KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT DIRVAMENA BOER

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT DIRVAMENA BOER"

Transkripsi

1 KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT DIRVAMENA BOER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2007 Dirvamena Boer NIM P

3 ABSTRACT DIRVAMENA BOER. Diversity and Genetic Structure of Southeast Sulawesi Teak Populations Based on Microsatellite Markers. Supervisors: SUDARSONO, SATRIYAS ILYAS, ASEP SETIAWAN, and EDI GUHARDJA. The aim of this research was to study diversity and genetic population structure, dynamical aspect of gene flow through pollens and seeds dispersal and also mating system. This study was carried out at three locations of teak stand populations which indicated human disturbance level using ten markers microsatellite (AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS). A total of 46 alleles were detected, with six the highest number allele at AAG10 and AG16 loci. The mean value of polymorphic information content (PIC) of the 10 loci ranged from to Study of genetic similarity to compare between mature tree and seedling progeny showed the average genetic similarity was calculated based on Dice coefficient for total population of mature and juvenile tree were 51.91% and 54.55%, respectively. The mature tree of Dolok, Warangga and Sampolawa have 60%, 55%, and 73% genetic similarity, respectively. While seedling progeny of Dolok, Warangga, and Sampolawa have 56%, 61%, and 74% genetic similarity, respectively. Study of genetic structure showed the heterozigosity H a and H e were high (for Dolok population were and 0.645, respectively). Genetic differentiation F ST was (11.2% of total genetic variation among population) and showed less deviation from Hardy-Weinberg expectation (Wright s inbreeding coefficient F IS = 0.009). However, genetic differentiation using AMOVA showed 14% of total variation among population, the remaining 86% occurred within populations. Cluster analysis calculated by Nei s Distance showed Dolok and Warangga population joint in the same cluster. Parentage analysis successfully detected candidate male parent as much as 30% for Sampolawa, 81% for Dolok, and 87% for Warangga progenies. Analysis parentage for juvenile tree in the field successfully detected 76% pairs of candidate male and female parents. The gene flow through pollen dispersal showed that pollens spread out to all directions by insect vector. Source of pollen for the teak pollination trees mainly came from the teak around the mother tree (30%). The distance average pollen source could pollinate m and furthermost more than 80 m. Whereas, the genetic migration through seed dispersal showed that seedling from their expected parents occurred by the distance average of m and the furthermost m. The mating system parameters showed the singlelocus outcrossing rate (t s ) varied among loci and populations, but multilocus outcrossing rates (t m ) were equal to one for Sampolawa and Warangga populations and so it is with biparental inbreeding (t m -t s ) was different from zero for Sampolawa and Warangga populations. Biparental inbreeding occured for Dolok population and parental inbreeding for Sampolawa population. Key words: Tectona grandis, microsatellite, genetic diversity, genetic structure, gene flow, mating system

4 ABSTRAK DIRVAMENA BOER. Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit. Komisi Pembimbing: SUDARSONO, SATRIYAS ILYAS, ASEP SETIAWAN, dan EDI GUHARDJA. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemiripan genetik individu di dalam populasi tanaman jati, keragaman dan struktur populasi genetik serta aspek dinamiknya akibatnya adanya perpindahan informasi genetik via serbuk sari dan migrasi biji, serta sistem perkawinan pada tanaman jati. Dalam penelitian ini diambil tiga lokasi populasi tegakan jati yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktifitas manusia kemudian dipelajari menggunakan 10 marka mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.6 dengan kisaran alel mulai dari dua sampai tujuh alel. Tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 sebesar 0.767, rata-rata untuk semua lokus adalah Hasil studi kemiripan genetik terhadap tanaman dewasa dibandingkan dengan benih yang diunduh dari beberapa pohon menunjukkan rata-rata kemiripan genetika yang dihitung menggunakan koefisien Dice pada populasi total tanaman dewasa dan tanaman semai asal Sulawesi Tenggara mempunyai kemiripan genetik berturut turut 51.91% dan 54.55%. Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%. Tanaman semai kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 56%, 61%, dan 74%. Analisis struktur genetik memperlihatkan bahwa nilai heterozigositas H a dan H e mempunyai nilai yang tinggi (tertinggi untuk Dolok adalah dan 0.645) dengan nilai H e selalu lebih besar daripada H a. Nilai diferensiasi genetik F ST adalah atau 11.2% dari total keragaman genetik di antara populasi dan memperlihatkan sedikit penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg harapan (Wright s inbreeding coefficient F IS =0.009). Akan tetapi diferensiasi genetik yang dihitung dengan AMOVA memperlihatkan 14% terjadi keragaman di antara populasi dan sisanya sekitar 86% terjadi dalam populasi. Analisis cluster yang dihitung menggunakan jarak genetik Nei menunjukkan bahwa populasi Dolok dan Warangga berada pada satu cluster. Analisis tetua yang dilakukan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga. Analisis terhadap tanaman juvenile di lapang untuk mendeteksi pasangan tetua berhasil mendeteksi sebanyak 76%. Analisis lebih lanjut menunjukkan aliran informasi genetik via serbuk sari penyerbukannya terjadi dari segala arah dibantu oleh serangga. Penyerbukan yang terjadi terutama dari sumber serbuk sari dari tetangga terdekat (30%). Rata-rata sumber serbuk sari dapat menyerbuki m dan terjauh lebih dari 80 m. Migrasi genetik melalui penyebaran benih diperkirakan dibantu oleh angin dan air dengan jarak migrasi dari pohon induk benih rata-rata m dan terjauh dapat mencapai m.

5 Analisis sistem perkawinan berupa parameter sistem perkawinan diduga di bawah model perkawinan percampuran menggunakan software MLTR menunjukkan derajat penyerbukan silang lokus tunggal (t s ) bervariasi di antara lokus dan populasi, tapi derajat penyerbukan silang multilokus (t m ) secara statistik sama dengan satu untuk populasi Sampolawa dan Warangga demikian pula dengan koefisien biparental inbreeding (t m -t s ) sama dengan nol untuk populasi Sampolawa dan Warangga. Terjadi biparental inbreeding pada populasi Dolok dan parental inbreeding (f) pada Sampolawa. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun derajat penyerbukan silang besar namun pada lokasi Dolok dan Sampolawa terjadi proses silang dalam. Kata kunci: Tectona grandis, mikrosatelit, kemiripan genetik, keragaman genetik, struktur genetik, aliran informasi genetik, sistem perkawinan

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT DIRVAMENA BOER Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

8

9 Penguji pada Ujian Tertutup : Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. 1. Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr. 2. Dr. Ir. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc.

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga disertasi yang berjudul Keragaman dan Struktur Genetik Populasi Jati Sulawesi Tenggara Berdasarkan Marka Mikrosatelit dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun berdasarkan empat topik penelitian yaitu: (1) Analisis kemiripan genetik (genetic similarity) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (2) Analisis struktur genetik (genetic structure) populasi jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (3) Analisis aliran gen via serbuk sari (gene flow) dan biji (migration) pada tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, dan (4) Analisis sistem perkawinan (mating system) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS., Dr. Ir. Asep Setiawan, MS. dan Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. yang masing-masing sebagai anggota komisi, atas semua arahan, bimbingan dan motivasi yang diberikan kepada penulis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai penyelesaian penulisan penelitian disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. (selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup), Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr., dan Dr. Ir. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc. (selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka), atas masukan yang diberikan demi kesempurnaan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan dan Rektor Universitas Haluoleo atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti pendidikan program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih yang sama ditujukan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan staf, Ketua Program Studi Agronomi dan staf atas segala motivasi dan pelayanan akademik hingga segala persyaratan program doktor di IPB dapat dipenuhi. Begitu juga ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Ketua Laboratorium Molekular Biologi Tanaman (PMB) IPB, ketua laboratorium PSPT-

11 IPB, ketua laboratorium BIORIN, PAU-IPB. atas kesempatan untuk melakukan kegiatan penelitian dan pemakaian peralatan laboratorium. Serta seluruh staf dan rekan-rekan teknisi atas segala kesempatan, bantuan dan pelayanan kepada penulis berupa bahan dan peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini. Terimakasih penulis sampaikan pula kepada Yth: Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. yang telah memimpin sidang dalam Ujian Terbuka dan Dr. Ir. Aris Munandar MS yang telah memimpin sidang Ujian Tertutup sehingga dapat berjalan lancar dan penuh hikmat. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan finansial yang diberikan berupa bantuan beasiswa pendidikan program doktor selama tiga tahun, juga kepada pemberi dana penelitian yaitu European Commission, Inco-Dev ICA4-CT yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Terimakasih juga disampaikan kepada semua rekan-rekan mahasiswa seperjuangan di Laboratorium Molekular Biologi Tanaman (PMB) IPB atas kebersamaan dan kesempatan saling diskusi selama penelitian berlangsung. Juga kepada semua rekan-rekan sesama mahasiswa Pascarjana IPB. Tak lupa disampaikan ucapan terimakasih kepada ayahanda Drs. Boerhanudin Jacoub. Dt.T (alm) dan ibunda Bayana Biran tersayang atas segala ketulusan doa restu dan dorongan moril, juga kepada seluruh kakak dan adik atas semangat dan doanya. Kepada istri tercinta dan anak-anak tersayang, atas segala pendampingan, doa dan dorongan semangat untuk meraih sukses. Semoga Allah SWT menjadikan suatu keberkahan dan manfaat atas segala keberhasilan yang penulis capai saat ini. Bogor, Agustus 2007 Dirvamena Boer

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Desember 1962 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari keluarga Boerhanuddin Jacoub dan Bayana Biran. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1989 dengan gelar Ir. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Goettingen dan menamatkannya pada tahun 1997 dengan gelar M.Sc.Agr. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Agronomi, pada perguruan tinggi IPB diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo di Kendari sejak tahun.1990 sampai sekarang.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...xv DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN...xix GLOSARI...xx 1. PENDAHULUAN...1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA...4 Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.)... 4 Klasifikasi Jati... 4 Daerah Penyebaran Jati... 4 Karakter Vegetatif, Generatif, dan Pembungaan Jati... 5 Karakter Vegetatif... 5 Karakter Generatif... 6 Karakter Biologi Pembungaan... 6 Marka Genetik... 7 DNA Mikrosatelit... 8 Daerah DNA Mikrosatelit... 8 Keungulan DNA Mikrosatelit... 9 Sistem Reproduksi Seksual Tanaman Sistem Seksual Sistem Aliran Informasi Genetik (Gene Flow) Sistem Perkawinan (Mating System) METODE UMUM PENELITIAN...14 Ruang Lingkup Penelitian Tempat dan Waktu Bahan dan Metode Penelitian Bahan Tanaman Prosedur Molekular dengan Marka Mikrosatelit ANALISIS KEMIRIPAN DAN KERAGAMAN GENETIK TANAM- AN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic similarity and diversity analysis of teak from originated Southeast Sulawesi by using microsatellite markers)...20 Abstract Abstrak Pendahuluan xii

14 Bahan dan Metode Material Tanaman Isolasi serta Penentuan Kualitas dan Kuantitas DNA Amplifikasi PCR dan Gel Electroforesis Analisis Data Hasil Profil Pita Mikrosatelit Kemiripan Genetika di dalam Populasi Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka ANALISIS STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI ASAL SULA- WESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic structure analysis of Southeast Sulawesi teak populations based on microsatellite markers)...36 Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Analisis Data Hasil Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka ANALISIS ALIRAN INFORMASI GENETIK VIA SERBUK SARI DAN PENYEBARAN BENIH TANAMAN JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Gene flow via pollen and seed dispersal analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers)...54 Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Material Populasi dan Ekstrasi DNA Analisis Marka Mikrosatelit Analisis Data Hasil Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka xiii

15 7. ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Mating system analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers)...66 Abstract Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Material Tanaman dan Isolasi DNA Analisis Penanda Mikrosatelit Analisis Data Hasil Pembahasan Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN...81 DAFTAR PUSTAKA...83 LAMPIRAN...87 xiv

16 DAFTAR TABEL Halaman 3.1. Koordinat posisi geografis populasi jati dari Sulawesi Tenggara Nama dan sekuen primer mikrosatelit berasal dari project jati TEAKDIV ICA Pohon induk dan tanaman semai jati yang dikoleksi dipilih secara acak pada tiga lokasi populasi jati asal Sulawesi Tenggara dianalisis menggunakan 10 lokus mikrosatelit Jumlah alel dan polymorphic information content (angka yang di dalam tanda kurung) berdasarkan 10 lokus mikrosatelit pada populasi tanaman jati asal Sulawesi Tenggara Matrik kemiripan genetik di antara 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Sampolawa Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Dolok Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Warangga Jumlah alel dan tingkat polimorfisme 10 lokus mikrosatelit pada tanaman jati asal Sulawesi Tenggara Frekuensi alel 10 lokus mikrosatelit pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara Keragaman genetik jati berdasarkan nilai heterosigositas dan nilai F IS Nilai F-statistik populasi jati asal Sulawesi Tenggara AMOVA populasi jati asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 lokus mikrosatelit Koleksi progeni famili half-sib jati dari pohon induk benih serta semua tanaman jati yang diindentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit Progeni famili half-sib jati dari pohon induk benih yang dikoleksi pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit...68 xv

17 7.2. Derajat penyerbukan silang berdasarkan lokus tunggal (t s ) dan nilai frekuensi serbuk sari (pollen) dan ovule dari alel yang sering muncul untuk tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara, Pop = populasi; A = banyaknya alel; f = koefisien parental inbreeding; SE = Standart Error; S = Sampolawa; T = Dolok; W = Warangga Parameter sistem perkawinan dari tiga populasi jati Sulawesi Tenggara. Parameter yang diuji meliputi derajat outcrossing multilokus (t m ), derajat outcrossing rata-rata lokus tunggal (t s ), biparental inbreeding (t m -t s ), koefisien parental inbreeding (f), korelasi t dugaan (r t ), korelasi p dugaan (r p ), kerapatan tanaman per hektar (N r )...73 xvi

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 3.1. Peta lokasi tempat pengambilan sampel populasi jati di Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa) Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman dewasa hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman semai hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman dewasa asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman semai asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama Contoh profil pola pita lokus AC01 pada tanaman jati Dendrogram jarak genetik antar populasi jati berdasarkan jarak genetik Nei Contoh profil pola pita lokus AG16 pada tanaman jati Perpindahan informasi genetik (gene flow) via serbuk sari Jarak dan sumber serbuk sari untuk lokasi Sampolawa (atas), Dolok (tengah) dan Warangga (bawah) Perpindahan informasi genetik melalui benih Analisis tetua (parentage analysis) via benih untuk populasi Dolok Contoh profil pola pita lokus AC28 pada tanaman jati...71 xvii

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Dolok Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Warangga Peta posisi relatif tanaman jati di lokasi Wadila Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Sampolawa Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Dolok Analisis tetua jantan terhadap famili half-sib turunan dari pohon induk benih jati asal populasi Warangga Analisis tetua jantan terhadap tanaman juvenil (J) dari lapang untuk tanaman jati asal populasi Dolok Prosedur isolasi DNA Prosedur elektroforesis polyacrylamide Daftar bahan kimia yang dibutuhkan Persemaian benih jati xviii

20 DAFTAR SINGKATAN ADP : adenosine diphosphate AFLP : Amplified Fragment Length Polymorphism AMOVA : analysis molecular of variance ATGC : Adenine, Thymine, Guanine, dan Cytosine bp : base pair BT : Bujur Timur cm : sentimeter cpdna : chloroplast DNA cpssr : chloroplast Simple Sequence Repeat CTAB : hexadecyltrimethyl-ammonium bromide db : derajad bebas dctp : deoxy Cytidine Tri Phosphate dgtp : deoxy Guanidine Tri Phosphate DNA : deoxyribonucleid acid dntp : deoxy Nucleotide Tri Phosphate EDTA : Ethylene Diamine Tetracetic Acid F : Forward HCl : asam chloride KCl : kalium chloride LS : Lintang Selatan LU : Lintang Utara m : meter MgCl 2 : magnesium chloride ml : mililiter mm : milimolar ng : nanogram NH 4 : methane ns : non significant NTSYS : numerical taxonomy system o C : derajat Celsius (centigrade) OD : optic dissociation P : probability PCR : polymerase chain reaction ph : derajat kemasaman Pmol : piko mol PVPP : polyvinylpolypyrrolidone. R : reverse RAPD : Random Amplified Polymorphic DNA RFLP : Restriction Fragment Length Polymorphism SAS : Statistical analysis system SSR : Simple sequence repeats TBE : Trizma Boric EDTA Tm : Temperature melting UPGMA : Unweighted Pair-Group Method Arithmetic Average µl : mikro liter xix

21 GLOSARI Alel: Variasi gen pada satu lokus Anelling: Temperatur untuk proses menempelnya primer pada utas cetakan Anemophily: Pergerakan gamet jantan (serbuk sari) dengan vektor berupa angin Apomiksis: Terjadinya biji tanpa penggabungan gamet jantan dan betina Autochonous: Suatu populasi yang belum dipindahkan oleh manusia dalam hal ini jika tumbuh di habitat alami atau aslinya Autogami: Tanaman menyerbuk sendiri Biparental inbreeding, (t m - t s ): Inbreeding yang terjadi karena perkawinan kerabat dekat Bootstrapping: Merupakan cara non-parametrik untuk mendapatkan nilai standar errror atau ragam dengan cara membuat set data ulangan dengan teknik sampling dari set data original dengan teknik pemulihan. Cleistogami: Serbuk sari berasal dari bunga yang sama, fertilisasi terjadi saat bunga mekar Differensiasi genetik: Perbedaan genetik antar populasi Dioecy: Tanaman yang hanya memiliki bunga betina saja atau bunga jantan saja. Eksotik: Suatu populasi yang dipindahkan secara sengaja dan tumbuh di luar penyebaran alaminya Elektroforesis gel: Elektroforesis yang dikerjakan pada matriks gel sehingga molekul dengan muatan listrik yang sama dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya. Elektroforesis: Pemisahan molekul berdasarkan muatan listriknya Etidium bromid: senyawa bersifat fluorescen yang dapat menyisip di antara pasangan basa dalam molekul DNA untai ganda, yang dipakai untuk deteksi DNA Frekuensi alel: Proporsi tipe alel dari suatu lokus di dalam suatu populasi Frekuensi genotipe: Proporsi tipe genotipe di dalam suatu populasi Galat lingkungan: Faktor kesalahan yang diperhitungkan akibat kemungkinan kesalahan waktu pemilihan tanaman, akibat dari faktor lingkungan yang dianggap tidak homogen. Geitonogami: Serbuk sari berasal dari bunga berbeda pada tanaman yang sama Gen: Suatu segmen DNA yang mengkode molekul RNA dan atau molekul polipeptida Gene flow, aliran gen: Proses transportasi informasi genetik melalui transportasi serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan transportasi melalui benih. Gene pool: All of the alleles present and carried by the population Genetika: Suatu cabang ilmu dalam biologi yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan gen. Genom: Seperangkat lengkap gen dalam suatu organisme Half-sib: Keturunan dari garis ibu Klon: Tanaman hasil perbanyakan secara vegetatif dimana tanaman tersebut merupakan duplikat yang susunan genetiknya sama. Kromosom: Struktur pembawa sifat keturunan dan berada dalam nukleus. Mating system, sistem perkawinan: Sistem perkawinan pada tanaman terdiri atas selfing, outcrossing, dan campuran xx

22 Mikrosatelit, simple sequence repeats, SSR: Merupakan unit pengulangan 1-6 pasangan basa. Primer SSR dibentuk berdasarkan kepada conserved flanking region (daerah pengapit konservatif) lokus SSR, yang mana bisa dihasilkan amplifikasi PCR pada lokus SSR tersebut. Hasil produk PCR bisa dielektroforesis yang dapat dibedakan menurut jumlah unit pengulangan dalam alel-alel SSR yang muncul. Mixed mating model, model perkawinan campuran: Zigot yang terbentuk dapat berasal dari selfing atau outcrossing yang terjadi secara acak Multilocus outcrossing rates, derajat penyerbukan silang multilokus, t m : Derajat penyerbukan silang, yang dihitung berdasarkan pola variasi pada banyak lokus gen Outcrossing rate, derajat outcrossing, t: Proporsi relatif dari ovul yang dibuahi oleh serbuk sari asing Outcrossing, penyerbukan silang: Bila ovul dibuahi oleh serbuk sari dari tanaman lain Parentage analysis, analisis tetua: Analisis untuk mendapatkan pasangan tetua dari setiap individu keturunan berdasarkan data genetik mereka. Parental inbreeding, f: Inbreeding akibat dari selfing Pemuliaan Tanaman: Suatu metode secara sistematis merakit keragaman genetik menjadi bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Penguji (tester): Suatu tanaman atau barisan tanaman yang digunakan untuk mengevaluasi atau mengenal genotipe tanaman lain. Plasmanutfah: Koleksi tanaman/gen yang merupakan material (bahan) keturunan. Progeni: Keturunan Protandri: Bunga yang benang sarinya lebih dulu matang daripada putik, bilamana putiknya masak, maka benangsarinya telah layu dengan semua tepungsari telah mati sehingga hampir selalu bunga tersebut mengalami penyerbukan silang. Provenan: Merupakan contoh sejumlah pohon dari populasi yang telah beradaptasi secara evolusi di suatu habitat tertentu Seleksi: Usaha untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai sifat genetik yang baik, yaitu dengan cara memilihnya di antara tanaman lain dengan mengenali ciri-cirinya. Selfing rate, derajat selfing, s: Proporsi relatif dari ovul yang dibuahi oleh serbuk sari sendiri atau kerabat dekat Selfing, penyerbukan sendiri: Bila ovul dibuahi oleh serbuk sari sendiri atau kerabat dekat Singlelocus outcrossing rate, derajat penyerbukan silang lokus tunggal, t s : Derajat penyerbukan silang, yang dihitung berdasarkan pola variasi pada satu lokus gen Tekanan lingkungan: Faktor pembatas dari lingkungan, yang mengakibatkan produksi tanaman menurun, misalnya ph, salinitas dan sebagainya. Xenogami: Pembuahan terjadi bila serbuk sari dari satu tanaman sampai ke kepala putik yang receptive (siap dibuahi) dari tanaman lain dari jenis yang sama. Zoophily: Pergerakan gamet jantan (serbuk sari) dengan vektor berupa hewan xxi

23 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn.f) merupakan salah satu jenis tumbuhan tropis yang sangat penting dengan reputasi internasional untuk sifat-sifat teknis dan dekoratifnya. Sifat dekoratif kayu jati ditunjukkan oleh garis lingkar tumbuh yang unik dan bernilai artistik tinggi, sehingga disukai konsumen. Selain itu kayu jati termasuk kayu kelas awet I (mampu bertahan hingga 500 tahun) dan kelas kuat II (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1992), dan dari segi pengerjaannya, kayu jati mudah dikerjakan serta punya berat jenis 0.78 sehingga jati termasuk kelas kayu ringan dan terapung di atas air. Berdasarkan keunggulannya itu, kayu jati dikelompokkan ke dalam jenis kayu mewah (fancy wood). Oleh karenanya di pasaran kayu jati termasuk kayu yang mahal harganya. Kayu jati merupakan sumber penghasil devisa negara, sebagai gambaran pada tahun 1981 volume kayu sebesar m 3 mempunyai nilai eksport sebesar $ dan pada tahun 1982 volume kayu sebesar m 3 mempunyai nilai eksport sebesar $ (Anonim, 1983). Pada tahun 1998, harga kayu gelondongan di pasar luar negeri berkisar 9 sampai 15 juta rupiah per m 3 (Sumarna, 2001). Kebutuhan dalam negeri terhadap kayu jati sampai saat ini masih belum terpenuhi. Dari kebutuhan sebesar 2.5 juta m 3 per tahun, baru dapat dipenuhi oleh Perum Perhutani sebesar 0.75 juta m 3 per tahun, sehingga masih ada kekurangan sekitar 1.75 juta m 3. Walaupun permintaan dalam negeri masih belum terpenuhi semua, namun kayu jati Indonesia juga ikut mengisi pasar dunia. Beberapa negara yang mengimpor kayu dari Indonesia seperti Amerika, Taiwan, Hongkong, Korea, Uni Emirat Arab, dan Italia. Pemanfaatan sumberdaya jati alam terus semakin meningkat diikuti adanya usaha ekploitasi terhadap hutan jati. Apabila hal tersebut tidak diikuti oleh adanya upaya penanaman kembali dikhawatirkan akan mengancam punahnya keragaman genetik plasmanutfah tanaman jati yang semenjak diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1842 sampai saat ini belum tereksplorasi dengan baik.

24 2 Sementara penanaman jati memerlukan investasi yang tinggi serta membutuhkan waktu yang lama yaitu 60 tahun dan produksi optimumnya pada umur 80 tahun. Sejalan dengan alternatif pemecahan masalah mengenai informasi potensi keragaman genetik jati yang tersebar di seluruh kawasan Indonesia maka diperlukan penelitian yang nantinya dapat digunakan oleh para pemulia jati untuk meningkatkan potensi produksi jati sekaligus mengkonservasi hutan jati yang keberadaanya terancam punah. Untuk konservasi dan program pemuliaan jati diperlukan informasi keragaman genetik, struktur populasi genetik, serta aspek dinamik gene flow dan sistem perkawinannya. Sekarang ini terdapat beberapa metode molekular yaitu berdasarkan polimorfisme DNA dalam memperoleh informasi keragaman genetik, struktur populasi genetik serta aspek dinamik populasi genetik akibat adanya migrasi gen (gene flow) yang disebabkan oleh perpindahan serbuk sari dan biji serta model sistem perkawinan. Metode molekular tersebut dikenal sebagai penanda (atau marka) genetik pada tingkat DNA seperti RAPD, RFLP, AFLP dan mikrosatelit. Keuntungan marka DNA adalah kemampuannya dalam menyediakan penanda polimorfisme pola pita DNA dalam jumlah banyak, akurasi yang tinggi dan tidak dipengaruhi lingkungan. Marka mikrosatelit dibuat berdasarkan jumlah sekuen DNA sederhana yang berulang-ulang sehingga sering disebut juga dengan simple sequence repeat (SSR), merupakan salah satu penanda DNA yang menggunakan prinsip kerja reaksi polimerisasi berantai dengan menggunakan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction), yang dapat mengamplifikasi sekuen DNA tertentu secara in vitro. Sekarang ini mikrosatelit menjadi salah satu marka yang paling banyak digunakan secara luas untuk pemetaan genetik, analisis keragaman, dan studi evolusi (Temnykh et al., 2000). Penggunaan penanda mikrosatelit mempunyai beberapa keunggulan dibanding marka lainnya seperti (1) bersifat kodominan, (2) polimorfisme tinggi, (3) lokus tersebar merata dalam genom dan dalam jumlah sangat banyak, dan (4) dideteksi berbasis PCR sehingga diperlukan DNA dalam jumlah sedikit. Marka mikrosatelit telah digunakan untuk menganalisis keragaman genetik seperti yang telah dilaporkan oleh Qian et al., (2001) pada tanaman padi juga pada

25 3 apel dan pear (Yamamoto, 2001), mempelajari struktur populasi genetik pada kakao dan padi (Goran, 2000 dan Gao, 2002), serta untuk mempelajari sistem perkawinan (mating system) dan gene flow pada pohon tropika (Collevatti, 2001). Tujuan Penelitian Penelitian molekular genetik dengan menggunakan penanda mikrosatelit ini, bertujuan mempelajari (1) kemiripan genetik (genetic similarity) individu di dalam populasi tanaman jati, (2) keragaman dan struktur genetik (genetic structure) populasi jati dikaitkan dengan aspek dinamika dari sistem genetik, (3) sistem aliran informasi genetik (gene flow) melalui serbuk sari dan biji serta (4) sistem perkawinan (mating system) pada tanaman jati.

26 2. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) Klasifikasi Jati Jati (Tectona grandis Linn. f.) adalah salah satu anggota famili Verbenaceae, Ordo Tubiflorae. Ada empat spesies yang tergolong dalam genus Tectona yaitu Tectona grandis Linn. f, Tectona hamiltoniana Wall, Tectona philippinensis Benth and Hook. f. dan Tectona abludens (Hedegart, 1976). Tectona grandis mempunyai beberapa nama seperti jati (Indonesia), teak (Inggris), lyiu (Burma), sagun (India), maisak (Thailand), teck (Perancis), teca (Brasilia), birma, sian atau java teak (Jerman) (Samingan, 1991). Daerah Penyebaran Jati Tanaman jati merupakan tanaman asli daerah-daerah Asia Selatan dan Tenggara, yang secara alami terdapat di India, Myanmar, Thailand dan bagian barat Laos meliputi kisaran 9 o LU di India sampai 25 o LU di Myanmar dan antara 73 o sampai 104 o BT (Kaosa-ard, 1986). Di Cina tanaman jati ditemukan di lembah sungai Jieyang bagian barat Yunnan dalam jumlah yang sedikit kisaran 26 o LU dan 98 o BT (Kaosa-ard, 1995). Pada abad 19 jati juga mulai ditanam di daerah tropis benua Amerika seperti Trinidad dan Nicaragua. Akhir-akhir ini jati juga ditanam di Nigeria dan beberapa negara Afrika tropik lainnya (Cordes, 1992). Di Indonesia jati ditemukan terutama di Jawa, Kangean, Bali dan Muna. Selain itu ditemukan pula di Buton, Maluku (Wetar), Sumbawa dan Lampung berada pada posisi 7 LS dan 106 sampai 123 BT (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1985). Menurut Wepf (1954) jati di Indonesia tumbuh secara alami di Jawa dan Muna. Hutan jati di Jawa kebanyakan terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan terutama pada tanah kapur napal yang berasal dari zaman tersier di tanahtanah rendah meter di atas permukaan laut. Persyaratan tumbuh lainnya untuk jati adalah membutuhkan iklim musim yang nyata, yaitu dengan musim kemarau yang periodik. Tanah yang beraerasi baik sangat dibutuhkan oleh jenis tanaman ini, sedangkan ketinggian tempat tumbuh pada umumnya di bawah 700 meter dari permukaan laut dengan curah hujan berkisar mm per tahun

27 5 (Departement Kehutanan Republik Indonesia, 1992). Indonesia memiliki luas areal pertanaman jati yang relatif tinggi. Sampai tahun 1975, tercatat ada sekitar hektar tanaman jati yang sebagian besar berada di Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Maluku, dan Lampung (Sumarna, 2001). Spesies jati di Indonesia diyakini merupakan introduksi dari India pada abad ke 14 (Kaosa-ard, 1986). Walaupun demikian jati yang ada di Jawa ternyata memiliki variasi genetik yang berbeda dengan jati di India yang dianggap sebagai pusat diversitas jati. Para ahli menyatakan bahwa spesies tersebut telah beradaptasi dengan kondisi edafis dan iklim setempat sehingga membentuk vegetasi yang berbeda. Karakter Vegetatif, Generatif, dan Pembungaan Jati Karakter Vegetatif Jati adalah salah satu jenis pohon berdaun lebar. Pada kondisi tempat tumbuh yang sesuai, tinggi total dapat mencapai m pada umur masak tebang tahun, sedangkan pada kondisi yang kurang baik pertumbuhannya agak terhambat. Di daerah subur dengan kondisi lingkungan yang mendukung, tinggi bebas cabang dapat mencapai m atau lebih dan diameter dapat mencapai 150 cm atau lebih (Departemen Kegutanan Republik Indonesia, 1992; Keiding, 1985). Daun jati berukuran relatif besar, panjangnya berkisar antara cm dan lebarnya cm, berbentuk bulat telur dengan permukaan luar kasar. Warna daun hijau sampai hijau tua dan kedudukan pada satu tangkai saling bersilangan (Keiding, 1985). Bentuk tajuk tak beraturan, menyerupai kubah, agak lebar dan termasuk jenis menggugurkan daun (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1992). Batang umumnya bulat dan lurus, batang yang besar pada umumnya berbanir dan berlekuk-lekuk; warna kulit agak kelabu muda, agak tipis dan beralur memanjang agak dalam (Departemen Kehutanan Repubublik Indonesia, 1992). Bagian vegetatif lain dari pohon jati yang perlu diketahui adalah sistem perakarannya. Pada umumnya salah satu ciri dari perakaran jati adalah tidak tahan terhadap kekurangan zat asam. Menurut Soekotjo (1977), jati termasuk

28 6 tanaman yang tahan terhadap kekurangan air untuk selang waktu 0-10 hari dan jika lebih dari itu tanaman akan tumbuh merana dan mati. Karakter Generatif Bunga jati berukuran kecil (diameter 6 8 mm), berwarna keputihan dengan tangkai yang pendek dan termasuk jenis biseksual atau hermaprodit, yaitu dalam satu bunga terdapat putik dan benang sari. Jati juga disebut tanaman berumah satu (monoecious), karena bunga jantan dan bunga betina ada pada pohon yang sama (Samingan, 1991). Tipe bunga jati adalah bunga majemuk tak terbatas, yaitu dikenal dengan bentuk malai atau tandan majemuk. Ukuran malai biasanya besar, terdiri atas ratusan kuncup bunga yang keluar secara serentak. Kuncup ini akan bermekaran dalam waktu yang cukup singkat yaitu dalam selang 2-4 minggu (Keiding, 1985). Menurut Kaosa-ard (1995) dan Cordes (1992) bunga jati merupakan bunga sempurna yang terdiri atas bagian kelopak bunga berwarna coklat terang, berbentuk lonceng, dan tidak terpisah pada bagian bawahnya, yang berfungsi untuk melindungi kuncup bunga selama tahap perkembangannya. Mahkota bunga berwarna keputih-putihan, berbentuk tabung sama panjang dengan kelopaknya, yang berfungsi merangsang penyerbukan. Mahkota bunga terdiri atas enam buah petal pada bagian tabung mahkota yang mengandung sedikit nectar pada bagian basal. Di sebelah mahkota ada enam stamen dan masing-masing terdiri atas sebuah filament dan sebuah antera bercaping dua (two-lobed) berwarna kuning. Pada bagian tengah ada sebuah pistil yang terdiri atas sebuah ovari, sebuah stilus bercabang dua dan berbulu halus. Pada ujung masing-masing stilus terdapat sebuah stigma. Karakter Biologi Pembungaan Pembungaan pada tanaman jati terjadi tidak seragam, tergantung pada tempat tumbuh, iklim, sistem silvikultur serta faktor genetik (Keiding, 1985). Pada daerah dengan iklim yang memungkinkan tanaman jati pada saat fase juvenilnya tumbuh cepat, pembungaan terjadi setelah tanaman berumur 2 tahun, contohnya di daerah Afrika Barat, pada hutan dataran tinggi. India dan Thailand

29 7 (tempat tumbuh alaminya), pembungaan terjadi setelah tanaman berumur 6-8 tahun, malah kadang-kadang lebih 1ambat lagi (Keiding, 1985). Pembungaan mulai terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober dan berbuah antara bulan Mei sampai dengan Desember tahun berikutnya, terutama Juni sampai September (Departement Kehutanan Republik Indonesia, 1992). Penyerbukan secara alami pada bunga jati terutama dengan bantuan serangga, walaupun dengan bantuan angin dapat terjadi (Bryndum dan Hedegart, 1969). Di Thailand, Heriodes biparvula dan Ceratina hieroglyphica yang menjadi penyerbuk utama (Hedegart, 1976). Meskipun demikian berbagai macam lalat dan kupu-kupu juga terlibat (Bryndum dan Hedegart, 1969). Persentase pembuahan pada jati dalam penyerbukan alami umumnya rendah, karena tidak cukupnya serangga penyerbuk (Hedegard, 1973) dan proporsi self incompatibility tinggi yaitu dapat mencapai % (Hedegart, 1976). Pembuahan terjadi 24 jam setelah penyerbukan, dan zigot mulai berkembang pada 3-5 hari setelah penyerbukan. Buah mencapai ukuran penuh sekitar 50 hari setelah terjadi penyerbukan terkendali, tetapi mencapai tingkat kematangan penuh setelah berumur hari setelah penyerbukan. Tanda buah sudah masak adalah jika pohon ranting digoyangkan maka buah akan jatuh, atau jatuh sendiri ke tanah (Hedegart, 1976). Marka Genetik Terdapat tiga jenis marka genetik yang dapat digunakan untuk analisis genom dan analisis populasi seperti mendeteksi keragaman genetik suatu individu di dalam atau antar populasi yaitu marka morfologi, marka biokimia dan marka molekular. Marka morfologi adalah penanda yang dapat diamati secara langsung seperti jumlah anakan, karakteristik batang, daun, bunga, buah, biji, dan lain sebagainya. Keuntungan dari penanda jenis ini adalah pengamatannya mudah, namun demikian penanda ini memiliki kelemahan karena dapat dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan serta jumlahnya sangat terbatas, sehingga kadangkala tidak dapat dibedakan antar genotipe yang diamati karena secara morfologi kelihatannya sama, tetapi sebenarnya berbeda akibat adanya interaksi intra dan inter gen. Demikian pula dengan marka biokimia jumlahnya

30 8 sangat terbatas dan mempunyai tingkat polimorfisme yang relatif rendah, serta ekspresinya sedikit dipengaruhi oleh lingkungan. Marka molekuler seringkali juga dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita polimorfisme berupa fragmen DNA. Keunggulan utama penanda molekular adalah (1) keakuratan yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan yang mempengaruhi ekspresi gen tersebut, (2) dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, (3) pada pengujian ketahanan hama dan penyakit tidak tergantung pada organisme pengganggu tersebut, dan (4) seleksi pada tingkat genotipe ini dapat mempercepat proses seleksi dan hemat pada pengujian selanjutnya di lapang. Analisis genetik berdasarkan penanda molekular dapat dilakukan dengan hibridisasi fragmen DNA dengan penanda DNA pada teknik non-pcr seperti RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) (Serret et al., 1997), dengan amplifikasi fragmen DNA dalam mesin PCR (Polymerase Chain Reaction) seperti RAPD (Random Amlified Polymorphic DNA) (William et al., 1990), AFLP (Amplified Fragmen Length Polymorphisms), SSR (Simple Sequence Repeat) dan lain-lain. DNA Mikrosatelit DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. DNA mikrosatelit biasa digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan forensik. DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan beberapa pasang primer mikrosatelit. DNA produk PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak. Daerah DNA Mikrosatelit DNA genom terdiri atas DNA ruas khas (specific sequence) dan DNA ruas berulang (repetitive sequence). DNA ruas berulang dalam genom eukariot dapat mencapai > 90% DNA total yang ada dalam genom tanaman (Weising et al., 1995). Makin besar ukuran genom suatu tanaman, maka cenderung makin besar

31 9 pula proporsi DNA ruas berulangnya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui proporsi DNA ruas berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60% (Gupta et al., 1984), gandum dan kerabat liarnya mencapai 70% (Flavel, 1980), kedelai mencapai 60% (Walbot dan Goldberg, 1979), dan pada padi mencapai 50% (McCouch et al., 1988). DNA ruas berulang dapat berupa DNA yang ruasnya berulang secara moderat atau berselang-seling (intersperse), dan DNA yang ruasnya berulang secara berurutan (tandem). Perulangan ruas DNA secara tandem diklasifikasikan berdasarkan panjang dan jumlah ruas berulang di dalam genom, dan dapat berupa: (1) DNA satelit yang biasanya jarang ditemukan dalam lokus genom, karena perulangannya sangat tinggi (biasanya antara 1000 sampai kopi) dan bentuknya sangat panjang, sering berada pada bagian heterokromatin dengan panjang fragmen berulang antara 2 sampai beberapa ribu pasang basa tetapi umumnya ditentukan antara pasang basa, (2) minisatelit yang biasanya banyak terdapat dalam genom, bentuknya lebih pendek (10-60 bp) dan menunjukkan derajat perulangan yang lebih rendah, (3) fragmen sederhana atau biasa disebut mikrosatelit (disebut juga fragmen berulang sederhana atau perulangan tanden sederhana), ruas perulangannya pendek dan derajat perulangannya lebih sedikit, terdistribusi lebih banyak pada lokus genom, dan (4) midisatelit untuk kategori DNA yang tipenya merupakan kombinasi dari satelit (perulangan yang panjang pada lokus genom tunggal) dan minisatelit (fragmen berulang secara tandem kira-kira 40 bp) (Weising et al., 1995). Pola ulangan DNA mikrosatelit terdiri atas pola di-, tri-, atau tetranukleotide berulang. Pola ini ditemukan dalam semua organisme, baik prokariot maupun eukariot. Ulangan dinukleotide yang paling sering ditemukan pada tanaman adalah AA/TT dan AT/TA, sedangkan pada hewan GT/AC (Hoelzel, 1998). Keungulan DNA Mikrosatelit Hoelzel (1998) menyebutkan bahwa DNA mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang ideal untuk analisa genom karena jumlahnya cukup banyak di dalam genom. DNA mikrosatelit memiliki tingkat ulangan tiap lokus dan ditemukan pada sejumlah besar lokus spesifik tertentu dalam genom

32 10 sehingga polimorfismenya lokus tersebut dapat diketahui berdasarkan jumlah ulangannya yang berbeda. DNA mikrosatelit memiliki jumlah lokus yang banyak ( ) dengan tingkat variabilitas yang tinggi dalam hal jumlah salinan berulangnya (Tautz, 1993). Tingkat polimorfismenya tinggi serta mudah untuk dianalisis, misalnya dengan teknik PCR (Ellegreen et al., 1993). DNA mikrosatelit lebih sedikit dalam penggunaan enzim dan runutan inti lokus dapat digunakan sebagai probe dibandingkan penciri genetik lainnya sehingga akan mengurangi biaya (Winaya, 2000). Alel-alel DNA mikrosatelit berekspresi dalam bentuk kodominan. Sifat tersebut memungkinkan untuk membedakan antara individu-individu homozigot dari heterozigotnya (Wright dan Benzen, 1994). Sistem Reproduksi Seksual Tanaman Proses reproduksi seksual pada tanaman merupakan proses penggabungan gamet jantan dan betina yang akan menghasilkan zigot. Pada proses reproduksi seksual ini akan terbentuk berbagai macam kombinasi gen sehingga menghasilkan turunan dengan berbagai genotipe. Dengan demikian reproduksi seksual akan menghasilkan sejumlah besar turunan yang berbeda secara genetik. Fase reproduksi selama perkembangan populasi merupakan hal yang menarik dari sisi genetik karena fase ini menyebabkan terjadinya perubahan yang dinamis dari struktur genetik dalam populasi tanaman (Finkeldey, 2005). Aspek dinamik struktur populasi genetik sangat penting dipelajari terutama dalam program breeding dan untuk koservasi tanaman tersebut (Yeh, 2000). Sistem reproduksi seksual terdiri atas beberapa sub-sistem yang berbeda yaitu sistem seksual, aliran gen (gene flow), dan sistem perkawinan (mating system). Sistem Seksual Sistem seksual pada tanaman sangat beragam, yaitu kemampuan tanaman dalam suatu populasi untuk dapat saling berkawin, tergantung dari kemampuan tanaman dalam menghasilkan gamet jantan (serbuk sari atau polen) atau gamet betina (sel telur atau ovul) atau keduanya. Secara umum sistem seksual ini dikelompokkan ke dalam tiga tipe utama yaitu (i) dioecious dimana semua individu-individunya dalam suatu populasi mempunyai bunga jantan dan bunga

33 11 betina terletak pada tanaman yang berbeda, (ii) hermaprodit dimana individuindividu dari suatu spesies mempunyai gamet jantan dan betina dalam bunga yang sama, dan (iii) monoecious dimana individu memiliki bunga jantan dan betina terpisah dalam satu tanaman (Boshier, 2000) Tanaman dioecious tidak mungkin kawin sendiri (self pollination) sehingga derajat inbreeding dalam populasi rendah. Mayoritas spesies tanaman dalam hutan tropikal adalah hermaprodit, sedangkan di hutan temperet spesiesnya monoecious. Pada hutan tropical sistem polinasi bunga hermaprodit dominan terjadi disebabkan oleh bantuan hewan terutama serangga (Gailing et al., 2003) Sistem Aliran Informasi Genetik (Gene Flow) Gene flow adalah perpindahan informasi genetik melalui serbuk sari dan biji. Jadi gene flow bertanggung jawab terhadap distribusi informasi genetik dalam populasi (intrapopulasi gene flow) dan antar populasi (interpopulation gene flow). Efisiensi gene flow melalui serbuk sari dan biji merupakan hal yang sangat penting berkenaan dengan ukuran populasi efektif dalam bereproduksi. Ukuran populasi sangat penting dalam menggambarkan pola penyebaran keragaman genetik dan perbedaan genetik di antara populasi (Hamrick, 2000 dan Gailing et al., 2003). Banyaknya tanaman, jarak serta arah gene flow melalui serbuk sari dalam tegakan menentukan apakah perkawinan yang terjadi antar tanaman yang berbeda (outcrossing) atau dalam tanaman itu sendiri (selfing). Oleh karena itu, gene flow bila dikaitkan dengan tipe perkawinan dan segala aspek-aspeknya merupakan hal yang sangat menarik dalam menganalisis sistem perkawinan (mating system). Dalam sistem pembungaan tanaman ada dua tipe transpor serbuk sari yaitu melalui angin (anemophily) dan hewan (zoophily). Namun polinasi pada hutan tropis terutama disebabkan oleh serangga (entomophily) (Hamrick, 2000 dan Gailing et al., 2003). Sistem Perkawinan (Mating System) Tipe mating system sangat menentukan struktur genetik dalam suatu populasi. Tujuan dari analisis mating system adalah untuk menentukan asal gamet dari induknya dalam suatu populasi. Bentuk struktur genetik individu dalam

34 12 populasi sangat tergantung pada faktor lingkungan seperti densitas populasi, tata letak tanaman, fenologi, dan vektor polinasi (Collevatti, 2001). Pendugaan laju selfing dan outcrossing sangat dipengaruhi oleh kondisi lapang. Untuk menghindari selfing dikembangkan berbagai mekanisme seperti sistem inkompatibilitas, perbedaan waktu pembungaan pada bunga jantan dan betina, terpisahnya bunga jantan dan betina. Selfing merupakan proses inbreeding dalam penurunan heterozigositas. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan viabilitas dalam turunannya berkaitan dengan peningkatan kerusakan alel-alel dalam genotipe-genotipe homosigositas. Khususnya untuk spesies yang langka dengan densitas rendah, selfing dapat mempercepat kepunahan. Jadi ukuran laju selfing dapat digunakan untuk mengembangkan prioritas dan strategi program konservasi (Gailing et al., 2003). Proporsi ovul yang terbuahi secara selfing disebut laju selfing (s) dan frekuensi ovul yang dibuahi secara outcrossing disebut laju outcrossing (t). Dimana s + t = 1. Nilai laju outcrossing berkisar dari t = 0 (100% selfing) sampai t = 1 (100% outcrossing). Nilai-nilai yang signifikan kurang dari t=1 mengindikasikan terjadi inbreeding yang disebabkan oleh selfing atau perkawinan antar saudara. Struktur tata letak tanaman, komposisi tanaman dan densitas populasi, serta adanya variasi pembungaan dan mekanisme inkompatibilitas dapat menghasilkan variasi dalam laju outcrossing pada tegakan dan individu tanaman (Gailing et al., 2003). Mating system dapat dipelajari bila terdapat tipe alel atau genotip yang unik dalam populasi, dan tujuan ini dapat dicapai dengan tersedianya marka molekular dengan polimorfik yang tinggi seperti mikrosatelit atau paling sedikit terdapat satu alel unik pada tanaman dalam suatu populasi (Boshier, 2000). Koefisien inbreeding atau indek fiksasi adalah ukuran deviasi antara pengamatan struktur genotipe dan struktur genotipik sesungguhnya di bawah asumsi random mating, dan asumsi lainnya seperti tidak ada seleksi, mutasi, migrasi, dan lain sebagainya. Koefisien inbreeding untuk setiap single lokus dihitung dari perbedaan struktur genotipik berupa heterozigot yang diamat terhadap heterozigot harapan pada kondisi keseimbangan Hardy-Weinberg, yang diformulasikan sebagai F = 1 H o /H e. Nilai positif mengindikasikan homosigot

35 13 lebih banyak ketimbang struktur populasi Hardy-Weinberg dan proses inbreeding diindikasikan bila F bernilai positif pada semua lokus yang diamati (Gailing et al., 2003).

36 3. METODE UMUM PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan empat topik penelitian yaitu: (1) Analisis kemiripan genetik (genetic similarity) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (2) Analisis struktur genetik (genetic structure) populasi jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, (3) Analisis aliran gen via serbuk sari (gene flow) dan biji (migration) pada tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit, dan (4) Analisis sistem perkawinan (mating system) tanaman jati Sulawesi Tenggara menggunakan marka mikrosatelit. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel daun dan benih dari tanaman jati diperoleh terutama dari hutan jati di kabupaten Muna dan Buton, Sulawesi Tenggara. Lama penelitian ini adalah 3 tahun, dimulai Mei Bahan dan Metode Penelitian Bahan Tanaman Populasi tegakan atau hutan jati yang dipilih adalah yang mempunyai level kerusakan atau gangguan terhadap tegakan jati tersebut akibat adanya aktivitas manusia. Untuk itu telah dipilih tiga lokasi populasi di Sulawesi Tenggara (Gambar 3.1 dan Tabel 3.1) dengan berbagai level gangguan yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna dan satu populasi dari kabupaten Buton, sebagai berikut: Lokasi Warangga terletak dekat kota Raha, Kabupaten Muna. Lokasi tanaman jati di Warangga ini relatif terjaga dari penebangan liar. Tanaman jati di lokasi ini ditanam sekitar tahun Lokasi ini sekarang dipertahankan dan mulai dipagari untuk dijadikan kebun bibit. Lokasi Dolok terletak di Tampo, Kabupaten Muna. Tanaman jati di lokasi ini diperkirakan berumur 40 tahun. Lokasi ini relatif tidak terganggu oleh aktivitas manusia.

37 15 Lokasi Wadila terletak di Gunung Sejuk, Sampolawa, kabupaten Buton. Lokasi ini awalnya merupakan lokasi pertanaman jati yang pernah ditebang habis pada tahun 1958, kemudian dibiarkan sampai sekarang, dan pada lokasi ini kemudian tumbuh secara alami tanaman jati dan sekarang dikenal oleh masyarakat sebagai jati alam. Tabel 3.1. Koordinat posisi geografis populasi jati dari Sulawesi Tenggara Populasi Lintang Bujur Lokasi Dolok 4.63 LS BT Pulau Muna Warangga 4.84 LS BT Pulau Muna Sampolawa 5.53 LS BT Pulau Buton Pengambilan sampel tanaman berupa daun muda serta buah jati ditujukan untuk mempelajari keragaman genetik, struktur genetik serta aspek dinamika akibat adanya perpindahan informasi genetik berupa aliran gen (gene flow) melalui serbuk sari dan biji, serta untuk mempelajari sistem perkawinan (mating system) pada tanaman jati. Gambar 3.1. Peta lokasi tempat pengambilan sampel populasi jati di Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa)

38 16 Material jaringan daun yang diambil untuk diekstrasi DNA nya adalah daun yang masih muda dan masih akan berkembang, kira-kira berukuran 8-12 cm dan diambil sebanyak 5-7 helai. Daun-daun tersebut kemudian diletakan di antara dua kertas yang dapat menyerap air kemudian dikeringkan pada ruangan ber AC (air-conditioning room) atau dikering anginkan. Material daun dapat juga disimpan dalam kantong ziplock yang berisi silika gel. Jaringan tersebut juga dapat diambil langsung dilapang menggunakan tabung microtube ml yang mengandung buffer ekstraksi, namun dengan cara ini daun tersebut harus segera di gerus untuk diekstrasi atau dapat disimpan dalam waktu cukup lama sebelum diekstrak pada suhu -20 o C. Sedangkan benih diambil dengan cara memanen benih sebanyak biji dari pohon yang dianggap sebagai induk potensial, untuk masingmasing populasi. Benih-benih tersebut dikecambahkan untuk kemudian diisolasi DNA nya. Prosedur Molekular dengan Marka Mikrosatelit Isolasi DNA Isolasi DNA daun jati dilakukan menggunakan metode CTAB. Sebanyak 1 gram daun jati muda ditambahkan nitrogen cair kemudian digerus dengan mortal, serbuk halusnya kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf. Untuk sampel sebanyak 0.3 g yang telah dimasukkan ke dalam tabung eppendorf tersebut kemudian ditambahkan 700 µl buffer CTAB (100 mm Tris-HCL ph 8.0, 1.4 M NaCl, 20 mm EDTA, 2% (b/v) CTAB), yang sebelumnya dipanaskan pada suhu 65 o C dan 0.2% β-mercaptoethanol yang ditambahkan pada saat melakukan ekstraksi) dan digoyang-goyang supaya tercampur sempurna selama 30 detik. Sampel dalam buffer diinkubasi dalam penangas air pada suhu 65 o C selama 30 menit dan sesekali dibolak-balik secara perlahan supaya buffer tercampur sempurna dengan sampel. Kemudian campuran tersebut dibiarkan pada suhu ruang selama beberapa menit untuk menurunkan suhu. Untuk memisahkan larutan DNA dengan kotoran lainnya ditambahkan kloroform/isoamilalkohol (24:1) sebanyak 700 µl dan digoyang-goyang sampai terbentuk emulsi kemudian disentrifugasi pada kecepatan rpm selama 15

39 17 menit pada suhu ruang. Larutan bagian atas dipipet dan dimasukan ke dalam tabung yang baru kemudian ditambahkan 750 µl isopropanol dingin dan digoyang-goyang secara perlahan. Penambahan isopropanol dingin akan menyebabkan terbentuknya benang-benang DNA yang halus berwarna putih. Pengendapan DNA dilakukan dengan sentifugasi pada kecepatan rpm selama 15 menit pada suhu ruang. Larutan bagian atas dibuang dan pellet dicuci dengan 200 µl ethanol 70% dengan cara mengoyang-goyang dan disentrifugasi rpm selama 10 menit kemudian ethanol 70% dibuang dengan cara dipipet kemudian pellet dikeringkan dengan cara membalikan tabung di atas kertas tisue dan divacum selama 10 menit sampai kering. Endapan DNA dilarutkan dengan 50 µl aquabidest dengan cara digoyang-goyang secara perlahan dan diinkubasi selama 30 menit atau satu malam pada suhu 37 o C, sebelum digunakan disimpan pada -20 o C, untuk analisa selanjutnya. Penetapan Kualitas dan Kuantitas serta Visualisasi DNA. Ukuran dan integritas DNA ditentukan berdasarkan elektroforesis gel agarose 1%. Pembuatan gel agarose 1% (b/v) dilakukan dengan cara melarutkan 1.0 g tepung agarose ke dalam 100 ml larutan buffer 1 x TAE (50 x TAE untuk 1 L mengandung 242 g Tris-base, 57.1 ml asam asetat glasial dan 100 ml 0.5 M EDTA-Na 2 ph 8.0) kemudian dipanaskan dalam microwave selama 2 menit sampai agarose benar-benar larut. Larutan agarose diinkubasi selama 30 menit untuk menurunkan suhunya hingga mencapai 65 o C. Kemudian dituangkan ke dalam cetakan gel yang sudah dipasang sisir dan dibiarkan sampai mengeras kirakira 1 jam kemudian sisir dicabut dari gel secara perlahan. Gel yang telah mengeras dimasukan ke dalam bak elektroforesis dengan posisi sisir pada elektroda negatif dan ke dalam bak dimasukkan larutan buffer 1 x TAE sampai seluruh terendam. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 10 µl sampel DNA dilarutkan dengan 5 µl aquabides dan 5 µl loading buffer FDEU (90% delonized formamide, 0.1 M EDTA, 10% xylene cyanol, 10% bromophenol blue dan 8% (w/v) urea) dan dicampur merata. Elektroforesis DNA dilakukan dengan memasukan sebanyak 20 µl campuran DNA, aquabides dan loading buffer ke dalam lubang gel. Alat elektroforesis dihubungkan dengan power suplai listrik

40 18 model 1000/500 (BIORAD) pada tegangan konstan 75 volt, setelah pewarna pewarna mencapai jarak 1 cm dari pinggir bawah gel, power suplai listrik dimatikan (kira-kira selama 60 menit). Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan buffer 1 x TAE yang diberi 0.5 µg/ml etidium bromida sambil digoyanggoyangkan selama 20 menit kemudian dibilas dengan aquades selama 10 menit. Hasil elektroforesis dilihat dengan menggunakan transiluminator UV model T2202 (Sigma) untuk melihat pendaran DNA yang diberikan etidium bromida dan hasilnya difoto dengan menggunakan film Polaroid 667. Amplifikasi DNA. DNA diamplifikasi dengan menggunakan primer spesifik yang telah dikembangkan untuk jati dari proyect ICA (Tabel 3.2). Reaksi amplifikasi dilakukan dengan menggunakan 25 µl yang merupakan campuran larutan yang terdiri atas AmpliTaq DNA polimerase dan Stoffel fragment, dntps (masing-masing datp, dctp, dgtp, dan dttp 0.4 mm), 2.5 µg bovine serum albumin (BSA) dan buffer (3 mm MgCl 2, 30 mm KCl dan 10 mm Tris, ph 8.3), 25 pmol primer, 2 µl DNA cetakan, dan 18 µl dh 2 O supaya mencapai volume akhir 25 µl dimasukkan ke dalam tabung eppendorf volume 500 µl dispin secara pelahan lahan supaya semua larutan tercampur sempurna. Minyak mineral ditambahkan keatas campuran larutan PCR dan DNA cetakan sebanyak 20 µl untuk menghindari penguapan selama berlangsungnya reaksi.

41 19 Tabel 3.2. Nama dan sekuen primer mikrosatelit berasal dari project jati TEAKDIV ICA No Primer Sekuen 1 AG04 for: 5 -AGAGGAGGTGCAGAGAGCAG-3 rev: 5 -TAGCATTTGCTGCAAGCTGT-3 2 AG16 for: 5 -ATGCAAAAACGGAGTCTTGG-3 rev: 5 -GGCAGAGCTATCTGAAGATCC-3 3 AGT10 for: 5 -TGCAGATAAAATGCTTGTGGA-3 rev: 5 -CGCGAGAAATAGACCAGTGC-3 4 AC44 for: 5 -ACGCGGGTGTTAGGAAAATG-3 rev: 5 -CCCATCAAACTGAGACAACCA-3 5 AC01 for: 5 -CATGTTGTATCATGAATGTG-3 rev: 5 -CCTAGAAGAGAACCCCATGC-3 6 AG14 for: 5 -TCCACGACTCATGCAGGCTA-3 rev: 5 -CCAACCAACCCTTTCAAATCC-3 7 ATC02 for: 5 -TCAAAGCTTGGCTACCACCA-3 rev: 5 -GCCGAATTGGGACGACTTTA-3 8 AC28 for: 5 -ACGGCTATCAGACCAGCAGA-3 rev: 5 -ATGCATGGCATGTTCTACCC-3 9 AAG10 for: 5 -GTGCACCAAGTCCGAGCAAT-3 rev: 5 -CGAGAACCCGAACCTAACCA-3 10 CPIMS for: 5 -TTTCCCGTTATGTAGAGAATTGA-3 rev: 5 -CCCAAATTGTGAACGATGAA-3 Tabung berisi campuran larutan PCR dan DNA cetakan dimasukkan ke dalam mesin PCR. Reaksi amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan mesin PCR (Gene Amp PCR system 2400 Perkin-Elmer) dan diprogramkan untuk PCR awal pada suhu 95 o C selama 5 menit satu siklus. Denaturasi DNA cetakan dari utas ganda menjadi utas tunggal pada suhu 95 o C selama 1 menit, penempelan primer ke DNA cetakan pada suhu 36 o C selama 1 menit dan pemanjangan pada 72 o C selama 2 menit sebanyak 45 siklus, dan pemanjangan akhir pada suhu 72 o C selama 5 menit satu siklus, dan pendinginan pada suhu 4 o C selama tidak terhingga satu siklus.

42 4. ANALISIS KEMIRIPAN DAN KERAGAMAN GENETIK TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic similarity and diversity analysis of teak from originated Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract The objective of this research was to analyze genetic similarity and diversity of three populations of teak from Southeast Sulawesi using ten microsatellite loci. The result of the research showed that the average genetic similarity, which calculated based on Dice coefficient, for total population of mature and juvenile tree were 51.91% and 54.55%, respectively. Mature tree of Dolok, Warangga and Sampolawa had genetic similarity 60%, 55%, and 73%, respectively. Juvenile tree of Dolok, Warangga, and Sampolawa had genetic similarity 56%, 61%, and 74%, respectively. The juvenile tree harvested from mature trees showed high genetic diversity similar with mature tree. Principal component analysis showed by the first two principal components explained 38% and 40% of total diversity of mature and juvenile trees. Population was separated into tree groups according locations. But condition of harvest of seeds of this research done before illegal logging on large scale, so that source of pollen very abundances. At present teak in Southeast Sulawesi are endangered, constraint of reboisation is due to not availability of seed. Bulk harvest from a lot of tree and a lot of location represent a strategy to prevent inbreeding and genetic drift. Keywords: Tectona grandis, genetic similarity, mikrosatelit Abstrak Penelitian bertujuan untuk mempelajari kemiripan dan keragaman genetika tiga populasi tanaman jati asal Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemiripan genetika yang dihitung menggunakan koefisien Dice (Nei dan Li, 1979) pada populasi total tanaman dewasa dan semai asal Sulawesi Tenggara berturut turut 51.91% dan 54.55%. Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%. Sedangkan tanaman semai kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 56%, 61%, dan 74%. Tanaman semai yang diunduh dari pohon induk benih memperlihatkan keragaman yang tinggi serupa dengan tanaman induknya (dewasa). Namun kondisi pengunduhan benih pada penelitian ini terjadi sebelum penebangan hutan secara besar-besaran, sehingga sumber serbuk sari sangat berlimpah. Saat ini jati di Sulawesi Tenggara sudah demikian parah, kendala reboisasi hutan tidak tersedianya benih. Pengunduhan yang berasal dari banyak tanaman dan berasal dari banyak lokasi merupakan strategi yang dapat mengurangi terjadinya inbreeding dan penghanyutan genetik. Kata kunci: Tectona grandis, kemiripan genetik, mikrosatelit

43 21 Pendahuluan Kawasan hutan jati di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara kini dalam kondisi rusak parah, akibat penebangan liar yang tidak terkendali. Sekitar hektar lebih dari luas total areal semula yang mencapai hektar, sudah berubah menjadi kawasan gundul. Hingga di awal tahun 2004 luas areal jati yang tersisa tinggal sekitar hektar lebih, itu pun luasannya tidak terkonsentrasi pada satu kawasan, melainkan tersebar di beberapa titik lokasi. Untuk mengembalikan kerusakan hutan jati yang sudah cukup serius itu, pemerintah pusat melalui dana reboisasi hutan, berusaha menanam kembali tanaman jati melalui proyek tersebut yang sepenuhnya diserahkan kepada petani. Namun demikian yang menjadi kendala sekarang adalah tidak tersedianya sumber benih tanaman lokal sedangkan benih yang berasal dari tempat lain belum tentu sesuai dan harus diuji terlebih dahulu. Pembangunan hutan dengan cara mengunduhan benih yang berasal hanya dari beberapa tanaman saja dari tanaman yang tersisa akan menimbulkan masalah seperti inbreeding dan penghanyutan genetik, padahal untuk jangka panjang keragaman genetik total yang tinggi perlu dipertahankan. Dengan demikian diperlukan penelitian yang dapat memberi gambaran atau bayangan tentang kosekuensi genetik sendainya benih hanya diunduh dari beberapa tanaman saja atau dari beberapa area saja, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghindari hilangnya keragaman genetik. Studi tentang kemiripan genetik di antara individu tanaman dan di antara populasi dapat digunakan untuk mengambarkan keragaman genetik yang ada dan dapat digunakan dalam memilih individu tanaman dari kelompok populasi. Selama ini pemilihan individu tanaman berdasarkan fenotipe (tanaman plus), namun karakter fenotipe sangat dipengaruhi oleh lingkungan, dengan demikian informasi tambahan secara genetik sangat diperlukan guna mendapatkan tanaman plus tersebut. Dalam program pemuliaan dan konservasi keberhasilannya sangat ditentukan dari keberhasilan dalam memilih individu-individu tanaman plus yang

44 digunakan sebagai sumber material genetik yang memiliki keragaman genetik total yang tinggi. Keragaman dan kemiripan genetika dapat dipelajari melalui analisis langsung terhadap sifat morfologi, biokimia atau melalui penanda DNA seperi mikrosatelit. Penanda mikrosatelit merupakan salah satu penanda genetik yang bersifat unggul untuk digunakan karena terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), bersifatnya kodominan, bersifat polimorfik yang tinggi dan berbasis PCR Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mempelajari kemiripan genetik individu-individu tanaman di dalam populasi, (2) mempelajari keragaman genetik jati di dalam populasi dan antar populasi, dan (3) membandingkan keragaman genetik populasi jati dewasa serta progeni dari bulk benih jati Material Tanaman Bahan dan Metode Material tanaman jati berupa daun dan benih diperoleh dari dua kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa), dikoleksi masing-masing 20 sampel seperti tertera pada Tabel 4.1 sebagai berikut: Tabel 4.1. Pohon induk dan tanaman semai jati yang dikoleksi dipilih secara acak pada tiga lokasi populasi jati asal Sulawesi Tenggara dianalisis menggunakan 10 lokus mikrosatelit Asal Populasi Kode Jumlah Tanaman Dolok, Muna Pohon T 20 Semai T 20 Warangga, Muna Pohon W 20 Semai W 20 Sampolawa, Buton Pohon S 20 Semai S 20 Total 6 populasi 120 tanaman 22 Isolasi serta Penentuan Kualitas dan Kuantitas DNA Untuk mendapatkan DNA total genom dilakukan isolasi DNA dari daun jati muda. Daun muda digerus menggunakan lumpang porselin sampai hancur

45 23 dengan menambahkan nitrogen cair. Isolasi DNA dilakukan menggunakan procedur CTAB yang telah dikembangkan dari project ICA (Bab 3 dan Lampiran 8). Kualitas dan kuantitas DNA yang diperoleh dicek terlebih dahulu dengan merunning dalam gel agarose 0.8% dengan menggunakan alat elektroforesis. Spektrofotometer digunakan untuk menentukan kemurnian dan konsentrasi DNA. Amplifikasi PCR dan Gel Electroforesis DNA tanaman hasil isolasi kemudian diamplifikasi menggunakan mesin PCR menggunakan 10 primer mikrosatelit. Program PCR yang digunakan adalah 5 menit pada suhu 94 o C untuk pre-pcr, selanjutnya dilakukan 35 siklus yang terdiri atas 40 detik pada suhu 94 o C untuk denaturasi, 1 menit pada suhu 52 o C untuk anneling atau penempelan primer, dan 2 menit pada suhu 72 o C untuk perpanjangan primer. Setelah 35 siklus dilewati kemudian dilakukan perpanjangan akhir atau post-pcr pada suhu 72 o C selama 7 menit. Hasil PCR kemudian diseparasi menggunakan gel poliakrilamid 6% pada suhu 50 o C pada konstan daya 100 watt selama 3 jam, sedangkan pewarnaan DNA untuk visualisasi dilakukan dengan menggunakan silver staining (Lampiran 9). Pola pita yang diperoleh kemudian diskoring, migrasi pita yang pertama muncul adalah alel pertama dan seterusnya. Analisis Data Dalam analisis keragaman genetik serta kemiripan genetik individu dalam populasi atau antar populasi maka digunakan data mikrosatelit yang diperoleh secara acak dari 20 tanaman hasil seedling dan 20 tanaman dewasa untuk setiap populasinya. Dengan demikian analisis keragaman kemiripan genetik terdiri atas 40 observarsi untuk setiap lokasinya. Untuk melihat kemiripan genetik maka data genotipe 10 lokus mikrosatelit dikonversi menjadi data biner. Matrik jarak atau kemiripan genetik untuk semua pasangan individu dihitung menggunakan koefisien Dice (Nei dan Li, 1979), sebagai berikut: 2Nab F = ( N + N a b )

46 dimana F = nilai kesamaan antara individu tanaman a dan b; yang sama posisinya pada individu a dan b; N a dan 24 N ab = jumlah pita N b = jumlah pita pada masing-masing individu a dan b. Koefisien Dice merupakan unit perhitungan taksonomi (OTUs, operational taxonomic units) dalam analisis kluster untuk membangun dendrogram dengan pengelompokan menggunakan metode UPMGA (Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic) (Sneath and Sokal, 1973), sebagai berikut: d k ( ij) n i = d ki ni n + j n j + d ni n + j dimana d k (ij) = ukuran kemiripan antara gerombol ke-k dengan gerombol (ij) yang merupakan penggabungan antara gerombol ke-i dengan gerombol ke-j; n i dan n j = banyaknya objek dalam gerombol ke-i dan ke-j. Selain itu posisi relatif setiap individu dapat pula digambarkan ke dalam dua atau tiga sumbu komponen utama yang pertama, perhitungan komponen skor untuk memetakan individu dihitung dengan persamaan Y = a x + a x + + a ij 1 i 1 j 2i 2 j Semua perhitungan statistika matrik kemiripan, analisis kluster, dan analisis komponen utama (principal component analysis) dihitung menggunakan program komputer NTSYSpc (Rohlf, 1995). Matrik kemiripan dihitung dengan prosedur SIMQUAL, principal component analysis dilakukan menggunakan prosedur SIMINIT dan EIGEN, sedangkan analisis cluster dengan SAHN clustering. Profil Pita Mikrosatelit Hasil Dari 10 lokus mikrosatelit yang digunakan untuk mempelajari kemiripan dan keragaman genetik populasi tanaman jati dewasa dan tanaman semai asal Sulawesi Tenggara menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata 4.3 alel setiap lokus dengan kisaran alel mulai dari dua alel (AG04, AGT10) sampai enam alel (AG16). Sedangkan tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 (0.766) dan pi x pj kj

47 yang terendah pada lokus AG04 dan AGT10 (0.136), informasi selengkapnya disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Jumlah alel dan polymorphic information content (angka yang di dalam tanda kurung) berdasarkan 10 lokus mikrosatelit pada populasi tanaman jati asal Sulawesi Tenggara Lokus Sampolawa Dolok Warangga Pohon Semai Pohon Semai Pohon Semai AG04 2 (0.305) 3 (0.136) 2 (0.211) 2 (0.313) 3 (0.548) 3 (0.436) AG16 3 (0.414) 5 (0.567) 6 (0.709) 6 (0.766) 6 (0.560) 6 (0.659) AGT10 2 (0.337) 2 (0.327) 3 (0.431) 3 (0.515) 3 (0.447) 3 (0.136) AC44 3 (0.494) 3 (0.406) 5 (0.393) 5 (0.502) 4 (0.657) 5 (0.480) AC01 4 (0.262) 4 (0.241) 4 (0.477) 5 (0.624) 4 (0.621) 4 (0.595) AG14 5 (0.725) 4 (0.617) 4 (0.428) 5 (0.538) 5 (0.716) 5 (0.685) ATC02 4 (0.469) 3 (0.469) 4 (0.596) 4 (0.619) 4 (0.556) 4 (0.601) AC28 3 (0.329) 3 (0.326) 3 (0.550) 3 (0.555) 3 (0.497) 3 (0.469) AAG10 4 (0.317) 4 (0.386) 4 (0.499) 5 (0.499) 3 (0.586) 3 (0.474) CPIMS 3 (0.409) 3 (0.406) 3 (0.584) 3 (0.460) 3 (0.519) 3 (0.575) Rataan 3.3(0.406) 3.4(0.388) 3.8(0.488) 4.1(0.539) 3.8(0.571) 3.9(0.511) 25 Kemiripan Genetika antar Populasi Rata-rata kemiripan genetika yang dihitung menggunakan koefisien Dice (Nei dan Li, 1979) pada populasi tanaman dewasa dan semai asal Sulawesi Tenggara berturut turut 51.91% dan 54.55%. Analisis pengelompokan dengan UPGMA menghasilkan dendrogram yang menunjukkan terbentuk 3 kelompok tanaman dimana kelompok tanaman yang berasal dari Sampolawa memisah dengan jelas dari kelompok lainnya. Sedangkan tanaman yang berasal dari Kabupaten Muna baik itu dari Warangga atau Dolok terlihat ada beberapa individu yang tercampur. Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%. Seluruh individu tanaman dewasa menjadi satu kelompok dengan kemiripan genetik 46% (Gambar 4.1).

48 Persentase Kemiripan S03 S27 S43 S56 S06 S47 S52 S20 S41 S76 S79 S07 S59 S64 S19 S71 S10 S29 S25 S99 T44 W03 T49 W52 W05 W27 W32 W25 W46 W59 W13 W37 W45 W26 W31 W34 W78 W23 W50 W47 W87 T10 T02 T09 T75 T12 T56 T42 T01 T62 T63 T24 T67 T41 T59 T78 T52 T16 T93 W20 S W T Gambar 4.1. Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman dewasa hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi Demikian pula dengan tanaman semai mengelompok menjadi Dolok, Warangga dan Sampolawa dengan kemiripan genetika berturut-turut 56%, 61%, dan 74%. Sedangkan seluruh tanaman semai mengelompok menjadi satu dengan kemiripan genetika 48% dan antar tanaman semai ditemukan kemiripan 100% yaitu semai T10-01 dengan T12-01 (Gambar 4.2). Baik pada tanaman dewasa atau tanaman semai untuk kluster Warangga dan Dolok beberapa tanaman tercampur misal W20 ada dalam cluster Dolok dan T44 dan T49 ada dalam cluster Warangga. Pada tanaman semai individu W09-26, W21-24 dan W09-08 berada dalam kluster Dolok, serta T24-04, T26-07, T08-06, T49-05 dan T59-01 ada berada dalam kluster Warangga.

49 Persentase Kemiripan S01-05 S34-05 S25-05 S03-18 S54-05 S06-02 S25-11 S06-03 S06-05 S10-07 S56-06 S10-06 S56-05 S17-08 S13-05 S34-01 S47-10 S41-02 S12-08 S58-04 W18-22 W47-12 W66-04 T24-04 T26-07 W21-15 T08-06 W18-01 W18-06 W45-16 T47-07 W66-22 T49-05 W30-17 W30-16 T59-01 W09-12 W09-13 W66-21 W66-25 W66-09 W66-17 T47-09 W30-19 T01-03 T01-04 T24-05 T59-05 T10-01 T12-01 W09-26 T59-03 W21-24 W09-08 T02-01 T42-05 T12-06 T12-08 T42-06 T46-06 S W T Gambar 4.2. Dendrogram kemiripan genetika jati tanaman semai hasil analisis kluster dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi. Kemiripan Genetika di dalam Populasi Hasil analisis kemiripan genetika di antara individu tanaman dewasa serta di antara tanaman semai untuk populasi Sampolawa, Dolok, dan Warangga disajikan berturut-turut pada Tabel 4.3, Tabel 4.4 dan Tabel 4.5. Jarak genetik tanaman dewasa 42% (Sampolawa), 65% (Dolok) dan 71% (Warangga) dengan rata-rata kemiripan genetik 73%, 60% dan 56%. Sedangkan jarak genetik tanaman semai adalah 36% (Sampolawa), 71% (Dolok) dan 63% (Warangga) dengan rata-rata kemiripan genetik 74%, 56% dan 61%

50 28 Tabel 4.3. Matrik kemiripan genetik di antara 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Sampolawa No Keterangan : No urut 1-20 untuk kode tanaman dewasa dan semai adalah S03, S06, S07, S10, S19, S20, S25, S27, S29, S41, S43, S47, S52, S56, S59, S64, S71, S76, S79, S99 dan S01-05, S03-18, S06-02, S06-03, S06-05, S10-06, S10-07, S12-08, S13-05, S17-08, S25-05, S25-11, S34-01, S34-05, S41-02, S47-10, S54-05, S56-05, S56-06, S58-04

51 29 Tabel 4.4. Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Dolok No Keterangan : No urut 1-20 untuk kode tanaman dewasa dan semai adalah T01, T02, T09, T10, T12, T16, T24, T41, T42, T44, T49, T52, T56, T59, T62, T63, T67, T75, T78, T93 dan T01-03, T01-04, T02-01, T08-06, T10-01, T12-01, T12-06, T12-08, T24-04, T24-05, T26-07, T42-05, T42-06, T46-06, T47-07, T47-09, T49-05, T59-01, T59-03, T59-05

52 30 Tabel 4.5. Matrik kemiripan genetik 20 tanaman dewasa (di bawah diagonal) dan 20 tanaman semai (di atas diagonal) populasi jati asal Warangga No Keterangan : No urut 1-20 untuk kode tanaman dewasa dan semai adalah W03, W05, W20, W13, W23, W25, W26, W27, W31, W32, W34, W37, W45, W46, W47, W50, W52, W59, W78, W87 dan W09-08, W09-12, W09-13, W09-26, W18-01, W18-06, W18-22, W21-15, W21-24, W30-16, W30-17, W30-19, W45-16, W47-12, W66-04, W66-09, W66-17, W66-21, W66-22, W66-25

53 31 W W W W W W W W W W W W W W W W W W W W T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S Gambar 4.3. Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman dewasa asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama W W W W W W W W W W W W W W W W W W W W T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S Gambar 4.4. Analisis komponen utama dari data kemiripan jati tanaman semai asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 primer mikrosatelit hasil amplifikasi, yang dipetakan ke dalam bentuk tiga sumbu komponen utama yang pertama

54 32 Hasil analisis komponen utama menunjukkan hanya 31% (dewasa) dan 30% (semai) dari total keragaman data dapat dijelaskan menggunakan dua sumbu kompoenen utama yang pertama, dan 38% dan 40% dapat dijelaskan menggunakan tiga sumbu komponen utama yang pertama (Gambar 4.3 dan 4.4). Pada Gambar 4.3 dan 4.4 terlihat tanaman yang berasal dari Sampolawa (Kabupaten Buton) dipetakan terpisah dengan jelas dari tanaman asal Warangga dan Dolok (Kabupaten Muna). Sedangkan tanaman yang berasal dari Muna terlihat tercampur terutama pada tanaman semai. Pembahasan Teknologi PCR dan penanda mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini bersifat cukup polimorfis untuk membedakan semua tanaman jati yang dipelajari. Nilai rata-rata polymorphic information content (PIC) yang diperoleh dalam penelitian ini untuk tanaman dewasa dan semai adalah sebesar Nilai ini cukup besar dibanding nilai PIC pada gandum dalam melihat kemiripan genetik menggunakan marka mikrosatelit yaitu sebesar 0.30 (Bohn et al., 1999). Derajat penyerbukan silang pada jati sangat tinggi dengan kisaran 89% dan 95% (Kjaer dan Suongtho, 1995). Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan di Sulawesi Tenggara pada tiga populasi mempunyai derajat penyerbukan silang di atas 97%, dengan kejadian selfing hanya 1-3% saja (Bab 7). Genetik rekombinasi hasil reproduksi seksual pada penyerbukan silang merupakan alasan tingginya nilai PIC dan luasnya keragaman genetik yang ditemukan pada jati. Tabel 4.2 memperlihatkan kecenderungan bahwa jumlah alel dan PIC untuk tanaman dewasa dibandingkan dengan semai memiliki nilai yang berbeda, perbedaan ini hanya disebabkan karena sedikitnya jumlah sampel yang digunakan. Dari hasil analisis kluster dan analisis komponen utama terlihat adanya pemisahan yang nyata untuk kelompok Sampolawa (Pulau Buton) dengan kelompok lainya yaitu Dolok dan Warangga (Pulau Muna) diduga karena isolasi jarak geografis yang jauh terpisah berupa lautan sehingga tidak terjadi aliran informasi genetik. Keragaman genetik populasi Sampolawa baik pada tanaman dewasa atau tanaman semai relatif kecil (26-27%) dibanding populasi dari Muna

55 33 (44-45%). Pemisahan kelompok Sampolawa (Buton) dengan Dolok dan Warangga (Muna) diperkirakan dari keragaman sumber benih asal jati tersebut itu sendiri dan hasil rekombinasi pertukaran gamet di dalam populasi tersebut. Sedangkan pengelompokan untuk Dolok dan Warangga terlihat terpisah cukup samar terutama pada tanaman dewasa karena beberapa tanaman asal Dolok berada di dalam kluster Warangga demikian sebaliknya, pencampuran menjadi sangat jelas bila dilihat pada tanaman semai. Hal ini kemungkinan telah terjadi aliran informasi genetik, antara populasi tanaman Warangga dengan Dolok yang diperkirakan berjarak 50 km. Namun demikian penelitian ini tidak membuktikan adanya transportasi aliran informasi genetik yang sangat jauh, namun fakta yang lebih mungkin bahwa hutan jati yang ada di Kabupaten Muna cenderung terjadi pada area yang kontinyu. Hasil penelitian analisis tetua (Bab 6) menunjukan transportasi informasi genetik yang dapat dideteksi sejauh 80 m. Dilihat masih cukup tingginya keragaman genetik tanaman semai yang diperoleh dari sekitar tanaman semai yang diunduh benihnya, hal ini mengindikasikan bahwa benih yang berasal dari masih cukup tinggi karena menghasil kemiripan dan keragaman genetik yang masih tinggi seperti tanaman dewasanya. Hal ini penting diketahui agar pembangunan hutan dapat terjaga dari segi keragaman genetik dilihat dari struktur genetik populasinya (Bab 5). Karena dengan hilangnya keragaman genetik akan mengurangi kemampuan suatu populasi untuk beradaptasi dari perubahan lingkungan dan untuk bertahan hidup (Barrett dan Kohn 1991). Namun yang menjadi kendala saat ini dalam pembangunan hutan di Sulawesi Tenggara akibat penebangan liar yang tidak terkendali adalah tidak tersedianya benih, jati yang tersisa hanya berupa spot-spot kecil dimana sumber serbuk sari tidak melimpah lagi sehingga kemungkinan terjadi proses inbreeding dan penghanyutan genetik. Hasil penelitian tentang bayangan benih yang berasal dari pengunduhan tanaman sebagai sumber benih dengan hasil keragaman yang tidak dapat menjamin lagi karena sumber benih yang diperoleh saat penelitian ini populasi tanaman jati di Sulawesi Tenggara masih terjaga dari penebangan liar. Penelitian yang serupa pada kondisi saat ini mungkin diperlukan kembali dengan membandingkan dengan data genotipik saat ini dengan data

56 genotipik sebelum terjadinya penebangan liar. Namun demikian pengambilan benih dari banyak tanaman dan hasil bulk mungkin masih dapat dilakukan untuk menjaga keragaman genetik tanaman jati dari inbreeding dan penghanyutan genetik, karena masih cukup tingginya keragaman di antara individu dan keragaman antar populasi. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: Hasil analisis kemiripan genetik berdasarkan analisis cluster dan analisis komponen utama berhasil memisahkan dengan jelas populasi tanaman berdasarkan lokasi geografis terutama Sampolawa (Pulau Buton) terpisah jelas dari Warangga dan Dolok (Pulau Muna). Untuk tanaman dewasa kelompok Dolok, Warangga dan Sampolawa mempunyai kemiripan genetika berturut-turut 60%, 55% dan 73%, sedangkan tanaman semai 56%, 61%, dan 74%. Seluruh individu tanaman dewasa menjadi satu kelompok dengan kemiripan genetik 46%, sedangkan untuk tanaman semai 48%. Keragaman genetik untuk tanaman dewasa tertinggi pada kelompok Warangga (45%) terendah pada Sampolawa (27%). Sedangkan pada tanaman semai keragaman genetik teringgi pada kelompok Dolok (44%) terendah pada Sampolawa (26%). Hasil analisis memperlihatkan bayangan genetik yang sama seperti populasi tanaman induknya bila benih yang diperoleh berasal dari mengunduh tanaman. Daftar Pustaka Bohn M, Utz HF, Melchinger AE Genetic similarities among winter wheat cultivars determined on the basis of RFLPs, AFLPs, and microsatellites and their use for predicting progeny variance. Crop Sci.39: Kjaer ED, Suangtho V Outcrossing rate in Tectona grandis L. Silvae Genetica 44: Nei M, Li WH Mathematical modes for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 76:

57 Rohlf FJ NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System.Version Exter Software, Setauket, New York. Sneath PHA, Sokal RR Numerical taxonomy. W.H. Freeman and Company. San Francisco. 35

58 5. ANALISIS STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Genetic structure analysis of Southeast Sulawesi teak populations based on microsatellite markers) Abstract Using 10 microsatellite DNA loci, genetic variation was analyzed within and between teak population collected at three locations in Southeast Sulawesi was analyzed. A total of 42 alleles were detected, with six the highest number allele at AAG10 and AG16 loci. The mean value of polymorphic information content (PIC) of the 10 loci ranged from to While the heterozigosity H a and H e were high (for Dolok population were and respectively) and the value of H e was much higher than H a. Genetic differentiation F ST was (11.2% of total genetic variation among population) and showed less deviation from Hardy-Weinberg expectation (Wright s inbreeding coefficient F IS = 0.009). However, genetic differentiation using AMOVA showed 14% of total variation among population, the remaining 86% occured within populations. Cluster analysis calculating by Nei s Distance showed that Dolok and Warangga population were in the same cluster. Keywords: Tectona grandis, genetic structure, microsatellite Abstrak Sepuluh lokus DNA mikrosatelit, dilakukan analisis keragaman di dalam populasi dan keragaman antar populasi dari tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara. Total alel yang berhasil dideteksi adalah 42, dengan jumlah alel tertinggi sebanyak enam alel untuk lokus AAG10 dan AG16. Nilai rata-rata PIC berkisar sampai Nilai heterozigositas H a dan H e mempunyai nilai yang tinggi (tertinggi untuk Dolok adalah dan 0.645) dengan nilai H e selalu lebih besar daripada H a. Nilai diferensiasi genetik F ST adalah atau 11.2% dari total keragaman genetik di antara populasi dan memperlihatkan sedikit penyimpangan dari keseimbangan Hardy-Weinberg harapan (Wright s inbreeding coefficient F IS =0.009). Akan tetapi diferensiasi genetik yang dihitung dengan AMOVA memperlihatkan 14% terjadi keragaman di antara populasi dan sisanya sekitar 86% terjadi dalam populasi. Analisis cluster yang dihitung menggunakan jarak genetik Nei menunjukan bahwa populasi Dolok dan Warangga berada pada satu cluster. Kata kunci: Tectona grandis, struktur genetik, mikrosatelit

59 37 Pendahuluan Pengetahuan tentang variasi genetik dalam kaitannya dengan heterogenitas menurut ruang dan waktu adalah sangat penting dalam permasalahan genetik hutan. Untuk itu diperlukan cakupan yang lebih luas dari hanya sekedar pengamatan terhadap satu tanaman tunggal dan turunannya, ke pengamatan terhadap dinamika dari struktur genetik ditingkat kelompok individu-individu baik yang berkerabat atau tidak (Finkeldey, 2005). Dasar pendekatan yang dilakukan adalah populasi yaitu sekumpulan dari tanaman dari spesies yang sama dimana setiap individu dalam kumpulan tersebut punya peluang yang sama untuk dapat saling bertukar gamet. Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu organisme tersebut sangat terbatas. Namun demikian setiap organisme mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya keketurunannya melalui pertukaran gamet dan ini akan menghasilkan rekombinasi baru. Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat diamati ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar gamet. Dinamika struktur genetik ditentukan dari komposisi gen berupa frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut. Penyebaran frekuensi dari genotipe-genotipe dalam populasi disebut sebagai genotipic structure dan penyebaran frekuensi dari alel-alel dalam satu populasi disebut allelic structure. Struktur genetik ini bersifat dinamik yaitu dalam kondisi kesetimbangan atau mengalami perubahan atau berevolutif bila terdapat kekuatan yang dapat merubah kesetimbangan seperti adanya mutasi, aliran gen (migrasi), penghanyutan genetik (genetic drift), seleksi dan model dari sistem perkawinan. Jati (Tectona grandis Linn.f) merupakan hutan tanaman yang ditanam dalam areal yang luas. Namun kemudian dapat menjadi hutan yang terpisah-pisah (forest fragmentation) misal akibat adanya penebangan liar serta alih fungsi lahan sehingga terjadi isolasi berupa jarak atau geografis yang dapat menghambat pertukaran gamet di antara tanaman sehingga tidak terjadi aliran informasi genetik.

60 38 Dengan mempelajari struktur genetik suatu populasi tanaman dapat diketahui sistem genetik yang dimiliki tanaman yang merupakan alat yang komplek yang dipergunakan oleh suatu populasi untuk menjamin eksistensinya secara terus menerus. Sistem genetik bersifat adaptif, menentukan organisasi dan perpindahan informasi genetik, jenis dan jumlah kombinasi genetik yang dihasilkan oleh suatu populasi. Studi tentang struktur genetik suatu populasi tanaman sudah banyak dilakukan menggunakan penanda genetik seperti yang dilakukan pada populasi genetik kakao dan padi (Goran, 2000 dan Gao, 2002). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari struktur genetik tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara yang mempunyai level kerusakan akibat aktivitas manusia. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel daun dan benih jati diperoleh dari hutan jati di Kabupaten Muna dan Buton, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai Mei 2003 sampai September Bahan Tanaman Material tanaman jati berupa daun diperoleh dari dua kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan Kabupaten Buton (Sampolawa), yaitu lokasi-lokasi yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia, untuk masing-masing lokasi diambil secara sensus dalam suatu areal (tidak dilakukan pengacakan) sebanyak 100 individual tanaman, kemudian pohon yang disampel dipetakan posisi struktur spatial penyebarannya (lihat lampiran 1 sampai 3). Analisis Data Struktur populasi genetik digambarkan oleh frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut. Populasi yang setimbang akan mempunyai frekuensi alel yang tetap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg, frekuensi genotipe suatu

61 populasi berkawin acak akan dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya, selama tidak ada kekuatan luar yang dapat merusak kesetimbangan tersebut. Kekuatan tersebut adalah seleksi, migrasi, mutasi, dan erosi genetik secara acak. Kemudian dilakukan pula analisis untuk melihat keragaman genetik di dalam dan antar populasi, sebagai berikut: Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Untuk populasi satu lokus dengan dua alel, misal alel A dan alel a, maka genotipenya adalah AA, Aa dan aa. Bila hasil observasi banyaknya masingmasing genotipe adalah N AA, N Aa, dan N aa, dimana N AA + N Aa + N aa = N., maka frekuensi genotipe adalah: dan frekuensi alel adalah: frekuensi genotipe AA frekuensi genotipe Aa frekuensi genotipe aa frekuensi alel A frekuensi alel a = p( AA) = N = p( Aa) = N = p( aa) = N Aa aa / N = D / N = H / N = R AA = p( A) = p = D + = p( a) = q = R + dan akan diperoleh D + H + R = 1 dan p + q = 1. Untuk populasi satu lokus dengan k buah alel (misal alel A 1, A 2, A 3, A k ) sehingga terdapat genotipe A 1 A 1, A 1 A 2, A 1 A 3, A k A k. Bila hasil observasi banyaknya masing-masing genotipe adalah N 11, N 12, N 13, N kk, dimana N 11 + N 12 + N N kk = N, maka frekuensi genotipe masing-masing adalah: dan frekuensi alel adalah: frekuensi alel frekuensi alel A frekuensi alel frekuensi alel A frekuensi genotipe A1A frekuensi genotipe A1A frekuensi genotipe A1A frekuensi genotipe A A A1 = p( A1 ) = p1 = ( N = p( A2 ) = p2 = ( N22 + A3 = p( A3 ) = p3 = ( N = p( A ) = p = ( N + k k k k k kk 1 2 H H 1 2 = p( A1 A1 ) = N = p( A1 A2 ) = N = p( A A ) = N / N / N / N = p( Ak Ak ) = Nkk / N k 1 k 1 k 1 k ( N ( N ( N ( N 1k N + N + N + N 13 2k N1 k )) / N + + N2k )) / N + + N )) / N + + N 3k ( k 1) k )) / N 39

62 40 dan akan diperoleh: p( A1 A1 ) p( A1 A2 ) + p( A1 A3 ) + + p( A k A ) = 1 + k dan p 1 + p 2 + p p k = 1. Analisis Kesetimbangan Populasi Kesetimbangan populasi dapat dianalisis menggunakan uji khi-kuadrat, dimana dalam analisis akan dibandingkan apakah frekuensi genotipe hasil pengamatan sesuai dengan frekuensi genotipe pada populasi setimbang Hardy- Weinberg. Misal populasi tersusun oleh satu lokus dengan dua alel yaitu A dan a, maka pengujiannya adalah: 2 2 ( N AA p N) ( N Aa 2 pqn) ( Naa q N χ = p N 2 pqn q N 2 ) Karena dalam analisis kita dua kali melakukan pendugaan, yaitu pendugaan frekuensi alel dan pendugaan frekuensi genotipe. Jadi derajat bebas pengujian adalah k - 2, dan dalam kasus ini k 2 = 1. Adapun kriteria uji adalah bila 2 χ χ 2 tabel, α 2 tabel, α maka populasi dalam keadaan setimbang, sebaliknya bila 2 χ > χ maka populasi tidak setimbang. Keragaman Genetik di Dalam Populasi Keragaman genetik umumnya digunakan untuk mengambarkan adanya variasi yang dijumpai dalam turunannya dan dapat diukur pada level individu, populasi dan spesies. Misal pada lokus, maka keragaman pada level individu dapat dilihat dengan adanya individu homozigot dan heterozigot. Pada level populasi, keragaman disebabkan tersekatnya individu-individu dalam populasi, sedangkan pada level spesies, keragaman disebabkan tersekatnya populasipopulasi dari satu spesies. Keragaman ditunjukan dengan adanya polimorfism pada lokus. Proporsi heterozigotitas dan derajat polimorfism pada level individu, populasi, dan spesies merupakan dua parameter yang dapat digunakan untuk menjelaskan adanya keragaman genetik. Keragaman mengandung dua pengertian

63 yaitu menyangkut kelimpahan (kekayaan) dan menyangkut bagaimana variasi tersebut tersebar (kejadian). Dalam pengertian kekayaan berkaitan dengan banyaknya lokus polimorfik yang muncul atau banyaknya alel pada suatu lokus. Sendangkan dalam pengertian kejadian berkaitan dengan jumlah rata-rata alel pada suatu lokus dalam suatu populasi atau spesies, dan digunakan untuk mengakses keragaman. Keragaman alelik adalah keragaman genetik yang diukur atau diduga dari keragaman aleliknya, yaitu banyaknya alel per lokus dan banyaknya lokus polimorfik. Adapun parameter yang dapat dihitung adalah: Jumlah Rata-rata Alel per Lokus, A. Jumlah rata-rata alel per lokus adalah porporsi jumlah total alel pada semua lokus terhadap jumlah lokus monomorfik dan polimorfik, sebagai berikut: jumlah total alel pada semua lokus A = jumlah lokus monomorfik dan polimorfik Persentase Lokus Polimorfik, P. Persentase lokus polimorfik adalah proporsi jumlah lokus polimorfik terhadap jumlah lokus monomorfik dan polimorfik, sebagai berikut: jumlah lokus polimorfik P = jumlah lokus monomorfik dan polimorfik Jumlah Rata-rata Alel per Lokus Polimorfik, AP. Jumlah rata-rata alel per lokus polimorfik adalah proporsi dari jumlah total alel pada semua lokus terhadap jumlah lokus polimorfik, sebagai berikut: jumlah total alel pada semua lokus AP = jumlah lokus polimorfik Rata-rata Heterozigot Observasi, H o. Rata-rata heterozigot observasi adalah rata-rata proporsi dari genotipe heterozigot aktual untuk masing-masing lokus pada semua populasi, sebagai berikut: dimana H O = k i= 1 N Aa N k N Aa = banyaknya genotipe heterozigot; N = total semua genotipe; dan k = banyaknya populasi 41

64 42 Rata-rata Heterozigot Harapan, H E. Rata-rata heterozigot harapan adalah rata-rata proporsi dari genotipe heterozigot harapan untuk masing-masing lokus untuk semua populasi, sebagai berikut: H E = k i= 1 2 p q Nei s Gene Diversity Statistics. Total gene diversity, H T adalah keragaman gen total yang didefinisikan sebagai: H T k k = 1 p dimana p adalah frekuensi rata-rata alel i sampai alel k dari semua populasi yang diamati. Keragaman Genetik Antar Populasi Jarak Genetik dan Kesamaan Genetik. Jarak genetik digunakan untuk menghitung sejauh mana perbedaan secara genetik antara dua populasi. Ukuran jarak genetik berkisar antara 0-1. Nilai 0 dicapai jika struktur genetik dua populasi sama. Sebaliknya nilai jarak genetik 1 dicapai jika kedua populasi tidak membagi tipe genetik yang sama. Jarak genetik diformulasikan sebagai berikut J = i= 1 i 1 HT Sedangkan kesamaan genetik dari dua populasi X dan Y adalah: I j = Keragaman Genotipik, D G. Keragaman genotipik (Genotypic diversity) atau Simpson s index sering digunakan sebagai suatu ukuran keragaman, dan mempunyai nilai maksimum mendekati 1 dan minimum 0, bila kedua sample indentik, formulanya adalah D G J XY J J X Y i 2 i ni( nj 1) = 1 N( N 1) dimana n i adalah banyaknya individu dari genotipe i dalam suatu populasi berukuran N.

65 Shannon s Index Diversity. Nilai keragaman lainnya sama seperti Simpson s index yaitu Shannon s index bernilai dari 0 sampai tak terhingga, tergantung dari banyaknya lokus yang diamati. H = piln( pi) Diferensiasi Genetik. Diferensiasi genetik atau disebut juga koefisien diferensiasi genetik merupakan parameter gen diversity yang menghitung sejauh mana suatu populasi berbeda dengan populasi lainya. Nilainya berupa Nei s G ST, Wright s F-statistics Nei s G ST. Total gene diversity (H T ) dapat dipecah terutama untuk menentukan proporsi gene diversity dari suatu spesies yang muncul di dalam populasi (H S ) dan antar populasi (D ST ), sebagai berikut: HT = DST + HS dimana H S adalah rata-rata heterozigositas harapan dalam setiap populasi, dihitung sebagai berikut: 2 HS = 1 p dimana p adalah rata-rata frekuensi dari alel ke-i pada lokus ke-k dalam setiap populasi dan nilainya dirata dari semua populasi. Indek diversity H T, H S, dan D ST dapat digunakan untuk mengukur diferensiasi genetik (G ST ) atau disebut juga koefisien gen diferensiasi merupakan parameter gen diversity yang menghitung sejauh mana suatu populasi berbeda dengan populasi lainya, sebagai berikut: DST GST = H Nilai G ST berkisar antara 0 dan 1. Nilai G ST = 0, terjadi bila H T = H S, yang berarti frekuensi allel untuk keseluruhan populasi adalah sama. Sebaliknya bila G ST = 1, berarti H S = 0 yang berarti tidak ada variasi di dalam populasi Wright s F-statistics. Menggunakan nilai-nilai dari H T, H S, dan parameter baru turunannya, rata-rata heterozigot observasi per individu, H I, maka struktur genetik populasi dapat dianalisis menggunakan F-statistics. Wright mengambarkan H T, H S sebagai total heterozigot harapan dari total populasi dan rata-rata heterozigositas harapan di dalam populasi (asumsi populasi seimbang i= K i= 1 T 43

66 44 Hardy-Weinberg). Definisi H T dan H S berbeda walaupun keduanya punya sinonim dan punya dasar matematika yang sama (Lowe et al., 2004). F ST equivalent dengan G ST walaupun F ST dikembangkan untuk lokus yang dialel dan untuk kasus multialelik digunakan pendekatan dari G ST. Berdasarkan keragaman dari tipe level yaitu individu, populasi dan total populasi maka pendekatan Wright s dibedakan untuk 3 level struktur populasi yaitu: Koefisien Inbreeding, F IS mengambarkan perbedaan heterozygositas pengamatan dari heterozigositas harapannya di dalam populasi panmixia: F IS HS H = H Index Fiksasi, F ST menggambarkan penurunan heterozigositas di dalam populasi relatif terhadap total populasi yang dikaitkan dengan seleksi dan penghanyutan (drift). F ST S HT H = H Koefisien Inbreeding Keseluruhan, F IT mengambarkan penurunan heterozigositas dalam individu relatif terhadap total populasi yang kawin tidak acak di dalam populasi (F IS ) dan population subdivision (F ST ). Relasi dari ketiga F-statistik tersebut adalah 1 F = (1 F )(1 F ) IT IS ST AMOVA (Analysis of Molecular Variance). Asumsi yang mendasari analisis ini seperti lokus saling bebas tidak terpaut, tidak ada variasi yang disebabkan migrasi dan penghanyutan genetik. Dasar perhitungan AMOVA adalah jarak genetik (jenis perhitungan dapat dipilih dari tipe-tipe data yang digunakan), analisis ini dapat menghitung keragaman di dalam dan antar group populasi. Level singnifikansi dari AMOVA dihitung dengan metode nonparametrik permutasi data yang diset dengan 1000 permutasi (Excoffier, 1992). T I S

67 45 Hasil Berikut ini disajikan contoh genotiping salah satu lokus mikrosatelit yaitu AC01 (Gambar 5.1) dimana pada gambar tersebut terdiri atas lima alel dimana sebagai contoh genotipe homozigot pada Gambar tersebut adalah line 01, 03 sampai 05 dengan genotipe 33 dan yang heterozigot misal line 02, 06, dan 07 dengan genotipe 23. Sedangkan genotipe lainnya dapat dilihat pada Gambar 5.1. Gambar 5.1. Contoh profil pola pita lokus AC01 pada tanaman jati Tabel 5.1 memperlihatkan hasil pengukuran terhadap parameter variabilitas genetik populasi jati asal Sulawesi Tenggara menggunakan 10 lokus mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 46 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.03 dengan kisaran alel mulai dari tiga (AG04, AGT10 dan CPIMS) sampai enam alel (AG16 dan AAG10). Tingkat polimorfisme tertinggi pada lokus AG16 (0.767), rata-rata untuk semua lokus adalah Sedangkan informasi untuk masing-masing populasi jati asal Buton (Sampolawa) dan asal Muna (Dolok dan Warangga) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.1.

68 46 Tabel 5.1. Jumlah alel dan tingkat polimorfisme 10 lokus mikrosatelit pada tanaman jati asal Sulawesi Tenggara Lokus Sampolawa Dolok Warangga Alel PIC Alel PIC Alel PIC AG AG AGT AC AC AG ATC AC AAG CPIMS Rata-rata Keterangan: PIC = Polymorphic information content Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa frekuensi alel untuk alel dari lokus yang sama pada setiap populasi sangat bervariasi, sebagai contoh lokus AG04 pada populasi Sampolawa dan Dolok hanya memiliki tiga alel, sedangkan populasi Warangga memiliki empat alel dengan alel ke 4 memiliki frekuensi di atas 5%. Pada semua lokus yang diamati ditemukan alel jarang yaitu AG04, AG16, dan AAG10. Tabel 5.2 juga memperlihkan dalam frekuensi kecil adanya privat alel untuk Sampolawa (S) pada lokus AAG10 alel 7 dengan frekuensi alel 0.13; untuk populasi Dolok privat alel pada lokus ATC02 dengan frekuensi alel sebesat 0.009; untuk populasi Warangga dengan privat alel pada lokus AG04 dengan frekuensi

69 47 Tabel 5.2. Frekuensi alel 10 lokus mikrosatelit pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara Lokus Alel Sampolawa Dolok Warangga AG AG AGT AC AC AG ATC AC AAG CPIMS

70 48 Keragaman genetik yang ditunjukan oleh nilai heterosigositas aktual dan harapan (H a dan H e ) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata heteozigositas aktual (H a ) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (H e ) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg. Tabel 5.3. Keragaman genetik jati berdasarkan nilai heterosigositas dan nilai F IS Lokus Sampolawa, S Dolok, T Warangga, W H a H e F IS H a H e F IS H a H e F IS AG AG AGT AC AC AG ATC AC AAG CPIMS Rataan Keterangan : Heterozigositas aktual, H a ; heterozigositas harapan pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, H e ; dan indeks fisasi di dalam populasi, F IS. Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi F IS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif, sedangkan nilai negatif terdapat pada lokasi Sampolawa (Tabel 5.3) Tabel 5.4. Nilai F-statistik populasi jati asal Sulawesi Tenggara Lokus F IT F ST F IS AG AG AGT AC AC AG ATC AC AAG CPIMS Rata-rata Keterangan : Indeks fiksasi total, F IT ; indek antar populasi, F ST ; dan indeks fisasi di dalam populasi, F IS

71 49 Tabel 5.4 mempelihatkan nilai rata-rata indeks fiksasi F ST (indek fiksasi antar populasi), F IS (indek fiksasi dalam populasi) dan F IT (indek fiksasi total populasi) jati asal Sulawesi Tenggara semua bernilai positif. Keragaman genetik di dalam populasi dan antar populasi menggunakan analisis AMOVA (Analysis of Molecular Variance) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan keragaman secara statistik antar group, antar populasi dalam group dan antar individu dalam populasi namun demikian persentase keragaman tertinggi terdapat antar individu dalam populasi sebesar 86.35% dengan indeks fiksasi sebesar Sedangkan diferensiasi genetik antar populasi dan antar group (Muna dan Buton) hanya terjadi keragaman genetik berturut-turut sekitar 5% dan 9%. Tabel 5.5. AMOVA populasi jati asal Sulawesi Tenggara berdasarkan 10 lokus mikrosatelit Sumber db Jumlah Komponen Persentase P Keragaman Kuadrat Ragam Ragam Antar group < 0.01 Antar populasi dalam group < 0.01 Dalam populasi < 0.01 Total Jarak genetik Nei yang dihitung dari frekuensi alel untuk 10 lokus mikrosatelit, menunjukan bahwa populasi Dolok dan Warangga mempunyai jarak genetik yang sangat dekat sehingga mengelompok menjadi satu cluster dengan jarak sebesar Perbedaan genetik antara kluster jati dari Buton (Sampolawa) dan Muna (Dolok dan Warangga) sebesar (lihat Gambar 5.2).

72 50 Sampolawa Dolok Warangga Nei's Distance Gambar 5.2. Dendrogram jarak genetik antar populasi jati berdasarkan jarak genetik Nei Pembahasan Struktur populasi genetik berupa frekuensi alel ke 10 lokus mikrosatelit untuk populasi asal jati asal Sampolawa, Dolok dan Warangga (Tabel 5.2) memperlihatkan bahwa semua lokus mikrosatelit yang digunakan bersifat polimorfisme. Frekuensi alel untuk alel dari lokus yang sama pada setiap populasi ternyata tidak sama, dengan demikian ketiga populasi jati tersebut akan mempunyai struktur genotipe yang berbeda pula, dimana penyebaran frekuensi dari genotipe-genotipe yang terdapat dalam satu populasi akan berbeda untuk ketiga populasi tersebut. Pada semua lokus yang diamati ditemukan alel jarang (rare alleles) yaitu alel yang memiliki proporsi kurang dari 1% (AG04, AG16, dan AAG10). Keberadaan alel jarang dan privat alel dapat sangat bermanfaat bagi deteksi tingkat aliran gen antar populasi jenis-jenis pohon tropis yang terpisah sampai beberapa kilometer (Barton dan Slatkin, 1986). Keragaman genetik dapat pula ditunjukan dari nilai heterosigositas aktual dan harapan (H a dan H e ). Pada Tabel 5.3 terlihat bahwa nilai rata-rata heteozigositas aktual (H a ) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (H e ) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, hal ini berarti pada setiap populasi cenderung terjadi defisit heterozigositas, sehingga stuktur genotipe akan mengarah pada peningkatan homozigositas. Keragaman genetik dari nilai H e berkisar 0.507

73 51 sampai memberikan nilai yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kertadikara dan Prat (1995) pada provenan jati dari Indonesia, India, Thailand dan Afrika menggunakan marka isoenzim sebesar Perbedaan nilai ini disebabkan perbedaan marka genetik yang digunakan, mikrosatelit pada penelitian ini memberikan polimorfisme yang tinggi (0.44 sampai0.58) dengan satu lokus terdiri atas banyak alel bisa sampai tujuh alel, sedangkan pada isoenzim seperti yang dilakukian oleh Dewi (2003) hanya mempunyai dua alel. Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi, nilai rata-rata F IS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif hal ini berarti terjadi defisit heterozigositas, nilai negatif ditemukan pada lokus CPIMS, AGT10, dan AC44 hal ini berarti pada lokus tersebut ditemukan kelimpahan heterozigot. Nilai F IS yang positif disebabkan terjadinya silang dalam atau anggota populasi yang berkawin tidak beragam dari sisi genotipenya. Nilai F IS diperoleh untuk populasi Dolok dan Warangga sekitar 8% namun pada Sampolawa terjadi kelimpahan heterozigositas (Tabel 5.4), nilainya hampir sama dengan yang diteliti pada jenis pohon tropis mencapai 10.9%. Namun nilai tersebut masih berada dalam kisaran sedang sampai tinggi bila dibandingkan dengan keragaman jenis pohon yang penyerbukannya dibantu oleh hewan (zoochorous) sebesar 5% (Loveless, 1992 dalam Finkeldey, 2005). Nilai rata-rata indeks fiksasi F ST (indek fiksasi antar populasi), F IS (indek fiksasi dalam populasi) dan F IT (indek fiksasi total populasi) jati asal Sulawesi Tenggara semua bernilai positif yang memberi informasi terjadi defisit heterozigositas. Defisit heterozigositas dalam suatu populasi dapat terjadi karena adanya hambatan aliran gen dalam keseluruhan populasi dan meningkatnya hubungan kekerabatan antar individu pohon yang bertetangga (Gregorius dan Namkoong, 1983 dalam Kertadikara dan Prat, 1995). Secara genetik dengan meningkatnya homozigositas dalam jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya deperesi inbreeding yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jati secara ekonomis.

74 Secara genetik dengan meningkatnya homozigositas dalam jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya deperesi inbreeding yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jati secara ekonomis. Terdapat keragaman genetik di antara individu dalam populasi, antar populasi dan antar group yang dianalisis menggunakan AMOVA (Analysis of Molecular Variance). Keragaman genetik yang tinggi terjadi di antara individu dalam populasi sekitar 86%, sedangkan sisanya adalah keragaman antara populasi dalam group dan keragaman dalam group sekitar 5% dan 9%. Keragaman genetik ini dapat terjadi karena terjadinya aliran informasi genetik yang tinggi karena terjadi perkawinan silang di antara tanaman, keragaman antar populasi di dalam group masih dianggap kecil bila dindingkan hasil yang diperoleh dari hasil penelitian jati menggunakan isoenzim (Dewi, 2003) dapat mencapai 13%. Populasi Dolok dan Warangga berada dalam satu kluster sedangkan Sampolawa terpisah hal ini dapat dimengerti karena Sampolawa secara geografis dipisahkan oleh lautan, sedangkan Dolok dan Warangga merupakan lokasi yang berjarak kurang lebih 45 km namun merupakan suatu area yang kontinu, kemungkinan aliran informasi genetik masih terjadi Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: Semua lokus bersifat polimorfisme, dengan rata-rata alel per lokus sebesar 4.03 serta tingkat polimorfisme Keragaman genetik individu dalam populasi menghasilkan nilai yang tinggi untuk populasi Dolok (H e =0.804) dan keragaman antar populasi diperoleh nilai F ST =11% dan terjadi fenomena defisit heterozigot. Keragaman dalam populasi lebih tinggi dari keragaman antar populasi. Jarak genetik populasi jati Muna (Dolok dan Warangga) sebesar dan perbedaan jarak genetik antara jati Muna dengan Buton (Sampolawa) sebesar Daftar Pustaka Barton NH, Slatkin, A quasi-equilibrium theory of the distribution of rare alleles in a subdivided population. Heredity 56:

75 Dewi SP Pendugaan keragaman genetik serta sistem perkawinan (mating system) di kebun benih klon jati (Tectona grandis Linn.f.). Thesis Program Pascasarjana IPB Excoffier L, Smouse PE, Quattro J.M Analysis of molecular variance inferred from metric distances among DNA haplotypes: application to human mitochondrial DNA restriction data. Genetics 131: Finkeldey R Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Gao L, Schaal BA, Zhang C, Jia J, Dong Y Assessment of population genetic structure in commond wild rice Oryza rufipogon Griff, using microsatellite and allozyme markers. Theor Appl Genet 106: Goran JAKN, Laurent V, Risterucci AM, Lanaud C The genetic structure of cocoa populations (Theobroma cacao L.) revealed by RFLP analysis. Euphytica 115: Kertadikara AWS, Prat D Genetic structure and mating system in teak (Tectona grandis) provenances. Silvae Genetica 44, 2-3: Lowe A, Harris S, Ashton P Ecological genetics: design,analysis, and application. Blackwell Publishing. UK. Nei M, Li WH Mathematical modes for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 76:

76 6. ANALISIS ALIRAN INFORMASI GENETIK VIA SERBUK SARI DAN PENYEBARAN BENIH TANAMAN JATI ASAL SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT (Gene flow via pollen and seed dispersal analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract Parentage analysis of three teak populations from Southeast Sulawesi, successfully detected candidate male parent 30% for Sampolawa, 81% for Dolok, and 87% for Warangga. Analysis parentage on juvenile tree successfully detected 76% pairs candidate male and female parents. The gene flow through pollen dispersal showed that pollens spread out to all directions by the distance average of m and furthermost more than 80 m. Whereas, the genetic migration through seed dispersal showed that juvenile tree from their expected parents occurred by the distance average of m and the furthermost m. Keywords: Tectona grandis, gene flow, microsatellite, pollen, seed dispersal Abstrak Analisis tetua yang dilakukan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga. Analisis untuk mendeteksi pasangan tetua pada tanaman juvenil di lapang berhasil mendeteksi sebanyak 76%. Analisis lebih lanjut menunjukkan aliran informasi genetik via serbuk sari penyerbukannya terjadi dari segala arah dibantu oleh serangga. Penyerbukan yang terjadi terutama dari sumber serbuk sari dari tetangga terdekat (30%). Rata-rata sumber serbuk sari dapat menyerbuki m dan terjauh lebih dari 80 m. Sedangkan tansportasi via penyebaran benih (tanaman juvenil) diperkirakan dibantu oleh angin dan kemudian oleh air dengan jarak migrasi dari pohon induk benih rata-rata m dan terjauh dapat mencapat m Kata kunci: Tectona grandis, aliran gen, mikrosatelit, serbuk sari, penyebaran benih

77 55 Pendahuluan Aliran gen (gene flow) adalah proses transportasi informasi genetik melalui transportasi serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan transportasi melalui benih (migration). Aliran gen lewat serbuk sari berhubungan erat dengan proses perkawinan tanaman, dimana serbuk sari yang bergerak bila sampai ke kepala putik akan terjadi peristiwa pembuahan. Untuk tanaman menyerbuk sendiri (autogami), pergerakan serbuk sari dapat sangat minimal misal untuk tanaman cleistogami (serbuk sari berasal dari bunga yang sama, fertilisasi terjadi saat bunga mekar), dan beberapa meter untuk geitonogami (serbuk sari berasal dari bunga yang berbeda pada tanaman yang sama),. Sedangkan untuk tanaman menyerbuk silang, pergerakan serbuk sari dapat beberapa meter bahkan beberapa kilometer, pembuahan terjadi bila serbuk sari dari satu tanaman sampai ke kepala putik yang receptive (siap dibuahi) dari tanaman lain dari jenis yang sama (xenogami). Pergerakan gamet jantan (serbuk sari) memerlukan vektor berupa angin (anemophily) atau hewan (zoophily) Aliran informasi genetik melalui benih dapat juga disebut proses migrasi, dan tidak mempengaruhi secara langsung terhadap sistem perkawinan, namun penyebaran benih ini penting untuk pembentukan populasi sekitar. Vektor penyebaran benih pohon terdiri atas vektor abiotik seperti oleh angin (anemochory), air (hydrochory), berat (barochory) dan vektor biotik yaitu dibantu oleh hewan (zoochory) yang meliputi endozoochorous (setelah melalui pencernaan) atau exozoochorous (tanpa melalui pencernaan). Efisiensi aliran gen baik itu melalui sebuk sari atau benih sangat penting bila dikaitkan dengan ukuran populasi yang berproduksi secara efektif, terutama menyangkut pola spatial variasi genetik. Aliran gen yang rendah dan tidak efisien dapat menghasilkan diferensiasi genetik antar sub-populasi dan dapat menyebabkan terbentuknya struktur famili. Sedangkan aliran gen yang tinggi dan efisien dapat berguna untuk menghindari terjadinya silang dalam yang kuat yang mungkin sangat merugikan dilihat dari sisi pemuliaan. Aliran informasi genetik dapat dipelajari dengan mengamati pergerakan serbuk sari secara fisik dari tingkah laku serangga menggunakan pewarna

78 56 fluoresence kemudian penyebaran fluoresence tersebut dianalisa, namun metode ini sangat sulit dilakukan karena transportasi serbuk sari pada pohon terjadi sebagian besar di kanopi atau bagian atas tajuk sehingga tidak dapat dilihat secara langsung. Metode lain yaitu menggunakan penanda genetik seperti, gen lokus isoenzim dan penanda gen mikrosatelit yang sangat berguna untuk menduga pergerakan serbuk sari yang efektif secara genetik di antara tanaman. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari aliran gen menggunakan penanda genetik isozim seperti pada populasi tanaman Hopea odorata (Ihara et al., 1986 dalam Finkeldey, 2005), Pinus merkusii (Siregar dan Hattemer, 2000); sedangkan Dawson et al. (1997) menggunakan penanda gen mikrosatelit untuk mengetahui aliran gen melalui serbuk sari pada pohon neotropis Gliricidia sepium, pada populasi tanaman Eugenia dysentrica (Zucchi et al., 2003) dan Eterpe edulis (Gaiotto et al., 2003). Aliran informasi lewat penyebaran benih telah dipelajari pula seperti pada tanaman Jacaranda copaia (Jones et al., 2005). Namun demikian penelitian aliran gen pada populasi tanaman jati masih belum banyak dilakukan terutama menggunakan penanda genetik mikrosatelit. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem aliran informasi genetik melalui serbuk sari dan benih pada tiga buah populasi tanaman jati di Sulawesi Tenggara. Bahan dan Metode Material Populasi dan Ekstrasi DNA Tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan atau gangguan terhadap tegakan jati tersebut akibat adanya aktivitas manusia. Untuk itu dipilih tiga lokasi populasi tegakan jati di Sulawesi Tenggara dengan berbagai level gangguan yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan satu populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa). Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah (famili half-sib) yang berasal dari pohon induk benih yang kemudian dikecambahkan (lihat Lampiran 11). Selain itu juga dikoleksi secara sensus tanaman jati yang dapat diidentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari bagi pohon induk benih pada areal 4 6 ha atau tanaman dewasa.

79 57 Tabel 6.1. Koleksi progeni famili half-sib jati dari pohon induk benih serta semua tanaman jati yang diindentifikasi berpotensi sebagai sumber serbuk sari pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit Asal Populasi Jumlah Tanaman Dolok, Muna Pohon sebagai sumber serbuk sari 105 Pohon induk benih 17 Bibit yang ditanam di rumah kaca 62 Tanaman juvenil dari lapang 25 Warangga, Muna Pohon sebagai sumber serbuk sari 111 Pohon induk benih 13 Bibit yang ditanam di rumah kaca 132 Sampolawa, Buton Pohon sebagai sumber serbuk sari 99 Pohon induk benih 19 Bibit yang ditanam di rumah kaca 119 Total 702 tanaman Keterangan : Bibit yang ditanam dirumah kaca merupakan famili half-sib dari pohon induk benih yang ditanam secara terpisah DNA total diisolasi dari daun kecambah, daun muda progeni half-sib dari pohon induk benih berserta induknya dan semua daun muda dari tanaman jati sekitar yang berpotensi sebagai sumber serbuk sari hasil sensus (Tabel 6.1). Untuk semua lokasi pengambilan sampel maka dilakukan pemetaan posisi relatif (spatial) setiap individu (Lampiran 1, 2 dan 3). Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan procedure CTAB selengkapnya disajikan pada Bab 3 dan Lampiran 8. Analisis Marka Mikrosatelit Amplifikasi product PCR menggunakan 10 primer mikrosatelit (Tabel 3.2) menggunakan profil PCR (Lampiran 8), sedangkan visualisasi dilakukan menggunakan prosedur elektroforesis polyacrylamide (Lampiran 9). Analisis Data Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menduga gene flow, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung diduga berdasarkan pada distribusi keragaman genetik di antara populasi. Secara tidak

80 58 langsung gene flow diduga berdasarkan hasil pengamatan dari perpindahan serbuk sari dan benih. Pendugaan secara tidak langsung diduga dari nilai F ST untuk menghitung banyaknya imigran efektif per generasi (N e m) sebagai berikut (Hamrick dan Nason (2000): 1 F Nm e = 4F dimana N e adalah banyaknya individu-individu efektif dalam populasi dan m adalah laju imigrasi. Pengukuran gene flow secara langsung dapat diduga dari perbedaan frekuensi alel antara tetua dan generasi biji. Jika m adalah laju migrasi gene flow ke dalam populasi (misal proporsi alel-alel yang berimigrasi), dan (1-m) adalah proporsi alel-alel yang tidak berimigrasi, q t adalah frekuensi alel pada generasi ke-t, dan q adalah rata-rata frekuensi alel dari populasi yang mengelilingi populasi penerima (populasi donor). Hubungan antara gene flow dengan perubahan frekuensi adalah sebagai berikut: qt = qt 1(1 m) + qm nilai qt, qt 1, dan q dapat diduga secara langsung dari pengamatan, nilai-nilai tersebut dapat digunakan untuk menduga m, sebagai berikut: q = ST ST q t 1 t m q t 1 q Analisis hubungan tetua dengan turunannya dilakukan menggunakan program komputer CERVUS 2.0 (Marshall, 2001). Hasil Berikut ini disajikan salah satu genotiping lokus AG16 (Gambar 6.1), memperlihatkan lokus tersebut terdiri atas enam alel dimana sebagai contoh genotipe homozigot pada Gambar tersebut adalah line 47 sampai 51 dengan genotipe 22 dan yang heterozigot misal line 52 sampai 54 dengan genotipe 26, sedangkan genotipe lainnya dapat dilihat pada Gambar 6.1.

81 59 Gambar 6.1. Contoh profil pola pita lokus AG16 pada tanaman jati Dari analisis tetua yang dilakukan berhasil mendeteksi kandidat tetua sebagai sumber serbuk sari pada progeni sebanyak 30% untuk Sampolawa, 81% untuk Dolok dan 87% untuk Warangga (Lampiran 4 sampai Lampiran 6). Sedangkan analisis terhadap tanaman semai untuk mendeteksi kedua tetua berhasil mendeteksi sebanyak 76% (Lampiran 7). Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah (Gambar 6.2). Rata-rata jarak sumber serbuk sari terhadap pohon induk benih berjarak m dengan range m untuk Sampolawa dan m (Warangga). Sedangkan banyaknya sumber serbuk sari benih terdekat (0-10 m) kurang dari 10% dan (10-20 m) antara 13-26% dan sumber serbuk sari yang terjauh dapat mencapai di atas 80 m terjadi pada populasi Warangga (Gambar 6.3). Gambar 6.2. Perpindahan informasi genetik (gene flow) via serbuk sari

82 Persentase jumlah sumber polen < >100 Jarak tetua jantan ke tetua betina (m) Persentase jumlah sumber polen < >100 Jarak tetua jantan ke tetua betina (m) Persentase jumlah sumber polen < >100 Jarak tetua jantan ke tetua betina (m) Gambar 6.3. Jarak dan sumber serbuk sari untuk lokasi Sampolawa (atas), Dolok (tengah) dan Warangga (bawah)

83 61 Aliran informasi genetik via penyebaran benih menunjukan benih penyebarannya dibantu oleh angin (anemochory), tanaman juvenil yang terbentuk berada cukup jauh dari kedua tetuanya rata-rata m sampai m (jarak terdekat 7.17 m dan jarak terjauh m). Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Dari hasil penelitian memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya m (jarak terdekat 7.05 m dan terjauh sampai m), sedangkan jarak kedua kandidat tetuanya antara 0 60 m (Gambar 6.3 dan 6.4). Gambar 6.4. Perpindahan informasi genetik melalui benih Persentase tanaman juvenil tumbuh di dekat tetuannya dengan jarak 0-20 m sebesar 31%, namun persentase jarak tetua yang berhasil menjadi tanaman juvenil dilapang dengan persentase mencapai terjadi pada jarak m (Gambar 6.5).

84 Persentase banyaknya seedling < >100 Jarak antara seedling ke tetua Pesentase banyaknya seedling < >100 Jarak antara seedling ke tetua Persentase banyaknya seedling < >100 Jarak antara tetua 1 dengan tetua 2 Gambar 6.5. Analisis tetua (parentage analysis) via benih untuk populasi Dolok

85 63 Pembahasan Analisis tetua pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tetua sebagai sumber serbuk sari untuk analisis gene flow via serbuk sari dan pasangan tetua untuk migrasi via benih, sehingga proses transportasi informasi genetik dapat dipelajari. Persentase progeni yang berhasil dideteksi memperoleh sumber serbuk sari dari kandidat tetua menurun dengan meningkatnya jumlah tanaman per hektar di lapangan (kerapatan populasi). Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah, hal ini menunjukan transportasi serbuk sari dibantu oleh vektor serangga (zoophily). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Finkeldey (2005) menyatakan bahwa bunga jati banyak didatangi oleh serangga, keculi kumbang dan kemungkinan lalat adalah penyerbuk utamanya. Hasil penelitian terhadap sistem perkawinan menunjukan bahwa jata merupakan tanaman yang menyerbuk silang dengan persentase di atas 95% (Bab 7) Kebanyakan serbuk sari diangkut ke pohon tetangga saja mencapai 30% yaitu pada jarak 0-20 m, hasil ini sejalan dengan penelitian sistem perkawinan (Bab 7) yang menyatakan terjadinya biparental inbreeding yang disebabkan perkawinan dari tetangga terdekat. Sedangkan hasil penelitian Finkeldey menggunakan lokus gen isoenzim hanya mencapai 20% saja. Hasil penelitian menunjukan pula semakin rapat populasi maka persentase serbuk sari dibawa ke tetangga terdekat semakin besar pula, namun secara rata-rata m dan jarak terjauh mencapai di atas 80 m, namun dengan persentase yang relatif kecil. Kecilnya persentase transportasi serbuk sari yang menyebar jauh dibawa oleh polinator sampai ratusan meter namun demikian mungkin viabilitas serbuk sari tersebut sudah hilang. Kosekuensi genetik aliran informasi melalui serbuk sari lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh. Karena tidak efisiennya transportasi via benih maka biasanya akan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara

86 64 genetik. Sedangkan jarak yang jauh dari serbuk sari dapat menghindari terjadinya silang dalam. Proses perpindahan informasi genetik melalui benih lebih cenderung dikatagorikan sebagai suatu migrasi genetik. Proses ini sangat penting dalam proses pembentukan populasi jati sekitarnya. Finkeldey (2005) menyebutkan dilihat dari bentuk dan bobot buah, jati tidak mempunyai penyesuaian khusus untuk menjamin penyebaran benihnya, diduga buah yang masak diangkut oleh angin beberapa meter ketika mulai jatuh, tidak satupun hewan yang diketahui menyebarkan benih jati. Dari hasil penelitian ini (Gambar 6.4 dan 6.5) memperlihatkan tanaman juvenil berada cukup jauh dari kedua tetuanya m. Jauhnya jarak tanaman juvenil dari kandidat tetuanya diduga oleh angin dimana biji akan jatuh dan terbawa angin beberapa meter dari pohon induknya, kemudian tumbuh menjadi tanaman juvenil atau terbawa aliran air hujan sehingga jaraknya semakin jauh dari pohon induknya sehingga tanaman juvenil yang tumbuh akan berada jauh dari kandidat parentnya sampai puluhan meter (Gambar.6.4). Informasi jarak kedua kandidat parent pada studi seed dispersal sebenarnya menunjukan jarak pergerakan informasi genetik melalui serbuk sari, dengan demikian jarak pergerakan serbuk sari baik pada studi pollen dispersal atau seed dispersal memberi hasil yang relatif sama, yaitu 0 60 m. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: Serbuk sari menyebar ke segala arah yang mengindikasikan bahwa penyerbukan dibantu oleh vektor serangga. Penyerbukan dapat terjadi sampai sejauh 80 m, namun penyerbukan sebagian besar terjadi dengan rata-rata m. Tanaman juvenil (penyebaran via benih) diidetifikasi jauh dari kedua kandidat tetuanya m dan terjauh mencapai m.

87 65 Daftar Pustaka Dawson I.K, Waugh R, Simons A.J, Powell W Simple sequence repeats provide a direct estimate of pollen-mediated gene dispersal in the tropical tree Gliricidia sepium. Molecular Ecology 6: Finkeldey, R Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Gaiotto FA, Grattapaglia D, Vencovsky R Genetic Structure, Mating System, and Long-Distance Gene Flow in Heart of Palm (Euterpe edulis Mart.). Journal of Heredity 94(5): Hamrick JL, Nason JD Gene flow in forest tree. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia. Jones FA, Chen J, Weng GJ, Hubbell SP A Genetic Evaluation of Seed Dispersal in the Neotropical Tree Jacaranda copaia (Bignoniaceae). The American Naturalist 166(5): Marshall TC Cervus Ver University of Edinburgh, UK. Siregar IZ, Hattemer HH Gene flow and mating system in a seedling seed orchard and natural stand of Pinus merkusii Jungh. et de Vriese in Indonesia. Part 3: Genetic resources, reproduction, management Zucchi MI et al Genetic structure and gene flow in Eugenia dysenterica DC in the Brazilian Cerrado utilizing SSR markers. Genetics and Molecular Biology, 26, 4,

88 7. ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT 1 (Mating system analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract In this work, investigated the mating system of three populations of teak from Southeast Sulawesi which indicated human disturbance level, using genetic data from 10 microsatellite loci. Progeny half-sib was carried out from 13 to 19 potential female parents. The mating system parameters were estimated using the mixed mating model, implemented by the software MLTR. The singlelocus outcrossing rate (t s ) varied among loci and populations, but multilocus outcrossing rates (t m ) were equal to one for Sampolawa and Warangga populations and so it is with biparental inbreeding (t m -t s ) was different from zero for Sampolawa and Warangga populations. Biparental inbreeding occured for Dolok population and parental inbreeding for Sampolawa population. Keywords: Tectona grandis, mating system, microsattelite Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sistem perkawinan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia, menggunakan data genetik 10 lokus mikrosatelit. Progeni half-sib diperoleh dari 13 sampai 19 tanaman dari setiap populasi sebagai pohon induk benih (potensial female parents). Parameter sistem perkawinan diduga di bawah model perkawinan percampuran, menggunakan software MLTR. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal (t s ) bervariasi di antara lokus dan populasi, tetapi derajat penyerbukan silang multilokus (t m ) secara statistik sama dengan satu untuk populasi Sampolawa dan Warangga demikian pula dengan koefisien biparental inbreeding (t m -t s ) sama dengan nol untuk populasi Sampolawa dan Warangga. Terjadi biparental inbreeding pada populasi Dolok dan parental inbreeding (f) pada Sampolawa. Hal ini menunjukan bahwa walaupun derajat penyerbukan silang besar namun pada lokasi Dolok dan Sampolawa terjadi proses silang dalam. Kata kunci: Tectona grandis, sistem perkawinan, mikrosatelit 1 Bagian disertasi ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah Kehutanan RIMBA Kalimantan edisi pertama volume 11 bulan Juli 2007 dengan judul yang sama

89 67 Pendahuluan Sistem perkawinan (mating system) pada suatu tanaman merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam menentukan variasi serta distribusi genetik di dalam dan antar populasi suatu spesies tanaman (Hamrick et al., 1979; Boshier, 2000). Sistem perkawinan dipengaruhi oleh (1) ukuran dan kerapatan populasi, (2) tingkah laku polinator, (3) pola fenologi bunga dan waktu pembungaan, (4) struktur genetik dari populasi, dan (4) adanya sistem self-incompatibility pada tanaman (Ribeiro dan Lovato, 2004). Struktur genotipe dari satu populasi terutama ditentukan oleh sistem perkawinan, dengan demikian analisis untuk menduga parameter-parameter sistem perkawinan dari suatu analisis struktur genotipe perlu dilakukan seperti pendugaan derajat penyerbukan sendiri (selfing rate) dan lawannya derajat penyerbukan silang (outcrossing rate) serta besarnya silang dalam (inbreeding). Parameter-parameter tersebut sangat penting untuk diketahui terutama dalam menyusun program pemuliaan serta konservasi yang akan dilakukan. Struktur genotipik keturunan yang berasal dari penyerbukan sendiri hanya mempunyai alel-alel dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan berbeda dari pohon induknya, dalam hal ini pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil penyerbukan silang membawa alel-alel yang ada pada populasi. Jati memiliki bunga hermaprodit dimana penyerbukannya dibantu oleh serangga. Jati merupakan jenis yang melakukan penyerbukan silang dengan tingkat self incompatibility yang tinggi %, juga indikasi adanya self inviability seperti yang terjadi pada jenis lain dari famili Verbenaceae, yaitu Gmelina arborea yang diduga karena tingginya tingkat selfing (Bolstad dan Bawa, 1982). Konsekuensi genetik yang terjadi adalah terbentuknya buah inbred yang memiliki daya kecambah rendah. Pada pohon yang melakukan penyerbukan silang, buah inbreed juga terbentuk karena aktivitas polinator yang hanya berkeliaran pada satu pohon saja (Hedegart, 1973).

90 68 Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem perkawinan pada populasi tanaman jati dengan berbagai level kerusakan populasi akibat aktivitas manusia menggunakan data genetik dari 10 lokus mikrosatelit. Bahan dan Metode Material Tanaman dan Isolasi DNA Material tanaman diperoleh dari tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia. yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan satu populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa). Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah (progeni famili half-sib) yang berasal dari potensial induk benih (potential female parent) yang kemudian dikecambahkan (Lampiran 7) untuk diisolasi DNAnya. Tabel 7.1. Progeni famili half-sib jati dari pohon induk benih yang dikoleksi pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit Asal Populasi Kode Jumlah Tanaman Dolok, Muna pohon induk benih MT 17 total progeni FT 62 Warangga, Muna poohon induk benih MW 13 total progeni FW 132 Sampolawa, Buton poohon induk benih MS 19 total progeni FS 119 Total 49 famili 362 tanaman DNA total diisolasi menggunakan prosedur CTAB yang telah dikembangkan dari project ICA , diisolasi dari daun kecambah serta daun muda dari pohon induk benih yang dikoleksi (Tabel 7.1). Analisis Penanda Mikrosatelit Reaksi amplifikasi dengan mesin PCR menggunakan ng genom DNA dalam 25 µl volume yang menggandung 50 mm KCl, 20 mm Tris-HCl ph 8.8; 1.5 mm MgCl 2 ; 10 mm dntps; 0.2 µl primer (forward dan reverse) dan 1 U dari Tag polymerase.

91 69 Protokol dari PCR terdiri atas suatu periode denaturasi awal pada 96 o C selama 5 menit, diikuti oleh 30 siklus yang pada 94 o C untuk 40 detik, 52 o C selama 1 menit, 72 o C selama 1 menit, dan step selanjutnya untuk ekstension akhir pada 72 o C selama 7 menit. Fragmen hasil amplifikasi kemudian dipisahkan dalam 6% gel akrilamide yang di running dengan 1X TBE pada 2200 volt selama 2 jam dan distaining dengan silver nitrat. Analisis Data Parameter sistem perkawinan diduga dari adanya variasi genetik dari turunannya (progeny arrays) dari suatu tetua baik itu genotipe maternalnya diketahui atau tidak diketahui dapat digunakan untuk menghitung proporsi silang dalam (inbreeding) dan penyerbukan silang (outcrossing). (Ritland, 1996, Ritland, 2002; Ritland and Jain, 1981). Derajat penyerbukan silang lokus tunggal dihitung dari persen penyerbukan silang lokus ke-i pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni yang memiliki salah satu alelnya berbeda dengan maternalnya pada lokus tersebut (n ij ) terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua tersebut (N ij ). Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk lokus tunggal (t s ) adalah rata-rata dari persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut: % outcrossing N t s = = banyaknya keseluruhan tetua yang diuji n ij ij 100% N sedangkan derajat penyerbukan silang multilokus dihitung dari persen penyerbukan silang untuk multilokus pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni dengan salah satu alelnya berbeda dari maternalnya untuk keseluruhan lokus (n.j ) terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua tersebut (N.j ). Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk multilokus (t m ) adalah rata-rata dari persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut: % outcrossing N t m = = banyaknya keseluruhan tetua yang diuji n. j. j 100% Dari kedua pendugaan parameter sistem perkawinan di atas maka dapat dihitung nilai biparental inbreeding (perkawinan atar kerabat, yang disebabkan N

92 meningkatnya homozigositas) yaitu selisih antara derajat penyerbukan silang multilokus ganda dengan derajat penyerbukan silang lokus tunggal, sebagai berikut: Biparental inbreeding = t m t sedangkan koefiesien silang dalam diperoleh menggunakan transformasi, sebagai berikut: f = ( 1-t) ( 1+t ) Pendugaan parameter sistem perkawinan seperti derajat penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang serta depresi silang dalam (inbreeding depression) dalam penelitian ini dilakukan menggunakan model perkawinan campuran (mixed mating) (Brown dan Allard, 1970) dengan prosedur multilocus maximumlikelihood technique menggunakan program komputer MLTR (Multilokus Mating System Program) dari Ritland dan Jain (1981). Standard error untuk parameter dihitung dari 500 bootsraps dengan resampling (pengambilan ulang) di antara famili-famili. Sedangkan untuk membandingkan parameter di antara populasi dilakukan menggunakan uji-t students untuk menentukan apakah nilai-nilai signifikan lebih kecil dari satu (t m dan t s ) atau lebih besar dari nol (f, t m -t s, dan r p ). Asumsi yang digunakan dalam penerapan model tersebut adalah bahwa setiap benih yang dihasilkan dapat dihasilkan dari peristiwa penyerbukan sendiri (dengan peluang sebesar s) atau penyerbukan silang dimana serbuk sari terpilih secara acak berasal dari seluruh populasi (dengan peluang sebesar t=1-s). Hasil Hasil analisis sistem perkawinan populasi jati asal Sulawesi Tenggara menggunakan 10 lokus mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua (AGT10 pada populasi Sampolawa) sampai enam alel (AG16) informasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.2. s 70

93 71 Gambar 7.1. Contoh profil pola pita lokus AC28 pada tanaman jati Gambar 7.1 memperlihatkan salah satu contoh genotiping lokus mikrosatelit yaitu AC28, dimana lokus tersebut teridentifikasi tiga alel, dengan demikian contoh genotipe individu homozigot yaitu yang memiliki alel yang sama seperti individu pada line dengan genotipe 33, dan untuk yang heterozigot akan memiliki pasangan alel yang berbeda misal pada line dengan genotipe 23 demikian seterusnya. Sedangkan line 37 adalah Ladder. Semua progeni memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari tetua betina mengikuti pola pewarisan Mendelian. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal (t s ) bervariasi di antara lokus dan populasi (Tabel 7.2). Pada populasi Sampolawa, lokus AG16 dan ATC02 memperlihatkan nilai t s yang kecil tetapi koefisien parental inbreeding (f) positif hanya pada lokus AGT10 dan sama dengan nol untuk lokus AC44, AC01, AG14, dan AC28. Nilai positif mengindikasikan homozigot lebih banyak ketimbang struktur populasi Hardy-Weinberg, proses inbreeding diindikasikan bila f bernilai positif. Hasil pengujian untuk progeni pada populasi Dolok memperlihatkan nilai t s yang kecil untuk lokus AG04 dan f sama dengan nol untuk semua lokus kecuali lokus AC44, AC28, AAG10, dan CPIMS. Untuk populasi Warangga mempunyai nilai t s yang relatif besar untuk semua lokus dan f positif hanya untuk lokus CPIMS dan sama dengan nol hanya untuk lokus AG16, AGT10, AG14, dan CPIMS.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) 2. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jati (Tectona grandis Linn.f.) Klasifikasi Jati Jati (Tectona grandis Linn. f.) adalah salah satu anggota famili Verbenaceae, Ordo Tubiflorae. Ada empat spesies yang tergolong

Lebih terperinci

KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT DIRVAMENA BOER

KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT DIRVAMENA BOER KERAGAMAN DAN STRUKTUR GENETIK POPULASI JATI SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT DIRVAMENA BOER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

Abstract. Abstract. Tectona grandis, mating system, microsattelite. Tectona grandis, sistem perkawinan, mikrosatelit

Abstract. Abstract. Tectona grandis, mating system, microsattelite. Tectona grandis, sistem perkawinan, mikrosatelit 7. ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA MIKROSATELIT 1 (Mating system analysis of teak from Southeast Sulawesi by using microsatellite markers) Abstract In this work,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vi Daftar Isi... viii Daftar Tabel... x Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Varietas unggul padi telah tersebar di seluruh dunia untuk dijadikan bibit yang digunakan oleh para petani. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan lebih dari

Lebih terperinci

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 10. Hasil ekstraksi DNA daun

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 10. Hasil ekstraksi DNA daun HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dilakukan untuk mengisolasi DNA yaitu dengan cara fisik (penggerusan) dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN Darda Efendi, Ph.D Nurul Khumaida, Ph.D Sintho W. Ardie, Ph.D Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2013 Marka = tanda Marka (marka biologi) adalah sesuatu/penanda

Lebih terperinci

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS

IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS IMPLIKASI GENETIK SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) PADA JENIS Shorea johorensis Foxw DI PT. SARI BUMI KUSUMA BERDASARKAN RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) TEDI YUNANTO E14201027

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) MUHAMMAD IQBAL SYUKRI DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Bagian pertama dari siklus tersebut merupakan tahap pertumbuhan vegetatif

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al.

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al. 4 II. TELAAH PUSTAKA Jabon (Neolamarckia sp.) merupakan tanaman yang tumbuh di daerah beriklim muson tropika seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Jabon juga ditemukan tumbuh di Sri Lanka,

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan para. pemangku kepentingan bahwa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK)

BAB 1. PENDAHULUAN. kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan para. pemangku kepentingan bahwa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sistem sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Gramineae dan genus Oryza (Grist, 1959). Padi dapat tumbuh pada berbagai lokasi dan iklim yang berbeda.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman buah-buahan tropika. Pepaya merupakan tanaman asli Amerika Tengah, tetapi kini telah menyebar ke seluruh dunia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian tersebar ke daerah Mancuria, Korea, Jepang, Rusia,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD)

STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, ordo Solanes, famili Solanaceae, dan genus Capsicum. Tanaman ini berasal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea leprosula Miq. DI INDONESIA MENGGUNAKAN PENANDA PCR-RFLP RURI SITI RESMISARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK INTRA DAN INTERPOPULASI KELAPA SAWIT

KERAGAMAN GENETIK INTRA DAN INTERPOPULASI KELAPA SAWIT KERAGAMAN GENETIK INTRA DAN INTERPOPULASI KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PISIFERA ASAL NIGERIA BERDASARKAN ANALISIS MARKA Simple Sequence Repeats (SSR) ZULHERMANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mentimun Papasan Tanaman mentimun papasan (Coccinia gandis) merupakan salah satu angggota Cucurbitaceae yang diduga berasal dari Asia dan Afrika. Tanaman mentimun papasan memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi singkat Mindi (Melia azedarach Linn.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi singkat Mindi (Melia azedarach Linn.) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi singkat Mindi (Melia azedarach Linn.) 2.1.1 Morfologi Mindi Pohon mindi atau geringging (Melia azedarach Linn.) merupakan jenis cepat tumbuh yang menyukai cahaya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kamboja (Plumeria sp.)

II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kamboja (Plumeria sp.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kamboja (Plumeria sp.) Tanaman kamboja (Plumeria sp.) merupakan salah satu contoh dari famili Apocynaceae. Kamboja diketahui merupakan tumbuhan yang berasal dari Amerika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Nama : Rohmat Diyono D151070051 Pembimbing : Cece Sumantri Achmad Farajallah Tanggal Lulus : 2009 Judul : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk kedalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies yang termasuk kedalam genus Capsicum, termasuk diantaranya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang

Lebih terperinci

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 5 Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi 1. Tanaman menyerbuk sendiri 2. Dasar genetik Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam Uraian Materi Variasi Genetik Terdapat variasi di antara individu-individu di dalam suatu populasi. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan genetis. Mutasi dapat meningkatkan frekuensi alel pada individu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia kedelai

Lebih terperinci

SKRIPSI. ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

SKRIPSI. ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) SKRIPSI ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Oleh: Ade Rosidin 10982008445 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Jagung Manis Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Secara umum kerabat durian (Durio spp.) merupakan tanaman buah yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Jangkauan pasarnya sangat luas dan beragam mulai dari pasar

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD Herdiyana Fitriani Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mangga merupakan salah satu buah tropis unggulan. Luas panen dan

BAB I PENDAHULUAN. Mangga merupakan salah satu buah tropis unggulan. Luas panen dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangga merupakan salah satu buah tropis unggulan. Luas panen dan produksi mangga Indonesia menempati posisi kedua setelah pisang. Pada tahun 2005, volume ekspor mangga

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega biodiversitas karena memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega biodiversitas karena memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara mega biodiversitas karena memiliki kawasan hutan tropika basah dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian

II. TINJAUAN PUSTAKA. terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terung Ungu 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Terung Ungu Terung merupakan tanaman asli daerah tropis yang diduga berasal dari Asia, terutama India dan Birma. Terung dapat tumbuh dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani tanaman. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput rumputan dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani tanaman. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput rumputan dengan TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput rumputan dengan spesies Zea mays L. Jagung merupakan tanaman semusim, sama seperti jenis rumput-rumputan yang lain, akar tanaman

Lebih terperinci

Definisi Genetika. Genetika Sebelum Mendel. GENETIKA DASAR Pendahuluan dan Genetika Mendel

Definisi Genetika. Genetika Sebelum Mendel. GENETIKA DASAR Pendahuluan dan Genetika Mendel Definisi Genetika GENETIKA DASAR Pendahuluan dan Genetika Mendel Oleh: Dr. Ir. Dirvamena Boer, M.Sc.Agr. HP: 081 385 065 359 e-mail: dirvamenaboer@yahoo.com Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari

Lebih terperinci

TEKNIK PERSILANGAN BUATAN

TEKNIK PERSILANGAN BUATAN MODUL II TEKNIK PERSILANGAN BUATAN 2.1 Latar Belakang Keragaman genetik merupakan potensi awal di dalam perbaikan sifat. Salah satu upaya untuk memperluas keragaman genetik ialah melalui persilangan buatan

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati (Tectona grandis L.f) Menurut Sumarna (2002), klasifikasi tanaman jati digolongkan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae

Lebih terperinci

ILG Nurtjahjaningsih. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 13/10/2012. KBSUK F2: sub-line A,C;B,D

ILG Nurtjahjaningsih. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan 13/10/2012. KBSUK F2: sub-line A,C;B,D ILG Nurtjahjaningsih Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Prioritas HTI untuk pulp/kertas Konversi uji keturunan menjadi kebun benih Melibatkan dua provenan: QLD & PNG KBSUK

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret ISOLASI DNA DENGAN METODE DOYLE AND DOYLE DAN ANALISIS RAPD PADA SAWO SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis dan diketahui memiliki level biodiversitas tinggi. Tingginya level biodiversitas tersebut ditunjukkan dengan tingginya keanekaragaman

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

DESKRIPSI VARIETAS BARU

DESKRIPSI VARIETAS BARU PERMOHONAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DESKRIPSI VARIETAS BARU Kepada Yth.: Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Kantor Pusat Deprtemen Pertanian, Gd. E, Lt. 3 Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Cyprinid salah satu yang populer diantaranya adalah ikan mas atau common carp (Cyprinus carpio) merupakan ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan cukup

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Menurut Trustinah (1993) sistematika (taksonomi) kacang tanah diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom Divisi Sub-divisi Class Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 1 Bahan tanaman : (a) Tetua IR64; (b) tetua Hawarabunar, dan (c) F 1 (IRxHawarabunar) c a b

METODOLOGI. Gambar 1 Bahan tanaman : (a) Tetua IR64; (b) tetua Hawarabunar, dan (c) F 1 (IRxHawarabunar) c a b METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dua tahap yaitu penanaman padi dan analisis fisiologi dan marka molekuler. Penanaman padi secara gogo pada tanah masam dilakukan di rumah kaca Cikabayan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) merupakan salah satu tanaman sayuran yang umbinya menjadi menu pokok pada hampir semua jenis masakan dengan fungsi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG DAFTAR ISI ABSTRAK... Error! ABSTRACT... Error! KATA PENGANTAR... Error! DAFTAR ISI... i DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... Error! BAB I PENDAHULUAN... Error! 1.1 Latar Belakang... Error! 1.2 Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Spesies Azadirachta indica memiliki nama lokal mimba atau nimbi. Tanaman mimba dapat beradaptasi di daerah tropis. Di Indonesia, tanaman mimba dapat tumbuh dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang

Lebih terperinci

FORMULIR DESKRIPSI VARIETAS BARU

FORMULIR DESKRIPSI VARIETAS BARU FORMULIR DESKRIPSI VARIETAS BARU Kepada Yth.: Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Gd. E, Lt. 3 Jl. Harsono RM No. 3, Ragunan, Jakarta

Lebih terperinci

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Oleh: TIM PENGAMPU Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Tujuan Perkuliahan 1. Mahasiswa mengetahui macam-macam teknik dasar yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Lokasi Penelitian. B. Perancangan Penelitian. C. Teknik Penentuan Sampel. D. Jenis dan Sumber Data

III. METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Lokasi Penelitian. B. Perancangan Penelitian. C. Teknik Penentuan Sampel. D. Jenis dan Sumber Data 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 s/d Januari 2016. Lokasi penelitian berada di Desa Giriharjo, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dilakukan dari April Juli 2007 bertepatan dengan akhir musim hujan, yang merupakan salah satu puncak masa pembungaan (Hasnam, 2006c), sehingga waktu penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

RAGAM ALEL KELAPA PUDAK, PADMA, BLULUK DAN BUNGA DI KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM, BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT

RAGAM ALEL KELAPA PUDAK, PADMA, BLULUK DAN BUNGA DI KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM, BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT RAGAM ALEL KELAPA PUDAK, PADMA, BLULUK DAN BUNGA DI KECAMATAN MANGGIS, KARANGASEM, BALI BERDASARKAN PENANDA DNA MIKROSATELIT Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat Sarjana S-1

Lebih terperinci