HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan
|
|
- Bambang Wibowo
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Adelia Kartikasari G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
2 DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan Penelitian... 5 D. Manfaat Penelitian... 5 BAB II LANDASAN TEORI... 6 A. Tinjauan Pustaka...6 B. Kerangka Pemikiran C. Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Lokasi Penelitian C. Subjek Penelitian D. Teknik Sampling...34 E. Rancangan Penelitian vii
3 F. Variabel Penelitian G. Definisi Operasional Variabel Penelitian H. Instrumen Penelitian I. Cara Kerja J. Teknik Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Sampel Penelitian B. Analisis Statistika BAB V PEMBAHASAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii
4 DAFTAR TABEL Tabel 1. Perbandingan Pemberian Iron Chelating Agent Tabel 2. Kategori dan Ambang Batas Tinggi Badan Berdasarkan Indeks PB/U dan TB/U Tabel 3. Karakteristik Sampel Penelitian Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol dan Tinggi Badan.. 45 Tabel 7. Hasil Analisis dengan Uji Chi Square ix
5 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran Gambar 2. Rancangan Penelitian Gambar 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol pada Jenis Kelamin Laki-laki Gambar 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol pada Jenis Kelamin Perempuan...47 Gambar 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Tinggi Badan pada Jenis Kelamin Laki-laki...48 Gambar 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Tinggi Badan pada Jenis Kelamin Perempuan...49 x
6 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian di RSUD Dr. Moewardi Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Tabel Sampel Penelitian Kurva Pertumbuhan (Z-score) WHO 2005 pada Sampel Penelitian Rerata Umur Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol Rerata Umur Sampel Berdasarkan Tinggi Badan Hasil Analisis Statistik dengan Uji Chi Square xi
7 ABSTRAK Adelia Kartikasari, G , Hubungan antara Frekuensi Kontrol dengan Tinggi Badan pada Pasien Talasemia Mayor Tujuan: Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi badan pada pasien talasemia mayor, seperti kadar hemoglobin dan kadar feritin. Kedua hal tersebut dapat dipantau pada saat pasien talasemia melakukan kontrol di rumah sakit. Pasien yang sering melakukan kontrol memiliki kadar hemoglobin dan feritin yang normal, sedangkan pasien yang jarang kontrol memiliki kadar hemoglobin yang rendah dan kadar feritin yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien talasemia mayor yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi. Teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Data penelitian diperoleh dari pengukuran tinggi badan dan data rekam medik tentang frekuensi kontrol pada bulan April 2010 sampai bulan Maret Analisis statistik menggunakan uji Chi Square. Hasil: Dari total 34 jumlah sampel dengan rentang usia 4 16 tahun, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 28 sampel yang terdiri atas 17 pasien dengan frekuensi sering kontrol dan 11 pasien dengan frekuensi jarang kontrol. Dari 17 pasien dengan frekuensi sering kontrol, didapatkan 11 pasien dengan kategori tinggi badan normal dan 6 pasien dengan kategori tinggi badan pendek, sedangkan dari 11 pasien dengan frekuensi jarang kontrol, didapatkan 3 pasien dengan kategori tinggi badan normal dan 8 pasien dengan kategori tinggi badan pendek. Hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor menghasilkan nilai p = Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor (p = 0.053). Kata kunci : frekuensi kontrol, tinggi badan, talasemia mayor iv
8 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyakit kelainan darah yang cukup ditakuti orang adalah talasemia. Penyakit turunan yang dibawa oleh genetik resesif orang tua ini dapat berakibat fatal apabila tidak ditangani dengan serius. Apalagi, talasemia merupakan penyakit yang akan dibawa penderitanya sejak dari masa kanak-kanak hingga tua. Talasemia tidak dapat disembuhkan, tetapi penderitanya dapat memperbaiki kualitas hidupnya (Hoffbrand et al., 2005; Hassan dan Alatas, 2007). Talasemia adalah suatu penyakit yang disebabkan karena tidak terbentuk atau kurangnya sintesis rantai globin α atau β akibat mutasi DNA. Apabila penurunan sintesis terjadi pada rantai α, maka disebut talasemia α, sedangkan apabila penurunan sintesis terjadi pada rantai β, maka kelainannya disebut talasemia β. Karena sintesis rantai globin tidak seimbang, maka kompleks hemoglobin (Hb) yang terbentuk tidak stabil sehingga menyebabkan hemolisis yang akan menimbulkan gejala anemia (Schwartz, 2005; Bakta, 2007). Menurut distribusi geografisnya, talasemia α sering dijumpai di Asia Tenggara, sedangkan talasemia β banyak dijumpai di Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan dan Asia. Berdasarkan gambaran klinisnya, talasemia β dibagi lagi menjadi talasemia β major yang membutuhkan transfusi seumur hidup, talasemia intermedia, dan talasemia minor atau trait yang asimptomatik (Hoffbrand et al., 1
9 2 2005; Lanzkowsky, 2005; Bakta, 2007). Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko tinggi talasemia. Prevalensi pembawa sifat talasemia di Indonesia berkisar 3-8%, maka apabila dimisalkan prevalensinya 5% saja dan angka kelahiran 23 per 1000 dari 240 juta penduduk, akan terdapat 3000 bayi baru lahir dengan talasemia setiap tahun. Melihat tingginya prevalensi talasemia di Indonesia, maka talasemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Untuk mengatasi masalah talasemia, diperlukan manajemen perawatan standar bagi pasien talasemia yang meliputi skrining talasemia dengan tes DNA, diagnosis talasemia dengan Hb elektroforesis, penatalaksanaan berupa transfusi darah dan terapi dengan iron chelating agent serta memonitoring keadaan pasien dengan teknik pencitraan (Vichinsky et al., 2009). Skrining talasemia yang dilakukan bertujuan untuk menentukan prognosis, terapi yang sesuai serta mencegah bertambahnya kasus talasemia dengan konseling keluarga (Nelson et al., 2000). Setelah dilakukan skrining kemudian pasien yang dicurigai menderita talasemia diperiksa dengan Hb elektroforesis untuk menentukan apakah pasien menderita talasemia alfa atau beta. Apabila pasien terdiagnosis menderita talasemia beta, kemudian ditentukan pula apakah pasien masuk dalam kategori mayor, intermedia atau minor karena penatalaksanaan masing-masing kategori berbeda. Pada pasien talasemia mayor, akan timbul manifestasi berupa anemia akibat ketidakmampuan tubuh untuk mengkompensasi penurunan hemoglobin akibat eritropoiesis yang inefektif. Hal tersebut bila tidak ditangani dengan baik
10 3 dapat menyebabkan wajah pucat, hepatosplenomegali, keterlambatan pubertas, gangguan pertumbuhan serta ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas seharihari (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005). Untuk mengatasi hal tersebut, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dengan memberikan transfusi sel darah merah. Transfusi yang dilakukan tergantung dari kadar hemoglobin pasien sebelum transfusi, jika kadar Hb 9-9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl, maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan menambah volume transfusi (Vichinsky et al., 2009). Transfusi yang dilakukan bersifat terus-menerus karena penyebab dari talasemia tidak dapat disembuhkan. Hal ini dapat berdampak buruk bagi pasien talasemia, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan ini dapat terjadi karena tiap 500 ml darah yang diberikan kira-kira mengandung 200 mg besi yang dapat menumpuk pada kelenjar endokrin dan hipofisis anterior sehingga dapat mengganggu produksi hormon pertumbuhan (Kowdley dan Kaplan, 1998; Mehta dan Hoffbrand, 2008). Untuk mengontrol dampak buruk ini, maka setiap 6 bulan sekali pasien diharuskan datang ke rumah sakit dan melakukan evaluasi total transfusi yang didapat. Dari hasil kontrol tersebut, dapat diperkirakan dampakdampak yang dapat terjadi sehingga akibat buruk dapat diminimalisir. Gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia dapat diketahui dengan pengukuran tinggi badan dan dicocokkan dengan tinggi badan anak normal dengan menggunakan standar pertumbuhan (Z-Score) dari WHO. Pengukuran dilakukan
11 4 rutin setiap bulan untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya gangguan pada pertumbuhan. Apabila gangguan pertumbuhan tersebut disebabkan transfusi yang terus-menerus, maka penatalaksanaan yang tepat adalah dengan memberikan terapi berupa iron chelating agent yang dapat meningkatkan ekskresi besi melalui urin dan tinja (Brittenham et al., 1994). Awal dan waktu pemberian obat ini didasarkan atas tiga hal, yaitu jumlah total transfusi yang didapat, kadar feritin dan konsentrasi besi hati dengan pemeriksaan biopsi hati (Prabhu et al., 2009). Monitoring pemberian iron chelating agent diperlukan untuk mencegah efek samping yang dapat timbul. Mengingat banyaknya dampak buruk yang dapat timbul pada pasien talasemia, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan, maka diperlukan frekuensi kontrol yang teratur minimal satu bulan sekali untuk mencegah hal tersebut terjadi. Dari uraian yang telah disebutkan di atas, maka penulis ingin meneliti apakah tinggi badan pasien talasemia yang dipengaruhi oleh peningkatan eritropoiesis dan penumpukan besi pada kelenjar hipofisis anterior berhubungan dengan frekuensi kontrol pada pasien talasemia mayor. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian: Adakah hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor?
12 5 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wawasan tentang hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pasien talasemia mayor. 2. Manfaat praktis Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
13 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Talasemia a. Definisi Talasemia Sindrom talasemia merupakan sekelompok kelainan hematologi yang diwariskan secara autosomal resesif, akibat adanya kelainan sintesis rantai polipeptida α atau β hemoglobin manusia (Schwartz, 2005). Menurut Nelson et al. (2000), talasemia diartikan sebagai suatu keadaan anemia hipokromik herediter dengan berbagai derajat keparahan. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan terjadinya talasemia meliputi delesi total atau parsial gen rantai globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan talasemia adalah suatu kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan terjadi pada globin yang terdapat dalam hemoglobin. Fungsi dari hemoglobin tersebut adalah sebagai penyuplai oksigen ke jaringan tubuh. Adanya mutasi pada gen pembentuk globin menyebabkan penurunan atau tidak terbentuknya rantai α atau β sehingga hemoglobin yang terbentuk tidak sempurna. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi eritrosit atau hemolisis oleh makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di hati, limpa dan sumsum tulang (Bakta, 2007). Karena 6
14 7 kurangnya eritrosit yang dibutuhkan tubuh, terjadi peningkatan aktivitas sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit dalam jumlah cukup. Suplai oksigen ke jaringan tubuh juga menjadi kurang sehingga timbul gejala anemia pada pasien talasemia. b. Etiologi Talasemia Talasemia terjadi akibat dari defek genetik pada hemoglobin. Adanya mutasi pada gen globin, baik α maupun β menyebabkan hemoglobin yang terbentuk tidak normal. Karena hemoglobin yang terbentuk tidak sempurna, maka eritrosit yang terbentuk juga tidak normal sehingga terjadi proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya. Hemolisis terutama terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendotelial terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang. Peningkatan penghancuran eritrosit menyebabkan penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Untuk mengkompensasi kebutuhan eritrosit, maka sumsum tulang akan meningkatkan aktivitasnya untuk memproduksi eritrosit dalam jumlah cukup (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al., 2005; Bakta, 2007). c. Klasifikasi Talasemia Menurut Nelson et al. (2000) dan Bakta (2007), talasemia diklasifikasikan menjadi: 1) Talasemia α Talasemia α terjadi karena penurunan sintesis rantai globin α akibat kelainan genetik berupa delesi pada gen α. Kelainan ini banyak
15 8 ditemukan di Afrika, daerah Mediterania dan sebagian besar Asia (Permono et al., 2005). Berdasarkan jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif, maka terdapat empat bentuk talasemia α yang berbeda. Delesi gen globin α tunggal menyebabkan silent carrier talasemia α (Lanzkowsky, 2005). Manifestasi yang timbul biasanya tidak ada, kemungkinan hanya mikrositosis ringan. Bentuk talasemia seperti ini didapatkan di Amerika dan Afrika dengan prevalensi sebesar 25%. Pasien dengan carrier talasemia dapat dikenali pada saat lahir oleh adanya sejumlah kecil hemoglobin Bart (γ 4 ) pada elektroforesis. Individu yang kekurangan dua gen globin α menunjukkan gambaran anemia mikrositik ringan dan pada umumnya menyerupai pasien dengan ciri talasemia β. Pada saat lahir ditemukan mikrositosis dan hemoglobin Bart dengan jumlah sedang. Hemoglobin Bart menghilang pada umur 3-6 bulan dan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin sesudah umur tersebut menunjukkan keadaan normal. Namun demikian, mikrositosis menetap seumur hidup. Individu ini disebut sebagai pengemban bakat talasemia α (Nelson et al., 2000). Delesi tiga gen globin α menyebabkan ketidakseimbangan antara sintesis rantai α dan β. Akumulasi rantai β yang berlebih menyebabkan pembentukan hemoglobin inklusi H (β 4 ). Hasil laboratorium yang ditemukan pada kelainan ini adalah anemia mikrositik hipokrom dengan Hb 7-11 gr/dl, sferositosis serta retikulositosis dan splenomegali. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit
16 9 Hb H karena hemoglobin H dapat dideteksi dalam eritrosit dengan pemeriksaan elektroforesis (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al., 2005). Jika delesi terjadi pada semua gen globin α disertai tidak adanya sama sekali sintesis rantai α, maka terjadi kelainan hidrops fetalis yang dapat menyebabkan eritoblastosis fetalis berat dengan lahir mati atau kematian segera pasca lahir. Kelainan ini merupakan bentuk talasemia α yang paling berat. Pada saat lahir, elektroforesis hemoglobin menunjukkan hemoglobin Bart (γ 4 ) dan hemoglobin embrional. Biasanya pada wanita hamil yang janinnya terdeteksi kelainan ini dianjurkan untuk menghentikan kehamilan karena kesehatan ibu terancam dengan mengandung janin yang hidropik (Nelson et al., 2000; Permono et al., 2005). 2) Talasemia β Talasemia β terjadi karena penurunan sintesis rantai globin β akibat kelainan genetik, biasanya akibat point mutation pada gen globin β yang menyebabkan produksi rantai β terhenti atau berkurang. Jika pembentukan rantai β terhenti maka disebut varian β o, tetapi apabila masih ada sintesis rantai β maka disebut varian β +. Talasemia β dibagi lagi berdasarkan gambaran klinisnya, yaitu talasemia β major yang tergantung pada transfusi darah, talasemia intermedia, dan talasemia trait atau minor yang merupakan bentuk heterozigot yang asimptomatik (Bakta, 2007).
17 10 a) Talasemia mayor Talasemia mayor merupakan bentuk homozigot dari talasemia β dengan gejala anemia berat. Berdasarkan gambaran klinisnya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang mendapat transfusi baik dan yang tidak mendapat transfusi dengan baik. Apabila pasien talasemia mayor mendapat transfusi secara teratur, maka anak akan tumbuh normal sampai dekade ke 4-5. Setelah itu, akan timbul gejala iron overload yang dapat menumpuk di organ-organ tubuh yang dapat berakibat fatal. Sedangkan pada pasien talasemia mayor yang tidak mendapatkan transfusi akan timbul anemia yang khas, yaitu Cooley s anemia. Gejala-gejala pucat, anemia, kurus dan hepatosplenomegali akan timbul pada saat berumur 3-6 bulan. Selanjutnya dapat terjadi gangguan pada tulang, tulang tengkorak, dan pertumbuhan (Hoffbrand et al., 2005; Bakta, 2007). Pasien talasemia mayor membutuhkan transfusi darah secara berulang untuk mencegah efek dari anemia. Transfusi berulang dapat menyebabkan peningkatan kadar besi di dalam tubuh. Besi yang menumpuk di organ-organ tubuh dapat berakibat fatal. Penumpukan besi pada kelenjar endokrin dan hipofisis anterior dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, sedangkan penumpukan besi pada jantung dapat menyebabkan gagal jantung, aritmia, miokarditis, perikarditis dan infark miokard yang
18 11 merupakan faktor penyebab kematian pada pasien talasemia sebesar 71 % (Prabhu et al., 2009). Untuk mengukur kadar besi dalam tubuh, dilakukan pemeriksaan biopsi hati untuk menilai konsentrasi besi di hati. Kadar besi hati sebesar 15 mg/gr berat kering hati merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jantung. Untuk menurunkan kadar besi dalam tubuh, diperlukan terapi pengikat besi. Terapi biasanya dimulai apabila satu atau lebih dari kriteria di bawah ini terpenuhi: (1) Pasien telah menerima transfusi darah 100 ml/kg atau kurang lebih unit pada anak dengan berat badan 15 kg. (2) Serum feritin > 1000 ng/dl. (3) Konsentrasi besi hati (diukur 1 tahun setelah transfusi regular) > 7 mg/gr berat kering hati. (Prabhu et al., 2009). b) Talasemia intermedia Kasus talasemia dengan hemoglobin 7-10 gr/dl yang tidak membutuhkan transfusi secara teratur disebut talasemia intermedia (Lanzkowsky, 2005). Talasemia intermedia dapat disebabkan oleh talasemia β homozigot dengan produksi Hb F yang lebih dari biasanya, atau dengan defek genetik pada sintesis rantai β. Manifestasi klinis yang terlihat adalah deformitas tulang, hepatosplenomegali dan iron overload (Bakta, 2007).
19 12 c) Talasemia minor/trait Talasemia minor merupakan bentuk heterozigot yang asimptomatik. Orang-orang dengan talasemia minor tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Diagnosis ditegakkan dengan gambaran darah mikrositik hipokrom (Mean Corpuscular Volume dan Mean Corpuscular Hemoglobin sangat rendah) serta anemia ringan dengan kadar Hb gr/dl meskipun jumlah eritrosit tinggi. Penegakan diagnosis pasti kelainan ini dengan didapatkan kadar Hb A 2 yang tinggi. Pentingnya penegakan diagnosis talasemia minor adalah memungkinkannya dilakukan konseling pranatal pada pasangan yang memiliki sifat pembawa talasemia (Hoffbrand et al., 2005). d. Manifestasi Klinis Talasemia Menurut Nelson et al. (2000), Hoffbrand et al. (2005) dan Permono et al. (2005), manifestasi klinis pasien talasemia mayor adalah sebagai berikut: 1) Anemia berat terlihat pada umur 3-6 bulan setelah kelahiran. 2) Ekspansi masif sumsum tulang di muka dan tengkorak menyebabkan wajah yang khas pada pasien talasemia. 3) Wajah terlihat pucat akibat anemia. 4) Limpa dan hati membesar akibat destruksi eritrosit, hemopoiesis ekstramedular dan hemosiderosis.
20 13 5) Pertumbuhan yang terganggu dan keterlambatan pubertas akibat kelainan endokrin sekunder. e. Diagnosis Talasemia Menurut Hoffbrand et al. (2005) dan Hassan dan Alatas (2007), diagnosis talasemia ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut: 1) Analisis hemoglobin sebagai tes diagnostik utama dalam menentukan jenis talasemia 2) Gejala klinis seperti pucat, anemia, hepatosplenomegali. 3) Analisis DNA untuk diagnosis pranatal. 4) Gambaran darah tepi untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel darah. 5) Pemeriksaan radiologis terlihat brush appearance. f. Penatalaksanaan Talasemia 1) Transfusi darah Terapi yang diberikan secara teratur adalah transfusi sel darah merah untuk mempertahankan kadar Hb di atas 12 gr/dl dan tidak melebihi 15 gr/dl (Mansjoer et al., 2000). Transfusi darah pertama kali diberikan bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl (Permono et al., 2005). Sebelum melakukan transfusi yang pertama kali, status besi dan asam folat pasien harus diukur terlebih dahulu. Setelah itu, transfusi dilakukan setiap 1 bulan sekali tergantung dari hasil pengukuran kadar hemoglobin. Jika kadar Hb 9-9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl,
21 14 maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan menambah volume transfusi. Sel darah merah yang ditransfusikan sebanyak 5ml/kg/jam dengan kadar Hb setelah transfusi tidak boleh lebih dari 15 gr/dl. Pada pasien dengan anemia sedang (Hb < 5 gr/dl) atau gangguan jantung, rata-rata transfusi harus dikurangi 2 ml/kg/jam dari dosis standar untuk mencegah kelebihan cairan. Apabila dibutuhkan, dapat diberikan diuretik, misalnya furosemid untuk mengatasi kelebihan cairan yang terjadi. Sedangkan pada pasien dengan insufisiensi jantung, kadar Hb tinggi pre-transfusi (10-12 gr/dl), harus diseimbangkan dengan volume transfusi yang rendah tiap 1 sampai 2 minggu sekali. Setiap 6 bulan sekali, total transfusi yang didapat harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat (cc) dan dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir (cc/kg/tahun). Jika total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun, maka perlu dieksplorasi lebih lanjut tentang kemungkinan efek yang timbul akibat transfusi yaitu kemungkinan terjadinya hipersplenisme dan kadar besi berlebih di dalam tubuh karena setiap 500 ml darah kira-kira mengandung 200 mg besi (Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005). 2) Asam folat Asam folat diberikan 5 mg/hari secara teratur untuk membantu produksi sel darah merah (Meadow dan Newell, 2005).
22 15 3) Terapi kelasi besi Penumpukan besi pada organ-organ tubuh sangat berbahaya, terutama pada jantung yang dapat berakibat kematian. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian obat kelasi besi yang dapat mengekskresikan besi melalui urin. Tujuan konservatif pemberian obat pengikat besi ini adalah untuk mempertahankan konsentrasi simpanan besi hati sekitar 3,2-7 mg/gr berat kering jaringan hati. Menurut Prabhu et al. (2009) dan Vichinsky et al. (2009), pemberian awal obat kelasi besi didasarkan atas: a) Pengukuran konsentrasi besi hati dengan pemeriksaan biopsi hati 2 tahun setelah pemberian transfusi > 7 mg/gr berat kering hati. Jika biopsi hati tidak dapat dilakukan, maka pengukuran kadar feritin dapat dijadikan marker kadar besi dalam tubuh. b) Setelah 1 atau 2 tahun pemberian transfusi sel darah merah. c) Kadar feritin dalam tubuh > 1000 ng/dl. Obat-obatan yang termasuk dalam iron chelating agent adalah deferoksamin, deferasirox dan deferiprone. Perbandingan pemberian ketiga obat tersebut adalah sebagai berikut:
23 16 Tabel 1. Perbandingan Pemberian Iron Chelating Agent Agen Cara pemberian Jadwal pemberian Dosis Deferoksamin Infus: intravena/ subkutan 8 24 jam/hari, 5-7 hari/minggu mg/kgbb Deferasirox Oral 1 x/hari mg/kg BB Deferiprone Oral 3x/hari mg/kg BB Sumber: Kowdley dan Kaplan (1998) dan Vichinsky et al. (2009) Pemberian iron chelating agent harus dievaluasi dengan monitoring kadar feritin tiap 2-3 bulan sekali, konsentrasi besi hati tiap 6 bulan sekali dan fungsi jantung tiap 6 bulan sekali. Pemberian obat ini secara terus-menerus dapat menimbulkan toksisitas yang bermacam-macam. Toksisitas yang terjadi dapat dicegah dengan pemeriksaan sederhana, diantaranya pengukuran beban besi tubuh secara langsung dan teratur dengan tujuan mempertahankan kadar besi hati antara 3-7 mg/kg berat kering jaringan hati. Bila konsentrasi besi tidak dapat diukur secara teratur, dapat menggunakan indeks toksisitas dengan menghitung rata-rata dosis harian obat (dalam mg/kg) dibagi konsentrasi feritin serum (dalam mg/kg) setiap 6 bulan. Indeks toksisitas ini tidak boleh melebihi 0,025.
24 17 4) Splenektomi Splenektomi dapat dilakukan pada pasien dengan splenomegali akibat eritropoiesis ekstramedular. Indikasi terpenting splenektomi adalah meningkatnya kebutuhan transfusi lebih dari 200 ml/kgprc/tahun yang menunjukkan keadaan hipersplenisme (Permono et al., 2005). Splenektomi harus ditunda sampai pasien berumur > 6 tahun karena tingginya risiko infeksi berbahaya pasca splenektomi. Tujuan dari splenektomi adalah memperbaiki ketahanan hidup eritrosit yang berasal dari transfusi, mengurangi kebutuhan darah dan mempunyai pengaruh yang baik pada kelebihan besi (Mentzer, 2007). 5) Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang alogenik memberikan prospek kesembuhan yang permanen. Tingkat keberhasilannya adalah sekitar 80% pada pasien yang mendapatkan terapi kelasi besi secara baik tanpa disertai adanya fibrosis hati. Donor pada transplantasi tersebut adalah saudara kandung yang memiliki Human Leucocyte Antigen (HLA) yang sesuai. Kegagalan biasanya terjadi karena kematian akibat infeksi (Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005). g. Prognosis Pasien yang patuh menjalani transfusi dan agen kelasi besi, diperkirakan mempunyai harapan hidup sampai umur 30 tahun atau lebih, sedangkan pasien yang tidak patuh biasanya meninggal saat remaja
25 18 karena komplikasi yang berkaitan dengan toksisitas besi (Lanzkowsky, 2005). 2. Frekuensi Kontrol Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), pasien talasemia memerlukan standar manajemen perawatan yang tepat supaya kesehatan pasien selalu dapat dikontrol. Kontrol yang diperlukan bagi pasien talasemia mayor meliputi: a. Kontrol/monitoring kadar hemoglobin Pasien yang telah terdiagnosis menderita talasemia mayor diharuskan kontrol rutin 1 bulan sekali untuk mengukur kadar hemoglobin dalam darah. Kadar normal hemoglobin pada anak-anak adalah gr/dl (Sutedjo, 2008). Apabila pada awal kontrol, setelah pasien terdiagnosis, kadar hemoglobin menunjukkan < 7 gr/dl (menunjukkan ketidakmampuan tubuh untuk mengkompensasi eritropoiesis inefektif), maka pasien tersebut mulai diberikan terapi berupa transfusi sel darah merah untuk mencegah dampak-dampak buruk akibat anemia kronis, misalnya gangguan jantung, hipertensi pulmoner, disfungsi organ dan gangguan pertumbuhan (Nelson et al., 2000; Vichinsky et al., 2009). Target dari pemberian transfusi ini adalah untuk mempertahankan kadar hemoglobin pre-transfusi antara 9-10 gr/dl Setelah pemberian awal transfusi, pasien diharuskan kontrol 1 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar hemoglobin. Transfusi regular yang
26 19 dilakukan tergantung dari kadar hemoglobin pasien sebelum transfusi, jika kadar Hb 9-9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl, maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan menambah volume transfusi. Sel darah merah yang ditransfusikan sebanyak 5ml/kg/jam dengan kadar Hb setelah transfusi tidak boleh lebih dari 15 gr/dl. Selama pemberian transfusi, diperiksa pula adanya kemungkinankemungkinan timbulnya reaksi hemolitik (Permono et al., 2005). b. Kontrol/monitoring kadar feritin Pemberian transfusi secara terus-menerus pada pasien talasemia mayor dapat menimbulkan peningkatan kadar besi dalam tubuh (Nelson et al., 2000). Besi tersebut akan menumpuk pada organ-organ tubuh dan dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, kadar feritin pada pasien talasemia mayor diukur setiap 3 bulan sekali untuk mengetahui kadar besi dalam tubuh. Kadar feritin > 1000 ng/dl setelah 1 atau 2 tahun pemberian transfusi, mengindikasikan kadar besi yang tinggi dalam tubuh. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa pasien tersebut membutuhkan iron chelating agent. Setelah pemberian awal iron chelating agent tersebut, kadar feritin pasien tetap diukur setiap 3 bulan sekali. Apabila kadar feritin lebih > 1000 ng/dl (tanpa harus menunggu setelah 1 atau 2 tahun transfusi), maka pemberian obat tersebut dilanjutkan sesuai indikasi (Vichinsky et al., 2009).
27 20 c. Kontrol/monitoring tinggi badan Setiap 1 bulan sekali, tinggi badan dan berat badan pasien talasemia diukur untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya keterlambatan pertumbuhan. Setelah diukur, tinggi badan pasien dicocokkan dengan tinggi badan anak normal dengan umur yang sama menggunakan indikator Z-Score dari WHO 2005 (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Setelah 1 tahun, kecepatan pertumbuhan juga dihitung untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan. d. Kontrol/monitoring total transfusi yang didapat Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), setiap 6 bulan sekali, total transfusi yang didapat oleh pasien talasemia mayor harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat (cc) dan dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir (cc/kg/tahun). Jika total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun, maka perlu dieksplorasi lebih lanjut tentang kemungkinan adanya pembesaran limpa (hipersplenisme). Untuk mengatasi keadaan hipersplenisme, dapat dilakukan penatalaksanaan berupa splenektomi (Permono et al., 2005). e. Kontrol/monitoring efek samping pemberian iron chelating agent 1) Pemeriksaan audiogram Pemeriksaan audiogram digunakan untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau bila timbul keluhan (Permono et al., 2005).
28 21 2) Pemeriksaan retina Pemeriksaan retina bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan pada penglihatan. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau bila timbul gejala (Vichinsky et al., 2009). 3) Pemeriksaan kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein), disintesis dalam hati dan diekskresikan dalam urin. Pemeriksaan kreatinin serum berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus. Nilai normal kreatinin pada anak-anak dalam darah sebesar 0,4-1,2 mg/dl. Peningkatan kadar tersebut menunjukkan penurunan fungsi ginjal dan penyusutan masa otot rangka (Sutedjo, 2008). Blood Urea Nitrogen (BUN) merupakan produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati dan diekskresikan melalui urin. Perbandingan normal antara BUN dan kreatinin adalah 10:1. Nilai rasio yang lebih tinggi menjadi petunjuk adanya gangguan prerenal (Sutedjo, 2008). Kontrol kadar kreatinin dan BUN ini penting bagi pasien talasemia untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Gangguan ginjal yang sering terjadi disebabkan karena penumpukan besi pada ginjal yang berakibat rusaknya ginjal (Sutedjo, 2008). Kontrol atau monitoring kadar kreatinin dan BUN dilakukan setiap 3 bulan sekali.
29 22 4) Skrining fungsi kelenjar endokrin Skrining fungsi kelenjar endokrin mulai dilakukan pada saat pasien berumur 5 tahun, setelah mendapat transfusi selama 3 tahun kemudian kontrol setiap 1 tahun sekali, atau bila ada gejala yang timbul (Vichinsky et al., 2009). 3. Tinggi Badan (TB) Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang terpenting setelah berat badan. Keuntungan indikator tinggi badan adalah pengukurannya obyektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa, merupakan indikator yang baik untuk gangguan pertumbuhan fisik yang terjadi di masa lampau (Soetjiningsih, 2007). a. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan Menurut Soetjiningsih (2007), penyakit akut berat dan penyakit kronis dapat menghambat pertumbuhan anak. Namun keterlambatan pertumbuhan pada penyakit kronis lebih sulit dikoreksi daripada penyakit akut. Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu: 1) Faktor genetis Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh genetik orang tua, sehingga orang tua yang tinggi memiliki kecenderungan anak yang tinggi pula. Rumus prediksi tinggi akhir anak sesuai dengan potensi
30 23 genetik berdasarkan data tinggi badan orang tua adalah sebagai berikut: TB anak perempuan = (TB ayah -13 cm) + TB ibu ± 8,5 cm 2 TB anak laki-laki = (TB ibu + 13 cm) + TB ayah ± 8,5 cm 2 Keterangan: 13 cm adalah rata-rata selisih tinggi badan antara orang dewasa laki-laki dan perempuan di Inggris, dan 8,5 cm adalah nilai absolut tentang tinggi badan. Apabila seorang anak dapat mencapai tinggi badan antara rentang angka terendah dan tertinggi, maka secara medis tidak diperlukan tindakan (Soetjiningsih, 2007). 2) Faktor hormon Hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan adalah: a) Hormon pertumbuhan hipofisis mempengaruhi pertumbuhan jumlah sel tulang. b) Hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan dan kematangan tulang. Hormon yang dihasilkan dari kelenjar tiroid seperti TRH (Thyroid Releasing Hormon) sudah diproduksi janin sejak minggu ke-12. Pengaturan oleh hipofisis sudah terjadi minggu ke-13. Kadar hormon ini makin meningkat sampai sejak minggu ke-24, kemudian menjadi konstan. Salah satu hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid adalah hormon pertumbuhan (growth hormon), oleh karena itu adanya kelainan pada kelenjar tiroid dapat menyebabkan
31 24 produksi hormon pertumbuhan terganggu dan berakibat gangguan pertumbuhan. c) Hormon kelamin pria di testis dan kelenjar suprarenalis, sedangkan pada wanita terdapat di kelenjar suprarenalis. Hormon-hormon tersebut merangsang pertumbuhan dan kematangan tulang dalam jangka waktu yang tidak lama. 3) Faktor lingkungan Menurut Supariasa et al. (2002), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah: a) Gizi Gizi dipengaruhi oleh asupan makanan sehari-hari. Bahan pembangun tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin sangat berpengaruh terhadap status gizi anak. b) Penyakit Beberapa penyakit kronis dan kelainan kongenital dapat mempengaruhi pertumbuhan anak, misalnya talasemia mayor. Menurut Saxena (2003), pasien talasemia mayor memiliki karakteristik tinggi badan yang abnormal, pertumbuhan yang lambat, dan keterlambatan perkembangan seksual yang disebabkan karena kadar Hb yang rendah, serum feritin yang tinggi dan terapi dengan iron chelating agent yang tidak optimal. Berdasarkan penelitian Saxena tersebut, keterlambatan pertumbuhan terjadi pada anak laki-laki dengan umur > 11 tahun dengan indeks TB/U
32 25 berkisar antara 0,03 SD sampai -5 SD dan pada perempuan dengan umur > 9 tahun dengan indeks TB/U berkisar antara 0,94 sampai -5 SD. c) Toksin atau zat kimia Beberapa obat seperti talidomid, fenitoin dan obat-obatan kanker yang diminum ibu saat kehamilan dapat menyebabkan kelainan bawaan. Pada ibu hamil yang menderita keracunan logam berat, misalnya makan ikan yang terkontaminasi merkuri dapat menyebabkan mikrosefali. Penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi ikan yang mengandung merkuri yang tinggi di Jepang dikenal dengan penyakit Minamata. d) Radiasi Pengaruh radiasi pada bayi sebelum berumur 18 minggu dapat mengakibatkan kematian, kerusakan otak, mikrosefali dan cacat bawaan lainnya. e) Stres Ibu yang selama hamil mengalami stres dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin yaitu berupa cacat bawaan dan kelainan kejiwaan. f) Sosial ekonomi Biasanya ukuran bayi yang lahir dari golongan orang tua dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang lebih rendah
33 26 dibandingkan dengan bayi dari keluarga dengan sosial ekonomi cukup. b. Pengukuran tinggi badan Pengukuran tinggi badan pada anak 2 tahun atau kurang adalah dengan posisi berbaring menggunakan infantometer. Pengukuran ini memerlukan bantuan dari orang lain untuk memegang kepala anak agar alat tetap menempel pada ubun-ubun. Anak di atas umur 2 tahun diukur pada posisi berdiri dengan menggunakan alat stadiometer atau microtoise. Tujuan pengukuran adalah untuk mendapat catatan jarak tinggi dari permukaan puncak kepala hingga telapak kaki. Posisi standar kepala secara rutin dipakai pada bidang horizontal (Frankfurt plane) melewati bagian eksternal meatus telinga. Sebelum diukur, subjek diminta untuk menarik nafas dalam dan berdiri tegak untuk meluruskan tulang pada kelainan kifosis atau lordosis (Narendra et al., 2002). Menurut Supariasa et al. (2002), cara mengukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm adalah sebagai berikut: 1) Tempelkan microtoise pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata. 2) Lepaskan sepatu atau sandal. 3) Anak harus berdiri tegak seperti siap sempurna dalam baris-berbaris, kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan.
34 27 4) Turunkan microtoise sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel pada dinding. 5) Baca angka pada skala yang tampak pada lubang dalam gulungan mikrotoise. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur. Sedangkan cara mengukur tinggi badan anak umur 2 tahun atau kurang dengan infantometer adalah sebagai berikut: 1) Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat datar. 2) Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, kepala diletakkan hatihati sampai menyinggung bagian atas alat pengukur. 3) Bagian alat pengukur sebelah bawah kaki digeser sehingga tepat menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat pengukur dapat dibaca. Apabila pengukuran dilakukan di lapangan, pengukur tidak mungkin menggunakan stadiometer yang ditempelkan pada dinding. Biasanya digunakan stadiometer yang portable, alat pengukur panjang (infantometer) yang portable atau antropometer. Pada pengukuran tinggi badan, diperlukan dua orang pengukur, seorang mengatur posisi dan memberi instruksi pada subjek, yang lain memegang, memeriksa posisi dan mengatur alat pengukur (Narendra et al., 2002). c. Interpretasi pengukuran tinggi badan Untuk menentukan status tinggi badan seseorang, digunakan indeks antropometri dengan cara membandingkan panjang badan dengan umur (PB/U) atau tinggi badan dengan umur (TB/U). Menurut Supariasa et al.
35 28 (2002), keuntungan dan kerugian dari indeks TB/U akan diuraikan sebagai berikut: 1) Keuntungan: a) Dapat memberikan gambaran riwayat gizi masa lampau. b) Dapat dijadikan indikator sosial ekonomi penduduk. 2) Kerugian: a) Memerlukan data umur yang akurat. b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini. c) Sering terjadi kesalahan pada pembacaan skala ukur. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2010, standar antropometri yang digunakan di Indonesia mengacu pada standar World Health Organization (WHO) tahun 2005 yaitu menggunakan Z-Score. Hasil pengukuran tinggi badan yang didapat, kemudian diplotkan pada kurva pertumbuhan (growth chart) WHO 2005 sesuai dengan umur yang dihitung dalam bulan. Kategori dan ambang batas tinggi badan berdasarkan indeks PB/U dan TB/U adalah sebagai berikut: Tabel 2. Kategori dan Ambang Batas Tinggi Badan Berdasarkan Indeks PB/U dan TB/U. Kategori status tinggi badan Ambang Batas (Z-Score) Sangat pendek Pendek Normal Tinggi < -3 Standar Deviasi (SD) -3 sampai dengan < -2 SD -2 sampai dengan 2 SD > 2 SD Sumber: Kementrian Kesehatan RI (2011)
36 29 Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011), ketentuan-ketentuan dalam menilai status tinggi badan pada anak adalah: 1) Umur dihitung dalam bulan penuh. 2) Ukuran panjang badan (PB) digunakan untuk anak umur 0-24 bulan yang diukur telentang. Bila anak diukur dengan posisi berdiri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. 3) Ukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk anak umur di atas 24 bulan dengan posisi berdiri. Bila anak diukur dengan posisi telentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm. 4. Hubungan antara Frekuensi Kontrol dengan Tinggi Badan pada Pasien Talasemia Mayor Salah satu manifestasi klinis dari pasien talasemia mayor adalah gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan dapat diketahui dengan mengukur tinggi badan dan mencocokkannya dengan tinggi badan pada anak normal yang umurnya sama. Berdasarkan Keputusan Kementrian Kesehatan RI, indikasi tinggi badan menurut umur yang digunakan adalah standar antropometri WHO tahun 2005 (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia dapat disebabkan karena eritropoiesis inefektif dan kadar besi berlebih yang akan menumpuk di kelenjar hipofisis anterior akibat dari terapi transfusi secara terus-menerus (Permono et al., 2005). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan monitoring atau kontrol keadaan pasien secara rutin. Waktu kontrol yang
37 30 diperlukan pasien talasemia mayor menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009) adalah sebagai berikut: a. Setiap 1 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar hemoglobin pretransfusi, melakukan transfusi sel darah merah dan mengukur kadar hemoglobin post-transfusi serta mengukur tinggi badan. b. Setiap 3 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar feritin. c. Setiap 6 bulan sekali untuk mengevaluasi total transfusi yang didapat. d. Setiap 1 tahun sekali untuk mengevaluasi kemungkinan efek samping dari pemberian iron chelating agent Manfaat dari kontrol rutin ini adalah untuk mengetahui secara dini gangguan yang dapat terjadi, misalnya gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan ini dapat diketahui dengan mengukur tinggi badan pasien talasemia rutin setiap bulannya. Untuk mengatasi penyebab gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia mayor berupa eritropoiesis inefektif, terapi yang dapat diberikan berupa transfusi darah (Permono et al., 2005). Untuk memonitoring efek jangka panjang transfusi berupa kadar besi berlebih yang juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, maka setiap 3 bulan sekali pasien diukur kadar feritinnya. Apabila kadar feritin tinggi, terapi yang dapat diberikan berupa iron chelating agent. Dengan pemberian obat ini, besi berlebih yang menumpuk pada kelenjar endokrin dan kelenjar hipofisis anterior yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dapat diekskresikan keluar dari tubuh (Brittenham et al., 1994). Untuk mengetahui efektivitas dari iron chelating agent, maka tiap 3 bulan sekali diukur kadar
38 31 feritinnya kembali sehingga dosis dan waktu pemberian dapat ditentukan apakah sudah tepat atau belum dan gangguan pertumbuhan yang akan terjadi dapat dicegah. Dengan demikian, frekuensi kontrol pasien talasemia mayor yang tepat dapat mempengaruhi tinggi badan.
39 32 B. Kerangka Pemikiran Talasemia Mayor Eritropoiesis inefektif Transfusi sel darah merah secara terusmenerus Peningkatan kadar besi dalam tubuh Sering Kontrol Jarang Kontrol Sering Kontrol Jarang Kontrol Kadar Hb normal Kadar Hb rendah Kadar Hb normal Kadar Hb rendah Tidak terjadi anemia kronis Anemia kronis Tidak terjadi anemia kronis Anemia kronis Pertumbuhan normal Gangguan pertumbuhan Pertumbuhan normal Gangguan pertumbuhan Keterangan: : dilakukan penelitian : tidak dilakukan penelitian Gambar 1. Kerangka Pemikiran
40 33 C. Hipotesis Dari kerangka berpikir dan tinjauan pustaka di atas, dikemukakan hipotesis yaitu terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor.
41 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan crosssectional. Dalam studi analitik cross-sectional, observasi dilakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak ada follow-up (Ghazali et al., 2002). B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni 2011 di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA), RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. C. Subjek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien talasemia mayor dengan rentang usia < 18 tahun yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. D. Teknik Sampling Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2002). Jumlah sampel yang dipilih pada penelitian 34
42 35 adalah semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (total sampling). 1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: a. Pasien talasemia mayor yang berobat di RSUD Dr. Moewardi selama kurun waktu penelitian. b. Mendapat persetujuan dari orangtua atau wali. 2. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: a. Umur 18 tahun b. Data rekam medik tentang frekuensi kontrol pada bulan April 2010 Maret 2011 tidak lengkap.
43 36 E. Rancangan Penelitian Pasien talasemia mayor di RSUD Dr. Moewardi Sampel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Riwayat kontrol Sering Jarang Pengukuran tinggi badan Pengukuran tinggi badan Kategori tinggi badan berdasarkan Z-Score Kategori tinggi badan berdasarkan Z-Score Normal Pendek Normal Pendek Uji Chi Square Gambar 2. Skema Penelitian
44 37 F. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas : Frekuensi kontrol. 2. Variabel Terikat : Tinggi badan pada pasien talasemia mayor. G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Pasien talasemia mayor adalah pasien yang menunjukkan gejala klinis berat seperti anemia berat, pucat, hepatosplenomegali, dan pertumbuhan terganggu yang telah terdiagnosis oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi. 2. Frekuensi kontrol adalah waktu kedatangan pasien talasemia mayor ke Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi untuk melakukan kontrol. Frekuensi kontrol didapat dari data rekam medik tentang berapa kali pasien datang untuk melakukan kontrol.. Frekuensi kontrol pada penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu sering dan jarang. Sampel masuk ke dalam kategori sering apabila pada bulan April Maret 2011 sampel melakukan kontrol > 8 x, sedangkan jarang apabila pada pada bulan April Maret 2011 sampel melakukan kontrol < 8 x. Variabel frekuensi kontrol pada penelitian merupakan skala ordinal. 3. Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang terpenting setelah berat badan. Untuk menilai pertumbuhan pada anak, dapat digunakan ukuran tinggi badan sesuai umur. Pengukuran pada anak dibagi menjadi dua, yaitu pengukuran dengan infantometer pada anak umur 2 tahun atau kurang dan
45 38 pengukuran dengan microtoise pada anak umur lebih dari 2 tahun. Cara mengukur tinggi badan dengan infantometer adalah sebagai berikut: a. Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat datar. b. Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, kepala diletakkan hati-hati sampai menyinggung bagian atas alat pengukur. c. Bagian alat pengukur sebelah bawah kaki digeser sehingga tepat menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat pengukur dapat dibaca. Sedangkan pengukuran tinggi badan dengan microtoise pada anak umur lebih dari 2 tahun adalah sebagai berikut: a. Tempelkan microtoise pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata. b. Lepaskan sepatu atau sandal. c. Anak harus berdiri tegak seperti siap sempurna dalam baris-berbaris, kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan. d. Turunkan microtoise sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel pada dinding. e. Baca angka pada skala yang tampak pada lubang dalam gulungan microtoise. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur. Untuk menentukan kategori tinggi badan berdasarkan indeks antropometri tinggi badan menurut umur, hasil pengukuran diplotkan pada
46 39 kurva pertumbuhan (Z-Score) dari WHO Umur yang digunakan diperoleh dari selisih waktu penelitian dengan tanggal lahir pasien talasemia mayor dalam satuan bulan. Kategori tinggi badan menurut Z-Score dibagi menjadi 4, yaitu tinggi (> 2SD), normal (-2 SD sampai 2 SD), pendek (-3 SD sampai < -2 SD), dan sangat pendek (> -3 SD). Pada penelitian ini kategori tinggi dan normal pada pasien dimasukkan dalam kelompok normal, dan kategori pendek dan sangat pendek dimasukkan dalam kelompok pendek. Jadi, pada penelitian ini hanya ada 2 kelompok, yaitu kelompok normal dan kelompok pendek. Variabel tinggi badan pada pasien talasemia mayor pada penelitian merupakan skala ordinal. H. Instrumen Penelitian 1. Data rekam medik tentang frekuensi kontrol pasien talasemia mayor. 2. Infantometer untuk mengukur tinggi badan pada pasien dengan umur 2 tahun atau kurang dengan ketelitian 0,1 cm. 3. Microtoise untuk mengukur tinggi badan pada pasien dengan umur lebih dari 2 tahun dengan ketelitian 0,1 cm. I. Cara Kerja 1. Pasien talasemia mayor dengan umur 18 tahun yang datang ke RSUD Dr. Moewardi pada kurun waktu penelitian, menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian dan memiliki data rekam medik yang lengkap tentang frekuensi
47 40 kontrol pada bulan April 2010 Maret 2011 diikutsertakan sebagai sampel. 2. Setelah mendapatkan sampel, peneliti mencatat identitas pasien berupa nama dan umur. 3. Membaca data rekam medik untuk mengetahui frekuensi kontrol, yaitu waktu kedatangan sampel ke Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2010 dan 2011 untuk melakukan kontrol. Kemudian membagi sampel ke dalam kategori sering dan jarang. 4. Mengukur tinggi badan pasien menggunakan infantometer dan microtoise. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali kemudian diambil rata-ratanya. 5. Memplotkan hasil pengukuran tinggi badan berdasarkan umur pada kurva pertumbuhan (Z-Score) WHO Dari hasil tersebut sampel kemudian dapat dibagi berdasarkan tinggi badan dengan kategori tinggi, normal, pendek, atau sangat pendek. Kemudian sampel dibagi lagi menjadi kelompok normal atau pendek. 6. Melakukan analisis data dengan uji Chi Square untuk menentukan adakah hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor. J. Teknik dan Analisis Data Hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor dianalisis secara statistik menggunakan uji Chi Square. Menurut Tumbelaka et al. (2002), syarat uji Chi Square adalah
BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Thalassemia atau sindrom thalassemia merupakan sekelompok heterogen dari anemia hemolitik bawaan yang ditandai dengan kurang atau tidak adanya produksi salah
Lebih terperinciTHALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010
THALASEMIA A. DEFINISI Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Thalassemia Thalassemia merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi di dalam atau di dekat gen globin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin.
Lebih terperinci1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hemoglobin Darah orang dewasa normal memiliki tiga jenis hemoglobin, dengan komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2. Hemoglobin minor yang memiliki
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
1.5 Manfaat Penelitian 1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan dengan memberikan informasi bahwa ada hubungan antara kadar serum ferritin terhadap gangguan pertumbuhan pada talasemia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Angka kejadian penyakit talasemia di dunia berdasarkan data dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Talasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat perubahan atau kelainan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak dengan penyakit kronis lebih rentan mengalami gangguan psikososial dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit neurologi seperti
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah normal eritrosit, konsentrasi hemoglobin, atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering merupakan komplikasi dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Thalassemia adalah suatu penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif yang disebabkan karena kelainan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kronis merupakan suatu kondisi yang menyebabkan seseorang dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang menderita penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi struktur hemoglobin yang menyebabkan fungsi eritrosit menjadi tidak normal dan berumur pendek.
Lebih terperinciMengenal Penyakit Kelainan Darah
Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI PENELITIAN
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang ilmu bedah digestif, ilmu bedah onkologi, dan ilmu gizi 4.2 Tempat dan waktu Lokasi penelitian ini adalah ruang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelainan genetik dengan pola pewarisan autosomal resesif yang disebabkan karena adanya mutasi pada gen penyandi rantai globin, yaitu gen HBA yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh mensintesis subunit α atau β-globin pada hemoglobin dalam jumlah yang abnormal (lebih sedikit). 1,2
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. β-thalassemia mayor memiliki prognosis yang buruk. Penderita β-thalassemia. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah suatu penyakit herediter yang ditandai dengan adanya defek pada sintesis satu atau lebih rantai globin. Defek sintesis rantai globin pada penderita
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. yang ditandai dengan berkurangnya sintesis rantai. polipeptida globin (α atau β) yang membentuk
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelompok penyakit darah yang ditandai dengan berkurangnya sintesis rantai polipeptida globin (α atau β) yang membentuk hemoglobin (Hb) normal,
Lebih terperinciThalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N
Thalassemia Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Maiyanti Wahidatunisa Nur Fatkhaturrohmah Nurul Syifa Nurul Fitria Aina
Lebih terperinciLaporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia Disusun Oleh : Gillang Eka Prasetya (11.955) PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN AKADEMI KESEHATAN ASIH HUSADA SEMARANG 2012 / 2O13 THALASEMIA A.
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Onkologi dan Bedah digestif; serta Ilmu Penyakit Dalam. Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rekam Medik RSUP Dr.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Bedah khususnya Ilmu Bedah Onkologi dan Bedah digestif; serta Ilmu Penyakit Dalam. 4. Tempat dan Waktu Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ada empat masalah gizi utama yang ada di Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk. Kedua, kurang vitamin
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) a. Definisi Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelompok kelainan genetik yang diakibatkan oleh mutasi yang menyebabkan kelainan pada hemoglobin. Kelainan yang terjadi akan mempengaruhi produksi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS ATAU RANCANGAN PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah explanatory research atau penelitian yang menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Anak a. Definisi Banyak perbedaan definisi dan batasan usia anak, menurut Depkes RI tahun 2009, kategori umur anak ialah usia 5-11 tahun. Undang- undang nomor
Lebih terperinciRINGKASAN. commit to user
digilib.uns.ac.id 47 RINGKASAN Talasemia beta adalah penyakit genetik kelainan darah, dan talasemia beta mayor menyebabkan anemia yang berat. (Rejeki et al., 2012; Rodak et al., 2012). Transfusi yang dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat trauma, operasi, syok, dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah maka tranfusi darah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan jaringan yang sangat penting bagi kehidupan, yang tersusun atas plasma darah dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) (Silbernagl & Despopoulos,
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain
49 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan untuk menggali apakah terdapat perbedaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular adalah sistem organ pertama yang berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian dengan mengukur variabel
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan sifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian dengan mengukur variabel pada satu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPATUHAN 1. Defenisi Kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Dengan menggambarkanpenggunaan obat sesuai petunjuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah gizi yang sering terjadi di dunia dengan populasi lebih dari 30%. 1 Anemia lebih sering terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitianan deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional study yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. partus lama karena inertia uteri, perdarahan post partum karena atonia. uteri, syok, infeksi (baik intrapartum atau post partum).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan kondisi alamiah yang unik karena meskipun bukan penyakit, tetapi seringkali menyebabkan komplikasi akibat berbagai perubahan anatomik serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dalam darah individu. Eritrosit
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia adalah kelainan genetik bersifat autosomal resesif yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dalam darah individu. Eritrosit mengandung hemoglobin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI PENELITIAN. 2) Ilmu Gizi, khususnya pengukuran status gizi antropometri.
31 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian 1) Ilmu Kesehatan Anak, khususnya bidang nutrisi dan penyakit metabolik. 2) Ilmu Gizi, khususnya pengukuran status gizi antropometri. 4.2 Tempat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah dengan nilai MCV lebih kecil dari normal (< 80fl) dan MCH lebih kecil dari nilai normal (
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Talasemia Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara tahun 1925 sampai 1927.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal berperan sangat penting bagi sistem pengeluaran (ekskresi) manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa metabolisme yang tidak diperlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah mampu merubah gaya hidup manusia. Manusia sekarang cenderung menyukai segala sesuatu yang cepat, praktis dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e
BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup. Pada
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI PENELITIAN
31 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian bidang Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Gizi, khususnya pengukuran status gizi antropometri. 4.2
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari normal, anemia merefleksikan eritrosit yang kurang dari normal di dalam sirkulasi dan anemia
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi Ilmu Gizi khususnya bidang antropometri dan Ilmu Kesehatan Anak, khususnya bidang respirologi. 4.2 Tempat dan
Lebih terperinciPERBEDAAN STATUS GIZI ANAK PENDERITA TALASEMIA DENGAN ANAK NON-TALASEMIA
PERBEDAAN STATUS GIZI ANAK PENDERITA TALASEMIA DENGAN ANAK NON-TALASEMIA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NUROTUS SANIYAH G0008148 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
Lebih terperinciASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns I. DEFINISI Talasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka kematian, membaiknya status gizi, dan Usia Harapan Hidup. (1) Penyakit degeneratif adalah salah
Lebih terperinciPATHWAY THALASEMIA. Mutasi DNA. Produksi rantai alfa dan beta Hb berkurang. Kelainan pada eritrosit. Pengikatan O 2 berkurang
PATHWAY THALASEMIA Penyebab primer: - Sintetis Hb A
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kehamilan Risiko Tinggi Kehamilan berisiko adalah kehamilan yang akan menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi yang lebih besar, baik terhadap ibu maupun terhadap janin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang menjadi dambaan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang menjadi dambaan setiap pasangan suami istri. Dari setiap kehamilan yang diharapkan adalah lahirnya bayi yang sehat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu mengalami peningkat setiap tahun di negara-negara seluruh dunia. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan saat ini sudah bergeser dari penyakit infeksi ke
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan saat ini sudah bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif. Kelompok usia yang mengalami penyakit degeneratif juga mengalami pergeseran
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Desain penelitian Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post test design sehingga dapat diketahui perubahan yang terjadi akibat perlakuan. Perubahan
Lebih terperinciLeukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved
Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dari manusia. Berbagai penyakit yang menyerang fungsi ginjal dapat menyebabkan beberapa masalah pada tubuh manusia, seperti penumpukan
Lebih terperinciB A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,
B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap
Lebih terperinciKONSEP DASAR PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN APA PERBEDAAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
KONSEP DASAR PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN APA PERBEDAAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PERTUMBUHAN (GROWTH) BERKAITAN DG. PERUBAHAN DALAM BESAR, JUMLAH, UKURAN DAN FUNGSI TINGKAT SEL, ORGAN MAUPUN INDIVIDU
Lebih terperinci2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba
1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi pola hidup tidak sehat telah mendorong terjadinya berbagai penyakit yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Penyakit akibat
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. cross-sectional, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara asupan energi,
43 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara asupan energi, asupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan tahap dimana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya bidang nutrisi dan penyakit metabolik. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka morbiditas
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka morbiditas dan angka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 6-12 tahun. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat pertumbuhan yang terjadi sebelumnya pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia bisa terjadi pada segala usia. Indonesia prevalensi anemia masih tinggi, insiden anemia 40,5% pada
Lebih terperinciCLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI
CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI Oleh : Dr.Prasetyo Widhi Buwono,SpPD-FINASIM Program Pendidikan Hematologi onkologi Medik FKUI RSCM Ketua Bidang advokasi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk dalam lingkup Ilmu Kesehatan Anak, khususnya
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup Ilmu Kesehatan Anak, khususnya bidang nutrisi dan penyakit metabolik. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 menyatakan bahwa terdapat 3,2 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit diabetes mellitus (DM) setiap tahunnya.
Lebih terperinciAnemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya
Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini disebabkan oleh demam dimana terdapat kenaikan suhu
Lebih terperinci1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu penyakit yang berbahaya yang kerap disebut sebagai silent killer selain penyakit jantung, yang merupakan salah satu masalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang mendadak dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi masyarakat modern saat ini. Dewasa ini, stroke semakin menjadi masalah serius yang dihadapi hampir diseluruh dunia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dengan etiologi yang beragam. Setiap penyakit yang terjadi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb atau kadar eritrosit lebih rendah dari normal. Anemia merupakan kondisi terjadinya penurunan Haemoglobin (hb), hematokrit
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. inklusi penelitian. Subyek penelitian ini terdiri dari kelompok kasus dan
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan pada 36 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Subyek penelitian ini terdiri dari kelompok kasus dan kelompok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. observasional analitik dengan desain cross sectional study dimana pengukuran
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan desain cross sectional study dimana pengukuran variable hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tekanan darah adalah tenaga pada dinding pembuluh darah arteri saat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tekanan darah adalah tenaga pada dinding pembuluh darah arteri saat jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Tekanan darah normal pada anak dan remaja bervariasi karena
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi dalam konteks kesehatan adalah suatu proses penyampaian pesan kesehatan oleh komunikator melalui saluran/media tertentu pada komunikan dengan tujuan yang
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
Lebih terperinci