BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang parameter genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan karakter morfofisiologi daun. Bahan genetik yang digunakan adalah tetua toleran (Ceneng), tetua peka (Godek) masing-masing tanaman sampel, populasi F 1 hasil persilangan Ceneng x Godek sebanyak 1 tanaman, dan 114 tanaman populasi F. Populasi tersebut ditanam di bawah paranet 50% dan disusun dengan rancangan acak kelompok dengan ulangan. Analisis genetik karakter-karakter morfologi dan fisiologi daun yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah meliputi: pendugaan koefisien korelasi, heritabilitas arti luas, jumlah gen (effective factor), dan aksi gen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dicirikan dengan karakter hasil biji per tanaman yang terkait erat dengan karakter luas daun, bobot daun spesifik, dan kandungan klorofil. Karakter hasil dikendalikan sekurang-kurangnya 6 gen minor, aksi gen dominan parsial, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi (68%). Karakter luas daun dan bobot daun spesifik masing-masing dikendalikan sekurang-kurangnya 4 dan 5 gen minor, aksi gen aditif, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi dan sedang (63%, 48%). Adaptasi berdasarkan karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total masing-masing dikendalikan gen mayor, aksi gen isoepistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi (78%, 84%, 86%). Adaptasi berdasarkan karakter rasio klorofil a/b dikendalikan gen mayor, aksi gen dominan dan resesif epistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi (70%). Kata kunci: kedelai, karakter morfologi daun, analisis genetik, heritabilitas, aksi gen

2 GENETIC ANALYSIS OF ADAPTATION OF SOYBEAN TO LOW LIGHT INTENSITY BASED ON LEAF MORPHO- PHYSIOLOGICAL CHARACTERS Abstract This study was aimed to obtain the valuable genetic information of adaptation of soybean to low light intensity based on leaf morpho-physiological characters. Genetic materials used in this study consisted of plants each of low irradiance (LI)-tolerant genotype (Ceneng) and LI-sensitive genotype (Godek); 1 plants of F 1 (Ceneng x Godek); and 114 plants of F populations (derived from F 1 ). These populations were planted under shading of paranet 50%, each population was arranged based on randomized block design with two replicates. Analisis of genetic parameters of soybean adaptation involved of estimation of phenotypic correlation, heritability (broad sense), number of gen (effective factor), and gen action. Results of this study showed that: adaptation of soybean to low light intensity was characterized by yield per plant highly correlated with leaf morphophysiological characters such as leaf area, specific leaf weight, and chlorophyll content. Adaptation of soybean to low light stress based on characters of yield per plant was highly heritable (68% of broad sense), controlled by at least 6 effective factors with partial dominant mode of action. Characters of leaf area and specific leaf weight were highly (68% of broad sense) and moderately (48% of broad sense) heritable, controlled by at least 4 and 5 minor genes (effective factors) respectively with additive mode of action. Adaptation based on leaf physiological characters (chlorophyll contents) were highly heritable (70% - 86% of broad sense), controlled by at least two major genes in epistatic mode of action. Key words: soybean, leaf morphologycal character, genetic analysis, heritability, gene action 66

3 PENDAHULUAN Latar Belakang Kendala utama pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan agroforestri, atau tumpang sari dengan tanaman pangan lain adalah rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan. Pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah, tanaman memerlukan sifat adaptasi tertentu untuk mampu bertahan hidup, berkembang dan berproduksi dengan baik (Mohr dan Schooper 1995). Oleh karena itu diperlukan upaya perbaikan genetik adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah melalui program pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman untuk adaptasi kedelai terhadap naungan dengan tujuan untuk mendapatkan genotipe yang toleran dengan produktivitas tinggi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah sudah dimulai dengan pembentukan 1 populasi bersegregasi dengan metode bulk terbatas (restricted bulk) hasil persilangan dialel lengkap dari empat tetua terpilih (masing-masing dua tetua toleran dan tetua peka) (Trikoesoemaningtyas et al. 003). Dalam setiap tahapan seleksi untuk mendapatkan genotipe toleran, karakter hasil merupakan kriteria seleksi yang utama meskipun perolehan kemajuan genetik (genetic advance) tidak cukup besar seperti yang diharapkan (Fehr 1987; Roy 000). Hal ini karena karakter hasil umumnya dipengaruhi oleh banyak gen (poligenik) dengan nilai heritabilitas yang rendah (Wallace et al. 1993). Wallace et al. (1993); Chahal dan Gosal (00) menyarankan agar seleksi terhadap hasil hendaknya disertai dengan seleksi secara simultan dengan komponen agronomi, morfologi, atau fisiologi lain yang terkait dan dikendalikan secara genetik. Dalam hal ini, daun sebagai organ utama tanaman yang berperan secara langsung dalam aktivitas fotosintesis dan menentukan kapasitas fotosintetik optimum melalui berbagai bentuk mekanisme adaptasi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah menjadi sangat penting. Beberapa karakter morfologi dan fisiologi daun yang dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah antara lain: kandungan klorofil (klorofil a, b, dan total), rasio klorofil a/b, luas daun dan bobot daun spesifik (hasil Percobaan 1). Hasil penelitian sebelumnya juga 67

4 menunjukkan bahwa kandungan klorofil dapat dijadikan sebagai marka fisiologi dalam seleksi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (Handayani 003). Sopandie et al. (003b); Khumaida (00) melaporkan bahwa tanaman yang toleran naungan mempunyai daun yang lebih lebar dan tipis, kandungan klorofil b yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dari pada tanaman peka. Perubahan karakter morfologi dan fisiologi daun tersebut merupakan bentuk mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman intensitas cahaya rendah (Evans dan Poorter 001; Kim et al. 005; Jufri 006; Muhuria 007). Dengan demikian karakter morfo-fisiologi daun dapat memberikan andil besar dalam perbaikan adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah. Penggunaan karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi atau kriteria seleksi untuk perbaikan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah perlu didukung oleh pengetahuan mengenai parameter genetik, seperti koefesien korelasi genotipik, nilai heritabilitas, dan jumlah gen (effective factor) yang mengendalikan karakter tersebut. Menurut Grami et al. (1977) parameter genetik bermanfaat di dalam merumuskan program pemuliaan yang akan digunakan dan mengetahui kemajuan genetik hasil seleksi. Poehlman dan Sleper (1995); Roy (000) juga menyatakan seleksi terhadap karakter yang berkontribusi terhadap sifat adaptasi tanaman akan lebih efektif apabila didasari oleh informasi genetik seperti pendugaan heritabilitas, jumlah dan tipe aksi gen pengendali. Sejauh ini, informasi tentang parameter genetik karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Informasi ini penting agar karakter morfo-fisiologi daun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Seleksi terhadap karakter sekunder akan lebih efektif apabila karakter tersebut memiliki hubungan genetik kuat dengan karakter primer dan memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dibanding karakter primer (Roy 000). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang parameter genetik karakter morfo-fisiologi daun sebagai karakter penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah 68

5 BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Bahan genetik yang digunakan adalah kedelai toleran naungan Ceneng (P 1 ) dan peka naungan Godek (P ), keduanya merupakan genotipe lokal (Sopandie et al. 00) masing-masing sebanyak tanaman, F 1 hasil persilangan Ceneng x Godek sebanyak 1 tanaman, dan F hasil selfing populasi F 1 sebanyak 114 tanaman. Penanaman di bawah naungan paranet 50% dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen, Cimanggu, Bogor mulai Agustus November 005. Pengolahan tanah di bawah paranet 50% dilakukan dengan cara dibajak dua kali menggunakan traktor. Pada pengolahan tanah kedua diberikan pupuk kandang 0 ton/ha secara merata. Sebelum penanaman, lubang tanam ditaburi Carbofuran 3G. Selanjutnya sebanyak masing-masing benih kedelai dari populasi P 1, P, F 1, dan F ditanam pada setiap lubang tanam pada masing-masing petak dengan jarak tanam 30 x 15 cm. Petak percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan dua ulangan. Penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur satu minggu setelah tanam (MST) dengan mengganti tanaman yang kurang sehat atau mati. Pemupukan dilakukan pada umur tanaman 1 MST dengan dosis 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha. Pemeliharaan tanaman seperti penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit dilakukan setiap tiga minggu sekali atau apabila diperlukan. Pengamatan Karakter yang diamati terdiri atas karakter morfo-fisiologi daun dan hasil per tanaman. Karakter morfo-fisiologi daun yang diamati meliputi: luas daun, bobot daun spesifik (BDS), kandungan klorofil (klorofil a, klorofil b, klorofil total) and rasio klorofil a/b. Pengambilan sampel daun dari setiap individu tanaman dilakukan pada umur tanaman 5 MST. Sampel daun yang diamati adalah daun trifoliat ketiga dan keempat dari ujung atas batang utama yang telah berkembang sempurna. Pengukuran kandungan klorofil dan antosianin dilakukan di lab RGCI (Research Group on Crop Improvement) Fakultas Pertanian IPB. Analisis 69

6 kandungan klorofil a, b, dan klorofil total dilakukan menggunakan metode yang digunakan Richardson et al. (00) yang merupakan perbaikan metode yang digunakan Arnon (1949) (lihat Lampiran 1). Pengukuran luas daun dan bobot daun spesifik (BDS) dilakukan di lab Ekofisiologi Faperta IPB. Luas daun trifoliat diamati dengan menggunakan leaf area meter, sedangkan BDS yang mengindikasikan ketebalan daun, dihitung dengan cara membagi berat kering daun dengan luas daun. Pengukuran hasil biji per tanaman dilakukan dengan cara memanen masingmasing individu tanaman setelah polong kering berwarna coklat kehitaman kemudian dibijikan dan ditimbang bobot kering biji per tanaman setelah biji mencapai kadar air sekitar 11%. Analisis Data Keragaan hasil dan morfo-fisiologi daun pada tetua. Untuk mengetahui apakah kedua genotipe tetua yang digunakan (Ceneng, genotipe toleran naungan; Godek, genotipe peka naungan) memiliki karakter hasil dan morfo-fisiologi daun yang berbeda nyata, dilakukan uji t terhadap masing-masing karakter pada masing-masing genotipe tersebut. Karakter yang berbeda dari kedua tetua akan dilanjutkan pada analisis parameter genetik berikutnya. Korelasi karakter morfo-fisiologi daun dengan hasil pada populasi F. Untuk mengetahui karakter-karakter morfo-fisiologi daun yang terkait erat dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, maka dilakukan analisis korelasi Pearson antara karakter morfo-fisiologi dengan karakter hasil (referensi adaptasi) pada populasi segregasi F (Wallace et al. 1993; Grami et al. 1977). Koefesien korelasi fenotipik yang menunjukkan hubungan antara dua peubah dihitung menggunakan rumus (Steel et al. 1997; Roy 000) atau menggunakan fungsi korelasi pada program Minitab Release 13. r ( x x, y ) = x )( y y ) / n ( ( σ x )( σ y ) 1 70

7 Karakter-karakter yang terkait erat dengan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah adalah karakter-karakter yang memiliki koefesien korelasi tinggi dan nyata terhadap hasil. Pengujian sebaran fenotipe F. Untuk melakukan pendugaan jumlah gen masing-masing karakter yang diamati, terlebih dahulu ditentukan apakah sebaran fenotipe karakter tersebut mengikuti kurva normal atau tidak. Analisis sebaran fenotipe karakter morfo-fisiologi daun dilakukan dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dengan menggunakan program Minitab Release 13. Hasil analisis deskriptif selain menunjukkan tingkat kemenjuluran (skewness dan kurtosis) juga pengujian normalitas menggunakan model Anderson-Darling. Selanjutnya untuk mengetahui kecenderungan posisi sebaran populasi F dengan kedua tetua dan populasi F 1, dilakukan analisis dengan menggunakan kaidah Sturge (Nasoetion dan Barizi 1973) yaitu dengan cara data pengamatan masingmasing karakter dari seluruh individu tanaman F dikelompokkan menjadi 9 kelas (jumlah tanaman kurang dari 50 tanaman) dengan interval tertentu. Selanjutnya data dianalisis menggunakan program Minitab Release 13. Pendugaan jumlah gen. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif seperti tingkat kemenjuluran dan uji normalitas serta histogram masing-masing karakter yang diuji, selanjutnya ditentukan apakah sebaran fenotipe karakter tersebut mengikuti sebaran normal atau tidak. Apabila suatu karakter memiliki nilai uji normalitas (A ) dengan nilai probabilitas p > 0.05 maka sebaran fenotipe karakter tersebut bersifat kontinu dan mengikuti kurva normal. Apabila nilai probabilitas p 0.05 maka sebaran fenotipe karakter tersebut bersifat kontinu dengan sebaran tidak mengikuti kurva normal. Karakter dengan sebaran kontinu dan mengikuti kurva normal menunjukkan bahwa karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh gen-gen minor. Karakter dengan sebaran kontinu tetapi tidak mengikuti kurva normal menunjukkan karakter tersebut selain dipengaruhi oleh gen minor juga dipengaruhi oleh satu atau dua gen mayor (Chandraratna 1964; Fehr 1987; Crowder 1993). Menurut Chandraratna (1964) apabila dalam suatu karakter kuantitatif ikut serta pengaruh gen mayor dengan arah dominansi yang sama, maka akan terlihat adanya kemenjuluran puncak (peak skewness) sebaran frekuensi. Apabila gen mayor mempunyai dominansi sendiri-sendiri maka akan 71

8 terlihat adanya bentuk sebaran frekuensi dengan puncak lebih dari satu (bimodal atau trimodal) pada generasi F. Pendugaan jumlah gen yang mengendalikan karakter dengan sebaran fenotipe F mengikuti sebaran normal dihitung menggunakan rumus Castle (191) dalam Roy (000) sebagai berikut: n = ( p 1 p ) 8( σ F σ F 1 ) dimana, n = jumlah gen; p 1 = rata-rata tetua 1; p = rata-rata tetua ; σ F 1 = varians populasi F 1 ; σ F = varians populasi F. Selanjutnya pendugaan aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut dihitung berdasarkan rumus pendugaan nilai nisbah potensi (hp) yang digunakan Petr dan Frey (1966) sebagai berikut: hp = F MP HP MP dimana hp = nilai nisbah potensi atau derajat dominansi gen, F = rata-rata nilai F1, HP = rata-rata nilai tetua tertinggi, MP = nilai tengah kedua tetua Berdasarkan nilai potensi rasio (hp), derajat dominansi atau aksi gen yang mengendalikan karakter kuantitatif diklasifikasikan sebagai berikut (Petr dan Frey 1966): aditif, tidak ada dominansi apabila 0.00 < hp 0.5; dominan parsial atau dominan tidak sempurna apabila 0.5 < hp 0.75; dominan penuh atau dominan sempurna apabila 0.75 < hp 1.5; dan dominan berlebih atau over-dominan apabila hp >1.5. Pendugaan jumlah gen yang mengendalikan karakter dengan sebaran fenotipe F yang tidak mengikuti sebaran normal dihitung melalui pendekatan analisis genetika Mendel yaitu dengan membandingkan nisbah sebaran frekuensi fenotipik hasil pengamatan dengan nisbah harapan atau nisbah hipotetik menggunakan uji Chi-kuadrat (χ ) (Allard 1960; Fehr 1987; Crowder 1993). 7

9 Untuk keperluan analisis tersebut maka setiap karakter dikelompokkan ke dalam, 3 atau 4 kelas toleransi sesuai dengan jumlah nisbah harapan. Pengelompokan tersebut didasarkan atas 9 kelas interval sesuai sebaran frekuensi fenotipik populasi F seperti ditentukan sebelumnya menggunakan kaidah Sturge (Nasoetion dan Barizi 1973). Untuk pengelompokan kelas toleransi (P, peka : T, toleran), kelompok peka terdiri atas kelas interval (1,) dan kelompok toleran terdiri atas kelas interval (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas tolerasi (P, peka : M, moderat : T, toleran), kelompok peka terdiri atas (1,), moderat (3,4,5), dan toleran (6,7,8,9); 4 kelas toleransi (P, peka : AP, agak peka : AT, agak toleran : T, toleran), kelompok peka terdiri atas (1,), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), dan toleran (7,8,9). Pengujian kesesuaian nisbah pengamatan dengan nisbah harapan dilakukan menggunakan Uji Chi-kuadrat (χ ) dengan rumus sebagai berikut: X ( Oi Ei = Ei ) dimana χ merupakan nilai chi-square hitung; i = 1,,3,.n; Oi = nilai pengamatan; Ei = nilai yang diharapkan dalam kelas ke i. Apabila nilai χ hitung lebih kecil dari χ tabel, berarti sebaran fenotipik pada populasi F mengikuti nisbah harapan fenotipik tertentu. Untuk keperluan analisis genetik, batas kesesuaian uji χ dianggap cukup apabila digunakan batas peluang (p) = 0.0. Beberapa nisbah fenotipe hipotetik yang biasa digunakan terkait dengan pendugaan jumlah gen mayor, disajikan pada Tabel 9. Pendugaan nilai heritabilitas arti luas. Untuk mengetahui apakah karakter yang terkait adaptasi intensitas cahaya rendah lebih banyak ditentukan oleh ragam genetik atau lingkungan, maka dilakukan pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h bs) dengan melibatkan ragam tetua (P 1, P 1 ), F 1 dan F dengan rumus seperti yang dikemukakan Warner (195) dalam Fehr (1987). Nilai heritabilitas tersebut oleh McWhirter (1979) digolongkan menjadi nilai heritabilitas tinggi apabila h > 50%, nilai heritabilitas sedang apabila 0% < h < 50%, dan heritabilitas rendah apabila h < 0%. Karakter dengan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa karakter tersebut dipengaruhi lebih banyak oleh faktor 73

10 genetik, sementara karakter dengan nilai heritabilitas rendah menunjukkan bahwa keragaan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor genetik. h bs = σ F 3 ( σ σ F 1 )( σ F P )( σ 1 P ) x100 dimana, h bs = nilai heritabilitas arti luas; σ F 1 = ragam populasi F 1 ; σ F = ragam populasi F sama dengan ragam fenotipik; σ P 1 = ragam populasi tetua 1; dan σ P = ragam populasi tetua ; 3 ( σ F1 )( σ P1 )( σ P ) merupakan nilai duga ragam lingkungan secara tidak langsung. Ragam total genotipik (ragam aditif + ragam dominan + ragam epistasis) merupakan ragam fenotipik dikurangi ragam lingkungan. Tabel 9 Nisbah fenotipe karakter yang terkait adaptasi terhadap suatu cekaman yang dikendalikan oleh gen mayor pada populasi bersegregasi F (Fehr 1987; Crowder 1993) Jumlah gen dan tipe aksi gen berdasarkan nisbah T AT AP P Satu (1) pasang gen: a. Dominan penuh b. Resesif c. Tidak ada dominansi 1-1 Dua () pasang gen: a. Tidak ada epistasis b. Resesif epistasis: aa epistatik terhadap B dan b c. Dominan epistasis: A epistatik terhadap B dan b d. Dominan dan resesif epistasis, A epistatik terhadap B dan b; bb epistatik terhadap aa e. Resesif ganda (duplikat resesif epistasis): aa epistatik terhadap B dan b; bb epistatik terhadap A dan a f. Isoepistasis: duplikat dominan epistasis. A epistatik terhadap B; B epistatik terhadap A dan a g. Semiepistatis (interaksi duplikat) h. Interaksi kompleks Tiga (3) pasang gen (epistasis kompleks) a b c d Keterangan: T = toleran, AT = agak toleran, AP = agak peka, P = peka 74

11 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan Morfo-fisiologi Daun pada Tetua Toleran dan Peka Naungan Untuk mengetahui perbedaan keragaan nilai tengah beberapa karakter yang diamati pada kedua tetua, telah dilakukan uji t. Karakter-karakter yang berbeda nyata pada kedua tetua tersebut dilanjutkan dengan analisis parameter genetik. Keragaan dan hasil uji t nilai tengah karakter morfo-fisiologi daun yang diamati seperti hasil biji per tanaman, luas daun, bobot spesifik daun (tebal daun), kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b pada tetua toleran (Ceneng) dan tetua peka (Godek) pada kondisi lingkungan naungan 50% disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Keragaan karakter hasil dan morfo-fisiologi daun tetua toleran (Ceneng) dan peka (Godek) pada kondisi naungan 50% Karakter yang diamati Nilai tengah Nilai t test Ceneng (P 1 ) Godek (P ) Hasil per tanaman (g) 7.84 a 4.3 b 0.35** Luas daun (cm ) a b 16.9** Bobot spesifik daun (mg/cm ) b.059 a -10.0** Klorofil a (mg/g).099 a b 14.13** Klorofil b (mg/g) 1.07 a 0.78 b 14.6** Klorofil total (mg/g) a.433 b 17.3** Rasio klorofil a/b b.366 a -6.70** ** sangat berbeda nyata dengan uji t Pada Tabel 10 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar kedua tetua toleran dan peka naungan pada semua karakter yang diamati berdasarkan uji t. Rata-rata hasil per tanaman tetua toleran (Ceneng) lebih tinggi dari pada tetua peka (Godek). Pada tetua toleran, rata-rata luas daun lebih tinggi, kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total juga lebih tinggi, sedangkan bobot spesifik daun dan rasio klorofil a/b lebih rendah dari pada tetua peka. Perbedaan keragaan genotipe Ceneng (tetua toleran) terhadap genotipe Godek (tetua peka naungan) pada karakter tersebut juga dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Sopandie et al. 00, 006; Khumaida 00; Handayani 003; Lestari 005; Tyas 006; Jufri 75

12 006; Muhuria 007). Berdasarkan hasil uji t tersebut tetua Ceneng dan Godek masing-masing konsisten sebagai tetua toleran dan tetua peka naungan. Adanya perbedaan dasar genetik yang jelas antar kedua tetua yang digunakan diperlukan untuk memperoleh kemajuan seleksi yang baik. Korelasi Karakter Morfo-fisiologi Daun dengan Hasil pada Populasi F Koefesien korelasi fenotipik atau koefesien korelasi total menggambarkan derajat hubungan atau kedekatan hubungan linier antar dua karakter atau dua peubah (Roy 000). Batas nilai koefesien korelasi adalah -1 r 1, artinya apabila nilai r mendekati 1 atau -1 maka kedua karakter memiliki hubungan positif atau negatif yang sangat kuat, sedangkan apabila nilai r = 0.0 maka kedua karakter tidak mempunyai hubungan atau dikatakan sebagai karakter bebas. Informasi korelasi ini penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman terutama dalam melakukan seleksi sifat-sifat baik (desired characters). Dalam seleksi genotipe kedelai yang adaptif pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah dimana karakter hasil merupakan karakter utama (primer) maka karakter yang memiliki keeratan hubungan dengan hasil merupakan karakter penting yang dapat digunakan sebagai karakter sekunder dalam seleksi tidak langsung (inderect selection). Tabel 11 Koefisien korelasi fenotipik karakter morfo-fisiologi daun dan hasil pada populasi F dari persilangan tetua toleran Ceneng dengan tetua peka (Godek) Karakter Hasil per tanaman Luas daun Bobot daun spesifik Klorofil a Klorofil b Klorofil total Luas daun 0.75** Bobot daun spesifik -0.68** -0.8** Klorofil a 0.70** 0.49** -0.40** Klorofil b 0.71** 0.59** -0.55** 0.85** Klorofil total 0.73** 0.56** -0.50** 0.96** 0.96** Rasio klorofil a/b -0.59** -0.54** 0.51** -0.65** -0.94** -0.83** Keterangan: ** sangat nyata Hasil analisis korelasi fenotipik antar karakter morfo-fisiologi daun dan hasil pada populasi F pada kondisi naungan (Tabel 11) menunjukkan bahwa 76

13 karakter yang memiliki nilai koefesien korelasi tinggi dan nyata adalah luas daun (0.75), bobot spesifik daun (-0.68); kandungan klorofil a (0.70), klorofil b (0.71), klorofil total (0.73), dan rasio klorofil a/b (-0.59). Hasil penelitian ini senada dengan yang dilaporkan Handayani (003) dan Muhuria (007). Nilai koefesien korelasi yang positif dan nyata antara karakter kandungan klorofil dan luas daun dengan karakter hasil biji per tanaman pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah mengindikasikan bahwa karakter tersebut memberikan kontribusi yang besar pada keragaan hasil. Artinya bahwa apabila terjadi peningkatan karakaterkarakter tersebut maka akan diikuti peningkatan hasil tanaman. Dengan demikian untuk mendapatkan genotipe kedelai dengan hasil yang tinggi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah diperlukan genotipe dengan kandungan klorofil terutama klorofil b yang tinggi, morfologi daun yang lebih luas dan lebih tipis. Informasi ini memberikan gambaran bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah terjadi melalui peningkatan kandungan klorofil terutama klorofil b dan morfologi daun yang lebih luas dan lebih tipis untuk memaksimalkan penangkapan cahaya. Hasil penelitian ini penting bagi program perbaikan hasil kedelai pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah melalui seleksi tidak langsung. Sebagaimana yang diuraikan Pandini et al. (00) bahwa perbaikan hasil dapat dilakukan dengan melakukan seleksi terhadap karakter yang terkait erat dengan hasil. Hasil percobaan ini juga mendukung hasil percobaan sebelumnya mengenai respon karakter morfo-fisiologi daun bahwa kandungan klorofil yang tinggi dengan daun yang lebar dan tipis pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah ditunjukkan oleh genotipe toleran naungan. Nilai koefesien korelasi negatif dan nyata antara rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun dengan hasil biji per tanaman menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun (tebal daun) maka akan diikuti peningkatan hasil biji per tanaman. Informasi ini memberikan gambaran bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah terjadi melalui penurunan rasio klorofil a/b dan morfologi daun yang lebih tipis. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan yang dilaporkan Handayani (003); Jufri (006); Muhuria (007). 77

14 Rasio klorofil a/b yang rendah menunjukkan rata-rata klorofil b lebih besar dari pada rata-rata klorofil a. Fenomena ini mencerminkan bahwa klorofil b sebagai salah satu pigmen antena pemanen cahaya berperan cukup penting di dalam meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Hidema et al. (199) pada tanaman padi bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, karena adanya peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi. Hal ini karena pada kondisi cahaya rendah, kloroplas lebih banyak terdapat pada permukaan sel mesofil daun. Hal yang sama juga dilaporkan Khumaida (00), Handayani (003), Jufri (006), dan Muhuria (007) pada tanaman kedelai dan Lautt (003) pada tanaman padi gogo. Secara umum mereka melaporkan bahwa pada kondisi cekaman cahaya rendah, genotipe toleran memiliki kandungan klorofil b yang lebih tinggi, rasio klorofil a/b yang lebih rendah, dan morfologi daun yang lebih tipis dari pada genotipe peka. Hasil uji korelasi tersebut juga memberikan informasi bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah dapat melalui peningkatan kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan luas daun, serta melalui penurunan rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun. Selanjutnya, berdasarkan uji korelasi tersebut karakter-karakter yang berkorelasi tinggi dan nyata dilanjutkan dengan analisis parameter genetik untuk mempelajari pola pewarisan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Pola Pewarisan Sifat Adaptasi Kedelai berdasarkan Morfo-fisiologi Daun Pengujian sebaran fenotipe F. Untuk mengetahui apakah sebaran fenotipe karakter morfo-fisiologi daun penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah mengikuti kurva normal atau tidak, telah dilakukan analisis statistik deskriptif sebaran fenotipe karakter morfo-fisiologi daun pada populasi memisah (F ) termasuk sifat kemenjuluran (skewness dan kurtosis), dan uji normalitas menggunakan program Minitab versi (Lampiran 4). Secara ringkas hasil analisis statistik deskriptif disajikan pada Tabel 1, sedangkan histogram masingmasing karakter dengan kurva normal sebagai pembanding disajikan pada Gambar

15 Tabel 1 Nilai rata-rata fenotipe, kemenjuluran (skewness), nilai normalitas dan probabilitas karakter morfo-fisiologi pada populasi F Karakter Ratarata StDev Skewness Kurtosis Nilai A Nilai Prob. Hasil per tanaman (g) Luas daun (cm ) Bobot daun spesifik (mg/cm ) Klorofil a (mg/g) ** Klorofil b (mg/g) ** Klorofil total (mg/g) ** Rasio klorofil a/b ** Keterangan: A = nilai statistik uji normalitas Anderson-Darling; ** berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 95% Histogram of F-Hasil per Tanaman, with Normal Curve 15 Frequency F-Hasil per Tanaman Gambar 17 Histogram fenotipe karakter hasil per tanaman pada populasi F dengan kurva normal sebagai pembanding. 79

16 Histogram of F-Luas Daun, with Normal Curve 15 Frequency F-Luas Daun Gambar 18 Histogram fenotipe karakter luas daun pada populasi F dengan kurva normal sebagai pembanding. Histogram of F-Bobot Daun Spesifik, with Normal Curve 0 Frequency F-Bobot Daun Spesifik.1..3 Gambar 19 Histogram fenotipe karakter bobot daun spesifik pada populasi F dengan kurva normal sebagai pembanding. 80

17 Histogram of F-Klorofil a, with Normal Curve 0 Frequency F-Klorofil a Gambar 0 Histogram fenotipe karakter klorofil a pada populasi F dengan kurva normal sebagai pembanding. Histogram of F-Klorofil b, with Normal Curve 15 Frequency F-Klorofil b Gambar 1 Histogram fenotipe karakter klorofil b pada populasi F dengan kurva normal sebagai pembanding. 81

18 Histogram of F-Klorofil Total, with Normal Curve 0 Frequency F-Klorofil Total Gambar Histogram fenotipe karakter klorofil total pada populasi F dengan kurva normal sebagai pembanding. Histogram of F-Rasio Klorofil a/b, with Normal Curve 30 0 Frequency F-Rasio Klorofil a/b 3.0 Gambar 3 Histogram fenotipe karakter rasio klorofil a/b pada populasi F dengan kurva normal sebagai pembanding. 8

19 Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 17-3, diketahui bahwa sebaran fenotipe karakter hasil biji per tanaman, luas daun, dan bobot daun spesifik pada populasi F bersifat kontinu dan mengikuti kurva normal sebagaimana nilai uji statistik normalitas (A ) yang tidak berbeda (p >0.10). Dengan demikian, karakter-karakter tersebut dikendalikan banyak gen minor (poligenik) dengan pengaruh total gen minor lebih besar dari pengaruh lingkungan tetapi pengaruh per satuan gen lebih kecil dari pengaruh lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan yang dilaporkan Handayani (003) dimana karakter hasil dan luas daun merupakan karakter adaptasi kedelai terhadap naungan yang dikendalikan banyak gen minor. Sebaran finotipe karakter kandungan klorofil bersifat kontinu dan tidak mengikuti kurva normal sebagaimana ditunjukkan dengan nilai uji normalitas (A ) yang sangat berbeda nyata (p<0.01). Dengan demikian, karakter kandungan klorofil dikendalikan oleh gen minor tetapi terdapat satu atau dua gen mayor. Pendugaan Jumlah Gen dan Tipe Aksi Gen Pengendali Adaptasi Jumlah gen minor. Pendugaan jumlah gen minor atau effective factor atau quantitative trait loci (QTL) (Grami et al. 1977; Roy 000) yang mengendalikan adaptasi berdasarkan karakter dengan sebaran fenotipe mengikuti kurva normal seperti hasil biji per tanaman, luas daun, dan bobot daun spesifik dihitung menggunakan rumus Castle (191) dalam Roy (000), dan tipe aksi gen dianalisis menggunakan rumus potensi rasio (hp) (Petr dan Frey 1966). Tabel 13 Pendugaan jumlah gen minor (effective factor) dan tipe aksi yang mengendalikan karakter-karakter dengan pola sebaran kontinu dan mengikuiti kurva normal pada populasi F Karakter Jumlah effective factor Potensi rasio (hp) Tipe aksi gen Hasil biji per tanaman Dominan parsial Luas daun Aditif Bobot spesifik daun Aditif Hasil pendugaan jumlah gen minor dan tipe aksinya terhadap karakter tersebut menunjukkan bahwa keragaan karakter hasil biji pertanaman, luas daun, 83

20 dan bobot daun spesifik masing-masing melibatkan sekurang-kurangnya 6, 4, dan 5 effective factor, dengan tipe aksi berturut-turut adalah dominan parsial, aditif, dan aditif (dengan nilai hp berturut-turut 0.45, 0., dan 0.14) (Tabel 13). Faktor efektif (effective factor) yang diduga terlibat dalam ekspresi karakter hasil biji per tanaman antara lain gen-gen yang mengendalikan kandungan klorofil maupun morfologi daun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh koefesien korelasi yang tinggi antara karakter hasil dengan kandungan klorofil dan morfologi daun. Selain itu, faktor komponen hasil seperti jumlah polong isi, jumlah biji per polong, dan jumlah cabang produktif juga mempengaruhi fenotipe hasil per tanaman (Handayani 003; Muhuria 007). Handayani (003) dan Muhuria (007) dalam penelitian sidik lintas pada tanaman kedelai juga melaporkan bahwa pada kondisi cahaya rendah, kandungan klorofil dan luas daun berkontribusi secara tidak langsung terhadap hasil biji per tanaman melalui karakter jumlah polong berisi. Pada karakter morfologi daun seperti luas daun dan bobot daun spesifik, diketahui sekurang-kurangnya ada empat sampai lima effective factor dengan aksi aditif. Faktor-faktor yang diduga terlibat mempengaruhi morfologi daun antara lain lapisan palisade (Khumaida 00; Muhuria 007), sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 00), hormon gibberellin dan auksin (Taiz dan Zeiger 00). Hasil penelitian Muhuria (007) menunjukkan bahwa pada kondisi naungan lapisan palisade kedelai toleran lebih tipis dibanding kedelai peka. Demikian pula yang dilaporkan Khumaida (00) pada tanaman padi gogo. Menurut Morelli dan Ruberti (00); Taiz dan Zeiger (00); Bultynck dan Lambers (004), selama tanaman dalam kondisi naungan, biosintesis asam gibberellin dan auksin menjadi meningkat terkait dengan regulasi sistem fitokrom dan ATHB. Biosintesis hormon endogeneous gibberellin berfungsi dalam pembesaran dan pembelahan sel jaringan daun sehingga daun menjadi lebih lebar. Jumlah gen mayor. Pendugaan jumlah gen mayor yang mengendalikan adaptasi berdasarkan karakter dengan sebaran kontinu tetapi tidak mengikuti kurva normal seperti kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b dilakukan menggunakan pendekatan analisis genetika Mendel yaitu dengan cara membandingkan nisbah frekuensi fenotipik karakter F hasil 84

21 pengamatan dengan nisbah fenotipik harapan atau nisbah hipotetik dengan uji chikuadrat (χ ) (Allard 1960; Fehr 1987; Crowder 1993). Untuk keperluan analisis tersebut maka setiap karakter dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu (, 3 dan 4 kelas) sesuai dengan jumlah nisbah harapan. Pengelompokan tersebut didasarkan atas 9 kelas sesuai sebaran frekuensi fenotipik pada populasi F. Pengelompokan kelas (peka, toleran) adalah peka (1,) dan toleran (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas (peka, moderat, toleran) adalah peka (1,), moderat (3,4,5), toleran (6,7,8,9); 4 kelas (peka, agak peka, agak toleran, toleran) adalah peka (1,), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), toleran (7,8,9). Model pendugaan ini selain untuk menduga jumlah gen juga dapat menduga tipe aksi gen yang bersegregasi. Hasil analisis genetika Mendel dengan menggunakan rumus chi-kuadrat (Tabel 14) menunjukkan bahwa pengelompokan skor yang sesuai dengan nisbah harapan adalah pengelompokan skor dalam kelas (T:P). Nisbah sebaran frekuensi fenotipik tingkat toleransi populasi F atas dasar karakter klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan antosianin nisbah 15 toleran :1 peka dikendalikan oleh dua gen mayor dengan aksi gen isoepistasis (epistasis dominan ganda), sedangkan rasio klorofil a/b sesuai dengan nisbah 13 toleran : 3 peka, dikendalikan dua gen dengan aksi gen dominan resesif epistasis. Tabel 14 Pendugaan jumlah gen mayor dan tipe aksi gen yang mengendalikan karakter-karakter klorofil pada populasi F Karakter Kelas Frekuensi Fenotipe F O E Nisbah χ hit Prob. Jml gen Tipe aksi gen Klorofil a (T:P) 105:9 107:7 15: IE Klorofil b (T:P) 103:11 107:7 15: IE Klorofil total Rasio klorofil a/b (T:P) 104:10 107:7 15: IE (T:P) 96:18 93:1 13: DRE Keterangan: T = toleran; P = peka; O = observasi; E = ekspektasi; IE = isoepistasis; DRE = dominan & resesif epistasis 85

22 Nisbah fenotipik 15:1 berarti bahwa tingkat toleransi dikendalikan oleh dua gen yang bersifat dominan epistatik dengan tipe aksi gen isoepistasis (Crowder 1993) atau epistasis dominan ganda (Fehr 1987; Yusuf 001). Menurut Crowder (1993), aksi gen isoepistasis terjadi apabila dua gen berperanan sama dan mengatur sifat yang sama. Keberadaan salah satu gen dominan dapat mengganti gen dominan lain untuk menampilkan sifat toleran. Hal yang sama juga dijelaskan Yusuf (001), bahwa isoepistasis atau interaksi duplikasi terjadi akibat dua gen memproduksi bahan yang sama dan memproduksi fenotipe yang sama. Estimasi nisbah fenotipik 15 toleran : 1 peka pada populasi F hasil persilangan Ceneng (toleran) x Godek (peka) dapat dijelaskan sebagai berikut. Sifat toleransi dikendalikan oleh pasangan alel dominan-resesif yang terdapat pada dua gen yang berbeda lokus. Sifat toleran akan muncul apabila terdapat alel dominan di salah satu atau kedua lokus. Sebagai contoh, alel-alel pada kedua lokus adalah A, a, B, dan b. Semua tanaman yang bergenotipe A_ atau B_ akan menampilkan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah, sedangkan tanaman yang bergenotipe aabb menampakkan sifat peka. Dengan demikian pada populasi F terdapat nisbah 15 toleran : 1 peka. Nisbah fenotipik 13:3 atas dasar karakter rasio klorofil a/b mengindikasikan adanya dua gen yang bekerja secara dominan dan resesif epistasis, yaitu terjadi interaksi dua gen dimana satu gen dominan pada satu lokus dan homosigot resesif pada lokus yang lain maka akan bersifat epistasis, dengan kata lain apabila terdapat salah satu gen tersebut maka akan menyebabkan tanaman menjadi toleran. Yusuf (001) juga menjelaskan bahwa penyimpangan nisbah Mendel menjadi 13:3 karena adanya interaksi modifikasi yaitu aksi salah satu gen pada suatu lokus menekan atau merubah hasil kerja gen pada lokus yang berbeda. Pendugaan Nilai Heritabilitas Arti Luas Diketahui ada dua macam pendugaan nilai heritabilitas, yaitu pendugaan nilai heritabilitas arti sempit (h ns) dan arti luas (h bs). Pendugaan nilai h ns dimaksudkan untuk mengetahui pewarisan suatu sifat dipengaruhi oleh ragam aditif atau ragam lingkungan. Apabila nilai h ns tinggi berarti pewarisan sifat banyak dipengaruhi oleh ragam aditif (ragam kuantitatif) (Poespodarsono 1988). 86

23 Dalam rangka perbaikan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, pendugaan nilai heritabilitas arti sempit menjadi lebih penting karena mencerminkan nilai tambah pada sifat yang dikendalikan gen aditif. Semakin tinggi nilai heritabilitas arti sempit, semakin besar pengaruh gen aditif yang berarti semakin besar pula nilai tambah pada perbaikan sifat yang diinginkan. Pada penelitian ini hanya pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h bs) saja yang dapat dilakukan karena keterbatasan populasi dasar yang tersedia. Pendugaan nilai h bs dimaksudkan untuk mengetahui pewarisan suatu sifat dipengaruhi oleh ragam genetik atau ragam lingkungan. Apabila nilai h bs tinggi berarti pewarisan sifat lebih banyak dipengaruhi oleh ragam genetik atau ragam genetik total dan sedikit pengaruh ragam lingkungan (Fehr 1987; Roy 000). Tabel 15 Nilai duga heritabilitas arti luas karakter-karakter yang terkait dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah Karakter Ragam (σ ) populasi h bs P 1 P F 1 F (%) Ceneng Godek C x G C x G Hasil per tanaman Luas daun Bobot daun spesifik Klorofil a Klorofil b Klorofil total Rasio klorofil a/b Nilai heritabilitas arti luas dari semua karakter hasil per tanaman dan morfofisiologi daun yang menjadi penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah tergolong tinggi kecuali bobot daun spesifik yang tergolong sedang (berdasarkan penggolongan nilai heritabilitas sesuai Halloran et al. 1979). Nilai h bs untuk karakter hasil, luas daun, bobot daun spesifik, klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b berturut-turut adalah 68%, 63%, 48%, 78%, 84%, 86%, dan 70% (Tabel 15). Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Handayani 003; Muhuria 007). Nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi pada karakter hasil, luas daun, kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa pewarisan karakter tersebut ditentukan oleh ragam 87

24 genetik yang besar dengan sedikit pengaruh ragam lingkungan. Dalam hal ini ragam genetik merupakan ragam genetik total yang mencakup ragam dominan (σ D), ragam aditif (σ A), dan ragam epistasis (σ I) (Fehr 1987; Nyquist 1991; Roy 000). Agar nilai h bs bermakna bagi program pemuliaan untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah maka harus dilengkapi dengan analisis tipe aksi gen yang mengendalikan sifat tersebut. Apabila h bs tinggi dan aksi gen dominan atau epistasis maka ragam aditifnya menjadi kecil, kemajuan genetik akan sulit dicapai. Apabila nilai h bs tinggi dan tipe aksi gen pengendali adalah aditif, maka karakter tersebut potensial untuk diperbaiki atau dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah karena karakter tersebut lebih respon terhadap seleksi. Pada karakter dengan heritabilitas arti luas tinggi dengan aksi gen aditif tidak memerlukan populasi yang besar, seleksi dapat dilakukan pada generasi awal, dapat menggunakan seleksi individu atau seleksi massa. Karakter dengan nilai heritabilitas sedang seperti bobot daun spesifik (48%), diperlukan seleksi dengan jumlah populasi seleksi yang lebih besar, dilakukan pada generasi lanjut, menggunakan seleksi pedigri, sib atau uji progeni (Roy 000). Dalam usaha perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, informasi aksi gen ini penting untuk melengkapi pengetahuan tentang nilai heritabilitas arti luas yang sudah ada. Aksi gen dominan parsial dan aditif pada karakter hasil per tanaman dan luas daun dengan nilai heritabilitas arti luas yang tinggi (68%) pada masing-masing karakter tersebut mengindikasikan bahwa ragam genetik yang menentukan pewarisan sifat lebih banyak ditentukan ragam aditif. Persilangan antara dua tetua dengan latar belakang genetik terhadap karakter berbeda maka penyatuan gen dari kedua tetua tersebut akan memberikan nilai tambah pada karakter tersebut sehingga dapat diharapkan kemajuan genetik yang tinggi (Poespodarsono 1988). Menurut Allard (1960) ragam aditif merupakan aksi gen yang responsif terhadap seleksi. Aksi gen aditif merupakan komponen penting sifat genetik yang dapat diamati dari populasi serta penentu respon populasi terhadap seleksi. 88

25 Selama ini perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah hanya menggunakan karakter hasil per tanaman saja. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa karakter luas daun memenuhi persyaratan sebagai karakter sekunder dan sebagai salah satu kriteria seleksi dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Seleksi menggunakan kriteria seleksi luas daun dapat dilakukan pada generasi awal sehingga mempercepat kemajuan seleksi. Aksi gen isoepistasis pada karakter fisiologi daun seperti kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa ragam genetik total yang tinggi pada pewarisan karakter tersebut (nilai heritabilitas arti luas yang tinggi) lebih banyak ditentukan oleh ragam interaksi atau ragam epistasis. Pewarisan karakter dengan tindak gen epistasis seperti ini tidak banyak bermanfat bagi kegiatan pemuliaan karena tidak banyak menghasilkan kemajuan genetik dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. KESIMPULAN 1. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dicirikan dengan karakter hasil biji per tanaman yang terkait erat dengan karakter luas daun, bobot daun spesifik, dan kandungan klorofil.. Karakter hasil biji per tanaman dikendalikan sekurang-kurangnya 6 gen minor, aksi gen dominan parsial, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi (68%). 3. Karakter luas daun dan bobot daun spesifik masing-masing dikendalikan sekurang-kurangnya 4 dan 5 gen minor, aksi gen aditif, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi dan sedang (63%, 48%). 4. Adaptasi berdasarkan karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total masingmasing dikendalikan gen mayor, aksi gen isoepistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi (78%, 84%, 86%). 5. Adaptasi berdasarkan karakter rasio klorofil a/b dikendalikan gen mayor, aksi gen dominan dan resesif epistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h bs) tinggi (70%). 89

Pola Pewarisan Adaptasi Kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap Cekaman Naungan Berdasarkan Karakter Morfo-Fisiologi Daun

Pola Pewarisan Adaptasi Kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap Cekaman Naungan Berdasarkan Karakter Morfo-Fisiologi Daun Pola Pewarisan Adaptasi Kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap Cekaman Naungan Berdasarkan Karakter Morfo-Fisiologi Daun Inheritance of Soybean Adaptation to Shade Stress Based on Leaf Morpho-Physiological

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh

Lebih terperinci

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi 87 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan dapat memperluas areal tanam kedelai sehingga memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Kendala yang dihadapi dalam

Lebih terperinci

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun PEMBAHASAN UMUM Tanaman kedelai (Glycine max (L) Merrill) termasuk kelompok tanaman C-3 yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan cahaya penuh (McNellis dan Deng 1995). Namun dalam pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data 17 BAHAN DAN METODE Studi pewarisan ini terdiri dari dua penelitian yang menggunakan galur persilangan berbeda yaitu (1) studi pewarisan persilangan antara cabai besar dengan cabai rawit, (2) studi pewarisan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu bahan pangan penting di Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat dominan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil protein dan lemak nabati yang cukup penting untuk memenuhi nutrisi tubuh manusia. Bagi industri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2012 di Dusun Bandungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penanaman di lapangan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan Darmaga Bogor. Kebun percobaan memiliki topografi datar dengan curah hujan rata-rata sama dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007 di kebun percobaan Cikabayan. Analisis klorofil dilakukan di laboratorium Research Group on Crop Improvement

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PENDAHULUAN Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman.

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen 71 PEMBAHASAN UMUM Nisbah populasi F2 untuk karakter warna batang muda, bentuk daun dan tekstur permukaan buah adalah 3 : 1. Nisbah populasi F2 untuk karakter posisi bunga dan warna buah muda adalah 1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dengan harga terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

Vol 1 No. 3 Juli September 2012 ISSN:

Vol 1 No. 3 Juli September 2012 ISSN: PENGRUH NUNGN TERHDP KNDUNGN KLOROFIL DUN DN HSIL DU VRIETS TNMN KEDELI (Glycine max L. Merill) (The Effect of Shade on Chlorophyll Content and the Yield of Two Soybean Varietes (Glycine max L. Merill))

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan dengan kandungan protein nabati yang tinggi dan harga yang relatif murah. Kedelai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian tersebar ke daerah Mancuria, Korea, Jepang, Rusia,

Lebih terperinci

Kemajuan Genetik Dan Heritabilitas Karakter Agronomi Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) Generasi F 2 Persilangan Wilis Dan Mlg 2521

Kemajuan Genetik Dan Heritabilitas Karakter Agronomi Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) Generasi F 2 Persilangan Wilis Dan Mlg 2521 Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 Kemajuan Genetik Dan Heritabilitas Karakter Agronomi Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) Generasi F 2 Persilangan Wilis Dan Mlg 2521 Maimun Barmawi, Nyimas

Lebih terperinci

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan PEMBAHASAN UMUM Penggabungan karakter resisten terhadap penyakit bulai dan karakter yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada jagung merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2 J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 20 Jurnal Agrotek Tropika 1(1):20-24, 2013 Vol. 1, No. 1: 20 24, Januari 2013 DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2 HASIL PERSILANGAN

Lebih terperinci

AKSI GEN DAN HERITABILITAS KANDUNGAN ANTOSIANIN BERAS MERAH PADA HASIL PERSILANGAN GALUR HARAPAN PADI BERAS MERAH TOLERAN KEKERINGAN X KALA ISI TOLO

AKSI GEN DAN HERITABILITAS KANDUNGAN ANTOSIANIN BERAS MERAH PADA HASIL PERSILANGAN GALUR HARAPAN PADI BERAS MERAH TOLERAN KEKERINGAN X KALA ISI TOLO AKSI GEN DAN HERITABILITAS KANDUNGAN ANTOSIANIN BERAS MERAH PADA HASIL PERSILANGAN GALUR HARAPAN PADI BERAS MERAH TOLERAN KEKERINGAN X KALA ISI TOLO GENE ACTIONS AND HERITABILITY OF ANTOCIANIN CONTENT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung yang merupakan sumber protein utama bagi masyarakat. Pemanfaatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies cabai yang telah dikenal, diantaranya C. baccatum, C. pubescent,

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat, baik kecukupan protein hewani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

ANALISIS GENETIK TOLERANSI KEDELAI TERHADAP NAUNGAN

ANALISIS GENETIK TOLERANSI KEDELAI TERHADAP NAUNGAN ANALISIS GENETIK TOLERANSI KEDELAI TERHADAP NAUNGAN Desta Wirnas, Trikoesoemaningtyas, Sobir, Didy Sopandie Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

Nature of The Inherintance of The Photosynthetic Physiological Characters of Soybean Tolerant to Shade

Nature of The Inherintance of The Photosynthetic Physiological Characters of Soybean Tolerant to Shade Ameilia Zuliyanti Siregar, Maryani Cyccu Tobing, dan Lumongga: Pengendalian Sitophilus oryzae dan Tribolium castaneum Pewarisan Sifat Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merril) Toleran Terhadap Naungan Melalui

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2009 di Kebun Karet Rakyat di Desa Sebapo, Kabupaten Muaro Jambi. Lokasi penelitian yang digunakan merupakan milik

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu (S1) Program Studi Agronomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM

VII. PEMBAHASAN UMUM VII. PEMBAHASAN UMUM Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon

Lebih terperinci

PEWARISAN SIFAT PANJANG POLONG PADA PERSILANGAN BUNCIS TEGAK (Phaseolus vulgaris L.) KULTIVAR FLO DAN KULTIVAR RICH GREEN

PEWARISAN SIFAT PANJANG POLONG PADA PERSILANGAN BUNCIS TEGAK (Phaseolus vulgaris L.) KULTIVAR FLO DAN KULTIVAR RICH GREEN ISSN: 1410-009 Agrin Vol. 1, No., Oktober 008 PEWARISAN SIFAT PANJANG POLONG PADA PERSILANGAN BUNCIS TEGAK (Phaseolus vulgaris L.) KULTIVAR FLO DAN KULTIVAR RICH GREEN Inheritance Pod Length Character

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan tanaman hari pendek dan memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Penurunan radiasi matahari selama 5 hari atau pada stadium pertumbuhan akan mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun, pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi 907.031

Lebih terperinci

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.3, Juni (606) :

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.3, Juni (606) : Keragaan Fenotipe Berdasarkan Karakter Agronomi Pada Generasi F 2 Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. Merril.) The Phenotypic Diversity Based on Agronomic Character of Soybean Varieties in the F

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pada penelitian F 5 hasil persilangan Wilis x B 3570 ini ditanam 15 genotipe terpilih dari generasi sebelumnya, tetua Wilis, dan tetua B 3570. Pada umumnya

Lebih terperinci

KAJIAN GENETIK DAN SELEKSI GENOTIPE S5 KACANG HIJAU (Vigna radiata) MENUJU KULTIVAR BERDAYA HASIL TINGGI DAN SEREMPAK PANEN

KAJIAN GENETIK DAN SELEKSI GENOTIPE S5 KACANG HIJAU (Vigna radiata) MENUJU KULTIVAR BERDAYA HASIL TINGGI DAN SEREMPAK PANEN Jurnal Penelitian dan Informasi Pertanian Agrin, Vol.11 No. 1, April 007 KAJIAN GENETIK DAN SELEKSI GENOTIPE S5 KACANG HIJAU (Vigna radiata) MENUJU KULTIVAR BERDAYA HASIL TINGGI DAN SEREMPAK PANEN Genetic

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam hal penyediaan pangan, pakan dan bahan-bahan industri, sehingga telah menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Jagung Manis Jagung manis adalah tanaman herba monokotil dan tanaman semusim iklim panas. Tanaman ini berumah satu dengan bunga jantan tumbuh sebagai perbungaan ujung (tassel)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan ketinggian tempat

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan ketinggian tempat Tempat dan Waktu Penelitian BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dilahan Pertanian, Fakultas Pertanian, Medan, dengan ketinggian tempat 25 meter di atas permukaan laut, yang di mulai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Morfologi tanaman kedelai ditentukan oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji. Akar kedelai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar

Lebih terperinci

Karakter Morfofisiologi Daun dan Hasil Kedelai ( Glycine max L. Merill) Varietas Petek dan Varietas Jayawijaya pada Naungan

Karakter Morfofisiologi Daun dan Hasil Kedelai ( Glycine max L. Merill) Varietas Petek dan Varietas Jayawijaya pada Naungan Karakter Morfofisiologi Daun dan Hasil Kedelai ( Glycine max L. Merill) Varietas Petek dan Varietas Jayawijaya pada Naungan Leaves Morphophysiological Characters and Yield of Soybean (Glycine max L. Merrill)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan

Lebih terperinci

KORELASI ANTARA KANDUNGAN KLOROFIL, KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK DAUN DAN DAYA HASIL PADA KACANG TANAH ABSTRAK

KORELASI ANTARA KANDUNGAN KLOROFIL, KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK DAUN DAN DAYA HASIL PADA KACANG TANAH ABSTRAK KORELASI ANTARA KANDUNGAN KLOROFIL, KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK DAUN DAN DAYA HASIL PADA KACANG TANAH Yudiwanti 1*), Basuki Wirawan 2), Desta Wirnas 1) 1) Dosen pada Departemen Agronomi dan Hortikultura

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat. Rancangan Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat. Rancangan Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 010 Maret 011, kecuali lokasi Sukabumi pada bulan Maret Juni 011. Tempat Penelitian dilaksanakan di 7 lokasi yaitu Bogor,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Segregasi Varietas unggul galur murni dapat dibuat dengan menyilangkan dua genotipe padi yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil persilangan ditanam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 71 PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : HENDRI SIAHAAN / 060307013 BDP PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Topik 3 Analisis Genetik Hk. Mendel

Topik 3 Analisis Genetik Hk. Mendel Topik 3 Analisis Genetik Hk. Mendel Hukum Mendel yang sering dikonotasikan dengan hukum pewarisan didasarkan pada prinsip-prinsip segregasi (Hk.Mendel I) dan penggabungan kembali (Hk. Mendel II) gen-gen

Lebih terperinci

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Bahan tanaman Bahan kimia Peralatan Metode Penelitian

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Bahan tanaman Bahan kimia Peralatan Metode Penelitian METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Rumah Plastik di Kebun Percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB, Leuwikopo, Dramaga, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Maret sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein nabati yang penting mengingat kualitas asam aminonya yang tinggi, seimbang dan

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL Estimation of genetic parameters chilli (Capsicum annuum L.) seeds vigor with half diallel cross

Lebih terperinci

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2 II. KOMPONEN VARIAN SIFAT KUANTITATIF Kuswanto, 2012 1.Statistik sifat kuantitatif Karena sifat kuantitatif akan membentuk distribusi kontinyu dari penotip, maka sifat-sifat tersebut dianalisis dengan

Lebih terperinci

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan 120 PEMBAHASAN UMUM Asiatikosida merupakan salah satu kandungan kimia pada pegagan yang memiliki aktivitas biologis. Pegagan dikenal aman dan efektif untuk mengobati berbagai macam penyakit, tumbuhan ini

Lebih terperinci

PERANAN JUMLAH BIJI/POLONG PADA POTENSI HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) F6 PERSILANGAN VARIETAS ARGOMULYO DENGAN BRAWIJAYA

PERANAN JUMLAH BIJI/POLONG PADA POTENSI HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) F6 PERSILANGAN VARIETAS ARGOMULYO DENGAN BRAWIJAYA PERANAN JUMLAH BIJI/POLONG PADA POTENSI HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) F6 PERSILANGAN VARIETAS ARGOMULYO DENGAN BRAWIJAYA (Role The Number of Seeds/Pod to Yield Potential of F6 Phenotype Soybean

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer dan Palmer, 1990). Tinggi tanaman jagung berkisar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Permintaan akan komoditas ini dari tahun ke tahun mengalami lonjakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB yang berada pada ketinggian 220 m di atas permukaan laut dengan tipe tanah latosol. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun seleksi tidak langsung melalui karakter sekunder. Salah satu syarat

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun seleksi tidak langsung melalui karakter sekunder. Salah satu syarat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Seleksi Perbaikan hasil dan kualitas hasil melalui pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan cara seleksi, baik seleksi langsung terhadap karakter yang bersangkutan maupun seleksi

Lebih terperinci

Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim

Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim AGROTROP, VOL. 4 (1): 83-87 4, NO. (2014) 1 (2014) ISSN: 2088-155X C Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali - Indonesia Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI Oleh Dheska Pratikasari NIM 091510501136 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia. Hampir 90 % masyarakat Indonesia mengonsumsi beras yang merupakan hasil olahan

Lebih terperinci

Topik 9 Genetika Kuantitatif

Topik 9 Genetika Kuantitatif Topik 9 Genetika Kuantitatif 9.1. Sifat Kuantitatif Sejauh ini pembicaraan tentang suatu fenotipe diasumsikan menggambarkan fenotipenya. Fenotipe sifat-sifat demikian mudah dibedakan, misalnya wama kulit

Lebih terperinci

ANALISIS GENETIK DAN MOLEKULER ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN KISMAN

ANALISIS GENETIK DAN MOLEKULER ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN KISMAN ANALISIS GENETIK DAN MOLEKULER ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN KISMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP NISBAH KLOROFIL-a/b SERTA HASIL DUA VARIETAS TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merill)

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP NISBAH KLOROFIL-a/b SERTA HASIL DUA VARIETAS TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) PENGRUH NUNGN TERHDP NISH KLOROFIL-a/b SERT HSIL DU VRIETS TNMN KEDELI (Glycine max (L.) Merill) (Effect of Shade on Chlorophyll-a/b Ratio of Soybean Varieties (Glycine max (L.) Merill) Megi Darma, Nerty

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif Tabel 4 menunjukkan kuadrat nilai tengah pada analisis ragam untuk tinggi tanaman, tinggi tongkol

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan diolah menjadi berbagai bahan pangan seperti tahu, tempe dan sari kedelai, dan lainnya, yang dikonsumsi

Lebih terperinci

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI BREEDING OF BLACK RICE VARIETY FOR DROUGHT TOLERANCE AND HIGH YIELD I Gusti Putu Muliarta Aryana 1),

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 1. Studi Radiosensitivitas Buru Hotong terhadap Irradiasi Sinar Gamma. 3. Keragaan Karakter Agronomi dari Populasi M3 Hasil Seleksi

BAHAN DAN METODE. 1. Studi Radiosensitivitas Buru Hotong terhadap Irradiasi Sinar Gamma. 3. Keragaan Karakter Agronomi dari Populasi M3 Hasil Seleksi BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian secara keseluruhan terbagi dalam tiga percobaan sebagai berikut: 1. Studi Radiosensitivitas Buru Hotong terhadap Irradiasi Sinar Gamma. 2. Studi Keragaan Karakter Agronomis

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2009 sampai dengan Juli 2009 di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo, Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl dengan

Lebih terperinci

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRACT DESTA

Lebih terperinci

POLA SEGREGASI KARAKTER AGRONOMI TANAMAN KEDELAI (Glycine max [L.] Merrill) GENERASI F 2 HASIL PERSILANGAN WILIS X MALANG 2521

POLA SEGREGASI KARAKTER AGRONOMI TANAMAN KEDELAI (Glycine max [L.] Merrill) GENERASI F 2 HASIL PERSILANGAN WILIS X MALANG 2521 Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 POLA SEGREGASI KARAKTER AGRONOMI TANAMAN KEDELAI (Glycine max [L.] Merrill) GENERASI F 2 HASIL PERSILANGAN WILIS X MALANG 2521 Nyimas Sa diyah, Sigit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia kedelai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Dusun Pabuaran, Kelurahan Cilendek Timur, Kecamatan Cimanggu, Kotamadya Bogor. Adapun penimbangan bobot tongkol dan biji dilakukan

Lebih terperinci

STUDI DAYA HASIL GALUR F4 KEDELAI (Glycine max L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS GROBOGAN DENGAN ANJAMORO, UB, AP DAN ARGOPURO

STUDI DAYA HASIL GALUR F4 KEDELAI (Glycine max L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS GROBOGAN DENGAN ANJAMORO, UB, AP DAN ARGOPURO STUDI DAYA HASIL GALUR F4 KEDELAI (Glycine max L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS GROBOGAN DENGAN ANJAMORO, UB, AP DAN ARGOPURO STUDY OF YIELD CAPABILITY ON SOYBEAN (Glycine max L.) F4 LINES CROSSING BETWEEN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 Februari Penanaman

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 Februari Penanaman III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 Februari 2013. Penanaman dilakukan di Laboratorium Lapangan Terpadu Universitas Lampung. Pengamatan

Lebih terperinci

Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Tahan Penyakit Bercak Daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat

Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Tahan Penyakit Bercak Daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Tahan Penyakit Bercak Daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat Yield of Peanut (Arachis hypogaea L.) Leaf Spot Resistant

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. protein yang mencapai 35-38% (hampir setara protein susu sapi). Selain

I. PENDAHULUAN. protein yang mencapai 35-38% (hampir setara protein susu sapi). Selain 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan alternatif yang sangat penting. Kacang kedelai menjadi pilihan karena memiliki kandungan gizi yang tinggi,

Lebih terperinci

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter PEMBAHASAN UMUM Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatam dalam upaya mendapatkan genotipe tahan. Salah satu metode pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Objek yang digunakan pada penelitian adalah tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus, Lour), tanaman ini biasa tumbuh di bawah pepohonan dengan intensitas cahaya yang

Lebih terperinci