MODIFIKASI KOLEKTOR SURYA DENGAN TAMBAHAN PLAT SENG BERCAT HITAM UNTUK MENINGKATKAN SUHU AIR PEMBENIHAN IKAN. Oleh: F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODIFIKASI KOLEKTOR SURYA DENGAN TAMBAHAN PLAT SENG BERCAT HITAM UNTUK MENINGKATKAN SUHU AIR PEMBENIHAN IKAN. Oleh: F"

Transkripsi

1 MODIFIKASI KOLEKTOR SURYA DENGAN TAMBAHAN PLAT SENG BERCAT HITAM UNTUK MENINGKATKAN SUHU AIR PEMBENIHAN IKAN Oleh: AGUSTI IRRI SUSANTI F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i

2 Judul Skripsi : Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air Pembenihan Ikan Nama NIM : Agusti Irri Susanti : F Menyetujui, Pembimbing (Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M. Agr.) NIP Mengetahui: Ketua Departemen (Dr. Ir. Desrial, M.Eng) NIP Tanggal lulus : ii

3 Agusti Irri Susanti. F Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air Pembenihan Ikan. Dibimbing oleh : Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr RINGKASAN Kualitas air merupakan salah satu parameter keberhasilan dari penggunaan sistem resirkulasi selain tingkat pertumbuhan dan mortalitas ikan yang dibudidayakan. Salah satu parameter kualitas air yang perlu diperhatikan dalam akuakultur yaitu suhu. Suhu air yang optimum akan mendorong enzim-enzim pencernaan dan metabolisme untuk bekerja efektif. Terjadinya perubahan suhu air yang mendadak akan berdampak kurang baik terhadap ikan, seperti ikan mengalami stress yang dicirikan dengan berenang melonjak-lonjak, mengapung, dan bernapas di permukaan air. Jika kondisi ini berlangsung lama akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ikan bahkan kematian. Menurut Rudiyanto (2002), ikan akan mengalami pertumbuhan yang kecil atau tidak ada pertumbuhan di bawah suhu tertentu (20 C), selanjutnya laju pertumbuhan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu sampai mencapai titik maksimum pada suhu sekitar 30 C dan kemudian menurun kembali atau mungkin menjadi negatif pada suhu letal (suhu diatas 30 C). Pemanfaatan energi surya untuk meningkatkan suhu udara yang mengalir dalam kolektor surya yang kemudian menjadi sumber panas untuk menghangatkan suhu udara dalam ruang tertutup dan air budidaya ikan pernah dilakukan sebelumnya. Pemanfaatan kolektor surya plat datar pada penelitian sebelumnya yaitu dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam sebagai absorber untuk memanaskan udara diharapkan mampu menjaga suhu air budidaya lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas kolektor surya dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam untuk menghangatkan udara dalam ruang tertutup yang kemudian digunakan untuk meningkatkan suhu air pembenihan ikan pada sistem resirkulasi akuakultur. Tujuan selanjutnya adalah membandingkan efektivitas kolektor surya dengan plat-plat seng yang dicat hitam dengan kolektor surya pada penelitian sebelumnya. Ada tiga perlakuan dalam penelitian ini. Perlakuan satu (P1) yaitu kipas tidak dinyalakan sehingga tidak ada sirkulasi udara. Data diambil selama 2 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Perlakuan dua (P2) yaitu kipas dinyalakan 24 jam/hari. Perlakuan dua terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama (P2I) adalah dengan air pembenihan dibiarkan dalam keadaan statis sedangkan percobaan kedua (P2II) dengan air pembenihan yang disirkulasikan. Data perlakuan dua diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Perlakuan tiga (P3) yaitu dengan pengendalian on-off terhadap iii

4 kipas dari kolektor surya ke ruang pembenihan. Perlakuan tiga juga terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama (P3I) dengan air pembenihan dalam keadaan statis dan percobaan kedua (P3II) dengan air yang disirkulasikan. Data perlakuan tiga tersebut diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Perlakuan satu (P1) bertujuan untuk mengetahui suhu dan RH ruang tertutup dan kedua kolektor surya tanpa adanya sirkulasi udara. Suhu udara ruang rata-rata P1 adalah 28.9 C dengan kelembaban relatif (RH) 67%. Variasi suhu ruang rata-rata adalah 2.7. Suhu lingkungan rata-rata P1 adalah 27.7 C dengan standar deviasi yang lebih tinggi yaitu 7.9. Suhu rata-rata yang lebih tinggi dan standar deviasi yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan menunjukkan bahwa ruang tertutup mampu menyimpan panas sehingga sangat baik untuk meningkatkan suhu air budidaya ikan. Pada P2I, rata-rata suhu ruang tertutup yang terukur yaitu sebesar 28.3 C dengan standar deviasi sebesar 2. RH ruang tertutup adalah 81.5%. Suhu air ratarata pada P2I ini adalah 27.6 C dengan standar deviasi sebesar 0.6. Sedangkan pada P2II, suhu rata-rata air tersirkulasi adalah 28.8 C dengan standar deviasi 0.8 dan rata-rata suhu ruang tertutup adalah 29.3 C dengan RH sebesar 85.1%. Standar deviasi ruang tertutup rata-rata adalah 2.2. Standar deviasi ruang tertutup yang lebih tinggi daripada air pembenihan menunjukkan bahwa suhu ruang lebih fluktuatif daripada suhu air. Hal ini terjadi karena air memiliki massa jenis lebih tinggi daripada udara sehingga air lebih lama bisa menyimpan panas dibandingkan udara. Pada P3I, rata-rata suhu ruang tertutup yang terukur yaitu sebesar 28.0 C dengan standar deviasi sebesar 2. RH ruang tertutup adalah 91.5%. Suhu air ratarata pada P2I ini adalah 27.4 C dengan standar deviasi sebesar 0.5. Sedangkan pada P3II, suhu rata-rata air tersirkulasi adalah 29.0 C dengan standar deviasi 0.7 dan rata-rata suhu ruang tertutup adalah 29.7 C dengan RH sebesar 88.9%. Standar deviasi ruang tertutup rata-rata adalah 1.8. P3II pada penelitian ini sama dengan perlakuan 1 pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (Didik Hananto, 2006). Pada penelitian sebelumnya suhu ruang tertutup rata-rata adalah 28.5 C dengan standar deviasi 1.6 dan suhu air rata-rata yaitu 29.0 C dengan standar deviasi 0.6. Suhu air rata-rata P2I lebih tinggi dari P2II. Sedangkan jika dibandingkan dengan P3I, suhu air rata-rata P3I lebih rendah dari P2I maupun P2II. Hal ini dikarenakan oleh faktor cuaca yang buruk pada P3I. P3II memiliki suhu air ratarata yang paling tinggi dibandingkan P2I, P2II, dan P3I. Suhu air P3II sama dengan suhu air penelitian sebelumnya. Hal ini terjadi karena jumlah air yang harus dihangatkan pada penelitian kali ini lebih besar daripada jumlah air pada penelitian sebelumnya. Jumlah air pada P3II adalah sebanyak liter sedangkan pada penelitian sebelumnya jumlah air yang harus dihangatkan hanya sebanyak 200 liter. Hal ini menunjukkan bahwa kolektor surya dengan tambahan plat seng yang dicat hitam sebagai absorber lebih efektif untuk meningkatkan suhu air rata-rata. iv

5 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Agusti Irri Susanti dan dilahirkan di Manggar pada tanggal 25 Agustus 1988, merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, dari pasangan Suharto dan Erni Yulmanita. Pada tahun , penulis sekolah di SDN 02 Manggar. Pada tahun , penulis sekolah di SLTP 02 Manggar. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan sekolah di SMAN 01 Manggar dan lulus tahun Pada tahun 2005, penulis melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis melakukan praktek lapang pada tahun 2008 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Sukabumi, Jawa Barat dengan judul Pemanfaatan Teknologi Akuakultur Di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Pada tahun 2009, penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsinya dengan judul Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air Pembenihan Ikan. v

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rakhmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Modifikasi Kolektor Surya Dengan Tambahan Plat Seng Bercat Hitam Untuk Meningkatkan Suhu Air Pemenihan Ikan. Penyusunan usulan penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk melakukan penilitian pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini tersusun atas kerjasama dan bimbingan orang-orang yang telah membantu penulis selama penyusunan. Kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya : 1. Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr selaku dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya untuk mendidik, memberikan arahan, dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 2. Dr. Satyanto Krido Saptomo, STP. MSi. Selaku dosen penguji skripsi ini yang banyak memberikan masukan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi selama pembuatan skripsi. 3. Dr. Ir. I Made Dewa Subrata, M.Agr. Selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi. 4. Bapak, Ibu, dan adik, serta keluarga atas doa dan dukungannya. 5. Ahmad Rifqi, Arief Imansyah, serta segenap warga Wageningan yang telah membantu dan memberikan semangat dalam pembuatan skripsi. 6. Isron, Gazhali Fadhil C, Soleh Kurniawan RAC, Ifah Latifah, Sri Citra Y M, serta semua teman-teman TEP 42 atas bantuan, do a, dan dukungannya. 7. Semua anggota Wisma Nerita yang telah memberikan bantuan dan semangat pada penulis. vi

7 Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih bagi mereka yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, dan melanjutkan penelitian ini. Semoga hasil dari penelitian ini dapat dijadikan referensi oleh para pembaca dan dapat meningkatkan produktivitas perikanan Indonesia. Bogor, Desember 2009 vii

8 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA PENGARUH SUHU AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN ENERGI SURYA KOLEKTOR SURYA RUANG TERTUTUP DESKRIPSI STATISTIKA... 5 III. METODOLOGI PENELITIAN WAKTU DAN TEMPAT BAHAN DAN ALAT PROSEDUR PELAKSANAAN TAHAPAN PENELITIAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN KONVERSI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU VALIDASI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU HASIL PERLAKUAN Perlakuan 1 (P1) viii

9 4.3.2 Perlakuan 2 (P2) Perlakuan 3 (P3) KINERJA KONTROL ON-OFF ESTIMASI KEBUTUHAN HEATER VI. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

10 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tampak depan kolektor surya... 7 Gambar 2. Tampak atas kolektor surya... 8 Gambar 3. Gambar piktorial kolektor surya... 8 Gambar 4. Bagan sistem sirkulasi air Gambar 5. Penempatan kolektor surya pada atap bangunan Gambar 6. Rangakain pengukur tegangan Gambar 7. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan (voltage) sensor Gambar 8. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan sensor Gambar 9. Grafik validasi data sensor NTC Gambar 10. Grafik validasi data sensor NTC Gambar 11. Grafik suhu kolektor 1 dan 2, suhu lingkungan, serta suhu dan kelembaban relatif (RH) udara ruang tertutup pada P Gambar 12. Posisi kolektor surya pada atap ruang tertutup Gambar 13. Grafik suhu lingkungan, suhu udara kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif (RH) ruang tertutup, serta suhu air pada P2I Gambar 14. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembababan relatif udara ruang tertutup, serta suhu air pada P2II Gambar 15. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembaban ruang tertutup, serta suhu air pada P3I Gambar 16. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu air pada P3II Gambar 17. Grafik kinerja kontrol on-off pada P3I Gambar 18. Grafik kinerja kontrol on-off pada P3II x

11 DAFTAR TABEL Tabel 1. Analisis statistik suhu udara kolektor satu pada P Tabel 2. Analisis statistik suhu udara kolektor dua pada P Tabel 3. Analisis statistik suhu lingkungan pada P Tabel 4. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P Tabel 5. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P Tabel 6. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2I Tabel 7. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P2I Tabel 8. Analisis statistik suhu air pada P2I Tabel 9. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P2I Tabel 10. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P2I Tabel 11. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2II Tabel 12. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P2II Tabel 13. Analisis statistik suhu air pada P2II Tabel 14. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P2II Tabel 15. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P2II Tabel 16. Analisis statistik suhu lingkungan pada P3I Tabel 17. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P3I Tabel 18. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P3I Tabel 19. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P3I Tabel 20. Analisis statistik suhu air pada P3I Tabel 21. Analisis statistik suhu lingkungan pada P3II Tabel 22. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P3II Tabel 23. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P3II Tabel 24. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P3II Tabel 25. Analisis statistik suhu air pada P3II Tabel 26. Perbandingan suhu lingkungan dengan penelitian Didik Hananto (2006) Tabel 27. Perbandingan suhu udara ruang dengan penelitian Didik Hananto (2006) Tabel 28. Perbandingan suhu air dengan penelitian Didik Hananto (2006) xi

12 Tabel 29. Analisis kontrol on-off pada P3I Tabel 30. Analisis kontrol on-off pada P3II xii

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar jenis ikan dan suhu pertumbuhannya Lampiran 2. Perhitungan kebutuhan heater Lampiran 3. Hasil validasi rangkaian pengukur suhu xiii

14 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sektor akuakultur yang terus berkembang dan menjadi lahan berharga bagi pertumbuhan ekspor membuat produksi akuakultur semakin digalakkan pada dekade ini. Dalam laporan The State of World Aquaculture 2006, FAO menyatakan bahwa 45,5 juta ton (43 %) ikan yang dikonsumsi berasal dari budidaya. Angka tersebut telah menunjukkan lompatan yang luar biasa dibandingkan dengan kondisi tahun 1980 yang hanya 9%. Produksi dunia ikan hasil budidaya serta ikan hasil tangkapan di laut serta perairan umum adalah sekitar 95 juta ton per tahun, dimana 60 % nya dikonsumsi manusia. Fisheries Committee dari FAO (Food and Agriculture Organization) dalam laporan untuk Oktober 2008, menyebutkan bahwa Permintaan produk akuakultur terus bertumbuh. Sementara pada dekade 1970an, konsumsi akuakultur hanya 6% dari keseluruhan konsumsi ikan global. Namun saat ini konsumsi produk akuakultur mencapai hampir setengah dari konsumsi ikan dunia. Peningkatan ini diharapkan mencapai 50% sebelum Teknologi akuakultur yang digunakan dalam proses pembudidayaan ikan adalah sistem resirkulasi akuakultur. Kualitas air merupakan salah satu parameter keberhasilan dari penggunaan sistem resirkulasi selain tingkat pertumbuhan dan mortalitas ikan yang dibudidayakan. Salah satu parameter kualitas air yang perlu diperhatikan dalam akuakultur yaitu suhu. Terjadinya perubahan suhu air yang mendadak akan berdampak kurang baik terhadap ikan, seperti ikan mengalami stress dengan berenang melonjak-lonjak, mengapung dan bernapas dipermukaan air. Jika berlangsung lama kondisi ini akan berdampak buruk bagi pertumbuhan ikan bahkan menyebabkan kematian. Kisaran suhu optimal agar ikan dapat tumbuh dengan baik adalah C. Pemanfaatan energi surya untuk memanaskan suhu udara yang mengalir dalam kolektor surya yang kemudian menjadi sumber panas untuk menghangatkan suhu udara ruang tertutup dan meningkatkan suhu air 1

15 budidaya ikan pernah dilakukan sebelumnya. Pemanfaatan kolektor surya plat datar penelitian sebelumnya dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam sebagai absorber untuk memanaskan udara diharapkan mampu meningkatkan dan menjaga kestabilan suhu air pembenihan lebih baik dari sebelumnya. 1.2 TUJUAN 1. Menguji efektivitas kolektor surya dengan penambahan plat-plat seng yang dicat hitam untuk menghangatkan udara pada ruang tertutup yang kemudian meningkatkan suhu air pembenihan ikan. 2. Membandingkan efektivitas kolektor surya dengan plat-plat seng yang dicat hitam dengan kolektor surya pada penelitian sebelumnya. 2

16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGARUH SUHU AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN Suhu adalah salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup ikan. Menurut Rudiyanto (2002), hubungan antara suhu dengan pertumbuhan ikan yaitu adanya pertumbuhan yang kecil atau tidak ada pertumbuhan dibawah suhu tertentu (20 C), selanjutnya laju pertumbuhan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu sampai mencapai titik maksimum pada suhu sekitar 30 C dan kemudian menurun kembali atau mungkin menjadi negatif pada suhu letal (suhu diatas 30 ). Terjadinya perubahan suhu suhu air yang mendadak akan berdampak kurang baik terhadap ikan. Dampak yang jelas apabila terjadi perubahan suhu dari dingin ke panas yaitu ikan akan mengalami stress dengan berenang melonjak-lonjak, mengapung, dan bernapas dipermukaan air. Hal ini akan mengakibatkan kematian bila berlangsung lama. Sejalan dengan penurunan suhu, nafsu makan ikan akan menurun. Jika penurunan suhu terlalu besar maka ikan akan menghentikan makan. Ikan merupakan hewan poikilotherm yaitu suhu tubuh mengikuti atau sama dengan suhu lingkungan sehingga metabolisme dan kekebalan tubuh sangat tergantung dari suhu lingkungan. Peningkatan suhu sepanjang toleransi ikan akan meningkatkan metabolisme dan kebutuhan oksigen. Berdasarkan hukum Van t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10 C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal. Suhu air yang optimum akan mendorong enzim-enzim pencernaan dan metabolisme untuk bekerja secara efektif. Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses katabolisme dan anabolisme dalam tubuh ikan. Peningkatan metabolisme organisme dalam air akan menambah penggunaan oksigen akibat adanya respirasi. Kenaikan suhu 1 C akan meningkatkan penggunaan oksigen 10%. Konsumsi pakan yang tinggi yang disertai dengan proses 3

17 pencernaan dan metabolisme yang efektif, akan menghasilkan energi yang optimal untuk pertumbuhan (Musida, 2002). 2.2 ENERGI SURYA Energi yang dipancarkan oleh sel surya berasal dari proses penggabungan 4 ton massa hidrogen menjadi helium dan menghasilkan energi dengan laju kwh/detik (Abdullah, 1998). Energi surya merupakan sumber berbagai sumber energi. Selain menjadi sumber energi bagi sumber energi lainnya, energi surya sangat berpotensi untuk dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi alternatif. Energi panas matahari mencapai permukaan bumi dalam bentuk radiasi matahari. Potensi energi surya pada suatu wilayah sangat bergantung pada posisi antara matahari dengan kedudukan wilayah tersebut dipermukaan bumi. Potensi ini akan berubah tiap waktu, tergantung dari kondisi atmosfer, garis lintang, ketinggian tempat, serta musim. Indonesia yang berada dalam wilayah khatulistiwa mempunyai potensi energi surya yang cukup besar sepanjang tahunnya. Radiasi matahari merupakan radiasi gelombang pendek dengan panjang gelombang mikrometer. Jumlah panas yng diproduksi matahari yang jatuh diwilayah Indonesia mencapai kj/tahun atau setara dengan MW energi listrik (Kamarudin, 1990). Agar dapat memanfaatkan energi radiasi matahari tersebut maka diperlukan suatu perangkat untuk mengumpulkan energi radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dan mengubahnya menjadi bentuk energi lain yang berguna. Salah satu contoh perangkat tersebut adalah kolektor surya. 2.3 KOLEKTOR SURYA Kolektor surya merupakan peralatan yang dibutuhkan untuk mengubah energi radiasi matahari ke bentuk energi panas untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai pemanas udara. Ada beberapa jenis kolektor surya diantaranya yaitu kolektor surya plat datar, kolektor terkosentrasi, dan kolektor surya tabung hampa. 4

18 Kolektor surya plat datar pada dasarnya merupakan sebuah sistem heat exchanger yang berfungsi sebagai pengumpul panas radiasi matahari dan kemudian memindahkan panas tersebut pada fluida yang mengalir melalui kolektor tersebut. Komponen utama dari kolektor pelat datar adalah penutup transparan, absorber, dan isolator. Penutup transparan berfungsi untuk melewatkan radiasi gelombang pendek dari matahari yang masuk dan mencegah agar radiasi gelombang panjang tidak keluar. Untuk itu lapisan transparan harus terbuat harus terbuat dari bahan yang mempunyai daya tembus (transmisivity) yang tinggi dengan daya serap (absorptivity) dan daya pantul (reflectivity) yang rendah. Keping penyerap panas (absorber) berfungsi untuk menyerap dan mengubah radiasi matahari menjadi energi panas serta sebagai alat pemindah panas ke fluida yang mengalir. Keping penyerap dicat dengan warna hitam buram (tidak mengkilat). Bagian bawah dan samping pengumpul dilapisi dengan bahan yang mempunyai daya hantar panas (conductivity) yang rendah untuk memperkecil kehilangan panas (Kamaruddin Abdullah, 1994 dalam Triyono 1996). 2.4 RUANG TERTUTUP Ruang tertutup adalah ruang yang didesain khusus sehingga ventilasi atau pertukaran udara ke luar sangat sedikit. Dengan adanya ruang tertutup maka suhu udara didalam ruang akan tetap stabil. Ruang tertutup dapat dibuat secara permanen dengan dinding dan lantai dasar dari tembok (Khairuman dan Sudenda dalam Hermanto, 2004). 2.5 DESKRIPSI STATISTIKA Mattjik (2002) menyatakan bahwa statistika deskripsi adalah bidang statistika yang membicarakan tentang cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi. 5

19 a. Nilai Tengah (Rataan) Nilai tengah merupakan ukuran pemusatan data menjadi dua kelompok data yang memiliki massa yang sama. Dengan kata lain nilai tengah merupakan nilai keseimbangan massa dari segugusan data. Apabila x 1, x 2,.,x n adalah suatu anggota populasi terhingga berukuran N, maka nilai tengah populasinya adalah =...(3) b. Ragam (Variance) Ukuran penyebaran data yang paling sering digunakan adalah ragam. Ragam merupakan ukuran penyebaran data yang mengukur ratarata jarak kuadrat semua titik pengamatan terhadap titik pusat (rataan). Apabila x 1, x 2,.,x n adalah suatu anggota populasi terhingga berukuran N, maka nilai ragam populasinya adalah = ( )...(4) Ragam suatu contoh dilambangkan dengan s 2 merupakan statistik, ragam yang diambil contoh acak dari n sebuah populasi. Maka ragam dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: = ( ) ( )... (5) c. Standar Deviasi (SD) Standar deviasi digunakan untuk mengukur sebaran data suhu aktual terhadap suhu set point. Untuk menghitung ragam digunakan kuadrat simpangan, jadi diperoleh satuan yang sama. Agar dapat memperoleh ukuran keragaman yang memiliki satuan sama dengan satuan asalnya maka ragam tersebut diakarkan. Ukuran yang didapat disebut standar deviasi. = ( )...(6) Standar deviasi dari ragam contoh merupakan akar dari ragam tersebut. = ( ) ( )... (7) 6

20 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus-November 2009 di Laboratorium Teknik Tanah dan Air (Wageningan), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2 BAHAN DAN ALAT Bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Seperangkat kolektor surya hasil penelitian Didik Hananto (2006) yang diberi tambahan plat seng yang dicat hitam terdiri dari: Kolektor surya plat datar berupa bak fiber sebagai penghangat udara sebanyak 2 unit yang dipasang seri dengan dimensi 100 cm 100 cm 21 cm, serta inlet dan outlet berdiameter 10.2 cm. Tutup kolektor surya terbuat dari bahan polycarbonate (Impralon) atau solar tuff flat berukuran cm 2. Plat absorber terbuat dari seng yang dicat hitam dan dipasang tegak lurus dasar kolektor dengan dimensi masing-masing plat 82 cm 19.8 cm sebanyak 8 buah/kolektor surya. Kerangka kolektor surya yang terbuat dari besi siku 5 cm 5 cm. Gambar 1. Tampak depan kolektor surya 7

21 Udara masuk Udara keluar Gambar 2. Tampak atas kolektor surya Gambar 3. Gambar piktorial kolektor surya 2. Sistem pengukur tegangan (Voltage) Papan PCB Resistor 5K6 sebanyak 2 buah Sensor Negative Temperature Coeficient (NTC) 10K sebanyak 2 buah Potensiometer 5K sebanyak 2 buah Kabel listrik merah hitam 34 meter Kapasitor 100 F sebanyak 2 buah 8

22 IC 7805 sebanyak 1 buah IC 741 sebanyak 2 buah Baterai 9 volt sebanyak 1 buah 3. Sistem resirkulasi air Bak budidaya sebanyak 24 buah dengan volume cm 3 (h=29.5cm, d=35cm). Bak filtrasi sebanyak 1 buah bervolume cm 3 (h=59cm, d=75cm) dengan filtasi berupa kerikil kecil Bak sedimentasi sebanyak 1 buah bervolume cm 3 (h=59cm, d=75cm). Bak penampungan air sebanyak 1 buah dengan volume cm 3 (h=59cm, d=75cm). Pompa air rendam dengan spesifikasi volt, 90Watt dan debit 4500 L/H (1.25 L/s). Kerangka dudukan bak yang terbuat dari besi siku Pipa PVC sebagai saluran air 4. Bangunan seluas 4m 6m 3m yang merupakan ruang tertutup sebagai bangsal pembenihan ikan. 5. Pipa pralon 4'' sebagai saluran udara. 6. Kipas 12 volt dengan kecepatan udara m 3 /menit. 7. Alat ukur suhu yang digunakan adalah Logger Thermo Recorder TR72S dan TR71S. 8. Alat ukur tegangan, Voltage Recorder VR Software Auto CAD 2006, Software Voltage Recorder for Window Ver 3.11(E) untuk VR-71 serta Thermo Recorder for Window Ver 4.11(E) untuk TR-72S dan TR-71S. 10. Kontrol on-off. 9

23 3.3 PROSEDUR PELAKSANAAN Perbaikan Ruangan Pembenihan Ikan Perbaikan ruangan dilakukan agar ruangan dapat berfungsi maksimal sebagai ruang tertutup untuk pembenihan. Perbaikan yang dilakukan terdiri dari penggantian dek ruangan, seng untuk atap, dan dinding polikarbonat Prosedur Instalasi Sistem Resirkulasi Air Sebelum diisi air, semua bak dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran akibat lama tidak terpakai dan dari sisa kotoran yang masih tertinggal dari penelitian sebelumnya. Selain itu juga dilakukan pengecekan kebocoran terhadap bak dan pipa saluran antar bak. Kemudian dilakukan pemasangan pompa air rendam pada bak sedimentasi serta pemasangan pipa saluran air dari pompa menuju bak penampungan. Bagan sirkulasi air ditampilkan pada Gambar 4 dibawah ini: Bak Budidaya Ikan Bak Filtrasi Bak Penampungan Bak Sedimentasi Gambar 4. Bagan sistem sirkulasi air Prosedur Instalasi Sistem Penghangat Ruangan 1. Pemasangan kolektor surya Sebelum pemasangan kolektor surya dengan tambahan plat seng, maka kolektor surya sebelumnya harus dilepaskan dulu dari kerangkanya yang terletak di atap. Sebelum pemasangan perlu diperhatikan letak inlet dan outlet kemudian disesuaikan dengan 10

24 letak rumah kipas. Kolektor surya dipasang seri dan sesuai letak rangka dengan posisi kolektor surya di dalam rangka. Alat tersebut akan diletakkan diatas atap seperti pada gambar berikut: Gambar 5. Penempatan kolektor surya pada atap bangunan 2. Perbaikan instalasi pipa Pipa yang digunakan sebagai saluran udara input dan output dari kolektor surya adalah pipa PVC 14 inch. Pipa ini menghubungkan dari rumah kipas menuju kolektor surya pertama, dari kolektor surya pertama menuju kolektor surya kedua, dan dari kolektor surya kedua ke ruang tertutup. Perbaikan instalasi ini adalah untuk memastikan bahwa tidak ada kebocoran udara pada sistem (ruangan, saluran, dan kolektor surya). Perbaikan tersebut berupa pengeleman kembali sambungan pipa yang telah terlepas sebelumnya Prosedur Instalasi dan Penggunaan Sistem Pengukur Suhu 1. Pengambilan data untuk konversi satuan Sebelum sensor rangkaian pengukur suhu dipasangkan pada kolektor surya, dilakukan pengambilan data konversi terlebih dulu. 11

25 Pengambilan data ini dilakukan dengan mengkondisikan sensor satu dan dua serta alat ukur suhu Thermo Recorder type TR71S pada suhu yang sama. Caranya adalah dengan memasukkan kedua sensor dan alat ukur suhu ke dalam air bersuhu rendah kemudian air tersebut dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu dan didinginkan kembali hingga ke suhu awal. Alat pengukur suhu dan rangkaian pengukur suhu akan mencatat perubahan suhu air tersebut. 2. Pemasangan rangkaian pengukur suhu Rangkaian pengukur suhu ini berfungsi untuk mengukur suhu udara di dalam kolektor surya dengan output rangkaian berupa tegangan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi perubahan suhu tersebut adalah Negative Temperature Coeficien (NTC). NTC yang digunakan adalah NTC 10K sebanyak 2 buah. NTC bekerja dipengaruhi suhu, jika suhu naik maka hambatan menurun. Besarnya tegangan keluaran yang berupa V1 dan V2 sangat dipengaruhi oleh besarnya hambatan pada masing-masing NTC yang dipengaruhi oleh suhu. Jika hambatan pada masing-masing NTC turun maka tegangan pada V1 dan V2 akan naik dan begitu sebaliknya. Power supply yang digunakan pada rangkaian pengukur suhu tersebut adalah berupa baterai 9 Volt. Namun agar input tegangan pada rangkaian tetap stabil maka digunakan rangkaian penstabil tegangan dengan menggunakan IC 7805 dan 2 buah kapasitor 100 F sehingga beda tegangan pada rangkaian pengukur suhu adalah +5 Volt dan 0 Volt. Selain itu pada rangkaian tersebut juga ditambahkan potensiometer 5K sebanyak 2 buah yang masing-masing dipasangkan secara seri dengan resistor 5K6. Berikut adalah gambar rangkaian yang digunakan dalam penelitian ini: 12

26 In +9V 1 IC C 100 F 2 NTC 10K +5V C 100 F R1 5K6 V1 IC 741 out 5k NTC 10K Potensiometer 5k R2 5K6 5k Gambar 5. Rangkaian pengukur tegangan (Voltage) V2 IC 741 out Gambar 6. Rangkaian pengukur suhu 13

27 Rangkaian pengukur suhu ini diletakkan diatas meja yang penempatannya aman jauh dari air dan lembab. Pada waktu pemasangan kabel dipastikan bahwa kabel sensor terpasang dengan baik. Kabel power suplay rangkaian dihubungkan dengan baterai 9 Volt. Tegangan dari sensor NTC akan berubah sejalan dengan perubahan suhu. Sensor NTC dipasang di dalam kolektor surya, dimana sensor bisa membaca suhu yang merepresentasikan suhu kolektor surya secara keseluruhan. Suhu yang terbaca oleh rangkaian yang direpresentasikan dalam bentuk tegangan akan disimpan oleh alat ukur tegangan, Voltage Recorder VR Pemasangan sensor Perlakuan 1 Pada perlakuan 1, ada 2 sensor NTC yang akan dipasangkan yaitu sensor 1 dipasang pada outlet kolektor surya 1 dan sensor 2 dipasang pada outlet kolektor surya 2. Penempatan kedua sensor tersebut diharapkan mampu mewakili suhu kedua kolektor tersebut. Perlakuan 2 Untuk perlakuan 2 sensor NTC 1 digunakan untuk mengukur suhu lingkungan. Sensor ini diletakkan diantara kolektor surya sedemikian rupa dan terlindung dari sinar matahari langsung. Sensor NTC 2 digunakan untuk mengukur suhu udara udara kolektor surya dan penempatannya adalah pada outlet kolektor surya 2. Perlakuan 3 Pada perlakuan 3, sensor NTC 2 pada rangkaian pengukur suhu digunakan untuk kontrol on-off. Sensor tersebut digunakan untuk mengetahui suhu udara kolektor surya. Sedangkan sensor NTC 1 tetap digunakan pada rangkaian pengukur suhu sebagai pengukur suhu lingkungan. 14

28 3.3.5 Prosedur pemasangan kipas Kipas dipasangkan pada rumah kipas yang berdimensi cm 2 yang terbuat dari kayu lapis karena kayu merupakan isolator panas yang baik. Rumah kipas digunakan untuk menjaga agar perputaran dan perpindahan panas dari kolektor surya ke udara ruang pembenihan optimal. Kipas yang digunakan memiliki spesifikasi 12 volt DC Nidec TA 450 DC dengan kecepatan udara 1.12 m 3 /menit. Kipas yang digunakan adalah kipas DC 12 Volt, sehingga untuk perlakuan 1 dan 2 sebelum disambungkan dengan listrik harus dihubungkan dengan adaptor 12 Volt terlebih dahulu. Sedangkan pada perlakuan 3, kipas dihubungkan dengan kontrol on-off. Kipas dipasang dirumah kipas yang tersedia, kencangkan dengan skrup Kontrol on-off. Kontrol on-off yang digunakan pada penelitian ini adalah kontrol on-off yang pernah digunakan pada penelitian Didik Hananto (2006). Kontrol on-off digunakan untuk mengatur kerja kipas. Kontrol on-off mengunakan 2 sensor NTC 10K yang digunakan untuk mengetahui suhu kolektor surya dan suhu udara ruang tertutup. Pada saat suhu udara kolektor surya lebih tinggi daripada suhu udara ruang tertutup maka kontrol akan berada pada posisi on sehingga kipas akan menyala. Sebaliknya kontrol akan berada pada posisi off ketika suhu udara kolektor surya sama atau lebih rendah dari suhu udara ruang tertutup sehingga kipas akan mati Prosedur pengambilan data Pengambilan data suhu dan kelembapan relatif udara ruang tertutup dilakukan dengan Logger Thermo Recorder tipe TR-72S. Sedangkan data suhu air pembenihan diambil dengan Logger Thermo Recorder TR-71S. Data suhu udara kolektor surya dan lingkungan yang berasal dari rangkaian pengukur suhu akan disimpan oleh Logger Voltage Recorder VR-71. Kemudian data yang tersimpan pada ketiga alat ukur tersebut ditampilkan melalui software Voltage Recorder for 15

29 Window Ver 3.11(E) untuk VR-71 serta Thermo Recorder for Window Ver 4.11(E) untuk TR-72S dan TR-71S. 3.4 TAHAPAN PENELITIAN 1. Pembuatan plat seng berukuran 82 cm 19.8 cm sebanyak 16 buah dan pemasangannya pada kolektor surya. 2. Pemasangan kolektor surya tersebut pada atap ruang tertutup. 3. Pembuatan dan instalasi rangkaian pengukur suhu. 4. Konversi data rangkaian pengukur suhu. 5. Pengujian kolektor surya. Penelitian ini dilakukan untuk mengendalikan suhu udara ruang tertutup agar diperoleh suhu air yang optimum. Terdapat 3 perlakuan yang akan diujicobakan yaitu: 1. Perlakuan 1 Pada perlakuan kipas tidak dinyalakan sehingga tidak ada sirkulasi udara. Data yang diambil adalah suhu udara pada kedua kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu lingkungan. Data diambil selama 2 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. 2. Perlakuan 2 Pada perlakuan ini, kipas dinyalakan 24 jam/hari. Data yang di ambil adalah suhu udara pada kolektor surya, suhu air, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu lingkungan. Data diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. a. Percobaan I (P2I) Bak pembenihan diisi air dan dibiarkan dalam keadaan statis atau tanpa adanya resirkulasi air. b. Percobaan II (P2II) Bak pembenihan diisi air dan dilakukan resirkulasi air. 16

30 3. Perlakuan 3 Pada percobaan ini dilakukan pengendalian on-off terhadap kipas. Parameter percobaan yang diukur adalah suhu udara kolektor surya, suhu lingkungan, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu air. Data tersebut diambil selama 3 hari dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. a. Percobaan I (P3I) Bak pembenihan diisi air dan dibiarkan dalam keadaan statis. b. Percobaan II (P3II) Bak pembenihan diisi air dan dilakukan resirkulasi air. 17

31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KONVERSI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU Rangkaian pengukur suhu ini keluarannya adalah tegangan sehingga dibutuhkan pengambilan data konversi untuk mengetahui bentuk persamaan yang akan digunakan untuk mengkonversi tegangan menjadi suhu. Data suhu diambil dengan menggunakan Logger Thermo Recorder TR71S dan data tegangan diambil dengan Voltage Recorder VR-71. Data konversi diambil setiap 1 menit dengan suhu terendah adalah 18.8 C dan suhu tertinggi 76.7 C. Data konversi ditampilkan pada Gambar 6 dan 7 dibawah ini: suhu (C) Grafik tegangan (chanel 1) terhadap suhu y = 25.17x R² = tegangan (volt) Gambar 7. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan (voltage) sensor 1. suhu (C) 100 Grafik tegangan (chanel 2) terhadap suhu 50 y = 23.57x R² = tegangan (volt) Gambar 8. Grafik perbandingan suhu terhadap tegangan sensor 2. 18

32 Dari Gambar 7 diketahui bahwa untuk sensor 1, persamaan tredline yang digunakan adalah y = 25.17x dengan koefisien determinasi (R 2 ) 97.3%. Sedangkan dari Gambar 8, persamaan yang digunakan untuk sensor 2 adalah y = 23.57x dengan koefisien determinasi (R 2 ) 97.3%. Dengan koefisien determinasi yang tinggi yaitu 97.3%, maka kedua persamaan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi suhu melalui tegangan keluaran dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Y dalam persamaan adalah suhu dengan satuan derajat celcius dan x adalah tegangan dalam satuan volt. 4.2 VALIDASI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU Validasi data ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kevalidan persamaan konversi yang telah dihasilkan. Pengambilan data ini dilakukan setiap 5 detik. Data validasi ditampilkan pada grafik berikut Suhu ( C) Tegangan (volt) 0 01/09/ :32'25 01/09/ :46'25 01/09/ :00'25 01/09/ :14' /09/ :28'25 Tanggal dan waktu Suhu Tegangan sensor NTC 1 Gambar 9. Grafik validasi data sensor NTC 1. 19

33 60 4 suhu ( C) Tegangan (volt) 0 01/09/ :32'25 01/09/ :46'25 01/09/ :00'25 01/09/ :14' /09/ :28'25 Tanggal dan waktu Suhu Tegangan sensor NTC 2 Gambar 10. Grafik validasi data sensor NTC 2. Dari Gambar 9 dan 10 diketahui bahwa sensor NTC 1 maupun 2 pada rangkaian pengukur suhu akan mencapai nilai kostan pada waktu yang bersamaan dengan alat ukur suhu (Thermo Recorder TR-71S) sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan konversi yang didapat memiliki tingkat kevalidan yang baik. 4.3 HASIL PERLAKUAN Perlakuan 1 (P1) Perlakuan 1 (P1) dilakukan pada Agustus 2009 dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Pada P1 ini ruangan tertutup tidak mendapat sirkulasi udara dari sistem penghangat kolektor surya. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui suhu dan kelembaban relatif (RH) udara ruang tertutup dan kedua kolektor surya tanpa adanya sirkulasi udara (tidak ada penggunaan kipas). Berikut grafik data pengukuran pada P1: 20

34 80 suhu ( C) Kelembaban (%) /20/ :00'00 08/21/ :00'00 08/21/ :00'00 08/22/ :00' /22/ :00'00 Tanggal dan waktu suhu kolektor surya 1 suhu kolektor surya 2 suhu lingkungan suhu ruang tertutup kelembaban ruang Gambar 11. Grafik suhu kolektor 1 dan 2, suhu lingkungan, serta suhu dan kelembaban relatif (RH) udara ruang tertutup pada P1. Hasil analisis statistik data pengkuran pada P1 disajikan pada tabeltabel berikut: Tabel 1. Analisis statistik suhu udara kolektor satu pada P1 No Kolektor surya 1 Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari 1 Variasi Standar Deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C)

35 Tabel 2. Analisis statistik suhu udara kolektor dua pada P1 No Kolektor surya 2 Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari 1 Variasi Standar Deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C) Tabel 3. Analisis statistik suhu lingkungan pada P1 No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari 1 Variasi Standar Deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C) Tabel 4. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P1 No Suhu ruang Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari 1 Variasi Standar Deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C)

36 Tabel 5. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P1 No Kelembaban ruang Hari 1 Hari 2 Selama 2 hari 1 Variasi Standar Deviasi Kelembaban rata-rata (%) Kelembaban maksimum (%) Kelembaban minimum (%) Secara umum faktor yang mempengaruhi tinggi randahnya suhu kolektor surya adalah radiasi surya dimana sangat berkaitan dengan letak kolektor surya, luas koletor surya, sifat optik kolektor, koefisien kehilangan panas, suhu plat absorber, dan suhu lingkungan, serta banyaknya radiasi surya itu sendiri. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa suhu udara kolektor surya 1 lebih tinggi daripada suhu udara kolektor surya 2 pada siang hari dan lebih rendah daripada suhu udara kolektor 2 pada malam hari. Hal ini disebabkan oleh letak kedua kolektor surya. Dari Gambar 5 dan 12 diketahui bahwa kolektor surya 1 akan mendapatkan paparan radiasi matahari lebih baik daripada kolektor surya 2 pada pagi hingga siang hari, sedangkan pada waktu hari mulai sore radiasi surya akan mendapat penghalang ketika menyinari kolektor surya 2 karena adanya bangunan. Kolektor 1 Gambar 12. Posisi kolektor surya pada atap ruang tertutup. 23

37 Selain radiasi surya, nilai koefisien kehilangan panas (U L ) yang berbeda juga mempengaruhi tinggi rendahnya suhu pada kedua kolektor surya tersebut. Nilai U L kedua kolektor surya yang berbeda sangat mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sudut kemiringan kolektor surya dan kecepatan angin sehingga dapat diasumsikan nilai U L kolektor surya 1 lebih tinggi daripada kolektor surya 2. Hal ini juga dibuktikan melalui analisis suhu lingkungan terhadap suhu kedua kolektor surya. Suhu lingkungan akan lebih rendah daripada kolektor surya 2 dan lebih tinggi daripada suhu kolektor surya 1 pada malam hari. Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata kolektor surya 1 selama 2 hari adalah 37.1 C dengan standar deviasi yang cukup tinggi yaitu 20.2 dimana suhu maksimum rata-rata yang terjadi yaitu 70.4 C dan suhu rata-rata minimumnya 16.3 C. Sedangkan suhu udara rata-rata kolektor 2 (Tabel 2) adalah 31.5 C dengan standar deviasi 11.7 dimana suhu udara maksimum rata-rata kolektor surya 2 adalah 54.6 C dan suhu udara rata-rata minimumnya 18.3 C. Standar deviasi kolektor surya 1 yang lebih tinggi dari kolektor surya 2 menunjukkan bahwa suhu udara pada kolektor surya 1 lebih fluktuatif daripada kolektor surya 2. Ruang tertutup pada penelitian kali ini diharapkan mampu meningkatkan suhu air pada perlakuan selanjutnya dengan tingkat fluktuasi suhu yang rendah dibandingkan dengan suhu lingkungan. Suhu udara ruang tertutup dipengaruhi oleh suhu eksternal seperti radiasi surya yang mengenai dinding dan atap, konveksi dan konduksi melalui dinding, pintu, jendela dan alas lantai akibat perbedaan suhu, panas karena infiltrasi udara akibat pembukaan pintu dan melalui celah-celah jendela. Sedangkan panas udara akibat adanya ventilasi ditiadakan karena sistem yang tertutup tanpa ventilasi. Dari Gambar 11 serta Tabel 3 dan 4 diketahui bahwa suhu lingkungan akan lebih tinggi daripada suhu udara ruang pada siang hari dengan perbedaannya mencapai rata-rata 7.8 C. Sedangkan malam hari suhu lingkungan akan lebih rendah daripada suhu udara ruang tertutup. Perbedaan suhunya mencapai rata-rata 7.5 C lebih rendah dari suhu udara ruang tertutup. Suhu udara rata-rata ruangan tertutup adalah 28.9 C 24

38 dengan standar deviasi 2.7. Sedangkan untuk lingkungannya memiliki suhu rata-rata 27.7 C dengan standar deviasi yang lebih tinggi yaitu 7.9. Suhu rata-rata yang lebih tinggi dan standar deviasi yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan menunjukkan bahwa ruang tertutup mampu menyimpan panas sehingga sangat baik untuk meningkatkan suhu air budidaya ikan. Kelembaban relatif (RH) menunjukkan perbandingan antara tekanan aktual uap air terhadap tekanan jenuh uap air. Tekanan jenuh uap air dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka tekanan jenuh uap air semakin tinggi sedangkan tekanan aktual uap air pada keadaan tetap sehingga menyebabkan RH semakin rendah dengan meningkatnya suhu dan sebailknya. Pola ini terlihat pada Gambar 11. RH dalam ruang tertutup (Tabel 5) mencapai rata-rata 67% dengan standar deviasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 8.4 dengan kelembaban maksimum sebesar 78% dan kelembaban minimumnya 51% Perlakuan 2 (P2) a. Percobaan I (P2I) Percobaan I pada perlakuan 2 (P2I) ini dilakukan tanpa adanya kontrol on-off pada kipas dan kipas dinyalakan selama 24 jam per hari dan air tidak disirkulasikan. Percobaan dilakukan selama 3 hari berturut-turut (26-29 Agustus 2009) dengan interval data yaitu 15 menit. Data pengukuran suhu udara kolektor surya, suhu lingkungan, suhu dan RH udara ruang tertutup, serta suhu air ditampilkan pada Gambar 13 dibawah ini: 25

39 suhu ( C) Kelembaban (%) /26/ :45'00 08/27/ :45'00 08/27/ :45'00 08/28/ :45' /29/ :45'00 Tanggal dan waktu suhu lingkungan suhu air kelembaban ruang tertutup suhu kolektor surya suhu ruang tertutup Gambar 13. Grafik suhu lingkungan, suhu udara kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif (RH) ruang tertutup, serta suhu air pada P2I. Analisis statistik data pengukuran pada percobaan I perlakuan 2 (P2I) diberikan pada tabel-tabel dibawah ini: Tabel 6. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2I No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari 1 Variasi Standar deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C)

40 Tabel 7. Analisis statistik suhu udara kolektor surya pada P2I No Suhu kolektor surya Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari 1 Variasi Standar deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C) Tabel 8. Analisis statistik suhu air pada P2I. No Suhu air Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari 1 Variasi Standar deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C) Tabel 9. Analisis statistik suhu udara ruang tertutup pada P2I No Suhu ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari 1 Variasi Standar deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C) Tabel 10. Analisis statistik kelembaban relatif ruang tertutup pada P2I No Kelembaban ruang tertutup Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari 1 Variasi Standar deviasi Kelembaban rata-rata (%) Kelembaban maksimum (%) Kelembaban minimum (%)

41 Gambar 13 diatas memperlihatkan bahwa suhu udara kolektor surya selalu lebih tinggi pada siang maupun malam hari daripada suhu lingkungan. Namun perbedaan suhu antara suhu lingkungan dan suhu udara kolektor surya tidak bergerak secara linear selama 24 jam. Pada siang hari suhu udara kolektor surya akan memiliki perbedaan suhu yang cukup signifikan dengan suhu lingkungan dibanding pada malam hari. Hal ini terjadi karena pada siang hari terjadi efek rumah kaca dalam kolektor surya, dimana gelombang pendek radiasi surya masuk kedalam kolektor surya kemudian mengenai seng dan dinding dalam bak kolektor surya sehingga berubah menjadi gelombang panjang dan terjebak didalamnya. Namun hal ini membuat suhu kolektor surya sangat fluktuatif dibandingkan dengan suhu lingkungan. Hal ini dapat dibuktikan melalui analisis statistik pada Tabel 6 dan 7. Perbedaan antara suhu maksimum terhadap suhu minimum udara rata-rata pada kolektor surya mencapai 46.6 C dengan standar deviasi rata-rata sebesar 15.9 (Tabel 7). Sedangkan pada suhu lingkungan perbedaan antara suhu maksimum dan suhu minimum rata-rata yang terjadi adalah 24.6 C dengan standar deviasi rata-rata yang lebih rendah yaitu 8.9 (Tabel 6). Pada malam hari, suhu udara kolektor surya tetap lebih tinggi daripada suhu lingkungan walaupun perbedaannya tidak signifikan. Aliran udara dari ruang tertutup yang suhunya relatif lebih stabil dan lebih tinggi dari suhu lingkungan membuat suhu kolektor surya yang terukur lebih tinggi dari suhu lingkungan. Perbedaan suhu minimum rata-rata pada lingkungan dan kolektor surya yang terjadi hanya sebesar 0.7 C. Suhu udara kolektor surya rata-rata adalah sebesar 34.4 C dan suhu lingkungan rata-rata adalah 28.9 C. Selain dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti disebutkan sebelumnya, panas dalam ruang tertutup pada P2I sangat dipengaruhi oleh suhu udara yang berasal dari kolektor surya dan suhu air. Rata-rata suhu udara ruang tertutup pada P2I yang terukur yaitu sebesar 28.3 C dengan standar deviasi sebesar 2. Jika dibandingkan dengan suhu udara 28

42 ruang tertutup pada P1, dengan suhu lingkungan dan kolektor surya yang lebih rendah dari P2I tapi menghasilkan suhu udara ruang yang lebih tinggi daripada suhu udara ruang tertutup pada P2I. Hal ini mungkin disebabkan oleh suhu udara ruang tertutup pada P2I yang dipengaruhi oleh suhu air, dimana terjadi pindah panas konveksi dan konduksi dari udara ruang tertutup ke air dan sebaliknya. Suhu air ratarata pada P2I ini adalah 27.6 C dengan standar deviasi sebesar 0.6 (Tabel 8). Jika dibandingkan dengan RH ruang pada P1, maka RH rata-rata pada P2I lebih tinggi yaitu sebesar 81.5% dengan RH maksimum ratarata 89.3% dan RH minimum rata-rata 70.3%. Adanya air untuk budidaya ikan pada P2I adalah faktor yang menyebabkan meningkatnya RH ruang tertutup tersebut. b. Percobaan II (P2II) Perbedaan percobaan II dengan Percobaan I perlakuan 2 terletak pada perlakuan airnya dimana pada P2II air yang disirkulasikan. Pengambilan data P2II dilakukan selama 3 hari (3-6 September 2009) dengan interval pengambilan data adalah 15 menit. Hasil pengukuran berupa suhu lingkungan, suhu udara kolektor surya, suhu dan kelembaban relatif udara ruang tertutup, serta suhu air ditampilkan pada Gambar

43 suhu ( C) kelembaban (%) /03/ :15'00 09/04/ :15'00 09/05/ :15'00 09/05/ :15' /06/ :15'00 Tanggal dan waktu suhu lingkungan suhu kolektor surya suhu ruang tertutup suhu air kelembaban ruang Gambar 14. Grafik suhu lingkungan, suhu kolektor surya, suhu dan kelembababan relatif udara ruang tertutup, serta suhu air pada P2II. Analisis statistik data P2II dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah ini: Tabel 11. Analisis statistik suhu lingkungan pada P2II No Suhu lingkungan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Selama 3 hari 1 Variasi Standar deviasi Suhu rata-rata ( C) Suhu maksimum ( C) Suhu minimum ( C)

Grafik tegangan (chanel 1) terhadap suhu

Grafik tegangan (chanel 1) terhadap suhu IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KONVERSI RANGKAIAN PENGUKUR SUHU Rangkaian pengukur suhu ini keluarannya adalah tegangan sehingga dibutuhkan pengambilan data konversi untuk mengetahui bentuk persamaan yang

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN KOLEKTOR SURYA UNTUK RUANG PEMBENIHAN IKAN. Oleh : DIDIK HANANTO F

RANCANG BANGUN KOLEKTOR SURYA UNTUK RUANG PEMBENIHAN IKAN. Oleh : DIDIK HANANTO F RANCANG BANGUN KOLEKTOR SURYA UNTUK RUANG PEMBENIHAN IKAN Oleh : DIDIK HANANTO F 14102018 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama jam

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama jam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai jenis sumber daya energi dalam jumlah yang cukup melimpah. Letak Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa, maka

Lebih terperinci

SIMPULAN UMUM 7.1. OPTIMISASI BIAYA KONSTRUKSI PENGERING ERK

SIMPULAN UMUM 7.1. OPTIMISASI BIAYA KONSTRUKSI PENGERING ERK VII. SIMPULAN UMUM Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan dan hasil-hasil yang telah dicapai, telah diperoleh disain pengering ERK dengan biaya konstruksi yang optimal dan dapat memberikan

Lebih terperinci

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan

besarnya energi panas yang dapat dimanfaatkan atau dihasilkan oleh sistem tungku tersebut. Disamping itu rancangan tungku juga akan dapat menentukan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengeringan Tipe Efek Rumah Kaca (ERK) Pengeringan merupakan salah satu proses pasca panen yang umum dilakukan pada berbagai produk pertanian yang ditujukan untuk menurunkan kadar air

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Tanpa Beban Untuk mengetahui profil sebaran suhu dalam mesin pengering ERK hibrid tipe bak yang diuji dilakukan dua kali percobaan tanpa beban yang dilakukan pada

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN KOLEKTOR SURYA UNTUK RUANG PEMBENIHAN IKAN. Oleh : DIDIK HANANTO F

RANCANG BANGUN KOLEKTOR SURYA UNTUK RUANG PEMBENIHAN IKAN. Oleh : DIDIK HANANTO F RANCANG BANGUN KOLEKTOR SURYA UNTUK RUANG PEMBENIHAN IKAN Oleh : DIDIK HANANTO F 14102018 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penggunaan Kolektor Terhadap Suhu Ruang Pengering Energi surya untuk proses pengeringan didasarkan atas curahan iradisai yang diterima rumah kaca dari matahari. Iradiasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas hasil pertanian, terutama gabah masih memegang peranan penting sebagai bahan pangan pokok. Revitalisasi di bidang pertanian yang telah dicanangkan Presiden

Lebih terperinci

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2301-9271 1 Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup Edo Wirapraja, Bambang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANCANGAN DAN UJI ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) TIPE COUNTER FLOW

SKRIPSI PERANCANGAN DAN UJI ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) TIPE COUNTER FLOW SKRIPSI PERANCANGAN DAN UJI ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) TIPE COUNTER FLOW Oleh : Ai Rukmini F14101071 2006 DEPATEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PERANCANGAN

Lebih terperinci

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-204 Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae)

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) Oleh : PERI PERMANA F14102083 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas 1. Jumlah Air yang Harus Diuapkan = = = 180 = 72.4 Air yang harus diuapkan (w v ) = 180 72.4 = 107.6 kg Laju penguapan (Ẇ v ) = 107.6 / (32 x 3600) =

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembenihan Ikan. 2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Ikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembenihan Ikan. 2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Ikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembenihan Ikan Pemeliharaan larva atau benih merupakan kegiatan yang paling menentukan keberhasilan suatu pembenihan ikan. Hal ini disebabkan sifat larva yang merupakan stadia

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Simulasi Distribusi Suhu Kolektor Surya 1. Domain 3 Dimensi Kolektor Surya Bentuk geometri 3 dimensi kolektor surya diperoleh dari proses pembentukan ruang kolektor menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) keperluan. Prinsip kerja kolektor pemanas udara yaitu : pelat absorber menyerap

BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) keperluan. Prinsip kerja kolektor pemanas udara yaitu : pelat absorber menyerap BAB III METODE PENELITIAN (BAHAN DAN METODE) Pemanfaatan energi surya memakai teknologi kolektor adalah usaha yang paling banyak dilakukan. Kolektor berfungsi sebagai pengkonversi energi surya untuk menaikan

Lebih terperinci

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Ruang Pengering dan Sebarannya A.1. Suhu Lingkungan, Suhu Ruang, dan Suhu Outlet Udara pengering berasal dari udara lingkungan yang dihisap oleh kipas pembuang, kemudian

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama 38 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama adalah pembuatan alat yang dilaksanakan di Laboratorium Mekanisasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat III. MEODE PENELIIAN A. Waktu dan empat Penelitian dilakukan di Laboratorium Energi Surya Leuwikopo, serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen eknik Pertanian, Fakultas eknologi

Lebih terperinci

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun.

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. SELAMAT ATAS PILIHAN ANDA MENGGUNAKAN PEMANAS AIR (WATER HEATER) DOMO Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. Bacalah buku petunjuk pengoperasian

Lebih terperinci

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor. 7 Gambar Sistem kalibrasi dengan satu sensor. Besarnya debit aliran diukur dengan menggunakan wadah ukur. Wadah ukur tersebut di tempatkan pada tempat keluarnya aliran yang kemudian diukur volumenya terhadap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lingkungan Mengetahui kondisi lingkungan tempat percobaan sangat penting diketahui karena diharapkan faktor-faktor luar yang berpengaruh terhadap percobaan dapat diketahui.

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Rangkaian Elektronik Lampu Navigasi Energi Surya Rangkaian elektronik lampu navigasi energi surya mempunyai tiga komponen utama, yaitu input, storage, dan output. Komponen input

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber energi pengganti yang sangat berpontensi. Kebutuhan energi di

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber energi pengganti yang sangat berpontensi. Kebutuhan energi di 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Matahari adalah sumber energi tak terbatas dan sangat diharapkan dapat menjadi sumber energi pengganti yang sangat berpontensi. Kebutuhan energi di Indonesia masih

Lebih terperinci

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA

BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA BAB 9. PENGKONDISIAN UDARA Tujuan Instruksional Khusus Mmahasiswa mampu melakukan perhitungan dan analisis pengkondisian udara. Cakupan dari pokok bahasan ini adalah prinsip pengkondisian udara, penggunaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. ABSTRAK... iv. ABSTRACT... v. KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. ABSTRAK... iv. ABSTRACT... v. KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN... i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii ABSTRAK... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR...xii BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM RESIRKULASI AIR UNTUK PENDEDERAN IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus)

RANCANG BANGUN SISTEM RESIRKULASI AIR UNTUK PENDEDERAN IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus) RANCANG BANGUN SISTEM RESIRKULASI AIR UNTUK PENDEDERAN IKAN PATIN (Pangasius hypopthalmus) Oleh: SANZ GRIFRIO LIMIN F014102010 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Sanz Grifrio Limin.

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

Laporan Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Belakangan ini terus dilakukan beberapa usaha penghematan energi fosil dengan pengembangan energi alternatif yang ramah lingkungan. Salah satunya yaitu dengan pemanfaatan

Lebih terperinci

SKRIPSI UJI PERFORMANSI DAN ANALISA TEKNIK ALAT EVAPORATOR VAKUM. Oleh: ASEP SUPRIATNA F

SKRIPSI UJI PERFORMANSI DAN ANALISA TEKNIK ALAT EVAPORATOR VAKUM. Oleh: ASEP SUPRIATNA F SKRIPSI UJI PERFORMANSI DAN ANALISA TEKNIK ALAT EVAPORATOR VAKUM Oleh: ASEP SUPRIATNA F14101008 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR UJI PERFORMANSI DAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di PHPT, Muara Angke, Jakarta Utara. Waktu penelitian berlangsung dari bulan April sampai September 2007. B. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN Pangasius hypophthalmus UKURAN 1 INCI UP (3 CM) DALAM SISTEM RESIRKULASI FHEBY IRLIYANDI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 32 BB III METODOLOGI PENELITIN Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah pengujian eksperimental terhadap lat Distilasi Surya dengan menvariasi penyerapnya dengan plastik hitam dan aluminium foil.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan. Metode pengawetan dengan cara pengeringan merupakan metode paling tua dari semua metode pengawetan yang ada. Contoh makanan yang mengalami proses pengeringan ditemukan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006).

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006). 3 BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengering Surya Pengering surya memanfaatkan energi matahari sebagai energi utama dalam proses pengeringan dengan bantuan kolektor surya. Ada tiga klasifikasi utama pengering surya

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PROTOTIPE ALAT PEMANAS AIR TENAGA SURYA SISTEM PIPA PANAS

RANCANG BANGUN PROTOTIPE ALAT PEMANAS AIR TENAGA SURYA SISTEM PIPA PANAS RANCANG BANGUN PROTOTIPE ALAT PEMANAS AIR TENAGA SURYA SISTEM PIPA PANAS SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik ANDRE J D MANURUNG NIM. 110421054 PROGRAM

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN INSULASI TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA TANGKI PENYIMPANAN AIR UNTUK SISTEM PEMANAS AIR BERBASIS SURYA

PENGARUH BAHAN INSULASI TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA TANGKI PENYIMPANAN AIR UNTUK SISTEM PEMANAS AIR BERBASIS SURYA ISSN : 2355-9365 e-proceeding of Engineering : Vol.4, No.3 Desember 2017 Page 3845 PENGARUH BAHAN INSULASI TERHADAP PERPINDAHAN KALOR PADA TANGKI PENYIMPANAN AIR UNTUK SISTEM PEMANAS AIR BERBASIS SURYA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah Analisis distribusi suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat kandang tidak diisi sapi (kandang kosong). Karakteristik

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terdiri dari tiga proses, yaitu perancangan,

3. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terdiri dari tiga proses, yaitu perancangan, 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember 2010. Kegiatan penelitian ini terdiri dari tiga proses, yaitu perancangan, pembuatan,

Lebih terperinci

Tugas akhir BAB III METODE PENELETIAN. alat destilasi tersebut banyak atau sedikit, maka diujilah dengan penyerap

Tugas akhir BAB III METODE PENELETIAN. alat destilasi tersebut banyak atau sedikit, maka diujilah dengan penyerap BAB III METODE PENELETIAN Metode yang digunakan dalam pengujian ini dalah pengujian eksperimental terhadap alat destilasi surya dengan memvariasikan plat penyerap dengan bahan dasar plastik yang bertujuan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. MEODOLOGI PENELIIAN A. EMPA DAN WAKU PENELIIAN Penelitian ini dilakukan di Lab. E, Lab. Egrotronika dan Lab. Surya Departemen eknik Mesin dan Biosistem IPB, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar BAB NJAUAN PUSAKA Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar 150.000.000 km, sangatlah alami jika hanya pancaran energi matahari yang mempengaruhi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis

Lebih terperinci

PENGUJIAN KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR UNTUK PEMANAS AIR LAUT DENGAN MEMBANDINGKAN PERFORMANSI KACA SATU DENGAN KACA BERLAPIS KETEBALAN 5MM SKRIPSI

PENGUJIAN KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR UNTUK PEMANAS AIR LAUT DENGAN MEMBANDINGKAN PERFORMANSI KACA SATU DENGAN KACA BERLAPIS KETEBALAN 5MM SKRIPSI PENGUJIAN KOLEKTOR SURYA PLAT DATAR UNTUK PEMANAS AIR LAUT DENGAN MEMBANDINGKAN PERFORMANSI KACA SATU DENGAN KACA BERLAPIS KETEBALAN 5MM SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

SISTEM PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNGAN. Fatmawati, Maksi Ginting, Walfred Tambunan

SISTEM PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNGAN. Fatmawati, Maksi Ginting, Walfred Tambunan SISTEM PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK PEMANAS AIR DENGAN MENGGUNAKAN KOLEKTOR PALUNGAN Fatmawati, Maksi Ginting, Walfred Tambunan Mahasiswa Program S1 Fisika Bidang Fisika Energi Jurusan Fisika Fakultas

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOLEKTOR PELAT DATAR SEBAGAI PEMANAS AIR ENERGI SURYA DENGAN JUMLAH PENUTUP SATU LAPIS DAN DUA LAPIS

PEMBUATAN KOLEKTOR PELAT DATAR SEBAGAI PEMANAS AIR ENERGI SURYA DENGAN JUMLAH PENUTUP SATU LAPIS DAN DUA LAPIS PEMBUATAN KOLEKTOR PELAT DATAR SEBAGAI PEMANAS AIR ENERGI SURYA DENGAN JUMLAH PENUTUP SATU LAPIS DAN DUA LAPIS D. Hayati 1, M. Ginting 2, W. Tambunan 3. 1 Mahasiswa Program Studi S1 Fisika 2 Bidang Konversi

Lebih terperinci

PENGARUH MODIFIKASI AERATOR KINCIR TIPE PEDAL LENGKUNG PADA PENINGKATAN KADAR OKSIGEN AIR. Oleh: SARI ROSMAWATI F

PENGARUH MODIFIKASI AERATOR KINCIR TIPE PEDAL LENGKUNG PADA PENINGKATAN KADAR OKSIGEN AIR. Oleh: SARI ROSMAWATI F PENGARUH MODIFIKASI AERATOR KINCIR TIPE PEDAL LENGKUNG PADA PENINGKATAN KADAR OKSIGEN AIR Oleh: SARI ROSMAWATI F14102049 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hardware Sistem Kendali Pada ISD Pada penelitian ini dibuat sistem pengendalian berbasis PC seperti skema yang terdapat pada Gambar 7 di atas. Pada sistem pengendalian ini

Lebih terperinci

UJI UNJUK KERJA PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK)

UJI UNJUK KERJA PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) UJI UNJUK KERJA PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) 4 Oleh : ALlEF RACHMANSYAH F.310115 1999 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE Studi Eksperimental Pengaruh Perubahan Debit Aliran... (Kristian dkk.) STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN DEBIT ALIRAN PADA EFISIENSI TERMAL SOLAR WATER HEATER DENGAN PENAMBAHAN FINNED TUBE Rio Adi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis Energi Unit Total Exist

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang   Jenis Energi Unit Total Exist 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan pokok bagi kegiatan sehari-hari, misalnya dalam bidang industri, dan rumah tangga. Saat ini di Indonesia pada umumnya masih menggunakan

Lebih terperinci

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL Oleh : DEWI RUBAEATUL ADAWIYAH F14103089 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENGUJIAN CIGARETTE SMOKE FILTER

BAB IV METODE PENGUJIAN CIGARETTE SMOKE FILTER BAB IV METODE PENGUJIAN CIGARETTE SMOKE FILTER 4.1 TUJUAN PENGUJIAN Tujuan dari pengujian Cigarette Smoke Filter ialah untuk mengetahui seberapa besar kinerja penyaringan yang dihasilkan dengan membandingkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. pengeringan tetap dapat dilakukan menggunakan udara panas dari radiator. Pada

III. METODOLOGI PENELITIAN. pengeringan tetap dapat dilakukan menggunakan udara panas dari radiator. Pada III. METODOLOGI PENELITIAN Alat pengering ini menggunakan sistem hibrida yang mempunyai dua sumber panas yaitu kolektor surya dan radiator. Saat cuaca cerah pengeringan menggunakan sumber panas dari kolektor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Temperatur udara masuk kolektor (T in ). T in = 30 O C. 2. Temperatur udara keluar kolektor (T out ). T out = 70 O C.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Temperatur udara masuk kolektor (T in ). T in = 30 O C. 2. Temperatur udara keluar kolektor (T out ). T out = 70 O C. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Spesifikasi Alat Pengering Surya Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan pada perancangan dan pembuatan alat pengering surya (solar dryer) adalah : Desain Termal 1.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Deskripsi Alat Pengering Yang Digunakan Deskripsi alat pengering yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Deskripsi Alat Pengering Yang Digunakan Deskripsi alat pengering yang digunakan dalam penelitian ini adalah : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Alat Pengering Yang Digunakan Deskripsi alat pengering yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Desain Termal 1. Temperatur udara masuk kolektor (T in ). T

Lebih terperinci

BAGIAN III PRINSIP-PRINSIP ESTIMASI BEBAN PENDINGIN TATA UDARA

BAGIAN III PRINSIP-PRINSIP ESTIMASI BEBAN PENDINGIN TATA UDARA BAGIAN III PRINSIP-PRINSIP ESTIMASI BEBAN PENDINGIN TATA UDARA UNIT 9 SUMBER-SUMBER PANAS Delapan unit sebelumnya telah dibahas dasar-dasar tata udara dan pengaruhnya terhadap kenyamanan manusia. Juga

Lebih terperinci

SUHU UDARA, SUHU TANAH Dan permukaan laut

SUHU UDARA, SUHU TANAH Dan permukaan laut SUHU UDARA, SUHU TANAH Dan permukaan laut OLEH NAMA : ANA MARIYANA BR SINAGA NPM : E1B009024 HARI / TANGGAL : RABU, 03 NOVEMBER 2010 KELOMPOK : IV CO-ASS : GATRA BAYU JAGA NOVA SAMOSIR PENDAHULUAN Suhu

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN KONVERSI ENERGI SURYA MENJADI ENERGI LISTRIK DENGAN MODEL ELEVATED SOLAR TOWER

RANCANG BANGUN KONVERSI ENERGI SURYA MENJADI ENERGI LISTRIK DENGAN MODEL ELEVATED SOLAR TOWER RANCANG BANGUN KONVERSI ENERGI SURYA MENJADI ENERGI LISTRIK DENGAN MODEL ELEVATED SOLAR TOWER Oleh: Zainul Hasan 1, Erika Rani 2 ABSTRAK: Konversi energi adalah proses perubahan energi. Alat konversi energi

Lebih terperinci

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Oleh L A F A M T O R O F 22. 1338 1992 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R IRFANTORO

Lebih terperinci

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG

Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Uil PENAMPILAN KOLEKTOR PLAT DATAR DENGAN MED[Ih PENVlMPAN AIR UMTUK PENGERlNGAN SELAl PISANG Oleh L A F A M T O R O F 22. 1338 1992 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R IRFANTORO

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian, Jurusan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian, Jurusan 1 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL PENGUJIAN dan PENGOLAHAN DATA

BAB IV. HASIL PENGUJIAN dan PENGOLAHAN DATA BAB IV HASIL PENGUJIAN dan PENGOLAHAN DATA Data hasil pengukuran temperatur pada alat pemanas air dengan menggabungkan ke-8 buah kolektor plat datar dengan 2 buah kolektor parabolic dengan judul Analisa

Lebih terperinci

SOLUSI VENTILASI VERTIKAL DALAM MENDUKUNG KENYAMANAN TERMAL PADA RUMAH DI PERKOTAAN

SOLUSI VENTILASI VERTIKAL DALAM MENDUKUNG KENYAMANAN TERMAL PADA RUMAH DI PERKOTAAN SOLUSI VENTILASI VERTIKAL DALAM MENDUKUNG KENYAMANAN TERMAL PADA RUMAH DI PERKOTAAN Ronim Azizah, Qomarun Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL & ANALISIS

BAB 4 HASIL & ANALISIS BAB 4 HASIL & ANALISIS 4.1 PENGUJIAN KARAKTERISTIK WATER MIST UNTUK PEMADAMAN DARI SISI SAMPING BAWAH (CO-FLOW) Untuk mengetahui kemampuan pemadaman api menggunakan sistem water mist terlebih dahulu perlu

Lebih terperinci

V. PERCOBAAN. alat pengering hasil rancangan, berapa jenis alat ukur dan produk gabah sebagai

V. PERCOBAAN. alat pengering hasil rancangan, berapa jenis alat ukur dan produk gabah sebagai BAB V PERCOBAAN V. PERCOBAAN 5.1. Bahan dan alat Bahan dan peralatan yang digunakan dalam percobaan ini terdiri dari model alat pengering hasil rancangan, berapa jenis alat ukur dan produk gabah sebagai

Lebih terperinci

DESAIN SISTEM KONTROL PENGERING SURYA DAN HEATER

DESAIN SISTEM KONTROL PENGERING SURYA DAN HEATER DESAIN SISTEM KONTROL PENGERING SURYA DAN HEATER Teguh Prasetyo Teknik Industri, Universitas Trunojoyo Jl. Raya Telang, Bangkalan, Madura, Indonesia e-mail: tyo_teguhprasetyo@yahoo.com ABSTRAK Dalam suatu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penentuan parameter. perancangan. Perancangan fungsional dan struktural. Pembuatan Alat. pengujian. Pengujian unjuk kerja alat

METODE PENELITIAN. Penentuan parameter. perancangan. Perancangan fungsional dan struktural. Pembuatan Alat. pengujian. Pengujian unjuk kerja alat III. METODE PENELITIAN A. TAHAPAN PENELITIAN Pada penelitian kali ini akan dilakukan perancangan dengan sistem tetap (batch). Kemudian akan dialukan perancangan fungsional dan struktural sebelum dibuat

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini diuraikan mengenai analisis dan interpretasi hasil perhitungan dan pengolahan data yang telah dilakukan pada bab IV. Analisis dan interpretasi hasil akan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 26 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Simulasi Model Pengering dengan Gambit 5.1.1. Bentuk domain 3D model pengering Bentuk domain 3D ruang pengering diperoleh dari proses pembentukan geometri ruang pengering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci

BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN 30 BAB 4 HASL DAN PEMBAHASAN 4.1 UPAL-REK Hasil Rancangan Unit Pengolahan Air Limbah Reaktor Elektrokimia Aliran Kontinyu (UPAL - REK) adalah alat pengolah air limbah batik yang bekerja menggunakan proses

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TEMPERATUR DAN ALIRAN LARUTAN NUTRISI TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) PADA SISTEM HIDROPONIK NUTRIENT FILM TECHNIQUE (NFT)

KARAKTERISTIK TEMPERATUR DAN ALIRAN LARUTAN NUTRISI TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) PADA SISTEM HIDROPONIK NUTRIENT FILM TECHNIQUE (NFT) KARAKTERISTIK TEMPERATUR DAN ALIRAN LARUTAN NUTRISI TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) PADA SISTEM HIDROPONIK NUTRIENT FILM TECHNIQUE (NFT) OLEH : DEWI NURNA WAHYUNININGSIH F14103055 2007 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1 BAB I PENDAHULUAN Klimatologi berasal dari bahasa Yunani di mana klima dan logos. Klima berarti kemiringan (slope) yang diarahkan ke lintang tempat, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi definisi klimatologi

Lebih terperinci

INTISARI. iii. Kata kunci : Panas, Perpindahan Panas, Heat Exchanger

INTISARI. iii. Kata kunci : Panas, Perpindahan Panas, Heat Exchanger INTISARI Panas adalah salah satu bentuk energi yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan sama sekali. Dalam suatu proses, panas dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

Analisis Performa Kolektor Surya Pelat Bersirip Dengan Variasi Luasan Permukaan Sirip

Analisis Performa Kolektor Surya Pelat Bersirip Dengan Variasi Luasan Permukaan Sirip Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Vol. 4 No.2. Oktober 2010 (88-92) Analisis Performa Kolektor Surya Pelat Bersirip Dengan Variasi Luasan Permukaan Sirip Made Sucipta, I Made Suardamana, Ketut Astawa Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan air panas pada saat ini sangat tinggi. Tidak hanya konsumen rumah tangga yang memerlukan air panas ini, melainkan juga rumah sakit, perhotelan, industri,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Iklim Mikro Rumah Tanaman Tipe Standard Peak Selama 24 jam Struktur rumah tanaman berinteraksi dengan parameter lingkungan di sekitarnya menghasilkan iklim mikro yang khas.

Lebih terperinci

KAJIAN KINERJA JARINGAN IRIGASI TETES UNTUK BUDIDAYA BUNGA KASTUBA

KAJIAN KINERJA JARINGAN IRIGASI TETES UNTUK BUDIDAYA BUNGA KASTUBA Skripsi KAJIAN KINERJA JARINGAN IRIGASI TETES UNTUK BUDIDAYA BUNGA KASTUBA ( Euphorbia phulcherrima) DENGAN SISTEM HIDROPONIK DI PT SAUNG MIRWAN BOGOR Oleh: LENI ANDRIANI F14103028 2007 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III PEMBUATAN ALAT UJI DAN METODE PENGAMBILAN DATA

BAB III PEMBUATAN ALAT UJI DAN METODE PENGAMBILAN DATA BAB III PEMBUATAN ALAT UJI DAN METODE PENGAMBILAN DATA Untuk mendapatkan koefisien gesek dari saluran pipa berpenampang persegi, nilai penurunan tekanan (pressure loss), kekasaran pipa dan beberapa variabel

Lebih terperinci

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN BAB 3 14 Variasi Suhu Udara Harian Pemanasan Siang Hari Pemanasan permukaan bumi pada pagi hari secara konduksi juga memanaskan udara di atasnya. Semakin siang, terjadi perbedaan suhu yang besar antara

Lebih terperinci

Pengaruh Sudut Kemiringan Kolektor Surya Pelat Datar terhadap Efisiensi Termal dengan Penambahan Eksternal Annular Fin pada Pipa

Pengaruh Sudut Kemiringan Kolektor Surya Pelat Datar terhadap Efisiensi Termal dengan Penambahan Eksternal Annular Fin pada Pipa JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (215 ISSN: 2337-3539 (231-9271 Print B-31 Pengaruh Sudut Kemiringan Kolektor Surya Pelat Datar terhadap Efisiensi Termal dengan Penambahan Eksternal Annular Fin pada Pipa

Lebih terperinci

BAB III PERALATAN DAN PROSEDUR PENGUJIAN

BAB III PERALATAN DAN PROSEDUR PENGUJIAN BAB III PERALATAN DAN PROSEDUR PENGUJIAN 3.1 PERANCANGAN ALAT PENGUJIAN Desain yang digunakan pada penelitian ini berupa alat sederhana. Alat yang di desain untuk mensirkulasikan fluida dari tanki penampungan

Lebih terperinci

ULANGAN AKHIR SEMESTER GENAP (UAS) TAHUN PELAJARAN Mata Pelajaran : Fisika Kelas / Program : X Hari / Tanggal : Jumat / 1 Juni 2012

ULANGAN AKHIR SEMESTER GENAP (UAS) TAHUN PELAJARAN Mata Pelajaran : Fisika Kelas / Program : X Hari / Tanggal : Jumat / 1 Juni 2012 ULANGAN AKHIR SEMESTER GENAP (UAS) TAHUN PELAJARAN 2011 2012 Mata Pelajaran : Fisika Kelas / Program : X Hari / Tanggal : Jumat / 1 Juni 2012 Waktu : 120 Menit Petunjuk: I. Pilihlah satu jawaban yang benar

Lebih terperinci

Radiasi ekstraterestrial pada bidang horizontal untuk periode 1 jam

Radiasi ekstraterestrial pada bidang horizontal untuk periode 1 jam Pendekatan Perhitungan untuk intensitas radiasi langsung (beam) Sudut deklinasi Pada 4 januari, n = 4 δ = 22.74 Solar time Solar time = Standard time + 4 ( L st L loc ) + E Sudut jam Radiasi ekstraterestrial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Tinjauan tentang aplikasi sistem pengabutan air di iklim kering Sebuah penelitian dilakukan oleh Pearlmutter dkk (1996) untuk mengembangkan model

Lebih terperinci

5 HASIL. kecepatan. dan 6 Sudu. dengan 6 sudu WIB, yaitu 15,9. rata-rata yang. sebesar 3,0. dihasilkan. ampere.

5 HASIL. kecepatan. dan 6 Sudu. dengan 6 sudu WIB, yaitu 15,9. rata-rata yang. sebesar 3,0. dihasilkan. ampere. 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengamatan Kecepatan Angin pada Turbin Angin dengan 3 Sudu dan 6 Sudu Padaa saat melakukan uji coba turbin dengan 3 sudu maupun dengan 6 sudu terdapat beberapa variabel

Lebih terperinci

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Variasi Suhu Udara Harian Bagaimana Suhu Lingkungan Diatur? Data Suhu Udara Suhu Udara dan Rasa Nyaman Pengukuran Suhu Udara Variasi Suhu Udara

Lebih terperinci

SELAMAT ATAS PILIHAN ANDA MENGGUNAKAN LEMARI PENDINGIN (REFRIGERATOR) DOMO

SELAMAT ATAS PILIHAN ANDA MENGGUNAKAN LEMARI PENDINGIN (REFRIGERATOR) DOMO SELAMAT ATAS PILIHAN ANDA MENGGUNAKAN LEMARI PENDINGIN (REFRIGERATOR) DOMO Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. Bacalah buku petunjuk pengoperasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENGERINGAN Pengeringan adalah proses pengurangan kelebihan air yang (kelembaban) sederhana untuk mencapai standar spesifikasi kandungan kelembaban dari suatu bahan. Pengeringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan bahasa pemograman Delphi 3 yang dijalankan dibawah System

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan bahasa pemograman Delphi 3 yang dijalankan dibawah System BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11.1. PROGRAM KOMPUTER KONSENTRATOR Program komputer Konsentrator dibuat oloh Defrianto {2000), dengan menggunakan bahasa pemograman Delphi 3 yang dijalankan dibawah System operasi

Lebih terperinci

RANCANGBANGUN DAN UJI PERFORMANSI UNIT VHT (VAPOR HEAT TREATMENT) UNTUK PENANGANAN PASCAPANEN PEPAYA

RANCANGBANGUN DAN UJI PERFORMANSI UNIT VHT (VAPOR HEAT TREATMENT) UNTUK PENANGANAN PASCAPANEN PEPAYA RANCANGBANGUN DAN UJI PERFORMANSI UNIT VHT (VAPOR HEAT TREATMENT) UNTUK PENANGANAN PASCAPANEN PEPAYA Oleh : ARIS SETYAWAN F14104108 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RANCANGBANGUN

Lebih terperinci

BAB III PEMBUATAN ALAT Tujuan Pembuatan Tujuan dari pembuatan alat ini yaitu untuk mewujudkan gagasan dan

BAB III PEMBUATAN ALAT Tujuan Pembuatan Tujuan dari pembuatan alat ini yaitu untuk mewujudkan gagasan dan BAB III PEMBUATAN ALAT 3.. Pembuatan Dalam pembuatan suatu alat atau produk perlu adanya sebuah rancangan yang menjadi acuan dalam proses pembuatanya, sehingga kesalahan yang mungkin timbul dapat ditekan

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Tempat dan waktu penelitian yang telah dilakukan pada penelitian ini adalah

III. METODELOGI PENELITIAN. Tempat dan waktu penelitian yang telah dilakukan pada penelitian ini adalah III. METODELOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian yang telah dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Tempat penelitian Penelitian dan pengambilan

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN PENGUJIAN ALAT UNTUK MENENTUKAN KONDUKTIVITAS PLAT SENG, MULTIROOF DAN ASBES

PEMBUATAN DAN PENGUJIAN ALAT UNTUK MENENTUKAN KONDUKTIVITAS PLAT SENG, MULTIROOF DAN ASBES PEMBUATAN DAN PENGUJIAN ALAT UNTUK MENENTUKAN KONDUKTIVITAS PLAT SENG, MULTIROOF DAN ASBES Ersi Selparia *, Maksi Ginting, Riad Syech Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 10, 15 DAN 20 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN GURAMI Osphronemus goramy LAC.

PENGARUH PADAT PENEBARAN 10, 15 DAN 20 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN GURAMI Osphronemus goramy LAC. PENGARUH PADAT PENEBARAN 10, 15 DAN 20 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN GURAMI Osphronemus goramy LAC. UKURAN 2 CM Oleh : Giri Maruto Darmawangsa C14103056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci