UPAYA PELESTARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, CIREBON ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA PELESTARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, CIREBON ABSTRAK"

Transkripsi

1 UPAYA PELESTARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, CIREBON Astri Suryandari, Danu Wijaya, dan Agus Arifin Sentosa Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan ABSTRAK Labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) termasuk jenis kura-kura air tawar yang masuk dalam Apendix II CITES yaitu jenis tersebut dapat terancam punah apabila peredaran internasionalnya tidak dikontrol. Salah satu daerah penyebaran labi-labi di Jawa adalah di Cirebon, Jawa Barat. Di Desa Belawa, Cirebon, labi-labi dilindungi keberadaannya dalam suatu kawasan dan dikelola bersama antara masyarakat dengan instansi terkait. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi upaya konservasi labi-labi yang dilakukan di Desa Belawa, Cirebon. Penelitian dilakukan pada April 2012 di Desa Belawa dan pengumpulan data dilakukan dengan suvey dan wawancara. Upaya konservasi labi-labi di Belawa didasarai oleh kearifan lokal masyarakat setempat yang diwujudkan dengan didirikannya Obyek wisata Belawa sebagai kawasan lindung satwa tersebut. Hasil pendataan menunjukkan terdapat sekitar 37 labi-labi dewasa, 91 tukik dan 126 telur pada masa inkubasi. Secara umum, upaya konservasi labi-labi di kawasan tersebut telah berjalan dengan baik namun demikian masih diperlukan perbaikan untuk menyempurnakan tujuan tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan upaya tersebut diantaranya penataan ulang kawasan Obyek Wisata Belawa, melengkapi sarana dan prasarana di kawasan tersebut, pembinaan yang intensif bagi masyarakat pengelolaan dan memaksimalkan fungsi Obyek Wisata Belawa. Kata kunci: labi-labi, Amyda cartilaginea, konservasi, Desa Belawa PENDAHULUAN Labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) merupakan jenis kura-kura air tawar yang menyebar luas di Asia Tenggara (Asian Turtle Conservation Network, 2006; Iskandar, 2000; van Dijk, 2000). Menurut Iskandar (2000), labi-labi umumnya dijumpai di daerah yang tenang dan berarus lambat. Labi-labi, merupakan salah satu satwa air yang masuk ke dalam komoditas perikanan (Rahmi, 2008). Pemanfaatan labi-labi di Indonesia sudah berlangsung lama mengingat hewan tersebut termasuk satwa liar yang tidak dilindungi oleh undang-undang Republik Indonesia walaupun menurut IUCN Tahun 2006 statusnya di alam adalah rawan dan tidak dilindungi (CITES, 2004). Oleh karena itu, labi-labi pada masa tersebut masih banyak diperdagangkan dan dieksploitasi secara bebas, namun pada tahun 2008, A. cartilaginea telah masuk dalam Apendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna) yang menunjukkan bahwa jenis tersebut dapat terancam punah apabila peredaran internasionalnya tidak dikontrol (CITES, 2010). Amyda cartilaginea di Indonesia dapat ditemukan di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok (Auliya, 2007; Iverson, 1992). Salah satu daerah penyebaran labi-labi di Jawa adalah di Cirebon, Jawa Barat (Insana, 1999; Rahmi, 2008; Mashar, 2009). Labi-labi di Cirebon, Jawa Barat dikenal sebagai Kuya Belawa atau Kura-Kura Belawa dengan ciri khas yaitu bentuk punggung yang cekung pada kura-kura dewasa (Mashar, 2009). Kusrini & Tajalli (2012) menyatakan bahwa kura-kura Belawa merupakan satwa khas daerah Cirebon. FNPKSI - IV

2 Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan IV Keberadaan labi-labi di Desa Belawa memiliki keunikan dibandingkan di lokasi lainnya mengingat adanya mitos yang berkembang di masyarakat terkait Kuya Belawa sehingga labilabi di Belawa tidak ditangkap dan diperdagangkan. Namun, Priyono et al. (1999) menyebutkan bahwa keberadaan labi-labi di Desa Belawa semakin menurun. Ancaman utama bagi kelestarian labi-labi di Cirebon adalah akibat perubahan habitat dan gangguan manusia. Kusrini et al. (2007) menambahkan beberapa contoh kegiatan yang dapat menurunkan populasi labi-labi di Desa Belawa, Kabupaten Cirebon yaitu adanya pembukaan areal baru seperti perluasan lahan untuk pemukiman penduduk sehingga berkurangnya lahan alami sebagai ruang gerak kura-kura, kualitas kolam yang buruk karena adanya pencemaran domestik, dan pengambilan telur secara liar. Hal tersebut dikhawatirkan dapat mengakibatkan menurunnya populasi dan mengancam kehidupan satwa liar khususnya labi-labi di Cirebon. Masyarakat dan pemerintah daerah di Desa Belawa telah berusaha melakukan pelestarian labi-labi dengan membuat Obyek Wisata Belawa, sebuah obyek wisata sekaligus penangkaran dari labi-labi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pengelolaan dan pelestarian labi-labi di Desa Belawa. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian labi-labi dilaksanakan di Desa Belawa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat pada April Pengumpulan data dilakukan dengan suvey dan wawancara. Penentuan lokasi survei labi-labi dilakukan dengan bantuan informan kunci (key informan), yaitu responden awal menunjuk responden selanjutnya berdasarkan kriteria yang ditetapkan (dalam hal ini kriteria utama adalah orang yang terkait dengan pemanfaatan labi-labi). Informan kunci di Kabupaten Cirebon adalah Pengurus POKMASWAS Kuya Asih Mandiri yang mengelola keberadaan labi-labi di Desa Belawa. Pengumpulan data dan informasi meliputi informasi mengenai kegiatan pengelolaan di kawasan Obyek Wisata Belawa Desa Belawa dan kondisi habitat labi-labi di kawasan tersebut. Pengamatan habitat dilakukan dengan melakukan pengamatan visual secara langsung di lokasi habitatnya dan melakukan pengukuran kualitas air, kedalaman, dan kecerahan. Untuk mengetahui kegiatan pengelolaan dan pelestarian di kawasan tersebut dilakukan melalui wawancara dengan pengurus Obyek Wisata Belawa, Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Cirebon dan masyarakat sekitar. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Obyek Wisata Belawa terletak di Desa Belawa sekitar 20 km dari Kota Cirebon. Lokasi tersebut berada di kawasan perbukitan dengan ketinggian sekitar m dpl. Di lokasi tersebut terdapat kolam utama yang berbentuk segi enam (heksagonal) serta beberapa kolam- milik penduduk yang berderet di sepanjang aliran Sungai Cikuya yang dikeliling oleh vegetasi yang rindang/berkanopi. Kolam utama tersebut yang terletak pada 6 49'55,7''

3 Makalah Poster Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim Lintang Selatan dan '7,9" Bujur Timur merupakan kolam tempat pemeliharaan labilabi dengan sumber air berasal dari mata air yang keluar dari pohon-pohon besar di sekitarnya. Keberadaan Sungai Cikuya merupakan sungai kecil yangberperan besar dalam mengairi kolam-kolam yang ada di sepanjang alirannya di Desa Belawa. Kolam utama di Obyek Wisata Belawa merupakan kolam pemeliharaan yang dibangun oleh Yayasan Bina Lingkungan pada tahun 1997 dengan tujuan untuk menangkarkan labilabi agar tidak berkeliaran. Kolam ini berbentuk segi enam dengan luas total 192,75 m² dengan taman berbentuk lingkaran di tengah kolam seluas 71,11 m² untuk tempat berjemur dan bertelur labi-labi yang dikelilingi oleh perairan dengan luas sekitar 121,64 m². Lokasi tersebut cukup teduh karena adanya tutupan kanopi dari pohon-pohon besar yang berada di sekitarnya. Gambar 2. Kondisi Obyek Wisata Belawa dengan kolam utamanya Di kawasan wisata Desa Belawa tersebut selain terdapat 1 kolam induk labi-labi berbentuk heksagonal yang merupakan kolam bagi labi-labi dewasa juga terdapat 3 bak penetasan, 3 kolam pemeliharaan tukik serta 1 ruangan yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan spesimen labi-labi (Gambar 3). (a) Bak penetasan (b) Kolam pemeliharaan (c) Museum Gambar 3. Bak penetasan, pemeliharaan dan museum di Obyek Wisata Belawa Desa Belawa

4 Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan IV Keberadaan aliran sungai Cikuya selain memasok air ke kolam-kolam habitat labilabi juga telah dimanfaatkan oleh warga setempat untuk berbagai aktivitas seperti mandi dan mencuci. Aktivitas warga di sekitar perairan Cikuya semakin meningkat sehingga beban pencemaran bagi perairan tersebut juga semakin meningkat. Hal tersebut terlihat dari masukan air limbah rumah tangga yang mengandung detergen serta sampah-sampah yang mengotori perairan di sekitar Obyek Wisata Belawa. Keberadaan sarana pemandian di bagian atas kolam utama secara tidak langsung dapat mengancam habitat perairan bagi kura-kura Belawa (Gambar 4). Gambar 4. Sarana pemandian dan sampah di sekitar Obyek Wisata Belawa Kualitas Perairan Habitat Labi-Labi di Desa Belawa Secara umum, habitat perairan untuk kehidupan labi-labi di Desa Belawa merupakan perairan yang relatif tenang dengan dasar perairan berupa lumpur atau lumpur berpasir. Hasil pengamatan beberapa kualitas perairan secara in situ di kolam utama disajikan pada Gambar 5. Suhu udara berkisar antara 23 30,5 C (rerata 25,96 C) dan suhu air berkisar antara 25,38 28,36 C (rerata 26,76 C). Secara umum, kisaran suhu air lebih rendah dibandingkan suhu udara pada siang hari dan pada malam hari berlaku sebaliknya. Hal tersebut terkait dengan kapasitas penyimpanan panas air yang lebih tinggi dibandingkan udara. Kadar oksigen terlarut berkisar antara 2,01 3,76 mg/l (rerata 2,91 mg/l) dan relatif tidak terlalu berfluktuasi mengingat kedalaman kolam yang relatif dangkal dan adanya pergerakan labi-labi seperti berenang berpotensi meningkatkan kadar DO melalui difusi O 2 secara langsung dari udara. Fahri et al. (2002) menyatakan bahwa oksigen terlarut bukan merupakan faktor pembatas bagi labi-labi mengingat organisme tersebut bernafas dengan paru-paru dan memliki kemampuan mengambil udara langsung Waktu Pengamatan Suhu Udara ( C) Suhu Air ( C) DO (mg/l) ph Gambar 5. Grafik suhu udara, suhu air, oksigen terlarut dan ph di kolam utama selama 24 jam

5 Makalah Poster Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim Kisaran ph perairan di kolam utama adalah 5,48 6,77 (rerata 5,97) sehingga cenderung bersifat asam. Nilai kekeruhan atau turbiditas berkisar antara 36,4 143 NTU (rerata 71,93 NTU) dengan nilai padatan total terlarut (Total Dissolved Solids/TDS) antara 0,13 0,191 g/l (rerata 0,18 g/l). Nilai turbiditas cenderung lebih fluktuatif mengingat setiap pergerakan labi-labi cenderung bersifat mengaduk lumpur sehingga dapat meningkatkan kekeruhan. Populasi Labi-Labi di Obyek Wisata Belawa Jumlah labi-labi atau kura-kura Belawa di kolam induk Obyek Wisata Belawa sejak tahun 2010 hingga 2012 tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah labi-labi di Obyek Wisata Belawa No. Kategori Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun Telur Tukik Remaja Dewasa Menurut penelitian Mashar (2009) populasi labi-labi di wilayah tersebut sebanyak 220 individu yang terdiri dari 29 individu tukik (13,18%), 112 individu remaja (50,91%), 58 individu dewasa muda (26,36%), dan 21 individu dewasa (9,55%). Namun jumlah tersebut semakin menurun terutama di tahun 2010 ketika terjadi kematian massal labi-labi sebanyak 136 ekor yang terdiri dari 6 ekor labi-labi induk berukuran kg, 70 ekor labilabi dewasa produktif dan 60 ekor ukuran tukik (Dislutkan Kab. Cirebon, 2010). Kematian massal Labi-labi diakibatkan serangan bakteri Edwardsiella tarda. Kondisi sekitar kolam dan sumber air yang diduga tercemar bakteri tersebut yang menyebabkan kematian massal, mengingat di sekitar kolam terdapat pemandian umum dan seringnya aktivitas masyarakat di sekitar kolam tersebut. Selain itu kepadatan labi-labi di kolam pada waktu itu diduga juga menjadi penyebab kematian massal tersebut. Jumlah labi-labi atau kura-kura Belawa di kolam induk Obyek Wisata Belawa pada tahun 2012 menurut data POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) Kuya Asih Mandiri diduga berjumlah 37 labi-labi sedangkan jumlah tukik total di kolam pemeliharaan sebanyak 91 dan jumlah telur dalam masa inkubasi sejumlah 126. Pengelolaan Labi-labi di Obyek Wisata Belawa Labi-labi oleh masyarakat Belawa dianggap sebagai hewan khas daerah tersebut. Di kalangan masyarakat Belawa secara turun temurun berkembang mitos yang mengatakan bahwa barangsiapa yang membawa Kura Kura Belawa keluar dari Desa Belawa akan mendapat musibah, oleh sebab itulah labi-labi di Belawa tidak dieksploitasi atau dimanfaatkan seperti yang terjadi pada populasi labi-labi lainnya di luar Pulau Jawa. Pemahaman masyarakat Belawa tentang mitos labi-labi tersebut dapat disebut sebagai kerifan lokal. Kearifan lokal tersebut yang membuat labi-labi di Belawa terjaga keberadaannya. Masyarakat Belawa sangat bangga terhadap labi-labi atau kura-kura Belawa

6 Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan IV sehingga menjadikan satwa tersebut sebagai ciri khas daerah Belawa. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon mengeluarkan Surat Keputusan Bupati KDH Tingkat II Cirebon No /SK.29/PEREK/1993 yang menyatakan bahwa labi-labi atau kura-kura Belawa merupakan satwa khas daerah Cirebon. Peraturan ini kemudian ditindaklanjuti menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon No. 13 tahun 1997 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang di dalamnya menetapkan Desa Belawa sebagai kawasan Suaka Margasatwa. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 17 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Cirebon disebutkan bahwa luas kawasan lindung kura-kura Belawa di Desa Belawa adalah 20 hektar namun luas wilayah yang ada saat ini masih sekitar 0,2 hektar. Jika mengacu pada pengertian mengenai kawasan lindung suaka margasatwa serta kondisinya saat ini, Desa Belawa tersebut belum dapat dikategorikan sebagai kawasan lindung suaka margasatwa. Walaupun demikian, keberadaan obyek wisata kura-kura Belawa telah dianggap sebagai suatu upaya konservasi Amyda cartilaginea yang berdasar pada kearifan lokal masyarakat dengan adanya mitos yang berkembang terkait kura-kura Belawa tersebut. Pada tahun 1997 setelah ditetapkannnya Desa Belawa sebagai kawasan lindung, dibentuklah Kompepar (Kelompok Peduli Pariwisata) yang dibina oleh Dinas Pariwisata. Kegiatan Kompepar adalah mengelola kegiatan pariwisata di Taman Wisata Belawa yaitu dalam hal retribusi. Sekitar tahun 2008, dibentuk Pokwasmas (Kelompok Masyarakat Pengawas) Kuya Asih Mandiri yang dibina oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Cirebon berdasarkan Surat Keputusan Bupati Cirebon Nomor 523/Kep.596-Dislakan/2008 tentang pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pengawas (POKMASWAS) Kuya Asih Mandiri. Tujuan pembentukan kelompok tersebut adalah sebagai pelaksana pengawasan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan khususnya labi-labi, menampung usulan dan membina kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian labi-labi serta untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan jenis labi-labi. Saat ini Pokwasmas yang ada memiliki total anggota sebanyak 14 orang. Kegiatan Pokwasmas tersebut meliputi penetasan telur serta pemeliharaan dan perawatan labi-labi baik tukik maupun labi-labi dewasa, pendataan jumlah telur, tukik dan labi-labi dewasa secara berkala, pemeliharaan kolam utama seperti pengecekan kondisi lingkungan perairan bersama Dinas Perikanan dan Kelautan serta penyuluhan masyarakat untuk mencegah pencurian telur labilabi dan pengelolaan retribusi dari pengunjung. Saat ini pengelolaan Obyek Wisata Belawa dikelola bersama antara Kompepar dan Pokwasmas dibawah pembinaan Dinas Pariwisata dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon. Kearifan lokal masyarakat Belawa dan kepedulian Pemerintah Daerah hingga didirikannya Obyek Wisata Belawa merupakan salah satu bentuk konservasi untuk satwa labi-labi di Cirebon. Pengelolaan labi-labi di Obyek Wisata Belawa yang dikelola bersama dengan melibatkan masyarakat dan instansi pemerintah setempat dianggap efektif dan sampai saat ini berjalan dengan baik, namun demikian untuk menyempurnakan upaya konservasi tersebut perlu dilakukan perbaikan dalam berbagai hal diantaranya: 1) Penataan ulang kawasan Taman Wisata Belawa. Peraturan daerah kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon No. 13 tahun 1997 tentang pengelolaan kawasan lindung pada pasal 26 menyebutkan bahwa Desa Belawa

7 Makalah Poster Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim merupakan kawasan margasatwa untuk satwa labi-labi atau kura-kura Belawa. Namun dalam perkembangannya lokasi tersebut belum bisa dikategorikan sebagai kawasan lindung suaka margasatwa. Hingga saat ini lokasi tersebut masih dikategorikan objek atau taman wisata, sehingga masih diperlukan penataan yang banyak. Selain itu di dalam taman wisata itu sendiri masih terdapat sumber air yang dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mencuci dan mandi dimana air limbah tersebut dapat mengalir ke kolam induk. 2) Melengkapi sarana dan prasarana yang menunjang pemeliharaan dan perawatan labilabi. Taman wisata Belawa akan dapat melakukan perannya sebagai kawasan untuk perlindungan dan pengelolaan dengan maksimal jika memiliki tempat-tempat pemeliharaan yang representatif bagi labi-labi dalam tiap fase hidupnya, mengingat fase hidup labi-labi cukup lama dan sangat sensitif. Sampai saat ini pemeliharaan labilabi seperti proses penetasan telur masih menggunakan cara dan peralatan tradisional. Oleh sebab itu, diperlukan sarana dan prasarana yang menunjang perawatan dan pemeliharaan dalam tiap fase hidup labi-labi agar pengelolaannya dapat maksimal. 3) Pembinaan yang intensif bagi kelompok masyarakat pengelola Pembinaan yang intensif dalam bentuk pelatihan ataupun peningkatan pengetahuan dalam pemeliharaan dan perawatan labi-labi mutlak diperlukan. Pengetahuan yang masih terbatas dapat menjadi kendala dalam perawatan dan pemeliharaan labi-labi. Penanganan labi-labi yang terserang penyakit tidak dapat dilakukan secara cepat dan tepat karena keterbatasan pengetahuan pengelola dalam pencegahan dan pengobatan dari serangan penyakit. 4) Memaksimalkan peran Taman Wisata Belawa sebagai daerah kunjungan wisata daerah Kabupaten Cirebon. Konservasi akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat bila tujuan konservasi tersebut selaras dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat akan mendukung konservasi jika masyarakat mendapat manfaat dari kegiatan konservasi itu sendiri. Jika Taman wisata Belawa dikelola sebagai lokasi perlindungan dan pemeliharaan labi-labi yang sekaligus sebagai tujuan wisata dan memberi kontribusi bagi masyarakat Belawa, maka dengan mudah masyarakat akan turut serta dalam mengelola dan menjaga kelestarian labi-labi atau kura-kura Belawa tersebut. 5) Menjadikan Obyek Wisata Belawa sebagai sarana edukasi konservasi bagi siswa sekolah di Cirebon. Memberi pemahaman masyarakat tentang pentingnya konservasi akan lebih mudah dilakukan sejak dini yaitu dimulai dari usia anak-anak. Dengan menanamkan kebanggaan akan keberadaan labi-labi Amyda cartilaginea sebagai hewan khas Cirebon dibarengi dengan pelajaran konservasi kepada anak-anak diharapkan menjadi motivasi bagi mereka untuk peduli terhadap keberadaan satwa tersebut. KESIMPULAN Upaya konservasi labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) di Desa Belawa didasari oleh kearifan lokal masyarakat setempat dan diwujudkan dengan didirikannya Obyek Wisata Belawa sebagai kawasan lindung untuk satwa tersebut. Pengelolaan labi-labi di

8 Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan IV kawasan tersebut dilakukan bersama antara masyarakat dalam bentuk POKWASMAS (Kelompok Pengawas Masyarakat) dan Kompepar (Kelompok Pencinta Pariwisata) dengan Dinas Perikanan dan Kelautan serta Dinas Pariwisata. Upaya pelestarian labi-labi di kawasan tersebut sudah berjalan baik namun demikian masih ada beberapa hal yang harus dibenahi untuk menyempurnakan upaya tersebut diantaranya penataan ulang kawasan Obyek Wisata Belawa, melengkapi sarana dan prasarana di kawasan tersebut, pembinaan yang intensif bagi masyarakat pengelola dan memaksimalkan fungsi Obyek Wisata Belawa. DAFTAR PUSTAKA Asian Turtle Conservation Network Species: Amyda cartilaginea. Retrieved on 27 January 2012 from Auliya, M An Identification Guide to the Tortoise and Freshwater Turtles of Brunei Daussalam, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Philippines, Singapore and Timor Leste. TRAFFIC Southeast Asia. Petaling Jaya, Malaysia. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora Amendments to Appendices I and II of CITES 13 th Meeting of the Conference of the Parties Bangkok (Thailand), 2 14 October Bangkok. Amyda cartilagenea proposal.pdf. Diakses pada tanggal 03 Februari Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora [20 Juli 2010]. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Perairan Umum Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Tahun Anggaran Fahri, S., R. Jaya, dan Ardianor Ekobiologi, Tingkah Laku dan Pertumbuhan Labi- Labi, Amyda cartilaginea Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Limnologi Pusat Penelitian Limnologi LIPI: Insana, D.R.M Studi Habitat dan Beberapa Aspek Biologi Kura-Kura Belawa (Amyda cartilaginea Boddaert) di Desa Belawa, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Skripsi. 61p. Iskandar, D.T Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. PAL Media Citra, Bandung. 191p. Iverson, J.B A Revised Checklist with Distribution Maps of the Turtles of the World. Richmond, Indiana: Privately Printed. 363p. Kusrini, M.D. dan A. Tajalli Nasib Kura-Kura Belawa Kini. Warta Herpetofauna Vol. V No.2 Juni 2012: Mashar, A Karakteristik Morfologi, Struktur Populasi dan Karakteristik Telur Kura- Kura Belawa (Amyda cartilaginea Boddaert 1770). Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Laporan Penelitian. 29p.

9 Makalah Poster Bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Perubahan Iklim Priyono, A., M.D. Kusrini dan Kusdinar Kajian Aspek Bioekologi dan Konservasi Kura-Kura Belawa (Amyda cartilaginea). Prosiding Seminar Nasional Konservasi Keanekaragaman Amfibia dan Reptilia di Indonesia. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Rahmi, N Pertumbuhan Juvenil Labi-Labi, Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) (Reptilia: Testudinata: Trionychidae) Berdasarkan Pemberian Jenis Pakan yang Berbeda, dalam Upaya Domestikasi untuk Menunjang Konservasi di Desa Belawa, Kabupaten Cirebon. ). Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Skripsi. 65p. van Dijk, P.P The status of Turtles in Asia. Chelonian Research Monograph 2: 15 23p.

10 Prosiding Forum Nasional Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan IV

PERILAKU HARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, KABUPATEN CIREBON 1

PERILAKU HARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, KABUPATEN CIREBON 1 PERILAKU HARIAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI DESA BELAWA, KABUPATEN CIREBON 1 Agus Arifin Sentosa 2, Danu Wijaya 2 dan Astri Suryandari 2 ABSTRAK Labi-labi (Amyda cartilaginea Boddaert,

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN Tri Muryanto dan Sukamto Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN ABSTRAK

PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN ABSTRAK PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN Astri Suryandari, Danu Wijaya, dan Agus Arifin Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG Menimbang : MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang beragam. Wilayahnya yang berada di khatuistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa jenis tumbuhan dan satwa liar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 30 km di Sumatera Utara, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN No. 1185, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun 2016-2026. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Memasukan: Januari 2013, Diterima: April 2013

PENDAHULUAN. Memasukan: Januari 2013, Diterima: April 2013 Jurnal Biologi Indonesia 9 (2):175-182 (2013) Karakteristik Populasi Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) yang Tertangkap di Sumatera Selatan (Population Characteristics of the Asiatic Softshell

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK PENANGKARAN PENGEMBANGBIAKAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI AREA PT. ARARA ABADI

PENERAPAN TEKNIK PENANGKARAN PENGEMBANGBIAKAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI AREA PT. ARARA ABADI PENERAPAN TEKNIK PENANGKARAN PENGEMBANGBIAKAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI AREA PT. ARARA ABADI THE IMPLEMENTATION OF BREEDING TECHNIQUE OF TRIONYCHIA (Amyda cartilaginea) AT PT. ARARA ABADI AREA

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMEN-KP/2014 TENTANG JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMEN-KP/2014 TENTANG JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMEN-KP/2014 TENTANG JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries 1

PENDAHULUAN. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries 1 PENDAHULUAN PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (PT. BUMWI) adalah merupakan salah satu perusahaan pengusahaan hutan yang mengelola hutan bakau (mangrove). Dan seperti diketahui bahwa, hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2013 T E N T A N G

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2013 T E N T A N G BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2013 T E N T A N G PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS KEBUN RAYA LOMBOK PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor migas yang sangat potensial dan mempunyai andil besar dalam membangun perekonomian yang saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya; KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung Walet (Collocalia spp) merupakan salah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.56/Menlhk/Kum.1/2016 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI MACAN TUTUL JAWA (PANTHERA PARDUS MELAS) TAHUN 2016 2026 DENGAN

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA No.289 2016 KEMEN-LHK. Konsevasi. Amorphophallus. Rencana Aksi. Tahun 2015-2025. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.72/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

VARIASI PARAMETER PERTUMBUHAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI MUSI RAWAS DAN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

VARIASI PARAMETER PERTUMBUHAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI MUSI RAWAS DAN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN VARIASI PARAMETER PERTUMBUHAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea) DI MUSI RAWAS DAN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN BP-14 Agus Arifin Sentosa* dan Astri Suryandari Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang mempunyai keindahan alam yang pantas untuk diperhitungkan.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penting, dimana keberadaannya dibutuhkan oleh manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi, Dukungan Negara dalam konteks pariwisata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri Pariwisata merupakan salah satu sektor jasa yang menjadi unggulan di tiap-tiap wilayah di dunia. Industri Pariwisata, dewasa ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daer

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daer No. 1446, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Suaka Alam. Pelestarian Alam. Kawasan. Kerjasama. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.85/Menhut-II/2014

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Pertama-tama marilah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci