VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO. Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO. Abstrak"

Transkripsi

1 VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO Abstrak Pemerintah Kabupaten Situbondo masih belum menetapkan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Untuk itu sebelum program agropolitan dilaksanakan perlu dikaji terlebih dahulu tingkat keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo dari lima dimensi keberlanjutan. Penelitian meggunakan mentode analisis Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut Rap-BANGKAPET dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Untuk mengetahui atribut yang sensitif berpengaruh terhadap indeks dan status keberlanjutan dan pengaruh galat dilakukan analisis Leverage dan Monte Carlo. Untuk menyusun skenario peningkatan status keberlanjutan ke depan dilakukan analisis prospektif. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa dimensi ekologi berada pada status kurang berkelanjutan (46.50 %), dimesi ekonomi cukup keberkelanjutan (69.53 %), dimensi sosial budaya cukup berkelanjutan (55.14 %), dimensi infrastruktur dan teknologi kurang berkelanjutan (45.48 %), serta dimensi hukum dan kelembagaan kurang berkelanjutan (47.46 %). Dari 73 (tujuh puluh tiga) atribut yang dianalisis, 24 (dua puluh empat) atribut yang perlu segera ditangani karena sensitif berpengaruh terhadap peningkatan indeks dan status keberlanjutan dengan tingkat galat (error) yang sangat kecil pada taraf kepercayaan 95 %. Dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario yang perlu dilakukan adalah skenario progresif-optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif dalam peningkatan status kawasan. Kata kunci: indeks dan status keberlanjutan, agropolitan, Kabupaten Situbondo Abstract Government of Situbondo Region has not determine Situbondo being develop as an agropolitan area, yet. Before implementing agropolitan policy, sustainability analysis was needed to know how far this concept could sustain at Situbondo. The aim of this research is to analyze the sustainability status by measuring sustainability index of Situbondo area in five dimensions of sustainability. Reseach methods used Multidimensional Scaling (MDS) that called Rap-BANGKAPET. RAP-BANGKAPET supported with Leverage and Monte Carlo analysis to determine attributes that affects the index and status of sustainability. Sustainability analysis resulted ecological dimension was less sustained (46.50%), economical dimension was sustained (69.53%), social and cultural dimension was sustained enough (55.14%), infrastructure and technology

2 147 dimension was less sustained (45.48%), legal and institutional dimension less sustained (47.46%). From 73 attributes which analysed, only 24 attributes will need to settle immediately because could affects sustainability index sensitively, proven with minimum error at 95% confidence level. Prospective analysis is needed to build scenarios to increase sustainability index and sustainability status in future. There is progressive-optimistic scenarios with overall improvement at sensitive attributes could increase sustainability status of agropolitan area. Keywords: sustainability index, sustainability status, agropolitan, Situbondo Region 7.1. Pendahuluan Program pengembangan kawasan agropolitan yang menekankan pada aspek agribisnis berbasis pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan belum banyak diselenggarakan pada berbagai daerah di Indonesia. Sumberdaya peternakan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Hal ini, menurut Saragih (2000) didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, kegiatan peternakan relatif bersifat tidak tergantung pada ketersediaan lahan dan tidak terlalu menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi. Kedua, kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes. Ketiga, produk peternakan merupakan produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat, sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai suatu sistem agribisnis, akan mampu menciptakan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan, mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, dan kegiatan jasa terkait tranportasi, perbankan, dan lain-lain. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan pengelolaan peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan kelestarian ekologi (Saragih dan Sipayung 2002). Diharapkan dengan

3 148 menerapkan pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan, dapat meningkatkan pendapatan petani/peternak dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja dan memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, patuh hukum serta berfungsinya kelembagaan peternakan. Dengan demikian, diperlukan penelitian yang komprehensif untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan. Sejalan dengan program pembangunan ekonomi nasional bidang pertanian, subsektor peternakan memiliki peranan penting dalam upaya mendukung program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Sub sektor Peternakan berpotensi besar untuk dikembangkan tidak hanya sebagai penghasil daging, susu, dan telur yang merupakan komponen penting dalam rantai pangan modern serta sumber protein hewani yang bernilai tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non pangan seperti penyerapan tenaga kerja, penyediaan tenaga kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), kotoran ternak yang dapat mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern seperti pupuk dan gas, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian fungsi lingkungan (Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo dari lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial dan budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, dan dimensi hukum dan kelembagaan. Dengan mengetahui status keberlanjutan wilayah dari lima dimensi, akan memudahkan dalam melakukan perbaikanperbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan wilayah terutama pada dimensi keberlanjutan dengan status yang lebih rendah guna mendukung pengembangan kawasan agropolitan ke depan. Hasil penelitian pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ini diharapkan dapat merubah paradigma pembangunan daerah yang selama ini hanya dijadikan sebagai halaman belakang menjadi

4 149 pembangunan perdesaan yang berkelanjutan yang setara dengan kota dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pertanian/peternakan dengan memberdayakan masyarakat lokal Metode Analisis Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo a. Jenis dan Sumber data Jenis data yang diperlukan dalam analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan adalah data primer berupa atribut-atribut yang terkait dengan lima dimensi keberlanjutan pembangunan yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, serta hukum dan kelembagaan. Data primer dapat bersumber dari para responden dan pakar yang terpilih, serta hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan topik penelitian ini. c. Metode Analisis Data c.1. Analisis Multidimensional Scaling (MDS) Analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan dilakukan dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan Rap-BANGKAPET yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Analisis keberlanjutan ini, dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Terpadu (ikb-bangkapet).

5 150 Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: a) Penentuan atribut pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan secara berkelanjutan yang mencakup lima dimensi yaitu: ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, serta hukum dan kelembagaan; b) Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; dan c) Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi ekologi antara lain: a) Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik. b) Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak. c) Sistem pemeliharaan ternak. d) Lahan (kesuburan tanah). e) Tingkat pemanfaatan lahan. f) Agroklimat dan daya dukung pakan. g) Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah (IPAL) agroindustri hasil ternak h) Kebersihan kandang. i) Ketersediaan rumah potong hewan (RPH). j) Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah (IPAL) rumah potong hewan (RPH). k) Jenis pakan ternak. l) Kuantitas limbah peternakan. m) Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk. n) Kejadian kekeringan. o) Fekuensi kejadian banjir. p) Curah hujan. q) Kondisi prasarana jalan usahatani. r) Kondisi prasarana jalan desa.

6 151 Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi ekonomi antara lain: a) Keuntungan (profit) dalam usaha budidaya peternakan. b) Kontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB). c) Kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). d) Rataan penghasilan peternak relatif terhadap UMR Provinsi Jatim. e) Rataan penghasilan peternak relatif terhadap total pendapatan. f) Transfer keuntungan. g) Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan. h) Ketersediaan agroindustri peternakan i) Kelayakan finansial budidaya peternakan j) Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 tahun terakhir). k) Ketersediaan industri pakan l) Ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis (STA). m) Besarnya subsidi. n) Persentase penduduk miskin. o) Harga komoditas ternak. p) Jumlah tenaga kerja pertanian. q) Jenis komoditas unggulan. r) Kelayakan usaha agroindustri peternakan. s) Tingkat ketergantungan konsumen. Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi sosial budaya antara lain: a) Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok. b) Jumlah rumah tangga peternakan. c) Pertumbuhan rumah tangga peternakan. d) Pengetahuan terhadap lingkungan. e) Tingkat penyerapan tenaga kerja bidang agroindustri peternakan. f) Frekuensi konflik. g) Partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan. h) Peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan. i) Frekuensi penyuluhan dan pelatihan. j) Tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian.

7 152 k) Alternatif usaha selain usaha agribisnis peternakan. l) Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindusri peternakan. m) Alokasi waktu yang digunakan usaha agroindustri peternakan. n) Jumlah desa dengan penduduk bekerja di sub sektor peternakan. Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi teknologi antara lain: a) Penyebaran tempat pelayanan pos kesehatan hewan (Poskeswan). b) Penyebaran tempat pos pelayanan inseminasi buatan (IB). c) Penggunaan vitamin dan probiotik untuk memacu pertumbuhan ternak. d) Teknologi pakan. e) Teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri peternakan. f) Teknologi pengolahan hasil produk peternakan. g) Teknologi informasi dan transportasi. h) Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis. i) Ketersediaan infrastrukur/sarana dan prasarana umum. j) Tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan. k) Ketersediaan teknologi informasi peternakan. l) Standarisasi mutu produk peternakan. Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi hukum dan kelembagaan antara lain: a) Koperasi tani ternak. b) Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan. c) Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. d) Kelompok tani ternak. e) Ketersediaan lembaga sosial. f) Ketersediaan lembaga keuangan mikro (bank/kredit). g) Ketersediaan Lembaga Penyuluhan Pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). h) Ketersediaan Badan Pengelola Kawasan Agropolitan.

8 153 Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 3 atau tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari yang buruk (0) sampai baik (3). Tabel 41 berikut menyajikan atribut-atribut dan skor yang digunakan untuk menilai keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan pada setiap dimensi. Tabel 41 Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Budaya Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Dimensi Hukum dan Kelembagaan Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi terdapat pada Tabel 42. Tabel 42 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-BANGKAPET Nilai Indeks Kategori Buruk Kurang Cukup Baik

9 154 Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0 % (buruk) dan 100 % (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50 % (> 50 %), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50 % (<50 %). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 18. Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti pada Gambar 19. Buruk Baik 0% 50% 100% Gambar 18 Ilustrasi indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sebesar 50 % (berkelanjutan) Dimensi Ekologi Dimensi Hukum dan Kelembagaan Dimensi Ekonomi Dimensi Infrastruktur/Teknologi Dimensi Sosbud Gambar 19. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan

10 155 Untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan dilakukan analisis sensivitas dengan melihat bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengembangan kawasan agropolitan. Dalam analisis tersebut di atas akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan tingginya nilai stress, yaitu nilai stress dapat diterima jika nilai < 25 % (Kavanagh 2001). Untuk mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi pengembangan kawasan agropolitan digunakan analisis Monte Carlo. c.2. Analisis Prospektif Analisis prospektif dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor dominan yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor diberikan skor oleh pakar dengan menggunakan pedoman penilaian analisis prospektif seperti pada Tabel 43. Tabel 43 Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan Skor Keterangan Skor Keterangan 0 Tidak ada pengaruh 2 Berpengaruh sedang 1 Berpengaruh kecil 3 Berpengaruh sangat kuat

11 156 Adapun pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut: a) Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai 0. b) Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3. c) Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, dan berpengaruh sedang = 2. Pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks seperti Tabel 44 berikut ini. Tabel 44 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan Dari Terhadap A B C D E F G A B C D E F G Kemungkinan-kemungkinan masa depan yang terbaik dapat ditentukan berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari beberapa faktor-faktor atau elemen-elemen yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo yang menuntut untuk segera dilaksanakan tindakan. Adapun cara menemukan elemen kunci dapat dilihat seperti Gambar 20 berikut ini.

12 157 Penentuan Elemen Kunci P E N G A R U H Faktor Penentu INPUT Fakor Bebas UNUSED Faktor Penghubung Faktor Terikat QUTPUT KETERGANTUNGAN Gambar 20 Penentuan elemen kunci pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan Hasil analisis berbagai faktor atau variabel seperti pada Gambar 20 di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada: a. kuadran I berupa INPUT, memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variabels) yang paling kuat dalam sistem. b. Kuadran II berupa STAKES, memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variables). Faktor pada kuadran ini dianggap peubah yang kuat. c. Kuadran III (OUTPUT), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi. d. Kuadran IV (UNUSED), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan kecil (rendah).

13 158 Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan faktor-faktor tersebut sebagai alternatif penyusun skenario pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. Selanjutnya disusun skenario pengembangan kawasan agropolitan yang mungkin terjadi di masa depan dapat berupa konservatif-pesimistik, moderat-optimistik, dan progresif-optimistik Hasil dan Pembahasan Analisis Status dan Skenario Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo Dalam penelitian pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo, penentuan indeks keberlanjutan kawasan ditetapkan pada lima dimensi keberlanjutan, yatu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan dengan atribut dan nilai skoring hasil pendapat pakar pada Lampiran 9. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap-BANGKAPET (MDS) diperoleh nilai indeks kberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi hukum dan kelembagaan sebesar % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar % dengan status cukup cukup berkelanjutan, dan dimensi ekonomi % dengan status cukup berkelanjutan. Agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekologi. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi existing wilayah. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap- BANGKAPET seperti pada Gambar 21 dan Lampiran 9.

14 159 Dimensi Kelembagaan (47,46 %) Dimensi Ekologi (46,50 %) Dimensi Ekonomi (69,53 %) Dimensi Teknologi (45,48 %) Dimensi Sosial-Budaya (55,14 %) Gambar 21 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo a. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri atas 20 (dua puluh) atribut, yatu; (1) pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik, (2) pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, (3) sistem pemeliharaan ternak, (4) lahan (kesuburan tanah) (5) tingkat pemanfaatan lahan, (6) agroklimat, (7) daya dukung pakan, (8) ketersediaan IPAL agroindustri ternak, (9) kebersihan kandang, (10) ketersediaan rumah potong hewan (RPH), (11) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah (IPAL) rumah potong hewan (RPH), (12) jenis pakan ternak, (13) ketersediaan lahan untuk pakan, (14) kuantitas limbah peternakan, (15) jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk, (16) kejadian kekeringan, (17) frekuensi kejadian banjir, (18) curah hujan, (19) kondisi prasarana jalan usahatani, dan (20) kondisi prasarana jalan desa. Berdasarkan Gambar 21 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar % termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 7 (tujuh) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks

15 160 keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: (1) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah rumah potong hewan (RPH), (2) ketersediaan rumah potong hewan (RPH), (3) kebersihan kandang, (4) ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak, (5) kuantitas limbah peternakan, (6) daya dukung pakan, dan (7) jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 22. Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: (1) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah di rumah potong hewan (RPH) masih belum tersedia, sehingga perlu disediakan karena pembuangan limbah pemotongan ternak pada saat ini yang langsung dibuang ke sungai akan menimbulkan pencemaran dan gangguan kesehatan bagi masyarakat pengguna sungai tersebut. (2) ketersediaan rumah potong hewan (RPH) masih sangat terbatas (di lokasi penelitian hanya tersedia satu unit dan termasuk type C). Pada masa yang akan datang jumlah ketersediaan rumah potong hewan perlu ditingkatkan jumlahnya demikian juga kategorinya ditingkatkan menjadi type B sesuai dengan jumlah pemotongan ternak dan target pasar yang dituju. (3) kebersihan kandang belum sepenuhnya diperhatikan oleh peternak. Kotoran ternak dibiarkan menumpuk di kandang beberapa hari sebelum dikumpulkan di suatu tempat dan kadang-kadang keadaan di dalam kandang sampai becek. Kondisi ini akan menyebabkan gangguan lingkungan dan kesehatan penduduk. Hal ini perlu dipikirkan secepatnya agar kebersihan kandang dijaga setiap saat, sehingga kesehatan ternak lebih terjamin dan produktivitas ternak bisa optimal. Penyuluhan kepada peternak sangat diperlukan untuk selalu menjaga kebersihan kandang, agar kekhawatiran seperti hal tersebut di atas dapat dicegah. (4) ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak masih belum tersedia, sehingga perlu disediakan mulai sekarang karena pembuangan limbah agroindustri hasil ternak yang sembarangan akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan bagi masyarakat sekitarnya. (5) kuantitas atau jumlah limbah peternakan (feses) pada umumnya cukup banyak dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan atau dikelola untuk pupuk organik. Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik di daerah ini belum memasyarakat, karena petani sebagian besar lebih menyukai menggunakan pupuk anorganik (pupuk buatan)

16 161 dibandingkan pupuk organik/pupuk kandang. Kelemahan pupuk organik (pupuk kandang), seperti: a) kandungan hara pupuk kandang yang rendah, b) jumlah pupuk organik yang dibutuhkan sangat banyak akan menyulitkan bagi transportasi dan pemberian sehingga kurang ekonomis, c) perhitungan dosis tidak bisa tepat dan respon tanaman lebih lambat dibanding pupuk buatan, d) mudah terurai habis di daerah tropika, dan e) pupuk organik dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman. Kekurangan yang dimiliki pupuk organik tersebut di atas mengakibatkan beberapa petani lebih menyukai menggunakan pupuk buatan. Pemberian pengertian dan penyuluhan serta sosialisasi pemanfaatan pupuk organik kepada petani harus segera dilakukan tentang manfaat dan keunggulan penggunaan pupuk organik baik dari segi ekonomi maupun perbaikan mutu lingkungan dan kesuburan tanah. (6) daya dukung pakan pada saat ini masih berada pada posisi aman dan cukup tersedia. Dalam rangka pengembangan ternak ruminansia, daya dukung pakan harus tetap dipertahankan agar ternak yang dibudidayakan dapat berkembang secara maksimal. Limbah pertanian, seperti: jerami padi, jagung, kacang tanah, dan pucuk tebu serta limbah agroindustri (dedak padi, tongkol jagung, ampas tahu, bungkil kelapa, ampas tebu, dan ampas kecap) yang cukup tersedia di daerah ini, telah membantu daya dukung pakan berada pada posisi aman. (7) jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk perlu diperhatikan. Kandang ternak yang berkumpul dengan tempat tinggal atau terlalu dekat dengan rumah penduduk akan mengganggu kesehatan masyarakat demikian juga bau yang ditimbulkan, sehingga mengganggu kenyamanan penduduk. Kondisi ini perlu diantisipasi, misalnya dengan cara membikin kandang kolektif yang jaraknya terpisah dari tempat pemukiman dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penduduk, sehingga efek yang akan ditimbulkan seperti hal tersebut di atas dapat dikurangi dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan. Pembuatan kandang kolektif lebih memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak (feses), pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Dengan demikian jika setiap atribut tersebut dikelola dengan baik, maka indeks keberlanjutan dimensi ekologi di masa yang akan datang akan lebih meningkat lagi statusnya.

17 162 Analisis Leverage Dimensi Ekologi Kondisi prasarana jalan desa Kondisi prasarana jalan usahatani Curah hujan Frekuensi kejadian banjir Kejadian kekeringan 0,768 0,550 0,686 0,578 0,637 Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman Kuantitas limbah peternakan 2,894 3,100 Ketersediaan lahan untuk pakan Jenis pakan ternak 2,00 Atribut Ketersediaan instalasi pengolahan limbah RPH Ketersediaan rumah potong hewan (RPH) Kebersihan kandang Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak 3,472 3,429 3,415 3,307 Daya dukung pakan 2,959 Agroklimat Tingkat pemanfaatan lahan Lahan (kesuburan tanah) Sistem pemeliharaan 1,800 1,931 2,093 1,677 Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak 1,118 Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik 1, Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 22 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 19 (sembilan belas) atribut yang meliputi:(1) keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan, (2) kontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB), (3) kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) untuk bidang pertanian, (4) rataan penghasilan peternak relatif terhadap upah minimum regional (UMR) Provinsi Jatim, (5) rataan penghasilan peternak relatif terhadap total pendapatan, (6) transfer keuntungan, (7) pasar produk agroindustri peternakan, (8) ketersediaan agroindustri peternakan (9) kelayakan finansial, (10) perubahan nilai APBD

18 163 bidang peternakan (5 tahun terakhir), (11) ketersediaan indusri pakan, (12) ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis, (13) besarnya subsidi, (14) persentase penduduk miskin, (15) harga komoditas ternak, (16) jumlah tenaga kerja pertanian, (17) jenis komoditas unggulan, (18) kelayakan usaha agroindustri ternak, dan (19) tingkat ketergantungan konsumen. Berdasarkan Gambar 23 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi adalah sebesar % termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: (1 ) ketersediaan agroindustri peternakan, (2) pasar produk agroindustri peternakan. (3) ketersediaan industri pakan, (4) ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis (STA). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 23. Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: (1) ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini sangat minim, kalaupun ada hanya sebatas home industri (industri rumah tangga), seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya terbatas. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan pada umumnya dalam bentuk produk primer peternakan yaitu: anak sapi (pedet), daging, telur, dan susu, sedangkan produk olahan hasil ternak (produk sekunder peternakan sangat sedikit. Jumlah agroindustri peternakan yang belum berkembang, mengakibatkan kontribusi dari subsektor peternakan belum optimal dalam memberikan sumbangan PDRB terhadap daerah Kabupaten Situbondo. Kondisi ini harus segera diperbaiki dengan cara membangun beberapa agroindustri peternakan (misalnya: pabrik pengolahan daging segar/corned beef, sosis, dendeng, pabrik penyamakan kulit, dan pembuatan pupuk organik) di beberapa tempat agar wilayah ini cepat berkembang dan maju dengan subsektor peternakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi; (2) pasar produk agroindustri peternakan masih bersifat lokal. Hal ini disebabkan, ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini sangat minim/sedikit. Kondisi ini harus diperbaiki dan

19 164 ditingkatkan, dengan cara membangun beberapa agroindustri peternakan dan menciptakan kondisi yang mendukung serta meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana agribisnis/infrastruktur penunjang yang lebih baik sehingga pembeli dari beberapa daerah datang ke Kabupaten Situbondo untuk membeli produkproduk agroindustri peternakan. (3) ketersediaan industri pakan di wilayah ini masih belum tersedia. Peternak dalam memberikan pakan pada umumnya mengandalkan pakan yang terdapat di sekitar tempat tinggal. Peternak sapi potong, misalnya memanfaatkan rumput alam yang banyak tumbuh di padang penggembalaan, kebun, hutan, dan memanfaatkan limbah pertanian serta limbah agroindustri pertanian yang cukup tersedia di wilayah ini. Ketergantungan pada rumput alam ini akan menghadapi kendala pada saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia. Dengan adanya industri pakan ternak di wilayah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak di daerah sendiri, selebihnya bisa dipasarkan ke beberapa daerah, dan selain itu dapat menyerap tenaga kerja setempat serta memberikan multiplier effek terhadap wilayah ini, sehingga industri pakan dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada masyarakat maupun daerah. (4) ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis (STA) hanya terbatas di wilayah tertentu, sehingga peternak agak kesulitan dalam memasarkan ternaknya. Peternak dalam memasarkan ternaknya masih banyak menjual lewat pedagang perantara. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang diperoleh dalam usaha ternak sedikit berkurang, karena peternak tidak bisa menentukan harga yang lebih layak dan umumnya pedagang perantara membeli di bawah harga pasar. Keadaan ini harus diperbaiki dengan cara menambah pasar ternak di daerah-daerah yang padat ternak dan membuka industri pemotongan ternak serta sistem penjualan ternak sebaiknya berdasarkan per kilogram bobot badan ternak, sehingga peternak lebih mudah menjual ternaknya dan keuntungan yang diperoleh lebih optimal.

20 165 Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Atribut Tingkat ketergantungan konsumen Kelayakan usaha agroindustri Jenis komoditas unggulan Jumlah tenaga kerja pertanian Harga komoditas ternak Persentase penduduk miskin Besarnya subsidi Ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis Industri pakan ternak Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 Thn terakhir) Kelayakan finansial budidaya peternakan Ketersediaan agroindustri peternakan Pasar produk agroindustri peternakan Transfer keuntungan Rataan penghasilan peternak relatif thd total pendapatan Rataan penghasilan peternak relatif thd UMR Prov. Jatim Kontribusi terhadap PAD bidang pertanian Kontribusi terhadap PDRB Keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan 1,347 1,489 1,175 0,348 0,418 1,043 1,237 0,732 0,929 0,721 0,605 0,110 0,611 2,036 2,286 2,676 2,931 3,672 4, Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 23 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial budaya berjumlah 14 (empat belas), yaitu: (1) pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok, (2) jumlah rumah tangga peternakan, (3) pertumbuhan rumah tangga peternakan, (4) pengetahuan terhadap lingkungan, (5) tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan, (6) frekuensi konflik, (7) partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan, (8) peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan, (9) frekuensi penyuluhan dan pelatihan, (10) tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian, (11) alternatif usaha selain usaha agribisnis peternakan, (12 jumlah penduduk yang bekerja di agroindustri peternakan, (13) alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan, dan (14) jumlah desa dengan penduduk bekerja di sektor peternakan.

21 166 Berdasarkan Gambar 24 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya adalah sebesar % termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: (1) tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan, (2) peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan, (3) jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan, (4) alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan, dan (5) partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: (1) tingkat penyerapan tenaga kerja di bidang agroindustri peternakan di wilayah ini sangat sedikit. Hal ini disebabkan ketersediaan agroindustri peternakan belum berkembang dan peran masyarakat juga masih rendah dalam penyediaan agroindustri peternakan. Dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang agroindustri peternakan, peran pemerintah, BPP, lembaga keuangan mikro, dan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ketersediaan agroindustri peternakan. Dengan adanya agroindustri peternakan, maka nilai tambah dari agribisnis peternakan menjadi lebih optimal dan dapat memacu kemajuan wilayah lebih cepat dan memberikan sumbangan PDRB pada daerah lebih tinggi. (2) peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan yang relatif rendah selama ini perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agroindustri peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat dalam bidang usaha agroindustri peternakan mengakibatkan ketersediaan agroindustri jumlahnya sangat sedikit yang pada akhirnya berdampak terhadap jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan juga masih sedikit. Keterkaitan antara ketersediaan agroindustri, peran masyarakat, jumlah penduduk yang terlibat, partisipasi keluarga serta alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi. (3) jumlah penduduk yang bekerja di usaha bidang agroindustri peternakan saat ini masih sedikit.

22 167 Dalam rangka meningkatkan keterserapan tenaga kerja di bidang agroindustri peternakan, ketersediaan agroindustri sangat mutlak diperlukan. Dengan adanya agroindustri peternakan nilai tambah dari produk peternakan akan menjadi lebih maksimal. (4) alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan masih rendah. Hal ini disebabkan ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini masih terbatas. Dengan adanya agroindustri peternakan akan menarik masyarakat lebih menekuni usahanya, sehingga masyarakat lebih banyak terlibat dalam usaha ini. (5) partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan di daerah ini masih rendah. Keadaan ini supaya dirubah dan diperbaiki serta untuk masa yang akan datang agar ditingkatkan dengan jalan mengajak seluruh keluarga untuk berpartsipasi dalam pengelolaan usaha agroindustri peternakan, sehingga usaha agribisnis peternakan di daerah ini semakin maju dan pesat. Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Jumlah desa dengan penduduk kerja di sektor peternakan 1,109 Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan Jumlah penduduk yang bekerja di agroindustri peternakan 1,712 1,790 Alternatif usaha selain usaha peternakan Tingkat penyerapan tenaga kerja peternakan 0,674 0,902 Frekuensi penyuluhan dan pelatihan 1,280 Atribut Peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan Partisipasi keluarga dalam usaha agoindustri peternakan 1,507 3,037 Frekuensi konflik 0,119 Tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan 3,326 Pengetahuan terhadap lingkungan 0,229 Pertumbuhan rumah tangga peternak 0,791 Jumlah rumah tangga peternak Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok 0,170 0, Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 24 Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)

23 168 Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi berjumlah 12 (dua belas) atribut, yaitu: (1) penyebaran tempat pelayanan pos kesehatan hewan (Poskeswan), (2) penyebaran tempat pos pelayanan inseminasi buatan (IB), (3) penggunaan vitamin dan probiotik untuk memacu pertumbuhan ternak, (4) teknologi pakan, (5) teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak, (6) teknologi pengolahan hasil produk peternakan, (7) teknologi informasi dan transportasi, (8) ketersediaan bangunan agroindustri peternakan, (9) ketersediaan infrastruktur/sarana prasarana umum, (10) tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan, (11) ketersediaan teknologi informasi peternakan, dan (12) standarisasi mutu produk peternakan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, yaitu: (1) teknologi pengolahan hasil produk peternakan, (2) teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak, (3) ketersediaan bangunan agroindustri peternakan, dan (4) ketersediaan infrastruktur/sarana dan prasarana umum. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, yaitu: (1) teknologi pengolahan hasil produk peternakan di daerah ini masih belum berkembang dan bersifat sederhana, seperti: pembuatan dendeng, abon, dan bakso yang dilakukan dalam skala kecil dan jumlahnya tidak banyak, sehingga ke depan perlu ditingkatkan agar dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi usaha agribisnis peternakan. (2) teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak masih belum berkembang dan masyarakat hanya sebagian kecil saja memanfaatkan limbah peternakan sebagai pupuk organik. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang teknologi pengolahan limbah peternakan dan pemanfaatannya untuk pupuk organik perlu sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat dan keuggulan penggunaan

24 169 pupuk organik baik dari segi ekonomi maupun perbaikan mutu lingkungan. (3) ketersediaan bangunan agroindustri peternakan, seperti: (bangunan industri pengolahan daging, kulit, pupuk organik, industri pakan, dan lain sebagainya) perlu ditingkatkan ketersediaannya dan aktifitasnya. Dengan tersedianya bangunan agroindustri peternakan, maka jenis produk peternakan yang dihasilkan akan meningkat menjadi produk olahan hasil ternak (produk sekunder). Pembangunan dan ketersediaan agoindustri peternakan sangat dibutuhkan dalam memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi pelaku usaha budidaya peternakan dan dapat memberikan dampak ekonomi yang positif terhadap mayarakat yang mempunyai kegiatan dalam bidang agroindustri dan agribisnis peternakan. (4) ketersediaan infrastruktur/sarana dan prasarana umum sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah. Aksesibilitas beberapa desa di wilayah ini sudah tersedia, namun ada beberapa desa yang hanya tersedia jalan tanah dengan perkerasan pasir dan batu seadanya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pembangunan infrastruktur jalan sebagai sarana yang vital untuk perkembangan wilayah masih perlu ditingkatkan, jika tidak akan menyebabkan biaya tinggi. Analisis Leverage Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Standarisasi mutu produk peternakan Ketersediaan teknologi informasi peternakan Tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan 0,888 0,849 1,006 Ketersediaan infrastruktur/sarana dan prasarana umum 3,193 Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis 4,055 Atribut Teknologi informasi dan transportasi Teknologi pengolahan hasil produk peternakan 1,202 4,864 Teknologi pengolahan limbah peternakan dan agroindustri ternak 4,381 Teknologi pakan Penggunaan vitamin dan probiotik Penyebaran tempat pos pelayaan inseminasi buatan Penyebaran tempat pelayanan Poskeswan 1,110 1,261 1,012 1, Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 25 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)

25 170 Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan berjumlah 8 (delapan) yaitu: (1) koperasi tani ternak, (2) perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan, (3) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, (4) kelompok tani ternak, (5) ketersediaan lembaga sosial, (6) lembaga keuangan mikro (bank/kredit), (7) lembaga penyuluhan pertanian/balai Penyuluhan Pertanian (BPP), dan (8) badan pengelola kawasan agropolitan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: (1) lembaga penyuluhan pertanian/balai Penyuluhan Pertanian (BPP), (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro (bank/kredit), (3) badan pengelola kawasan agropolitan, dan (4) koperasi tani ternak. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: (1) lembaga penyuluhan pertanian/balai Penyuluhan Pertanian (BPP), lembaga penyuluhan pertanian sudah terdapat di daerah ini, namun demikian perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar dapat secara bertahap mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan. Penyuluhan kepada peternak tentang kebersihan kandang dan pengolahan limbah peternakan menjadi pupuk organik sangat mendesak untuk segera ditindaklanjuti. Masyarakat perlu diberi pemahaman mengenai beberapa keunggulan pemanfaatan/penggunaan pupuk organik/pupuk kandang, seperti: pupuk organik dapat menambah unsur-unsur hara tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, menambah kemampuan tanah dalam menahan air, meingkatkan biologi tanah, meningkatkan ph tanah menjadi netral, meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara mikro, dan pupuk organik tidak menimbulkan polusi lingkungan. Demikian juga BPP harus dapat

26 171 meningkatkan peran masyarakat dalam ketersediaan bidang usaha agroindustri peternakan. Adanya beberapa agroindustri peternakan di wilayah ini akan banyak menyerap tenaga kerja yang terlibat dan dengan adanya agroindustri peternakan, maka nilai tambah dari agribisnis peternakan menjadi lebih optimal dan dapat memacu kemajuan wilayah lebih cepat dan memberikan sumbangan PDRB pada daerah lebih tinggi. (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro (LKM) di daerah ini sangat sedikit yang khusus untuk menyediakan dana kegiatan usaha peternakan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk lebih mempermudah dalam pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. Dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return). (3) ketersediaan badan pengelola kawasan agropolitan sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Badan ini berperan antara lain: a) merumuskan program, kebijakan operasional, dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan; b) mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan master plan, program, dan melaksanakan program kawasan agropolitan; c) menumbuh kembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan; (4) koperasi tani ternak merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingan peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersamasama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

27 172 Analisis Leverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan Badan pengelola kawasan agropolitan 0,639 Lembaga penyuluhan pertanian/bpp 2,349 Ketersediaan lembaga keuangan mikro 1,158 Attribute Ketersediaan lembaga sosial Kelompok tani Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah 0,056 0,027 0,264 Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan 0,191 Koperasi ternak sapi potong 0, Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 26 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) Status Keberlanjutan Multidimensi Hasil analisis Rap-BANGKAPET multidimensi keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangankawasan agropolitan berbasis peternakan berdasarkan kondisi eksisting, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 51,66 % dan termasuk dalam status cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 73 (tujuh puluh tiga) atribut dari lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur/teknologi, dan hukum/kelembagaan. Hasil analisis multidimensi dengan Rap-BANGKAPET mengenai keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropoltan berbasis peternakan dapat dilihat pada Gambar 27.

28 173 Gambar 27 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Situbondo Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo pada taraf kepercayaan 95 %, menunjukkan hasil yang tidak mengalami perbedaan dengan hasil Rap-BANGKAPET (multidimensional scaling = MDS). Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 45.

29 174 Tabel 45 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan Analisis Rap-BANGKAPET Dimensi Keberlanjutan MDS Monte Carlo Perbedaan Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya Infrastruktur/Teknologi Hukum/Kelembagaan Multidimensi Hasil analisis Rap-BANGKAPET menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 11 % sampai 20 % dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh berkisar antara 0.93 dan 0.94 Hal ini sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0.25 (25 %) dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) mendekati nilai 1.0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46 Hasil analisis Rap-BANGKAPET untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R 2 ) Parameter A B C D E F Stress R Iterasi Keterangan: A = Dimensi Ekologi, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Sosial Budaya, D = Dimensi Infrastruktur - Teknologi, E = Dimensi Hukum-Kelembagaan, dan F = Multidimensi

30 Skenario Strategi Pengembangan Wilayah untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu yang Berkelanjutan Strategi pengembangan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu dilakukan menggunakan analisis prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: (1) mengidentifikasi faktor kunci di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya. Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis diambil dari faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 24 faktor (atribut) yang sensitif dan selanjutnya diajukan kepada pakar untuk dinilai dan selanjutnya dianalisis prospektif. Hasil analisis prospektif diperoleh 7 (tujuh) faktor kunci seperti tertera pada Gambar 28. Tabel 47 Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo No. Faktor Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi (7 faktor kunci) 1. Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah rumah potong hewan (RPH). 2. Ketersediaan rumah potong hewan (RPH). 3. Kebersihan kandang. 4. Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak. 5. Kuantitas limbah peternakan. 6. Daya dukung pakan. 7. Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman. Dimensi Ekonomi (4 faktor kunci) 8. Ketersediaan agroindustri peternakan. 9. Pasar produk agroindustri peternakan. 10. Ketersediaan industri pakan. 11. Ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis.

31 176 Dimensi Sosial Budaya (5 faktor kunci) 12. Tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan. 13. Peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan. 14. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan. 15. Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan. 16. Partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan. Dimensi Infrastruktur - Teknologi (4 faktor kunci) 17. Teknologi pengolahan hasil produk peternakan. 18. Teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak. 19. Ketersediaan bangunan agroindustri peternakan. 20. Ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana umum. Dimensi Hukum-Kelembagaan (4 faktor kunci) 21. Lembaga penyuluhan pertanian/balai Penyuluhan Pertanian (BPP). 22. Ketersediaan lembaga keuangan mikro (Bank/Kredit). 23. Badan pengelola kawasan agropolitan. 24. Koperasi tani ternak. Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan antar faktor diperoleh 7 (tujuh) faktor kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor tidak terlalu kuat, yaitu: (1) Ketersediaan agroindustri peternakan. (2) Ketersediaan rumah potong hewan (RPH). (3) Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan. (4) Koperasi tani ternak. (5) Pasar produk agroindustri peternakan. (6) Ketersediaan bangunan agroindustri peternakan. (7) Ketersediaan industri pakan. Dengan demikian ketujuh faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa yang akan datang agar terwujud pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.

32 177 Ketersediaan industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging sapi, industri pengolahan kulit, dan industri pupuk organik akan membutuhkan bahan baku ternak sapi potong yang cukup banyak, selain itu juga akan membutuhkan dan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak di kawasan ini, membutuhkan ketersediaan rumah potong hewan yang memadai serta industri pakan ternak. Keberadaan industri hasil ternak ini juga akan mempengaruhi pasar produk hasil peternakan dan berdampak banyak (multiplier effects) terhadap perkembangan kawasan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Oleh sebab itu, ketersediaan industri pengolahan hasil ternak sangat membantu kawasan ini dalam rangka memajukan pertumbuhan kawasan dan meningkatkan PDRB daerah ini. Keberadaan industri pengolahan hasil ternak juga akan meningkatkan agribisnis komoditas unggulan lokalita, yang saling mendukung dan menguatkan termasuk industri kecil, pengolahan hasil, jasa pemasaran dan agrowisata dengan mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, secara efisien dan ekonomis, sehingga tidak ada limbah yang terbuang atau yang yang tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (usaha pertanian terpadu tanpa limbah). Peternak dalam memberikan pakan pada umumnya masih mengandalkan pakan yang terdapat di sekitar tempat tinggal. Peternak sapi potong, misalnya memanfaatkan rumput alam yang banyak tumbuh di padang penggembalaan, kebun, hutan, dan memanfaatkan limbah pertanian serta limbah agroindustri pertanian yang cukup tersedia di wilayah ini. Ketergantungan pada rumput alam ini akan menghadapi kendala pada saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia. Dengan adanya industri pakan ternak di wilayah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak di daerah sendiri, selebihnya bisa dipasarkan ke beberapa daerah, dan selain itu dapat menyerap tenaga kerja setempat serta memberikan multiplier effects

33 178 terhadap wilayah ini, sehingga industri pakan dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada masyarakat maupun daerah. Dalam rangka membangun kawasan agropolitan berbasis peternakan yang maju, kehadiran koperasi sangat dibutuhkan untuk memudahkan masyarakat mencari suntikan dana/modal, menampung produk agroindustri peternakan dan memasarkannya, serta lebih mempermudah dalam pelayanan pembiayaan kegiatan ekonomi mikro masyarakat setempat. Koperasi yang terbentuk sebaiknya merupakan upaya kesadaran dan partisipasi dari masyarakat dalam menjalankan program pengembangan untuk kepentingannya sendiri. Pada pola ini masyarakatlah yang memilki inisiatif dan berperan penuh pada kegiatankegiatan mereka, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan dari rasa tanggungjawab dari masyarakat itu sendiri. Langkah awal dari pembentukan koperasi ini harus ada pendampingan, pengorganisasian, dan pemberdayaan masyarakat. Gambar 28 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN The Status of Livestock-Based Regional Sustainability in Situbondo Regency for Agropolitan

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 1907-1760 Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat The Sustainability

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 133 VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 8.1. Pendahuluan Kabupaten Gowa mensuplai kebutuhan bahan material untuk pembangunan fisik, bahan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 43 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kawasan Minapolitan Bontonompo yang mencakup 5 (lima) kecamatan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

BAB V. kelembagaan bersih

BAB V. kelembagaan bersih 150 BAB V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1 Analisis Dimensional Analisis keberlanjutan pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta mencakup empat dimensi yaitu dimensi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan bidang penelitian.

Lebih terperinci

Kata Kunci : Kedelai, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Produktivitas, Pendapatan, Keberlanjutan

Kata Kunci : Kedelai, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Produktivitas, Pendapatan, Keberlanjutan Judul : Analisis Keberlanjutan Usahatani Kedelai melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kabupaten Jember Peneliti : Titin Agustina 1 Mahasiswa Terlibat : Dewina Widyaningtyas 2 Sumberdana :

Lebih terperinci

Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Bondowoso

Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Bondowoso Jurnal Peternakan Indonesia, Juni 2014 Vol. 16 (2) ISSN 1907-1760 Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Bondowoso Sustainability Status

Lebih terperinci

VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI

VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI Sumbu Y setelah Rotasi: Skala Sustainability Attribute VI. STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI 6. Keberlanjutan Rawa Lebak Masing-masing Dimensi Analisis status keberlanjutan pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu kegiatan pembangunan yang menjadi skala prioritas karena dapat memenuhi kebutuhan protein hewani yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Penetapan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan mempunyai potensi yang memungkinkan untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2006 sampai bulan Oktober 2006. Penelitian dilakukan di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 55 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tingkat Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo 5.1.1. Persepsi Masyarakat Kabupaten Gowa merupakan salah satu Kabupaten penghasil budidaya perikanan darat dan payau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah AGRIBISNIS Sessi 3 MK PIP Prof. Rudi Febriamansyah AGRIBISNIS Agribisnis dalam arti sempit (tradisional) hanya merujuk pada produsen dan pembuat bahan masukan untuk produksi pertanian Agribisnis dalam

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN 39 III. METODOLOGI KAJIAN 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan ekonomi lokal merupakan usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi I. PENDAHULUAN.. Latar Belakang Dalam era otonomi seperti saat ini, dengan diberlakukannya Undang- Undang No tahun tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi sesuai dengan keadaan dan keunggulan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan mulai bulan Februari 2011 hingga Oktober 2011. Lokasi penelitian dilakukan di 3 kabupaten yaitu Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk baik pada tingkat nasional maupun wilayah provinsi. Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan membangun

I. PENDAHULUAN. maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan membangun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional karena memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun secara tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara terutama negara yang bercorak agraris seperti Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani dan berbagai keperluan industri. Protein

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN AGROPOLITAN PERPAT BELITUNG

EVALUASI KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN AGROPOLITAN PERPAT BELITUNG EVALUASI KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN AGROPOLITAN PERPAT BELITUNG Hariyadi *, Catur Herison **, Edi Suwito *** * Staf Pengajar Fakultas pertanian IPB, e-mail : - ** Staf Pengajar Fakultas pertanian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Aquatic Science & Management, Vol. 1, No. 2, 188-192 (Oktober 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00042

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk PENGANTAR Latar Belakang Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga yang berbasis pada keragaman bahan pangan asal ternak dan potensi sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

VI KESIMPULAN DAN SARAN

VI KESIMPULAN DAN SARAN 237 VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, model kebijakan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dalam mendukung pengembangan kawasan agropolitan di

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor utama yang menunjang perkembangan perekonomian Indonesia. Pada saat ini, sektor pertanian merupakan sektor penghasil devisa bagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari

Lebih terperinci

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG

KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG Rohmad Budiono 1 dan Rini Widiati 2 1 Balai Pengkajian Teknoogi Pertanan Jawa Timur 2 Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Status Keberlanjutan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kaliorang Keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang dianalisis dengan model MDS. Nilai indeks

Lebih terperinci

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pertanian terpadu (Integrated Farming System) merupakan integrasi antara tanaman dan ternak yaitu dengan perpaduan dari kegiatan peternakan dan pertanian. Dengan

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN A. KONDISI UMUM Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan

Lebih terperinci

Hermanto (1993 ; 4), menyebutkan bahwa pembangunan pertanian termasuk didalamnya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan,

Hermanto (1993 ; 4), menyebutkan bahwa pembangunan pertanian termasuk didalamnya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembagunan pertanian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan dasar yang kokoh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor pertanian, sektor ini meliputi aktifitas pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Agribisnis Sering ditemukan bahwa agribisnis diartikan secara sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK Sebagai usaha sampingan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga VI. ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Ketersediaan Input Dalam mengusahakan ternak sapi ada beberapa input yang harus dipenuhi seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi beternak babi di Indonesia kebanyakan berasal dari negaranegara sub tropis yang sering kali membutuhkan biaya pemeliharaan yang tinggi. Teknologi beternak babi

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi BAB III ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 3.1 Permasalahan Pembangunan 3.1.1 Permasalahan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan masih diharapkan pada permasalahan. Adapun

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tantangan utama pembangunan peternakan sapi potong dewasa ini adalah permintaan kebutuhan daging terus meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang cukup penting di dalam proses pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Produk peternakan merupakan sumber protein hewani. Permintaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan

Lebih terperinci

6 STATUS KEBERLANJUTAN PENYEDIAAN AIR BERSIH DI PULAU TARAKAN

6 STATUS KEBERLANJUTAN PENYEDIAAN AIR BERSIH DI PULAU TARAKAN 6 STATUS KEBERLANJUTAN PENYEDIAAN AIR BERSIH DI PULAU TARAKAN 6.1 Status Keberlanjutan Penyediaan Air Bersih Dalam penelitian penyediaan air bersih di Pulau Tarakan, penentuan indeks keberlanjutan kawasan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Sawah Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat sosial.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 (SUATU SUMBANG SARAN PEMIKIRAN) Oleh: Suharyanto PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 3.1. Visi dan Misi Sanitasi Visi merupakan harapan kondisi ideal masa mendatang yang terukur sebagai arah dari berbagai upaya sistematis dari setiap elemen dalam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP PENULIS... KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP PENULIS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP PENULIS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... ABSTRACT...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan I. PENDAHULUAN A. Maksud dan Tujuan Rencana Kerja (Renja) Dinas Peternakan Kabupaten Bima disusun dengan maksud dan tujuan sebagai berikut : 1) Untuk merencanakan berbagai kebijaksanaan dan strategi percepatan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai, Provinsi Banten, serta di wilayah sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan Mei September

Lebih terperinci

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN Sistem Produksi Pertanian/ Peternakan Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Pembangunan peternakan rakyat (small farmers) di negara yang sedang

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK Susy Edwina, Dany Varian Putra Fakultas Pertanian Universitas Riau susi_edwina@yahoo.com

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN PERBATASAN PULAU SEBATIK, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN PERBATASAN PULAU SEBATIK, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ANALISIS KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN PERBATASAN PULAU SEBATIK, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Sustainability Analysis of Cocoa Smallholders in the Border Area of Sebatik

Lebih terperinci

EVALUASI STATUS KEBERLANJUTAN AGROPOLITAN PONCOKUSUMO, MALANG, JAWA TIMUR A. Faruq Hamdani 1, Benny Joy 2, dan E.

EVALUASI STATUS KEBERLANJUTAN AGROPOLITAN PONCOKUSUMO, MALANG, JAWA TIMUR A. Faruq Hamdani 1, Benny Joy 2, dan E. EVALUASI STATUS KEBERLANJUTAN AGROPOLITAN PONCOKUSUMO, MALANG, JAWA TIMUR A. Faruq Hamdani 1, Benny Joy 2, dan E. Kusnadi Wikarta 2 1 ABSTRAK Kawasan Agropolitan Poncokusumo merupakan salah satu kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kesadaran manusia akan kesehatan menjadi salah satu faktor kebutuhan sayur dan buah semakin meningkat. Di Indonesia tanaman sawi merupakan jenis sayuran

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp)

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp) BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2009 3.1. Program dan Kegiatan Dinas Pertanian Tahun 2008 Program yang akan dilaksanakan Dinas Pertanian Tahun 2008 berdasarkan Prioritas Pembangunan Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT) bab empat PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE- NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT) Pendahuluan Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa dekade yang lalu paradigma pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik tanpa diikuti pembangunan ekonomi sosial dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini pertanian organik menjadi suatu bisnis terbaru dalam dunia pertanian Indonesia. Selama ini produk pertanian mengandung bahan-bahan kimia yang berdampak

Lebih terperinci