PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN"

Transkripsi

1 PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN DEWI FARAH DIBA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Air Tawar (Cuora amboinensis) di Perairan Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor Agustus 2009 Dewi Farah Diba NIM G

3 ABSTRACT DEWI FARAH DIBA. Prevalence and Intensity of Endoparasite Infestation in Terrapin Turtle Based on the Results of Feces Analysis (Cuora amboinensis) at the South Sulawesi River. Under the Supervision of R. R. DYAH PERWITASARI and ACHMAD FARAJALLAH Parasite is an organism that lives in another organism. A parasitic symbiosis could occur in turtles. Turtles can become the hosts of parasites. Parasites are classified into the phylum of Apicomplexa, Acanthocephala, Nematode, Platyheliminthes and Arthropod. The objectives of this study were to identify the endoparasite in the feces of turtles, measure the prevalence and intensity values and examine the specific pattern of relationship between parasites and hosts. Some turtles (Cuora amboinensis) were caught from five areas (water) in South Sulawesi, namely Makassar, Watampone, Luwu Timur, Bulukumba and Luwu Utara. Endoparasites were collected from the feces of the turtles and prepared with the use of eosin staining. The research found that four turtles were infested with endoparisitic worms. The endoparasite, which is classified into the phylum of Platyheliminthes, had the prevalence value of 0.88% and intensity of 1.75 parasites/host. The parasitic pattern of parasite against hosts was specific and of multi-hosts. Keyword : Cuora, feces parasite, host-parasite, specificity.

4 RINGKASAN DEWI FARAH DIBA. Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-kura Air Tawar (Cuora amboinensis) Di Perairan Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh R. R DYAH PERWITASARI, ACHMAD FARAJALLAH Parasit merupakan organisme yang menumpang hidup pada organisme lain. Simbiosis parasitisme terjadi pada kura-kura. Kura-kura adalah inang untuk beberapa jenis parasit, diantaranya adalah Apicomplexa, Acanthocephala, Nematoda, Platyhelminthes dan Arthropoda. Feses inang dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan endoparasit. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan identifikasi jenis parasit berdasarkan hasil analisis feses Cuora amboinensis, mengkaji nilai prevalensi dan intensitas endoparasit feses Cuora amboinensis dan pola spesifitas parasit terhadap inang. Penangkapan kura-kura telah dilakukan selama lima bulan (Maret-Juli 2007) dan Mei 2008 di lima perairan Sulawesi Selatan meliputi Makassar, Watampone, Luwu Timur, Bulukumba dan Luwu Utara. Jenis kura-kura yang di koleksi adalah Cuora amboinensis tergolong ke dalam famili Geomydidae. Parasit di koleksi dari feses dan dipreparasi di Bagian Biosistematik dan Ekologi Hewan Departmen Biologi, FMIPA-IPB. Preparasi spesimen menggunakan pewarnaan eosin. Hasil menunjukkan bahwa hanya ada empat ekor dari 40 ekor Cuora amboinensis yang terinfestasi oleh endoparasit. Endoparasit pada feses adalah Platyhelminthes. Cacing endoparasit ditemukan sebanyak tujuh ekor. Nilai prevalensi adalah 0.88% dan intensitas 1.75 parasit/inang. Pola spesifitas adalah spesifik dan multi parasit. Kata Kunci : Cuora, inang-parasit, parasit feses, spesifitas.

5 Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karay tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN DEWI FARAH DIBA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

7 Judul Tesis : Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Air Tawar (Cuora amboinensis) Di Perairan Sulawesi Selatan Nama : Dewi Farah Diba NIM : G Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. R.R.Dyah Perwitasari, M.Sc Ketua Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Pascasarjana Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 30 Juli 2009 Tanggal Lulus:

8 KARYA ILMIAH INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK AYAHANDA DAN IBUNDA TERCINTA

9 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan Berkat-Nya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Magister di Institut Pertanian Bogor. Adapun judul penelitian ini adalah Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Ait Tawar (Cuora amboinensis) Di Perairan Sulawesi Selatan. Penelitian ini telah dilakukan dari Maret sampai Juli 2007 dan Mei Preparasi spesimen, identifikasi dan analisis data telah dilakukan dari bulan Juni sampai November Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. R.R.Dyah Perwitasari, M.Sc dan Dr. Ir. Achmad Farajallah selaku pembimbing dan Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA selaku penguji luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih kepada Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA sebagai ketua program studi Biologi dan seluruh staf pengajar serta staf teknis laboran di laboratorium Zoologi program studi Biologi IPB atas bimbingan dan pengarahan selama penulis mengikuti perkuliahan. Teristimewa buat ayahanda Drs. Dg Idris M, M.Si dan ibunda Ernina Dewi S.S serta adinda Wildan Erfandi Rahman yang selalu memberikan dorongan dan semangat juang bagi penulis selama kuliah sampai selesainya penulisan tesis ini. Kiranya Allah SWT berkenan memberikan rahmat-nya atas segala budi baik yang diberikan kepada penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Agustus 2009 Dewi Farah Diba

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Oktober 1982 di Ujungpandang Sulawesi Selatan, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Nama ayah Drs. Dg Idris Muhyiddin, M.Si dan ibu Ernina Dewi S.S. S.Pd Riwayat pendidikan telah penulis tempuh dalam mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun Judul karya ilmiah yang ditulis sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana adalah Histopatologi Badan Malpighi Ginjal Mencit (Mus musculus) Akibat Pemberian Parasetamol. Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Program Studi Biologi Pascasarjana IPB.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN.xiii PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas 3 Karakteristik kura-kura sebagai inang 4 Cuora amboinensis 5 Hewan-hewan Parasit.. 6 Karakteristik Wilayah Penelitian BAHAN DAN METODE Penangkapan Kura-kura dan Koleksi Feses Kepastian Spesies Inang Koleksi, Preparasi dan Identifikasi Endoparasit pada Feses 11 Analisis Data HASIL Daerah Penangkapan dan Kepastian Inang.. 13 Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis Prevalensi dan Intensitas Infetasi Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis PEMBAHASAN Daerah Penyebaran Cuora amboinensis. 20 Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis. 20 Prevalensi dan Intensitas KESIMPULAN DAN SARAN 24 DAFTAR PUSTAKA. 25

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Lokasi Penangkapan dan Jumlah Cuora amboinensis yang Tertangkap Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis Prevalensi dan Intensitas Cacing Endoparasit.. 19

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Cuora amboinensis Sistem pencernaan Kura-kura Garis Wallace Peta Lokasi Penangkapan Kura-kura Anakan Sungai Tallo Makassar Anakan Sungai Tamata Watampone Anakan Sungai Magege Luwu Timur Persawahan Bulukumba Anakan Sungai Suso Luwu Utara Morfologi Cuora amboinensis Cacing tipe 1 : (a & b) Cacing dari C. amboinensis Luwu Timur Cacing tipe 1 : (c) cacing dari C. amboinensis Bulukumba dan (d) Cacing dari C. amboinensis Bulukumba Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Watampone Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Luwu Timur 18

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Identifikasi Kura-kura Berdasarkan Iskandar (2000) Daftar Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis 31

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam suatu komunitas terdapat berbagai bentuk interaksi. Interaksi terjadi di antara makhluk hidup yang satu dan yang lainnya dan menciptakan suatu simbiosis. Simbiosis secara luas diartikan sebagai interaksi antara dua individu yang berlainan spesies. Bentuk simbiosis yaitu simbiosis mutualisme, simbiosis komensalisme dan simbiosis parasitisme. Simbiosis mutualisme merupakan interaksi antara dua individu yang saling menguntungkan. Simbiosis komensalisme adalah bentuk interaksi di antara dua individu yang tidak saling menguntungkan maupun merugikan. Simbiosis parasitisme adalah interaksi yang merugikan karena satu spesies beruntung karena mendapat makanan dari spesies yang ditumpanginya dan spesies tersebut akan menderita kerugian karenanya (Brotowidjoyo, 1987). Simbiosis mutualisme dan parasitisme merupakan faktor penting dalam fungsi ekologi dan proses evolusi. Simbiosis parasitisme tercipta antara kelompok herpetofauna dan parasitnya. Herpetofauna merupakan semua jenis hewan yang tergolong dalam kelas Amphibia dan Reptilia. Kura-kura adalah jenis reptilia (Goin & Zug 1993, Iskandar 2000). Secara popular Ernst & Barbour (1989) membedakan bangsa kura-kura menjadi empat kelompok berdasarkan habitat dan morfologinya, yaitu penyu merupakan kura-kura yang hidup dilaut (sea turtle), tortoise adalah kurakura yang hidup di darat, terrapin adalah kura-kura air tawar dan labi-labi atau bulus adalah kura-kura yang berperisai lunak (soft shelled turtle). Kehidupan kura-kura air tawar juga di pengaruhi oleh adanya parasit. Synder & Clopton (2005) melaporkan bahwa kura-kura merupakan inang bagi beberapa spesies parasit, diantaranya, Apicomplexa, Acanthocephala, Nematoda, Platyhelminthes dan beberapa jenis Arthropoda. Beberapa laporan mengenai keberadaan parasit pada C. amboinensis telah dipublikasikan. Primiati (2000) melaporkan C. amboinensis di penangkaran Banten terinfestasi oleh cacing ektoparasit yang tergolong ke dalam super famili Gyrodactiloidea, Tetraoncoidea, Acanthocotyloidea dan Dactylogroidea dengan nilai prevalensi mencapai 100% dan intensitas 4.21.

16 Menurut cara hidupnya, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit dan endoparasit (Sains & Hartini, 1999). Ektoparasit adalah parasit yang hidup di permukaan luar tubuh inang dan umumnya berasal dari anggota Filum Platyhelminthes, Nemathelminthes dan Arthropoda. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang yang umumnya termasuk ke dalam Filum Platyheminthes, Nemathelminthes dan Protozoa. Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam macam-macam sistem peralatan tubuh yaitu sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan sistem respirasi. Berdasarkan habitat parasit dalam tubuh inang maka analisis endoparasit dapat dilakukan melalui feses. Marquard & Petersen (2007) menyatakan bahwa feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit yang hidup di saluran pencernaan. Infestasi parasit pada inangnya memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi inang. Pada tingkatan yang lebih ringan parasit menganggu ketersediaan dan dinamika sumberdaya daripada inang. Parasit menjadi salah satu faktor pengendali pertumbuhan populasi inang (Newey et al. 2005). Informasi tentang prevalensi dan pola spesifitas parasit yang menyerang kura-kura merupakan database biologi yang penting dan dapat memperkaya informasi ilmiah terutama terhadap hubungan antara inang-parasit. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis parasit yang terdapat di feses Cuora amboinensis, mengkaji nilai prevalensi dan intensitas endoparasit feses Cuora amboinensis, serta mengkaji pola spesifitas parasit terhadap inang.

17 TINJAUAN PUSTAKA Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas Simbiosis atau interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan dalam suatu ekosistem. Simbiosis bisa dikelompokkan berdasarkan untung dan rugi antara spesies-spesies yang bersimbiosis. Beberapa jenis simbiosis yaitu simbiosis mutualisme merupakan interaksi di antara dua spesies yang saling menguntungkan, simbiosis komensalisme merupakan interaksi dua spesies yang tidak saling menguntungkan ataupun merugikan dan simbiosis parasitisme (Brotowidjoyo 1987). Parasit merupakan organisme yang menumpang hidup pada organisme lain yang disebut dengan inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan makanan dan perlindungan dari spesies yang ditumpanginya. Kehadiran parasit dalam tubuh inang dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar atau lingkungan meliputi habitat dan lingkungan inang serta kesediaan makanan yang cukup bagi inang untuk menunjang kehidupan parasit. Faktor dalam meliputi kondisi tubuh inang tempat parasit bermukim yakni diorgan tubuh (Sprent 1963). Inang berperan penting di alam dalam penentuan kehadiran parasit. Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu jenis parasit pada satu atau beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan ekologi yang sempit pada inangnya saja.. inang, selain mengganggu kehidupan inang, parasit juga berperan sebagai pengontrol dinamika produksi inang (Newey et al. 2005) Kennedy (1975) menjelaskan bahwa ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan lingkungan habitatnya. Ekologi parasit meliputi distribusi parasit dengan tekanan pada sumber makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Pada umumnya parasit tidak terdapat pada berbagai jenis inang atau parasit itu memiliki inang pilihan. Secara alami parasit itu menunjukkan derajat preferensi inang. Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis yang diperoleh oleh moyangnya dan diturunkan pada progeninya. Makin tinggi derajat preferensi itu menyebabkan adanya spesifitas inang (Brotowidjoyo 1987).

18 Little et al. (2006) menyatakan bahwa infeksi maupun infestasi parasit terhadap inang bersifat luas dan memiliki spesifitas. Parasit tersebut hanya akan menyerang satu atau sejumlah kecil inang. Spesifitas terjadi karena adanya adaptasi lokal parasit terhadap populasi inang. Mekanisme spesifitas sangat tergantung pada distribusi geografi antara inang dan parasitnya. Spesifitas tergolong atas tiga bagian yaitu spesifik yaitu parasit hanya akan menyerang satu inang tertentu, multi inang yaitu satu jenis parasit itu dapat menyerang berbagai kelompok hewan dan multi parasit terjadi bila satu inang dapat di jumpai berbagai jenis parasit (Sudina 2000; Yasa & Guntoro 2004 ). Prevalensi merupakan persentase jenis parasit yang menginfestasi kurakura. Prevalensi berhubungan dengan habitat, penyebaran dan sumber perairan (Pramiati 2002). Intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi kura-kura. prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang merupakan suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi Karakteristik kura-kura sebagai inang Kura-kura merupakan salah satu anggota dari kelompok herpetofauna. Herpetofauna merupakan semua hewan yang termasuk dalam kelas hewan melata yaitu kelas Amphibia dan Reptilia. Herpetofauna berasal dari kata herpeton yang berarti hewan yang berjalan merayap (Goin & Zug 1993). Secara umum kura-kura dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok Cryptodira yang umumnya dapat memasukkan kepala ke dalam perisainya dan kelompok Pleurodira yang kepala dan lehernya hanya dibelokkan ke samping apabila bersembunyi. Kura-kura kelompok Pleurodira dapat mudah dikenali. Selain dari lehernya yang tidak dapat dimasukkan ke dalam perisainya, juga dari bagian perisai perutnya yang mempunyai keping intergular (Ernst & Barbour 1989). Morfologi kura-kura mudah dikenali dengan adanya perisai punggung dan perisai perut. Ciri-ciri luar seperti keping perisai, kepala, sisik dan warna merupakan pilihan yang termuda dan cukup handal untuk mengidentifikasi kura-kura.

19 Cuora amboinensis Cuora amboinensis atau yang dikenal dengan nama Southeast Asian Box Turtle C. amboinensis (Daudin, 1802), Wallacean Box Turtle C. a. amboinensis (Daudin, 1802), Malayan Box Turtle C. a. kamaroma Rummler and Fritz 1991, Indonesian Box Turtle C. a. couro (Schweigger, 1812), Burmese Box Turtle C. a. lineata McCord and Philippen, Di Indonesia, kura-kura air tawar secara umum dikenal dengan nama Kura Kura, nama khas tergantung kepada nama daerah tempat kura-kura tersebut, misalnya: Kura Kura ambon, Kura Kura kuning, Kura Kura batok, Kura Kura PD, Baning Banya, Kura Kurakatup, Kura kura tangkop, Kangkop (Schoppe 2008). Cuora amboinensis merupakan salah satu anggota kelompok terrapin atau kura-kura air tawar. Cuora amboinensis memiliki ciri antara lain bentuk karapas yang relatif tinggi dengan tiga buah lunas pada keping vertebral dan keping kostal. Urutan panjang keping vertebral 2 > 3 > 1 > 4 > 5 sedangkan urutan panjang hubungan antara plastron adalah abdominal >< anal > pectoral > gular > femoral > humeral. Keping inguinal dan aksilar sangat kecil, keping anal tidak berlekuk pada bagian belakang.. Ekor pendek, anggota tubuh mempunyai jari-jari yang berselaput, hewan jantan mempunyai plastron yang cekung dan ekor yang lebih tebal sedangkan yang betina mempunyai plastron yang datar dan ekor yang pendek. Besarnya dapat mencapai 20 cm (Ernst & Barbour 1989; Iskandar 2000). Warna karapas coklat hingga hitam, plastron pada umumnya berwarna putih atau krem putih dengan bercak hitam pada setiap kepingnya, pada kepala terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala sangat spesifik, matanya mempunyai iris berwarna kuning dan hitam pada sisinya. Gambar 1. Cuora amboinensis

20 Cuora amboinensis menyukai habitat perairan yang dangkal dan berarus sedang, selain di sungai, cuora ini dapat di jumpai pada rawa, persawahan dan laut (Iskandar, 2000). Senneka & Tabaka (2004) menyatakan lingkungan perairan yang menjadi habitat C. amboinensis memiliki kisaran suhu antara C. Cuora merupakan salah satu spesies yang mendiami habitat semi aquatik tetapi untuk juvenil selalu berada di dalam air (Taylor 1920). Cuora amboinensis menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan, dan naik ke darat untuk berjemur dan membuat sarang. Murray (2004) menyatakan penyebaran C. amboinensis meliputi India (pulau Nicobar, Assam), Bangladesh, Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia Singapura, Filipina. Penyebaran C. amboinensis di Indonesia meliputi daerah Sumatra, Jawa, Borneo, Nias, Enggano, Simeulue, Sumbawa, Halmahera, Seram, Maluku dan Sumbawa (Iskandar 2000). Cuora amboinensis termasuk ke dalam hewan dengan status konservasi apendix II sites dengan status Vulnerable, tetapi walaupun hewan ini tidak dikategorikan sebagai hewan langka namun di eksploitasi dan dimanfaatkan secara besar-besaran sehingga mengandung resiko kepunahan (CITES, Apendiks I dan II). Hewan-hewan Parasit Kelompok hewan yang bersifat parasit ini tergolong ke dalam Filum Protozoa, Filum Platyhelminthes, Filum Nemathelminthes dan Filum Arthropoda. Parasit ini terdapat di permukaan luar tubuh dan hidup di dalam tubuh (Sains & Hartini 1999). Protozoa merupakan hewan uniseluler yang berukuran mikroskopis dan bersifat parasit pada beberapa spesies hewan invertebrata maupun vertebrata (Semans 2006). Filum Platyhelminthes dan Nemathelminthes tergolong ke dalam kelompok cacing. Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani yakni platys berarti pipih dan helmiths yang berarti cacing (Romimohtarto, 2005). Ciri khas lain yang dapat dijumpai adalah hewan tidak beruas, simetri bilateral, tidak mempunyai anus maupun rongga tubuh atau selom, hermafrodit, dapat hidup bebas di dalam

21 air sungai dan di laut ataupun hidup parasit pada tubuh hewan lain (Mollaret 2006). Ciri yang lain adalah berukuran lebih kecil dari 10mm pada beberapa jenis. Makanan berupa hewan-hewan invertebrata kecil (Brown 1979) Nematoda merupakan anggota filum Nemathelminthes. Karakteristik nematoda adalah mempunyai saluran usus dan rongga badan, berbentuk bulat tidak bersegmen, tubuhnya dilapisi oleh kutikula. Ciri lain ditandai dengan adanya sebuah mulut pada ujung anterior, mulut dikelilingi oleh bibir. Arthropoda memiliki anggota kelompok yang bersifat vektor parasit dan ada juga yang hidup bebas di alam. Karakteristik hewan ini adalah tubuhnya berbuku-buku, memilik eksoskeleton, berhabitat di darat maupun di perairan (Cable 1997). Berdasarkan habitat parasit dalam tubuh inang maka analisis endoparasit dapat dilakukan melalui feses. Marquard & Petersen (2007) menyatakan bahwa feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit yang hidup di saluran pencernaan. Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam sistem tubuh inang yaitu sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan sistem respirasi. Dalam sistem pencernaan, parasit dapat dijumpai dalam saluran dan dinding saluran pencernaan, yaitu duodenum, ileum, yeyunum, sekum, kolon dan rektum. Parasit-parasit yang mendiami saluran dan dinding saluran pencernaan memperoleh makanannya dengan cara mengabsorpsi makanan yang terlarut di dinding sel dan di jaringan tersebut. Organ paru-paru dalam sistem respirasi merupakan organ lintasan bagi cacing nematoda dan merupakan tempat berbiaknya larva trematoda. Sistem pencernaan pada kura-kura (Gambar 2) terdiri dari mulut, kerongkongan, lambung, usus dan kloaka. Di dalam saluran pencernaan inilah parasit bermukim, khususnya di bagian usus.

22 Gambar 2. Sistem pencernaan kura-kura Karakteristik Wilayah Penelitian Pulau Sulawesi atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Celebes merupakan salah satu pulau besar Indonesia. Sulawesi merupakan pulau kelima terbesar di Indonesia. Pulau ini terbentuk sebagai akibat benturan beberapa patahan benua Gondwana tiga juta tahun yang lalu (Lang & Vogel, 2006). Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng yaitu Australia, Eurasia dan Pasifik. Pertemuan ketiga lempeng tersebut membentuk pulau di zaman Eocene. Sulawesi terletak diantara Borneo dan Maluku dan juga terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia. Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyarankan garis pemisah fauna yang dikenal sebagai garis Wallace (Gambar 3). Garis ini memisahkan wilayah zoogeografi Oriental dan Australia garis ini memisahkan sebagian besar fauna Asia dan Australia (Cox & Moore 2000).

23 Gambar 3. Garis Wallace Fauna dan flora yang mendiami pulau Sulawesi merupakan hewan transisi bersifat khas dan memiliki tingkat endemisitas tinggi. Tingkat endemisitas yang tinggi pada fauna terdapat dalam kelompok mamalia, amphibia, dan invertebrata. Pulau ini memiliki daratan yang luas dan sejumlah kepulauan dengan topografi dan ekosistem yang beragam (Whitten et al. 1987; Gillespie et al. 2005). Iskandar & Tjan 1996 melaporkan terdapat 115 taksa reptilia yang bersifat endemik di pulau ini. Salah satu propinsi di Sulawesi yakni Propinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0o12-8o Lintang Selatan dan 116o48 122o36 Bujur Timur dengan luas wilayah berkisar ,56 km2 yang meliputi 22 kabupaten dan 3 kota.

24 BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penangkapan kura-kura dan koleksi feses dilaksanakan dari bulan Maret Juli 2007 dan Mei 2008 di perairan Sulawesi Selatan. Tahap kedua adalah preparasi spesimen, identifikasi dan analisis endoparasit yang dilaksanakan di Bagian Biosistematik dan Ekologi Hewan Departmen Biologi, FMIPA-IPB dari bulan Juni November Penangkapan Kura-kura dan Koleksi Feses Penelitian diawali dengan kegiatan survei yang dilakukan berdasarkan informasi dari masyarakat setempat berkaitan dengan keberadaan kura kura di daerah Sulawesi Selatan. Eksplorasi lapangan telah dilakukan di lima perairan di Sulawesi Selatan (Gambar 3) yang meliputi Anakan Sungai Tallo Kotamadya Makassar, Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone, Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur, persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba dan Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara. Gambar 3. Peta lokasi penangkapan kura-kura Keterangan: A. Anakan sungai Tallo Kotamadya Makassar B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur D. Persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba E. Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara.

25 Kepastian Spesies Inang Pengumpulan spesimen kura kura dilakukan dengan metode penangkapan langsung menggunakan tangan dan metode penangkapan tidak langsung dengan jaring. Jaring yang digunakan adalah jaring berumpan (baited trapping) dan jaring tanpa menggunakan umpan (non baited trapping) (Michael & Plummer, 1976). Kura-kura di tangkap di daerah anakan sungai dengan perairan yang dangkal, berpasir, berlumpur dan berbatu Identifikasi jenis kura kura ditujukan untuk mendapatkan kepastian spesies kura-kura sebagai Cuora amboinensis. Proses identifikasi menggunakan buku kunci identifikasi Iskandar (2000) (Lampiran 1). Karakter morfologi yang menjadi kunci identifikasi meliputi bentuk perisai karapas dan plastron, bentuk kaki, bentuk khusus pada bagian kepala dan warna tubuh, Iskandar (2000). Koleksi, Preparasi dan Identifikasi Parasit pada Feses Kura-kura diletakkan dalam wadah yang terpisah dan kemudian dilanjutkan dengan mengkoleksi feses kura-kura. Pengambilan feses dilakukan pada setiap individu per hari. Kura-kura tersebut telah berada di tempat penangkaran selama 10 bulan. Feses segar yang diperoleh kemudian di simpan dalam botol dan diawetkan dengan alkohol 70%. Feses dipindahkan dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9% kemudian dilakukan pemilahan untuk memisahkan cacing dari kotoran. Cacing parasit yang diperoleh kemudian di simpan dalam botol yang berisi alkohol 70%. Cacing diwarnai dengan eosin 1% selama 3 jam. Cacing didehidrasi dengan alkohol bertingkat mulai dari konsentrasi 30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan 100% masing-masing selama 15 menit. Cacing dijernihkan dengan larutan laktofenol dan dibiarkan sampai tubuh cacing menjadi transparan sekitar 30 menit. Tubuh cacing yang telah transparan diletakkan di atas kaca preparat dan dimounting dengan polyfinil alkohol. Preparat cacing kemudian diamati dengan mikroskop. Pengukuran tubuh cacing meliputi panjang dan lebar tubuh menggunakan penggaris di mikrometer objektif. Ukuran yang telah diperoleh dari mikrometer objektif kemudian ditera menggunakan micrometer okuler untuk mendapatkan skala sebenarnya.

26 Analisis Data Setiap jenis cacing yang ditemukan dalam feses kura-kura dihitung nilai prevalensi dan intensitas infestasinya. Prevalensi merupakan persentase jenis cacing yang menginfestasi kura-kura. Intensitas merupakan derajat jenis cacing yang menginfestasi kura-kura. Analisis prevalensi dan intensitas infestasinya berdasarkan Barton & Richard (1996), yaitu Pi Prevalensi jenis parasit = x100% p Intensitas parasit p I = (parasit/individu/inang) n Keterangan: I = Intensitas infestasi endoparasit n = Jumlah kura-kura yang terinfestasi p = Jumlah parasit yang menginfestasi Pi = Jumlah jenis parasit i yang menginfestasi

27 HASIL Daerah Penangkapan dan Kepastian Inang Kura-kura yang telah dikoleksi dengan metode penangkapan langsung adalah Cuora amboinensis. Jumlah C. amboinensis ditangkap di lima perairan di Sulawesi Selatan sebanyak 40 ekor (Tabel 1). Tabel 1 Lokasi penangkapan dan jumlah C. amboinensis yang tertangkap. Lokasi Penangkapan C. amboinensis tertangkap (n) (A) Makassar 3 (B) Watampone 19 (C) Luwu Timur 12 (D) Bulukumba 4 (E) Luwu Utara 2 Jumlah 40 Lokasi penangkapan C. amboinensis di perairan Sulawesi Selatan umumnya berupa anakan sungai dengan tipe perairan dangkal, berarus sedang dan berbatu serta di saluran irigasi persawahan. Lokasi A (Gambar 4) adalah Anakan Sungai Tallo yang terdapat di kelurahan Tamalanrea Jaya kotamadya Makassar. Anakan Sungai Tallo akan bermuara pada Sungai Tallo. Sungai Tallo merupakan sungai besar yang bermuara ke selat Makassar. Penangkapan kura-kura di sungai Tallo ini berlokasi jauh dari pemukiman penduduk. Perairan ini agak berlumpur dan berarus tenang.

28 Gambar 4. Anakan Sungai Tallo Makassar Lokasi B (Gambar 5) merupakan Anakan Sungai Tamata yang berlokasi di desa Momputo kecamatan Amali kabupaten Watampone. Sungai ini merupakan sungai dengan perairan berbatu. Gambar 5. Anakan Sungai Tamata Watampone Lokasi C (Gambar 6) adalah Anakan Sungai Magege merupakan anak sungai dari sungai Kalaena yang bermuara di teluk Bone. Sungai ini melintasi desa Wonorejo, kecamatan Mangkutana kabupaten Luwu Timur. Perairan sungai ini berbatu dan berlumpur serta arus sungai yang tenang.

29 Gambar 6. Anakan Sungai Magege Luwu Timur Lokasi D (Gambar 7) persawahan Tanaberu di Kabupaten Bulukumba. Cuora amboinensis yang melintasi saluran air di persawahan ini langsung di tangkap menggunakan tangan. Gambar 7. Persawahan Bulukumba Lokasi E (Gambar 8) adalah Anakan Sungai Suso yang terdapat di desa Tetekang kecamatan Bajo kabupaten Luwu Utara. Sungai ini melintasi daerah perkebunan masyarakat.

30 Gambar 8. Anakan Sungai Suso Luwu Utara Berdasarkan Iskandar (2000), kura-kura yang telah dikoleksi termasuk jenis Cuora amboinensis. Morfologi C. amboinensis (Gambar 9) tampak dari bentuk perisai yang dapat ditutup sepenuhnya, perisai punggung atau karapas relatif tinggi, terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala sangat spesifik. Pada bagian pipi dan bibir juga terdapat garis kuning. Kaki depan dan kaki belakang tidak berbentuk dayung, kaki memiliki jari yang berselaput. Cuora amboinensis di jumpai pada sungai besar maupun sungai kecil dan sering juga di jumpai di area persawahan. Tampak dorsal (bagian karapas) Tampak samping Gambar 9. Morfologi Cuora amboinensis Tampak ventral (bagian plastron) Bagian kepala

31 Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis Cuora amboinensis yang terkumpul selama Maret-Juli 2007 dan Mei 2008 sebanyak 40 ekor dan kemudian fesesnya dikoleksi. Dari 40 feses C. amboinensis yang di koleksi, terdapat 4 ekor C. amboinensis yang terinfestasi cacing endoparasit (Lampiran 2). Cacing endoparasit yang ditemukan dalam feses C. amboinensis termasuk ke dalam anggota filum Platyhelminthes yang berjumlah tujuh ekor. Cacing parasit ini dibedakan ke dalam dua tipe parasit berdasarkan atas kemiripan morfologi (Tabel 2). Tabel 2. Cacing endoparasit pada feses Cuora amboinensis Jumlah Yang C. amboinensis Terinfestasi Cacing Tipe 1 Cacing Tipe 2 Jumlah 19 B (n = 1) C (n = 2) D (n = 1) Keterangan: B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur D. Persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba Tipe 1 merupakan cacing endoparasit yang terdapat pada feses C. amboinensis yang berasal Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur dan persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba. Cacing tipe 1 ini dikelompokkan berdasarkan kemiripan morfologi tubuhnya. Cacing endoparasit tipe 1 (Gambar 11) ini ditemukan pada feses C. amboinensis yang berasal dari Kabupaten Luwu Timur. Cacing Tipe 1 (a) ini memiliki panjang tubuh 1,55 mm dan lebar tubuh 0,3 mm, pada bagian anterior terdapat adanya batil isap yang berukuran panjang 0,125 mm dan lebarnya 0,175 mm. Sedangkan ukuran panjang tubuh cacing Tipe 1 (b) berkisar 1,5 mm dan lebar tubuh 0,275 mm serta panjang batil isap 0,125 mm.

32 batil isap (a) Gambar 11. Cacing tipe 1 : (a & b) cacing dari C. amboinensis Luwu Timur (b) Cacing endoparasit tipe 1 juga terdapat pada C. amboinensis yang berasal dari persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba. Morfologi cacing endoparasit (Gambar 12). (d) (c) Gambar 12. Cacing tipe 1 : (c) cacing dari C. amboinensis Bulukumba dan (d) cacing dari C. amboinensis Luwu Timur Cacing endoparasit Tipe 1 (c) memiliki ukuran panjang tubuh 1,45 mm dengan lebar tubuh 0,225 mm serta panjang batil isap 0,125 mm. Sedangkan untuk cacing endoparasit yang ditunjukkan oleh gambar 12 (d) tidak dapat diukur, hal ini disebabkan preparat terdapat dua individu cacing yang saling bertumpuk. Cacing endoparasit tipe 2 ditemukan pada feses C. amboinensis yang berasal dari Kabupaten Watampone dan Kabupaten Luwu Timur (gambar 13 dan gambar 14). Cacing tipe 2 (Gambar 13) memiliki panjang tubuh berkisar 5 cm dengan lebar tubuh 20 mm dan cacing tipe 2 (Gambar 14) memiliki panjang tubuh berkisar 5 cm dengan lebar tubuh 18 mm.

33 Gambar 13. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Watampone Gambar 14. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Luwu Timur Prevalensi dan Intensitas Infestasi Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis Tingkat penularan penyakit pada umumnya dinyatakan dengan prevalensi kejadian dan intensitas parasit. Prevalensi merupakan persentase jenis cacing yang menginfestasi C. amboinensis. Intensitas adalah derajat jenis cacing yang menginfestasi C. amboinensis. Nilai persentase infestasi cacing parasit dan nilai prevalensi untuk masing-masing tipe cacing parasit yang terdapat pada feses C. amboinensis dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Prevalensi dan intensitas cacing endoparasit Lokasi C. amboinensis B (n = 1) C (n = 2) D (n = 1) Jumlah Cacing Prevalensi (%) Intensitas (parasit/individu/inang Jumlah Keterangan: B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur D. Persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba 1 2 2

34 PEMBAHASAN Daerah Penyebaran Cuora amboinensis Cuora amboinensis merupakan kura-kura air tawar yang menyukai lingkungan akuatik seperti kolam sungai, rawa dan persawahan (Iskandar, 2000). Cuora amboinensis yang di koleksi berasal dari perairan di Sulawesi Selatan. Cuora amboinensis ini umumnya di jumpai di anakan sungai yang berarus tenang, berbatu, berpasir dan berlumpur. Morfologi C. amboinensis dapat mudah dibedakan dari jenis kura-kura yang lainnya karena kura-kura ini memiliki perisai yang dapat di tutup sepenuhnya sehingga sering kali dinamakan sebagai kura-kura batok. Cuora amboinensis memiliki perisai punggung yang tinggi dengan perisai perut yang datar atau agak melengkung. Pada bagian kepala di jumpai adanya garis kuning yang melingkar. Tungkai memiliki jari berselaput dan pada jari dijumpai adanya kuku. Cuora memakan apa yang tersedia di lingkungan mereka dan kebiasaan makanan itu berpengaruh pada jenis parasit yang menginfestasinya (Murray, 2004). Jenis makanan yang dimakan akan mempengaruhi nutrien yang dibutuhkan oleh endoparasit di dalam sistem pencernaan inang. Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis Dari hasil identifikasi, organisme yang ditemukan pada feses C. amboinensis tergolong ke dalam anggota filum Platyhelminthes. Cacing endoparasit ini ditemukan sebanyak tujuh ekor. Penggolongan cacing hanya ke dalam tingkat filum disebabkan oleh karena morfologi cacing tersebut yang sangat khas. Kekhasan ini disebabkan oleh karena keadaan endemik suatu parasit sangat tergantung pada ketersediaan inang yang cocok untuk parasit tersebut (Brown 1979). Hal ini juga menjadi salah satu faktor tidak teridentifikasikan cacing parasit yang berasal dari C. amboinensis asal Watampone, Bulukumba dan Luwu Timur.

35 Pemberian tipe pada kedua jenis cacing ini disebabkan oleh karena sampel tidak bisa diidentifikasikan hingga ke tingkat spesies. Berdasarkan pada kunci identifikasi endoparasit, cacing ini dikelompokkan ke dalam filum Platyhelminthes, karena parasit ini mempunyai bentuk seperti cacing pipih dorsoventral. Parasit ini memiliki pengait untuk melekatkan diri pada tubuh inang. Cacing ini memiliki bentuk tubuh pipih, simetri bilateral dan belum memiliki rongga tubuh. Cacing ini bersifat hermaprodit. Cacing ini memiliki sistem pencernaan sederhana dan sistem respirasi. Sistem pencernaan terdiri atas mulut, faring, usus dan tanpa anus dan sistem respirasi melalui difusi dari permukaan tubuhnya. Cacing ini ada yang hidup bebas, dan ada pula yang parasit. Cacing parasit memiliki adanya alat pelekatan diri pada inang berupa batil isap, mulut dan pengait (Crompton & Joyner 1980). Cacing tipe 1 tergolong ke dalam filum Platyhelminthes berdasarkan kunci identifikasi endoparasit karena morfologi cacing ini yang pipih dorsoventral, bentuk yang oval dan tubuh yang berwarna coklat. Tubuhnya ditutupi oleh tegumen. Bagian ventral terdapat batil isap sebagai alat pelekat di tubuh inang. Ukuran tubuh cacing tipe 1 dapat dikategorikan ke dalam tingkatan larva. Telur cacing akan keluar dari tubuh cacing dewada melalui feses. Telur akan berkembang menjadi larva cacing dan larva ini tidak bersifat parasitik karena dapat hidup bebas selama 1 x 24 jam sebelum mendapatkan inang perantara atau inang definitif. Siklus hidup cacing diawali dengan menghasilkan telur yang dikeluarkan bersamaan dengan feses. Telur ini kemudian menetas menjadi larva miracidium dan masuk ke inang perantara pertama. Di dalam tubuh inang perantara pertama, larva mirasidium akan bermetamorfosis menjadi sporosit, sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan tumbuh menjadi Redia. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang menjadi serkaria yang akan pindah ke inang perantara kedua. Pada inang ini metaserkaria akan membentuk kista dan berkembang menjadi cacing dewasa (Campbell, 2005).

36 Cacing tipe 2 memiliki panjang tubuh 5 cm dengan lebar antara mm artinya cacing ini tergolong ke dalam filum Platyhelminthes kelas trematoda karena rentangan ukuran panjang tubuh cacing ini berkisar antara 1cm - 6cm. ( Cuora amboinensis ini terinfestasi oleh cacing parasit dari anggota filum Platyhelminthes tipe 1 dan tipe 2. Pada C. amboinensis dari Watampone hanya terinfestasi oleh cacing tipe 2 yang berjumlah satu ekor dan C. amboinesis dari Bulukumba terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1 sebanyak dua ekor. Hal ini menunjukkan bahwa spesifitas pada C. amboinensis Watampone dan Bulukumba adalah spesifik dimana satu inang hanya terinfestasi oleh satu jenis cacing parasit tertentu. C. amboinensis dari Luwu Timur terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1 Prevalensi dan Intensitas Cuora amboinensis yang terkumpul sebanyak 40 ekor dan hanya ada 4 ekor yang terinfestasi oleh cacing parasit yaitu C. amboinensis yang berasal dari Watampone, Luwu Timur dan Bulukumba. Prevalensi setiap jenis cacing endoparasit yang menginfestasi C. amboinensis sebesar 0.88% dan intensitas infestasi sebesar 1.75 parasit/individu inang. Nilai prevalensi intensitas pada C. amboinensis sangat rendah dimana dari 40 ekor C. amboinensis hanya ada empat ekor C. amboinensis yang terinfestasi cacing parasit sebanyak tujuh ekor. Inang dari cacing parasit ini merupakan C. amboinensis yang ditangkap langsung di daerah Sulawesi Selatan. Pulau Sulawesi atau Celebes merupakan pulau dengan tingkat endemisitas tinggi bagi flora dan faunanya. Hal ini karena pembentukan Sulawesi sangat unik dimana terbentuk dari benturan tiga lempeng tektonik lempeng Asia yang membentuk Sulawesi bagian barat dan selatan, lempeng Australia yang membentuk Sulawesi bagian tenggara dan Banggai serta lempeng pasifik yang membentuk Sulawesi bagian Utara. Di awal pembentukan pulau ini juga terjadi pergerakan satwa dan oleh Wallacea mengungkapkan penemuan bahwa satwa-satwa yang mendiami pulau Sulawesi merupakan

37 perpaduan antara satwa Asia dan Australia dan sangat berbeda sehingga dikategorikan sebagai satwa yang endemik. Rahayu (2003) melaporkan bahwa cacing ektoparasit yang ditemukan pada C. amboinensis yang berasal dari Sulawesi tidak berhasil diidentifikasi menggunakan buku kunci identifikasi Yamaguci karena morfologi cacing tersebut yang sangat khas. Kekhasan ini disebabkan oleh karena karena keadaan endemik suatu parasit sangat tergantung pada ketersediaan inang yang cocok untuk parasit tersebut (Brown 1979). Hal ini juga menjadi salah satu faktor tidak teridentifikasikan cacing parasit yang berasal dari C. amboinensis asal Watampone, Bulukumba dan Luwu Timur. Nilai intensitas sangat rendah karena dari 40 ekor C. amboinensis yang ditangkap hanya 4 ekor yang terinfestasi oleh cacing parasit. Rendahnya nilai prevalensi intensitas ini disebabkan oleh keadaan endemik suatu parasit, kemampuan adaptasi parasit di tubuh inang dan kecocokan inang untuk kelangsungan hidup parasit dan kualitas lingkungan (Rahayu, 2003). Cuora amboinensis yang ditemukan di perairan Watampone, Luwu Timur dan Bulukumba tidak bermuara langsung ke laut lepas sehingga kualitas perairan masih bersih dan belum tercemar serta didukung oleh lingkungan yang memadai. Kualitas lingkungan memegang pengaruh di dalam keberadaan parasit selain kemampuan. Preez & Lim (2000) melaporkan bahwa C. amboinensis yang berasal dari Malaysia terinfestasi oleh cacing parasit Neopolystoma liewi sp. n. (Monogenea: Polystomatidae) di bagian mata dengan tingkat pervalensi mencapai 67% dan intensity 2.5). Murray (2000) mengemukan laporannya mengenai keberadaan cacing parasit pada C. amboinensis yang dikoleksi dari Hongkong dimana pada bagian usus ditemukan Stunkardia dilymphosa dan Telorchis clemmydis dari kelas trematoda serta dibagian kantung kemih ditemukan Polystomoides malayi dari kelas monogenea.

38 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada feses C. amboinensis ditemukan adanya 7 ekor cacing endoparasit. Cacing endoparasi ini tergolong ke dalam filum Platyhelminthes. Nilai prevalensi mencapai 0.88% dan nilai intensitas sebesar 1.75 parasit/individu. Pola spesifitas yang terbentuk antara inangparasit adalah spesifik dan multi parasit. Saran Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan meningkatkan jumlah koleksi C.amboinensis dan jumlah parasit yang menginfestasi sehingga menemukan metode pewarnaan yang tepat agar organ dalam cacing bisa terlihat jelas dan dapat diidentifikasikan dengan jelas.

39 DAFTAR PUSTAKA Anonim Platyhelminthes. HELMINTHES. [22 Juli 2008] Barton DP, Richard SJ Helminth infracommunities in Litoria genimaculata (Amphibia : Anura) from Birthday Creek, an Unpland rainforest stream in Northern Queensland, Australia. International Journal for Parasitology Brain: Elsevier Science Ltd. Cox B, Moore P Biogeography an Ecological and Evolution Approch. London : Blackwell Science Ltd. Brotowidjoyo Parasit dan Parasitisme. Jakarta : Media Sarana Press. Brown HW Dasar-dasar Parasitologi Klinis. Rukmono, Probadi W, editor. Jakarta: PT. Gramedia. Cable RM An Illustrated Laboratory Manual Of Parasitology Fifth Ed. British: the Camelot Press Ltd. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. Simon J Biologi. Jakarta: Erlangga. CITES Proposals for Amendments of Appendices I and II (April, 2000) Ernst CH, Barbour RW Turtles Of These World. Washington D.C and London : Smithsonian Institution Press. Gao Q, Nie P, Yao WJ Evidence Of Host Blood Feeding By The Monogenean Ancyrocephalus mogurndae (Monogenea: Ancyrocephalidae) From The Gills Of The Mandarin Fish, Siniperca chuatsi. Folia Parasitology 46: Graham TE Life History Technique. Di dalam Harless M, Morlock H, Turtle Perspectives and Research. Canada: A Wiley Interscience Publishing. Gillespie GS, Howard D, Lockie M, Scroggie, Boeadi Herpetofaunal Riches and Community Structure of Offshore Islands of Sulawesi, Indonesia. Biotropica 37:

40 Goin CJ, Zug GR Introduction to Herpetology. San Fransisco: W.H Freemn and Company. Iskandar DT Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Bandung. Institut Teknologi Bandung. Iskandar DT, Tjan KN The Amphibians and Reptiles of Sulawesi, with Notes on the Distribution and Chromosomal number of frogs. Herpetologica 65(1): Kennedy CR Ecological Animal Parasitology. London : Blackwell Science Ltd. Kusumamihrdja S Parasit dan Parasitisme pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor: Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Lang. R, Vogel G The Snakes of Sulawesi. Proceedings of the 13th Congress of the Societas Europaea Herpetologica. pp Little TJ, Watt K, Ebert D. Parasite-Host Specificity: Experimental Studies On The Parasite Adaptation. Evolution, 60(1), 2006, pp [09 Des 2008]. Marquard ULF, Petersen Endoparasite of Arctic Wolves in Greenland. Artic Vol 50 no 4: Michael dan Plummer. Collecting and Marking. Di dalam Harless M, Morlock H, Turtle Perspectives and Research. Canada: A Wiley Interscience Publishing. Mollaret I, Barrie GM, Justine JL. Monogenea. [29 Agustus 2007]. Murray RA Endohelminths From Six Rare Species Of Turtles (Bataguridae) From Southeast Asia Confiscated by International Authorities in Hongkong China. [Thesis]. Texas University. Newey S, Shawc DJ, Kirby A, Montietha P, Hudson PJ, Thirgoog SJ Prevalence,Intensity and Aggregation of Intestinal Parasites in Mountain Hares and Their Potential Impact on Population Dynamics. International Journal for Parasitology 35 (2005)

41 Pramiati I Cacing Ektoparasit pada Kura-kura Air Tawar (Cuora amboinensis) di Daerah Banten [Skripsi] Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Preez LH, Lim LHS Neopolystoma liewi sp.n (Monogenea: Polystomatidae) From Eyes of the Malayan Box Turtle (Cuora amboinensis) Folia Parasitologica 47:11-16 Rahayu RS Cacing Ektoparasit pada Cuora amboinensis dan Cyclemys dentate (Reptilia: Testudines: Emydidae) dari Beberapa Daerah di Inonesia. [Skripsi] Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Romimohtarto K, Juwana S Biologi Laut. Jakarta: Djambatan. Sains A, Hartini S Ektoparasit. Di dalam : Suhardjono YR, editor. Koleksi dan Pengelolaan Spesimen Parasit. Cibinong: LIPI. Sasal P, Trouve S, Muller CG, Morand S Specificity and Host Predictability: A Comparative Analysis Among Monogenean Parasites of Fish. Animal ecology J Senneka D, Tabaka C Malayan box turtle (Cuora amboinensis) box turtle.pdf. [24 Mei 2009] Semans FM. 2006, Protozoan Parasites Op The Orthoptera, With Special Reference To Those Of Ohio /1/V36N06_315.pdf. [21 April 2008] Schoppe S, The Southeast Asian Box Turtle Cuora amboinensis (Daudin, 1802) in Indonesia. Workshop Case Studies Reptiles and Amphibia. Sprent JFA Parasitism. Queensland: Queensland press. Sudina R Cacing Ektoparasit pada Labi-labi (Doginia subplana dan Amyda cartilaginea) di daerah Bogor. [Skripsi] Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Synder SD, Clopton RE New Method for the Collection and Preservation of Spirorchiid Trematoda and Polystomatid Monogenean from Turtle. Comp. Parasitol 72 (1) PP Taylor B, Shea M The Great Big Book of Snakes and Reptiles. London: Anness Publishing Ltd.

42 Whitten AJ, Mustafa J, Henderson GS Ekologi Sulawesi. Tjitrosoepomo G, penerjemah; Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Yasa IMR, Guntoro S Prevalensi Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Babi. Bali: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Yamaguti Systema Helminthum. New York: Interscience Publisher.

43 LAMPIRAN

44 Lampiran 1. Identifikasi kura-kura berdasarkan Iskandar (2000): Kunci Identifikasi Famili 1. Kepala tidak dapat dimasukkan ke dalam perisai, permukaan perisai perut dengan keping intergular di tengah daerah gular Chelidae 1b. Leher dapat dimasukkan ke dalam perisai.. 2 2a. Kaki depan berbentu seperti dayung 3 2b. Kaki depan tidak berbentuk dayung 5 5a. Perisai punggung lunak dan terlihat relative pipih, lubang hidung terdapat pada ujung belalai yang berdiameter kecil, kaki depan tidak berbentuk dayung, paling sedikit tiga jari berkuku... Trionychidae 5b. Perisai punggung menulang dan berkeping tidak pipih a. Kaki seperti kaki gajah, jari-jati tidak jelas, bersisik menulang, kuku pendek dan tebal, hidup di darat, perisai sangat tinggi.. Testudinidae 6b. Kepala hanya ditutupi kulit, jari kaki berselaput, hanya dipenuhi dengan sisik menebal, telapak kaki dan tangan relatif panjang, kuku panjang dan runcing, hidup di air, perisai tidak terlalu tinggi...7 7a. Kaki dengan jari-jari berselaput sebagian hingga penuh, diliputi oleh sisik-sisik, kulit kepala umumnya licin atau terbagi-bagi seperti sisik, ukuran kecil sampai besar, perisai perut tidak merata... Geoemydidae Kunci Identifikasi Spesies: 1a. Perisai perut dapat ditutup seluruhnya, sehingga kepala dan kaki bersembunyi di dalamnya, perisai perut tidak berlekuk di depan dan pada tepi belakang keping anal...cuora amboinensis Lampiran 2. Daftar Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis LOKASI NO INANG Platyhelminthes Tipe 1 Tipe 2 JUMLAH A

45 B C

TINJAUAN PUSTAKA Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas

TINJAUAN PUSTAKA Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas TINJAUAN PUSTAKA Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas Simbiosis atau interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan dalam suatu ekosistem. Simbiosis bisa dikelompokkan berdasarkan

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI PARASIT PADA KURA-KURA AIR TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN Dewi Farah Diba ABSTRAK

PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI PARASIT PADA KURA-KURA AIR TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN Dewi Farah Diba ABSTRAK PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI PARASIT PADA KURA-KURA AIR TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN Dewi Farah Diba Program Studi Budidaya Peraiaran STITEK Balik Diwa Makassar Email:

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anonim Platyhelminthes. HELMINTHES. [22 Juli 2008]

DAFTAR PUSTAKA. Anonim Platyhelminthes.  HELMINTHES. [22 Juli 2008] DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Platyhelminthes. http://www.bumblebee.org/invertebrates/platy HELMINTHES. [22 Juli 2008] Barton DP, Richard SJ. 1996. Helminth infracommunities in Litoria genimaculata (Amphibia

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN Tri Muryanto dan Sukamto Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS KURA-KURA DI KALIMANTAN BARAT. Turtles Identification In West Kalimantan

IDENTIFIKASI JENIS KURA-KURA DI KALIMANTAN BARAT. Turtles Identification In West Kalimantan 10-082 IDENTIFIKASI JENIS KURA-KURA DI KALIMANTAN BARAT Turtles Identification In West Kalimantan Anandita Eka Setiadi Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Pontianak, Pontianak E-mail

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani²

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² ¹Mahasiswa Program S1 Biologi ²Dosen Bidang Zoologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

Amfibi mempunyai ciri ciri sebagai berikut :

Amfibi mempunyai ciri ciri sebagai berikut : Amfibi merupakan kelompok hewan dengan fase hidup berlangsung di air dan di darat.,yang merupakan kelompok vertebrata yang pertama keluar dari kehidupan alam air. Amfibi mempunyai ciri ciri sebagai berikut

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi tingginya angka

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas

Lebih terperinci

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *) Swamp Eels (Synbranchus sp.) Jenis... di Danau Matano Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

Lebih terperinci

TUNGAU EKTOPARASIT PADA KADAL Eutropis multifasciata DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DAN KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB CUT TINA MEUTHIA

TUNGAU EKTOPARASIT PADA KADAL Eutropis multifasciata DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DAN KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB CUT TINA MEUTHIA TUNGAU EKTOPARASIT PADA KADAL Eutropis multifasciata DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DAN KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB CUT TINA MEUTHIA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/KEPMEN-KP/2018 TENTANG PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN CAPUNGAN BANGGAI (Pterapogon kauderni) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

USULAN PERLINDUNGAN KURA BANING HUTAN (Manouria emys emys) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

USULAN PERLINDUNGAN KURA BANING HUTAN (Manouria emys emys) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA USULAN PERLINDUNGAN KURA BANING HUTAN (Manouria emys emys) UNTUK MASUK DALAM DAFTAR SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGUSUL Nama : Hellen Kurniati Pekerjaan : Staf peneliti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juni 2010 di penangkaran reptil PT Mega Citrindo. Perusahaan ini terletak di Jalan Mutiara VII/31 Desa Curug,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Bio Ekologi Herpetofauna 2.1. Taksonomi Taksonomi Reptil Taksonomi Amfibi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Bio Ekologi Herpetofauna 2.1. Taksonomi Taksonomi Reptil Taksonomi Amfibi II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Bio Ekologi Herpetofauna 2.1. Taksonomi 2.1.1. Taksonomi Reptil Reptilia adalah salah satu hewan bertulang belakang. Dari ordo reptilia yang dulu jumlahnya begitu banyak, kini yang

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1 MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1 KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA MADRASAH ALIYAH NEGERI SURADE 2016 KATA PENGANTAR Assallamu alaikum

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata

Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata Ima Yudha Perwira, SPi, MP, MSc (Aquatic) Para saintis menempatkan hewan pada dua katergori utama, yaitu: invertebrata (in = tanpa, vertebrae

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Spesies Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. rahmat dan hidayah-nya, selanjutnya skripsi yang berjudul Deteksi Morfologi

KATA PENGANTAR. rahmat dan hidayah-nya, selanjutnya skripsi yang berjudul Deteksi Morfologi ABSTRAK Andi Irma. Deteksi Morfologi dan Molekuler Parasit Anisakis sp pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis). Di bawah bimbingan Hilal Anshary dan Gunarto Latama. Penelitian ini bertujuan mengetahui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem pemeliharaan yang kurang baik salah satunya disebabkan oleh parasit (Murtidjo, 1992). Menurut Satrija

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki daerah pesisir yang sangat panjang. Di sepanjang daerah tersebut hidup beranekaragam biota laut (Jati dan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

Biogeografi Daluga Untuk Prospek Ketahanan Pangan Nasional

Biogeografi Daluga Untuk Prospek Ketahanan Pangan Nasional Biogeografi Daluga Untuk Prospek Ketahanan Pangan Nasional Johny S. Tasirin dan Semuel P. Ratag Seminar Nasional Pertanian Pengembangan Sumber Daya Pertanian Untuk Menunjang Kemandirian Pangan Dies Natalis

Lebih terperinci

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN Epinephelus fuscoguttatus DI KARAMBA JARING APUNG BALAI SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AGNIS MURTI RAHAYU DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berada dalam sebuah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah sudah seharusnya menjadikan suatu hal yang membanggakan dan patut untuk disyukuri,

Lebih terperinci

Oleh: Merryana Kiding Allo

Oleh: Merryana Kiding Allo Corak Indah Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) CORAK INDAH KAYU EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243, telp. (0411)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B.

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERANCANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM.

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM. KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI Oleh : Saniatur Rahmah NIM. 071810401011 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

JENIS-JENIS PARASIT PADA IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V.) DARI PERAIRAN SUNGAI SIAK KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU

JENIS-JENIS PARASIT PADA IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V.) DARI PERAIRAN SUNGAI SIAK KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU JENIS-JENIS PARASIT PADA IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V.) DARI PERAIRAN SUNGAI SIAK KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU Ranti Yuni Arpia 1, Titrawani 2, Roza Elvyra 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

CACING TANAH (Lumbricus terrestris)

CACING TANAH (Lumbricus terrestris) CACING TANAH (Lumbricus terrestris) Kode MPB2b Fapet I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Kolokium: Ulil Albab - G

Kolokium: Ulil Albab - G Kolokium: Ulil Albab - G34100119 Ulil Albab (G34100119), Achmad Farajallah, Dyah Perwitasari, Eksplorasi Endoparasit pada Koleksi Hewan Kebun Binatang di Taman Margasatwa. Makalah Kolokium departemen Biologi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA KATAK Fejervarya Cancrivora DAN Limnonectes Macrodon DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

IDENTIFIKASI NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA KATAK Fejervarya Cancrivora DAN Limnonectes Macrodon DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Media Konservasi Vol. XI, No. 1 April 2006 : 21 25 IDENTIFIKASI NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA KATAK Fejervarya Cancrivora DAN Limnonectes Macrodon DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT (Gastrointestinal

Lebih terperinci

PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

UPAYA PELESTARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, CIREBON ABSTRAK

UPAYA PELESTARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, CIREBON ABSTRAK UPAYA PELESTARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, CIREBON Astri Suryandari, Danu Wijaya, dan Agus Arifin Sentosa Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan

Lebih terperinci

Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi. Editor : Atika Rahmalia

Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi. Editor : Atika Rahmalia Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi Editor : Atika Rahmalia Pengertian Parasitologi Parasitologi adalah suatu ilmu cabang Biologi yang mempelajari tentang semua organisme parasit. Tetapi dengan adanya

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat:

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: Cacing Tanah (Lumbricus terrestris) I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus digestorius

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. Editor: SALIS SETYAWATI G1C PROGRAM STUDI DIPLOMAT IV ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

PARASITOLOGI. Editor: SALIS SETYAWATI G1C PROGRAM STUDI DIPLOMAT IV ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN 1 PARASITOLOGI Editor: SALIS SETYAWATI G1C015009 PROGRAM STUDI DIPLOMAT IV ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2016 2 A. Pengertian Parasitologi Gambar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica 14 TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Landak Jawa menurut Duff dan Lawson (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan sekitar 5,8 juta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan sekitar 5,8 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan sekitar 5,8 juta km 2, sehingga memiliki potensi perikanan baik laut maupun tawar (Anonimous, 2010). Permintaan

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Labi-labi Taksonomi Morfologi dan anatomi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Labi-labi Taksonomi Morfologi dan anatomi II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Labi-labi 2.1.1 Taksonomi Menurut Ernst dan Barbour (1989), klasifikasi labi-labi (Amyda cartilaginea) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Reptillia

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang

Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang Gastrointestinal Helminths of The Syrian Hamster Mesocricetus auratus (Waterhause,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada April hingga Juni 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri, cendawan serta parasit dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat sumber: (http://www.google.com/earth/) Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

PERBANDINGANN PREVALENSI PARASIT PADA INSANG DAN USUS IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI RAWA DAN PALUH MERBAU PERCUT SEI TUAN SKRIPSI OLEH

PERBANDINGANN PREVALENSI PARASIT PADA INSANG DAN USUS IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI RAWA DAN PALUH MERBAU PERCUT SEI TUAN SKRIPSI OLEH PERBANDINGANN PREVALENSI PARASIT PADA INSANG DAN USUS IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) DI RAWA DAN TAMBAK PALUH MERBAU PERCUT SEI TUAN SKRIPSI OLEH KIKI DIAN PRATIWI 100805075 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DESKRIPSI IKAN FAMILI MUGILIDAE DI LIMA MUARA SUNGAI DI SULAWESI UTARA

DESKRIPSI IKAN FAMILI MUGILIDAE DI LIMA MUARA SUNGAI DI SULAWESI UTARA DESKRIPSI IKAN FAMILI MUGILIDAE DI LIMA MUARA SUNGAI DI SULAWESI UTARA Deidy Y Katili 1) 1) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado 95115 ABSTRAK Deskripsi beberapa spesies ikan anggota

Lebih terperinci