2 TINJAUAN PUSTAKA. (1) Dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), didefinisikan:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA. (1) Dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), didefinisikan:"

Transkripsi

1 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi By-catch diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti hasil tangkap sampingan (HTS). Beberapa orang peneliti dan penulis di dalam tulisannya menggunakan definisi yang berbeda-beda terhadap by-catch. Dalam tesis ini penulis menggunakan definisi by-catch, discards dan insidental catch mengacu pada FAO Fisheries Technical Paper 339, (1996) dan untuk lebih memperjelas, penulis juga mengutip dari Marine Fisheries By-catch and Discards, Published by Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002) berikut: (1) Dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), didefinisikan: 1) Target Catch adalah hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau sejumlah spesies yang merupakan sasaran tangkapan utama kegiatan penangkapan ikan. 2) Incidental Catch adalah tangkapan sampingan yang dimanfaatkan 3) Discarded Catch adalah tangkapan sampingan yang dikembalikan ke laut karena pertimbangan ekonomi, peraturan, atau pertimbangan pribadi. 4) By-catch, adalah discarded catch ditambah incidental catch. (2) Dalam Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002), didefinisikan: 1) By-catch, adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama. Termasuk di dalamnya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap, meskipun tidak terangkat dari dalam laut. Hasil tangkapan sampingan yang terangkat ke atas kapal terdiri dari ikan-ikan yang disimpan atau dapat dimanfaatkan atau laku dijual dan ikan-ikan yang dibuang (discarded). Hasil tangkapan sampingan dapat terdiri dari satu jenis atau beberapa jenis spesies yang berukuran kecil atau yang berukuran besar tapi bukan merupakan target tangkapan, maupun binatang atau organisme lainnya seperti burung laut, kura-kura, mamalia laut dan lain-lain. 2) Discards, adalah bagian dari hasil tangkapan yang tidak diinginkan karena berbagai alasan dan tidak dimanfaatkan, kemudian dibuang (disebut Buangan ) kembali ke laut baik dalam keadaan hidup atau

2 7 mati. Buangan ini tidak termasuk bagian dari sisa hasil pengolahan terhadap hasil tangkapan yang dibuang ke laut, misalnya kepala ikan yang dipotong sebelum dimasukkan ke dalam kamar pendingin. 2.2 Dampak Negatif Hasil Tangkapan Sampingan Alverson et al. (1994) menjelaskan, hampir semua kegiatan perikanan tangkap menghasilkan tangkapan sampingan. Beberapa jenis alat tangkap khususnya pukat udang (shrimp trawl), memberikan kontribusi hasil tangkapan sampingan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya. Kondisi ini dikarenakan shrimp trawl menggunakan mata jaring di bagian kantong (cod-end) yang relatif kecil sehingga banyak jenis-jenis organisme laut lainnya ikut tertangkap termasuk ikan-ikan juvenil. Organisme-organisme lainnya dan ikanikan juvenil tersebut tidak termasuk kedalam tujuan penangkapan utama (nontargeted species). Marine Work Group and Friend of the Irish Environment, Ireland (2002), memberikan penjelasan, untuk mengantisipasi permasalahan hasil tangkapan sampingan dan buangan, beberapa negara telah menerapkan aturan penggunaan ukuran mata jaring (mesh size) yang lebih besar, dan berbagai jenis alat pemisah atau penyaring hasil tangkapan sampingan yang dipasang dibagian kantong jaring trawl. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi hasil tangkapan sampingan sebagaimana yang telah dianjurkan dalam kode tindak perikanan bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries), butir 8.4 dan 8.5, yaitu meminimalkan buangan (discards) dan memaksimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan. Dijelaskan di dalam FAO Fisheries Technical Paper 339 (1996), pengaruh atau dampak negatif hasil tangkapan sampingan dan buangan bukan hanya terhadap komunitas dan habitat benthic serta dampak biologi dan ekologi, tetapi juga dampak ekonomi yang pada gilirannya dapat mengimbas pada permasalahan sosial. Dampak negatif dari hasil tangkapan sampingan adalah sebagai berikut : (1) Dampak Terhadap Komunitas dan Habitat Benthic. Hasil tangkapan sampingan dan buangan dapat mendorong perubahan struktur komunitas dasar laut (benthic). Terlepas apakah perubahan habitat tersebut disebabkan oleh alat tangkap pukat udang dasar (bottom shrimp trawl net), hasil tangkapan sampingan dan buangan mendorong terjadinya kematian.

3 8 Ketika spesies benthic yang bukan target tangkapan terangkat ke atas permukaan lalu dibuang kembali, sering sekali buangan tersebut dimakan oleh spesies predator yang ada di kolom dan dasar laut. Akibatnya struktur komunitas benthic menjadi berubah, komposisi struktur komunitas tersebut lebih banyak diisi oleh spesies predator, dan pemakan bangkai juga akan berdatangan. (2) Dampak Terhadap Biologi dan Ekologi. Hasil tangkapan sampingan dan buangan juga memberikan kontribusi terhadap kondisi over fishing dan ketidak seimbangan ekosistem laut. Pengaruh biologi dan ekologi yang disebabkan oleh buangan bervariasi pada masing-masing spesies dan sangat tergantung terhadap jumlah hasil tangkapan sampingan, tingkat buangan yang mati dan yang hidup serta sifat-sifat populasi spesies tersebut. (3) Dampak Terhadap Ekonomi. Hasil tangkapan sampingan dan buangan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi. Ikan-ikan yang dibuang oleh kapal pukat udang adalah bukan merupakan target utama, tetapi ikan buangan tersebut adalah ikan bernilai ekonomis bagi nelayan lainnya, akibatnya mengurangi dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi nelayan lain untuk memanfaatkan ikan yang bagi mereka bernilai ekonomis. Bagi pengusaha pukat udang sesungguhnya juga terjadi tambahan biaya dan waktu untuk penyortiran. Disamping itu kerugian ekonomi juga ditanggung oleh pemerintah karena harus mengeluarkan sejumlah dana untuk pengelolaan termasuk pengawasan hasil tangkapan sampingan dan buangan. 2.3 Alat Tangkap Pukat Udang Jaring trawl adalah alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring, berbentuk seperti kantong atau kerucut. Alat tangkap ini terdiri atas dua lembar sayap (wing) yang dihubungkan dengan tali penarik (warp), badan (body) dan kantong (cod-end). Jaring ditarik secara horisontal di dalam air sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan. Hal ini dilakukan agar ikan maupun udang yang menjadi tujuan penangkapan dapat tertangkap kemudian terkumpul di dalam kantong (Ayodhyoa, 1981). Untuk membuka mulut jaring secara vertikal maupun secara horisontal digunakan otter board dan pelampung dibagian atas mulut jaring. Otter trawl diperkenalkan sejak tahun 1870 di Irlandia, nelayan

4 9 Inggris telah memakai alat tangkap ini di perairan Sungai Themmes (Nomura dan Yamazaki, 1977). Diniah (2001) menjelaskan, alat penangkap udang yang paling efektif saat ini masih diakui adalah trawl. Trawl dasar menurut Nedelec and Prado (1990) didefinisikan sebagai sebuah jaring yang mempunyai bentuk kerucut (coneshaped net), terdiri dari sayap (wing) yang membentuk mulut atau bukaan (opening) melebar ke depan, badan (body) yang berbentuk kerucut di tengah dan kantong (cod-end) yang tetutup di bagian belakang, ditarik dengan kecepatan dan selama waktu tertentu di sepanjang dasar perairan. Mulut jaring terbuka melebar (horizontal) oleh papan pembuka-siwakan (otter-boards) yang diikatkan pada sayap, sedangkan mulut jaring terbuka tegak (vertical) oleh pelampung yang diikatkan pada tali pelampung (float rope) di bagian atas dan pemberat pada tali pemberat (ground rope) di bagian bawah. Karena konstruksi dan cara penangkapannya, trawl merupakan alat tangkap yang tidak selektif, dimana saat jaring dioperasikan akan menelan semua benda yang dilewatinya. Pukat udang merupakan modifikasi dari trawl yang menurut Subani dan Barus (1988) didefinisikan sebagai alat penangkap ikan, udang dan biota lainnya yang terbuat dari jaring kantong besar, melebar, mulut jaring yang terbuka pada kedua sayap jaring yang terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya, meruncing pada akhir jaring dan menuntun hasil tangkapan ke bagian kantong. Di antara badan jaring dan kantong (cod-end) terdapat by-catch excluder device (BED) yang digunakan untuk menyaring ikan-ikan masuk ke dalam kantong. Sumber: Sainsburry (1986) Gambar 1. Bagian bagian pukat udang

5 10 Pukat udang pada prinsipnya terdiri dari jaring, tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope), pelampung dan pemberat, otter board, tali penarik (warp), bridle line dan BED (lihat Gambar 1). (1) Jaring, jaring pukat udang terbagi menjadi badan jaring (square, baitting dan belly), sayap (wing) dan kantong (cod-end). Ukuran mata jaring dari masing-masing bagian tersebut tidak sama. Mata jaring terkecil terdapat pada kantong dan terbesar pada bagian sayap. Badan Jaring adalah bagian tengah jaring, bagian badan jaring terbagi atas square, baiting dan belly. Square adalah bagian depan dari sisi atas badan pukat udang yang membuat mulut di sebelah atas lebih menjorok ke depan. Belly dan baiting adalah bagian tengah badan jaring dimana belly terletak di bawah sedangkan baitting di atas. 1) Sayap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kanan dan kiri. Masingmasing bagian tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu atas dan bawah. Pada bagian atas dan bawah tersebut terdapat tali ris atas dan tali ris bawah. Pada tali ris atas dipasang pelampung (float) agar sayap bagian atas terangkat pada saat jaring dioperasikan. Ujung tali ris atas dan bawah dihubungkan dengan otter board. Ujung sayap bagian atas belakang dihubungkan dengan square, sedangkan ujung sayap belakang bawah dihubungkan dengan belly. 2) Kantong adalah bagian paling belakang jaring. Kantong merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan. Kantong ini memiliki ukuran mata jaring kecil dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan tidak terlepas kembali dan juga agar lebih kuat menahan tekanan yang besar sehingga tidak mudah rusak. (2) Tali ris atas (head rope) dan ris bawah (ground rope), yang dimaksud dengan tali ris atas adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri sampai ujung sayap kanan, dengan melalui bossom sebagai bagian yang terletak di antara kedua sayap tersebut. Pada ris atas ditempatkan pelampung yang daya apungnya lebih besar dari pada bagian yang lain. Tali ris bawah adalah tali yang dipasang dari ujung sayap kiri hingga ujung sayap kanan. Tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas sehingga pada waktu jaring dioperasikan tetap tali ris bawah agak ke belakang. Pada tali ris bawah ditempatkan pemberat (sinker).

6 11 (3) Pelampung dan pemberat, fungsi dari pelampung dan pemberat ini adalah untuk membantu terbukanya mulut jaring secara vertikal. Pelampung menarik atau mengangkat tali ris atas sedangkan pemberat menarik jaring agar turun ke dasar perairan sesuai yang diinginkan. Pelampung biasanya terbuat dari logam, kaca tebal, plastik, kayu dan gabus. (4) Otter board, otter board berfungsi untuk membuka mulut jaring secara horizontal. Bentuk otter board bermacam-macam dan banyak yang digunakan adalah tipe rectanguler. (5) Tali penarik (warp), tali ini merupakan tali yang digunakan untuk menarik jaring yang menghubungkan otter board bagian depan winch di kapal. Tali penarik ini biasanya terbuat dari serat-serat baja yang berbentuk cabled yarn. Adapun maksud menggunakan tali dari baja adalah untuk menahan tegangan yang besar pada saat penarikan jaring sehingga tidak mudah terputus. (6) Bridle line, merupakan tali yang menghubungkan otter board dengan jaring. Dengan adanya bridle line ini mulut jaring akan terbuka lebar. Selain itu juga, bridle line berfungsi sebagai penggiring ikan atau udang. (7) AIat pereduksi ikan, alat pereduksi ikan (API) merupakan alat yang wajib dipasang pada pukat udang. API biasa disebut juga BED yang awalnya ditujukan untuk meloloskan penyu yang tertangkap trawl, sehinga disebut turtel excluder devices (TED). Alat ini ditemukan dan dikembangkan oleh NMFS-NOOA-USA sekitar tahun 1980-an. Sejak ditemukannya, alat ini telah mengalami perubahan konstruksi secara terus menerus, hingga saat ini yang direkomendasikan adalah BED type super shooter yang mempunyai konstruksi lebih simpel dan mempunyai performansi lebih baik didalam mereduksi hasil tangkapan sampingan dibanding yang diperkenalkan sebelumnya. Gambar 2. (a) menyajikan gambar TED dan (b) BED yang saat ini banyak di pasang pada jaring pukat udang.

7 12 (a) (b) Sumber: NOAA Library Centre (2004). Gambar 2. (a) Turtle excluder device, (b) By-catch excluder device. (b) (a) (c) Sumber: NOAA Library Centre (2004) Gambar 3. Pukat udang sedang hauling, hasil tangkapan sampingan yang dihasilkan dan proses pemisahan 2.4 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Nikijuluw (2002) mengemukakan bahwa, sumberdaya perikanan harus dikelola atau ditata karena sumberdaya itu sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Apapun cara atau pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya jika pemanfaatan itu dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya akan mengalami tekanan secara ekologi, bahkan dapat

8 13 menyebabkan kerusakan permanen. Oleh sebab itu pengelolaan atau dalam terminologi yang lebih umum disebut dengan manajemen sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan perikanan dapat tercapai. Dilanjutkan oleh Nikijuluw (2002), setiap negara menetapkan tujuan dan prioritas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung pada latar belakang ekonomi, sosial budaya, teknologi dan tidak jarang karena politik. Indonesia menempatkan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam visi Mewujudkan usaha perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 7, merekomendasikan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan diarahkan untuk menjadi solusi permasalahan-permasalahan sebagai berikut: (1) kelebihan kapasitas penangkapan ikan, (2) ketidak-seimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya, (3) kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan turunnya keanekaragaman hayati, serta (4) kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, sampah dan buangan ikan-ikan yang tidak ekonomis padahal penting nilai biologinya. CCRF juga menyarankan agar setiap negara mempromosikan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan menjamin pendekatan dan kebijakan setiap negara didukung hukum dan undang-undang yang secara baik didesiminasikan kepada masyarakat. 2.5 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Pukat Udang Slavin (1981) menjelaskan, pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan struktur kegiatan perikanan tangkap setempat serta kemampuan industri pengolahan ikan dalam menciptakan dan mengembangkan produk perikanan yang sesuai dengan permintaan pasar. Menurut Alverson et al. (1994), jumlah hasil tangkapan sampingan dan perbandingan hasil tangkapan sampingan dengan target utama udang sangat tergantung pada geografi, wilayah penangkapan dan musim, untuk lebih memudahkan perhitungan digunakan perbandingan antara hasil tangkapan

9 14 sampingan dan target utama udang di daerah sub-tropis adalah 5 : 1 dan di daerah tropis adalah 10 : 1, yang terdiri dari bermacam-macam spesies maupun ukuran. Ikan-ikan besar pada umumnya banyak diminati dan harganya relatif tinggi, sedangkan ikan-ikan kecil, berduri kurang banyak diminati dan bernilai ekonomi rendah. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola ikan hasil tangkapan sampingan secara efisien dan ekonomis agar tidak terbuang siasia. Slavin (1981) dalam Report of a Technical Consultation on Shrimp Bycatch Utilization di Georgetown, Guyana, tahun 1981, menjelaskan pengelolaan hasil tangkapan sampingan di Meksiko. Di Meksiko, kapal pukat udang dilengkapi dengan fasilitas untuk pengawetan seperti fasilitas pembekuan yang mampu menjaga kondisi kesegaran ikan sampai 2 bulan, dan ada yang hanya menggunakan es ataupun refrigerator yang mampu menahan kesegaran ikan sampai 2 minggu. Perbandingan antara hasil tangkapan sampingan dan udang di Meksiko adalah 5 10 ton hasil tangkapan sampingan untuk setiap ton udang, dan setiap tahun sebanyak 700x10 3 ton ikan hasil tangkapan sampingan dihasilkan dari pengoperasian pukat udang. Jumlah ini setara dengan setengah dari seluruh produksi perikanan tangkap Meksiko. Pemerintah Meksiko, melalui Departemen Perikanan memiliki program untuk menganjurkan dan mendorong agar ikan hasil tangkapan sampingan dibawa ke darat dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk konsumsi pangan. Pada tahun 1980, telah diawali dengan membangun suatu fasilitas pengolahan skala proyek percontohan (pilot project) dengan nama Productos Pesqueros Mexicanos (PPM) di Xochimilco yang memproduksi ikan lumat yang disebut dengan Pepepez. Spesies ikan-ikan besar dari ikan hasil tangkapan sampingan disalurkan ke pabrik pengolahan PPM yang berada di pelabuhan pendaratan utama, di wilayah Guaymas dan Campeche. Sementara itu ikan-ikan kecil belum dimanfaatkan seluruhnya dan sebagian dibuang ke laut (discarded). Ikan-ikan yang dimanfaatkan ditangani dengan berbagai cara, ada yang dibekukan langsung di atas kapal, ada yang dipaket dengan es, selanjutnya dibawa dan didaratkan bersama udang (tangkapan utama), dan ada yang didaratkan sebagai ikan segar untuk pangan.

10 15 Dikutip dari Productos Pesqueros Mexicanos (1981), pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan di Meksiko sudah menjadi industri. Jenis produkpun terus dikembangkan, selain memproduksi pepepez, khusus untuk kebutuhan pangan lokal PPM memproduksi ikan tanpa tulang (deboned fish), ikan kering dan daging ikan lumat asin (salted mince). Disamping itu juga diproduksi ikan kaleng, kue ikan dan snack ikan. Pemerintah Meksiko terus membantu dan mengembangkan pengolahan dan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan, dengan membangun fasilitas-fasilitas pengolahan serta memberikan insentif serta kemudahan kepada pengusaha dan ABK kapal pukat udang. Saisithi (1981) menjelaskan, negara Thailand telah lama memanfaatkan ikan hasil tangkapan sampingan, yaitu sejak dideklarasikannya Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (ZEE), berawal dari deklarasi tersebut operasi armada-armada perikanan Thailand di perairan negara tetangga menjadi dibatasi. Untuk tetap dapat memenuhi permintaan pasar industri pengolahan ikan, Thailand meningkatkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan dari perikanan pukat udang khususnya untuk konsumsi manusia. Kungsuwan (1996) mengemukakan bahwa, di Gulf of Thailand hasil tangkapan pukat udang dikumpulkan oleh kapal pengumpul di laut. Pengusaha penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul. Disamping mengumpulkan hasil tangkapan, kapal pengumpul juga membawa perbekalan dan es untuk diserahkan kepada kapalkapal pukat udang yang berada di laut lebih lama. Hasil tangkapan utama udang dipindahkan ke kapal pengumpul, bila masih tersedia ruang maka ikan hasil tangkapan sampingan juga dipindahkan dan dibawa ke darat untuk dipasarkan. Bostock dan Ryder (1995) menjelaskan kondisi perikanan pukat udang di pantai timur India. Sejumlah kapal pukat udang dengan berbagai ukuran beroperasi di wilayah penangkapan yang berbeda-beda di Teluk Benggala, itu berarti untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan sampingan diperlukan fasilitas preservasi di atas kapal. Ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang besar dan berkualitas dikumpulkan dan dibekukan bersama-sama tangkapan utama, sementara hasil tangkapan sampingan yang terdiri dari bermacam-macam ikan kecil umumnya dibuang ke laut, hanya diakhir waktu melaut sebagian ikan-ikan kecil dipilih dan didaratkan. Kapal pukat udang di India mayoritas dimiliki oleh badan usaha milik pemerintah. Pemasaran dan penjualan ikan hasil tangkapan

11 16 sampingan dilakukan bekerjasama dengan koperasi-koperasi dan koperasilah yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapan sampingan ke pasaran. Allsopp (1981) menerangkan, penanganan dan preservasi di atas kapal merupakan hal yang paling kritis diantara permasalahan penanganan ikan hasil tangkapan sampingan. Volume ikan hasil tangkapan sampingan, variasi spesies dan ikan-ikan bernilai ekonomi rendah merupakan kombinasi yang menyebabkan pengumpulan ikan hasil tangkapan sampingan di laut menjadi tidak menguntungkan. Selama belum ditemukan jalan keluar bagi permasalahan keekonomisan dan efesiensi operasional pukat udang maka ikan hasil tangkapan sampingan tetap tidak menarik untuk dikelola secara komersial. Allsopp (1981) melanjutkan, penelitian tentang pengelolaan hasil tangkapan sampingan secara ekonomis terus dilaksanakan, menggunakan BED untuk mengurangi jumlah hasil tangkapan sampingan yang dinaikkan ke atas kapal maupun membawa ikan hasil tangkapan sampingan ke darat dan memanfaatkannya. Bila pilihan adalah tidak mengurangi hasil tangkapan sampingan (tidak menggunakan BED), maka penyortiran hasil tangkapan sampingan dilakukan diatas kapal, selanjutnya mengolah ikan-ikan berkualitas di atas kapal atau didaratkan meggunakan kapal pengumpul ataupun didaratkan bersama-sama tangkapan utama udang. Dalam Report of Technical Consultation on Shrimp By-catch Utilization, Guyana (Allsopp, 1981), Allsopp menjelaskan tentang beberapa negara yang mengoperasikan pukat udang dan mengelola hasil tangkapan sampingan secara komersial sebagai berikut: Penangkapan udang di North Sea, pemisahan hasil tangkapan sampingan dilakukan di atas kapal menggunakan alat rotating shieve drum, ikan-ikan dipisahkan berdasarkan bentuk dan ukurannya. Dengan alat ini sangat memudahkan ABK dalam penyortiran dan penyimpanan. Di Baja California Mexico, penyortiran dilakukan oleh ABK, ruang palka dan ruang pendingin disediakan cukup luas. Cara ini tentunya memerlukan jumlah ABK lebih banyak dan biaya operasi lebih besar, tetapi paling tidak ikan hasil tangkapan sampingan yang didaratkan lebih banyak. Di Suriname dan Mozambique, hasil tangkapan sampingan dibuang ke laut, hanya pada hari-hari terakhir kegiatan penangkapan hasil tangkapan sampingan disortir dan ikan ikan bernilai ekonomis dibawa ke darat. Di Sri Langka dan Malaysia pada umumnya waktu melaut lebih singkat. Hasil tangkapan sampingan ditampung di dalam kantong-kantong jaring yang

12 17 terbuat dari bahan nylon. Kantong-kantong yang berisi ikan hasil tangkapan sampingan dikaitkan dikapal selanjutnya dibawa ke darat dan penyortiran dilakukan di darat yang selanjutnya dipasarkan di pasar tradisional ataupun untuk industri. Menurut Allsopp (1981), sesungguhnya belum ada metode yang baku ataupun desain standar untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut, karena masing-masing tempat penangkapan memiliki karakteristik dan struktur perikanan yang berbeda-beda, ada yang menggunakan alat mekanis untuk penyortiran, ada yang menyediakan volume palka dan ruang pendingin yang lebih besar dan ada yang memanfaatkan hanya sebagaian ikan hasil tangkapan sampingan, oleh sebab itu dengan mengkombinasikan contoh-contoh di atas diharapkan diperoleh metode yang paling sesuai untuk menangani hasil tangkapan sampingan di laut. 2.6 Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan Nikijuluw (2002) mengemukakan, perikanan adalah suatu kegiatan ekonomi, masalah perikanan adalah masalah manusia yang merupakan sentral kegiatan ekonomi. Oleh karena itu tujuan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan harus didasarkan pada memaksimumkan manfaat ekonomi dan sosial. Menurut Allsopp (1981) hambatan utama dalam upaya pengelolaan HTS agar dapat didaratkan dan dimanfaatkan adalah keuntungan yang tidak menjanjikan bagi pengusaha kapal dan pengusaha pengolahan. Untuk dapat mengelola ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan secara ekonomis, pengusaha penangkapan dan industri pengolahan harus dapat bekerja-sama dalam mendaratkan dan mengolah ikan hasil tangkapan sampingan menjadi produk yang laku dipasar dengan harga kompetitif, disamping itu untuk menjaga kelangsungan pasokan bahan baku, maka harga ikan hasil tangkapan sampingan harus menarik bagi pengusaha dan ABK kapal pukat udang. Tentunya tidak mudah mencapai kondisi tersebut, karena di satu sisi harga produk olahan harus murah (competitive) di sisi lainnya harga ikan hasil tangkapan sampingan harus mahal (attractive), oleh sebab itu kepedulian dan intervensi pemerintah terhadap pengelolaan hasil tangkapan sampingan sangat diperlukan seperti membuat peraturan dan pemberian subsidi atau kemudahankemudahan yang diperlukan.

13 18 Lanjut Allsopp (1981), oleh sebab itu mengelola ikan dari hasil tangkapan sampingan perlu dilakukan secara bertahap melalui proyek percontohan (pilot project). Penanganan dan preservasi di atas kapal, transportasi dari kapal ke darat, pengolahan dan preservasi di darat, studi pasar dan promosi serta pengembangan produk-produk komersial dilakukan dalam skala percontohan. Setelah sukses dengan skala percontohan, selanjutnya dapat dikembangkan menjadi skala industri. 2.7 Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel. Metode ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku atau pengambil keputusan. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dua puluh tahun yang lalu, terutama sekali membantu mengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. Saaty menjelaskan (1993), AHP banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber daya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi atau keadaan yang dimiliki pelaku dalam situasi konflik. Desain AHP pada dasarnya untuk menangkap persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang disusun untuk sampai kepada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Dengan demikian dapat dianggap sebagai model multi objektif dan multi kriteria. Untuk menggunakan alat analisis ini, suatu masalah yang rumit dan tak berstruktur perlu terlebih dahulu dipecah ke dalam berbagai komponennya. Setelah menyusun komponen-komponen ini ke dalam sebuah urutan hierarki, maka diberikan nilai dalam bentuk angka pada setiap bagian yang menunjukkan penilaian terhadap relatif pentingnya setiap bagian itu. Untuk sampai kepada hasil akhir, penilaian tersebut disintesiskan (melalui penggunaan eigen vektor) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi. Dalam penyelesaian persoalan dengan menggunakan AHP menurut Saaty (1993) terdapat tiga prinsip dasar yaitu : (1) prinsip penyusunan hierarki, (2) prinsip penentuan prioritas, dan (3) prinsip konsistensi logis.

14 19 Selanjutnya Mulyono (1996) menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan persoalan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah : (1) Decomposition (dekomposisi), merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin diuraikan lagi. Akhirnya akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun terstruktur sebagai suatu hierarki. (2) Comparative judgement (perbandingan berpasangan), melakukan perbandingan kepentingan relatif antar dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat di atasnya. (3) Synthesis of priority (sintesa dan prioritas), merupakan langkah untuk mencari vector eigen pada setiap matrik berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas lokal. Berdasarkan nilai prioritas lokal dari berbagai matrik perbandingan berpasangan itu akan dapat diperoleh nilai prioritas global. Dengan demikian prosedur menentukan sintesis berbeda menurut hierarki. (4) Logical consistency (konsistensi), mengandung dua arti, yaitu : pertama konsistensi yang menyangkut pengelompokan obyek-obyek berdasarkan keseragaman dan relevansinya. Kedua, menyangkut hubungan antar obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Jika penilaian tidak konsisten maka proses harus diulang untuk memperoleh nilai yang tepat. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty (Saaty, 1993) mulai dari bobot 1 (satu) sampai 9 (sembilan). Nilai bobot satu menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya satu, sedangkan nilai bobot sembilan menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan lainnya. Tabel 1 dibawah ini menyajikan skala banding secara berpasangan. Tabel 1. Skala banding secara berpasangan (Saaty, 1993) Intensitas Pentingnya Definisi Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang yang lainnya 5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting ketimbang elemen yang lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktik

15 20 Intensitas Pentingnya Definisi 9 Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara di antara dua pertimbanagan yang berdekatan Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat angka 1 bila dibanding aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Penjelasan Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan ter tinggi yang mungkin menguat Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan Menurut Saaty (1993) beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah : (1) AHP memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan yang tak terstruktur. (2) AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. (3) AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. (4) AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. (5) AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas. (6) AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. (7) AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. (8) AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. (9) AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda. (10) AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

16 Analisis SWOT Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threat) adalah identifikasi secara sistematik atas kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta kesempatan dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapkan suatu sektor (Rangkuti, 2000). Analisis SWOT digunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif yang paling tepat dilaksanakan pada pelaksanaan suatu kebijakan seperti kebijakan dalam pengelolaan hasil tangkapan sampingan pukat udang di Laut Arafura. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat). Berdasarkan pengaruhnya terhadap pencapaian suatu tujuan, strength dan opportunity merupakan faktor pendorong (positif) sedangkan weakness dan threat adalah faktor penghambat (negatif). Analisis SWOT diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan dan kelemahan internal sistem, serta faktor-faktor peluang dan ancaman eksternal sistem. Selanjutnya faktor-faktor tersebut dikombinasikan dalam sebuah matriks SWOT. Analisis matrik akan menghasilkan prioritas strategi berdasarkan kekuatan, kelamahan, peluang dan ancaman yang ada. Tabel 2. Matriks SWOT Eksternal Internal Strength (kekuatan) Weakness (kelemahan) Opportunity (kesempatan) Strategi SO Strategi WO Threat (ancaman) Strategi ST Strategi WT Sumber: Rangkuti (2000) Matriks SWOT dapat menghasilkan 4 kemungkinan strategi, yaitu: 1. Strategi SO (Strength- Opportunity) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada. 2. Strategi ST (Strength-Threat) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi. 3. Strategi WO (Weakness-Opportunity) yaitu berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada dengan mengatasi kelemahan yang ada 4. Strategi WT (Weakness-Threat) yaitu berusaha meminimumkan kelamahan dan menghindari ancaman yang ada

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tangkapan sampingan (bycatch) menjadi masalah ketika bycatch yang dikembalikan ke laut (discarded) tidak semuanya dalam keadaan hidup atau berpeluang baik untuk

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi pukat hela ganda udang (double rigger shrimp trawl)

Bentuk baku konstruksi pukat hela ganda udang (double rigger shrimp trawl) Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi pukat hela ganda udang (double rigger shrimp trawl) ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar Isi Daftar Isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.11/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.11/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.11/MEN/2009 TENTANG PENGGUNAAN PUKAT IKAN (FISH NET) DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 14 LANDASAN TEORI 2.1 Proses Hierarki Analitik 2.1.1 Pengenalan Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaring Arad Jaring arad (mini trawl) adalah jaring yang berbentuk kerucut yang tertutup ke arah ujung kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Bagian-bagiannya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) merupakan pelabuhan perikanan tipe B atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal perikanan yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 1) Miskin sekali: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih rendah 75% dari total pengeluaran 9 bahan pokok 2) Miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 75-125%

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok,

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok, 98 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

Lebih terperinci

PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi

PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi PEMILIHAN LOKASI PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAWA BARAT BERDASARKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Oleh : RATNA IMANIRA SOFIANI, SSi ABSTRAK Tulisan ini memaparkan tentang penerapan Analitycal

Lebih terperinci

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS Untuk memperkenalkan AHP, lihat contoh masalah keputusan berikut: Sebuah kawasan menghadapi kemungkinan urbanisasi yang mempengaruhi lingkungan. Tindakan apa yang harus dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8.1 Pendahuluan Untuk dapat memahami persoalan dalam pemanfaatan dan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam

BAB III METODOLOGI. benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam BAB III METODOLOGI Metodologi merupakan kumpulan prosedur atau metode yang digunakan untuk melakukan suatu penelitian. Menurut Mulyana (2001, p114), Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi pukat hela arad

Bentuk baku konstruksi pukat hela arad Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi pukat hela arad ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi...1

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi pukat hela ikan

Bentuk baku konstruksi pukat hela ikan Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi pukat hela ikan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi... 1 3 Simbol

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data 39 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk pembuat keputusan, pengambil keputusan,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk pembuat keputusan, pengambil keputusan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk pembuat keputusan, pengambil keputusan, penentu atas sebuah pilihan dari sejumlah pilihan. Pengambilan keputusan terjadi setiap saat

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN. Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel. Kabupaten Bogor yang mewakili kota besar, dari bulan Mei sampai November

III. METODE KAJIAN. Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel. Kabupaten Bogor yang mewakili kota besar, dari bulan Mei sampai November III. METODE KAJIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel pemerintah kabupaten/kota, secara purposif yaitu Kota Bogor yang mewakili kota kecil dan Kabupaten Bogor yang

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi pukat tarik lampara dasar

Bentuk baku konstruksi pukat tarik lampara dasar Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi pukat tarik lampara dasar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Kecil Menengah di Kota Tasikmalaya Departemen Perindustrian pada tahun 1991 mendefinisikan usaha kecil dan kerajinan sebagai kelompok perusahaan yang dimiliki penduduk

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Strategi Strategi perusahaan menggambarkan arah perusahaan secara keseluruhan mengenai sikap perusahaan secara umum terhadap arah pertumbuhan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT Multi-Attribute Decision Making (MADM) Permasalahan untuk pencarian terhadap solusi terbaik dari sejumlah alternatif dapat dilakukan dengan beberapa teknik,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

Sesi XIII AHP (Analytical Hierarchy Process)

Sesi XIII AHP (Analytical Hierarchy Process) Mata Kuliah :: Riset Operasi Kode MK : TKS 4019 Pengampu : Achfas Zacoeb Sesi XIII AHP (Analytical Hierarchy Process) e-mail : zacoeb@ub.ac.id www.zacoeb.lecture.ub.ac.id Hp. 081233978339 Pendahuluan AHP

Lebih terperinci

Ukuran Mata Jaring. Judul desain. Ukuran Utama Kapa; Gross Tonase; Nama Alat tangkap; Kode klasifikasi;

Ukuran Mata Jaring. Judul desain. Ukuran Utama Kapa; Gross Tonase; Nama Alat tangkap; Kode klasifikasi; PRAKTEK MENGGAMAR DAN MEMACA DESAIN ALAT TANGKAP IKAN 1. Petunjuk Umum Menggambar Desain Alat tangkap a. Dibuatkan kotak pembatas gambar b. Terdapat Judul, Kode alat, hasil tangkapan, Ukuran Utama kapal

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendahuluan Metode penelitian berkaitan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 19 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 70 an ketika di Warston school. Metode AHP merupakan salah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Sistem Pendukung Keputusan Sistem pendukung keputusan ( decision support systems disingkat DSS) adalah bagian dari sistem informasi berbasis computer termasuk sistem berbasis

Lebih terperinci

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara

Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 1(2): 43-49, Desember 2012 Analisis strategi pengembangan perikanan pukat cincin di Kecamatan Tuminting Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara Strategic analysis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. keripik pisang Kondang Jaya binaan koperasi BMT Al-Ikhlaas. yang terletak di

BAB IV METODE PENELITIAN. keripik pisang Kondang Jaya binaan koperasi BMT Al-Ikhlaas. yang terletak di 135 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian merupakan studi kasus yang dilakukan pada suatu usaha kecil keripik pisang Kondang Jaya binaan koperasi BMT Al-Ikhlaas. yang terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vendor Dalam arti harfiahnya, vendor adalah penjual. Namun vendor memiliki artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam industri yang menghubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

Pengenalan Metode AHP ( Analytical Hierarchy Process )

Pengenalan Metode AHP ( Analytical Hierarchy Process ) Pengenalan Metode AHP ( Analytical Hierarchy Process ) A. Pengertian AHP ( Analitycal Hierarchy Process ) AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi pukat tarik cantrang

Bentuk baku konstruksi pukat tarik cantrang Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi pukat tarik cantrang ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... I Prakata... II Pendahuluan... III 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN 47 BAB III METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan di Dapur Geulis yang merupakan salah satu restoran di Kota Bogor. Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi bauran pemasaran

Lebih terperinci

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP)

BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK. Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) BAB III TEORI HIERARKI ANALITIK 3.1 Pengertian Proses Hierarki Analitik Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas Lorie Saaty dari Wharton

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MCDM (Multiple Criteria Decision Making) Multi-Criteria Decision Making (MCDM) adalah suatu metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif

Lebih terperinci

ANALISIS DATA Metode Pembobotan AHP

ANALISIS DATA Metode Pembobotan AHP ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan konsumen dan pakar serta tinjauan langsung ke lapangan, dianalisa menggunakan metode yang berbeda-beda sesuai kebutuhan dan kepentingannya.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian mengenai strategi bauran pemasaran pertama kali peneliti akan mempelajari mengenai visi misi dan tujuan perusahaan, dimana perusahaan yang

Lebih terperinci

HASIL TANGKAPAN MINI TRAWL UDANG PADA BERBAGAI PANJANG WARP DAN LAMA TARIKAN

HASIL TANGKAPAN MINI TRAWL UDANG PADA BERBAGAI PANJANG WARP DAN LAMA TARIKAN HASIL TANGKAPAN MINI TRAWL UDANG PADA BERBAGAI PANJANG WARP DAN LAMA TARIKAN ABSTRAK Andria Ansri Utama dan Wudianto Peneliti pada Pusat Riset Perikanan Tangkap, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 20

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL

PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL PERUMUSAN STRATEGI KORPORAT PERUSAHAAN CHEMICAL Mochammad Taufiqurrochman 1) dan Buana Ma ruf 2) Manajemen Industri Program Studi Magister Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BULUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele.

BAB II LANDASAN TEORI. pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manusia dan Pengambilan Keputusan Setiap detik, setiap saat, manusia selalu dihadapkan dengan masalah pengambilan keputusan baik yang maha penting maupun yang sepele. Bagaimanapun

Lebih terperinci

Analytical hierarchy Process

Analytical hierarchy Process Analytical hierarchy Process Pengertian AHP Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. AHP menguraikan masalah multi faktor atau

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri. Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri. Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta Strategi pengembangan pada Industri Biofarmaka D.I.Yogyakarta

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi Pelabuhan Perikanan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi Pelabuhan Perikanan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan menurut UU no. 45 tahun 2009 tentang Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batasbatas tertentu

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN MENGGUNAKAN MODEL ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMBERIAN BONUS KARYAWAN

RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN MENGGUNAKAN MODEL ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMBERIAN BONUS KARYAWAN RANCANG BANGUN APLIKASI SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN MENGGUNAKAN MODEL ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK PEMBERIAN BONUS KARYAWAN Yosep Agus Pranoto Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat dan mendukung analisis penelitian adalah:

IV METODE PENELITIAN Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperkuat dan mendukung analisis penelitian adalah: IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan Teknologi (BPT) Mekanisasi Pertanian Jawa Barat yang terletak di Jalan Darmaga Timur Bojongpicung, Cihea,

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

ISSN : STMIK AMIKOM Yogyakarta, 6-8 Februari 2015

ISSN : STMIK AMIKOM Yogyakarta, 6-8 Februari 2015 SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN METODE MULTI-CRITERIA DECISION MAKING (MCDM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Faisal Piliang Sistem Informasi Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN 4.1. Objek Pengambilan Keputusan Dalam bidang manajemen operasi, fleksibilitas manufaktur telah ditetapkan sebagai sebuah prioritas daya saing utama dalam sistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

AHP (Analytical Hierarchy Process)

AHP (Analytical Hierarchy Process) AHP (Analytical Hierarchy Process) Pengertian Metode AHP dikembangkan oleh Saaty dan dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek dimana data dan informasi statistik dari masalah yang dihadapi

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN III. METODOLOGI KAJIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Kajian Penelitian Kajian dilakukan di Kabupaten Indramayu. Dasar pemikiran dipilihnya daerah ini karena Kabupaten Indramayu merupakan daerah penghasil minyak

Lebih terperinci

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP)

MATERI PRAKTIKUM. Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Praktikum 1 Analytic Hierarchy Proses (AHP) Definisi AHP (Analytic Hierarchy Process) merupakan suatu model pengambil keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty yang menguraikan masalah multifaktor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN UKURAN ALAT TANGKAP DENGAN KEKUATAN MESIN KAPAL PUKAT UDANG

STUDI PERBANDINGAN UKURAN ALAT TANGKAP DENGAN KEKUATAN MESIN KAPAL PUKAT UDANG STUDI PERBANDINGAN UKURAN ALAT TANGKAP DENGAN KEKUATAN MESIN KAPAL PUKAT UDANG STUDI PERBANDINGAN UKURAN ALAT TANGKAP DENGAN KEKUATAN MESIN KAPAL PUKAT UDANG Tohir Adhari*, Sepri Sumbung, Sudirman Politeknik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis memberikan beberapa teori dalam upaya pemecahan masalah yang kan diteliti. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsep

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

Kajian Keramahan Alat Tangkap Ikan Hias Ramah Lingkungan from Yayasan TERANGI

Kajian Keramahan Alat Tangkap Ikan Hias Ramah Lingkungan from Yayasan TERANGI Kajian Keramahan Alat Tangkap Ikan Hias Ramah Lingkungan from Yayasan TERANGI Ikan Hias Laut merupakan salah satu jenis komiditi perdagangan ikan global yang memiliki peminat serta permintaan di pasar

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

Jumlah kapal (unit) pada ukuran (GT) >100

Jumlah kapal (unit) pada ukuran (GT) >100 34 2001, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 91.881 jiwa. Luas wilayahnya adalah 26,25 km 2 dengan kepadatan penduduknya adalah 3.500,23 jiwa per km 2. PPS Belawan memiliki fasilitas pokok dermaga,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai Juli 2006. Lokasi penelitian meliputi empat wilayah kecamatan di Kabupaten Karanganyar, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Analytic Hierarchy Process (AHP) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya dikarenakan faktor ketidakpasatian atau ketidaksempurnaan informasi saja. Namun masih terdapat penyebab

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pengembangan agroindustri kelapa sawit sebagai strategi pembangunan nasional merupakan suatu keniscayaan guna memperkecil kesenjangan pembangunan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan nomos. Oikos berarti rumah tangga, nomos berarti aturan. Sehingga

Lebih terperinci

Pengertian Metode AHP

Pengertian Metode AHP Pengertian Metode AHP Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan

Lebih terperinci

Bentuk baku konstruksi jaring insang dasar monofilamen bawal putih

Bentuk baku konstruksi jaring insang dasar monofilamen bawal putih Standar Nasional Indonesia Bentuk baku konstruksi jaring insang dasar monofilamen bawal putih ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang

Lebih terperinci

PERSEPSI NELAYAN TERHADAP JARING ARA DI KABUPATEN BATANG

PERSEPSI NELAYAN TERHADAP JARING ARA DI KABUPATEN BATANG PERSEPSI NELAYAN TERHADAP JARING ARA DI KABUPATEN BATANG Sulistyowati ibusulis1@yahoo.com Dosen STIP Farming Semarang ABSTRAK Sumberdaya udang merupakan sumberdaya perikanan yang mempunyai nilai ekonomis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) ini dilaksanakan di PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat pada

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. BPK-RI Perwakilan Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 7 Juni 2006, berdasarkan Surat

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. BPK-RI Perwakilan Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 7 Juni 2006, berdasarkan Surat BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Gambaran Umum BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung BPK-RI Perwakilan Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 7 Juni 2006, berdasarkan Surat Keputusan BPK RI Nomor 23/SK/

Lebih terperinci

PENERAPAN MICOROSOFT EXCEL PADA METODE KUANTITATIF BISNIS DENGAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (PROSES ANALITIS HIERARKIS) ABSTRAK ABSTRACT

PENERAPAN MICOROSOFT EXCEL PADA METODE KUANTITATIF BISNIS DENGAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (PROSES ANALITIS HIERARKIS) ABSTRAK ABSTRACT Jurnal Penelitian Ilmu Komputer, System Embedded & Logic 1(1) : 47-54 (2013) PENERAPAN MICOROSOFT EXCEL PADA METODE KUANTITATIF BISNIS DENGAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (PROSES ANALITIS HIERARKIS) Herlawati

Lebih terperinci

MENGAPA PRODUKSI KEPITING RAJUNGAN MENURUN DAN KEBIJAKAN APA YANG PERLU DILAKUKAN MENGANTISIPASINYA. Oleh. Wayan Kantun

MENGAPA PRODUKSI KEPITING RAJUNGAN MENURUN DAN KEBIJAKAN APA YANG PERLU DILAKUKAN MENGANTISIPASINYA. Oleh. Wayan Kantun MENGAPA PRODUKSI KEPITING RAJUNGAN MENURUN DAN KEBIJAKAN APA YANG PERLU DILAKUKAN MENGANTISIPASINYA. Oleh Wayan Kantun Penurunan produksi kepiting rajungan disebabkan oleh a. Produksi di alam yang sudah

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO Teknik Penangkapan Ikan Pelagis Besar... di Kwandang, Kabupaten Gorontalo (Rahmat, E.) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Maret 2011, mulai

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Maret 2011, mulai 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Maret 2011, mulai dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan. Penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data 3 METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Menurut Riduwan (2004) penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tanaman Salak Tanaman salak memiliki nama ilmiah Salacca edulis reinw. Salak merupakan tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci