BAB II LANDASAN TEORI. melakukan kontrol (Nevid, 2005). Seorang anak mengalami enuresis bila

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. melakukan kontrol (Nevid, 2005). Seorang anak mengalami enuresis bila"

Transkripsi

1 11 BAB II LANDASAN TEORI A. Enuresis 1. Pengertian Enuresis Mengompol atau enuresis adalah kegagalan untuk mengontrol buang air kecil setelah seseorang mencapai usia normal (lima tahun) untuk mampu melakukan kontrol (Nevid, 2005). Seorang anak mengalami enuresis bila memenuhi semua ciri-ciri yang termaktub dalam DSM-IV-TR (APA, 2000) yaitu: a. Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pada pakaian (baik disengaja maupun tidak disengaja). b. Usia kronologis anak minimal lima tahun (atau berada pada tingkatan perkembangan yang setara). c. Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali selama bulan bulan atau menyebabkan perubahan yang signifikan secara klinis yang menyebabkan kesulitan dalam lingkungan sekolah, akademis (kerja) ataupun penurunan fungsi di bagian area lain yang penting. d. Gangguan ini tidak memiliki dasar organik. Mengompol pada saat tidur disebut nocturnal enuresis dan mengompol pada saat kondisi sadar atau pada saat terjaga disebut diurnal enuresis (Wenar, 2006). Neild & Kamat (dalam Sumiati, 2007) mengungkapkan bahwa kontrol kandung kemih pada malam hari terjadi relatif lebih lambat dibandingkan buang air besar pada malam hari. Selanjutkan Neild menjelaskan tidak mengompol di

2 12 siang hari dicapai terlebih dahulu sebelum tidak mengompol pada malam hari. Dengan demikian anak-anak yang mengompol memang lebih sering ditemukan pada kasus nocturnal enuresis atau mengompol di malam hari. Sejumlah penelitian ditemukan bahwa anak-anak dengan nocturnal enuresis kurang ekspresif, kurang memiliki achievement-oriented, memiliki self-image yang negatif (Sumiati, 2007). Pada penelitian ini yang difokuskan adalah mengompol pada malam hari. 2. Penyebab Enuresis Bernard-Bonnin (2000) menjelaskan bahwa penyebab dari enuresis terbagi menjadi dua yaitu fungsional dan organik. Penyebab fungsional diantaranya micturition deferral (anak tidak kencing hingga sore hari), infeksi saluran kencing ketidakmampuan menahan kencing ketika terlalu bergembira, tekanan emosional, urge syndrome (sindrom tidak dapat menahan kencing ketika dorongan muncul). Penyebab organik yang berkaitan dengan enuresis seperti kelainan pada organ. Anak yang mengalami enuresis bukan karena persoalan organ atau gangguan medis lainnya, maka Herbert (2005) mengklasifikasikan ada tiga penyebab, yaitu penyebab fisik, emosional, dan faktor toilet training yang keliru. Selain itu faktor intrapersonal serta interpersonal dalam diri anak juga akan mempengaruhi perilaku mengompolnya. Faktor-faktor psikologis dapat juga dipandang sebagai penyebab utama pada kasus disorganisasi keluarga atau adanya penolakan yang berdampak pada tidak adanya usaha untuk toilet training pada anak (Fritz dan Rockney, 2004). Beberapa penyebab enuresis lainnya yaitu (1). kelelahan fisik,

3 13 apabila anak beraktivitas berlebihan sebelum tidur, maka malam harinya ia akan tertidur lelap, sehingga bila terasa ingin buang air anak menjadi sulit untuk bangun. (2). lingkungan misalnya berada pada ruangan yang ber AC atau udara yang dingin. (3). emosi misalnya punya adik baru, pindah rumah dan lain-lain ( posted; 20 Juli 2010). Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa enuresis dapat disebabkan dari berbagai faktor, yaitu faktor fisik termasuk kelelahan, lingkungan, emosi dan latihan toilet training yang keliru. 3. Anak Enuresis Allen dan Marotz (2010) menyebutkan bahwa anak adalah individu sejak pra kelahiran hingga usia 12 tahum. Enuresis atau peristiwa anak mengompol disebut sebagai gangguan setelah usia 5 tahun atau usia yang setara berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka dalam penelitian ini yang disebut anak adalah individu yang berusia 6 12 tahun. Batasan usia ini disebut Hurlock (1980) sebagai late childhood atau anak di fase akhir masa anak-anak. Fase ini disebut juga sebagai fase usia sekolah yaitu anakanak berada pada usia sekolah. Anak-anak di usia sekolah seharusnya tidak berada dalam fase mengompol lagi. Erikson (dalam Santrock, 2003) menyebutkan bahwa anak usia 6 tahun sampai fase pubertas adalah anak yang berada pada fase masa pertengahan dan akhir. Pada fase ini ada dua dikotomi perkembangan yaitu industry versus inferiority. Pada fase ini adalah masa perluasan imajinasi dan anak sangat

4 14 antusias. Memasuki usia sekolah, anak mengarahkan energinya dan ketrampilan intelektualnya. Bahaya dalam tahap ini meliputi perasaan tidak kompeten dan tidak produktif. Anak-anak pada usia ini yang mengalami enuresis berjuang mengatasi fase ini lebih berat. Perasaan rendah diri karena enuresis dan juga karena tugas dari tahapan perkembangan yang harus dilaluinya. Herbert (2005) mengungkapkan anak-anak yang enuresis sekitar 30 persen adalah mereka yang hiperaktif, agresif dan berespon negatif terhadap disiplin, memiliki toleransi frustrasi yang rendah, dan resisten terhadap penyesuaian pada lingkungan baru. Selain itu mereka sering menjadi tidak asertif, dependen, dan berprestasi rendah. Herbert (2005) menyatakan rasa cemas seringkali berhubungan dengan mengompol di tempat tidur, anak-anak yang mengompol di tempat tidur juga cenderung menjadi anak-anak yang mudah cemas dan gugup. Anak-anak ini seringkali diejek oleh saudara-saudaranya dan mungkin juga oleh orang tuanya. Selain itu mereka cenderung mengalami masalah seperti diejek, digoda, dan mendapatkan kekerasan dari teman (bullying) di sekolah. Keluarga juga akan merasa kebingungan, frustrasi, merasa gagal dan marah. Kondisi demikian merupakan salah satu dari pencetus adanya kekerasan fisik dalam keluarga. Lebih lanjut Bernard-Bonnin (2000) menjelaskan pada kasus tertentu, enuresis memiliki kaitan dengan kejadian-kejadian yang penuh stress tertentu seperti ketakutan yang tiba-tiba, atau enuresis dapat menetap jika tekanan berkelanjutan seperti mengalami pelecehan seksual. Fatmawati dan Mariyam (2013) juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara stres dengan anak

5 15 enuresis pada anak usia prasekolah di RA Al Iman Banaran Gunung Pati Semarang. Hjalmas (2002) menemukan bahwa anak-anak enuresis lebih merasa sendiri dengan masalahnya, yang menurutnya dan teman-temannya adalah berupa rahasia yang memalukan. Thunis (2001) menemukan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998 juga menunjukkan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang rendah. Unalacak (2004) melakukan penelitian pada anak-anak usia 7-12 tahun yang tinggal di Zonguldak Turki menemukan bahwa anak-anak enuresis mengakibatkan masalah-masalah psikologis, seperti harga diri yang rendah. Ng dan Wong (2004) melakukan penelitian di Hongkong menemukan bahwa anak-anak dengan enuresis memiliki harga diri yang rendah, pencapaian sekolah yang rendah dan kesulitan memiliki teman. Dursun dkk (2014) menyebutkan bahwa enuresis mengakibatkan pengaruh psikis pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri. B. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Salah satu aspek kepribadian yang terpenting dalam kehidupan adalah harga diri atau self- esteem. Harga diri adalah dasar terbetuknya perilaku individu yang bersangkutan (Branden, 1987). Coopersmith (dalam Mruk 2006)

6 16 mendefinisikan harga diri atau self-esteem sebagai penilaian yang dibuat oleh individu terhadap dirinya dan biasanya dipertahankan dengan cara menghargai diri sendiri, memperlihatkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukan keyakinan individu tentang kemampuan, makna, keberhasilan dan nilai dari diri. Secara singkat harga diri diartikan sebagai pendapat seseorang mengenai diri atapun nilai dari yang dimiliki yang ditunjukkan melalui sikap individu terhadap dirinya sendiri. Coopersmith (dalam Mruk, 2006) juga menambah bahwa harga diri merupakan pengalaman subjektif yang ditampilkan kepada orang lain melalui verbal maupun melalui tindakan ekspresif yang nyata lainnya. Coopersmith (dalam Burns, 1993) menyebutkan harga diri mengacu pada evaluasi seseorang tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, berhasil dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari. Penilaian tersebut mencerminkan pula sikap penerimaan dan penolakan terhadap diri dan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya berharga. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Santrock (1996) yang mengungkapkan harga diri adalah evaluasi global terhadaap dirinya yaitu apakah secara keseluruhan seseorang merasa dirinya lebih baik atau buruk. Keyakinan individu akan dirinya dipengaruhi oleh penilaian (core belief) individunya yang terkait dengan cara berpikirnya (Froggrat, 2005).

7 17 Lebih lanjut Fennel (dalam Sarandria, 2012) menyebutkan bahwa esensi dari harga diri rendah ada pada keyakinan dasar atau core belief individu yang negatif secara global tentang dirinya ( me as a person ). Perasaan-perasaan inferioritas merupakan hasil dari tuntutan-tuntutan yang berlebihan (Ellis, 2007). Berdasarkan beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi seseorang tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, berhasil dan berharga yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari. Dalam hal ini esensi dari harga diri rendah ada pada keyakinan dasar individu yang negatif akan keseluruhan dirinya. 2. Aspek-aspek Harga Diri Mengacu pada Self-Esteem Inventory oleh Coopersmith yang dibuat pada tahun 1967, Pelish (2006) menyebutkan aspek-aspek harga diri pada anak-anak, sebagai berikut; a. Harga diri secara umum atau general-self: yaitu penilaian individu terhadap kemampuannya secara umum. b. Harga diri dalam lingkungan sosial yaitu penilaian kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. c. Harga diri berkaitan dengan keluarga/rumah yaitu: seberapa besar kedekatan anak dengan orangtua dan penerimaan orangtua terhadap anak.

8 18 d. Harga diri berkaitan dengan akademis/sekolah yaitu berkaitan penilaian kemampuan dalam belajar dan kepatuhan individu pada setiap kegiatan di sekolah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan harga diri berkaitan dengan penilaian individu terhadap kemampuannya secara umum, seberapa besar kedekatan anak dengan orangtua dan penerimaan orangtua terhadap anak, kemampuan dalam belajar dan kepatuhan individu pada setiap kegiatan di sekolah serta kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. 3. Karakteristik Individu dengan Harga Diri Tinggi dan Rendah Branden mengungkapkan (2001) bahwa individu yang mempunyai harga diri rendah sering menunjukkan perilaku yang kurang aktif, tidak percaya diri dan tidak mampu mengekspresikan diri. Sebaliknya individu yang mempunyai harga diri yang tinggi cenderung penuh keyakinan, mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan. 4. Perkembangan Harga Diri pada Anak Enuresis Thunis (2001) menemukan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998 juga menunjukkan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang rendah. Dursun dkk (2014) menyebutkan bahwa enuresis mengakibatkan pengaruh psikis

9 19 pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri. 5. Hubungan antara Harga Diri dengan Irrational Thinking/Beliefs Burger (dalam Mruk, 2006) menjelaskan salah satu yang mengembangkan harga diri anak adalah orangtua. Senada dengan pendapat Murk, VanZyl and Dayze (2006) mengungkapkan harga diri dipengaruhi latar belakang keluarga. Santrock (2007) mengungkapkan selain orangtua yang mempengaruhi harga diri adalah teman sebaya. Ia juga mengungkapkan dukungan emosional dan persetujuan sosial dapat mempengaruhi harga diri anak. Pendapat Santrock tersebut di atas didukung oleh Papalia (2008) bahwa harga diri anak bukan bawaan sejak lahir, namun terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya. VanZyl dan Dayze (2006) merangkum dari beberapa penelitian menemukan bahwa harga diri yang rendah secara khusus dipengaruhi oleh terutama perilaku pengasuhan orangtua dan hubungan yang negatif antara anak dengan ayah atau dengan ibunya, penilaian yang buruk dari keluarga. VanZil dan Dayzel (2006) memaparkan bahwa keluarga baik dari ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain memberikan label-label yang negatif pada anak, yang akan terinternalisasi ke alam bawah sadar anak. Label-label negatifnya seperti bodoh, malas, tidak ada apa-apa, tidak berharga dan sebagainya. Label-label negatif ini yang akhirnya merupakan informasi bagi anak di dalam pikirannya. Proses informasi yang

10 20 seperti inilah yang akhirnya mempengaruhi proses berpikir dan menghasilkan irrational thinking/ beliefs (VanZil dan Dayze, 2006). Ellis (dalam Salameh 2011) mengungkapkan bahwa irrational beliefs adalah faktor penyebab utama yang menyebabkan gangguan perilaku dan emosional. Pada masa kanak-kanak individu dipengaruhi oleh orangtua dan other significant yang membentuk thinking dan beliefs-nya (Ellis dalam Salameh, 2011). Anakanak enuresis memiliki irational thought pada dirinya. Hal ini diungkapkan juga oleh Basavanthappa (2007) bahwa anak-anak yang mengalami gangguan seperti phobia, enuresis, enkopresis, dll memiliki seperti kekhawatiran yang tidak realistik tentang peristiwa yang akan terjadi, pada apa yang telah dilakukannya dan juga kemampuan yang dimilikinya. Jongsma dkk (2014) bahkan mengembangkan teknik menggali irratonal thought pada anak enuresis. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan yang signifikan antara harga diri yang rendah dengan irrational beliefs. Seperti penelitian McLennan (1987), penelitian Slavinskiene dan Matulaitiene (2012), penelitian Baugteyfouni dkk (2014), penelitian Esmaeili dkk (2015). Dryden (2006) dan Ellis (dalam Salameh, 2006) menunjukkan adanya kaitan antara harga diri dan irational thought/irational beliefs dapat diatasi dengan REBT.

11 21 C. Rational Emotive BehaviorTherapy (REBT) 1. Pengertian Rational Emotive Behavior Therapy REBT merupakan salah satu terapi kognitif dan perilaku yang dikembangkan oleh Albert Ellis. Ellis (dalam Dobson, 2010: Palmer 2011: Komalasari, 2011) mengembangkan pendekatan ini mendapatkan inspirasi dari Epictetus, seorang filsuf Yunani yang mengatakan bahwa Orang tidak terganggu oleh peristiwa, tetapi oleh pemahaman yang didapatnya dari peristiwa tersebut. Pada awalnya di tahun 1955 pendekatan ini disebut dengan Rational Therapy (RT), kemudian Ellis mengubah namanya menjadi Rational-Emotive Therapy (RET) pada tahun 1961 dan selanjutnya Ellis mengantinya menjadi Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) (Palmer, 2011; Komalasari dkk 2011). Ellis (dalam Dryden & Neenan 1999) menyebutkan bahwa REBT berasumsi bawa pikiran, emosi dan perilaku manusia merupakan proses psikologis yang saling berinteraksi. Selanjutnya Ellis (dalam Wade & Travis, 2007) menyatakan bahwa orang yang berada dalam kondisi emosional yang tidak menyenangkan seringkali melakukan generalisasi secara berlebihan. Mereka juga sering melakukan catastrophize, yaitu individu mengubah masalah kecil menjadi musibah. Lebih jauh Froggrat (2005) mengatakan bahwa pandangan utama yang mendasari REBT berkaitan dengan gangguan emosional yang disebabkan oleh kesalahan berpikir tentang suatu peristiwa dibandingkan peristiwa itu sendiri. Selanjutnya Froggrat (2005) menjelaskan kesalahan berpikir itu merupakan keyakinan-keyakinan yang kaku dan mutlak seperti seharusnya ataupun

12 22 seandainya. Kesalahan berpikir ini akan berkembang menjadi irrational thinking. Dryden dan Neenan (1999) menyebutkan irrational thinking adalah pikiran-pikiran yang tidak dapat dibuktikan, perlawanan diri, tidak logis, dan lebih menekan pada emosi yang terganggu. Irrational thinking membawa individu pada kesulitan dan hambatan dalam dirinya bahkan menjadi individu yang tidak sehat secara emosi ataupun kepribadiaanya. REBT membantu individu mengganti pemikiran yang irasional menjadi rasional. Untuk membantu pemikiran individu yang irasional menjadi rasional, REBT menggunakan beberapa teknik yang melibatkan pikiran dan juga emosi serta teknik yang berkaitan dengan perilaku. REBT kemudian mendorong individu tersebut berperilaku dalam keseharian selanjutnya seperti yang diajarkan kepadanya. Barbara (1995) mengungkapkan REBT dapat digunakan pada klien yang bervariasi, meliputi anak-anak, remaja, orang yang lebih tua, yang kurang berpendidikan, yang mengalami depresi, ataupun yang memiliki gangguan kepribadian. Demikian pula individu dengan borderline intelligence atau mild retardation dapat menggunakan REBT. Menurut Barbara (1995) mereka cukup mampu dan memahami proses emosi yang terjadi pada mereka. Sebagai contoh mereka memahami Saya tidak baik akan membuat mereka merasa sedih. Dengan demikian anak-anak enuresis dengan intelegensi minimal borderline dapat menggunakan REBT

13 23 Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah terapi kognitif dan perilaku yang berasumsi bahwa pikiran, emosi dan perilaku manusia merupakan proses yang saling berinteraksi, sehingga kesalahan berpikir (irrational thinking) akan menyebabkan munculnya gangguan emosi dan perilaku, untuk itu kesalahan berpikir yang irrasional akan diubah menjadi rasional. 2. Konsep Irrational Thinking / Irrational Belief dalam Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT) Konsep yang penting dalam REBT adalah belief system individu. Belief system adalah cara-cara berpikir yang terorganisir yang berkaitan dengan pengalaman dan realita seseorang (Ivey dkk, 2009). Selanjutnya Ivey dkk (2009) mengungkapkan bahwa ucapan seseorang secara konstan menceritakan pandangan dirinya secara personal, mengungkapkan belief system yang dimilikinya. Gunduz (2013) menyebutkan bahwa dasar dari pendekatan REBT bahwa individu terlahir dengan kecenderungan memiliki keyakinan rasional dan keyakinan irasional yang merupakan sumber dari reaksi-reaksi emosi individu. Selanjutnya Ellis (dalam Ivey dkk 2009) mengungkapkan bahwa hal utama yang berkaitan dengan irrational beliefs adalah keyakinan mutlak yang kuat yang ada pada diri individu membuat individu memiliki gangguan emosi. Irrational beliefs bermula dari irrational thinking (Ivey dkk, 2009). Dengan demikian hal utama yang perlu dilakukan dalam REBT adalah mengenali

14 24 pernyataan-pernyataan irasional individu. Menurut Ellis (dalam Ivey dkk, 2009) ungkapan individu yang berkaitan dengan seandainya, sebaiknya, seharusnya, tidak sama sekali merupakan indikator irrational thinking. Jadi REBT berusaha menyadari pandangan irrational tersebut dan mengubahnya. Ellis (dalam Corey, 1995) menyebutkan manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. Dengan tegas Ellis (dalam Corey, 1995) mengatakan bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan yang menghambat diri sendiri. Selanjutnya menurut Ellis (2007) keyakinan irasional dapat diubah dengan cara: menilai konsep-konsep utama dalam kehidupan individu, memahami irrational beliefs yang mendasari kehidupannya, merekonstruksi pikiran rasional dan membuat pandangan individu tersebut untuk mengubah perilaku yang baru dan lebih rasional. Seperti yang telah disampaikan Ivey dkk, (2009). Irrational beliefs bermula dari irrational thinking, karena itu perlu memahami proses berpikir manusia. Froggatt (2005) menjelaskan tiga tingkatan berpikir manusia dalam pendekatan REBT menurut yaitu berpikir tentang apa yang terjadi berdasarkan fakta dan bukti-bukti (inferences), mengadakan penilaian terhadap fakta dan bukti (evaluation) dan keyakinan terhadap proses inferences dan evaluasi (core belief). Core belief inilah yang akan mendasari irrational beliefs. Froggatt (2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap hari dalam kehidupan seseorang dihadapkan pada berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini

15 25 membuat tiap orang berpikir apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi berdasarkan kenyataannya inilah proses inferences. Selanjutnya seseorang itu memberikan arti atau makna pada apa yang terjadi. Pada saat evaluation ini seseorang memberikan penilaian berdasarkan apa yang dsadarinya, namun bisa juga di luar kesadarannya. Pada saat seseorang melakukan proses inferences dan evaluation inilah dapat membuat seseorang memiliki irrational thought atau rational thought. Irrational thought selanjutnya menjadi irrational beliefs, dan membentuk belief system dalam dirinya (Ivey dkk, 2009). Dobson (2010) mengatakan terapis klinis membantu individu untuk melepaskan core belief yang irasional yang ada dalam diri individu. Selanjutnya Dobson (2010) juga menjelaskan bahwa irrational beliefs yang telah terganti dengan rational beliefs harus diterapkan individu dalam perilakunya sehari-hari agar menjadi konsisten berkembang menjadi perilaku barunya. Ellis (dalam Prout dan Brown (2007) menjelaskan 4 bentuk irrational thinking yang akan menimbulkan masalah emosional individu sebagai berikut: i. Demands adalah tuntutan atau ekspektasi yang tidak realistis dan absolut terhadap kejadian atau individu, yang dapat dikenali dengan kata-kata seperti, harus, sebaiknya dan lebih baik. ii. Awfulising adalah cara melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari suatu situasi sampai pada level yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak mengguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan.

16 26 iii. Low frustration tolerance adalah tuntutan untuk selalu berada dalam kondisi nyaman sehingga menjadi tidak toleransi terhadap ketidaknyamanan. Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat dan merasa sudah tidak tahan lagi. iv. Global evaluation of human worth, yaitu penilaian terhadap diri sendiri dengan membuat atribut pada dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak menyukai dirinya. 3. Langkah-langkah Rational Emotive Behavior Therapy Sebelum melakukan REBT, Ellis (dalam Corey, 1995) memberikan gambaran tentang apa yang akan dilakukan terapis dalam REBT: a) Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irrasional yang telah mendorong banyaknya gangguan tingkah laku. b) Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya. c) Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya. d) Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasionalnya. e) Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan itu akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan perilaku di masa mendatang. f) Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irrasionalitas pikiran klien.

17 27 g) Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irrasional dapat diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris. h) Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir sehingga klien dapat mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan datang yang telah mengekalkan cara-cara mereka merasakan dan berperilaku yang merusak. Dryeden (2006) merumuskan panduan untuk untuk melakukan REBT dalam bukunya First Steps in REBT. Dalam panduan tersebut menyebutkan beberapa langkah dalam REBT yang di dalamnya terkandung proses ABCDE yaitu: a) Memilih dan Menilai Masalah. b) Menetapkan masalah dan menentukan tujuan. c) Memahami proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai keyakinan irrasional. d) Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional Proses D-E. e) Membantu klien untuk mempertahankan keyakinannya yang rasional dan menghilangkan keyakinannya irrasional. 4. Teori A-B-C-D-E dalam REBT Ellis (dalam Gladding, 2011; Palmer, 2011) mengungkapkan REBT berasumsi bahwa keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional pada seseorang berhubungan secara langsung dengan gangguan-gangguan emosional dan perilakunya, maka cara yang paling efisien untuk membantu individu adalah

18 28 membuat perubahan-perubahan dalam dirinya dengan mengkonfrontasikan pandangan hidup mereka, menerangkan kepada mereka bagaimana gagasangagasan mereka menjadikan mereka terganggu, menyerang gagasan-gagasan irasional mereka di atas dasar-dasar logika dan mengajarkan mereka bagaimana berpikir logis dan mendorong mereka untuk mampu mengubah dan menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya. Ellis (dalam Gladding, 2012: Palmer 2011, Dobson 2010, Ellis dan Dryden, 1997; Corey, 1995) mengatakan salah satu cara untuk mengubah dan menghapus keyakinan irasional adalah dengan menggunakan teori A-B-C-D-E dari REBT. Teori ABCDE yang dikembangkan Ellis (dalam Ellis dan Dryden, 1997) adalah sebagai berikut: A = activating event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan seluruh peristiwa yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. B = beliefs, keyakinan yang mendasari pandangan seseorang tentang peristiwa tersebut, mewakili pendapat orang mengenai pengalaman tersebut. Keyakinan seseorang ada dua macam yaitu keyakinan yang rasional dan keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang rasional merupakan cara berpkir atau sistem keyakinan yang tepat dan masuk akal, bijaksana dan menjadikan orang itu produktif. Keyakinan yang tidak rasional adalah keyakinan atau sistem berpikir yang salah, tidak masuk akal, emosional dan membuat orang tidak produktif.

19 29 C = consequences yaitu berkaitan dengan emotional and behavioral consequence, konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan keyakinan (belief) yang rasional maupun yang irasional. D = disputing, mendebatkan atau mempertentangkan keyakinan yang menyebabkan gangguan. E = effective, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku. Pada awalnya proses REBT adalah ABC, namun kemudian Ellis menambah DE sehingga menjadi proses ABCDE (Ellis dan Dryden, 1997). Proses ABC ini dilakukan untuk melakukan analisa fungsional dari pikiran-pikiran atau keyakinan-keyakinan individu apakah rasional atau irasional (Dobson 2010). Melalui proses ABCDE, REBT membantu individu belajar bagaimana mengenali dirinya terkait antara pikiran, perasaan dan perilakunya. Secara skematis proses tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1 Proses REBT Activating Event. Beliefs. Consequences Disputing Effective (Sumber Ellis dan Dryden 1997)

20 30 5. Teknik-teknik Rational Emotive Behavior Therapy REBT menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif dan perilaku (Gladding 2012, Dobson 2010, Froggrat 2005, Corey 1995: Salameh 2004). Proses tersebut akan sangat efektif jika semua bentuk tadi dilakukan (Walen dkk dalam Gladding, 2012). A. Teknik Kognitif Teknik Kognitif meliputi: 1) Pertentangan (disputing) Pertentangan atau disputing ini meliputi cognitive disputation, rational analysis, double-standard dispute, catastrophe scale, rational role reversal (devil s advocate), reframing. Pertentangan kognitif melibatkan penggunaan pertanyaan langsung, alasan yang masuk akal dan persuasi. 2) Pengajaran Pengajaran melibatkan tindakan meminta individu mempelajari gagasan dasar dari REBT, dan memahami bagaimana pikiran terhubung dengan emosi dan tingkah laku. Prosedur ini bersifat instruktif dan mengarahkan serta umumnya dikenal sebagai rational emotive education (REE). B. Teknik Afektif Teknik Afektif meliputi: 1) Teknik self modeling, merupakan teknik yang digunakan untuk melatih individu agar menghilangkan perasaan negatif yang ada dalam dirinya secara terus-menerus.. Dengan self modeling ini diharapkan individu memiliki perasaan yang positif mengenai dirinya.

21 31 2) Humor, digunakan dengan harapan membantu individu dalam melewati proses terapi dan menghilangkan rasa takut. 3) Latihan menghadapi rasa malu. Teknik ini digunakan agar indiviu berani menghadapi situasi yang membuat ia malu dan memberikan tolerasi dan menerimanya sebagai bagian situasi yang tak menyenangkan yang pernah terjadi. C. Teknik Perilaku Teknik perilaku meliputi: 1) Teknik Reinforcement (penguatan), digunakan untuk mendorong individu ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan cara memberikan reward ataupun punishment 2) Latihan Asertif, merupakan teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien agar secara terus-menerus menyesuaikan diri dengan tingkah yang diinginkannya. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri individu 3) Mempertentangkan perilaku (behavioral disputation). Pertentangan tingkah laku melibatkan berperilaku dalam suatu cara yang merupakan kebalikan dari cara yang biasa digunakan individu termasuk bermain peran dan menyelesaikan tugas tugas-tugas, di mana biasanya klien benar-benar melakukan aktivitas yang dahulunya dianggap mustahil untuk dilakukan. Terkadang pertentangan tingkah laku dapat berupa biblioterapi yaitu membaca buku yang dapat membantu individu bangkit. 4) Bermain peran (role playing),

22 32 5) Tugas-tugas (homework assignments) Tugas-tugas diberikan terkait dengan proses terapi. 6) Teknik social modelling merupakan teknik untuk membentuk perilakuperilaku baru klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara meniru, mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial. Ellis dan Dryden (dalam Geldard & Geldard, 2013) mengatakan bahwa fungsi ahli terapi adalah sebagai seorang guru, yaitu mengarahkan dan mengajari klien suatu model spesifik untuk mengubah pemahaman. D. Rational Emotive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Harga Diri Anak Enuresis Anak enuresis memiliki berbagai macam persoalan yang menyangkut dirinya. Thunis (2001) menemukan bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Senada dengan Thunis, Dursun dkk (2014) menyebutkan bahwa enuresis mengakibatkan pengaruh psikis pada anak-anak seperti perasaan yang berbeda, mengisolasi diri secara sosial dan mengurangi harga diri. Anak-anak enuresis memiliki harga diri lebih rendah juga ditemukan pada beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998, penelitian Unalacak (2004) di Turki, penelitian Ng dan Wong (2004) di Hongkong.

23 33 Harga diri anak bukan bawaan sejak lahir, namun terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya (Papalia, 2008). Pada masa kanak-kanak individu dipengaruhi oleh orangtua dan other significant yang membentuk thinking dan beliefs-nya (Ellis dalam Salameh, 2011). VanZil dan Dayzel (2006) memaparkan bahwa keluarga baik dari ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain memberikan label-label yang negatif pada anak, yang akan terinternalisasi ke alam bawah sadar anak. Label-label negatifnya seperti bodoh, malas, tidak ada apa-apa, tidak berharga dan sebagainya. Label-label negatif ini yang akhirnya merupakan informasi bagi anak di dalam pikirannya. Proses informasi yang seperti inilah yang akhirnya mempengaruhi proses berpikir dan menghasilkan irrational thinking/ beliefs (VanZil dan Dayze, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan yang signifikan antara harga diri yang rendah dengan irrational beliefs. Seperti penelitian McLennan (1987), penelitian Slavinskiene dan Matulaitiene (2012), penelitian Baugteyfouni dkk (2014), penelitian Esmaeili dkk (2015). Dryden (2006) dan Ellis (dalam Salameh, 2006) menunjukkan adanya kaitan antara harga diri dan irational thought/irational beliefs dapat diatasi dengan REBT. Burnet (dalam Tarmidi & Hawadi, 2009) mengungkapkan juga bahwa program cognitive behavior therapy dan rational emotive threapy berpengaruh terhadap peningkatan harga diri (self-esteem) dan konsep diri. Untuk melakukan terapi REBT yang bertujuan meningkatkan harga diri anak enuresis dapat menggunakan panduan yang dirumuskan Dryden (2006). Dalam

24 34 bukunya First Steps in REBT, Dryden (2006) menyebutkan beberapa langkah dalam REBT yang di dalamnya terkandung proses ABCDE yaitu: 1. Memilih dan Menilai Masalah. 2. Menetapkan masalah dan menentukan tujuan. 3. Memahami proses pikiran-pikiran, mengajarkan hubungan antara A, B dan C serta menilai keyakinan irrasional. 4. Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional Proses D-E. 5. Membantu klien untuk mempertahankan keyakinannya yang rasional dan menghilangkan keyakinannya irrasional. Pada langkah pertama yaitu memilih dan menilai masalah, terapis REBT melakukan analisa pikiran irrasional individu untuk mengetahui bentuk irational thought yang dimilikinya. Ellis (dalam Prout dan Brown,2007) menjelaskan 4 bentuk irrational thinking / irrational beliefs yang akan menimbulkan masalah emosional individu sebagai berikut: a. Demands adalah tuntutan atau ekspektasi yang tidak realistis dan absolut terhadap kejadian atau individu, yang dapat dikenali dengan kata-kata seperti, harus, sebaiknya dan lebih baik. b. Awfulising adalah cara melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari suatu situasi sampai pada level yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak mengguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan. c. Low frustration tolerance adalah tuntutan untuk selalu berada dalam kondisi nyaman sehingga menjadi tidak tolerans terhadap ketidaknyamanan. Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan

25 35 apa yang diinginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat dan merasa sudah tidak tahan lagi. d. Global evaluation of human worth, yaitu penilaian terhadap diri sendiri dengan membuat atribut pada dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak menyukai dirinya. Ellis (dalam Salameh 2011) mengungkapkan bahwa irrational beliefs adalah faktor penyebab utama yang menyebabkan gangguan perilaku dan emosional. Jadi pada saat melakukan analisis irrational thought maka perlu menganalisis juga perilaku apa saja yang terganggu dari irrational thought tersebut. Analisis irational thought individu dapat dilakukan dengan menggunakan analisis fungsional dengan ABC dari Proses ABCDE Ellis (Dobson, 2010). Pada saat ini individu menceritakan diri dan masalahnya, sedangkan terapis melakukan analisis. Setelah diketahui bentuk irational thoughtnya, maka masuk pada tahapan/langkah kedua yaitu menetapkan masalah sampai tujuan terapi tercapai yaitu terbentuknya rational thoughtnya. Teori ABCDE yang dikembangkan Ellis (dalam Ellis dan Dryden, 1997) adalah sebagai berikut: A = activating event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan seluruh peristiwa yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. B = beliefs, keyakinan yang mendasari pandangan seseorang tentang peristiwa tersebut, mewakili pendapat orang mengenai pengalaman tersebut. Keyakinan

26 36 seseorang ada dua macam yaitu keyakinan yang rasional dan keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang rasional merupakan cara berpkir atau sistem keyakinan yang tepat dan masuk akal, bijaksana dan menjadikan orang itu produktif. Keyakinan yang tidak rasional adalah keyakinan atau sistem berpikir yang salah, tidak masuk akal, emosional dan membuat orang tidak produktif. C = consequences yaitu berkaitan dengan emotional and behavioral consequence, konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut. Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan keyakinan (belief) yang rasional maupun yang irasional. D = disputing, mendebatkan atau mempertentangkan keyakinan yang menyebabkan gangguan. E = effective, pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan perilaku. Dalam proses REBT merubah irational though dan perilaku maladaptivenya dengan menggunakan berbagai macam teknik yang bersifat kognitif, afektif dan perilaku (Gladding, 2012; Dobson, 2010, Froggrat, 2005; Corey,1995; Salameh,(2004). Teknik yang bersifat kognitif meliputi pertentangan (disputing), dan pengajaran./edukasi. Teknik yang bersifat afektif seperti self modeling, yang mana individu diminta untuk menghilangkan perasaan negatif dia pada dirinya, humor yang digunakan dengan harapan membantu individu dalam melewati

27 37 proses terapi dan menghilangkan rasa takut. Teknik yang bersifat perilaku meliputi: teknik reinforcement (penguatan) yang digunakan untuk mendorong individu ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan cara memberikan reward ataupun punishment, bermain peran (role playing), dan mengerjakan tugas-tugas (homework assignments).

28 38 Berikut alur penelitian: Tabel 2.2 Skema Paradigma Penelitian Anak dengan Enuresis Harga diri yang rendah (Hagglof, 1998) Thunis 2001, Unalacak, 2004) Memiliki pikiran irrasional / Irrational Thought (Dryden, 2006) Didasari oleh inferences, evaluation dan core belief Analisis Fungsional Activating Event Beliefs: irrational thought. Consequences Irrational Thought Bentuknya : Demand/Awfulising/Low of Frustration/ Global of Human Worth Mal Adaptif Behavior Disputing dengan Teknik REBT Pengajaran/edukasi Disputing Irrational Thought, Self-Modeling, Activity Behavior, tuga -tugas Effective Rational Thought Adaptive behavior Harga diri anak enuresis meningkat

29 39 E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah rational emotive behavior therapy efektif dapat meningkatkan harga diri pada anak enuresis.

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Mengompol merupakan suatu kondisi yang biasanya terjadi pada anakanak yang berusia di bawah lima tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak belum mampu melakukan pengendalian

Lebih terperinci

Efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Anak Enuresis

Efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Anak Enuresis Efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Anak Enuresis Hirmaningsih, Irna Minauli Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau email: hirmingsih@uin-suska.ac.id

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Modul ke: Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem Fakultas Psikologi Agustini, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konseling Berbasis Problem Konseling berbasis problem:

Lebih terperinci

A. Konsep Dasar. B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

A. Konsep Dasar. B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah A. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten.

Lebih terperinci

The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand?

The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand? The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand? Rational Emotive Behavior Therapy Nanang Erma Gunawan nanang_eg@uny.ac.id Albert Ellis Lahir di Pittsburgh

Lebih terperinci

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran)

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran) A. Identitas Nama Umur Jenis kelamin Agama Pekerjaan Asal Sekolah Kelas : Nissa (Nama Samaran) : 18 tahun : Perempuan : Islam : Siswa : SMA Negeri 1 Sanden : XII Semester : 1 Alamat B. Deskripsi Kasus

Lebih terperinci

KONSEP DASAR. Manusia padasarnya adalah unik memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional

KONSEP DASAR. Manusia padasarnya adalah unik memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional KONSEP DASAR Manusia padasarnya adalah unik memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika

Lebih terperinci

BAB II Enuresis Stres Susah buang air besar Alergi TINJAUAN PUSTAKA

BAB II Enuresis Stres Susah buang air besar Alergi TINJAUAN PUSTAKA Faktor psikis A. Enuresis Pada Anak Stres a. Pengertian Psikologi Lingkungan Faktor fisik Genetik/familial Hambatan perkembangan Pola tidur Toilet trainning yang tidak adekuat Infeksi saluran kencing Stres

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. yang diperoleh dari penyajian data adalah sebagai berikut:

BAB IV ANALISIS DATA. yang diperoleh dari penyajian data adalah sebagai berikut: BAB IV ANALISIS DATA Setelah menyajikan data hasil lapangan maka peneliti melakukan analisis data, analisis data ini dilakukan peneliti untuk memperoleh suatu hasil penemuan dari lapangan berdasarkan fokus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena.

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai suatu kegiatan profesional dan ilmiah, pelaksaan konseling bertitik tolak dari teori-teori yang dijadikan sebagai acuannya. Pada umumnya teori diartikan

Lebih terperinci

TUGAS INSTRUMEN EVALUASI PROSES KONSELING MODEL STAKE

TUGAS INSTRUMEN EVALUASI PROSES KONSELING MODEL STAKE TUGAS INSTRUMEN EVALUASI PROSES KONSELING MODEL STAKE Mata Kuliah Pengembangan Instrumen dan MediaBimbingan dan Konseling Dosen Pengampu Prof.Edi Purwanta, M.Pd & Dr.Ali Muhtadi Oleh: Liza Lestari (16713251041)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE THERAPY DALAM KELUARGA

BAB II PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE THERAPY DALAM KELUARGA BAB II PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE THERAPY DALAM KELUARGA 2.1. Konsep Dasar Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku

Lebih terperinci

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK www.mercubuana.ac.id MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK Aaron Beck adalah psikiater Amerika yang merintis penelitian pada psikoterapi dan mengembangkan terapi kognitif. Ia dianggap sebagai bapak cognitive

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY DALAM MENGATASI KESENJANGAN KOMUNIKASI SEORANG ADIK TERHADAP

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY DALAM MENGATASI KESENJANGAN KOMUNIKASI SEORANG ADIK TERHADAP BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY DALAM MENGATASI KESENJANGAN KOMUNIKASI SEORANG ADIK TERHADAP KAKAKNYA DI DESA KEMAMANG BALEN BOJONEGORO Setelah menyajikan

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy)

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Modul ke: Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pendekatan Kognitif Terapi kognitif: Terapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan

TINJAUAN PUSTAKA. yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan TINJAUAN PUSTAKA A. Fobia 1. Definisi Fobia Marks (dalam Morris dkk, 1987) mengatakan bahwa fobia merupakan bentuk yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan secara

Lebih terperinci

Oleh Nandang Rusmana, M.Pd

Oleh Nandang Rusmana, M.Pd APLIKASI COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY DALAM KONSELING TRAUMATIK Oleh Nandang Rusmana, M.Pd Ciri-ciri Individu yang Mengalami Trauma (1) Fisik : Sesak napas, gangguan pencernaan, mudah sakit, dan mudah lelah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada masa ini anak belum memiliki kemampuan berpikir yang baik. Hal ini membuat mereka

Lebih terperinci

Sigit Sanyata

Sigit Sanyata Sigit Sanyata sanyatasigit@uny.ac.id Pelatihan REBT-MGBK SMK Kabupaten Sleman Rabu, 8 Januari 2014 Sejarah Albert Ellis pendiri dan pengembang REBT Lahir di Pittsburgh tahun 1913 Meninggal tahun 2007 pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perasaan kurang percaya diri banyak terjadi pada remaja. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perasaan kurang percaya diri banyak terjadi pada remaja. Pada masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perasaan kurang percaya diri banyak terjadi pada remaja. Pada masa remaja banyak terjadi perubahan, terutama dalam rentang usia 13 tahun remaja mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 54321 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enuresis adalah inkontinensia urin pada usia dimana seharusnya seorang anak sudah mampu berkemih secara normal namun anak tidak dapat melakukannya sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak belajar tentang banyak hal, sejak lahir ke dunia ini. Anak belajar untuk mendapatkan perhatian, memuaskan keinginannya, maupun mendapatkan respon yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING

BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING Setelah menyajikan data hasil lapangan maka peneliti melakukan analisis

Lebih terperinci

TERAPI RASIONAL EMOTIF Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

TERAPI RASIONAL EMOTIF Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* TERAPI RASIONAL EMOTIF Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* Ide Dasar Terapi Rasional Emotif merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam psikoterapi. Terapi Rasional

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 tahun), usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), sekolah

BAB I PENDAHULUAN. 1 tahun), usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), sekolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan individu yang berada dalam rentan perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, 2009). Masa anak merupakan waktu anak untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara 125 DAFTAR PUSTAKA Allen K. E. & Marotz L R. (2010). Profil Perkembangan Anak. (terjemahan). PT Indeks. Jakarta APA. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4 th ed. Text Revision).

Lebih terperinci

Assalamualaikum wr.wb

Assalamualaikum wr.wb Assalamualaikum wr.wb FENOMENA PIERCING DI KALANGAN SISWA SMA Ana Murtaqiyah 054849 Arini Herdiana 054749 Dina Noor A 054516 Hesti Mardiah 054479 Indriani Sugiarto 055220 Putri Qurrota A 054385 Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEKERASAN EMOSI 1. Pengertian Kekerasan Emosi Kekerasan emosi didefinisikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan secara sengaja tujuan untuk mempertahankan dan menguasai individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki anak yang sehat dan memiliki tumbuh kembang yang baik merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri yang telah menikah. Anak merupakan berkah yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mana anggapan salah mengenai khalayak menjadi hantu yang menakutkan

BAB I PENDAHULUAN. yang mana anggapan salah mengenai khalayak menjadi hantu yang menakutkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Sejak manusia dilahirkan, manusia membutuhkan pergaulan dengan manusia lainnya. Hal ini berarti bahwa manusia tidak

Lebih terperinci

Jounal Bimbingan Konseling, Volume 1 Nomer , pp Januari

Jounal Bimbingan Konseling, Volume 1 Nomer , pp Januari PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI DALAM BERINTERAKSI SOSIAL SISWA MADRASAH ALIYAH PURWOASRI KEDIRI Nikmatul Khotimah Elisabeth Christiana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 09 61033 Agustini, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan ini akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang tua menginginkan dan mengharapkan anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan pintar. Anak-anak yang patuh, mudah diarahkan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kedisiplinan A. 1. Pengertian Kedisiplinan Menurut Hurlock (2000) kedisiplinan berasal dari disciple yang berarti bahwa seseorang belajar secara sukarela mengikuti seorang pemimpin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Universitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan bagi individu yang belajar atau mengikuti pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tempat Terjadinya Kekerasan terhadap Anak Kekerasan Jumlah Kasus Persentase Di Sekolah ,20% Di Luar Sekolah ,80% Total %

Tabel 1.1 Tempat Terjadinya Kekerasan terhadap Anak Kekerasan Jumlah Kasus Persentase Di Sekolah ,20% Di Luar Sekolah ,80% Total % 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. 1.1 Latar Belakang Penelitian Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah. Salah

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah. Salah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah saat ini menuntut siswa untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah. Salah satu karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang pertama kalinya. Menurut Reiss (dalam Lestari, 2012;4), keluarga adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

Pedologi. Review Seluruh Materi. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi.

Pedologi. Review Seluruh Materi. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi. Pedologi Modul ke: Review Seluruh Materi Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Fakultas PSIKOLOGI Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id RETARDASI MENTAL Retardasi mental (mental retardation) adalah keterlambatan

Lebih terperinci

SEKOLAH IDEAL. Oleh: Damar Kristianto

SEKOLAH IDEAL. Oleh: Damar Kristianto 1 SEKOLAH IDEAL Oleh: Damar Kristianto Berbicara mengenai Sekolah Ideal, dalam sharing ini saya ingin membicarakan mengenai pandangan saya seperti apa sekolah umum (inklusi) dalam menyelenggarakan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak itu unik dan berhak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. anak itu unik dan berhak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada orangtua. Setiap anak itu unik dan berhak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karenanya setiap

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Pengertian Self Efficacy Self efficacy berasal dari teori Bandura (1997) yaitu teori kognisi belajar sosial. Teori kognisi belajar sosial mengacu pada kemampuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Percaya Diri Sikap dan perilaku manusia sangatlah dipengaruhi oleh kondisi perasaannya, salah satunya adalah sikap percaya diri. Menurut Santrock (2002)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Hal-hal yang sering dihadapi oleh para remaja pada umumnya adalah gejolak emosi dan

1. PENDAHULUAN. Hal-hal yang sering dihadapi oleh para remaja pada umumnya adalah gejolak emosi dan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang harus dilewati oleh setiap individu dalam tiap rentang kehidupan manusia. Masa ini merupakan periode peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Masing-masing individu yang berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

PENGARUH RATIONAL-EMOTIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP PENINGKATAN STRATEGI COPING MENGATASI KECEMASAN MENGHADAPI PERKULIAHAN

PENGARUH RATIONAL-EMOTIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP PENINGKATAN STRATEGI COPING MENGATASI KECEMASAN MENGHADAPI PERKULIAHAN 14 Pengaruh Rational-emotive Behavioral Therapy Terhadap Peningkatan Strategi Coping Mengatasi... PENGARUH RATIONAL-EMOTIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP PENINGKATAN STRATEGI COPING MENGATASI KECEMASAN MENGHADAPI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB IV BKI DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF ANAK YANG TIDAK MENERIMA AYAH TIRINYA

BAB IV BKI DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF ANAK YANG TIDAK MENERIMA AYAH TIRINYA 79 BAB IV BKI DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF ANAK YANG TIDAK MENERIMA AYAH TIRINYA A. Analisis Proses Konseling dalam Menangani Depresi Seorang Anak yang Tidak Menerima Ayah Tirinya Dalam proses pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia 4-6 tahun merupakan waktu paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

PANDUAN REFLEKSI/PENGAMATAN PRAKTIK PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORAL FASE PROSES KONSELING

PANDUAN REFLEKSI/PENGAMATAN PRAKTIK PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORAL FASE PROSES KONSELING PANDUAN REFLEKSI/PENGAMATAN PRAKTIK PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORAL FASE-FASE PROSES KONSELING Konselor Klien Pengamat Petunjuk : Berilah tanda silang pada jenjang skala yang disediakan sesuai dengan keadaan

Lebih terperinci

Konsep Diri Rendah di SMP Khadijah Surabaya. baik di sekolah. Konseli mempunyai kebiasaan mengompol sejak kecil sampai

Konsep Diri Rendah di SMP Khadijah Surabaya. baik di sekolah. Konseli mempunyai kebiasaan mengompol sejak kecil sampai BAB IV ANALISIS ISLAMIC COGNITIVE RESTRUCTURING DALAM MENANGANI KONSEP DIRI RENDAH SEORANG SISWA KELAS VIII DI SMP KHADIJAH SURABAYA A. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Seorang Siswa Kelas VIII Mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Orang pada masa mulai lahir sampai masa anak- anak tertentu pasti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Orang pada masa mulai lahir sampai masa anak- anak tertentu pasti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang pada masa mulai lahir sampai masa anak- anak tertentu pasti pernah mengalami ngompol yang dalam bahasa medisnya disebut enuresis. Secara sederhana definisi enuresis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas. 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam Bab berikut dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan dan pertanyaan penelitian, tujuan peneltian dan manfaat penelitian. A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak yang normal.

Lebih terperinci

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Psikologi Konseling Psikologi Konseling Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 12 61033 Agustini, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah khususnya SMA sangatlah kompleks. Hal ini disebabkan karena kondisi remaja itu sendiri

Lebih terperinci

2014 PENGGUNAAN TEKNIK BEHAVIOR CONTRACT

2014 PENGGUNAAN TEKNIK BEHAVIOR CONTRACT 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku merupakan suatu bentuk perbuatan atau aktivitas yang dilakukan oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari baik yang dapat diamati secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anisah Fadhilah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anisah Fadhilah, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa dimana individu cenderung meningkatkan pemahaman dirinya, mengeksplorasi identitasnya, serta ingin mengetahui sifat-sifat, dan apa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 Coffee Morning Global Sevilla School Jakarta, 22 January, 2016 Rr. Rahajeng Ikawahyu Indrawati M.Si. Psikolog Anak dibentuk oleh gabungan antara biologis dan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada usia ini sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung

Lebih terperinci