ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA CAHAYA IRIANI SIAGIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA CAHAYA IRIANI SIAGIAN"

Transkripsi

1 ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA CAHAYA IRIANI SIAGIAN DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 ABSTRACT CAHAYA IRIANI SIAGIAN. Analysis of Food Consumption Situation and Needs in Papua Province. Supervised by YAYAT HERYATNO and CESILIA METI DWIRIANI. The aim of this study was to analyze the food consumption situation and need in Papua Province. This research using secondary data, that were region sosio economic and demographic characteristics, and number of population which ware obtained from Badan Pusat Statistik (BPS), and food consumption obtained from National Socio Economic Survey (Susenas )in 2008, 2009, and Processing and analysis of data were done by tabulation techniques with descriptive statistics approach using software Application Program Planning Food and Nutrition. The results of this data showed energy consumption in Papua Province was 1993 kcal/capita/day (99.6% of RDA) and protein consumption was 48.1 gram/capita/day (92.7% of RDA). The quantity of energy and protein intake still below WNPG 2004 standard. Similarly, score of Desirable Dietary Pattern in 2010 (81.0) was less than minimum service standards (SPM) in 2015 (90). This research also carried outthe need and food consumption and needs prediction for in Papua Province. The results showed that consumption of food groups need to be improved are grains (4.29%), animal food (3.02%), fruit/seeds (13.90%), legumes (2.63%), and sugar (2.19%), fruits and vegetables (0.76 %). Similary, prediction analysis showed needs consumption of food groups that should be improved are grains (9.90%), animal food(8.53%), oils and fats(4.3%), fruits/seeds(20.83%), legumes(8.15%), sugar(7.65%),fruits and vegetables (6.18%). Keywords: energy consumption, protein consumption, desirable dietary pattern

3 RINGKASAN CAHAYA IRIANI SIAGIAN. Analisis Situasi Dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua. Di bawah bimbingan oleh Yayat Heryatno dan Cesilia Meti Dwiriani. Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Secara umum, konsumsi energi di Provinsi Papua masih rendah dari konsumsi energi ideal yang direkomendasikan oleh WNPG 2004 (2000 kkal/kapita/hari). Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Skor PPH di Provinsi Papua masih kurang beragam dan berimbang, dimana semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua. Tujuan khususnya adalah (1) menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun , (2) menganalisis proyeksi konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun , dan (3) menganalisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun 2010 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder yang meliputi data karakteristik wilayah, data konsumsi pangan, dan data jumlah penduduk. Data karakteristik wilayah dan data rata-rata kuantitas konsumsi pangan per kapita/minggu menurut jenis dan kelompok makanan serta golongan pengeluaran penduduk di Provinsi Papua tahun berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta data jumlah penduduk diperoleh dari Papua Dalam Angka dari tahun Kegiatan pengolahan di awali dengan pengolahan data konsumsi pangan rumahtangga Provinsi Papua dengan menggunakan program Microsoft excel dan software Program Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah. Analisis dalam pengolahan meliputi (1) analisis situasi konsumsi pangan yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitataif. Analisis kuantitatif yaitu mengamati tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) sedangkan analisis kualitatif yaitu mengamati skor pola pangan harapan (PPH). (2) analisis proyeksi konsumsi berdasarkan PPH, dan (3) analisis proyeksi kebutuhan pangan wilayah berdasarkan PPH. Hasil analisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua menunjukkan bahwa konsumsi energi penduduk di Provinsi Papua pada tahun

4 2010 adalah 1993 kkal (99.6 %AKE) dan konsumsi protein adalah 48.1 gram/kapita/hari (92.7 %AKP). Secara kuantitas konsumsi energi dan protein penduduk di Provinsi Papua masih dibawah standar WNPG Demikian juga skor PPH pada tahun 2010 adalah 81.0 masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90. Hasil analisis proyeksi skor Pola Pangan Harapan di Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya sehingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun Hasil proyeksi konsumsi pangan di Provinsi Papua menujukkan bahwa Kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok padipadian (4.3%), kelompok pangan hewani (3.0%), kelompok buah/biji berlemak (13.9%), kelompok kacang-kacangan (2.6%), kelompok pangan gula (2.2%), dan kelompok pangan sayur dan buah (0.8 %). Hasil analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun menunjukkan bahwa kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah dengan pemenuhan kebutuhan konsumsinya adalah 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.6%, dan 6.2% per tahun. Oleh karena itu konsumsi pangan di Provinsi Papua yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah agar situasi dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk tercapai sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun 2015.

5 ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA CAHAYA IRIANI SIAGIAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua Nama : Cahaya Iriani Siagian NIM : I Menyetujui : Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Yayat Heryatno, SP, MPS Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M,Sc NIP NIP Mengetahui : Ketua Departmen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP Tanggal Lulus :

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan di Provinsi Papua sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis yaitu Ayah (Houtman Siagian) dan Ibu (Lindawati Gurning) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan baik material maupun spiritual. 2. Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi atas bimbingan, saran dan masukan selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi. 3. Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M,Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, nasehat, saran, dan masukan selama penulisan skripsi. 4. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. 5. My sister s (Mentari Siagian, Wulan Siagian, dan Sinta Siagian) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan bagi penulis. 6. Abang Patar Naibaho yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan dari awal hingga akhir selama penulisan skripsi. 7. Sahabatku (Mahyuni, Astria, Made, Fenny, Ema, Ilya, Nur indah, Oktavianus, Nehemia, Saidah, dan abang Andri), teman-teman GM 45, dan teman-teman kost Perwira 52 atas dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan in tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca. Amin. Bogor, November 2012 Cahaya Iriani Siagian

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 12 Juli 1989 dari Ayah Houtman Siagian dan Ibu Lindawati Gurning. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis memulai pendidikan dari Taman Kanak-kanak di TK Nuri Manis Nabire dari tahun 1993 sampai Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SDN Impres Nabarua Nabire. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Nabire. Pendidikan menengah atas diselesaikan penulis pada tahun 2007 di SMA Negeri 3 Nabire. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2007 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Nabire Papua dan tercatat sebagai mahasiswi Mayor Ilmu Gizi pada tahun 2008, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, di Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kegiatan salah satunya adalah kepanitiaan Seminar Gizi Nasional Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Larikan, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan pada tahun Penulis juga telah melaksanakan Internship Dietetik di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon Banten pada bulan Maret sampai April 2011.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR...xii DAFTAR LAMPIRAN...xiii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Tujuan Umum... 2 Tujuan Khusus... 3 Kegunaan Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Ketahanan Pangan... 4 Pola Konsumsi Pangan... 6 Kuantitas konsumsi pangan... 7 Kualitas konsumsi pangan... 9 Perencanaan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kebijakan Ketahanan Pangan KERANGKA PEMIKIRAN METODE Desain, Waktu dan Tempat Jenis dan Sumber Data Pengolahan dan Analisis Data Analisis Situasi Konsumsi Pangan Analisis konsumsi secara kuantitatif Analisis konsumsi secara kualitatif Analisis Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pendekatan PPH Analisis Kebutuhan Pangan Wilayah Berdasarkan Pendekatan PPH Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Demografi dan Sosial Ekonomi Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua... 26

10 x Kuantitas Konsumsi Pangan Konsumsi Energi Konsumsi Protein Kualitas Konsumsi Pangan Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 52

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian Standar ideal dan target SPM tahun Pola pangan harapan Nasional Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua tahun Skor PPH menurut kelompok pangan Provinsi Papua tahun Proyeksi Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi Papua berdasarkan konsumsi pangan tahun dasar Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan (%) Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kkal/kapita/hari) Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (gram/kapita/hari) Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kg/kapit/tahun) Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun (Ribu ton/ tahun)... 45

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Provinsi Papua Trend skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dan jenis pangan tahun (gram/kapita/hari) Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan... 57

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan UU Pangan tersebut, maka pembangunan di bidang pangan harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah yang penyelenggaraannya berpedoman kepada standar pelayanan minimum (SPM). Ketahanan pangan harus diupayakan secara optimal dan berkesinambungan sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di semua kabupaten/kota. Menurut Absari (2007) perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyah et al 2001). Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman dalam hal sumberdaya alam sehingga menyebabkan setiap wilayah atau daerah mempunyai keunggulan maupun keterbatasan dalam memproduksi bahan pangan secara efisien. Beberapa daerah ada yang mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang berlebihan, namun ada juga yang tidak mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup. Pemenuhan hak masyarakat indonesia akan

15 2 pangan adalah salah satu bentuk dari tujuan pembangunan ketahanan pangan. Hal ini memungkinkan terdapat pula perbedaan dalam pola konsumsi pangan pada Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Provinsi Papua juga merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu ,05 km 2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Masyarakat di Provinsi Papua, secara umum masyarakatnya berpola pangan sagu dan umbi-umbian sebagai bahan pangan pokok, karena sagu dan umbiumbian merupakan pangan yang banyak berkembang di daerah tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Suhardjo et al. (1988), jenis dan jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut dalam jangka waktu yang lama atau panjang. Secara umum, konsumsi energi di Provinsi Papua masih rendah dari konsumsi energi ideal yang direkomendasikan oleh WNPG 2004 yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Skor PPH di Provinsi Papua masih kurang beragam dan berimbang, dimana semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Selain itu pola konsumsi juga merupakan masalah perilaku penduduk yang berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan lingkungan. Perbedaan pola konsumsi antar daerah dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi pangan yang beragam antar daerah sehingga menyebabkan perubahan pola konsumsi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua.

16 3 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menganalisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun Menganalisis proyeksi konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun Menganalisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk berdasarkan pendekatan pola pangan harapan (PPH) di Provinsi Papua pada tahun Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang penting mengenai situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua. Informasi yang dihasilkan juga diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah Provinsi Papua dalam menyusun kebijakan dan implementasi program di bidang pangan dan gizi.

17 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian konsep ketahanan pangan tidak sama dengan swasembada (produksi) pangan (terutama beras). Fokus ketahanan pangan adalah setiap manusia setiap saat mampu mengkonsumsi pangan dan gizi secara seimbang (yang diperoleh dari karagaman pangan) untuk memperoleh status gizi yang baik. Sedangkan swasembada pangan adalah produksi (komoditi) pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik (tidak diperlukan impor). Swasembada pangan merupakan salah satu strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 Tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Pada era desentralisasi, ketahanan pangan telah menjadi salah satu urusan wajib pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota. Oleh karena itu, urusan ketahanan pangan diselenggarakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Standar Pelayanan Minimum adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Standar Pelayanan Minimum dirancang untuk diterapkan di semua kabupaten/kota; untuk menjamin bahwa semua masyarakat memiliki akses ke pelayanan dasar yang menjadi hak mereka serta agar pelayanan dasar masyarakat di semua tingkatan sistem dapat dipertanggungjawabkan (Baliwati et al 2011). Menurut Suryana (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling

18 5 berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga sub sistem tersebut. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun kemanan (Suryana 2001). Menurut Suhardjo (1989) ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah serta jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suryana 2001). Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dan jumlah dan kualitas yang baik sepanjang waktu. Subsistem ini mencakup aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup, melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan, pembelian/barter, pemberian, piinjaman dan bantuan pangan (Suryana 2001). Akses pangan secara fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga, sumber mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata pencaharian meliputi kemampuan, aset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber pendapatan. Seringkali, sumber mata pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Akses pangan secara sosial antara lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan, bantuan sosial, kebiasaan makan, konflik sosial/keamanan (Suryana 2001). Aksesibilitas merupakan komponen penting dalam ketahanan pangan rumahtangga. Akses menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Pemeliharaan lingkungan hidup dimaksudkan

19 6 untuk jaminan pangan di masa datang. Pemeliharaan lingkungan berhubungan dengan akses terhadap sumberdaya yaitu dalam hal kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi atau membeli pangan yang dibutuhkan. Oleh karena itu masyarakat mempunyai kepentingan untuk melaksanakan konservasi sumberdaya alam dalam rangka ketahanan pangannya (Suryana 2001). Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal; pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumahtangga (Suryana 2001). Pola Konsumsi Pangan Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan disebut kebutuhan gizi. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan, terutama dalam jangka waktu yang berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan, bahkan pada tahap lanjut dapat mengakibatkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1989). Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari negara ke negara. Akan tetapi faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi. Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan

20 7 pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah et al 2001). Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi. Menurut Hardinsyah (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang di antaranya adalah aksesibilitas, kebiasaan makan, pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga mengemukakan bahwa konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup dan sebagainya, namun kadang-kadang unsur prestise menjadi sangat menonjol. Pengembangan Pola Konsumsi Pangan dalam hal ini ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan, berbasis pada kondisi dan potensi daerah/wilayah. Setiap daerah mempunyai pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan sudah membudaya serta tercermin didalam tatanan menu seharihari. Akan tetapi menu yang tersedia biasanya kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan tidak merubah karakteristiknya, agar tetap dapat diterima oleh masyarakat setempat. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan melalui dua sisi (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Adapun kedua sisi tersebut adalah: Kuantitas konsumsi pangan Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal sebagai Angka Kecukupan

21 8 Gizi/AKG yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Dalam menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi/TKE dan Tingkat Konsumsi Protein/TKP. Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan (intake) yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang yang sehat menurut berbagai kelompoknya sehingga kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosal beragam jenis pangan dan nilai cita rasa sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan adalah kandungan zat gizi (Khumaidi 1994). Kecukupan gizi dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecukupan pangan umumnya dilihat dari kandungan energi pangan, sedangkan secara kualitatif dapat diperkirakan dari besarnya sumbangan protein terhadap nilai energi yang disebut sebagai Rasio Protein-Enegi (R-PE). Jadi dengan demikian, jika kecukupan akan energi dan protein terpenuhi, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya pada umumnya sudah terpenuhi atau sekurangkurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya (Khumaidi 1989). Aspek kecukupan pangan menjadi basis kriteria untuk menentukan status ketahanan pangan. Hal ini karena pangan adalah kebutuhan pokok bagi manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pada mulanya kecukupan pangan hanya dinilai menurut fisik kuantitas sesuai kebutuhan untuk beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari secara sehat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan analisis, kriteria kecukupan kemudian juga mencakup kualitas pangan sesuai kebutuhan tubuh manusia (Saliem et al. 2005). Kuantitas ketersediaan dan konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat ketersediaan/konsumsi energi (TKE) dan tingkat ketersediaan/konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi ketersediaan/konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan energi penduduk Indonesia adalah 2200 kkal/kap/hari sedangkan konsumsi energi adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi ketersediaan/ konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan protein penduduk Indonesia adalah 57 gram/kap/hari sedangkan konsumsi protein adalah 52 gram/kap/hari. Jumlah ketersediaan maupun konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

22 9 Energi Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi di simpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serelia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar ai rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya proein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya. Protein Menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air didalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Protein yang berperan sebagai pengangkut zat besi di dalam tubuh adalah transferin. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi transportasi zat-zat gizi termasuk zat besi (Fe). Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu, kacang-kacangan lainnya. Pangan hewani mempunyai faktor yang membantu penyerapan besi (Almatsier 2002). Kualitas konsumsi pangan Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Semakin beragam pangan yang dikonsumsi maka akan semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh dan semakin meningkat mutu gizinya (Suhardjo 1989).

23 10 Menurut Khumaidi (1994) dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi dari jenis makanan lain dapat diperoleh sehingga masukan zat-zat gizi menjadi seimbang. Jadi, untuk mencapai masukan zat-zat gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya satu jenis bahan makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan. Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah konsumsi pangan dan gizi ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosio budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat istiadat (Sanjur 1982). Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, ketersediaan dan konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Selain itu, acuan yang digunakan adalah standar pelayanan minimum (SPM) dengan skor PPH 90 pada tahun Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai berikut: Pola pangan harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya.

24 11 Tim FAO-RAPA (1990) menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisi/ pola pangan masing-masing Negara dan sstem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divaliditasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani, dan lemak) antara PPH dan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Hardinsyah (1996) dengan menggunakan data Susenas 1990 telah melakukan validasi dan adaptasi PPH dan scoring system PPH bagi Indonesia yang sejalan dengan konsep Pedoman Umum Gizi Seimbang. Tahun 2000 Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar, lintas subsektor, dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut menjadi PPH Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat pada Tabel 1 dengan mempertibangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2200 kkal/kap/hari; 2) Persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2200 kkal sebagai penyebut); 3) Rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating; 4) Skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) Peran pangan hewani, gula serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) Peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal; 7) Peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya. Tabel 1 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN 2001 FAO-RAPA No Kelompok Pangan (1989) Meneg Pangan (1994) Deptan (2001) % Min-Max % Bobot Skor % Bobot Skor 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Sumber : DKP, 2006 Perencanaan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara

25 12 berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunak sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007). Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga member keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyah et al 2001). Pola pikir perencanaan dengan pendekatan PPH merupakan konsep pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan jangka panjang dan jangka pendek, dengan tujuan utama pendekatan PPH yakni untuk membuat rasionalisasi pola konsumsi yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility) serta dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya local (Hardinsyah et al 2002). Kebijakan Ketahanan Pangan Kebijakan pangan merupakan penegasan dari kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya, yaitu UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan (Kantor Meneg Pangan 1997). Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan kenyakinan masyarakat. Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah dan Ariani 2000).

26 13 Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) tahun , tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (rumah tangga/ individu). Arah kebijakan umum ketahanan pangan nasional adalah untuk meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan, meningkatkan sistem distribusi dan stabilisasi harga pangan dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan keamanan pangan. KUKP diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga, wilayah dan nasional. Oleh karena itu, idealnya KUKP dirumuskan dalam bentuk Peraturan Presiden. Di tingkat provinsi/kabupaten/kota dirumuskan Program Aksi Operasional KUKP dalam bentuk Peraturan Gubenur/Bupati/Walikota. KUKP Tahun menyebutkan 15 elemen penting pembangunan ketahanan pangan. Elemen tersebut adalah menjamin ketersediaan pangan, Menata pertanahan dan tata ruang dan wilayah, melakukan antisipasi, aadaptasi dan mitigasi perubahan iklim, menjamin cadangan pangan pemerintah dan masyarakat, mengembangkan sitem distribusi pangan yang adil dan efisien, meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, menjaga stabilitas harga pangan, mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi, melakukan diversifikasi pangan, meningkatan mutu dan keamanan pangan, memfasilitasi penelitian dan pengembangan, melaksanakan kerjasama internasional, mengembangkan peran serta masyarakat, mengembangkan sumberdaya manusia pangan-pertanian, dan melaksanakan kebijakan makro dan pedagangan yang kondusif. Pasal 11 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, karena ketahanan pangan berkaitan dengan pelayanan dasar. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Dengan demikian, upaya mewujudkan ketahanan pangan penduduk melibatkan banyak pelaku pembangunan, bersifat bidang/sektor pembangunan. Bentuk kebijakan pembangunan ketahanan pangan sangat penting sebagai acuan untuk merumuskan perencanaan pembangunan provinsi atau kabupaten atau kota dalam kerangka sistem perencanaan nasional. Standar

27 14 Pelayanan Minimum (SPM) adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimum. Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990). Pangan masyarakat Papua pada umumnya berpola pangan pokok sagu. Hal ini karena jenis tanaman pangan sagu banyak berkembang di wilayah tersebut. Jenis tanaman pangan yang diusahakan adalah ubi jalar, ubi kayu, dan keladi. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas.

28 KERANGKA PEMIKIRAN Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat. Memperoleh pangan yang cukup merupakan hak asasi setiap manusia karena pangan merupakan sumber energi yang diperlukan manusia untuk mempertahankan hidup. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah melalui program peningkatan ketahanan pangan wilayah berbasis pola pangan harapan (PPH). Pengembangan pola konsumsi pangan dalam hal ini ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan, berbasis pada kondisi dan potensi daerah/wilayah. Setiap daerah mempunyai pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan sudah membudaya serta tercermin di dalam tatanan menu seharihari. Akan tetapi menu yang tersedia biasanya kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan tidak merubah karakteristiknya, agar tetap dapat diterima oleh masyarakat setempat. Analisis situasi konsumsi pangan wilayah dapat dilihat dari aspek kuantitatif maupun kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalah 52 gram/kap/hari. Analisis konsumsi pangan secara kualitatif dapat diketahui dari pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan.

29 16 Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Setelah evaluasi terhadap skor PPH konsumsi pangan di wilayah, selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi (target) skor PPH yang akan dicapai. Penyusunan proyeksi skor PPH wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier dan acuan skor PPH 90 pada tahun 2015 sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM). Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut: Analisis Situasi Konsumsi Aspek Kuantitatif 1. Angka kecukupan energi (AKE) 2. Angka kecukupan Protein (AKP) Aspek Kualitatif Skor PPH (Pola Pangan Harapan) Proyeksi Konsumsi Pangan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Jumlah penduduk Rumusan Rekomendasi Teknis Keterangan gambar : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua.

30 METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun 2010 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yang didasarkan pada konsumsi pangan penduduk masih kurang dari anjuran WNPG 2004 yaitu 2000 kkal/kap/hr. Hal ini ditunjukkan dengan konsumsi pangan di Provinsi Papua pada tahun 2007 adalah 1984 kkal/kapita/hari dengan skor PPH yaitu 80.9 (BPS 2008). Kegiatan penelitian ini mencakup interpretasi data, rekapitulasi data, pengolahan dan analisis data di lakukan di Bogor, Jawa Barat mulai dari bulan Mei- Juli Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder yang meliputi data karakteristik wilayah, konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan, dan jumlah penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data karakteristik wilayah adalah keadaan umum wilayah Provinsi Papua tahun Data konsumsi pangan hasil survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS) yang digunakan adalah rata-rata kuantitas konsumsi pangan per kapita/ minggu menurut jenis dan kelompok makanan serta golongan pengeluaran penduduk di Provinsi Papua tahun dan data jumlah penduduk diperoleh dari jumlah penduduk tengah tahun Provinsi Papua ( ) diperoleh dari jenis, tahun, sumber data, dan instansi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumber data penelitian No. Jenis data Tahun Sumber data Instansi 1 Karakteristik Keadaan umum 2010 wilayah wilayah BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan Data Susenas BPS, Jakarta 3 Jumlah Penduduk Papua Dalam dan proyeksi Angka penduduk BPS, Jakarta Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan analisis data dilakukan dengan metode statistik deskriptif menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan software program simulasi

31 18 analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah (Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati 2005). Berikut ini uraian secara rinci pengolahan dan analisis data pada setiap bagian. Analisis Situasi Konsumsi Pangan Analisis situasi konsumsi pangan ada dua analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitataif. Aspek kuantitas yaitu mengamati tingkat kecukupan energi sedangkan aspek kualitas yaitu mengamati skor pola pangan harapan (PPH). Analisis konsumsi secara kuantitatif Analisis kuantitatif dilakukan terhadap Konsumsi Pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan konsumsi protein penduduk Indonesia adalah 52 gram/kap/hari. Jumlah konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai berikut : TKE = [(Konsumsi energi aktual)/(angka kecukupan energi)] x 100% TKP = [(Konsumsi protein aktual)/(angka kecukupan protein)] x 100% Analisis konsumsi secara kualitatif Kualitas konsumsi pangan dicerminkan oleh keanekaragaman secara seimbang. Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Selain itu, acuan yang digunakan standar pelayanan minimum (SPM) dengan skor PPH 90 pada tahun 2015 (Tabel 3).

32 19 Tabel 3 Standar ideal dan target SPM tahun 2015 No Kelompok Pangan Ideal SPM % AKE Skor PPH % AKE Skor PPH 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Sumber: DKP, 2006 Langkah-langkah pengolahan dan analisis data konsumsi dengan menggunakan software Program Analisis Situasi dan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah meliputi: 1. Pengelompokan Pangan Data pangan yang dikonsumsi rumah tangga dikonversikan dalam satuan dan jenis komoditas yang disepakati dan dikelompokkan menjadi 9 kelompok meliputi: a. Padi-padian (beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya). b. Umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu dan hasil olahannya). c. Pangan hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan dan hasil olahannya). d. Minyak dan lemak (minyak kacang tanah, minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan lemak). e. Buah/biji berlemak (kelapa, kemiri, kenari, mete, coklat). f. Kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang lain serta olahannya). g. Gula (gula pasir, gula merah, sirup). h. Sayur dan buah (semua sayur dan buah serta hasil olahannya). i. Lain-lain (bumbu dan minuman). 2. Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan dan total konsumsi Perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi dilakukan dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Selanjutnya dijumlahkan berdasarkan kelompok pangannya. Total energi dari seluruh konsumsi pangan merupakan angka komposisi energi wilayah Papua.

33 20 3. Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan terhadap total konsumsi energi. Kontribusi energi tiap kelompok pangan terhadap total konsumsi energi dilakukan dengan membagi energi masing-masing kelompok pangan dengan jumlah total energi dikalikan dengan 100%. 4. Menghitung tingkat kecukupan energi (%AKE) Tingkat kecukupan energi wilayah diperoleh dari perbandingan jumlah total konsumsi energi terhadap AKE dikalikan 100%. Nilai ini menggambarkan keadaan wilayah. Kontribusi konsumsi energi aktual dari tiap kelompok pangan terhadap AKE juga dihitung dan akan digunakan untuk mengitung skor PPH. 5. Menghitung skor PPH Langkah-langkah menghitung PPH adalah : 1. Dari kesembilan kelompok pangan tersebut dihitung nilai total konsumsi energinya. 2. Menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan, dengan berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG 2004, yaitu : % AKE = [(Energi kelompok pangan)/2000] x 100% 3. Selanjutnya dengan mengalikan hasil persentase langkah kedua dengan rating/bobot akan diperoleh skor dari masing-masing kelompok pangan. Setiap kelompok pangan memeliki skor maksimum. Apabila skor melebihi range optimal, akan digunakan skor maksimal dalam range tersebut. 4. Menjumlahkan semua skor dari kelompok pangan sehingga akan diketahui skor PPH mutu pola konsumsi pangan. Pengelompokan pangan, skor, dan bobot yang digunakan sebagai standar PPH nasional diuraikan pada Tabel 4 berikut: Tabel 4 Pola pangan harapan Nasional No Kelompok Pangan Pola Pangan Harapan Nasional Gram/hari Energi (kkal) % AKG Bobot Skor PPH 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Sumber: DKP 2012

34 21 Analisis Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pendekatan PPH Setelah evaluasi terhadap skor PPH konsumsi pangan di wilayah, selanjutnya dilakukan penyusunan proyeksi (target) skor PPH yang akan dicapai. Provinsi Papua diharapkan mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun 2020 dan tahun 2015 sudah mencapai skor PPH 90. Sasaran acuan skor PPH 90 pada tahun 2015 sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM). Penyusunan proyeksi skor PPH wilayah sebelum tahun 2015 dapat dilakukan dengan menggunakan interpolasi linier. Titik (tahun) awal skor PPH adalah hasil perhitungan PPH aktual (2010), sedangkan proyeksi akhir skor PPH adalah skor PPH Skor PPH pangan tahun proyeksi sampai dengan 2015 dihitung dengan menggunakan interpolasi linier dengan rumus berikut: S p =S 0 + d t ((S t -S 0 )/n Dimana : S p = skor proyeksi PPH tahun p S 0 = skor PPH tahun awal tahun 2010 S t = skor target PPH tahun 2015 n= selisih tahun antara tahun 2015 dengan tahun awal d t = selisih waktu antara tahun yang dicari dengan tahun awal Analisis Kebutuhan Pangan Wilayah Berdasarkan Pendekatan PPH Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH dihitung dengan menggunakan rumus: Proyeksi kebutuhan penduduk (Kg/Kap/Hari) Kebutuhan pangan = konsumsi (gr/kap/hari) x 365 hari x 110% penduduk (Kg/Kap/th) 1000 Proyeksi kebutuhan wilayah (Ton/Tahun) Kebutuhan pangan = kebutuhan pangan pddk (kg/kap/th) x Jumlah penduduk wilayah (ton/tahun) 1000 Proyeksi jumlah penduduk dengan pendekatan ekstrapolasi atau trend berdasarkan perkembangan pertumbuhan untuk meramalkan pada tahun t adalah: P t = P 0 x (1 + L) (t 0) Keterangan : P 0 = jumlah penduduk tahun dasar

35 22 0 = tahun dasar L = laju pertumbuhan penduduk T = tahun yang dicari Definisi Operasional Situasi Konsumsi Pangan adalah keadaan atau kondisi pangan disuatu wilayah berdasarkan aspek kuantitas (tingkat kecukupan energi dan protein) dan aspek kualitas (skor PPH). Tingkat kecukupan Energi adalah rasio yang dinyatakan dalam persen antara rasio asupan energi aktual dengan angka kecukupan energi yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia mengacu pada AKG berdasarkan WNPG Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi setiap kelompok pangan utama dari konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.. Proyeksi Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang diduga di konsumsi penduduk di suatu wilayah agar tercapai pola pangan ideal pada tahun tertentu. Proyeksi Kebutuhan Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang disediakan agar sesuai dengan kebutuhan pangan penduduk di suatu wilayah.

36 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi Samudera Pasifik, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (BPS 2011). Ketinggian wilayah di Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut ketinggian wilayah Papua berkisar antara meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan ketinggian terendah yaitu 4 mdpl. Berdasarkan keadaan topografi, wilayah pesisir Papua umumnya merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara mdpl (BPS 2011). Seperti provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua memiliki iklim tropis yang di pengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2010, hujan turun setiap bulannya dengan jumlah hari dan curah hujan masing-masing 202 hari dan mm. suhu udara di Papua berkisar antara 14,8 0 C-32,1 0 C dan tekanan udara 834, ,3 mb. Sedangkan kelembaban udara rata-rata persen dengan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Curah hujan yang relatif tinggi dan wilayah yang dimiliki sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkannya sektor pertanian di Papua mengingat hampir 30 persen perekonomian tanpa tambang berasal dari sektor tersebut (BPS 2011). Provinsi Papua mempunyai kelembaban relatif tinggi dimana pada tahun 2010 rata-rata kelembaban udara berkisar antara 77 persen (Kabupaten Jayawijaya- stasiun Wamena) dan 86 persen (Nabire) sedangkan tekanan udara antara 834, ,3 mb dan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Jumlah gempa bumi yang dirasakan di Papua selama tahun 2010 sebanyak 82 kali, lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 60 kali (BPS 2011). Peta papua dapat dilihat pada Lampiran 1. Demografi dan Sosial Ekonomi Provinsi Papua merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu ,05 km 2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Marauke merupakan

37 24 kabupaten/kota terluas (56,84 persen) dan kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Papua sebanyak jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi Papua sebanyak jiwa (53,15 persen) dan perempuan sebanyak jiwa (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio) terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di Kabupaten Dogiyai sebesar 102 (BPS 2011). Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tolikara adalah tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk Papua massih berpusat di Kota Jayapura (BPS 2011). Kepadatan penduduk di Provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Dengan luas wilayah ,89 km 2, kepadatan penduduk di Papua hanya 4 jiwa per km 2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 327 jiwa per km 2, sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Marauke yakni kurang dari 1 jiwa per km 2. Penduduk Papua berdasarkan kelompok umur ternyata didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun). Kecilnya proporsi penduduk usia tua (kelompok usia 55 tahun ke atas) menunjukkan bahwa tingkat kematian penduduk usia lanjut sangat tinggi. Ini berarti bahwa angka harapan hidup di Papua masih rendah (pada tahun 2009, angka harapan hidup di Papua 68,35 tahun). Selain itu, komposisi penduduk seperti diatas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) di Papua cukup tinggi, yaitu persen (BPS 2011). Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan

38 25 antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990). Sumber pangan spesifik lokal Papua seperti ubi jalar, talas, gembili, sagu, dan jawawut telah dibudidayakan oleh masyarakat asli Papua secara turun temurun. Komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat Papua. Husain (2004) menyatakan, pangan lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (suatu wilayah/ daerah tertentu) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Dengan demikian, pangan lokal Papua adalah pangan yang diproduksi di Papua dengan tujuan ekonomi atau produksi. Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung pengembangan komoditas pertanian, terutama komoditas pangan spesifik lokal. Namun, pengembangan komoditas tersebut tidak merata di dataran Papua, kecuali ubi jalar yang dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Selain ubi jalar, sagu juga merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua, terutama yang berdomisili di dataran rendah atau di pesisir pantai atau danau. Sagu tumbuh baik pada daerah rawa, meskipun dapat pula tumbuh di daerah kering. Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki hutan sagu terluas di Indonesia. Widjono et al. (2000) menemukan 61 aksesi sagu melalui survei yang dilakukan di daerah Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Jumlah aksesi tersebut masih memungkinkan bertambah karena survei baru dilakukan di sebagian wilayah potensial sagu di Papua. Sumber pangan alternatif yang beragam di Papua, mulai dari umbiumbian, serealia, buah-buahan, dan bahkan tanaman obat dapat menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat setempat sehingga terhindar dari kekurangan gizi (malnutrition) atau kelaparan. Namun, sosialisasi pemanfaatan sumber pangan alternatif tersebut belum dilakukan secara bijak dan berkelanjutan. Selain itu, masyarakat mulai bergantung pada sumber pangan beras karena selain enak juga mudah diperoleh. Hal tersebut merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah yang hanya terfokus pada terjaminnya ketersediaan beras. Kebijakan tersebut tanpa disadari telah mengubah menu karbohidrat masyarakat dari nonberas ke beras, terutama pada daerah yang secara tradisional mengonsumsi pangan bukan beras, seperti kawasan timur Indonesia (Budi 2003).

39 26 Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua Pembangunan di Provinsi Papua yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dilakukan melalui kegiatan pembangunan di berbagai sektor bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk mewujudkan keadaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penting dan mendasar adalah faktor pangan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, dan sagu. Pangan lokal tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar dan talas sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas. Menurut Hardinsyah et al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Namun, analisis konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap aspek kualitas konsumsi. Kualitas konsumsi dapat dinilai dari aspek komposisi atau keragaman dan mutu gizi pangan dikonsumsi. Analisis kualitas konsumsi pangan atau skor mutu konsumsi dapat dilakukan menggunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH maka semakin beragam dan berimbang pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu analisis situasi konsumsi pangan Provinsi Papua dilakukan dengan mengamati analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

40 27 Kuantitas Konsumsi Pangan Analisis kuantitatif dilakukan terhadap konsumsi pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Konsumsi Energi Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya, diantaranya menurunkan produktifitas kerja, kecerdasan, dan imunitas. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004 menetapkan konsumsi kalori per kapita per hari adalah 2000 kkal. Konsumsi energi menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan. Tabel 5 Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi energi pada tahun 2008 menurut kelompok pangan padi-padian adalah 1060 kkal/kap/hr (53.0 %AKE), umbiumbian adalah 92 kkal/kap/hr (4.6 %AKE), pangan hewani adalah 222 kkal/kap/hr (11.1 %AKE), minyak/lemak adalah 241 kkal/kap/hr (12.1 %AKE), buah/ biji berminyak adalah 29 kkal/kap/hr (1.5 %AKE), kacang-kacangan adalah 52 kkal/kap/hr (2.6 %AKE), gula adalah 106 kkal/kap/hr (5.3 %AKE), sayur dan buah adalah 81 kkal/kap/hr (4.1 %AKE), dan pangan lainnya adalah 26 kkal/kap/hr (1.3 %AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi mengalami penurunan menurut kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan

41 28 hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Kemudian konsumsi energi menurut kelompok pangan meningkat kembali pada tahun Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kelompok pangan padipadian lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pangan umbi-umbian di wilayah perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh preferensi pangan masyarakat terutama di wilayah perkotaan yang masih memilih padi-padian sebagai makanan pokok sumber energi dalam hal ini adalah beras. Dimana masyarakat perkotaan di Provinsi Papua lebih di dominasi oleh pendatang dari luar Papua yang terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan lainnya (BPS 2011). Tabel 6 Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, gula, dan pangan lainnya mengalami penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai Kelompok pangan umbi-umbian masih mendominasi dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya dari tahun 2008 sampai tahun Hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan Papua yang dominan adalah penduduk asli Papua yang masih mengutamakan konsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi. Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah, pangan lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, dan gula mengalami

42 29 penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai Hal ini diduga karena adanya keterbatasan untuk membeli bahan pangan, faktor sosial budaya, dan preferensi masyarakat terhadap pangan (Wahidah 2005). Tabel 7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Papua mengalami flutuatif dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1910 kkal/kap/hr, 1807 kkal/kap/hr, dan 1879 kkal/kap/hr. Pertumbuhan konsumsi energi di wilayah perkotaan mengalami penurunan 15.5 kkal/kap/hr (0.68%). Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan konsumsi energi di Provinsi Papua maupun nasional pada tahun 2009 (DKP 2012). Tabel 8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Konsumsi Tingkat Kecukupan Wilayah Pertumbuhan kkal/kap/hr %AKE* kkal/kap/hr %AKE % Perkotaan Pedesaan Perkotaan+Pedesaan *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Secara kuantitas tingkat kecukupan energi di perkotaan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.5 %AKE, 90.4 %AKE, dan 94.0 %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan Papua dan perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan Papua. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 1976 kkal/kap/hr (98.8 %AKE), 1891 kkal/kap/hr (94.6 %AKE), dan 1884 kkal/kap/hr (94.2 %AKE) (DKP 2012). Konsumsi energi di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 60.5 kkal/kap/hr (3.16%). Peningkatan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. Konsumsi energi di wilayah

43 30 pedesaaan tahun 2010 melebihi rekomendasi WNPG Hal ini diduga karena aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar sehingga seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Di wilayah pedesaan tingkat kecukupan energi dari tahun 2008 sampai 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.2 %AKE, 99.6 %AKE, dan %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan Papua dan pedesaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di pedesaan Indonesia cenderung menurun dibandingkan dengan pedesaan Papua. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi di wilayah pedesaan mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. sedangkan tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah pedesaan mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2095 kkal/kap/hr (104.8 %AKE), 1961 kkal/kap/hr (98.1 %AKE), dan 1966 kkal/kap/hr (98.3 %AKE) (DKP 2012). Tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Papua mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1906 kkal/kap/hr, 1950 kkal/kap/hr, dan 1993 kkal/kap/hr. Namun tidak demikian dengan tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2038 kkal/kap/hr (101.9 %AKE), 1927 kkal/kap/hr (96.4 %AKE), dan 1926 kkal/kap/hr (96.3 %AKE) (DKP 2012). Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan+ pedesaan Papua dan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan+ pedesaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan+ pedesaan Papua. Menurut Regmi dan Dyck (2001) terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara pedesaan dan perkotan adalah perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit sedangkan aktivitas penduduk di pedesaan umumya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa

44 31 ataupun prestise, sehingga alokasi pangan lebih pada pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Konsumsi Protein Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah & Matianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi. Kecukupan protein menurut WNPG 2004 adalah 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan. No Tabel 9 Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 Kelompok Pangan g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai 2010 berada di atas standar nasional sebesar 52 gramkapita/hari yaitu pada tahun 2008 adalah 56.0 gram/kapita/hari (107.6%), 53.9 gram/kapita/hari (103.7%) pada tahun 2009, dan 57.6 gram/kapita/hari (110.7%) pada tahun Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan masih didominasi oleh padi-padian dan pangan hewani dari

45 32 tahun 2008 sampai tahun Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan. Menurut Pudjiadi (2001), protein hewani lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan protein nabati. Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2005). Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 13.9 g/kap/hr (26.7 %AKP), umbi-umbian adalah 4.9 g/kap/hr (9.5 %AKP), pangan hewani adalah 14.4 g/kap/hr (27.7 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.1 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.6 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.3 g/kap/hr (10.2 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.4 g/kap/hr (8.5 %AKP), dan pangan lainnya adalah 0.9 g/kap/hr (1.7 %AKP). No Tabel 10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 Kelompok Pangan g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan yaitu pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Rendahnya konsumsi protein hewani di pedesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan terbatas, masyarakat di wilayah pedesaan Papua lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu masyarakat telah merasa cukup atau

46 33 kebutuhan pangan hewani sudah terpenuhi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh preferensi pangan dan pendapatan masyarakat terutama di wilayah pedesaan (Wahidah 2005). Tabel 11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 16.3 g/kap/hr (31.3 %AKP), umbi-umbian adalah 3.9 g/kap/hr (7.6 %AKP), pangan hewani adalah 15.7 g/kap/hr (30.3 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.2 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.7 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.2 g/kap/hr (10.1 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.2 g/kap/hr (8.1 %AKP), dan pangan lainnya adalah 1.0 g/kap/hr (2.0 %AKP). Kemudian tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan pangan padi-padian, umbiumbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan (Tabel 12). Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demkian penduduk akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam. Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi protein di perkotaan+pedesaan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 cenderung fluktuatif namun konsumsi protein masih kurang dari 52 gram/kapita/hari. Pada tahun 2008 konsumsi

47 34 protein adalah 46.9 gram/kap/hari atau mencapai 90.2 %AKP. Kemudian meningkat pada tahun 2009 yaitu 49.7 gram/kap/hari atau mencapai 95.7 %AKP dan konsumsi protein menurun pada tahun 2010 yaitu 48.1 gram/kap/hari atau mencapai 92.7 %AKP dengan pertumbuhan 0.60 g/kap/hr (1.48%). Tabel 12 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Konsumsi Tingkat Kecukupan Wilayah Pertumbuhan gram/kapita/hari %AKP* g/kap/hr %AKP % Perkotaan Pedesaan Perkotaan+Pedesaan *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Konsumsi protein di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 melebihi angka kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah perkotaan adalah 56.0 gram/kapita/hari atau %AKP. Pada tahun 2008 tingkat kecukupan protein menurun dari tahun Meskipun demikian tingkat kecukupan protein di wilayah perkotaan masih melebihi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 59,2 gram/kapita/hari atau persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah perkotaan meningkat kembali pada tahun 2010 sebesar 57.6 gram/kapita/hari atau persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan tahun adalah 0.80 g/kap/hr (1.56%). pertumbuhan konsumsi protein di wilayah perkotaan setiap Konsumsi protein di wilayah pedesaan belum mencukupi angka kecukupan protein sebesar 52 gram/kapita/hari dari tahun 2008 sampai tahun Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah pedesaan adalah 44.2 gram/kapita/hari atau 85.0 persen dari angka kecukupan protein. Tingkat kecukupan protein pada tahun 2009 meningkat dari tahun Meskipun demikian masih belum mencukupi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 48.5 gram/kapita/hari atau 93.3 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah pedesaan menurun kembali pada tahun 2010 sebesar 45.3 gram/kapita/hari atau 87.0 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan laju pertumbuhan konsumsi protein di wilayah pedesaan setiap tahun adalah 0.55 (1.51%). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan Papua lebih tinggi dari pada konsumsi protein di wilayah pedesaan

48 35 Indonesia. Hal ini juga didukung dengan konsumsi protein di wilayah perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan perkotaan (DKP 2012). Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan daya beli penduduk dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam dan lebih banyak dibandingkan di desa. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Menurut Hardinsyah, Madanijah, dan Baliwati (2002) Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosiobudaya dan religi. Kualitas Konsumsi Pangan Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas konsumsi pangan penduduk melalui pendekatan PPH dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya. FAO-RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya (Baliwati 2007). Melalui pendekatan PPH mutu atau kualitas konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Menurut Anwar (1996), disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah derajat kesehatan penduduk lebih terjamin karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi. Menurut Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. komposisi/ susunan komposisi ideal yang dianjurkan untuk tingkat konsumsi adalah padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Susunan pangan sesuai kaidah PPH

49 36 sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan. Kualitas konsumsi pangan di Provinsi Papua dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan pada tahun 2008, 2009, dan Tabel 13 menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan+ pedesaan mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah 78.7 pada tahun 2008, tahun 2009 adalah 80.8, dan tahun 2010 adalah 81.0 dengan pertumbuhan setiap tahun adalah 1.46%. Skor Pola Pangan Harapan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 83.2, 80.8, dan 88.2 dengan pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 3.14%. Tabel 13 Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Wilayah Skor PPH Pertumbuhan % Perkotaan Pedesaan Perkotaan+ Pedesaan Skor Pola Pangan Harapan di wilayah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah perkotaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah 76.5, 80.2, dan 78.6 dengan laju pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 1.42%. Hal ini menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan belum ideal disebabkan oleh kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi (kualitas konsumsi pangan) penduduk di Provinsi Papua. Apabila dibandingkan dengan skor PPH Papua dengan Indonesia, dapat diketahui bahwa skor PPH Papua lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia Hal ini ditunjukkan dengan skor PPH Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 81.9, 75.7, dan 77.5 (DKP 2012). Menurut Baliwati (2007) semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Secara rinci skor PPH menurut jenis pangan terdapat pada Lampiran 2. Dari hasil analisis dengan pendekatan PPH yang perlu digarisbawahi adalah kelompok pangan umbi-umbian telah mencapai skor maksimal baik di

50 37 wilayah perkotaan maupun di pedesaan Papua. Konsumsi ideal dari kelompok pangan ini adalah 6.0% dari angka kecukupan dan skornya 2.5. Atas dasar alasan tersebut maka dikatakan bahwa konsumsi pangan di Provinsi Papua belum mencapai jumlah yang ideal. Menurut Martianto dan Ariani (2004), konsumsi yang masih di bawah konsumsi harapan memerlukan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan guna mencapai pola pangan ideal. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis pangan bermutu dengan harga terjangkau. Tabel 14 Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua tahun No Kelompok pangan %AKE %AKE Pertumbuhan ideal % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Tabel 14 menunjukkan bahwa kontribusi energi meningkat dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 dengan pertumbuhan 2.28 persen setiap tahun. Kontribusi energi dari kelompok umbi-umbian masih mendominasi konsumsi penduduk dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 26.3 %AKE, 26.6%AKE, dan 29.9 %AKE. Oleh karena itu, pertumbuhan kontribusi energi kelompok pangan umbi-umbian harus diturunkan sebesar 6.77 persen setiap tahun agar mencapai kontribusi energi ideal. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) dan umbi-umbian merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu dan umbi-umbian tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang dan nasi.

51 38 Kontribusi energi kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lain-lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 5.91%, 8.63%, 4.07%, 5.90%, dan 3.17%. Namun kontribusi energi dari kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lainlainnya masih belum sesuai dengan kontribusi ideal masing-masing kelompok pangan tersebut. Kontribusi energi dari kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 1.43%, 2.11%, dan 11.54%. Menurut Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai pola pangan harapan (PPH), maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Tabel 15 Skor PPH menurut kelompok pangan Provinsi Papua tahun No Kelompok pangan Skor PPH Pertumbuhan Ideal % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Tabel 15 menunjukkan bahwa skor PPH di Provinsi Papua meningkat dari tahun 2008 sampai dengan 2010 masing-masing adalah 78.7, 80.8, dan Namun peningkatan skor PPH tersebut masih jauh dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90 yang berarti masih kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi penduduk di Provinsi Papua. Hal ini ditunjukkan dengan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, gula, sayur dan buah masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun Skor PPH kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 1.02%, 7.95%, 2.28%, dan 5.32%, namun skor PPH masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan penduduk agar mencapai pola konsumsi pangan sesuai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 (PPH=90), maka diperlukan upaya-upaya yang lebih serius. Upaya-

52 39 upaya tersebut adalah tidak hanya pada sisi penyediaan, tetapi harus dapat langsung mempengaruhi perbaikan mutu gizi penduduk/ masyarakat, diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Melalui peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya akan lebih baik, sehingga dapat memilih jenis-jenis pangan bermutu gizi tinggi dengan harga terjangkau. Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Apabila evaluasi terhadap skor mutu gizi pangan daerah sudah dilakukan, maka pada tahap selanjutnya dilakukan penyusunan target (proyeksi) skor PPH yang akan dicapai. Skor PPH dan komposisi PPH ini menggambarkan mutu gizi dan komposisi pangan yang akan dicapai. Berdasarkan Renstra Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, diharapkan secara nasional Indonesia mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun Proyeksi pangan ideal yang dimaksud dalam analisis ini adalah tercapainya konsumsi yang baik secara kuantitas dan kualitas yang digambarkan dengan tercapainya target skor PPH pada tahun 2015 adalah 90 sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Tabel 16 menunjukkan bahwa skor PPH Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya hingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun Penyusunan proyeksi skor PPH Provinsi Papua dari tahun 2010 sampai tahun 2015 dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi linear. Interpolasi linear juga dilakukan terhadap komposisi pangan. Dengan demikian peningkatan skor PPH setiap tahun akan meningkatkan proporsi setiap kelompok pangan secara bertahap. Tabel 16 Proyeksi Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi Papua berdasarkan konsumsi pangan tahun dasar 2010 Tahun No Kelompok pangan Dasar Proyeksi skor PPH Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Konsumsi pangan yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian (4.32%), pangan hewani (3.00%), buah/biji berminyak (10.19%), gula (2.86%), serta sayur dan buah (0.71%). Karena tidak satupun

53 40 jenis makanan yang mengandung secara lengkap zat gizi pada menu makanan untuk konsumsi pangan penduduk yang beragam dan sesuai kebutuhan. Sedangkan skor PPH telah mencapai maksimal atau ideal adalah kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) telah memenuhi skor ideal. Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa pertumbuhan proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya setiap tahun adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacangkacangan, gula, sayur dan buah, dan kelompok pangan lainnya masing-masing adalah 4.26 persen, 3.10 persen, persen, 2.91 persen, 1.88 persen, 0.71 persen, dan persen agar mencapai kontribusi energi ideal. Hal lain yang perlu di perhatikan dan di waspadai adalah konsumsi pangan sumber minyak dan lemak yang sudah berlebih. Kelebihan pangan ini akan membawa dampak negatif pada kesehatan terutama penyakit degenerative seperti tekanan darah tinggi, jantung, dan lain sebagainya. Tabel 17 Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan (%) Tahun Kontribusi Energi terhadap AKE No Kelompok pangan Dasar (%AKE) Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Proyeksi kontribusi energi kelompok umbi-umbian adalah 29.9% pada tahun 2010 (tahun dasar) melebihi proporsi ideal (Tabel 17), sehingga dilakukan proyeksi untuk mencapai kontribusi ideal umbi-umbian (6.0%) mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk/ masyarakat di Provinsi Papua terutama di wilayah pedesaan bermata pencaharian sebagai petani atau berkebun dengan tanaman umbi sebagai salah satu komoditas sebagai makanan pokok. Selain itu juga menunjukkan arah positif karena konsumsi energi tidak hanya bergantung pada kelompok padi-padian saja

54 41 sehingga dapat dikatakan konsumsi pangan penduduk telah mengarah pada konsumsi pangan yang beragam. Skor kelompok pangan padi-padian diproyeksikan meningkat setiap tahun sebesar 0.8. Pada tahun 2010 skor padi-padian mencapai 17.0 dengan proporsi konsumsi energi 34.1%. untuk mencapai skor PPH 90 sesuai Standar Pelayanan Mimimum (SPM) pada tahun 2015 maka skor padi-padian adalah 21.0 dengan proporsi konsumsi energi adalah 42.0%. Peningkatan skor pangan hewani diproyeksikan 0.6 per tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 18.2 dengan proporsi konsumsi energi adalah 9.1%. Skor pangan hewani pada tahun 2015 adalah 21.1 dengan kontribusi energi 10.6% sehingga proporsi sesuai standar pelayanan minimum (SPM) yaitu 10.8% dapat terpenuhi pada tahun Sedangkan skor pangan minyak dan lemak setiap tahun adalah stabil yaitu 5.0 dengan proporsi sesuai SPM yaitu 9% pada tahun Peningkatan skor pangan buah/biji berminyak diproyeksikan 0.1 per tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 0.5 dengan proporsi konsumsi energi adalah 1.0%. Skor pangan buah/biji berminyak pada tahun 2015 adalah 0.8 dengan kontribusi energi yaitu 2.0% sehingga proporsi sesuai SPM adalah 2.7% dapat terpenuhi pada tahun Kelompok kacangkacangan diproyeksikan terjadi peningkatan skor sebesar 0.3. pada tahun 2010 skor kacang-kacangan mencapai 7.8 dengan proporsi 3.5%. Skor kacangkacangan pada tahun 2015 adalah 8.9 dengan kontribusi energi 4.5% sehingga proporsi sesuai SPM dapat terpenuhi pada tahun Target skor dan kontribusi gula pada tahun 2010 adalah 2.0 dan 4.1%. Kelompok sayur dan buah diharapkan meningkat 0.2 sehingga skor pada tahun 2010 adalah 27.9 dan kontribusi energi sebesar 5.6%. oleh karena itu target skor dan kontribusi pada tahun 2015 masing-masing adalah 28.9 dan 5.8%. Sesuai standar pelayanan minimum (SPM) sebesar 5.4% target proporsi sudah tercapai pada tahun Kelompok pangan lain-lainnya yang mencakup minuman dan bumbu- bumbuan sangat penting peranannya dalam pola konsumsi penduduk yaitu sebagai penambah cita rasa dan pembangkit selera. Pada tahun 2010 konsumsi pangan lainnya mempunyai skor 0 (karena bobot/ratingnya 0) dengan kontribusi 0.9%. Pola konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2010 juga belum memenuhi kaidah gizi baik dari segi kuantitas, kualitas keragaman

55 42 maupun keseimbangan karena masih terjadi ketimpangan terutama pada kelebihan kelompok pangan umbi-umbian, minyak dan lemak, serta sayur dan buah sedangkan kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak,dan gula. Kondisi ini mencerminkan pola konsumsi pangan di Provinsi Papua masih didominasi oleh kelompok pangan umbi-umbian. Analisis proyeksi konsumsi pangan dari tahun 2011 sampai 2015 diharapkan meningkat setiap tahun (Tabel 18). Tabel 18 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 rata- rata konsumsi energi setiap kelompok pangan di Provinsi Papua masih dibawah standar nasional yaitu 2000 kkal/kapita/hari yaitu 1993 kkal/kapita/hari. Namun diharapkan setiap tahunnya terjadi peningkatan hingga mencapai standar nasional sebesar 2000 kkal/kapita/hari pada tahun 2020 dan mencapai standar pelayanan minimum pada tahun 2015 di Provinsi Papua sebesar 1996 kkal/kapita/hari. Tabel 18 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kkal/kapita/hari) No Kelompok Pangan Tahun dasar Proyeksi konsumsi (kkal/kap/hr) Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Pertumbuhan proyeksi konsumsi pangan umbi-umbian dan minyak/lemak harus diturunkan masing-masing 9.69 persen dan 0.98 persen setiap tahun. Hal ini disebabkan konsumsi pangan kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) sudah melebihi konsumsi ideal. Proyeksi konsumsi pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya dari tahun 2011 sampai 2015 adalah kelompok pangan padi-padian (4.29%), pangan hewani (3.01%), buah/ biji berminyak (14.12%), kacang-kacangan (2.61%), gula (2.13%), sayur dan buah (0.76%), dan pangan lainnya (17.28%). Tabel 19 berikut ini menggambarkan hasil analisis proyeksi konsumsi untuk setiap kelompok pangan dari tahun 2011 sampai Diharapkan pada tahun 2015, penduduk di Provinsi Papua mengonsumsi pangan kelompok padipadian sekitar gram/kapita/hari. Kelompok umbi-umbian sebesar gram/kapita/hari; gram/kapita/hari dari kelompok pangan hewani; 26.3

56 43 gram/kapita/hari dari kelompok minyak dan lemak; 6.7 gram/kapita/hari dari buah/biji berminyak; 31.2 gram/kapita/hari dari kelompok kacang-kacangan; 27.3 gram/kapita/hari dari kelompok gula; gram/kapita/hari dari kelompok sayur dan buah serta 9.7 gram/kapita/hari berasal dari kelompok pangan lain-lain. Tabel 19 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (gram/kapita/hari) No Kelompok Pangan Tahun dasar Proyeksi konsumsi (gram/kap/hr) Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Pertumbuhan konsumsi kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/ lemak harus diturunkan karena sudah melebihi konsumsi ideal dari kelompok pangan tersebut. Sedangkan kelompok pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta pangan lainnya masing-masing adalah 4.29 persen, 3.02 persen, persen, 2.63 persen, 2.19 persen, 0.76 persen, dan persen. Secara rinci proyeksi konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 3. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007). Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga memberi keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola

57 44 konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyah et al 2001). Kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Menurut Madanijah (2004) pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Proyeksi konsumsi pangan aktual penduduk di Provinsi Papua dari tahun 2011 sampai tahun 2015 dengan harapan pola konsumsi penduduk semakin baik, beragam dan sesuai kebutuhan gizi yang harus dikonsumsi masyarakat di Provinsi Papua (Tabel 20). Tabel 20 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kg/kapita/tahun) Tahun No Kelompok pangan dasar Kg/kapita/tahun Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Tabel 20 menunjukkan bahwa pertumbuhan kelompok pangan umbiumbian dan minyak/lemak dari tahun 2011 sampai tahun 2015 harus diturunkan sedangkan pertumbuhan untuk kelompok pangan yang lain ditingkatkan pemenuhan kebutuhan pangan secara bertahap dari tahun 2011 sampai tahun 2015 yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah. Untuk memperoleh beragam kelompok pangan maka jumlah kelompok pangan yang berlebihan diturunkan hingga mencapai standar pelayanan minimum (SPM) di tahun 2015 sehingga tercapai keseimbangan antara masing-masing kelompok pangan. Pertumbuhan kebutuhan konsumsi pangan yang harus dinaikkan setiap tahunnya adalah kelompok padi-padian 4.27%, kelompok pangan hewani 3.00%, kelompok buah/biji berlemak 14.08%, kelompok kacang-kacangan 2.59% dan pangan gula 2.15%, sayur dan buah 0.76% per tahun. Sedangkan kelompok pangan yang harus diturunkan setiap tahun adalah kelompok umbi-umbian

58 % dan kelompok minyak/lemak 0.92%. Proyeksi konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 4. Pola konsumsi pangan penduduk suatu wilayah dapat menunjukkan jenis pangan yang disukai dan dapat diterima oleh penduduk wilayah tersebut sehingga diperlukan proyeksi kebutuhan akan pangan yang dikonsumsi oleh penduduk yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk di Provinsi Papua diketahui bahwa jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah jiwa dengan laju pertumbuhan 5,39 persen per tahun. Kemudian diharapkan proyeksi penduduk meningkat dari tahun 2011 sampai tahun 2015 agar kebutuhan konsumsi pangan penduduk terpenuhi. Selanjutnya dilakukan proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun (Ribu ton/ tahun) disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan bahwa kebutuhan konsumsi pangan umbi-umbian lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi padi-padian di Provinsi Papua pada tahun 2010 (tahun dasar). Hal ini didukung dengan data produksi kelompok pangan pada tahun 2009 di Provinsi Papua yaitu kelompok pangan padi-padian adalah ribu ton/tahun sedangkan umbi-umbian adalah ribu ton/tahun (BPS 2010). Tabel 21 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua tahun (Ribu ton/ tahun) No Tahun Kelompok Ribu ton/ tahun Petumbuhan dasar pangan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacangkacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 diharapkan sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) tahun Agar mencapai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 maka dibutuhkan kelompok pangan padi-padian adalah ribu ton/tahun, umbi-umbian adalah ribu ton/tahun, pangan hewani adalah ribu ton/tahun, mnyak/lemak adalah ribu ton/tahun,

59 46 buah/ biji berminyak adalah 9.90 ribu ton/tahun, kacang-kacangan adalah ribu ton/tahun, gula adalah ribu ton/tahun, sayur dan buah adalah ribu ton/tahun, dan pangan lainnya adalah ribu ton/tahun. Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua berdasarkan laju pertumbuhan kelompok pangan umbi-umbian harus diturunkan kebutuhan konsumsi pangannya setiap tahun sekitar 4.82% sedangkan kelompok pangan seperti padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah harus ditingkatkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan agar sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun Menurut Budi (2003) komoditas pangan umbi-umbian terutama ubi jalar dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun menunjukkan bahwa kelompok pangan yang harus ditingkatkan yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah dengan pemenuhan kebutuhan konsumsinya adalah 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.6%, dan 6.2% per tahun. Kualitas pangan dan keragaman pangan yang dikonsumsi penduduk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi Papua tahun 2011 sampai tahun Secara rinci proyeksi kebutuhan konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 4.

60 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis situasi konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua menunjukkan bahwa konsumsi energi penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2010 adalah 1993 kkal (99.6 %AKE) dan konsumsi protein adalah 48.1 gram/kapita/hari (92.7 %AKP). Secara kuantitas konsumsi energi dan protein penduduk di Provinsi Papua masih dibawah standar WNPG Demikian juga skor PPH pada tahun 2010 adalah 81.0 masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90. Hasil analisis proyeksi skor Pola Pangan Harapan di Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya sehingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun Hasil analisis proyeksi konsumsi pangan di Provinsi Papua yang masih perlu ditingkatkan konsumsi pangannya adalah kelompok pangan padi-padian (4.3%), kelompok pangan hewani (3.0%), kelompok buah/biji berlemak (13.9%), kelompok kacang-kacangan (2.6%), kelompok pangan gula (2.2%), dan kelompok pangan sayur dan buah (0.7%). Hasil analisis proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua tahun menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan kelompok pangan yang masih harus ditingkatkan yaitu kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, kacang-kacangan, gula serta sayur dan buah masing-masing dinaikkan 9.9%, 8.5%, 4.4%, 0.8%, 8.1%, 7.65%, dan 6.2% per tahun. Saran Hasil analisis situasi konsumsi pangan di Provinsi Papua masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 sehingga perlu adanya upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan penduduk agar mencapai pola konsumsi pangan yang ideal, dan dianalisis lebih lanjut menggunakan data ketersediaan pangan sehingga dapat mendukung perencanaan ketersediaan pangan dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk penyusunan NBM di Provinsi Papua. Perlu adanya penyuluhan dalam rangka gerakan sadar pangan dan gizi sehingga konsumsi pangan masyarakat mengarah pada beragam, bergizi, dan berimbang sehingga skor PPH (90) sesuai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 tercapai.

61 48 Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang penting mengenai situasi dan kebutuhan konsumsi pangan di Provinsi Papua sehingga informasi yang dihasilkan juga diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah Provinsi Papua dalam menyusun kebijakan dan implementasi program di bidang pangan dan gizi.

62 DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Povinsi Papua Papua dalam angka. Papua: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. [BPS] Badan Pusat Statistik Povinsi Papua Papua dalam angka. Papua: Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. [WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Ketahanan Pangan dan Gizi, Di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI Absari, UD Perencanaan Produksi Pangan berdasarkan Daya Dukung Pangan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Penduduk di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anwar, DH Proyeksi permintaan pangan di Nusa Tenggara Timur tahun 2005 [Tesis]. Bogor; Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apomfires Frans Makanan pada Komunitas Adat JAE. [3 Juli 2012] Baliwati YF dan Roosita K Sistem Pangan dan Gizi. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani M, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Budi, I.M Pemanfaatan gandum Papua (pokem) sebagai sumber pangan alternatif untuk menunjang ketahanan pangan masya- rakat Papua. hlm Dalam Y.P. Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua. Kerja Sama Universitas Papua dengan Pemerintah Provinsi Papua. Depkes RI Panduaan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Kesehatan Keluarga

63 50 Dwidjowijoto RN Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang: Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Gramedia. FAO-RAPA Report of Regional Expert Consultation of the Asian Network for Food and Nutrition on Nutrition Urbanization. Bangkok. Food and Agriculture Organizations, Regional Office for Asia and the Pasific (FAO-RAPA), 2-5 may Hardinsyah, Baliwati Y.F, Martianto D, Rahman H.S, Widodo A, dan Subiyakto Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Bogor. Pusat Studi Kebijakan dan Gizi (PSKPG-IPB), Lembaga Penelitian IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP) Departemen Pertanian., D. Martianto Menaksir kecukupan Energi dan Protein Serta Penilaian Menu Gizi Konsumsi Pangan. Jakarta: Wisari., S. Madanijah dan Y.F. Baliwati Analisis Neraca Bahan Makanan dan Pila Pangan Harapan untuk Perencanaan Ketersediaan Pangan. PSKPG-IPB dan Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Departemen Pertanian RI. Jakarta Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan penduduk menurut strata ekonomi dan wilayah di Indonesia [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Measurement and Determinats of Food Diversity: Implications for Indonesia s Food and Nutritional Policy [Disertasi]. Medical School, University of Queensland. Brisbane. Hariyadi P Menuju kemandirian pangan: Ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal. Dalam: Ketahanan Pangan sebagai Fondasi Ketahanan Nasional. Southeast Asian Food an Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB, Bogor. Heryatno Y, Baliwati YF, Martianto D, Herawati T Panduaan penggunaan aplikasi komputer analisis situasi dan kebutuhan konsumsi pangan wilayah. Bogor: Pusat Konstruksi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, dan Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Kelurga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Husain Konsep dasar potensi pengembangan pangan spesifik lokal di Provinsi Papua. hlm Dalam. Y.P. Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua. Kerja Sama Universitas Papua dengan Pemerintah Provinsi Papua. Kepas Analisis Agro-ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya: Kasus enam desa. Kelompok Penelitian Agroekosistem. Badan Penelitian dan Pengembangan Penelitian. Khumadi M Gizi Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia

64 Gizi Masyarakat (Bahan Pengajaran). PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Madanijah S Pola Konsumsi Pangan. Dalam Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Mahfi T Analisis situasi pangan dan gizi untuk perumusan kebijakan operasional ketahanan pangan dan gizi Kabupaten Lampung Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Martianto D dan Ariani M Analisis konsumsi pangan rumah tangga. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Mei. LIPI, Jakarta. Pudjiadi, S Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Ed 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi dan Kantor Menteri Urusan Pangan Peta Keanekaragaman Pangan Nasional. Bogor. IPB Press Rimbawan Teknik Pengukuran Mutu Pangan dalam Penelitian Pangan dan Gizi Masyarakat. Makalah disajikan dalam Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Direktorat Jenderal Pedidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Saliem et. al Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Jakarta: Pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Sanjur Social And Cultural Perspection In Nutrition. New York. Prentice Hall, Inc. Englewood. Suhardjo Sosio Budaya Gizi, Hidayat Syarief, penelaah. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Suryana, A Tantangan dan kebijakan ketahanan pangan. Dalam Pemberdayaan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi (Ed) Hardinsyah, A Rahardjo, D. Martianto, M.N. Andrestian. Jakarta: Pusat studi kebijakan pangan dan gizi, Agrindo Aneka Consult. Wahiah Hubungan Faktor-Faktor Social Budaya Dengan Konsumsi Makanan Pokok Rumah Tangga Pada Masyarakat Di Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawiya, Semarang Widjono, A., Y. Mokay, Amisnaipa, H. Lakuy, A. Rouw, A. Resubun, dan P. Wihyawari Jenis-jenis Sagu Beberapa Daerah Papua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

65 LAMPIRAN

66 Lampiran 1 Peta Provinsi Papua 53

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2 0 25-9 0 Lintang Selatan dan 130 0-141 0 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan

Lebih terperinci

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya (BKP, 2013). Menurut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan esensial dan komoditas paling strategis dalam kehidupan manusia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia. Ketahanan pangan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang Indonesian Journal of Disability Studies ISSN : - Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang * Agustina Shinta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya, Malang,

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS POLA KONSUMSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Menurut Balitbang (2008), Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN KABUPATEN NGANJUK BERDASARKAN ANGKA KECUKUPAN ENERGI DAN POLA PANGAN HARAPAN WILAYAH MUHAMMAD DIKFA NURHADI PURADISASTRA

ANALISIS KETAHANAN PANGAN KABUPATEN NGANJUK BERDASARKAN ANGKA KECUKUPAN ENERGI DAN POLA PANGAN HARAPAN WILAYAH MUHAMMAD DIKFA NURHADI PURADISASTRA ANALISIS KETAHANAN PANGAN KABUPATEN NGANJUK BERDASARKAN ANGKA KECUKUPAN ENERGI DAN POLA PANGAN HARAPAN WILAYAH MUHAMMAD DIKFA NURHADI PURADISASTRA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015

LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015 LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015 PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BADAN KETAHANAN PANGAN Jl. Panglima Batur Timur Banjarbaru Kalimantan Selatan Telp. 0511-4772471-4778047

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. No.397, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 43/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sarapan Pagi Sarapan pagi adalah makanan atau minuman yang memberikan energi dan zat gizi lain yang dikonsumsi pada waktu pagi hari. Makan pagi ini penting karena makanan yang

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN 2011-2015 DIAN KARTIKASARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya 5 TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan dengan penentuan lokasi secara purposive. Penelitian ini berlansung selama 2 bulan, dimulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak 18 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah Descriptive Study. Penelitian ini bersifat prospektif untuk memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017 POLA KONSUMSI PANGAN PADA RUMAH TANGGA PETANI DI DESA RUGUK KECAMATAN KETAPANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN (Food Consumption Patterns of Farmers Household at Ruguk Village Ketapang Sub District South Lampung

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang 121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERAN PANGAN POKOK LOKAL TRADISIONAL DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN

PERAN PANGAN POKOK LOKAL TRADISIONAL DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN PERAN PANGAN POKOK LOKAL TRADISIONAL DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN Rita Hanafie Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Email: ritauwg@yahoo.co.id ABSTRACT Food consumption

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN (Studi Kasus: Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan) SKRIPSI

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN (Studi Kasus: Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan) SKRIPSI ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN (Studi Kasus: Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan) SKRIPSI KRISTINA HARIYANI SITOMPUL 120304030 AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO AGRISE Volume XV No. 1 Bulan Januari 2015 ISSN: 1412-1425 ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO (ANALYSIS OF FOOD BALANCE SHEET (FBS) AND DESIRABLE DIETARY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang 29 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Diversifikasi Pangan 2.1.1. Pengertian Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015 SRI CATUR LESTARI WIDIASIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Dasar utama kebijakan ketahanan pangan di Indonesia adalah Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan dalam undang-undang tersebut didefinisikan

Lebih terperinci

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup 7 II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Pola makan anak balita Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup khususnya manusia. Pangan merupakan bahan yang

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Program

Lebih terperinci

PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT

PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-11 PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Dr. Ir. Budiarto, MP. Program Studi Agribisnis UPN Veteran Yogyakarta 1 PANGAN Definisi PANGAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder)

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder) 31 METODE Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah restrospektif. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG Oleh : Gema Iftitah Anugerah Y*

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG Oleh : Gema Iftitah Anugerah Y* DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG Oleh : Gema Iftitah Anugerah Y* ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis pola konsumsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan memp&aii kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan mempakan bagian dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN P R O S I D I N G 69 KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN Condro Puspo Nugroho 1*, Fahriyah 1, Rosihan Asmara 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

Lebih terperinci

PROPORSI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA DAERAH RAWAN BANJIR DI KABUPATEN BOJONEGORO MENUJU EKONOMI KREATIF BERBASIS KETAHANAN PANGAN WILAYAH

PROPORSI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA DAERAH RAWAN BANJIR DI KABUPATEN BOJONEGORO MENUJU EKONOMI KREATIF BERBASIS KETAHANAN PANGAN WILAYAH PROPORSI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA DAERAH RAWAN BANJIR DI KABUPATEN BOJONEGORO MENUJU EKONOMI KREATIF BERBASIS KETAHANAN PANGAN WILAYAH RINGKASAN Suprapti Supardi dan Aulia Qonita Penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 24 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study.penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI RIAU MAHYUNI

ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI RIAU MAHYUNI ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI RIAU MAHYUNI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 i ABSTRACT MAHYUNI. Analysis of Food Consumption

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan No.60, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Pangan. Gizi. Ketahanan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5680) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI disampaikan pada : Temu Ilmiah Internasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian November 2014 OUTLINE 1. Pendahuluan 2. Permasalahan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia 5 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Hak atas Pangan Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA ANALISISS KERAGAAN DAN STRATEGI PENCAPAIAN DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN PROVINSI BANTEN

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA ANALISISS KERAGAAN DAN STRATEGI PENCAPAIAN DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN PROVINSI BANTEN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA ANALISISS KERAGAAN DAN STRATEGI PENCAPAIAN DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN PROVINSI BANTEN BIDANG KEGIATAN PKM Gagasan Tertulis Disusun oleh : Suci Apriani I14061937/2006 Marina

Lebih terperinci

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A54104039 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI PERUMUSAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN DI KOTA BANJAR JAWA BARAT INDY FITRIA ADICITA

STUDI PERUMUSAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN DI KOTA BANJAR JAWA BARAT INDY FITRIA ADICITA STUDI PERUMUSAN KEBIJAKAN PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN DI KOTA BANJAR JAWA BARAT INDY FITRIA ADICITA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH Oleh: Achmad Djauhari dan Supena Friyatno*) Abstrak Kelompok rumah tangga adalah sasaran utama dalam program peningkatan dan perbaikan tingkat

Lebih terperinci

Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas

Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas TIKEL Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Oleh: Achmad Suryana RINGKASAN Berbagai kajiandi bidang gizidan kesehatan menunjukkan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang

Lebih terperinci

ANALISIS POLA DAN STRATEGI PENYEDIAAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN KEMASYARAKATAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT

ANALISIS POLA DAN STRATEGI PENYEDIAAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN KEMASYARAKATAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT ANALISIS POLA DAN STRATEGI PENYEDIAAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN KEMASYARAKATAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT (Analysis of Food Supplying Pattern and Strategy of Social Forestry s Farmer Household in West

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI. The issue of food security has become an important

Lebih terperinci