URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA"

Transkripsi

1 URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH MULIA HADI S. HARAHAP NIM : Departemen Hukum Internasional FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

2 URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : MULIA HADI S. HARAHAP NIM : Departemen : Hukum Internasional Disetujui Oleh Ketua Departemen Hukum Internasional Sutiarnoto, SH, M. Hum. NIP : Pembimbing I Pembimbing II Prof. Sanwani Nst SH. Rosmi Hasibuan, SH. M. Hum NIP : NIP: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

3 KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan hidayah-nya penulis dapat menjalani kuliah hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan tak lupa pula Shalawat dan Salam pada Nabi Besar Muhammad SAW yang menjadi suri teladan umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia menuju akhirat yang kekal. Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara berkewajiban untuk membuat karya ilmiah berupa skripsi yang ditujukan guna melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi tersebut berjudul Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam penulisan skripsi ini Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan serta hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada skripsi ini Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada Ayahanda Halomoan Harahap dan Ibunda Aisyah S. Nasution, atas curahan kasih sayang, doa, perhatian dan dengan kesabaran serta pengorbanannya membimbing dan mendidik penulis sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan yang tinggi ini.

4 Terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Sanwani Nasution, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, berkat perhatian, bantuan dan bimbingan beliau kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa juga penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setulus-tulusnya kepada Ibu Rosmi Hasibuan, SH. M.Hum. selaku Dosen pembimbing II. Berkat kesabaran dan kebijaksanaan beliau sehingga Penulis selalu mendapatkan motivasi, dan solusi dalam menghadapi semua persoalan yang menghambat dalam penulisan skripsi. Selain itu, banyak juga pihak yang mempunyai peranan penting membantu Penulis dalam menyelesaikan kuliah dan penyelesaian tugas akhir di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, M.Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum., DFM, sebagai Pembantu Umum Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum sebagai Pembantu Umum Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Sutiarnoto, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5 6. Bapak Arif, SH, M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Internasional. 7. Bapak Bachtiar Hamzah, SH, M.Hum., Bapak DR.Jelly Leviza, SH, M.Hum., Ibu Prof.DR. Ningrum N.Sirait, SH, MLI, Bapak Abdul Rahman SH, M.Hum., Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum. serta para Bapak / Ibu Dosen dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 8. Bapak Affan Mukti, SH, M.Hum sebagai Penasehat Akademik selama Penulis menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Terima kasih juga kepada abang-abang dan kakak-kakakku tersayang Nursyahni Dewi Muliati Hrp, Amd., Najmul Alamsyah Hrp, SE, Yulianita Fatimah S. Hrp, SP, Budi Mulia Warman Hrp, SE. 10. Terima kasih juga kepada sahabatku Ivo Andika Hsg. yang telah banyak memberikan semangat bantuan dan cerita-cerita lucu ketika mengalami masamasa suka maupun duka bersama. 11. Seluruh Bapak dan Ibu guru yang telah berjasa mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam mengarungi kehidupan ini mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK Aisyiah), SD (SD Percobaan Negeri Medan), SLTP (SLTP Negeri 30 Medan, SLTP Negeri 1 Medan), dan SMU (SMU Negeri 17 Medan). 12. Kepada teman-teman Stambuk 2004, 2005 dan 2006, yang telah banyak membantu studi Penulis. 13. Kepada sahabat-sahabat Penulis, Rise Karmilia (Thanks for Your Attention), Firdanta Sembiring, Roy G. Silalahi, Octa E.S Ginting, Federico Marbun,

6 M.Budi Ibrahim, Yoyok Adi S, Prima A.P Siregar, David R.J Pakpahan, Shuheyantho V.Silalahi, Vina ndut T. Dewi, Mirvan Ariza Siregar, Fadilah Haryono, Surya, 14. Teman-Teman Stambuk 2003 lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Medan, Oktober 2007 Penulis Mulia Hadi Syahputra Harahap

7 DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... v Abstraksi... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Perumusan Masalah... 2 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 2 D. Keaslian Penulisan... 3 E. Tinjauan Kepustakaan... 3 F. Metode Penelitian... 6 G. Sistematika Penulisan... 7 BAB II PENGERTIAN EKSTRADISI SECARA UMUM A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional... 9 B. Ekstradisi Menurut Hukum Nasional Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979)... 20

8 BAB III PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA UMUM A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi B. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Hukum Nasional Indonesia C. Tindak Pidana Korupsi Menurut Konvensi Internasional BAB IV KEPENTINGAN NEGARA INDONESIA TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA A. Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura Ditinjau Dari Hukum Internasional B. Kepentingan Negara Indonesia Terhadap Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura Sebagai Sarana Untuk Mencegah Dan Memberantas Korupsi di Indonesia C. Masalah Yang Dihadapai Indonesia Dalam Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

9 URGENSITAS PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA SINGAPURA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ABSTRAKSI Setelah menanti selama 28 tahun, akhirnya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura ditandatangani di Istana Tampak Siring, Bali, Indonesia pada hari Jum at tanggal 27 April 2007 oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo yang disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Perjanjian ekstradisi kedua negara ini adalah merupakan langkah maju di dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Sebagaimana diketahui Pemerintah Indonesia sangat berkepentingan dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, hal ini didasarkan oleh Konvensi Anti Korupsi Internasional yang diadakan dan ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Mexico. Sebelum perjanjian ekstradisi tersebut ditandatangani, banyak para pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) Indonesia menurut data-data yang ada melarikan diri dan bersembunyi di Singapura. Hal inilah yang menjadi alasan utama Indonesia untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Singapura yaitu ingin menangkap para koruptor dan mengembalikan aset-aset negara yang dibawa lari serta mengembalikan citra Indonesia di mata dunia sebagai wujud upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan tetapi masalah tersebut tidak serta merta terselesaikan, hal ini disebabkan oleh keadaan hubungan diplomatik kedua negara yang kurang kondusif. Terutama semenjak perjanjian kejasama di bidang pertahanan (Defence Cooperation Agreement) yang ditandatangani bersamaan dengan perjanjian ekstradisi tersebut. Sekarang perjanjian ekstradisi sedang menunggu ratifikasi oleh kedua parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPR-RI) merasa DCA terlalu banyak merugikan negara Indonesia karena pasal-pasal di dalam DCA disinyalir berdampak buruk pada pertahanan dan keamanan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga DPR tidak segera meratifikasi kedua perjanjian tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi sebuah masalah yang kontradiksi, dimana disatu sisi Indonesia sangat berkepentingan untuk mencegah dan memberantas korupsi tetapi di sisi lain kedaulatan negara menjadi kompensasinya.

10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tanggal 27 April 2007 lalu, setelah 28 tahun dinanti-nantikan, akhirnya perjanjian ekstradisi antara Republik Indonesia (RI) dan Singapura ditandatangani oleh kedua belah pihak, Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan Singapura diwakili oleh Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo, di Istana Tampak Siring, Bali. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Sebelum dengan Singapura, Indonesia sudah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara termasuk negara-negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Philipina, dan juga negara asia lainnya Hongkong, Korea Selatan serta Australia Tidak seperti perjanjian ekstradisi sebelumnya proses perjanjian antara Indonesia dan Singapura ini lahir dari sejarah yang panjang dan perjuangan yang alot. Perjanjian ini adalah kesepakatan untuk menyerahkan pelaku tindak pidana ke negara asalnya untuk diadili, berlaku surut 15 tahun ke belakang, mencakup 42 jenis tindak pidana, antara lain korupsi, penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan perbankan dan terorisme. Perjanjian ekstradisi ini disambut hangat oleh Indonesia, sebab di negara tetangga itu selama ini bersembunyi sejumlah pelaku kejahatan Indonesia,

11 khususnya para pelaku tindak pidana korupsi atau yang disebut koruptor, terutama para koruptur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Akan tetapi isi perjanjian ekstradisi tersebut belum dapat dilaksanakan atau diberlakukan, mengingat perjanjian tersebut masih di dalam proses ratifikasi oleh Dewan Parlemen Singapura dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut : 1. Apa kepentingan Indonesia terhadap perjanjian ekstradisi Indonesia - Singapura? 2. Apa yang menjadi faktor penghambat mengapa Dewan Perwakilan Rakyat tidak segera meratifikasi perjanjian eksradisi antara Indonesia dan Singapura? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui kepentingan Indonesia terhadap perjanjian ekstradisi Indonesia - Singapura. 2. Mengetahui faktor penghambat ratifikasi perjanjian eksradisi antara Indonesia dan Singapura oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya :

12 a. Manfaat Subjektif. Skripsi ini bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tempat penulis menuntut ilmu. b. Manfaat Objektif. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menerapkan hukum internasional yang telah dipelajari guna menjawab permasalahan apa yang menjadi kepentingan Indonesia di dalam perjanjian ekstradisi dan apa yang menjadi faktor penghambat ratifikasi perjanjian ekstradisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. D. Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan penulis, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat skripsi dengan judul Urgensitas Perjanjian Ekstradisi Indonesia Singapura Sebagai Upaya Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri. Skripsi ini juga di dasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi dari media cetak dan elektronik. Berdasarkan alasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli. E. Tinjauan Kepustakaan

13 Perjanjian internasional sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut 1 : Treaty means an international agreement conclude between states in written form and governed by international law, whether embodied in asingle instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. ( Perjanjian artinya, suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya). Rumusan mengenai perjanjian internasional dalam arti yang luas dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai berikut Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibatakibat hukum tertentu. Dari batasan tersebut jelas kiranya, bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian tersebut harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Secara fungsional dilihat dari segi sumber hukum, maka pengertian perjanjian internasional dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu Treaty Contract dan Law Making Treaties. Yang dimasudkan dengan treaty contract adalah perjanjian-perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. Sedangkan pengertian law making treaties 2. 1 Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hal.117

14 dimaksudkan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan 3. Menurut pasal 11 Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian dapat dinyatakan melalui berbagai cara yaitu, penandatanganan, pertukaran instrument yang membentuk perjanjian, ratifikasi, akseptasi, approval dan aksesi atau melalui cara lain yang disetujui. Bentuk kesepakatan yang merupakan cara yang paling sering digunakan adalah penandatanganan dan ratifikasi 4. Konvensi Wina juga menjelaskan tentang ratifikasi sebagai tindakan internasional dari suatu negara yang menyatakan kesepakatan dirinya untuk terikat pada suatu perjanjian, meskipun demikian, dilihat dari segi nasional, ratifikasi dapat diartikan sebagai tindakan pengesahan atas suatu perjanjian internasional menurut ketentuan hukum nasional negara yang bersangkutan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura termasuk ke dalam jenis perjanjian internasional yang bersumber hukum treaty contract. Karena perjanjian ekstradisi tersebut dibuat oleh negara Indonesia dan negara Singapura sebagai subjek hukum internasional, dan perjanjian ekstradisi tersebut hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi Indonesia dan Singapura saja. Perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura telah ditandatangani akan tetapi isi perjanjian tersebut belum dapat diberlakukan karena masih menunggu 3 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2000, hal Pasal 11 Wina Convention 1969

15 ratifikasi dari kedua parlemen negara. Perjanjian ekstradisi adalah merupakan perjanjian yang berkenaan mengenai masalah politik oleh karena itu berdasarkan pasal 10 huruf a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional maka perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura harus ditetapkan dan disahkan dengan undang-undang 5. F. Metode Penelitian 1. Bentuk Penelitian Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui metode penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan Studi Kepustakaan (Library Research) yang berhubungan dengan penulisan ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. 2. Alat Pengumpul data Materi dalam Skripsi ini diambil dari data-data sekunder yang dimaksud ialah : a. Bahan hukum primer, Yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari United Nations Convention Against Corruption 2003, Wina Convention 1969, Undang-Undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Undang-Undang No.1 tahun 1979 tentang 5 Pasal 10 UU No.24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional

16 Perjanjian Ekstradisi, Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Bahan hukum sekunder Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku tentang perjanjian ekstradisi, dan surat kabar serta media internet seperti c. Bahan hukum tertier Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. Analisis data Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. G. Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut : Bab : Di dalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang yang memberikan alasan mengapa penulis memilih permasalahan yang tercakup dalam skripsi ini. Bab ini memberi penjelasan mengenai konsep yang dimaksud dalam skripsi ini sehingga terdapat sebuah

17 pengertian yang ekslusi mengenai maksud dari konsep/batasan dan judul skripsi ini. Tujuan penulisan dan metode pengumpulan data yang dipakai juga dijelaskan dalam bab ini, berikut sistematika penulisan. Bab II : Di dalam bab ini penulis memberikan pengertian umum mengenai ekstradisi baik menurut hukum internasional maupun menurut hukum nasional Indonesia. Bab III : Di dalam bab ini penulis memberikan pengertian umum dan ruang lingkup mengenai tindak pidana korupsi baik menurut hukum nasional Indonesia maupun menurut konvensi internasional. Bab IV : Bab ini merupakan bagian yang menganalisa bagaimana kepentingan Indonesia terhadap perjanjian ekstradisi Indonesia- Singapura sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Penulis juga memberikan uraian tentang apa yang menjadi faktor penghambat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sehingga sampai dengan sekarang ini belum meratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia Singapura. Bab V : Bab ini merupakan bagian penutup skripsi yang di dalamnya terdapat kesimpulan dari tujuan penulisan skripsi serta saran-saran penulis yang dirilis untuk mengambil hikmah dari penulisan ini.

18 BAB II PENGERTIAN EKSTRADISI SECARA UMUM A. Pengertian, Maksud Dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional 1. Pengertian ekstradisi menurut hukum internasional Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaaan internasional (international customary law). Hal ini memang bisa dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. 6 Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 S.M. Yang isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain. 7 Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa latin extradere. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan, 6 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, Yrama Widya Bandung, 2004 hal Arthur Nussbaum; A Concise History of The Law of Nations, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya : Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I, Binacipta,Bandung, 1969, hal. 3.

19 yang arti dan maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition berarti penyerahan. 8 Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan adapula yang menyebut kejahatan internasional. 9 Para sarjana hukum internasional yang memberikan defenisi dari ekstradisi antara lain adalah: 1. L. Oppenheim mengatakan 2. J.G Starke, menyatakan sebagai berikut 10 : Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed,or to have been convicted of, acrime by the state whose territory the alleged criminal happens for the time to be. The term extradition denotes the process whereby under treatyor upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws of the requesting state competent to try the alleged offender. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi 11 : 12 : 8 I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, op.cit hal L.Oppenheim, International Law, a treatise,8 th edition, 1960, vol.one-peace hal J.G.Starke, An Introduction to International Law, London, Butterwordhs, 7 th edition hal 348.

20 Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara-diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara-peminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya. 13 yakni 14 : Dari defenisi di atas dapatlah disimpulkan unsur-unsur dari ekstradisi itu, 1. Unsur Subyek, yang terdiri dari : a. Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya. Negara-negara inilah yang sangat berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Untuk mendapat kembali orang yang bersangkutan negara atau negara-negara tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara 12 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, tanggal 18 Januari I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, op.cit hal I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, op.cit hal 13.

21 ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat disebut negara- peminta (The Requesting State). b. Negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau si terhukum itu bersembunyi. Negara ini dimintai oleh negara atau negara-negara yang memilki yurisdiksi atau negara-peminta, supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka atau terhukum), yang dengan singkat dapat disebut negara-diminta (The Requested State). 2. Unsur Obyek Yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa atau terhukum) yang diminta oleh negara-peminta kepada negaradiminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai orang yang diminta. Meskipun dia hanya sebagai obyek saja yang menjadi pokok masalah antara kedua pihak, tetapi sebagai manusia dia harus tetap diperlakukan sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. 3. Unsur Tata Cara atau Prosedur Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan, apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara-peminta kepada negara-

22 diminta. Permintaaan tersebut haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak atau apabila perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap atau ditahan maupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaaan penyerahan itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara-diminta, sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaaan internasional. Jika permintaan itu tidak diajukan secara formal, melainkan hanya secara informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara-peminta kepada wakil negara-diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan atau konferensi internasional, hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi, tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja. Seperti halnya permintaan penyerahan yang harus diajukan secara formal, maka penyerahan itu sendiri harus juga dilakukan secara formal Unsur Tujuan 15 Harvard Research Draft Convention on Extradition, dalam pasal 1 (a) menyatakan sebagai berikut : Extradition is the formal surrender of a person by a state to another state for prosecution of punishment.

23 Yaitu untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negarapeminta kepada negara-diminta oleh karena dia telah melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara/negara-negara-peminta. Atau dia melarikan diri ke negara-diminta setelah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti. Untuk dapat mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan negara-peminta lalu mengajukan permintaan penyerahan atas diri orang tersebut kepada negara-diminta. Jadi permintaan penyerahan atau penyerahan itu sendiri bertujuan untuk mengadili atau menghukum si pelaku kejahatan itu, sebagai realisasi dari kerjasama antar negara-negara tersebut dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan. 2. Maksud dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional Istilah Ekstradisi menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut. Biasanya, tindak kejahatan yang dituduhkan dilakukan di dalam wilayah atau di atas kapal yang mengibarkan bendera negara penuntut dan biasanya pelaku berada di dalam wilayah negara yang menyerahkan

24 untuk mencari perlindungan. Permintaan ekstradisi biasanya dimuat dan dijawab melalui saluran diplomatik 16 Maksud dan tujuan ekstradisi ialah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena sering kali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Karena itu patut dan tepatlah penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari itu negara yang wilayahnya merupakan tempat dilakukannya kejahatan adalah yang termampu mengadili penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti dapat diperoleh dengan lebih bebas, dan negara tersebut mempunyai kepentingan terbesar dalam memidana penjahat tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk mencapai kebenaran Asas-Asas Umum Dalam Ekstradisi Berhubung dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia, terutama di bidang transportasi dan komunikasi internasional maka masalah ekstradisi semenjak abad ke-19 menjadi sangat 16 J.G.Starke, An Introduction to International Law,London, Butterwordhs, 10 th edition hal J.G. Starke An Introduction to International Law,London, Butterworths & Co (Publisher), 4 th edition,1958, hal 261.

25 penting. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang poltik, ketatanegaraan, dan kemanusiaan, turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada satu sisinya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, pada sisi lain menimbulkan pelbagai efek negatif, misalnya seperti timbulnya kejahatan baru dengan akibat yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat sekitarnya saja, tetapi sering melibatkan negara-negara bahkan kadang-kadang merupakan persoalan umat manusia, sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya, diperlukan kerjasama antar negara. 18 Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi tersebut maka ekstradisi juga yang telah lama dikenal dalam praktek berkembang menjadi hukum kebiasaan. Dari praktek dan hukum kebiasaaan inilah negara-negara mulai merumuskannya ke dalam bentuk perjanjian-perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri dengan mengadakan pengkhususan dalam bidang-bidang tertentu, sehingga tidak lagi berkaitan atau menjadi bagian dari masalah-masalah lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu bagian dari perjanjian internasional, dimana perjanjian internasional merupakan sumber hukum utama 18 I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, op.cit hal.4.

26 dan sempurna karena dibuat oleh negara-negara dan juga dibuat secara tertulis hingga menjamin kepastian hukum. 19 Dilihat dari penggolongan dari segi struktur, perjanjian ekstradisi dapat diklasifikasikan ke dalam Treaty Contract (perjanjian yang bersifat kontrak). Dengan Treaty Contract dimaksudkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Legal Effect dari Treaty Contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena perjanjian ekstradisi tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang berlaku umum, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang membentuk hukum (Law Making Treaties). Tetapi pada hakekatnya perjanjian ekstradisi secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum karena telah melalui hukum kebiasaan. 20 Tetapi satu hal patut untuk dicatat bahwa sampai pada saat ini masih belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Oleh karena itu mungkin akan timbul anggapan bahwa perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral dan multilateral tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Anggapan ini mengandung nilai kebenaran, tetapi tidak seluruhnya benar. Sebab di samping adanya perbedaan-perbedaaan tersebut, justru di antara sekian banyak perjanjian-perjanjian itu banyak terdapat kesamaan-kesamaan di dalam pengaturan mengenai pelbagai pokok masalah. Bahkan pokok-pokok masalah yang terdapat pula di dalam perundang-undangan ekstradisi. Dengan 19 Lihat pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional 20 Rosmi Hasibuan, Suatu Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional, 2000,hal.11

27 demikian dapat disimpulkan adanya kesamaan-kesamaan di dalam dasardasarnya. Dasar-dasar yang sama ini diikuti terus oleh negara-negara baik di dalam merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Atau dengan perkataan lain dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar yang sama ini telah diterima dan diakui sebagai asas-asas yang melandasi ekstradisi. Asas-asas pokok ekstradisi tersebut, antara lain adalah 21 : 1. Asas kejahatan ganda (Double Criminality Principle) Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum negara-peminta maupun negara diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing negara itu berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum kedua negara sama-sama mengklasifikasikan kejahatan atau tindak pidana. 2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality) Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi. 21 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi, op.cit hal 130

28 3. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of Political Criminal). Jika negara-diminta berpendapat, bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ektradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam praktek negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik ataukah tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbanganpertimbangan politik yang tentu saja sangat subyektif. Karena sukarnya menentukan kriteria obyektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik dalam perjanjian ataupun perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi. 4. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals)

29 Jika orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari negaradiminta, maka negara-diminta dapat menolak permintaan dari negarapeminta. Asas ini berlandaskan pada pemikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara-diminta menolak permintaan negara-peminta, negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri. 5. Asas Non Bis in Idem atau Ne Bis in Idem Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstardisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memilki kekuatan mengikat yang pasti, maka permintaan negara-peminta harus ditolak oleh negara-diminta. 6. Asas Daluarsa Yaitu permintaan negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua pihak. B. Ekstradisi Menurut Hukum Nasional Indonesia (Undang-Undang No. 1 Tahun 1979) 1. Sejarah lahirnya undang-undang No. 1 tentang perjanjian ekstradisi di Indonesia Walaupun masalah ekstradisi pada dasarnya dipandang sebagai bagian dari hukum internasional tetapi peninjauan dan pembahasannya tidaklah mungkin

30 hanya ditekankan pada segi-segi hukum internasional saja. Sebab, ada hal-hal yang tidak mungkin diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjianperjanjian ekstradisi terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjianperjanjian ekstradisi menunjuk kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Oleh karena itu, negara-negara memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur tentang ekstradisi, disamping mengadakan perjanjianperjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain. 22 Sebelum lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, di Indonesia masih tetap berlaku peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi yang merupakan peninggalan Zaman Hindia-Belanda. Peraturan tersebut adalah Stb.No.188 Tahun 1883 tentang penyerahan orang-orang asing, yang pada tahun 1932 diubah dan ditinjau kembali dan diundangkan dalam Stb.No.490 Tahun Sejak Indonesia merdeka, Stb.188 tahun 1883 masih dapat berlaku dan menjadi dasar hukum bagi pemerintah Indonesia Indonesia dalam menghadapi persoalan ekstradisi. 24 Pada tanggal 18 Januari 1979 oleh Presiden Soeharto diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi di Jakarta ibukota negara Indonesia, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal Ibid hal Lihat pasal II aturan peralihan UUD 1945.

31 Nomor 2 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Undang-undang tersebut menggantikan Koninklijk Besluit tanggal 8 Mei 1883 Nomor 26 (Staatblad ) yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tata hukum di dalam Negara Republik Indonesia. 25 Undang-undang ini terdiri dari 12 bab dan 48 pasal, disertai lampiran daftar kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan sebanyak 32 jenis kejahatan. Adapun isi-isi pokok dari undang-undang 26 tersebut adalah tentang ketentuan umum mengenai ekstradisi (Bab I), asas-asas ekstradisi yang dianut (Bab II), selanjutnya syarat-syarat penyerahan, penahanan yang diajukan oleh negara-peminta (Bab III), permintaan ekstradisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara peminta (Bab IV), pemeriksaan terhadap orang yang dimintakan ekstradisi (Bab V), dan pencabutan dan perpanjangan penahanan (Bab VI), pelaksanaan ekstradisi yang meliputi kejahatan mengenai permintaan ekstradisi (Bab VII), penyerahan orang yang dimintakan ekstradisi (Bab VIII), barang bukti (Bab IX), dan permintaan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia (Bab X), ketentuan peralihan (Bab XI), dan ketentuan penutup (Bab XII). 2. Asas-asas yang dianut oleh Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang ekstradisi a) Ekstradisi atas dasar perjanjian dan hubungan baik 25 M.Budiarto, Ekstradisi Dalam Hukum Nasional, Ghalia Indonesia, 1981, Hal Ibid hal. 13

32 Pasal 2 ayat (1) menegaskan kesediaan Indonesia untuk melakukan ekstradisi atau penyerahan atas diri seseorang pelaku kejahatan, apabila antara Indonesia dengan negara yang meminta tersebut sudah terikat dalam suatu perjanjian ekstradisi. Perjanjian ini baik meliputi perjanjian ekstradisi sebelumnya maupun sesudah diundangkannya undang-undang ini. Akan tetapi di samping atas dasar suatu perjanjian, Indonesia juga menyatakan kesediaan untuk melakukan ekstradisi atas dasar hubungan baik dengan pihak atau negara lain. Inilah yang lebih dikenal dengan prinsip atas asas timbal balik atau prinsip resiprositas. Prinsip ini bisa dianut dan diterapkan dalam hal antara Indonesia dengan pihak lain itu belum terikat dalam perjanjian ekstradisi. Dalam prinsip timbalbalik ini, terkandung suatu pengertian tentang kesediaan kedua pihak (Indonesia dan negara asing) untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke dalam wilayah masing-masing 27. b). Asas kejahatan ganda (double criminality) dan sistem daftar (list system) Dalam pasal 3 ayat (1) ditegaskan tentang siapa yang dapat diekstradisikan atau dimintakan ekstradisinya. Yang dapat diekstradisikan adalah setiap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing, diminta kepada Indonesia, atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan. Berdasarkan asas kejatahan ganda, kejahatan yang disangka telah dilakukan atau hukuman pidana yang telah dijatuhkan itu, haruslah merupakan kejahatan, baik menurut hukum negara asing yang meminta ekstradisinya maupun 27 I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia,op.cit hal.171

33 menurut hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan yang dapat dijadikan dasar/alasan untuk meminta ekstradisi biasanya dicantumkan dalam satu daftar yang berisi jenis-jenis kejahatan yang dimaksud tersebut. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam daftar itu, harus dapat dipidana baik menurut hukum Indonesia maupun hukum negara asing yang bersangkutan. 28 c). Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik Asas ini ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) yang secara singkat menyatakan, ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan kejahatan politik sama sekali tidak ditegaskan. Hanya saja pasal 5 ayat (2) ada ditegaskan, dalam hal apa suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan politik dan dalam hal apa sebagai kejahatan biasa 29. Di samping terhadap kejahatan politik, kejahatan lain yang tidak boleh diekstradisikan adalah kejahatan militer, hal ini ditegaskan dalam pasal 6 yang menyatakan; Ekstradisi terhadap kejahatan menurut hukum pidana militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum tidak dilakukan, kecuali apabila dalam suatu perjanjian ditentukan lain. Tidak diekstradisikannya pelaku kejahatan militer, menurut pasal 6 ini, oleh karena kejahatan militer mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan kejahatan menurut hukum pidana umum. Yang termasuk kejahatan militer di Indonesia adalah kejahatan-kejahatan seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer/Tentara (KUHPT). Sudah tentu yang dapat melakukan kejahatan militer ini adalah mereka 28 Ibid hal Ibid hal.177

34 yang berstatus sebagai militer, sedangkan orang yang bukan militer tidak dapat dituduh atau dikenakan kejahatan militer. d). Asas tidak menyerahkan warga negara Asas ini ditegaskan dalam pasal 7 ayat (1) yang menyatakan, permintaan ekstradisi terhadap warga negara Indonesia ditolak. Dari ketentuan ini sudah jelas maknanya, bahwa jika ternyata orang yang diminta itu adalah berkewarga negaraan Indonesia, maka pemerintah Indonesia berwenang untuk menolak penyerahan warga negaranya tersebut. Untuk menentukan apakah orang yang dimintakan ekstradisi adalah warga negara Indonesia ataukah warga negara asing, ditentukan menurut hukum Indonesia (Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia). Dari pasal 7 ayat (1) ini dapat disimpulkan bahwa penolakan untuk menyerahkan warga negara Indonesia bukanlah merupakan kewajiban bagi Indonesia, melainkan merupakan hak. Maka jika pemerintah Indonesia berpendapat bahwa orang yang berangkutan lebih baik diserahkan, maka dapat saja hak tersebut tidak dipergunakan. Bahkan pasal 7 ayat (2) secara tegas memperkenankan pemerintah Indonesia untuk menyimpang dari pasal 7 ayat (1). Ditegaskan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) tersebut di atas dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan yang lebih baik diadili di tempat dilakukannya kejahatan 30. Keadaan yang dimaksud di sini adalah keadaan yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis. 30 Ibid hal.179

35 e). Kejahatan yang seluruhnya atau sebagian dilakukan di dalam wilayah Indonesia Pasal 8 menentukan bahwa permintaaan ekstradisi dapat ditolak jika kejahatan yang dituduhkan dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayah negara Republik Indonesia 31. f). Orang yang diminta sedang diproses di Indonesia Pasal 9 menegaskan, jika orang yang diminta sedang diproses di negara RI untuk kejahatan yang sama, permintaan ekstradisi negara peminta terhadap orang bersangkutan dapat ditolak. Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan diproses adalah pemeriksaan terhadap diri orang yang diminta itu dari tingkat pemeriksaan pendahuluan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Pemerosesan tersebut, pada akhirnya menentukan tentang bersalah tidaknya orang yang bersangkutan atas kejahatannya 32. g). Asas non bis in idem Asas ini dimaksudkan untuk tetap terjaminnya kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi individu yang bersangkutan. Seorang yang sudah diadili dan dihukum dan dijatuhi hukuman atas kejahatan yang sama, tidaklah layak untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya. Hal ini penting juga dalam ekstradisi, sebab ekstradisi juga bermaksud untuk mengadili dan menghukum orang yang bersangkutan di negara-peminta. 31 Pasal 8 UU No.1 Tahun I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia,op.cit hal.181

36 Asas ini sudah merupakan asas umum dalam hukum setiap negara di dunia. Dalam pasal 10 Undang-undang ekstradisi Indonesia ini ditegaskan bahwa apabila putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan Republik Indonesia yang berwenang untuk mengadili kejahatan yang dimintakan ekstradisinya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka permintaan ekstradisi ditolak. Penolakan ini bukanlah merupakan hak bagi Indonesia, melainkan merupakan suatu kewajiban. Jadi tidak boleh diambil kebijaksanaan lain yang menyimpang dari asas ini 33. Pasal 11 memperluas asas non bis in idem ini, jika yang mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan atas kejahatan yang dimintakan ekstradisi itu adalah pengadilan negara lain atau negara ketiga, permintaan ekstradisi juga harus ditolak. hal ini berarti bahwa Indonesia juga mengakui putusan pengadilan negara lain. h). Asas kedaluwarsa Asas kedaluwarsa ini juga bermaksud untuk memberikan kepastian hukum. Ditegaskan dalam pasal 12 bahwa, permintaan ekstradisi ditolak jika menurut hukum negara Republik Indonesia hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa. Meskipun hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan pidana menurut hukum negara-peminta masih berlaku, tetapi jika menurut hukum negara Republik Indonesia telah gugur karena kedaluwarsa (lewat waktu) maka Indonesia harus menolak penyerahan orang yang diminta itu. 33 Ibid

37 Sebaliknya, jika menurut hukum Indonesia hak tersebut masih berlaku, tetapi menurut hukum negara-peminta adalah daluwarsa, dalam hal ini sudah tentu Indonesia tidak boleh menolaknya. Akan tetapi jika orang yang bersangkutan diserahkan, kemudian diadili oleh negara peminta tersebut atau diperintahkan untuk menjalani hukuman, maka orang yang bersangkutan dapat mengajukan pembelaannya bahwa hak untuk menuntut atau menjalani atau menjalani hukuman terhadap kejahatannya itu telah kedaluwarsa. Apabila terbukti benar, negara-peminta itu wajib untuk melepaskan orang yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam kasus seperti ini, tidak ada gunanya bagi negara-peminta untuk meminta penyerahan apabila nanti setelah orang tersebut diserahkan, dia akan lepas dari penuntutan atau penghukuman karena sudah kedaluwarsa 34. i). Penolakan ekstradisi karena ada sangkaan yang cukup kuat Hal ini diatur dalam pasal 14 yang lengkapnya menyatakan 35 ; Permintaan ekstradisi ditolak, jika menurut instansi yang berwenang terdapaat sangkaan yang cukup kuat, bahwa orang yang dimintakan ekstradisinya akan dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya, atau kewarganegaraannya, ataupun karean ia termasuk suku bangsa atau golongan penduduk tertentu. Pasal 14 ini dapat dikatakan sebagai penegasan atau penjabaran dari asas kekhususan atau asas spesialitas, seperti tercantum dalam pasal 15, yang sudah umum dianut dalam setiap perundang-undangan dan perjanjian ekstradisi. Berdasarkan asas kekhususan, orang yang diminta atau si pelaku kejahatan hanya 34 Ibid hal Pasal 14 UU No.1 Tahun 1979

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional 26 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional Sarana ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI A. Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum DISUSUN OLEH

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN Alma Panjaitan 090200095 Abstraksi Extradition treaty between Republic of Indonesia and Republic of Korea was

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Perjanjian. Ekstradisi. Papua Nugini. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5674) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

PENANGANAN CYBER CRIME DI SEKTOR PERBANKAN DI INDONESIA S K R I P S I PRIMA AGUSDANI PUTRA NIM:

PENANGANAN CYBER CRIME DI SEKTOR PERBANKAN DI INDONESIA S K R I P S I PRIMA AGUSDANI PUTRA NIM: PENANGANAN CYBER CRIME DI SEKTOR PERBANKAN DI INDONESIA S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: PRIMA AGUSDANI PUTRA NIM: 030200016

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi Ekstradisi menurut UU RI No. 1 tahun 1979 adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan

Lebih terperinci

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 (Sebagaimana Telah Diratifikasi dengan UU No.8 Th 1994, 2 Nopember 1994) A. PENGERTIAN EKSTRADISI Perjanjian Ekstradisi

Lebih terperinci

Lex Et Societatis Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Et Societatis Vol. V/No. 8/Okt/2017 PEMBERANTASAN KEJAHATAN EKONOMI ANTAR NEGARA DENGAN PERJANJIAN EKSTRADISI (PERSPEKTIF INDONESIA) 1 Oleh: Hendrik B. Sompotan 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979

BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 48 BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 A. Pengertian Ekstradisi Bahwasannya pada setiap negara

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH ISRAEL TERHADAP WARGA SIPIL PALESTINA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017 PERJANJIAN EKSTRADISI ANTAR NEGARA DALAM KAITANNYA DENGAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN 1 Oleh: Ornelita Agnes Sipasulta 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Korupsi merupakan sebuah masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia dan masyarakat international. Di Indonesia korupsi telah diputuskan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa

Lebih terperinci

CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH S K R I P S I Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo Mutual Legal Assistance Trisno Raharjo Tiga Bentuk Kerjasama Ekstradisi Orang pelarian Transfer of sentence person (transfer of prisoners (pemindahan narapidana antar negara) Bantuan timbal balik dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA PELAKU TINDAK PIDANA S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: PANGERAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH DAERAH ADMINISTRASI KHUSUS HONG KONG REPUBLIK RAKYAT CHINA TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap Kemanusiaan), pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional positif yakni, setelah terjadi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh. Utara. Oleh: BAMBANG HERI PRATAMA S NIM:

SKRIPSI. Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh. Utara. Oleh: BAMBANG HERI PRATAMA S NIM: ANALISIS YURIDIS PEMBAYARAN MELALUI INTERNET BANKING DENGAN MENGGUNAKAN LETTER OF CREDIT DIKAITKAN DENGAN KUHPERDATA DAN UNDANG - UNDANG PERBANKAN (STUDI PADA BANK X) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan terhadap warga negaranya kebahagiaan dan kesejahteraan tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan terhadap warga negaranya kebahagiaan dan kesejahteraan tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara ada demi manusia karena itu, negara harus berusaha mencapai kebahagiaan untuk setiap manusia (warga negaranya) 1. Dengan demikian negara memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang Uitlevering van Vreemdelingen. 1:1010 UNDANG-UNDANG (UU) Nomor : 1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal : 18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Sumber : LN 1979/2; TLN NO. 3130 Tentang : EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :

SKRIPSI. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PENGADAAN JENIS IKAN NILAI EKONOMI TINGGI ANTARA DINAS PERTANIAN KOTA TEBING TINGGI DENGAN CV. AVANSA SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH :

SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH : PENGATURAN BATAS WILAYAH LAUT MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN RELEVANSINYA DENGAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 SKRIPSI Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Oleh: Sapto Handoyo DP, S.H., M.H. ABSTRAK Dalam era globalisasi masyarakat internasional yang didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PEMALSUAN DOKUMEN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH TRI JUWITA NASUTION NIM :

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH TRI JUWITA NASUTION NIM : PERLINDUNGAN ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFFICKING) (Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor 03/Pid.B/2012/PN.SBG dan Putusan Nomor 04/Pid.B/2012/PN.SBG)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii Bab I Latar belakang Ekstradisi, Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi 1 1.2 Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PIDANA MATI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif) SKRIPSI.

KEBIJAKAN PIDANA MATI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif) SKRIPSI. KEBIJAKAN PIDANA MATI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N ASPEK HUKUM PENOLAKAN REPUBLIK RAKYAT CINA TERHADAP KEPUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS LAUT CINA SELATAN SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat syarat untuk mencapai

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN DIKAITKAN DENGAN KEWENANGAN NOTARIS DALAM LEGALISASI DAN WAARMERKING BERDASARKAN UU NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan. Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum. Oleh: Randi Saputra Bagian Hukum Pidana

JURNAL ILMIAH. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan. Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum. Oleh: Randi Saputra Bagian Hukum Pidana KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA - AUSTRALIA DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Gelar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

ADE FD SINAGA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

ADE FD SINAGA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DALAM PELANGGARAN HAM BERAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG- UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM (KONVENSI ASEAN MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS (PERJANJIAN TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA) Menimbang :

Lebih terperinci

UPAYA UPAYA ASEAN DALAM MENGHADAPI POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA YANG DISEBABKAN OLEH KEBAKARAN HUTAN

UPAYA UPAYA ASEAN DALAM MENGHADAPI POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA YANG DISEBABKAN OLEH KEBAKARAN HUTAN UPAYA UPAYA ASEAN DALAM MENGHADAPI POLUSI UDARA LINTAS BATAS NEGARA YANG DISEBABKAN OLEH KEBAKARAN HUTAN SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I

PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL S K R I P S I Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum Oleh J E Gunarso Pasaribu Nim:

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN BEBAS VISA BAGI NEGARA-NEGARA ANGGOTA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI) MENURUT TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

PEMBERLAKUAN BEBAS VISA BAGI NEGARA-NEGARA ANGGOTA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI) MENURUT TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI PEMBERLAKUAN BEBAS VISA BAGI NEGARA-NEGARA ANGGOTA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI) MENURUT TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH DAERAH ADMINISTRASI KHUSUS HONG KONG REPUBLIK RAKYAT CHINA TENTANG

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

S K R I P S I ANDIKA

S K R I P S I ANDIKA 1 TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIFF HUKUMM PIDANAA ISLAM DAN HUKUM POSITIF S K R I P S I Diajukan untukk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1

PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1 PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1 0/eh: Dr. Yunus Husein 2 Pendahuluan Bagi negara seperti Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality

BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 A. Asas-asas dalam Ekstradisi, antara lain adalah 18 : 1. Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality Menurut asas ini, kejahatan yang

Lebih terperinci

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat)

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) SKRIPSI Disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah nasional, melainkan

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah nasional, melainkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah nasional, melainkan sudah menjadi fenomena transnasional. 1 Berdasarkan hal tersebut kerjasama internasional menjadi

Lebih terperinci

PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA BANK SKRIPSI

PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA BANK SKRIPSI 1 PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER PRINCIPLE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA BANK SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar. Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI. Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar. Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA PENYEDIAAN PENGEMUDI HEAD TRUCK ANGKUTAN PETI KEMAS ANTARA PT.PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL DENGAN KOPERASI KARYAWAN PELABUHAN

Lebih terperinci

PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( STUDI DALAM LEMBAGA TERKAIT DI MEDAN ) SKRIPSI

PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( STUDI DALAM LEMBAGA TERKAIT DI MEDAN ) SKRIPSI PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( STUDI DALAM LEMBAGA TERKAIT DI MEDAN ) SKRIPSI Disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci