BAB I PENDAHULUAN. PHBM : Bisakah Mengubah Paradigma Pengelolaan Hutan? Penelitian ini tentang implementasi kebijakan PHBM yang diberlakukan di

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. PHBM : Bisakah Mengubah Paradigma Pengelolaan Hutan? Penelitian ini tentang implementasi kebijakan PHBM yang diberlakukan di"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN PHBM : Bisakah Mengubah Paradigma Pengelolaan Hutan? A. Latar Belakang Penelitian ini tentang implementasi kebijakan PHBM yang diberlakukan di hutan Jawa oleh pihak Perhutani. Pemberlakuan kebijakan kemudian disesuaikan menurut pangkuan hutan di tiga wilayah dengan dibantu pemerintah daerah sebagai salah satu aktor yang terlibat. Kebijakan ini memberikan ruang baru bagi pengelolaan hutan selain perubahan paradigma yang berbasis masyarakat juga melebarkan ruang bagi pihak berkepentingan untuk turut serta mewujudkan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat hutan. Penelitian ini menguraikan cerita panjang kebijakan pengelolaan hutan yang berupaya untuk mengubah tata cara dari sentralistik menuju berbasis masyarakat. Hanya saja niat baik itu tidak mudah untuk diimplementasikan di lapangan karena pemegang kebijakan tetap saja memegang teguh garis hierarkis dalam menjalankan program kebijakan. Hal tersebut bisa mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai untuk menggandeng dan menyejahterakan masyarakat desa hutan. Hutan di Jawa telah mengalami berbagai perwajahan kebijakan dari beragam penguasa dan kepentingan. Luas hutan di Jawa hanya sebagian kecil representasi sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia. Akan tetapi, pemusatan kebijakan pengelolaan hutan di Jawa memberikan berbagai dampak pada pola kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Berbagai konflik vertikal antara penguasa dan masyarakat mewarnai seiring tumbuh kembangnya hutan. 1

2 Pengelolaan hutan dimulai sejak kerajaan kerajaan tradisional di Jawa hingga kemudian hari masuk kongsi dagang kolonial Hindia Belanda (VOC) pada abad ke-17. Pengelolaan pada waktu itu sesungguhnya lebih menampakkan nuansa eksploitasi atas hutan alam, yang pada saat bersamaan membuahkan kerusakan luar biasa. Rehabilitasi atas kehancuran hutan Jawa pasca VOC pada awal abad k-19 menjadi salah satu agenda yang harus dilakukan Daendels (diangkat pada tahun 1808). Kebijakan yang dilakukan Daendels pada masa pemerintahannya, yaitu reforestasi dan menetapkan peraturan yang membatasi eksploitasi sumber daya hutan jati di Jawa. Daendels juga membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) sebagai lembaga khusus yang diberi wewenang mengelola hutan di Jawa (Soepardi, 1974 dalam Totok Dwi, 2011). Kekuasaan yang dimiliki oleh Jawatan Kehutanan memberikan momentum, bahwa sejak saat itu negara mulai menegaskan demarkasi kepemilikannya (ownership). Kemudian muncul kebijakan yang mengatur tata manajemen kehutanan pada 1865 (Bosch Ordonantie voor Java en Madoera). Dalam bahasa Peluso (2006:74), Undang-Undang Kehutanan (UUK) 1865 sebagai peraturan kehutanan pertama di Jawa itu bersama-sama dengan domeinverklaring 1870, yang menyatakan bahwa semua tanah dan tanah hutan yang tidak diklaim siapa pun yang menjadi domain negara secara tidak langsung telah meletakkan landasan bagi kehutanan ilmiah sebagaimana dipraktekkan sekarang (Totok Dwi, 2011). Sejak kebijakan itu terbit, negara mempunyai kontrol yang kuat dan terpusat. Negara perlu untuk melakukan pengamanan terhadap hutan. Negara 2

3 merupakan satu-satunya penguasa hutan. Negara berhak untuk mendesain kebijakan hutan sebagai milik pribadinya, dialah tokoh utama yang dapat mewujudkan kehutanan ilmiah. Sebenarnya ini adalah anti mainstream terhadap mindset bahwa negara adalah tokoh yang serba bisa melakukan segalanya dengan sah dan memiliki kekuasaan permanen. Tidak pernah melakukan kesalahan atas tindakannya juga tanpa campur tangan publik. Paradigma pengelolaan hutan yang sentralistik dengan tokoh utama negara tersebut memberikan kerusakan hutan secara fisik, sosial, dan politik. Negara dengan kroni penguasanya bisa saja memberikan batas secara jelas terhadap kelola sumber daya lain sepertinya minyak dan gas. Akan tetapi tidak mungkin memberikan pagar tinggi terhadap sumber daya yang namanya hutan. Kebutuhan masyarakat akan akses terhadap hutan tidak bisa dibatasi secara hukum oleh pihak manapun. Cerita sentralistik tidak berhenti di situ saja, setelah lepas dari penjajahan, penguasaan hutan masih menjadi dominasi negara dengan dibentuknya Departemen Kehutanan sebagai institusi negara yang diberi wewenang mengelola dan mengusahakan hutan di seluruh wilayah Indonesia pada tahun Sebelumnya pada tahun 1961, Perum Perhutani dibentuk untuk mengubah status Jawatan Kehutanan yang dibentuk Kolonial menjadi perusahaan negara, yang bersifat komersial dengan tujuan supaya kehutanan dapat menghasilkan keuntungan bagi kas negara (Totok Dwi, 2011). Sampai akhir pemerintahan yang dipimpin Soeharto, paradigma state-based forest management telah mewarnai setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. 3

4 Terlebih pada saat Orde Baru, kebijakan fenomenal yang pernah terjadi adalah dengan dikeluarkannya Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kebijakan itu menghalalkan eksploitasi hutan yang diserahkan kepada pemilik modal asing dan modal dalam negeri baik itu dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 1. Kebijakan ini membawa dampak yang mengantarkan pada klimaks permasalahan akses. Konflik antara masyarakat dan penguasa tidak lebih dari masalah apakah masyarakat bisa masuk ke dalam hutan atau dibatasi. Masyarakat yang notabene setiap hari hidup berbasis hutan melihat sumber kehidupannya dirampas. Ini juga masuk dalam masalah kepemilikan, kepemilikan bukan hanya dimiliki oleh negara sebagai pemegang otoritas sah mandat dari rakyat. Kepemilikan tidak hanya dibuktikan oleh naskah-naskah kebijakan. Kepemilikan juga bisa diartikan karena masyarakat yang mengadakan, yang merawat, yang melindungi. Tetapi itu semua tidak bisa menjadi landasan bahwa masyarakat mempunyai hak atas hutan. Posisi tawar masyarakat menjadi rendah, akses dibatasi, tidak memiliki partisipasi menentukan kebijakan yang dibutuhkan. Selama ini masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Masyarakat hanya sebatas tenaga kerja yang dibutuhkan ketika hutan ditebang, hutan ditanam. Tanpa tahu manfaat hutan itu melayang ke arah mana. Perhutani sebagai pihak yang secara langsung diserahi mandat untuk mengelola hutan mempekerjakan orang-orang yang siap melakukan kekerasan terhadap masyarakat 1 an.pdf?sequence=3 diakses pada tanggal 18 Maret 2013 jam

5 sekitar hutan (militerisasi). Kegiatan masyarakat di dalam hutan dibatasi, bahkan dianggap sebagai tindak kejahatan. Puncaknya ketika era reformasi mulai digulirkan, terjadi kekacauan dalam pemerintahan. Masyarakat mulai melihat sebagai kebun yang siap dipanen. Krisis moneter yang berkepanjangan serta banyak yang kehilangan pekerjaan membuat masyarakat terlena untuk lari ke dalam hutan. Kemudian terjadilah penjarahan besar-besar terhadap hutan secara terpola, didukung oleh oknum ilegal yang menampung kayu-kayu gelap. Tentu kegiatan penjarahan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perhutani harus mencari formula yang dapat menghentikan kerugian besar bagi hutan di Jawa pada umumnya. Selain itu, Perhutani tidak ada pilihan lain untuk mengajak masyarakat dan pihak lain untuk membantu mengembalikan fungsi hutan. Mengfungsikan kembali Perhutanan Sosial yang sebenarnya telah menjadi wacana lama bagi kebijakan kehutanan. Membuat kebijakan yang dapat menyerap peran serta semua pihak terutama masyarakat dan mengembalikan citra Perhutani sebagai pemegang mandat pengelola hutan. Euforia reformasi memberikan sedikit perubahan terhadap tata kelola kehutanan. Reformasi memberikan ruang baru bagi paradigma pengelolaan hutan. Ditambah lagi gaung desentralisasi yang mendesak adanya perluasan kekuasaan ke daerah-daerah. Perhutani tentunya tidak berdiam diri membiarkan hutan habis terjarah. Kerusakan hutan akan memberikan dampak buruk bagi kelangsungan perusahaan. Intervensi dari pemerintah karena menurunnya sumbangan 5

6 penghasilan dari hasil hutan membuat pihak Perhutani membuat kebijakan secara instan. Pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) merupakan terobosan baru yang idenya merupakan hasil perdebatan panjang internal Perhutani. Kepentingan yang selama ini tidak tersentuh bisa jadi memberikan penolakan atas substansi kebijakan. Sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan keluarannya berupa dana bagi hasil sepertinya jalan tengah yang paling mungkin diambil untuk meredamkan penjarahan hutan. Semua kebijakan tentu dibuat dengan tujuan baik. Seperti yang termaktub dalam Surat Keputusan Dewan Pengawas Perhutani No 136 Tahun 2001, menekankan pada pengelolaan multi pihak dengan konsep jiwa berbagi. Tujuan yang diinginkan oleh pembuat kebijakan yang sudah dinaskahkan tidak akan pernah terwujud jika kebijakan tersebut tidak pernah diimplementasikan. Masalahnya, solusi yang cepat dari terbitnya kebijakan PHBM tidak dibarengi dengan totalitas mengubah paradigma. Jika kebijakan ini mencanangkan jiwa berbagi dalam pengelolaan hutan dan menekankan bermitra dengan masyarakat, tentu saja dalam pembuatan kebijakan, pemegang kebijakan akan duduk bersama satu meja dengan pihak masyarakat. Supaya substansi kebijakan yang dihasilkan merupakan koalisi kepentingan kedua belah pihak. Dalam formulasi kebijakannya saja, PHBM tidak menunjukkan pelibatan masyarakat. Padahal dalam substansi kebijakan yang telah dihasilkan, masyarakat merupakan salah satu pelaksana program bukan objek kebijakan itu sendiri. Kekhawatiran peneliti adalah kebijakan ini tidak diinisiasi dari awal untuk 6

7 mengubah paradigma pengelolaan dan juga membuka akses hutan untuk masyarakat. Apakah pihak pemegang kebijakan berhasil menyudahi cerita sentralistik pengelolaan hutan melalui PHBM tersebut? Dalam teorinya Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002) dominasi kebijakan itu berada dalam konsep yang menyatakan bahwa implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompokkelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan sebelumnya. Teori ini menunjukkan implementasi kebijakan merupakan hasil dari tindakan para pelaksana program. Kecenderungan konflik pun hanya karena konflik internal yang sebabkan ketidaktaatan pelaksana program. Dari kesimpulan teori di atas, peneliti fokus pada permasalahan apakah keberadaan PHBM yang telah diimplementasikan lebih dari 12 tahun di KPH Blora benar-benar sesuai dengan substansi kebijakan. Kemudian, lebih jauh lagi apakah pelaksanaan kebijakan itu berhasil mengubah paradigma bersama masyarakat yang menjadi tujuan jangka panjangnya adalah menyejahterakan masyarakat. Masyarakat benar-benar terbuka aksesnya dalam pengelolaan dan mendapatkan manfaat dari sumber daya hutan. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Rahmanta Setiadi dalam Jurnal Wacana menyebutkan adanya pergeseran dari pengelolaan kolaborasi menjadi pengelolaan kooptasi. Rahmanta mengkolaborasikan tiga aktor (Perhutani, masyarakat, dan pemerintah daerah). Peran ketiganya ternyata tidak berada dalam satu garis yang sama, karena muasal kapasitas dan posisi yang berbeda. Bedanya dengan kajian ini adalah peneliti mencoba lebih spesifik dengan 7

8 mengambil sampel implementasi di satu KPH. Selain itu juga menjelaskan ragam dominasi yang menyertai implementasi PHBM. Posisi dan peran mereka bukan hanya tidak setara, tetapi mereka mengerjakan program dalam skema hierarkis dan sistem komando mengikuti gaya lembaga pemegang kebijakan. Penelitian ini lebih lanjut menilik bukan hanya kenapa banyak implementasi yang tersendat, implementasi yang berjalan dan dikatakan berhasil pun bisa jadi tidak sesuai dengan substansi yang sudah disusun. Keberhasilan kebijakan PHBM hanya diukur sebatas kinerja para pelaksana program bukan tujuan yang dulu pernah dicanangkan. Kalau kebijakan dibuat hanya untuk memperbarui sampul, sampai kapan perubahan diharapkan. Jika paradigma pengelolaan tidak diubah, tujuan yang diharapkan pun tidak tepat sasaran dan mengulang masalah yang sama. B. Rumusan Masalah Setelah menguraikan pentingnya implementasi dalam sebuah kebijakan, dengan menitikberatkan kasus implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat serta pengambilan fokus penelitian di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Blora, maka pertanyaan penelitian yang diajukan : Bagaimana terjadinya dominasi dalam implementasi PHBM di KPH Blora? C. Tujuan Penelitian Menilik rumusan masalah yang tersebut di atas, penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui proses implementasi kebijakan PHBM dalam di KPH Blora 2. Mengetahui dinamika dan bentuk dominasi implementasi kebijakan oleh pemegang kebijakan di KPH Blora 8

9 D. Kerangka Teori D.1 Implementasi Sebagai Proses Administratif dan Politik Implementasi merupakan pernyataan-pernyataan untuk mencapai tujuan, sasaran, dan sarana yang diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan. Grindle memperjelas bahwa implementasi adalah upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai akibat dari aktivitas pemerintah. Semua konsep implementasi menyatakan tujuan kebijakan menjadi lokus yang harus diraih. Implementasi menyederhanakan apa yang ingin diraih menjadi apa yang ingin dilakukan. Pada prinsipnya implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya (Riant, 2008). Teori Grindle yang menggabungkan dua proses, administratif dan politik. Implementasi dimaknai sebagai proses administratif untuk mengeksekusi keputusan-keputusan politis dengan mendayagunakan serangkaian instrumen kebijakan untuk menghasilkan perubahan sosial ke arah yang dikehendaki, yang mencakup pula serangkaian proses negosiasi antara implementor dengan sasaran kebijakan untuk memastikan tercapainya misi kebijakan (Purwo Santoso, 2002). Menurut Mazmanian dan Sarbatier (1983;5) dalam Haedar Akib, terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara 9

10 menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan berbagai faktor lingkungan politis. Mendukung pernyataan sebelumnya, bahwa proses implementasi selama ini lebih banyak memberikan peran kepada aktor-aktor negara, khususnya aparatus pemerintah. Hal ini membuat proses implementasi kebijakan seringkali dimaknai sebagai proses administrasi semata. (Hupe dan Hill, dalam Purwo Santoso 2010). Sedangkan perspektif politik, mematahkan perspektif organisasi dalam administrasi publik yang memberikan perhatian pentingnya input dari luar arena administrasi, seperti ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya. Grindle (1980) dalam memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Proses politik dapat terlihat dari proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai macam aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang diteliti pada tingkat program tertentu. Pada gambar di bawah ini akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasikan ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. 10

11 Gambar I.1 Implementation as a Political an Administrative Process Policy Goals Goals achieved? Action Programs and Individual Projects Designed and Funded Programs Delivered as designed? Implementing Activities Influenced by: a. Content of Policy Intersts affected Type of benefits Extent of change envisioned Site of decision making Program implementors Resources committed b. Context Implementation Power, interests, and strategies of actors involved Institution and regime characteristics Compliance and responsiveness Outcomes: a. Impact on society, individuals, and groups b. Change and its acceptance MEASURING SUCCESS Grindle dalam gambar di atas melibatkan dua variable utama,yaitu policy content dan policy context. Policy content mempengaruhi proses implementasi karena policy content yang dihasilkan melalui proses policy making menentukan apa yang harus di-deliver melalui sebuah kebijakan, perubahan apa yang bakal muncul sebagai akibat dari kebijakan yang diimplementasikan, dimana kebijakan tersebut diimplementasikan, dan siapa yang mengimplementasikan kebijakan tersebut. Sementara policy context merepresentasikan lingkungan dimana suatu proses kebijakan, termasuk implementasi, berlangsung (Purwo Santoso, 2010). 11

12 D.2 Konten Kebijakan Menurut Grindle, terdapat enam faktor yang digunakan untuk mengetahui substansi (konten) permasalahan kebijakan, yaitu : 1. Interest Affected (kepentingan yang dipengaruhi) Hal ini berkaitan dengan kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana membawa pengaruh terhadap implementasinya. Tindakan pelaksana bisa memberikan respon yang positif dan negatif bagi proses implementasi dan bagaimana tujuan itu dicapai. 2. Type of Benefits (tipe manfaat) Poin ini menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasi kebijakan yang hendak dilaksanakan. 3. Extent of Change Envisioned (derajat perubahan yang ingin dicapai) Setiap kebijakan mempunyai target yang ingin dicapai. Poin ini akan menjelaskan seberapa besar perubahan yang hendak atau dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas. 4. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan) Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan. 5. Program Implementer (pelaksana program) 12

13 Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. 6. Resources Commited (sumber daya yang digunakan) Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumberdaya sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik. 13

14 D.3 Konteks Kebijakan Untuk mengimbangi dimensi konten kebijakan, maka yang perlu diulas adalah konteks kebijakan. Konteks kebijakan akan lebih banyak berbicara mengenai sisi politis seperti uraian di bawah ini. 1. Power, Interest, and Strategy of Actors Involved (kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat) Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang sangat besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh dari panggang dari api. 2. Institusion and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa) Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan. 3. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan responsivitas) Yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauh mana kepatuhan dan respon pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan. D.4 Kombinasi antara konten dan konteks kebijakan Substansi kebijakan yang sudah dirancang dalam konten kebijakan pada akhirnya akan diimplementasikan. Konten kebijakan sendiri hanya sebagai rencana yang harus dibuktikan hasilnya dalam lingkungan tertentu bernama 14

15 konteks kebijakan. Kombinasi keduanya bisa jadi sesuai dengan rencana atau gagal sama sekali semua itu tergantung konteks. Akan tetapi konteks juga bisa memberikan pengaruh positif memperbaiki substansi kebijakan dan menjadi bahan evaluasi. Hasil kombinasi ini mengantarkan pada kesimpulan, bahwa substansi kebijakan yang diimplementasikan bukan hanya domain pemegang kebijakan seperti teori Van Meter dan Van Horn dalam latar belakang kajian ini. Konteks kebijakan akan sangat berpengaruh pada jalannya implementasi seperti yang dibayangkan dalam teori Grindle. Semua alur kebijakan bukan hanya milik dari pembuat kebijakan. Ada penerima kebijakan yang memiliki kepentingan, yang bisa jadi tidak sama dengan kepentingan pembuat kebijakan. Pada akhirnya implementasi kebijakan merupakan kalkulasi politik antara pembuat kebijakan dan penerima kebijakan. D.5 Outcome Kebijakan Implementasi kebijakan atau program secara garis besar dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran program (outcome) berdasarkan tujuan kebijakan. Outcome program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Outcome implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran (Grindle, 1980). Dimensi outcome digunakan untuk mengetahui jalannya implementasi dari hasilnya. Apakah implementor berhasil mencapai tujuan kebijakan yang digariskan? 15

16 E. Definisi Konseptual E.1 Implementasi Segala tindakan dan pernyataan yang dilakukan untuk mencapai kebijakan. E.2 Konten Kebijakan Konten kebijakan merupakan serangkaian sarana yang tersedia untuk memenuhi tujuan kebijakan. E.3 Konteks Kebijakan Lingkungan atau setting dimana kebijakan tersebut dijalankan. E.4 Outcome Kebijakan Hasil (dampak, perubahan, penerimaan) yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan. F. Definisi Operasional F.1 Implementasi Tindakan para pelaksana program dan penerima program kebijakan yang menghasilkan dampak sesuai dengan tujuan kebijakan. F.2 Konten Kebijakan 1. Kepentingan yang dipengaruhi : meliputi agenda setting dan formulasi kebijakan. Di dalam kedua dalam kedua tahapan ini akan tersebut setiap aktor dan kepentingannya. Apakah kepentingan itu akan membawa dampak negatif atau positif kepada setiap aktor atau sebagian aktor. Apakah muatan dalam kebijakan yang dihasilkan akan mempengaruhi perilaku aktor untuk mencapai tujuan atau menghambat kebijakan itu sendiri. Tentu saja kepentingan berkaitan erat dengan 16

17 situasi saat kebijakan ini dibuat. Hal ini bisa dilihat dari naskah kebijakan dan beberapa sumber yang bercerita terkait lahirnya kebijakan PHBM. 2. Tipe manfaat : dalam bahasa sederhananya, setiap aktor menginginkan keuntungan atau manfaat. Jenis manfaat yang diterima setiap aktor mempengaruhi berlangsungnya implementasi. Khusus untuk objek kebijakan yaitu masyarakat, kebijakan umumnya memberlakukan disentif dan insentif. Untuk aktor yang lain bisa jadi menggunakan manfaat yang sama, tetapi lebih kepada keuntungan lembaga atau perusahaan sebagai pelaksana kebijakan. 3. Derajat perubahan yang ingin dicapai : jika manfaat diaplikasikan dalam jangka pendek, maka derajat perubahan berbicara mengenai dampak yang terjadi. Sejauh mana perubahan terhadap objek kebijakan memiliki kekuatan untuk direalisasikan. Tentu saja perubahan itu bisa jadi membalik situasi atau tidak terjadi perubahan apapun sebelum maupun setelah kebijakan diimplementasikan. Terlebih kebijakan PHBM merupakan reformasi kebijakan dalam pengelolaan hutan untuk mengatasi masalah pelik sumber daya hutan. Tentu perlu membuat daftar perubahan apa saja yang telah dihasilkan oleh pelaksanaan kebijakan tersebut. 4. Letak pengambilan keputusan : siapa yang berperan dalam pengambilan keputusan bermula pada tahapan formulasi kebijakan. Dalam proses tersebut terdapat hierarki koordinasi. Mulai dari kebijakan itu dibuat, disosialisasikan, sampai dengan implementasikan. Dalam proses implementasi juga tidak terlepas dari siapa yang memegang komando dan menjadi bawahan. Pelaksanaan kebijakan tentu disesuaikan dengan setting waktu dan tempat, juga siapa yang 17

18 memegang peranan penting dalam mengambil keputusan. Keputusannya dalam waktu jangka panjang sampai keputusan yang bersifat tehnis. Di lapangan bisa jadi keputusan ini tumpang tindih karena terjadi perebutan wilayah kerja. Ini bisa dilihat dengan jelas bagaimana pola koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut dibangun. 5. Pelaksana program : di dalam naskah kebijakan umumnya telah disebutkan siapa saja yang nantinya akan menjadi implementor. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tergantung pada kapabilitas sumber daya manusia yang ada. Dalam implementasi, implementor memang penting, bagaimana mungkin sebuah kebijakan bisa terlaksana dengan baik kalau tidak ada implementornya. Jauh lebih penting dari itu adalah setiap implementor memiliki kepentingan masing-masing. Desain kebijakan yang baik tentu sudah memikirkan, bagaimana setiap implementor dan kepentingannya akan mendukung kebijakan tersebut sampai pada tujuannya. Relasi antara aktor diharapkan memberikan dukungan positif terhadap proses implementasi, sekalipun tidak bisa dipungkiri relasi juga bisa menimbulkan konflik. 6. Sumber daya yang digunakan : sumber daya ini diartikan sebagai segala sesuatu yang diperlukan selama proses implementasi. Sumber daya bisa yang sifatnya material seperti biaya operasional atau yang berbentuk softskill. 18

19 F.3 Konteks Kebijakan 1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat : dalam delivery system-nya implementasi bukannya hanya mentransfer substansi kebijakan saja. Di dalamnya terdapat berbagai macam aktor dengan semua kepentingannya. Aktor dan kepentingan itu akan mempengaruhi berjalannya kebijakan di lapangan. Sejauh mana tindakan para aktor dan banyaknya kepentingan memberikan pengaruh terhadap kebijakan dalam mencapai tujuannya. Pengaruh itu bisa mendukung dengan baik atau menghambat. Misalnya karena punya kepentingan yang berbeda, antar aktor terlibat konflik. Dalam implementasi, ini yang paling penting, para implementor sadar bahwa semua tindakannya akan memberikan dampak, tentu yang diinginkan dampak yang menguntungkan bagi dirinya. Jika ia punya kuasa dia akan menggunakan hal tersebut untuk mencapainya. Peneliti perlu melihat apa saja yang dilakukan para aktor implementasi untuk meraih tujuannya tetap dalam konteks mensukseskan kebijakan yang dijalankan. 2. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa : poin ini masuk pada salah satu setting yang mempengaruhi jalannya implementasi. Sistem yang ada dalam lembaga implementor dan gaya kepemimpinan akan membentuk pola koordinasi dalam pelaksanaan suatu kebijakan. Lembaga dan penguasa yang otoriter akan patuh pada petunjuk pelaksanaan yang sudah disahkan, tidak peduli bagaimana pun kondisi di lapangan. Lembaga yang sistem komandonya kuat akan selalu berada dalam koridor top down. Padahal kebijakan yang diterapkan membutuhkan ruang partisipasi masyarakat yang tinggi. Kooptasi dan intervensi 19

20 juga seringkali muncul dari penguasa dalam pelaksanaan sesuai dengan kehendaknya atau kepentingan dibalik itu. 3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas : konteks ini berlaku pada aktor dan juga objek kebijakan. Tingkat kepatuhan diadopsi dari sistem administrasi yang sifatnya komando tehnis. Bukan hanya di dalam lembaga negara tetapi juga birokrasi perusahaan. Karena sifatnya komando maka ia hierarkis, ada atasan ada bawahan. Maka yang peneliti lihat di lapangan adalah siapa yang menjadi atasan siapa yang menjadi bawahan. Siapa yang diberikan perintah, siapa yang melaksanakan. Hal ini bisa terjadi sampai level objek kebijakan paling bawah. Termasuk juga responsivitas diartikan sebagai tindakan para aktor dalam menerima sebuah perintah atau prosedur yang harus dijalankan dari pihak atas. Sebuah inisiasi yang muncul akibat dari substansi kebijakan juga diperhitungkan dalam poin ini. F.4 Outcome Kebijakan Outcome digunakan untuk mengukur hasil dari implementasi kebijakan yang dijalankan oleh implementor. Bagaimana dampak kebijakan terhadap individu dan masyarakat. Apakah implementasi menghasilkan perubahan dan penerimaan bagi kelompok sasaran kebijakan. G. Metode Penelitian G.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif mengacu pada metode studi kasus. Dalam konsep implementasi kita perlu melihat lebih jauh siapa saja aktor yang berperan di lapangan dan apa saja yang dilakukan. Antara 20

21 peneliti dan informan (pelaku implementasi kebijakan PHBM) minimal tidak terdapat sekat, sehingga satu sama lain mempunyai pengaruh yang baik. Menurut Moleong, penelitian kualitatif mampu menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan, serta lebih peka untuk dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1999). Peneliti bisa menilik relasi antar aktor dan keseluruhan proses implementasi, dengan mengandalkan kedekatan dengan para informan. Proses implementasi kebijakan PHBM di KPH Blora melibatkan sekian banyak aktor dalam rangka menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Kedalaman informasi yang terkait hanya didapat melalui penelitian kualitatif. Selanjutnya, peneliti menggunakan studi kasus dengan merujuk pada konsep yang menyebutkan bahwa rumusan masalah oleh peneliti didasarkan pada bentuk pertanyaan bagaimana. Peneliti ingin mengetahui bagaimana proses implementasi PHBM dalam LMDH non sharing di KPH Blora. Studi kasus dapat menghasilkan hasil yang komprehensif untuk menjawab rumusan masalah peneliti. Dalam penelitian studi kasus, fokus penelitian terletak pada fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, serta peneliti hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tidak sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Yin, 2008). Studi kasus di KPH Blora, dengan sistem kelembagan Perhutani sebagai perusahaan membuat peneliti tidak memiliki 21

22 kesempatan yang luas untuk masuk ke dalam struktur dan proses implementasi sampai level bawah yaitu LMDH. Dalam realitasnya fokus penelitian merupakan wilayah kontemporer dikarenakan kebijakan tersebut merupakan arah reformasi yang dibuat oleh Direksi Perhutani dalam hal tata kelola sumber daya hutan. Kebijakan ini kira-kira baru berjalan hampir dua belas tahun. Ini bisa dipandang dari perspektif politik dalam kerangka kajian kebijakan baru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Proses politik bisa dilihat dengan sejauh mana produk kebijakan itu dikeluarkan. Kontrol dari peneliti terhadap keseluruhan proses implementasi jelas tidak berada di sana. Dikarenakan peneliti hanya membuat analisis implementasi yang sudah terlaksana dan sedang dalam proses. G.2 Tempat dan Objek Penelitian Tempat penelitian : KPH Blora Perhutani Unit 1 (Jawa Tengah) Objek Penelitian : Dinas Kehutanan Blora Perhutani KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Blora Forkom (Forum Komunikasi) PHBM Kabupaten Blora LMDH non sharing Desa Padaan Kecamatan Ngawen Kabupaten Blora G.3 Waktu dan Rentang Penelitian Penelitian ini adalah perwujudan dari kegelisahan peneliti sejak lama. Peneliti lahir dan tinggal di kawasan hutan di salah satu KPH Kabupaten Blora 22

23 bagian timur. Kawasan hutan ini habis akibat penjarahan, sampai turun kebijakan PHBM yang membuat kawasan hutan ini hijau kembali melalui tangan-tangan masyarakat sekitar. Setelah masuk kuliah, peneliti tertarik pada konsentrasi kebijakan publik. Semakin tergelitik untuk meneliti kebijakan apa yang diterapkan oleh Perhutani yang dinilai peneliti cukup berhasil untuk meredam aksi anarkis penjarahan hutan dan mengembalikan kelestarian hutan. Secara tidak langsung penelitian ini merupakan hasil observasi yang terekam sejak peneliti tinggal di kawasan hutan Blora. Pengambilan objek penelitian di KPH Blora dikarenakan akses wilayah yang lebih memudahkan akses bagi peneliti. Selain itu di KPH Blora, pelaksanaan PHBM lebih mengarah pada prosedur karena keterbatasan sumber daya hutan sehingga menampilkan LMDH non sharing. Penelitian lebih lanjut dimulai dari awal tahun 2012 dan berakhir pada tahun yang sama. Pada tahun tersebut pelaksanaan PHBM sudah berlangsung selama satu dekade. Awalnya, peneliti ingin mengambil objek penelitian di desa tempat peneliti tinggal. Akan tetapi, proses administratif dan tujuan penelitian yang dicanangkan lebih mengarah ke KPH Blora. Dari bulan September 2012, peneliti mulai mengurus surat perijinan ke lembaga terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perhutani. Karena proses administratif yang lama (transfer antar propinsi), maka wawancara baru dilaksanakan pada bulan Oktober. Wawancara dan pencarian data hanya bisa dilakukan di Dinas Kehutanan. Sedangkan di Perhutani harus menunggu surat ijin 23

24 dari Unit 1 di Semarang sampai bulan November. Penelitian berakhir sampai awal Desember Selanjutnya, selama rentang waktu sampai bulan Februari Peneliti mulai menganalisis data, di samping mencari data lain berupa studi pustaka di lembaga terkait lainnya. Karena terdapat gangguan dalam sistem komputer milik peneliti, maka data yang telah dikumpulkan hilang. Pengambilan data sekunder dilakukan kembali di bulan Februari sampai akhir Maret. Penulisan data dan analisis dimulai lagi dari bulan April sampai bulan September Semua penulisan dan pengambilan kesimpulan selesai di awal bulan Oktober Selebihnya merupakan perbaikan supaya fokus masalah lebih terarah dalam menjawab rumusan masalah. G.4 Tehnik Pengumpulan data G.4.1. Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari objek penelitian secara langsung. Data primer didapat dari wawancara dengan struktur di Dinas Kehutanan dan Perhutani yang fokus di bidang PHBM. Wawancara juga dilakukan dengan LMDH yang ditunjuk Perhutani untuk memberikan data yang dibutuhkan peneliti. Wawancara di Dinas Kehutanan Blora diperlukan peneliti karena di dalam strukturnya, Dinas ini memiliki bidang Perlindungan dan Pengembangan Usaha Kehutanan yang secara langsung mengerjakan program PHBM bersama Perhutani. Selain itu Kepala Dinas Kehutanan Blora merupakan Ketua Harian Forkom Kabupaten Blora yang menjadi arus informasi kepada pemerintah daerah 24

25 dan ketua Forkom Kabupaten Blora. Dinas ini memberikan data hasil implementasi lapangan dari berbagai KPH di Kabupaten Blora. Dinas ini yang menyarankan peneliti untuk menjadikan KPH Blora sebagai objek penelitian yang lebih mendalam sebagai studi kasus PHBM dalam skema non sharing. Terdapat tiga informan penting yang membantu selama proses penelitian dan memberikan data komprehensif, yaitu 1. Bapak Sarmidi selaku Kepala bidang Perlindungan dan Pengembangan Usaha Kehutanan Dinas Kehutanan Blora 2. Bapak Purwo Utomo, S.Hut. selaku staff bidang Perlindungan dan Pengembangan Usaha Kehutanan Dinas Kehutanan Blora (Koordinator Lapangan program PHBM) 3. Ir. Reni Miharti selaku Kepala Dinas Kehutanan Blora, Forkom Kabupaten Blora sebagai Ketua Harian Dinas Kehutanan juga memberikan data sekunder berupa naskah kebijakan PHBM dari awal sampai revisi terakhir tahun Sumber data yang paling penting adalah materi rapat koordinasi PHBM dalam forum rapat Forkom Kabupaten maupun Forkom propinsi. Materi ini merangkum perjalanan implementasi PHBM di Kabupaten Blora. Materi ini mencakup keseluruhan perkembangan, masalah, dan solusi yang dibahas bersama di dalam forum tersebut. Dinas Kehutanan tidak hanya memiliki informasi dan data umum, dengan wewenangnya sebagai Ketua Harian Forkom Kabupaten Blora, Dinas ini memiliki koordinasi yang cukup kuat dengan level paling bawah PHBM yaitu LMDH. 25

26 Semua data ini sangat diperlukan untuk menjawab poin-poin teori Grindel secara administratif maupun politis. Pemaparan data dari Dinas Kehutanan lebih dari cukup untuk menjelaskan proses implementasi secara umum di KPH Blora. Sumber informasi yang paling penting lainnya adalah dari pihak Perhutani itu sendiri. Karena pihak ini pemegang mandat pengelolaan hutan yang meliputi kawasan hutan Blora. Karena data sekunder sudah banyak didapat dari Dinas Kehutanan, dari pihak Perhutani hanya menambahkan data terkait LMDH Padaan yang menjadi lokus objek penelitian. Di sini peneliti mendapatkan data secara tehnis dan observasi langsung bersama tim PHBM KPH Blora ke LMDH Padaan. Sumber data Perhutani didapat dari hasil diskusi kerja para peneliti. Selain peneliti, terdapat peneliti lain yang mengambil tema PHBM sebagai objek penelitian. Bersama tim PHBM (Bapak Maryanto dan staff), kami melakukan diskusi tehnis dan juga penunjukkan LMDH yang akan kami teliti. Akhirnya data, peneliti dari LMDH Padaan dengan pertimbangan LMDH ini merupakan LMDH non sharing yang menerapkan usaha produksi dan jaringan mitra. Data ini mereprensentasikan kompleksitas masalah yang dialami selama implementasi PHBM di KPH Blora. Pihak Perhutani menyediakan data primer dengan informan kepala bidang PHBM, Bapak Maryanto juga semua staff yang membantu beliau menyediakan data pendukung selama penelitian. Eksekusi LMDH yang diteliti ditentukan oleh pihak Perhutani sendiri sampai pada observasi langsung ke Padaan. Peneliti bersama pihak Perhutani dan peneliti lainnya, mengambil data di LMDH Padaan yang diketuai oleh Bapak Mulyono. 26

27 Pihak yang berjasa menyediakan sumber data adalah perpustakaan milik PKHR (Pusat Kajian Hutan Rakyat) UGM dan juga LSM Arupa yang bergerak di bidang kehutanan. Keduanya memberikan data dari buku-buku dan laporan terkait implementasi PHBM di Blora maupun kawasan hutan lainnya. Data ini digunakan peneliti untuk melengkapi sejarah kebijakan perhutanan di Jawa juga agenda setting dari PHBM itu sendiri. Peneliti juga mengambil data dari internet, data tersebut merupakan hasil publikasi dari dinas, website Perhutani, media massa, hasil penelitian sebelumnya, maupun laporan singkat terkait proses implementasi kebijakan PHBM. Berbagai laporan kegiatan PHBM dalam bentuk makalah dan buku juga digunakan peneliti untuk melengkapi ketersediaan data sekunder. G.4.2. Cara Mengumpulkan Data Sekitar awal tahun 2012, peneliti sudah mencari data awal yang diambil melalui berbagai website terkait. Data yang didapat berupa naskah kebijakan PHBM dan hasil implementasi kebijakan tersebut dari berbagai KPH di wilayah Kabupaten Blora. Selanjutnya pada bulan Mei di tahun yang sama, peneliti mencoba mengklarifikasi data terkait naskah kebijakan PHBM di Dinas Kehutanan Blora. Peneliti juga telah membangun relasi dengan pihak terkait di Dinas Kehutanan dalam rangka mempermudah pencarian data selanjutnya. Semua data awal tersebut belum cukup untuk mendukung penelitian ini. Untuk memenuhi tujuan penelitian tersebut dibutuhkan wawancara yang mendalam dengan cara bertemu langsung dengan informan. Hal ini bertujuan untuk mencari informasi yang lengkap dan mendukung data pokok yang 27

28 kesemuanya menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian. Informan dalam kasus kebijakan PHBM ini mempunyai status yang sama. Karena kesemuanya mempunyai informasi yang penting dalam penelitian ini. Untuk memenuhi kebutuhan wawancara, maka peneliti menyusun interview guide. Interview guide diturunkan dari sistematika bab yang merujuk pada kerangka konsep. Perlu diperhatikan secara hati-hati untuk peneliti dalam menyusunnya, supaya tidak jauh dari bahasan. Pertanyaan ditambahkan sesuai kebutuhan wawancara untuk menambahkan kedalaman informasi dan masih dalam cakupan bahasan. Setelah proses pra penelitian dengan menyiapkan detail wawancara secara umum. Peneliti melakukan perjalanan panjang guna mendapatkan ijin untuk melakukan wawancara. Dimulai dari perijinan universitas sampai ke kantor Gubernur DIY karena penelitian ini lintas propinsi dan menggunakan salah satu dinas di Kabupaten Blora sebagai objek penelitian. Selanjutnya ke kantor Gubernur Jaw Tengah sampai dengan mendapatkan ijin langsung masuk dan melakukan penelitian di Dinas Kehutanan. Setelah mendapatkan ijin, beberapa kali melakukan wawancara dengan informan yang telah disebutkan sebelumnya. Tingkat informan ditentukan karena cakupan wilayah kerja dan strata dalam struktur lembaga Dinas Kehutanan. Di Dinas Kehutanan data didapat dengan mudah, dari wawancara, diskusi, sampai data berupa dokumentasi perjalanan implementasi di Blora. Dari pihak Dinas juga memberikan kemudahan akses untuk masuk ke Perhutani mencari basic data. 28

29 Pencarian data di Perhutani memakan waktu yang cukup lama. Dari KPH Blora, surat perijinan masuk ke Perhutani Unit 1 yang berada di Semarang Jawa Tengah. Setelah menunggu selama kurang lebih satu bulan, surat persetujuan Unit 1 baru kemudian masuk ke KPH Blora. Baru kemudian pihak Perhutani bersedia melakukan wawancara dan memberikan data yang diperlukan. Selama penelitian, peneliti juga melakukan diskusi bebas dengan para peneliti lainnya atau informan sampingan yang dulu pernah memegang peranan penting dalam inisiasi PHBM di KPH Blora. Dari diskusi tersebut digali beberapa permasalahan implementasi PHBM juga komparasi permasalahan yang terjadi di KPH lain. Beberapa orang di bidang PHBM Dinas Kehutanan dan Perhutani juga menceritakan secara acak program kerja, budaya kerja, hambatan-hambatan yang mewarnai perjalanan satu dekade implementasi kebijakan di KPH Blora. Kemudahan pencarian data, terutama sekunder yang banyak merekam jejak PHBM, peneliti dapat dari publikasi LSM Arupa. Lembaga ini memberikan banyak masukan terhadap penelitian PHBM dari berbagai pihak. Hambatan dalam mendapatkan data lebih kepada prosedur perijinan yang lama dan hierarkis. Akan tetapi data mudah didapat ketika surat ijin tersebut sudah disetujui. Beberapa data yang sensitif untuk didapat, seperti kisaran provisi yang didapat pemerintah daerah dari Perhutani yang peneliti ajukan di Dinas maupun Perhutani tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Data terkait koordinasi lembaga dan kooptasi terhadap LMDH bisa peneliti lihat dari observasi langsung yang peneliti artikan sebagai intervensi langsung pihak Perhutani terhadap implementasi PHMB di dalam LMDH. 29

30 G.5 Tehnik Analisa Data Pertama kali yang dilakukan peneliti adalah mengumpulkan semua data. Mencampurkan semua data primer dan data sekunder dengan tujuan saling melengkapi sehingga dapat menjawab tuntas rumusan masalah yang dijabarkan dalam kerangka konsep. Data dibagi per bab, sehingga memudahkan peneliti untuk memilah dan menghindari tumpang tindih data. Meskipun ada beberapa data yang digunakan di penulisan bab-bab selanjutnya. Dari wawancara diperoleh data berupa rekaman dan catatan lapangan. Hasil rekaman diubah ke dalam transkip wawancara dan peneliti juga merapikan beberapa catatan lapangan. Catatan lapangan sangat penting bagi peneliti, selain mengandalkan rekaman. Karena beberapa rekaman sempat hilang, tetapi peneliti masih mempunyai backup berupa catatan lapangan yang juga berisi hasil wawancara dengan informan. Di beberapa bagian wawancara, peneliti juga tidak cukup waktu dan kesempatan untuk merekam semua wawancara maupun diskusi. Sehingga catatan lapangan cukup membantu untuk menuliskan hasilnya. Selain wawancara, peneliti juga menambahkan sumber data berupa dokumen dan hasil observasi. Data ini melengkapi hasil wawancara dan membandingkan dengan data yang sebelumnya diperoleh. Setelah masa pengumpulan data selesai, maka tahap selanjutnya adalah analisis. Sebenarnya analisis ini mengiringi sejak awal penelitian, bahkan sebelum peneliti terjun di lapangan. Akan tetapi maksud analisis di sini adalah, mencoba mensinkronisasi antara kerangka konsep dan data yang diperoleh. Tahapan ini dimaksudkan untuk 30

31 memberikan frame yang sejalan dengan kerangka konsep yang telah disusun peneliti. Dalam hal ini peneliti sangat hati-hati jika data dianalisis tidak menggunakan konsep yang telah dibangun. Akhirnya, dengan analisis data berdasarkan konsep, peneliti dapat mengambil kesimpulan yang tepat dalam menjawab rumusan masalah. G.6 Sistematika Penulisan Bab 1 Latar belakang kajian, rumusan masalah, kerangka teori, metode penelitian Bab 2 Bab 3 Bab 4 profil kebijakan PHBM Isi kebijakan PHBM Konteks kebijakan, lingkungan dimana kebijakan PHBM di implementasikan Bab 5 Kombinasi antara isi kebijakan dan konteks kebijakan yang menunjukkan dominasi pelaksanaan oleh pemegang kebijakan Bab 6 Bab 7 Hasil implementasi kebijakan Kesimpulan 31

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Penafsiran para ahli administrasi publik terkait dengan definisi kebijakan publik, secara umum memberikan penafsiran

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya Oleh : Imronah*) Abstraksi Eugene Bardach dalam tulisannya mengatakan bahwa penulis yang lebih awal memberikan perhatian terhadap masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan 2.1.1 Pengertian Implementasi kebijakan Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat multi metode. Strategi studi kasus ini dianggap memadai dengan tiga dasar pertimbangan:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

Implementasi Peraturan Daerah tentang Penataan dan. Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

Implementasi Peraturan Daerah tentang Penataan dan. Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Implementasi Peraturan Daerah tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus: Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasar Wage, Purwokerto) A. Latar Belakang Berbicara mengenai wilayah perkotaan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan

Lebih terperinci

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan Tahap penyusunan agenda Masalah kebijakan sebelumnya berkompetisi terlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (local wisdom). Kearifan lokal (local wisdom) dipahami sebagai gagasangagasan

BAB I PENDAHULUAN. (local wisdom). Kearifan lokal (local wisdom) dipahami sebagai gagasangagasan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan hutan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari umat manusia. Hutan merupakan sumber daya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Implementasi Kebijakan Publik 2.1. 1. Pengertian Implementasi Implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam Solihin Abdul Wahab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan dari masa ke masa senantiasa memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peranan sumberdaya hutan

Lebih terperinci

adanya kereta khusus wanita dengan factor penghambat pengadaan kereta khusus wanita. A. Faktor Pendukung Berlangsungnya Kebijakan

adanya kereta khusus wanita dengan factor penghambat pengadaan kereta khusus wanita. A. Faktor Pendukung Berlangsungnya Kebijakan BAB 5 KESIMPULAN Setelah seluruh data temuan lapangan telah peneliti jabarkan melalui argumen pada bab sebelumnya maka inilah saatnya peneliti menguraikan kesimpulan penelitian. Temuan peneliti terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada paradigma kehutanan sosial, masyarakat diikutsertakan dan dilibatkan sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai seorang buruh melainkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Jawa telah melewati waktu yang amat panjang, khususnya untuk hutan jati. Secara garis besar, sejarah hutan jati di Jawa telah melampaui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses penyusunan kebijakan publik pada saat ini cenderung mengalami pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih merupakan proses

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Obyek penelitian ini adalah pelaksanaan desentralisasi Program KB di Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Obyek penelitian ini adalah pelaksanaan desentralisasi Program KB di Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN Obyek penelitian ini adalah pelaksanaan desentralisasi Program KB di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Barat. Sebagaimana diuraikan dalam penduhuluan,fenomena di

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle Kuliah Ke-10 Model Implementasi Kebijakan : Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle 1 Model Implementasi Kebijakan Model van Horn dan van Metter Model Marlee S. Grindle Model Mazmanian dan Sabatier

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi ekologi dan sosial yang tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR Oleh : INDAH SUSILOWATI L2D 305 134 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat

Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat 1 Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat Fitriani Kusuma Wardhani, Achmad Lutfi Ilmu Administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan

BAB I PENDAHULUAN. sumber mata pencahariannya. Mereka memanfaatkan hasil hutan baik hasil hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang melimpah. Sebagian besar dari masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau

BAB I PENDAHULUAN. diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi mandat oleh negara untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang bangun perumusan kebijakan proses implementasi kebijakan dan evaluasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar BAB 1 PENDAHULUAN Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar belakang masalah penelitian yang selanjutnya dikerucutkan dalam rumusan masalah. Atas dasar rumusan masalah tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN DAN PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN SUKOHARJO T E S I S

KEDUDUKAN DAN PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN SUKOHARJO T E S I S KEDUDUKAN DAN PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN SUKOHARJO T E S I S Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur POLICY PAPER No 02/2014 Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur Oleh : u AR PA POLICY PAPER No 02/2014 Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan merupakan salah satu unsur vital dalam suatu organisasi atau lembaga apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau

Lebih terperinci

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Ardhana Januar Mahardhani Mahasiswa Magister Kebijakan Publik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya Abstract Implementasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan motivatif dari C.K. Prahalad dan Garry Hamel yang

BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan motivatif dari C.K. Prahalad dan Garry Hamel yang . BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Ungkapan motivatif dari C.K. Prahalad dan Garry Hamel yang menyatakan bahwa "If you don t learn, you don t change, If you don t change, you will be die, terpampang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. commit to user

BAB VI PENUTUP. commit to user BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis data yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, penulis mencoba untuk merefleksikan beberapa hal pokok yang diungkapkan dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kinerja manajerial hingga kini masih menjadi issue yang menarik diteliti,

BAB I PENDAHULUAN. maupun kinerja manajerial hingga kini masih menjadi issue yang menarik diteliti, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fenomena hubungan penganggaran dengan kinerja, baik kinerja individu maupun kinerja manajerial hingga kini masih menjadi issue yang menarik diteliti, disamping

Lebih terperinci

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah Oleh : Totok Dwi Diantoro Agus Budi Purwanto Ronald M Ferdaus Edi Suprapto POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik 1. Definisi Kebijakan Publik Dewasa ini, kebijakan publik menjadi suatu hal yang tidak asing lagi bahkan di kalangan masyarakat awam. Setiap saat

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

POLICY PAPER No 04/2014

POLICY PAPER No 04/2014 POLICY PAPER No 04/2014 Kaburnya Kemitraan PHBM dan Harapan Kejelasan ke Depan oleh Permenhut P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan PHBM Oleh : Totok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. yang dikemukakan oleh Grindle mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap proses

BAB VI PENUTUP. yang dikemukakan oleh Grindle mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap proses BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis yang peneliti lakukan ditemukan bahwa variabel implementasi yang dikemukakan oleh Grindle mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap proses implementasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan yang dibebani hak Pengelolaan hutan yang dibebani hak bukan hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa perjalanan yang peneliti lakukan di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak akhir 2004 hingga akhir 2008, telah banyak usaha-usaha dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu negara mempunyai konstitusi yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi tertinggi yang digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan di Bumi tanpa air, maka kehidupan di bumi akan punah. Namun akhir akhir ini air menjadi barang yang langka, bahkan Wakil

Lebih terperinci

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG Rifka S. Akibu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan Yogyakarta, 21-22 Juni 2010 MAKALAH Otda & Konflik Tata Ruang Publik Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM Otda & Konflik Tata Ruang Publik Wawan Mas udi JPP Fisipol

Lebih terperinci

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN A. Ringkasan Temuan Beberapa temuan pokok penelitian setiap bab telah disajikan dalam ringkasan di bagian akhir masing-masing bab. Berikut, intisari temuan

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5%

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5% BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5% penduduk Indonesia tinggal di pulau ini (Badan Pusat Statistik, 2014). Pulau yang memiliki luasan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi

Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi 1. Pentingnya Implementasi Riant Nugroho : Rencana memberi kontribusi 20% bg keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20 % sisanya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena hutan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena hutan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena hutan memiliki manfaat bagi kemakmuran dan

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM 107 7.1 Latar Belakang Rancangan Program Guna menjawab permasalahan pokok kajian ini yaitu bagaimana strategi yang dapat menguatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. mencanangkan suatu kebijakan yang dikenal dengan nama Gerakan Reformasi

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. mencanangkan suatu kebijakan yang dikenal dengan nama Gerakan Reformasi BAB I PENDAHULUAN Bab I di dalam penelitian ini berisi tentang latar belakang pemilihan judul, konteks penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika

Lebih terperinci

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta caracara

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta caracara V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Akuntabilitas Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi

Lebih terperinci

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL

MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL MENUJU POLA PENGUASAAN TANAH YANG MERATA DAN ADIL Sepanjang era Orde Baru praksis pembangunan kehutanan senantiasa bertolak dari pola pikir bahwa penguasaan sumberdaya hutan merupakan state property saja

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bergulirnya periode reformasi memberikan dorongan bagi pemerintah untuk melakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan seluas 2,4 juta Ha di hutan

Lebih terperinci

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Daftar Isi i ii Demokrasi & Politik Desentralisasi Daftar Isi iii DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh : Dede Mariana Caroline Paskarina Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis,

Lebih terperinci

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2 Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1 Tunjung Sulaksono 2 A. Pendahuluan Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek dan dimensi

Lebih terperinci

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA PAPUA BARAT

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA PAPUA BARAT ht tp :// pa pu ab ar at.b p s. go.id Katalog: 4601006.91 KATALOG Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Papua Barat 2015 ISSN/ISBN: - No. Katalog: 4601006.91 No. Publikasi: 91520.16.13 Ukuran Booklet:

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN

CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat Di Bidang Perbankan 2007 1. Pendahuluan Bank sebagai lembaga intermediasi dan pelaksana sistem pembayaran memiliki peranan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang BAB I INTRODUKSI Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan tahapan-tahapan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam melakukan pembangunan, setiap Pemerintaah Daerah memerlukan perencanaan yang akurat serta diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak. sumber daya dan kemampuan, diantaranya diperlukan kemampuan

Bab I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak. sumber daya dan kemampuan, diantaranya diperlukan kemampuan Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah daerah harus dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan, diantaranya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR BALI TANGGAL 25 MEI 2015 NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) PROVINSI BALI TAHUN 2016

LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR BALI TANGGAL 25 MEI 2015 NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) PROVINSI BALI TAHUN 2016 LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR BALI TANGGAL 25 MEI 2015 NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) PROVINSI BALI TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bermaksud mengetahui dan menggambarkan bagaimana

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bermaksud mengetahui dan menggambarkan bagaimana BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bermaksud mengetahui dan menggambarkan bagaimana Implementasi Peraturan Komisi Pemilihan Pmum (PKPU) No.1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan reformasi sektor publik yang begitu dinamis saat ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan masyarakat yang melihat secara kritis buruknya kinerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian, proses penelitian dan sistematika penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian, proses penelitian dan sistematika penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan penjabaran latar belakang masalah pemilihan studi kasus berdasarkan fenomena yang terjadi dilapangan dan juga rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo Dalam Penataan Pedagang Kaki Lima Di Alun - Alun Sidoarjo

Kebijakan Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo Dalam Penataan Pedagang Kaki Lima Di Alun - Alun Sidoarjo Kebijakan Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo Dalam Penataan Pedagang Kaki Lima Di Alun - Alun Sidoarjo Cintatya Cindy Bilqisa Abstrak Penetapan PKL selalu menjadi permasalahan disetiap daerah. Hal ini juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun internasional harus bekerja secara kompetitif dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN

BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN A. Prolog Skripsi ini dimulai dari keingintahuan peneliti terhadap fenomena unik yang terjadi di bumi Kapuas Hulu, tepatnya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

POLITIK KEUANGAN NEGARA

POLITIK KEUANGAN NEGARA POLITIK KEUANGAN NEGARA Miftah Adhi Ikhsanto, SIP, MiOP Amirudin, SIP, M.Ec.Dev 1 1. Hadir tepat waktu, paling lambat 5 menit sebelum kegiatan belajar dimulai. 2. Berpakaian rapi dan sopan. 3. Mematikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari organisasi tingkat atas kepada tingkat bawahnya

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK (Laporan Penelitian Individu 2016) Oleh Hariyadi BIDANG EKONOMI DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laju globalisasi yang berkembang semakin cepat ini menuntut kebutuhan manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa mungkin tersaji dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Birokrasi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada masa awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara, peranan Negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (Government) menjadi

Lebih terperinci