BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya dalam penulisan ini disingkat dengan UUK- PKPU, diundangkan pemerintah dengan dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 dan juga semakin berkembangnya kegiatan perekonomian global. Terdapat beberapa kelebihan dari UUK-PKPU jika dibandingkan dengan Undang- Undang sebelumnya yang mengatur tentang masalah kepailitan. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) lebih diperjelasnya definisi tentang utang, kreditor, debitor, dan pailit; (2) penentuan jangka waktu proses pailit yang lebih singkat; (3) dikecualikannya perusahaan asuransi; serta (4) adanya ketentuan yang mengatur wajibnya menggunakan jasa advokat dalam penyelesaian masalah kepailitan. Selanjutnya yang patut dipertanyakan tentang seberapa jauhkah UUK-PKPU memberikan suatu aturan yang jelas dan konsisten serta jaminan kepastian hukum terhadap para kreditor yang mana debitornya mengalami pailit (kebangkrutan). Dari sisi gugatan perdata, hukum acara membolehkan dilakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan debitor atau tergugat sebagaimana diatur dalam 1

2 2 Pasal 227 jo Pasal 197 Herziene Indonesische Reglement (HIR) 1 jo Pasal 720 Rechtsvordering (Rv) 2 maupun Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menegaskan bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi tanggungan pembayaran utangnya kepada kreditor. Tujuan dilakukannya penyitaan, antara lain agar barang milik tergugat atau debitor yaitu tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli, hibah dan lain sebagainya, dan tidak dibebani dengan sewa menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga. Dengan demikian untuk menjaga keutuhan dan keberadaan harta kekayaan debitor atau tergugat tetap seperti semula selama proses penyelesaian perkara sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga tujuan utama penyitaan agar gugatan penggugat tidak illusoir atau tidak hampa pada saat putusan dilaksanakan. Untuk menguatkan keyakinan Kreditor bahwa debitor akan secara nyata melunasi utangnya dikemudian hari, KUH Perdata mengatur dua asas dalam hukum jaminan yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa segala harta debitor (baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru akan ada di kemudian hari) menjadi jaminan untuk segala perikatan debitor. Dalam Pasal 1132 KUH Perdata ditegaskan bahwa harta kekayaan debitor menjadi agunan bersama-sama bagi semua kreditornya, 1 R. Soesilo, 1995, RIB / HIR, Politeia, Bogor, hlm M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 339

3 3 serta diatur bagaimana cara membagi hasil penjualan aset debitor kepada kreditor apabila debitor tidak membayar utang kepada kreditornya. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut dapat dikesampingkan dalam penyelesaian pemenuhan pembayaran utang yang diikat dengan barang jaminan tertentu. Sita Jaminan (Conservatoir beslag) hanya dapat dimintakan dan dikabulkan terbatas pada barang jaminan sita sesuai dengan asas spesialitas dan hak separatis yang dimiliki penggugat atau kreditor. Pengaturan Sita Jaminan atas pesawat terbang diatur dalam Rv (Pasal 763 h k) yang berisi tentang penyimpangan bagi sita jaminan atas pesawat terbang. Diluar ketentuan penyimpangan tersebut berlaku sepenuhnya ketentuan umum sita jaminan dalam HIR atau Rv. Pembatasan atas penyitaan tidak berlaku terhadap pesawat asing yang negaranya tidak menjadi penandatangan (contracting states) Perjanjian Roma, Dengan perkembangan bisnis dunia penerbangan sekarang, tentu saja ketentuan yang ada saat ini tidak memadai, sehingga diperlukan pengaturan yang lebih aktual dalam hukum normatif. Pesawat terbang tidak termasuk barang yang dilarang untuk disita sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR 3 dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia belum mengatur tentang sita pesawat terbang, namun dalam Cape Town Convention yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia melalui 3 R. Tresna, 2001, Komentar HIR, Pradnya Paramitha, Jakarta, hlm. 176.

4 4 Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007, pesawat terbang termasuk barang yang dapat disita 4 dan Hakim harus bertindak proaktif untuk dapat meletakkan sita jaminan atas pesawat terbang. Cape Town Convention / Konvensi Cape Town 2001 tentang Jaminan-Jaminan untuk Benda Bergerak (Interest in Mobile Equipment) berisi (diantaranya) beberapa hal penting berkenaan dengan agunan atau hak-hak lainnya yang berkenaan dengan perbaikan dari suatu obyek pesawat terbang sebagai benda bergerak. Obyek bendabenda bergerak yang dapat diagunkan (agunan internasional) berupa (1) kerangka pesawat terbang (airframe), mesin pesawat, dan helikopter; (2) gerbong kereta api (railway rolling stock) ; dan (3) aset aset ruang angkasa. 5 Persyaratan pesawat udara sebagai jaminan dalam rangka Konvensi Cape Town 2001 diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dalam penulisan ini selanjutnya disebut UU Penerbangan. Menurut Pasal 71 UU Penerbangan ada tiga jenis pesawat udara yang dapat digunakan sebagai obyek perjanjian masingmasing kerangka pesawat udara (airframe), mesin pesawat terbang (propeller) dan helikopter. Kerangka pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional 4 Tamiza Saleh, dan Sulistiono Kertawacana, Hipotik Pesawat Udara Di Indonesia Dikaitkan Dengan Cape Town Convention 2001, diakses pada tanggal 24 Juni Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2007

5 5 yang timbul akibat perjanjian, pemberian hak jaminan kebandaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha. 6 Utang piutang antara perusahaan Maintenance, Repair & Overhaul (MRO) sebagai kreditor dengan maskapai penerbangan sebagai debitornya timbul sebagai akibat dari pelaksanaan Perjanjian Perawatan Pesawat, mesin dan komponennya yang dilakukan dengan memperhatikan sistem terbuka dan menggunakan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1319 dan 1338 KUH Perdata, dimana masing-masing pihak memiliki posisi tawar atau bargaining position sehingga tidak terdapat suatu posisi yang dominan didalam pembuatan perjanjian perawatan ini. Hal tersebut diatas menyebabkan keuntungan pada kedua belah pihak, karena dapat membuat aturan tersendiri asalkan sesuai dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, asas kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang di antara para pihak, sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak. 7 PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia (dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai PT GMF AeroAsia atau GMF) selaku Penggugat dan PT Metro Batavia (dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai PT Batavia) selaku Tergugat melakukan kerjasama untuk semua pekerjaan perawatan dan perbengkelan yang diperlukan untuk komponen-komponen dan mesin yang berhubungan dengan pesawat 6 Kemis Martono, H. Agus Pramono, 2013, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, hlm. 46.

6 6 terbang milik Tergugat atau pesawat terbang lain yang dioperasikan oleh Tergugat sebagaimana dituangkan dalam sebuah perjanjian bernama Long Term Aircraft Maintenance Agreement Number GMF/PERJ./DT-3046/2003 tertanggal 16 April 2003 (selanjutnya disebut sebagai Perjanjian Jangka Panjang ) dan Amendment Number 1 to Long Term Aircraft Maintenance Agreement Number GMF/PERJ./AMAND-1/DT- 3046/03/06 tertanggal 5 September 2006 (selanjutnya disebut sebagai Amandemen Perjanjian Jangka Panjang ). Berdasarkan Perjanjian Jangka Panjang dan Amandemen Perjanjian Jangka Panjang, Tergugat sebagai maskapai penerbangan telah meminta jasa Penggugat sebagai sebuah perusahaan perawatan dan perbaikan pesawat terbang untuk melakukan perawatan pesawat dan/atau perbaikan pesawat dan/atau penjualan sparepart dan/atau penyewaan tools dan/atau penggunaan tenaga kerja, dengan perjanjian-perjanjian pelaksanaan yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk repair order, Customer Work Order, Faximile, Non Contracted Sales Report, cost approval dan dokumen perikatan lainnya. Berdasarkan perjanjian tersebut para pihak telah berjanji dan bersepakat atas (1) pekerjaan yang akan dikerjakan oleh Penggugat, (2) sparepart/tools/barang yang dijual atau disewakan dan penggunaan tenaga kerja, (3) harga pekerjaan dan/atau harga barang dan/atau harga sewa, dan (4) cara pembayaran, dimana Penggugat telah melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjian tersebut. Atas jasa yang telah dilakukan Penggugat tersebut, Tergugat belum memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran secara penuh atau belum melunasi

7 7 kewajiban pembayaran kepada Penggugat sebesar USD ,02 (satu juta seratus sembilan puluh satu ribu enam ratus lima belas 2/100 Dollar Amerika Serikat) (selanjutnya disebut Utang ) sampai dengan tanggal gugatan wan prestasi didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register perkara Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. pada tanggal 25 September Dengan demikian, menurut hukum, Tergugat memiliki utang kepada Penggugat dan Tergugat mempunyai kewajiban hukum untuk melunasi utang kepada Penggugat saat utang dimaksud telah jatuh tempo. Walaupun sudah melewati jangka waktu yang ditentukan dalam surat perintah bayar / invoice tersebut, Tergugat belum melaksanakan kewajibannya untuk membayar dan melunasi utang yang telah jatuh tempo kepada Penggugat. Apabila dilihat satu persatu, kelalaian yang mengakibatkan keterlambatan pembayaran mulai dari dua bulan keterlambatan pembayaran sampai dengan lebih dari satu tahun keterlambatan pembayaran. Dengan demikian Tergugat nyata-nyata telah wanprestasi terhadap Penggugat karena Tergugat tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan pembayaran berdasarkan Perjanjian dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana tertuang dalam surat perintah bayar / Invoice yang telah jatuh tempo yang dikirimkan oleh Penggugat kepada Tergugat. Meskipun Penggugat telah mengingatkan Tergugat agar segera memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Jangka Panjang beserta Amandemennya, namun Tergugat tetap tidak melunasi kewajiban pembayaran kepada Penggugat.

8 8 Berdasarkan ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata, apabila pihak dalam suatu perjanjian telah ingkar janji (wanprestasi) maka pihak lainnya dapat atau berhak menuntut atas penggantian ganti rugi, biaya maupun bunga. Oleh karena dalam perkara a quo Tergugat telah wanprestasi terhadap Perjanjian yang telah dibuat dengan Penggugat, maka Penggugat berhak menuntut penggantian ganti rugi, biaya dan bunga. Untuk menjamin gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak menjadi sia-sia/ illusoir di kemudian hari, maka Penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan untuk meletakkan sita jaminan terhadap harta-harta kekayaan milik Tergugat dan aset-aset Tergugat lainnya. Oleh karena itu, Penggugat mereservir atau mencadangkan haknya untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas harta kekayaan dan aset-aset lain milik Tergugat. Sita jaminan (Conservatoir beslag) diajukan Penggugat dengan tujuan untuk menjaga hak-hak dari Penggugat ahar sebelum ada putusan hakim, barang-barang milik Tergugat tidak dihilangkan. Terhadap perkara a quo, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan tingkat kasasi Nomor 2923K/Pdt/2010 tanggal 21 Juni 2011 ( Putusan Kasasi No ). Terkait dengan Putusan Kasasi No tersebut perlu diinformasikan juga bahwa pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim Perkara No. 335 telah mengeluarkan Penetapan Sita Jaminan Nomor : 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. tertanggal 4 Maret 2009 yang pada pokoknya mengabulkan Permohonan Sita Jaminan atas tujuh buah pesawat Boeing beserta mesin dan

9 9 Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada ketujuh pesawat milik PT Metro Batavia tersebut ( Penetapan Sita Jaminan ) dan Hakim Majelis Perkara No. 335 telah menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan, dengan Penetapan Nomor 335/PDT.G/2008/PN.JKT.PST, tanggal 4 Maret 2009 jo. Penetapan Nomor 01.DEL/PEN.CB/2009/PN.TNG, tanggal 11 Maret 2009 jo. Berita Acara Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/PEN.CB/2009/PN.TNG tanggal 12 Maret Berdasarkan Penetapan Sita Jaminan dimaksud, Pengadilan Negeri Tangerang sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Sita Jaminan Nomor 01.DEL.BA/PEN.CB/2009/PN.TNG jo. No.: 335/PDT.G/2008/PN.JKT.PST tertanggal 12 Maret 2009 telah melakukan sita jaminan terhadap empat pesawat milik Tergugat, dalam penelitian ini selanjutnya disebut Pesawat Sitaan, yaitu: 1. Satu buah pesawat Boeing , dengan nomor seri dan nomor registrasi pesawat PK-YTF, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta; 2. Satu buah pesawat Boeing , dengan nomor seri dan nomor registrasi pesawat PK-YTG, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta; 3. Satu buah pesawat Boeing , dengan nomor seri dan nomor registrasi pesawat PK-YTR, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU)

10 10 yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta; dan 4. Satu buah pesawat Boeing , dengan nomor seri dan nomor registrasi pesawat PK-YTS, beserta mesin dan Auxiliary Power Unit (APU) yang melekat pada pesawat, milik PT. Metro Batavia, yang diparkir di Bandara International Soekarno Hatta. Oleh karena Putusan Kasasi No tersebut merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Penggugat selaku Pemohon Eksekusi telah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memerintahkan Tergugat selaku Termohon Eksekusi untuk melaksanakan isi Putusan Kasasi Nomor 2923K/Pdt/2010 jo. Nomor 504/PDT/2009/PT.DKI jo. Nomor 335/Pdt.G/2008/ PN.Jkt.Pst tersebut. Atas permohonan Eksekusi yang diajukan Penggugat, telah dilakukan upaya untuk eksekusi secara sukarela oleh Tergugat namun hingga dilampauinya tenggat waktu peringatan atau aanmaning (warning) Tergugat tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya secara sukarela dan tidak tercapai kesepakatan untuk melakukan penjualan pesawat sitaan secara di bawah tangan, sehingga para pihak memutuskan untuk melanjutkan ke proses lelang secara terbuka melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN).

11 11 Kesepakatan untuk melakukan proses penjualan Pesawat Sitaan milik Termohon Eksekusi / PT Batavia yang telah diletakkan sita jaminan sebagaimana Penetapan Nomor : 335/Pdt.G/2008/PN. Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 jo. Penetapan Nomor : 01.DEL/PEN.CB/ 2009/PN.TNG tertanggal 11 Maret 2009 jo. Berita Acara Sita Jaminan Nomor : 1.DEL.BA/PEN.CB/2009/PN.TNG tertanggal 12 Maret 2009 kepada calon pembeli secara di bawah tangan tidak tercapai disebabkan karena PT Batavia tidak dapat menerima penawaran harga dari calon pembeli Pesawat Sitaan dan oleh karenanya para pihak memutuskan untuk melanjutkan ke dalam proses lelang secara terbuka. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (dalam penelitian ini selanjutnya disebut KPN Jakpus ) meminta GMF untuk mengajukan permohonan lelang kepada KPN Jakpus dengan disertai dua calon appraisal untuk disepakati bersama-sama PT Batavia guna menentukan harga limit Pesawat Sitaan; Dengan diteruskannya permohonan lelang secara terbuka diharapkan adanya penawaran harga lelang dari para peserta lelang, sehingga harga penjualan/lelang yang akan didapatkan akan lebih maksimal dan mendapatkan penawaran yang lebih kompetitif atas barang sita jaminan. Pada Bab IX UU Penerbangan diatur mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara serta penggunaannya sebagai jaminan. Menurut Pasal 71 UU Penerbangan, objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional

12 12 yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha. Menurut Penjelasan Pasal 71 UU Penerbangan, yang dimaksud dengan objek pesawat udara adalah rangka pesawat udara, mesin pesawat udara, dan helikopter. Mesin pesawat udara yang dipasang pada rangka pesawat udara disebut pesawat terbang. Dalam Perjanjian Jangka Panjang beserta Amandemennya antara GMF dengan PT Batavia tidak mengatur tentang hak jaminan kebendaan untuk menjamin pelunasan utang dalam hal PT Batavia mengalami wanprestasi sehingga meskipun pesawat udara termasuk barang tidak bergerak (unmoveable property), namun tidak dapat dibebani dengan Hipotek, dengan demikian berlaku sita jaminan menurut Pasal 720 sampai dengan Pasal 727Rv. Pada akhirnya GMF selaku kreditor tidak mendapat hak untuk mengambil pelunasan utang terlebih dahulu dari kreditor lain atas hasil penjualan lelang pesawat terbang atau dengan kata lain tidak mendapat hak preferen. Saat proses eksekusi Putusan Kasasi No.: 2923K/Pdt/2010 jo.no.: 504/PDT/2009/PT.DKI jo. No.: 335/Pdt.G/2008/ PN.Jkt.Pst ( Perkara No.335 ) terhadap empat pesawat terbang yang dilakukan sita jaminan oleh Penggugat dilanjutkan, yaitu ketika permohonan lelang sedang dalam proses pengajuan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada tanggal 30 Januari 2013, sesuai Putusan Nomor : 77/Pailit/2012 PN.Niaga.Jkt.Pst tentang Kepailitan PT Metro Batavia ( Perkara No. 77 ), Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta

13 13 Pusat telah menjatuhkan putusan pailit kepada PT Batavia. Bahwa dengan dinyatakannya PT Batavia kedalam keadaan pailit, maka proses eksekusi lelang terhadap aset-aset PT Batavia tersebut dibatalkan. Dengan demikian, aset-aset PT Batavia tidak berkurang sehubungan dengan proses pailit. Permohonan Pernyataan Pailit kepada PT Batavia dalam Perkara No. 77 tersebut diajukan oleh International Lease Finance Corporation (dalam penelitian ini selanjutnya disebut ILFC ), suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum negara bagian California, Amerika Serikat, selaku Kreditor pemohon Pailit dan Sierra Leasing Limited (dalam penelitian ini selanjutnya disebut dengan Sierra, sebuah Badan Hukum yang didirikan berdasarkan Hukum Negara Bermuda, selaku Kreditor Lain pemohon Pailit. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan Pernyataan Pailit kepada PT Batavia berdasarkan pertimbangan telah terpenuhi unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu : 1. PT Batavia telah terbukti secara sederhana mempunyai utang yaitu sebesar USD (empat juta enam ratus delapan puluh delapan ribu enam puluh empat Dollar Amerika Serikat dan tujuh sen) kepada ILFC selaku Kreditor pemohon pernyataan pailit dan sebesar USD ,53 (empat juta sembilan ratus tiga puluh sembilan ribu seratus enam puluh enam Dollar Amerika Serikat dan lima puluh tiga sen) kepada Sierra selaku Kreditor Lainnya.

14 14 2. PT Batavia telah terbukti secara sederhana tidak mampu membayar utangnya kepada ILFC dan Sierra meskipun sudah disampaikan beberapa kali teguran untuk segera membayar utangnya. 3. Telah terbukti secara sederhana bahwa utang PT Batavia kepada ILFC dan Sierra telah jatuh tempo dan dapat ditagih (due and payable). Berdasarkan Pasal 29 UUK-PKPU disebutkan bahwa suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor. Sementara itu Pasal 31 ayat (1) mengatur bahwa Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor, dan Pasal 31 ayat (2) mengatur bahwa semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Memperhatikan hal ini, maka proses eksekusi sita jaminan atas obyek pesawat terbang yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat kondemnatoir untuk pelunasan utang PT Batavia sebagai debitor kepada GMF, menjadi gugur demi hukum.

15 15 Dengan gugur demi hukum segala tuntutan hukum dan proses eksekusi sita jaminan sebagai pelaksanaan Putusan Kasasi Perkara No.335 terhadap empat pesawat terbang yang diajukan GMF sebagai Penggugat dalam Perkara No.335 dan/atau kreditor dalam Perkara No. 77 kepada PT Batavia sebagai Tergugat dalam Perkara No.335 dan/atau debitor dalam Perkara No. 77 sejak diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap Debitor, maka selanjutnya berlaku seluruh ketentuan dalam proses kepailitan yang diatur dalam UUK-PKPU. Putusan pernyataan pailit menghentikan dan menghapuskan kekuatan mengikat sita eksekusi maupun eksekui yang hendak atau yang sedang berjalan terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit dijatuhkan Hakim, dan sejak itu harta yang disita eksekusi maupun yang hendak dieksekusi menjadi boedel pailit. 8 Selanjutnya demi untuk kepentingan seluruh kreditor, boedel pailit akan dijual lelang dalam suatu eksekui massal, dengan cara pembagian hasil penjualan sesuai dengan kedudukan setiap kreditor. Dalam Perkara No. 77, mengingat kedudukan GMF bukan sebagai kreditor preferen, maka GMF tidak mendapat prioritas pelunasan utang yang berasal dari harta pailit PT Batavia. Dengan demikian, terdapat kemungkinan GMF mendapat pembayaran pelunasan kurang dari utang PT Batavia yang seharusnya. 8 M. Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 102.

16 16 Pernyataan pailit suatu Debitor dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan (Vonnis) tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). Suatu putusan pailit menimbulkan suatu akibat hukum yang baru, yaitu debitor menjadi tidak berwenang lagi dalam mengurus dan menguasai hartanya setelah putusan pailit. Dalam proses kepailitan bila Kurator yang bertugas membereskan harta pailit dirasa kurang cakap dalam melaksanakan tugasnya, maka proses pemberesan terhadap harta pailit untuk membayar piutang kreditor menjadi berlarut-larut. Kekurangcakapan pihak kurator dalam mengelola harta pailit dapat merugikan posisi kreditor preferen dan kreditor konkuren yang mengakibatkan kreditor tersebut kehilangan haknya dalam pengurusan proses pailit. Meskipun kreditor konkuren juga memegang hak retensi atas bagian harta pailit, akibat kekurangcakapan pihak kurator dalam mengelola harta pailit akan berdampak dapat merugikan posisi kreditor konkuren. Hal ini mungkin terjadi apabila kurator tidak memiliki kompetensi atau kecakapan yang memadai dalam jenis usaha dari debitor pailit, sehingga mengalami kesulitan dalam mengelola harta pailit. Disatu sisi perusahaan MRO sebagai kreditor yang memegang hak retensi atas bagian harta pailit tidak dapat melakukan pengelolaan atas harta pailit untuk mencegah merosotnya nilai ekonomis dari harta pailit yang menjadi hak retensinya. Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit sejak tanggal putusan pailit dibacakan meskipun ada upaya kasasi atau peninjauan kembali dan putusan pailit dapat dilaksanakan serta merta.

17 17 Lambannya proses pemberesan harta pailit, akan dirasa merugikan ketika sebagian besar harta pailit merupakan aset yang cepat penyusutannya. Dengan lamanya penanganan dari kurator akan membuat nilai aset pailit terus-menerus mengalami penurunan nilai dikarenakan adanya penyusutan. Karena terus menurunnya nilai aset pailit maka selanjutnya akan mengakibatkan berkurangnya nilai dari harta pailit yang akan dibagikan kepada para kreditor. Seharusnya, dalam proses kepailitan, kurator dan hakim pengawas memegang peran yang menentukan. Proses eksekusi sita jaminan dan kemudian proses Kepailitan atau PKPU yang berlarut-larut menyebabkan turunnya nilai obyek jaminan berupa pesawat terbang, mesin dan komponennya. Dalam pelaksanaan pemberesan harta pailit dan eksekusi barang sita jaminan, Hakim Pengawas dan Hakim Ketua dianggap benar, memahami dan mengetahui ketentuan hukum yang mendasari pelaksanaan keputusannya, sehingga diharapkan tidak terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan dan dapat menjadi yurisprudensi untuk keputusan dalam perkara yang lain. Sementara itu dalam hal kreditor memilih menggunakan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum kepada debitor, maka pada prinsipnya hanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan putusannya. Asas-asas atau aturan umum eksekusi sebagai berikut :

18 18 1. Eksekusi dilaksanakan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat kondemnatoir, 2. Karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung hukuman hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara, 3. Cara mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang tetap dan pasti adalah dengan cara dijalankan dengan sukarela atau paksaan melalui bantuan alatalat negara, dan 4. Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri dan dilaksanakan atas perintah dan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri {Pasal 195 (1) HIR dan 264 (1) Rbg}. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian yang diteliti adalah : 1. Mengapa penguasaan obyek pesawat terbang oleh perusahaan Maintenance, Repair & Overhaul (MRO) tidak dapat digunakan untuk menjamin pelunasan utang? 2. Bagaimana upaya alternatif solusi dari perusahaan Maintenance, Repair Overhaul (MRO) untuk mengurangi risiko akibat tidak dapat dilakukannya sita jaminan atas Pesawat Terbang, Mesin dan Komponennya dalam hal Maskapai Penerbangan pailit?

19 19 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengkaji penguasaan obyek pesawat terbang oleh perusahaan MRO yang tidak dapat menjamin pelunasan utang. 2. Untuk mengkaji alternatif solusi dari perusahaan MRO dalam mengurangi risiko akibat tidak dapat dilakukan sita jaminan atas pesawat terbang, mesin dan komponennya dalam hal maskapai penerbangan pailit. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat dari segi Teoritis Menambah referensi berkaitan dengan akibat hukum keputusan pailit bagi proses eksekusi sita jaminan dalam perkara gugatan wanprestasi. 2. Manfaat dari segi Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atas efisiensi proses eksekusi untuk menjaga kepercayaan masyarakat secara umum dan juga para pelaku bisnis secara khusus, disamping itu untuk menjadi dasar pengaturan hukum khusus yang mengatur tentang eksekusi sita jaminan berupa pesawat terbang yang dibangun / dikonstruksi untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan kreditor sehingga diharapkan berdampak kepada perekonomian global.

20 20 E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian kepustakaan khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, terdapat Penelitian terkait sita eksekusi yang ditulis oleh Samuel, Bambang Siswanto, Program Studi Magister Hukum tahun 2012, dengan judul Tesis Kedudukan Sita Eksekusi Terhadap Harta Pailit Dalam Hukum Kepailitan dan penelitian terkait kepailitan antara lain pernah dilakukan oleh Ni Kadek Wiwien Udisumertha, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2013, dengan Judul Tesis Akibat Hukum Terhadap Benda Jaminan Milik Pihak Ketiga Dalam Kepailitan (Studi Kasus Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Denpasar). Penelitian terkait Kepailitan PT Batavia antara lain pernah dilakukan oleh Aulia Layinna Khoirunisa, tahun 2013, Program Studi Strata 1 (satu) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul Skripsi Analisis Yuridis mengenai Hukum Keagenan dalam hal kepailitan Perusahan Prinsipal, Study Kasus PT Metro Batavia dan Armellia Denetta, tahun 2013, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan judul Tesis Akibat Putusan Pailit Pengadilan Terhadap Kedudukan Hukum Direksi Perseroan Terbatas Dalam Hal Perseroan Dinyatakan Pailit (Studi Kasus PT. Metro Batavia dengan Putusan No. 77/pailit/2012/PN.NIAGA. JKT.PST). Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka permasalahan dalam pelaksanaan sita jaminan atas Pesawat Terbang, Mesin dan Komponennya untuk menjamin

21 21 pelunasan utang MRO dalam hal PT Batavia pailit belum ditulis oleh siapapun dan penulisan ini merupakan karya penulis, bukan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari karya lain.

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-undang Penerbangan, menimbang

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-undang Penerbangan, menimbang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1990 tentang Penerbangan selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-undang Penerbangan, menimbang bahwa:

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah hal-hal yang telah dijelaskan dalam bab I, II, III, dan Bab IV, disini penulis berkesimpulan bahwa: 1. Berdasarkan pada data dan fakta yang telah dianalisis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan dengan manusia lain. Salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB 3 PENUTUP 3.1. KESIMPULAN

BAB 3 PENUTUP 3.1. KESIMPULAN 68 BAB 3 PENUTUP 3.1. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah diberikan maka dapat disimpulkan: 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tidak menyebutkan secara tegas mengenai lembaga

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari pergaulan sehariharinya

`BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari pergaulan sehariharinya 1 `BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari pergaulan sehariharinya dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia mengadakan interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan praktik penerbangan bukanlah perkara sederhana. Ada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan praktik penerbangan bukanlah perkara sederhana. Ada banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan praktik penerbangan bukanlah perkara sederhana. Ada banyak faktor yang kehadirannya saling terkait dan mustahil untuk ditiadakan sehingga usaha penerbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin

SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin SEKITAR PENYITAAN Oleh A. Agus Bahauddin A. Pengertian Penyitaan : Menurut terminologi Belanda : beslag, dalam istilah Indonesia disebut beslah, dan istilah bakunya sita dan penyitaan. Dari istilah-istilah

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang Bab I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang perekonomian. Perbankan menjalankan kegiatan usahanya dengan mengadakan penghimpunan dana dan pembiayaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian terlebih setelah krisis moneter

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah penelitian Lazimnya dalam suatu gugatan yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor yang lalai memenuhi isi suatu kontrak, selalu disertai permohonan agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam utang-piutang, kreditor bersedia menyerahkan sejumlah uang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam utang-piutang, kreditor bersedia menyerahkan sejumlah uang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam utang-piutang, kreditor bersedia menyerahkan sejumlah uang ataupun barang kepada debitor, dengan didasari asumsi bahwa kreditor percaya debitor

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman,

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR (Studi Putusan Pailit Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2008, Mahkamah Agung No. 917/K/Pdt.Sus/2008 dan Peninjauan Kembali

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pokok permasalahan yang penulis uraikan pada bab IV, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perjanjian sewa guna usaha (leasing) pesawat udara A330-202

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 membuat perekonomian Indonesia belum seutuhnya stabil bahkan sampai saat ini. Banyak dunia usaha yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang menggerakkan roda perekonomian, dikatakan telah melakukan usahanya dengan baik apabila dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada hari Senin tanggal 17 Juni 2013 menjatuhkan putusan batal demi hukum atas perjanjian yang dibuat tidak menggunakan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.371, 2016 KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan Jasa. Pedoman.Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pertimbangan yuridis..., Riza Gaffar, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pertimbangan yuridis..., Riza Gaffar, FH UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Di akhir tahun 2008 dan awal 2009 hampir seluruh negara di dunia mengalami krisis moneter sehingga menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia P U T U S A N Nomor 511 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus permohonan tentang Keberatan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT Bank Rakyat Indonesia ( Persero ) Tbk atau dikenal dengan nama bank BRI merupakan salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang perbankan mempunyai fungsi intermediary

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci