Thalasemia. Yuki Yunanda. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-repository 2008

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Thalasemia. Yuki Yunanda. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yuki Yunanda : Thalasemia, 2008 USU e-repository 2008"

Transkripsi

1 Thalasemia O L E H Yuki Yunanda Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2008

2 BAB 1 PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Thalassemia adalah sekumpulan heterogenus penyakit akibat dari gangguan sintesis hemoglobin yang diwarisi secara autosom resesif. (6) Thalassemia juga merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering terjadi didunia, sangat umum di jumpai disepanjang sabuk thalassemi yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Heterogenitas molekular penyakit tersebut baik carrier thalasemia-α maupun carrier thalassemia-β sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan pengelompokan populasi sehingga dapat dijadikan petanda genetik populasi tertentu. (7) Karena Indonesia termasuk dalam sabuk thalassemik dan sebagian besar wilayahnya endemis malaria diduga kedua jenis thalassemia tersebut terdapat pada populasi Indonesia yang cukup tinggi yaitu sebagai mekanisme mikroevolusi untuk menangkis malaria. Beberapa penelitian, khususnya thalassemia-β, telah dilaporkan Lanni (2002) bahwa data terbaru yang cukup

3 representatif yang mewakili 17 populasi di Indonesia menunjukkan prefalensi carrier yang bervariasi yaitu 0 10 %. (7) Sementara itu keberadaan carrier thalassemia-α di Indonesia masih kurang dicermati walaupun telah dilaporkan bahwa prefalensinya cukup tinggi pada berbagai populasi di daratan Asia atau Pasific. WHO (1987) memperkirakan ada bayi thalassemia-α lahir setiap tahun di dunia. Jika mereka bisa mencapai usia dewasa, diperkirakan ada sekitar penderita thalassemia-α di Asia Tenggara. Angka yang paling banyak disitasi di Indonesia adalah estimasi Wong (1983) yang memperkirakan hanya ada sekitar 0.5% dari total penduduk Indonesia yang membawa sifat kelainan darah dan angka ini jauh lebih rendah dari prefalensi carrier thalassemia-β yang diperkirakan mencapai 3.5%. Namun, banyak peneliti percaya bahwa prefalensi carrier talasemia-α di Indonesia jauh diatas yang diperkirakan Wong tersebut. Dugaan tersebut juga didukung oleh bukti-bukti bahwa cukup banyak bayi atau janin hyrop fetalis dan Hb-H yang terjaring di Rumah Sakit- Rumah Sakit terutama pada mereka yang mempunyai pengaruh kuat unggun gen Mongoloid. Namun seberapa anak besar prevalensi carrier tersebut pada berbagai populasi di Indonesia belum pernah dilaporkan secara rinci. (7) Carrier thalassemia-α di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Lie-Injo (1959) tentang kasus bayi Hb-Bart s hydrop fetalis di Jakarta. Wahidayat juga

4 melaporkan kasus thalassemia-α baik Hb-H maupun bayi hydrop fetalis yang cukup banyak terjaring di Jakarta terutama pada suku Cina. Sementara itu keberadaan thalassemia-α pada populasi di Medan pertama kali dilaporkan oleh Hariman bahwa dari 300 sampel darah tali pusar yang ditapis 2,5% di antaranya diduga carrier thalassemia-α 0 dan 2,5% carrier thalassemia-α +. (7) Keberadaan carrier thalassemia-α 0 perlu diwaspadai karena pasangan carrier kelainan darah tersebut mempunyai kemungkinan 25% anak-anaknya akan lahir sebagai bayi Hb-Bart s hydrop fetalis dan akan segera meninggal setelah lahir atau semasa janin. Di samping itu, jika carrier thalassemia-α 0 menikah dengan carrier thalassemia-α +, 25% keturunannya juga berkemungkinan menderita Hb-H atau secara klinis disebut dengan thalassemia-α intermedia dan mayor. Sampai saat ini belum ada tindakan kuratif yang memadai untuk mengatasi thalassemia mayor. Cangkok sumsum tulang yang dilakukan selain tidak bersifat permanen juga mempunyai survival rate yang rendah. Hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar dan harus dilakukan di luar negeri. Terapi gen pada penderita thalassemia juga hanya dilakukan dalam tingkat penelitian. Anjuran WHO (1984) terhadap penyakit ini adalah melakukan tranfusi darah secara rutin dengan pemberian agen pengkelat besi dan pemberian beberapa ajuvan yang bersifat antioksidan. Tindakan ini harus dilakukan terus menerus seumur hidup dan diperlukan

5 biaya yang cukup besar. Efek sampingnya juga cukup tinggi jika dilakukan dengan tidak memadai. Salah satu tindakan yang harus dilakukan adalah tindakan preventif dan kontrol baik berupa tindakan konseling genetik pranikah sebagai pencegah terjadinya kasus baru thalassemia. Tindakan preventif ini hanya dapat dilakukan jika prevalensi dan jenis mutan pada populasi bersangkutan telah diketahui. (7) Salah satu delesi penyebab thalassemia-α 0 yang paling sering dijumpai pada populasi di Asia Tenggara adalah mutasi-- SEA. Bentuk homozigot mutasi ini menghasilkan janin atau bayi hydrop fetalis. Mutasi delesi banyak di jumpai pada populasi Asia Tenggara yang mendapat pengaruh kuat unggun gen Mongoloid sehingga dianggap sebagai petanda genetik populasi di Asia Tenggara. Distribusi mutan ini telah dijumpai di Thailand, Malaysia, dan Filipina dalam frekuensi polimorfik, tetapi tidak dijumpai pada populasi Papua ataupun populasi lainnya di kepulauan Pasifik. (7) Letak geografis Sumatera Utara khususnya di kota Medan berdekatan dengan daratan Asia Tenggara. Sebelum kala pleistosen berakhir (kira-kira tahun yang lalu) kedua daratan tersebut masih bersatu. karena itu diduga bahwa populasi di Sumatera Utara khususnya di Medan secara genetik berkaitan erat dengan populasi di semenanjung Malaya. Selain Geografis, kesamaan genetis juga ditunjukkan pada heterogenitas molekular gen globin-

6 β dan jenis mutasi pada gen globin-β baik pada suku Batak maupun suku Melayu Sumatera lainnya mempunyai jenis yang sama dengan populasi di daratan Asia Tenggara. (7) Diketahui bahwa talasemia ini terbagi atas empat bagian yaitu talasemia alfa (α) talasemia β talasemia δ, dan talasemia τ. Tapi di makalah ini saya hanya akan membahas talasemia α dan β. (6)

7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. *Defenisi Thalassemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter di mana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Tjokronegoro, A. 2001). (10) Thalassemia adalah ketidakadaan atau kekurangan produksi satu atau lebih rantai globin dari hemoglobin (George, E. 1994). (6) Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokomik herediter dengan berbagai derajat keparahan (Nelson, 1996). (9) Thalassemia merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif (Rusepno, 1985). (1) Thalassemia termasuk hemoglobinopati (Djelantik, 1996). (3) *Fungsi Hemoglobin Eritrosit dalam darah arteri sistemik mengangkut O 2 dari paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan membawa CO 2 ke paru. Pada saat molekul hemoglobin mengangkut dan melepas O 2, masing-masing rantai

8 globin dalam molekul hemoglobin bergerak pada satu sama lain. Kontak α 1 β 1 dan α 2 β 2 menstabilkan molekul tersebut. Rantai β bergeser pada kontak α 1 β 2 dan α 2 β 1 selama oksigenasi dan deoksigenasi. Pada waktu O 2 dilepaskan, rantai-rantai β ditarik terpisah, sehingga memungkinkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang menyebabkan makin rendahnya afinitas molekul hemoglobin terhadap O 2. gerakan ini menyebabkan bentuk sigmoid pada kurva disosiasi O 2 hemoglobin. P 50 (tekanan parsial O 2 yang pada tekanan ini hemoglobin terisi separuh dengan O 2 ) darah normal adalah 26,6 mmhg. Dengan meningkatnya afinitas terhadap O 2, kurva ini bergeser ke kiri (P 50 turun) sedangkan dengan afinitas terhadap O 2 yang menurun, kurva bergeser ke kanan (P 50 meningkat). (4) Secara normal in vivo, pertukaran O 2 berjalan antara saturasi 95% (darah arteri) dengan tekanan O 2 arteri rata-rata sebesar 95 mmhg dan saturasi 70% (darah vena) dengan tekanan O 2 vena rata-rata sebesar 40 mmhg. (4) Posisi kurva yang normal bergantung pada konsentrasi 2,3-DPG, ion H + dan CO 2 dalam eritrosit serta struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi 2,3- DPG, H + atau CO 2 yang tinggi, dan adangya hemoglobin tertentu, misalnya hemoglobin sabit (sickle haemoglobin, Hb S), menggeser kurva ke kanan (oksigen lebih mudah dilepas), sedangkan hemoglobin fetus (Hb F)-yang tidak mampu mengikat 2,3-DPG-dan hemoglobin abnormal langka tertentu yang

9 disertai polisitemia menggeser kurva ke kiri karena lebih sulit untuk melepas O 2 dibandingkan normal. (4) *Sintesis Thalassemia Pada awal kehidupan embrio sampai delapan minggu kehamilan (masa transisi embrio ke fetus). Yolk sac dan hati akan mensintesis rantai globin ζ yang mirip dengan globin α dan berkombinasi dengan rantai ε untuk membentuk hemoglobin Gower I (ζ 2 ε 2 ) dan kemudian di ganti dengan hemoglobin Gower II (α 2 ε 2 ) dan hemoglobin Portland (ζ 2 γ 2 ). Pada masa fetus hingga akhir kehamilan akan dibentuk hemoglobin fetal atau Hb-F (α 2 γ 2 ) dan hemoglobin A 2 (α 2 δ 2 ). Organ yang bertanggung jawab pada periode ini adalah hati, limpa dan sumsum tulang. Hb-F bersifat heterogen karena ada dua lokus gen -γ yang berbeda. Kedua gen ini dibedakan oleh susunan asam amino pada posisi 136 yang terdiri dari glisin pada Gγ dan alanin pada Aγ. Setelah bayi lahir kadar Hb-F akan segera menurun dan diganti oleh HbA 1 (α 2 β 2 ) yang dibentuk oleh sumsum tulang. (7) Setelah enam minggu kelahiran hingga individu dewasa, hemoglobin normal akan dikendalikan oleh empat gen utama yaitu gen-α, β, γ, dan δ. Pada individu dewasa normal hemoglobin A α 2 β 2 (hemoglobin adult) terdiri dari 97% hemoglobin A 2 (α 2 δ 2 ) 2,5% dan sisanya kira-kira 0,5% lainnya adalah

10 hemoglobin F (α 2 γ 2 ) (hemoglobin fetal). Akan tetapi, jumlah besi yang terkandung dalam hemoglobin hanya kira-kira 0,35% dari berat protein keseluruhan. Seluruh tugas sintesis globin pada periode ini diambil alih oleh sumsum tulang pipih. (7) Sintesis globin dimulai dari proses transkripsi gen dalam inti sel atau nucleus. Baik bagian exon maupun intron akan ditranskripsikan ke precursor mrna atau nuclear messenger RNA (nmrna) dengan bantuan enzim polimerase RNA. Di dalam nukleus molekul ini akan mengalami modifikasi. Intron akan dihilangkan melalui proses splicing dan exon-exon dan kemudian bergabung satu sama lain. Diperbatasan exon dan intron selalu ada basa GT pada ujung 5 dan AG pada ujung 3 yang sangat penting dalam proses splicing yang tepat. Jika terjadi mutasi pada daerah ini maka proses splicing tidak dapat berlangsung. mrna akan mengalami modifikasi dengan penambahan CAP pada ujung 5 dan poli-a pada ujung 3. Setelah transkripsi dimulai dengan bantuan ikatan 5-5 trifosfat ujung 5 RNA yang baru disintesis akan berikatan dengan 7-metil-guanosin pada ujung terminal nukleotida. Proses metilasi ini berhubungan dengan proses penambahan CAP sehingga ujung 5 RNA transkip mempunyai CAP. Selanjutnya, mrna menuju ke dalam sitoplasma dan menjadi cetakan rantai globin yang akan disintesis. (7)

11 Dalam sitoplasma asam amino akan diangkut ke cetakan (mnra) dengan bantuan trna (transfer RNA) yang bersifat khusus pada setiap asam amino. Urutan asam amino pada rantai polipeptida globin ditentukan oleh triplet kodon yang terdiri dari tiga basa. trna merupakan antikodon yang mempunyai tiga basa dan komplementer dengan basa-basa penyusun mrna. trna membawa asam amino ke mrna dan mencari posisi pasangan yang tepat antara kodon dan antikodon. Jika trna pertama sudah berada pada posisi yang tepat, kompleks inisiasi protein dengan sub-unit ribosom terjadi. Kemudian, jika trna kedua sudah mengambil posisi yang tepat, kedua asam amino baru yang terbentuk tersebut membentuk ikatan peptida rantai globin dan demikian seterusnya terjadi sepanjang mrna yang ditransiasi dari 5 ke 3. trna selalu berada dalam konfirmasi sterik dengan mrna melalui dua sub-unit pembentuk ribosom. Pada mrna selalu terdapat kodon inisiasi (AUG) dan kodon terminasi (UAA, UAG, dan UGA). Pada saat ribosom bertemu dengan kodon terminasi, proses transiasi terhenti, rantai globin lengkap dilepaskan, dan kemudian sub-unit ribosom terlepas dari asam amino yang dibentuk dan didaur ulang. Selanjutnya rantai globin yang terbentuk akan berikatan dengan molekul hem pembentuk hemoglobin. (7) 2. Epidemiologi

12 Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti Italia, Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, SriLangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini di kenal sebagai kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia Tenggara adalah antara 3-9% (Tjokronegoro, 2001). Gen untuk thalassemia-β ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak terbatas pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti halnya di Muang Thai, thalassemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian Selatan Cina. Frekuensi thalassemia terbesar berpusat di daerah perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi sebesar 50-60% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frekuensi yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh (Tjokronegoro, 2001). Thalassemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian frekuensi carrier. Thalassemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa. Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama seperti Malaysia dan Singapura. Iskandar wahidayat (1979) melaporkan bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta di dapat kasus baru thalassemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya lebih sering di jumpai thalassemia beta

13 Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah). Selama 15 tahun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalassemia beta. Untuk talasemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih rendah di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Tjokronegoro, 2001). 3. * Etiologi Dasar kelainan pada thalassemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalassemia-α disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kecelakaan genetik, yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada thalassemia-β karena adanya mutasi gen tersebut. individu normal yang mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan alfa thal 1 terletak pada bagian pendek kromosom 16 (aa/aa). Hilangnya satu gen (silent carrier) tidak menunjukkan gejala klinis sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H) memberikan anemia moderat dan gambaran klinis talasemia-α intermedia. Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat terganggu dan destruksi eritrosit lebih cepat. Delesi ke 4 gen alfa (homosigot alfa thal 1, Hb

14 Barts Hydrops fetalis) adalah tidak kompatibel dengan kehidupan akhir intra uterin atau neo natal tanpa transfusi darah. Gen yang mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromosom 11. pada thalassemia-β, mutasi gen disertai berkurangnya produksi mrna dan berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal. Di bedakan dalam 2 golongan besar thalassemia-β : - ada produksi sedikit rantai beta (tipe beta plus) - tidak ada produksi rantai beta (tipe beta nol) Defisit sintesis globin beta hampir paralel dengan defisit globin beta mrna yang berfungsi sebagai template untuk sintesis protein. Pada thalassemia-β produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi Hb A2 dan atau Hb F tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak daripada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan ertitropoesis berlangsung tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. Eritropoesis di dalam sumsum tulang sangat giat, dapat memcapai lima kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ektra medular hati dan limpa. Destruksi eritrosit dan prekusornya dalam sumsum

15 tulang adalah luas (eritropoesis tak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan. Walaupun eritropoesis sangat giat hal ini tidak mampu mendewasakan eritrosit secara efektif. Salah satu sebab mungkin karena adanya presipitasi di dalam eritrosit. Pada kasus homosigot talasemia beta nol, sintesis rantai globin beta tidak ada. Sekitar 50% kasus-kasus ini globin beta mrna dalam retikulosit dan sel eritrosit muda berkurang atau tidak ada. Mutasi gen pada thalassemia-β bersifat sangat heterogen dan mencapai lebih dari 20 variasi genotip. Hal ini berbeda dengan thalassemia-α yang defek gennya agak homogenik. Gen-gen thalassemia-α 1, thalassemia-α 2, thalassemia-β, Hb E dan Hb konstan spring dapat bergabung dalam kombinasi yang berbeda-beda yang mengakibatkan suatu kompleks variasi sindrom. Thalassemia dengan lebih dari 60 genotip yang disetai dengan gejala yang bervariasi dari asimtomatik sampai letal seperti pada Hb bart s hydrops fetalis. Kemajuan-kemajuan dalam mengungkapkan penyebab genetik molekular pada thalassemia di dukung oleh pemeriksaan restriction endonuclease digestion dan geneblotting studies, namun demikian secara umum tidak dapat mendeteksi thalassemia-β yang disebabkan karena mutasi nukleotida yang tunggal atau delesi yang minimal. Thalassemia dan

16 hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit atau kelainan yang berdasarkan defek atau kelainan hanya satu gen. Thalassemia disertai peningkatan kadar bilirubin dalam serum. Umur eritrosit memendek pada keadaan thalassemia hiper splenisme. Pada penderita thalassemia terjadi anemia hemolitik dan limpa bertambah aktif * Patogenesis Thalassemia mayor beta terjadi akibat kegagalan sintesis rantai globin beta baik parsial ataupun total. Dan dengan demikian menyebabkan gangguan sintesis hemoglobin dan anemia kronik. Bila pewarisan adalah autosomal resesif.kelainan pada gen globin-β (terdapat bersama gen-τ dan-δ pada kromosom) bisanya berupa suatu mutasi titik yang mempengaruhi ekspresi gen ataupun pengolahan oleh messenger RNA. Telah diketahui beragam bentuk mutasi dan keragaman ini menjadi penyebab atas luasnya variasi derajat klinis kondisi ini. 4. Komplikasi Bagi thalassemia mayor memerlukan tranfusi darah seumur hidup. Pada thalassemia mayor komplikasi lebih sering sering di dapatkan dari pada thalassemia intermedia. Komplikasi neuromuskular tidak jarang terjadi.

17 Biasanya pasien terlambat berjalan. Sindrom neupati juga mungkin terjadi dengan kelemahan otot-otot proksimal. Terutama ekstremitas bawah akibat iskemia serebral dapat timbul episode kelainan neurologik fokal ringan, gangguan pendengaran munkin pula terjadi seperti pada kebanyakan anemia hemolitik atau diseritropoitik lain ada peningkatan kecenderungan untuk terbentuknya batu pigmen dalam kandung empedu. Serangan pirai sekunder dapat timbul akibat cepatnya trun over sel dalam sumsum tulang hemosiderosis akibat transfusi yang berulang-ulang dan atau salah pemberian obat-obat yang mengandung besi. Pencegahan untuk ini adalah dengan selatin azen misalnya desferal. Hepatitis paska transfusi bisa dijumpai terutama bila darah transfusi atau komponennya tidak diperiksa dahulu terhadap adanya keadaan patogen seperti HbsAg dan anti HCV. Penyakit AIDS atau HIV dan penyakit Creutzfeldt Jacob (Analog penyakit sapi gila=mad cow, pada sapi) dapat pula ditularkan melalui transfusi Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan penyakit jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis karena peningkatan endapan melanin dikatalisasi oleh endapan besi yang meningkat. Dengan chellatin agents hiperpigmentasi ini dapat di koreksi kembali. Tukak menahun pada kaki dapat di jumpai deformitas pada skelet, tulang dan sendi mungkin pula terjadi. Deformitas pada muka kadang-kadang

18 begitu berat sehingga memberikan gambaran yang menakutkan dan memerlukan operasi koreksi. Pembesaran limpa dapat mengakibatkan hipersplenisme dan dapat menyebabkan trombositopenia dan perdarahan. Komplikasi juga dapat berakibat gagal jantung. Trnsfusi darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Llimpa yang bbesar mudah rutur akibat trauma yang ringan. Kadang-kadang thalassemia disertai oleh tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombopenia. 5. Pencegahan Thalassemia Tubuh Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan dua tahap strategi dalam pencegahan thalassemia. Tahap pertama melibatkan pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang mempunyai risiko tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak dengan penyakit thalassemia. Tahap kedua melibatkan penyaringan penduduk untuk mengenal pasti pembawa dan memberi penjelasan kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan diagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap

19 thalassemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang mengidap thalassemia (Rusepno, 1985). 6. Pengobatan Dan Penatalaksanaan Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia. Transfusi darah diberikan bila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu desferal secara intramuskular atau intravena. Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum didapatkan tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah tampak, maka splenektomi tidak banyak gunanya lagi,. Sesudah splenektomi, frekuensi transfusi darah biasanya menjadi lebih jarang. Diberikan pula bermacammacam vitamin, tetapi preparat yang mengandung besi merupakan indikasi kontra (Rusepno, 1985). Dilaboratorium klinik, kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan berbagai cara : diantaranya dengan cara kolorimetrik seperti cara sianmethemoglobin (HiCN) dan dengan cara oksihemoglobin (HbO 2 ). International committee for standardization in Haematology (ICSH) menganjurkann pemeriksaan kadar hemoglobin cara sianmethemoglobin. Cara

20 ini mudah dilakukan, mempunyai standar yang stabil dan dapat mengukur semua jenis hemoglobin kecuali sulfhemoglobin. Metoda sahli yang berdasarkan pembentukan hematin asam tidak dianjurkan lagi, karena mempunyai kesalahan yang sangat besar, alat tidak dapat distandardisasi dan tidak semua jenis hemoglobin diubah menjadi hematin asam, seperti karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin. a. Temuan Laboratorium Kelainan morfologi erotrosit pada penderita thalassemia beta homozigot yang tidak di transfusi adalah eksterm di samping hipokronia dan mikrositosis berat., banyak ditemukan poikilosit yang terfrakmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intra eritrositik, yang merupakan presipitasi dari kelebihan rantai alfa, juga dapat terlihat paska splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dl kecuali jika transfusi di berikan. Kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap terutama paska splenektomi.

21 b. Terapi Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl. Regimen hiper transfusi ini mempunyai keuntungan klinis yang nyata memungkinkan aktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulangtulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis. Transfusi dengan dosis ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya di perlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah alloimunisasi dan mencehag reaksi transfusi. Lebih baik di gunakan PRC yang relatif segar (kurang dari 1 minggu dalam antikoagulan CPD) walaupun dengan ke hati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat di minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum transfusi. Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang, yang tidak dapat di hindari karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis. Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan dalam kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat di turunkan atau bahkan di cegah dengan pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating drugs)

22 deferoksamin, yang membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang di pertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6 malam/minggu penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum kurang dari 1000 ng/ml yang benar-benar di bawah nilai toksik. Komplikasi mematikan siderosis jantung dan hati dengan demikian dapat di cegah atau secara nyata tertunda. Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif serupa dengan deferoksamin. Karena kekhawatiran terhadap kemungkinan toksisitas (agranulositosis, artritis, artralgia) obat tersebut kini tidak tersedia di Amerika Serikat. Terapi hipertransfusi mencegah splenomegali masif yang di sebabkan oleh eritropoesis ekstra medular. Namun splenektomi akhirnya di perlukan karena ukuran organ tersebut atau karena hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk mempertimbangkan

23 splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum tulang ( CST) adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima transfusi sangat banyak. Namun, prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan mortalitas dan biasanya hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung yang sehat (yang tidak terkena) yang histokompatibel.

24 BAB 3 KESIMPULAN Thalassemia adalah suatu masalah yang semakin meningkat dan harus diberi perhatian. Program pendidikan tentang thalassemia perlu dilakukan. Karena melalui program pendidikan, kaunseling perkawinan dan diagnosis pranatal, pencegahan penyakit ini dapat dicapai. Thalassemia adalah kelainan genetik gen tunggal yang mengakibatkan berkurang atau tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai globin. Thalassemia tersebar dari Mediterranean sampi ke Asia Tenggara melalui Timur Tengah dan Asia Tengah serta anak benua India, membentuk sabuk thalassemia. Karena arus migrasi dan perkawinan pada saat ini penyakit thalassemia banyak dijumpai di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Gejala klinis penyakit thalassemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat tergantung pada jumlah sintesis gen globin yang berkurang. Thalassemia diturunkan secara hukum Mendel autosomal resesif. Thalassemia -α terdiri dari thalassemia-α 0 dan thalassemia-α +. Bentuk homozigot thalassemia-α 0 menimbulkan keadaan klinis yang berat yaitu bayi dapat mati dalam kandungan atau setelah lahir karena Hb Bart s hydrop fetalis. Dari seluruh individu yang dilaporkan diketahui bahwa

25 ibu yang hamil dengan Hb Bart s hydrop fetalis mengalami preeklamsia yang berat dengan hipertensi diastolik. Perkawinan antara carrier thalassemia-α 0 dan carrier thalassemia-α + akan memungkinkan menurunkan anak 25% menderita penyakit Hb-H dengan manifestasi klinis anemia ringan sampai berat. Penderita penyakit Hb-H sering mengalami/mendapat infeksi karena daya tahan tubuh menurun yang dapat diikuti dengan hemolisis eritrosit akut. Akibatnya anak tersebut memerlukan transfusi untuk mempertahankan hidupnya. Pemberian transfusi yang berlebihan akan menyebabkan penimbunan besi dalam berbagai organ tubuh dan hal ini dapat menimbulkan gangguan fungsi organ yang bersangkutan (Hemokromatosisi). Keadaan ini bukan hanya menjadi beban keluarga tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan negara. Oleh karena itu perhatian terhadap penyakit thalassemia harus lebih ditingkatkan baik oleh para sarjana yang terkait terutama para dokter maupun pemerintah. Di Sumatera khususnya kota Medan sebaiknya direncanakan suatu program penanganan penyakit thalassemia secara menyeluruh meliputi penemuan kasus dan pengobatan disamping pencegahan lahirnya bayi-bayi dengan sindroma thalassemia untuk menghindarkan generasi yang akan datang dari penyakit yang hampir selalu diakhiri dengan kematian pada masa anak-anak. Selain itu, juga memberikan penerangan kepada masyarakat dan

26 penderita thalassemia yamng mempunyai resiko akan kelahiran anak menderita thalassemia. Diagnosis pra-natal perlu disosialisasikan terutama bagi pasangan yang beresiko akan melahirkan anak menderita thalassemia mator dan Hb Bart s hydrop fetalis. Adanya suatu laboratorium yang lengkap untuk penelitian penyakit thalasemia sangat dirasakan keperluannya di Medan.

27 DAFTAR PUSTAKA Abdul, Dkk. (1985). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Arjatmo, T. (1992). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Sederhana, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Atul, B. (1996). Hematologi Klinik Uji Keterampilan diagnostik, Jakarta : Widya Medika Dewi, A. (2005). Hematologi, Jakarta : Buku Kedokteran EGC Djelantik, I.B (1996). Lekemia, Panduan Praktikum Dan 500 Soal Jawab Hematologi, Jakarta : Widya Medika Elizabeth, G. (1994). Diagnosis Pranatal Talasemia Di Malaysia, Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia Ganie, Dkk. (2004). Kajian DNA Thalassemia α di Medan, Medan : USU Press Iyan, D. (1996). Haematologi, Jakarta : Buku Kedokteran EGC Nelson, (1996). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : UI Sarwono, Dkk. (2001). Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Balai Penerbit FKUI

28 DAFTAR ISI Abstrak i Daftar Isi...ii BAB 1. Pendahuluan 1. Latar Belakang...1 BAB 2. Tinjauan Pustaka 1. - Definisi.5 - Fungsi Hemoglobin..5 - Sintesis Thalassemia.6 2. Epidemiologi Etiologi 10 - Patologi Komplikasi Pencegahan Thalassemia Pengobatan dan Penatalaksanaan 14

29 BAB 3. Kesimpulan 1. Kesimpulan 18 Daftar Pustaka...20

30 ABSTRAK Thalassemia merupakan penyakit yang berbahaya pada manusia, dan terjadinya penyakit ini akibat perkawinan pasangan yang carrier thalassemia. Oleh karena sampai saat ini belum ada pengobatan yang pasti untuk penyakit thalassemia maka pencegahannya harus dilaksanakan, dapat dengan cara menyaring penduduk yang sudah pasti pembawa (carrier) dan memberikan penjelasan kepada penduduk yang mempunyai resiko sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap thalassemia. Dalam hal ini penyuluhan akan thalassemia ini perlu dilakukan agar para orangtua mengerti dan dapat mengurangi ataupun meniadakan penyakit thalassemia ini. Mereka diberi penjelasan tentang thalassemia, bagaimana bisa terjadi penyakit ini apa akibatnya bagi anak dan juga beberapa cara pencegahannya.

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi struktur hemoglobin yang menyebabkan fungsi eritrosit menjadi tidak normal dan berumur pendek.

Lebih terperinci

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia Disusun Oleh : Gillang Eka Prasetya (11.955) PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN AKADEMI KESEHATAN ASIH HUSADA SEMARANG 2012 / 2O13 THALASEMIA A.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia β adalah kelainan sel eritrosit bawaan akibat berkurang atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia β adalah kelainan sel eritrosit bawaan akibat berkurang atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia β adalah kelainan sel eritrosit bawaan akibat berkurang atau tidak disintesisnya rantai globin β yang di sebabkan oleh adanya mutasi gen globin β. Pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dalam darah individu. Eritrosit

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dalam darah individu. Eritrosit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia adalah kelainan genetik bersifat autosomal resesif yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dalam darah individu. Eritrosit mengandung hemoglobin

Lebih terperinci

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010 THALASEMIA A. DEFINISI Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan jaringan yang sangat penting bagi kehidupan, yang tersusun atas plasma darah dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) (Silbernagl & Despopoulos,

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Thalassemia atau sindrom thalassemia merupakan sekelompok heterogen dari anemia hemolitik bawaan yang ditandai dengan kurang atau tidak adanya produksi salah

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Thalassemia Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Maiyanti Wahidatunisa Nur Fatkhaturrohmah Nurul Syifa Nurul Fitria Aina

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Haemoglobin adalah senyawa protein dengan besi (Fe) yang dinamakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Haemoglobin adalah senyawa protein dengan besi (Fe) yang dinamakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Haemoglobin 1. Definisi Haemoglobin Haemoglobin adalah senyawa protein dengan besi (Fe) yang dinamakan konjungsi protein, sebagai intinya Fe dan dengan rangka protoporphyrin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi

BAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Thalassemia adalah suatu penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif yang disebabkan karena kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelompok kelainan genetik yang diakibatkan oleh mutasi yang menyebabkan kelainan pada hemoglobin. Kelainan yang terjadi akan mempengaruhi produksi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Talasemia Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara tahun 1925 sampai 1927.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang

BAB I PENDAHULUAN. rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelainan genetik dengan pola pewarisan autosomal resesif yang disebabkan karena adanya mutasi pada gen penyandi rantai globin, yaitu gen HBA yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Thalassemia Thalassemia merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi di dalam atau di dekat gen globin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kronis merupakan suatu kondisi yang menyebabkan seseorang dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang menderita penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hemoglobin Darah orang dewasa normal memiliki tiga jenis hemoglobin, dengan komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2. Hemoglobin minor yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah normal eritrosit, konsentrasi hemoglobin, atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering merupakan komplikasi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi dalam konteks kesehatan adalah suatu proses penyampaian pesan kesehatan oleh komunikator melalui saluran/media tertentu pada komunikan dengan tujuan yang

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dinamakan sebagai pembuluh darah dan menjalankan fungsi transpor berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dinamakan sebagai pembuluh darah dan menjalankan fungsi transpor berbagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Darah Darah adalah jaringan tubuh yang berbeda dengan jaringan tubuh lain, berbeda dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup yang dinamakan sebagai pembuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Angka kejadian penyakit talasemia di dunia berdasarkan data dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Istilah talasemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan Haema (darah)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Istilah talasemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan Haema (darah) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. THALASSEMIA 2.1.1. Defenisi Istilah talasemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan Haema (darah) yang mengacu pada adanya gangguan sintesis dari rantai globin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak dengan penyakit kronis lebih rentan mengalami gangguan psikososial dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit neurologi seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah dengan nilai MCV lebih kecil dari normal (< 80fl) dan MCH lebih kecil dari nilai normal (

Lebih terperinci

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia Hemolitik Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia hemolitik didefinisikan : kerusakan sel eritrosit yang lebih awal.bila tingkat kerusakan lebih cepat dan kapasitas sumsum tulang

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns I. DEFINISI Talasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi

Lebih terperinci

Polimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging

Polimerase DNA : enzim yang berfungsi mempolimerisasi nukleotidanukleotida. Ligase DNA : enzim yang berperan menyambung DNA utas lagging DNA membawa informasi genetik dan bagian DNA yang membawa ciri khas yang diturunkan disebut gen. Perubahan yang terjadi pada gen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada produk gen tersebut. Gen sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hepatitis B adalah infeksi virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit akut, kronis dan juga kematian. Virus ini ditularkan melalui kontak dengan

Lebih terperinci

Etiology dan Faktor Resiko

Etiology dan Faktor Resiko Etiology dan Faktor Resiko Fakta Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berukuran kecil, bersampul, berantai tunggal, dengan sense positif Karena

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TALASEMIA 2.1.1. Definisi Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul hemoglobin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Adelia Kartikasari G0008190 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk

Lebih terperinci

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini Hepatitis Virus Oleh Dedeh Suhartini Fungsi Hati 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Metabolisme lemak. 5. Penyimpanan vitamin dan mineral. 6. Metabolisme

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Viskositas Darah Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap resistensi aliran darah. Viskositas darah tergantung beberapa faktor, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan 140 mmhg dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular adalah sistem organ pertama yang berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang

Lebih terperinci

Pendahuluan. Kelainan dan penyakit genetika. Kariotipe kromosom. Deteksi Mutasi DNA. Teknik pengecatan pada kromosom 5/25/2016

Pendahuluan. Kelainan dan penyakit genetika. Kariotipe kromosom. Deteksi Mutasi DNA. Teknik pengecatan pada kromosom 5/25/2016 Pendahuluan Kelainan dan penyakit genetika Anas Tamsuri Penyakit atau kelainan yang terjadi pada materi genetik akan diturunkan pada turunannya Penyakit atau kelainan genetik terbagi 2 Kelainan kromosom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

PENDEKATAN DIAGNOSIS LABORATORIUM TALASEMI

PENDEKATAN DIAGNOSIS LABORATORIUM TALASEMI PENDEKATAN DIAGNOSIS LABORATORIUM TALASEMI Franciska Rahardjo. 2006; Pembimbing I : Dani Brataatmadja, dr., Sp.PK Pembimbing II : Penny Setyawati, dr., Sp.PK, M.Kes ABSTRAK Talasemi adalah kelainan darah

Lebih terperinci

ASPEK GENETIK TALASEMIA

ASPEK GENETIK TALASEMIA ASPEK GENETIK TALASEMIA Joyce Regar Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Abstract: Genetic disorders are caused by the presence of affected genes. Thalassaemia, a kind of

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dan merupakan penyumbang tertinggi angka kematian perinatal dan neonatal. Kematian neonatus

Lebih terperinci

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK 2 Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Thalasemia

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK 2 Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Thalasemia MAKALAH KEPERAWATAN ANAK 2 Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Thalasemia Oleh Kelompok 7 : 1 Sofiana Ulfa Maysaroh (7310020) 2 Fahrul Amiruddin (7310026) FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI S1 KEPERRAWATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. β-thalassemia mayor memiliki prognosis yang buruk. Penderita β-thalassemia. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. β-thalassemia mayor memiliki prognosis yang buruk. Penderita β-thalassemia. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah suatu penyakit herediter yang ditandai dengan adanya defek pada sintesis satu atau lebih rantai globin. Defek sintesis rantai globin pada penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS I. Tujuan Percobaan 1. Mempelajari dan memahami golongan darah. 2. Untuk mengetahui cara menentukan golongan darah pada manusia. II. Tinjauan Pustaka Jenis penggolongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh mensintesis subunit α atau β-globin pada hemoglobin dalam jumlah yang abnormal (lebih sedikit). 1,2

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 10. GENETIKA MIKROBA Genetika Kajian tentang hereditas: 1. Pemindahan/pewarisan sifat dari orang tua ke anak. 2. Ekspresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatik merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif (Nurdjanah, 2009). Sirosis hepatik merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin tingginya tingkat pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan

BAB I PENDAHULUAN. Semakin tingginya tingkat pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin tingginya tingkat pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di era globalisasi menuntut penyedia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2, HbF( fetus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2, HbF( fetus) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HbA 1c (hemoglobin terglikasi /glikohemoglobin/hemoglobin terglikosilasi/ Hb glikat/ghb) 2.1.1Biokimiawi dan metabolisme Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2,

Lebih terperinci

SILABUS UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN

SILABUS UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN Fakultas : Kedokteran Program Studi : Pendidikan Dokter Blok : Hematologi Bobot : 4 SKS Semester : II Standar Kompetensi : etiologi, patogenesis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat

BAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Talasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat perubahan atau kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Masa kehamilan adalah suatu fase penting dalam pertumbuhan anak karena calon

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia membawa gen penyakit ini. Kalau sepasang dari mereka menikah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia membawa gen penyakit ini. Kalau sepasang dari mereka menikah, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Thalassaemia Thalassaemia merupakan salah satu jenis anemia hemolitik dan merupakan penyakit keturunan yang diturunkan secara autosomal yang paling banyak dijumpai di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Anemia secara praktis didefenisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas normal. Namun, nilai normal yang akurat untuk ibu hamil sulit

Lebih terperinci

BAB 2BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan bagian padat. Bagian cair disebut plasma sedangkan bagian yang padat

BAB 2BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan bagian padat. Bagian cair disebut plasma sedangkan bagian yang padat BAB 2BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DARAH Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian cair dan bagian padat. Bagian cair disebut plasma sedangkan bagian yang padat disebut sel darah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah dan sel darah. Sel darah terdiri atas tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah dan sel darah. Sel darah terdiri atas tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM DARAH Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sel darah terdiri atas tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan di PMI antara lain mencakup pengerahan donor, penyumbangan darah, pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan, dan penyampaian darah kepada pasien. Kegiatan

Lebih terperinci

KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah

KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah 126070100111044 Latar Belakang: Metabolisme merupakan suatu proses (pembentukan dan penguraian) zat-zat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang kesehatan berkaitan erat dengan mewujudkan kesehatan anak sejak dini, sejak masih dalam kandungan. Untuk itulah upaya kesehatan ibu sebaiknya dipersiapkan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya konsentrasi hemoglobin di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. 8,9 Sedangkan literatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun organ) karena suatu organisme harus menukarkan materi dan energi

BAB I PENDAHULUAN. maupun organ) karena suatu organisme harus menukarkan materi dan energi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jantung merupakan organ yang sangat vital bagi tubuh. Semua jaringan tubuh selalu bergantung pada aliran darah yang dialirkan oleh jantung. Jantung memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hati merupakan suatu penyakit yang memiliki penyebaran di seluruh dunia. Individu yang terkena sangat sering tidak menunjukkan gejala untuk jangka waktu panjang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rusak dan terkontaminasi oleh zat-zat yang tidak berbahaya maupun yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rusak dan terkontaminasi oleh zat-zat yang tidak berbahaya maupun yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pencemaran Udara Pencemaran udara adalah suatu kondisi di mana kualitas udara menjadi rusak dan terkontaminasi oleh zat-zat yang tidak berbahaya maupun yang membahayakan kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hemoglobin 1. Pengertian Hemoglobin merupakan pigmen yang mengandung zat besi terdapat dalam sel darah merah dan berfungsi terutama dalam pengangkutan oksigen dari paru- paru

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan memberikan perubahan yang besar terhadap tubuh seorang ibu hamil. Salah satu perubahan yang besar yaitu pada sistem hematologi. Ibu hamil sering kali

Lebih terperinci

Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari Juli 2013

Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari Juli 2013 Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2009 - Juli 2013 Oleh : DIADORA 100100068 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS HEMATOLOGI Darah Tempat produksi darah (sumsum tulang dan nodus limpa) DARAH Merupakan medium transport tubuh 7-10% BB normal Pada orang dewasa + 5 liter Keadaan

Lebih terperinci

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan Curriculum vitae Nama : AA G Sudewa Djelantik Tempat/tgl lahir : Karangasem/ 24 Juli 1944 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jln Natuna 9 Denpasar Bali Istri : Dewi Indrawati Anak : AAAyu Dewindra Djelantik

Lebih terperinci

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI Oleh : Dr.Prasetyo Widhi Buwono,SpPD-FINASIM Program Pendidikan Hematologi onkologi Medik FKUI RSCM Ketua Bidang advokasi

Lebih terperinci

Kasus Penderita Diabetes

Kasus Penderita Diabetes Kasus Penderita Diabetes Recombinant Human Insulin Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Sejak Banting & Best menemukan hormon Insulin pada tahun 1921, pasien diabetes yang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Retensio Plasenta 1. Definisi Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir 30 menit setelah bayi lahir pada manajemen aktif kala tiga. 1 2. Patologi Penyebab retensio plasenta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ atau kelenjar terbesar dari tubuh yang berfungsi sebagai pusat metabolisme, hal ini menjadikan fungsi hepar sebagai organ vital. Sel hepar rentan

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI)

PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS. TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI) PELATIHAN NEFROLOGI MEET THE PROFESSOR OF PEDIATRICS TOPIK: Tata laksana Acute Kidney Injury (AKI) Pembicara/ Fasilitator: DR. Dr. Dedi Rachmadi, SpA(K), M.Kes Tanggal 15-16 JUNI 2013 Continuing Professional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,

Lebih terperinci

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di Membran Inti Inti sel atau nukleus sel adalah organel yang ditemukan pada sel eukariotik. Organel ini mengandung sebagian besar materi genetik sel dengan bentuk molekul DNA linear panjang yang membentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

Genetika dari Hemokromatosis Keturunan

Genetika dari Hemokromatosis Keturunan Genetika dari Hemokromatosis Keturunan Hayyu Indrianingrum Program Studi Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Hayyu.indrianingrum@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap pasangan pasti ingin merencanakan sebuah keluarga yang bahagia dengan menikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menikah adalah ikatan (akad) perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per

BAB I PENDAHULUAN. 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup. Pada

Lebih terperinci

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum Anda pasti sudah sering mendengar istilah plasma dan serum, ketika sedang melakukan tes darah. Kedua cairan mungkin tampak membingungkan, karena mereka sangat mirip dan memiliki penampilan yang sama, yaitu,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr.

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian bidang Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II Catatan Fasilitator Rangkuman Kasus: Agus, bayi laki-laki berusia 16 bulan dibawa ke Rumah Sakit Kabupaten dari sebuah

Lebih terperinci