BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality"

Transkripsi

1 BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 A. Asas-asas dalam Ekstradisi, antara lain adalah 18 : 1. Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum negara-peminta maupun hukum negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing negara itu berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum kedua negara sama-sama mengklasifikasikan kejahatan itu sebagai kejahatan atau tindak pidana. 2. Asas kekhususan atau spesialitas Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi. 3. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik Jika negara-diminta berpendapat, bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada 18 I wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum nasional Indonesia(buku 2), Halaman.171.

2 kesatuan pendapat, baik dikalangan para ahli maupun dalam praktek negaranegara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik ataukah tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbanganpertimbangan politik yang tentu saja sangat subjektif. Karena sukarnya menentukan kriteria objektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik dalam perjanjian maupun dalam perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan. 4. Asas tidak menyerahkan warga negara. J.G.Starke mengatakan bahwa Kewarganegaraan itu tiada lain daripada keanggotaan seseorang pada suatu negara. Sebagai anggota dari suatu negara sudah tentu hubungannya dengan negara dimana dia menjadi anggota atau kewarganegaraan, mengandung segi kekhususan tersendiri pula 19.Jika orang diminta ternyata adalah warga negara dari negara-diminta, maka negara-diminta dapat menolak permintaan dari negara-peminta. Asas ini berlandaskan pada pemikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara-diminta menolak permintaan negara-peminta, 19 Akrial, Zul. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara sendiri dikaitkan dengan politik Hukum nasional, diakses dari situs WWW. Legalitas.org, tanggal 19 februari 2011.

3 negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri. 5. Asas Non Bis In Idem atau Ne Bis In Idem Perbuatan yang telah diputuskan dengan putusan yang telah menjadi tetap (in kracht van gewijsde). Dalam Hukum Pidana Nasional Asas ini terdapat dalam KUHP yang berbunyi: Pasal 76: (1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam arti hakim Indonesia, termaksud juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempattempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut. Ketentuan pasal 76 ayat 1 diletakkan suatu dasar yang disebut dengan asas ne bis in idem( bahasa latin) yang melarang negara untuk menuntut yang kedua kalinya terhadap si pembuat yang perbuatannya telah diputus oleh pengadilan yang putusan mana telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan yang tidak dapat lagi dilawan dengan upaya hukum biasa. 20 Dalam UU No 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi Asas Ne Bis In Idem terdapat dalam pasal 10 yang berbunyi:permintaaan ekstradisi ditolak, jika putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan Republik Indonesia yang berwenang mengenai kejahatan yang dimintakan ekstradisinya mempunyai kekuatan hukum yang pasti. 21 Asas ini sebagai salah satu Hukum pidana (nasional dan internasional) juga merupakan asas ekstradisi. Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan kepastian 20 Adami Chazawi, pelajaran hukum pidana bagian II (buku 2), jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, halaman UU No 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi

4 hukum bagi setiap orang pada umumnya. Orang yang sudah dijatuhi putusan pidana dengan kekuatan mengikat dan tetap tidak dapat diadili atau dijatuhi hukuman untuk kedua kali atau lebih atas kasus kejahatan yang sama Asas daluwarsa 23. Daluwarsa atau lewat waktu dikenal dalam hampir semua sistem hukum negaranegara di dunia.makna dari daluwarsa ini adalah memberikan adanya suatu kepastian hukum bagi semua piha, bahwa suatu peristiwa hukum apabila sudah sedemikian lama terjadinya, misalnya: sudah terjadi sekian tahun yang lampau dan selama ini tetap dibiarkan saja dalam semua pihak, sehingga sudah dilupakan orang seolah-olah tidak pernah terjadi maka setelah sampai atau melewati jangka waktu tertentu tidak bisa diapa-apakan lagi, mengenai berapa lama suatu peristiwa hukum sudah dianggap daluwarsa, hal ini berbeda-beda dalam setiap sistem hukum. Permintaan negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa menurut hukum dari satu atau kedua pihak. Bab mengenai prosedur ekstradisi, meliputi antara lain, syarat syarat untuk menahan orang yang diminta berdasarkan permintaan dari negara peminta, yaitu syarat apa yang harus dipenuhi oleh negara peminta agar orang yang diminta bisa ditahan, syarat syarat permintaan ekstradisi untuk dapar dipertimbangkan, tentang pemeriksaan terhadap orang yang di ekstradisikan, pencabutan dan perpanjangan penahanan, keputusan mengenai permintaan ekstradisi yakni apakah permintaan ekstradisi itu akan dikabulkan ataukah ditolak serta mengenai penyerahan orang yang diminta, barang barang bukti dan lain lain I wayan Parthiana, Loc.cit (buku 4), halaman Ibid, Halaman I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional (buku 3), Alumni, Bandung,1983, halaman.131.

5 B. Syarat syarat penahanan yang diajukan oleh negara peminta Ada kalanya negara peminta sebelum mengajukan permintaan ekstradisi secara resmi kepada negara diminta, memandang perlu untuk terlebih dahulu menahan orang yang perlu diminta itu. Sudah tentu negara peminta tidak boleh secara langsung menangkap dan menahan orang tersebut sebab dia berada dalam wilayah peminta. Untuk itu, negara peminta dapat meminta kepada negara diminta supaya melakukan penahanan terhadap orang yang bersangkutan. Setelah itu dapat segera disusul dengan pengajuan permintaan ekstradisinya. Tujuan penahanan ini adalah agar supaya orang yang bersangkutan tidak melarikan diri ke negara lain sampai diajukan permintaan ekstradisi. Negara diminta stelah menerima permintaan untuk menahan tersebut, terlebih dahulu mempertimbangkan apakah penahanan itu dapat dilakukan ataukah tidak. Sudah barang tentu penahanan tersebut haruslah berdasarkan hukum (hukum acara pidana) negara diminta. Yang memerintahkan penahan tersebutadalah pejabat yang berwenang dari negara diminta. Kepala Kepolisian R.I atau Jaksa agung R.I dapat memerintahkan penahanan yang dimintakan oleh negara lain atas dasar alasan yang mendesak jika penahanan itu tidak bertentangan dengan hukum negara R.I 25. Dengan jelas dapat kita lihat, alasan untuk menahan tersebut yaitu, atas dasar alasan yang mendesak konkritnya alasan yang mendesak itu, pertimbangannya tergantung pada pihak peminta dan keputusan untuk menerima atau tidaknya permintaan penahanan itu sepenuhnya terletak pada pemerintah indonesia. Syarat untuk dapat dilakukan penahanan adalah jika hukum Indonesia memperbolehkannya atau tidak bertentangan dengan hukum Indonesia. 26 Agar supaya orang yang diminta itu tidak ditahan berlarut larut, sampai melebihi dari batas waktu yang diperkenankan oleh hukum Indonesia, negara peminta di dalam 25 Lihat pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi

6 mengajukan permintaan untuk menahan itu harus pula menyertai dengan suatu penegasan bahwa dokumen-dokumen serta persyartan lain untuk mengajukan permintaan ekstradisi sudah siap/tersedia, dan dalam tempo yang secepatnya akan menyampaikan permintaan ekstradisi. Dengan penegasan ini dapat lebih menyakinkan pihak Indonesian bahwa negara peminta itu benar-benar akan mengajukan permintaan ekstradisi pada waktu yang secepatnya, Dalam permintaan untuk penahanan itu negara peminta harus menerangkan bahwa dokumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 sudah tersedia dan bahwa negara tersebut segera dalam waktu tersebut dalam pasal 21 akan menyampaikan permintaan ekstradisi 27. Selanjutnya diatur tentang prosedur yang harus ditempuh oleh negara peminta dalam menyampaikan permintaan penahanan tersebut. Permintaan untuk penahanan disampaikan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta kepada Kepala Kepolisian R.I atau kepada Jaksa Agung R.I melalui INTERPOL Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram.permintaan penhanan tersebut dapat disampaikan kepada: 1. Kepala Kepolisian R.I., atau 2. Jaksa Agung R.I. Sedangkan saluran yang harus dilakukan adalah: 1. Melalui INTERPOL Indonesia, atau 2. Melalui saluran diplomatik 28. Surat permintaan penahanan itu dapat disampaikan lewat pos atau dengan telegram. Setelah surat permintaan ekstradisi untuk menahan itu diterima oleh Kepala Kepolisian atau Jaksa Agung, dan setelah dipertimbangkan ternyata permintaan penahanan itu dapat dikabulkan, maka pejabat yang berwenang/ jaksa agung atau kepala kepolisian R.I mengeluarkan surat perintah untuk menangkap dan atau menahan orang ynag bersangkutan. 27 Lihat pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. 28 Pasal 19 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi.

7 Semuanya itu dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (pasal 19 (2)). Penyimpangan dari ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia diperkenankan seperti ditentukan dalam pasal 19 (3). Pasal 19 (3) ini berbunyi: Menyimpang dari ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia yang berlaku, maka terhadap mereka ynag melakukan kejahatan yang dapat diekstradisikan berdasarkan undang-undang ini dapat dilakukan penahanan. Apabila setelah orang yang bersangkutan ditahan, ternyata dalam waktu yang dipandang cukup sejak dia ditahan, permintaan ekstradisi dari negara peminta belum juga diterima oleh pemerintahan indonesia, maka pemerintah indonesia harus melepaskan orang tersebut dari tahanan. Mengenai berapa lama jangka waktu tersebut, ditentukan dalam perjanjian ekstradisi dengan negara peminta tersebut, misalnya: perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan pilipina menentukan waktu 20 hari (pasal 11 (5) ), demikian juga perjanjian ekstradisi Indonesia Malaysia pasal 2 (5) dalam hal perjanjian ekstradisi tersebut masih belum ada, maka jangka waktu penahanan 29 tersebut tunduk pada hukum indonesia (ketentuan hukum acara pidana indonesia). Jika antara ketentuan mengenai lamanya penahanan (sementara) dalam perjanjian ekstradisi bertentangan dengan yang terdapat dalam hukum acara pidana indonesia, maka ketentuan dalam perjanjian ekstradisilah yang diterapkan. Sebab ketentuan dalam perjanjian ekstradisi merupakan peraturan yang bersifat khusus, merupakan perkecualian dari ketentuan umum yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana. Ini sesuai dengan adagium; lex specialis derogat legi generali. C. Syarat-Syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan Permintaan Ekstradisi. Oleh karena masalah ekstradisi adalah masalah antar negara (negara-peminta dan negara-diminta) maka permintaan harus diajukan melalui saluran diplomatik sebagaimana 29 Lihat pasal 20-pasal 31 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

8 lazimnya dalam hubungan-hubungan internasional. Dalam hal ini adalah pejabat-pejabat tinggi masing-masing negara yang ruang lingkup tugas dan kewenangannya mengenai masalah hubungan luar negeri,seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan dutabesar sepanjang menyangkut hubungan antara negara dengan negara dimana dutabesar yang bersangkutan diakreditasi. 30 Syarat-syarat untuk permintaan ekstradisi adalah: a) Surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Menteri kehakiman R.I untuk selanjutnya oleh Menteri Kehakiman diteruskan kepada Presiden. b) Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk menjalani pidana, harus disertai lembaran asli atau salinan otentik dari putusan pengadilan yang berupa pemindanaan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti,lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara-peminta. c) Sedangkan surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahtan (dia belum diadili atau disangkakan hukuman), harus disertai: lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta, uraian mengenai kejahatan yang dijadikan dasar atau alasan untuk meminta ekstradisi, dengan menyebutkan waktu dan tempat kejahtan dilakukan, dengan disertai bukti tertulis yang diperlukan, keterangan-keterangan saksi di bawah sumpah mengenai pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan, keterangan yang diperlukan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya, permohonan pensitaan barang. 30 I Wayan Parthiana,op.cit(buku ke-3), halaman. 219

9 Dengan ketiga surat-surat ini sudahlah cukup untuk menguatkan permintaan ekstradisi. Dalam putusan pengadilan yang berisi atas penghukuman orang tersebut, dipandang sudah mencakup keterangan saksi-saksi, uraian kejahatan yang ditunduhkan, pemerikaan barang dan lain-lainnya. Sedangkan untuk permintaan seorang tersangka, terdakwa, tertuduh, oleh karena proses pemeriksaannya di negara-peminta masih agak mentah, maka uraian kejahatan yang dituduhkan dan yang dijadikan dasar untuk meminta ekstradisi, ketentuan-ketentuan hukum (pidana) yang dituduhkan, keterangan saksi-saksi, memang sangat diperlukan. Disamping untuk memperkuat permintaan ekstradisi bagi negarapeminta, juga bagi negara-diminta dalam mempertimbangkan permintaan ekstradisi tersebut betul-betul lebih meyakinkan sehingga akan dapat mengambil keputusan yang tepat.suratsurat tersebut merupakan alat bukti tertulis. Menurut penjelasan pasal demi pasal Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tersebut, bukti tertulis ialah dokumen-dokumen yang erat hubungannya dengan kejahatan tersebut, misalnya: surat hak milik, atau apabila bukti-bukti tersebut berupa alat, benda atau senjata, cukup foto-foto dari barang tersebut, atau apa yang dinamakan copie collatione 31 Diperkenankannya untuk mengajukan copy/salinan atau foto-foto saja, jadi berbeda dengan alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara biasa menurut penjelasan UU tersebut disebabkan oleh karena dalam ekstradisi, pemeriksaan oleh pengadilan hanya akan untuk menetapkan apakah orang tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada dapat diekstradisikan ataukah tidak. Jadi tidak untuk memutuskan salah satu atau tidaknya orang tersebut. D. Pemeriksaan Terhadap Orang Yang Dimintakan Ekstradisi Setelah instansi yang berwenang kejaksaan atau kepolisian, menerima permintaan ekstradisi dari Menteri Kehakiman yang setelah mempelajarinya berpendapat bahwa, 31 Ibid, Halaman 225.

10 kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan itu dapat dikenakan penahanan menurut hukum acara pidana indonesia, maka terhadap orang yang bersangkutan dapat dikenakan penahanan sementara. Pengeluaran surat perintah atau penahanan orang yang bersangkutan juga dilakukan menurut hukum acara pidana Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun Namun demikian, penyimpangan dari hukum acara pidanan Indonesia juga diperkenankan, yaitu jika kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat di ekstradisikan berdasarkan undang-undang ekstradisi Indonesia maka orang tersebut dapat dikenakan penahanan, walaupun menurut hukum acara pidana Indonesia terhadap kejahatannya itu tidak boleh dikenakan penahanan. Tegasnya, walaupun menurut KUHAP atas kejahatannya itu orang yang bersangkutan tidak boleh dikenakan penahanan, tetapi jika negara-peminta meminta kepada negara-diminta (Indonesia) supaya orang tersebut ditahan, maka Indonesia harus menahannya 32. Dalam pasal 26 (1) ditentukan, apabila yang melakukan penahan tersebut kepolisian R.I maka setelah menerima surat permintaan ekstradisi, kepolisian melakukan pemeriksaan tentang orang tersebut atas dasar keterangan atau bukti-bukti dari negara peminta itu. Hasil pemeriksaan itu dicatat dalam berita acara dan segera diserahkan kepada kejaksaan R.I setempat (pasal 26 (2) ). Jika yang melakukan penahanan adalah kejaksaan, maka pihak kejaksaanpun juga harus melakukan pemeriksaan seperti ketentuan pasal 26 (1), walaupun tidak ditegaskan demikian. Dengan dibatasinya pemeriksaan hanya atas dasar surat permintaan ekstradisi dan bukti atau keterangan dari peminta, ini berarti bahwa kejaksaan ataupun kepolisian tidak diperkenankan mendasarkan pemeriksaannya pada hukum acara pidana indonesia. Jika sudah terpenuhi sesuai dengan surat permintaan ekstradisi dan bukti atau keterangan dari negara peminta, walaupun masih terdapat kekurangan berdasarkan 32 lihat pasal 19 ayat 3 Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 Tentang Ekstradisi.

11 Hukum acara pidana Indonesia, maka kepolisian ataupun kejaksaan tidak boleh melengkapi atau mengharuskan melengkapinya agar sesuai dengan ketentuan Hukum acara pidana indonesia. Hal ini pelu, demi kepentingan terjaminnya kepastian hukum bagi semua pihak, terutama bagi orang yang bersangkutan. Sebab orang yang diminta itu, nantinya akan diperiksa dan diadili di negara-peminta, di negara peminta dan dengan berdasarkan hukum negara-peminta itu sendiri. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa kejaksaan atau kepolisian dalam memeriksa orang yang bersangkutan, harus mendasarkan pada surat permintaan ekstradisi dan keterangan atau bukti dari negara peminta 33. Jika pemerintah indonesia memandang lebih baik ditahan dan diperiksa oleh pihak yang kejaksaan ataupun kepolisian di tempat yang lain, misalnya di jakarta, surabaya, medan, hal ini bisa saja dilakukan. Misalnya untuk lebih amannya pemeriksaan atau karena di tempat yang dipilih itu lebih lengkap perlatannya dan personil pemeriksaan dibandingkan dengan di tempat yang terpencil dimana orang yang bersangkutan ditahan semula. Pihak kejaksaan setelah selesai memeriksa kasus tersebut atau setelah selesai memeriksa berita acara perkara dari polisi, meminta kepada Pengadilan Negeri di daerah tempat ditahannya orang itu disertai dengan alasan-alasannya secara tertulis supaya Pengadilan Negeri memeriksa dan kemudian menetapkan apakah orang tersebut dapat diekstradisikan atau tidak 34. Hal ini diatur dalam pasal 27. Oleh karena pemeriksaan di Pengadilan adalah boleh dikatakan sebagai penentu tentang dapat atau tidaknya orang yang bersangkutan diekstradisikan, sehingga diberikan kesempatan kepadannya untuk didampingi penasehat hukumnya dan mengajukan pembelaan. Memang pada akhirnya, penentuan terakhir ada pada Presiden setelah memperoleh pertimbangan-pertimbangan Menteri Kehakiman, Luar Negeri, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisia R.I.namun di pengadilannlah orang yang dimintai itu secara langsung dapat 33 I Wayan Parthiana,op.cit(buku ke-3),halaman Ibid. Halaman.229.

12 memberikan keterangna-keterangannya 35. Selanjutnya pasal 28 menegaskan bahwa perkara ekstradisi termaksud perkara-perkara yang didahulukan. Artinya hakim Pengadilan Negeri wajib untuk lebih memprioritaskan atau mendahulukan pemeriksaan perkara mengenai ekstradisi daripada perkara-perkara biasa. Sebab dalam perkara ekstradisi tersangkut kepentingan negara lain yaitu negara-peminta. Selain daripada itu, perkara yang ekstradisi menyangkut kejahatan berat dan mungkin menggoncangkan masyarakat luas tertama di negara-peminta 36. Dalam pasal 32 ditegaskan hal-hal yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah: a) Apakah identitas dan kewarganegaraan dari orang yang dimintakan ekstradisi itu sesuai dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan ileh negara. b) Apakah kejahatan yang dimaksud merupakan kejahatan yang dapat diekstradisi menurut pasal 4 dan bukan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer. c) Apakah hak penuntut atau hak melaksanakan putusan Pengadilan sudah atau belum kadaluwarsa. d) Apakah terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan telah atau belum dijatuhkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti. e) Apakah kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara-peminta sedangkan di Indonesia tidak. f) Apakah orang tersebut diperiksa di Indonesia atas kejahatan yang sama. Dalam pasal 33 (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 ditentukan bahwa dari hasil pemeriksaan tersebut pada pasal 32 Undang-undang No 1 tahun 1979 Pengadilan menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan. Selanjutnya dalam ayat 2 ditegaskan, pengadilan tersebut beserta surat-suratnya yang berhubungan dengan perkara itu 35 Ibid. Halaman Undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi pasal 28.

13 segera diserahkan kepada Menteri kehakiman untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan penyelesaian lebih lanjut. E. Keputusan mengenai permintaan ekstradisi Dalam pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, ditegaskan setelah Presiden menerima penetapan Pengadilan beserta pertimbangan-pertimbangan tersebut dalam ayat (1), maka presiden memberikan keputusan tentang dapat atau tidaknya orang yang diminta itu diekstradisikan. Di dalam ayat (3) ditegaskan bahwa jika menurut penetapan Pengadilan permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetapi Menteri Kehakiman R.I memerlukan tambahan keterangan, maka Menteri kehakiman R.I meminta keterangan yang dimaksud kepada negara-peminta dalam waktu yang dianggap cukup. Mengenai berapa lama waktu yang dianggap cukup tersebut, didasarkan pada pertimbangan jarak serta luasnya negara yang meminta ekstradisi. Misalnya, jika negara-peminta tersebut di benua eropah haruslah diberikan batas waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengna kawasan Asia Tenggara, di dalam melengkapi permintaan tersebut. Juga perlu dipertimbangkan luas negara-peminta yang bersangkutan. Jika negarapeminta tersebut wilayahnya demikian luas tentulah akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengumpulkan kelengkapan atau tambahan keterangan, jika dibandingkan dengan negara kecil. Oleh karena itu,untuk menetapkan berapa lama waktu yang dianggap cukup itu, ditentukan dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara-peminta yang bersangkutan 37. Keputusan terakhir mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan ekstradisi negara-peminta itu terletak di tangan presiden, setelah menerima penetapan Pengadilan serta pertimbangan-pertimbangan dari Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa agung dan 37 I Wayan Parthiana,Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Dan Hukum nasional, Op cit. Hlm.243.

14 Kepala Kepolisian R.I Keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi itu diberitahukan atau disampaikan oleh mnteri Kehakiman R.I kepada negara-peminta melalui saluran diplomatik (pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979). F. Penyerahan Orang Yang Dimintakan Ekstradisi Jika permintaan negara-peminta dikabulkan oleh negara-diminta dan sudah dilakukan pemberitahuannya secara tertulis kepada negara-peminta yang biasanya pemberitahuan itu disertai pula dengan penentuan mengenai tempat dan waktu dilakukan penyerah-terimaannya, maka selanjutnya dilakukanlah proses penyerah-terimaan orang yang diminta tersebut oleh pejabat yang berwenang dari negara-diminta kepada pejabat yang berwenang dari negarapeminta. Mengenai tempat penyerah-terimaannya, ditentukan sebelumnya oleh negaradiminta, yakni, di suatu tempat atau di wilayah negara-diminta itu sendiri, meskipun boleh juga dilakukan di suatu tempat di wilayah negara-ketiga, namun harus ada persetujuan dari negara-ketiga yang bersangkutan. Negara-peminta setelah menerima pemberitahuan dari negara-diminta tentang dikabulkannya permintaan untuk pengekstradisiannya, dalam jangka waktu yang dipandang layak, harus menyampaikan surat pemberitahuan kepada negara-diminta mengenai rencana pengambilan orang yang diminta atau yang akan diekstradisikan. Surat tersebut, antara lain berisi: nama dan identitas dari pejabatnya yang berwenang yang akan menerima penyerahterimaan orang yang bersangkutan, dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang terkait dengan pengekstradisian tersebut kalau memang dibutuhkan 38. Pada waktu dan tempat yang sudah ditetapkan oleh negara-diminta, dilakukanlah penyerah-terimaan orang yang bersangkutan beserta dengan penyerah-terimaan barangbarang yang terkait (kalau memang barang itu ada) oleh pejabat yang berwenang dari negara- 38 I Wayan Parthiana, op.cit(buku ke-1). Halaman 243

15 diminta kepada pejabat yang berwenang dari negara-diminta kepada pejabat yang berwenang dari negara-peminta pada suatu dokumen berita acara serah terima yang otentik yang sebelumnya sudah disiapkan oleh negara yang diminta 39. Negara-diminta dapat saja menentukan tempat penyerah-terimaan tersebut, misalnya, di suatu kota yang jauh dari garis perbatasan darat antara kedua negara, atau disuatu kota yang di wilayahnya sendiri yang jauh dari bandara ataupun pelabuhan. Hal ini tentu saja akan membutuhkan waktu ynag cukup lama untuk membawa orang yang bersangkutan dari kota tempat penyerah-terimaan melalui perjalanan darat untuk menuju ke garis perbatasan atau bandara ataupun pelabuhan di negaradiminta. Hal inipun juga bisa menimbulkan suatu resiko yang tidak kecil. Misalnya, jika orang yang bersangkutan ketika dalam perjalanan darat dari tempat serah-terima ke pelabuhan atau bandara (di wilayah negara-diminta) yang jaraknya puluhan bahkan ratusan kilometer, ternyata berhasil melarikan diri dari penjagaan pejabat yang berwenang dari negara-peminta. Jika larinya baru beberapa meter saja dari kendaraan pengangkutnnya dan bisa ditangkap langsung oleh pejabat tersebut dan dimasukkan kembali ke dalam kendaraan yang mengangkutnya, tentulah tidak ada persoalan apa-apa. Sebaliknya jika kemudian dia berhasil menyelinap dan tidak bisa ditangkap oleh pejabat negara-peminta, maka pejabat negara-peminta tersebut tentu saja tidak bisa langsung mencari dan menangkap sendiri orang itu di wilayah negara-diminta. Dia harus meminta bantuan dari pejabat yang berwenang dari negara-diminta. Hal ini tentu akan merepotkan kedua pihak. Namun,demi memperkecil atau menghapuskan resiko tersebut, serah terima secara resmi sebaiknya dilakukan tempat yang sudah ditentukan. G. Perjanjian Bilateral Ekstradisi antara Indonesia dengan negara-negara Lain. Ekstradisi diakui sebagai suatu mekanisme kerjasama antar negara dalam mencegah dan memberantas kejahtan lintas negara yang selanjutnya disebut sebagai kejahatan transnasiona 39 Ibid, Halaman 244

16 lekstradisi sebagai suatu prananta hukum memang sudah dikenal sejak lama, asas-asas hukumnya sudah diakui dan diterima serta dipraktekkan secara luas diseluruh dunia dengan berbagai variasi.indonesia sudah memiliki enam perjanjian bilateral soal ekstradisi yang telah diratifikasi, yakni sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintahan Republik Indonesia Dan Pemerintahan Malaysia Mengenai Ekstradisi. 40 Dalam perjanjian ekstradisi dengan Malaysia tersebut sudah dimasukkan semua azasazas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional mengenai ekstradisi seperti: a. azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana baik menurut sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Malaysia ("double criminality") b. kejahatan politik tidak diserahkan, c. hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri dan lain-lainnya. Prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional negara masing-masing. 2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Phillipina 41. Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas azasumum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional mengenai ekstradisi seperti: a. Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Philipina (Double Criminality); b. Kejahatan politik tidak diserahkan; 40 Diakses tanggal 18 februari ibid

17 c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri, dan lainlainnya. Disamping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan.prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara. 3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintahan Kerajaan Thailand Tentang Ekstradisi 42 Dalam perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Thailand tersebut sudah dimasukkan semua azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam Hukum Internasional mengenai ekstradisi, seperti: a. Azas bahwa tentang yang bersangkutan merupakan tindakpidana, baik menurut sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Thailand (double criminality) ; b. Pelaku kejahatan politik tidak diekstradisikan ; c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri, kecuali apabila demi penegakan Hukum dan Keadilan dikehendaki lain; d. Dan azas-azas lainnya. Tata cara penangkapan, penahanan dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional negara masing-masing. 4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Australia. Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Australia bertujuan meningkatkan kerjasama dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan yaitu, dengan cara mencegah lolosnya pelaku tindak pidana dari tuntutan dakwaan dan pelaksanaan hukuman. Tatacara Ekstradisi antara Australia dan Indonesia, adalah: 42 ibid

18 Ekstradisi akan ditempuh dengan cara Negara Peminta mengajukan permintaan ekstradisi kepada Negara yang diminta. Permintaan harus tertulis dan disampaikan melalui saluran diplomatik disertai dokumen-dokumen otentik yang diperlukan. Apabila permintaan atas orang yang sama datang dari dua negara atau lebih maka Negara yang Diminta harus menentukan kepada negara mana ekstradisi itu akan dilakukan. 5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Hongkong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum Yang Melarikan Diri 43 Dalam Persetujuan ini mengenai penyerahan pelanggar hukum ditempuh dengan tata cara (pasal 17) sebagai berikut : a. Pihak diminta harus, segera sesudah mengambil keputusan mengenai permintaan penyerahan, memberitahukan keputusan tersebut kepada Pihak Peminta. b. Jika seseorang akan diserahkan, orang itu harus dikirim oleh pejabat dari Pihak diminta ke suatu tempat pemberangkatan yang berada dalam yurisdiksinya. c. Pihak Peminta harus mengambil orang tersebut dalam waktu yang ditentukan oleh Pihak Diminta dan jika tidak diambil dalam jangka waktu tersebut Pihak Diminta dapat menolak penyerahan orang itu untuk pelanggaran yang sama. d. Jika ada keadaan yang berada di luar kuasa menghalangi salah satu pihak untuk menyerahkan dan mengambil orang yang akan diserahkan, pihak yang bersangkutan harus memberitahukan pihak yang lain. Dalam kasus yang demikian, kedua belah pihak harus menyetujui suatu tanggal yang baru untuk penyerahan yang telah ditentukan. 6) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Korea Ibid

19 Karakteristik yang membedakan perjanjian ekstradisi ini dengan perjanjian ekstradisi lain adalah: a. Tidak ada Daftar Kejahatan (List of Crime) Kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah semua kejahatan yang dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun atau lebih. Ketentuan sistem tanpa daftar dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan transnasional yang baru. b. Penolakan terhadap permintaan ekstradisi apabila orang yang diminta sedang Dalam proses pemeriksaan atau telah diadili dan dipidana, atau dibebaskan oleh pengadilan di Negara yang Diminta, atas kejahatan yang dimintakan ekstradisinya. c. Penolakan terhadap permintaan ekstradisi apabila didasarkan pada alasan ras,agama, kebangsaan, jenis kelamin, atau pandangan politik. d. Kebijaksanaan untuk Mengekstradisi Warga Negara Sendiri Pada dasarnya ekstradisi terhadap warga negara sendiri harus ditolak, kecuali atas dasarkebijaksanaan dari Negara yang Diminta jika hal tersebut dianggap layak untuk dilakukan. Kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisi ditentukan pada saat kejahatan dilakukan. e. Pengecualian terhadap Asas Kriminalitas Ganda Tidak diberlakukannya asas kriminalitas ganda (double criminality) dalam bidangpajak, kepabeanan, pengawasan valuta asing, atau masalah penerimaan negara lainnya. f. Pidana Mati Perjanjian ini tidak mengatur tentang penolakan ekstradisi terhadap kejahatan yang diancam pidana mati. g. Ekstradisi Sederhana Ekstradisi dapat segera dilakukan apabila pelaku kejahatan setuju terhadap 44 ibid

20 permintaan ekstradisi tersebut. Negara yang Diminta harus segera mengambil langkahlangkah untuk mempercepat ekstradisi ekstradisi tersebut, sepanjang hukum nasionalnya memperbolehkan hal tersebut. h. Pemindahan Narapidana Ekstradisi terhadap narapidana diperbolehkan sepanjang narapidana tersebut telah menjalani pidana dan mempunyai sisa masa pidana paling sedikit 6 (enam) bulan. i. Penundaan Ekstradisi Apabila orang yang diminta sedang diperiksa atau sedang menjalani pidana di Negara yang Diminta untuk kejahatan yang dilakukan selain kejahatan yang dimintakan ekstradisi, Negara yang Diminta dapat mengekstradisikan atau menunda ekstradisinya sampai selesai proses pemeriksaan atau orang yang diminta selesai menjalani sebagian atau keseluruhan pidananya. j. Wilayah Negara Pihak Menurut perjanjian ini yang dimaksud wilayah Negara Pihak adalah : 1. wilayah yang berada di bawah kedaulatan salah satu Pihak, dan laut yang berbatasan dengannya, di mana Pihak tersebut melaksanakan kedaulatannya sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982; 2. Laut yang berbatasan lainnya dan landas kontinen di mana para Pihak melaksanakan hak berdaulat atau hak lainnya menurut Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982, tetapi hanya yang berkaitan dengan pelaksanaan hak berdaulat atau hak lainnya; 3.kapal dan pesawat udara yang dimiliki oleh Pemerintah atau yang terdaftar di salah satu Negara Pihak, jika kapal tersebut berada di laut bebas atau jika pesawat udara tersebut sedang dalam penerbangan, pada saat dilakukannya kejahatan yang dimintakan ekstradisinya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang Uitlevering van Vreemdelingen. 1:1010 UNDANG-UNDANG (UU) Nomor : 1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal : 18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Sumber : LN 1979/2; TLN NO. 3130 Tentang : EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59 REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara

Lebih terperinci

NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA

NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENIMBANG: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA Copyright 2002 BPHN UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA *8599 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1994 (8/1994) Tanggal:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Malaysia Selasa, 27 Juli :42

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Malaysia Selasa, 27 Juli :42 PEMERINTAH MALAYSIA DAN REPUBLIK INDONESIA: Berhasrat untuk memperkuat ikatan persahabatan yang telah terjalin lama antara kedua negara. Mengingat bahwa kerja sama yang efektif antara kedua negara dalam

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, enimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 Nomor 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2, 1979 (TINDAK PIDANA. KEHAKIMAN. Asing. KUHP. Warganegara. Ekstradisi. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UU 1/1979, EKSTRADISI. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal:18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Tentang:EKSTRADISI

UU 1/1979, EKSTRADISI. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal:18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Tentang:EKSTRADISI UU 1/1979, EKSTRADISI Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal:18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Tentang:EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo Mutual Legal Assistance Trisno Raharjo Tiga Bentuk Kerjasama Ekstradisi Orang pelarian Transfer of sentence person (transfer of prisoners (pemindahan narapidana antar negara) Bantuan timbal balik dalam

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN Alma Panjaitan 090200095 Abstraksi Extradition treaty between Republic of Indonesia and Republic of Korea was

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF

Lebih terperinci

ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S , s.d.u. dg. S terakhir s.d.u. dg. S

ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S , s.d.u. dg. S terakhir s.d.u. dg. S ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S. 1930-225, s.d.u. dg. S. 1931-168 terakhir s.d.u. dg. S. 1947-208. Pasal I Dengan mencabut Peraturan-peraturan uap yang ditetapkan berdasarkan Ordonansi tanggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Perjanjian. Ekstradisi. Papua Nugini. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5674) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

PERJANJIAN TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA TABEL DAFTAR ISI

PERJANJIAN TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA TABEL DAFTAR ISI PERJANJIAN TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA TABEL DAFTAR ISI Pasal Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB III EKSTRADISI TERPIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

BAB III EKSTRADISI TERPIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI BAB III EKSTRADISI TERPIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI A. Pengertian Ekstradisi Setiap negara terikat yurisdiksi atas semua orang yang berada di wilayahnya. Hal

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

Indeks: ADMINISTRASI. HANKAM. KEHAKIMAN. Imigrasi. Warganegara. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

Indeks: ADMINISTRASI. HANKAM. KEHAKIMAN. Imigrasi. Warganegara. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 9/1992, KEIMIGRASIAN *7973 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 9 TAHUN 1992 (9/1992) Tanggal: 31 MARET 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/33; TLN NO.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan Pasal-pasal

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979

BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 48 BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 A. Pengertian Ekstradisi Bahwasannya pada setiap negara

Lebih terperinci

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository USU Repository 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii A. Pengertian... 1-2 B. Dasar Peniadaan Penuntutan... 3-6 C. Hapusnya Hak Menuntut... 7-13 Kesimpulan... 14 Daftar Pustaka...... 15 ii

Lebih terperinci