IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Kimia Ubi Kayu Ubi kayu yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu varietas Darul Hidayah yang diperoleh dari Daerah Sukabumi, Jawa Barat. Ubi kayu sebelum dipergunakan sebagai substrat fermentasi terlebih dahulu dijadikan tepung dengan ukuran 40 mesh kemudian dianalisis komposisi kimianya, yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat. Hasil analisis komposisi kimia tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil analisis komposisi tepung kimia ubi kayu. Parameter Komposisi (% bb) Tepung a Tepung gaplek b 1. Kadar air 2. Kadar abu 3. Kadar lemak 4. Kadar protein 5. Serat kasar 6. Selulosa 7. Hemiselulosa 8. Lignin 9. Pati 8,65 ± 0,10 2,55 ± 0,14 6,54 ± 0,02 1,81 ± 0,03 2,69 ± 0,04 0,36 ± 0,01 1,88± 0,03 0,02 ± 0,01 62,54 ± 0,00 13,10 ± 0,07 2,26 ± 0,52 0,27 ± 0,04 2,07 ± 0,61 Data : rerata ± standar deviasi (n = 2) a Analisis proksimat (2009), b Richana et al. (1990). Kandungan air dalam bahan berpengaruh terhadap kesegaran dan daya simpan. Kandungan air ini dipengaruhi oleh varietas, umur tanam, unsur hara tanah dan iklim. Kandungan air dalam ubi kayu segar sekitar 60,30 % (Padonou et al. 2005). Berdasarkan hasil pengukuran kadar air bahan baku tepung ubi kayu yang dipergunakan mengandung sekitar 8,65 ± 0,10 % (bb), sedangkan menurut Richana et al. (2004) yaitu sekitar 13,10 ± 0,07 %. Kadar abu dalam bahan berkaitan dengan kandungan mineral-mineral anorganik sisa pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 o C (Apriyantono et al. 1988). Berdasarkan hasil pengamatan, kadar abu pada bahan adalah 2,55 ± 0,14 % (bb). Kadar abu ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Richana et al. (2004) yaitu sekitar 2,26 ± 0,52 %.

2 Kadar lemak dan protein pada bahan masing-masing sebesar 6,54 ± 0,02 % (bb) dan 1,81 ± 0,03 % (bb). Kadar lemak pada bahan yang dipergunakan konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak yang dilaporkan oleh Richana et al. (2004) yaitu sekitar 0,27 ± 0,04 %, sedangkan menurut Padonou et al. (2005), kadar lemak tepung ubi kayu sekitar 0,56 % (bb). Kandungan lemak dan protein dalam bahan berpengaruh terhadap karakteristik gelatinisasi dan kekentalan bahan pada saat diolah. Lemak pada bahan yang mengandung pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati, sedangkan protein dapat menyebabkan kekentalan pati menurun (Mohamed 2003). Karbohidrat terdiri dari fraksi pati dan serat kasar. Kedua fraksi ini merupakan bagian penting yang akan dipergunakan sebagai substrat fermentasi. Fraksi serat kasar terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pati dan selulosa merupakan homopolimer glukosa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa, galaktosa, arabinopiranosa, arabinofuranosa dan manosa. Glukosa, manosa dan galaktosa merupakan gula dari golongan heksosa, sedangkan xylosa dan arabinosa merupakan gula dari golongan pentosa (Demirbas 2005; Irawadi 1990). Dari hasil analisis komposisi kimia menunjukkan bahwa ubi kayu yang dipergunakan sebagai bahan dalam penelitian ini mengandung karbohidrat 80,45 ± 0,23 % (bb) dengan kandungan pati 62,35 ± 0,00 % dan serat kasar 2,69 ± 0,04 % (bb). Fraksi serat kasar mengandung selulosa 0,36 ± 0,01 % (bb), hemiselulosa 1,88 ± 0,03 % (bb) dan lignin 0,02 ± 0,01 % (bb). Menurut Richana et al. (2004), kadar karbohidrat dalam tepung ubi kayu adalah 82,30 ± 0,31 %. Perbedaan dalam komposisi karbohidrat ubi kayu dapat disebabkan oleh adanya perbedaan varietas, umur panen dan musim panen. Wargiono et al. (2006) menyatakan bahwa hasil ubi segar dan pati ubi kayu dengan umur panen 8 bulan dapat mencapai 16,19 ton/ha dengan hasil pati 2,31 ton/ha, sedangkan pada umur panen 18 bulan dapat mencapai 45,25 ton/ha dengan hasil pati 9,19 ton/ha. Serat kasar (crude fiber) merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam dan basa kuat. Asam dan basa kuat yang biasa dipergunakan untuk analisa kadar serat kasar adalah H 2 SO 4 1,25 % dan NaOH 1,25 %. Selulosa mempunyai bagian yang mudah dihidrolisis disebut bagian amorf dan bagian yang sulit 29

3 dihidrolisis disebut bagian kristalin. Selulosa mempunyai sifat mengembang (sweeling) jika direaksikan dengan hidroksi logam alkali, garam-garam dalam larutan basa kuat dan senyawa amina. Dari sekian senyawa itu, NaOH paling lazim dipergunakan untuk mengembangkan ikatan selulosa (Irawadi 1990) Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi menunjukkan ubi kayu mempunyai potensi sebagai sumber glukosa dalam substrat fermentasi. Kadar lignin dalam ubi kayu ini relatif kecil. Kandungan serat kasar dapat menurunkan efisiensi hidrolisis sehingga meningkatkan dosis enzim yang diperlukan, sedangkan kandungan lignin yang tinggi dapat menghambat proses hidrolisis karena membentuk kompleks dengan selulosa dan hemiselulosa. 4.2 Kultivasi dan Produksi Enzim Kurva pertumbuhan sangat penting dipergunakan untuk menggambarkan karakteristik pertumbuhan mikroba, sehingga memudahkan proses kultivasi dalam suatu media. Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu,, aktivitas air, adanya oksigen dan ketersediaan nutrisi makanan. T. viride A.niger T. viride A.niger T. viride A.niger Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-7 Gambar 5 Inokulum T. viride dan A. niger pada media PDA 30

4 4.2.1 Kultivasi Trichoderma viride Kultivasi pertumbuhan dilakukan untuk menentukan waktu yang diperlukan oleh T. viride untuk menghasilkan spora maksimum yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai kultur dalam media produksi selulase. Kultivasi kultur dilakukan dengan menghitung jumlah spora yang terbentuk setiap hari selama 7 hari. Pada awal inokulasi terdapat rata-rata jumlah spora 7,08 x 10 7 /ml. Pada akhir hari ke-1 jumlah spora mengalami penurunan yang cukup signifikan karena spora diduga telah mengalami germinasi membentuk miselium berwarna putih (Gambar 5). Pada hari berikutnya mulai terbentuk spora berwarna putih dengan jumlah rata-rata 1,02 x 10 8 /ml. T. viride mengalami fase untuk menghasilkan spora dengan cepat mulai dari hari ke-1 hingga hari ke-3. Setelah hari ke-3, T. viride mulai menunjukkan fase pembentukan spora relatif lambat. Pada fase ini miselium dan spora yang dihasilkan masih berwarna putih kehijauan. Perubahan warna miselium dan spora dari putih menjadi hijau mulai terbentuk setelah kultivasi selama 6 hari. Jumlah spora maksimum dengan rata-rata spora 1,58 x 10 9 /ml terjadi pada hari ke-6. Kurva pertumbuhan T. viride disajikan pada Gambar 6. Aktivitas CMC-ase FP-ase (U/ml) Lama fermentasi (hari) 2,E+09 2,E+09 1,E+09 8,E+08 4,E+08 0,E+00 Jumlah spora (per ml) CMC-ase (U/ml) PF-ase (U/ml) Jml spora Gambar 6 Kurva pertumbuhan T. viride, aktivitas CMC-ase dan FP-ase 31

5 4.2.2 Produksi enzim selulase Pada penelitian ini produksi enzim selulase menggunakan Media Andreoti yang dimodifikasi (Jenie 1990). Modifikasi dilakukan dengan mengganti selulosa murni sebagai bahan penginduksi selulase menggunakan onggok ubi kayu. Onggok dapat dipergunakan sebagai bahan penginduksi selulase karena mengandung serat kasar terutama selulosa yang dapat dipergunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan mikroba. Selain itu, selulosa juga merupakan senyawa penginduksi sintesis enzim selulase. Kandungan serat kasar onggok rata-rata 6,58 ± 0,08 % (b/b). Konsentrasi onggok yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 10 g/l. Menurut Richana et al. (2004), kadar serat kasar onggok adalah 9,7 % yang terdiri dari lignin 1,3 %, xilan 5,8 % dan selulosa 2,61 %. Penentuan pengaruh lama fermentasi yang menghasilkan aktivitas paling tinggi dilakukan dengan mengukur besarnya aktivitas enzim kasar setiap hari selama 1 minggu. Pengukuran antivitas enzim ini meliputi CMC-ase dan FP-ase. Dari hasil analisis keragaman diperoleh bahwa lama fermentasi memberi pengaruh nyata terhadap besarnya aktivitas CMC-ase dan FP-ase (p-value<0,05) (Lampiran 5) Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pada awal fermentasi terjadi penurunan aktivitas CMC-ase sampai hari ke-4. Setelah itu aktivitas enzim CMC-ase cenderung mengalami peningkatan dan aktivitas maksimal sebesar 5,05 ± 0,42 U/ml diperoleh setelah fermentasi selama 7 hari atau 1 minggu, namun berdasarkan uji lanjut Duncan, aktivitas CMC-ase ini tidak berbeda nyata pada fermentasi selama 6 hari. Hal serupa juga ditunjukkan pada besarnya aktivitas FP-ase, dimana pada awal fermentasi juga terjadi penurunan aktivitas sampai hari ke-3 dan pada hari berikutnya mengalami peningkatan. Aktivitas maksimal sebesar 4,77 ± 0,72 U/ml juga diperoleh setelah fermentasi selama 7 hari, namun berdasarkan uji lanjut Duncan, aktivitas FP-ase ini tidak berbeda nyata pada fermentasi selama 6 hari. Jenie (1990) memproduksi selulase kasar dari T. reesei selama 9 hari menggunakan substrat onggok diperoleh besarnya aktivitas CMC-ase 12,7 U/ml dan FP-ase sebesar 0,88 U/ml. Terjadinya peningkatan aktivitas enzim selulase (CMC-ase dan FP-ase) menunjukkan T. viride telah melakukan degradasi terhadap fraksi selulosa yang terdapat pada substarat untuk menghasilkan glukosa yang akan dipergunakan untuk metabolisme 32

6 sel. Suhartono (1992) menjelaskan bahwa sintesis enzim ekstraseluler dalam jumlah terbesar secara normal terjadi pada saat sebelum sporulasi, yaitu pada akhir fase eksponensial dan awal fase stasioner. Keadaan tersebut diduga karena pada masa transisi fase eksponensial diikuti dengan penurunan jumlah sumber karbon dalam medium, sehingga sintesis enzim selulase mulai meningkat. Terjadinya peningkatan aktivitas enzim pada proses fermentasi diduga disebabkan oleh adanya perubahan dari awal 4,0 menjadi 3,28 pada hari ke-7 Enari (1983) menyebutkan bahwa optimal untuk pertumbuhan Trichoderma sekitar 4,0, sedangkan untuk produksi selulase mendekati 3,0. Selama produksi enzim, harus dipertahankan dalam kisaran 3,0-4,0 karena inaktivasi enzim akan terjadi jika berada dibawah 2,0. Penurunan yang terjadi pada produksi selulase berhubungan langsung dengan adanya konsumsi karbohidrat yang terdapat pada onggok. Pola perubahan selama fermentasi untuk produksi enzim selulase disajikan pada Lampiran Kultivasi Aspergillus niger dan produksi amiloglukosidase Kultivasi kultur A. niger juga dilakukan selama 7 hari dengan melakukan perhitungan jumlah spora yang terbentuk setiap hari. Pada awal inokulasi terdapat ratarata jumlah spora 3,47 x 10 6 /ml. Pada akhir hari ke-1 spora mengalami penurunan karena diduga spora mengalami germinasi membentuk miselium berwarna hitam (Gambar 5). Pada hari berikutnya mulai terbentuk spora dengan jumlah rata-rata 3,45 x 10 8 /ml. Mikroba menghasilkan spora dengan cepat mulai hari ke-1 hingga hari ke-4 dengan spora berwarna hitam. Setelah hari ke-4 laju pembentukan spora relatif lambat dan jumlah spora maksimum mulai terjadi pada hari ke-6 dengan jumlah rata-rata spora 1,33 x 10 9 /ml. Kurva pertumbuhan A. niger disajikan pada Gambar 7. Pada pengukuran aktivitas enzim kasar amiloglukosidase menunjukkan bahwa variasi lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim (p-value<0,05), dimana pada awal fermentasi terjadi penurunan aktivitas enzim sampai pada hari ke-3 dan selanjutnya mengalami peningkatan sampai hari ke-7. Aktivitas maksimal sebesar 62,77 ± 4,49 U/ml diperoleh pada lama fermentasi 7 hari dan berdasarkan uji lanjut 33

7 Duncan, aktivitas ini berbeda nyata dengan semua perlakuan lama fermentasi (Lampiran 5). A k tiv ita s A M G (U /m l) Lama fermentasi (Hari) AMG spora 1,90E+09 1,40E+09 9,00E+08 4,00E+08-1,00E+08 J m l s p o ra (p e r m l) Gambar 7 Kurva pertumbuhan A. niger dan aktivitas glukoamilase Dari Gambar 7 terlihat bahwa aktivitas enzim glukoamilase pada fermentasi hari ke-1 sampai hari ke-3 mengalami penurunan dari 32,41 U/ml -26,47 U/ml, hal ini dapat disebabkan enzim dalam masa penyesuaian, sedangkan pada hari ke-4 sampai hari ke-7 aktivitas enzim semakin meningkat. Ini menunjukkan semakin lama difermentasi aktivitas glukoamilase semakin besar dalam menghidrolisis pati menjadi monomer glukosa. Perbedaan aktivitas enzim dengan variasi waktu fermentasi dapat disebabkan meningkatnya aktivitas glukoamilase I pada kompleks glukoamilase A. niger pada kondisi waktu fermentasi yang lebih lama. Hal ini dapat pula disebabkan oleh adanya perubahan selama fermentasi (Kombong 2004) Enzim glukoamilase I merupakan komponen kompleks glukoamilase yang aktif menghidrolisis ikatan α-1,6 glikosidik pada rantai cabang pati dan glukoamilase II aktif menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik pada rantai lurus pati menjadi monomer glukosa. Selama proses fermentasi terjadi penurunan awal dari 4,0 sampai 2,68 pada hari ke-3. Penurunan berhubungan dengan konsumsi karbohidrat oleh mikroba. Bila karbohidrat atau glukosa telah habis dikonsumsi, aktivitas glukoamilase dan akan meningkat kembali. Meningkatnya berhubungan dengan dihasilkannya senyawa amoniak atau dengan dikonsumsinya asam yang terbentuk dalam siklus pertumbuhan 34

8 segera setelah semua karbohidrat dikonsumsi. Perubahan selama fermentasi produksi enzim glukoamilase dapat dilihat pada Lampiran Proses Hidrolisis dan Karakteristik Hidrolisat Proses pembuatan hidrolisat dilakukan dengan menghidrolisis fraksi pati dan serat yang terkandung pada bahan. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan glukosa yang akan dipergunakan sebagai substrat S. cerevisiae dalam proses fermentasi. Pada dasarnya prinsip hidrolisis adalah memutuskan rantai polimer bahan menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer bahan. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu. Dalam penelitian ini, pembuatan hidrolisat dilakukan dengan 2 cara yaitu hidrolisis menggunakan asam dan enzim. Asam yang dipergunakan adalah H 2 SO 4 0,4 M dengan waktu hidrolisis 10 menit pada suhu 121 o C, tekanan 1 atm. Penggunaan H 2 SO 4 0,4 M diharapkan hanya menghidrolisis fraksi pati tanpa menghidrolisis fraksi seratnya. Hidrolisis enzimatik mempunyai beberapa keuntungan, yaitu menghasilkan produk yang lebih spesifik sesuai dengan yang diinginkan, kondisi proses dapat dikontrol dan lebih sedikit menghasilkan produk samping. Enzim yang dipergunakan meliputi α-amilase, amiloglukosidase komersial (AMG), selulase komersial dan selulase kasar dari T. viride. Enzim α-amilase dan AMG dipergunakan untuk menghidrolisis fraksi pati menjadi glukosa, sedangkan selulase komersial dan selulase kasar dipergunakan untuk menghidrolisis fraksi serat atau selulosa menjadi glukosa atau gulagula sederhana lainnya yang merupakan monosakarida. Proses hidrolisis secara enzimatik meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan gula kompleks. Pada tahap likuifikasi dilakukan penambahan enzim α-amilase untuk memotong ikatan α-1,4 glikosida pati menjadi dekstrin. Proses ini dilakukan pada suhu 35

9 90 o C selama 1 jam. Dosis enzim yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1 ml/kg pati (Budiyanto et al ). Likuifikasi merupakan proses pencairan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi dapat dilakukan dengan melakukan pemanasan pati di dalam air sehingga granula pati mulai mengembang sehingga kekentalannya meningkat (Thomas dan Atwell 1997). Adanya proses gelatinisasi menyebabkan ikatan-ikatan antar molekul pati lebih lemah sehingga kerja enzim dapat lebih mudah. Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50 o C selama 48 jam. Enzim yang ditambahkan pada tahap ini adalah AMG yang berfungsi untuk memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi, baik pada ikatan α-1,4 maupun α-1,6 glikosida dan menghasilkan unit-unit glukosa. Dosis AMG yang dipergunakan sebesar 1,2 ml/kg pati (Budiyanto et al ). Beberapa perlakuan hidrolisis pada tahap sakarifikasi ditambahkan enzim selulase baik yang komersial maupun filtrat enzim selulase kasar. Enzim selulase yang ditambahkan pada tahap sakarifikasi ini diharapkan dapat menghidrolisis fraksi serat terutama selulosa yang mempunyai ikatan β-1,4 glikosida untuk menghasilkan glukosa. Karakteristik hasil hidrolisis asam dan enzim disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik hasil hidrolisis asam dan enzim Hidrolisis Total gula Gula reduksi (% b/v) (% b/v) Asam (H 2 SO 4 0,4 M) 38,93 ± 8,09 22,04 ± 4,31 α-amilase, AMG 34,93 ± 10,28 19,50 ± 3,65 α-amilase, AMG, selulase kasar 35,59 ± 11,32 21,11 ± 1,94 α-amilase, AMG, selulase komersial 36,62 ± 22,23 26,43 ± 2,60 AMG : Amiloglukosidase komersial, Data : Rerata ± standar deviasi (n = 3) DE (%) 56,63 55,82 59,32 72,17 Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis hidrolisis tepung ubi kayu berpengaruh nyata terhadap total gula yang dihasilkan (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara hidrolisis asam dengan hidrolisis yang hanya menggunakan enzim amilolitik (α-amilase, AMG), namun perlakuan asam ini tidak bebeda nyata dengan perlakuan hidrolisis yang menggunakan enzim amilolitik dan selulase. Total gula tertinggi diperoleh dari hasil hidrolisis asam yaitu sebesar 389,25 ± 8,09 g/l. 36

10 Penggunaan H 2 SO 4 menghasilkan total gula lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis secara enzimatik, hal ini diduga karena hidrolisis menggunakan asam akan memecah secara acak polisakarida pati maupun non pati seperti selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah yang lebih besar. Proses hidrolisis kulit ubi kayu dengan menggunakan H 2 SO 4 dengan konsentrasi 0,01-0,25 M pada suhu 135 o C, tekanan 15 lb/ inch 2, selama 90 menit diperoleh hasil 199 mg gula pereduksi/gram bahan (bk) dengan komposisi 37 % glukosa, 4,8 % xilosa dan 4,1 % ramnosa (Kongkiattikajorn dan Kalaya 2006). Analisis keragaman terhadap gula pereduksi menunjukkan perbedaan perlakuan hidrolisis berpengaruh nyata terhadap gula pereduksi, dan dari uji lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan, dimana gula pereduksi tertinggi diperoleh dari hasil hidrolisis menggunakan kombinasi α-amilase, AMG, selulase komersial yaitu sebesar 264, 28 ± 2,60 g/l (Gambar 8 dan Lampiran 6) Konsentrasi (g/l) Asam H2SO4 α-amilase, AMG α-amilase, AMG, selulase komersial Jenis hidrolisis α-amilase, AMG, selulase kasar Total gula Gula pereduksi Gambar 8 Pengaruh hidrolisis terhadap total gula dan gula pereduksi Angka pereduksi atau dextrose equivalent (DE) menunjukkan jumlah gula pereduksi dari pati atau turunannya yang dihitung sebagai nilai dekstrosa (Wurzburg 1989). Nilai DE sesungguhnya memberikan sedikit gambaran tentang kandungan gula pereduksi dalam suatu larutan, namun besaran ini dapat dipergunakan secara tidak 37

11 langsung untuk mengukur jenis dan kuantitas gula-gula yang ada di dalam larutan atau spektrum gula (Tjokroadikoesoemo 1986). Pada hidrolisis secara enzimatik, terlihat bahwa adanya penambahan enzim selulase komersial dan enzim kasar dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi yang ada pada bahan jika dibandingkan dengan perlakuan yang hanya menggunakan enzim α- amilase, AMG. Angka pereduksi tertinggi 72,166 % diperoleh dari proses sakarifikasi dengan AMG yang ditambahkan selulase komersial 15 Unit/g serat kasar, diikuti oleh proses sakarifikasi dengan AMG yang ditambahkan selulase kasar sebesar 59,315 % dan hidrolisis tanpa penambahan enzim selulase sebesar 57,154 %. Adanya peningkatan konsentrasi gula pereduksi dengan penambahan enzim selulase jika dibandingkan dengan hanya menggunakan enzim amilolitik diduga enzim selulase mampu menghidrolisis selulosa pada fraksi serat untuk menghasilkan lebih banyak glukosa. Selain itu, diduga enzim selulase mampu melonggarkan dan menghidrolisis ikatan-ikatan pada serat sehingga kinerja enzim AMG dapat lebih maksimal untuk menghidrolisis fraksi pati menghasilkan glukosa. Peningkatan konsentrasi gula pereduksi dapat disebabkan oleh serangan selulase secara sinergis antara endoglukonase, selobiohidrolase dan β-glukosidase. Pada tahap awal endoglukonase menghidrolisis ikatan 1,4 secara acak dan bekerja pada bagian amorf dari serat selulosa. Selanjutnya selobiohidrolase menghidrolisis ujung rantai selulosa menghasilkan selobiosa, dimana selobiosa ini dihidrolisis oleh β- glukosidase menjadi glukosa ( Dewi 2002; Reezey et al. 1996) Menurut Sriroth et al. (2000), untuk meningkatkan hasil hidrolisis singkong yang mengandung fraksi pati dan serat dapat dilakukan dengan menggunakan campuran enzim selulase, xilanase, β,d-glukosidase, amilase, AMG dan pektinase. Dengan adanya campuran enzim akan dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi pati dengan meregangkan atau menghidrolisis struktur polisakarida yang mengikat pati. Penggunaan selulase 15 U/g substrat dan pektinase 122,5 U/g substrat untuk menghidrolisis tepung ubi kayu selama 1 jam dapat meningkatkan perolehan pati 40 %. Obalua (2007), melaporkan bahwa hidrolisis onggok ubi kayu dengan menggunakan selulase dan pektinase pada suhu 28 o C selama 1 jam, diikuti dengan hidrolisis α-amilase pada suhu 100 o C selama 2 jam dam kemudian dihidrolisis dengan AMG pada suhu 60 o C selama 4 jam menghasilkan 12,24 % (b/v) gula pereduksi. 38

12 Peningkatan konsentrasi gula pereduksi disebabkan oleh adanya sinergi antara selulase, α-amilase, AMG dan adanya penambahan pektinase dapat mengurangi kekentalan substrat sehingga kinerja enzim lebih efektif. Srinorakutara et al. (2004) menyatakan bahwa hidrolisis onggok ubi kayu dengan menggunakan H 2 SO 4 0,6 M pada suhu 120 o C selama 30 menit menghasilkan gula pereduksi maksimum 6,09 % (b/v). Hidrolisis dengan menggunakan enzim α- amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula pereduksi 4,23 % (b/v). Hidrolisis dengan kombinasi enzim selulase, α-amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula pereduksi 4,74 % (b/v). Hidrolisis dengan menggunakan enzim pektinase, selulase, α- amilase dan AMG menghasilkan 4,98 % (b/v) gula pereduksi. 4.4 Proses Fermentasi Pembuatan etanol pada umumnya dilakukan melalui proses fermentasi. Fermentasi merupakan proses untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol dan CO 2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO 2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof- Parnas (EMP), sedangkan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol. Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi etanol adalah S. cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 o C (Harrisson dan Graham 1970). Proses produksi etanol ini dilakukan melalui fermentasi secara batch atau nir sinambung dengan tujuh perlakuan alternatif tahapan proses produksi. Proses fermentasi menggunakan erlenmeyer 1000 ml dengan volume substrat 500 ml. Kondisi fermentasi dilakukan pada suhu ruang, dimana pada 24 jam awal dilakukan proses agitasi dengan kecepatan 150 rpm. Proses ini bertujuan untuk mempermudah difusi oksigen ke dalam medium sehingga kontak antara substrat dan inokulum makin banyak dan homogen. Menurut Hollaender (1981), agitasi dapat memperlancar difusi oksigen sehingga kadar oksigen terlarut dalam medium akan cukup mendukung untuk 39

13 pertumbuhan sel secara aerobik. Setelah jam ke-24 agitasi dihentikan untuk memperoleh kondisi anaerob, sehingga proses produksi etanol dapat berjalan lebih optimal. Substrat diatur awalnya sampai mencapai 5,0 dengan menggunakan HCl 1N. Proses fermentasi dilakukan selama 96 jam dan diamati perubahan total gula dan secara periodik. Pada akhir fermentasi dianalisis kandungan serat kasar sisa, total gula sisa dan kadar etanol yang dihasilkan. Etanol yang dihasilkan akan dihitung efisiensi fermentasinya berdasarkan jumlah substrat yang dikonsumsi oleh khamir untuk menghasilkan etanol secara teorits. Perhitungan didasarkan pada metabolisme glukosa menjadi etanol melalui jalur EMP. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku glukosa terlihat pada persamaan reaksi berikut: C 6 H 12 O 6 2C 2 H 5 OH + 2CO ATP + 5 Kkal Dari reaksi diatas, secara teoritis 100 % karbohidrat diubah menjadi 51,1% etanol dan 48,9 % menjadi CO 2. Efisiensi fermentasi merupakan persentase perbandingan antara konsentrasi etanol yang diperoleh (aktual) dengan konsentrasi etanol secara teoritis. Yield atau rendemen produk adalah persentase etanol yang terbentuk per substrat tepung ubi kayu yang dipergunakan. Efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) merupakan perbandingan jumlah substrat glukosa yang dikonsumsi dengan substrat awal yang tersedia. Perlakuan pertama (P 1 ), proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan asam yaitu H 2 SO 4 0,4 M selama10 menit. Hasil hidrolisis berupa hidrolisat glukosa yang masih bercampur dengan serat. Hidrolisat kemudian didetoksifikasi dan dinetralisasi dengan cara menambahkan NH 4 OH 10 % hingga mencapai 10,0 dan dibiarkan selama 30 menit, setelah itu diatur -nya menjadi 5,0 dengan menambahkan HCl 1 N (Alriksson et al. 2005). Hidrolisat ini kemudian ditambahkan kultur T. viride (1,58 x 10 9 /ml) sebanyak 10 % dari volume substrat dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah inkubasi dilakukan proses fermentasi dengan menambahkan kultur S. cerevisiae sebanyak 10 % dari volume substrat. Penambahan kultur T. viride dimaksudkan untuk menghidrolisis fraksi serat yang terdapat pada hidrolisat terlebih dahulu untuk menghasilkan glukosa, kemudian glukosa yang terbentuk dimanfaatkan oleh S. 40

14 cerevisiae untuk memproduksi etanol. Perubahan total gula dan substrat selama fermentasi disajikan pada Gambar 9. 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Lama fermentasi (Jam) Total Gula (g/l) Total gula Gambar 9 Perubahan dan total gula selama fermentasi P 1 Perlakuan kedua (P 2 ), proses hidrolisis dan netralisasi dilakukan sama halnya seperti pada perlakuan P 1, hanya saja hidrolisat asam yang masih mengandung serat setelah dinetaralisasi dan diatur -nya sampai 5,0 kemudian ditambahkan kultur campuran T. viride (1,58 x 10 9 /ml) dan S. cerevisiae secara simultan dengan perbandingan 1:1 yaitu masing-masing 10 % dari volume substrat. Penambahan kultur campuran ini dimaksudkan agar T. viride dapat menghidrolisis serat dan hasilnya langsung dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol. 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Lama fermentasi (Jam) Total Gula (g/l) Total gula Gambar 10 Perubahan dan total gula selama fermentasi P 2 41

15 Selama proses fermentasi pada perlakuan P 2 (Gambar 10) terjadi penurunan konsentrasi total gula dan. Penurunan konsentrasi total gula terjadi dari 383,08 ± 3,70 g/l menjadi 277,94 ± 17,29 g/l, sedangkan penurunan awal terjadi dari 5,01 ± 0,01 menjadi 4,27 ± 0,02. Penurunan total gula dan terjadi secara cepat pada awal fermentasi sampai jam ke-24 (Gambar 14). Pada fase ini diduga mikroba lebih banyak mengkonsumsi substrat untuk menghasilkan etanol dibandingkan dengan waktu setelah jam ke-24 sampai jam ke-96. Selama proses fermentasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 3,92 ± 0,31 % (b/v) dan rendemen 15,99 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 49,48 % dan 40,49 %. Perlakuan ketiga (P 3 ) menggunakan proses SFS, dimana pada tahap awal dilakukan proses hidrolisis enzimatik melalui proses likuifikasi menggunakan enzim α- amilase. Enzim ini hanya berfungsi untuk mencairkan pati yang telah tergelatinisasi dan hanya menghidrolisis fraksi amilosa yang mempunyai ikatan pada pati α-1,4 glikosidik, sedangkan fraksi amilopektin yang juga mempunyai ikatan α-1,6 glikosidik dan fraksi serat terutama selulosa yang mempunyai ikatan β-1,4 glikosidik tidak akan terhidrolisis. Setelah likuifikasi dilakukan proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan dengan menambahkan kultur campuran A. niger (1,33 x 10 9 /ml), T. viride (1,58 x 10 9 /ml) dan S. cerevisiae dengan perbandingan 1:1:1 yaitu masing-masing 10 % dari volume substrat. Pemberian kultur campuran dilakukan dengan menambahkan supernatan dan miselium yang telah diproduksi selama 7 hari ( Kovacs et al. 2009). 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Lama fermentasi (Jam) Total Gula (g/l) Total gula Gambar 11 Perubahan dan total gula selama fermentasi P 3 42

16 Penambahan kultur A. niger dimaksudkan agar enzim AMG yang dihasilkan oleh A. niger akan langsung menghidrolisis fraksi amilopektin untuk menghasilkan glukosa, begitu juga dengan penambahan T. viride diharapkan enzim selulase yang dihasilkan akan mampu menghidrolisis fraksi selulosa pada fraksi serat kasar untuk menghasilkan glukosa. Glukosa yang dihasilkan dari kultur campuran ini secara simultan dimanfaatkan oleh S. cerevisiae untuk memproduksi etanol. Selama proses fermentasi pada perlakuan P 3 terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 340,29 ± 10,49 g/l menjadi 24,81 ± 7,09 g/l dan penurunan awal dari 5,01 ± 0,01 menjadi 3,93 ± 0,10 terjadi sampai jam ke-48. Setelah jam ke-48, terjadi peningkatan akhir fermentasi menjadi 4,01 ± 0,170. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi mulai jam ke-18 sampai jam ke-24, setelah itu, penurunan konsentrasi total gula relatif lambat (Gambar 11). Selama proses fermentasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 7,41 ± 1,79 % (b/v) dan rendemen 32,76 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 46,05 % dan 92,709 %. Perlakuan keempat (P 4 ), Proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik melalui proses likuifikasi dengan enzim α-amilase dan proses sakarifikasi menggunakan campuran enzim AMG dan filtrat enzim selulase kasar dari hasil produksi menggunakan kultur T.viride. Setelah proses sakarifikasi dilakukan fermentasi dengan penambahan S. cerevisiae 10 % dari volume substrat. 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Lama fermentasi (Jam) Total Gula (g/l) Total gula Gambar 12 Perubahan dan total gula selama fermentasi P 4 43

17 Perubahan total gula dan juga terjadi pada perlakuan P 4. Pada Gambar 12 terlihat bahwa selama proses fermentasi terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 377,74 ± 4,67 g/l menjadi 20,69 ± 2,78 g/l. Penurunan awal dari 4,96 ± 0,05 menjadi 3,05 ± 0,39 terjadi sampai jam ke-24. Setelah itu, terjadi peningkatan akhir fermentasi menjadi 3,17 ± 0,42. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi mulai jam ke-6 sampai jam ke-24, setelah melewati jam ke-24 penurunan konsentrasi total gula relatif lambat. Penurunan awal terjadi sangat cepat dari awal fermentasi sampai jam ke-18. Setelah melewati jam ke-18 substrat relatif konstan. Dengan menggunakan perlakuan ini, konsentrasi etanol yang diperoleh sebesar 9,29 ± 1,76 % (b/v) dengan rendemen 34,77 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 51,03 % dan 94,52 %. Perlakuan kelima (P 5 ), proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik. Hasil hidrolisis pada tahap likuifikasi berupa hidrolisat glukosa yang masih bercampur dengan serat, kemudian ditambahkan kultur A. niger (1,33 x 10 9 /ml) dan T. viride (1,58 x 10 9 /ml) dengan perbandingan 1:1 yaitu masing-masing sebanyak 10 % dari volume substrat dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah inkubasi dilakukan proses fermentasi dengan menambahkan kultur S. cerevisiae sebanyak 10 % dari volume substrat. 6, ,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Total Gula (g/l) Lama fermentasi (Jam) Total gula Gambar 13 Perubahan dan total gula selama fermentasi P 5 Selama proses fermentasi pada perlakuan P 5, terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 335,76 ± 12,85 g/l menjadi 32,05 ± 4,51 % g/l, sedangkan penurunan dari 5,10 ± 0,10 menjadi 4,12 ± 0,12. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi 44

18 mulai dari jam ke-18 sampai jam ke-24 dan penurunan terjadi pada jam ke-6 sampai jam ke-18 (Gambar 13). Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari perlakuan ini sebesar 6,38 ± 0,66 % (b/v) dengan rendemen 28,21 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 41,18 % dan 90,45 %. Perlakuan keenam (P 6 ) pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama dengan perlakuan P 4. Perbedaan hanya terjadi pada proses sakarifikasi, dimana perlakuan P 6 menggunakan campuran AMG dengan selulase komersial. 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Lama fermentasi (Jam) Total Gula (g/l) Total gula Gambar 14 Perubahan dan total gula selama fermentasi P 6 Penurunan total gula selama proses fermentasi P 6 terjadi dari konsentrasi 380,21 ± 17,03 g/l menjadi 22,75 ± 0,69 g/l dan penurunan terjadi dari 5,01 ± 0,09 menjadi 3,40 ± 0,65. Penurunan konsentrasi total gula secara cepat terjadi mulai pada jam ke-12 sampai jam ke 24, sedangkan penurunan terjadi mulai awal sampai jam ke-18 (Gambar 14). Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi ini 8,92 ± 0,56 % (b/v) dengan rendemen 33,36% (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 48,80 % dan 94,210 %. Perlakuan kontrol (P 7 ), proses hidrolisis dilakukan secara enzimatik melalui proses likuifikasi dengan enzim α-amilase dan proses sakarifikasi menggunakan enzim AMG. Hasil hidrolisat yang masih mengandung serat kemudian difermentasi selama 96 jam dengan menambahkan S. cerevisiae sebanyak 10 % dari volume substrat. Selama proses fermentasi pada perlakuan kontrol terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 376,91 ± 15,17 g/l menjadi 24,11 ± 1,42 g/l, sedangkan penurunan terjadi mulai 4,91 ± 0,11 menjadi 3,07 ± 0,59 (Gambar 15). Penurunan konsentrasi total gula tejadi 45

19 secara cepat mulai jam ke-12 sampai jam ke- 36, sedangkan penurunan mulai terjadi dari awal fermentasi sampai jam ke-24. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari perlakuan ini 5,34 ± 0,63 % (b/v) dengan rendemen 20,05 % (v/b). Efisiensi fermentasi dan penggunaan substrat masing-masing 30,05 % dan 93,603 %. 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0, Total Gula (g/l) Lama fermentasi (Jam) Total gula Gambar 15 Perubahan dan total gula selama fermentasi P 7 Diskusi Pada semua perlakuan menunjukkan adanya korelasi searah antara penurunan total gula dengan yaitu penurunan konsentrasi total gula diikuti dengan penurunan substrat. Hal ini berkaitan dengan adanya konsumsi glukosa melalui proses glikolisis dan akumulasi senyawa asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi. Senyawa asam-asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan asam piruvat. Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada siklus EMP. Selama proses glikolisis, setiap satu mol glukosa akan dipecah menjadi dua mol asam piruvat dan melepaskan dua mol ion H +. Adanya ion H + ini diduga dapat menurunkan larutan fermentasi. Secara keseluruhan proses glikolisis dapat dilihat dari persamaan reaksi berikut ini: Glukosa + 2 ADP + 2 NAD Pi 2 Piruvat + 2 ATP + 2 NADH + 2 H + Asam piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO 2 oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya dirubah menjadi alkohol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Adanya penumpukan asam diduga karena S. cerevisiae kurang 46

20 mampu untuk mengubah asam piruvat menjadi etanol sehingga terjadi penumpukan asam. Penurunan selama proses fermentasi dapat juga disebabkan oleh adanya proses ionisasi H + dan penggunaan (NH 4 ) 2 SO 4 sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan sel. (NH 4 ) 2 SO 4 jika berada di dalam larutan akan terionisasi menjadi ion NH + 4 dan SO 2-4. Dalam proses pembentukan massa sel, mikroba akan mengkonsumsi NH + 4 untuk membentuk R-NH + 3. Pembentukan R-NH + 3 oleh NH + 4 yang semakin banyak akan meningkatkan pelepasan ion H + ke dalam larutan substrat, sehiggan menjadi semakin menurun. Pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam, laju fermentasi lebih lambat dari pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim. Hal ini dilihat dari laju konsumsi glukosa yang berlangsung secara lambat pada tahap awal dan mulai menurun secara cepat setelah jam ke-18 (P 1 dan P 2 ). Lambatnya laju fermentasi diduga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa penghambat yang terbentuk selama proses hidrolisis asam seperti senyawa furfural, HMF, asam karboksilat dan komponenkomponen fenol (Mussatto dan Roberto 2004). Fase awal yang lambat menunjukkan mikroorganisme memerlukan fase adaptasi (lag phase) yang lebih lama. Kondisi ini diduga disebabkan oleh adanya proses sintesis enzim atau koenzim baru oleh mikroorganisme untuk menguraikan furfural ( Boyer et al. 1992). Palvist dan Hagerdal (2000b) menyatakan bahwa adanya fase adaptasi berkaitan dengan adanya sintesis enzim baru untuk merubah furfural menjadi furfural alkohol, dan proses ini melibatkan enzim alkoholdehidrogenase (ADH) yang sebenarnya berfungsi untuk merubah asetaldehid menjadi etanol. Sanchez dan Bautista (1988) menyatakan bahwa HMF pada konsentrasi 2 g/l akan memperpanjang waktu lag fase pada kultivasi mikroba. Taherzadeh et al. (1999) melaporkan bahwa furfural dapat menyebabkan lambatnya laju pertumbuhan spesifik dan laju produksi etanol baik pada kondisi anaerob maupun aerob pada sistem kultivasi dan fermentasi menggunakan kultur S. cerevisiae CBS 8066 secara batch. Pada konsentrasi furfural 4 g/l dapat menurunkan laju pembentukan CO 2 sekitar 35 %. Penurunan laju pembentukan CO 2 ini terjadi secara cepat pada fase awal kultivasi dan fermentasi. Laju pertumbuhan spesifik mikroba menurun dari 0,4 sampai 0,03 ± 0,02 /jam, sedangkan laju produktivitas etanol menurun dari 1,6 ± 0,1 g/g jam menjadi 0,5 ± 0,2 g/g jam. Laju pertumbuhan spesifik dan 47

21 produktivitas akan segera meningkat setelah furfural dikonversi menjadi furfural alkohol dengan laju konversi 0,6 ± 0,03 g (furfural)/ g (biomassa) jam. Kondisi fermentasi menggunakan hidrolisat enzim menunjukkan pola penurunan konsentrasi total gula dan yang berbeda dengan fermentasi menggunakan hidrolisat asam. Pada fermentasi hidrolisat enzim, laju fermentasi yang ditandai dengan laju penurunan konsentrasi gula terjadi lebih cepat pada fase-fase awal sampai memasuki jam ke-24 dan umumnya setelah jam ke-24 laju penurunan konsentrasi gula relatif lambat. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya akumulasi etanol, asam yang cukup tinggi dan semakin terbatasnya konsentrasi substrat. Etanol dapat menghambat proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan produk, sedangkan asam dapat menurunkan substrat sehingga khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal (You et al. 2003; Pampulha dan Dias 1989). Clark dan Mackie (1984) melaporkan bahwa pada konsentrasi etanol 1-2 % (b/v) sudah cukup menghambat pertumbuhan dan pada konsentrasi etanol 10 % (b/v) laju pertumbuhan hampir berhenti. Berdasarkan hasil produksi etanol dari masing-masing perlakuan, setelah dilakukan analisis ragam diperoleh bahwa perlakuan jenis proses fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi etanol yang dihasilkan (p-value < 0,05) dan dari uji lanjut Duncan terlihat bahwa konsentrasi etanol tertinggi diperoleh dari perlakuan P 4 yaitu 9,29 ± 1,76 % (b/v), namun konsentrasi etanol yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan konsentrasi etanol dari perlakuan P 6 (Lampiran 10). Rendemen (% v/b) Ef.pemanfaatan substrat (%) Konsentrasi etanol (%b/v) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Perlakuan Rendemen efisiensi substrat konsentrasi etanol Gambar 16 Pengaruh jenis perlakuan fermentasi terhadap konsentrasi etanol, rendemen dan efisiensi substrat 48

22 Rendemen pembuatan etanol dari tepung ubi kayu tertinggi juga diperoleh dari perlakuan P 4 yaitu sebesar 34,77 % (v/b). Hal ini berarti untuk menghasilkan 1 liter etanol dibutuhkan sekitar 2,88 Kg tepung ubi kayu (Lampiran 9). Nurdyastuti (2005) melaporkan bahwa konversi bahan baku pati ubi kayu menjadi bioetanol menghasilkan rendemen sekitar 16, 67 %. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya penambahan enzim selulase pada perlakuan P 4 dan P 6 mampu melonggarkan dan menghidrolisis ikatanikatan selulosa, sehingga S. cerevisiae lebih mudah memanfaatkan glukosa hasil hidrolisis untuk menghasilkan etanol. Zhang dan Lynd (2004); Reezey et al. (1996) melaporkan bahwa selulase dapat menghidrolisis selulosa dengan adanya sinergisme 3 komponen enzim selulase yang terdiri dari endoglukonase, selobiohidrolase dan β- glukosidase. Efisiensi pemanfaatan substrat pada proses P 3 dan P 5 yang menggunakan kultur campuran memberikan nilai yang relatif tinggi yaitu masing-masing 92,71 % dan 90,45 %, namun memberikan konsentrasi etanol yang lebih rendah dibandingkan dengan proses P 4 dan P 6 yang hanya menggunakan kultur tunggal S. cerevisiae. Hal ini diduga disebabkan oleh semakin banyaknya mikroba yang dipergunakan, maka semakin besar jumlah kubutuhan glukosa sebagai sumber karbon yang diperlukan untuk pembentukan biomassa sel. Adanya efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) yang tinggi, sedangkan efisiensi fermentasi yang relatif kecil dapat juga disebabkan oleh konsentrasi total gula dalam substrat tidak sepenuhnya terkonversi menjadi etanol, melainkan dipergunakan untuk pertumbuhan sel mikroba, atau asam piruvat yang terbentuk pada proses glikolisis belum mampu sepenuhnya dirubah menjadi etanol oleh S. cerevisiae. Adanya penumpukan asam piruvat ini ditandai dengan adanya penurunan selama proses fermentasi. Secara umum hasil-hasil fermentasi dari hidrolisat enzimatik menghasilkan konsentrasi etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi etanol dari hidrolisat asam. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa inhibitor sebagai hasil samping dari proses hidrolisis asam yang menggunakan suhu dan tekanan yang relatif tinggi yaitu sekitar 121 o C dan 15 Psi. Pada suhu dan tekanan yang tinggi komponen-komponen gula hasil hidrolisis akan terdegradasi lebih lanjut. Gula-gula dari golongan pentosa seperti xilosa dan arabinosa didegradasi menjadi furfural, sedangkan gula dari golongan heksosa seperti glukosa akan terdegradasi menjadi HMF (Sjostrom 49

23 2003). Hidroksimetil furfural akan dapat terus bereaksi untuk membentuk asam-asam organik seperti asam levulinat dan asam format yang dapat berpengaruh terhadap penurunan substrat. Furfural dan HMF dapat bersifat toksik bagi mikrooganisme fermentatif baik pada kapang, khamir maupun bakteri (Chandel et al. 2007; Horvarth et al. 2003). Furfural juga dilaporkan bersifat lebih toksik dari pada HMF dalam metabolisme S. cerevisiae. Konsentrasi furfural 1 g/l dapat menurunkan laju metabolisme CO 2 dan menurunkan laju pertumbuhan sel pada fase awal pertumbuhan (Purwadi 2006; Taherzadeh et al. 2000; Modig 2002). Dari Gambar 16 dapat diketahui bahwa penggunakan kultur campuran T. viride, A. niger dan S. cerevisiae terhadap hidrolisat enzimatik pada perlakuan P 3 dan P 5 menghasilkan konsentrasi etanol dan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P 7 ). Penggunaan proses SFS pada perlakuan P 3 dapat meningkatkan hasil etanol 38,26 % terhadap kontrol (P 7 ), sedangkan dengan menggunakan kultur campuran yang ditambahkan secara bertahap (P 5 ) ada kecenderungan meningkatkan hasil fermentasi hingga 19,056 % terhadap kontrol. Hal sebaliknya terjadi pada penggunakan kultur campuran T. viride dan S. cerevisiae pada hidrolisat asam (P 1 dan P 2 ) yang menunjukkan hasil produksi etanol yang relatif lebih kecil dari pada perlakuan kontrol, namun mempunyai rendemen yang lebih besar dari pada kontrol. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya sisa substrat yang tidak bisa dikonversi oleh mikroba menjadi etanol dan kemungkinan adanya senyawa-senyawa inhibitor sebagai hasil samping dari proses hidrolisis asam yang menyebabkan proses konversi menjadi lambat. Keadaan ini dapat dilihat dari penurunan total gula yang terjadi secara cepat pada masa-masa akhir proses fermentasi. Penggunaan kultur campuran Fusarium oxisporum dan S. cerevisiae melalui proses SFS untuk memproduksi etanol dengan menggunakan substrat hidrolisat sorgum menghasilkan 33,2 g/l etanol dengan efisiensi fermentasi 68,60 % dari etanol teoritis (Christakopoulus et al. 1993). Produksi etanol selama 48 jam menggunakan kultur campuran khamir amilolitik S. diastaticus dan S. cerevisiae pada substrat pati mampu meningkatkan rendemen 48 % dibandingkan dengan menggunakan kultur tunggal S. diastaticus dengan efisiensi fermentasi 93 % dari etanol teoritis (Verma 2000). Dalam proses SFS, kamir secara langsung memfermentasi produk gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh kompleks enzim selulolitik, sehingga laju 50

24 sakarifikasi dan rendemen etanol yang dihasilkan akan lebih tinggi. Selain itu, efek penghambatan selobiosa dan glukosa pada enzim dapat diminimalkan dengan mengurangi konsentrasi gula pada media (Koesnandar 2001). Konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi dapat menyebabkan depresi pada sistem metabolisme mitokondria dan sintesis enzim sel atau sering disebut dengan glucose effect (Petrik et al. 1982). Gaur (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan biomassa S. cerevisiae mengalami peningkatan sampai konsentrasi glukosa 20 % (b/v) dan pada konsentrasi 25 % (b/v) biomassa sel mengalami penurunan sekitar 30 %. Menurut Ballesteros et al. (2004), proses SFS dapat lebih banyak menghasilkan rendemen etanol dibandingkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi secara terpisah serta lebih sedikit membutuhkan enzim untuk hidrolisis. Resiko kemungkinan terjadinya kontaminasi dalam proses SFS lebih rendah dibandingkan dengan hidrolisis dan fermentasi terpisah karena adanya etanol yang langsung dihasilkan dari proses SFS (Ohgren et al. 2006). Penggunaan enzim selulase baik filtrat kasar maupun komersial yang ditambahkan secara simultan pada tahap sakarifikasi ternyata dapat meningkatkan produksi etanol. Penggunaan filtrat enzim selulase kasar pada perlakuan P 4 dapat meningkatkan konsentrasi etanol dari 5,36 ± 0,63 % (b/v) menjadi 9,29 ± 1,76 % (b/v) atau meningkat 73,45 % terhadap kontrol, sedangkan dengan penambahan selulase komersial konsentrasi etanol meningkat dari 5,36 ± 0,63 % (b/v) menjadi 8,92 ± 0,73 % (b/v) atau meningkat 66,42 % terhadap kontrol. Sree et al. (2000) menyebutkan bahwa pada proses produksi etanol pada suhu 30 o C selama 48 jam menggunakan S. cerevisiae US 3 dengan konsentrasi glukosa yang berbeda-beda, diperoleh konsentrasi etanol tertinggi 9,30 % (b/v) dari substrat glukosa 20 %, sedangkan pada konsentrasi glukosa 15 % dan 25 % diperoleh konsentrasi etanol masing-masing sebesar 7,25 % (b/v) dan 8,3 % (b/v). Pada kondisi fermentasi yang sama, Gaur (2006) melaporkan bahwa kondisi terbaik untuk produksi etanol dari substrat molases dilakukan pada konsentrasi glukosa 20 % dengan konsentrasi etanol 9,15 % (b/v). Berdasarkan analisis ragam pengaruh perlakuan proses fermentasi terhadap konsentrasi serat kasar sisa, diperoleh bahwa perlakuan jenis proses fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi serat kasar sisa (p-value < 0,05). Dari uji lanjut Duncan terlihat bahwa perlakuan P 1 dengan menggunakan hidrolisis asam yang 51

25 ditambahkan T. viride dan S. cerevisiae secara bertahap memberikan konsentrasi serat kasar terkecil yaitu 0,50 ± 0,03 % (b/v). Perlakuan ini berbeda nyata dengan semua perlakuan yang lainnya (Gambar 17, Lampiran 11). Konsentrasi serat kasar sisa tertinggi dihasilkan dari perlakuan P 7 yaitu 1,04 ± 0,04 % (b/v). Hal ini disebabkan oleh perlakuan P 7 dalam proses hidrolisis dan fermentasinya hanya menggunakan enzim-enzim amilolitik tanpa penambahan enzim dan mikroba-mikroba selulolitik. Adanya penambahan enzim selulase kasar (P 4 ) dan komersial (P 6 ) memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kadar serat kasar sisa hidrolisis dan fermentasi. Ini diduga serat kasar telah dapat didegradasi oleh enzim selulolitik untuk meningkatkan konsentrasi glukosa sebagai substrat fermentasi (Gambar 17). Penggunaan kultur campuran melalui proses SFS pada perlakuan P 3 menghasilkan konsentrasi serat kasar sisa yang tidak berbeda nyata dengan kontrol pada proses P 7. Hal ini diduga mikroba selulolitik belum mampu menghasilkan selulase secara maksimal karena kondisi fermentasinya berubah dari kondisi aerob menjadi anaerobik melalui proses agitasi setelah fermentasi selama 24 jam. Jenie (1990) melaporkan bahwa untuk sintesis selulase diperlukan kondisi. Aktivitas enzim selulase T. reesei QM9414 sangat dipengaruhi oleh intensitas agitasi. Aktivitas maksimum dari enzim-enzim FP-ase, CMC-ase dan beta glukosidase diperoleh dibawah kondisi yang berbeda, yaitu masing-masing pada kecepatan agitasi 200, 300 dan 400 rpm. Agitasi intensif menyebabkan terjadinya reduksi semua komponen selulase. Pada perlakuan P 5, dimana penambahan kultur campuran dilakukan secara bertahap menunjukkan konsentrasi serat kasar sisa berbeda nyata dengan kontrol P 7. Hal ini diduga pada proses sakarifikasi yang dilakukan selama 48 jam dan disertai proses agitasi, menyebabkan T. viride mampu menghasilkan selulase karena kondisi bersifat aerob. Pada proses fermentasi, ketika terjadi perubahan kondisi aerob menjadi anaerob setelah fermentasi 24 jam, enzim kasar selulase mampu menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. 52

26 Konsentrasi serat kasar (% b/v) Tot. gula (10 x % b/v) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Perlakuan Serat kasar sisa Tot. gula sisa Gambar 17 Pengaruh perlakuan jenis fermentasi terhadap konsentrasi serat kasar sisa dan total gula sisa Pada Gambar 17 terlihat bahwa perlakuan hidrolisis asam (P 1 dan P 2 ) mempunyai konsentrasi serat kasar sisa relatif rendah yaitu masing-masing 0,50 ± 0,03 % (b/v) dan 0,77 ± 0,04 % (b/v), namun mempunyai konsentrasi total gula sisa tertinggi. Ini menunjukkan bahwa substrat fermentasi belum dimanfaatkan secara maksimal yang diduga disebabkan oleh sebagai hasil dari hidrolisis asam. adanya senyawa-senyawa inhibitor pada proses fermentasi Adanya hidrolisis asam memungkinkan terjadinya pemecahan secara acak terhadap fraksi-fraksi serat seperti hemiselulosa. Dalam konsentrasi yang tidak terlalu tinggi hemiselulosa lebih mudah terhidrolisis dari pada selulosa. Untuk mengurangi terbentuknya senyawa-senyawa penghambat yang terbentuk pada hidrolisis asam karena adanya perbedaan karakteristik hidrolisis antara hemiselulosa dengan selulosa, maka dapat dilakukan hidrolisis asam secara bertahap yaitu : pertama, tahap yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang terdapat pada fraksi hemiselulosa. Tahapan ini biasanya menggunakan 1 % H 2 SO 4 pada suhu o C selama menit. Tahap kedua menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa menjadi glukosa, biasanya dilakukan dengan konsentrasi H 2 SO % dengan suhu mendekati 180 o C. Dengan menggunakan hidolisis bertahap ini, maka diperoleh kondisi optimum untuk memaksimalkan hasil glukosa dan miminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi 2006; Soderstrom et al. 2003). 53

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Proksimat Batang Sawit Tahapan awal penelitian, didahului dengan melakukan analisa proksimat atau analisa sifat-sifat kimia seperti kadar air, abu, ekstraktif, selulosa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Limbah hasil ekstraksi alginat yang digunakan pada penelitian ini dikeringkan sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Analisis yang dilakukan terhadap limbah ekstraksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN FERMENTASI Bahan baku pati sagu yang digunakan pada penelitian ini mengandung kadar pati rata-rata sebesar 84,83%. Pati merupakan polimer senyawa glukosa yang terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Industri tapioka merupakan salah satu industri yang cukup banyak menghasilkan limbah padat berupa onggok. Onggok adalah limbah yang dihasilkan pada poses pengolahan

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU Bahan baku empulur sagu yang didapat dari industri rakyat di daerah Cimahpar masih dalam keadaan berkadar air cukup tinggi yaitu 17.9%. Untuk itu, empulur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Jumlah energi yang dibutuhkan akan meningkat seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk.

Lebih terperinci

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao BAB 1V A. Hasil Uji Pendahuluan HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Pengukuran Kadar Gula Pereduksi Berdasarkan hasil uji Somogyi-Nelson pada substrat kulit buah kakao sebelum dan sesudah hidrolisis diperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Pisang Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari buah pisang yang belum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin menipis seiring dengan meningkatnya eksploitasi manusia untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar

Lebih terperinci

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 75 7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO 7.1 Pendahuluan Aplikasi pra-perlakuan tunggal (biologis ataupun gelombang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK EMPULUR SAGU Bahan baku empulur sagu diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar, Bogor. Bahan baku awal memiliki kadar air yang cukup tinggi karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Substrat 1. Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan bagian dari tanaman jagung selain biji yang pemanfaatannya masih terbatas. Limbah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu hasil pertanian tanaman pangan di daerah tropika yang meliputi Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi berupa bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil seperti solar, bensin dan minyak tanah pada berbagai sektor ekonomi makin meningkat, sedangkan ketersediaan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL

PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL Oleh : Hikmatush Shiyami M. (2309100063) Azizah Ayu Kartika (2309100148) Pembimbing : Ir. Mulyanto, M.T. Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin

I. PENDAHULUAN. Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin menipis. Menurut data statistik migas ESDM (2009), total Cadangan minyak bumi Indonesia pada tahun 2009

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Jagung digunakan sebagai salah satu makanan pokok di berbagai daerah di Indonesia sebagai tumbuhan yang kaya akan karbohidrat. Potensi jagung telah banyak dikembangkan menjadi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya aktivitas pembangunan menyebabkan jumlah sampah dan pemakaian bahan bakar. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Asam laktat merupakan senyawa asam organik yang telah digunakan dalam berbagai industri seperti makanan, minuman, kosmetik, kimia dan farmasi. Asam laktat dapat dipolimerisasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan cadangan BBM semakin berkurang, karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang

TINJAUAN PUSTAKA. Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Onggok Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang diperoleh pada proses ekstraksi. Pada proses ekstraksi ini diperoleh suspensi pati sebagai filtratnya

Lebih terperinci

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis 1) I Wayan Arnata, 1) Bambang Admadi H., 2) Esselon Pardede 1) Staf Pengajar PS. Teknologi Industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi pisang nasional. Produksi pisang Provinsi Lampung sebesar 697.140 ton pada tahun 2011 dengan luas areal

Lebih terperinci

Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc

Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc Jurnal PEMANFAATAN BIOMASSA LIGNOSELULOSA AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI BIOETANOL Teknik Bioenergi Dosen Pengampu: Dewi Maya Maharani. STP, M.Sc FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN Anggota Kelompok 7: YOSUA GILANG

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan

I. PENDAHULUAN. yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan kebutuhan energi (khususnya energi dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui) disebabkan oleh pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK MENGGUNAKAN CRUDE ENZYME SELULASE DAN XYLANASE Penyusun: Charlin Inova Sitasari (2310 100 076) Yunus Imam Prasetyo (2310 100 092) Dosen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini, kulit buah kakao yang digunakan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini, kulit buah kakao yang digunakan terlebih dahulu 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Pendahuluan 1. Substrat Kulit Buah Kakao Pada penelitian ini, kulit buah kakao yang digunakan terlebih dahulu dikeringkan hingga diperoleh berat kering yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami penurunan produksi minyak bumi nasional yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan minyak bumi di Indonesia. Cadangan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. PREPARASI SUBSTRAT DAN ISOLAT UNTUK PRODUKSI ENZIM PEKTINASE Tahap pengumpulan, pengeringan, penggilingan, dan homogenisasi kulit jeruk Siam, kulit jeruk Medan, kulit durian,

Lebih terperinci

PRODUKSI BIOETANOL DARI HIDROLISAT ASAM TEPUNG UBI KAYU DENGAN. Keywords Trichoderma viride, Saccharomyces cerevisiae

PRODUKSI BIOETANOL DARI HIDROLISAT ASAM TEPUNG UBI KAYU DENGAN. Keywords Trichoderma viride, Saccharomyces cerevisiae PRODUKSI BIOETANOL DARI HIDROLISAT ASAM TEPUNG UBI KAYU DENGAN KULTUR CAMPURAN Trichoderma viride dan Saccharomyces cerevisiae Ethanol Production from Acid Hydrolysate Cassava Flour with Mixed Culture

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN 19 III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu. Bahan kimia yang digunakan di dalam penelitian ini antara lain arang aktif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa sekarang produksi bahan bakar minyak (BBM) semakin menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak mentah nasional menipis produksinya.

Lebih terperinci

Daftar Pustaka Tidak ada

Daftar Pustaka Tidak ada Daftar Pustaka Tidak ada LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa a. Kadar Air (AOAC, 1984) Contoh sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan di dalam

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Utama dan (3) Tepung yang Terpilih Setelah Fermentasi

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Utama dan (3) Tepung yang Terpilih Setelah Fermentasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Penelitian Pendahuluan, (2) Penelitian Utama dan (3) Tepung yang Terpilih Setelah Fermentasi 4.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL.

PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL. Pemanfaatan Sampah Sayuran sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol (Deby Anisah, Herliati, Ayu Widyaningrum) PEMANFAATAN SAMPAH SAYURAN SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL Deby Anisah 1), Herliati 1),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Tanaman Jagung Limbah tanaman jagung merupakan limbah lignoselulosik yang terdiri atas sebagian besar selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel

Lebih terperinci

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME Metabolisme adalah seluruh reaksi kimia yang dilakukan oleh organisme. Metabolisme juga dapat dikatakan sebagai proses

Lebih terperinci

BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES CEREVISIAE

BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES CEREVISIAE BIOETANOL DARI LIMBAH KULIT SINGKONG MELALUI PROSES HIDROLISIS SDAN FERMENTASI DENGAN N SACCHAROMYCES C S CEREVISIAE Program Magister Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. : Spermatophyta. : Dicotyledonae : Euphorbiaceae. : Manihot utilissima Pohl; Manihot esculenta Crantz

2 TINJAUAN PUSTAKA. : Spermatophyta. : Dicotyledonae : Euphorbiaceae. : Manihot utilissima Pohl; Manihot esculenta Crantz 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong atau kasape. Ubi kayu berasal dari benua Amerika, tepatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus pemasok energi nasional. Bioetanol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini berlaku global termasuk di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Fermentasi dan Variasi Kadar Urea terhadap ph Setelah Fermentasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Fermentasi dan Variasi Kadar Urea terhadap ph Setelah Fermentasi 42 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Lama Fermentasi dan Variasi Kadar Urea terhadap ph Setelah Fermentasi Berdasarkan hasil uji anava dengan taraf alpha 5% (Lampiran 2.), diketahui bahwa lama fermentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi permintaan. Artinya, kebijakan energi tidak lagi mengandalkan pada ketersediaan pasokan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini meningkat. Pada tahun 2010 pemakaian BBM sebanyak 388.241 ribu barel perhari dan meningkat menjadi 394.052 ribu

Lebih terperinci

FERMENTASI ETANOL DARI SAMPAH TPS GEBANG PUTIH SURABAYA

FERMENTASI ETANOL DARI SAMPAH TPS GEBANG PUTIH SURABAYA TUGAS AKHIR FERMENTASI ETANOL DARI SAMPAH TPS GEBANG PUTIH SURABAYA Oleh: MUSTIKA HARDI (3304 100 072) Sampah Sampah dapat dimanfaatkan secara anaerobik menjadi alkohol. Metode ini memberikan alternatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas

Lebih terperinci

IV. Hasil dan Pembahasan

IV. Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Keasaman Total, ph. Ketebalan Koloni Jamur dan Berat Kering Sel pada Beberapa Perlakuan. Pada beberapa perlakuan seri pengenceran kopi yang digunakan, diperoleh data ph dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu Ubi kayu (Manihot utilissima pohl) berasal dari Benua Amerika dan Bangsa Portugis membawanya ke Afrika dan digunakan sebagai bahan makanan. Ubi kayu saat ini penyebarannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000

Asam laktat (%)= V1 N BE FP 100% V2 1000 7 Sebanyak 1 ml supernatan hasil fermentasi dilarutkan dengan akuades menjadi 25 ml di dalam labu Erlenmeyer. Larutan ditambahkan 2-3 tetes indikator phenolftalein lalu dititrasi dengan larutan NaOH.1131

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. LIGNOSELULOSA Lignoselulosa merupakan bahan penyusun dinding sel tanaman yang komponen utamanya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Demirbas, 2005). Selulosa adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis kering yang diperoleh dari daerah Leuwiliang, Bogor. Kapang yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content

Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content NAMA : FATMALIKA FIKRIA H KELAS : THP-B NIM : 121710101049 Effect of ammonium concentration on alcoholic fermentation kinetics by wine yeasts for high sugar content 1. Jenis dan sifat Mikroba Dalam fermentasi

Lebih terperinci

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Peta Konsep Kofaktor Enzim Apoenzim Reaksi Terang Metabolisme Anabolisme Fotosintesis Reaksi Gelap Katabolisme Polisakarida menjadi Monosakarida

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu 1. Analisa Proksimat a. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh di dalam cawan aluminium yang telah diketahui

Lebih terperinci

39 Universitas Indonesia

39 Universitas Indonesia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum komponen penyusun kulit udang terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu kitin, protein, dan mineral (Rao et al., 2000). Pada percobaan ini digunakan kulit udang

Lebih terperinci

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2.

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Respirasi anaerob 3. Faktor-faktor yg mempengaruhi laju respirari

Lebih terperinci

BIOLOGI JURNAL ANABOLISME DAN KATABOLISME MEILIA PUSPITA SARI (KIMIA I A)

BIOLOGI JURNAL ANABOLISME DAN KATABOLISME MEILIA PUSPITA SARI (KIMIA I A) BIOLOGI JURNAL ANABOLISME DAN KATABOLISME MEILIA PUSPITA SARI (KIMIA I A) PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jalan Ir. H. Juanda No. 95

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi yang ramah lingkungan. Selain dapat mengurangi polusi, penggunaan bioetanol juga dapat menghemat

Lebih terperinci

Pengaruh Hidrolisis Enzim pada Produksi Ethanol dari Limbah Padat Tepung Tapioka (Onggok)

Pengaruh Hidrolisis Enzim pada Produksi Ethanol dari Limbah Padat Tepung Tapioka (Onggok) Pengaruh Hidrolisis Enzim pada Produksi Ethanol dari Limbah Padat Tepung Tapioka (Onggok) Sidha Rahmasari (2307100037) dan Khaula Permana Putri (237100153) Pembimbing: Ir. Mulyanto, MT. Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses produksi baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan dan

BAB I PENDAHULUAN. proses produksi baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Limbah merupakan bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan atau proses produksi baik pada skala rumah tangga, industri, pertambangan dan sebagainya. Limbah berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu, diperlukan upaya peningkatan produksi etanol secara besar-besaran

I. PENDAHULUAN. itu, diperlukan upaya peningkatan produksi etanol secara besar-besaran 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan bakar minyak (BBM) saat ini meningkat. Bahan bakar fosil tersebut suatu saat dapat habis karena eksploitasi terus menerus dan tidak dapat diperbaharui.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PRODUKSI INOKULUM 1. Karakteristik Substrat Inokulum Substrat yang digunakan terdiri dari onggok (ampas tapioka), bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu. Substrat tersebut

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Gambar 2 menunjukkan adanya penambahan biomass dari masing-masing ikan uji. Biomass rata-rata awal ikan uji perlakuan A (0 ml/kg) adalah sebesar 46,9 g sedangkan pada

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol.

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. 8 pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. Optimasi Konsentrasi Substrat (Xilosa) Prosedur dilakukan menurut metode Eken dan Cavusoglu (1998). Sebanyak 1% Sel C.tropicalis

Lebih terperinci

SKRIPSI. PRODUKSI BIOETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae DARI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.) DENGAN VARIASI JENIS JAMUR DAN KADAR PATI

SKRIPSI. PRODUKSI BIOETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae DARI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.) DENGAN VARIASI JENIS JAMUR DAN KADAR PATI SKRIPSI PRODUKSI BIOETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae DARI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.) DENGAN VARIASI JENIS JAMUR DAN KADAR PATI Disusun oleh: Angelia Iskandar Putri NPM : 060800998 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Nutrien Berbagai Jenis Rumput Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan berbeda-beda. Kadar serat dan protein kasar paling tinggi pada Setaria splendida, kadar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fermentasi Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010). Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri

BAB I PENDAHULUAN. Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ethanol banyak dipergunakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik industri maupun untuk keperluan sehari-hari. Ethanol merupakan salah satu produk industri yang penting

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOETANOL DARI BIJI DURIAN MELALUI HIDROLISIS. Skripsi Sarjana Kimia. Oleh : Fifi Rahmi Zulkifli

PEMBUATAN BIOETANOL DARI BIJI DURIAN MELALUI HIDROLISIS. Skripsi Sarjana Kimia. Oleh : Fifi Rahmi Zulkifli PEMBUATAN BIOETANOL DARI BIJI DURIAN MELALUI HIDROLISIS ENZIMATIK DAN FERMENTASI MENGGUNAKAN Sacharomyces cerevisiae Skripsi Sarjana Kimia Oleh : Fifi Rahmi Zulkifli 07 132 018 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG. Bahan bakar Fosil - Persediannya menipis - Tidak ramah lingkungan. Indonesia

LATAR BELAKANG. Bahan bakar Fosil - Persediannya menipis - Tidak ramah lingkungan. Indonesia 1 LATAR BELAKANG Indonesia Bahan bakar Fosil - Persediannya menipis - Tidak ramah lingkungan Hidrogen - Ramah lingkungan - Nilai kalor lebih besar (119,02 MJ/kg) Bagasse tebu melimpah (5,706 juta ton/tahun)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya semakin meningkat. Hal ini disebabkan kerena pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Enzim ini dapat mempercepat proses suatu reaksi tanpa mempengaruhi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Enzim ini dapat mempercepat proses suatu reaksi tanpa mempengaruhi 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Enzim Selulase Sel hidup mensintesis zat yang bersifat sebagai biokatalisator, yaitu enzim. Enzim ini dapat mempercepat proses suatu reaksi tanpa mempengaruhi hasilnya (Mc. Kee,

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL PEMBAHASAN 5.1. Sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis proksimat bahan uji sebelum dan sesudah diinkubasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji ditunjukkan pada Tabel 3. Sementara kecernaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 40 setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 ml. Reaksi enzimatik dibiarkan berlangsung selama 8 jam

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

Metabolisme Karbohidrat. Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia

Metabolisme Karbohidrat. Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia Metabolisme Karbohidrat Oleh : Muhammad Fakhri, S.Pi, MP, M.Sc Tim Pengajar Biokimia LATAR BELAKANG Kemampuan ikan untuk memanfaatkan karbohidrat tergantung pada kemampuannya menghasilkan enzim amilase

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam budidaya ternak unggas secara intensif biaya pakan menduduki urutan pertama yaitu mencapai

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu (Singkong)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu (Singkong) II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Kayu (Singkong) Ubi kayu atau singkong berasal dari Brazilia. Dalam sistematika tumbuhan, ubi kayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubi kayu berada dalam famili Euphorbiaceae

Lebih terperinci