STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN"

Transkripsi

1 STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Dear Rahmatullah Ramadhan NIM H

4 ABSTRAK DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN. Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dibimbing oleh NINDYANTORO. Kabupaten Bondowoso merupakan daerah yang berpotensi untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong perlu dilakukan penetapan status keberlanjutan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso dari lima dimensi keberlanjutan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Penetapan status keberlanjutan menggunakan metode analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong (Rap-AGROSAPOT) dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Atribut sensitif berpengaruh pada indeks keberlanjutan dan pengaruh error ditentukan berdasarkan hasil analisis Leverage dan uji Monte Carlo. Penentuan faktor kunci keberlanjutan diperoleh berdasarkan hasil analisis prospektif. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa dimensi ekologi (41.61%) dan infrastruktur-teknologi (47.05%) berstatus kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi (57.73%) dan sosial-budaya (58.05%) berstatus cukup berkelanjutan serta dimensi hukum-kelembagaan (75.46%) berstatus baik. Sebanyak 70 atribut yang dianalisis, 24 atribut sensitif perlu diperbaiki karena berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis prospektif menghasilkan lima faktor kunci keberlanjutan wilayah, antara lain: ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan; sistem pemeliharaan ternak; ketersediaan pasar agroindustri peternakan; ketersediaan industri pakan; dan koperasi ternak sapi potong. Faktor kunci tersebut harus segera diperbaiki agar Kabupaten Bondowoso layak dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong. Kata kunci: sapi potong, keberlanjutan, agropolitan, Kabupaten Bondowoso ABSTRACT DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN. Sustainability Status Beef Cattle Ranch area in the Bondowoso Regency for Regional Development Agropolitan. Supervised by NINDYANTORO. Bondowoso Regency is a potential area for development agropolitan based beef cattle farms. Before the development of a region-based beef cattle Agropolitan necessary to the determination of the status of the area of sustainability. This study aim to analyze the status of the sustainability index and the Bondowoso Regency area of the five dimensions of sustainability for development agropolitan. Determination of the status of sustainability analysis using Multidimensional Scaling (MDS) with Rapid Appraisal approach

5 Agropolitan Beef Cattle (Rap-AGROSAPOT) and the results are expressed in terms of sustainability indexes and status. Sensitive attributes affect the sustainability index and the effect of the error is determined based on the analysis Leverage and Monte Carlo test. Determination of key sustainability factors obtained by prospective analysis. Sustainability analysis results showed that the ecological dimension (41.61%) and infrastructure-technology (47.05%) less sustainable status, the economic dimension (57.73%) and socio-cultural (58.05%) as well as the status of sustainable enough legal-institutional dimension (75.46%) good status. 70 attributes that were analyzed, 24 sensitive attributes need to be repaired because of an effect on increasing the sustainability index value. Results of a prospective analysis produced five key factors of sustainability areas, among others: availability of facilities and infrastructure agribusiness farm; livestock rearing systems; availability of agro-livestock market; availability of feed industry, and cooperative cattle. The key factors to be corrected in order to be developed into a viable regency agropolitan-based beef cattle farms. Keywords: cattle beef, sustainability, agropolitan, Bondowoso Regency

6 RINGKASAN Pembangunan pertanian harus mampu bersinergi dengan tujuan pembangunan wilayah perdesaan, yaitu meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui pengembangan kawasan potensial berbasiskan perdesaan sebagai pusat pertumbuhan dengan merubah perdesaan menjadi kota-kota pertanian atau dikenal dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Kabupaten Bondowoso merupakan daerah yang berpotensi untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong perlu dilakukan penetapan status keberlanjutan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso dari lima dimensi keberlanjutan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Penetapan status keberlanjutan menggunakan metode analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong (Rap-AGROSAPOT) dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Atribut sensitif berpengaruh pada indeks keberlanjutan dan pengaruh error ditentukan berdasarkan hasil analisis Leverage dan uji Monte Carlo. Penentuan faktor kunci keberlanjutan diperoleh berdasarkan hasil analisis prospektif. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa dimensi ekologi (41.61%) dan infrastruktur-teknologi (47.05%) berstatus kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi (57.73%) dan sosial-budaya (58.05%) berstatus cukup berkelanjutan serta dimensi hukum-kelembagaan (75.46%) berstatus baik. Sebanyak 70 atribut yang dianalisis, 24 atribut sensitif perlu diperbaiki karena berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis prospektif menghasilkan lima faktor kunci keberlanjutan wilayah, antara lain: ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan; sistem pemeliharaan ternak; ketersediaan pasar agroindustri peternakan; ketersediaan industri pakan; dan koperasi ternak sapi potong. Faktor kunci tersebut harus segera diperbaiki agar Kabupaten Bondowoso layak dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong.

7 STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8 Judul Skripsi : Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan Nama : Dear Rahmatullah Ramadhan NIM : H Disetujui oleh Ir. Nindyantoro, MSP Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah keberlanjutan peternakan sapi potong, dengan judul Status Keberlanjutan Wilayah Berbasiskan Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Drh. Lilik Sulistyowati selaku Kepala Bagian Peternakan Kabupaten Bondowoso dan kepada para pihak yang telah membantu selama pengumpulan data penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2013 Dear Rahmatullah Ramadhan

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...viii DAFTAR GAMBAR.... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Ruang Lingkup Penelitian... 4 II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kawasan Agropolitan Pendekatan Agribisnis Pembangunan Usaha Peternakan Berkelanjutan... 6 III KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional IV METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data Teknik Penentuan Responden Metode Analisis Data V GAMBARAN UMUM Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Bondowoso Gambaran Umum Peternakan Sapi Potong Kabupaten Bondowoso VI HASIL DAN PEMBAHASAN Status Keberlanjutan Wilayah Analisis Prospektif Pengembangan Kawasan Agropolitan VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran... 52

11 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 64

12 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Jenis dan sumber data penelitian Penentuan teknik pengambilan contoh dan jumlah responden Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-AGROSAPOT Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-AGROSAPOT Hasil analisis Rap-AGROSAPOT untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R 2 )... 43

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Lingkup pembangunan agribisnis peternakan Usaha agribisnis peternakan ramah lingkungan Kerangka pemikiran status keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong untuk pengembangan kawasan agropolitan Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Bondowoso Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan... 47

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 13 Nilai skor dimensi keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso Nilai Indeks lima dimensi keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso Hasil analisis tingkat kepentingan atribut-atribut yang berpengaruh pada sistem yang dikaji Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bondowoso... 64

15

16 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian harus mampu bersinergi dengan tujuan pembangunan wilayah perdesaan, yaitu meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui pengembangan kawasan potensial berbasiskan perdesaan sebagai pusat pertumbuhan dengan merubah perdesaan menjadi kota-kota pertanian atau dikenal dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan salah satu pilihan strategis yang tepat. Agropolitan diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitar (Deptan 2002). Kabupaten Bondowoso merupakan daerah agraris. Beberapa tahun terakhir lahan pertanian di kabupaten itu menghadapi permasalahan serius, yaitu berkurangnya ketersediaan pasokan air dari sungai-sungai irigasi sebagai sumber pengairan lahan pertanian. Permasalahan ini terjadi karena kerusakan hutan di daerah hulu sungai. Petani yang sebelumnya mampu bercocok tanam sepanjang tahun (3 kali per tahun), saat ini hanya mampu bercocok tanam sebanyak 1-2 kali dalam setahun. Berkurangnya aktivitas bercocok tanam mengurangi penerimaan para petani. Untuk mengatasi hal itu banyak petani yang beternak secara tradisional (ekstensif) maupun semi intensif dalam rangka peningkatan penerimaan. Antusiasme masyarakat Kabupaten Bondowoso sangat tinggi terhadap sub-sektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong (Sapi Simental, Hereford, Limousin, Brahman, Brangus, dan Peranakan Onggole). Keuntungan dari usaha ternak sapi potong cukup menjanjikan jika dibandingkan dengan keuntungan dari bercocok tanam. Selain itu, harga sarana produksi pertanian yang semakin meningkat dan ketersediaan lahan pertanian yang semakin berkurang membuat usaha ternak sapi potong semakin menarik untuk dilakukan. Populasi ternak sapi potong dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mulai dari tahun menunjukkan peningkatan, yaitu: , , dan ekor (BPS Kabupaten Bondowoso 2012).

17 2 Di Kabupaten Bondowoso peternakan sapi potong mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal tersebut, didasarkan pada enam fakta di lapangan. Pertama, permintaan pasar terhadap komoditas peternakan khususnya ternak sapi potong cukup tinggi. Hal ini tercermin oleh banyaknya ternak sapi potong yang dikirim keluar daerah setiap tahunnya. Kedua, potensi lahan yang tersedia dan ketersediaan sumber pakan sangat mendukung untuk pengembangan usaha peternakan. Ketiga, budaya masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan. Keempat, kesesuaian kondisi agroklimat. Kelima, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik. Keenam, kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2011 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku sebanyak 7.38% atau sebesar (BPS Kabupaten Bondowoso 2012). Manfaat optimal diperoleh apabila pengembangan pengelolaan peternakan memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan kelestarian ekologi (Saragih dan Sipayung 2002). Berdasarkan kondisi terkini dan potensi wilayah Kabupaten Bondowoso maka diperlukan analisis status keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong untuk mengetahui status keberlanjutan wilayah dalam rangka pengembangan Kabupaten Bondowoso menjadi kawasan agropolitan sapi potong. Hasil analisis status keberlanjutan akan menghasilkan atribut sensitif yang harus diperbaiki oleh pihak terkait (stakeholder) sehingga diharapkan mampu menjadi acuan kebijakan pembangunan wilayah yang efektif dan efiesien dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso.

18 3 1.2 Perumusan Masalah Tujuan pembangunan subsektor peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan multidimensi (multi objective) adalah mewujudkan kelestarian (sustainability) sistem budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur teknologi, maupun hukum dan kelembagaan. Implikasinya memang lebih menantang dan kompleks jika dibandingkan dengan sistem pembangungan konvensional yang hanya bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan membangun sistem peternakan sapi potong berkelanjutan akan menciptakan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang sehat, bersih dan indah. Peternakan sapi potong merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Bondowoso yang perlu dibangun. Salah satu konsep pembangungan peternakan sapi potong adalah kawasan agropolitan sapi potong. Pengembangan kawasan agropolitan sapi potong harus memperhatikan lima dimensi pembangunan keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur teknologi dan hukum kelembagaan) untuk memperoleh manfaat optimal dari pembangunan seperti peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), penyerapan tenaga kerja yang lebih baik, peningkatan kepatuhan terhadap hukum, keefektifan lembaga sosial dan lain sebagainya. Kondisi pengelolaan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso saat ini belum menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya manfaat yang diperoleh dari pembangunan peternakan sapi potong. Berdasarkan permasalahan tersebut, tingkat keberlanjutan wilayah berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso perlu diketahui untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong berupa pengembangan kawasan agropolitan ditinjau dari lima dimensi pembangunan berkelanjutan. Selain itu, diperlukan identifikasi faktor kunci yang menentukan keberlanjutan kawasan agar kebijakan pembangunan peternakan sapi potong tepat sasaran dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan sapi potong di Kabupaten Bondowoso.

19 4 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menilai dan menganalisis status keberlanjutan kawasan berbasis peternakan sapi potong dari lima dimensi keberlanjutan (dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastrukturteknologi, dan hukum-kelembagaan) serta menentukan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan sapi potong di Kabupaten Bondowoso. Dengan mengetahui status keberlanjutan wilayah dari lima dimensi, akan memudahkan dalam melakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut sensitif berpengaruh pada peningkatan status keberlanjutan wilayah terutama pada dimensi keberlanjutan dengan status rendah untuk mendukung pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong ke depan. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Kajian keberlanjutan wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan sapi potong memiliki cakupan permasalahan yang sangat luas. Ruang lingkup penelitian ini, antara lain: 1 Penelitian ini dilakukan pada wilayah yang berpotensi dikembangkan menjadi kawasan agropolitan sapi potong, yaitu di daerah Kabupaten Bondowoso. 2 Penentuan status keberlanjutan dinilai berdasarkan lima dimensi pembangunan keberlanjutan (dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastrukturteknologi, dan hukum-kelembagaan) untuk pengembangan kawasan agropolitan sapi potong. 3 Masyarakat yang dikaji dalam penelitian adalah peternak sapi potong yang tersebar di lima kecamatan (Kecamatan Cermee, Tapen, Botolinggo, Maesan dan Wringin).

20 5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kawasan Agropolitan Menurut Departemen Pertanian (2002), agropolitan berasal dari kata agro berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang serta mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, dan menarik kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis berdayasaing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui: 1 Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien. 2 Penguatan kelembagaan petani. 3 Pengembangan kelembagaan agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran, dan penyedia jasa). 4 Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu dan pengembangan iklim kondusif bagi usaha dan investasi. 2.2 Pendekatan Agribisnis Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis peternakan diartikan sebagai kegiatan bidang usaha peternakan yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan seimbang

21 6 dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-peternak dan perusahaan swasta). Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan industri dan jasa dalam suatu kluster industri peternakan yang mencakup empat subsistem. Menurut Departemen Pertanian (2002) sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis peternakan beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis (Gambar 1). Subsistem Agribisnis Hulu Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan: - Bibit/induk/semen - Pakan/konsentrat Subsistem Agribisnis Budidaya Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produkproduk primer: - Antisipasi iklim/cuaca - Pencegahan penyakit - Pembelian sapronak - Manajemen - Kegiatan produksi Subsistem Lembaga Penunjang Subsistem Agribisnis Hilir Sistem pengumpulan produk primer peternakan, Pengolahan produk, Distribusi dan pemasaran produk (segar, beku, kaleng, dan sebagainya) sampai ke konsumen - Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, dan lembaga keuangan). - Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain). - Kebijakan (RUTR, makro, mikro, dan lain-lain). - Penyuluhan. Sumber: Departemen Pertanian 2002 Gambar 1 Lingkup pembangunan agribisnis peternakan 2.3 Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor peternakan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin karena banyaknya aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan.

22 7 Konsep pembangunan berkelanjutan memadukan dua kata kontradiktif yaitu pembangunan (development) yang menuntut perubahan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan keberlanjutan (sustainabilitas) yang bermakna tidak mengubah sumberdaya alam dalam proses pembangunan. Persekutuan antara kedua kepentingan ini pada dasarnya mengembalikan developmentalis dan environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung 2002). Kay dan Alder (1999), mengemukakan adanya tiga hal yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu: integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Munasinghe (1993) yang menyatakan pembangunan tergolong berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari. Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah modal alam (natural capital) yang menyediakan suatu hasil keberlanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan. Departemen Pertanian (2001) mengemukakan bahwa dalam pengembangan usaha agribisnis termasuk usaha budidaya peternakan, perlu menerapkan prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa dalam pengembangan usaha budidaya peternakan harus memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi terus-menerus, mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta menggunakan teknologi ramah lingkungan seperti yang terlihat pada Gambar 2.

23 8 Usaha Peternakan (Sapi, Domba, Kambing, Ayam, dsb) Budidaya Ternak Feses (Kotoran Ternak) Bio Gas Daging, Susu, Telur, dan Produk Peternakan Olahan (Sosis, Dendeng, Abon, Yoghurt, Skeam, Keju, Telur Asin, dsb) Pupuk Organik Pertanian Organik Kompos Limbah Peningkatan Pendapatan Petani/Peternak Sumber: Santosa 2001 Gambar 2 Usaha agribisnis peternakan ramah lingkungan Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam budidaya peternakan dikategorikan berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum, dan kelembagaan. Suatu sistem budidaya peternakan dikategorikan memenuhi dimensi ekologis dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya peternakan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran, dan menerapkan sistem manajemen lingkungan dalam melakukan kegiatan usaha. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut mampu menghasilkan

24 9 ternak dan produk peternakan secara berkesinambungan, sehingga terjadi peningkatan dinamika ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan pendapatan peternak, penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Sistem budidaya peternakan dikategorikan memenuhi dimensi sosial-budaya dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan), terjadi pemerataan dan terciptanya akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Keberlanjutan dari dimensi teknologi dicerminkan oleh seberapa jauh pengembangan dan penggunaan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha serta meminumkan kemungkinan dampak yang merugikan sumberdaya alam dan lingkungan. Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB), kesehatan hewan, teknologi pengolahan limbah, teknologi pakan, teknologi pengolahan hasil, dan teknologi informasi dapat digunakan untuk menilai keberlanjutan dimensi ini. Penilaian keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan ditentukan dengan cara melihat seberapa jauh perangkat hukum dan kelembagaan beserta penegakan dan kepatuhannya yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Namun kunci dari semua atribut hukum-kelembagaan adalah kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundangan dan aturan adat yang berlaku (Suyitman 2010). Berdasarkan uraian sebelumnya, tujuan pembangunan sistem budidaya peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidimensi (multi objective) yaitu mewujudkan kelestarian (sustainability) sistem budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budidaya, teknologi maupun hukum, dan kelembagaan. Implikasinya lebih menantang dan kompleks jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang hanya mengejar satu tujuan yakni pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika berhasil membangun sistem ini dan terwujud kelima dimensi (tujuan) pembangunan berkelanjutan secara seimbang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio kultural suatu kawasan, maka kita dapat menyaksikan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang lebih ramah, sehat, bersih, dan indah (Mersyah 2005).

25 10 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pengembangan kawasan agropolitan dirancang dan dilaksanakan dengan mensinergikan berbagai potensi di masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Tanggung jawab keberhasilan dan pengembangan kawasan agropolitan terletak dari kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota untuk dapat tumbuh sebagai inisiator dan motivator dalam menggali dan mengembangkan semua potensi di masyarakat, sedangkan pemerintah provinsi dan pusat lebih berperan membantu fasilitas yang diperlukan dalam pengembangan kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah sekitarnya. Menurut Deptan (2004) suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1 Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian. 2 Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil pertanian untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata, dan jasa pelayanan. 3 Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan pemasaran hasil produksi pertanian.

26 11 4 Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan memiliki kemiripan dengan susasana kota dikarenakan keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan perkotaan. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan pembangunan nasional bertujuan mendayagunakan sumberdaya alam sebagai inti kemakmuran rakyat yang dilakukan secara terencana, rasional optimal bertanggungjawab, sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan, memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Pada saat ini, proses pembangunan memberikan dampak positif seperti tercapainya tujuan pembangunan nasional namun, disisi lain telah menimbulkan masalah terhadap kelestarian lingkungan. Pendekatan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri mengakibatkan kesenjangan pembangunan antar wilayah, dimana investasi dan sumberdaya terserap serta terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah perdesaan (hinterland) mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah berdampak terhadap buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya sehingga menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, serta potensi konflik yang cukup besar, dimana wilayah yang dahulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Di sisi lain, akumulasi pembangunan wilayah perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan mengalami tingkat urbanisasi berlebihan (over urbanization), sementara di wilayah perdesaan mengalami krisis tenaga kerja akibat arus urbanisasi yang cukup besar. Ketidakseimbangan pembangunan yang terjadi membuat pemerintah menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayah/kawasan yang didasarkan atas keunggulan komparatif (comparative advantages) berupa upayaupaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung (carryng capacity), kapabilitas (capability),

27 12 dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah diantaranya pembangunan wilayah melalui pengembangan kawasan agropolitan (Rustiadi et al. 2003). Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Douglass (1976) sebagai siasat pengembangan perdesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan (kota ladang), dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan sehari-hari. Peran agropolitan adalah melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya sebagai tempat berlangsungnya kegiatan agribisnis. Departeman Pertanian dan Departemen Kimpraswil untuk tahun anggaran 2002 menjadikan agropolitan sebagai isu nasional dalam mengembangkan sistem agribisnis, mendorong dan meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, serta meningkatkan keterkaitan desa dan kota di daerah calon kawasan agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan harus memperhatikan aspek keberlanjutan pembangunan multidimensi agar manfaat yang muncul dapat dioptimalkan. Keberhasilan mengidentifikasi status keberlanjutan pembangunan akan mengarahkan stakeholder merumuskan kebijakan pembangunan wilayah yang tepat sesuai kebutuhan dan potensi wilayah tersebut.

28 13 Pembangunan Wilayah Wilayah Perkotaan : - Pusat Pertumbuhan Ekonomi - Infrastruktur Lengkap, SDM Tinggi - Pusat Industri, Perdagangan, dan Jasa Wilayah Perdesaan : - Backwash Effect - Infrastruktur Tidak Lengkap - Kemiskinan Tinggi, SDM Rendah Ketimpangan Pembangunan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Analisis Keberlanjutan Kawasan (Menentukan Indeks Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong) Kebijakan Pembangunan Wilayah Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian status keberlanjutan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong

29 14 IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada pada lima kecamatan di Kabupaten Bondowoso Propinsi Jawa Timur. Penetapan lokasi penelitian tersebut didasarkan atas: populasi ternak sapi potong, ketersediaan sumber pakan dan aksesibilitas kawasan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka terpilih lima kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian, yaitu: Kecamatan Cermee, Wringin, Maesan, Botolinggo, dan Maesan. Pengumpulan data dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Februari 2013, terhitung sejak penyusunan proposal penelitian sampai pelaksanaan penelitian. 4.2 Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa nilai atribut-atribut terkait dengan lima dimensi keberlanjutan pembangunan yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi/infrastruktur, serta hukum/kelembagaan. Data primer diperoleh dari para responden dan pakar terpilih, serta hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara mencari dari berbagai sumber seperti penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, dan dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian. 4.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, yang bersumber dari responden dan pakar dalam budidaya sapi potong. Pada Tabel 1 disajikan secara rinci jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian.

30 15 Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian Jenis Data a Data Primer a Sosial-Ekonomi b Informasi kondisi atribut-atribut keberlanjutan c Tingkat kepentingan faktor-faktor strategis b Data Sekunder 1 Populasi ternak 2 Jumlah pemotongan 3 Jumlah ternak keluar daerah 4 Pendapatan asli daerah (PAD) 5 Populasi penduduk dan 6 Kondisi sosial ekonomi 7 Pola penggunaan lahan 8 Jumlah angkatan pencari kerja 9 Kondisi sarana dan prasarana umum Sumber Data Peternak Peternak dan Pakar Pakar Badan Pusat Statistik Kabupaten Bondowoso, Propinsi Jawa Timur 4.4 Teknik Penentuan Responden Teknik penentuan responden dalam rangka menggali informasi dan pengetahuannya ditentukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel acak (random sampling) dan pengambilan sampel disengaja (purposive sampling). Responden dalam penelitian ini adalah responden yang dianggap mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dua cara: 1 Responden peternak pada lokasi penelitian dipilih berdasarkan metode random sampling dengan rumus sebagai berikut (Thamrin 2008): N n = 1 + Ne 2 Keterangan : n = Jumlah responden N = Jumlah populasi (kepala keluarga peternak) e = Galat (error) yang dapat diterima (10%) Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus di atas, total responden peternak berjumlah 463 responden. Jumlah responden pada tiap kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Cermee 99 responden, Wringin 68

31 16 responden, Botolinggo 99 responden, Maesan 99 responden, Tapen 98 responden. 2 Responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling). Pertimbangan dalam menentukan pakar yang dijadikan responden berdasarkan kriteria, sebagai berikut: a. Mempunyai pengalaman dan kompetensi sesuai bidang yang dikaji. b. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli/ pakar pada bidang yang diteliti. c. Mempunyai komitmen terhadap permasalahan yang dikaji. d. Bersifat netral dan bersedia menerima pendapat responden lain. e. Bersedia dimintai pendapat dan berada pada lokasi penelitian. Pakar yang menjadi responden berjumlah 31 orang terdiri dari pihak terkait (stakeholder) dalam bidang peternakan sapi potong seperti: ketua kelompok tani, pengusaha sapi potong, petugas dan Kepala Pos Keswan, petugas inseminasi buatan (IB), petugas penyuluh pertanian, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bondowoso serta Kepala Bagian Peternakan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bondowoso. Rincian jumlah responden penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Penentuan teknik pengambilan contoh dan jumlah responden No Responden Teknik Pengambilan Contoh 1 2 Pakar 1 Ketua Kelompok Tani 2 Pengusaha sapi potong 3 Petugas Pos Keswan 4 Kepala Pos Keswan 5 Petugas IB 6 Petugas Penyuluh Pertanian 7 Kepala Dinas Peternakan 8 Kepala Bagian Peternakan Peternak Total Sumber: Data Primer (diolah) Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Random Jumlah Contoh 9 orang 1 orang 6 orang 2 orang 6 orang 5 orang 12 orang 1 orang 463 orang 494 orang

32 Metode Analisis Data Analisis Multidimensional Scaling (MDS) Analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan Rap-AGROSAPOT (Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong). Metode ini adalah pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Kavanagh 2001). Penggunaan teknis MDS mempunyai berbagai keunggulan seperti sederhana, mudah dinilai, cepat dan berbiaya murah (Pitcher 1999). Hasil analisis keberlanjutan dengan menggunakan teknik multidimensional scaling dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Agropollitan Sapi Potong (ikb-agrosapot). Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: a. Penentuan atribut kawasan peternakan sapi potong secara berkelanjutan yang mencakup lima dimensi, yaitu: ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi/infrastruktur, serta hukum/kelembagaan (Lampiran 1). Atributatribut yang dikaji ditentukan melalui diskusi dengan para pakar dan informasi dari berbagai sumber terkait. b. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi. c. Penyusunan indeks dan status keberlanjutan kawasan berbasis peternakan sapi potong baik secara multidimensi maupun pada setiap dimensi. d. Analisis kepekaan (leverage analysis) untuk menentukan peubah sensitif mempengaruhi keberlanjutan. e. Analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian. Pendekatan MDS dalam Rapfish memberikan hasil yang stabil (Pitcher and Preikshot 2001 dalam Fauzi dan Anna 2005) dibandingkan dengan metode analisis peubah ganda yang lain (misal Analisis Faktor). Seluruh data dari atribut keberlanjutan selanjutnya dianalisis secara multidimensional untuk menentukan titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan relatif terhadap dua titik acuan, yaitu titik baik (good) dan buruk (bad). Posisi titik keberlanjutan pembangunan ini secara visual sulit dipetakan. Oleh karena itu, untuk

33 18 memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi dengan metode muldimensional scaling (MDS). Menurut Fauzi dan Anna (2002), MDS pada Rapfish diterapkan dengan menghitung jarak terdekat dari Euclidean distance pada persamaan (1.1) berikut: Jarak Euclidean multidimensi antara dua titik tersebut (d 12 ) kemudian diproyeksikan ke dalam jarak Euclidean dua dimensi (D 12 ) berdasarkan rumus regresi pada persamaan (1.2) berikut:... (1.2) Regresi tersebut menerapkan algoritma ALSCAL yang prinsipnya membuat pengulangan (iterasi) proses regresi di atas sedemikian sehingga menghasilkan nilai error terkecil. Algoritma ALSCAL yang diterapkan untuk Rapfish menurut Kavanagh (2001) memaksa nilai intercept pada persamaan (1.2) bernilai nol sehingga persamaan regresi berubah menjadi persamaan (1.3) berikut: (1.3) Proses iterasi berhenti jika nilai stress < 0.25 (Fauzi dan Anna 2002). Nilai Stress dirumuskan dalam persamaan (1.4) berikut:... (1.1) Str ess =.... (1.4) Kavanagh (2001) menyatakan bahwa iterasi berhenti jika S-stress < Nilai S-stress merupakan akar kuadrat nilai stress sehingga nilai stress juga bisa diperoleh dengan rumus berikut: MSS adalah mean sum of square..... (1.4)

34 19 Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi) yang diperkecil. Ordinasi objek pengamatan diukur dengan menggunakan banyak variabel sehingga sulit dilihat secara visual mengingat objek di dalam ruang berdimensi lebih dari 3 tidak mungkin digambarkan. Metode MDS memiliki tahapan sebagai berikut: 1 Standarisasi variabel yang memiliki unit dan besaran yang berbeda harus distandarisasi terlebih dahulu. 2 Pengukuran jarak multidimensi. 3 Analisis reduksi dimensi. 4 Pengukuran jarak dua dimensi. 5 Pengukuran nilai stress. Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai stress dan R 2 (Malhotra 2006). Model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0.25 atau S < 0.25 dan R 2 yang mendekati 1. Skala indeks keberlanjutan sistem yang dikaji mempunyai selang 0 persen persen. Dalam penelitian ini ada empat kategori status keberlanjutan seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-AGROSAPOT Nilai Indeks Kategori Sumber: Kavanagh 2001 Buruk Kurang Cukup Baik Hasil lain yang diperoleh dalam analisis MDS adalah penentuan faktor pengungkit (leverage factors) untuk pegembangan kawasan agropolitan sapi potong yang merupakan faktor-faktor strategis dalam pengelolaan kawasan agropolitan sapi potong di masa depan. Analisis leverage bertujuan melihat perubahan nilai keberlanjutan apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis. Menurut Pitcher et al. (2002), analisis sensitivitas atau analisis leverage dilakukan terhadap seluruh atribut masing-masing dimensi. Perhitungan dilakukan dengan metode stepwise yaitu dengan membuang setiap atribut secara berurutan satu persatu kemudian menghitung nilai error atau root mean square (RMS) dibandingkan dengan nilai RMS yang dihasilkan pada saat seluruh atribut

35 20 dianalisis. Penerapan metode ini dalam statistika dikenal sebagai metode Jackknife (Kavanagh 2001). Evaluasi pengaruh galat (error) pada proses pendugaan nilai ordinasi analisis status keberlanjutan wilayah agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong dilakukan dengan menggunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh (2001) dan Fauzi dan Anna (2005) analisis Monte Carlo berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini. 1 Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut. 2 Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti berbeda. 3 Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi). 4 Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data) Analisis Prospektif Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa depan. Hasil analisis akan memberikan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Bondowoso sesuai dengan kebutuhan para pelaku dalam sistem budidaya tersebut. Faktor kunci tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kemungkinan masa depan bagi pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting, dan sepenuhnya merupakan pendapat dari para pihak yang berkompeten (expert) sebagai ahli dalam bidang agribisnis sapi potong. Penentuan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan sapi potong dilakukan dengan analisis prospektif. Pada tahapan ini faktor penting yang diperoleh dari faktor pengungkit hasil analisis MDS dikumpulkan untuk kemudian dinilai oleh pakar terpilih. Penilaian faktor penting dilakukan dengan mempertimbangkan dampak langsung faktor pengungkit terhadap faktor

36 21 pengungkit lainnya. Pengaruh antar faktor diberikan skor oleh pakar terpilih dengan menggunakan pedoman penilaian analisis prospektif (Tabel 4). Tabel 4 Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong Skor Keterangan Skor Keterangan 0 1 Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil Sumber: Hartrisari Berpengaruh sedang Berpengaruh sangat kuat Adapun pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut: a Mengidentifikasi faktor-faktor yang memiliki kemungkinan menjadi faktor kunci dalam keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong. Faktor-faktor tersebut diperoleh dari hasil analisis leverage. b Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika benar maka diberi nilai 0. c Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruh faktor tersebut sangat kuat, jika ya diberi nilai 3. d Jika tidak, dipertimbangkan apakah berpengaruh faktor tersebut tergolong kecil (1), atau tergolong berpengaruh sedang (2). Penilaian langsung dalam pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks seperti Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan Dari Terhadap A B C A B C Sumber: Hartrisari 2002

37 22 Kemungkinan-kemungkinan masa depan terbaik dapat ditentukan berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan yang menuntut untuk segera dilaksanakan tindakan. Adapun cara menemukan elemen kunci dapat dilihat seperti Gambar 4 berikut ini. Penentuan Elemen Kunci Pengaruh Faktor Penentu (Input) Fakor Bebas (Unused) Faktor Penghubung (Stake) Faktor Terikat (Output) Sumber: Hartrisari 2002 Ketergantungan Gambar 4 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Hasil analisis berbagai faktor atau variabel seperti pada Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada: a Kuadran I (input), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variabels) yang paling kuat dalam sistem. b Kuadran II (stakes), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variables). Faktor pada kuadran ini dianggap peubah yang kuat. c Kuadran III (output), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi. d Kuadran IV (unused), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan kecil (rendah).

38 23 V GAMBARAN UMUM 5.1 Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Bondowoso Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Bondowoso secara geografis berada di wilayah bagian timur Propinsi Jawa Timur dengan jarak sekitar 200 km dari ibukota Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Luas wilayah Kabupaten Bondowoso mencapai km 2 atau sekitar 3.26 persen dari total luas Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Bondowoso terbagi dalam 23 Kecamatan, 209 desa dan 10 kelurahan. Ketinggian dari permukaan laut rata-rata mencapai ± 253 meter di atas permukaan laut dengan wilayah tertinggi ± meter dan terendah ± 73 meter. Kondisi dataran di Kabupaten Bondowoso terdiri atas pegunungan dan perbukitan seluas 44.4%, dataran tinggi 24.9% dan dataran rendah 30.7% dari luas wilayah secara keseluruhan. Penelitian status keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong untuk pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bondowoso menetapkan lima kecamatan sebagai lokasi penelitian, yaitu: Kecamatan Cermee, Botolinggo, Tapen, Wringin, dan Maesan Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Pembangunan wilayah Kabupaten Bondowoso sampai saat ini agak lamban dibandingkan dengan kabupaten lain di Propinsi Jawa Timur. Fakta menunjukkan adanya kesenjangan dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan infrastruktur. Produksi sub sektor peternakan tiap tahun menunjukkan perkembangan positif. Populasi ternak tahun menunjukkan peningkatan. Jumlah ternak sapi meningkat dari ekor menjadi ekor, ternak kambing meningkat dari ekor menjadi ekor dan ternak domba meningkat dari ekor mejadi ekor. Hal selaras juga tercermin dari produksi sektor peternakan tahun , produksi daging meningkat dari kg menjadi kg (naik 9.84%), produksi telur meningkat dari kg menjadi kg (naik 5.49%), kulit sapi meningkat dari lembar menjadi lembar (naik 3.91%), dan kulit domba meningkat dari

39 24 lembar menjadi lembar (naik %). Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2011 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak % atau sebesar Rp ,- juta (BPS Kabupaten Bondowoso 2012). Ditinjau dari aspek budaya, Kabupaten Bondowoso didominasi oleh Suku Madura, dan Jawa, serta sebagian kecil Suku Sunda, Minangkabau, Bugis, dan Cina. Salah satu sifat Suku Madura yang dikenal masyarakat umum adalah kecintaannya terhadap ternak, terutama ternak sapi telah membantu perkembangan peningkatan populasi ternak sapi di Kabupaten Bondowoso. Usaha ternak sapi potong dahulu bersifat ekstensif dan sebagai tabungan, akhir-akhir ini berkembang cukup pesat dengan digiatkannya program inseminasi buatan (IB). Penampilan menarik dan bobot badan dewasa mencapai lebih kg/ekor serta harga jual tinggi menjadi alasan peternak semakin intensif memelihara jenis ternak sapi potong. Laporan Dinas Peternakan (2012) menyatakan bahwa Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu lumbung ternak sapi potong di Propinsi Jawa Timur. Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Kabupaten Bondowoso pada tahun 2011 mencapai jiwa, terdiri atas penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan atau sex ratio sebesar %. Tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Bondowoso pada umumnya belum tamat sekolah dasar. Jumlah persentase penduduk berumur di atas 10 tahun berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai berikut: tidak tamat Sekolah Dasar 40.61%, tamat Sekolah Dasar 30.66%, tamat SLTP 12.52%, tamat SLTA 11.78%, dan tamat Diploma I/II 1.21%, tamat Akademi 0.53%, tamat Perguruan Tinggi 2.68% Kondisi Infrastruktur Sarana transportasi yang menghubungkan antar daerah baik antar desa, kecamatan, maupun antar kota seluruhnya dapat dilalui dengan jalan darat. Panjang jalan di Kabupaten Bondowoso dibedakan atas Jalan Propinsi dan Jalan Kabupaten. Panjang Jalan Propinsi sepanjang km dengan status kondisi

40 25 jalan baik dan panjang Jalan Kabupaten sepanjang km terbagi menjadi dua yaitu jalan berstatus baik sepanjang km dan jalan berstatus sedang sepanjang km. Akses jalan di lokasi penelitian (antara kecamatan satu dengan lainnya) telah mempunyai akses jalan resmi menghubungkan kelima kecamatan tersebut dari ibukota Propinsi (Surabaya) ke ibukota kabupaten. Aksesibilitas beberapa desa di lokasi penelitian sudah cukup memadai, karena setiap desa mempunyai jalan/akses ke masing-masing ibukota kecamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pembangunan infrastruktur jalan sudah cukup memadai. Seluruh desa di Kabupaten Bondowoso sudah mendapatkan jaringan listrik. Sumberdaya listrik sebagian masih menggunakan bahan bakar minyak, yang disuplai oleh PLTD di bawah unit kerja PT (Persero) PLN dan sebagian dari PLTU Paiton. Pemerintah Kabupaten Bondowoso secara bertahap berupaya memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana air bersih di tiap kecamatan. Pendistibusian air bersih selama tahun 2011 adalah sebanyak m 3 yang digunakan oleh pelanggan. Jumlah pelanggan air bersih pada umumnya banyak terdapat di daerah perkotaan, sedangkan di daerah perdesaan umumnya menggunakan sumur pompa, sumur gali, dan mata air. Pada lokasi penelitian hanya tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Wringin, Maesan dan Tapen yang terlayani jaringan air bersih perusahaan daerah air minum (PDAM). 5.2 Kondisi Umum Peternakan Sapi Potong Kabupaten Bondowoso Sistem Budidaya Ternak Sapi Potong Tujuan utama beternak sapi potong di Kabupaten Bondowoso adalah untuk tabungan keluarga, tabungan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak. Kebutuhan mendesak yang dimaksud seperti biaya pendidikan anak, biaya membangun rumah, biaya menunaikan ibadah haji dan biaya pernikahan anak. Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten Bondowoso sebagian besar masih menerapkan sistem pemeliharaan dengan tipe manajemen ekstensif. Hanya sebagian kecil dari peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan semi intensif dan intensif.

41 26 Peternak yang memiliki kandang menerapkan sistem pemeliharaan dengan manajemen semi intensif dan intensif. Secara semi intensif ternak digembalakan pada pagi sampai siang hari di padang penggembalaan, kemudian pada sore hari dimasukkan ke dalam kandang. Pada saat ternak digembalakan, semua proses makan berlangsung di padang penggembalaan dan dikontrol oleh peternak. Secara intensif, ternak berada di dalam kandang sepanjang hari dan diberi pakan berupa hijauan dan konsentrat. Pakan merupakan hal terpenting dalam usaha ternak sapi potong. Pakan yang memiliki nutrisi baik akan menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi. Sumber pakan terdiri atas: hijauan makanan ternak (HMT) berupa rumput dan leguminosa, konsentrat, dan limbah pertanian. Jenis hijauan yang dapat diberikan bagi ternak sapi potong dalam bentuk hijauan segar, hijauan kering (hay), hijauan olahan atau hasil fermentasi yang disebut silase. Di Kabupaten Bondowoso pakan hijauan tersebar di berbagai areal, yakni areal padang penggembalaan, lahan hutan dan lahan tanaman pertanian pangan di pinggir jalan sepanjang jalan umum. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis hijauan yang ada di lokasi penelitian terdiri atas: rumput lapangan (Natural grass), rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Pennisetum purpuphoides), rumput setaria (Setaria sphacelata), lamtoro/petai cina (Leucaena glauca), dan alang-alang (Imperata cylindrica). Makanan penguat/konsentrat masih jarang dipergunakan peternak. Hal ini dikarenakan pakan konsentrat diperoleh dengan cara membeli ke pedagang sapronak dan harga pakan konsentrat tergolong mahal bagi peternak. Hal tersebut mengakibatkan hanya peternak bermodal besar saja yang mempergunakan pakan konsentrat. Pakan konsentrat di Kabupaten Bondowoso berasal dari pabrik pakan yang ada di Kabupaten Situbondo dan Jember sehingga ketersediaan pakan konsentrat sangat bergantung pada pasokan dari kedua daerah tersebut. Limbah pertanian dimanfaatkan oleh para peternak sebagai salah satu alternatif pakan pada musim kemarau. Limbah pertanian juga dapat dikombinasikan dengan pakan hijauan lainnya. Beberapa jenis jerami yang diberikan untuk pakan sapi potong antara lain: jerami padi, jagung, kacang tanah, pucuk tebu, kacang kedelai, dan ketela pohon. Potensi limbah pertanian di Kabupaten Bondowoso tersedia cukup dan melimpah saat musim panen.

42 Kondisi Sistem Agribisnis Kawasan Subsistem agribisnis hulu, yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi ternak. Kondisi sarana dan prasarana pada subsistem ini seperti ketersediaan kios sapronak, bibit ternak/ib, obat-obatan/vitamin, dan pakan konsentrat tersedia pada kota kecamatan, sedangkan untuk gudang peralatan dan mesin bersifat individual maupun secara berkelompok. Pos Keswan tersedia pada setiap kecamatan yang melayani penyediaan bibit ternak sapi potong melalui IB dan pengobatan ternak. Pelayanan ini dilakukan oleh 2 (dua) orang mantri hewan untuk satu kecamatan. Pakan konsentrat diperoleh pada kios sapronak maupun di pabrik agroindustri, seperti: konsentrat, ampas tahu, dedak padi. Industri pakan ternak masih belum tersedia di kawasan ini, sehingga peternak mencari bahan baku sendiri dan mencampurnya kemudian diberikan kepada ternak. Subsistem agribisnis budidaya peternakan adalah kegiatan berternak yang menghasilkan produk peternakan primer, seperti: daging, susu, dan telur serta hasil ikutannya dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pemeliharaan ternak sapi potong di lokasi penelitian dilakukan secara ekstensif dan semi intensif. Penerapan program panca usaha ternak potong (PUTP), seperti: perbaikan mutu bibit, pakan, penanganan kesehatan ternak, pemeliharaan, dan reproduksi ternak belum sepenuhnya dilaksanakan. Pakan yang diberikan sebagian besar dalam bentuk hijauan dan limbah pertanian, berupa: jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kedelai, daun kacang tanah, dan pucuk tebu, serta limbah agroindustri (dedak padi dan ampas tahu). Lokasi kandang ternak umumnya berkumpul dengan rumah atau menjadi satu dengan tempat tinggal. Kondisi ini mengganggu kesehatan masyarakat demikian juga bau yang ditimbulkan, sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat. Kebersihan kandang umumnya kurang diperhatikan, sehingga kotoran ternak cukup banyak menumpuk dan hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan menjadi pupuk organik. Pengelolaan reproduksi ternak umumnya memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB) yang tersedia dan berjalan sangat baik. Hal yang sama juga terjadi pada penanganan kesehatan ternak, karena di setiap kecamatan sudah dibangun pos kesehatan hewan (Pos Keswan) dengan dukungan tenaga memadai, seperti: mantri hewan dan petugas penyuluh

43 28 peternakan (PPL). Air baku yang digunakan dalam usaha ternak umumnya bersumber dari sumur dan sungai. Kondisi jalan usahatani umumnya dilapisi aspal namun sebagian besar mengalami kerusakan dan memerlukan perbaikan untuk memperlancar transportasi pertanian. Subsistem agribisnis hilir adalah kegiatan ekonomi mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Subsistem ini terkait industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, serta industri pengolahan kulit. Pada lokasi penelitian, industri pengolahan hasil ternak minim tersedia, jika ada hanya sebatas industri rumah tangga, seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan umumnya berbentuk produk primer peternakan seperti anak sapi (pedet), daging, telur dan susu, sedangkan produk olahan hasil ternak produk sekunder peternakan sangat sedikit. Jumlah agroindustri peternakan yang belum berkembang, mengakibatkan kontribusi dari subsektor peternakan belum optimal memberikan sumbangan PDRB terhadap daerah Kabupaten Bondowoso. Pasar ternak di lokasi penelitian baru tersedia dua unit berskala pasar kecamatan yang terletak di Kecamatan Kedemangan dan Wonosari demikian juga ketersediaan rumah potong hewan (RPH) tidak tersedia di tiap kecamatan dan hanya tersedia 10 unit di kecamatan tertentu saja. Subsistem jasa penunjang agribisnis yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, Pos Keswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lainlain. Kondisi subsistem jasa penunjang di lokasi penelitian belum memadai. Lembaga penyuluhan pertanian/balai penyuluhan pertanian (BPP), sudah tersedia namun perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar secara bertahap mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan. Ketersediaan lembaga keuangan mikro (LKM) sangat sedikit, dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk mempermudah pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. VI HASIL DAN PEMBAHASAN

44 Status Keberlanjutan Wilayah Penentuan indeks keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso berdasarkan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan dengan atribut dan nilai keberlanjutan tiap dimensi pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis menggunakan pendekatan Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong (Rap-AGROSAPOT), nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 41.61% dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi 57.73% dengan status cukup berkelanjutan, dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 75.46% dengan status baik, dimensi sosial budaya sebesar 58.05% dengan status cukup berkelanjutan serta dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 47.05% dengan status kurang berkelanjutan. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan di masa depan dapat dilakukan dengan perbaikan atribut sensitif berpengaruh pada nilai indeks keberlanjutan lima dimensi tersebut. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-AGROSAPOT seperti diperlihatkan pada Gambar 5 dan Lampiran 2. Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 5 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso Dimensi Ekologi

45 Attribute 30 Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri atas 20 (dua puluh) atribut. Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah 41.61% berkategori kurang berkelanjutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 6. Analisis Leverage Atribut Dimensi Ekologi Kondisi prasarana jalan desa Kondisi prasarana jalan usahatani Curah hujan Frekuensi kejadian banjir Kejadian kekeringan Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman Kuantitas limbah peternakan Ketersediaan lahan HMT unggul Jenis pakan ternak Ketersediaan instalasi pengolahan limbah RPH Ketersediaan rumah potong hewan (RPH) Ketersediaan IPAL Agroindustri hasil Ternak Kebersihan Kandang Ketersediaan pakan ternak sapi potong Kegiatan Ladang Berpindah Kapasitas tampung padang penggembalaan Lahan (kesuburan tanah) Sistem pemeliharaan ternak sapi potong Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik Sumber: Data Primer Root Mean (diolah) Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 6 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Analisis sensitivitas dimensi ekologi dengan metode analisis leverage pada Rapfish memperlihatkan 10 (sepuluh) atribut sensitif terhadap nilai indeks

46 31 keberlanjutan. Perubahan sedikit saja pada atribut tersebut berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi ekologi. Hal ini ditunjukkan dari nilai perubahan galat (error) atau root mean square (RMS) sepuluh atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut lainnya (Gambar 6). Atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: 1 Sistem pemeliharaan ternak sapi potong. Sistem pemeliharaan sapi potong dilakukan dengan cara ekstensif, yaitu mengikat ternak sapi pada ruang terbuka seperti padang penggembalaan atau pekarangan rumah tanpa dikandangkan sehingga ternak sapi sulit diawasi, rawan terkena penyakit dan gangguan lainnya. Pemberian pakan dilakukan dengan cara melepas ternak sapi di padang penggembalaan atau meletakkan hijauan kering (hay) pada tempat yang mudah dijangkau oleh ternak sapi. Masyarakat setempat sebagian besar menerapkan sistem pemeliharan ini karena enggan mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat dan merawat kandang ternak sapi. Selain itu, sistem pemeliharaan ternak ekstensif merupakan budaya warisan leluhur sehingga sulit dilakukan perubahan sistem pemeliharaan ternak menjadi semi intensif atau intensif. 2 Ketersediaan pakan ternak sapi potong. Saat ini ketersediaan pakan masih mencukupi kebutuhan dan cenderung berlebih. Dalam rangka pengembangan ternak ruminansia, daya dukung pakan harus dipertahankan agar ternak sapi potong dapat berkembang dengan baik. Limbah pertanian, seperti: jerami padi, jagung, kacang tanah, dan pucuk tebu serta limbah agroindustri (dedak padi, tongkol jagung, ampas tahu, bungkil kelapa dan ampas tebu) yang cukup banyak di daerah ini, membantu ketersediaan pakan ternak sapi potong. 3 Kebersihan kandang belum sepenuhnya diperhatikan oleh peternak. Kotoran ternak dibiarkan menumpuk dalam kandang selama beberapa hari sebelum dikumpulkan pada suatu tempat. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan gangguan lingkungan dan kesehatan. Penyuluhan kepada peternak sangat diperlukan dalam rangka menanamkan kesadaran untuk menjaga kebersihan kandang, agar kekhawatiran seperti hal tersebut dapat dicegah. 4 Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak belum tersedia, sehingga perlu disediakan mulai sekarang karena pembuangan limbah agroindustri hasil

47 32 ternak yang sembarangan menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan bagi masyarakat setempat. Saat ini, limbah agroindustri peternakan dibuang tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut ke sungai atau saluran pembuangan limbah rumah tangga. Hal ini menimbulkan bau menyengat dan pencemaran air yang berada di sekitar lokasi agroindustri hasil ternak. 5 Ketersediaan RPH masih terbatas di beberapa kecamatan dan berkategori C. Seharusnya ketersediaan RPH ditambah khususnya di kecamatan dengan populasi ternak sapi potong lebih dari ekor. Selain itu, peningkatan kategori RPH menjadi B atau A harus menjadi prioritas. RPH berkategori C adalah RPH dengan fasilitas pemotongan sederhana sehingga jumlah ternak yang dipotong berkisar 5-10 ekor/hari. Pada masa yang akan datang jumlah ketersediaan rumah potong hewan perlu ditambah demikian juga kategorinya ditingkatkan menjadi type B atau A sesuai dengan jumlah pemotongan ternak dan target pasar yang dituju. 6 Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah RPH masih belum tersedia, sehingga perlu disediakan karena pembuangan limbah pemotongan ternak saat ini langsung dibuang ke sungai sehingga menimbulkan pencemaran dan ekternalitas negatif. 7 Jenis pakan ternak yang diberikan sebatas rumput hijauan dengan jerami pertanian. Makanan tambahan seperti konsentrat diperlukan ternak untuk mempercepat proses pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi, namun harga konsentrat relatif mahal bagi peternak mengakibatkan pakan konsentrat jarang diberikan. Selain itu, tidak tersedianya pabrik pakan berdampak pada sulitnya pakan konsentrat diperoleh para peternak sapi potong. 8 Ketersediaan lahan HMT unggul masih mencukupi untuk mendukung usaha peternakan sapi potong. Masyarakat setempat memanfaatkan lahan kosong seperti tegalan, lahan pinggir jalan, sepadan sungai, lahan pinggiran hutan dan lain sebagainya untuk ditanami rumput unggul seperti rumput Bengggala (Panicum maximum), Raja (Pennisetum purpuphoides) dan Gajah (Pennisetum purpureum). Pertumbuhan penduduk dan ternak sapi potong yang meningkat setiap tahunnya tanpa diikuti dengan pertumbuhan lahan berpotensi

48 33 mengancam status ketersediaan lahan pakan ternak sapi potong. Oleh karena itu, industri pakan perlu segera dibagun untuk keterjaminan pakan di masa datang. 9 Kuantitas limbah peternakan (feses) pada umumnya cukup banyak dan hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk pupuk organik. Pemanfaatan limbah peternakan untuk dijadikan pupuk organik belum memasyarakat, karena petani setempat sebagian besar lebih menyukai menggunakan pupuk anorganik dibandingkan pupuk organik/pupuk kandang. Kelemahan pupuk organik, seperti: a) kandungan hara rendah, b) jumlah pupuk organik yang dibutuhkan sangat banyak menyulitkan transportasi sehingga kurang ekonomis, c) perhitungan dosis tidak bisa tepat dan respon tanaman lebih lambat dibanding pupuk buatan, d) mudah terurai, dan e) pupuk organik dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman. Kekurangan yang dimiliki pupuk organik tersebut mengakibatkan beberapa petani lebih menyukai menggunakan pupuk buatan. 10 Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk perlu diperhatikan. Kandang ternak yang berkumpul dengan tempat tinggal atau terlalu dekat dengan rumah penduduk mengganggu kesehatan dan kenyamanan masyarakat. Kondisi ini perlu diantisipasi, misalnya dengan cara membuat kandang kolektif yang terpisah dari pemukiman dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penduduk, sehingga efek negatif dapat dikurangi. Pembuatan kandang kolektif memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak (feses), pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Dengan demikian jika setiap atribut tersebut dikelola dengan baik, maka indeks keberlanjutan dimensi ekologi di masa yang akan datang akan lebih meningkat statusnya.

49 Dimensi Ekonomi Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi terdiri dari 17 (tujuh belas) atribut. Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 57.73% berkategori cukup berkelanjutan. Analisis sensitivitas dimensi ekonomi dengan metode analisis leverage pada Rapfish memperlihatkan 3 (tiga) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan. Perubahan sedikit saja pada atribut tersebut berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari nilai perubahan root mean square change (Gambar 7) tiga atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya. Atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: 1 Ketersediaan industri pakan di Kabupaten Bondowoso masih belum tersedia. Kebutuhan pakan yang berasal dari industri pakan seperti konsentrat diperoleh dari Kota Jember dan Situbondo. Hal ini mengakibatkan ketersediaan pakan konsentrat tidak menentu tergantung pasokan dari distributor pakan sehingga kebanyakan peternak setempat memilih pakan hijauan yang tersedia di wilayahnya. Ketergantungan pada pakan hijauan menghadapi kendala saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia. 2 Pasar produk agroindustri peternakan masih bersifat lokal. Hal ini disebabkan, ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini sangat minim/sedikit kalaupun ada hanya sebatas home industri (industri rumah tangga), seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya terbatas. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan sapi potong pada umumnya dalam bentuk produk primer peternakan. Kondisi ini harus diperbaiki, dengan membangun beberapa agroindustri peternakan dan menciptakan kondisi yang mendukung serta meningkatkan penyediaan

50 Attribute 35 sarana dan prasarana agribisnis/infrastruktur penunjang yang lebih baik sehingga pembeli dari beberapa daerah datang ke Kabupaten Bondowoso untuk membeli produk-produk agroindustri peternakan. 3 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bidang peternakan selama 5 tahun terakhir selalu bertambah. Hal ini bertujuan untuk membiayai sarana dan prasarana agribisnis usaha ternak sapi potong. Namun, penggunaan APBD bidang peternakan ini dinilai masih belum digunakan secara optimal. Hal ini terlihat dengan minimnya fasilitas yang tersedia untuk mendukung sektor usaha peternakan sapi potong seperti minimnya fasilitas kesehatan yang dimiliki Pos Keswan, tidak tersedianya RPH di tiap kecamatan, minimnya fasilitas yang dimiliki untuk menunjang kegiatan petugas IB dan kurangnya pemberian insentif berupa dana bantuan usaha ternak. Nilai APBD yang besar seharusnya digunakan secara optimal dengan memperhatikan kebutuhan para peternak dan pihak terkait lain. Analisis Leverage Atribut Dimensi Ekonomi Tingkat ketergantungan konsumen 0.03 Kelayakan usaha agroindustri 0.98 Jenis komoditas unggulan 0.05 Jumlah tenaga kerja pertanian 0.76 Rata-rata harga jual ternak sapi potong Persentase penduduk miskin Subsidi usaha ternak sapi potong 1.93 Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 thn terakhir) 3.98 Tempat Peternak Menjual Ternak 0.77 Ketersediaan Industri Pakan 5.37 Ketersediaan Pasar Ternak 0.91 Pasar Produk Agroindustri Peternakan 4.67 Transfer keuntungan Rataan penghasilan peternak terhadap UMK Bondowoso Kontribusi terhadap PAD bidang pertanian 1.46 Kontribusi terhadap PDRB 0.89 Keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 7 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

51 Dimensi Sosial Budaya Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial budaya berjumlah 13 (tiga belas). Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah 58.05% berkategori cukup berkelanjutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 8. Sebanyak 5 (lima) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: 1 Peran masyarakat dalam usaha peternakan yang relatif rendah selama ini perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agroindustri peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat dalam bidang usaha peternakan mengakibatkan ketersediaan jumlah agroindustri peternakan sangat sedikit yang pada akhirnya berdampak terhadap jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan juga masih sedikit. Keterkaitan antara ketersediaan agroindustri, peran masyarakat, jumlah penduduk yang terlibat, partisipasi keluarga serta alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi. 2 Partisipasi keluarga dalam usaha peternakan di daerah ini masih rendah. Umumnya, partisipasi aktif keluarga hanya tercermin dalam kegiatan budidaya (onfarm) sapi potong seperti membantu memandikan sapi, mencari rumput pakan dan memasukkan sapi ke kandang dan hal tersebut hanya dilakukan oleh anak laki-laki dalam keluarga. Keadaan ini harus dirubah dan diperbaiki agar dimasa yang akan datang seluruh keluarga mampu berpartsipasi dalam pengelolaan usaha peternakan, sehingga usaha agribisnis peternakan di daerah ini semakin maju dan pesat. 3 Tingkat penyerapan tenaga kerja peternakan masih tergolong rendah dikarenakan sektor peternakan hanya dijadikan sebagai usaha sambilan selain kegiatan bercocok tanam. Hal tersebut harus diperbaiki dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor peternakan melalui pemberian insentif beternak khususnya ternak sapi potong. 4 Frekuensi pelatihan dan penyuluhan di daerah ini digolongkan jarang. Kabupaten Bondowoso rata-rata mengadakan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat di kecamatan maksimal 3 kali setahun dan minimal 1 kali

52 Attribute 37 dalam setahun. Materi penyuluhan dan pelatihan biasanya terkait dengan sosialisasi bibit unggul, pembuatan pakan dari limbah peternakan dan pembuatan pupuk organik. Daerah dengan potensi peternakan sapi potong yang menjanjikan seharusnya sering mengadakan pelatihan dan penyuluhan terkait dengan kemajuan teknologi budidaya peternakan atau sosialisasi kebijakan peternakan yang diterapkan pemerintah. Pelatihan dan penyuluhan harus lebih sering dilakukan karena banyak permasalahan mendasar dalam budidaya peternakan seperti kebersihan kandang yang belum memiliki penyelesaian masalah. 5 Pertumbuhan rumah tangga peternak tergolong lamban. Hal ini menunjukkan bahwa insentif beternak sapi potong berkurang. Saat ini, pemerintah setempat tidak melakukan inovasi dalam mendorong masyarakat beternak sapi potong. Seharusnya pemerintah setempat mendorong pertumbuhan rumah tangga peternak untuk mendukung pengembangan sentra ternak sapi potong melalui program agropolitan. Analisis Leverage Atribut Dimensi Sosial Budaya Jumlah desa dengan penduduk kerja disektor peternakan 1.41 Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha peternakan 0.02 Jumlah penduduk yang bekerja di Agroindustri Peternakan Alternatif usaha selain usaha peternakan Tingkat penyerapan tenaga kerja peternakan Frekuensi penyuluhan dan pelatihan Peran masyarakat dalam usaha peternakan Partisipasi keluarga dalam usaha peternakan 2.56 Frekuensi konflik Tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri Pertumbuhan rumah tangga peternak 1.88 Jumlah rumah tangga peternak Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 8 Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

53 Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi berjumlah 12 (dua belas) atribut. Penentuan atribut-atribut sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, ditentukan melalui analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 9) diperoleh 1 (satu) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis. Sarana dan prasarana agribisnis yang dibangun dalam rangka memajukan usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bondowoso memang tergolong minim. Pada subsistem agribisnis hulu, terdapat permasalahan mendasar seperti ketersediaan input usaha ternak seperti industri pakan konsentrat yang tidak tersedia, lokasi kandang yang berada di pemukiman penduduk, ketersediaan lahan pakan hijauan yang terbatas dan tidak handalnya tenaga kerja usaha ternak sapi potong. Pada subsistem agribisnis budidaya, terdapat permasalahan mendasar seperti kesulitan membeli sapronak karena keterbatasan ketersediaan sapronak, sistem pemeliharaan ternak yang masih tradisional karena kurangnya sarana dan prasarana informasi budidaya ternak sapi potong, jumlah dan kehandalan petugas kesehatan hewan yang terbatas sehingga kurang aktif dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit ternak. Pada subsistem agribisnis hilir, terdapat permasalahan mendasar seperti minimnya agroindustri produk olahan ternak sapi potong, ketersediaan pasar hewan dan pasar produk agroindustri ternak yang terbatas. Pada subsistem lembaga penunjang usaha ternak sapi potong, terdapat masalah mendasar terkait dengan prasarana penunjang (jalan usaha tani, koperasi, dan lembaga keuangan), sarana (transportasi, informasi, kredit dan peralatan ternak), kebijakan (RUTR, makro dan mikro) serta penyuluhan yang memerlukan peningkatan kualitas maupun kuantitas.

54 Attribute 39 Analisis Leverage Atribut Dimensi Infrastruktur Teknologi Standarisasi mutu produk peternakan 1.12 Ketersediaan teknologi informasi peternakan 0.48 Tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan Ketersediaan Sarana dan Prasarana Umum Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis 2.60 Teknologi informasi dan transportasi Teknologi pengolahan hasil produk ternak sapi potong Teknologi pengolahan limbah ternak sapi potong Teknologi pakan Penggunaan vitamin dan probiotik Penyebaran tempat pos pelayaan inseminasi buatan 1.05 Penyebaran tempat pelayanan Poskeswan Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability Sumber: Data Primer (diolah) scale 0 to 100) Gambar 9 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Dimensi Hukum dan Kelembagaan Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan berjumlah 8 (delapan). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 10. Sebanyak 5 (lima) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: 1 Ketersediaan badan pengelola kawasan agropolitan sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Badan ini berperan antara lain: a) merumuskan program, kebijakan operasional, dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan; b) mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan master plan, program, dan melaksanakan program kawasan agropolitan; c)

55 40 menumbuh kembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan 2 Koperasi ternak sapi potong merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersamasama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya gabungan koperasi susu Indonesia (GKSI). 3 Ketersediaan lembaga keuangan mikro (LKM) di daerah ini sangat sedikit yang khusus untuk menyediakan dana kegiatan usaha peternakan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk lebih mempermudah dalam pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. Dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return). 4 Ketersediaan aturan kearifan lokal dalam usaha ternak sapi potong sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan usaha ternak sapi potong. Pada lokasi penelitian aturan kearifan local setempat mulai ditinggalkan oleh masyarakat dikarenakan pengaruh moderenisasi yang semakin kuat. Perbaikan atribut ini dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali aturan local yang dianggap rasional dan baik untuk dikembangkan melalui sosialisasi kembali oleh para tokoh masyarakat setempat. 5 Lembaga penyuluhan pertanian sudah terdapat di daerah ini, namun demikian perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar dapat secara bertahap

56 Attribute 41 mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan. Analisis Leverage Atribut Dimensi Hukum Kelembagaan Perjanjian Kerjasama dengan Daerah Lain 0.47 Kesesuaian kebijakan pusat dan daerah 3.20 Ketersediaan Kelompok Tani 3.88 Ketersediaan aturan kearifan lokal usaha ternak sapi potong 4.36 Lembaga Keuangan Mikro (Bank/Kredit) 4.45 Lembaga Penyuluh Pertanian 3.93 Badan Pengelola Kawasan Agropolitan 7.43 Koperasi Ternak Sapi Potong Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 Sumber: Data Primer (diolah) to 100) Gambar 10 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS Multidimensi Hasil analisis Rap-AGROSAPOT multidimensi keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 54.78% dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 70 (tujuh puluh) atribut dari lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur/teknologi, dan hukum/kelembagaan. Hasil analisis multidimensi dengan Rap-AGROSAPOT mengenai keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potongsapi potong dapat dilihat pada Gambar 11.

57 Other Distingishing Features 42 Rap-AGROSAPOT Multidimensi Ordination 60 UP BAD GOOD Real Breeder References Anchors DOWN -60 Beef Cattle Breeder Sustainability Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 11 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Bondowoso Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso pada taraf kepercayaan 95%, menunjukkan hasil yang tidak mengalami perbedaan besar dengan hasil Rap-AGROSAPOT (MDS). Hal ini menginterpretasikan bahwa kesalahan dalam analisis kecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang mampu dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-AGROSAPOT Dimensi Keberlanjutan MDS Monte Carlo Perbedaan Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya Infrastruktur/Teknologi Hukum/Kelembagaan Multidimensi Sumber: Data Primer (diolah)

58 43 Hasil analisis Rap-AGROSAPOT menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso untuk pengembangan kawasan agropolitan, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 14% sampai 20% dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh berkisar antara 0.87 dan 0.95 Hal ini sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0.25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) mendekati nilai 1. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil analisis Rap-AGROSAPOT untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R 2 ) Parameter Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Hukum Multi Stress R Iterasi Sumber: Data Primer (diolah) 6.2 Analisis Prospektif Pengembangan Kawasan Agropolitan Analisis prospektif bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) mengidentifikasi atribut kunci di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan perubahan kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya. Penentuan atribut-atribut kunci dalam analisis diperoleh dari atribut sensitif berpengaruh hasil analisis keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 23 atribut sensitif dan selanjutnya diajukan kepada pakar untuk dinilai dan dianalisis prospektif. Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan antar atribut (Lampiran 3) diperoleh 5 (lima) atribut kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar atribut tidak terlalu kuat, yaitu: (a) ketersediaan sarana dan

59 44 prasarana agribisnis peternakan, (b) sistem pemeliharaan ternak, (c) ketersediaan pasar agroindustri peternakan, (d) ketersediaan industri pakan dan koperasi ternak sapi potong. Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa kelima atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar terwujud pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan di Kabupaten Bondowoso dikategorikan minim atau tidak lengkap tersedia, padahal atribut tersebut merupakan salah satu atribut kunci/penentu yang mempunyai pengaruh sangat kuat dalam menentukan indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong. Hal ini disebabkan atribut tersebut mempunyai efek domino (multiplier effects) terhadap atribut-atribut yang menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan. Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis peternakan diartikan sebagai suatu kegiatan bidang usaha peternakan yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-peternak dan perusahaan swasta). Menurut Saragih (2000), kegiatan usaha budidaya peternakan merupakan bagian dari sistem agribisnis peternakan yang mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness); subsistem agribisnis budidaya peternakan (on-farm agribusiness); subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness); dan subsistem jasa penunjang (supporting institution). Dengan demikian sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara sinergis (dalam arti luas) dengan industri dan jasa dalam suatu kawasan industri peternakan yang mencakup empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah sebagai berikut:

60 45 1 Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pakan, industri obat-obatan, inseminasi buatan, dan lain-lain. 2 Subsistem agribisnis peternakan (on-farm agribusiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak. 3 Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Subsistem ini termasuk didalamnya industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging serta industri pengolahan kulit. 4 Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Sistem pemeliharaan ternak pada umumnya masih bersifat tradisional dan semi intensif. Sebagian besar ternak sapi potong diikat pada pohon yang berada dekat dengan rumah dan sebagian lainnya dikandangkan. Pakan yang diberikan pada umumnya rumput lapangan yang dicampur dengan rumput unggul, seperti: rumput gajah dan raja. Sistem pemeliharaan ternak seperti ini sudah tentu kurang maksimal dalam memberikan penerimaan terhadap peternak. Kabupaten Bondowoso yang memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang cukup potensial, sangat cocok dalam menerapkan sistem pemeliharaan ternak sapi potong secara terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan. Sistem usahatani terpadu yang didasarkan pada penelitian dan pengkajian mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor. Penelitian ini diberi nama on station multiple cropping mengacu pada pola International Rice Research Institute = IRRI (Manwan 1989). Sejak saat itu kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti: pola tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani (farming system), dan terakhir adalah sistem tanaman ternak terjemahan dari crop livestock system (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya (Diwyanto et al. 2002).

61 46 Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan peningkatan dayasaing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan (Diwyanto dan Handiwirawan 2004). Sudaryanto (2006) menyatakan bahwa, pengembangan integrasi tanaman padi dan sapi potong bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas padi sawah dan penyediaan daging; (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani. Menurut Diwyanto (2001), ada 8 (delapan) keuntungan penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak, yaitu: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; (2) mengurangi terjadinya resiko; (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja; (4) efisiensi penggunaan komponen produksi; (5) mengurangi ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; (6) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; (7) meningkatkan output; dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Sistem integrasi ternak dangan tanaman merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming) berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Sistem ini melibatkan paling tidak tiga jenis kegiatan usahatani yang saling berkaitan, yaitu: (1) budidaya ternak sapi potong, (2) budidaya tanaman pangan atau perkebunan, dan (3) pengolahan limbah pertanian dan ternak. Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak. Pengomposan adalah proses mengubah limbah organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma dan orginisme yang bersifat patogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan pada lahan pertanian (Sutanto 2002). Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan

62 47 diversifikasi usaha dan peningkatan dayasaing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Menurut Wardhani dan Musofie (2004) bahwa dalam melaksanakan usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan maka petani akan melibatkan ternak, sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan ketersediaan modal. Antara sub-sistem rumah tangga, ternak, dan tanaman saling terkait, terpadu, dan saling tergantung. Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman dapat dilihat pada Gambar 12. PASAR Pupuk Insektisida Tenaga Kerja Tenaga Kerja Non-Farm RUMAH TANGGA TANAMAN (Padi, Jagung, dan Tebu) Pupuk, Tenaga Kerja Ternak Manajemen, Tenaga Kerja Limbah Tanaman TERNAK Ternak Konsentrat Obat Hewan Sumber: Wardhani dan Musofie 2004 Gambar 12 Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan Kegiatan usahatani tanaman (pangan dan perkebunan) menghasikan hijauan pakan ternak, seperti: rumput alam dari pematang sawah, gulma yang diperoleh dari kebun, dan limbah pertanian berupa jerami padi, kacang tanah, daun jagung, daun singkong, dan daun pucuk tebu. Selain itu dari limbah agroindustri, seperti: dedak, molases, ampas tahu, tongkol jagung, ampas kecap, dan lainnya sebagai merupakan input untuk usaha ternak. Kegiatan usaha ternak menyerap tenaga kerja manusia dan sumberdaya lain yang dapat menghasilkan produk peternakan.

63 48 Ternak menghasilkan pupuk organik yang dapat digunakan untuk tanaman pangan, perkebunan, tanaman pakan ternak. Pola usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan mampu memberikan nilai tambah pada masingmasing sektor usaha. Dalam pola ini petani mengurangi penggunaan input luar, tenaga kerja diusahakan berasal dari dalam keluarga, sarana produksi sedapat mugkin didapat dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait. Pengembangan integrasi tanaman-sapi bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik, (2) meningkatkan produktivitas tanaman dan penyediaan daging, dan (3) meningkatkan populasi ternak sapi dan pendapatan petani. Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan akan memacu terciptanya/tersedianya ketersediaan industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging sapi, industri pengolahan kulit, dan industri pupuk organik yang akan membutuhkan bahan baku ternak sapi potong yang cukup banyak. Selain itu, akan terjadi penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak di kawasan ini, membutuhkan ketersediaan rumah potong hewan yang memadai serta industri pakan ternak. Keberadaan industri hasil ternak ini juga akan mempengaruhi pasar produk hasil peternakan dan berdampak banyak (multiplier effects) terhadap perkembangan kawasan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Oleh sebab itu, Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan sangat membantu kawasan ini dalam rangka memajukan pertumbuhan kawasan dan meningkatkan PDRB daerah ini. Keberadaan industri pengolahan hasil ternak juga akan meningkatkan kegiatan agribisnis komoditas unggulan lokal, yang saling mendukung dan menguatkan termasuk industri kecil, pengolahan hasil, jasa pemasaran dan agrowisata dengan mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, secara efisien dan ekonomis, sehingga tidak ada limbah yang terbuang atau yang yang tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (usaha pertanian terpadu tanpa limbah). Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan akan memacu terciptanya/tersedianya ketersediaan industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging sapi, industri pengolahan kulit, dan industri pupuk organik yang akan membutuhkan bahan baku ternak sapi potong yang cukup

64 49 banyak. Selain itu, akan terjadi penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak di kawasan ini, membutuhkan ketersediaan rumah potong hewan yang memadai serta industri pakan ternak. Keberadaan industri hasil ternak ini juga akan mempengaruhi pasar produk hasil peternakan dan berdampak banyak (multiplier effects) terhadap perkembangan kawasan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Oleh sebab itu, Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan sangat membantu kawasan ini dalam rangka memajukan pertumbuhan kawasan dan meningkatkan PDRB daerah ini. Keberadaan industri pengolahan hasil ternak juga akan meningkatkan kegiatan agribisnis komoditas unggulan lokal, yang saling mendukung dan menguatkan termasuk industri kecil, pengolahan hasil, jasa pemasaran dan agrowisata dengan mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, secara efisien dan ekonomis, sehingga tidak ada limbah yang terbuang atau yang yang tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (usaha pertanian terpadu tanpa limbah). Peternak dalam memberikan pakan pada umumnya masih mengandalkan pakan yang terdapat di sekitar tempat tinggal. Peternak sapi potong, misalnya memanfaatkan rumput alam yang banyak tumbuh di padang penggembalaan, kebun, hutan, dan memanfaatkan limbah pertanian serta limbah agroindustri pertanian yang cukup tersedia di wilayah ini. Ketergantungan pada rumput alam ini akan menghadapi kendala pada saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia. Dengan adanya industri pakan ternak di wilayah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak di daerah sendiri, selebihnya bisa dipasarkan ke beberapa daerah, dan selain itu dapat menyerap tenaga kerja setempat serta memberikan multiplier effects terhadap wilayah ini, sehingga industri pakan dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada masyarakat maupun daerah.

65 50 Dalam rangka membangun kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong yang maju, kehadiran koperasi sangat dibutuhkan untuk memudahkan masyarakat mencari suntikan dana/modal, menampung produk agroindustri peternakan dan memasarkannya, serta lebih mempermudah dalam pelayanan pembiayaan kegiatan ekonomi mikro masyarakat setempat. Koperasi yang terbentuk sebaiknya merupakan upaya kesadaran dan partisipasi dari masyarakat dalam menjalankan program pengembangan untuk kepentingannya sendiri. Pada pola ini masyarakatlah yang memilki inisiatif dan berperan penuh pada kegiatankegiatan mereka, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan dari rasa tanggungjawab dari masyarakat itu sendiri. Langkah awal dari pembentukan koperasi ini harus ada pendampingan, pengorganisasian, dan pemberdayaan masyarakat.

66 51 VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1 Kabupaten Bondowoso merupakan wilayah pertanian yang menghasilkan produk primer pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Peternakan sapi potong merupakan salah satu potensi pertanian Kabupaten Bondowoso yang perlu dikembangkan. Potensi peternakan sapi potong tersebut, saat ini belum mendapatkan dukungan sistem agribisnis yang optimal. 2 Hasil analisis penentuan status keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong ditinjau dari lima dimensi keberlanjutan menunjukkan bahwa keberlanjutan dari dimensi ekologi dan ekonomi tergolong kurang berkelanjutan, keberlanjutan dari dimensi infrastruktur teknologi dan sosial budaya tergolong cukup berkelanjutan serta keberlanjutan dari dimensi hukum kelembagaan tergolong baik. Status keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di lokasi penelitian ditinjau secara multidimensi tergolong dalam status cukup berkelanjutan. 3 Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan dan ketergantungan antar faktor dari 23 atribut sensitif diperoleh 5 (lima) faktor kunci/penentu yang memiliki pengaruh kuat dan tingkat ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: 1 ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis; 2 sistem pemeliharaan ternak sapi potong; 3 ketersediaan pasar produk sapi potong; 4 ketersediaan industri pakan dan 5 koperasi ternak sapi potong. Faktor kunci tersebut merupakan bagian-bagian penting dari subsistem agribisnis yang meliputi subsistem agribisnis hulu (ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis serta industri pakan); subsistem agribisnis budidaya (sistem pemeliharaan ternak sapi potong); subsistem agribisnis hilir (ketersediaan pasar produk sapi potong) dan subsistem agribisnis penunjang (koperasi ternak sapi potong).

67 Saran 1 Peningkatan status keberlanjutan diperlukan dalam rangka pengembangan wilayah menuju kawasan agropolitan sapi potong. Peningkatan status keberlanjutan dilakukan melalui perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif terutama atribut yang menjadi faktor kunci/penentu yang memiliki pengaruh kuat dan tingkat ketergantungan antar faktor yang rendah. 2 Penerapan sistem pertanian terpadu (crop livestock system) diperlukan dalam rangka mendukung pengembangan wilayah agropolitan sapi potong. 3 Pembentukan lembaga khusus yang berbasis masyarakat diperlukan untuk menangani pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan kawasan agropolitan dapat lebih terarah dan keberlanjutan. 4 Peran aktif masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Bondowoso. 5 Penelitian secara mendalam yang berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Bondowoso sangat diperlukan agar pengembangan wilayah menjadi kawasan agropolitan sapi potong dapat dilakukan dengan sistematis dan optimal.

68 53 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bondowoso Dalam Angka Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bondowoso Dalam Angka Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. [BPS] Badan Pusat Statistik Kecamatan Botolinggo Dalam Angka Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. [BPS] Badan Pusat Statistik Kecamatan Cermee Dalam Angka Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. [BPS] Badan Pusat Statistik Kecamatan Maesan Dalam Angka Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. [BPS] Badan Pusat Statistik Kecamatan Tapen Dalam Angka Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. [BPS] Badan Pusat Statistik Kecamatan Wringin Dalam Angka Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. [BPS] Badan Pusat Statistik Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bondowoso Tahun Bondowoso (ID): Badan Pusat Statistika Kabupaten Bondowoso. Beller W How to sustain a small island. Di dalam Beller, W., P. d Ayala dan P. Hein, editor: Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. Man and the Biosphere Series. Paris (FR): Vol. 5 UNESCO and The Parthenon Publishing Group. Bourgeois R and Jesus F Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholder. Center for Alleviation of Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pasific and French Agricultural Research Center for Internasional Development. Monograph (46): 1-29 Byl, R Strategic Planing Using Scenario. Paper to be presented at IAME 2002 Confrence. Panama (PN). [Deptan] Departemen Pertanian Program Pembangunan Pertanian Jakarta (ID): Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Deptan] Departemen Pertanian Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jakarta (ID): Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. [Deptan] Departemen Pertanian Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan. Jakarta (ID): Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian. Diwyanto K, Prawiradiputra BR, Lubis D Integrasi tanaman ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa 12(1):1-8. Diwyanto K, Handiwirawan E Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar (ID), Bali Juli Djajalogawa SS, Pambudy R Peduli Peternak Rakyat. Jakarta (ID): Yayasan Agrindo Mandiri.

69 54 Fauzi A., dan Anna S Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Lautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Fisheries Rapfish Software for Excel. Fisheries Centre Research Reports. Friedmann J, Douglass M Pengembangan Agropolitan: Menuju Siasat Baru Perencanaan Regional di Asia. Jakarta (ID): (Terjemahan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia). Hadi PU, Ilham N Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong di Indonesia dalam rangka swasembada daging Monograph Series No. 22. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Ed ke-3. Jakarta (ID): PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Hartisari H Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Pertanian, Jurusan Teknik Industri. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ilham N, Hastuti S, Karyasa IK Pendugaan parameter dan elastisitas penawaran dan permintaan beberapa jenis daging di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 2: Karim A Peran perbankan dalam pengembangan agribisnis. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Kavanagh P Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Excel). Vancouver (CA): University of British Columbia, Fishries Centre. Kay R, Alder J Coastal Planning and Management. New York (US): Routledge. Malhotra NK Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. Jakarta (ID): PT Indeks Gramedia. Manwan I Farming system research in Indonesia: its evolution and future outlock. Di dalam: Prosedures for Farming System Research. Mersyah R Desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Munasinghe M Environmental Economic and Sustainable Development. Washington D.C (US): The International Bank for Reconstructioan and Development /The World Bank. Musofie A Kajian system pertanian organik dalam integrasi usahatani tanaman padi-sapi potong. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali (ID) Juli hlm Pambudy R Perilaku komunikasi, perilaku wirausaha peternak, dan penyuluhan dalam sistem agribisnis peternakan ayam. [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pambudy R, Sipayung T, Priatna WB, Burhanuddin, Kriswantriyono A, Satria A Bisnis dan Kewirausahaan dalam Sistem Agribisnis. Bogor (ID): Pustaka Wirausaha Muda. Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

70 55 Pitcher TJ Rapfish: A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome (IT): FAO UN. Pradhan PK Manual for Urban Rural Lingkage and Rural Development Analysis. Nepal (NP): New Hira Books Enerprises. Rumanjomi HB Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasiskan Agribisnis Peternakan Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana IPB. Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR Perencanaan pengembangan wilayah, konsep dasar dan teori. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB. Rustiadi E, Hadi S, Muttaqien WA Kawasan agropolitan konsep pembangunan desa-kota berimbang. Bogor (ID): Crestpent Press, IPB. Santosa U Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakartra (ID): Penebar Swadaya. Saragih B Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor (ID): USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Saragih B, Sipayung T Biological utilization in developmentalism and environmentalism. Paper Presented at the International Seminar on Natural Resources Accounting Environmental Economic Held in Yogyakarta, Indonesia, April 29. Situmorang P, Gede IP Peningkatan efisiensi reproduksi melalui perkawinan alam dan pemanfaatan inseminasi buatan (IB) untuk mendukung program pemuliaan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bogor, 9-10 September Soehadji Peluang Usaha Sapi Potong dan Kemitraan Usaha. Jakarta (ID): Dirjen Peternakan. Depertemen Pertanian. Sugeng YB Budidaya Sapi Potong. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Suwandi Agropolitan Merentas Jalan Meniti Harapan. Jakarta (ID): Duta Karya Swasta. Suyitman Model Pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Situbondo. [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Tawaf R., Sulaeman dan Udiantono TS Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. Proceding Agroindustri Sapi Potong Prospek Pengembangan pada PJPT II. PPA- CIDES-UQ. Jakarta (ID) Thamrin Model pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat: studi kasus wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang-Sarawak. [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Thohari ES Sumber-sumber pembiayaan untuk agribisnis. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bogor, 9 10 September. Walpole R.E Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. WCED Our Common Future. New York (US): Oxford Univ. Press.

71 56 Lampiran 1 Nilai skor dimensi keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso Dimensi dan Atribut Pemanfaatan limbah ternak sapi potong untuk pupuk organik. Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak. Sistem pemeliharaan ternak sapi potong. Lahan (kesuburan tanah). Kapasitas tampung padang penggembalaan alam Kegiatan perladangan berpindah Ketersediaan pakan ternak sapi potong. Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak sapi potong. Skor Baik Buruk Keterangan Dimensi Ekologi (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan limbah pertanian: jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, dan pucuk tebu (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan. Sistem pemeliharaan ternak ekstensif adalah ternak dipelihara dalam kandang dan hanya diberi pakan rumput saja. (0) > 50% tradisional; (1) %; (2) 10 - < 25 %; (3) < 10 % tradisional. Kesuburan tanah berdasarkan sifat kimia tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah 1983) (0) tanah tidak subur: %N < 0.20% dan ph <6.5; (1) tanah kesuburan sedang: %N: % dan ph: ; (2) tanah subur: %N: >0.51% dan ph: Unit Ternak (UT) adalah seekor sapi berumur >2 tahun dengan berat kg yang berada di lahan penggembalaan seluas 1 hektar. (0) melebihi kapasitas (<2 UT); (1) sedang (>1-2 UT); (2) rendah (>1 UT ) (0) tidak pernah; (1) jarang terjadi; (3) sering Kebersihan kandang (0) kotor; (1) bersih Ketersediaan rumah potong hewan (RPH). Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah RPH Jenis pakan ternak Ketersediaan lahan untuk pakan ternak Hijauan Makanan Ternak (HMT) unggul. Kuantitas limbah (feses dan urin) Mengacu pada Dinas Peternakan:(0) sangat kritis (tidak tersedia); (1) kritis (kekurangan); (2) rawan (cukup tersedia); (3) aman (tersedia dan berlebih). (0) tidak ada; (1) ada tetapi sederhana (2) ada dan kondisinya baik; (3) ada kondisinya sangat baik Mengacu pada Dirjen Peternakan: (0) tipe C; (1) tipe B; (2) type A. (0) tidak ada; (1) ada tetapi sederhana; (2) ada dan kondisinya baik; (3) ada kondisinya sangat baik. (0) seadanya/hijauan alami; (1) hijauan + limbah pertanian/agroindustri; (2) hijauan + limbah pertanian/agroindustri + konsentrat. (0) tidak ada; (1) ada tetapi sedikit; (2) ada dan cukup; (3) Ada dan cukup luas (0) ada banyak; (1) sedikit; (2) tidak ada.

72 57 ternak sapi potong yang tersisa dikandang per hari. Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk (0) di lokasi permukiman; (1) dekat: m dari permukiman; (2) jauh: >100 m dari permukiman. (0) sering; (1) kadang-kadang; (2) tidak pernah Kejadian kekeringan terjadi. Frekuensi kejadian (0) sering; (1) kadang-kadang; 2) tidak pernah banjir. terjadi. Curah hujan (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi. Kondisi prasarana (0) jalan tanah, (1) jalan pasir dan batu, (2) jalan jalan usahatani. aspal/hotmix. Kondisi prasarana (0) jalan tanah, (1) jalan pasir dan batu, (2) jalan jalan desa. aspal/hotmix. Keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan sapi potong. Kontribusi terhadap PDRB. Kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk bidang pertanian. Rataan penghasilan peternak terhadap upah minimum kabupaten. Transfer keuntungan usaha ternak sapi potong. Pasar produk agroindustri peternakan. Ketersediaan pasar ternak. Tempat peternak menjual ternaknya. Ketersediaan industri pakan. Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 tahun terakhir). Subsidi usaha ternak sapi potong. Persentase penduduk miskin. Rata-rata harga jual ternak sapi potong tahun Dimensi Ekonomi mengacu pada analisis usaha: Revenue Cost Ratio (R/C): (0) rugi besar (R/C<0,75); (1) rugi sedikit (R/C:0,75-1,0) ; (2) kembali modal (R/C:1,0); (3) keuntungan marginal (R/C:1,0-1,25) ; (4) sangat menguntungkan (R/C:>1,25) (0) rendah: < 10 %; (1) sedang: %; (2) tinggi: >20 % (0) rendah: < 30 %; (1) sedang: %; (2) tinggi: >50 %. Upah minimum Kabupaten Bondowoso tahun 2012 adalah Rp (0) di bawah; (1) sama; (2) lebih tinggi dari upah minimum kabupaten (UMK). (0) lebih banyak di penduduk luar daerah; (1) seimbang antara lokal dan luar daerah; (2) terutama berada di penduduk lokal. (0) pasar lokal; (1) pasar nasional; (2) pasar internasional. (0) tidak ada; (1) ada pada desa tertentu; (2) tersedia pada setiap desa. (0) lewat perantara; (1) pasar ternak; (2) pengusaha industri pemotongan ternak sapi potong. (0) tidak ada; (1) ada pada desa tertentu; (2) tersedia pada setiap desa (0) berkurang; (1) tetap; (2) bertambah (0) keharusan mutlak; (1) sangat tergantung; (2) besar; (3) sedikit; (4) tidak ada. Penduduk miskin adalah penduduk yang berpenghasilan di bawah UMK. (0) tinggi (>60%); (1) sedang (30-60%); (2) rendah (>30%) (0) murah; (1) sedang; (2) mahal.

73 58 Jumlah tenaga kerja pertanian. Jumlah komoditas unggulan. Kelayakan usaha agroindustri. Tingkat ketergantungan konsumen. Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok. Jumlah rumah tangga peternakan. Pertumbuhan rumah tangga peternakan per tahun ( ) Tingkat penyerapan renaga kerja agroindustri peternakan. Frekuensi konflik yang berkaitan dengan usaha ternak sapi potong. Partisipasi keluarga dalam usaha agribisnis peternakan. Peran masyarakat dalam usaha peternakan. Frekuensi penyuluhan dan pelatihan. Tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian. Alternatif usaha selain usaha agribisnis peternakan. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan. Alokasi waktu untuk usaha ternak sapi potong. Jumlah desa dengan penduduk bekerja di Tenaga kerja pertanian adalah orang yang bekerja di bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. (0) sedikit (<10%); (1) sedang(10-50%); (2) tinggi (50-80%); (3) sangat tinggi (>80%). Komoditas unggulan adalah memiliki prospek pasar, menguntungkan secara ekonomi, potensinya besar, komoditas dominan, dan digemari masyarakat (0) hanya satu; (1) lebih dari satu; (2) banyak (0) tidak layak; (1) layak (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi Dimensi Sosial Budaya (0) pekerjaan secara individual; (1) kerjasama satu keluarga; (2) kerjasama kelompok. (0) < 1/3; (1) 1/3-2/3; (2) > 2/3 dari total jumlah rumah tangga pada kawasan tersebut (0) <10 %; (1) 10-20%; (2) 20-30%; (3) >30 % (0) tidak ada; (1) sedikit; 2) banyak (0) banyak; (1) sedikit; (2) tidak ada (0) tidak ada; (1) 1-2 anggota keluarga; (2) 3-4 anggota keluarga; (3) > 4 anggota keluarga (0) tidak ada; (1) sedikit; (2) banyak (0) tidak pernah ada; (1) sekali dalam setahun; (2) dua kali dalam setahun; (3) minimal tiga kali dalam setahun (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) banyak; (1) sedikit; (2) tidak ada (0) tidak ada; (1) sedikit; (2) banyak (0) hanya hobi; (1) paruh waktu; (2) penuh waktu (0) tidak ada; (1) desa tertentu saja; (2) semua desa.

74 59 sektor peternakan. Penyebaran tempat Poskeswan. Penyebaran pos pelayanan inseminasi buatan (IB). Penggunaan vitamin dan probiotik untuk ternak. Dimensi Teknologi dan Infrastruktur (0) tidak dilakukan; (1) terpusat; (2) agak terpusat; (3) tersebar (0) tidak dilakukan; (1) terpusat; (2) agak terpusat; (3) tersebar (0) tidak pernah; (1) kadang-kadang; (2) rutin. Teknologi pakan (0) tradisional; (1) sederhana; (2) modern. Teknologi pengolahan limbah agroindustri ternak (0) tidak ada; (1) sederhana; (2) modern. sapi potong. Teknologi pengolahan hasil produk ternak sapi (0) tidak ada; (1) sederhana; (2) modern. potong. Teknologi informasi dan transportasi (0) minim; (1) cukup; (2) baik. Ketersediaan sarana dan prasarana (0) minim; (1) cukup; (2) lengkap. agribisnis. Ketersediaan infrastruktur/ sarana (0) minim; (1) cukup; (2) lengkap. dan prasarana umum. Tingkat penguasaan teknologi budidaya ternak sapi potong (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi. Ketersediaan teknologi informasi peternakan. Standarisasi mutu produk peternakan. Koperasi Ternak Sapi Potong Badan pengelola kawasan agropolitan. Lembaga penyuluhan pertanian/bpp. Lembaga keuangan mikro (bank/kredit). Ketersediaan aturan kearifan lokal usaha ternak sapi potong. Kelompok tani ternak. Kesesuaian kebijakan pusat dan daerah. Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan (0) tidak tersedia; (1) tersedia tetapi tidak optimal; (2) tersedia optimal (0) belum diterapkan,; (1) diterapkan pada produk tertentu; (2) diterapkan untuk semua produk. Dimensi Hukum dan Kelembagaan (0) belum ada; (1) ada tapi tidak berjalan optimal; (2) ada dan berjalan optimal (0) tidak ada; (1) ada tetapi tidak berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan. (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak sinkron; (1) kurang sesuai; (2) sesuai (0) belum ada; (1) ada tapi kurang berjalan optimal; (2) ada dan berjalan optimal.

75 Other Distingishing Features Other Distingishing Features 60 Lampiran 2 Nilai indek lima dimensi keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso A Dimensi Ekologi Rap-AGROSAPOT Ecology Ordination UP 20 0 BAD GOOD Real Breeder References Anchors DOWN -60 Beef Cattle Breeding Sustainability Sumber: Data Primer (diolah) B Dimensi Ekonomi Rap-AGROSAPOT Economic Ordination UP 20 0 BAD GOOD Real Breeder References Anchors DOWN -60 Beef Cattle Breeder Sustainability Sumber: Data Primer (diolah)

76 Other Distingishing Features Other Distingishing Features 61 C Dimensi Sosial Budaya Rap-AGROSAPOT Culture Ordination UP 20 0 BAD GOOD Real Breeder References Anchors DOWN -60 Beef Cattle Breeder Sustainability Sumber: Data Primer (diolah) D Dimensi Infrastruktur Teknologi Rap-AGROSAPOT Technology Ordination UP BAD GOOD Real Breeder References Anchors DOWN -60 Beef Cattle Breeder Sustainability Sumber: Data Primer (diolah)

77 Other Distingishing Features 62 E Dimensi Hukum dan Kelembagaan Rap-AGROSAPOT Institutional Ordination UP 20 0 BAD GOOD Real Breeder References Anchors DOWN -60 Beef Cattle Breeder Sustainability Sumber: Data Primer (diolah) Lampiran 3 Hasil analisis tingkat kepentingan atribut-atribut yang berpengaruh pada sistem yang dikaji Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Ketersediaan pasar produk peternakan sapi potong Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan Sistem sapi potongpemeliharaan ternak sapi potong Pengaruh Ketersediaan industri pakan Koperasi ternak sapi potong Perubahan nilai APBD (5 tahun terakhir) Jenis pakan Daya dukung Ketersedian ternak pakan lahan Ketersedian RPH untuk pakan Jarak lokasi Kebersihan usaha peternakan kandang dengan Ketersediaan IPAL Lembaga pemukiman Ketersediaan RPH Partisipasi IPAL Sinkronisasi penyuluhan Frekuensi agroindustri keluarga dalam hasil Peran masyarakat Kuantitas Limbah kebijakan Badan pengelola pertanian penyuluhan pusat Kelayakan dan finansial Ketersediaan usaha ternak peternakan dalam kawasan usaha Peternakan Lembaga dan daerah Lembaga sosial pelatihan peternakan agropolitan Keuangan mikro Sumber: Data Primer (diolah) Ketergantungan

78

79 63 Lampiran 4 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bondowoso Sumber: BPS Kabupaten Bondowoso 2012

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Bondowoso

Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Bondowoso Jurnal Peternakan Indonesia, Juni 2014 Vol. 16 (2) ISSN 1907-1760 Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Bondowoso Sustainability Status

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Penetapan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan mempunyai potensi yang memungkinkan untuk

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 43 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kawasan Minapolitan Bontonompo yang mencakup 5 (lima) kecamatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2006 sampai bulan Oktober 2006. Penelitian dilakukan di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN 39 III. METODOLOGI KAJIAN 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan ekonomi lokal merupakan usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 133 VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 8.1. Pendahuluan Kabupaten Gowa mensuplai kebutuhan bahan material untuk pembangunan fisik, bahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai negara agraris dengan berbagai produk unggulan di setiap daerah, maka pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan perikanan di Indonesia harus berorientasi pada

Lebih terperinci

VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO. Abstrak

VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO. Abstrak VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO Abstrak Pemerintah Kabupaten Situbondo masih belum menetapkan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Untuk itu sebelum program

Lebih terperinci

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN The Status of Livestock-Based Regional Sustainability in Situbondo Regency for Agropolitan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba

3 METODE PENELITIAN. 1. Pangkep 4 33' ' ' ' 2, Takalar , Bulukumba 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan mulai bulan Februari 2011 hingga Oktober 2011. Lokasi penelitian dilakukan di 3 kabupaten yaitu Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan bidang penelitian.

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1.1 Kelembagaan Agro Ekonomi Kelembagaan agro ekonomi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penunjang berlangsungnya kegiatan

Lebih terperinci

ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR Oleh : Sigit Pranoto F34104048 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Peternakan adalah kegiatan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada faktor-faktor produksi. Peternakan merupakan

Lebih terperinci

KEBERLANJUTAN SISTEM BUDI DAYA TERNAK SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN BOGOR

KEBERLANJUTAN SISTEM BUDI DAYA TERNAK SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN BOGOR KEBERLANJUTAN SISTEM BUDI DAYA TERNAK SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN BOGOR Dear Rahmatullah Ramadhan, Sri Mulatsih, dan Akhmad Arif Amin 51 KEBERLANJUTAN SISTEM BUDI DAYA TERNAK SAPI PERAH

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA Iis Arsyad¹, Syaiful Darman dan Achmad Rizal² iis_arsyad@yahoo.co.id ¹Mahasiswa Program Studi

Lebih terperinci

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN 2001-2004: VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN Visi Pembangunan Pertanian Visi pembangunan pertanian dirumuskan sebagai : Terwujudnya masyarakat yang sejahtera

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAHAKAM ULU TEMA RKPD PROV KALTIM 2018 PENGUATAN EKONOMI MASYRAKAT MENUJU KESEJAHTERAAN YANG ADIL DAN MERATA

PEMERINTAH KABUPATEN MAHAKAM ULU TEMA RKPD PROV KALTIM 2018 PENGUATAN EKONOMI MASYRAKAT MENUJU KESEJAHTERAAN YANG ADIL DAN MERATA PEMERINTAH KABUPATEN MAHAKAM ULU TEMA RKPD PROV KALTIM 2018 PENGUATAN EKONOMI MASYRAKAT MENUJU KESEJAHTERAAN YANG ADIL DAN MERATA Strategi dan Program Prioritas Penguatan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Mahulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi

KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI, SOSIAL, EKONOMI DAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA. Aceng Hidayat, Zukhruf Annisa, Prima Gandhi Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 3 No. 3, Desember 2016: 175-187 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 http://dx.doi.org/10.20957/jkebijakan.v3i3.16250 KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN EKOLOGI,

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa dekade yang lalu paradigma pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik tanpa diikuti pembangunan ekonomi sosial dan

Lebih terperinci

Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 1907-1760 Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat The Sustainability

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN Sistem Produksi Pertanian/ Peternakan Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Pembangunan peternakan rakyat (small farmers) di negara yang sedang

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

VI KESIMPULAN DAN SARAN

VI KESIMPULAN DAN SARAN 237 VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, model kebijakan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dalam mendukung pengembangan kawasan agropolitan di

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR Oleh : Sigit Pranoto F34104048 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 185 IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN 9.1 Karakteristik Responden Dalam rangka pengambilan keputusan maka perlu dilakukan Analytical Hierarchy Process (AHP) Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

AGRIBISNIS KAMBING - DOMBA

AGRIBISNIS KAMBING - DOMBA PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAMBING - DOMBA Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah 4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah Mencermati isu-isu strategis diatas maka strategi dan kebijakan pembangunan Tahun 2014 per masing-masing isu strategis adalah sebagaimana tersebut pada Tabel

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai, Provinsi Banten, serta di wilayah sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan Mei September

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan I. PENDAHULUAN A. Maksud dan Tujuan Rencana Kerja (Renja) Dinas Peternakan Kabupaten Bima disusun dengan maksud dan tujuan sebagai berikut : 1) Untuk merencanakan berbagai kebijaksanaan dan strategi percepatan

Lebih terperinci

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN OLEH BURHANUDDIN Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM-IPB Otonomi daerah telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka mewujudkan sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI SAWAH DI KECAMATAN SOREANG KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI SAWAH DI KECAMATAN SOREANG KABUPATEN BANDUNG Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 7 No. 2 (Agustus 2017): 107-113 ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI SAWAH DI KECAMATAN SOREANG KABUPATEN BANDUNG Sustainable of Rice Farming in

Lebih terperinci

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p Online at :

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p Online at : Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 201, p -0 Online at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj ANALISIS POTENSI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI PERAH DI KECAMATAN UNGARAN BARAT KABUPATEN SEMARANG

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN AGROPOLITAN PERPAT BELITUNG

EVALUASI KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN AGROPOLITAN PERPAT BELITUNG EVALUASI KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN AGROPOLITAN PERPAT BELITUNG Hariyadi *, Catur Herison **, Edi Suwito *** * Staf Pengajar Fakultas pertanian IPB, e-mail : - ** Staf Pengajar Fakultas pertanian

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Sektor pertanian

Lebih terperinci

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Aquatic Science & Management, Vol. 1, No. 2, 188-192 (Oktober 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00042

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana Pembangunan Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan potensi dari sektor pertanian di Indonesia didukung oleh ketersediaan sumber

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah pendekatan orientasi pembangunan yang tadinya dari atas ke bawah (top-down) menjadi pembangunan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi menurut Arsyad (1999) dalam Rustiadi et al (2003) dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan peternakan saat ini, menunjukan prospek yang sangat cerah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian Indonesia. Usaha peternakan

Lebih terperinci

BAB V. kelembagaan bersih

BAB V. kelembagaan bersih 150 BAB V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1 Analisis Dimensional Analisis keberlanjutan pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta mencakup empat dimensi yaitu dimensi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak.

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak. ABSTRAK Ahmad Surya Jaya. NIM 1205315020. Dampak Program Simantri 245 Banteng Rene Terhadap Subak Renon di Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar. Dibimbing oleh: Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, SU dan Ir.

Lebih terperinci

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA Disusun oleh : Karmila Ibrahim Dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun Abstract Analisis LQ Sektor pertanian, subsektor tanaman pangan,

Lebih terperinci

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN Paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan proses partisipatif dan terdesentralisasi, oleh karena itu dalam menyusun

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Pembangunan Peternakan Provinsi Jawa Timur selama ini pada dasarnya memegang peranan penting dan strategis dalam membangun

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa agribisnis memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN 2005-2014 Sri Hidayah 1) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Uniersitas Siliwangi SriHidayah93@yahoo.com Unang 2) Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI SKRIPSI YAN FITRI SIRINGORINGO JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember www.adamjulian.net Pengembangan Kawasan Pertanian Industrial

Lebih terperinci

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN ARIS SUBAGIYO Halama n 1 & PUSAT PERTUMBUHAN PELAYANAN Halama n Penentuan Pusat Pertumbuhan & Pusat Pelayanan 4 ciri pusat pertumbuhan : Adanya hubungan internal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

Tabel 5.1 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah Tahun

Tabel 5.1 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah Tahun Tabel 5. Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah Tahun 3-8 VISI MISI TUJUAN SASARAN INDIKATOR SATUAN AWAL TARGET INDIKATOR 3 4 5 6 7 8 8 3 4 5 6 7 8 9 3 4 TERWUJUDNYA TEMANGGUNG

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Lokasi

METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Lokasi III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah program pemerintah daerah yang diterapkan telah cukup mengandung aspek pembinaan dan penerapan kelestarian lingkungan. Wilayah yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci