Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat"

Transkripsi

1 1 Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat Fitriani Kusuma Wardhani, Achmad Lutfi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,, Depok, Jawa Barat Abstrak Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah guna membiayai kebutuhan daerahnya dalam rangka menyelenggarakan pemerintahannya. Retribusi budidaya mutiara merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang sangat potensial. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi Dinas Kelautan dan Perikanan dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat. Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi literatur. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara dalam meningkatkan pendapatan asli daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat belum berjalan dengan baik karena realisasi penerimaan retribusi budidaya mutiara dalam meningkatkan PAD Kabupaten Lombok Barat tidak memenuhi target yang telah ditentukan. Selain itu, kendala sosialisasi, kurangnya koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu, kurangnya pengawasan yang dilakukan, lemahnya pengenaan sanksi, dan kendala pendapatan perusahaan budidaya mutiara sedang mengalami penurunan menyebabkan pemungutan retribusi budidaya mutiara tidak dapat dilakukan secara optimal. Implementation of Collection on Pearl Cultivation Charge in Improving The Original Income of West Lombok Regency, West Nusa Tenggara Abstract West Lombok Regency local government seeks to improving the original income to finance the needs of the region in order to hold his administration. Pearl cultivation charge is one of the original income source with huge potential. This study was conducted to analyze the implementation of collection on pearl cultivation charge in West Lombok Regency and analyze the constraints faced by the Department of Maritime and Fisheries Affairs in the implementation of collection on pearl cultivation charge in West Lombok Regency. This thesis uses the qualitative approach with data collection techniques through in depth interview, observation, and literature. The results of the study showed that the implementation of collection on pearl cultivation charge concerning improving the original income of West Lombok Regency has not run well yet because the realization of pearl cultivation charge revenue in improving the original income of West Lombok Regency didn t achieve the targets, constraints on communication, socialization problems, lack of coordination between the Department of Maritime and Fisheries Affairs and The Departments of Indonesian Capital Market of Investment and Integrated Licensing Service, which carried out the lack of supervision, lack of imposition of sanctions, and the constraints of a pearl cultivation income is declining, causing the pearl cultivation charge collection cannot be performed optimally. Keywords: Pearl Cultivation Charge; Policy Implementation; The Original Income.

2 2 Pendahuluan Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menggali potensi yang terdapat di daerahnya, mengelola dan menggunakan sumber-sumber keuangan yang ada untuk membiayai kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah dapat merencanakan, merumuskan, melaksanakan serta mengevaluasi kebijakan dan programnya dalam upaya meningkatkan penerimaan daerahnya sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Esensi yang terkandung dalam pemberian otonomi daerah, selain mendorong kreativitas daerah dalam hal pemanfaatan potensi alamiah yang dimiliki, tetapi juga menciptakan keseimbangan kemampuan keuangan daerah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Pembiayaan dalam pelaksanaan pembangunan daerah tercantum dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Anggaran mencerminkan kemampuan keuangan yang dimiliki oleh daerah untuk mendukung kinerja pemerintahan. Dalam rangka membiayai kebutuhan pembangunan daerahnya maka pemerintah daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya masing-masing melalui pajak daerah, retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan asli daerah lain-lain yang sah. Kabupaten Lombok Barat yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah otonom di Indonesia yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari sektor PDRD. Laporan Realisasi PAD Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2010 digambarkan pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Realisasi Penerimaan Daerah Otonom Kabupaten Lombok Barat Tahun Uraian Pendapatan Asli Daerah Tahun Anggaran 2011 (Rp) 2012 (Rp) 2013 (Rp) Pajak Daerah , , ,00 Retribusi Daerah , , ,24 Hasil Pengolahan Kekayaan Daerah yang , , ,00 dipisahkan Lain- lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah , , ,45 Total , , ,69 Sumber: Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan & Aset Daerah Kab. Lombok Barat (Telah diolah kembali oleh peneliti)

3 3 Berdasarkan data pada tabel diatas dapat terlihat bahwa retribusi daerah memberikan kontribusi yang cukup besar pada PAD Kabupaten Lombok Barat. Pada tahun 2011, penerimaan retribusi daerah Kabupaten Lombok Barat mencapai Rp ,99. Kemudian di tahun berikutnya yaitu pada tahun 2012 penerimaan dari sektor retribusi daerah meningkat hingga mencapai Rp ,67 dan merupakan penerimaan terbesar kedua dalam PAD Kabupaten Lombok Barat setelah pajak daerah, artinya retribusi daerah memberikan kontribusi pemasukan yang besar bagi Kabupaten Lombok Barat untuk membiayai kebutuhan daerahnya dan menyelenggarakan pemerintahannya. Cara yang dapat ditempuh pemerintah daerah dalam memaksimalkan penerimaan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada serta menerapkan jenis pajak daerah dan retribusi baru (Lutfi, 2006, p. 1). Secara normatif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah bersifat wajib dan pilihan, wajib dalam arti urusan tersebut dilaksanakan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan yang bersifat dasar kepada masyarakat, dan urusan pilihan yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan potensi daerah tersebut. Sejak tahun 2001, Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat telah menyadari potensi budidaya mutiara di daerahnya dengan memungut pungutan hasil perikanan yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 15 Tahun Selanjutnya pada tahun 2011, Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, dengan diterbitkannya peraturan daerah terbaru yang mengatur retribusi izin usaha perikanan maka peraturan daerah sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Retribusi izin usaha perikanan termasuk dalam kategori retribusi perizinan tertentu. Salah satu jenis retribusi izin usaha perikanan adalah retribusi izin usaha budidaya mutiara. Perusahaan perikanan yang mempunyai usaha di bidang pembudidayaan mutiara harus mengajukan izin kepada pemerintah daerah untuk melakukan aktivitas dan menggunakan sumber daya alam di daerah tersebut dengan dikenakan tarif Rp ,-. Selanjutnya setiap tahun perusahaan tersebut harus registrasi ulang dengan dikenakan biaya Rp ,-/titik. Daerah Kabupaten Lombok Barat terdiri dari perairan seluas 1.382,4 km 2 serta pulau-pulau kecil (gili) sebanyak 23 buah. Besarnya potensi sektor kelautan dan

4 4 perikanan dapat dilihat melalui realisasi penerimaan PAD dalam tabel di bawah ini: Tabel 2 Kontribusi Pendapatan Asli Daerah Sektor Kelautan dan Perikanan Tahun No Tahun Anggaran Target Realisasi (Rp. ) (Rp. ) % , ,- 50, , ,- 62, , ,- 70, , ,- 48,73 Sumber: Buku Profil Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lobar 2013 Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat menargetkan penerimaan yang cukup signifikan yang harus dipungut melalui sektor kelautan dan perikanan, mengingat potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Namun, jika dilihat realisasi penerimaan PAD dari sektor kelautan dan perikanan tidak dapat mencapai target yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat bahkan pada tahun 2012 tidak mencapai setengah dari yang telah ditargetkan. Retribusi budidaya mutiara merupakan salah satu sumber PAD yang sangat potensial hal ini dikarenakan mutiara yang dihasilkan di Nusa Tenggara Barat khususnya Kabupaten Lombok Barat memiliki kualitas terbaik karena lokasi perairannya yang sangat potensial dan cocok untuk pembudidayaan mutiara. Besarnya potensi mutiara di Kabupaten Lombok Barat juga memberi keuntungan kepada masyarakat sekitarnya, terbukanya peluang untuk membudidayakan mutiara dapat menyerap tenaga kerja dan pembangunan sarana serta prasarana sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara ekonomi, usaha budidaya mutiara memberikan dampak yang positif antara lain terciptanya lapangan pekerjaan dan dapat berkontribusi untuk menambah PAD misalnya untuk pajak, biaya perizinan usaha, dan retribusi. Para perajin mutiara tentu tidak bisa lepas dari pengusaha budidaya mutiara yang menyediakan bahan utama untuk memproduksi perhiasan mutiara. Data mengenai jumlah perusahaan mutiara selama tiga tahun dapat diketahui melalui tabel di bawah ini:

5 5 Tabel 3 Perkembangan Perusahaan pada Sektor Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Lombok Barat No Jenis usaha Jumlah Usaha Budidaya Mutiara 5 (2 tidak aktif) 2 Budidaya dan Pemasaran Ikan Laut Pemasar Rumput Laut Pengumpul dan Pemasar Ikan Segar Pengumpul dan Pemasar Ikan Air Tawar Jumlah Sumber: Buku Profil Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lobar 2013 Data pada tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah perusahaan budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2009 berjumlah 5 perusahaan namun terdapat 2 perusahaan yang sudah tidak aktif lagi untuk memproduksi mutiara. Selanjutnya pada tahun jumlah perusahaan budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat menurun menjadi 3 perusahaan. Hal ini menunjukkan 2 perusahaan yang masih terdaftar sebelumnya tidak aktif. Berkurangnya jumlah perusahaan mutiara di Kabupaten Lombok Barat sangat berbanding terbalik dengan potensi mutiara yang besar dan produksi mutiara yang meningkat di Kabupaten Lombok Barat. Lebih lanjut seperti yang dikutip dalam Web page Suara NTB, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Lombok Barat H. Ahmad Zainuri menyatakan beberapa perusahaan mutiara yang berada di wilayah Lombok Barat telah mengibuli Pemerintah Kabupaten Lombok Barat karena dianggap tidak tahu tentang keberadaan perusahaan tersebut sehingga tidak ada retribusi atau pemasukan yang diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Barat ( Suara NTB ). Berdasarkan fenomena yang telah dikemukakan diatas mengenai potensi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat yang cukup tinggi, namun realisasi penerimaan retribusinya masih rendah dari penerimaan yang ditargetkan, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat, guna mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam pelaksanaan pemungutan retribusi budidaya mutiara di lapangan dan permasalahan lain yang terkait didalamnya.

6 6 Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat? 2) Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat? Sesuai dengan rumusan masalah diatas maka penelitian ini dimaksudkan agar dapat memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut: 1) Untuk menganalisis implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat. 2) Untuk menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat. Tinjauan Teoritis Grindle (1980), mengemukakan bahwa keberhasilan implementasi ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas Content of Policy dan Context of Implementation (Isi Kebijakan dan Konteks Implementasinya). Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Content of Policy (Isi Kebijakan) mencakup: 1) Interests affected (Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi). 2) Type of benefits (Tipe manfaat). 3) Extent of change envisioned (Derajat perubahan). 4) Site of decision making (Letak pengambilan keputusan). 5) Program implementors (Pelaksana program). 6) Resources commited (Sumber daya yang dilibatkan). Sedangkan Context of Implementation (Konteks Implementasi) meliputi: 1) Power, interests and strategies of actors involved (Kekuasaan, kepentingan, strategi aktor yang terlibat). 2) Institution and regime characteristics (Karakteristik lembaga dan penguasa). 3) Complience and responsiveness (Kepatuhan dan daya tanggap).

7 7 Sementara Outcomes (hasil kebijakan) itu adalah: 1) Impact on society, individual and groups (Dampak pada masyarakat, kelompok, dan individu). 2) Change and its acceptance (Perubahan dan penerimaan masyarakat). (p. 8-10). Berikut ini adalah gambar model implementasi kebijakan menurut Merilee S. Grindle: Goals achieved? Policy Goals Action Programs and Individual Projects Designed and Funded Implementing Activities Influenced by: a. Content of Policy 1) Interests affected 2) Type of benefits 3) Extent of change envisioned 4) Site of decision making 5) Program implementors 6) Resources commited b. Context of Implementation 1) Power, interests and strategies of actors involved 2) Institution and regime characteristics 3) Complience and responsiveness Outcomes a. Impact on society, individual and groups b. Change and its acceptance Programs delivered as designed? MEASURING SUCCESS Gambar 1 Implementation as a Political and Administrative Process by Grindle Sumber: Politics and Policy Implementation in The Third World, Merilee S. Grindle (1980, p. 11) Mencermati model Grindle diatas, Nugroho (2011, p. 634) mengemukakan kita dapat memahami bahwa keunikan model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta

8 8 kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan. Kebijakan publik yang efektif pada prinsipnya adalah suatu cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Kinerja efektif suatu kebijakan adalah tercapainya hasil tertentu sesuai dengan tujuan yang diinginkan melalui tindakan spesifik dan dapat memelihara atau konsisten dengan kebijakan, prosedur dan kondisi lingkungan. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri (Kepmen), Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain (Nugroho, 2011, p. 619). Untuk mengetahui keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik, diperlukan suatu teori implementasi kebijakan yang mempunyai faktor-faktor dan variabel-variabel penentu keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Menurut Edward III terdapat empat aspek dalam mempelajari mengenai implementasi kebijakan, yaitu komunikasi (communications), sumber daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Aspek-aspek diatas dapat terlihat dalam gambar 2 : Communication Resources Dispositions Implementation Bureaucratic Structure Gambar 2 Implikasi dari Implementasi Kebijakan Sumber : (Edward III, 1980, p. 148)

9 9 1) Komunikasi (Communication) Dalam implementasi kebijakan, komunikasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan suatu pemahaman yang baik dari pelaksana kebijakan. Banyak aspek dasar dalam implementasi kebijakan yang harus dikomunikasikan dengan tepat oleh para pelaksana penerapan kebijakan, seperti maksud dan tujuan kebijakan dan bagaimana proses penerapan kebijakan. Dengan adanya pemahaman yang jelas dan konsisten, implementasi dari kebijakan dapat berjalan dengan baik dan efektif. (Edward III, 1980, p. 10). 2) Sumber Daya (Resources) Sebaik apapun komunikasi yang dijalankan, implementasi tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak didukung oleh sumber daya yang memadai dari segi kuantitas dan kualitas. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia (Subarsono, 2005, p. 99). Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Komponen sumber daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan, pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan kebijakan, adanya kewenangan yang menjamin bahwa kebijakan dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan kebijakan seperti dana dan sarana prasarana (Edward III, 1980, p. 11). 3) Kecenderungan Pelaksana (Dispositions) Terdapat tiga bentuk sikap/respon para pelaksana kebijakan terhadap kebijakan, yaitu kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon kebijakan ke arah penerimaan atau penolakan dan intensitas dari respon tersebut. Ketiga hal tersebut penting untuk diperhatikan karena seringkali terjadi kegagalan dalam melaksanakan kebijakan yang disebabkan adanya penolakan yang dilakukan para pelaksana kebijakan secara sembunyi. Ada kemungkinan bahwa para penolak kebijakan tersebut memahami maksud dan sasaran kebijakan namun melakukan penolakan dengan mengalihkan dan menghindari implementasi kebijakan (Edward III, 1980, p. 11). Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

10 10 4) Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure) Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (Standar Operating Procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Birokrasi merupakan aspek yang juga sangat penting dalam jalannya implementasi suatu kebijakan. Hal ini dikarenakan didalam birokrasi terdapat suatu standar yang mengatur kebijakan dan pengimplementasiannya agar kebijakan yang nantinya diimplementasikan sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Namun, ada kalanya standar yang telah dibuat melalui mekanisme birokrasi dapat menimbulkan ketidakjelasan tertentu. Maka dari itu, diperlukan pembicaraan yang lebih mendalam mengenai sisi birokrasi dalam pengimplementasian kebijakan (Edward III, 1980, p ). Metode Penelitian Penulisan ini terbatas hanya pada implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat serta kendala-kendala apa saja yang dihadapi Dinas Kelautan dan Perikanan dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi literatur. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Dengan demikian, tidak semua temuan yang diperoleh di lapangan dan literatur, yang secara makro berhubungan dengan tema penelitian, digambarkan dalam hasil penelitian ini. Hanya data, gambaran, maupun analisis yang menurut peneliti penting untuk digambarkan dalam hasil penelitian ini. Hasil Penelitian Implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat tidak dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu. Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat tidak mengetahui mengenai peraturan daerah terbaru terkait pemungutan retribusi budidaya mutiara tersebut sehingga masih mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pungutan Hasil

11 11 Perikanan sedangkan peraturan daerah tersebut telah dicabut oleh Menteri Dalam Negeri. Selain itu, sosialisasi yang diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan masih kurang efektif, terdapat tarik menarik kepentingan antara Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perhubungan, terdapat wajib retribusi yang belum merasakan manfaat atas pemungutan retribusi budidaya mutiara, tidak pernah ada sanksi yang dikenakan jika pengusaha budidaya mutiara tidak membayar retribusi budidaya mutiara, dan tidak terdapat kejelasan pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan izin usaha budidaya mutiara menyebabkan pemungutan retribusi budidaya mutiara tidak dapat dilakukan secara optimal sehingga realisasi penerimaan retribusi budidaya mutiara tidak dapat memenuhi target yang telah ditentukan. Pembahasan 1. Struktur Birokrasi, Karakteristik Lembaga dan Penguasa Koordinasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu belum berjalan dengan baik dan efektif karena masingmasing dinas hanya fokus pada SOP yang dimiliki sebagai panduan tugas pokok dan fungsi setiap dinas. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kepastian dan kejelasan pemerintah daerah yang berwenang untuk menerbitkan izin usaha budidaya mutiara. Dinas Kelautan dan Perikanan menyatakan tidak menerbitkan izin lokasi usaha budidaya mutiara per titik koordinat tetapi hanya memberikan surat rekomendasi yang ditujukan pada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu selanjutnya izin usaha budidaya mutiara tersebut diterbitkan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai badan yang bertugas menerbitkan izin di Kabupaten Lombok Barat sedangkan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu juga menyatakan tidak mempunyai kewenangan menerbitkan izin usaha budidaya mutiara karena tidak tercantum pada Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2012 mengenai Jenis Izin dan Persyaratan yang diterbitkan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lombok Barat sebagai SOP Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu. 2. Sumber Daya yang dilibatkan, Letak Pengambilan Keputusan, dan Pelaksana Program Keterlibatan sumber daya aparatur dalam pelaksanaan kebijakan pemungutan retribusi budidaya mutiara terdiri dari berbagai kelembagaan, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan,

12 12 Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu, Bupati Kabupaten Lombok Barat, serta Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain pihak-pihak yang disebutkan diatas sebagai pemerintah daerah inti yang langsung berhubungan dan mempunyai kepentingan pemungutan retribusi budidaya mutiara terdapat pihak-pihak eksternal yaitu Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Pertanahan yang memerlukan koordinasi terkait pemungutan retribusi budidaya mutiara agar tidak terjadi tarik menarik kepentingan antar dinas. Dinas Kelautan dan Perikanan kemudian membentuk tim pelaksana penagihan selaku bendahara penerima guna mensukseskan kebijakan tersebut. Keterlibatan para pengusaha budidaya mutiara juga sangat diharapkan dalam negosiasi pengenaan tarif agar tarif yang dikenakan tidak memberatkan dalam proses perkembangan usahanya. Selain ikut berpartisipasi dalam perumusan tarif, para pengusaha diharapkan dapat ikut berpartisipasi untuk meningkatkan iklim investasi di Kabupaten Lombok Barat. Pengambilan keputusan dalam perumusan tarif retribusi budidaya mutiara dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu terletak pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bupati Kabupaten Lombok Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat dengan pengusaha budidaya mutiara. Namun, terdapat wajib retribusi yang menyatakan bahwa dalam pertemuan dengan DPRD dan kepala daerah tersebut tidak diadakan negosiasi perumusan tarif retribusi budidaya mutiara namun tarifnya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh Bupati Kabupaten Lombok Barat lalu pada pertemuan tersebut para pengusaha hanya diberitahukan tarifnya tanpa negosiasi terlebih dahulu dan menyesuaikan dengan pendapatan perusahaan budidaya mutiara sehingga pengusaha budidaya mutiara tidak ikut berpartisipasi dalam perumusan tarif dan penentuan tarif tersebut hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah. Pertemuan secara rutin terkait perumusan tarif retribusi budidaya mutiara hendaknya dilakukan paling lama setiap tiga tahun sekali sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu perlu agar terdapat koordinasi antara pihak Dinas Kelautan dan Perikanan dengan pengusaha budidaya mutiara sehingga tarif yang dikenakan benar-benar disesuaikan setiap tiga tahun sekali sesuai kondisi usaha budidaya mutiara pada saat itu. 3. Komunikasi Kebijakan tentang pemungutan retribusi budidaya mutiara telah dibuat dan diundangkan didalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan

13 13 Tertentu. Kebijakan ini harus dikomunikasikan kepada para pejabat di tingkat bawah untuk kemudian dilaksanakan. Namun, selama ini pengusaha budidaya mutiara membayar pungutan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pungutan Hasil Perikanan, karena saat melakukan penagihan atau pemungutan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan masih menggunakan perda tersebut sehingga pemungutan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan bukan atas izin kegiatan usaha budidaya mutiara di laut yang dihitung berdasarkan titik koordinat, namun atas hasil usaha budidaya mutiara karena pengusaha budidaya mutiara memanfaatkan sumber daya alam di Kabupaten Lombok Barat. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pungutan Hasil Perikanan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena sudah dicabut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 157 Tahun 2007 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pungutan Hasil Perikanan namun Dinas Kelautan dan Perikanan belum mengetahui mengenai hal tersebut sehingga terdapat pengusaha budidaya mutiara yang menolak membayar pungutan tersebut karena dasar hukum yang menjadi acuan pemungutan retribusi budidaya mutiara sudah tidak berlaku. Para pengusaha budidaya mutiara menyatakan bahwa izin usaha budidaya mutiara yang dihitung berdasarkan titik koordinat yang dimiliki perusahaannya merupakan izin lama dan tidak pernah diperbaharui dengan melakukan registrasi ulang setiap tahun. Dinas Kelautan dan Perikanan tidak mengkomunikasikan bahwa dulu saat Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pungutan Hasil Perikanan masih berlaku memang tidak perlu perpanjangan izin usaha budidaya mutiara per titik koordinat karena pungutan dikenakan atas hasil usaha budidaya mutiara namun sekarang ketentuan yang berlaku sudah berbeda berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu pengusaha budidaya mutiara membayar retribusi budidaya mutiara sebesar 10 juta per titik koordinat saat pendaftaran ulang izin usaha budidaya mutiara per titik koordinat. Dinas Kelautan dan Perikanan mempunyai kesalahan karena tidak mencabut izin lokasi usaha budidaya mutiara per titik koordinat dan tidak menerbitkan izin baru saat pengusaha budidaya mutiara membayar retribusi budidaya mutiara 10 juta per titik koordinat sehingga pengusaha budidaya mutiara beranggapan jika sudah mempunyai izin lokasi usaha budidaya mutiara hanya perlu membayar setiap tahun atas hasil budidaya mutiara perusahaannya dan tidak perlu melakukan perpanjangan izin. Dinas Kelautan dan Perikanan dan pengusaha budidaya mutiara menegosiasikan tarif pemungutan retribusi budidaya mutiara sebesar 10 juta per titik koordinat namun tidak

14 14 mengetahui jika hasil negosiasi tersebut selanjutnya dibuat peraturan daerah sebagai dasar hukum pemungutan tersebut. Hal ini menunjukkan lemahnya komunikasi berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan harus melakukan sosialisasi kepada pengusaha budidaya mengenai peraturan daerah terbaru yang mengatur retribusi budidaya mutiara yaitu Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu agar pengusaha budidaya mutiara mengetahui konten kebijakan yang berlaku. Implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara sah dipungut karena terdapat peraturan daerah yang mengatur mengenai hal tersebut namun ada kesalahan persepsi pada pelaksanaannya. 4. Kepatuhan dan Daya Tanggap, Kecenderungan Pelaksana, serta Kekuasaan, Kepentingan, Strategi Aktor yang Terlibat Tanggapan pengusaha budidaya mutiara atas implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara cukup beragam. Tanggapan pengusaha budidaya mutiara atas tarif yang dikenakan dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara akan sangat mempengaruhi kecenderungan pengusaha budidaya mutiara untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah dengan membayar retribusi budidaya mutiara. PT. Budaya Mutiara sebagai perusahaan PMA asal Jepang merasa tidak keberatan dengan tarif yang dikenakan pada implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara, karena perusahaannya melakukan kegiatan usaha di wilayah Kabupaten Lombok Barat sehingga wajar jika dikenakan retribusi budidaya mutiara. Sejak berdiri PT. Budaya Mutiara selalu rutin membayar retribusi budidaya mutiara sebagai kewajibannya dan mendukung implementasi kebijakan pemungutan retribusi budidaya mutiara. Sebaliknya, PT. BGHM dan PT. PPLP yang merupakan perusahaan PMDN merasa keberatan dengan tarif yang dikenakan pada implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara karena kondisi usahanya sedang menurun dan tidak ada kontribusi yang diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan pada keberlangsungan perkembangan usahanya dengan membayar retribusi budidaya mutiara, serta dasar hukum peraturan daerah yang digunakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan sudah dicabut sehingga tidak berlaku lagi. Pada tahun 2013 hanya PT. Budaya Mutiara saja yang masih membayar retribusi budidaya mutiara, sedangkan PT. BGHM secara tegas menolak membayar retribusi budidaya mutiara. PT. PPLP sejak tahun 2013 justru tidak pernah ditagih retribusi budidaya mutiara oleh Dinas Kelautan

15 15 dan Perikanan karena dulu PT. PPLP bernama PT. Aneka selanjutnya berganti nama menjadi PT. PPLP namun Dinas Kelautan dan Perikanan menyatakan PT. PPLP belum terdaftar sedangkan PT. Aneka sedang kolaps sehingga tidak ditagih retribusi budidaya mutiara. Hasil penelitian dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa untuk untuk meningkatkan kepatuhan membayar retribusi budidaya mutiara maka seharusnya strategi yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengenakan sanksi. Namun, sampai dengan saat ini pemerintah daerah tidak pernah mengenakan sanksi apabila perusahaan budidaya mutiara tidak membayar retribusi budidaya mutiara karena pendapatan usaha budidaya mutiara yang sedang menurun disebabkan oleh berbagai faktor sehingga Dinas Kelautan dan Perikanan tidak terlalu memaksakan untuk mengenakan sanksi. Pemerintah daerah dapat memberikan keringanan atau insentif dengan mengurangi jumlah titik koordinat yang harus dibayar oleh perusahaan tersebut. Upaya memberikan keringanan atau insentif tersebut merupakan salah satu langkah baik yang ditempuh oleh pemerintah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan untuk mendapat pemasukan PAD walaupun tidak sesuai dengan yang ditargetkan sehingga meskipun perusahaan budidaya mutiara tidak mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk membayar retribusi budidaya mutiara sesuai jumlah titik koordinat yang dimiliki maka perusahaan tersebut masih tetap harus membayar sehingga tidak dikenakan sanksi dan tidak meningkatkan ketidakpatuhan serta kinerja Dinas Kelautan dan Perikanan masih dapat diandalkan sesuai azas good governance. 5. Kepentingan-Kepentingan yang dipengaruhi Tipe Manfaat, dan Derajat Perubahan Kebijakan pemungutan retribusi budidaya mutiara dalam rangka meningkatkan PAD di Kabupaten Lombok Barat mempengaruhi kepentingan banyak pihak, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah. Hasil pungutan retribusi budidaya mutiara yang dipungut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dari pengusaha budidaya mutiara kemudian akan disetorkan pada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah untuk meningkatkan PAD Kabupaten Lombok Barat. Pemungutan retribusi budidaya mutiara memiliki tujuan akhir yang jelas yaitu untuk meningkatkan PAD Kabupaten Lombok Barat. Namun, hal ini tidak sejalan dengan temuan di lapangan yang menunjukkan bahwa realisasi penerimaan PAD yang bersumber dari pungutan hasil perikanan tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Realisasi penerimaan retribusi budidaya mutiara selama satu tahun sampai dengan bulan Desember 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

16 16 Tabel 4 Realisasi Retribusi Budidaya Mutiara Kabupaten Lombok Barat s/d Bulan Desember 2013 Jenis Pungutan Pungutan Hasil Perikanan / Retribusi Budidaya Mutiara Target Retribusi Budidaya Mutiara Realisasi Retribusi Budidaya Mutiara Selisih Target dan Realisasi Rp ,00 Rp ,00 (Rp ,00) Sumber: Pendapatan Asli Daerah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat 2013 (Telah diolah kembali oleh peneliti) Berdasarkan data pada tabel 4, dapat terlihat bahwa realisasi penerimaan retribusi budidaya mutiara atau pungutan hasil perikanan pada tahun 2013 tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Pada tahun 2013, Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat menetapkan target sebesar Rp namun realisasinya hanya Rp Realisasi yang dicapai bahkan tidak mencapai setengah dari yang ditargetkan. Kondisi ini disebabkan karena menurunnya jumlah perusahaan budidaya mutiara, penghasilan perusahaan budidaya mutiara yang sedang menurun sehingga meminta keringanan, serta terdapat perusahaan yang menolak untuk membayar retribusi dengan alasan dasar hukum peraturan daerah yang digunakan untuk memungut retribusi sudah tidak berlaku padahal pemerintah daerah tidak mensosialisasikan peraturan daerah yang terbaru. Salah satu implikasi diterapkannya otonomi daerah yaitu jika realisasi PAD Dinas Kelautan dan Perikanan tidak mencapai target yang telah ditentukan maka kepala dinas yang bertugas dan menjabat saat itu dapat dipindahkan oleh bupati sehingga saat menduduki jabatannya beliau hanya fokus untuk mencapai target yang telah ditetapkan tanpa memperhatikan dasar hukum dan tujuan pungutan retribusi budidaya mutiara tersebut. Kebijakan pemungutan retribusi budidaya mutiara seharusnya dibuat atau didesain dengan pertimbangan jangka panjang agar keberlangsungan usaha budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat dapat terus berjalan untuk meningkatkan PAD di Kabupaten Lombok Barat. Pada implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara terdapat tarik-menarik kepentingan antara Dinas Perhubungan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan. Dinas Perhubungan juga ingin mengenakan pungutan karena merasa lahan yang digunakan untuk kegiatan usaha budidaya mutiara merupakan milik Dinas Perhubungan namun Dinas Perhubungan tidak mempunyai kewenangan untuk memungut retribusi budidaya mutiara karena tidak memberikan pelayanan pada pengusaha budidaya mutiara serta tidak mempunyai dasar hukum mengenai pungutan atas izin usaha kegiatan budidaya mutiara.

17 17 Hasil pungutan retribusi budidaya mutiara didalam APBD dianggarkan untuk membiayai pembangunan daerah Kabupaten Lombok Barat terutama pembangunan sarana dan prasarana di daerah lokasi usaha budidaya mutiara. Namun terdapat wajib retribusi yang menyatakan semua fasilitas untuk mendukung usahanya harus disediakan sendiri oleh perusahaan, bahkan saat musim hujan sulit sekali untuk mendapatkan akses menuju lokasi usaha budidaya mutiara. Banyaknya perusahaan budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat tentu menimbulkan perubahan pada masyarakat sekitarnya. Perusahaan tersebut dapat membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar. Pemungutan retribusi dibayar langsung oleh masyarakat yang menikmati pelayanan sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang diberikan dan pemerintah daerah sehingga penerimaan retribusi budidaya mutiara seharusnya digunakan untuk memperbaiki jalan serta fasilitas untuk mendukung kegiatan usaha budidaya mutiara. Dinas Kelautan dan Perikanan selaku dinas teknis langsung turun ke lapangan untuk membantu apabila terjadi kasus pencemaran lingkungan atau pencurian melalui kerjasama dengan pihak kepolisian setempat. Namun, terdapat wajib retribusi yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat tidak memberikan kontribusi apapun pada perkembangan usahanya. Tingkat pencurian di wilayah Kabupaten Lombok Barat masih tinggi, namun ketika terjadi kasus pencurian pihak Dinas Kelautan dan Perikanan selaku dinas teknis tidak cepat menanggapi dan memberi solusi bahkan akses dengan pihak kepolisian setempat dirasa masih sulit dan tidak cepat tanggap untuk mengusut pelakunya serta masih kurangnya upaya pencegahan yang dilakukan agar kasus serupa tidak terus terulang. Derajat perubahan yang diinginkan dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara agar dapat meningkatkan PAD Kabupaten Lombok Barat masih butuh usaha yang maksimal dari pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan dan fasilitas yang memadai untuk proses budidaya mutiara seperti sosialisasi isu lingkungan, kerjasama dengan pihak berwajib, kemudahan pengurusan izin untuk ekspor, serta pembangunan sarana dan prasarana di sekitar lokasi budidaya mutiara karena perusahaan mutiara memberikan kontribusi untuk PAD dan membuka lapangan pekerjaan sehingga pengusaha budidaya mutiara dapat langsung merasakan manfaat atas pemungutan retribusi budidaya mutiara. 6. Kendala-Kendala dalam Implementasi Pemungutan Retribusi Budidaya Mutiara dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.

18 18 Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan ditemukan kendala-kendala dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara adalah sebagai berikut: 1) Kurangnya sosialisasi yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan pada pengusaha budidaya mutiara sehingga pengusaha budidaya mutiara tidak mengetahui adanya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu. 2) Kurangnya koordinasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu sehingga terdapat ketidakjelasan pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan izin usaha budidaya mutiara. 3) Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan guna mengetahui bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan dan kendala-kendala yang dihadapi oleh pengusaha budidaya mutiara. Dinas Kelautan dan Perikanan juga harus melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian setempat untuk melakukan pengawasan agar kasus pencurian mutiara tidak sering terjadi sehingga dapat menyebabkan wajib retribusi mengalami kerugian dan merasa keberatan untuk membayar retribusi budidaya mutiara. 4) Lemahnya pengenaan sanksi pada pengusaha budidaya mutiara yang tidak membayar retribusi budidaya mutiara. 5) Pendapatan perusahaan budidaya mutiara sedang mengalami disebabkan karena pencurian mutiara, kondisi perairan, harga mutiara di pasaran, biaya operasional yang tinggi, dan bibit atau kerang mutiara yang tidak tersedia sehingga menyebabkan perusahaan budidaya mutiara tidak dapat berproduksi secara optimal dan mempengaruhi pendapatan usaha budidaya mutiara untuk membayar retribusi budidaya mutiara. Kesimpulan Implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara di Kabupaten Lombok Barat berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu belum berjalan dengan baik, hal ini terlihat dari realisasi penerimaan retribusi budidaya mutiara dalam meningkatkan PAD Kabupaten Lombok Barat tidak memenuhi target yang telah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan kendala yang dihadapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat dalam implementasi pemungutan retribusi budidaya mutiara adalah kendala sosialisasi, kurangnya koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu, kurangnya pengawasan

19 19 yang dilakukan, lemahnya pengenaan sanksi pada pengusaha budidaya mutiara yang tidak membayar retribusi budidaya mutiara, dan kendala pendapatan perusahaan budidaya mutiara yang sedang mengalami penurunan sehingga tidak bisa membayar retribusi budidaya mutiara. Saran 1. Dinas Kelautan dan Perikanan seharusnya memberikan sanksi secara tegas sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, sehingga ada efek jera bagi perusahaan yang tidak patuh terhadap aturan yang berlaku. 2. Perlunya Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan sosialisasi secara rutin baik aturan yang sudah ada maupun yang terbaru terkait dengan aturan yang berlaku pada pemungutan retribusi budidaya mutiara, sehingga masyarakat dapat memahami dan mengerti hak dan kewajiban yang harus dilakukan. 3. Perlunya Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan kerja sama dengan dinas terkait atau yang berkepentingan dengan pemungutan retribusi budidaya mutiara dalam melakukan pengawasan agar kegiatan atau aktivitas di lapangan atau lokasi budidaya mutiara dapat terkontrol sehingga ada sinergitas antara pemerintah dengan pelaku usaha dalam upaya meningkatkan pendapatan di bidang retribusi budidaya mutiara. 4. Perlunya koordinasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu sehingga dapat memperjelas kewenangan pihak mana yang berhak menerbitkan izin usaha budidaya mutiara. 5. Perlunya Dinas Kelautan dan Perikanan berperan aktif dalam memberikan pembinaan serta fasilitasi dengan pihak luar kepada para pengusaha terutama dalam hal penyediaan bibit untuk keberlangsungan produksi mutiara sehingga dapat meningkatkan hasil budidaya mutiara dalam rangka peningkatan pendapatan daerah. Daftar Referensi BUKU Edwards, George C. (1980). Implementing Public Policy. Michigan: Congressional Quarterly Press. Grindle S, Merilee. (1980). Politics and Policy Implementation in The Third World. New Jersey: Priceton University Press. Nugroho, Riant. (2011). Public Policy (Edisi Revisi Ketiga), Jakarta: PT. Elex Komputindo Kelompok Gramedia.

20 Subarsono, AG. (2005). Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. JURNAL Lutfi, Achmad (2006). Penyempurnaan Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Suatu Upaya Dalam Optimalisasi Penerimaan PAD, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi: Bisnis & Organisasi, Volume XIV, Nomor 1, Januari 2006, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,. PUBLIKASI ELEKTRONIK Budidaya Mutiara di Lombok Barat Diduga Tidak Bayar Retribusi. (8 September 2011). diakses pada tanggal 26 November PERATURAN Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Bupati Nomor 13 Tahun 2012 mengenai Jenis Izin dan Persyaratan yang Diterbitkan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lombok Barat. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pungutan Hasil Perikanan. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu. LAIN-LAIN Dinas Perikanan dan Kelautan Nusa Tenggara Barat. (2012). Buku Profil Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lobar Mataram: Dinas Perikanan dan Kelautan Nusa Tenggara Barat. 20

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI RETRIBUSI PARKIR DI TEPI JALAN UMUM

IMPLEMENTASI RETRIBUSI PARKIR DI TEPI JALAN UMUM 141 IMPLEMENTASI RETRIBUSI PARKIR DI TEPI JALAN UMUM Dwi Nursepto dan Yoserizal FISIP Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293 Abstract: Implementation Parking Levy

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SUBJEK PAJAK DAN KONTRIBUSI PAJAK ATAS PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH DI KOTA BATU

ANALISIS POTENSI SUBJEK PAJAK DAN KONTRIBUSI PAJAK ATAS PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH DI KOTA BATU ANALISIS POTENSI SUBJEK PAJAK DAN KONTRIBUSI PAJAK ATAS PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH DI KOTA BATU (Studi Tentang Kontribusi Pajak Atas Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah Terhadap PAD Pada Dinas

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA MPANAU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA MPANAU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA MPANAU KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI Muh. Rifai Sahempa irahmidar@yahoo.com (Mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Publik Pascasarjana

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya Oleh : Imronah*) Abstraksi Eugene Bardach dalam tulisannya mengatakan bahwa penulis yang lebih awal memberikan perhatian terhadap masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN KEGIATAN PENGEMBANGAN IKLIM PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya pada

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan zaman yang diikuti dengan adanya perubahan otonomi daerah, telah merubah paradigma penyelenggaraan pemerintah di daerah mengenai kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Lombok Barat merupakan daerah tujuan wisata di kawasan Provinsi NTB dan merupakan daerah yang diberikan hak otonomi untuk mengelola daerahnya sendiri baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas pada kemampuan keuangan daerah. Artinya daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber

Lebih terperinci

ANALISIS PAJAK REKLAME DI KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

ANALISIS PAJAK REKLAME DI KABUPATEN PURWOREJO PERIODE ANALISIS PAJAK REKLAME DI KABUPATEN PURWOREJO PERIODE 2012-2016 Arum Kusumaningdyah Adiati, Diessela Paravitasari, Trisninik Ratih Wulandari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Surakarta Email : adiati_rk@yahoo.com

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI... HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... KATA PENGANTAR... ABSTRAK...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI... HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI... HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... i ii iii iv v ix x xi DAFTAR

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP TATA CARA PEMBERIAN DAN PEMANFAATAN INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

TINJAUAN TERHADAP TATA CARA PEMBERIAN DAN PEMANFAATAN INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TINJAUAN TERHADAP TATA CARA PEMBERIAN DAN PEMANFAATAN INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Sumber ilustrasi : apaperbedaan.blogspot.com A. PENDAHULUAN Pengelolaan pajak dan retribusi yang

Lebih terperinci

BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pada tahun 2014 APBD Kabupaten Berau menganut anggaran surplus / defisit. Realisasi anggaran Pemerintah Kabupaten Berau dapat terlihat dalam tabel berikut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 12 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH 197 STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH Jufrizal dan Sujianto FISIP Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293 Abstract: Revenue Improvement Strategies. This

Lebih terperinci

BAB VII PERANCANGAN PROGRAM

BAB VII PERANCANGAN PROGRAM BAB VII PERANCANGAN PROGRAM Mardiasmo dan Makhfatih (2000) mengatakan bahwa potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI DINAS PENDAPATAN DAERAH KOTA MANADO JANWAR BINGKU PATAR RUMAPEA MARTHA OGOTAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI DINAS PENDAPATAN DAERAH KOTA MANADO JANWAR BINGKU PATAR RUMAPEA MARTHA OGOTAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI DINAS PENDAPATAN DAERAH KOTA MANADO JANWAR BINGKU PATAR RUMAPEA MARTHA OGOTAN Abstract tax has a role in the execution of development because

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan daerah otonom yang luas serta bertanggung jawab. Tiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemungutan serta pengelolaan pajak dibagi menjadi dua yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah suatu pajak yang dikelola dan dipungut oleh Negara,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah yang sesuai dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

APBD KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANGGARAN 2018

APBD KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANGGARAN 2018 APBD KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANGGARAN 2018 1. Tema pembangunan tahun 2018 : Meningkatnya Pelayanan Publik yang Berkualitas Menuju Kota Yogyakarta yang Mandiri dan Sejahtera Berlandaskan Semangat Segoro Amarto.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan.

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah pada dasarnya adalah upaya untuk mengembangkan kemampuan ekonomi daerah untuk menciptakan kesejahteraan dan memperbaiki kehidupan material secara adil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat kepada negara. Dari pajak ini, nantinya akan digunakan negara untuk membiayai kegiatan pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan Pemerintah dalam penerapan otonomi daerah, memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat mengurus dan mengatur sendiri urusan di daerahnya. Otonomi daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana yang kita ketahui pajak merupakan salah satu sumber penerimaan utama bagi negara yang dibayarkan oleh masyarakat. Pajak juga sebagai iuran pemungutan

Lebih terperinci

1. NAMA JABATAN: Direktur Pendapatan dan Kapasitas Keuangan Daerah.

1. NAMA JABATAN: Direktur Pendapatan dan Kapasitas Keuangan Daerah. LAMPIRAN IV KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KM.1/2016 TENTANG URAIAN JABATAN STRUKTURAL DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 1. NAMA JABATAN: Direktur Pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai masalah, potensi, aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat di daerah, karena

Lebih terperinci

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KAB. GROBOGAN TAHUN ANGGARAN 2005 TAHUN 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 1 TAHUN 2005

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KAB. GROBOGAN TAHUN ANGGARAN 2005 TAHUN 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 1 TAHUN 2005 ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KAB. GROBOGAN TAHUN ANGGARAN 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 1 ABSTRAK : a. Bahwa sesuai dengan arah kebijakan umum APBD serta strategi dan prioritas

Lebih terperinci

BUPATI PAMEKASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BUPATI PAMEKASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI PAMEKASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PARTISIPASI PIHAK KETIGA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PARTISIPASI PIHAK KETIGA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PARTISIPASI PIHAK KETIGA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONE, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah menghantarkan bangsa Indonesia memasuki suasana kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah perbaikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengelola pembangunan di daerah tanpa adanya kendala struktural yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

PERAN KEPALA DAERAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH

PERAN KEPALA DAERAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PERAN KEPALA DAERAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH Oleh : I Putu Eka Sanjaya Pembimbing : I Nyoman Gatrawan Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract This paper

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem

Lebih terperinci

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010 Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan Nomor, tanggal 11/PMK.07/2010 25 Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya guna mewujudkan aspirasi masyarakat

Bab 1 PENDAHULUAN. kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya guna mewujudkan aspirasi masyarakat Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah adalah lembaga yang dibentuk untuk mewujudkan cita-cita masyarakat suatu bangsa, membuat dan melaksanakan keputusan bersama untuk mencapai cita-cita tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. ini ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 1 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pajak pusat menjadi pajak daerah, merupakan langkah strategis dalam dalam pelaksanaan desentralisasi

Lebih terperinci

BUPATI PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 3 Agustus 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B 1/B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan tata cara pemerintahan terwujud dalam bentuk pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Konsekuensi

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN. NOMOR : 6 Tahun 2012 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN. NOMOR : 6 Tahun 2012 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 6 Tahun 2012 TENTANG PARTISIPASI PIHAK KETIGA DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia, akan tetapi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 PENERIMAAN SUMBANGAN PIHAK KETIGA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 PENERIMAAN SUMBANGAN PIHAK KETIGA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 SERI E NOMOR 5 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENERIMAAN SUMBANGAN PIHAK KETIGA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU KABUPATEN

Lebih terperinci

PENGARUH DESENTRALISASI BPHTB TERHADAP PENERIMAAN DAERAH KABUPATEN BADUNG. Komang Yogi Wirasatya Made Yenni Latrini

PENGARUH DESENTRALISASI BPHTB TERHADAP PENERIMAAN DAERAH KABUPATEN BADUNG. Komang Yogi Wirasatya Made Yenni Latrini PENGARUH DESENTRALISASI BPHTB TERHADAP PENERIMAAN DAERAH KABUPATEN BADUNG Komang Yogi Wirasatya Made Yenni Latrini 1 Fakultas Ekonomi Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia email: yogi.wirasatya@yahoo.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. Efektivitas strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN

V. SIMPULAN DAN SARAN V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan data dan analisa yang dilakukan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Efektivitas organisasi Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJM-D) KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2008-2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN MANAJEMEN PEMUNGUTAN RETRIBUSI PASAR PADA DINAS KEBERSIHAN PERTAMANAN DAN PASAR KABUPATEN ROKAN HILIR

ANALISIS PELAKSANAAN MANAJEMEN PEMUNGUTAN RETRIBUSI PASAR PADA DINAS KEBERSIHAN PERTAMANAN DAN PASAR KABUPATEN ROKAN HILIR ANALISIS PELAKSANAAN MANAJEMEN PEMUNGUTAN RETRIBUSI PASAR PADA DINAS KEBERSIHAN PERTAMANAN DAN PASAR KABUPATEN ROKAN HILIR Ernawati Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dan paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara adil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah mencanangkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah pembangunan nasional. Pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau, yang menjadi salah satu pertimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan serta pembangunan nasional menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

ANALISIS PENERIMAAN RETRIBUSI PARKIR DALAM RANGKA MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Kediri)

ANALISIS PENERIMAAN RETRIBUSI PARKIR DALAM RANGKA MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Kediri) ANALISIS PENERIMAAN RETRIBUSI PARKIR DALAM RANGKA MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Kediri) Sisca Yulia Murpratiwi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG Menimbang: a. ATAS RAHMAT ALLAH YANG

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi)

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi) Disampaikan dalam Konsultasi Publik Rancangan Awal RPJMD Kab. Gunungkidul 2016-2021 RABU, 6 APRIL 2016 OUT LINE REALISASI (2011 2015) a. Pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa Otonomi Daerah

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, pencapaian tujuan pembangunan nasional diprioritaskan untuk terwujudnya Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi BAB V KESIMPULAN Provinsi NTB merupakan daerah yang menjanjikan bagi investasi termasuk investasi asing karena kekayaan alam dan sumber daya daerahnya yang melimpah. Provinsi NTB dikenal umum sebagai provinsi

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sekarang ini, Indonesia sedang

Bab 1. Pendahuluan. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sekarang ini, Indonesia sedang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sekarang ini, Indonesia sedang mengusung program pembangunan yang besar. Pembangunan yang besar itu dinamakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Obligasi Daerah, Kewenangan, Pemerintahan Daerah. viii

ABSTRAK. Kata Kunci: Obligasi Daerah, Kewenangan, Pemerintahan Daerah. viii KEPASTIAN HUKUM KEWENANGAN DAN PENGAWASAN PENERBITAN OBLIGASI DAERAH DI PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PERIZINANN TERTENTU

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PERIZINANN TERTENTU PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PERIZINANN TERTENTU I. PENJELASAN UMUM Undang-Undang Dasar 1945 memiliki semangat pemberlakuan asas desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan (urusan) dari pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR

Lebih terperinci

Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Tahun 2013 Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013

Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Tahun 2013 Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 Tahun 2013 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 1 ABSTRAK : a. Bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan uraian pada Bab I sampai dengan Bab VI, disusun simpulan dan rekomendasi berikut ini: 7.1. Simpulan Kebijakan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 97 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG A.A.Ayu Dewi Larantika Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisip Universitas Warmadewa agungdewilarantika@gmail.com ABSTRACT This paper

Lebih terperinci