses Sertifikasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Strategi Kompetitif Porter dalam Menghadapi ACFTA. kompetitif sendiri, agar tidak kalah dalam persaingan global, baik itu

BAB IV ANALISIS DATA. A. Strategi Kompetitif Porter dalam Menghadapi ACFTA. kompetitif sendiri, agar tidak kalah dalam persaingan global, baik itu BAB IV ANALISIS DATA A. Strategi Kompetitif Porter dalam Menghadapi ACFTA Diberlakukannya ACFTA sebagai sebuah perdagangan bebas, memaksa setiap industri atau perusahaan harus mempunyai keunggulan kompetitif

Lebih terperinci

Mam MAKALAH ISLAM. Halal Lifestyle Makin Mendunia

Mam MAKALAH ISLAM. Halal Lifestyle Makin Mendunia Mam MAKALAH ISLAM Halal Lifestyle Makin Mendunia 9 Januari2015 Makalah Islam Halal Lifestyle Makin Mendunia Lady Yulia (Pelaksana Subdit Halal Diturais dan Binsyar, Mahasiswa Magister Universitas Andalas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeni suatu produk tertentu yang ingin digunakannya. tentang produk yang tercetak pada kemasan. Dalam label, konsumen dapat

BAB I PENDAHULUAN. mengeni suatu produk tertentu yang ingin digunakannya. tentang produk yang tercetak pada kemasan. Dalam label, konsumen dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini konsumen semakin kritis dalam mencari dan menggali informasi tentang produk yang akan digunakan. Informasi tentang produk dapat diperoleh melalui beberapa

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sekarang merupakan negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sekarang merupakan negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, yang sekarang merupakan negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Pada sensus penduduk 2010

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia dan hal ini,

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 merupakan momen yang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 merupakan momen yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 merupakan momen yang menakutkan bagi perekonomian Indonesia. Krisis pada saat itu telah mengganggu seluruh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pesatnya perkembangan media dewasa ini, arus informasi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pesatnya perkembangan media dewasa ini, arus informasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Seiring dengan pesatnya perkembangan media dewasa ini, arus informasi yang dapat diperoleh konsumen akan semakin banyak dan turut pula mempengaruhi pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada perilaku konsumennya (Tjiptono, 2002). konsumen ada dua hal yaitu faktor internal dan eksternal.

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada perilaku konsumennya (Tjiptono, 2002). konsumen ada dua hal yaitu faktor internal dan eksternal. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan produk saat ini merupakan sebuah dampak dari semakin banyak dan kompleksnya kebutuhan manusia. Dengan dasar tersebut, maka setiap perusahaan harus memahami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah yang baik agar masyarakat dapat merasa lebih aman dan terjamin dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah yang baik agar masyarakat dapat merasa lebih aman dan terjamin dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk halal khususnya dalam bidang olahan pangan merupakan hal yang sangat penting bagi konsumen Daerah Istimewa Yogyakarta yang mayoritas penduduknya beragama Islam,

Lebih terperinci

SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM

SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM UMKM ( Usaha Mikro Kecil dan Menengah ) merupakan pelaku ekonomi nasional yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian. Karena. kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan

BAB I PENDAHULUAN. informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini konsumen semakin kritis dalam mencari dan menggali informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan sebagai isi dari apa yang

Lebih terperinci

BAB I. Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai. dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan

BAB I. Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai. dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menginginkan lokasi belanja yang lebih bersih tertata dan rapi. Utami

BAB I PENDAHULUAN. yang menginginkan lokasi belanja yang lebih bersih tertata dan rapi. Utami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri jika masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah perkotaan semakin dimanjakan dengan menjamurnya pertumbuhan ritel. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan untuk mengetahui

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan untuk mengetahui BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari atribut produk terhadap keputusan pembelian ulang kecap ABC pada ibu rumah tangga

Lebih terperinci

F o c u s. On Marketing. The Way to Boost Your Marketing Performance. Marketing Quotient Community. Dheni Haryanto

F o c u s. On Marketing. The Way to Boost Your Marketing Performance. Marketing Quotient Community. Dheni Haryanto B R A N D E Q U I T Y The Way to Boost Your Marketing Performance Dheni Haryanto dheni_mqc@yahoo.com Marketing Quotient Community http://www.mqc.cjb.net F o c u s On Marketing Hakekat suatu bisnis industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk selalu dapat bersaing dalam hal peningkatan mutu produk barang dan

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk selalu dapat bersaing dalam hal peningkatan mutu produk barang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang semakin mengglobal membawa dampak pada dunia usaha. Adanya perkembangan dan kemajuan teknologi, dunia usaha dituntut

Lebih terperinci

TEMA SEMINAR Ketersediaan Kuliner Halal dalam menyukseskan Visit Indonesia 2011 dan tahun selanjutnya.

TEMA SEMINAR Ketersediaan Kuliner Halal dalam menyukseskan Visit Indonesia 2011 dan tahun selanjutnya. TERM OF REFERENCE (TOR) KETERSEDIAAN KULINER HALAL DALAM MENYUKSESKAN VISIT INDONESIA Rabu, 6 April 2011, Pk. 08.00 16.00 WIB Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta LATAR BELAKANG Visi Indonesian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat merupakan salah satu kota yang mempunyai peluang dan potensi besar untuk dikembangkan. Pengembangan potensi ini didasari

Lebih terperinci

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) MEA

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) MEA Konferensi Tingkat Tinggi Association of South East Asia Nations (ASEAN) ke-9 tahun 2003 menyepakati Bali Concord II yang memuat 3 pilar untuk mencapai vision 2020 yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan politik

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGIS PEMASARAN PERTEMUAN 11 MANAJEMEN PEMASARAN

ANALISIS STRATEGIS PEMASARAN PERTEMUAN 11 MANAJEMEN PEMASARAN ANALISIS STRATEGIS PEMASARAN PERTEMUAN 11 MANAJEMEN PEMASARAN POKOK BAHASAN ANALISIS EKSTERNAL DAN ANALISIS PELANGGAN ANALISIS KOMPETITOR ANALISIS PASAR/SUBPASAR ANALISIS EKSTERNAL DAN ANALISIS PELANGGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan pasar dengan penemuan-penemuan barunya dan menetukan harga

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan pasar dengan penemuan-penemuan barunya dan menetukan harga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan perekonomian di era globalisasi mendorong pula pertumbuhan usaha di bidang komoditi, salah satunya adalah produk pertanian. Usaha di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam, yang dapat menyebabkan perasaan daya tarik dan ketentraman. emosional, karena hal itu merupakan pengalaman subyektif.

BAB I PENDAHULUAN. alam, yang dapat menyebabkan perasaan daya tarik dan ketentraman. emosional, karena hal itu merupakan pengalaman subyektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keindahan atau keelokan merupakan sifat dan ciri dari orang, hewan, tempat, objek, atau gagasan yang memberikan pengalaman persepsi kesenangan, bermakna, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran tersebut.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Strategi pemasaran merupakan sebagian dari strategi bisnis yang diupayakan setiap perusahaan untuk meningkatkan laba demi menaikkan nilai perusahaan. Strategi pemasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi makanan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi makanan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi makanan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan yaitu agama, ras, pengetahuan, persepsi, dan lain-lain. Agama

Lebih terperinci

populasi konsumen Muslim di Indonesia telah mencapai 90% dari jumlah total penduduk (BPS,2013). Sebagai negara dengan populasi kaum Muslim terbesar,

populasi konsumen Muslim di Indonesia telah mencapai 90% dari jumlah total penduduk (BPS,2013). Sebagai negara dengan populasi kaum Muslim terbesar, BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar dengan menempati peringkat ke 1 di dunia. Jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia

Lebih terperinci

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO RINGKASAN EKSEKUTIF WISHNU TIRTA, 2006. Analisis Strategi Penggunaan Bahan Baku Kayu Bersertifikat Ekolabel Di Indonesia. Di bawah bimbingan IDQAN FAHMI dan BUDI SUHARDJO Laju kerusakan hutan di Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KUALITAS PRODUK

ANALISIS KINERJA KUALITAS PRODUK 45 ANALISIS KINERJA KUALITAS PRODUK Perilaku konsumen dalam mengkonsumsi dangke dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat. Konsumsi dangke sudah menjadi kebiasaan masyarakat dan bersifat turun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Era globalisasi menjanjikan suatu peluang dan tantangan bisnis baru bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Di satu sisi, era globalisasi memperluas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature)

I. PENDAHULUAN. Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature) membawa perubahan pada pola konsumsi obat dari yang berbahan kimiawi, ke obat-obatan yang terbuat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 didunia, menjadikan negara yang potensial untuk pemasaran berbagai barang maupun jasa.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perusahaan harus mampu memikirkan, membuat dan menetapkan merek yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perusahaan harus mampu memikirkan, membuat dan menetapkan merek yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan harus mampu memikirkan, membuat dan menetapkan merek yang mampu melekat dengan baik dibenak konsumen. Merek bukan hanya menjadi nama, identitas atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan berbasis agroindustri semakin ketat. Selain itu, ketatnya

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan berbasis agroindustri semakin ketat. Selain itu, ketatnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi dan semakin banyaknya produk pertanian yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya membuat persaingan diantara perusahaan berbasis agroindustri semakin

Lebih terperinci

BAB VIII ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN DAN KINERJA

BAB VIII ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN DAN KINERJA BAB VIII ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN DAN KINERJA 8.1 Analisis Tingkat Kepentingan dan Kinerja Produk Sarimurni dan Sosro Pada bab ini akan dijelaskan analisis tingkat kepentingan dan kinerja atribut produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari tahun ke tahun terus meningkat seiring perkembangan zaman. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari tahun ke tahun terus meningkat seiring perkembangan zaman. Selain itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teknologi komunikasi saat ini tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat umum tetapi juga menjadi ladang bisnis yang prospektif. Bisnis operator selular dari tahun

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan mengenai daya saing ekspor komoditas kopi di Indonesia dan faktor-faktor pendorong dan penghambatnya, maka dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam zaman moderenisasi sekarang ini dunia bisnis terus berjalan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam zaman moderenisasi sekarang ini dunia bisnis terus berjalan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman moderenisasi sekarang ini dunia bisnis terus berjalan, kebutuhan akan suatu produk akan beragam dan terus berkembang seiring perubahan zaman. Persaingan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pada produk teh siap minum Walini Peko yang diproduksi oleh

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pada produk teh siap minum Walini Peko yang diproduksi oleh 44 BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Objek dan Tempat Penelitian Penelitian pada produk teh siap minum Walini Peko yang diproduksi oleh Industri Hilir Teh (IHT) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Cibiru,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI MANAJERIAL. Berdasarkan hasil analisis data pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI MANAJERIAL. Berdasarkan hasil analisis data pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI MANAJERIAL 5.1 Kesimpulan berikut: Berdasarkan hasil analisis data pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai 1. Label halal berpengaruh positif signifikan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan besar maupun perusahaan kecil, bersama-sama berjuang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan besar maupun perusahaan kecil, bersama-sama berjuang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tantangan persaingan di dunia industri dewasa ini semakin berat, baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil, bersama-sama berjuang mempertahankan produknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pilihan lainnya. Oleh karena itu konsumen sering menghadapi kebingungan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pilihan lainnya. Oleh karena itu konsumen sering menghadapi kebingungan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minat beli merupakan sesuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu, serta berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. CV. Semar yang merupakan salah satu produsen pembuat bakso di Bandung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. CV. Semar yang merupakan salah satu produsen pembuat bakso di Bandung 69 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran umum perusahaan 4.1.1 Sejarah Perusahaan CV. Semar yang merupakan salah satu produsen pembuat bakso di Bandung yang mempunyai sertifikasi halal dan mencantumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang menghidupi banyak orang dan memberi banyak keuntungan bagi sementara orang lainnya. Pada

Lebih terperinci

SISTEM JAMINAN HALAL (S J H)

SISTEM JAMINAN HALAL (S J H) SISTEM JAMINAN HALAL (S J H) 2014 MANUAL SISTEM JAMINAN HALAL [PERUSAHAAN ] Disiapkan oleh, Disahkan oleh, (Ketua Tim Manajemen Halal) (Perwakilan Manajemen) DAFTAR ISI Daftar Isi... 1 Halaman Pengesahan...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya serta teknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya serta teknologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, budaya serta teknologi saat ini, maka kebutuhan hidup manusia kian berkembang pula. Tidak hanya kebutuhan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu, maka yang menjadi tujuan pemasaran adalah brand loyality. Tanpa sebuah brand

BAB I PENDAHULUAN. satu, maka yang menjadi tujuan pemasaran adalah brand loyality. Tanpa sebuah brand BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jika keseluruhan aktivitas pemasaran harus diringkas menjadi satu kata saja, maka kata yang keluar adalah branding. Jika semua tujuan pemasaran digabung menjadi satu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terbesar di dunia, yang terdiri dari 5 pulau besar dan belasan ribu pulau kecil lainnya. Negara kepulauan yang terletak

Lebih terperinci

PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR

PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR Oleh: PATI GAMALA L2D 002 427 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semakin mengembangkan potensinya untuk dapat bersaing dan merebut market

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semakin mengembangkan potensinya untuk dapat bersaing dan merebut market BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Merek Dalam era globalisasi saat ini persaingan dalam sektor industri minuman semakin mengembangkan potensinya untuk dapat bersaing dan merebut market

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja kalah cepat dengan kenaikan jumlah lulusan. Sangat ironis bila kita

BAB I PENDAHULUAN. kerja kalah cepat dengan kenaikan jumlah lulusan. Sangat ironis bila kita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan kita telah berhasil menghasilkan lulusan dengan tanda lulus belajar untuk masuk ke pasar kerja namun sayangnya kenaikan jumlah lapangan kerja kalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia terletak di benua Asia, tepatnya di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang terletak di kawasan ini memiliki sebuah perhimpunan yang disebut dengan ASEAN (Assosiation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsumsi sayuran per kapita Indonesia saat ini 35 kg/tahun sehingga total kebutuhan sayuran 230 juta penduduk Indonesia adalah sekitar 7 juta ton/tahun. Angka konsumsi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAMBI Menimbang PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan McAlister (1997) dalam Balaraman et al (2015). Merek private label, juga

BAB I PENDAHULUAN. dan McAlister (1997) dalam Balaraman et al (2015). Merek private label, juga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Private label muncul pada 1980-an, ketika merek nasional mendominasi pasar dan meningkatkan harga mereka dengan cepat, seperti ditegaskan oleh Kahn dan McAlister

Lebih terperinci

A. Kuesioner penentuan bobot faktor analisis persaingan industri

A. Kuesioner penentuan bobot faktor analisis persaingan industri Lampiran 1. Kuesioner Kajian 89 A. Kuesioner penentuan bobot faktor analisis persaingan industri Petunjuk pengisian Nilai diberikan pada pertimbangan berpasangan antara 2 faktor vertikalhorizontal) berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang halal, karena setiap makanan yang kita konsumsi akan mendarah. daging dalam tubuh dan menjadi sumber energi yang penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang halal, karena setiap makanan yang kita konsumsi akan mendarah. daging dalam tubuh dan menjadi sumber energi yang penting untuk BAB I PENDAHULUAN A LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Islam umat muslim diwajibkan mengkonsumsi makanan yang halal, karena setiap makanan yang kita konsumsi akan mendarah daging dalam tubuh dan menjadi sumber

Lebih terperinci