BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5%

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang tinggi, kurang lebih 57,5% penduduk Indonesia tinggal di pulau ini (Badan Pusat Statistik, 2014). Pulau yang memiliki luasan sekitar 6% dari luas wilayah Indonesia ini memiliki luasan hutan negara ,97 Ha dan hutan rakyat seluas Ha (Dirjen Planologi, 2012; Suprapto, 2010). Dengan jumlah penduduk yang tinggi, tidak bisa dipungkiri potensi akan masalah sosial juga menjadi tinggi khususnya masalah sosial di sekitar kawasan hutan negara. Untuk menjawab masalah sosial tersebut, maka sejak tahun 1974 Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat mandat untuk mengelola hutan negara di pulau Jawa melakukan kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Pada tahun 1986 kegiatan ini dirubah menjadi program Perhutanan Sosial (PS) sebagai wujud dari pendekatan kehutanan sosial di Jawa. Program ini dianggap kurang berhasil karena dominasi peran pemerintah dalam pengambilan keputusan. Kemudian Perum Perhutani merubah program PS menjadi sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sistem PHBM ini dimaksudkan untuk merefleksikan dan mewujudkan konsep kehutanan masyarakat di dalam pengelolaan hutan (Awang, 2007). Dalam perjalanannya, sistem PHBM telah mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan sebagai upaya penyesuaian terhadap perubahan kondisi sosial 1

2 di lapangan. Kebijakan-kebijakan yang muncul di tingkat Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) tak ubahnya seperti kebijakan yang setengah hati, dominasi Perhutani masih sangat menonjol. Aspek sosial dan ekologi dalam penerapan sistem PHBM nampaknya masih terkalahkan dengan kepentingan ekonomi perusahaan (Suprapto dan Purwanto, 2013). Hal demikian menjadi salah satu faktor penghambat dalam penerapan sistem PHBM. Sistem PHBM diharapkan dapat dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi yang meliputi pemanfaatan lahan/ruang, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggungjawab sosial. Selain itu, lahirnya PHBM juga diharapkan dapat menjadi titik temu kepentingan antara Perhutani dengan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Disinyalir dalam penerapan PHBM di banyak tempat, titik temu kepentingan tersebut belum tercapai (Aji, 2011; Maryudi, 2012; Maryudi dan Krott, 2012). Dalam menyikapi sistem PHBM ini, masyarakat memiliki sikap yang berbeda antara satu sama lain. Sikap masyarakat termanifestasi dalam berbagai bentuk aksi. Ragam bentuk aksi pada masyarakat dipengaruhi oleh kondisi latar belakang sejarah, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat yang hidup di sekitar hutan. Sikap masyarakat desa hutan ada yang menerima implementasi sistem PHBM, namun ada pula yang menolak implementasi sistem PHBM. Bagi kelompok masyarakat yang menerima implementasi sistem PHBM, mereka merasa hak-haknya sebagai masyarakat desa hutan telah terpenuhi. Di sisi lain 2

3 implementasi PHBM juga telah menjadi peluang dalam upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Akan tetapi di lain pihak bagi kelompok masyarakat yang belum dapat menerima implementasi sistem PHBM, tentunya PHBM belum bisa menjadi peluang untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Sikap penolakan ini disebabkan atas anggapan masyarakat bahwa sistem PHBM dirasa masih belum mampu memenuhi hak-hak masyarakat desa hutan. Selain itu, faktor latar belakang sejarah dari status kawasan hutan juga menjadi penyebab sikap masyarakat menolak PHBM. Masyarakat mengklaim bahwa kawasan hutan merupakan lahan peninggalan nenek moyang mereka. Kondisi yang demikian dapat menyebabkan terjadinya konflik tenurial karena faktor hak (akses) atas sumberdaya hutan. Kondisi yang demikian juga terjadi di Desa Kalijaya Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, masyarakat mengklaim bahwa kawasan hutan negara yang berada di desa mereka merupakan lahan milik nenek moyang mereka. Klaim atas wilayah hutan sebagai lahan milik didasarkan pada peta kuno peninggalan Belanda yang pernah mereka miliki, namun peta tersebut sampai sekarang belum jelas keberadaannya. Masyarakat Desa Kalijaya menolak implementasi PHBM karena dianggap belum mampu memberikan keadilan atas hak-hak mereka. Masyarakat kemudian mengambil tindakan dengan mengokupasi kawasan hutan yang diklaim sebagai lahan milik. Masyarakat mengelola lahan tersebut tanpa melalui kesepakatan dan kerjasama dengan Perum Perhutani KPH Ciamis. Aksi okupasi lahan yang dilakukan oleh masyarakat bermula dari kondisi kawasan hutan yang gundul akibat penjarahan pada era reformasi. Atas dasar rasa ingin 3

4 menyelamatkan kawasan hutan dan agar terhindar dari bencana, kemudian masyarakat berinisiatif untuk menanami kembali kawasan yang rusak tersebut. Kegiatan pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat tetap berlangsung sampai saat ini. Kehadiran PHBM dalam pengelolaan sumberdaya hutan diharapkan mampu menciptakan pengelolaan hutan yang lebih kolaboratif. Dalam implementasinya peran masyarakat lebih ditingkatkan dan mengurangi dominasi peran Perhutani. Salah satu faktor belum bisa diterimanya PHBM di beberapa daerah karena belum terpenuhinya prinsip-prinsip kolaborasi yang mengedepankan ketergantungan kepentingan dalam implementasinya. Prinsip-prinsip kolaborasi ini dipengaruhi oleh faktor keberagaman dan ketergantungan kepentingan yang terdapat pada stakeholders (para pemangku kepentingan) dalam pengelolaan hutan. Implementasi sistem PHBM sebagai upaya dalam penyelesaian persoalan sosial nampaknya masih menyisakan pro dan kontra. Sikap masyarakat Desa Kalijaya merupakan bentuk penolakan terhadap sistem PHBM yang belum mampu memberikan keadilan atas hak pengelolaan hutan bagi mereka. Meskipun tindakan masyarakat Desa Kalijaya telah mampu memperlihatkan keberhasilan dalam penghijauan kembali lahan gundul akibat penjarahan, akan tetapi tindakan tersebut telah menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan antara masyarakat Desa Kalijaya dengan Perhutani KPH Ciamis. Sampai saat ini konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Kalijaya dengan Perhutani KPH Ciamis belum menemukan titik temu untuk penyelesaiannya. Gambaran tentang kasus yang terjadi di Desa Kalijaya menarik untuk diteliti, sehingga akan diperoleh 4

5 penjelasan terhadap keberagaman dan ketergantungan kepentingan antara Perhutani KPH Ciamis dengan Masyarakat Desa Kalijaya yang tergabung dalam OTL (Organisasi Tani Lokal) Kalijaya sebagai upaya penerapan prinsip-prinsip kolaborasi dalam pengelolaan hutan Rumusan Masalah Permasalahan belum diterimanya PHBM oleh masyarakat desa hutan Kalijaya yang terjadi pada pengelolaan hutan di KPH Ciamis, mengindikasikan bahwa prinsip-prinsip kolaborasi belum diterapkan. Penjelasan atas persoalan tersebut akan diperoleh dengan mencari jawaban atas pertanyaan berikut : 1. Bagaimana keragaman kepentingan para pemangku kepentingan dalam upaya implementasi PHBM di KPH Ciamis? 2. Bagaimana saling ketergantungan antar pemangku kepentingan dalam upaya implementasi PHBM di KPH Ciamis? Dalam penelitian ini, pemangku kepentingan dibatasi dua aktor utama yaitu Perhutani KPH Ciamis dan masyarakat Desa Kalijaya Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, yang tergabung dalam OTL (Organisasi Tani Lokal) Kalijaya. 5

6 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terkait tingkat keragaman dan ketergantungan kepentingan antara Perhutani KPH Ciamis dengan masyarakat Desa Kalijaya Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis dalam upaya implementasi PHBM Manfaat Penelitian Diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan manfaat untuk : 1. Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan PHBM. 2. Wahana pembelajaran bagi pihak-pihak terkait dalam pengelolaan hutan khususnya di KPH Ciamis, Perhutani Divisi Regional Jawa Barat. 6