SIFAT MEKANIS BAMBU BETUNG SEBAGAI BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN DINIAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SIFAT MEKANIS BAMBU BETUNG SEBAGAI BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN DINIAH"

Transkripsi

1 SIFAT MEKANIS BAMBU BETUNG SEBAGAI BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN DINIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sifat Mekanis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan ini adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Oktober 2010 Diniah NIM. C

3 ABSTRACT DINIAH Mechanical Properties of Betung Bamboo for Fishing Gear Material. Under supervision of BAMBANG MURDIYANTO, DANIEL R MONINTJA, BUDHI HASCARYO ISKANDAR. Mechanical properties of bamboo are needed to be revealed in order to be used as fishing gear material for fishing gear design and construction. Bending strength test of betung bamboo split have been done using standard and cantilever model, as well as the tensile strength and compression test. Modulus of elasticity value of bamboo standard model ranged from 5, to 15, kg/cm 2, value of bending strength ranged from to 1, kg/cm 2 and allowable bending strength for the underwater condition ranged from to kg/cm 2. Hence, the maximum load which can be allowed for a construction of fishing gear from bamboo split should not exceed 144 kg/cm 2. Modulus of elasticity value of bamboo cantilever model ranged from 7, to 10, kg/cm 2, value of bending strength ranged from to kg/cm 2 and allowable bending strength for the underwater construction ranged from to kg/cm 2. The rating which can be allowed for fishing gear construction from bamboo split should not exceed 69 kg/cm 2. Modulus of elasticity value of bamboo tensile model ranged from to kg/cm 2, value of tensile strength ranged from to 1,291.82kg/cm 2 and allowable tensile strength for the underwater condition ranged from to kg/cm 2. Hence, the maximum load which can be allowed for a construction of fishing gear from bamboo split should not exceed 91 kg/cm 2. Modulus of elasticity value of bamboo perpendicular compression of the fiber model ranged from to kg/cm 2, value of compression perpendicular of fiber strength ranged from to 1, kg/cm 2 and allowable compression perpendicular of fiber strength for the underwater construction ranged from to kg/cm 2. The rating which can be allowed for fishing gear construction from bamboo split should not exceed 34 kg/cm 2. Modulus of elasticity value of bamboo parallel compression of the fiber model ranged from 1, to 1, kg/cm 2, value of compression parallel of fiber strength ranged from to kg/cm 2 and allowable compression parallel of fiber strength for the underwater construction ranged from to kg/cm 2. The rating which can be allowed for fishing gear construction from bamboo split should not exceed 87 kg/cm 2. Base on Hooke s law, load- elasticity curve and load-deflection curve at simple bending beam test and cantilever bending test, and strain-stress curve at tensile test and compression test, show that values of theoretical calculation as according to value of result of laboratory test. Result of statistical analysis using Analysis of Variance at models of bending standard, cantilever, tensile and compression, in general indicated that the individually values and their interaction for treatment of an outer or inner part of bamboo bar position are significant at degree of confidence level of 99%, but the wide part samples show non significant at 90 % degree of confidence. The combination of all parts of bamboo split can be used for fishing gear construction in optimum performance. Keywords : mechanical properties, betung bamboo, fishing gear material.

4 RINGKASAN DINIAH Sifat Mekanis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan. Dibimbing oleh BAMBANG MURDIYANTO, DANIEL R MONINTJA, BUDHI HASCARYO ISKANDAR. Ada beragam jenis bahan alat penangkapan ikan, seperti besi, baja, bahan sintetis, kayu, ban bekas, bambu dan lainnya. Sejumlah jenis bahan alat penangkapan ikan ada yang semakin mahal harganya, sementara jenis bahan lain dapat berdampak kurang baik terhadap lingkungan perairan di mana alat tangkap tersebut dioperasikan, atau bahan dari kayu yang cenderung semakin langka ketersediaannya. Satu jenis bahan alat penangkapan ikan yang relatif banyak tersedia dan diminati banyak pengrajin adalah bambu. Bambu banyak tumbuh di wilayah Indonesia dengan beragam jenisnya, oleh karena itu harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan jenis bahan lain. Beragam alat penangkapan ikan terbuat dari bambu dan umumnya digunakan secara tradisional. Beberapa kelebihan bambu diantaranya mudah didapat, kuat, ulet dan mudah dikerjakan, namun umur teknis bambu rendah. Alat penangkapan ikan dari bambu memerlukan nilai-nilai dari sifat mekanis tersendiri untuk menahan beban hasil tangkapan. Sifat mekanis bambu dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya umur bambu saat tebang, bagian bambu yang digunakan, jenis bambu, kondisi pemakaian, bentuk konstruksi, ukuran pemakaian bambu dan sebagainya. Sifat mekanis bambu pada satu jenis alat penangkapan ikan dapat mempengaruhi jumlah beban yang ditanggungnya, dalam hal ini adalah berat ikan hasil tangkapan yang diperoleh saat operasional. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai dari sifat mekanis bambu berdasarkan bagian batang bambu yang digunakan, posisi dan ukuran bilah bambu saat digunakan. Hukum Hooke menyatakan bahwa elastisitas merupakan rasio antara tegangan terhadap regangan. Hukum Hooke berlaku pada benda yang bersifat elastis, seperti besi dan baja. Bambu juga merupakan benda yang elastis, namun belum terungkap bahwa sifat elastis bambu juga mengikuti Hukum Hooke. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk mengungkapkan hal tersebut dengan membandingkan kurva hubungan antara tegangan dan regangan bambu yang diperoleh dari percobaan dengan kurva yang sama yang diperoleh dari hasil perhitungan teoritis. Bahan penelitian ini adalah bambu betung (Dendrocalamus asper) yang sudah dewasa, kira-kira berumur 4-5 tahun. Masing-masing bagian batang bambu diambil sepanjang 1,5 meter, yaitu bagian pangkal diambil dari ruas ke1-5, bagian tengah dari ruas ke11-16 dan bagian ujung dari ruas ke Kemudian bagian tersebut dibuat bilah-bilah untuk digunakan sebagai contoh uji lentur standar, lentur cantilever, uji tarik dan uji tekan. Pengujian dilakukan menggunakan mesin uji universal. Hasil uji dihitung hingga menjadi data yang selanjutnya diolah dan dianalisis, kemudian dilakukan interpretasi dan penulisan hasil penelitian. Hasil uji lentur sederhana menunjukkan nilai modulus elastisitas berkisar antara 5.247, ,15 kg/cm 2, dari hasil uji statistik diketahui bahwa secara individu semua pengelompokan dan hanya interaksi antara

5 bagian-lebar berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai tegangan lentur berkisar antara 829, ,30 kg/cm 2 dan hasil uji statistik diketahui bahwa secara individu hanya pengelompokan bagian batang dan posisi kulit luar, serta interaksi kedua pengelompokan tersebut berpengaruh nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Tegangan lentur referensi untuk kondisi konstruksi di dalam air diperoleh berkisar antara 144,11 359,55 kg/cm 2, sehingga perlu dipertimbangkan penataan beban yang lebih baik dengan mengacu pada tahanan maksimum sebesar 144 kg/cm 2 pada pembebanan satu titik. Nilai modulus elastisitas dari uji lentur model cantilever berkisar antara 7.360, ,66 kg/cm 2. Nilai tegangan lentur berkisar antara 515,11 790,91 kg/cm 2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa baik secara individu maupun bersama nilai-nilai modulus elastisitas dan tegangan lentur antar bagian batang, posisi kulit luar dalam uji dan ukuran lebar bambu tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Tegangan lentur referensi bambu untuk kondisi di dalam air berkisar antara 69,61 152,58 kg/cm 2, sehingga perlu dipertimbangkan dalam penataan beban yang lebih baik dengan mengacu pada tegangan maksimum sebesar 69 kg/cm 2 pada pembebanan satu titik. Nilai modulus elastisitas dari hasil uji tarik berkisar antara 39,61-72,53 kg/cm 2. Nilai tegangan tarik berkisar antara 674, ,82 kg/cm 2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai-nilai modulus elastisitas dan tegangan tarik antar bagian batang bambu berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 %, kecuali interaksi antara bagian-lebar. Tegangan tarik referensi untuk kondisi konstruksi di dalam air berkisar antara 91,64 326,26 kg/cm 2, sehingga beban maksimum yang dapat dipertimbangkan untuk pembuatan konstruksi alat tangkap dari bilah bambu tidak melebihi 91 kg/cm 2. Nilai modulus elastisitas pada uji tekan tegak lurus serat bambu berkisar antara 147,82 330,57 kg/cm 2. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat berkisar antara 78, ,98 kg/cm 2. Hasil analisis statistik untuk nilai modulus elastisitas dan tegangan tekan tegak lurus serat yang diperoleh bahwa secara individu maupun bersama untuk perlakuan bagian batang dan posisi kulit luar berpengaruh nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Tegangan tekan tegak lurus serat referensi untuk kondisi konstruksi di dalam air berkisar antara 34,80 157,34 kg/cm 2, sehingga beban maksimum yang dapat dipertimbangkan untuk pembuatan konstruksi alat tangkap dari bilah bambu tidak melebihi 34 kg/cm 2. Hasil uji tekan sejajar serat untuk setiap bagian batang bambu menunjukkan nilai modulus elastisitas berkisar antara 1.142, ,90 kgf/cm 2 dan dari hasil uji statistik diketahui bahwa perlakuan bagian batang bambu tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90%. Nilai tegangan tekan sejajar serat berkisar antara 442,36 618,63 kgf/cm 2 dengan hasil uji statistik menunjukkan perlakuan bagian batang bambu berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai tegangan tekan sejajar serat untuk kondisi konstruksi di dalam air berkisar antara 87,32 158,69 kg/cm 2, sehingga beban maksimum yang dapat dipertimbangkan untuk pembuatan konstruksi alat tangkap dari bilah bambu tidak melebihi 87 kg/cm 2. Formulasi berdasarkan Hukum Hooke, nilai-nilai hasil perhitungan teoritis sesuai dengan nilai hasil uji laboratorium. Hal ini dapat dilihat dalam kurva hubungan antara beban-elastisitas dan beban-defleksi pada uji lentur

6 sederhana dan lentur cantilever, serta kurva tegangan-regangan pada uji tekan dan uji tarik. Dari hasil penelitian ini disarankan untuk mengaplikasi bagian pangkal bambu pada konstruksi alat tangkap yang memerlukan kelenturan tinggi. Namun agar batang bambu dapat dimanfaatkan secara optimal, sebaiknya seluruh bagian batang bambu digunakan dalam pembuatan konstruksi alat penangkapan ikan. Seluruh bagian batang bambu harus disusun secara terpadu untuk penataan horizontal dengan kombinasi yang seimbang antara bagian pangkal, tengah dan ujung. Kata kunci : sifat mekanik, bambu betung, bahan alat penangkapan ikan.

7 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah ; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 SIFAT MEKANIS BAMBU BETUNG SEBAGAI BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN DINIAH Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Penguji luar komisi Ujian Tertutup : 1. Prof.Dr.Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. 2. Dr.Ir. Domu F Simbolon, M..Si. Penguji luar komisi Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Suseno 2. Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc.

10 LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi Nama NIM. : Sifat Mekanis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan : Diniah : C Disetujui : Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc. Ketua Prof.Dr.Ir. Daniel R Monintja Anggota Dr.Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Dekan Sekolah Pascasarjana, Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil A Notodiputro, MS. Tanggal ujian : 01 Oktober 2010 Tanggal lulus :

11 PRAKATA Penelitian bertopik bambu masih jarang dilakukan, khususnya terkait dengan teknologi alat penangkapan ikan. Disertasi ini berisi informasi tentang karakterisasi mekanik bambu betung sebagai bahan alat penangkapan ikan dan diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang sifat bambu yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan konstruksi alat penangkapan ikan. Selesainya pembuatan disertasi ini tak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis sadari bahwa tidak ada gading yang tak retak, tak ada karya manusia yang sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik untuk penyempurnaan disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam Teknologi Alat Penangkapan Ikan dan berguna bagi kita semua. Amiin. Bogor, Oktober 2010 Penulis.

12 UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu hingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih disampaikan kepada : (1) Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc., Prof.Dr.Ir. Daniel R Monintja dan Dr.Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. sebagai Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahannya hingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan lebih baik; (2) Prof.Dr.Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. sebagai Penguji Luar Komisi dan Dr.Ir. Domu F Simbolon, M.Si. sebagai Penguji Luar Komisi yang sekaligus mewakili Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, serta Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, atas semua masukannya dalam Ujian Tertutup yang telah dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2010; (3) Dr.Ir. Suseno dan Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc. sebagai Penguji Luar Komisi dan Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, atas semua masukannya dalam Ujian Terbuka yang telah dilaksanakan pada tanggal 01 Oktober 2010; (4) Effendy Tri Bachtiar, S.Hut.,M.Si., Bapak Mingan, Bapak Amin Suroso, Bapak Irfan, Bapak Kadiman dan teman-teman di Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, khususnya di Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Kayu Solid atas bantuan dan kerjasamanya hingga penelitian yang dilakukan dapat diselesaikan dengan baik dan lancar; (5) Ir. Suardi Mahmud Lasibani, Dr. Eny Kamal dan teman-teman di Universitas Bung Hatta Padang, khususnya pengelola Jurnal Mangrove dan Pesisir; (6) Prof.Dr.Ir. Utomo Kartosuwondo, MS dan Dr.Ir. M Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc. atas masukannya saat berlangsungnya Seminar dan Ujian Terbuka; (7) Teman-teman di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, di Tim Bimbingan dan Konseling IPB atas dukungan semangatnya hingga disertasi ini dapat diselesaikan;

13 (8) Keluargaku tercinta atas pengorbanan, doa dan dukungan semangatnya selama proses pendidikan berjalan; (9) Semua pihak yang belum disebutkan satu per satu.

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 September Penulis adalah anak pertama dari sembilan bersaudara dari Bapak Baharuddin Boerhan (alm) dan Ibu Siti Hopsah. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat menengah di Sekolah Menengah Atas Negeri I Balikpapan pada tahun Kemudian melanjutkan pendidikan program sarjana melalui Proyek Perintis II ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama. Setelah satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB, pada tahun 1981 penulis memilih Jurusan Eksploitasi Sumberdaya Perikanan (ESP) Fakultas Perikanan hingga selesai pada tahun Pada tahun 1995 penulis menyelesai pendidikan program master di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Program Pascasarjana IPB. Penulis menikah dengan Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. pada tanggal 03 Januari Hingga saat ini kami telah dikarunia seorang putra Dinnari Eka Hallyzepta (23 tahun) dan seorang putri Dwi Ashri Prihandini (19 tahun). Penulis mulai bekerja pada tahun sebagai Asisten Dosen untuk mata kuliah Alat Penangkapan Ikan di Jurusan Eksploitasi Sumberdaya Perikanan (ESP) Fakultas Perikanan IPB. Penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada 01 Februari 1986 di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Pada tahun 1988 hingga saat ini penulis mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan IPB yang saat ini berubah nama menjadi Fakultas Perikanan dan Ilmu Keluatan IPB dengan pangkat terakhir Pembina Tingkat I Golongan IV-b dalam Jabatan Lektor Kepala. Penghargaan yang telah diterima antara lain adalah Satya Lencana Karya Satya 10 tahun dari Presiden RI pada tahun 2003 dan Satya Lencana Karya Satya 20 tahun dari Presiden RI pada tahun Pada tahun 1999 penulis meraih Best Presentation Prize dalam International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area di Bali tanggal August 1999 yang diadakan oleh JSPS Tokyo-Japan

15 dengan judul Red Snapper (Lutjanus sanguineus) Captured by Fish Traps at Different Depths in Palabuhanratu Waters. Berkaitan dengan seminar tersebut, pada Bulan Juli-Agustus 2000 penulis mendapat kesempatan mengikuti pelatihan Fish Behaviour and Fishing Technology selama satu bulan di Laboratorium Fish Behaviour and Fishing Technology, Tokyo University of Fisheries Jepang. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Tokyo University of Fisheries, Jepang. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir Program Doktor di Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian sebagai bahan penyusunan disertasi dengan judul Sifat Mekanis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan. Dua karya ilmiah yang merupakan bagian dari Program S3 penulis telah diterbitkan, yaitu (1) Model Balok Beban Tunggal dalam Uji Kekuatan Lentur dan Modulus Elastis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan, Jurnal Mangrove dan Pesisir, Volume VIII Nomor 3 Tahun 2008, ISSN , Pusat Studi Pesisir dan Kelautan, Universitas Bung Hatta Padang, halaman ; dan (2) Modulus Elastis dan Kekuatan Lentur Bambu Betung dengan Model Cantilever Tekan sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan, Jurnal Mangrove dan Pesisir, Volume VIII Nomor 3 Tahun 2008, ISSN , Pusat Studi Pesisir dan Kelautan, Universitas Bung Hatta Padang, halaman

16 DAFTAR ISI Halaman Daftar Tabel... xix Daftar Gambar... Daftar Lampiran... Daftar Istilah... xxi xxv xxvii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran Novelty (kebaruan) TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Bambu Sifat Anatomis Sifat Fisik Bambu Sifat Mekanis Bambu Bambu sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan Bambu betung (Dendrocalamus asper) Bambu kuning (Bambusa Vulgaris) Bambu pagar (Bambusa glaucescens) Bambu perling (Schizostachyum zollingeri) Bambu talang (Schizostachyum brachycldum) Bambu toi (Schizostachyum lima) Bambu tamiang (Schizostachyum blumei) Loleba (Bambusa atra) Alat Penangkapan Ikan dari Bambu Hukum Hooke dan Modulus Young Aspek Mekanika pada Alat Penangkapan Ikan dari Bambu METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan contoh dan peralatan uji Pelaksanaan uji Prosedur perhitungan data dari spesimen Analisis data... 65

17 4 HASIL 4.1 Ukuran dan Kadar Air Bambu Bahan Uji Proses Pengujian Pengujian lentur sederhana (simple bending beam test) Pengujian lentur cantilever (cantilever bending beam test) Pengujian tekan Pengujian tarik Pengujian Lentur Sederhana Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) Tegangan lentur (Modulus of rupture) Kurva Elasticity-Load dari hasil uji lentur sederhana Tegangan lentur referensi (allowable bending stress) Pengujian Lentur Cantilever Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) Tegangan lentur (Modulus of rupture) Kurva Elasticity-Load dari hasil uji lentur cantilever Tegangan lentur referensi (allowable bending stress) Pengujian Tarik Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) Tegangan tarik (Modulus of rupture) Kurva tegangan-regangan dari hasil uji tarik Tegangan tarik referensi (allowable bending stress) Pengujian Tekan Modulus elastisitas (MOE) pada uji tekan tegak lurus serat Tegangan tekan tegak lurus serat Kurva tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat Tegangan tekan tegak lurus serat referensi (allowable compress stress) Hasil uji tekan sejajar serat PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji Proses Pengujian Pengujian lentur sederhana Pengujian lentur cantilever Pengujian tarik Pengujian tekan Pengujian Lentur Sederhana Hasil uji Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan Pengujian Lentur Cantilever Hasil uji Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan Pengujian Tarik Hasil uji Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan xvi

18 5.6 Pengujian Tekan Hasil uji Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan Kombinasi hasil uji mekanis dalam aplikasinya pada konstruksi alat penangkapan ikan Formulasi berdasarkan Hukum Hooke KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xvii

19 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah unit penangkapan ikan berbahan bambu pada tahun Perkiraan ModulusYoung untuk berbagai material Perancangan pengujian bahan Kisaran nilai modulus elastisitas lentur sederhana (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai modulus elastisitas rata-rata lentur sederhana (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Kisaran nilai tegangan lentur sederhana (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan lentur sederhana rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Persamaan pada kurva hubungan beban-elastisitas dari hasil uji lentur sederhana untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan lentur sederhana referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan lentur sederhana referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) dengan kondisi di dalam air Kisaran nilai modulus elastisitas lentur cantilever (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai modulus elastisitas rata-rata lentur cantilever (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Kisaran nilai tegangan lentur cantilever (kgf/cm 2 ) Nilai tegangan lentur cantilever rata-rata (kgf/cm 2 ) Persamaan pada kurva hubungan beban-elastisitas dari hasil uji lentur cantilever untuk setiap perlakuan Nilai tegangan lentur cantilever referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) Nilai tegangan lentur cantilever referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) di dalam air

20 18. Kisaran nilai modulus elastisitas (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai modulus elastisitas rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan dalam uji tarik Kisaran nilai tegangan tarik (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan tarik rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Persamaan pada kurva hubungan tegangan-elastisitas dari hasil uji tarik untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan tarik referensi (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan tarik referensi untuk kondisi di dalam air (kgf/cm 2 ) Kisaran nilai modulus elastisitas tekan tegak lurus serat (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai modulus elastisitas tekan tegak lurus serat rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Kisaran nilai tegangan tekan tegak lurus serat (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Persamaan pada kurva hubungan tegangan-elastisitas dari hasil uji tekan tegak lurus serat untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan tekan tegak lurus serat referensi allowable compress stress (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Nilai tegangan tekan tegak lurus serat referensi - allowable compress stress di dalam air (kgf/cm 2 ) Hasil uji tekan sejajar serat untuk setiap pengelompokan Nilai uji tekan sejajar serat rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan xx

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram proses perumusan masalah dalam penelitian Diagram alir kerangka pemikiran penelitian Bagian-bagian dari bambu Akar rimpang Bagian-bagian pelepah daun Bambu betung (Dendrocalamus asper) Beberapa jenis perangkap dan penghadang Kelompok alat tangkap jaring angkat Umbing Anco/Tangkul Kalawai Sumpit Sengkirai bilah Siringan Pengilar Badong Huhate Pegas dan pergerakannya Diagram tegangan-regangan Tanda momen lentur Lenturan batang Diagram pembebanan pada simple beam bending test Garis netral pada benda (= ½h) Titik maksimum moment Penggambaran 5% batas elastis Arah pergerakan moment dalam uji lentur cantilever Diagram moment Alat pemotong bambu Alat Pemotong/peraut spesimen Tanggem, alat penjepit spesimen... 51

22 31. Universal testing machine Instron Diagram alir tahapan penelitian Cara pembelahan bambu untuk spesimen uji Bentuk dan ukuran berbagai spesimen Tanggem dan meja dudukannya Cara pengujian kelenturan bambu dengan model simple bending beam test Cara pengujian kelenturan bambu model cantilever Cara pengujian tegangan tarik bambu Cara pengujian tegangan tekan bambu Kurva hubungan Load-Deflection pada uji lentur sederhana (Simple bending beam test) Proses uji lentur model sederhana dari spesimen bambu posisi tepi atas Proses uji lentur sederhana dari spesimen bambu posisi tepi bawah Kerusakan pada spesimen pangkal bambu setelah diuji Kerusakan pada hasil uji lentur sederhana untuk beberapa spesimen bagian tengah dan ujung bambu Kurva hubungan Load-Deflection pada uji lentur cantilever Tahap pengujian lentur cantilever Kerusakan spesimen pangkal bambu pada hasil uji lentur cantilever Kerusakan spesimen bagian tengah bambu dari hasil uji lentur cantilever Kerusakan spesimen bagian ujung bambu pada hasil uji lentur cantilever Proses uji tekan tegak lurus serat Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tekan tegak lurus serat Hasil uji tekan tegak lurus serat untuk spesimen pangkal tepi atas Hasil uji tekan tegak lurus serat untuk spesimen pangkal tepi bawah Hasil uji tekan tegak lurus serat spesimen tepi atas Hasil uji tekan tegak lurus serat spesimen tepi bawah Hasil uji tekan tegak lurus serat spesimen tepi samping xxii

23 57. Proses uji tekan sejajar serat Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tekan sejajar serat Beberapa macam kerusakan spesimen dari hasil uji tekan sejajar serat Tahap pengujian tarik pada spesimen bambu Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tarik Contoh kerusakan yang terjadi pada spesimen pangkal bambu dalam uji tarik Contoh kerusakan yang terjadi pada spesimen tengah bambu dalam uji tarik Kerusakan yang terjadi pada spesimen ujung bambu dalam uji tarik Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur sederhana pada spesimen bambu bagian pangkal Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur sederhana pada spesimen bambu bagian tengah Kurva hubungan berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur sederhana pada spesimen bagian ujung Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian pangkal Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian tengah Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian ujung Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarik bagian pangkal bambu Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarik bagian tengah bambu Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarik bagian ujung bambu Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian pangkal bambu xxiii

24 75. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian tengah bambu Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian ujung bambu Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan sejajar serat Contoh kerusakan pada uji lentur sederhana Proses penekanan contoh uji di posisi kulit luar atas, bawah dan samping Anatomi bilah bambu Ilustrasi pelendutan pada bagian konstruksi alat tangkap Ilustrasi penggunaan batang bambu pada alat tangkap anco Posisi kulit luar bambu pada tangkai serok dan anco Gaya pada bidang datar dengan beban arah vertikal Ilustrasi aplikasi kekuatan tekan pada konstruksi alat penangkapan ikan xxiv

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Penebangan dan pengangkutan bambu betung Data bambu betung untuk contoh uji Nilai kadar air dan berat jenis dari bambu betung spesimen Hasil uji lentur sederhana untuk satu spesimen bilah bambu Hasil uji lentur cantilever untuk satu spesimen bilah bambu Hasil uji tekan tegak lurus serat dari satu spesimen bilah bambu Hasil uji tekan sejajar serat satu spesimen bilah bambu Hasil uji tarik dari satu spesimen bilah bambu Hasil uji kenormalan terhadap data yang diperoleh Hasil uji statistik untuk uji lentur sederhana Hubungan elastisitas dan beban dari hasil uji lentur sederhana Hasil uji statistik untuk lentur cantilever Hubungan elastisitas dan beban dari hasil uji lentur cantilever Hasil uji statistik untuk uji tarik Hubungan strain dan stress dari hasil uji tarik Hasil uji tekan tegak lurus serat Hubungan strain dan stress hasil uji tekan tegak lurus serat Hasil uji tekan sejajar serat Hubungan strain dan stress hasil uji tekan sejajar serat

26 DAFTAR ISTILAH Batas proporsional, adalah titik akhir (atas) garis linier dalam kurva hubungan tegangan-regangan. Cantilever, adalah memposisikan salah satu ujung bahan tetap dan ujung yang lain bebas untuk diberikan beban. Cantilever bending test, adalah uji kelenturan bahan dengan menjepit erat salah satu ujung contoh uji dan ujung yang lain bebas untuk diberikan beban. Daerah elastis, adalah wilayah dalam suatu kurva tegangan-regangan dimana kondisi benda akan kembali ke bentuk semula jika beban yang diberikan dihilangkan. Daerah plastis, adalah wilayah dalam suatu kurva dimana kondisi benda berubah atau tidak kembali ke bentuk semula jika beban yang diberikan dihilangkan. Dendrocalamus asper = Bambusa aspera Schult. = Gigantochloa aspera (Schult.) Kurz = Dendrocalamus flagellifer Munro, merupakan nama Latin dari bambu betung atau bambu petung, umumnya tumbuh terbaik pada ketinggian antara m dengan curah hujan tahunan sekitar 2400 mm, di tanah alluvial di daerah tropika yang lembab dan basah. Elastisitas, adalah sifat benda yang berdeformasi untuk sementara. Gaya, adalah penyebab perubahan gerak, dorongan atau tarikan, suatu alat (teknik) yang menghubungkan lingkungan dengan gerak partikel. Kadar lengas = kadar air, kandungan air di dalam bambu. Kekuatan, merupakan kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang mengenainya. Kekuatan bahan, biasanya didefinisikan sebagai tegangan pada bahan. Kekuatan lentur, adalah kekuatan untuk menahan gaya-gaya yang berusaha melengkungkan batang bambu atau menahan muatan mati atau hidup. Ketahanan, adalah ketahanan terhadap perubahan bentuk karena dimampatkan, terpuntir atau terlengkungkan akibat beban yang mengenainya Keteguhan lentur, merupakan ukuran kemampuan bahan untuk menahan beban yang bekerja tegak lurus sumbu memanjang serat di tengah-tengah balok yang disangga kedua ujungnya

27 Load, beban adalah gaya yang menyebabkan deformasi. Modulus of Elasticity (MOE) atau sifat kekakuan. Kekakuan suatu bahan diperoleh apabila tekanan yang diberikan tidak melebihi batas proporsi Modulus of Rupture (MOR) atau modulus patah, merupakan hasil dari beban maksimum dalam uji lentur Sifat mekanis, adalah sifat kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan. Simple bending beam test, adalah uji kelenturan bahan dengan memposisikan contoh uji di atas dua titik sangga dan di atasnya diberikan beban. Strain (ε), adalah regangan, derajat deformasi, perubahan pada ukuran sebuah benda karena gaya-gaya dalam kesetimbangan dibandingkan dengan ukuran semula. Regangan menyatakan perubahan panjang dibagi panjang original, besaran tanpa dimensi. Stress (σ), adalah tegangan atau gaya per satuan luas, gaya reaksi atau gaya untuk mengembalikan benda ke bentuk asli per satuan luas, besaran yang berbanding lurus dengan gaya penyebabnya. Satuan stress adalah N.m -2 atau Newton per meter kuadrat atau pascal (Pa). Tegangan maksimum, atau kekuatan maksimum, merupakan ordinat tertinggi pada kurva tegangan-regangan. Tegangan referensi atau tegangan izin, yaitu kemampuan tegangan aman maksimum bahan, kemampuan tegangan suatu bahan yang telah disesuaikan dengan kondisi aktualnya. xxviii

28 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bambu merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Bambu banyak tumbuh di Indonesia dan telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat Indonesia. Berbagai lapisan masyarakat Indonesia memanfaatkan bambu untuk berbagai tujuan, mulai dari bahan kerajinan tangan, bahan baku industri, bahan bangunan hingga kegiatan penangkapan ikan. Bambu sangat banyak jenisnya dan telah digunakan orang dari berbagai negara. Ahli taksonomi mengemukakan bahwa ada jenis bambu dari 75 genera (Rao dan Rao 1995), namun tidak semua jenis bambu dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan ikan. Enam puluh lima jenis dari 10 genera merupakan jenis ekonomis penting di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tiga puluh jenis di antaranya sangat umum digunakan dibandingkan jenis bambu lainnya. Semua bambu ini dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria pilihan meliputi pemanfaatan dalam bidang pertanian, kerajinan tangan dan pengolahan. Beberapa kelebihan bambu di antaranya mudah didapat, kuat, ulet dan mudah dikerjakan. Di samping itu terdapat kelemahan bambu, di antaranya adalah daya awet yang rendah. Bambu mudah membusuk, terlebih jika lama terendam di dalam air. Sementara itu untuk kegiatan perikanan tangkap sebagian besar penggunaannya berada di dalam air, sehingga dengan mengetahui sifat mekanisnya dapat diperkirakan kekuatan konstruksi alat penangkapan ikan dari bahan bambu yang akan dibuat. Beragam alat penangkapan ikan terbuat dari bambu dan umumnya digunakan secara tradisional. Jenis alat penangkapan ikan yang terbuat dari bambu di antaranya adalah jaring angkat seperti bagan perahu, bagan rakit dan bagan tancap; perangkap seperti berbagai tipe bubu, kilung, jermal dan sero; tangkai pancing atau joran; dan bentuk lainnya seperti panah, busur dan ladung. Kesemua alat tangkap ini memerlukan bambu dengan sifat mekanis yang berbeda. Keperluan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan cukup besar. Sebagai gambaran dapat diperkirakan sebagai berikut : satu konstruksi bagan dari

29 jenis apapun, jermal, kilung bagan atau sero, masing-masing memerlukan sekitar 70 batang bambu; satu bubu memerlukan satu batang bambu, satu tangkai pancing huhate memerlukan satu batang bambu; maka dengan pendekatan jumlah alat penangkapan ikan dari data statistik perikanan Indonesia secara global dapat diperkirakan jumlah bambu yang diperlukan adalah sebanyak batang bambu pada tahun Bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan biasa dimanfaatkan dalam bentuk buluh maupun bilah. Pemanfaatan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan dalam bentuk buluh dapat dilihat pada alat tangkap jaring angkat seperti berbagai jenis bagan, perangkap pasang surut seperti sero dan jermal, pancing huhate, serta tangkai tangkul yang berukuran besar. Pemanfaatan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan dalam bentuk bilah umumnya dapat dilihat pada alat tangkap yang berukuran lebih kecil, seperti berbagai jenis bubu, joran, busur dan tangkai anco. Berbagai jenis bambu banyak tumbuh di Indonesia, dalam penelitian ini digunakan bambu betung (Dendrocalamus asper). Berdasarkan hasil penelitian tentang kegunaan bambu, diperoleh data bahwa jenis bambu yang paling banyak dicari adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), kemudian bambu ater (Gigantochloa atter) (Sastrapradja et al dan Othman et al. 1995). Sejumlah jenis alat penangkapan ikan, seperti bagan tancap, bagan rakit, sero dan beberapa jenis bubu, membangun konstruksinya sebagian besar menggunakan bambu betung. Menurut Sastrapradja et al. (1977) dan Othman et al. (1995), ada sembilan jenis bambu yang telah digunakan sebagai bahan alat penangkapan ikan. Kesembilan jenis bambu tersebut adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu kuning (Bambusa vulgaris), bambu pagar (Bambusa glaucescens), bambu tali (Gigantochloa apus), bambu perling (Schizostachyum zollingeri), bambu talang (Schizostachyum brachycladum), bambu toi (Schizostachyum lima), bambu tamiang (Schizostachyum blumei) dan loleba (Bambusa atra). Dari kesembilan bambu tersebut, bambu betung mempunyai ukuran buluh yang paling tinggi dan berdiameter paling besar. 2

30 Bambu betung banyak tumbuh di daerah tropika, mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2000 m (Widjaja 2001). Bambu betung mempunyai ukuran batang yang lebih besar dibandingkan jenis bambu lainnya. Tinggi buluh bambu betung mencapai m, diameter berkisar cm dan tebal dinding berkisar mm (Othman dan Mohmod 1995 ; Sonjaya 2008). Sebagai bahan alat penangkapan ikan yang dibangun dari bilah bambu, maka ukuran buluh bambu betung yang lebih besar dapat menghasilkan sejumlah bilah yang lebih besar juga dan lebih banyak. Sifat mekanis bambu sangat erat kaitannya dengan penggunaan bambu untuk alat penangkapan ikan, yaitu kekuatan lentur bambu, kekuatan tarik, kekuatan tekan dan modulus patah. Nilai-nilai kekuatan bambu ini bergantung pada bagian batang bambu yang dimanfaatkan, umur bambu saat tebang dan sifat anatomis lainnya. Selain karena sifat anatomi bambu, sifat mekanis bambu pada satu jenis alat penangkapan ikan dapat juga mempengaruhi jumlah beban yang dapat ditanggungnya, dalam hal ini adalah berat ikan hasil tangkapannya. Sifat-sifat mekanis bambu juga dapat dipakai untuk menentukan ukuran bambu tersebut sebagai bahan alat penangkapan ikan, misalkan ukuran panjang dan diameternya. Demikian banyak faktor yang mempengaruhi sifat mekanis bambu, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui karakterisasi bambu tersebut dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Hukum Hooke (Singer dan Pytel 1980) menyatakan bahwa elastisitas merupakan rasio antara tegangan terhadap regangan. Hukum Hooke berlaku pada benda yang bersifat elastis. Sejauh ini Hukum Hooke banyak diaplikasikan pada logam seperti besi dan baja. Bambu juga merupakan benda yang elastis, namun belum terungkap bahwa sifat elastis bambu juga mengikuti Hukum Hooke. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk mengungkapkan hal tersebut dengan membandingkan kurva hubungan antara tegangan dan regangan bambu yang diperoleh dari percobaan dengan kurva yang sama yang diperoleh dari hasil perhitungan teoritis. 3

31 1.2 Perumusan Masalah Selain bambu, ada beragam jenis bahan alat penangkapan ikan, seperti besi, baja, bahan sintetis, kayu, ban bekas dan lain-lain. Jenis bahan alat penangkapan ikan seperti besi, baja atau bahan sintetis cenderung semakin mahal harganya, sementara jenis bahan lain misalkan ban bekas dapat berdampak kurang baik terhadap lingkungan perairan di mana alat tangkap tersebut dioperasikan, atau bahan dari kayu cenderung semakin langka ketersediaannya. Satu jenis bahan alat penangkapan ikan yang relatif banyak tersedia dan diminati adalah bambu. Bambu banyak tumbuh di wilayah Indonesia dengan beragam jenisnya, oleh karena itu harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan jenis bahan lain. Alat penangkapan ikan dari bambu memerlukan sifat mekanis tersendiri untuk menahan beban hasil tangkapan. Sifat mekanis bambu dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya umur bambu saat ditebang, bagian bambu yang digunakan, jenis bambu, kondisi pemakaian, bentuk konstruksi, ukuran pemakaian bambu dan sebagainya. Hingga saat ini belum ada formula yang menunjukkan hubungan antara nilai dari sifat mekanis bambu dengan besar beban hasil tangkapan yang ditanggungnya, hal ini berpengaruh terhadap perhitungan atau perencanaan dalam pembuatan alat penangkapan ikan dari bambu. Faktor yang diperkirakan mempengaruhi sifat mekanis dalam penelitian ini adalah bagian batang bambu, serta posisi dan ukuran bilah bambu dalam konstruksi alat penangkapan ikan. Bagan alir rumusan permasalahan seperti ditunjukkan dalam Gambar Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis sifat kuantitatif dari sifat mekanis bambu berdasarkan bagian batang bambu yang digunakan, posisi dan ukuran bilah bambu yang digunakan, (2) Mendapatkan formula dari sifat mekanis bambu. 4

32 Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini di antaranya : (1) Menambah khasanah ilmu, khususnya dalam bidang bahan alat penangkapan ikan; (2) Merupakan masukan bagi nelayan dalam pemanfaatan bagian-bagian batang bambu sebagai bahan pembuatan alat penangkapan ikan; (3) Sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan budidaya bambu. Bahan alat penangkapan ikan : Besi Baja Makin mahal Bahan sintetis Ban bekas Berdampak kurang baik terhadap lingkungan perairan Bambu Murah, mudah didapat, kuat, ulet Sebagai bahan alami telah dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan alat penangkapan ikan Berpeluang mensubstitusi bahan alat penangkapan ikan sintetis Menghitung nilai-nilai dari sifat mekanis bambu melalui uji laboratorium Nilai dari sifat mekanis bambu sebagai pertimbangan dalam perancangan pembuatan alat penangkapan ikan Gambar 1. Diagram proses perumusan masalah dalam penelitian. 1.4 Batasan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dasar menyangkut kekuatan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan penelitian-penelitian tentang kekuatan bambu selanjutnya. Perhitungan sifat mekanis bambu yang dilakukan dalam penelitian ini hanya meliputi kekuatan lentur, kekuatan tekan dan kekuatan tarik, tidak sifat mekanis yang lain. Uji lentur mencakup uji lentur sederhana atau simple bending beam test dan uji lentur cantilever atau cantilever bending beam 5

33 test. Uji tekan mencakup uji tekanan tegak lurus serat dan uji tekan sejajar serat. Contoh uji yang digunakan adalah bilah bambu dari jenis betung (Dendrocalamus asper). 1.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah (1) Sifat mekanis bambu dalam konstruksi alat penangkapan ikan akan berbeda menurut posisi bagian batang bambu yaitu pada bagian buku dan bagian ruas bambu yang berbeda komposisi kerapatan dan susunan molekulnya. (2) Kekuatan bambu ditentukan oleh kekuatan lentur, kekuatan tarik dan kekuatan tekannya. (3) Hukum Hooke berlaku untuk bahan bambu pada rentang nilai elastisitas yang terbatas. 1.6 Kerangka Pemikiran Bambu mempunyai sifat yang ulet dan kuat, murah harganya dan mudah diperoleh. Dengan alasan demikian, bambu dapat dijadikan sebagai bahan alternatif pembentuk alat penangkapan ikan. Satu jenis bambu yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis bambu yang lain adalah bambu betung (Dendrocalamus asper). Bambu betung tersedia banyak di alam, memiliki kekuatan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis bambu lain. Ukuran bambu betung relatif lebih besar dibandingkan dengan bambu jenis lain, sehingga lebih banyak bilah yang dapat dibuat dari satu batang bambu. Dalam penelitian ini digunakan bambu betung dewasa yang berumur 4-5 tahun. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Yap (1983) bahwa bambu yang baik untuk digunakan adalah bambu yang telah berumur antara tiga hingga lima tahun. Selanjutnya Yap (1983) mengemukakan bahwa di atas umur tersebut, kadar air bambu lebih sedikit. Sementara di bawah umur itu, kadar air dalam bambu sangat tinggi, sehingga bisa terjadi keadaan keriput pada bambu bila dikeringkan. Sifat mekanis bambu yang berkaitan erat dengan penggunaannya sebagai bahan alat penangkapan ikan, antara lain adalah kekuatan lentur, kekuatan tarik 6

34 dan kekuatan tekan. Masing-masing nilai kekuatan tersebut ditentukan oleh nilai modulus patahnya. Nilai dari sifat mekanis bambu bergantung pada bagian batang bambu yang dimanfaatkan, umur bambu saat ditebang, kondisi pemakaian dan faktor lainnya. Sifat mekanis bambu pada satu jenis alat penangkapan ikan dapat mempengaruhi jumlah beban yang ditanggungnya, dalam hal ini adalah berat ikan hasil tangkapan yang diperoleh saat dioperasikan. Hukum Hooke menyatakan bahwa regangan berbanding lurus dengan tegangan. Bahan yang mengikuti Hukum Hooke adalah bahan yang linear-elastis atau yang mengikuti Hukum Hooke, disebut sebagai "Hookean". Hooke menerapkannya pada material besi dan baja. Secara matematis Hukum Hooke dinyatakan sebagai persamaan F = -k.x, dengan x adalah perubahan panjang akhir dari bahan dalam meter, F adalah gaya yang bekerja pada material dalam Newton, dan k adalah konstanta pegas dalam N/m. Selanjutnya Hukum Hooke diterapkan oleh Thomas Young untuk beragam bahan, namun Young tidak menerapkannya pada bambu (Symon 1971; Ivanovska et al. 2004; Askeland dan Phulē 2006). Bagan alir kerangka pemikiran untuk kegiatan penelitian ini digambarkan seperti ditunjukkan pada Gambar Novelty (Kebaruan) Kebaruan (novelty) dari disertasi ini adalah hasil penelitian yang menyatakan bahwa Hukum Hooke yang berlaku untuk bahan logam (baja) terbukti berlaku pula untuk material. Dalam rentang elastisitas terbatas bahan bambu mengikuti Hukum Hooke. Bambu merupakan bahan yang bersifat elastis. Menurut Hooke, elastisitas merupakan rasio antara tegangan dan regangan. Analisis terhadap data percobaan uji mekanis bahan bambu telah menghasilkan formulasi kekuatan bambu yang dapat menghasilkan data dengan tingkat kesesuaian yang tinggi terhadap data yang dihitung secara teoritis berdasarkan atau dengan mengikuti Hukum Hooke. Kesesuaian nilai-nilai hasil uji laboratorium dengan hasil perhitungan teoritis ditunjukkan secara tegas dengan berimpitnya kurva baik pada hubungan antara tekanan (stress) dan kemuluran (strain) pada uji tarik dan uji tekan, maupun kurva 7

35 hubungan antara tekanan (stress) dan defleksi pada uji cantilever dan simple beam. Bambu sebagai bagian dari konstruksi alat penangkapan ikan Melakukan uji laboratorium dan perhitungan teoritis berdasarkan Hukum Hooke Sifat mekanis Uji sifat mekanis (laboratory experimental) Bahan yang sesuai untuk alat penangkapan ikan bersifat elastis Perhitungan teoritis (berdasar Hukum Hooke) Kekuatan lentur Kekuatan tarik Kekuatan tekan Hasil uji laboratorium (Kurva hubungan stress strain) Hasil Perhitungan teoritis (berdasar Hukum Hooke) Membandingkan hasil uji laboratorium dan hasil perhitungan secara teoritis Adakah kesesuaian nilai uji laboratorium dan nilai hitungan teoritis? tidak ya Terbukti bahwa sifat elastis bambu mengikuti Hukum Hooke Gambar 2. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian. 8

36 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Bambu Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di desa, bambu memegang peranan yang sangat penting. Bambu merupakan satu jenis tanaman yang berfungsi serbaguna (Sastrapradja et al. 1977). Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia bambu memegang peranan yang sangat penting. Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan antara lain : batangnya kuat, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan, serta mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serba guna bagi masyarakat pedesaan (Batubara 2002). Sejumlah jenis bambu terdapat di Indonesia, namun jumlah yang pasti belum diketahui. Berdasarkan hasil penelitian Widjaja (2001) diketahui ada 14 jenis bambu di Kepulauan Sunda Kecil, 64 jenis bambu di Sumatera (Widjaja 1994), serta kira-kira 30 jenis ada di Pulau Jawa (Sastrapradja et al. 1977). Di luar negeri diketahui ada 41 jenis di Thailand (Dransfield 1994), ada 45 jenis di Malaysia (Mohmod dan Liese 1995) dan ada 22 jenis di Bangladesh (Alam 1994). Bambu memiliki sifat adaptasi yang tinggi dan mampu tumbuh di daerah datar, lembah, perbukitan dan dataran tinggi. Bambu mampu tumbuh pada hampir setiap jenis tanah, kecuali di daerah gurun, rawa dan tanah dengan kadar alkali tinggi. Sebagian besar bambu tumbuh baik di daerah yang relatif basah, bersuhu tinggi dan mempunyai lapisan humus yang tebal (Arinana 1997). Tanaman bambu hidup merumpun, mempunyai ruas dan buku. Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan ruasnya, di samping tunas-tunas rumpunnya (Batubara 2002). Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi bambu di antaranya suhu, presipitasi, kesuburan dan jenis tanah dengan kesarangan yang baik (Arinana 1997).

37 Batang-batang bambu berbentuk pipa yang pada jarak-jarak tertentu dibubuhi buku-buku dengan dinding-dinding antar atau sekat-sekat (Yap 1983). Beberapa kegunaan bambu diantaranya untuk bahan bangunan, sebagai pelindung lingkungan, alat penangkapan ikan, furniture, alat-alat musik, rakit atau perahu yang sederhana, peralatan dapur, bahan baku kertas, sumpit, kerajinan tangan dan tanaman hias (Arinana 1997 ; Sastrapradja et al ; Othman et al ; dan Widjaja 2001). Pemanfaatan bambu di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, 80 % untuk bahan bangunan dan 20 % sisanya digunakan untuk keperluan yang lain. Untuk kriteria pilihannya, bambu dapat dikelompokkan menjadi empat katagori target penggunaannya (William et al. 1995), yaitu : (1) Penggunaan struktural, meliputi konstruksi, furniture dan bambu lapis (ply bamboo) ; (2) Atap, dinding dan kerajinan tangan ; (3) Bubur bambu (pulp), kertas dan rayon ; (4) Tunas bambu dapat dimakan. Berbagai jenis bambu telah direkomendasikan untuk masing-masing pilihan. Bambu merupakan salah satu bahan berlignoselulosa yang menghasilkan selulosa per ha 2-6 kali lebih besar daripada pinus. Peningkatan biomassa per bambu per hari mencapai 0-30 %. Bambu dapat dipanen dalam waktu empat tahun, lebih singkat dibandingkan 8-20 tahun untuk jenis pohon kayu yang cepat tumbuh. Kadarisman dan Silitonga (1976) diacu dalam Fitriasari dan Hermiati (2008) mengemukakan bahwa pada saat pemanenan bambu, sulit dipisahkan antara bambu tua dan bambu muda, kalaupun dapat dipisahkan biayanya relatif mahal. Bambu di atas umur 1 tahun bambu dewasa memberikan hasil seragam dan kekuatan fisik yang optimal. Bambu mempunyai panjang serat sekitar 3-4 mm (Fitriasari dan Hermiati 2008). Berdasarkan hasil penelitian tentang kegunaan bambu, diperoleh data bahwa jenis bambu yang paling banyak dicari adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), lalu bambu ater (Gigantochloa atter). Beberapa jenis bambu yang telah dimanfaatkan dalam kegiatan penangkapan ikan (Sastrapradja et al dan Othman et al. 1995) di antaranya adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu kuning (Bambusa vulgaris), bambu pagar 10

38 (Bambusa glaucescens), bambu tali (Gigantochloa apus), bambu perling (Schizostachyum zollingeri), bambu talang (Schizostachyum brachycladum), bambu toi (Schizostachyum lima), bambu tamiang (Schizostachyum blumei) dan loleba (Bambusa atra). Menurut Batubara (2002) dan Frick (2004), ada empat macam bambu yang dianggap paling penting dan sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, serta umum dipasarkan di Indonesia, yaitu bambu tali atau bambu apus (Gigantochloa apus), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu duri atau bambu ori (Bambusa blumeana) dan bambu wulung atau bambu hitam (Gigantochloa verticillata). Penggunaan bambu betung (Dendrocalamus asper) di antaranya adalah untuk bahan bangunan, dinding rumah, tempat mengambil air, pipa menyuling air aren, tempat makan atau tempat beras dan sebagai bahan membuat keranjang (Sastrapradja et al. 1977; Sonjaya 2008). Selain itu, rebung dari jenis bambu ini adalah rebung yang terbaik dengan rasanya yang manis dibuat untuk sayuran (Sonjaya 2008). Dalam kegiatan budidaya bambu betung dengan jarak tanam 8 x 4 meter atau sebanyak 312 rumpun per hektar, pemanenan rebung dapat dimulai setelah tanaman berumur 3 tahun, sedangkan puncak produksi terjadi pada umur 5-6 tahun. Pemanenan rebung dapat dilakukan satu minggu setelah rebung muncul ke permukaan. Produktivitas tahunan rebung dapat menghasilkan ton rebung per ha dan untuk 400 rumpun per hektar dapat mencapai 20 ton rebung (Sonjaya 2008). Hasil budidaya bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad ex. Wendl.) mulai dapat dipanen setelah tanaman berumur tiga tahun dengan puncak produksi mulai umur 6-8 tahun. Rebung dapat dipanen satu minggu setelah keluar dari permukaan (Sonjaya 2008). Rebung dari bambu ini digunakan untuk sayur dan campuran obat penyakit kuning. Bambu ini biasa digunakan sebagai tanaman hias. Buluh bambu sangat baik digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas, untuk industri mebel, perlengkapan perahu, pagar, tiang bangunan, alat penangkap ikan dan alat-alat pertanian (Sastrapradja et al ; Othman dan Mohmod 1995 ; Sonjaya 2008). Bambu pagar (Bambusa glaucescens Willd. Sieb. ex Munro) dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat perkakas rumah tangga, tongkat, bahan 11

39 pembuat kertas dan alat memancing. Kadang-kadang rebung bambu pagar juga digunakan untuk sayur (Sastrapradja et al. 1977). Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.) banyak digunakan sebagai bahan alat pemancing, tirai, keranjang untuk tempat ikan, tempat masak dan kerajinan tangan. Rebung bambu perling untuk dimakan, sedangkan buluhnya sebagai tempat masak nasi lemang (Sastrapradja et al ; Othman dan Mohmod 1995). Bambu talang (Schizostachyum brachycladum Kurz) lebih banyak digunakan untuk bahan atap, dinding dan lantai rumah, terutama di Tana Toraja. Selain itu, bambu talang juga digunakan sebagai bahan pembuat rakit, tempat air, kerajinan tangan seperti ukiran dan anyaman, serta dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Sastrapradja et al. 1977). Buluh bambu toi (Schizostachyum lima (Blanco) Merr.) dimanfaatkan untuk suling dan tempat gula. Bambu toi juga dipakai untuk pembuatan busur dan anak panah yang diruncingkan (Sastrapradja et al. 1977). Kebanyakan buluh bambu tamiang (Schizostachyum blumei Nees) digunakan untuk membuat suling, alat memancing ikan, kerajinan tangan dan permainan anak-anak. Ada juga yang menggunakan sebagai perlengkapan alat penenun. Rebung bambu dapat dimakan, namun agak pahit, sehingga kurang disukai (Sastrapradja et al. 1977). Loleba (Bambusa atra Lind.) banyak dipakai untuk membuat dinding rumah di daerah Maluku. Bambu ini dapat menghasilkan bahan yang dapat dianyam untuk alat penangkapan ikan (Sastrapradja et al. 1977). 2.2 Sifat Anatomis Bambu adalah suatu rumput yang berukuran besar dengan batang-batang yang berkayu (Yap 1983). Buluh bambu dibagi menjadi beberapa bagian kecil oleh jaringan lateral, yaitu bagian buku bambu (node) dan ruas bambu (internode). Bagian-bagian bambu selengkapnya dapat dilihat dalam Gambar 3. Menurut Yap (1983), jaringan bambu terbangun dari sel-sel parenkim dan gugus-gugus vascular yang kaya akan buluh-buluh. Gugus-gugus ini terdiri atas buluh-buluh, serat-serat berdinding tebal dan pipa-pipa ayakan. Pergerakan air 12

40 terjadi melalui buluh-buluh, sedangkan serat-serat memberikan kekuatan bambu. Bahan-bahan makanan ditimbun dalam sel-sel parenkim yang mengisi kira-kira 70 % daripada jaringan. Gugus-gugus vascular tidak terbagi rata dalam batang, lebih dekat ke bagian luar lebih kecil. Di bagian dalam, gugus-gugus itu lebih besar dan berjarak lebih jauh. Gambar 3. Bagian-bagian dari bambu (Othman dan Mohmod 1995). Struktur bambu tidak memiliki jari-jari dan unsur sel radial lain dalam bagian ruas. Bagian terluar batang terdiri atas satu lapisan sel epidermis dan bagian dalam terdiri atas beberapa lapisan sel sklerenkim. Bambu dianggap dewasa bila telah mencapai umur tiga tahun atau lebih (Yap 1983). Orang sering mengalami kesulitan dalam mengenal jenis bambu, karena kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Bagi pakar taksonomi, perbungaan merupakan bagian terpenting untuk membedakan jenis bambu, namun karena bambu jarang berbunga, maka cara lain mengidentifikasi bambu adalah 13

41 menggunakan ciri morfologinya. Ciri morfologi bambu tersebut, misalnya rebung, pelepah buluh dan sistem percabangan-nya (Widjaja 2001). Ciri morfologi bambu dan istilah yang biasa digunakan dalam identifikasi (Widjaja 2001) adalah (1) Akar rimpang Akar rimpang ada di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang khas. Ada dua macam akar rimpang (Gambar 4), yaitu pakimorf yang dicirikan oleh akar rimpang yang simpodial dan leptomorf yang dicirikan oleh akar rimpang yang monopodial ; Pakimorf - Simpodial Leptomorf - Monopodial Gambar 4. Akar rimpang (Widjaja 2001). (2) Rebung Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Setiap bambu mempunyai ciri khas warna pada ujung rebung dan bulu-bulu pada pelepahnya ; (3) Buluh Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Buluh dibedakan berdasarkan ukuran ruas (panjang atau pendek), diameter, bentuk tumbuh (tegak atau merambat), keadaan buku-buku pada bagian pangkal buluh (halus atau kasar), keadaan permukaan ruas buluh muda (gundul atau lebat) ; (4) Pelepah buluh Pelepah buluh merupakan modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas, terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula. Pelepah buluh berfungsi untuk menutupi buluh ketika muda ; 14

42 (5) Percabangan Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku ; (6) Helai daun dan pelepah daun Helai daun bambu mempunyai daun yang sejajar seperti rumput dan setiap daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang pendek atau bisa panjang. Kuping pelepah bisa berukuran besar, kecil atau tidak tampak. Kuping pelepah daun mempunyai bulu kejur yang panjang atau gundul (Gambar 5). Ligula Tangkai daun Bulu kejur Kuping pelepah daun Gambar 5. Bagian-bagian pelepah daun (Widjaja 2001). 2.3 Sifat Fisik Bambu Bambu mulai menyusut pada permulaan pengeringan. Bambu yang belum dewasa kehilangan lengas lebih cepat daripada bambu dewasa, tetapi memerlukan waktu lebih banyak untuk mengering. Bambu yang belum dewasa sering mengalami keretakan pada proses pengeringan (Yap 1983). Selanjutnya dikemukakan bahwa bagian dalam batang bambu biasanya mengandung lebih banyak lengas dibandingkan dengan bagian luar. Bagian buku 15

43 bambu mengandung kira-kira 10 % lebih sedikit air daripada ruas dan pada bagian pangkal bambu biasanya angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan bagian ujungnya. Kadar lengas dalam suatu batang bambu berubah-ubah sesuai dengan tingginya. Bambu yang lebih tua berumur 6-9 tahun mengandung lebih sedikit lengas dibandingkan dengan batang bambu yang lebih muda 3-4 tahun. Batang-batang yang termuda umur 6-12 bulan menunjukkan kadar lengas tertinggi (Yap 1983). Anyaman bambu tali dengan kulit cenderung menghasilkan nilai daya serap air yang lebih rendah dibandingkan dengan anyaman bambu tali tanpa kulit. Hal ini disebabkan, selain terdapatnya lapisan lilin pada bagian luar kulit yang dapat menghalangi masuknya air, juga disebabkan oleh perbedaan struktur anatomi bambu pada bagian dalam, tengah dan luar. Pada bagian luar, bambu tali memiliki pori-pori dengan diameter yang lebih kecil (0,078 mm 0,105 mm) dibandingkan dengan bagian tengah (0,15 0,176 mm) dan bagian dalam (0,217 mm 0,248 mm) (Nuriyatin 2000 diacu dalam Setyawati et al. 2008). Dengan demikian anyaman bambu tanpa kulit, lebih mudah menyerap air dibandingkan bambu dengan kulit (Setyawati et al. 2008). 2.4 Sifat Mekanis Bambu Secara teoritis sifat mekanis bambu bergantung pada (Frick 2004): 1) Jenis bambu, 2) Umur bambu pada waktu penebangan, 3) Kelembaban atau kadar air kesetimbangan pada batang bambu, 4) Bagian batang bambu yang digunakan, pangkal, tengah atau ujung, 5) Letak dan jarak ruasnya masing-masing, bagian ruas bambu kurang tahan terhadap gaya tekan dan lentur. Penentuan sifat-sifat mekanis bambu berdasarkan prasyarat bahwa bambu yang digunakan dalam pembangunan merupakan bahan bangunan yang kering dengan kadar air 12 %. Kadar air ini merupakan kadar air kesetimbangan pada kelembaban udara 70 %. Angka kelembaban ini dapat dianggap sebagai nilai rata-rata yang wajar pada iklim tropis. 16

44 Berat jenis bambu berbeda-beda menurut jenis bambu. Berat jenis (ρ) bambu berkisar antara kg/m 3. Berat jenis bambu akan cepat menurun sesuai dengan proses pengeringan. Namun, untuk konstruksi bangunan bambu sebagai bahan bangunan yang kering dengan kadar air 12 % - berat jenis bambu di Indonesia dianggap rata-rata sebesar 700 kg/m 3 (Frick 2004). Nuriyatin (2000) diacu dalam Setyawati et al. (2008) menyatakan bahwa susunan ikatan vaskular pada bambu tali bagian luar lebih banyak dan lebih rapat dibandingkan dengan ikatan vaskular pada bagian tengah dan dibandingkan anyaman bambu tanpa kulit. Kekuatan tarik bambu untuk menahan gaya-gaya tarik berbeda pada bagian dinding batang dalam atau bagian luar, garis tengah batang, serta bagian batang yang digunakan. Batang bambu yang langsing memiliki ketahanan terhadap gaya tarik yang lebih tinggi. Bagian ujung bambu memiliki kekuatan terhadap gaya tarik 12 % lebih rendah dibandingkan dengan bagian pangkal. Di Indonesia tegangan tarik sejajar serat yang diizinkan adalah 29,4 N/mm 2 (Frick 2004). Kekuatan tekan bambu untuk menahan gaya-gaya tekan berbeda pada bagian ruas dan buku. Bagian ruas memiliki kekuatan terhadap gaya tekan 8-45 % lebih tinggi daripada batang bambu yang berbuku. Di Indonesia tegangan tekan sejajar arah serat yang diizinkan adalah 7,85 N/mm 2 (Frick 2004). Kekuatan geser adalah ukuran kekuatan bambu dalam hal kemampuannya menahan gaya-gaya yang membuat suatu bagian bambu bergeser dari bagian lain di dekatnya. Kekuatan geser berbeda pada tebalnya dinding batang bambu, serta pada bagian ruas dan buku bambu. Kekuatan geser pada dinding 10 mm 11 % lebih rendah daripada dinding bambu setebal 6 mm. Bagian ruas bambu memiliki kekuatan terhadap gaya geser 50 % lebih tinggi daripada batang bambu yang berbuku. Di Indonesia kekuatan geser sejajar serat yang diizinkan adalah 2,45 N/mm 2 (Frick 2004). Kekuatan lentur adalah kekuatan untuk menahan gaya-gaya yang berusaha melengkungkan batang bambu atau menahan muatan mati atau hidup. Oleh karena bambu merupakan bahan yang elastis, maka lendutan yang terjadi sesuai dengan kekuatan bahan menjadi agak tinggi, rata-rata satu per dua puluh (1/20). 17

45 Hal ini perlu diperhatikan pada pembangunan gedung, lendutan konstruksi biasanya tidak boleh melebihi 1/300 dari lebar bentang. Di Indonesia tegangan lentur yang diizinkan untuk konstruksi bangunan adalah 9,80 N/mm 2 (Frick 2004). Modulus elastisitas batang bambu yang berbentuk pipa dan berbentuk langsing lebih menguntungkan dibandingkan dengan batang yang utuh, karena kekuatannya lebih tinggi. Kepadatan serat kokoh pada bagian dinding luar batang bambu meningkatkan kekuatan maupun elastisitas. Seperti pada bahan bangunan kayu, modulus elastis menurun 5-10 % di bawah beban yang meningkat. Di Indonesia modulus elastisitas dapat diperhitungkan dengan 20 kn/mm 2 (Frick 2004). Kekuatan bambu bergantung pada jenis, umur, kandungan air, kepadatan dan tinggi buluh (Mohmod dan Liese 1995). Semakin tua umur bambu, maka semakin meningkat kekuatannya. Hasil penelitian sifat-sifat mekanis bambu (Yap 1983) menunjukkan selang angka yang besar. Hasil uji sifat mekanis bambu seperti berikut : 1) Kekuatan tarik atau tegangan patah untuk tarikan berkisar antara kg/cm 2, 2) Kekuatan tekan atau tegangan patah untuk tekanan berkisar antara kg/cm 2, 3) Modulus elastisitas untuk uji tarik berkisar antara kg/cm 2. Hasil uji sifat mekanis menunjukkan bahwa kekuatan dan modulus elastisitas bagian luar bambu lebih besar daripada bagian dalam, juga kekuatan pada ruas lebih besar dibandingkan dengan di bagian buku (Yap 1983). Sementara sebagai pegangan dapat diambil nilai sebagai berikut : 1) Tegangan izin tarik (allowable tensile strength) = 300 kg/cm 2, 2) Tegangan izin tekan (allowable compress strength) = 80 kg/cm 2, 3) Tegangan izin lentur (allowable bending strength) = 100 kg/cm 2, 4) Modulus elastisitas untuk tarikan dan tekanan = kg/cm 2, 5) Panjang batang tertekan dihitung menggunakan rumus tekuk Euler dengan faktor keamanan n = 4. Batang yang tidak lurus dihitung sendiri. 18

46 2.5 Bambu sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan Beberapa jenis bambu telah dimanfaatkan dalam kegiatan penangkapan ikan (Sastrapradja et al ; Othman et al. 1995). Gambaran lebih dalam tentang beberapa jenis bambu tersebut diuraikan lebih lanjut sebagai berikut Bambu betung (Dendrocalamus asper) Widjaja (2001) mengemukakan beberapa sinonim dari Dendrocalamus asper, yaitu Bambusa aspera Schult. ; Gigantochloa aspera (Schult.) Kurz ; Dendrocalamus flagellifer Munro. Bambu betung (Gambar 6) merupakan jenis bambu yang banyak ditanam di Asia Tropika. Tunas bambu betung ditutupi dengan bulu coklat tua. Bambu ini tumbuh dan banyak dijumpai di dataran rendah hingga daerah dengan ketinggian meter dari permukaan laut (m dpl) (Sastrapradja et al. 1977). Jenis bambu ini tumbuh terbaik pada ketinggian antara m dengan curah hujan tahunan sekitar 2400 mm, di tanah alluvial di daerah tropika yang lembab dan basah, namun tumbuh juga di dataran rendah dan dataran tinggi (Widjaja 2001 ; Sonjaya 2008). Sonjaya (2008) mengungkapkan bahwa bambu betung dapat tumbuh di semua jenis tanah, tetapi paling baik di tanah yang berdrainase baik. Perawakan Buluh muda Pelepah buluh Gambar 6. Bambu betung (Dendrocalamus asper) (Widjaja 2001). Tinggi buluh bambu betung mencapai m dan diameter berkisar cm. Batang bambu berbulu tebal dan dindingnya relatif tebal, berkisar mm. Panjang ruas bambu cm di bagian bawah dan dapat mencapai 40 19

47 60 cm di bagian atas (Othman dan Mohmod 1995 ; Sonjaya 2008). Panjang serat bambu betung mencapai 4,69 mm (Fitriasari dan Hermiati 2008). Menurut Frick (2004), bambu petung amat kuat dengan jarak ruas pendek tetapi dindingnya tebal, sehingga tidak begitu liat. Garis tengah bambu petung mm, panjang batang mencapai m. Bambu petung sering ditanam dan tumbuh di daerah berketinggian m dpl. Dari kegiatan budidaya bambu betung, satu rumpun dewasa bambu betung dapat menghasilkan batang baru per tahun atau dengan 400 rumpun menghasilkan sekitar batang per hektar (Sonjaya 2008) Bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad ex. Wendl.) Dinamakan bambu kuning karena memang buluh bambu bewarna kuning bergaris hijau tua, cocok sebagai tanaman hias. Asal usul bambu ini tidak jelas. Bambu kuning tumbuh di daerah tropis kering atau lembab dan di daerah subtropiks. Bambu kuning sangat mudah beradaptasi dengan berbagai macam tanah dan kelembaban, dapat tumbuh sampai ketinggian 700 m dpl. Seringkali bambu kuning dijumpai di pematang sawah. Jika rumpun bambu dipotong, dapat dengan mudah tumbuh kembali (Sastrapradja et al ; Widjaja 2001 ; Sonjaya 2008). Sonjaya (2008) mengungkapkan bahwa jenis bambu ini dapat tumbuh di lokasi mulai dataran rendah hingga ketinggian 1200 m. Bambu kuning tumbuh di tanah marjinal atau di sepanjang sungai atau tanah genangan, dengan ph optimal 5-6,5 dan tumbuh paling baik di dataran rendah. Tinggi buluh bambu kuning dapat mencapai m, bahkan ada yang mencapai tinggi 30 m. Batangnya berbulu sangat tipis. Diameter bambu berkisar 5 15 cm dan ketebalan dinding bambu berkisar 7 15 mm. Panjang ruas mencapai cm (Othman dan Mohmod 1995 ; Widjaja 2001 ; Sonjaya 2008). Bambu kuning dapat dibudidayakan dengan jarak tanam 8 m x 4 m atau dalam satu hektar dapat ditanam sebanyak 312 rumpun. Pembersihan cabang berduri dan dasar rumpun tua akan meningkatkan produksi batang bambu dan mempermudah pemanenan. Satu rumpun bambu kuning dalam setahun dapat 20

48 menghasilkan 3-4 batang baru. Produksi tahunan diperkirakan menghasilkan sekitar batang atau 20 ton berat kering per hektar (Sonjaya 2008) Bambu pagar (Bambusa glaucescens Willd. Sieb. ex Munro) Dinamakan bambu pagar karena sering dipakai untuk pagar hidup dengan rumpun yang padat sekali. Bambu pagar diduga berasal dari Cina atau Jepang. Jenis ini menyukai tempat terbuka, mulai dari dataran rendah hingga tempat dengan ketinggian 700 m dpl (Sastrapradja et al. 1977). Tinggi buluh dapat mencapai 8 m dengan diameter 2 cm dan bewarna hijau. Panjang ruas bambu pagar mencapai cm (Sastrapradja et al. 1977) Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.) Asal usul bambu ini belum diketahui, ada yang menduga bahwa bambu perling berasal dari Malaysia. Di Indonesia, jenis bambu ini tumbuh liar di hutanhutan di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Bambu perling menyukai tempat terbuka, di dataran rendah dengan ketinggian di bawah 400 m dpl (Sastrapradja et al. 1977). Buluh bambu dapat mencapai tinggi m dengan diameter 5 10 cm, sehingga ujung buluh atas biasanya terkulai ke bawah. Panjang ruas bambu mencapai cm atau tidak lebih dari 70 cm. Ketebalan bambu mencapai 4 7 mm (Sastrapradja et al ; Othman dan Mohmod 1995) Bambu talang (Schizostachyum brachycladum Kurz) Asal usul bambu talang belum diketahui. Buluh bambu bewarna kuning dan sangat ringan. Jenis bambu ini umumnya dapat dijumpai di semua pulau di Indonesia, banyak ditanam di desa-desa. Bambu talang tumbuh di daerah tropis yang lembab dan di daerah kering, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi (Sastrapradja et al ; Widjaja 2001). Buluh bambu talang mencapai tinggi m dengan diameter 7 10 cm. Panjang ruas bambu mencapai cm, kadang-kadang mencapai 50 cm, namun tidak lebih dari 50 cm. Ketebalan dinding kira-kira mencapai 6 mm (Sastrapradja et al ; Widjaja 2001). 21

49 2.5.6 Bambu toi, Schizostachyum lima (Blanco) Merr. Bambu toi banyak dijumpai tumbuh di tepi-tepi sungai atau di tepi-tepi jalan, kadang-kadang sengaja ditanam di pekarangan rumah. Bambu ini tumbuh di tempat-tempat terbuka, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 700 m dpl (Sastrapradja et al ; Widjaja 2001). Tinggi buluh bambu toi mencapai 10 m. Menurut Sastrapradja et al. (1977), diameter bambu toi mencapai 6 cm, namun Widjaja (2001) mengemukakan bambu tersebut hanya berdiameter 4 mm (Sastrapradja et al. 1977; Widjaja 2001) Bambu tamiang (Schizostachyum blumei Nees) Bambu tamiang mempunyai rumpun yang rapat dan dapat tumbuh dimana-mana. Bambu ini diduga berasal dari Indonesia, kemudian menyebar ke Semenanjung Malaya, Kamboja dan Vietnam. Bambu ini menyukai tempat terbuka, di dataran rendah dengan ketinggian sampai 650 m dpl. Jenis ini kebanyakan tumbuh liar di hutan-hutan. Bambu tamiang sudah diusahakan orang dan ditanam di sekitar desa dan tepi sungai. Di Jawa Barat, bambu tamiang banyak terdapat di sekitar Bogor, Sukabumi Selatan, Sumedang dan Bandung (Sastrapradja et al. 1977). Tinggi buluh mencapai tinggi 10 m dengan diameter 2 4 cm. Panjang ruas bambu mencapai 60 cm. Buluh bewarna hijau tua, sedangkan pelepah buluh bewarna kuning kotor (Sastrapradja et al. 1977) Loleba (Bambusa atra Lind.) Loleba lebih dikenal di Maluku dan merupakan jenis yang penting di daerah ini. Selain di Maluku, penyebaran jenis ini sampai ke Papua dan Papua Nugini. Loleba tumbuh di hutan-hutan dataran rendah, di hutan-hutan sagu atau di tepi-tepi sungai. Di Jawa, bambu ini sering ditanam sebagai tanaman hias (Sastrapradja et al. 1977). Buluh loleba bewarna hijau hingga hijau tua, dapat mencapai tinggi 7 m dengan diameter kira-kira 5 cm. Panjang ruas loleba mencapai 83 cm (Sastrapradja et al. 1977). 22

50 2.6 Alat Penangkapan Ikan dari Bambu Alat penangkapan ikan muncul dalam masyarakat primitif dengan bentuk misalnya tombak, panah, lembing, harpun dan pancing yang terbuat dari batu, kulit kerang, tulang dan gigi binatang. Penangkapan ikan secara pasif di perairan dangkal dilakukan menggunakan penghadang dan perangkap. Penghadang umumnya terbuat dari tanah, batu, ranting, kerei rotan dan terowongan. Perangkap ikan dibuat dari batang kayu yang berlubang, tanah liat dan keranjang. Penangkapan ikan yang lebih aktif dilakukan menggunakan lembing, sumpit, penjepit, alat penggaruk dan pancing (Fridman 1988). Alat penangkapan ikan dari bahan bambu umumnya tergolong sederhana dan telah lama diusahakan secara tradisional oleh nelayan di Indonesia. Subani dan Barus (1989) dan Diniah (2008) menggambarkan beberapa jenis alat penangkapan ikan dari bahan bambu, diantaranya : (1) Perangkap dan penghadang (Gambar 7) Kelompok perangkap dari bahan bambu didominasi oleh berbagai bentuk dan tipe bubu, seperti bubu buton, bubu ternate, lukah, bubu liger, bubu silinder, bubu udang, bubu apung, pataka, bubu rompong, pakaja dan tadah. Sementara kelompok penghadang yang dibuat dari bahan bambu adalah jermal dan sero ; Sero Jermal DKP 2005 Pakaja (Bubu apung) DKP 2005 Bubu keong macan Subani dan Barus 1989 Gambar 7. Beberapa jenis perangkap dan penghadang. 23

51 (2) Jaring angkat (Gambar 8) Sebagian besar jaring angkat terbuat dari bambu, seperti berbagai jenis bagan seperti bagan rakit/perahu dan bagan tancap, anco dan rakkang ; (3) Pancing Kelompok pancing yang bagian alatnya terbuat dari bambu terutama adalah pancing gandar, gandarnya itu yang umum terbuat dari bambu ; (4) Busur dan panah dari kelompok lain-lain. Bagan rakit Bagan tancap Jaring bandrong Bagan perahu Gambar 8. Kelompok alat tangkap jaring angkat. Sejumlah perangkap dari bambu telah digunakan di beberapa perairan danau dan sungai di willayah Sumatera. Sementara di wilayah Papua konstruksi alat tangkap dari bambu lebih banyak tergolong kelompok alat tangkap lain-lain. Konstruksi alat tangkap tersebut tergolong sederhana dan dioperasikan secara tradisional oleh nelayan di sekitarnya. Beberapa alat tangkap dari bambu tersebut antara lain : (1) Umbing atau kecubang (Abidin 2006) Umbing atau kecubang (Gambar 9) merupakan alat penangkap sidat tradisional yang digunakan nelayan di Danau Tes Bengkulu. Umbing terbuat dari anyaman bilah bambu. Di bagian dalam badan umbing dipasang umpan 24

52 hidup menggunakan pengait, seperti udang, kepiting atau ikan. Umbing dipasang sedemikian rupa sehingga dapat dipakai sebagai tempat bersarang atau tempat tinggal oleh sasaran tangkap sidat. Jika lokasi pemasangan umbing adalah bebatuan, maka umbing pun ditutup dengan bebatuan. Jika diantara pohon tumbang, umbing ditutup dengan ranting-ranting kayu sedemikian rupa sehingga hanya pintu masuk saja yang dibiarkan terbuka. Jika dipasang ditempat terbuka, umbing dipasang melawan arus dengan memasang tonggak atau pancang kayu agar umbing tidak hanyut. Gambar 9. Umbing. (Abidin 2006). (2) Anco/Tangkul (Subani dan Barus 1989, Sukandi 2009 dan Abidin 2009) Tangkul (Gambar 10) merupakan alat tangkap sejenis anco (lift net) yang berukuran besar, banyak dioperasikan oleh nelayan Jambi di Danau Teluk yang diairi dari Sungai Batanghari. Tangkai dan rangka tangkul dibuat dari bahan bambu. Kerangka cabang dengan tangkai diikatkan dengan tali pada ujung tangkai bambu, sehingga tangkai atau gagang bambu dapat berputar ke segala arah ketika tangkul diangkat. Tangkul berbentuk bujursangkar, ada yang berukuran besar 5x5 meter dan dioperasikan secara pasif, serta mini 1x1 meter yang dioperasikan secara aktif. Tangkul dioperasikan di tempat yang tidak terlalu dalam dan sedikit arus, tidak menggunakan umpan. Kadang-kadang menggunakan alat bantu penangkapan bernama rebo, yaitu dedaunan atau potongan pohon berdaun rindang. Jarak antara dua tangkul kira-kira 50 meter, dioperasikan pada waktu siang atau malam hari dan diangkat setiap dua jam sekali. (3) Kalawai (Astuti dan Warsa 2007) Kalawai (Gambar 11) adalah alat penangkapan ikan berupa tombak sepanjang tiga meter dengan 3-10 mata tombak sepanjang cm. 25

53 Gagang tombak umumnya dari bambu. Kalawai digunakan dengan cara menombak atau menusukkan kalawai ke sasaran tangkap. Penangkapan ikan menggunakan kalawai disebut lowe. Pengoperasian kalawai pada malam hari dibantu dengan pencahayaan petromak atau lampu gas. Anco Anco tetap Gambar 10. Anco/Tangkul. (Subani dan Barus 1989) Gambar 11. Kalawai. (Astuti dan Warsa 2007). (4) Sumpit (Astuti dan Warsa 2007) Sumpit (Gambar 12) merupakan alat tangkap menyerupai tombak dengan tiga mata tombak sepanjang 14 15½ cm, umumnya dari logam besi. Pada bagian pangkal sumpit terdapat karet sebagai alat bantu untuk melempar sumpit. Sumpit dioperasikan dengan cara menyelam mendekati ikan agar berada dalam jarak jangkau tembak sumpit. Penggunaan sumpit dilengkapi dengan kacamata renang yang disebut molo. Pengoperasian sumpit pada malam hari menggunakan alat bantu pencahayaan seperti senter. (5) Jubi (Astuti dan Warsa 2007) Jubi merupakan alat penangkapan ikan berbentuk mirip kalawai, tetapi dengan mata tombak hanya satu buah. Penggunaan jubi dilengkapi dengan kacamata renang yang disebut molo. Ada dua macam jubi, yaitu (a) jubi 26

54 tradisional, dengan ciri bagian ujung besi lancip dan bagian pangkal sebagai pegangan berupa buluh bambu, sekali menombak hanya mendapatkan satu ekor ikan; (b) jubi modern, dengan ciri seluruh bagian alat tangkap terbuat dari besi dengan ujung runcing, sekali menombak dapat untuk menangkap lima ekor ikan. Gambar 12. Sumpit. (Astuti dan Warsa 2007). (6) Sengkirai Bilah (Burnawi 2008) Sengkirai bilah (Gambar 13) adalah alat tangkap tradisional yang telah digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Musi. Bahan utama sengkirai adalah bilah bambu yang dianyam dengan tali plastik atau rotan, pada bagian depan berbentuk persegi dan bagian belakang berbentuk oval. Di bagian depan dipasang injab, bersifat menjebak (traps) dan statis (Akrimi 1999 diacu dalam Burnawi 2008). Alat bantu penangkapan yang digunakan adalah satang atau stick. Satang adalah bambu tempat mengikatkan sengkirai bilah sepanjang 2,5 meter dan berdiameter 1-2 cm. Satang berfungsi sebagai alat bantu agar sengkirai bilah tidak timbul ke permukaan air, bergerak ke kiri dan ke kanan, dengan kata lain agar menetap di posisi pemasangannya. (7) Siringan (Bahri 2008) Siringan (Gambar 14) merupakan alat penangkapan ikan dari bambu dengan jarak celah 1 cm, rangka dari kayu bulat dan dipasang di bagian tengah badan sungai dengan bagian muka menghadap arus air. Alat tangkap ini banyak dioperasikan di Sungai Musi bagian hulu di Desa Terusan Lama Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Lahat. Siringan terdiri atas dua bagian, yaitu bagian depan disebut penetak atau sapa untuk menyatukan arus 27

55 air dan bagian yang kedua adalah badan alat tangkap untuk tempat ikan yang tersaring. Bagian badan siringan membentuk kerucut, bagian muka ada di dasar sungai semakin ke ujung semakin naik sehingga ketinggian mencapai 2-3 m dari permukaan air. Aktivitas alat tangkap siringan akan berfungsi dengan baik, jika arus air deras. Pintu masuk Gambar 13. Sengkirai bilah. (Burnawi 2008). Gambar 14. Siringan. (Bahri 2008). (8) Pengilar (Saiyani 2008) Alat tangkap pengilar (Gambar 15) dari bahan bambu berbentuk persegi. Pengoperasian pengilar menggunakan umpan kelapa dan digunakan untuk menangkap udang galah (Macrobrachium rosenbergii) di Sungai Musi.. Konstruksi rangka dari bahan bambu. Beberapa bilah bambu yang telah dijalin diikatkan pada rangka alat. Pengilar dioperasikan di tepi perairan dan direndam di dasar perairan dengan menancapkan stick atau galah. 28

56 Gambar 15. Pengilar. (Saiyani 2008). (9) Dudayaho (Sukamto 2008) Alat tangkap dudayaho (push net) sering ditemukan di Danau Limboto Gorontalo. Alat tangkap ini menyerupai seser, berbentuk segitiga, mempunyai ukuran yang besar. Rangkanya terbuat dari bahan bambu sepanjang tiga meter. (10) Badong (Romdon 2009) Badong (Gambar 16) merupakan alat penangkap kepiting bakau sejenis bubu dengan bahan dasar bambu yang dianyam. Badong dilengkapi dengan dua pintu masuk kepiting pada sisi kanan dan kiri, serta sebuah kunci pengait di bagian atas. Pada umumnya badong yang terbuat dari bambu berbentuk silinder dengan panjang 50 cm dan diameter pintu 20 cm. Dioperasikan dengan cara meletakkan alat tangkap ini di dasar perairan dan diberi umpan ikan kecil. Di Portugis perangkap ini digunakan untuk menangkap spiny lobster (von Brandt 2005). Menurut Subani dan Barus (1989), dinamakan pancing gandar karena jenis pancing ini menggunakan gandar, joran atau tangkai atau rod atau pole. Bagian joran ini umumnya terbuat dari bahan bambu. Jadi semua pancing yang menggunakan gandar sebenarnya adalah pole and line, namun karena salah kaprah, terakhir ini sebutan pole and line hanya ditujukan untuk alat penangkap cakalang (Katsuwonus pelamis). Dalam pengoperasiannya, pancing dilengkapi dengan umpan, baik umpan sesungguhnya (true bait) dalam bentuk mati atau hidup maupun dengan umpan tipuan. Beberapa macam atau tipe pancing gandar yang terpenting di antaranya : 29

57 (1) Huhate (skipjack pole and line) atau umumnya lebih dikenal dengan pole and line (Gambar 17). Alat tangkap ini banyak dijumpai di Perairan Indonesia Timur ; (2) Pancing kakap, ditujukan untuk menangkap ikan kakap (Lates calcarifer). Panjang gandar atau joran kira-kira 4 m ; (3) Pancing bobara untuk menangkap ikan bobara (Caranx spp.) dengan panjang gandar berkisar antara 3 3,5 m. Gambar 16. Badong. (Romdon 2009). Gambar 17. Huhate. Pada tahun 2004 (DKP 2006) di seluruh Indonesia terdapat 13 macam unit penangkapan ikan yang seluruh atau sebagian konstruksinya menggunakan bahan bambu (Tabel 1). Seluruhnya berjumlah unit dan didominasi oleh alat tangkap bubu (portable traps) sebanyak unit. 30

58 Tabel 1 Jumlah unit penangkapan ikan berbahan bambu pada tahun 2004 No. Kelompok alat Nama alat Jumlah Indonesia Umum (unit) 1. Jaring angkat Bagan perahu/rakit Boat/raft lift net (Lift net) Bagan tancap Stationary lift net Serok dan songko Scoop net Anco Shore lift net Pancing (Hook Huhate Skipjack pole and line and lines) 6. Perangkap Sero Guiding barrier (Traps) Jermal Stow nets Bubu Portable traps Alat Alat pengumpul rumput Sea weed collectors pengumpul dan penangkap laut Alat penangkap kerang Shell fish gears (Collectors and Alat penangkap Sea cucumber gears gears) teripang (ladung) 12. Alat penangkap Crab gears kepiting 13. Lain-lain (Others) Garpu dan tombak Harpoon etc Sumber : DKP Hukum Hooke dan Modulus Young Seorang ahli ilmu fisika dari Inggris Robert Hooke pada tahun 1676 atau setelah abad ke-17 mengemukakan tentang fenomena pegas yang ditarik dan dibiarkan kembali setelah gaya yang menyebabkan keregangan dihilangkan, selanjutnya dikenal sebagai Hukum Hooke (Boresi et al. 1993). Hukum Hooke adalah model sifat fisik yang akurat dari mekanika pegas secara umum untuk perubahan panjang yang kecil (Gambar 18). Hukum Hooke menggambarkan sejauh mana pegas akan meregang dengan suatu kekuatan spesifik. Di dalam ilmu mekanika dan ilmu fisika, Hukum Hooke dari elastisitas atau kekenyalan adalah suatu perkiraan yang menyatakan bahwa perpanjangan dari suatu pegas adalah sebanding dengan beban yang ditambahkan kepadanya sepanjang beban ini tidak melebihi batas elastis. Hukum Hooke dalam terminologi sederhana menyatakan bahwa regangan berbanding lurus dengan tegangan. Secara matematika, hukum Hooke dinyatakan dengan persamaan: F = - kx 31

59 Dengan keterangan bahwa x adalah perubahan panjang akhir dari pegas (dalam unit SI: " m"); F adalah kekuatan atau gaya yang digunakan oleh material (dalam unti SI : " N"); dan k adalah konstanta gaya atau konstanta pegas (dalam unit SI: " N m -1 " atau " kgs -2 "). Perilaku pembebanan ini linier. Tanda negatif pada persamaan menunjukkan pengembalian kekuatan selalu terjadi dalam arah yang berlawanan dari perubahan jarak, sebagai contoh, jika pegas diregangkan ke kiri, ia mendorong kembali ke kanan. Gambar 18. Pegas dan ilustrasi pergerakannya. (Symon 1971; Askeland dan Phulē 2006) Hukum Hooke hanya digunakan untuk beberapa material di bawah kondisi-kondisi pembebanan tertentu. Hukum Hooke berlaku pada bahan yang linear-elastis atau " Hookean". Baja memperlihatkan perilaku linear-elastis dalam banyak aplikasi rancang-bangun. Hukum Hooke valid sepanjang kisaran atau wilayah elastisnya. Untuk beberapa material lain, seperti aluminium. Hukum Hooke hanya valid untuk sebagian wilayah elastisnya. Dalam material aluminium ini, tegangan pada batas proporsionalnya dapat didefinisikan, dalam kondisi bahwa kesalahan yang dihubungkan dengan perkiraan garis linier dapat diabaikan. Karet dianggap sebagai bahan yang "non-hookean" atau tidak mengikuti Hukum Hooke, karena kekenyalannya adalah tegangan yang bergantung dan sensitif pada temperatur dan laju pembebanan (Askeland dan Phulē 2006). Suatu tangkai dari bahan yang elastis dapat dilihat sebagai satu pegas linier. Tangkai mempunyai panjang L dan luas atau cross-sectional area A. Pertambahan regangannya adalah berbanding lurus dengan tegangan-tariknya, dengan suatu faktor yang tetap, merupakan kebalikan dari modulus elastisitasnya, 32

60 disebut juga modulus Young (lihat: Askeland dan Phulē 2006) atau = E, yang dapat digambarkan dengan rumus: σ = Eε atau F σ ΔL = EA L = L E Modulus Young diambil dari nama seorang ilmuwan Inggris pada abad ke19, Thomas Young. Konsepnya dikembangkan pada 1727 oleh Leonhard Euler, sedangkan eksperimen pertama yang menggunakan konsep modulus Young dalam bentuk sekarang dilakukan oleh ilmuwan Italia Giordano Riccati pada Modulus Young dikenal sebagai modulus tegangan, yaitu suatu ukuran kekakuan dari bahan elastis isotropis, menggambarkan perbandingan dari tekanan di atas regangan yang berporos tunggal di sekitar tegangan dalam Hukum Hooke. Secara eksperimen dapat ditentukan dari slope pada kurva tegangan-regangan yang terjadi selama uji ketegangan suatu material. Modulus Young juga disebut modulus elastis atau modulus elastisitas. Modulus Young adalah modulus elastis yang paling umum digunakan (Symon 1971; Askeland dan Phulē 2006). Modulus Young adalah perbandingan antara dan regangan yang tanpa dimensi, oleh karena itu modulus Young sendiri mempunyai satuan tegangan. Unit Satuan Internasional (SI) dari modulus elastisitas (E atau biasanya Y) adalah pascal (Pa atau Newton per meter bujursangkar N/m²); unit praktis adalah megapascals (MPA atau Newton per mili meter bujursangkar N/mm²) atau gigapascals (GPA atau kilo Newton per mili meter bujur sangkar kn/mm²). Dalam unit Amerika Serikat, satuan dinyatakan sebagai pon per inci bujur sangkar (psi). Modulus Young dapat digunakan untuk bahan isotropis elastis untuk menghitung tegangan atau beban-tekannya. Modulus Young yang konstan di atas bidang regangan suatu bahan, disebut linier dan dikatakan mengikuti Hukum Hooke. Contoh material linier antara lain baja, gelas/kaca dan serabut karbon. Material yang tidak linier antara lain karet. Logam dan keramik merupakan bahan 33

61 isotropis, namun jika tidak-murni bisa menjadi anisotropis (Symon 1971; Ivanovska et al. 2004; Askeland dan Phulē 2006). Modulus Young, E, dapat dihitung dengan membagi tegangan-tarik oleh regangan tarik (Askeland dan Phulē 2006), seperti rumus berikut: Tensile stress σ F/A o FL o E = = = = Tensile strain ε ΔL /L o A o ΔL keterangan : E F A 0 ΔL L 0 = modulus Young ( modulus elastisitas) = kekuatan pada obyek = cross-sectional area awal = perubahan panjang obyek = panjang obyek. Kekuatan yang digunakan untuk meregangkan atau memampatkan material dapat dihitung dengan rumus: Dimana F = EA o ΔL L o EA o k = L o x = ΔL Hasil perhitungan untuk sejumlah material hasilnya dapat dilihat dalam Tabel Sifat Mekanis pada Alat Penangkapan Ikan dari Bambu Dalam pengoperasiannya, penampilan alat-alat penangkapan ikan dapat dikaitkan dengan beberapa sifat mekanis. Sifat mekanis tersebut diantaranya adalah elastisitas. Yang dimaksud dengan sifat mekanis dalam tulisan ini adalah kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan. Kekuatan merupakan kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang mengenainya. Ketahanan adalah daya tahan bahan terhadap perubahan bentuk karena dimampatkan, terpuntir atau terlengkungkan akibat beban yang mengenainya (Haygreen dan Bowyer 1982 diacu dalam Arinana 1997). 34

62 Tabel 2. Perkiraan Modulus Young untuk berbagai material No. Material GPa lbf/in² (psi) 1. Rubber (small strain) 0,01-0,1 1,500-15, ZnO NWs [citation needed] ,045,792-5,366, PTFE (Teflon) [citation needed] 0,5 75, Low density polyethylene [citation needed] 0,2 30, HDPE 0,8 6. Polypropylene 1, , , Bacteriophage capsids [4] , , Polyethylene terephthalate 2-2,7 9. Polystyrene 3-3,5 435, , Nylon , , Diatom frustules (largely silicic acid) [5] 0,35-2,77 50, , Medium-density fibreboard [6] 4 580, Pine wood (along grain) [citation needed] 8,963 1,300, Oak wood (along grain) 11 1,600, High-strength concrete (under compression) 30 4,350, Magnesium metal (Mg) 45 6,500, Aluminium 69 10,000, Glass (see chart) Kevlar [7] 70,5-112,4 20. Mother-of-pearl (nacre, largely calcium carbonate) [8] 70 10,000, Tooth enamel (largely calcium phosphate) [9] 83 12,000, Brass and bronze ,000, Titanium (Ti) 16,000, Titanium alloys ,000,000-17,500, Copper (Cu) ,000, Glass fiber reinforced plastic (70/30 by weight fibre/matrix, unidirectional, along ,800,000-6,500,000 grain) [citation needed] 27. Carbon fiber reinforced plastic (50/50 fibre/matrix, unidirectional, along grain) [citation needed] ,000,000-22,000, Silicon [10] Wrought iron Steel ,000, polycrystalline Yttrium iron garnet (YIG) [11] ,000, Single-crystal Yttrium iron garnet (YIG) [12] ,000, Beryllium (Be) ,000, Molybdenum (Mo) Tungsten (W) ,000,000-59,500, Sapphire (Al 2 O 3 ) along C-axis [citation needed] ,000, Silicon carbide (SiC) ,000, Osmium (Os) ,800, Tungsten carbide (WC) ,000,000-94,000, Single-walled carbon nanotube [13] 1, ,000, Diamond (C) [14] 150,000, ,000,000 Sumber : Ivanovska et al. (2004). Sifat mekanis kayu dapat digolongkan menjadi beberapa sifat (Mardikanto 1979 diacu dalam Arinana 1997), yaitu : 35

63 (1) keteguhan tarik (tensile strength) ; (2) keteguhan tekan (compressive strength) ; (3) keteguhan geser (shearing strength) ; (4) keteguhan lentur (bending strength) ; (5) sifat kekakuan (stiffness) ; (6) sifat kekerasan (hardness) ; (7) sifat keuletan (toughness) ; (8) sifat ketahanan belah (cleavage resistance), Keteguhan lentur merupakan ukuran kemampuan bahan untuk menahan beban yang bekerja tegak lurus sumbu memanjang serat di tengah-tengah balok yang disangga kedua ujungnya (Mardikanto 1979 diacu dalam Arinana 1997). Kekuatan lentur kayu utuh pada produk dasar kayu biasa dinyatakan dalam Modulus of Rapture (MOR) atau modulus patah dan sifat kekakuan atau Modulus of Elasticity (MOE). Modulus patah merupakan hasil dari beban maksimum dalam uji lentur. Kekakuan suatu bahan diperoleh apabila tekanan yang diberikan tidak melebihi batas proporsi (Haygreen dan Bowyer 1982 diacu dalam Arinana 1997), Singer dan Pytel (1995) mengemukakan bahwa satuan kekuatan bahan biasanya didefinisikan sebagai tegangan pada bahan, dinyatakan secara simbolis sebagai σ = P A.. (2) di mana σ (huruf Yunani sigma) yaitu tegangan atau stress, yaitu gaya per satuan luas, P adalah beban dan A adalah luas penampang. Satuan tegangan adalah satuan gaya dibagi oleh satuan luas, dalam sistem satuan internasional (SI) adalah Newton per meter kuadrat (N,m -2 ) yang dikenal sebagai pascal (Pa), Elastisitas adalah sifat benda yang berdeformasi untuk sementara. Hal yang berkaitan dengan elastisitas diantaranya adalah tegangan (stress) dan regangan (strain). Beban (load) adalah gaya yang menyebabkan perubahan bentuk (deformasi). Jika benda diberi beban, maka beban berada dalam keadaan berdeformasi atau benda dalam keadaan meregang akibat adanya gaya-gaya reaksi 36

64 dari dalam (internal) benda. Gaya reaksi atau gaya untuk mengembalikan benda ke bentuk asli per satuan luas di dalam benda disebut Stress. Stress adalah besaran yang berbanding lurus dengan gaya penyebabnya. Perubahan pada ukuran sebuah benda karena gaya-gaya dalam kesetimbangan dibandingkan dengan ukuran semula disebut Strain. Strain adalah derajat deformasi (Sarojo 2002), Dalam pengujian satu contoh uji yang diikatkan pada jepitan mesin penguji, akan dapat diamati secara serempak antara beban yang digunakan dan pertambahan panjang secara spesifik. Hasil pengamatan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk grafik dengan ordinat menyatakan beban dan absis menyatakan pertambahan panjang. Selanjutnya grafik tersebut dapat dicatat sebagai penggambaran hubungan antara beban atau tegangan satuan terhadap perpanjangan satuan, secara teknis dikenal sebagai regangan. Grafik hubungan tegangan dan regangan disebut sebagai diagram stress-strain (Singer dan Pytel 1995). Regangan (ε) menyatakan perubahan panjang dibagi panjang original, merupakan besaran tanpa dimensi. Dengan kondisi (1) contoh berpenampang tetap, (2) bahan homogen dan (3) beban harus aksial yaitu menghasilkan tegangan merata, maka regangan dianggap tetap dan nilainya dihitung menggunakan rumus δ ε =.. (3) L di mana δ adalah perpanjangan dan L adalah panjang yang telah diukur (Singer dan Pytel 1995), Dalam suatu pengujian kekuatan bahan akan didapatkan kurva hubungan antara regangan dan tegangan seperti dalam Gambar 18. Jika contoh uji diberikan beban setahap demi setahap akan menunjukkan perubahan panjang (deformasi), semakin besar beban yang diberikan maka deformasi akan semakin besar. Dalam kurva (Gambar 19) dapat dilihat bahwa mulai dari awal pemberian beban di titik nol (0) terjadi gerakan secara linier hingga pada batas proporsional di titik A, hal ini ditunjukkan dengan semakin besar tegangan yang terjadi maka semakin besar pula regangannya. Perlu dicatat di sini bahwa kesebandingan akan berakhir pada batas proporsional (Singer dan Pytel 1995), 37

65 Sampai batas titik A pada Gambar 19, jika beban dilepaskan, maka benda akan kembali ke posisi semula. Jika bahan tersebut terus diberikan tambahan beban, maka regangan yang terjadi semakin mengecil tetapi tegangan yang diakibatkan tetap semakin tinggi hingga mencapai titik maksimum C, namun gerakan yang terjadi tidak lagi linier. Jika setelah titik maksimum dicapai tetap diberikan beban, regangan dan tegangan yang terjadi semakin mengecil hingga titik rusak. Jika beban tetap diberikan, melewati titik rusak, gerakan yang terjadi tidak terpola. Stress = tegangan = P A Batas elastis Batas proporsional B A Maksimum C Fracture point (titik rusak) Linier Daerah elastis Daerah plastik Gambar 19. Diagram tegangan-regangan. (Singer dan Pytel 1995). Strain = regangan = ε = Δ L L Kurva pada Gambar 19 menunjukkan dua wilayah kondisi benda yang berbeda, yaitu daerah elastis dan daerah plastis. Daerah elastis adalah wilayah dimana kondisi benda akan kembali ke bentuk semula jika beban yang diberikan dihilangkan. Kondisi sebaliknya terjadi di daerah plastis, wilayah di mana kondisi benda tidak akan kembali ke bentuk semula jika beban yang diberikan dihilangkan. Batas proporsional (A) pada kurva merupakan batas linier. Batas elastis (B) adalah batas di mana jika beban dilepaskan maka benda akan kembali ke bentuk semula. Pada kayu, umumnya titik A dan B berimpit, namun belum tentu terjadi pada bambu. Bambu termasuk komposit, ciri khas komposit adalah jika dilakukan pengujian, walaupun sudah tercapai titik maksimum, kurva akan menaik lagi. Kondisi ini terjadi karena pada bambu biasanya sebagian serat yang 38

66 lemah terlebih dahulu yang bekerja, setelah itu menyusul sebagian serat yang kuat. Konsep lain yang dikembangkan dari kurva tegangan-regangan adalah (1) Batas elastis ; (2) Titik mulur, di mana bahan memanjang mulur tanpa pertambahan beban ; (3) Kekuatan mulur, berkaitan dengan titik mulur ; (4) Tegangan maksimum, atau kekuatan maksimum, merupakan ordinat tertinggi pada kurva tegangan-regangan ; (5) Kekuatan patah, atau tegangan pada patah, beban patah dibagi dengan luas penampang original, Kemiringan garis linier pada Gambar 18 menunjukkan rasio tegangan terhadap regangan. Rasio ini disebut modulus elastisitas atau modulus of elasticity dan disingkat E (Singer dan Pytel 1995): Kemiringan kurva tegangan-regangan = Rumus tersebut biasanya ditulis dalam bentuk E = σ ε.. (4) σ = Eε.. (5) dan bentuk persamaan (5) ini dikenal sebagai Hukum Hooke. Pada tahun 1807 Thomas Young memperkenalkan kesebandingan yang dikenal dengan modulus Young. Selanjutnya nama ini diganti menjadi modulus elastisitas. Dalam hukum Hooke satuan modulus elastisitas E sama dengan satuan tegangan σ, ini menyebabkan regangan ε tanpa dimensi. Variasi Hukum Hooke diperoleh dengan memasukkan persamaan (2) dan (3) ke dalam persamaan (5), sehingga diperoleh persamaan atau A P = E δ L PL δ = = AE σl E.. (6) Persamaan (6) menyatakan hubungan antara deformasi total δ, beban yang bekerja P, panjang L, luas penampang A dan modulus elastis E, Satuan deformasi δ sama dengan satuan panjang L, 39

67 Singer dan Pytel (1995) mengemukakan bahwa dasar utama masalah kekuatan bahan adalah menetapkan hubungan antara tegangan dan deformasi yang disebabkan oleh beban yang bekerja pada setiap struktur. Pada pembebanan aksial dan torsi akan menghadapi kesulitan kecil saat menggunakan hubungan tegangan dan deformasi, karena mayoritas kasus, beban tetap di seluruh struktur atau terdistribusi dengan besar tertentu di bagian komponen. Akan tetapi, mempelajari beban lentur, sulit karena kenyataannya pengaruh pembebanan terhadap balok bervariasi dari satu penampang ke penampang lain. Pengaruh pembebanan ini dalam bentuk gaya geser dan momen lentur, kadangkala disebut geser dan momen, Momen lentur didefinisikan sebagai jumlah momen semua gaya yang bekerja di sisi kiri atau kanan penampang terhadap sumbu titik berat penampang yang dipilih, dan dinyatakan secara matematis (Singer dan Pytel 1995) sebagai M = (ΣM) L = (ΣM) R.. (7) dimana L menunjukkan bahwa momen lentur dihitung dengan terminologi beban yang bekerja di sebelah kiri penampang dan R berkaitan dengan beban sebelah kanan penampang. Gaya luar yang bekerja ke atas menghasilkan momen lentur positif terhadap setiap penampang ; gaya ke bawah menghasilkan momen lentur negatif (Gambar 20), Lentur positif. Lentur negatif. Gambar 20. Tanda momen lentur. (Singer dan Pytel 1995). Menurut Sarojo (2002), sebuah batang dijepit pada salah satu ujungnya dan ujung yang lain diberi beban, maka batang akan melentur (Gambar 21), Ada bagian batang yang memendek dan memanjang. Bagian cekung memendek (berkompresi), bagian cembung memanjang. Penampang batang ada yang tidak berubah, disebut penampang netral dan garis tegak lurus pada penampang ini disebut sumbu netral. 40

68 Gambar 21. Lenturan batang. Bila pada sebuah benda titik berlaku resultan gaya-gaya pada benda tersebut sama dengan nol, maka benda tersebut akan berada dalam kesetimbangan statik bila benda tersebut diam. Jika benda dalam keadaan bergerak maka dinamakan kesetimbangan (Sarojo 2002), Uji lentur sederhana memposisikan balok dengan ujung bebas di atas dua titik sanggga. Beban diberikan di bagian tengah contoh uji (Gambar 22) : P Δ x Δ 0 L A ½L B Keterangan : A = ½P, B = ½P Gambar 22. Diagram pembebanan pada simple beam bending test Moment (x) adalah gaya yang membuat rotasi dikalikan dengan jarak, Di bagian (x) jika diberi beban akan terjadi gaya geser, Gaya geser merupakan turunan dari moment dengan nilai V x = ½P, Moment x pada 0 < x < ½L, maka Mx = ½P x ; adanya gaya geser maka x adalah V x = ½P, Moment x pada ½L < x < L, maka Mx = ½P x - P x + ½P L = ½P x - ½P(x + ½L); adanya gaya geser maka x + ½L adalah V x = - ½P, Menurut Singer dan Pytel (1995), persamaan differensial kurva elastis balok adalah EI. d 2 y = M x.. (8) dx 2 41

69 Jika diintegralkan maka d 2 y EI = M x dx 2 Mx = ½P x d 2 y EI dx 2 dy EI = ¼P x 2 + c 1 dx dy Pada saat x = ½L = 0 dx 0 = ¼ P (½L) 2 + c c 1 = - PL 2 = ½P x dy EI = ¼P x PL 2 dx 16 dy EI = (¼P x PL 2 ) dx 16 E I y = ½ P x PL 2 x + c E I y = P (½L) 3 - PL 2 (½L) = P L 3 - PL 3 1 = - P L 3 1 y = Tanda (-) pada hasil perhitungan di atas menunjukkan arah ke bawah, sehingga PL 3 EI menghitung modulus elastisitas dapat dilakukan dengan cara PL 3 E =.. (9) 48 I y I inersia = y 2.dA (Singer dan Pytel 1995; Mardikanto et al. 2008), y adalah tinggi benda sampai ke garis netral atau y = ½ h (Gambar 23). 42

70 b h 0 = garis netral Gambar 23. Garis netral pada benda (= ½h). b ½h da 0 -½h I inersia = -½h ½h y 2.dA = y 2. dy.b ½h -½h da = b.dy = 2 [⅓by 3 ½h ] 0 = ⅔ b (½h) 3 2 = bh 3 1 = bh I = bh 3.. (10) 12 Persamaan (10) dimasukkan pada persamaan (9) akan menjadi E = PL b h 3 y 12 E = PL 3 4 b h 3 y.. (11) E b = MOE - modulus of elasticity (kg/cm 2 ) P = beban atau load (kg) y = jarak dari garis netral (cm) b = lebar contoh uji (cm) h = tinggi atau tebal contoh uji (cm) L = panjang jarak sangga (cm) Jika y max = ½h, maka rumus (11) menjadi PL 3 E = 2 b h 4 Tegangan lentur (Singer dan Pytel 1995) dirumuskan dengan: σ b = M y I σ b = M max y max I 43

71 Moment x maksimum terjadi pada saat x = ½L dengan nilai ¼PL (Gambar 24), y max = ½h, Jika kedua nilai ini dimasukkan ke dalam persamaan tersebut, maka akan menjadi = = ¼PL ½h 1 12 bh3 12 PL 8 bh 2 = 3 PL 2 bh 2 maka tegangan lentur dapat dihitung menggunakan rumus σ b = 3 PL 2 bh 2.. (12) σ b = Tegangan lentur atau modulus of rupture MOR (kg/cm 2 ) P = beban atau load (kg) b = lebar contoh uji (cm) h = tinggi atau tebal contoh uji (cm) L = panjang jarak sangga (cm) Mx ¼PL 0 ½L L x Gambar 24. Titik maksimum moment. Berdasarkan Gambar 19, tahanan lentur ada pada wilayah elastis, 5 % dari luas kurva. Mardikanto et al. (2008) menjelaskan bahwa dalam penentuan allowable stress sebaran data yang biasa digunakan adalah distribusi normal, di mana yang diperhitungkan adalah 5% Exclusion Limit Value. Maksud dari 5% Exclusion Limit adalah bahwa dari keseluruhan hasil pengujian sifat mekanis kayu, diharapkan hanya 5% yang akan memiliki nilai lebih rendah dari nilai yang diperkirakan. Tahanan lentur (allowable stress) diperoleh dari hasil perkalian antara 5 % dari nilai exclution limit (Gambar 25) dengan faktor penyesuaian, seperti dijabarkan dalam rumus : σ b = 5 % EL. faktor penyesuaian.. (13) 44

72 5 % EL = MOR - 1,645, Standar deviasi Angka 1,645 diperoleh dari E tabel, yaitu nilai T untuk tingkat kepercayaan 5 % Faktor penyesuaian kayu untuk sifat lentur adalah 1, 2,3 frekuensi 5%.EL 95% 5% σ b Gambar 25. Penggambaran batas elastis (5%). Dalam pengaplikasiannya, nilai tegangan lentur izin haruslah lebih kecil dari nilai tegangan lentur (MOR) hasil hitungan. Nilai tegangan lentur yang diperoleh perlu disesuaikan lagi dengan keadaan konstruksi dan sifat muatan sebagai berikut berikut (Yap 1999) : 1) Nilai tegangan lentur dikalikan dengan faktor ⅔ jika untuk konstruksi yang selalu terendam di dalam air untuk bagian konstruksi yang tidak terlindung dan kemungkinan besar kadar lengas kayu akan selalu tinggi, 2) Nilai tegangan lentur dikalikan dengan faktor 5 / 6 jika untuk konstruksi yang tidak terlindung, tetapi kayu itu dapat mengering dengan cepat 3) Nilai tegangan lentur boleh dikalikan dengan faktor 5 / 4 jika untuk (bagian) konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan tetap dan muatan angin untuk (bagian) konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan tetap dan muatan tidak tetap, Uji model cantilever adalah dengan memposisikan salah satu ujungnya tetap dan ujung yang lain mendapat beban (Gambar 26), 45

73 PL P Arah moment x 0 L Gambar 26. Arah pergerakan moment dalam uji lentur cantilever. Untuk 0 < x < L, maka Mx = Px - PL Momen maksimum (M max ) terjadi pada saat x = 0, seperti tampak dalam diagram momen (Gambar 27), sehingga nilai M max = -PL Diagram momen -PL Gambar 27. Diagram momen. Dengan memasukkan nilai moment cantilever pada persamaan differensial kurva elastis balok (Singer dan Pytel 1995) pada persamaan (8), EI. d 2 y dx 2 maka persamaan tersebut akan menjadi d 2 y EI dx 2 Mx = Px - PL d 2 y EI dx 2 = M x = M x = Px-PL dy EI = ½Px 2 PLx + c 1 dx dy Pada saat x = 0 = 0 c 1 = 0 dx dy EI = ½Px 2 PLx dx EI dy dx = ½Px 2 PLx EI y = 1 / 6 Px 3 ½PLx 2 + c 2 46

74 Pada saat x = 0 y = 0 c 2 = 0 EI y = 1 / 6 Px 3 ½PLx 2 y max terjadi pada saat x = L EI y max = EI y max = 1 / 6 P(L) 3 ½PL(L) 2 1 / 6 PL 3 ½PL 3 EI y max = - ⅓PL 3 Tanda (-) menunjukkan arah ke bawah Defleksi maksimum adalah y max = E = E = = PL 3.. (14) 3EI PL 3 1 I = bh 3 3 y max I 12 PL 3 3 y 1 max / 12 b.h 3 PL 3 y max ¼ b.h 3 Jadi modulus elastis untuk model cantilever dihitung menggunakan rumus : E = 4 PL 3.. (15) 3 y b.h Tegangan lentur dihitung menggunakan rumus : σ = M y I Dengan M = -PL; y = ½h dan 1 I = bh 3 12, maka σ = σ b = -PL. ½h 1 bh PL.. (16) bh 2 47

75 σ b = Tegangan lentur atau modulus of rupture (kg/cm 2 ) P = beban atau load (kg) b = lebar contoh uji (cm) h = tinggi atau tebal contoh uji (cm) L = panjang dari titik sangga (cm) 48

76 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengumpulan data di laboratorium berlangsung selama tujuh bulan dimulai pada bulan Juli 2006 hingga Januari Contoh bambu betung (Dendrocalamus asper) yang digunakan diambil dari Kebun Bambu Percobaan Institut Pertanian Bogor (IPB) di Kampus IPB Darmaga Pintu II pada akhir Juli hingga awal Agustus Pemotongan contoh bambu dilakukan di Laboratorium Kayu Solid Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Uji sifat mekanis bambu contoh dilakukan di Laboratorium Keteknikan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan Laboratorium Keteknikan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. 3.2 Bahan dan Alat Bahan penelitian adalah satu jenis bambu yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat alat penangkapan ikan, yaitu bambu betung (Dendrocalamus asper) dari Kebun Bambu Percobaan IPB (Lampiran 1). Batang bambu dipilih yang sudah dewasa, berumur sekitar 4-5 tahun. Peralatan yang digunakan adalah 1) Alat pemotong (Gambar 28) dan peraut (Gambar 29) bambu ; 2) Alat pengukur panjang bambu, seperti penggaris logam 50 cm dengan skala terkecil 1 mm dan jangka sorong ; 3) Tanggem yang besar sebagai alat penjepit bambu (Gambar 30) ; 4) Mesin Uji Universal Instron (Gambar 31) dengan berbagai assesoris untuk keperluan uji kekuatan lentur, kekuatan tarik dan kekuatan tekan. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium. Langkah yang dilakukan (Gambar 32) adalah :

77 Mesin pemotong bambu Parang, alat pembelah bambu Gergaji, alat pemotong bambu Gambar 28. Alat pemotong bambu. Pisau potong Alat pemotong contoh uji Gambar 29. Alat pemotong/peraut spesimen. 50

78 Tampak belakang Tampak samping Tampak atas Gambar 30. Tanggem, alat penjepit bambu. Gambar 31. Universal Testing Machine (UTM) Instron. Studi pustaka Survei lapangan Pengering-udaraan bambu uji Penebangan bambu uji Pembuatan spesimen untuk uji Pengujian sifat mekanis : Penghitungan data 1. Uji tarik 2. Uji tekan 3. Simple bending test 4. Cantilever bending test Pengolahan dan analisis data Interpretasi dan penulisan hasil penelitian Gambar 32. Diagram alir tahapan penelitian. 51

79 1) Persiapan spesimen dan peralatan uji ; 2) Pelaksanaan uji sifat mekanis ; 3) Prosedur perhitungan data dari spesimen; 4) Analisis data ; 5) Penulisan hasil uji. Uji laboratorium dilakukan dengan membedakan lima perlakuan, yaitu 1) uji lentur sederhana; 2) uji lentur cantilever; 3) uji tekan tegak lurus serat dan uji tekan sejajar serat; serta 4) uji tarik. Bahan uji dikelompokkan sebagai berikut: 1) Batang bambu dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian pangkal, tengah dan bagian ujung bambu, 2) Ukuran lebar spesimen dibedakan menjadi dua, yaitu perbandingan tebal dan lebar bambu sebesar 1:1 dan 1:½, 3) Posisi spesimen saat pelaksanaan uji dibedakan menjadi tiga, yaitu posisi kulit luar bilah bambu di atas atau tepi atas, posisi kulit luar bilah bambu di bawah atau tepi bawah dan posisi kulit luar bilah bambu di samping atau tepi samping. Ketiga pengelompokan tersebut tidak diterapkan dalam setiap perlakuan, melainkan disesuaikan dengan pelaksanaan uji (Tabel 3). Perlakuan uji lentur sederhana dan uji lentur cantilever dapat dilakukan untuk semua pengelompokan, yaitu bagian batang bambu, ukuran lebar spesimen dan posisi kulit luar saat pelaksanaan uji kecuali tepi samping. Perlakuan uji tarik hanya dilakukan untuk posisi kulit luar di samping untuk seluruh bagian batang dan ukuran lebar spesimen. Perlakuan uji tekan dibedakan menjadi uji tekan tegak lurus serat dan uji tekan tegak lurus serat. Uji tekan tegak lurus serat dilakukan untuk semua pengelompokan bambu, baik bagian batang, ukuran lebar spesimen dan posisi kulit luar bambu saat uji dilaksanakan. Sementara untuk uji tekan sejajar serat hanya dilakukan untuk setiap posisi tepi samping. Setiap tipe uji dilakukan sebanyak 18 kali ulangan. 52

80 Tabel 3. Perancangan pengujian bahan Bagian batang Kelompok Ukuran lebar specimen (Tebal:Lebar) Posisi kulit luar Lentur sederhana (Simple bending beam) Perlakuan (uji mekanis) Lentur cantilever Tarik (tension) Tekan (Compress) Tegak lurus serat Pangkal 1:1 PTA 18x 18x - 18x - Sejajar serat PTB 18x 18x - 18x - PTS x 18x 18x 1:½ PTA 18x 18x - 18x - PTB 18x 18x - 18x - PTS x 18x 18x Tengah 1:1 TTA 18x 18x - 18x - TTB 18x 18x 18x - TTS x 18x 18x 1:½ TTA 18x 18x - 18x - TTB 18x 18x - 18x - TTS x 18x 18x Ujung 1:1 UTA 18x 18x - 18x - UTB 18x 18x - 18x - UTS x 18x 18x 1:½ UTA 18x 18x - 18x - UTB 18x 18x - 18x - UTS x 18x 18x Keterangan : x = ulangan; PTA-B-S = pangkal tepi atas-bawah-samping; TTA-B-S = tengah tepi atas-bawah-samping; UTA-B-S = Ujung tepi atas-bawahsamping Penyiapan spesimen dan peralatan uji Penelitian ini menggunakan batang satu jenis bambu yang biasa digunakan sebagai bahan alat penangkapan ikan, yaitu bambu betung (Dendrocalamus asper). Bambu betung bahan penelitian dipilih yang dewasa, berumur 4-5 tahun. Yap (1983) mengemukakan bahwa umur bambu yang baik digunakan adalah yang telah berumur 3-5 tahun, karena di atas umur tersebut maka kadar air bambu lebih sedikit, sehingga bambu cenderung kering. Sementara di bawah umur tersebut, kadar air bambu sangat tinggi, sehingga bisa terjadi keadaan keriput pada bambu jika dikeringkan. Bambu betung ditebang dari Kebun Percobaan IPB sebanyak 53

81 9 (sembilan) batang. Kemudian bambu hasil tebangan dikering-udarakan selama tujuh hari dengan maksud mengurangi kandungan air di dalam batang bambu. Selanjutnya bambu uji diambil dari tiga bagian batang bambu, yaitu bagian pangkal (basal), tengah dan atas atau ujung (top). Masing-masing bagian batang bambu diambil sepanjang 1,5 meter. Bagian pangkal diambil dari ruas ke1-5, bagian tengah dari ruas ke11-16 dan bagian ujung dari ruas ke21-26 dengan diameter minimal 1 cm. Spesimen merupakan bagian batang bambu yang dibelah (Gambar 33) sedemikian rupa, lalu dibentuk dengan ukuran sesuai kebutuhan (Gambar 34). Bilah bambu untuk setiap spesimen diambil dari bagian ruasnya, kecuali spesimen untuk uji lentur catilever. Spesimen untuk uji lentur cantilever memerlukan ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan panjang ruas bambu yang tersedia, sehingga dalam setiap spesimen terdapat bagian buku bambu. Pengaruh adanya buku dalam spesimen tersebut dalam penelitian ini diabaikan. Bagian ruas bambu Bagian buku bambu Kulit bambu bagian dalam Kulit bambu bagian luar Gambar 33. Cara pembelahan bambu untuk spesimen uji. Ukuran tebal bambu yang digunakan adalah bervariasi sesuai dengan ketebalan alami dinding bambu contoh, tidak dipotong lagi. Sementara lebar bambu digunakan dua macam, mengikuti tebal bambu yang ada dengan perbandingan tebal:lebar sebesar 1:1 dan 1:½. Spesimen bambu untuk uji lentur 54

82 sederhana dan uji tarik berbentuk balok berukuran panjang 30 cm. Spesimen bambu untuk uji lentur cantilever juga berbentuk balok dengan ukuran panjang 50 cm. Spesimen untuk uji tekan tegak lurus serat berbentuk kubus dengan ukuran panjang 2 cm dan lebar 2 cm. Sementara spesimen untuk uji tekan sejajar serat berbentuk balok dengan ukuran panjang 6 cm. Jumlah spesimen untuk masingmasing perlakuan uji adalah dua buah per batang bambu. Keseluruhan spesimen bambu untuk uji laboratorium berjumlah 972 buah. 30 cm (½-1)t A t (½-1)t D (½-1)t 30 cm 2 cm 6cm t C (½-1)t t E B 50 cm t t A = bentuk spesimen uji lentur sederhana (simple bending beam) B = bentuk spesimen uji lentur cantilever C = bentuk spesimen uji tekan tegak lurus serat D = bentuk spesimen uji tekan sejajar serat E = bentuk spesimen uji tarik t = tebal bambu Gambar 34. Bentuk dan ukuran berbagai spesimen uji. (½-1)t Keseluruhan spesimen uji bambu dikelompokkan menjadi : 1) spesimen untuk uji lentur sederhana (simple bending beam test) meliputi PTA 1:1 = spesimen dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:1, PTB 1:1 = spesimen dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:1, 55

83 PTA 1:½ = spesimen dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½, PTB 1:½ = spesimen dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:½, TTA 1:1 = spesimen dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:1, TTB 1:1 = spesimen dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:1, TTA 1:½ = spesimen dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½, TTB 1:½ = spesimen dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:½, UTA 1:1 = spesimen dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:1, UTB 1:1 = spesimen dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:1, UTA 1:½ = spesimen dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½, UTA 1:½ = spesimen dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½. 2) spesimen untuk uji lentur cantilever meliputi PCTA 1:1 = spesimen cantilever dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:1, PCTB 1:1 = spesimen cantilever dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:1, PCTA 1:½ = spesimen cantilever dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½, PCTB 1:½ = spesimen cantilever dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:½, TCTA 1:1 = spesimen cantilever dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:1, 56

84 TCTB 1:1 = spesimen cantilever dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:1, TCTA 1:½ = spesimen cantilever dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½, TCTB 1:½ = spesimen cantilever dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:½, UCTA 1:1 = spesimen cantilever dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:1, UCTB 1:1 = spesimen cantilever dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di bawah dan perbandingan tebal:lebar 1:1, UCTA 1:½ = spesimen cantilever dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½, UCTB 1:½ = spesimen cantilever dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di atas dan perbandingan tebal:lebar 1:½. 3) spesimen untuk uji tekan meliputi PTeA = spesimen uji tekan tegak lurus serat dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di atas, PTeB = spesimen uji tekan tegak lurus serat dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di bawah, PTeS = spesimen uji tekan tegak lurus serat dari bagian pangkal bambu dengan posisi tepi di samping, PTSS = spesimen uji tekan sejajar serat dari bagian pangkal, TTeA = spesimen uji tekan tegak lurus serat dari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di atas, TTeB = spesimen dari uji tekan tegak lurus serat bagian tengah bambu dengan posisi tepi di bawah, TTeS = spesimen uji tekan tegak lurus serat ari bagian tengah bambu dengan posisi tepi di samping, TTSS = spesimen uji tekan sejajar serat dari bagian tengah bambu, UTeA = spesimen uji tekan tegak lurus serat dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di atas, 57

85 UTeB 1:1 = spesimen uji tekan tegak lurus serat dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di bawah, UTeS 1:½ = spesimen uji tekan tegak lurus serat dari bagian ujung bambu dengan posisi tepi di samping, UTSS 1:½ = spesimen uji tekan sejajar serat dari bagian ujung bambu. 4) spesimen untuk uji tarik meliputi TP 1:1 = spesimen uji tarik dari bagian pangkal bambu dengan perbandingan tebal:lebar 1:1, TP 1:½ = spesimen uji tarik dari bagian pangkal bambu dengan perbandingan tebal:lebar 1:½, TT 1:1 = spesimen uji tarik dari bagian tengah bambu dengan perbandingan tebal:lebar 1:1, TT 1:½ = spesimen uji tarik dari bagian tengah bambu dengan perbandingan tebal:lebar 1:½, TU 1:1 = spesimen uji tarik dari bagian ujung bambu dengan perbandingan tebal:lebar 1:1, TU 1:½ = spesimen uji tarik dari bagian ujung bambu dengan perbandingan tebal:lebar 1:½, Peralatan uji yang utama digunakan adalah Universal Testing Machine (UTM) Instron, namun ada penambahan kelengkapan alat dalam uji lentur cantilever. Alat tambahan dimaksud adalah sebuah tanggem dan meja dudukannya (Gambar 35). Tanggem digunakan untuk menjepit salah satu ujung spesimen bambu yang akan diuji agar uji cantilever dapat dilakukan. Gambar 35. Tanggem dan meja dudukannya. 58

86 3.3.2 Pelaksanaan uji Pelaksanaan uji dilakukan menggunakan Universal testing machine (merk Instron). Ada tiga kekuatan yang akan diuji menggunakan mesin tersebut, yaitu kekuatan lentur atau kelenturan (bending), kekuatan tekan atau tekanan (compression) dan kekuatan tarik atau tarikan (tension). Spesimen uji yang digunakan adalah bambu dalam bentuk bilah dengan struktur serat yang berbeda hampir di setiap bagiannya. Kelenturan diujikan untuk mengetahui nilai modulus elastisitas (MOE), tegangan atau kekuatan lentur dan tahanan lentur dalam aplikasi pembuatan alat penangkapan ikan. Pembebanan untuk uji kelenturan dilakukan dengan penekanan di bagian tengah spesimen dengan kedua ujung tetap atau di atas dua titik sangga selanjutnya disebutkan sebagai uji lentur sederhana atau simple bending beam test (Gambar 36), serta penekanan di salah satu bagian ujung yang berlawanan dengan satu ujung lainnya yang menetap selanjutnya disebut sebagai uji lentur cantilever (Gambar 37). 30 cm P 30 cm P 5 cm 5 cm 5 cm 5 cm = Kulit luar bambu = Arah penekanan beban Gambar 36. Cara pengujian kelenturan bambu untuk simple bending beam test. Tegangan tarik diuji dengan cara satu ujung spesimen diposisikan tetap dalam jepitan dan satu ujung lainnya dijepit dan ditarik ke arah yang berlawanan (Gambar 38) hingga terlihat reaksi yang muncul pada spesimen bambu. Tegangan tekan untuk mengetahui sifat kekerasan (hardness) bambu. Cara 59

87 pengujian dan bentuk spesimen uji kekerasan bambu dilakukan dengan penekanan tegak lurus serat untuk tiga posisi dan satu posisi untuk penekanan sejajar serat (Gambar 39). P 5 cm 50 cm P 5 cm 15 cm 35 cm = Kulit luar bambu = arah penekanan beban Gambar 37. Cara pengujian kelenturan bambu model cantilever. 5 cm 20 cm 5 cm = arah penarikan Gambar 38. Cara pengujian tegangan tarik bambu. 60

88 Uji tekan sejajar serat = arah penekanan beban Uji tekan tegak lurus serat Gambar 39. Cara pengujian tegangan tekan bambu Prosedur perhitungan data dari contoh uji Nilai-nilai dari hasil uji kekuatan lentur, tekan dan tarik bambu dihitung menggunakan rumus tertentu. Selanjutnya diuraikan cara perolehan data dari beberapa sifat fisis dan mekanis bambu. (1) Kadar air dan berat jenis bambu uji Kadar air spesimen dihitung menggunakan rumus (Arinana 1997): BA - BKT KA = x 100% BKT Keterangan : KA = kadar air (%) BA = berat awal spesimen (g) BKT = berat kering tanur (g) Berat jenis spesimen dihitung menggunakan rumus (Arinana 1997): BJ = M kt / V ρ air Keterangan : BJ = berat jenis M kt = massa kering tanur contoh uji (g) V = volume spesimen (cm 3 ) ρ air = kerapatan air (1 g/cm 3 ) 61

89 (2) Kekuatan lentur sederhana (Simple bending beam) Modulus elastisitas (MOE) dihitung menggunakan rumus (Arinana 1997; Singer dan Pytel 1995): E b = PL 3 4 b h 3 y Keterangan : E b = MOE - modulus of elasticity (kg/cm 2 ) P = beban atau load (kg) y = jarak dari garis netral (cm) b = lebar spesimen (cm) h = tinggi atau tebal spesimen (cm) L = panjang jarak sangga (cm) Tegangan lentur maksimum yang bisa diterima oleh benda atau Modulus of rupture (σ b ) atau kekuatan lentur dihitung menggunakan rumus (Arinana 1997, Singer dan Pytel 1995): σ b = 3 PL 2 bh 2 Keterangan σ b = Tegangan lentur - modulus of rupture (kg/cm 2 ) P = beban atau load (kg) b = lebar spesimen (cm) h = tinggi atau tebal spesimen (cm) L = panjang jarak sangga (cm) Tahanan lentur diperoleh dengan rumus: σ b = 5 % EL. faktor penyesuaian 5 % EL = MOR - 1,645 Standar deviasi Angka 1,645 diperoleh dari E tabel, yaitu nilai T untuk tingkat kepercayaan 5 % 1 Faktor penyesuaian kayu untuk sifat lentur adalah. 2,3 Nilai tahanan lentur untuk konstruksi yang selalu terendam di dalam air (Yap 1983) dihitung dengan mengalikan antara nilai tahan lentur dengan faktor ⅔. 62

90 (3) Kekuatan lentur cantilever Modulus elastis untukuji lentur cantilever dihitung menggunakan rumus (Singer dan Pytel 1995): E b = 4 PL 3 y b.h 3 dan defleksi maksimum dihitung menggunakan rumus (Singer dan Pytel 1995): y max = PL 3 3EI Keterangan : E b = MOE - modulus of elasticitas (kg/cm 2 ) P = beban atau load (kg) y = jarak dari garis netral (cm) b = lebar spesimen (cm) h = tinggi atau tebal spesimen (cm) L = panjang jarak sangga (cm) Tegangan lentur dihitung menggunakan rumus (Singer dan Pytel 1995): σ b = - 6PL bh 2 Keterangan : σ b = Tegangan lentur - modulus of rapture (kg/cm 2 ) P = beban atau load (kg) b = lebar spesimen (cm) h L = tinggi atau tebal spesimen (cm) = panjang dari titik sangga (cm) Perhitungan tahanan lentur cantilever dilakukan menggunakan rumus yang sama dengan kekuatan lentur sederhana yang telah diuraikan pada point (2) di atas. (4) Kekuatan tekan (σ c ) Nilai modulus elastis untuk uji tekan dihitung menggunakan rumus (Arinana 1997, Singer dan Pytel 1995) : 63

91 P A E c = ΔL L Keterangan : E c = nilai modulus elastis (kg/cm 2 ) P = beban tekan (kg) A = luas penampang tekan (cm 2 ) L = panjang spesimen mula-mula (cm) Δ L = panjang setelah uji tekan dilakukan (cm) Perhitungan kekuatan tekan sejajar serat dilakukan dengan cara membagi beban maksimum oleh luas penampang uji sebagai berikut (Arinana 1997) : σ c = P max A Keterangan : σ c = F c = kekuatan tekan sejajar serat (kg/cm 2 ) P max = beban tekan maksimum (kg) A = luas penampang (cm 2 ) Dengan mengacu pada Hukum Hooke bahwa σ = Eε, selanjutnya dicari formula hubungan antara modulus elastisitas dan tegangan tekan. Perhitungan tahanan tekan dilakukan menggunakan rumus yang sama dengan kekuatan lentur sederhana yang telah diuraikan pada point (2) di atas. Hanya ada perbedaan nilai pada faktor penyesuaian kayu untuk sifat tekan sejajar serat adalah 1, sedangkan 2,1 1 untuk tekan tegak lurus serat adalah. 1,67 (5) Kekuatan tarik sejajar serat (σ t ) Nilai modulus elastis untuk uji tarik dihitung menggunakan rumus (Arinana 1997, Singer dan Pytel 1995) : E t = P A ΔL L Keterangan : E t = nilai modulus elastis (kg/cm 2 ) P = beban tarik (kg) A = luas penampang tarik (cm 2 ) L = panjang spesimen mula-mula (cm) Δ L = panjang setelah uji tarik dilakukan (cm) 64

92 Perhitungan kekuatan tarik sejajar serat dilakukan dengan cara membagi beban maksimum oleh luas penampang uji sebagai berikut (Arinana 1997; Singer dan Pytel 1995) : σ t = P max A Keterangan : σ t = F t = kekuatan tarik sejajar serat (kg/cm 2 ) P = beban tarik maksimum (kg) A = luas penampang (cm 2 ) Dengan mengacu pada Hukum Hooke bahwa σ = Eε, selanjutnya dicari formula hubungan antara modulus elastisitas dan tegangan tarik. Perhitungan tahanan tarik dilakukan menggunakan rumus yang sama dengan kekuatan lentur sederhana yang telah diuraikan pada point (2) di atas. Hanya ada perbedaan nilai 1 pada faktor penyesuaian kayu untuk sifat tarik sejajar serat adalah. 2, Analisis data Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan, semua hasil perhitungan di atas dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Analysis of Variance digunakan untuk menyelidiki hubungan antara variabel respon (dependent) dengan satu atau beberapa variabel prediktor (independent). ANOVA tidak mempunyai koefisien atau parameter model. ANOVA yang digunakan dalam analisis data ini adalah General Linear Model (Iriawan dan Astuti 2006) dengan menggunakan tiga faktor, yaitu bagian batang bambu, posisi kulit luar spesimen bambu saat diuji dan lebar spesimen bambu. Model uji dalam ANOVA tersebut sebagai berikut : Y ijk = μ + α i + β j + γ k + ( αβ) ij + (αγ) ik + (βγ) jk + (αβγ) ijk + ε ijk keterangan : Y ijk = nilai pengamatan dalam rancangan ; μ = nilai tengah ; α i = pengaruh posisi batang (i = 1,2,3) ; β j = pengaruh posisi kulit luar bambu dalam uji (j = 1,2) ; γ k = pengaruh lebar spesimen (k = 1,2) ; 65

93 (αβ) ij = pengaruh interaksi antara posisi batang ke-i dan posisi kulit luar spesimen bambu dalam uji ke-j ; (αγ) ik = pengaruh interaksi antara posisi batang ke-i dan lebar spesimen ke-k; (βγ) jk = pengaruh interaksi antara posisi kulit luar spesimen bambu dalam uji ke-j dan lebar contoh uji ke-k; (αβγ) ijk = pengaruh interaksi antara posisi batang ke-i, posisi kulit luar spesimen bambu dalam uji ke-j dan lebar spesimen ke-k ; = galat percobaan. ε ijk Analisis dilakukan terhadap hubungan antara tekanan atau ketahanan (stress) dan regangan atau kemuluran (strain) material bambu untuk menentukan apakah hubungan stress-strain bambu tersebut sebagai material yang elastis mengikuti Hukum Hooke. Kesesuaian kurva hasil percobaan dan hasil perhitungan teoritis untuk hubungan stress-strain yang dihitung berdasarkan Hukum Hooke hubungan gaya dapat menunjukkan apakah Hukum Hooke berlaku pada bambu sebagai bahan yang elastis. Langkah analisis uji lentur sederhana (simple beam bending test) maupun uji lentur cantilever adalah sebagai berikut: 1) Membuat kurva hubungan antara load-deflection dari hasil percobaan dengan rumus P = f(δy), beban merupakan fungsi defleksi. 2) Membuat kurva hubungan antara elasticity-load dari hasil percobaan dan menentukan bentuk persamaan E = f(p). 3) Berdasarkan persamaan E = f(p), selanjutnya secara teoritis ditentukan nilai y max atau Δy (deflection) dan membuat kurva hubungan load-deflection dari hasil perhitungan tersebut. 4) Menyandingkan kurva hubungan load-deflection dari hasil percobaan dan hasil perhitungan teoritis. Langkah analisis berdasarkan Hukum Hooke pada uji tarik (tension) dan uji tekan (compression) adalah sebagai berikut: 1) Membuat kurva hubungan antara tekanan-regangan atau stress-strain dari hasil percobaan. 2) Menghitung nilai elastisitasnya menggunakan rumus E = σ/ε. Selanjutnya membuat kurva hubungan antara elasticity-stress dari hasil percobaan dan menentukan bentuk persamaan E = f(σ). 66

94 3) Berdasarkan persamaan E = f(σ), selanjutnya secara teoritis ditentukan nilai teoritis modulus elastisitas (E) dan nilai strain (ε). 4) Menyandingkan kurva hubungan stress-strain dari hasil percobaan dan hasil perhitungan teoritis. 67

95 4 HASIL 4.1 Ukuran dan Kadar Air Bambu Bahan Uji Diameter bambu betung asal spesimen berkisar antara mm di bagian pangkal, mm di bagian tengah dan mm di bagian ujung. Tebal bambu uji berkisar antara mm di bagian pangkal, 8-13 mm di bagian tengah dan 5-10,5 mm di bagian ujung. Secara rinci ukuran bambu betung asal spesimen dapat dilihat dalam Lampiran 2. Kadar air dan berat jenis bambu pada saat diuji secara rinci tercantum dalam Lampiran 3. Kadar air spesimen berkisar antara 13,61 15,82 %. Berat jenisnya berkisar antara 0,42 0,95. Berat jenis bambu lebih kecil dibandingkan dengan berat jenis air, sehingga bambu mengapung di dalam air. 4.2 Proses Pengujian Pengujian lentur sederhana (simple bending beam test) Pengujian lentur sederhana (simple bending beam) dilakukan dengan memberikan beban di tengah spesimen secara bertahap dengan kecepatan 6 mm per menit. Proses pengujian lentur sederhana digambarkan dalam grafik Gambar 40 dan Lampiran 4. Grafik diawali dengan pergerakan linier sampai satu titik tertentu, dalam keadaan ini sifat spesimen elastis, yaitu bila beban yang menyebabkan kelenturan dihilangkan, maka spesimen akan kembali ke bentuk semula. Kemudian grafik mulai membentuk garis lengkung sampai beban maksimal tercapai dan melewati beban maksimal hingga mencapai titik rusak. Keadaan spesimen setelah melewati proses ini sudah tidak elastis, sering disebut sebagai dalam keadaan plastik. Bentuk spesimen tidak akan kembali ke bentuk semula, tetapi telah terjadi perubahan bentuk, terlebih jika terjadi kerusakan yang lebih parah. Selanjutnya melewati titik rusak, grafik membentuk garis dengan pola yang tidak jelas. Dalam Gambar 40 dapat dilihat bahwa semakin lebar atau semakin besar ukuran spesimen, maka semakin panjang garis liniernya. Daerah ini merupakan wilayah elastis. Bagian pangkal bambu mempunyai ketebalan yang lebih besar dibandingkan bagian batang bambu lainnya, umumnya lebih lentur, sehingga

96 lebih tinggi nilai beban yang dapat membuatnya patah. Dari setiap bagian batang bambu dapat dilihat bahwa bagian batang dengan posisi kulit luar di atas cenderung menciptakan garis linier yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi kulit luar di bawah. Demikian juga dengan ukuran lebar spesimen bambu, umumnya spesimen yang berukuran lebih lebar tebal:lebar 1:1 memerlukan beban yang lebih tinggi untuk meningkatkan nilai defleksinya Load - Deflection relationship (Pangkal) Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) PTA 1:1 PTB 1:1 PTA 1:½ PTB 1:½ Load - Deflectian relationship (Tengah) Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) TTA 1:1 TTB 1:1 TTA 1:½ TTB 1:½ Load - Deflection relationship (Ujung) Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) UTA 1:1 UTB 1:1 UTA 1:½ UTB 1:½ Gambar 40. Kurva hubungan Load-Deflection pada uji lentur sederhana (Simple bending beam test). Tahap pengujian lentur sederhana untuk spesimen bilah bambu dengan kulit luar di atas atau bilah bambu tepi atas dapat dilihat pada Gambar 41, 70

97 sedangkan untuk spesimen berkulit luar di bawah atau bilah bambu tepi bawah dapat dilihat pada Gambar 42. Hasil uji lentur sederhana pada spesimen bilah bambu dengan kulit luar di atas atau bilah bambu tepi atas (Gambar 41-12) menunjukkan besar beban dan bentuk kerusakan yang berbeda dengan spesimen berkulit luar di bawah atau bilah bambu tepi bawah (Gambar 42-9). Berdasarkan bagian batang bambu, bilah yang berasal dari bagian pangkal bambu memerlukan beban yang lebih besar untuk menyebabkannya patah dibandingkan bilah dari bagian batang lainnya. Semakin tebal spesimen semakin besar beban yang diperlukan untuk membuatnya rusak Gambar 41. Proses uji lentur sederhana dari spesimen bambu posisi tepi atas. Ada perbedaan tipe kerusakan pada uji kelenturan spesimen bambu dari bagian pangkal, tengah dan ujung. Kerusakan pada bagian pangkal umumnya terjadi pemampatan kemudian membengkok, ada sedikit serabut yang putus dan 71

98 ada yang terbelah karena tekanan. Kerusakan pada bagian pangkal dengan kulit luar di atas, umumnya beberapa serabut bagian dalam batang putus dan kerusakan terparah adalah serabut putus seolah dalam satu garis (Gambar 43). Kerusakan pada bagian pangkal dengan kulit luar di bawah umumnya hanya membuat lekukan pada bagian dalam bambu, kerusakan terparah ada yang memutuskan jaringan pada kulit keras bambu (Gambar 43). Kerusakan yang terjadi pada bagian pangkal dengan tebal:lebar 1:1 relatif sama dengan tebal:lebar 1: ½, hanya pada pangkal tebal:lebar 1:1 lebih sedikit kerusakan yang terjadi Gambar 42. Proses uji lentur sederhana dari spesimen bambu posisi tepi bawah. Ada perbedaan kondisi kerusakan yang terjadi pada bagian tengah dan ujung bambu dengan posisi kulit luar yang berbeda (Gambar 40). Bagian tengah dan ujung bambu dengan kulit luar di bawah cenderung lebih kenyal, sehingga tidak terjadi pecah, tetapi hanya terjadi pembengkokan yang permanen setelah uji berlangsung. Pada bagian ujung bambu ada yang terjadi slip saat pengujian berlangsung, selanjutnya kondisi ini dianggap gagal uji. Hal sama juga terjadi pada beberapa spesimen dari bagian tengah bambu dengan tebal:lebar 1:½. Hasil uji lentur sederhana pada bagian tengah dan ujung bambu dengan kulit luar di atas 72

99 menunjukkan kerusakan yang besar, terutama pada bilah bambu bagian dalam dengan kondisi patah atau putusnya serabut tidak beraturan. Pangkal tepi atas Pangkal tepi bawah Gambar 43. Kerusakan pada spesimen pangkal bambu setelah diuji. Tengah tepi bawah Tengah tepi atas Tengah slip Ujung tepi bawah Ujung tepi atas Ujung slip Gambar 44. Kerusakan pada hasil uji lentur sederhana untuk beberapa spesimen bagian tengah dan ujung bambu Pengujian lentur cantilever (cantilever bending beam test) Pengujian lentur cantilever (Gambar 45 dan Lampiran 5) menunjukkan garis-garis dalam grafik dengan pola yang hampir sama. Sama dengan uji lentur sederhana, grafik diawali dengan kondisi linier hingga titik batas elastis, kemudian berlanjut ke titik maksimum dan titik rusak hingga ke bentuk yang tidak 73

100 berpola. Semakin tebal spesimen, kondisi linier semakin panjang dan arahnya semakin vertikal Load - Deflection relationship (Pangkal) Daerah elastis Loag (kgf) Deflection (mm) PCTA 1:1 PCTB 1:1 PCTA 1:½ PCTB 1:½ 4.00 Load - Deflection relationship (Tengah) Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) TCTA 1:1 TCTB 1:1 TCTA 1:½ TCTB 1:½ Load-deflection relationship (Ujung) 1.50 Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) UCTA 1:1 UCTB 1:1 UCTA 1:½ UCTB 1:½ Gambar 45. Kurva hubungan Load-Deflection pada uji lentur cantilever. Gambar 46 menunjukkan tahap pengujian lentur cantilever. Hasil uji lentur cantilever menunjukkan kerusakan yang berbeda pada bagian pangkal, tengah dan ujung (Gambar 47, 48 dan 49). Demikian pula untuk posisi kulit luar di atas dan di bawah, serta tebal:lebar bambu pada masing-masing bagian batang 74

101 bambu. Secara umum kerusakan spesimen terjadi pada bagian bilah yang dekat dengan tanggem, di sekitar 1-2 cm dari ujung tanggem Gambar 46. Tahap pengujian lentur cantilever. Kerusakan pada bagian pangkal yang terlihat jelas berbeda adalah pada bilah berkulit luar di atas dan di bawah. Spesimen dengan posisi kulit luar di atas menunjukkan kerusakan serabut yang mulur karena terikut gaya tekan terhadap bilah bambu sehingga menjadi bengkok. Kerusakan pada bilah bambu dengan kulit luar di bawah adalah putusnya sebagian atau seluruh serabut di permukaan 75

102 kulit bagian dalam. Kerusakan spesimen bagian pangkal bambu seperti tampak dalam Gambar 47. Pangkal tepi atas 1:1 Pangkal tepi atas 1: ½ Pangkal tepi bawah 1:1 Pangkal tepi bawah 1: ½ Gambar 47. Kerusakan spesimen pangkal bambu pada hasil uji lentur cantilever. Kerusakan hasil uji lentur untuk bambu bagian tengah relatif sama, umumnya mengalami patah dan putusnya serabut. Kerusakan pada spesimen dengan kulit luar di atas mengalami pembengkokan akibat tekanan yang diberikan, jarang ada serabut yang putus. Kebalikannya terjadi pada spesimen dengan kulit luar di bawah, umum terjadi serabut dari sebagian lapisan kulit putus sehingga terbuka. Lebih jelas mengenai kondisi hasil uji ini dapat dilihat dalam Gambar 48. Kerusakan yang terjadi pada spesimen bagian ujung bambu lebih beragam. Kondisi slip, bengkok permanen, patah dan serabut putus dari sebagian permukaan bilah terjadi pada hasil uji pada bilah bambu dengan posisi kulit luar di atas dan di bawah, serta lebar spesimen yang berbeda. Kondisi kerusakan spesimen ujung bambu seperti tampak dalam Gambar

103 Tengah tepi atas 1:1 Tengah tepi atas 1: ½ Tengah tepi bawah 1:1 Tengah tepi bawah 1: ½ Gambar 48. Kerusakan spesimen bagian tengah bambu dari hasil uji lentur cantilever. Ujung tepi atas 1:1 Ujung tepi atas 1:½ Ujung tepi atas 1:½ Ujung tepi bawah 1:1 Ujung tepi bawah 1:½ Ujung tepi atas 1:½ Gambar 49. Kerusakan spesimen bagian ujung bambu pada hasil uji lentur cantilever Pengujian tekan Pengujian tekan pada spesimen bambu dilakukan dengan dua model, yaitu uji tekan dengan arah beban tekanan yang diberikan tegak lurus dengan serat 77

104 spesimen bambu yang diuji, serta uji tekan dengan arah beban tekanan yang diberikan sejajar dengan serat spesimen bambu uji. Uji tekan tegak lurus serat Uji tekan tegak lurus serat dibedakan menurut posisi kulit luar atau bagian tepi bambu, yaitu kulit luar di tepi atas, di bawah dan disamping (Gambar 50). Proses uji tekan tegak lurus serat seperti digambarkan dalam kurva di Gambar 51 dan Lampiran 6. Agak berbeda dengan proses uji sifat mekanik yang lain, proses uji tekan tegak lurus serat seolah selalu meningkat, seolah tidak pernah mencapai titik maksimum dan berakhir. Ada satu-dua spesimen yang mencapai beberapa kali titik maksimum Spesimen tekan tepi di samping 1 2 Spesimen tekan tepi di atas Spesimen tekan tepi di bawah Gambar 50 Proses uji tekan tegak lurus serat. Hasil uji tekan pada bagian pangkal bambu dengan kulit luar di atas dapat dilihat dalam Gambar 52. Kerusakan yang terjadi adalah seolah-olah membelah secara vertikal atau searah beban tekanan. Kerusakan itu terlihat jelas pada sudut pandang dari arah sisi samping spesimen, sedangkan jika dilihat dari sisi atas atau bawah tidak begitu tampak perbedaannya. Demikian pula yang terjadi pada spesimen dengan kulit luar di bawah (Gambar 53). Kerusakan yang terjadi seolah membelah secara vertikal. Jika dilihat per bagian bambu pada posisi spesimen yang sama, kerusakan yang terjadi hampir sama. Pada spesimen dari bagian pangkal, tengah dan ujung dengan kulit luar di atas (Gambar 54), tampak terjadi spesimen menjadi tipis atau 78

105 gepeng seolah melebar ke arah horizontal. Di bagian tengah spesimen seolah memadat, sedangkan di bagian samping umumnya terjadi pembelahan akibat tekanan Load - Deflection relationship (Pangkal) Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) PTeA PTeB PTeS Load - Deflection relationship (Tengah) Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) TTeA TTeB TTeS Daerah elastis Load (kgf) Load - Deflection relationship (Ujung) Deflection (mm) UTeA UTeB UTeS Gambar 51. Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tekan tegak lurus serat. Bagian dalam bambu yang awalnya berbentuk seperti melengkung, setelah uji tekan dilakukan menjadi merata, adanya tekanan yang menjadikan merata ini yang menyebabkan pada bagian samping spesimen menjadi terbelah. Hal yang sama terjadi pula pada spesimen dari bagian pangkal, tengah dan ujung dengan kulit luar di tepi bawah (Gambar 55). Kerusakan yang terjadi seolah sama, karena 79

106 memang mendapat beban tekanan dari arah yang sama, hanya posisi kulit luar saja yang berbeda. Hanya pada posisi tepi bawah ini, pembelahan di bagian samping spesimen terjadi dari bagian cekung menjadi merata, sedangkan pada tepi atas proses yang terjadi mulai dari bagian cembung hingga menjadi merata. Tampak atas Tampak bawah Tampak samping Gambar 52. Hasil uji tekan tegak lurus serat untuk spesimen pangkal tepi atas. Gambar 53. Hasil uji tekan tegak lurus serat untuk spesimen pangkal tepi bawah. Pada spesimen tekan tegak lurus serat dengan posisi tepi di samping, dilihat dari arah depan, kerusakan terjadi se arah diagonal atau pecah mulai dari posisi tepi yang keras ke arah tengah dan kembali lagi ke arah tepi. Jika dilihat dari arah atas atau arah datangnya beban, kerusakan yang terjadi pada bagian 80

107 pangkal, tengah dan ujung seolah sama, melebar kemudian tampak antar serat pembentuk bambu melepaskan diri. Gambaran lebih jelas tentang kerusakan pada spesimen posisi samping seperti tampak dalam Gambar 57. Pangkal Tengah Ujung Gambar 54. Hasil uji tekan tegak lurus serat spesimen tepi atas. Pangkal Tengah Ujung Gambar 55. Hasil uji tekan tegak lurus serat spesimen tepi bawah. Uji tekan sejajar serat Proses uji tekan sejajar serat hanya satu posisi untuk tepi bambu bagian luar. Proses dimulai dari spesimen dalam bentuk lurus, kemudian diberi beban tekanan secara bertahap hingga terjadi kerusakan pada spesimen atau mesin uji tidak dapat melanjutkan pemberian beban karena sudah maksimum. Proses uji tekan sejajar serat seperti tampak dalam Gambar 57dan 58, serta Lampiran 7. 81

108 Tampak depan Tampak atas Gambar 56. Hasil uji tekan tegak lurus serat spesimen tepi samping Gambar 57. Proses uji tekan sejajar serat. 82

109 Load - Deflection relationship Daerah elastis Load (kgf) Deflection (mm) PTSS TTSS UTSS Gambar 58. Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tekan sejajar serat. Hasil uji tekan sejajar serat terhadap spesimen bambu menunjukkan beberapa reaksi (Gambar 59). Ada yang menunjukkan reaksi membengkok sempurna akibat gaya tekan hingga patah, namun ada juga seolah hanya sebagian spesimen yang bereaksi, sementara bagian yang lainnya seolah tak bereaksi. Pembengkokan dapat terjadi ke arah kulit bagian dalam atau pada kulit bagian luar. Pembengkokan ke arah kulit bagian dalam, untuk beberapa spesimen tidak seluruh bagian kulit luar turut membengkok dan rusak. Pembengkokan yang terjadi ke arah kulit bagian luar, maka seluruh bagian kulit dalam turut membengkok hingga terputus ke arah horizontal Pengujian tarik Uji tarik dilakukan hanya dengan membedakan ukuran lebar bilah bambu spesimen. Proses uji untuk setiap spesimen dari bagian bambu yang berbeda adalah sama. Kedua ujung spesimen dijepitkan pada penjepit dari mesin uji, kemudian dilakukan penarikan ke arah atas, sementara sisi di bagian bawah dalam posisi tetap. Secara perlahan dengan kecepatan 6 mm per menit spesimen ditarik, reaksi penjepit semakin mengencang. Pada beberapa spesimen yang tebal tidak terjadi kerusakan pada bagian yang bebas, namun terjadi pergeseran pada kedua bagian ujung spesimen di dan atau dekat penjepit, atau memadat di bagian ujung yang dijepit. Pada beberapa spesimen yang berukuran lebih kecil terjadi pemburaian serabut bambu. Proses uji tarik spesimen bambu dapat dilihat dalam Gambar

110 Gambar 59. Beberapa macam kerusakan spesimen dari hasil uji tekan sejajar serat. Proses uji tarik dalam grafik dapat dilihat dalam Gambar 61 dan Lampiran 8. Grafik meningkat terus hingga titik rusak dan setelah itu langsung drop menurun hampir searah vertikal. Kerusakan yang terjadi pada hasil uji tarik sama polanya untuk spesimen dari setiap bagian batang bambu. Secara umum kerusakan yang terjadi di bagian tengah spesimen adalah terburainya serabut bambu, sedangkan di bagian tepi spesimen memadat akibat dari semakin kencangnya jepitan yang terjadi seiring dengan bertambahnya kekuatan tarik. Kekencangan ini pada saatnya dapat menyebabkan putusnya beberapa atau semua serabut yang terjepit, putusnya serabut ini akan berlanjut dengan terburainya serabut bambu di bagian tengah spesimen. Macam-macam kerusakan yang terjadi dalam uji tarik seperti tampak dalam Gambar 62, 63 dan

111 Bagian pangkal bambu Bagian tengah bambu Bagian ujung bambu Gambar 60. Tahap pengujian tarik pada spesimen bambu. 4.3 Pengujian Lentur Sederhana Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) Kisaran nilai modulus elastisitas bambu untuk setiap pengelompokan adalah berbeda. Makin besar ukuran contoh uji, maka kisaran nilai modulus elastisitasnya semakin kecil, dapat dikatakan semakin lentur. Hal ini dapat dilihat 85

112 dalam Tabel 4, bagian pangkal dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1 mempunyai selang yang paling sempit, yaitu 4.298, ,35 kgf/cm 2. Sementara ukuran selang terpanjang terjadi di bagian ujung dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:½ sebesar 7.591, ,08 kgf/cm Load - Deflection relationship (Pangkal) Load (kgf) Daerah elatis Deflection (mm) TP 1:½ Load - Deflection relationship (Tengah) Daerah elatis Load (kgf) Deflection (mm) TT 1:1 TT 1:½ Load - Deflection relationship (Ujung) Load (kgf) Daerah elastis Deflection (mm) TU 1:1 TU 1:½ Gambar 61. Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tarik. 86

113 Gambar 62. Contoh kerusakan yang terjadi pada spesimen pangkal bambu dalam uji tarik. Gambar 63. Contoh kerusakan yang terjadi pada spesimen tengah bambu dalam uji tarik. 87

114 Gambar 64. Kerusakan yang terjadi pada spesimen ujung bambu dalam uji tarik. Tabel 4. Kisaran nilai modulus elastisitas lentur sederhana (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 4.298, , , , , , , ,73 Tengah 7.662, , , , , , , ,19 Ujung 8.505, , , , , , , ,50 Bagian batang pangkal dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:1 memiliki nilai modulus elastisitas rata-rata yang terkecil, yaitu sebesar 5.247,74 kg/cm 2. Kondisi spesimen ini paling cepat lentur dibandingkan dengan bagian dan posisi spesimen yang lain. Bagian batang dan posisi spesimen bambu yang paling kaku adalah bagian ujung dengan kulit luar di atas, yaitu sebesar ,84 kg/cm 2 untuk tebal:lebar 1:1 dan lebih kaku untuk tebal:lebar 1:½ dengan nilai ,15 kg/cm 2. Lebih lengkap mengenai nilai modulus elastisitas rata-rata dari spesimen bambu dapat dibaca dalam Tabel 5. Tabel 5. Nilai modulus elastisitas rata-rata lentur sederhana (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 5.621, , , ,15 Tengah , , , ,56 Ujung , , , ,77 88

115 Hasil analisis statistik (Lampiran 9 poin 1 dan Lampiran 10 poin 1) menunjukkan bahwa secara individu nilai-nilai modulus elastisitas antar bagian batang bambu, posisi kulit luar dalam uji dan ukuran lebar bambu memiliki nilai modulus elastis yang berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99% dengan koefisien determinasi sebesar 87,22%. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Pada analisis secara bersama, hanya kombinasi bagian batang-lebar bambu yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Sementara analisis bersama untuk kombinasi bagian-posisi batang bambu, posisi-lebar batang bambu, serta bagian-posisi-lebar batang bambu menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 % sekalipun. Kombinasi bagian-posisi-lebar batang bambu berpengaruh nyata sampai pada tingkat kepercayaan 90% Tegangan lentur (Modulus of rupture) Tegangan lentur bambu untuk setiap perlakuan adalah berbeda. Kisaran nilai tegangan lentur di bagian pangkal lebih sempit selangnya dibandingkan dengan kisaran di bagian batang bambu yang lainnya. Semakin kecil ukuran lebar bambu contoh uji menunjukkan selang nilai kekuatan yang lebih panjang. Kisaran nilai tegangan lentur bagian pangkal dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1 adalah 626, ,31 kgf/cm 2 hingga ke bagian ujung dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:½ berkisar antara 501, ,85 kgf/cm 2 (Tabel 6). Tabel 6. Kisaran nilai tegangan lentur sederhana (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 626, ,31 583, ,30 473, ,89 504, ,80 Tengah 1.026, ,41 749, ,60 734, ,49 560, ,39 Ujung 1.211, ,43 466, ,14 722, ,69 501, ,85 Nilai tegangan lentur bambu rata-rata semakin besar dari arah pangkal ke arah ujung. Nilai tegangan lentur bambu rata-rata lebih besar terjadi pada spesimen yang lebih lebar dan dengan posisi kulit luar bambu berada di atas yang 89

116 berhadapan langsung dengan beban. Nilai tegangan lentur rata-rata tertinggi terjadi pada spesimen dari bagian ujung bambu dengan ukuran tebal:lebar 1:1 dan kulit luar bambu berada di atas saat uji berlangsung, yaitu sebesar 1.646,30 kg/cm 2. Sementara nilai tegangan lentur rata-rata terendah terjadi pada bagian ujung bambu dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:1 sebesar 829,47 kgf/cm 2. Lebih lengkap mengenai nilai tegangan lentur bambu rata-rata seperti tercantum dalam Tabel 7. Tabel 7. Nilai tegangan lentur sederhana rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 970,32 934,81 829,47 846,13 Tengah 1395, , , ,99 Ujung 1646, , , ,70 Hasil analisis statistik terhadap tegangan lentur (Lampiran 9 poin 1 dan Lampiran 10 poin 2) menunjukkan bahwa secara individu nilai-nilai tegangan lentur antar bagian batang bambu dan posisi kulit luar pada saat proses uji berpengaruh nyata untuk selang kepercayaan 99 % dengan koefisien determinasi sebesar 78,29 %, sedangkan untuk ukuran lebar bambu hasil uji tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini ditunjukkan oleh titik-titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Pada analisis secara bersama, semua interaksi perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 90 % sekalipun, kecuali untuk interaksi antara bagian batang bambu dan posisi kulit luar saat uji menunjukkan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 99 % Kurva Elasticity-Load dari hasil uji lentur sederhana Hubungan antara beban dan elastisitas digambarkan dalam kurva. Nilai beban yang digunakan adalah dari awal hingga beban maksimum, hal ini mengingat Hukum Hooke berlaku pada wilayah elastis. Selanjutnya dari kurva diperoleh persamaan trendline dari hubungan beban-elastisitas hasil uji. 90

117 Berdasarkan persamaan tersebut kemudian secara teori dihitunglah nilai modulus elastisitas dan nilai defleksi maksimal. Kurva hubungan beban-elastisitas dan beban-defleksi untuk hasil uji lentur sederhana dari spesimen bambu bagian pangkal dapat dilihat pada Gambar 65, sedangkan persamaan yang diperoleh tercantum dalam Tabel 8. Nilai-nilai defleksi rata-rata, beban, elastisitas hasil uji dan perhitungan teoritis, serta nilai defleksi maksimal dari spesimen pangkal bambu dapat dilihat pada Lampiran 11 poin 1 sampai dengan 4. Dari Tabel 8 dan Gambar 65 diketahui bahwa persamaan dan bentuk kurva bertipe polynomial. Secara umum ditunjukkan bahwa garis modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan membentuk perpotongan dengan jarak yang dekat, untuk spesimen tebal:lebar 1:1 garis di posisi setelah perpotongan secara umum hampir berimpit. Demikian pula dengan garis defleksi hasil uji dan defleksi maksimum, hanya nilai defleksi maksimum pada nilai beban yang sama untuk spesimen tebal:lebar 1:1 lebih kecil di saat-saat akhir pembebanan. Tabel 8. Persamaan pada kurva hubungan beban-elastisitas dari hasil uji lentur sederhana untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal E = -0,3P ,9P + 516,0 Tengah E = -15,3P ,7P ,1 Ujung E = -59,3P ,3P ,3 E = -2,5P ,3P + 486,1 E = -80,0P ,2P ,0 E = -199,0P ,7P ,8 Keterangan : E = modulus elastisitas ; P = beban E = -0,5P ,5P + 536,9 E = -22,9P ,8P ,4 E = -126,2P ,3P ,3 E = -2,7P ,0P + 660,3 E = -146,2P ,9P ,1 E = -328,6P ,4P ,7 Kurva hubungan beban-elastisitas dan beban-defleksi untuk hasil uji lentur sederhana dari spesimen bagian tengah bambu dapat dilihat pada Gambar 66, sedangkan persamaan yang diperoleh tercantum dalam Tabel 8. Nilai-nilai defleksi rata-rata, beban, elastisitas hasil uji dan perhitungan teoritis, serta nilai defleksi maksimal dari spesimen tersebut dapat dilihat pada Lampiran 11 poin 5 sampai dengan 8. Dari Tabel 8 dan Gambar 66 diketahui bahwa persamaan dan bentuk kurva bertipe polynomial. Secara umum ditunjukkan bahwa garis modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan membentuk perpotongan 91

118 dengan jarak yang dekat, untuk spesimen tebal:lebar 1:1 garis di posisi setelah perpotongan hampir berimpit. Garis defleksi hasil uji dan defleksi maksimum hampir berimpit, hanya nilai defleksi maksimum secara teoritis pada nilai beban yang sama secara umum lebih besar. E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (PTA 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (PTA 1:1) exp result calc result Deflection (mm) E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (PTB 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (PTB 1:1) exp result calc result Deflection (mm) Modulus of elasticity - Load relationship (PTA 1:1/2) Load - Deflection relationship (PTA 1:1/2) E (kgf/mm^2) E = P P Load (kgf) exp result calc result Poly. (exp result) exp result calc result Load (kgf) Deflection (mm) E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (PTB 1:1/2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (PTB 1:1/2) exp result calc result Deflection (mm) Gambar 65. Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur sederhana pada spesimen bambu bagian pangkal. 92

119 E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (TTA 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (TTA 1:1) exp result calc result Deflection (mm) E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (TTB 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relation (TTB 1:1) exp result calc result Deflection (mm) Modulus of elasticity - Load relationship (TTA 1:1/2) Load - Deflection relationship (TTA 1:1/2) E (kgf/mm^2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) exp result calc result Load (kgf) Deflection (mm) Modulus of elasticity - Load relationship (TTB 1:1/2) Load - Deflection relationship (TTB 1:1/2) E (kgf/mm^2) Load (kgf) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) 5.00 exp result calc result Deflection (mm) Gambar 66. Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur sederhana pada spesimen bambu bagian tengah. Kurva hubungan beban-elastisitas dan beban-defleksi untuk hasil uji lentur sederhana dari spesimen bambu bagian ujung dapat dilihat pada Gambar 67, 93

120 sedangkan persamaan yang diperoleh tercantum dalam Tabel 8. Nilai-nilai defleksi rata-rata, beban, elastisitas hasil uji dan perhitungan teoritis, serta nilai defleksi maksimal dari spesimen ujung bambu dapat dilihat pada Lampiran 11 poin 9 sampai dengan 12. Dari Tabel 8 dan Gambar 67 diketahui bahwa persamaan dan bentuk kurva bertipe polynomial. Secara umum ditunjukkan bahwa kurva hubungan beban-elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan berpotongan dan di akhir pembebanan secara umum hampir berimpit. Kurva beban-defleksi hasil uji dan defleksi maksimum juga hampir berimpit, hanya nilai defleksi maksimum teoritis pada nilai beban yang sama secara umum lebih besar, kecuali pada bilah bambu bagian ujung dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:½ Tegangan lentur referensi (allowable bending stress) Tegangan lentur referensi (allowable bending stress) adalah tegangan maksimum yang bisa diterima oleh benda yang telah disesuaikan untuk kondisi yang sesungguhnya. Tegangan lentur referensi tertinggi terjadi pada bagian ujung bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1, yaitu sebesar 539,32 kg/cm 2. Hal ini berarti bahwa beban seberat 539 kg pada satu titik pembebanan dapat menyebabkan kelenturan spesimen bambu. Nilai tegangan lentur referensi terkecil terjadi pada bagian pangkal bambu dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:½ sebesar 216,17 kgf/cm 2. Lebih lengkap mengenai hasil perhitungan tegangan lentur referensi seperti tercantum dalam Tabel 9. Tabel 9. Nilai tegangan lentur sederhana referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 274,04 279,09 224,23 216,17 Tengah 464,64 411,24 372,59 322,32 Ujung 539,32 364,25 396,25 278,54 94

121 25000 Modulus of elasticity - Load relationship (UTA 1:1) Load - Deflection relationship (UTA 1:1) E (kgf/mm^2) E = -59.3P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) exp result calc result Load (kgf) Deflection (mm) Modulus of elasticity - Load relationship (UTB 1:1) Load - Deflection relationship (UTB 1:1) E (kgf/mm^2) Load (kgf) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) exp result calc result Load (kgf) Deflection (mm) E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (UTA 1:1/2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (UTA 1:1/2) exp result calc result Deflection (mm) E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (UTB 1:1/2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (UTB 1:1/2) exp result calc result Deflection (mm) Gambar 67. Kurva hubungan berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur sederhana pada spesimen bagian ujung. 95

122 Hasil analisis statistik terhadap tegangan lentur referensi (Lampiran 9 poin 1 dan Lampiran 10 poin 3) menunjukkan bahwa secara individu nilai tegangan lentur referensi berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99 % dengan koefisien determinasi sebesar 68,82%. Grafik plot kenormalan menunjukkan bahwa asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini ditunjukkan oleh titik-titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Pada analisis secara bersama, interaksi perlakuan antara bagian-posisi dan bagian-lebar bambu contoh uji menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 99%. Sementara interaksi perlakuan antara posisi-lebar bambu dan bagian-posisi-lebar bambu menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 90 % sekalipun. Nilai tegangan lentur referensi yang tercantum di dalam Tabel 9 merupakan nilai tegangan lentur referensi untuk konstruksi yang berada dalam kondisi pembebanan aktualnya tetap dan terlindung. Nilai tegangan lentur referensi tersebut harus disesuaikan untuk kondisi aktual berada di dalam air, sehingga nilai tegangan lentur referensi tersebut menjadi nilai-nilai yang tercantum dalam Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 dapat diungkapkan bahwa pembebanan sebesar 359 kg pada satu titik dapat menyebabkan bagian ujung bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1 menjadi melendut, sedangkan di bagian pangkal dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:½ mempunyai tegangan sebesar 144 kg/cm 2. Tabel 10. Nilai tegangan lentur sederhana referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) dengan kondisi di dalam air Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 182,69 186,06 149,49 144,11 Tengah 309,76 274,16 248,40 214,88 Ujung 359,55 242,83 264,17 185,69 96

123 4.4 Pengujian Lentur Cantilever Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) Nilai modulus elastisitas spesimen bambu dari uji lentur cantilever berbeda untuk setiap spesimen dengan pengelompokan yang berbeda. Kisaran nilai modulus elastisitas lentur cantilever secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel 11. Tabel 11. Kisaran nilai modulus elastisitas lentur cantilever (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 3.737, , , , , , , ,31 Tengah 2.591, , , , , , , ,32 Ujung 2.165, , , , , , , ,05 Nilai modulus elastisitas lentur cantilever rata-rata berkisar antara 7.360, ,66 kg/cm 2. Nilai modulus elastisitas tertinggi terjadi pada bagian tengah bambu dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:½, sedangkan nilai terendah terjadi di bagian pangkal bambu dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:1. Secara lengkap mengenai nilai modulus elastisitas pada setiap pengelompokan dalam uji lentur cantilever seperti tercantum dalam Tabel 12. Tabel 12. Nilai modulus elastisitas rata-rata lentur cantilever (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 8.625, , , ,24 Tengah 8.591, , , ,66 Ujung 8.667, , , ,04 Hasil analisis statistik (Lampiran 9 poin 2 dan Lampiran 12 poin 1) menunjukkan bahwa baik secara individu maupun secara bersama pengelompokan tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90 %. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji 97

124 yang cenderung membentuk garis lurus. Sementara asumsi homogenitas variasi dapat diterima, dalam gambar menunjukkan sebaran titik-titik acak dan tidak berpola. Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai modulus elastis tersebut, maka bagian bambu mana pun yang akan digunakan tidaklah menunjukkan elastisitas yang sangat berbeda Tegangan lentur (Modulus of rupture) Kisaran nilai tegangan lentur cantilever dari bambu uji bervariasi untuk setiap bagian batang, mulai yang tersempit pada bagian pangkal bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:½ dengan nilai 288,84 780,83 kgf/cm 2, hingga yang terlebar pada bagian ujung bambu dengan kulit luar di bawah tebal:lebar 1:1 dengan kisaran nilai 189, ,78 kgf/cm 2. Secara lengkap kisaran nilai tegangan lentur cantilever menurut perlakuan seperti tercantum dalam Tabel 13. Tabel 13. Kisaran nilai tegangan lentur cantilever (kgf/cm 2 ) Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 252, ,29 288,84 780,83 298, ,52 360, ,00 Tengah 183, ,88 283,14 847,78 336, ,27 288, ,05 Ujung 236, ,56 251, ,86 189, ,78 171,61 885,28 Nilai tegangan lentur bambu betung rata-rata pada uji lentur cantilever berkisar antara 515,11 790,91 kg/cm 2. Nilai tegangan lentur cantilever rata-rata tertinggi terjadi pada bagian ujung bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:½, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian pangkal bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:½. Secara lengkap nilai tegangan lentur cantilever rata-rata untuk setiap pengelompokan dapat dilihat dalam Tabel 14. Hasil analisis statistik (Lampiran 9 poin 2 dan Lampiran 12 poin 2) menunjukkan bahwa baik secara individu maupun secara bersama perlakuan tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95 %. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Oleh karena itu, jika akan menggunakan 98

125 bilah bambu dengan komposisi terakhir harus dipertimbangkan terlebih dahulu sehingga mendapatkan kekuatan yang maksimal. Tabel 14. Nilai tegangan lentur cantilever rata-rata (kgf/cm 2 ) Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 652,67 515,11 642,35 645,05 Tengah 592,47 575,22 706,42 616,11 Ujung 534,43 790,91 594,80 549, Kurva Elasticity-Load dari hasil uji lentur cantilever Hubungan antara beban dan elastisitas digambarkan dalam kurva. Seperti perhitungan pada hasil uji lentur sederhana, di sini pun nilai beban yang digunakan adalah dari awal hingga beban maksimum. Selanjutnya dari kurva hubungan beban-elastisitas hasil uji diperoleh persamaan trendline. Berdasarkan persamaan tersebut kemudian secara teoritis dihitunglah nilai modulus elastisitas dan nilai defleksi maksimal. Kurva hubungan beban-elastisitas dan beban-defleksi untuk hasil uji lentur cantilever dari spesimen bambu bagian pangkal dapat dilihat pada Gambar 68, sedangkan persamaan yang diperoleh tercantum dalam Tabel 15. Nilai-nilai defleksi rata-rata, beban, elastisitas hasil uji dan perhitungan teoritis, serta nilai defleksi maksimal dari spesimen pangkal bambu dapat dilihat pada Lampiran 13 poin 1 sampai dengan 4. Dari Tabel 15 dan Gambar 68 diketahui bahwa persamaan dan bentuk kurva bertipe polynomial. Secara umum ditunjukkan bahwa garis modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan berpotongan setelah nilai elastisitas hasil uji mencapai maksimum, setelah titik perpotongan nilai elastisitas perhitungan lebih tinggi dan di akhir pembebanan kurva hampir berimpit. Garis defleksi hasil uji dan defleksi maksimum hampir berimpit walaupun ada terjadi perpotongan, nilai defleksi maksimum pada nilai beban yang sama lebih besar di saat-saat akhir pembebanan, kecuali untuk spesimen posisi kulit di atas dengan tebal:lebar 1:1. 99

126 Tabel 15. Persamaan pada kurva hubungan beban-elastisitas dari hasil uji lentur cantilever untuk setiap pengelompokan Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal E = -0.2P P Tengah E = -4.4P P E = -1.8P P E = -28.2P P Ujung E = -23.1P P E = -93.2P P Keterangan : E = modulus elastisitas ; P = beban E = -0.2P P E = -2.9P P E = -31.4P P E = -0.7P P E = -30.3P P E = -76.6P P Kurva hubungan beban-elastisitas dan beban-defleksi untuk hasil uji lentur cantilever dari spesimen bambu bagian tengah dapat dilihat pada Gambar 69, sedangkan persamaan yang diperoleh tercantum dalam Tabel 15. Nilai-nilai defleksi rata-rata, beban, elastisitas hasil uji dan perhitungan teoritis, serta nilai defleksi maksimal dari spesimen bagian tengah bambu dapat dilihat pada Lampiran 13 poin 5 sampai dengan 8. Dari Tabel 15 dan Gambar 69 diketahui bahwa persamaan dan bentuk kurva bertipe polynomial. Secara umum ditunjukkan bahwa garis modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan berpotongan setelah nilai uji mencapai maksimum. Nilai modulus elastisitas hasil uji dari awal pembebanan hingga mencapai puncak berada di atas hasil perhitungan, setelah itu nilai hasil perhitungan berada di atas dan di akhir pembebanan nilai modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit dengan nilai hasil uji berada lebih di atas. Demikian pula antara garis defleksi hasil uji dan defleksi maksimum, hampir berimpit, walaupun terjadi perpotongan, nilai defleksi maksimum pada nilai beban yang sama lebih besar di saat-saat akhir pembebanan. Kurva hubungan beban-elastisitas dan beban-defleksi untuk hasil uji lentur cantilever dari spesimen bambu bagian ujung dapat dilihat pada Gambar 70, sedangkan persamaan yang diperoleh tercantum dalam Tabel 15. Nilai-nilai defleksi rata-rata, beban, elastisitas hasil uji dan perhitungan teoritis, serta nilai defleksi maksimal dari spesimen ujung bambu dapat dilihat pada Lampiran 13 poin 9 sampai dengan 12. Dari Tabel 15 dan Gambar 70 diketahui bahwa persamaan dan bentuk kurva bertipe polynomial, semua kurva hampir mempunyai pola yang sama. Secara umum ditunjukkan bahwa garis modulus elastisitas hasil 100

127 uji dan hasil perhitungan berpotongan setelah nilai uji mencapai maksimum. Nilai modulus elastisitas hasil uji dari awal pembebanan hingga mencapai puncak berada di atas hasil perhitungan, setelah itu nilai hasil perhitungan berada di atas dan di akhir pembebanan nilai modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit dengan nilai hasil uji berada lebih di atas. Kurva antara garis defleksi hasil uji dan defleksi maksimum, hampir berimpit, walaupun terjadi perpotongan, nilai defleksi maksimum pada nilai beban yang sama lebih besar di saat-saat akhir pembebanan Tegangan lentur referensi (allowable bending stress) Nilai tegangan lentur cantilever referensi (allowable bending stress) bervariasi untuk setiap perlakuan yang diberikan, berkisar antara 104,41 228,88 kg/cm 2. Hal ini menunjukkan bahwa beban seberat 104 kg pada satu titik telah dapat membuat pangkal bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:½ melendut. Lebih lengkap mengenai nilai tegangan lentur cantilever referensi dari setiap perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 16. Tabel 16. Nilai tegangan lentur cantilever referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 175,36 104,41 133,96 128,48 Tengah 115,94 111,68 168,66 159,49 Ujung 158,72 177,88 228,88 140,35 Nilai tegangan lentur cantilever referensi yang tercantum di dalam Tabel 16 merupakan nilai tegangan lentur referensi untuk konstruksi yang berada dalam kondisi pembebanan aktualnya tetap dan terlindung. Bangunan alat penangkapan ikan umumnya berada di dalam air, sehingga harus disesuaikan untuk kondisi aktualnya. Kisaran nilai tegangan lentur cantilever referensi yang diposisikan di dalam air seperti tercantum dalam Tabel 17, yaitu berkisar antara 69,61 152,58 kg/cm 2. Hal ini menunjukkan bahwa untuk model cantilever beban sebesar 69 kg 101

128 16 Modulus of elasticity - Load relationship (PCTA 1:1) Load - Deflection relationship (PCTA 1:1) E (kgf/mm^2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf/mm^2) exp result calc result Load (kgf) Deflection (mm) 14 Modulus of elasticity - Load relationship (PCTB 1:1) Load - Deflection relationship (PCTB 1:1) E (kgf/mm^2) E = P P Load (kgf) exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) 2.00 exp result calc result Deflection (mm) 7 Modulus of elasticity - Load relationship (PCTA 1:1/2) 3.50 Load - Deflection relationship (PCTA 1:1/2) E (kgf/mm^2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) exp result calc result Load (kgf) Deflection (mm) 16 Modulus of elasticity - Load relationship (PCTB 1:1/2) 8.00 Load - Deflection relationship (PCTB 1:1/2) E (kgf/mm^2) E = P P Load (kgf) exp result calc result Poly. (exp result) exp result calc result Load (kgf) Deflection (mm) Gambar 68. Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian pangkal. 102

129 E (kgf/mm^2) E (kgf/mm^2) 20 Modulus of elasticity - Load relationship (TCTA 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) 18 Modulus of elasticity - Load relationship (TCTB 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf/mm^2) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (PCTA 1:1) exp result calc result Deflection (mm) 4.0 Load - Deflection relationship (TCTA 1:1) Load - Deflection relationship (TCTB 1:1) exp result calc result Deflection exp result (mm) calc result Deflection (mm) E (kgf/m^2) Modulus of elasticity - Load relationship (TCTA 1:1/2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) 1.6 Load - Deflection relationship (TCTA 1:1/2) exp result calc result Deflection (mm) E (kgf/mm^2) Modulus of elasticity - Load relationship (TCTB 1:1/2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) Load - Deflection relationship (TCTB 1:1/2) exp result calc result Deflection (mm) Gambar 69. Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian tengah. 103

130 E (kgf/mm^2) 18 Modulus of elasticity - Load relationship (UCTA 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) 1.60 Load - Deflection relationship (UCTA 1:1) exp result calc result Deflection (mm) E (kgf/mm^2) 18 Modulus of elasticity - Load relationship (UCTB 1:1) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) 1.20 Load - Deflection relationship (UCTB 1:1) exp result calc result Deflection (mm) E (kgf/mm^2) 20 Modulus of elasticity - Load relationship (UCTA 1:1/2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) 0.80 Load - Deflection relationship (UCTA 1:1/2) exp result calc result Deflection (mm) E (kgf/mm^2) 25 Modulus of elasticity - Load relationship (UCTB 1:1/2) E = P P exp result calc result Poly. (exp result) Load (kgf) Load (kgf) 0.90 Load - Deflection relationship (UCTB 1:1/2) exp result calc result Deflection (mm) Gambar 70. Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian ujung. pada satu titik pembebanan dapat menyebabkan pelendutan bambu. Nilai tegangan lentur cantilever referensi tertinggi terjadi pada bagian ujung bambu dengan kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:1, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian pangkal bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:½. Jika 104

131 menghendaki tidak terjadi pelendutan dengan beban seberat 69 kg atau bahkan mungkin lebih besar dari angka tersebut, maka pembebanan tidak dilakukan di satu titik, tetapi ditata di beberapa titik. Tabel 17. Nilai tegangan lentur cantilever referensi (allowable bending stress) (kgf/cm 2 ) di dalam air Bagian Kulit luar di atas Kulit luar di bawah Bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal 116,91 69,61 89,31 85,65 Tengah 77,29 74,45 112,44 106,33 Ujung 105,81 118,59 152,58 93, Pengujian Tarik Uji tarik hanya dibedakan berdasarkan bagian dan lebar bambu contoh uji, karena posisi kulit tidak berpengaruh terhadap kekuatan spesimen. Dalam pelaksanaan uji tarik, tidak semua contoh uji memberikan hasil uji, yaitu semua spesimen dari bagian pangkal dengan tebal:lebar 1:1 tidak memberikan hasil uji Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) Kisaran nilai modulus elatisitas bambu dalam uji tarik secara umum menunjukkan selang yang tidak terlalu lebar. Kisaran nilai di bagian pangkal dengan tebal:lebar 1:½ adalah yang terlebar, yaitu 14,53 119,64 kgf/cm 2. Nilai modulus elastisitas bambu rata-rata dari uji tarik berkisar antara 39,61 kgf/cm 2 pada bagian ujung dengan tebal:lebar 1:½ hingga 72,53 kgf/cm 2 pada bagian pangkal dengan tebal:lebar 1:½. Lebih lengkap mengenai kisaran nilai hasil uji tarik dapat dibaca dalam Tabel 18, sedangkan nilai modulus elastisitas tarik ratarata dapat dibaca dalam Tabel 19. Analisis statistik untuk nilai modulus elastisitas dilakukan dua kali, karena data interaksi pangkal dan tebal:lebar 1:1 tidak diperoleh, yaitu menguji pengelompokan bagian hanya untuk tebal:lebar 1:½ dan menguji interaksi pengelompokan bagian-lebar hanya untuk bagian tengah dan ujung. Hasil analisis statistik (Lampiran 9 poin 3 dan Lampiran 14 poin 1) menunjukkan bahwa interaksi perlakuan bagian-lebar tidak berpengaruh nyata pada tingkat 105

132 kepercayaan 90 %, sedangkan pengelompokan bagian batang bambu pada tebal:lebar 1:½ berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Tabel 18. Kisaran nilai modulus elastisitas (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal Tidak ada data 14,53-119,64 Tengah 26,59-91,67 8,28-79,64 Ujung 10,38-71,66 8,61-81,16 Tabel 19. Nilai modulus elastisitas rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan dalam uji tarik Bagian bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal Tidak ada data 72,53 Tengah 49,89 47,62 Ujung 50,20 39, Tegangan tarik Kisaran nilai tegangan tarik bambu bervariasi untuk setiap bagian batang bambu, mulai yang tersempit pada bagian tengah bambu dangan tebal:lebar 1:1 (118, ,21 kgf/cm 2 ) hingga yang terlebar pada bagian ujung bambu dengan tebal:lebar 1:½ (50, ,19 kgf/cm 2 ). Secara lengkap kisaran tegangan tarik bambu menurut pengelompokan seperti tercantum dalam Tabel 18. Nilai tegangan tarik bambu rata-rata berkisar antara 674, ,82 kgf/cm 2. Nilai tegangan tarik terkecil terjadi pada batang bambu bagian tengah dengan tebal:lebar 1:1 dan yang tertinggi terjadi pada bagian tengah bambu dengan tebal:lebar 1:½. Nilai tegangan tarik bambu uji seluruhnya dapat dibaca dalam Tabel 20. Hasil analisis statistik terhadap tegangan hasil uji tarik (Lampiran 9 poin 3 dan Lampiran 14 poin 2) menunjukkan bahwa perbedaan lebar bambu memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 99 %, sedangkan perlakuan bagian dan interaksi bagian-lebar contoh uji tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90%. Perlakuan bagian pada tebal:lebar 1:½ 106

133 memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Tabel 20. Kisaran nilai tegangan tarik (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal Tidak ada data 160, ,53 Tengah 118, ,21 589, ,39 Ujung 299, ,59 50, ,19 Tabel 21. Nilai tegangan tarik rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal Tidak ada data 700,90 Tengah 674, ,82 Ujung 742, , Kurva tegangan-regangan dari hasil uji tarik Hasil uji tarik dari setiap pengelompokan digambarkan dalam kurva hubungan antara tegangan dan elastisitas. Selanjutnya dari kurva hubungan tersebut digambarkan trendline-nya dan didapatkan persamaannya. Berdasarkan Hukum Hooke, dengan persamaan yang diperoleh selanjutnya dicari nilai modulus elastisitas dan regangan teoritisnya. Nilai-nilai tegangan, regangan dan modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan dapat dilihat dalam Lampiran 15, sedangkan persamaan yang diperoleh dapat dilihat dalam Tabel 22. Hubungan antara tegangan tarik dan modulus elastisitas dari hasil uji tarik bagian pangkal bambu membentuk kurva polynomial dengan persamaan E = -0,02σ ,84σ + 923,74 (Gambar 71 dan Lampiran 15 poin 1). Dari Gambar 71 terlihat bahwa kurva hubungan antara regangan dan tegangan tarik bagian pangkal bambu hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit. 107

134 Tabel 22. Persamaan pada kurva hubungan tegangan-elastisitas dari hasil uji tarik untuk setiap pengelompokan Bagian Tebal:Lebar Bambu 1:1 1:½ Pangkal Tidak ada E = -0,02σ ,84σ + 923,74 Tengah E = -0,02σ ,32σ ,7 E = -0,01σ ,16σ ,2 Ujung E = -0,02σ ,38σ ,5 E = -0,02σ ,34σ ,6 Keterangan : E = modulus elastisitas ; σ = tegangan (stress) Modulus of elasticity - stress relationship (TP 1:1/2) Stress - Strain relationship (TP 1:1/2) E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Gambar 71. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarik bagian pangkal bambu. Stress (kgf/cm^2) Strain exp result calc resultl Hubungan antara tegangan tarik dan modulus elastisitas dari hasil uji tarik bagian tengah bambu membentuk kurva polynomial dengan persamaan E = -0,02σ ,32σ ,7 untuk tebal:lebar 1:1 dan untuk tebal:lebar 1:½ E = -0,01σ ,16σ ,2 (Gambar 72 dan Lampiran 15 poin 2 dan 3). Kurva modulus elastisitas hasil uji berada relatif dekat dengan trendline-nya. Dari Gambar 72 terlihat bahwa kurva hubungan antara regangan dan tegangan tarik bagian tengah bambu hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit, untuk nilai tegangan yang sama nilai regangan teoritis lebih besar dibandingkan nilai hasil uji. Kurva hubungan antara tegangan tarik dan modulus elastisitas dari hasil uji tarik bagian ujung bambu berbentuk polynomial dengan persamaan E = -0,02σ ,38σ ,5 untuk tebal:lebar 1:1 dan untuk tebal:lebar 1:½ E = -0,02σ ,34σ ,6 (Gambar 73 dan Lampiran 15 poin 4 dan 5). Kurva modulus elastisitas hasil uji berada relatif dekat dengan trendline-nya. Kurva hubungan antara regangan dan tegangan tarik bagian ujung bambu hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit (Gambar 73). 108

135 Stress (kgf/cm^2) Stress - Strain relationship (TT 1:1) exp result calc result Strain Modulus elastis (kgf/cm^2) Tarik - Tengah 1: E = σ σ exp Poly. (exp) Stress (kgf/cm^2) Stress - Strain relationship (TT 1:1/2) Modulus of elasticity - Stress relationship (TT 1:1/2) Stress (kgf/cm^2) E (kgf/cm^2) E = σ σ exp result calc result Strain E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Gambar 72. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarik bagian tengah bambu Tegangan tarik referensi (allowable tensile stress) Nilai tegangan tarik referensi (allowable tensile stress) bambu berkisar antara 137,47 489,39 kg/cm 2. Hal ini menunjukkan bahwa beban maksimum yang dapat ditahan oleh konstruksi bambu sebesar 137 kg pada luasan 1 cm 2. Nilai tegangan tarik referensi tertinggi terjadi pada bagian ujung bambu dengan tebal:lebar 1:½, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian pangkal bambu dengan tebal:lebar 1:½. Lebih lengkap mengenai nilai tegangan tarik referensi dari setiap pengelompokan dapat dilihat dalam Tabel 23. Nilai tegangan tarik referensi yang tercantum di dalam Tabel 23 hanya berlaku untuk konstruksi yang berada dalam kondisi pembebanan aktualnya tetap dan terlindung. Bangunan alat penangkapan ikan umumnya berada di dalam air, sehingga harus disesuaikan untuk kondisi di dalam air. Nilai tegangan tarik referensi untuk kondisi di dalam air berkisar antara 91,64 326,26 kgf/cm 2. Nilai tegangan tarik referensi tertinggi untuk kondisi di dalam air terjadi pada bagian ujung dengan tebal:lebar 1:½, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian 109

136 pangkal dengan tebal:lebar 1:½. Nilai tegangan tarik referensi untuk kondisi di dalam air seperti tercantum dalam Tabel Stress - Strain relationship (TU 1:1) Modulus of elasticity - Stress relationship (TU 1:1) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result Strain E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress - Strain relationship (TU 1:1/2) Modulus of elasticity - Stress relationship (TU 1:1) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Strain Stress (kgf/cm^2) Gambar 73. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarik bagian ujung bambu. Tabel 23. Nilai tegangan tarik referensi (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal Tidak ada data 137,47 Tengah 177,39 258,89 Ujung 152,07 489,39 Tabel 24. Nilai tegangan tarik referensi untuk kondisi di dalam air (kgf/cm 2 ) Bagian bambu Tebal:Lebar 1:1 Tebal:Lebar 1:½ Pangkal Tidak ada data 91,64 Tengah 118,26 172,59 Ujung 101,38 326,26 110

137 4.6 Pengujian Tekan Modulus elastisitas (MOE) pada uji tekan tegak lurus serat Kisaran nilai modulus elastisitas dari uji tekan tegak lurus serat berbeda pada setiap contoh uji untuk perlakuan yang berbeda. Nilai modulus elastisitas dengan kisaran tersempit terjadi pada bagian pangkal berkulit luar di atas sebesar 55,13 234,12 kgf/cm 2, sedangkan kisaran terlebar terjadi pada bagian ujung dengan kulit luar di bawah sebesar 101,49 613,94 kgf/cm 2. Secara lengkap nilai modulus elastisitas hasil uji tekan dapat dilihat dalam Tabel 25. Tabel 25. Kisaran nilai modulus elastisitas tekan tegak lurus serat (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Tepi atas Tepi bawah Tepi samping Pangkal 55,13-234,12 68,07-255,97 29,13-434,07 Tengah 126,61-553,38 116,16 366,40 180,68-530,66 Ujung 133,72-469,37 101,49 613,94 130,13-544,30 Nilai modulus elastisitas rata-rata hasil uji tekan tegak lurus serat berkisar antara 147,82 330,57 kgf/cm 2. Bagian batang pangkal berkulit luar di atas memiliki nilai modulus elastisitas rata-rata yang terkecil, sedangkan yang tertinggi terjadi pada bagian tengah dengan posisi kulit luar di samping. Berdasarkan nilai yang diperoleh dalam uji, maka posisi uji yang menunjukkan angka tertinggi untuk setiap bagian batang bambu adalah posisi kulit luar di samping, dengan kata lain bahwa posisi kulit luar di samping menunjukkan kelenturan yang lebih tinggi dalam menahan gaya tekan. Lebih lengkap mengenai nilai modulus elastisitas rata-rata hasil uji tekan tegak lurus serat dapat dibaca dalam Tabel 26. Tabel 26. Nilai modulus elastisitas tekan tegak lurus serat rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Posisi kulit luar di atas bawah samping Pangkal 147,82 152,54 227,04 Tengah 222,90 213,61 330,57 Ujung 236,44 251,74 325,92 111

138 Hasil analisis statistik (Lampiran 9 poin 4 dan Lampiran 16 poin 1) menunjukkan bahwa baik secara individu maupun secara bersama pengelompokan yang diberikan berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99% dengan koefisien determinasi sebesar 70,90%. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai modulus elastisitas tersebut, maka bagian bambu yang akan digunakan harus diperhitungkan juga posisi pemakaiannya terlebih dahulu mengingat masingmasing mempunyai nilai elastisitas yang berbeda Tegangan tekan tegak lurus serat Kisaran nilai tegangan tekan tegak lurus serat bervariasi untuk setiap bagian batang bambu dengan posisi kulit luar yang berbeda. Kisaran nilai yang tersempit terjadi pada bagian tengah dengan kulit luar di samping (126,36 202,35 kgf/cm 2 ) hingga yang terlebar pada bagian ujung dengan kulit luar di bawah (33, ,53 kgf/cm 2 ). Secara lengkap kisaran nilai tegangan tekan tegak lurus serat menurut perlakuan seperti tercantum dalam Tabel 27. Tabel 27. Kisaran nilai tegangan tekan tegak lurus serat (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian Posisi kulit luar di bambu atas bawah samping Pangkal 34,80-133,83 37,04-243,10 10,73-137,70 Tengah 170, ,05 276, ,06 126,36-202,35 Ujung 75, ,27 33, ,53 113,49 270,29 Nilai tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata berkisar antara 78, ,98 kgf/cm 2. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat terkecil terjadi pada batang bambu bagian pangkal dengan kulit luar di samping dan yang tertinggi terjadi pada bagian ujung dengan kulit luar di bawah. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata untuk setiap posisi semakin besar dari pangkal ke arah ujung, jadi semakin ke arah ujung bilah bambu semakin kuat. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata seluruhnya dapat dibaca dalam Tabel

139 Tabel 28. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Posisi kulit luar di atas bawah samping Pangkal 81,23 126,83 78,31 Tengah 830,56 891,41 170,10 Ujung 992, ,98 191,06 Hasil analisis statistik terhadap hasil uji tekan tegak lurus serat (Lampiran 9 poin 4 dan Lampiran 16 poin 2) menunjukkan bahwa secara individu maupun bersama-sama perbedaan bagian batang bambu dan posisi kulit luar bambu dalam uji tekan tegak lurus serat memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 99 % dengan koefisien determinasi 86,60%. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus Kurva tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat Hasil uji tekan tegak lurus serat dari setiap pengelompokan digambarkan dalam kurva hubungan antara tegangan dan elastisitas. Selanjutnya dari kurva hubungan tersebut digambarkan trendline-nya dan didapatkan persamaannya. Berdasarkan Hukum Hooke, dengan persamaan yang diperoleh selanjutnya dicari nilai modulus elastisitas dan regangan teoritisnya. Nilai-nilai tegangan, regangan dan modulus elastisitas hasil uji dan hasil perhitungan dapat dilihat dalam Lampiran 17, sedangkan persamaan yang diperoleh dapat dilihat dalam Tabel 29. Hubungan antara tegangan tekan dan modulus elastisitas dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian pangkal bambu membentuk kurva polynomial dengan persamaan E = -0,01σ 2 + 4,1σ + 122,3 untuk posisi kulit luar di atas, E = - 0,01σ 2 + 3,6σ + 176,5 untuk posisi kulit luar di bawah dan untuk posisi kulit luar di samping E = -0,11σ ,3 σ + 20,6 (Gambar 74 dan Lampiran 17 poin 1 sampai dengan 3). Kurva modulus elastisitas hasil uji berada relatif dekat dengan trendline-nya dengan pola yang hampir sama, kecuali pada bagian ujung yang agak berbeda bentuknya. Dari Gambar 74 terlihat bahwa kurva hubungan antara 113

140 regangan dan tegangan tekan tegak lurus serat pada bagian pangkal bambu hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit. Pada kurva terjadi dua kali perpotongan, di awal dan akhir regangan, nilai perhitungan lebih besar dibandingkan dengan nilai eksperimen pada tegangan yang sama, namun pada bagian ujung bambu terjadi sebaliknya dengan jumlah perpotongan yang lebih banyak. Tabel 29. Persamaan pada kurva hubungan tegangan-elastisitas dari hasil uji tekan tegak lurus serat untuk setiap pengelompokan Bagian Posisi kulit luar di bambu atas bawah samping Pangkal E = -0,01σ 2 + 4,1σ + 122,3 Tengah E = -0,002σ 2 + 3,4σ + 196,2 Ujung E = -0,002σ 2 + 4,6σ + 153,7 E = -0,01σ 2 + 3,6σ+ 176,5 E = -0,1σ ,3σ + 20,6 E = -0,002σ 2 + 3,6σ + 237,6 E = -0,002σ 2 + 4,0σ + 189,4 E = -0,05σ ,0σ + 69,3 E = -0,07σ ,2σ + 83,1 Hubungan antara tegangan tekan dan modulus elastisitas dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian tengah bambu membentuk kurva polynomial dengan persamaan E = -0,002σ 2 + 3,4σ + 196,2 untuk posisi kulit luar di atas, untuk posisi kulit luar di bawah E = -0,002σ 2 + 3,6σ + 237,6 dan untuk posisi kulit luar di samping E = -0,05σ ,0σ + 69,3 (Gambar 75 dan Lampiran 17 poin 4 sampai dengan 6). Kurva modulus elastisitas hasil uji berada relatif dekat dengan trendline-nya dengan tipe polynomial. Kurva hubungan antara regangan dan tegangan tekan tegak lurus serat bagian tengah bambu hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit, walaupun terjadi perpotongan pada setiap grafik, namun tampak selisih nilai dari hasil eksperimen dan hasil perhtiungan tidak jauh (Gambar 75). Hubungan antara tegangan tekan dan modulus elastisitas dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian ujung bambu membentuk kurva polynomial dengan persamaan E = -0,002σ 2 + 4,6σ + 153,7 untuk posisi kulit luar di atas, untuk posisi kulit luar di bawah persamaan E = -0,002σ 2 + 4,0σ + 189,4 dan untuk posisi kulit kuar di samping E = -0,07σ ,2σ + 83,1 (Gambar 76 dan Lampiran 17 poin 7 sampai dengan 9). Kurva modulus elastisitas hasil uji berada begitu dekat dengan trendline-nya. Kurva hubungan antara tegangan dan regangan tekan tegak lurus 114

141 serat bagian ujung bambu hasil uji dan hasil perhitungan hampir berimpit, untuk nilai tegangan yang sama nilai regangan teoritis lebih kecil dibandingkan nilai hasil uji. 350 Stress - Strain relationship (PTeA) 700 Modulus of elasticity - Stress relationship (PTeA) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result Strain E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress - Strain relationship (PTeB) Modulus of elasticity - Stress relationship (PTeB) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result Strain E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress - Strain relationship (PTeS) 700 Modulus of elasticity - Stress relationship (PTeS) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result Strain E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Gambar 74. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian pangkal bambu Tegangan tekan tegak lurus serat referensi (allowable compress stress) Nilai tegangan tekan referensi tegak lurus serat (allowable compress stress) berkisar antara 52,20 236,01 kgf/cm 2. Nilai tegangan tekan referensi tegak lurus serat rata-rata terendah terjadi pada bagian pangkal bambu dengan posisi kulit luar di atas, sedangkan yang tertinggi terjadi pada bagian tengah dengan posisi kulit luar di bawah. Nilai tegangan tekan referensi tegak lurus serat 115

142 rata-rata pada posisi kulit luar di atas semakin besar dari arah pangkal ke bagian ujung bambu, sedang pada dua posisi kulit luar bambu yang lain tidak berpola demikian. Nilai tegangan tekan referensi tegak lurus serat rata-rata selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel Modulus of elasticity - Stress relationship (TTeA) Stress - Strain relationship (TTeA) E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result Strain Modulus of elasticity - Stress relationship (TTeB) Stress - Strain relationship (TTeB) E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) Strain exp result calc result E (kgf/cm^2) Modulus of elasticity - Stress relationship (TTeS) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress 9kgf/cm^2) Stress/Strain relationship (TTeS) Strain exp result calc result Gambar 75. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian tengah bambu. Tabel 30. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat referensi allowable compress stress (kgf/cm 2 ) untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Tepi atas Tepi bawah Tepi samping Pangkal 52,20 86,28 77,49 Tengah 135,49 236,01 79,63 Ujung 209,76 220,73 74,09 116

143 Modulus of elasticity - Stress relationship (UTeA) Stress - Strain relationship (UTeA) E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) Strain exp result calc result Modulus of elasticity - Stress relationship (UTeA) Stress - Strain relationship (UTeA) E (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) exp result E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) calc result Strain Stress (kgf/cm^2) E (kgf/cm^2) Modulus of elasticity - Stress relationship (UTeS) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) Stress-Strain relationship (UTeS) exp result calc result Strain Gambar 76. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat bagian ujung bambu. Hasil analisis statistik terhadap hasil uji tekan tegak lurus serat (Lampiran 9 poin 4 dan Lampiran 17 poin 3) menunjukkan bahwa secara individu maupun bersama-sama perbedaan bagian batang dan posisi kulit luar bambu dalam uji tekan tegak lurus serat memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 99 % dengan koefisien determinasi 81,05%. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Nilai tegangan tekan referensi tegak lurus serat dalam kondisi di dalam air hanya sebesar dua per tiga dari kondisi aktual pembebanan tetap dan terlindung. Nilai tegangan tekan referensi tegak lurus serat rata-rata untuk kondisi di dalam air berkisar antara 34,80 157,34 kgf/cm 2. Nilai tegangan tekan referensi tegak 117

144 lurus serat tertinggi untuk kondisi di dalam air terjadi pada bagian tengah dengan posisi kulit luar di bawah, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian pangkal dengan posisi kulit luar di atas. Beban maksimum yang dapat ditahan di dalam air adalah sebesar 34 kg. Nilai tegangan tekan referensi tegak lurus serat rata-rata untuk kondisi di dalam air seperti tercantum dalam Tabel 31. Tabel 31. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat referensi allowable compress stress di dalam air (kgf/cm 2 ) Bagian bambu Tepi atas Tepi bawah Tepi samping Pangkal 34,80 57,52 51,66 Tengah 90,32 157,34 53,09 Ujung 139,84 147,15 49, Hasil uji tekan sejajar serat Uji tekan sejajar serat hanya dilakukan dengan membedakan bagian batang bambu. Kisaran nilai modulus elatisitas, tegangan tekan dan tahanan tekan referensi dalam uji tekan sejajar serat bervariasi untuk setiap bagian batang bambu (Tabel 32). Kisaran nilai modulus elastisitas tersempit terjadi pada bagian tengah bambu dengan angka 892, ,60 kgf/cm 2 dan terlebar pada bagian pangkal sebesar 622, ,20 kgf/cm 2. Kisaran nilai tegangan tekan sejajar serat yang sempit terjadi pada batang bambu bagian tengah dengan angka 456,47 672,57 kgf/cm 2 dan terlebar terjadi pada batang bambu bagian ujung sebesar 382,44 773,18 kgf/cm 2. Lebih lengkap mengenai kisaran nilai-nilai hasil uji tekan sejajar serat seperti tercantum dalam Tabel 32. Tabel 32. Hasil uji tekan sejajar serat untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Pangkal Tengah Ujung Modulus 622, ,20 892, ,60 599, ,70 elastisitas Tegangan 248,20 624,84 456,47 672,67 382,44 773,18 Nilai modulus elastisitas rata-rata pada uji tekan sejajar serat berkisar antara 1.142, ,90 kgf/cm 2 (Tabel 33). Nilai modulus elastisitas rata-rata 118

145 semakin kecil dari arah pangkal ke bagian ujung bambu. Hasil uji statistik untuk nilai-nilai modulus elastisitas ini (Lampiran 9 poin 5 dan Lampiran 18 poin 1) menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap perbedaan bagian batang bambu pada tingkat kepercayaan 90%. Grafik plot kenormalan menunjukkan asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Nilai tegangan tekan sejajar serat rata-rata berkisar antara 442,36 618,63 kgf/cm 2 (Tabel 33). Nilai tegangan tekan sejajar serat rata-rata semakin kecil dari arah ujung ke bagian pangkal bambu. Hasil uji statistik untuk nilai-nilai tegangan tekan sejajar serat (Lampiran 9 poin 5 dan Lampiran 18 poin 2) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan batang bambu dengan koefisien determinasi sebesar 79,19%. Asumsi kenormalan dalam grafik plot kenormalan dapat diterima, hal ini tampak dari titik-titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Tabel 33. Nilai uji tekan sejajar serat rata-rata untuk setiap pengelompokan Bagian bambu Pangkal Tengah Ujung Modulus elastisitas 1.264, , ,93 Tegangan 442,36 598,90 618,63 Persamaan kurva elastisitas-tegangan Tegangan tekan referensi Tegangan tekan referensi dalam air E = -0,05σ ,2σ + 10,1 E = -0,05σ ,7σ + 89,8 E = -0,04σ ,2σ + 288,9 130,98 238,03 217,37 87,32 158,69 144,91 Hubungan antara tegangan tekan dan modulus elastisitas dari hasil uji tekan sejajar serat bambu membentuk kurva polynomial dengan persamaan E = - 0,05σ ,2σ + 10,1 di bagian pangkal, di bagian tengah persamaan E = -0,05σ ,7σ + 89,8 dan E = -0,04σ ,2σ + 288,9 di bagian ujung (Gambar 77 dan Lampiran 19). Kurva modulus elastisitas hasil uji berada dekat dengan trendlinenya, bahkan hampir berimpit. Kurva hubungan antara regangan dan tegangan tekan sejajar serat bambu hasil uji dan hasil perhitungan untuk semua bagian bambu hampir berimpit, walaupun terjadi perpotongan di beberapa titik. Hal ini 119

146 menunjukkan bahwa ada kesesuaian antara nilai-nilai hasil eksperimen dan hasil perhitungan teoritis Modulus of elasticity - Stress relationship (PTSS) Strain-Stress relationship (PTSS) E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) exp result 50.0 calc result Strain Modulus of elasticity - Stress relationship (TTSS) Stress-Strain relationship (TTSS) E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result Strain Modulus of elasticity - Stress relationship (UTSS) Stress-Strain relationship (UTSS) E (kgf/cm^2) E = σ σ E exp result Poly. (E exp result) Stress (kgf/cm^2) Stress (kgf/cm^2) exp result calc result Strain Gambar 77. Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan sejajar serat bambu. Nilai tegangan tekan referensi sejajar serat berkisar antara 130,98 238,03 kgf/cm 2 (Tabel 33). Nilai tegangan tekan referensi sejajar serat rata-rata yang tertinggi terjadi pada bagian tengah bambu dan yang terendah terjadi pada bagian pangkal bambu. Beban maksimum yang dapat ditahan dalam keadaan terlindung adalah sebesar 130 kg. Hasil uji statistik untuk nilai-nilai tahanan tekan referensi sejajar serat (Lampiran 9 poin 5 dan Lampiran 18 poin 3) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan bagian batang bambu yang dipakai dengan 120

147 koefisien determinasi sebesar 84,11%. Grafik plot kenormalan menunjukkan bahwa asumsi kenormalan tidak dilanggar, hal ini tampak dari titik-titik hasil uji yang cenderung membentuk garis lurus. Nilai tegangan tekan referensi sejajar serat di dalam air berkisar antara 87,32 158,69 kgf/cm 2 (Tabel 33). Nilai tegangan tekan referensi sejajar serat rata-rata dalam air yang tertinggi terjadi pada bagian tengah bambu dan yang terendah terjadi pada bagian pangkal bambu. Menurut hasil uji ini, beban maksimum yang dapat ditahan oleh bahan bambu di dalam air adalah sebesar 87 kg. 121

148 5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji Bambu betung (Dendrocalamus asper) merupakan satu dari empat macam bambu yang dianggap paling penting dan sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, serta umum dipasarkan di Indonesia. Bambu betung yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu dewasa yang sudah berumur 4-5 tahun, sehingga tidak terjadi perubahan fisik sampai spesimen bambu diuji di laboratorium. Menurut Yap (1983), kadar air bambu yang baik digunakan sebagai bahan konstruksi adalah sebesar 12%, kondisi ini untuk di luar negeri. Kondisi di Indonesia memungkinkan untuk kadar air berkisar antara %, menurut wilayahnya, khusus untuk kondisi Bogor kadar air yang baik adalah 15%. Kadar air bambu uji berkisar antara 13,61 15,82 %, masuk dalam selang kadar air syarat konstruksi di dalam negeri. Berat jenis semua bambu uji berada di bawah angka satu. Berat jenis bambu umumnya lebih kecil dibandingkan dengan berat jenis air, sehingga bambu akan meengapung di dalam air. Keadaan ini perlu dipertimbangkan dalam pembuatan konstruksi alat penangkapan ikan, terutama yang akan dioperasikan di dasar atau di kolom perairan atau yang dioperasikan secara menetap. Untuk keadaan demikian diperlukan penambahan pemberat agar konstruksi alat tangkap dari bambu ini bisa berada pada posisinya. Frick (2004) mengemukakan berat jenis bambu berbeda menurut jenisnya, berkisar antara kg/m³. Berat jenis bambu akan cepat menurun sesuai dengan proses pengeringan. Lebih lanjut Frick (2004) menyebutkan bahwa dengan kadar air rata-rata 12 %, maka berat jenis bambu di Indonesia dianggap rata-rata sebesar 700 kg/m³. Berat jenis bambu hasil penelitian berkisar antara 0,42 0,95 g/cm³. Dengan kadar air hasil uji yang berkisar antara 13,61 15,82%, maka berat jenis bambu akan menjadi meningkat. Untuk bahan bangunan yang kering, kadar air 12 % merupakan suatu persyaratan, namun dirasa tidak demikian untuk bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan yang waktu

149 pemakaiannya mayoritas di dalam air. Keadaan ini tentunya akan ada pengaruhnya pada pemakaian di lapangan. 5.2 Proses Pengujian Pengujian lentur sederhana Pengujian lentur sederhana dilakukan dengan memberikan beban di tengah spesimen secara bertahap. Bambu dikatakan elastis apabila beban yang menyebabkan bilah melengkung dilepaskan maka bentuk bilah akan kembali seperti semula. Keadaan ini hanya terjadi selama hasil uji di dalam grafik masih dalam batas proporsional. Jika sudah melewati titik batas proporsional, maka bentuk bilah bisa berubah setelah beban dilepaskan, sehingga tidak kembali ke bentuk semula. Bagian pangkal bambu dapat mempertahankan kondisi ini lebih lama atau lebih panjang dibandingkan bagian batang bambu lainnya (Gambar 40), karena mempunyai ukuran tebal dan lebar yang lebih tinggi. Namun jika bebannya dihilangkan maka bekas kerusakan akan tampak lebih jelas pada bagian pangkal dibandingkan bagian ujung bambu. Lebar spesimen dan posisi kulit luar bambu pada saat uji dilakukan mempengaruhi tipe dan tingkat kerusakan spesimen. Tekanan beban pada permukaan spesimen pangkal tepi atas membuat bagian tepi ini melengkung tetapi tidak dapat diikuti oleh bagian bawah spesimen yang merupakan bagian dalam bambu, maka kerusakan terjadi pada bagian ini yaitu putusnya serabut di bagian permukaan spesimen yang berlawanan dengan arah datangnya beban dan seolah terjadi pada satu garis (Gambar 78). Sementara pada pangkal dengan posisi kulit luar di bawah, karena bagian yang terkena beban adalah lunak, maka terjadilah seperti cekungan, namun jika beban tetap diberikan maka bagian kulit luar bambu di bawah pun dapat rusak seperti robek tak beraturan. Kerusakan yang terjadi pada bagian tengah dan ujung agak berbeda. Pada bagian tepi atas, karena ukurannya lebih kecil di bagian atas spesimen, sering kali tidak terjadi kerusakan karena tekstur yang liat, sementara di bagian bawahnya seolah serabut yang putus terburai karena tekstur yang lunak. Minimal kerusakan yang terjadi adalah spesimen menjadi bengkok akibat slip pada saat uji berlangsung. 124

150 P Posisi kulit luar di atas P Posisi kulit luar di bawah Gambar 78. Contoh kerusakan pada uji lentur sederhana. Mencermati Gambar 40, secara umum kurva hubungan antara loaddeflection hasil uji lentur sederhana akan menunjukkan garis yang tidak berpola setelah mencapai titik maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa ada batas ketahanan beban dari spesimen untuk uji lentur sederhana ini. Ada satu spesimen yang menunjukkan garis kurva yang tetap teratur hingga batas peregangan maksimum atau belum mencapai titik beban maksimum, yaitu pada hasil spesimen bagian ujung dengan kulit luar berada di bawah dan tebal:lebar 1:1. Spesimen ini menunjukkan reaksi lain dibandingkan reaksi spesimen lain yang lebih pendek jarak maksimum peregangannya. Hal ini diduga bahwa serabut yang ada di dalam batang bambu bagian ujung begitu padat, sehingga lebih kuat menahan beban yang diberikan Pengujian lentur cantilever Pada uji lentur cantilever proses kerusakan seperti berpola sama, dengan salah satu ujungnya dijepit dan tetap sebagai penumpu, maka proses yang terjadi di satu sisi atau permukaan yang terkena beban langsung seolah bertambah panjang atau memuai atau menarik, sementara di sisi lain yang berlawanan arah beban akan menjadi pendek dan padat atau menekan. Untuk posisi posisi kulit luar di atas, karena liat, seolah-olah permukaan atas yang liat bereaksi menyesuaikan dengan besar beban yang diberikan, tidak terjadi putus, namun jika di permukaan bawah telah menjadi padat dan tidak dapat disangga lagi, lalu akan 125

151 terjadi pembengkokan yang tetap. Pada ukuran yang lebih lebar, maka tampak lebih kokoh, pada beberapa kejadian di bagian ujung yang dijepit justru alat penjepitnya yang tidak kuat menahan beban yang diberikan, sehingga menjadi longgar atau dol dan akhirnya lepas, selanjutnya alat penjepit harus diganti. Untuk posisi kulit luar di bawah, permukaan yang lunak atau bagian dalam bambu berada pada posisi terkena beban langsung dan seolah terjadi tarikan, pada beberapa contoh uji yang tidak kuat menahan beban terjadi serabut putus atau contoh patah pas di bagian batas jepitan, sedangkan bagian contoh yang berada di dalam jepitan seolah terlindung. Pada contoh uji yang tidak lebar, akibat beban yang tidak tertahan terjadi reaksi penyimpangan atau membelok dari arah datangnya beban, karena permukaan yang liat di bagian bawah dan penjepit dapat menahan beban yang diberikan, sementara bagian ujung di posisi pembebanan dapat bergerak bebas. Oleh karena itu, untuk uji selanjutnya agar tidak terjadi reaksi penyimpangan, maka dapat dikondisikan posisi pembebanan harus membuat spesimen tidak bergeser. Selain itu, kerusakan yang terjadi untuk posisi kulit luar di bawah dengan tebal:lebat 1:½ tampak di bagian batas antara ruas dan buku bambu. Dalam hal ini, keberadaan buku bambu pada spesimen memang diabaikan, karena panjang ruas tidak memenuhi panjang spesimen yang diinginkan Pengujian tarik Kerusakan dalam proses uji tarik, awalnya selalu terjadi di bagian batas penjepit tepi spesimen yang di atas. Peningkatan beban penarikan dalam uji tarik menyebabkan proses penjepitan pada tepi spesimen menjadi lebih kuat. Hal ini menyebabkan seolah terjadi pemadatan di bagian tepi, sementara di bagian tengah tidak demikian. Pada titik maksimum pemadatan ini dapat menyebabkan putusnya serabut bambu yang ditarik di posisi batas jepitan. Sementara penarikan menyebabkan serabut bambu pada posisi bebas jepitan seolah menjadi lebih lurus, sehingga terjadi proses lepas antar serabut yang tadinya bergabung atau bersatu, putusnya serabut di bagian ujung jepitan menyebabkan bagian ini menjadi terburai. 126

152 5.2.4 Pengujian tekan Ada dua tipe uji tekan, yaitu uji tekan tegak lurus serat dan uji tekan sejajar serat. Posisi spesimen dalam uji tekan tegak lurus serat dibedakan menjadi posisi kulit luar di atas, di bawah dan di samping. Kerusakan hasil uji pada posisi kulit luar di atas hampir sama dengan pada posisi kulit luar di bawah. Bagian dalam bambu yang awalnya berbentuk seperti melengkung pada posisi kulit luar di bawah, setelah uji tekan dilakukan menjadi seolah merata, adanya tekanan menyebabkan keadaan merata dan menyebabkan bagian samping spesimen seolah melebar dan menjadi terbelah. Hal yang sama terjadi pula pada spesimen dari bagian pangkal, tengah dan ujung dengan kulit luar di bawah. Kerusakan yang terjadi seolah sama, karena memang mendapat beban tekanan dari arah yang sama, hanya posisi kulit luar yang berbeda. Hanya pada posisi kulit luar di bawah ini, pembelahan bagian samping contoh terjadi dari bagian cekung menjadi merata, sedangkan pada posisi kulit luar di atas proses yang terjadi mulai dari bagian cembung hingga menjadi merata. Pada posisi kulit luar di atas dan di bawah seolah-olah ada selaput yang melindungi kumpulan serabut bambu di antara kulit luar dan dalam, sedangkan posisi kulit luar di samping tidak ada (Gambar 79). Pada saat tekanan diberikan maka serabut yang tadinya bersatu menjadi berlepasan dan spesimen dengan posisi kulit luar di samping seolah membelah seiring beban tekanan yang diberikan. 5.3 Pengujian Lentur Sederhana Hasil uji Secara keseluruhan nilai-nilai dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai modulus elastisitas bambu di bagian pangkal lebih rendah dibandingkan bagian batang bambu yang lain, atau dapat dikatakan bahwa bagian batang bambu ini lebih elastis atau lentur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke atas atau ke arah ujung, sifat bambu semakin kaku. Hal ini disebabkan struktur anatomi batang bambu yang terdiri atas sejumlah serabut memang semakin padat ke arah ujung, karena semakin kecilnya diameter bambu. 127

153 Posisi kulit luar di bawah Posisi kulit luar di atas Posisi kulit luar di samping = Arah pembebanan Gambar 79. Proses penekanan contoh uji di posisi kulit luar atas, bawah dan samping. Berdasarkan hasil perhitungan modulus elastisitas (MOE), bagian batang bambu yang paling lentur adalah bagian pangkal dengan tebal:lebar 1:1, sebaliknya yang paling kaku adalah bagian ujung dengan tebal:lebar 1:½. Berdasarkan hasil perhitungan tegangan lentur (MOR), bagian batang bambu yang paling kuat adalah bagian pangkal dengan tebal:lebar 1:1, keadaan sebaliknya ada pada bagian ujung dengan tebal:lebar 1:½. Rusaknya bilah bambu dengan posisi 128

154 kulit luar di atas memerlukan nilai beban yang lebih tinggi dibandingkan dengan bilah bambu dengan posisi kulit luar di bawah. Frick (2004) mengemukakan nilai tegangan lentur yang diizinkan di Indonesia untuk bahan bangunan adalah 9,80 N/mm². Sebagai bahan bangunan tentunya bambu yang digunakan dalam bentuk utuh, sehingga tidak dapat diperbandingkan dengan hasil uji dalam penelitian ini. Yap (1983) menyarankan pegangan untuk tegangan lentur referensi sebesar 100 kg/cm², Yap memberlakukan ini tampaknya secara umum, tidak menyebutkan bagaimana bentuk spesimen saat uji lentur dilakukan, tidak menyebutkan jenis bambu yang dipakai dan tidak dinyatakan untuk kondisi pemakaian seperti apa. Hasil uji dari penelitian ini lebih besar 200 % lebih, yaitu sebesar 216 kg/cm², untuk kondisi aktual yang terlindung, sementara untuk kondisi di dalam air adalah 144 kg/cm². Dalam kedua kondisi pemakaian, nilai hasil penelitian masil lebih besar dibandingkan nilai pegangan yang disarankan. Berdasarkan hasil perhitungan tahanan lentur referensi (allowable bending stress), pemasangan bilah bambu akan memberikan hasil yang lebih tahan jika menggunakan bilah dari bagian ujung dengan posisi kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1. Hal ini dapat dimaklumi jika dikaitkan dengan struktur anatomi bilah bambu yang tersusun dari sejumlah serabut (Gambar 80), bagian kulit luar bambu lebih solid sehingga lebih liat dibandingkan dengan bagian dalam. Selain itu, susunan serabut di bagian ujung lebih rapat dibandingkan dengan susunan serabut di bagian pangkal, sehingga lebih kenyal. Hasil uji menunjukkan bahwa kekuatan bilah akan lebih tinggi jika dipasang atau diletakkan dengan posisi kulit luar di atas dibandingkan dengan posisi kulit luar di bawah. Nilai kekuatan posisi kulit luar di atas berkisar antara % lebih tinggi dibandingkan posisi kulit luar di bawah, dan semakin meningkat dari pangkal ke arah ujung. Jika memungkinkan dalam konstruksi, maka disarankan untuk memposisikan kulit luar bambu berada di atas. Kekuatan lentur di bagian pangkal, baik dengan posisi kulit luar di atas maupun posisi kulit luar di bawah, besarnya tidak lebih dari 60% dibandingkan dengan kekuatan lentur pada bagian tengah dan ujung bambu. Sementara bagian tengah bambu mempunyai kekuatan lentur mendekati 90% dari kekuatan di ujung. 129

155 Namun hal ini belum dapat diberlakukan secara umum, karena sejauh ini belum ditemui data pembandingnya, sehingga ada baiknya dilakukan beberapa uji lagi sehingga lebih akurat. Buluh bambu Kulit bambu bagian dalam Potongan melintang serabut Kulit bambu bagian luar Gambar 80. Anatomi bilah bambu Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan Pada kondisi aktual, kelenturan bilah bambu pada posisi horizontal bukan hanya disebabkan oleh adanya beban dari arah atas ke bawah, namun juga sebaliknya pada proses pengangkatan dari bawah ke atas. Kelenturan juga dapat terjadi pada arah tegak lurus dengan posisi bilah vertikal. Berdasarkan hasil uji yang diperoleh, maka dapat diatur pemakaian bilah bambu dalam konstruksi alat penangkapan ikan secara optimal sebagai berikut. Pada alat penangkapan ikan yang memerlukan kekakuan bahan bambu, maka disarankan menggunakan bagian ujung dengan catatan beban yang akan diletakkan di atasnya ditata tidak di satu tempat melainkan di beberapa titik, sehingga dengan ketahanan lentur sebesar 359 kg per cm 2 per titik dapat memangku beban lebih banyak. Jika seluruh bidang hanya menggunakan bilah dari satu bagian bambu misalnya ujung maka bagian batang bambu lainnya pangkal dan tengah akan tidak terpakai. Hal ini merupakan pemborosan. 130

156 Kondisi ini dapat diterapkan pada bidang datar atau dinding bawah dan dinding atas bubu, pada pelataran bagan atau sero atau alat tangkap sejenis. Batang bambu yang paling lentur dapat ditempatkan khusus pada bagian alat penangkapan ikan yang memang menghendaki keadaan yang demikian. Jika seluruh bagian alat tangkap menggunakan hanya bagian pangkal atau bagian batang bambu yang paling lentur (Gambar 81), maka akan terjadi pelendutan. Sementara bagian batang bambu yang lain tengah dan ujung akan terbuang. Pelendutan ini semakin lama dapat mempengaruhi struktur konstruksi alat tangkap di bagian yang lain, misalnya pada sambungan dengan bagian yang lain di posisi tepi. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan tidak optimalnya konstruksi alat tangkap yang dibangun. Kumpulan bilah bagian batang bambu Bagian bambu melendut karena ada beban = Arah pembebanan Gambar 81. Ilustrasi pelendutan pada bagian konstruksi alat tangkap. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata. Oleh karena itu, sifat lendut dan kaku bilah bambu ini dapat dikombinasikan dalam satu luasan konstruksi horizontal. Misalkan untuk badan bubu secara horizontal atau dinding bagian atas dan bagian bawah, bagian dasar rumah bagan, bagian dasar rumah jermal, sebaiknya digunakan bilah bambu campuran, ditata dengan baik dan seimbang antara bilah bambu yang berasal dari bagian pangkal, tengah dan ujung. Jika hanya bagian terlentur yang digunakan maka bila terjadi pelendutan dapat membuat perubahan konstruksi pada daerah sambungan atau menjadi tidak nyaman jika bagian dasar rumah bagan dan jermal diduduki. Dengan kombinasi pangkal, tengah dan ujung berselang-seling, maka sebelum bagian terlentur melendut karena beban, pada 131

157 posisi yang sejajar maka telah tertahankan oleh bagian batang yang kaku. Hal ini dapat mengurangi pemborosan dalam pemanfaatan batang bambu, dalam arti semua batang bambu akan terpakai. Kekuatan beban yang dapat ditahan dapat diambil dari nilai kekuatan yang terkecil, yaitu 216 kg/cm² atau untuk kondisi di dalam air sebesar 144 kg/cm² untuk satu titik beban. Hasil uji ini juga dapat diterapkan dalam bingkai anco atau lever net (Gambar 82). Bilah yang disarankan untuk digunakan adalah dari bagian pangkal dengan posisi kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1 untuk bingkai atas sebagai tempat mengikatkan tali anco, karena memiliki kelenturan yang lebih tinggi dibandingkan bagian lain. Sementara untuk bingkai bawah sebagai tempat merangkap jaring disarankan menggunakan bagian pangkal dengan posisi kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:1. Tepi bawah Tepi atas Anco Gambar 82. Ilustrasi penggunaan batang bambu pada alat tangkap anco. 5.4 Pengujian Lentur Cantilever Hasil uji Berdasarkan hasil perhitungan modulus elastisitas, bagian batang bambu lebih kaku pada ukuran tebal:lebar 1:½ dibandingkan dengan ukuran yang lebih lebar. Berdasarkan hasil perhitungan tegangan lentur, bagian batang bambu, posisi kulit luar dan lebar spesimen secara bersamaan memberikan reaksi yang berbeda. Misalkan pada posisi kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1 serta posisi kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:½ tegangan bambu dengan salah satu ujung tetap menurun dari arah pangkal ke ujung bambu. Sebaliknya terjadi pada posisi kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:½, dari pangkal ke arah ujung batang bambu semakin 132

158 kuat, sedangkan pada posisi kulit luar di bawah dan tebal:lebar 1:1 tidak berpola seperti ketiganya. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan standar deviasi dari hasil uji terhadap spesimen bambu sebagai ulangan. Berdasarkan hasil perhitungan tegangan lentur referensi dalam uji ini, maka bilah bambu bisa menahan beban lebih besar dengan penempatan beban yang tidak di satu titik dibandingkan dengan pembebanan satu titik di bagian ujung yang bebas seperti yang dilakukan dalam uji ini. Jika dibandingkan dengan patokan Yap (1983) 100 kg/cm², maka seluruh spesimen uji lentur menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari patokan tersebut, khususnya pada kondisi yang terlindung. Untuk kondisi di dalam air, beberapa spesimen menunjukkan angka yang lebih kecil dari patokan. Beberapa spesimen dengan posisi kulit luar bambu berada di atas lebih tinggi kekuatannya Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan Secara umum konstruksi tangkai pancing, serok dan anco menggunakan bambu tunggal, baik dalam bentuk bilah maupun dalam bentuk buluh bambu. Untuk konstruksi dalam bentuk bilah bambu, disarankan menggunakan bilah dari bagian pangkal bambu dengan kulit luar di atas dan tebal:lebar 1:1 dengan beban maksimum 175 kg. Posisi batang bambu ini berlawanan arah dengan posisi beban hasil tangkapan (Gambar 83). Sementara untuk konstruksi buluh bambu, sebaiknya dilakukan uji laboratorium terlebih dahulu untuk menentukan besar beban yang dapat diangkat, karena spesimen dalam penelitian ini hanya berupa bilah. Posisi kulit luar bambu # Anco Serok # Posisi beban Gambar 83. Posisi kulit luar bambu pada tangkai serok dan anco. 133

159 Berdasarkan pada metode pengoperasian alat tangkap pancing gandar, serok dan anco, maka peluang sangat besar hanya terjadi pembebanan di satu titik, sehingga beban maksimum 175 kg harus betul-betul diperhatikan. Jika beban lebih besar, maka dapat menyebabkan kerusakan pada alat tangkap, akhirnya bisa jadi tangkai tersebut menjadi patah akibat keberatan beban. Istimewa pada pengoperasian pancing gandar, beban yang ditarik bisa jadi menjadi dinamis, sehingga pertimbangan beban maksimum perlu dipertimbangkan lagi akibat tarikan dari hasil tangkapan yang terkait. 5.5 Pengujian Tarik Hasil uji Hasil uji tarik untuk spesimen bagian pangkal dengan tebal:lebar 1:1 tidak didapatkan menggunakan mesin uji UTM Instron dengan kekuatan maksimal 5 ton. Satu dugaan hal ini disebabkan ukuran permukaan spesimen terlalu besar, sehingga tidak dapat menunjukkan data yang diharapkan. Selain untuk mengetahui kekuatan tarik bambu, uji dengan bentuk spesimen seperti ini dimaksudkan untuk melihat reaksi bambu terhadap gaya tarik yang diberikan pada saat uji berlangsung hingga terjadi kerusakan. Dengan bentuk spesimen yang demikian, maka grafik hasil uji tarik yang diperoleh menunjukkan beberapa kali titik puncak. Jadi setelah mencapai satu titik maksimum grafik akan menurun sampai titik tertentu kemudian menaik lagi hingga mencapai titik puncak kedua, demikian terjadi beberapa kali. Hal ini dapat dimengerti, karena struktur anatomi bambu yang terdiri dari sejumlah serabut. Puncak pertama diperoleh pada saat serabut pertama putus, namun spesimen tidak langsung rusak semua, ada serabut lain yang lebih kuat dan belum putus. Serabut lain inilah yang menjadi kekuatan spesimen selanjutnya, demikian satu per satu hingga semua serabut pembentuk struktur bambu putus. Nilai titik puncak yang dipakai dalam perhitungan sifat mekanis adalah nilai titik puncak yang pertama. Nilai tegangan tarik referensi yang diperoleh menunjukkan angka yang semakin tinggi dari pangkal ke arah ujung, khususnya pada tebal:lebar 1:½. Semakin tipis luas spesimen yang dijepit oleh alat uji, maka semakin mudah 134

160 melakukan uji tarik dan menyebabkan spesimen putus. Pada spesimen yang tebal diperlukan tenaga yang lebih banyak untuk membuat spesimen putus, dengan defleksi yang dibatasi, maka tenaga yang tersedia tidak cukup untuk memutuskan satu atau semua serabut spesimen, melainkan hanya cukup untuk mengencangkan kondisi jepitan. Jika disandingkan dengan nilai kekuatan tarik Yap (1983), maka nilai-nilai yang diperoleh dari hasil uji jauh lebih kecil. Tegangan tarik yang dikemukakan oleh Yap sebesar 300 kg/cm², sedangkan hasil penelitian hanya 137 kg/cm². Perbedaan ini agak sulit jika dibandingkan, karena tidak diketahui Yap menggunakan spesimen buluh atau bilah dan jenis bambu apa Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan Penerapan dalam pembuatan konstruksi alat tangkap untuk model uji tarik ini umumnya seiring dengan uji sifat mekanis yang lain, antara lain uji tekan. Secara khusus uji tarik dapat diaplikasikan pada sejumlah alat tangkap yang dioperasikan dengan cara ditancapkan yang kemudian ditarik kembali pada saat hauling, misalnya rakkang yang tangkainya terbuat dari bilah bambu. Pada jenis alat tangkap bubu, kekuatan tarik umumnya seiring dengan kekuatan tekan yang terjadi, karena konstruksi bubu bambu membentuk dua bidang datar yang lebih mengandalkan interaksi dari beberapa tipe gaya. Gambar 84 menunjukkan beberapa macam gaya yang bekerja pada sebuah bambu sebagai bidang datar yang diberi beban se arah vertikal. Pada konstruksi alat tangkap yang ditancapkan yang lebih besar seperti bagan tancap, sero, jaring bandrong dan sejenisnya, bahan bambu yang digunakan tidak dalam bentuk bilah, melainkan dalam bentuk buluh. Kekuatan tarik bilah dan buluh adalah berbeda, sehingga diperlukan uji tarik tersendiri untuk kondisi buluh bambu yang utuh. 5.6 Pengujian Tekan Hasil uji Grafik hasil uji tekan yang diperoleh juga menunjukkan beberapa kali titik puncak. Jadi setelah mencapai satu titik maksimum grafik akan menurun sampai 135

161 titik tertentu kemudian menaik lagi hingga mencapai titik puncak kedua, demikian terjadi beberapa kali terjadi hingga garis pada grafik datar atau menurun. Pencapaian titik puncak dalam uji tekan terlihat jelas dalam grafik, namun agak sulit bila dilihat pada proses penekanan spesimen, karena spesimen dalam proses semakin padat hingga batas defleksi tercapai. Bahkan untuk spesimen bagian ujung yang lebih tipis dibandingkan bagian pangkal, hasil uji tekan ada yang sangat gepeng. Demikian pula yang bisa terjadi pada penerapannya dalam konstruksi alat tangkap. Sulit terlihat bahwa bambu sudah benar-benar rusak, yang tampak hanya ukuran tinggi permukaan bambu sudah berkurang dari tinggi awal. Beban maksimum yang dipakai dalam perhitungan sifat mekanis adalah nilai titik puncak yang pertama. P P 1 4 Keterangan : 1. P = beban yang diberikan 2. Gaya tekan 3. Gaya tarik 4. Garis netral = 0 5. Defleksi Gambar 84. Gaya pada bidang datar dengan beban arah vertikal Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan Uji tekan tegak lurus serat dan uji tekan sejajar serat dapat diaplikasikan secara bersamaan dalam satu konstruksi alat penangkap ikan. Aplikasi uji tekan tegak lurus serat dalam konstruksi alat penangkap ikan secara umum lebih banyak menitikberatkan pada pembebanan secara horizontal, sedangkan tekan tegak lurus serat lebih banyak berfungsi sebagai tiang penyangga (Gambar 85). Aplikasi uji tekan tegak lurus serat dalam konstruksi alat penangkap ikan secara umum lebih 136

162 banyak menggunakan bilah dengan posisi kulit luar di atas, karena kondisi kulit luar bambu memberikan permukaan yang lebih rata dibandingkan dengan permukaan bambu bagian dalam. Tekan tegak lurus serat Beban Tekan sejajar serat Gambar 85. Ilustrasi aplikasi kekuatan tekan pada konstruksi alat penangkapan ikan. 5.7 Kombinasi hasil uji mekanis dalam aplikasinya pada konstruksi alat penangkapan ikan Sejumlah alat penangkapan ikan yang dibentuk dari bilah bambu dapat memanfaatkan hasil uji lentur sederhana, uji lentur cantilever, uji tarik dan uji tekan secara bersamaan. Jadi perhitungan kekuatan dalam konstruksi bambu juga harus mengkombinasikan lentur, tarik dan tekan. Alat penangkapan ikan yang konstruksinya terbuat dari bilah bambu antara lain sejumlah alat tangkap yang tergolong perangkap seperti pakaja (drifting fish pots), bubu tambun (fish pots), sero gantung (floating traps), umbing atau kecubang (tubular traps), sengkirai bilah (bamboo s trap), siringan (bamboo s filter), pengilar (bamboo s trap), badong (ground fish pots); kelompok jaring angkat seperti anco (mobile lever nets) dan tangkul (stationary lever net); serta panah (arrow) dan busur (bow). Lentur cantilever terutama dicerminkan dalam tangkai pancing gandar (pole and line), tangkai serok (scoop net) dan tangkai anco (mobile lever net). 137

163 Lentur cantilever dapat diaplikasikan pada alat tangkap pancing gandar, namun agak berbeda proses pembebanannya. Aplikasi pada alat tangkap serok dan anco, pembebanan yang terjadi pasif, beban yang diangkat tidak memberikan perlawanan. Pada alat tangkap pancing gandar, beban yang terkait di mata pancing umumnya memberikan reaksi perlawanan, sehingga reaksi ini perlu diperhitungkan dalam perhitungan daya tahan konstruksi. Konstruksi tangkai pancing seperti huhate biasanya menggunakan bambu utuh, hasil uji cantilever bilah ini tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perhitungan konstruksi, sehingga perlu dilakukan uji lentur tersendiri menggunakan model cantilever dengan contoh uji berbentuk buluh bambu. Untuk mengetahui tegangan lentur dari konstruksi tangkai pancing gandar dengan penggunaan bilah bambu tanpa kulit luar perlu mengadakan uji lentur tersendiri lagi menggunakan contoh uji yang sesuai dengan kondisi tangkai pancing tersebut. Dalam proses pembebanan seperti Gambar 83 yang umum terjadi dalam konstruksi alat penangkap ikan, tidak hanya proses tekan tegak lurus serat yang terjadi, melainkan juga proses pelenturan, tekan dan tarik. Kombinasi proses tekan tegak lurus serat, kekuatan lentur, kekuatan tarik dan tekan sejajar serat dapat diperhitungkan secara bersama dalam proses pembuatan konstruksi alat tangkap. Di Indonesia terdapat banyak jenis bambu, mulai dari yang berukuran diameter kecil hingga yang berdiameter lebih besar. Perbedaan jenis bambu yang dipakai tentunya akan menghasilkan nilai sifat mekanis yang berbeda. Oleh karena itu, untuk menambah khasanah pengetahuan dan memberikan informasi yang lebih banyak bagi pemakai alat penangkapan ikan dari bambu, disarankan untuk mengadakan penelitian yang sama dengan menggunakan jenis bambu yang berbeda sebagai bahan uji. Alat penangkapan ikan dari bahan bambu tidak semua dibangun dari bilah bambu, ada juga yang dibangun dari rangkaian buluh bambu. Dalam tulisan ini spesimen buluh bambu tidak dibicarakan. Alat penangkapan ikan yang terbuat dari buluh bambu antara lain adalah berbagai jenis bagan, sero, sebagian konstruksi jermal, tangkai pancing, jaring bandrong dan lainnya. Antara bilah dan buluh bambu tentunya mempunyai nilai sifat mekanis yang berbeda. Oleh karena 138

164 itu penulis menyarankan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai uji yang sama namun menggunakan spesimen berbentuk buluh. 5.8 Perhitungan elastis bambu berdasarkan Hukum Hooke Hukum Hooke mengemukakan bahwa tegangan merupakan perkalian antara elastisitas dan regangan. Berdasarkan perbandingan kurva hubungan stress dan strain yang dihitung secara teoritis dan yang dihasilkan dari uji tarik, uji tekan, simple beam bending test dan cantilever bending test bambu pada Gambar 64, 65 dan 66 untuk uji lentur sederhana, serta Gambar 68, 69 dan 70 untuk uji lentur cantilever, semua kurva yang bersangkutan menunjukkan kesesuaian. Kurva hasil uji laboratorium (experimental curve) terlihat hampir berimpitan dengan kurva hasil perhitungan (calculation curve), baik untuk uji tarik, uji tekan, uji lentur sederhana maupun uji lentur cantilever. Hal ini menunjukkan bahwa bambu yang diuji tersebut mempunyai sifat elastis yang dalam selang nilai terbatas mengikuti Hukum Hooke. Selang terbatas yang dimaksud di sini adalah selang nilai antara nol dan titik maksimum nilai stress pada kurva stress-strain yang bersangkutan. Sebagaimana dituliskan dalam pendahuluan tentang kebaruan (novelty) disertasi ini, bahwa bambu mempunyai sifat elastis dan mengikuti Hukum Hooke, maka uraian di atas membuktikan kebenaran fenomena ini. 139

165 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Analisis terhadap data percobaan uji mekanis dan perhitungan hubungan stress-strain berdasarkan Hukum Hooke telah menunjukkan ada keserupaan antara nilai-nilai hasil uji mekanis di laboratorium dengan nilai perhitungan teoritis. Hal ini menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu bamboo memiliki karakter sebagai bahan yang elastis dan mengikuti Hukum Hooke. Penggunaan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan dari berbagai bagian batang, berbagai posisi penggunaan dan ukuran lebar bilah yang berbeda memberikan nilai-nilai kekuatan lentur, tekan dan tarik yang beragam. Kekuatan bilah bambu untuk kondisi pemakaian di dalam air dapat menahan atau menyangga tekanan sebagai berikut: (1) Pada ketahanan lentur sederhana dengan dua titik sangga untuk satu titik pembebanan, tekanan maksimum yang dapat ditahan adalah sebesar 144 kg/cm 2. (2) Pada kelenturan cantilever untuk satu titik pembebanan, beban maksimum yang dapat ditahan adalah sebesar 69 kg/cm 2. (3) Pada tegangan tarik referensi, tekanan maksimum yang dapat ditahan adalah sebesar 91 kg/cm 2. (4) Pada tegangan tekan tegak lurus serat, tekanan maksimum yang dapat ditahan adalah sebesar 34 kg/cm 2. (5) Pada tegangan tekan sejajar serat, tekanan maksimum yang dapat ditahan adalah sebesar 87 kg/cm 2. Aplikasi kekuatan lentur, tekan dan tarik dari bilah bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan tercermin dalam konstruksi sejumlah alat tangkap yang termasuk dalam kelompok perangkap (traps), jaring angkat (lift nets), panah (arrow) dan busur (bow). Lentur cantilever terutama dicerminkan dalam tangkai pancing gandar (pole and line), tangkai serok (scoop net) dan tangkai anco (mobile lever net).

166 6.2 Saran Beberapa hal yang dapat penulis sarankan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Pemanfaatan batang bambu untuk alat penangkapan ikan sebaiknya dilakukan secara optimal, dengan mempertimbangkan kesesuaian antara pemilihan bagian bambu dengan sifat-sifat fisiknya dan karakteristik pemakaiannya sebagai alat penangkapan ikan. Perlu diupayakan untuk sedapat-dapatnya memanfaatkan seluruh bagian batang bambu dalam pembuatan konstruksi alat penangkapan ikan, sehingga bagian batang bambu yang terbuang menjadi sesedikit mungkin. (2) Selanjutnya, maka penelitian terhadap batang bambu secara utuh atau buluh, yang tidak berbentuk bilah, perlu dilakukan pula mengingat bahwa penggunaan bambu dalam bentuk buluh untuk alat penangkapan ikan cukup banyak dilakukan. 142

167 DAFTAR PUSTAKA Abidin M Teknik Penangkapan Ikan Sidat (Anguilla sp) dengan Menggunakan Alat Tangkap Umbing (traps) di Danau Tes, Bengkulu. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 4 Nomor 2 Desember 2006, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Pengoperasian alat tangkap Tangkul untuk Menangkap Benih Ikan Jelawat (Leptobarbus hoeveni Blkr) di Perairan Batanghari Jambi. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 7 Nomor 1 Juni 2009, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Alam MK Notes on Taxonomy, Distribution and Conservation of Bambu for Bangkadesh. In bambu in Asia and The Pacific, Proceeding 4 th International Bamboo Workshop, November November 1991, Thailand, International Development Research Centre, Food and Agricultural Organization, United Nations Development Programme. P: Arinana Pengaruh Pengawetan Bambu Betung (Dendrocalamus asper Schultes f. Backer ex heyne) dengan Metode Boucherie Terhadap Sifat Fisis dan Keteguhan mekaniknya. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 112 hal. Askeland DR dan PP Phulē The Science and engineering of materials. 5 th edition. Toronto : Thomson Canada Limited. P : Astuti LP dan Warsa A Inventarisasi Beberapa Alat Tangkap Tradisional di Danau Sentani Papua. Bawal Volume 1 Nomor 5 Agustus 2007, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Bahri S Penggunaan Penangkapan ikan dengan alat tangkap siringan (funned trap) di Sungai Musi bagian hulu, Sumatera Selatan. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 6 Nomor 2 Desember 2008, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Batubara R Pemanfaatan Bambu di Indonesia. USU digital library. Medan: Program Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. 6 hal.

168 Boresi AP, RJ Schmidt dan OM Sidebottom Advanced Mechanics of Materials. Wiley. Burnawi Penggunaan Alat Tangkap Sengkirai Bilah di Perairan Lubuk Lampam, Sumatera Selatan. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 6 Nomor 2 Desember 2008, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Diniah Pengenalan Perikanan Tangkap. Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 60 hal. Diniah, Puspito D dan Monintja DR Model Balok Beban Tunggal dalam Uji Kekuatan Lentur dan Modulus Elastis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan. Jurnal Mangrove dan Pesisir, Volume VIII Nomor 3 Tahun 2008, ISSN Padang : Pusat Studi Pesisir dan Kelautan, Universitas Bung Hatta Padang. Hal Diniah, Monintja DR dan Puspito G Modulus Elastis dan Kekuatan Lentur Bambu Betung dengan Model Cantilever Tekan sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan. Jurnal Mangrove dan Pesisir, Volume VIII Nomor 3 Tahun 2008, ISSN Padang : Pusat Studi Pesisir dan Kelautan, Universitas Bung Hatta Padang. Hal [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Kategori Alat Tangkap 02 November Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 314 hal. Dransfield S Bamboo Resources in Thailand : How Mauch Do We Know?. In bambu in Asia and The Pacific, Proceeding 4 th International Bambu Workshop, November November 1991, Thailand, International Development Research Centre, Food and Agricultural Organization, United Nations Development Programme. P : 1-4 Fitriasari W dan Hermiati E Analisis Morfologi Serat dan Sifat Fisis-Kimia pada Enam Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Volume 1 Nomor 2, Desember Bogor: Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hal Frick H Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Pengantar Konstruksi Bambu. Seri Konstruksi Arsitektur 7. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 166 hal. 144

169 Fridman AL Perhitungan dalam Merancang Alat Penangkapan Ikan. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah BPPI Semarang, 1986, Calculation for Fishing Gear Design. Semarang: Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Bagian Proyek Pengembangan Teknik Penangkapan Ikan. 304 hal. Ghavani K Application Bamboo as a Low-Cost Construction Material. Proceedings of The International Bamboo Workshop Held in Chocin India from November P Halliday D dan Resnick R Fisika, Jilid I. Alih basa oleh P Silaban dan E Sucipto, Physics, 3 rd edition. Jakarta: Penerbit Erlangga. 906 hal. Haygreen JG dan Bowyer JL Forest Products and Wood Science an Introduction. Ames, Iowa: The Iowa State University Press. Iriawan N dan Astuti SP Mengolah data statistik dengan menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit Andi. 469 hal. Ivanovska IL, de Pablo PJ, Sgalari G, MacKintosh FC, Carrascosa JL, Schmidt CF, Wuite GJL Bacteriophage capsids: Tough nanoshells with complex elastic properties. Proc Nat Acad Sci USA. 101 (20): doi: /pnas PMID [26 Juli 2010] Liese W Anatomy of Bamboo. Proceeding Workshop Bamboo Research in Asia, Singapore May Ottawa: International Development Research Centre. Mardikanto TR Mekanika Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mardikanto TR, Karlinasari L dan Bahtiar ET Sifat Mekanis 2. Bogor: Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 45 hal. Mohmod AL dan Liese W Utilization of Bambus. In Othman AR, Mohmod AL, Liese W and Haron N, Kuala Lumpur: Forest Research Institute Malaysia (FRIM), Planting and Utilization of Bamboo in Penninsular Malaysia. P: Othman AR, Mohmod AL, Liese W dan Haron N Planting and Utilization of Bamboo in Penninsular Malaysia, Forest Research Institute Malaysia (FRIM). 117 pp. Othman AR dan Mohmod AL Bamboos of Peninsular Malaysia. In Othman AR, Mohmod AL, Liese W and Haron N, Kuala Lumpur: Forest Research Institute Malaysia (FRIM), Planting and Utilization of Bamboo in Penninsular Malaysia. P :

170 Rao AN dan Rao VR Patterns of Variation in Bamboo. In Bamboo in Asia and The Pacific, Proceeding 4 th International Bamboo Workshop, November November 1991, Thailand, International Development Research Centre, Food and Agricultural Organization, United Nations Development Programme. P : Romdon S Beberapa jenis alat tangkap kepiting bakau (Scylla sp) di Desa Mayangan Pantai Utara Jawa. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 7 Nomor 2 Desember 2009, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Saiyani A Teknik Pengoperasian alat tangkap Pengilar (traps/pots) di Sungai Musi, Sumatera Selatan. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 6 Nomor 2 Desember 2008, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Sarojo GA Mekanika, Seri Fisika Dasar. ISBN : Jakarta: Penerbit Salemba Teknika. 413 hal. Sastrapradja S, Widjaja EA, Prawiroatmodjo S dan Soenarko S Beberapa Jenis Bambu. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Biologi Nasional, Proyek Sumberdaya Ekonomi. 95 hal. Setyawati D, Hadi YS, Massijaya MY dan Nugroho N Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa dan Plastik Poli Propilena Daur Ulang Berlapis Anyaman Bambu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Volume 1 Nomor 1, Juni Bogor: Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hal Singer L dan Pytel A Kekuatan Bahan (Teori Kokoh Strength of Materials) Edisi ketiga. Alih Basa oleh Sebayang D, 1980, Strength of Materials. Jakarta: Penerbit Erlangga. 637 hal. Sonjaya JA Jenis-jenis bambu yang bernilai ekonomi. SahabatBambu.com. [11 Januari 2010, 20.23] Symon K Mechanics. Addison-Wesley, Reading, MA. ISBN [26 Juli 2010] Subani W dan Barus HR Alat Penangkapan Ikan dan Udang di Indonesia. Jurnal Perikanan Laut Nomor 50 Tahun 1988/1989. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 248 hal. 146

171 Sukamto Teknik Penangkapan ikan dengan alat tangkap Dudayaho di Danau Limboto Gorontalo (Sulawesi). Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 6 Nomor 2 Desember 2008, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Sukandi U Tangkul di Danau Teluk.. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, Volume 7 Nomor 1 Juni 2009, ISSN Jakarta: Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Widjaja EA Exploring Bambu Germplasm in Sumatera, Indonesia. In Bambu in Asia and The Pacific, Proceeding 4 th International Bambu Workshop, November November 1991, Thailand, International Development Research Centre, Food and Agricultural Organization, United Nations Development Programme. P : Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriensis. 35 hal. Wikipedia a. Hooke s Law. [26 Juli 2010] b. Young s Modulus. [26 Juli 2010] William JT, Rao IVR and Rao AN Genetic Enhancement of Bamboo and Rattan. India: International Network for Bamboo and Rattan. 159 pp. Yap KHF Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Bandung: 31 hal. 147

172 LAMPIRAN

173 Lampiran 1 Penebangan dan pengangkutan bambu betung Rumpun bambu betung dan percabangannya, cukup sulit saat diambil Proses pengering-udaraan, diberikan label agar tidak tertukar dan diambil orang lain Pemotongan bambu Pemotongan bambu per bagian batang bambu dan diameter pangkal bambu Bambu diangkut dan disimpan sementara di Laboratorium Kayu Solid 151

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji 5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji Bambu betung (Dendrocalamus asper) merupakan satu dari empat macam bambu yang dianggap paling penting dan sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, serta umum dipasarkan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengumpulan data di laboratorium berlangsung selama tujuh bulan dimulai pada bulan Juli 2006 hingga Januari 2007. Contoh bambu betung (Dendrocalamus asper) yang digunakan

Lebih terperinci

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN 1 PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) SIFAT KEKUATAN KAYU MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) 1 A. Sifat yang banyak dilakukan pengujian : 1. Kekuatan Lentur Statis (Static Bending Strength) Adalah kapasitas/kemampuan kayu dalam menerima beban

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

EKSPERIMEN DAN ANALISIS BEBAN LENTUR PADA BALOK BETON BERTULANGAN BAMBU RAJUTAN

EKSPERIMEN DAN ANALISIS BEBAN LENTUR PADA BALOK BETON BERTULANGAN BAMBU RAJUTAN EKSPERIMEN DAN ANALISIS BEBAN LENTUR PADA BALOK BETON BERTULANGAN BAMBU RAJUTAN Devi Nuralinah Dosen / Teknik Sipil / Fakultas Teknik / Universitas Brawijaya Malang Jl. MT Haryono 167, Malang 65145, Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu. 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November 2011 - April 2012 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Bambu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Bambu 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Bambu Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di desa, bambu memegang peranan yang sangat penting. Bambu merupakan satu jenis tanaman yang berfungsi serbaguna

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Pengaruh Variasi Penyusunan

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI Pendahuluan

4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI Pendahuluan 4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI 4.1. Pendahuluan Dalam bidang konstruksi secara garis besar ada dua jenis konstruksi rangka, yaitu konstruksi portal (frame) dan konstruksi rangka batang (truss). Pada konstruksi

Lebih terperinci

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan 3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sifat-sifat Dasar dan Laboratorium Terpadu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil

Lebih terperinci

KAPAL JURNAL ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI KELAUTAN

KAPAL JURNAL ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI KELAUTAN http://ejournal.undip.ac.id/index.php/kapal 1829-8370 (p) 2301-9069 (e) KAPAL JURNAL ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI KELAUTAN Pengaruh Susunan dan Ukuran Bilah Bambu Petung (Dendrocalamus asper) Dan Bambu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan November 2010 di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung. 22 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Sifat Anatomi Bambu 4.1.1 Bentuk Batang Bambu Bambu memiliki bentuk batang yang tidak silindris. Selain itu, bambu juga memiliki buku (node) yang memisahkan antara 2 ruas (internode).

Lebih terperinci

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper BACKER EX. HEYNE) PADA BERBAGAI JUMLAH LAPISAN DAN POSISI PENGUJIAN SKRIPSI Oleh: MARIAH ULFA 101201035 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Analisis Teknis dan Ekonomis Pembangunan Kapal Ikan Menggunakan Laminasi Hybrid Antara Bambu Ori dengan Kayu Sonokembang dengan Variasi Arah Serat

Analisis Teknis dan Ekonomis Pembangunan Kapal Ikan Menggunakan Laminasi Hybrid Antara Bambu Ori dengan Kayu Sonokembang dengan Variasi Arah Serat JURNAL TEKNIK ITS Vol. 7, No. 1 (218), 2337-352 (231-928X Print) G 94 Analisis Teknis dan Ekonomis Pembangunan Kapal Ikan Menggunakan Hybrid Antara Bambu Ori dengan Kayu Sonokembang dengan Variasi Arah

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit dan pengujian sifat fisis dan mekanis dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

PROTOTYPE PARQUET DARI LIMBAH BATANG AREN Arenga pinnata (Wurmb) Merrill SKRIPSI. Oleh: ANDRO TARIGAN

PROTOTYPE PARQUET DARI LIMBAH BATANG AREN Arenga pinnata (Wurmb) Merrill SKRIPSI. Oleh: ANDRO TARIGAN PROTOTYPE PARQUET DARI LIMBAH BATANG AREN Arenga pinnata (Wurmb) Merrill SKRIPSI Oleh: ANDRO TARIGAN 041203010 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PROTOTYPE PARQUET

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu akan mempengaruhi kekuatan kayu dalam menerima dan menahan beban yang terjadi pada kayu itu sendiri. Pada umumnya kayu yang memiliki kadar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kayu merupakan suatu bahan mentah yang didapatkan dari pengolahan pohon pohon yang terdapat di hutan. Kayu dapat menjadi bahan utama pembuatan mebel, bahkan dapat menjadi

Lebih terperinci

Analisis Bambu Walesan, Bambu Ampel dan Ranting Bambu Ampel sebagai Tulangan Lentur Balok Beton Rumah Sederhana

Analisis Bambu Walesan, Bambu Ampel dan Ranting Bambu Ampel sebagai Tulangan Lentur Balok Beton Rumah Sederhana Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 3, No. 1, November 2011 21 Analisis Bambu Walesan, Bambu Ampel dan Ranting Bambu Ampel sebagai Tulangan Lentur Balok Beton Rumah Sederhana Hery Suroso & Aris widodo Jurusan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 - April 2012 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Teknologi dan

Lebih terperinci

KAJIAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANG BIASA DAN BALOK BETON BERTULANGAN KAYU DAN BAMBU PADA SIMPLE BEAM. Naskah Publikasi

KAJIAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANG BIASA DAN BALOK BETON BERTULANGAN KAYU DAN BAMBU PADA SIMPLE BEAM. Naskah Publikasi KAJIAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANG BIASA DAN BALOK BETON BERTULANGAN KAYU DAN BAMBU PADA SIMPLE BEAM Naskah Publikasi untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Teknik Sipil

Lebih terperinci

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum

8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI Pembahasan Umum 8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI 8.1. Pembahasan Umum Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan bukan merupakan hal yang baru, tetapi pemanfaatannya pada umumnya hanya dilakukan berdasarkan pengalaman

Lebih terperinci

PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER

PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas tugas dan melengkapi syarat untuk menempuh Ujian Sarjana Teknik

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : 1. Kayu Bangunan Struktural : Kayu Bangunan yang digunakan untuk bagian struktural Bangunan dan

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.)

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) HASIL PENELITIAN Oleh : TRISNAWATI 051203021 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dan UPT Biomaterial LIPI - Cibinong Science Centre. Penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR

KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR KAJIAN KOEFISIEN PASAK DAN TEGANGAN IZIN PADA PASAK CINCIN BERDASARKAN REVISI PKKI NI-5 2002 DENGAN CARA EXPERIMENTAL TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR MODUL 4 MODULUS ELASTISITAS

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR MODUL 4 MODULUS ELASTISITAS LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR MODUL 4 MODULUS ELASTISITAS Nama : Nova Nurfauziawati NPM : 240210100003 Tanggal / jam : 21 Oktober 2010 / 13.00-15.00 WIB Asisten : Dicky Maulana JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

Analisis Teknis Dan Ekonomis Penggunaan Bambu Ori Dengan Variasi Umur Untuk Pembuatan Kapal Kayu

Analisis Teknis Dan Ekonomis Penggunaan Bambu Ori Dengan Variasi Umur Untuk Pembuatan Kapal Kayu JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013 ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print 1 Analisis Teknis Dan Ekonomis Penggunaan Bambu Ori Dengan Variasi Untuk Pembuatan Kapal Kayu Nur Fatkhur Rohman dan Heri Supomo

Lebih terperinci

Bab II STUDI PUSTAKA

Bab II STUDI PUSTAKA Bab II STUDI PUSTAKA 2.1 Pengertian Sambungan, dan Momen 1. Sambungan adalah lokasi dimana ujung-ujung batang bertemu. Umumnya sambungan dapat menyalurkan ketiga jenis gaya dalam. Beberapa jenis sambungan

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Laboratorium Teknik Material 1 Modul D Uji Lentur dan Kekakuan

Laporan Praktikum Laboratorium Teknik Material 1 Modul D Uji Lentur dan Kekakuan Laporan Praktikum Laboratorium Teknik Material 1 Modul D Uji Lentur dan Kekakuan oleh : Nama : Catia Julie Aulia NIM : Kelompok : 7 Anggota (NIM) : 1. Conrad Cleave Bonar (13714008) 2. Catia Julie Aulia

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BAMBU UNTUK TULANGAN JALAN BETON

PEMANFAATAN BAMBU UNTUK TULANGAN JALAN BETON PEMANFAATAN BAMBU UNTUK TULANGAN JALAN BETON Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang Abstrak. Bambu dapat tumbuh dengan cepat dan mempunyai sifat mekanik yang baik dan dapat digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK VOLUME 12 NO. 2, OKTOBER 2016 PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU Fengky Satria Yoresta 1, Muhammad Irsyad Sidiq 2 ABSTRAK Tulangan besi

Lebih terperinci

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT Pembebanan Batang Secara Aksial Suatu batang dengan luas penampang konstan, dibebani melalui kedua ujungnya dengan sepasang gaya linier i dengan arah saling berlawanan yang berimpit i pada sumbu longitudinal

Lebih terperinci

ANALISA TEKNIK DAN EKONOMIS VARIASI JENIS BAMBU SEBAGAI BAHAN LAMINASI UNTUK PEMBUATAN KAPAL IKAN

ANALISA TEKNIK DAN EKONOMIS VARIASI JENIS BAMBU SEBAGAI BAHAN LAMINASI UNTUK PEMBUATAN KAPAL IKAN ANALISA TEKNIK DAN EKONOMIS VARIASI JENIS BAMBU SEBAGAI BAHAN LAMINASI UNTUK PEMBUATAN KAPAL IKAN Disusun oleh : Yohanes Edo Wicaksono (4108.100.048) Dosen Pembimbing : Ir. Heri Supomo, M.Sc Sri Rejeki

Lebih terperinci

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F KAYU LAMINASI Oleh : Yudi.K. Mowemba F 111 12 040 Pendahuluan Kayu merupakan bahan konstruksi tertua yang dapat diperbaharui dan merupakan salah satu sumber daya ekonomi yang penting. Seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana

Lebih terperinci

PENGARUH UKURAN PELUPUH (ZEPHYR) DAN BUKU BAMBU (NODE) TERHADAP KUALITAS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper)

PENGARUH UKURAN PELUPUH (ZEPHYR) DAN BUKU BAMBU (NODE) TERHADAP KUALITAS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) PENGARUH UKURAN PELUPUH (ZEPHYR) DAN BUKU BAMBU (NODE) TERHADAP KUALITAS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) SKRIPSI Oleh: ANNISA NADIA 101201040 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan Mei sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2008 sampai bulan Februari 2009. Tempat pembuatan dan pengujian glulam I-joist yaitu di Laboratorium Produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi hutan di Indonesia semakin memburuk akibat eksploitasi berlebihan, illegal logging, dan pembakaran hutan. Hal ini mengakibatkan datangnya bencana dari tahun

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN PENDAHULUAN Pasokan kayu sebagai bahan mebel dan bangunan belum mencukupi kebutuhan yang ada Bambu (multiguna, cepat tumbuh, tersebar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Tempat dan Waktu Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Tempat dan Waktu Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan bahan penelitian ini terdiri atas pelepah salak, kawat, paku dan buah salak. Dalam penelitian tahap I digunakan 3 (tiga) varietas buah salak, yaitu manonjaya, pondoh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya yang terdiri dari bahan semen hidrolik ( portland cement), agregat kasar, agregat halus, air dan bahan tambah (admixture

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Mei 2010, bertempat di Laboratorium Pengeringan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan dan

Lebih terperinci

Analisis Teknis dan Ekonomis Pemilihan Bilah Laminasi Bambu Berdasarkan Lokasi Potong Sebagai Alternatif Pengganti Kayu Dalam Pembuatan Lambung Kapal

Analisis Teknis dan Ekonomis Pemilihan Bilah Laminasi Bambu Berdasarkan Lokasi Potong Sebagai Alternatif Pengganti Kayu Dalam Pembuatan Lambung Kapal JURNL TEKNIK POMITS Vol. 2, No., (203) ISSN: 2337-3539 (230-927 Print) nalisis Teknis dan Ekonomis Pemilihan Bilah Berdasarkan Lokasi Potong Sebagai lternatif Pengganti Kayu Dalam Pembuatan Kapal M. Bagus

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian rangka

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian rangka BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian rangka Rangka adalah struktur datar yang terdiri dari sejumlah batang-batang yang disambung-sambung satu dengan yang lain pada ujungnya, sehingga membentuk suatu rangka

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bambu merupakan tanaman dari famili rerumputan (Graminae) yang banyak dijumpai dalam kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Secara tradisional bambu dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober 2015. Pembuatan papan dan pengujian sifat fisis dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan,

Lebih terperinci

TINJAUAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANGAN BAMBU LAMINASI DAN BALOK BETON BERTULANGAN BAJA PADA SIMPLE BEAM. Naskah Publikasi

TINJAUAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANGAN BAMBU LAMINASI DAN BALOK BETON BERTULANGAN BAJA PADA SIMPLE BEAM. Naskah Publikasi TINJAUAN KUAT LENTUR BALOK BETON BERTULANGAN BAMBU LAMINASI DAN BALOK BETON BERTULANGAN BAJA PADA SIMPLE BEAM Naskah Publikasi untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Teknik Sipil

Lebih terperinci

ANALISA DAN EKSPERIMENTAL PERILAKU TEKUK KOLOM TUNGGAL KAYU PANGGOH Putri Nurul Hardhanti 1, Sanci Barus 2

ANALISA DAN EKSPERIMENTAL PERILAKU TEKUK KOLOM TUNGGAL KAYU PANGGOH Putri Nurul Hardhanti 1, Sanci Barus 2 ANALISA DAN EKSPERIMENTAL PERILAKU TEKUK KOLOM TUNGGAL KAYU PANGGOH Putri Nurul Hardhanti 1, Sanci Barus 2 1 Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU Medan

Lebih terperinci

PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult.

PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult. PENGARUH PANJANG PARTIKEL TERHADAP KUALITAS ORIENTED PARTICLE BOARD DARI BAMBU TALI (Gigantochloa apus J.A & J.H. Schult. Kurz) SKRIPSI Oleh: RICKY HALOMOAN GEA 111201132/TEKNOLOGI HASIL HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tenggara menyediakan kira-kira 80% potensi bambu dunia yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tenggara menyediakan kira-kira 80% potensi bambu dunia yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Bambu merupakan tanaman rumpun yang tumbuh hampir di seluruh belahan dunia, dan dari keseluruhan yang ada di dunia Asia Selatan dan Asia Tenggara menyediakan kira-kira

Lebih terperinci

TEGANGAN DAN REGANGAN

TEGANGAN DAN REGANGAN Kokoh Tegangan mechanics of materials Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya TEGANGAN DAN REGANGAN 1 Tegangan Normal (Normal Stress) tegangan yang bekerja dalam arah tegak lurus permukaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan beton dan bahan-bahan vulkanik sebagai pembentuknya (seperti abu pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga sebelum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu termasuk ke dalam famili Graminae, sub famili Bambusoidae dan suku Bambuseae. Bambu biasanya mempunyai batang yang berongga, akar yang kompleks, serta daun berbentuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data, nilai rata-rata dimensi strand yang ditentukan dengan menggunakan 1 strand

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat 21 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium UPT BPP Biomaterial LIPI Cibinong dan Laboratorium Laboratorium Bahan, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Bandung.

Lebih terperinci

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS DAFTAR SIMBOL BJ : Berat Jenis ρ : Berat Jenis (kg/cm 3 ) m : Massa (kg) d : Diameter Kayu (cm) V : Volume (cm 3 ) EMC : Equilibrium Moisture Content σ : Stress (N) F : Gaya Tekan / Tarik (N) A : Luas

Lebih terperinci

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek DAFTAR NOTASI A g = Luas bruto penampang (mm 2 ) A n = Luas bersih penampang (mm 2 ) A tp = Luas penampang tiang pancang (mm 2 ) A l =Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi (mm 2 ) A s = Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM DAN LATAR BELAKANG Sejak permulaan sejarah, manusia telah berusaha memilih bahan yang tepat untuk membangun tempat tinggalnya dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Pemilihan

Lebih terperinci

Kompetensi Dasar: 3.6 Menganalisis sifat elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Pembelajaran:

Kompetensi Dasar: 3.6 Menganalisis sifat elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Pembelajaran: ELASTISITAS Kalian pasti sudah mengenal alat-alat sebagai berikut. Plastisin, pegas pada sepeda, motor dan lain-lainnya, benda-benda tersebut dinamakan bahan elastisitas. Bahkan kalian juga pernah meregangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg. PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.) SUKMA SURYA KUSUMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SERAT BAMBU TERHADAP SIFAT-SIFAT MEKANIS CAMPURAN BETON

STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SERAT BAMBU TERHADAP SIFAT-SIFAT MEKANIS CAMPURAN BETON Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010 STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH SERAT BAMBU TERHADAP SIFAT-SIFAT MEKANIS CAMPURAN BETON Helmy Hermawan Tjahjanto 1, Johannes Adhijoso

Lebih terperinci

TEGANGAN (YIELD) Gambar 1: Gambaran singkat uji tarik dan datanya. rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan

TEGANGAN (YIELD) Gambar 1: Gambaran singkat uji tarik dan datanya. rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan TEGANGAN (YIELD) Gambar 1: Gambaran singkat uji tarik dan datanya Biasanya yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan maksimum bahan tersebut dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut Ultimate

Lebih terperinci

Mengenal Uji Tarik dan Sifat-sifat Mekanik Logam

Mengenal Uji Tarik dan Sifat-sifat Mekanik Logam Mengenal Uji Tarik dan Sifat-sifat Mekanik ogam Oleh zhari Sastranegara Untuk mengetahui sifat-sifat suatu bahan, tentu kita harus mengadakan pengujian terhadap bahan tersebut. da empat jenis uji coba

Lebih terperinci

MEKANIKA BAHAN (TKS 1304) GATI ANNISA HAYU PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS JEMBER

MEKANIKA BAHAN (TKS 1304) GATI ANNISA HAYU PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS JEMBER MEKANIKA BAHAN (TKS 1304) GATI ANNISA HAYU PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS JEMBER TEGANGAN DAN REGANGAN Tegangan dan Regangan Normal Tegangan dan Regangan Geser Tegangan dan Regangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Produk Majemuk Kelompok Peneliti Pemanfaatan Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu sifat kayu merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable

BAB I PENDAHULUAN. salah satu sifat kayu merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum adanya bahan konstruksi dari beton, baja, dan kaca, bahan konstruksi yang umum digunakan dalam kehidupan manusia adalah kayu. Selain untuk bahan konstruksi,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan tarik double shear balok kayu pelat baja menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran tertentu ini dilakukan selama kurang lebih

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

1. Tegangan (Stress) Tegangan menunjukkan kekuatan gaya yang menyebabkan perubahan bentuk benda. Perhatikan gambar berikut

1. Tegangan (Stress) Tegangan menunjukkan kekuatan gaya yang menyebabkan perubahan bentuk benda. Perhatikan gambar berikut ELASTISITAS Kebanyakan dari kita tentu pernah bermain dengan karet gelang. Pada saat Anda menarik sebuah karet gelang, dengan jelas Anda dapat melihat karet tersebut akan mengalami perubahan bentuk dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987).

Lebih terperinci

PENGGUNAAN RANTING BAMBU ORI (BAMBUSA ARUNDINACEA) SEBAGAI KONEKTOR PADA STRUKTUR TRUSS BAMBU (053S)

PENGGUNAAN RANTING BAMBU ORI (BAMBUSA ARUNDINACEA) SEBAGAI KONEKTOR PADA STRUKTUR TRUSS BAMBU (053S) PENGGUNAAN RANTING BAMBU ORI (BAMBUSA ARUNDINACEA) SEBAGAI KONEKTOR PADA STRUKTUR TRUSS BAMBU (053S) Astuti Masdar 1, Zufrimar 3, Noviarti 2 dan Desi Putri 3 1 Jurusan Teknik Sipil, STT-Payakumbuh, Jl.Khatib

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

UJI TARIK BAHAN KULIT IMITASI

UJI TARIK BAHAN KULIT IMITASI LAPORAN UJI BAHAN UJI TARIK BAHAN KULIT IMITASI Oleh : TEAM LABORATORIUM PENGUJIAN BAHAN JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2011 1 A. Pendahuluan Dewasa ini perkembangan material

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2]

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2] BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Elemen Hingga Analisa kekuatan sebuah struktur telah menjadi bagian penting dalam alur kerja pengembangan desain dan produk. Pada awalnya analisa kekuatan dilakukan dengan

Lebih terperinci

Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN

Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN Sifat mekanika bahan Hubungan antara respons atau deformasi bahan terhadap beban yang bekerja Berkaitan dengan kekuatan, kekerasan, keuletan dan kekakuan Tegangan Intensitas

Lebih terperinci

Pilinan Bambu sebagai Alternatif Pengganti Tulangan Tarik pada Balok Beton ABSTRAK

Pilinan Bambu sebagai Alternatif Pengganti Tulangan Tarik pada Balok Beton ABSTRAK Pilinan Bambu sebagai Alternatif Pengganti Tulangan Tarik pada Balok Beton Endang Kasiati, Boedi Wibowo Staft Pengajar Program Studi DiplomaTeknik Sipil FTSP ITS Email: en_kas@ce.its.ac.id, boewi_boy@ce.its.ac.id

Lebih terperinci

ANALISA LENDUTAN BALOK KAYU KELAPA NON PRISMATIS PERLETAKAN SENDI ROL DENGAN METODE PLASTIS (EKSPERIMEN)

ANALISA LENDUTAN BALOK KAYU KELAPA NON PRISMATIS PERLETAKAN SENDI ROL DENGAN METODE PLASTIS (EKSPERIMEN) ANALISA LENDUTAN BALOK KAYU KELAPA NON PRISMATIS PERLETAKAN SENDI ROL DENGAN METODE PLASTIS (EKSPERIMEN) TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian pendidikan sarjana teknik sipil Oleh :

Lebih terperinci

PENGARUH MODIFIKASI TULANGAN BAMBU GOMBONG TERHADAP KUAT CABUT BAMBU PADA BETON (198S)

PENGARUH MODIFIKASI TULANGAN BAMBU GOMBONG TERHADAP KUAT CABUT BAMBU PADA BETON (198S) PENGARUH MODIFIKASI TULANGAN BAMBU GOMBONG TERHADAP KUAT CABUT BAMBU PADA BETON (198S) Herry Suryadi 1, Matius Tri Agung 2, dan Eigya Bassita Bangun 2 1 Dosen, Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 PENDAHULUAN Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang sesumbu (Askeland, 1985). Hasil

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 9 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pembuatan CLT dengan sambungan perekat yang dilakukan di laboratorium dan bengkel kerja terdiri dari persiapan bahan baku,

Lebih terperinci

KUALITAS FIBER PLASTIC COMPOSITE DARI KERTAS KARDUS DENGAN MATRIKS POLIETILENA (PE)

KUALITAS FIBER PLASTIC COMPOSITE DARI KERTAS KARDUS DENGAN MATRIKS POLIETILENA (PE) KUALITAS FIBER PLASTIC COMPOSITE DARI KERTAS KARDUS DENGAN MATRIKS POLIETILENA (PE) SKRIPSI Oleh: Reymon Fernando Cibro 071203026/ Teknologi Hasil Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari hingga Juni 2009 dengan rincian waktu penelitian terdapat pada Lampiran 3. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR Rizfan Hermanto 1* 1 Mahasiswa / Program Magister / Jurusan Teknik Sipil / Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM Wang X, Ren H, Zhang B, Fei B, Burgert I. 2011. Cell wall structure and formation of maturing fibres of moso bamboo (Phyllostachys pubescens) increase buckling resistance. J R Soc Interface. V. PEMBAHASAN

Lebih terperinci

Jurnal Teknika Atw 1

Jurnal Teknika Atw 1 PENGARUH BENTUK PENAMPANG BATANG STRUKTUR TERHADAP TEGANGAN DAN DEFLEKSI OLEH BEBAN BENDING Agung Supriyanto, Joko Yunianto P Program Studi Teknik Mesin,Akademi Teknologi Warga Surakarta ABSTRAK Dalam

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci