EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL"

Transkripsi

1 EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Oleh: Sapto Handoyo DP, S.H., M.H. ABSTRAK Dalam era globalisasi masyarakat internasional yang didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, timbulnya tindak pidana atau kejahatan yang berdimensi internasional semakin sulit dibendung. Tindak pidana internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu tindak pidana. Pengakuan secara internasional ini disebabkan karena tindak pidana tersebut merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian masyarakat internasional. Salah satu lembaga yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Eksistensi lembaga ekstradisi semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya dapat ditemukan dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. A. Pendahuluan Masalah ekstradisi akhir-akhir ini muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan ada pula yang menyebut kejahatan internasional. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendirisendiri, tetapi diperlukan kerjasama terpadu baik secara bilateral maupun multilateral mengadakan hubungan-hubungan, pada gilirannya timbullah hasrat dan kepentingan untuk menjaga, memelihara dan mengatur hubunganhubungan yang sudah terjalin. 1 Tindak pidana internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu tindak pidana. Pengakuan secara internasional ini disebabkan karena tindak pidana tersebut merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian masyarakat internasional. Dengan demikian, terhadap tindak pidana ini tidak hanya tunduk pada yurisdiksi negara tertentu saja, tetapi dapat tunduk pada yurisdiksi semua negara atau dapat diterapkan yurisdiksi universal. 2 Tegasnya jika ditinjau dari segi hukum internasional, hukum internasional memberikan hak, kekuasaan atau kewenangan kepada negaranegara untuk membuat, melaksanakan, atau memaksakan perundang- 1 H.R. Abdussalam, Hukum Pidana Internasional I, (Jakarta: Restu Agung, 2006), Hal Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), Hal

2 undangan pidana nasionalnya terhadap tindak pidana internasional dimaksud. 3 Tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata hukum sedunia, hal ini sesuai dengan asas perlindungan kepentingan universal. 4 Salah satu lembaga yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan atau tindak pidana yang berdimensi internasional ini adalah Ekstradisi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional, lembaga ekstradisi juga muncul ke permukaan, seolah-olah ekstradisi ini sebagai lembaga hukum yang ampuh untuk menyelesaikannya. B. Pengaturan Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral, multilateral regional, maupun berbentuk peraturan perundangundangan nasional Negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang Model Treaty on Extradition, meskipun hanya berupa model hukum saja, dan belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai acuan oleh Negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua Negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini. 5 Meskipun terdapat banyak perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semuanya itu menganut asas-asas dan kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan di dalam prakteknya, ada Negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua Negara tersebut belum terikat pada perjanjian ekstradisi, atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegangan pada asasasas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar Negara-negara di dunia. Oleh karena itulah lembaga ekstradisi ini sudah diakui atau diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (International Customary Law). Hal ini memang bisa dipahami, karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. Sebuah Perjanjian Perdamaian antara Raja Ramses II dari Mesir dengan Raja Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang salah satu isinya adalah berupa kesediaan para pihak untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lainnya, dipandang sebagai embrio dari lembaga hukum ekstradisi ini. Akan tetapi, perjanjian ekstradisi dalam 3 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, (Bandung: CV Yrama Widya, 2006), Hal. 4 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: CV Yrama Widya, 2004), Hal

3 pengertian modern seperti dikenal sekarang ini, barulah muncul pada abad ke- 17, yang dipengaruhi oleh Revolusi Perancis dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Ekstradisi Nasional (disingkat: UUEN) dengan diterima dan disahkannya RUU Ekstradisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Desember 1978 dan telah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (LNRI Nomor 2 Tahun 1979). Jauh sebelumnya, yakni pada tanggal 7 Januari 1974, telah ditandatangani Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia (disingkat: PEIM), dan pada tanggal 10 Februari 1976, juga telah ditandatangani Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Philipina (disingkat: PEIP). Kedua perjanjian ini telah diratifikasi dan diundangkan masing-masing dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1974, dan Undang- Undang Nomor 10 Tahun C. Pengertian dan Ruang Lingkup Ekstradisi Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat dan pasti (terhukum, terpidana), oleh Negara tempatnya berada (Negara-diminta) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (Negara-peminta), atas permintaan dari Negara-peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya. 7 Pengekstradisian terhadap tersangka pada umumnya dilakukan di antara pemerintah-pemerintah yang bersahabat dan yang telah mengadakan perjanjian ekstradisi atas dasar prinsip imbal balik (het beginsel van reciprociteit), artinya masing-masing pemerintah hanya akan memenuhi kewajibannya (untuk menyerahkan) apabila pihak lainnya menghormati hakhak pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan yang diperjanjikan. 8 Berdasarkan rumusan ekstradisi di atas, maka dapatlah ditarik beberapa unsurnya, yaitu: 1. Unsur subyek, yaitu Negara-diminta dan Negara/Negara-negara peminta; 2. Unsur obyek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, atau terhukum/terpidana; 3. Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu; dan 4. Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan mengadili dan atau penghukumannya (pelaksanaan hukuman). 9 6 Ibid., Hal Ibid., Hal E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), Hal I Wayan Parthiana, Op.Cit., Hal

4 Di antara keempat unsur tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah unsur nomor 3 yaitu mengenai prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu. Seperti diketahui, bahwa untuk dapat dilakukan suatu penyerahan atau ekstradisi atas orang yang diminta, maka terlebih dahulu harus ada permintaan untuk menyerahkan orang yang bersangkutan dari Negara-peminta kepada Negara-diminta. Tanpa adanya permintaan terlebih dahulu dari Negara-peminta kepada Negara tempat orang yang bersangkutan berada (Negara-diminta), maka Negara yang belakangan ini tidak boleh menyerahkan orang yang bersangkutan. Remmelink mengartikan ekstradisi sebagai penyerahan seorang tersangka atau terdakwa atau terpidana oleh Negara tempat di mana orang tersebut berada kepada Negara lain yang hendak mengadili orang yang diminta atau melaksanakan putusan pengadilan Negara dari Negara yang diminta. 10 Sedangkan ekstradisi internasional adalah permintaan pemerintah suatu Negara terhadap Negara lain. 11 Permintaan untuk menyerahkan itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik. Demikian pula jika Negara-diminta menyetujui atau menolak permintaan Negara-peminta, maka harus memberitahukan kepada Negarapeminta dengan melalui saluran diplomatik. Mengenai keputusan untuk mengabulkan atau menolak permintaan dari Negara-peminta, pejabat tinggi dari Negara-diminta, seperti; Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Kehakiman, maupun Menteri Luar Negeri ikut terlibat dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan, dan pada akhirnya diambil keputusan oleh pejabat yang berwenang dari Negara-diminta. Sangat boleh jadi, dalam kasus ekstradisi, jauh sebelumnya juga sudah melibatkan penegak-penegak hukum dalam tingkatan yang lebih rendah, misalnya; pada saat penangkapan, penahanan, pengawalan atas keamanannya, dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa masalah ekstradisi merupakan masalah Negara dan antar Negara. Sebagai masalah internal dari Negara, maka pelaksanaannya harus menurut hukum atau perundangundangan nasional Negara tentang ekstradisi maupun perundang-undangan lainnya yang terkait, seperti hukum acara pidana. Sedangkan sebagai masalah antar Negara, maka pelaksanaannya harus berdasarkan pada perjanjianperjanjian internasional atau hukum kebiasaan internasional tentang ekstradisi. D. Asas-asas Ekstradisi 10 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal Brian A. Garner, Black s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, 1999, Page 605, dalam Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), Hal

5 Untuk memahami lebih jauh tentang ekstradisi, berikut akan diuraikan secara singkat tentang asas-asas dalam ekstradisi. Asas ini merupakan asas pokok yang harus ditaati dan harus selalu dicantumkan dalam perjanjianperjanjian ekstradisi serta ditaati oleh para pihak dalam setiap kasus yang menyangkut ekstradisi. Asas-asas tersebut antara lain: Asas kejahatan ganda (double criminality principle), yaitu bahwa kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum Negara-peminta maupun hukum Negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing Negara berbeda-beda. Sudah cukup apabila hukum kedua Negara sama-sama mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana. Setidaknya ada tiga puluh dua jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi Asas kekhususan (principle of speciality), yaitu apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. 3. Asas ne bis in idem atau non bis in idem, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti, maka permintaan Negara-peminta harus ditolak oleh Negaradiminta Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal). Jika Negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh Negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka Negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga saat ini belum ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam praktek Negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subyektif. Karena sukarnya menentukan kriteria obyektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, Negara-negara baik dalam perjanjian ataupun dalam perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu 12 Ibid., Hal Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000), Hal Untuk mengetahui pengecualian asas ini dalam praktek Hukum Pidana Internasional, lihat ketentuan Pasal 20 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. 5

6 dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi. 5. Asas tidak menyerahkan warga Negara (non extradition of nationals). Jika orang yang diminta ternyata adalah warga Negara dari Negara-diminta, maka Negara-diminta dapat menolak permintaan dari Negara peminta. Asas ini berlandaskan pada suatu pemikiran, bahwa Negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga Negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika Negaradiminta menolak permintaan Negara-peminta, Negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri. 6. Asas daluwarsa, yaitu bahwa permintaan Negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua belah pihak. Di dalam ekstradisi, juga diakui asas resiprositas atau prinsip timbal balik. Jika suatu Negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari Negara lain, maka Negara tersebut juga harus memberikan perlakuan yang baik terhadap Negara yang bersangkutan. Dalam konteks ekstradisi, jika kita mengharapkan Negara lain akan menyerahkan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diminta untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum nasional Negara kita, maka harus ada jaminan yang seimbang bahwa Negara kita pada suatu saat diminta oleh Negara tersebut untuk menyerahkan tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum nasional Negara tersebut. 15 Selain daripada asas-asas tersebut di atas, terdapat juga ketentuanketentuan yang belum atau tidak merupakan asas-asas dalam ekstradisi, tetapi secara umum (meskipun ada pengecualiannya) dicantumkan di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan ekstradisi nasional Negaranegara. Ketentuan-ketentuan tersebut, misalnya: 1. Tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Di dalam perjanjian ekstradisi internasional ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi, terdapat suatu pasal yang mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dengan menyatakan, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta diancam dengan hukuman mati menurut hukum Negara-peminta, tetapi tidak diancam hukuman mati menurut hukum Negara-diminta, atau hukuman mati itu dapat ditolak, kecuali jika Negara-peminta memberikan jaminan yang di- pandang cukup, bahwa hukuman mati tidak akan 15 Jan Remmelink, Op.Cit., Hal

7 diancamkan ataupun tidak akan dilaksanakan. Dengan adanya ketentuan seperti ini, maka orang yang diminta benar-benar menikmati keuntungan yang tak ternilai, karena jiwanya terselamatkan dari ancaman ataupun pelaksanaan hukuman mati. Adanya ketentuan ini dilatarbelakangi oleh terdapatnya praktek Negara-negara yang berbeda-beda tentang hukuman mati ini, baik antara Negara-negara yang menganut hukuman mati pada satu pihak dengan Negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati di lain pihak, maupun antara sesama Negara-negara yang masih menganut hukuman mati, khususnya dalam pelaksanaan hukuman mati itu sendiri. Sudah tentu pula masuknya ketentuan ini di dalam perjanjian ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi, disebabkan karena gencarnya pengaruh dari paham penghormatan atas hak-hak asasi manusia yang memandang hukuman mati sebagai tidak manusiawi atau bertentangan dengan hak asasi manusia. 2. Tentang permintaan dari dua Negara atau lebih. Dalam praktek kadang-kadang terjadi dua Negara atau lebih mengajukan permintaan ekstradisi atas diri seseorang yang diminta kepada Negaradiminta. Dalam hal seperti ini, Negara-diminta dalam mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan dari salah satu Negara-peminta tersebut, dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain; a. Tentang waktu pengajuan permintaan (permintaan Negara manakah yang diterima terlebih dahulu); b. Berat ringannya kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi; c. Kewarganegaraan dari orang yang diminta; d. Tempat dilakukannya kejahatan; e. Ada atau tidaknya perjanjian ekstradisi antara Negara-diminta dengan Negara-negara peminta, dan ketentuan-ketentuan lain dari peraturan perundang-undangan maupun perjanjian ekstradisi tersebut. 3. Tentang permohonan untuk menahan sementara Apabila Negara-peminta mengajukan permohonan untuk melakukan penahanan sementara atas diri orang yang diminta, permohonan itu harus diajukan sesuai dengan prosedur yang ditentukan di dalam perjanjian ekstradisi itu sendiri (kalau ada), atau diajukan sesuai dengan praktek yang sudah umum berlaku (jika antara para pihak belum terikat pada perjanjian ekstradisi). Demikian pula jika Negara-peminta dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permohonan tersebut, harus berdasarkan pada ketentuan yang sama dan di samping itu juga dengan tetap berdasarkan pada ketentuan hukum nasionalnya sendiri. 4. Tentang tempat dilakukannya kejahatan Dalam beberapa perjanjian ekstradisi, ada ketentuan yang menegaskan tentang tempat atau wilayah dilakukannya kejahatan, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan atas diri orang yang diminta, ternyata dilakukan diwilayahnya atau di suatu tempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, maka Negara-diminta dapat menolak permintaan Negara- 7

8 peminta tersebut. Hal ini berkaitan dengan yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu Negara yang memang diakui dalam hukum internasional atau berkaitan dengan asas atau prinsip tertorialitas dalam hukum pidana nasional. Jika Negara yang bersangkutan menolak permintaan ekstradisi dari Negara-peminta, Negara-diminta berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum sendiri orang yang diminta itu berdasarkan hukum nasionalnya. E. Ekstradisi dan Perkembangan Kejahatan yang Berdimensi Internasional Eksistensi lembaga ekstradisi semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. Dalam konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuhpuluhan dan sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya. Konvensi-konvensi tersebut diantaranya: 1. Konvensi Menentang Kejahatan Perbudakan (Slavery Convention 1926, beserta dengan protokol-protokolnya); 2. Konvensi Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas Prostitusi (Convention for The Suppression of The Traffic in Persons and of The Exploitation of The Prostitution of Others, 1949); 3. Konvensi Tentang Kejahatan Genocide (Convention on The Prevention and The Punishment of the Crime of Genocide, 1948); 4. Kejahatan Penerbangan yang diatur di dalam tiga konvensi, yaitu: 16 a. Konvensi Tokyo, 14 September 1963 (Kejahatan-kejahatan dan Tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan di dalam Pesawat Udara/Convention of Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft); b. Konvensi Den Haag, 16 Desember 1970 (Penanggulangan Pembajakan atau Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum /Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft ); c. Konvensi Montreal, 23 September 1971 (Penanggulangan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Keamanan Penerbangan Sipil / Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation). 5. Konvensi Tentang Kejahatan Terhadap Orang-orang yang Dilindungi Secara Internasional (Convention on The Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973); 6. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Perlakuan atau Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan (Convention Against Torture and Others Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1987); 16 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), Hal

9 Perlu dikemukakan, bahwa konvensi-konvensi yang mengatur atau berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, barulah akan efektif apabila telah diimplementasikan di dalam hukum atau undang-undang pidana nasional masing-masing Negara pesertanya (Negara-negara yang telah meratifikasinya). Dengan perkataan lain, hanyalah dengan mentransformasikan substansi konvensi tersebut ke dalam bentuk undang-undang pidana nasionallah, maka konvensi itu bisa efektif. Tanpa ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang pidana nasional, maka konvensi itu tetap tidak akan efektif, meskipun suatu Negara itu telah meratifikasinya. Timbul suatu pertanyaan, apa hubungan antara konvensi-konvensi yang disebutkan di atas dengan ekstradisi? Yaitu bahwa dengan beralih bentuk menjadi undang-undang pidana nasional, maka Negara yang bersangkutan akan dapat menjadikan atau memasukkan kejahatan tersebut sebagai salah satu jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengekstradisikan si pelakunya, dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara Negara-negara peserta dari konvensi tersebut. F. Ekstradisi Dalam Praktek Negara-Negara Ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum yang eksistensinya sudah mapan dan terhormat, di lain pihak telah memberikan perlindungan yang cukup besar terhadap individu si pelaku kejahatan dengan hak-hak asasinya, serta dengan prosedur atau formalitas yang panjang dan birokratis, dan tentu saja membutuhkan waktu, biaya, serta tenaga yang cukup besar. Hal ini menjadi dilematis, karena di satu pihak untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang berdimensi internasional yang seringkali amat canggih, dibutuhkan kecepatan bertindak, sedangkan pada lain pihak dihadapkan dengan lembaga hukum ekstradisi yang sangat formalitas dan birokratis. Dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun (tepatnya Sembilan tahun, tahun ), ternyata hanya beberapa kasus saja yang diselesaikan melalui ekstradisi, seperti kasus Andrija Artukovic, seorang penjahat perang Nazi Jerman pada waktu Perang Dunia II, yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Yugoslavia pada tanggal 13 Februari 1986; kasus John Demjanjuk yang juga seorang penjahat perang Nazi Jerman yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Israel pada tanggal 28 Februari 1986; kasus Sobhraj, seorang warga Negara India yang dituduh telah membunuh banyak orang dari berbagai kewarganegaraan di Thailand pada tahun 1986, yang dimintakan ekstradisinya kepada India oleh Negara-negara yang berkepentingan. 17 Pada tahun 1995, muncul kasus Oki, seorang warga Negara Indonesia yang dituduh telah membunuh dua orang warga Negara Indonesia dan seorang warga Negara Amerika Serikat keturunan India di Los Angeles, Amerika Serikat; dan kasus Nick Leeson yang dituduh oleh pemerintah Singapura melakukan kejahatan sehingga merugikan Bank Baring Pcl, yang ternyata 17 I Wayan Parthiana, Op.Cit. 9

10 kemudian melarikan diri ke Jerman, dan kasusnya telah diselesaikan melalui proses ekstradisi antara Jerman dan Singapura. 18 Data di atas, tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai indikasi, bahwa hanya sejumlah inilah terjadinya kasus-kasus kejahatan yang berdimensi internasional yang terjadi kurun waktu tersebut. Meskipun tidak didukung oleh data statistik yang valid, kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masih banyak kejahatan-kejahatan lain yang berdimensi internasional yang tidak diselesaikan melalui lembaga ekstradisi. Jika demikian, timbul pertanyaan, melalui prosedur apa penyelesaian kasus-kasus tersebut? Ternyata dalam praktek Negara-negara, berkembang pula suatu cara baru dalam penyerahan pelaku kejahatan yang berskala internasional, yaitu melalui cara pengusiran atau deportasi dan penyerahan di bawah tangan. Cara ini dianggap jauh lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan melalui lembaga ekstradisi. G. Pengusiran dan Penyerahan Di Bawah Tangan Pengusiran (deportasi) dalam hukum internasional adalah bahwa pemerintah suatu Negara menyuruh keluar seseorang dari wilayahnya karena kehadirannya di Negara itu tidak dikehendaki. Tentang kemanapun dia pergi, merupakan urusannya sendiri. Akan tetapi dalam praktek Negara-negara, adalah seseorang diusir ke Negara asalnya atau Negara dimana dia berkewarganegaraan (yang sebenarnya dihindari), yang justru menantikan kedatangannya untuk ditangkap, ditahan, dituntut, diadili dan atau dihukum atas kejahatannya yang menjadi yurisdiksi dari Negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam hal penyerahan di bawah tangan, penyerahan itu dilakukan oleh badan yang berwenang dari suatu Negara kepada badan yang berwenang dari Negara lain atas diri seseorang yang sedang dicari karena tersangkut dalam suatu kejahatan. Badan yang berwenang itu misalnya; kepolisian. Penyerahan semacam ini dilakukan berdasarkan atas kerjasama antara kepolisian Negara-negara yang bersangkutan, ataupun kerjasama melalui International Criminal Police Organization (ICPO/Interpol). Sebagai contoh kasus fiktif, misalnya seorang yang sedang dicari-cari oleh kepolisian Amerika Serikat, ternyata akhirnya ditemukan di Australia. Kepolisan Amerika Serikat menghubungi kepolisian Australia dan meminta bantuannya untuk menangkap dan menahan orang tersebut. Setelah berhasil ditangkap dan ditahan, kepolisian Australia memberitahukan kepada kepolisian Amerika Serikat supaya menjemputnya di suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan di Australia. Dengan dibelikan tiket pesawat sebelumnya, maka orang yang bersangkutan dengan penjagaan dan pengawalan yang ketat dari si penjemput kemudian diterbangkan ke Amerika Serikat. Dengan cara tersebut, maka dalam tempo yang singkat dan biaya ringan serta tidak birokratis, justru usaha pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional menjadi sangat efektif dan efisien jika dibandingkan melalui cara ekstradisi. Akan tetapi di sisi lain, cara-cara seperti ini dinilai sangat 18 Ibid. 10

11 mengurangi hak asasi dari individu pelaku kejahatan yang diserahkan secara di bawah tangan tersebut. H. Ekstradisi dan Pendapat Umum (Public Opinion) Masyarakat Nasional dan atau Internasional Belakangan ini trend atau kecenderungan untuk melakukan penyerahan di bawah tangan atas pelaku kejahatan internasional seperti dikemukakan di atas, tampaknya semakin meningkat, karena memang lebih efektif dan efisien. Namun demikian, penyerahan si pelaku kejahatan melalui lembaga ekstradisipun masih tetap berjalan terus. Hingga kini secara formal memang belum terdapat garis pembeda yang tegas dan pasti mengenai pelaku kejahatan yang bagaimanakah yang diserahkan melalui lembaga ekstradisi atau yang diserahkan secara di bawah tangan. Jika diamati, ternyata praktek-praktek penyerahan di bawah tangan tersebut ada kaitannya dengan belum atau sudah terbentuknya pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional atas orang/pelaku kejahatan dan atau kejahatannya. Semakin sedikit orang mengetahui si pelaku kejahatan dan atau kejahatannya tersebut, berarti semakin kurangnya sorotan masyarakat terhadapnya. Jadi, terlewatkan dari pengamatan masyarakat. Apalagi jika orang dan atau kejahatannya itu luput dari perhatian dan liputan media massa. Dengan perkataan lain, belum terbentuk pendapat umum (opini publik) atas orang dan atau kejahatannya itu. Dalam hal inilah, kesempatan untuk melakukan penyerahan secara di bawah tangan akan sangat besar. Sebaliknya, jika atas orang dan atau kejahatannya itu telah melahirkan pendapat umum yang luas, tidak saja dalam tingkat nasional, tetapi sudah tingkat internasional, misalnya berkat liputan dan publikasi yang gencar dari media massa, ditambah lagi dengan komentar-komentar dari masyarakat luas, para ahli, pejabat Negara, maka penyerahan di bawah tangan cenderung untuk dihindari. Dalam hal inilah, akan timbul kerinduan atas lembaga hukum yang bernama ekstradisi untuk menjembatani Negara-negara yang berkepentingan atas kasus tersebut. Dengan demikian, pendapat umum masyarakat nasional dan atau internsional atas orang dan atau kejahatannya, cukup berpengaruh terhadap praktek Negara-negara dalam melakukan penyerahan pelaku kejahatan internsional, apakah akan dilakukan melalui penyerahan di bawah tangan atau melalui lembaga ekstradisi. Sehingga kedepan perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai kemungkinan untuk memadukan cara penyerahan pelaku kejahatan internasional melalui lembaga ekstradisi dan melalui penyerahan di bawah tangan, agar tidak bertentangan dengan asas-asas ekstradisi yang berlaku secara umum serta tidak melanggar hak asasi manusia dari individu si pelaku kejahatan internasional tersebut. DAFTAR PUSTAKA 11

12 Abdussalam, H.R. Hukum Pidana Internasional I. Jakarta: Restu Agung, Hukum Pidana Internasional II. Jakarta: Restu Agung, Atmasasmita, Romli. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: Refika Aditama, Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta, Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, Parthiana, I. Wayan. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung: CV. Yrama Widya, Hukum Pidana Internasional. Bandung: CV. Yrama Widya, Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Wahjoe, Oentoeng. Hukum Pidana Internasional (Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya). Jakarta: Penerbit Erlangga,

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN Alma Panjaitan 090200095 Abstraksi Extradition treaty between Republic of Indonesia and Republic of Korea was

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional 26 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional Sarana ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI A. Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality

BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality BAB II PROSEDUR EKSTRADISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 A. Asas-asas dalam Ekstradisi, antara lain adalah 18 : 1. Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality Menurut asas ini, kejahatan yang

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi Ekstradisi menurut UU RI No. 1 tahun 1979 adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)--Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Perjanjian. Ekstradisi. Papua Nugini. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5674) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii Bab I Latar belakang Ekstradisi, Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi 1 1.2 Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Korupsi merupakan sebuah masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia dan masyarakat international. Di Indonesia korupsi telah diputuskan sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017 PERJANJIAN EKSTRADISI ANTAR NEGARA DALAM KAITANNYA DENGAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN 1 Oleh: Ornelita Agnes Sipasulta 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pengaturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA

NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MENIMBANG: a.

Lebih terperinci

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH Mengenal Konvensi-konvensi Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. TRAINING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabur meskipun secara yurisdiksi tetap tidak berubah. Namun para pelaku

BAB I PENDAHULUAN. kabur meskipun secara yurisdiksi tetap tidak berubah. Namun para pelaku 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, secara faktual batas antar negara semakin kabur meskipun secara yurisdiksi tetap tidak berubah. Namun para pelaku kejahatan tidak mengenal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA Copyright 2002 BPHN UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA *8599 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1994 (8/1994) Tanggal:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH. SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah Bobot sks Tim Penyusun : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL : 2 sks : ALFONS ZAKARIA, SH. LLM. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat)

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) SKRIPSI Disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo Mutual Legal Assistance Trisno Raharjo Tiga Bentuk Kerjasama Ekstradisi Orang pelarian Transfer of sentence person (transfer of prisoners (pemindahan narapidana antar negara) Bantuan timbal balik dalam

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan 1 Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan I.PENDAHULUAN Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Lebih terperinci

BAB III EKSTRADISI TERPIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

BAB III EKSTRADISI TERPIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI BAB III EKSTRADISI TERPIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI A. Pengertian Ekstradisi Setiap negara terikat yurisdiksi atas semua orang yang berada di wilayahnya. Hal

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)--Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 (Sebagaimana Telah Diratifikasi dengan UU No.8 Th 1994, 2 Nopember 1994) A. PENGERTIAN EKSTRADISI Perjanjian Ekstradisi

Lebih terperinci

BAB II BENTUK-BENTUK KEJAHATAN EKONOMI LINTAS BATAS NEGARA

BAB II BENTUK-BENTUK KEJAHATAN EKONOMI LINTAS BATAS NEGARA BAB II BENTUK-BENTUK KEJAHATAN EKONOMI LINTAS BATAS NEGARA A. Suatu Tinjauan Tentang Perjanjian Internasional 1. Pengertian Perjanjian Internasional Dalam pengertian umum dan luas, perjanjian internasional

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap Kemanusiaan), pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional positif yakni, setelah terjadi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979

BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 48 BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 A. Pengertian Ekstradisi Bahwasannya pada setiap negara

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang Uitlevering van Vreemdelingen. 1:1010 UNDANG-UNDANG (UU) Nomor : 1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal : 18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Sumber : LN 1979/2; TLN NO. 3130 Tentang : EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Malaysia Selasa, 27 Juli :42

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Malaysia Selasa, 27 Juli :42 PEMERINTAH MALAYSIA DAN REPUBLIK INDONESIA: Berhasrat untuk memperkuat ikatan persahabatan yang telah terjalin lama antara kedua negara. Mengingat bahwa kerja sama yang efektif antara kedua negara dalam

Lebih terperinci