BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini mengulas mengenai fenomena perilaku Angkringan yang terjadi di ruang milik jalan, terletak di Kelurahan Condongcatur, Sleman. Dalam bab ini, dipaparkan beberapa subbab yaitu, (I.1) Latar Belakang; (I.2) Fokus Penelitian; (I.3) Masalah Penelitian; (I.4) Tujuan Penelitian; (I.5) Manfaat Penelitian; (I.6) Keaslian Penelitian; dan (I.7) Batasan Penelitian; (I.8) Kerangka Pikir Penelitian. I.1 Latar Belakang Angkringan (berasal dari bahasa Jawa Angkring yang berarti duduk santai) adalah sebuah gerobak dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman, biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung HIK "Hidangan Istimewa ala Kampung" atau wedangan. Gerobak Angkringan biasa ditutupi oleh kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar delapan orang pembeli. Angkringan beroperasi mulai sore hari, dengan mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan (id.wikipedia.org). Pedagang Angkringan sebagian besar berasal dari Kabupaten Klaten, khususnya Kecamatan Bayat, sekalipun terdapat sebagian kecil pedagang Angkringan yang berasal dari Pojong, Tepus dan Ngawen. Lokasi yang sering dijadikan tempat berjualan biasanya di pinggir jalan atau di atas trotoar, namun ada juga pedagang Angkringan yang berjualan di tengah perkampungan dan lingkungan kos-kosan mahasiswa (Aminuddin, 2000:42) Angkringan juga terkenal sebagai tempat yang egaliter karena bervariasinya pembeli yang datang tanpa membedakan strata sosial, suku, agama dan ras. Mereka menikmati makanan sambil bebas mengobrol hingga larut malam meskipun tidak saling mengenal, membicarakan berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang topik-topik yang serius. Harganya yang murah dan tempat yang santai membuat Angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat 1

2 persinggahan untuk mengusir lapar atau sekadar melepas lelah (id.wikipedia.org). Beberapa alasan yang menjadi daya tarik tersendiri dari Angkringan, di antaranya harga yang murah, tempat sederhana namun nyaman untuk bersantai dan ngobrol, menjadi penyebab pedagang Angkringan semakin banyak tersebar di wilayah kota Yogyakarta khususnya Kelurahan Condongcatur, Sleman, Yogyakarta. Kelurahan Condongcatur memiliki beberapa perguruan tinggi, sekolah, lingkungan perumahan dan kost-kost mahasiswa, menjadikan Kelurahan Condongcatur sebagai wilayah dengan tingkat usaha yang berkembang pesat. Tanpa terkecuali juga para pedagang Angkringan yang bermunculan mengisi ruang-ruang kosong di sekitar lingkungan Condongcatur, mulai dari penggunaan ruang pedestrian, bahu jalan serta pemanfaatan ruang-ruang kosong di antara bangunan. Hal ini menjadi masalah tersendiri karena telah menggunakan fasilitas yang bukan peruntukannya untuk kepentingan pribadi (berdagang). Di sisi lain munculnya Angkringan memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian masyarakat kelurahan Condongcatur, khususnya kalangan menengah ke bawah dalam penyediaan lapangan kerja baru. Angkringan dalam konteksnya sebagai ruang interaksi sosial dapat dikatakan sebuah lingkungan binaan. Lingkungan binaan terdiri dari lingkungan terestrial dan lingkungan budaya. Lingkungan terestrial merujuk pada lingkungan alam (fisik) sedangkan lingkungan budaya merujuk pada aspek sosial (non fisik), karena budaya berkembang dari adanya peluang-peluang dari sumber alami, minat dan kompetensi manusia. Layout (setting) dan komposisi lingkungan mempengaruhi cara manusia berkomunikasi satu sama lain, yang kemudian berarti mempengaruhi proses sosialnya. (Laurens,2004:51-52) Mahal dan terbatasnya tempat usaha serta tekanan hidup, menuntut kejelian pedagang Angkringan dalam melihat lingkungan, sebagai peluang dari sumber alami atau kemanfaatan lingkungan untuk berperilaku (affordances) menjadikan hal ini sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Laurens (2004:80) mengungkapkan bahwa manusia menelusuri lingkungan sekitar, mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya. Lingkungan dengan pola 2

3 tertentu dapat memenuhi kebutuhan laten seseorang, yang tidak disadari termanifestasi dalam affordances (kemanfaatan) lingkungan yang tertata dengan pola yang baik dan jelas. Setiap lingkungan mempunyai seperangkat affordances untuk aktivitas manusia atau pengalaman estetika karena pada dasarnya lingkungan itu sendiri sangat kaya dengan affordances, namun tidak semua affordances dapat digunakan dan perangkat affordance dalam suatu lingkungan yang dipakai oleh manusia tertentu bergantung pada karakteristik budaya, nilai, dan kebutuhan individunya. Arsitektur dalam pembahasan studi perilaku-lingkungan (behaviour setting) dianggap sebagai proses adaptasi manusia terhadap lingkungan terestrial dan budaya, tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya, karena manusia merupakan pusat lingkungan dan sekaligus juga menjadi bagian dari lingkungan. Perubahan terhadap lingkungan dengan sadar mengikuti suatu rencana, tapi sebagian perubahan terjadi tanpa direncanakan karena proses perilaku alami (purely behaviour). Pada dasarnya properti lingkungan diubah manusia (coping strategy) untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik bagi pemenuhan kebutuhannya bagi aktivitas baru atau untuk mendapatkan pengalaman estetika yang baru (Laurens, 2004:54). Terdapat beberapa studi yang terkait dengan Angkringan di antaranya studi yang dilakukan oleh Aminuddin (2000), yaitu studi tentang jaringan sosial dan jaminan sosial pedagang Angkringan di Kelurahan Terban, Kota Yogyakarta, yang mengungkapkan bahwa mekanisme jaringan sosial pedagang Angkringan ini dibangun melalui hubungan-hubungan sosial yang dimulai dari desa dan terus berlangsung hingga daerah tujuan migrasi tersebut. Jaringan sosial yang dilakukan melalui interaksi dan pertukaran sosial (social exchange) itu, kemudian menciptakan hubungan timbal-balik antara pedagang tersebut, yang akan menghasilkan solidaritas sosial serta resiprositas di antara mereka hingga terciptanya hubungan patronase (patron-client) antara pedagang dengan juragan (bos). Mekanisme solidaritas sosial, resiprositas dan patronase pedagang Angkringan tersebut sebagai upaya untuk memberikan jaminan-jaminan sosial 3

4 (social security) dan penciptaan mekanisme jaminan sosial ini merupakan bagian dari strategi survival bagi pedagang itu sendiri. Penelitian Angkringan selanjutnya yang dilakukan oleh Novindriarti (2012) yang berjudul Migration and Social Networks on Livelihood, A Study of Angkringan Seller in Yogyakarta City, yang mengungkapkan bahwa pada umumnya responden memutuskan untuk migrasi karena kesulitan dalam kehidupan mereka, bencana alam, perubahan dalam komposisi keluarga, pengangguran dan kondisi seasonal. Informasi tentang pekerjaan pertama diperoleh dari saudara, keluarga, teman atau kerabat yang sudah melakukan migrasi terlebih dahulu membuat informasi pekerjaan yang diterima sama dan bekerja pada jenis pekerjaan yang sama. Studi juga menyimpulkan bahwa perbedaan tingkatan modal sosial mempunyai dampak pada mobilitas. Responden semi mandiri cenderung memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk melakukan mobilitas bila dibandingkan dengan responden mandiri dan juragan, karena modal sosial yang mereka miliki. Kualitas dari modal sosial berhubungan dengan relasi/ networks yang dimiliki oleh responden, semakin luas relasi yang dimiliki cenderung meningkatkan level dari modal sosial seseorang. Faktor lain yang berpengaruh untuk peningkatan modal sosial antara lain jangka waktu migrasi dan kerja, serta keadaan keluarga dalam hal berhubungan dengan anggota keluarga yang lain dan kemampuan untuk menabung yang pada akhirnya mendorong untuk melakukan mobilitas. Selain itu modal sosial tidak hanya mendorong mobilitas akan tetapi juga menghalangi mobilitas, hal ini berhubungan dengan ketidakmampuan individu untuk maju dan juga karena masalah modal/ finansial. Pada umumnya pedagang Angkringan merupakan pedagang yang berpindah-pindah atau biasa disebut dengan pedagang kaki lima (PKL). Terdapat beberapa penelitian sebelumnya tentang pedagang kaki lima yang membahas seting fisik dan seting aktivitas, yaitu Gobel, (2012) melakukan penelitian pengaruh setting fisik dan aktivitas pedagang kaki lima (PKL) terhadap linkage kawasan dengan studi kasus : Jl. Soeprapto, Jl. MT. Haryono, Jl. Raja Eyato dan Jl. S. Parman di kawasan perdagangan Kota Gorontalo. Penelitian ini 4

5 mengungkapkan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh karakteristik setting PKL tipe 2, tipe 4, tipe 5 dan tipe 7 cukup signifikan dalam menaikkan kualitas linkage kawasan sehingga rekomendasi diarahkan kepada upaya menetralisir tekanan yang berlebihan di ruang jalan dengan cara mengganti tipe-tipe yang bermasalah dengan tipe tersebut. Selanjutnya penelitian PKL oleh Kurniadi (2009), karakteristik spasial yang terbentuk dari perilaku teritirialitas di kawasan Pasar Sudirman Pontianak. Mengungkapkan bahwa terdapat tiga kelompok teritorialitas pengguna yaitu kelompok invator, agresor dan penderita yang kemudian secara spasial menimbulkan permasalahan diantaranya efek domino teritorialitas, teritorialitas sebagai negative place akibat penumpukan aktivitas dan produk fisik teritorialitas menjadi pemicu permasalahan spasial. Kemudian penelitian PKL oleh Jatmiko (2006), faktor-faktor penentu pola penyebaran dan setting pedagang kaki lima, studi kasus kawasan di sekitar Monumen 45, Banjarsari, Surakarta. Penelitian ini mengungkapkan bahwa faktorfaktor yang menentukan pola penyebaran terkait dengan fungsi bangunan, jarak dan sirkulasi (akses dan lalu lintas) serta faktor-faktor yang menentukan setting PKL terkait dengan setting fisik dan setting aktivitas di sekitar Kawasan Monumen 45, Banjarsari, Surakarta. Lebih lanjut penelitian PKL oleh Yogananta (2006), sistem setting pedagang kaki lima di pinggiran Kota Yogyakarta, Jl. Raya Yogya-Wates KM 11 s.d KM 14. Hasil penelitian ini meliputi intensitas dan jenis dagangan kios PKL serta karakter fisik dan tampilan visual kios PKL yang paling memenuhi syarat terhadap kenyamanan, keamanan dan sisi komersialnya, dalam satu arahan sistem setting PKL di pinggiran perkotaan. Kemudian penelitian PKL oleh Pakiding (2003), faktor-faktor penentu pengembangan setting pedagang kaki lima di kawasan komersial Jl. Urip Sumoharjo Yogyakarta. Hasil penelitian ini mengungkapkan terdapat enam pola setting pedagang kaki lima dan sirkulasi pejalan kaki pada pagi dan siang, serta empat pola pedagang kaki lima dan sirkulasi pejalan kaki pada malam hari, selain 5

6 itu juga terdapat tiga pola pedagang kaki lima tidak menggunakan dinding pembatas dan sirkulasi pejalan kakinya. Terdapat faktor-faktor penentu seting pedagang kaki lima di kawasan Jl. Urip Sumoharjo di antaranya pencapaian (accessibility), kemenarikan (attractivity), kelengkapan (amenities), waktu (time), pengguna ruang sirkulasi, kebutuhan pengunjung, kebutuhan pedagang kaki lima, ruang yang digunakan, posisi, dan rasio lebar (dimension). Selanjutnya penelitian PKL oleh Eko Wahyu Ariyadi (2003), kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuhnya pedagang kaki lima di suatu kawasan dengan studi kasus kawasan Monumen Perjuangan 45, Banjarsari, Surakarta. Hasil dari penelitian mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang kuat memberikan pengaruh adalah (i) adanya peran politisi, (ii) implementasi kebijakan pengelolaan ruang dan pedagang kaki lima yang lemah, (iii) letak lokasi, (iv) sistem kekerabatan di lingkungan pedagang kaki lima. Faktor-faktor ini mempengaruhi pertumbuhan pedagang kaki lima yakni berupa perkembangan jumlah pedagang, perkembangan spasialnya, tingkat permanensi bangunan kios, jenis ruang yang ditempati, luas lahan yang dipakai dan interaksi komunitas pedagang kakilima kawasan Monumen Perjuangan 45, Banjarsari, Surakarta. Hal ini senada dengan pendapat Laurens (2004), yang mengungkapkan bahwa pada dasarnya lingkungan itu sendiri sangat kaya dengan affordances, namun tidak semua affordances dapat digunakan dan perangkat affordance dalam suatu lingkungan yang dipakai oleh manusia tertentu bergantung karakteristik budaya, nilai, dan kebutuhan individunya. 6

7 Tabel I.1. Penelitian Angkringan dan PKL 2015 Sumber : Berbagai sumber,

8 Dilihat dari tabel di atas, penelitian yang membahas khusus tentang Angkringan masih mencakup aspek jaringan sosial antar pedagang dan aspek alasan dan faktor migrasi pedagang Angkringan yang datang ke Yogyakarta. Sedangkan penelitian dari sudut pandang aspek setting fisik dan setting aktivitas pedagang kaki lima (termasuk di dalamnya pedagang Angkringan) juga telah banyak dilakukan, yang rata-rata berfokus pada pencarian pengaruh suatu setting fisik terhadap tumbuh dan berkembangnya serta persebaran PKL untuk itulah diperlukan penelitian tentang pedagang Angkringan dengan melihat dari sudut pandang yang lain. Penelitian mengenai lingkungan sebagai ruang (space), selama ini dikembangkan melalui beberapa pendekatan yang berbeda, di antaranya: (1) pendekatan ekologis, (ecological approach) yang menekankan pada tinjauan ruang sebagai kesatuan ekosistem, dan melihat komponen-komponen ruang saling terkait dan berpengaruh secara mekanis. (2) pendekatan fungsional dan ekonomi (functional economical approach), yang menekankan pada ruang sebagai wadah berbagai kegiatan dengan melihat jarak atau lokasi menjadi penting. (3) pendekatan sosial-politik (socio-political approach) yang menekankan pada aspek penguasaan ruang, pendekatan ini melihat ruang tidak saja sebagai sarana produksi akan tetapi sebagai sarana untuk mengakumulasi power. (4) pendekatan seting perilaku (behaviour setting), yang menekankan pada interaksi antara manusia dan lingkungannya (Haryadi dan Setiawan, 2010). Seperti telah disebutkan bahwa penelitian sebelumnya yang khusus membahas Angkringan di antaranya, Aminuddin (2000) membahas tentang jaringan sosial dan permodalan Angkringan dengan lokasi di Kelurahan Terban, dan Novindriarti (2012), membahas jaringan sosial dan migrasi Angkringan khusus yang berasal dari Klaten dengan lokasi di Kota Yogyakarta. Selanjutnya telah disebutkan juga bahwa Angkringan terkenal sebagai tempat yang egaliter karena bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan strata sosial, suku, agama dan ras. Selain itu Angkringan juga telah dikenal oleh masyarakat luas dan menjadi salah satu daya tarik wisata kuliner di Kota Yogyakarta, 8

9 daripada kota asalnya. Hal itu menjadi sesuatu yang menarik untuk melihat lebih dalam bagaimana kompleksnya perilaku manusia yang harus diwadahi oleh sebuah seting Angkringan (behaviour setting). Barker (1968) memakai istilah behaviour-setting untuk menjelaskan tentang kombinasi stabil antara aktifitas/ perilaku dan milieu. Setiap orang atau kelompok pengunjung akan berperilaku berbeda-beda karena masing-masing orang mempunyai peran yang berbeda-beda, berarti bahwa sebuah behaviour setting memiliki struktur internal sendiri. Sebuah behaviour setting dibedakan berdasarkan siapa yang memegang kendali aktivitas. Barker (1968) menamakan daerah yang digunakan oleh pengendali atau pemegang kontrol tersebut sebagai performance zone, namun tidak semua tatanan mempunyai performance zone atau tidak semua performance zone dibedakan desainnya secara arsitektural. I.2 Fokus Penelitian Fokus penelitian ini mendeskripsikan perilaku (standing pattern of behaviour) dan lingkungan (circumjacent milieu) dari pedagang dan pembeli Angkringan (1). Setelah mengetahui dan memahami standing pattern of behaviour dan milieu dari Angkringan, maka selanjutnya menganalisis standing pattern of behaviour, circumjacent milieu dan waktu untuk mengetahui bagaimana synomorphy terjadi sehingga terbentuklah behaviour setting di Angkringan (2). Gambar 1.1. Fokus Penelitian Sumber : disarikan oleh Peneliti,

10 I.3 Masalah Penelitian Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian/ research questions, yaitu : 1. Bagaimana karakteristik standing pattern of behaviour dan circumjacent milieu di Angkringan? 2. Bagaimana synomorphy yang terjadi, sehingga terbentuk behaviour setting di Angkringan? I.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan pola perilaku berulang (standing pattern of behaviour) dan circumjacent milieu di Angkringan, sehingga diketahui seting-perilaku (behaviour setting) yang terjadi pada setiap Angkringan. Selanjutnya setelah mengetahui karakteristik pola perilaku yang berulang dan milieu Angkringan, maka tahap selanjutnya mengetahui synomorphy yang terjadi sehingga terbentuk behaviour setting di Angkringan. Selain itu dengan penelitian ini seorang Arsitek dapat mengenal dan memahami sistem sosial dari dalam setting terkecil, dalam arti melihat pola-pola perilaku alami (purely behaviour) yang sistematis ditunjukkan oleh pedagang dan pengunjung di tempat-tempat tertentu. Sehingga tujuan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Mengetahui karakteristik standing pattern of behaviour dan circumjacent milieu di Angkringan. 2. Mengetahui synomorphy yang terjadi, sehingga terbentuk behaviour setting di Angkringan. 10

11 I.5 Manfaat Penelitian Secara spesifik manfaat penelitian adalah : 1. Penelitian ini dapat mengetahui masyarakat atau individu dan bentuk lingkungan yang mempengaruhi terbentuknya behaviour setting. 2. Penelitian ini dapat mengetahui sejauh mana interdependensi antara dua entitas (pedagang dan pembeli), yang masing-masing mempunyai atribut untuk menjadi sebuah behaviour setting. 3. Penelitian ini dapat mengetahui seberapa jauh sebuah seting Angkringan mampu melayani kebutuhan berbagai populasi subgroup atau pembelinya. 4. Penelitian ini dapat mengetahui bagaimana sebuah seting Angkringan dapat mempersatukan berbagai minat ke dalam suatu behaviour setting yang terencana dengan baik sehingga kebutuhan penghuni (pembeli) dapat terantisipasi dan terkendali dengan baik. 5. Selain itu manfaat lain penelitian ini, seorang arsitek dapat mengenal sistem sosial dari dalam seting terkecil, dalam arti melihat pola-pola perilaku alami (purely behaviour) yang sistematis ditunjukkan oleh pedagang dan pengunjung pada seting tertentu. I.6 Keaslian Penelitian Penelitian tentang Angkringan sebagai Behaviour Setting merupakan penelitian yang asli. Perbedaan penelitian ini dapat dilihat dari uraian beberapa penelitian yang terkait, sebagai berikut : (Tabel 1.2) 11

12 Tabel 1.2. Kategori Penelitian 2015 Sumber : Berbagai sumber,

13 I.7 Batasan Penelitian Akibat dari lingkup penelitian yang cukup luas, maka dibutuhkan beberapa batasan dalam penelitian. Batasan tersebut diharapkan penelitian ini lebih terfokus dan menghasilkan temuan-temuan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Di samping itu, dengan adanya batasan ini diharapkan dapat membuat persepsi yang sama antara peneliti dan pembaca mengenai hal-hal yang akan diteliti. Batasan dalam penelitian ini, diantaranya : a. Penelitian ini berfokus pada kajian seting-perilaku di dalam seting Angkringan, tidak membahas posisi seting Angkringan terhadap lingkungan. b. Objek Angkringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Angkringan dengan tipe gerobak, baik beroda maupun tidak beroda. c. Objek Angkringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Angkringan dengan lokasi tipe I. Hasil grand tour menemukan terdapat kurang lebih 81 Angkringan yang tersebar di seluruh wilayah Kelurahan Condongcatur, Yogyakarta dan ditemukan berbagai variasi letak Angkringan, ada yang terletak di trotoar (jalur pedestrian) jalan memanfaatkan pagar, berada di belakang pagar, di tengah halaman/ tanah kosong, kemudian naik ke teras bangunan dan bahkan ada Angkringan yang masuk ke dalam bangunan. d. Lokasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Kelurahan Condongcatur, Yogyakarta. Kelurahan Condongcatur memiliki kekhasan tersendiri, yang mana Kelurahan Condongcatur terdiri dari 19 Dusun dan dipisah oleh ring road Kota Yogyakarta, selain itu fasilitas umum (pendidikan, kesehatan, perdagangan) yang cukup lengkap menjadikan Kelurahan Condongcatur berkembang pesat. 13

14 e. Sesuai dengan fokus penelitian dalam proses pencarian data dibatasi hanya pada informan yang berada di seting masing-masing Angkringan. Sehingga informan yang berada atau ke luar dari setting Angkringan tidak dianggap sebagai informan, sesuai dengan ungkapan Laurens (2004:181) bahwa batas suatu behaviour setting dimana perilaku tersebut berhenti. I.8 Kerangka Pikir Penelitian Berikut adalah kerangka pikir penelitian yang digunakan sebagai alur berpikir dalam kegiatan penelitian ini: (Gambar : 1.2) 14

15 Gambar 1.2. Kerangka Pikir Penelitian Sumber : Analisis,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab (V) Kesimpulan dan saran menjelaskan kesimpulan atas temuan penelitian berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan saran berdasarkan proses penelitian yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR Oleh: SULISTIANTO L2D 306 023 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ruang merupakan wadah atau setting yang dapat mempengaruhi pelaku atau pengguna. Ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi sangat penting dalam hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (untuk selanjutnya bisa disingkat dengan HIK) atau bisa disebut pula dengan

BAB I PENDAHULUAN. (untuk selanjutnya bisa disingkat dengan HIK) atau bisa disebut pula dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Surakarta, salah satu yang begitu populer dan tak dapat dipisahkan dari Kota Bengawan ini adalah Hidangan Istimewa Kampung (untuk selanjutnya bisa disingkat dengan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR O l e h : R.B. HELLYANTO L 2D 399 247 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang publik atau public space adalah tempat orang berkumpul untuk melakukan aktivitas dengan tujuan dan kepentingan tertentu serta untuk saling bertemu dan berinteraksi,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. berdasarkan kebutuhan pengguna? 6.1 Penilaian Pengguna Mengenai Komponen Setting Fisik Ruang Terbuka Publik Kawasan Eks MTQ

BAB VI KESIMPULAN. berdasarkan kebutuhan pengguna? 6.1 Penilaian Pengguna Mengenai Komponen Setting Fisik Ruang Terbuka Publik Kawasan Eks MTQ BAB VI KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini merupakan hasil dari analisis dan pembahasan terhadap penilaian komponen setting fisik ruang terbuka publik dan non fisik (aktivitas) yang terjadi yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan pada Bab IV didapatkan temuan-temuan mengenai interaksi antara bentuk spasial dan aktivitas yang membentuk karakter urban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia membawa pengaruh besar terhadap penyebaran jumlah penduduk, fenomena ini dapat dilihat dari perbandingan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat kota, terutama kawasan bantaran sungai di tengah kota. Status kepemilikan

BAB I PENDAHULUAN. pusat kota, terutama kawasan bantaran sungai di tengah kota. Status kepemilikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan pertumbuhan yang kini sedang dirasakan sebagian besar kotakota di Indonesia salah satunya adalah pertumbuhan permukiman informal di kawasan pusat kota,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Kondisi Perempatan Ring Road Condong Catur pada Kabupaten Sleman

BAB I PENDAHULUAN Kondisi Perempatan Ring Road Condong Catur pada Kabupaten Sleman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kondisi Perempatan Ring Road Condong Catur pada Kabupaten Sleman Jalan merupakan salah satu ruang publik dalam suatu kawasan yang memiliki peran penting dalam

Lebih terperinci

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang TEMU ILMIAH IPLBI 2017 Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang Desti Rahmiati destirahmiati@gmail.com Arsitektur, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. City walk adalah trotoar untuk pejalan kaki yang didesain unik dan menarik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. City walk adalah trotoar untuk pejalan kaki yang didesain unik dan menarik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah City walk adalah trotoar untuk pejalan kaki yang didesain unik dan menarik ditengah kota. Pada tahun 2012 ini beberapa kota besar di Indonesia sedang berlomba

Lebih terperinci

BAB 5 - KESIMPULAN KESIMPULAN Dalam kesimpulan ini akan berisi hasil resume dari analisa dan

BAB 5 - KESIMPULAN KESIMPULAN Dalam kesimpulan ini akan berisi hasil resume dari analisa dan BAB 5 - KESIMPULAN 5.1. KESIMPULAN Dalam kesimpulan ini akan berisi hasil resume dari analisa dan pembahasan sekaligus jawaban dari pertanyaan penelitian di bab 1. 5.1.1. Seting Fisik dan Aktivitas Pertanyaan

Lebih terperinci

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR Oleh: HAPSARI NUGRAHESTI L2D 098 433 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian)

BAB I PENDAHULUAN Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian) Sebagai pusat ibadah dan pusat dakwah Islam yang dirintis oleh Sunan Ampel, kawasan ini menjadi penting

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR JALAN LETJEN S. PARMAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN DI PURWOKERTO

PENATAAN KORIDOR JALAN LETJEN S. PARMAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN DI PURWOKERTO LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN KORIDOR JALAN LETJEN S. PARMAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN DI PURWOKERTO Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk dan mobilitas masyarakat yang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk dan mobilitas masyarakat yang BAB I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk dan mobilitas masyarakat yang semakin pesat mengakibatkan munculnya permasalahan sosial-ekonomi dan infrastuktur kota-kota di Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota adalah sebuah tempat dimana manusia hidup, menikmati waktu luang, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan manusia lain. Kota juga merupakan wadah dimana keseluruhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahap Penelitian Dalam melaksanakan suatu kegiatan di laksanakan tahap penelitian, karna merupakan langkah penting yang harus di tempuh sebelum melaksanakan kegiatan tahapan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Studi Elemen Preservasi Kawasan Kota dengan studi kasus Koridor Jalan Nusantara Kecamatan Karimun Kabupaten Karimun diantaranya menghasilkan beberapa kesimpulan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pedagang kaki lima adalah bagian dari aktivitas ekonomi yang merupakan kegiatan pada sektor informal. Kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN ARAHAN

BAB VI KESIMPULAN DAN ARAHAN BAB VI KESIMPULAN DAN ARAHAN VI.1. KESIMPULAN Kegiatan pasar minggu pagi di kawasan Kampus Universitas Gadjah Mada diminati oleh kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat luas sebagai sarana relaksasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perguruan tinggi karena

BAB I. PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perguruan tinggi karena BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perguruan tinggi karena aktivitasnya dalam perguruan tinggi tersebut, adapun mahasiswa dengan segala aktivitasnya dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Perkembangan Pasar Pasar tradisional mempunyai peran signifikan dalam perkotaan. Pasar tumbuh dan berkembang sebagai simpul dari pertukaran barang dan jasa,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan studi berupa temuantemuan yang dihasilkan selama proses analisis berlangsung yang sesuai dengan tujuan dan sasaran studi,

Lebih terperinci

Perilaku PKL dalam Memanfaatkan Ruang Publik di Pasar Banyumanik

Perilaku PKL dalam Memanfaatkan Ruang Publik di Pasar Banyumanik A. Latar Belakang Fenomena pedagang kaki lima yang menempati pasar-pasar di Kota Semarang, sudah sangat berkembang dan menjadi satu kesatuan yang utuh dengan pasar itu sendiri. Berdasarkan pengalaman empiris

Lebih terperinci

PUSAT PERTOKOAN DENGAN KONSEP PEDESTRIAN MALL DI KOTA PALU

PUSAT PERTOKOAN DENGAN KONSEP PEDESTRIAN MALL DI KOTA PALU PUSAT PERTOKOAN DENGAN KONSEP PEDESTRIAN MALL DI KOTA PALU Ahda Mulyati dan Fitria Junaeny Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako ahdamulyati@gmail.com Abstrak Perkembangan Kota Palu diiringi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis dan pembahasan terhadap

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis dan pembahasan terhadap BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis dan pembahasan terhadap karakteristik setting fisik dan non fisik (aktivitas) di kawasan penelitian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. keberadaan elemen-elemen fisik atau yang disebut juga setting fisik seiring

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. keberadaan elemen-elemen fisik atau yang disebut juga setting fisik seiring BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diketahui bahwa keberadaan elemen-elemen fisik atau yang disebut juga setting fisik seiring dengan pergantian

Lebih terperinci

1.2.1 Mengapa system of setting dan system of activity berkaitan dengan behavior setting? BAB 2 PEMBAHASAAN 2.1 PENGERTIAN SETTING PERILAKU

1.2.1 Mengapa system of setting dan system of activity berkaitan dengan behavior setting? BAB 2 PEMBAHASAAN 2.1 PENGERTIAN SETTING PERILAKU BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sebagian besar pola perilaku manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Selain pola perilaku, karakter manusia juga ditentukan oleh lingkungan. Lingkungan

Lebih terperinci

PENATAAN JALUR PEJALAN KAKI PADA KORIDOR JALAN MALIOBORO BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG LAPORAN TUGAS AKHIR

PENATAAN JALUR PEJALAN KAKI PADA KORIDOR JALAN MALIOBORO BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG LAPORAN TUGAS AKHIR PENATAAN JALUR PEJALAN KAKI PADA KORIDOR JALAN MALIOBORO BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG LAPORAN TUGAS AKHIR Disusun Oleh M.ARIEF ARIBOWO L2D 306 016 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan tempat terjadinya pola aktivitas masyarakat mulai dari sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kota yang berhasil tidak lepas dari penggunaan fungsi kota

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DIAN HERYANI L2D 002 393 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan Lembah UGM merupakan kawasan yang didominasi oleh hijauan

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan Lembah UGM merupakan kawasan yang didominasi oleh hijauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 "Sunday Morning" di Kawasan Lembah UGM Kawasan Lembah UGM merupakan kawasan yang didominasi oleh hijauan yang cukup luas. Sebagai salah satu ruang terbuka hijau

Lebih terperinci

PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT YANG BERAKTIVITAS DI KOTA LAMA SEMARANG DAN SEKITARNYA TERHADAP CITY WALK DI JALAN MERAK SEMARANG TUGAS AKHIR

PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT YANG BERAKTIVITAS DI KOTA LAMA SEMARANG DAN SEKITARNYA TERHADAP CITY WALK DI JALAN MERAK SEMARANG TUGAS AKHIR PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT YANG BERAKTIVITAS DI KOTA LAMA SEMARANG DAN SEKITARNYA TERHADAP CITY WALK DI JALAN MERAK SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : YUNIKE ELVIRA SARI L2D 002 444 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2 Jum'at, 3 Mei :48 wib

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2  Jum'at, 3 Mei :48 wib Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek A. Umum Pertumbuhan ekonomi DIY meningkat 5,17 persen pada tahun 2011 menjadi 5,23 persen pada tahun 2012 lalu 1. Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

TERMINAL BUS TIPE A KOTA SURAKARTA

TERMINAL BUS TIPE A KOTA SURAKARTA LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR TERMINAL BUS TIPE A KOTA SURAKARTA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh : SATI HANJARI

Lebih terperinci

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : Arif Rahman Hakim L2D 303 283 JURUSAN

Lebih terperinci

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III BAB III DATA ALUN-ALUN KABUPATEN WONOGIRI Kabupaten Wonogiri, dengan luas wilayah 182.236,02 Ha secara geografis terletak pada garis lintang 7 0 32' sampai 8 0 15' dan garis bujur 110 0 41' sampai 111

Lebih terperinci

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU BAB IV PENGAMATAN PERILAKU 3.1 Studi Banding Pola Perilaku Pengguna Ruang Publik Berupa Ruang Terbuka Pengamatan terhadap pola perilaku di ruang publik berupa ruang terbuka yang dianggap berhasil dan mewakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan Hakim (19 91) dimana ruang terbuka merupakan elemen

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan Hakim (19 91) dimana ruang terbuka merupakan elemen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbicara mengenai kota tidak mungkin terlepas dari kebutuhan akan ruang, terutama ruang terbuka, karena menurut Shirvani (1985) ruang terbuka merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB V KONSEP DASAR. Konsep dasar yang digunakan dalam perancangan Kepanjen Educaion. Prinsip-prinsip tema Arsitektur Perilaku

BAB V KONSEP DASAR. Konsep dasar yang digunakan dalam perancangan Kepanjen Educaion. Prinsip-prinsip tema Arsitektur Perilaku BAB V KONSEP DASAR 5.1 Konsep Perancangan Konsep dasar yang digunakan dalam perancangan Kepanjen Educaion Park ini mencangkup tiga aspek yaitu: Prinsip-prinsip tema Arsitektur Perilaku Kriteria dalam behaviour

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penyusunan konsep simbiosis mutualistik untuk penataan PKL Samanhudi erat kaitannya dengan karakter masing-masing pelaku dan konflik kepentingan serta konflik

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. masyarakat dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. masyarakat dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap data di lapangan dan kuesioner masyarakat dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Elemen yang menjadi identitas

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS III.1. Latar Belakang Pemilihan Tema Gambaran beberapa kata kunci dengan pengelompokan dalam tapak dan sekitarnya, dengan pendekatan pada tema : Diagram 3.1.Latar Belakang Pemilihan

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro)

STUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro) STUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro) TUGAS AKHIR Oleh : RINA NAZLA ULFAH L2D 098 461 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah dan merupakan kota terbesar dengan jumlah penduduk sampai dengan akhir Desember tahun 2011 sebesar : 1.544.358 jiwa, terdiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang What attracts people most it would appear, is other people, kalimat ini dikutip dari William H. Whyte (1985). Salah satu indikasi suksesnya ruang publik adalah banyak

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Stephen Carr dibedakan menjadi¹: pagar, tanaman, dan berlokasi dijalan utama pusat kota.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Stephen Carr dibedakan menjadi¹: pagar, tanaman, dan berlokasi dijalan utama pusat kota. 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.I Ruang jalan sebagai ruang terbuka Ruang terbuka sebagai prasarana transportasi (ruang jalan). Menurut Stephen Carr dibedakan menjadi¹: - pedestrian sisi jalan (sidewalk),

Lebih terperinci

POLA PEMANFAATAN DAN PELAYANAN ALUN-ALUN KOTA PATI BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG TUGAS AKHIR TKPA 244

POLA PEMANFAATAN DAN PELAYANAN ALUN-ALUN KOTA PATI BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG TUGAS AKHIR TKPA 244 POLA PEMANFAATAN DAN PELAYANAN ALUN-ALUN KOTA PATI BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG TUGAS AKHIR TKPA 244 Oleh : INDRA KUMALA SULISTIYANI L2D 303 292 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan geografi sebuah kawasan bukan hanya merupakan. pertimbangan yang esensial pada awal penentuan lokasi, tetapi mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan geografi sebuah kawasan bukan hanya merupakan. pertimbangan yang esensial pada awal penentuan lokasi, tetapi mempengaruhi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan geografi sebuah kawasan bukan hanya merupakan pertimbangan yang esensial pada awal penentuan lokasi, tetapi mempengaruhi fungsi dan bentuk fisiknya. Kawasan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG. Oleh I Kadek Mardika

LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG. Oleh I Kadek Mardika LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG Oleh I Kadek Mardika UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG 2015 i KATA PENGANTAR Dunia arsitektur selama ini lebih banyak diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tata ruang dalam perkotaan lebih kompleks dari tata ruang pedesaan,

BAB I PENDAHULUAN. Tata ruang dalam perkotaan lebih kompleks dari tata ruang pedesaan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tata ruang dalam perkotaan lebih kompleks dari tata ruang pedesaan, kawasan di perkotaan biasanya dibagi dalam beberapa zona: perumahan dan pemukiman; perdagangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Merriam webster s Collegiate Dictionary. Tenth Edition (Massachussets, USA 1994), 64

BAB I PENDAHULUAN. 1 Merriam webster s Collegiate Dictionary. Tenth Edition (Massachussets, USA 1994), 64 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jalur pedestrian atau tepatnya pedestrian Path, adalah gabungan dari dua kata dasar, yaitu path dan pedestrian yang mempunyai kesamaan kesatuan arti, suatu jalur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM KULINER

BAB II TINJAUAN UMUM KULINER BAB II TINJAUAN UMUM KULINER II.1. Pengertian Kuliner Culinary dalam bahasa Inggris berarti hal urusan dapur yang berkenaan dengan keahlian masak-memasak. 6 Dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hampir seluruh kota di indonesia kini bersifat dualistik. Dualistik berarti telah terjadi pertemuan antara dua kondisi atau sifat yang berbeda (Sujarto, 1981). Kondisi

Lebih terperinci

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa BAB VII RENCANA 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa 7.1.1 Tahapan Pembangunan Rusunawa Agar perencanaan rumah susun berjalan dengan baik, maka harus disusun tahapan pembangunan yang baik pula, dimulai dari

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN Burhanuddin Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako bur_arch07@yahoo.co.id Abstrak Perkembangan kota yang begitu cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang yang merupakan Ibukota Jawa Tengah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang yang merupakan Ibukota Jawa Tengah adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Kota Semarang yang merupakan Ibukota Jawa Tengah adalah salah satu kota besar di Indonesia yang sedang berkembang. Secara geografis kota ini terletak di sebelah utara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KAWASAN Tinjauan Kawasan Kebon Kacang Raya dan Kebon Kacang 30 3.1 Gambaran Kawasan Proyek Nama : Kawasan Kebon Kacang dan sekitarnya. Lokasi : Jl. Kebon Kacang Raya dan Jl.Kebon Kacang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA Dhian Krisna Kusuma Umar Mansyur Ni Made Esti Program Studi Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebuah daerah otonomi setingkat propinsi di Indonesia dengan ibukota propinsinya adalah Yogyakarta, sebuah kota dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Manusia sebagai Makhluk Mobile Pada dasarnya manusia memiliki sifat nomaden atau berpindah tempat. Banyak komunitas masyarakat yang suka berpindah-pindah tempat

Lebih terperinci

Pola Aktivitas Pada Ruang Publik Taman Trunojoyo Malang

Pola Aktivitas Pada Ruang Publik Taman Trunojoyo Malang Pola Aktivitas Pada Ruang Publik Taman Trunojoyo Malang Adisty Yoeliandri Putri 1, Jenny Ernawati 2 dan Subhan Ramdlani 2 1Mahasiswa, Jurusan arsitektur/ Fakultas Teknik Universitas Brawijaya 2 Dosen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan ekonomi kota dan urbanisasi serta globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan ekonomi kota dan urbanisasi serta globalisasi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan ekonomi kota dan urbanisasi serta globalisasi budaya, kota-kota di Indonesia mulai marak dengan munculnya pusat-pusat perbelanjaan modern.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. raya adalah untuk melayani pergerakan lalu lintas, perpindahan manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. raya adalah untuk melayani pergerakan lalu lintas, perpindahan manusia dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah transportasi darat yang menyangkut dengan masalah lalu lintas merupakan masalah yang sulit dipecahkan, baik di kota - kota besar maupun yang termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian awal dari penelitian. Pendahuluan adalah awal suatu cara untuk mengetahui suatu masalah dengan cara mengumpulkan

Lebih terperinci

POLA AKTIVITAS PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI ALUN-ALUN BATU

POLA AKTIVITAS PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI ALUN-ALUN BATU POLA AKTIVITAS PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI ALUN-ALUN BATU Cantya P. Marhendra 1, Lisa Dwi Wulandari 2, Sigmawan Tri Pamungkas 3 1 Mahasiswa Bimbingan, Jurusan Arsitektur/ Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Daftar Isi...1. Daftar Gambar...4. Daftar tabel...7. Kata Pengantar...8. Bab I: Pendahuluan...9

DAFTAR ISI. Daftar Isi...1. Daftar Gambar...4. Daftar tabel...7. Kata Pengantar...8. Bab I: Pendahuluan...9 DAFTAR ISI Daftar Isi...1 Daftar Gambar...4 Daftar tabel...7 Kata Pengantar...8 Bab I: Pendahuluan...9 1.1. Latar Belakang... 9 1.2. Rumusan Masalah... 10 1.3. Tujuan Penelitian... 10 1.4. Batasan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia melahirkan sektor informal. Salah satu wujud sektor informal di perkotaan adalah lahirnya pedagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Kota Payakumbuh yang strategis menjadikannya sebagai salah satu kota yang memainkan peran penting di Propinsi Sumatera Barat. Kota Payakumbuh merupakan gerbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Bandung memiliki daya tarik yang luar biasa dalam bidang pariwisata. Sejak jaman penjajahan Belanda, Bandung menjadi daerah tujuan wisata karena keindahan alamnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.1.1. Pertumbuhan Kawasan Kota dan Permasalahannya Kawasan perkotaan di Indonesia dewasa ini cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya jaringan jalan diadakan karena adanya kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya jaringan jalan diadakan karena adanya kebutuhan 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Pada dasarnya jaringan jalan diadakan karena adanya kebutuhan perpindahan barang dan manusia dari suatu tempat ke tempat lain. Adanya pasaran suatu produk dan penanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pelaksanaan pembangunan tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya tingkat urbanisasi sangat berperan besar dalam meningkatnya jumlah penduduk di kota-kota besar. DKI Jakarta, sebagai provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis dari ruang lingkup pembahasan yaitu setting fisik, aktivitas

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis dari ruang lingkup pembahasan yaitu setting fisik, aktivitas BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dari ruang lingkup pembahasan yaitu setting fisik, aktivitas dan hubungan antara setting fisik dan aktivitas, maka didapatkan beberapa hasil temuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar1.1 Kemacetan di Kota Surabaya Sumber: 25/4/

BAB I PENDAHULUAN. Gambar1.1 Kemacetan di Kota Surabaya Sumber:  25/4/ BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa kini pola kehidupan manusia terlebih masyarakat kota besar atau masyarakat urban semakin modern, serba cepat, serba instan, sistematis, dan mekanis. Hal-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trotoar adalah jalur bagi pejalan kaki yang terletak di daerah manfaat jalan, diberi lapis permukaan, diberi elevasi lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan,

Lebih terperinci

Pola Aktivitas Pemanfaatan Ruang Luar Kawasan Wisata Songgoriti Batu

Pola Aktivitas Pemanfaatan Ruang Luar Kawasan Wisata Songgoriti Batu Pola Aktivitas Pemanfaatan Ruang Luar Kawasan Wisata Songgoriti Batu Shabrina Ghaisani 1, Subhan Ramdlani 2, Jenny Ernawati 2 1Mahasiswa Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya 2 Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sebuah kota serta peningkatan jumlah penduduk perkotaan tentunya akan memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan ruang. Pertumbuhan penduduk di kota besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang publik merupakan tempat berinteraksi bagi semua orang tanpa ada batasan ruang maupun waktu. Ini merupakan ruang dimana kita secara bebas melakukan segala macam

Lebih terperinci

ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA

ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA ELEMEN FISIK PERANCANGAN ARSITEKTUR KOTA Tataguna Lahan Aktivitas Pendukung Bentuk & Massa Bangunan Linkage System Ruang Terbuka Kota Tata Informasi Preservasi & Konservasi Bentuk dan tatanan massa bangunan

Lebih terperinci

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAN KAWASAN KORIDOR JALAN GATOT SUBROTO SURAKARTA Sebagai kawasan wisata belanja yang bercitra budaya Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Gambar simulasi rancangan 5.30 : Area makan lantai satu bangunan komersial di boulevard stasiun kereta api Bandung bagian Selatan 5.6.3 Jalur Pedestrian Jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. Dimana pada masa perkembangan peradaban kota badan air merupakan satu-satunya

Lebih terperinci

KAJIAN PERSEPTUAL TERHADAP FENOMENA DAN KARAKTERISTIK JALUR PEDESTRIAN SEBAGAI BAGIAN DAR1 RUANG ARSITEKTUR KOTA

KAJIAN PERSEPTUAL TERHADAP FENOMENA DAN KARAKTERISTIK JALUR PEDESTRIAN SEBAGAI BAGIAN DAR1 RUANG ARSITEKTUR KOTA MODEL JALUR PEDESTRIAN KAJIAN PERSEPTUAL TERHADAP FENOMENA DAN KARAKTERISTIK JALUR PEDESTRIAN SEBAGAI BAGIAN DAR1 RUANG ARSITEKTUR KOTA Studi Kasus : Kawasan Alun - Alun Bandung ABSTRAK Perkembangan kota

Lebih terperinci

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI BAWAH JEMBATAN LAYANG PASUPATI SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANANKAN RUANG PUBLIK

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI BAWAH JEMBATAN LAYANG PASUPATI SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANANKAN RUANG PUBLIK PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI BAWAH JEMBATAN LAYANG PASUPATI SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANANKAN RUANG PUBLIK Wiwik Dwi Susanti 1, Sri Suryani Y. W. 2 1, 2 Program Studi Arsitektur, FTSP, UPN Veteran

Lebih terperinci

Ciri Utama Disiplin Geografi (1) : Perspektif Spasial. Minggu ke-2 Pengantar Geografi Oleh : Hafid Setiadi

Ciri Utama Disiplin Geografi (1) : Perspektif Spasial. Minggu ke-2 Pengantar Geografi Oleh : Hafid Setiadi Ciri Utama Disiplin Geografi (1) : Perspektif Spasial Minggu ke-2 Pengantar Geografi Oleh : Hafid Setiadi Ruang Merupakan konsep dasar dalam kehidupan manusia Bagian dari kesadaran manusia yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 5.1.1. Tatanan Setting Fisik Di Masing-Masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi bertambah banyaknya kebutuhan akan sarana dan prasarana

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi bertambah banyaknya kebutuhan akan sarana dan prasarana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama ini kita mengenal bahwa Yogyakarta adalah daerah yang terkenal sebagai kota pelajar, dari tahun ke tahun semakin bertambah jumlah penduduknya, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perpindahan tempat yang dilakukan manusia ke tempat lainnya dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara berfikir, lingkungan, kebiasaan, cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul 1.1.1 Judul Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual 1.1.2 Pemahaman Esensi Judul Ruang komunal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang terus membenahi dirinya melalui pembangunan di segala bidang agar dapat menjadi negara yang makmur setara dengan negara-negara maju

Lebih terperinci