UCAPAN TERIMA KASIH. sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul DETEKSI PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN PADA KUCING PELIHARAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UCAPAN TERIMA KASIH. sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul DETEKSI PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN PADA KUCING PELIHARAAN"

Transkripsi

1 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur, Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik serta hidayah-nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul DETEKSI PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN PADA KUCING PELIHARAAN DI KOTAMADYA SURABAYA. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya Prof._Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. Dr. Endang Suprihati, drh., MS selaku Pembimbing Utama dan Sunaryo Hadi Wardito, drh., MP selaku Pembimbing Serta yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan membantu selama penelitian hingga tulisan skripsi ini diselesaikan. Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP., Nusdianto Triakoso, drh., MP. dan Lianny Nangoi, drh., MS selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi selama proses penulisan skripsi. Sri Chusniati, drh., M.Si selaku dosen wali yang senantiasa memberi dukungan dan nasihat dari awal proses perkuliahan hingga akhir semester.

2 Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya atas wawasan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. Kedua orang tua penulis yang tercinta, ayah H. Nuryadi dan ibu Mas Ulah yang telah memberikan segala dukungan moril dan materiil serta nasehat, bimbingan, motivasi, semangat serta doa yang tak pernah putus dalam penyusunan skripsi ini, begitu juga dengan adik saya Bahruddin Rohimiy dan Primadani Wibisono selaku calon suami sekaligus sahabat terdekat saya yang selalu memberi semangat, dukungan dan doa yang tak pernah berhenti selama proses penyusunan skripsi. Kalian luar biasa. Sahabat-sahabat tercinta Dyah Eka, Megan Reinata, Reno Boma, Yonatan Dimas, Reinata Saras, Ellen Wahyu, Ridho, Ardi dan teman-teman kelas A angkatan 2011 serta seluruh rekan yang selalu memberikan semangat, keceriaan dan cintanya serta teman-teman angkatan 2011 yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Mas Yoga selaku laboran Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas bantuan teknik dalam proses penelitian ini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian untuk skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung proses pengumpulan sampel feses kucing yang digunakan pada penelitian untuk skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan berharap adanya lanjutan yang mampu menemukan ketidaksempurnaan itu dan

3 memperbaiki dalam tulisan yang lain. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga hasil yang dilahirkan dalam skripsi ini bermanfaat sebaik-baiknya. Surabaya, 2015 Penulis

4 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i Halaman HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN IDENTITAS... iv ABSTRAK... v UCAPAN TERIMAKASIH... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG... xv BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Landasan Teori Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kucing Saluran Pencernaan Kucing Diare Parasit pada Saluran Pencernaan Kucing Protozoa pada Saluran Pencernaan Kucing Genus Eimeria a. Morfologi b. Siklus Hidup c. Patogenesis dan Gejala Klinis Genus Isospora... 14

5 a. Morfologi b. Patogenesis dan Gejala Klinis Genus Entamoeba a. Morfologi b. Siklus Hidup c. Patogenesis dan Gejala Klinis Genus Toxoplasma a. Morfologi b. Siklus Hidup c. Patogenesis dan Gejala Klinis Genus Balantidium a. Morfologi b. Siklus Hidup c. Patogenesis dan Gejala Klinis Genus Giardia a. Morfologi b. Siklus Hidup c. Patogenesis dan Gejala Klinis Genus Trichomonas a. Morfologi b. Siklus Hidup c. Patogenesis dan Gejala Klinis Genus Cryptosporidium a. Morfologi b. Siklus Hidup c. Patogenesis dan Gejala Klinis Diagnosa Penyakit Pencegahan Penyakit Protozoa pada Kucing Pengobatan penyakit protozoa BAB 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Pengambilan Sampel Pengumpulan Data Analisis Data Alur Penelitian... 35

6 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing di Kotamadya Surabaya Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing di Kotamadya Surabaya Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran RINGKASAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 70

7 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2. 1 Saluran Pencernaan Kucing Morfologi Ookista Eimeria sp. yang Telah Bersporulasi Siklus Hidup Eimeria sp Morfologi Ookista Isospora sp Morfologi Stadium Entamoeba histolytica Perbesaran 1700x Gambar Mikroskopik Toxoplasma gondii Morfologi Stadium Tropozoit dan Kista Balantidium coli Morfologi Giardia sp Bentuk Tropozoit Trichomonas Gambar Mikroskopik Cryptosporidium sp Siklus Hidup Cryptosporidium Alur Penelitian Deteksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Surabaya Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing.. 40

8 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 4. 1 Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Komatadya Surabaya Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Umur Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Sistem Pemeliharaan Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Berdasarkan Kondisi Feses Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya... 45

9 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Pemeriksaan Protozoa a. Natif b. Apung c. Sedimentasi Pewarnaan Asam Kinyoun Data dan Hasil Pemeriksaan Protozoa Saluran Pencernaan pada Sampel Feses Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Foto Penelitian... 78

10 SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG cm = sentimeter µm = mikrometer mg = miligram rpm = rotasi per menit K 2 Cr 2 O 7 = Kalium Bikromat NaCl = Natrium Clorida o C = derajat celcius

11 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kucing merupakan salah satu hewan yang mempunyai daya eksotik tertentu sehingga banyak dijadikan sebagai hewan peliharaan oleh masyarakat (Arimbi, 2010). Sistem pemeliharaan kucing yang diterapkan masyarakat berbeda-beda, menurut Hildreth et al. (2010) ada tiga macam sistem pemeliharaan: (1) kucing yang sangat diperhatikan oleh pemiliknya, memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin. Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya (2) kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya (3) kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja. Pabundu (2007) melaporkan hasil pengamatan terhadap kejadian penyakit menurut jenis hewan menunjukkan bahwa kucing menempati urutan kedua setelah anjing yang mempunyai kasus penyakit gastrointestinal paling banyak di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Airlangga, yakni sebanyak 938 kasus atau sekitar 33,34% periode tahun Penyakit sistem gastrointestinal

12 umumnya memperlihatkan gejala klinis diare. Diare adalah manifestasi dari defekasi abnormal yang ditandai dengan abnormalitas frekuensi, konsistensi dan volume feses yang diakibatkan peningkatan jumlah cairan dalam feses. Penyebab diare umumnya karena infeksi virus, bakteri, maupun parasit saluran pencernaan (protozoa, cacing dan lain-lain) (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013; Pabundu, 2007). Infeksi protozoa pada saluran pencernaan tidak selalu menampakkan gejala klinis atau bersifat asimtomatis, hanya pada infestasi yang berat yang dapat menyebabkan diare, nafsu makan dan daya tahan tubuh menurun, serta gangguan pertumbuhan pada hewan usia muda. Beberapa jenis protozoa saluran pencernaan yang dapat menyerang kucing adalah genus Entamoeba, Balantidium, Toxoplasma, Isospora, Eimeria, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium (Soulsby, 1986; Levine, 1995). Kejadian penyakit yang disebabkan protozoa saluran pencernaan sangat perlu diperhatikan mengingat penyebaran penyakit yang luas, penularan yang begitu cepat dan beberapa penyakit bersifat zoonosis. Penyakit parasit saluran pencernaan di Indonesia tersebar luas dengan angka prevalensi 35% 73% pada kucing, anjing 75%, kambing 11% 61%, hewan ternak seperti sapi dan kerbau kurang dari 10% dan pada manusia 2% 63% (Gandahusada, 1995; Samil, 1988). Menurut studi penelitian Bendryman (2000) melaporkan angka prevalensi infeksi protozoa pada kucing di Surabaya sebesar 2,5 % 40 sampel yang diteliti. Infeksi protozoa saluran pencernaan terdiri dari Isospora felis, Isospora rivolta dan Toxoplasma gondii. Pemeriksaan dilakukan terhadap 40 kucing liar yang tersebar di Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Barat dan Surabaya

13 Timur. Selain mengamati infeksi protozoa saluran pencernaan, penelitian ini juga mengamati infeksi cacing pada saluran pencernaan, teknik pemeriksaannya adalah dengan membedah dan mengamati seluruh organ saluran pencernaan kucing. Faktor-faktor yang diamati adalah angka prevalensi infeksi protozoa dan cacing saluran pencernaan, pengaruh perbedaan jenis kelamin serta pengaruh perbedaan wilayah di Surabaya. Sedangkan studi penilitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) menemukan infeksi protozoa saluran pencernaan kucing sebanyak 31,3 % dari 80 ekor kucing yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan terhadap 40 ekor kucing liar dan 40 ekor kucing peliharaan yang terdapat di kota Denpasar, Bali. Pada kucing yang dipelihara, dari 40 sampel yang diperiksa sebanyak 9 sampel (22,5%) terinfeksi protozoa saluran pencernaan, Sedangkan kucing yang hidup liar, didapatkan 16 sampel (40 %) terinfeksi protozoa saluran pencernaan. Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah Giardia felis, Cryptosporadium felis, Sarcocystis spp, Hammondia hamondi, Toxoplasma gondii dan Isospora spp. Melihat besarnya angka prevalensi penyakit saluran pencernaan pada kucing, maka penelitian tentang deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya sangat diperlukan. Kejadian penyakit yang disebabkan protozoa saluran pencernaan kucing sangat beragam dan perlu untuk diteliti agar dapat diketahui kasus protozoa saluran pencernaan manakah yang tingkat kejadiannya paling besar, sehingga dapat mempermudah dokter hewan atau praktisi klinik untuk memberikan penanganan lebih lanjut.

14 1. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah: 1. Seberapa besarkah prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya? 2. Protozoa apa sajakah yang ditemukan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya? 3. Apakah perbedaan umur kucing berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya? 4. Apakah perbedaan sistem pemeliharaan berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya? 5. Apakah ada perbedaan infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya? Landasan Teori Diantara berbagai penyakit yang dapat menginfeksi bangsa kucing adalah penyakit parasiter yang salah satunya dapat disebabkan oleh infeksi protozoa saluran pencernaan. Kucing mempunyai kebiasaan defekasi di tanah, hal ini memungkinkan kontaminasi ookista dari protozoa yang infektif yang terdapat pada tanah tersebut. Kondisi yang demikian dapat menyebarkan penyakit baik pada kucing dan hewan lain maupun pada manusia, mengingat beberapa penyakit pada kucing dapat menular pada manusia atau bersifat zoonosis (Bendryman, 2000).

15 Beberapa protozoa saluran pencernaan yang dapat ditemukan pada kucing berasap dari genus Isospora, Eimeria, Entamoeba, Balantidium, Toxoplasma, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium (Suwanti dkk., 1999). Genus Isospora, Eimeria, Toxoplasma dan Cryptosporidium mempunyai bentuk ookista yang dapat ditemukan dalam feses, karena pada siklus hidupnya ookista yang dihasilkan protozoa tersebut akan keluar dari rongga usus yang selanjutnya akan terbawa oleh feses (Soulsby, 1986). Berbeda dengan keempat genus diatas, genus Entamoeba, Balantidium dan Giardia dapat ditemukan dalam feses kucing berupa kista dan tropozoit, karena pada siklus hidupnya hanya terjadi dua fase tersebut. Sedangkan genus Trichomonas hanya dapat ditemukan dalam bentuk tropozoit, karena dalam siklus hidup Trichomonas hanya mempunyai satu fase yaitu tropozoit (Soulsby, 1986; Prasetyo, 2004). Bentuk-bentuk protozoa yang keluar bersama feses kucing tersebut dapat menjadi sumber penularan penyakit protozoa pada kucing lain, karena dapat mencemari tanah, air dan pakan kucing. Sedangkan pada kucing muda penularan dapat terjadi secara vertikal yakni melalui air susu induk yang sering disebut dengan penularan transmammary (Soulsby, 1986; Levine, 1995) Tujuan Penelitian 1. Mengetahui besarnya prevalensi protozoa pada saluran pencernaan kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.

16 2. Mengetahui jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 3. Mengetahui pengaruh perbedaan umur kucing terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 4. Mengetahui pengaruh sistem pemeliharaan terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 5. Mengetahui adanya infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya. I. 5. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi besar prevalensi dari jenis protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan kucing peliharaan Kotamadya Surabaya. 2. Memberikan informasi jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang menginfeksi kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 3. Memberikan informasi faktor-faktor yang mempengaruhi besar prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 4. Memberikan informasi perbedaan infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya.

17 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kucing Kucing merupakan salah satu hewan liar yang sudah mengalami domestikasi. Kucing pertama kali didomestikasi oleh nenek moyang orang Mesir (Anonim, 2002). Kucing sudah tersebar di seluruh dunia. Kucing mengalami perubahan bentuk tubuh pada saat domestikasi dan adaptasi sesuai lingkungan baru mereka (Norsworty, 1993). Klasifikasi: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Chordata : Mamalia : Karnivora : Felidae : Catus Kucing biasa dimanfaatkan untuk menangkap tikus. Kucing memiliki gigi dan kuku yang kuat yang digunakan untuk menangkap mangsanya. Mengintip lalu menyergap dengan cekatan adalah cara kucing untuk menangkap mangsanya, sesudah berhasil menangkap mangsanya, kucing akan langsung memakan bagianbagian tertentu (Sitepoe, 1997).

18 2. 2. Saluran Pencernaan Kucing Sistem pencernaan kucing terdiri dari kelenjar pencernaan dan organ pencernaan yang diawali dari rongga mulut sampai anus. Rongga mulut pada kebanyakan kucing domestik berukuran pendek dan lebar, begitu juga dengan esofagusnya. Ukuran esofagus kucing relatif lebar dan dapat otomatis melakukan dilatasi saat terjadi penyempitan pada rongga esofagus (Getty, 1975). Lambung kucing memiliki ukuran yang relatif besar untuk menyimpan makanan dalam jumlah yang sangat banyak. Bagian kanan lambung lebih besar dan berbentuk membulat, sedangkan bagian kirinya lebih kecil dan berbentuk silinder. Ketika lambung terisi penuh, maka lambung akan otomatis bergerak secara piriform. Namun ketika lambung kosong atau mendekati kosong, bagian kiri lambung akan berkontraksi dengan sangat kuat (Getty, 1975). Usus halus kucing memiliki panjang rata-rata empat meter dan menempati sebagian besar cavum abdomen. Usus halus kucing dibagi menjadi tiga bagian, yakni duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum menempati urutan pertama bagian usus halus dan memiliki ukuran paling pendek diantara yang lainnya. Posisi duodenum terletak setelah pilorus. Berbeda dengan duodenum, jejunum memiliki ukuran terpanjang diantara bagian usus halus. Sedangkan ileum adalah bagian akhir dari usus halus yang berjalan sepanjang sekum dan merupakan awal dari usus besar pada bagian akhir ileum. Lapisan otot pada dinding ileum relatif tebal dan terdapat papil di sepanjang dinding ileum yang disebut dengan ileal papilla. Namun perbedaan antara jejunum dan ileum tidak dapat terlihat secara jelas (Getty, 1975).

19 Usus besar kucing memiliki panjang rata-rata cm. Sekum merupakan bagian dari usus besar yang memiliki panjang 12,5 15 cm. Gerakan fleksor sekum dipertahankan oleh peritonium yang menempel juga pada ileum. Kolon juga termasuk dalam bagian usus besar. Kolon dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian ascending (naik), transverse (melintang), dan descending (turun). Bagian ascending memiliki ukuran yang sangat pendek, ujung kolon bagian ascending yang membelok ke kiri dan melintasi bidang median perut kucing disebut kolon bagian transverse. Sedangkan kolon bagian descending letaknya condong ke arah bidang median perut kucing yang kemudian dilanjutkan dengan rektum (Getty, 1975). Gambar 2.1 Saluran pencernaan kucing (sumber: Allen et al., 2011) Diare Diare adalah manifestasi dari defekasi abnormal yang ditandai dengan abnormalitas frekuensi, konsistensi dan volume feses yang diakibatkan

20 peningkatan jumlah cairan feses. Diare merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan dan muncul secara konsisten pada anjing atau kucing yang menderita penyakit atau gangguan intestinal (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013). Berbagai penyebab dapat mengganggu proses fisiologis normal intestinal sehingga dapat meningkatkan sekresi atau menurunkan absorbsi cairan dan ion oleh intestinal. Oleh karena itu, diare dapat dan sering menjadi satu-satunya tanda klinis yang dapat dikenali pada hewan yang mengalami gangguan atau menderita penyakit pada saluran pencernaan (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013) Parasit pada Saluran Pencernaan Kucing Istilah parasit berasal dari bahasa Yunani yang artinya makan di meja orang lain. Namun, setelah mengalami beberapa kali penyempurnaan maka oleh beberapa penulis disepakati bahwa arti parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain yang lebih besar untuk mendapatkan makanan. Organisme yang lebih besar selanjutnya disebut induk semang atau inang atau hospes (Noble and Noble, 1989). Parasit berasal dari hewan bebas yang mengalami evolusi. Pada perjalanan evolusinya, mereka dapat menyesuaikan diri sebagai parasit. Penyesuaian tersebut termasuk adaptasi terhadap habitatnya, di mana habitat parasit merupakan lingkungan yang sangat khusus dan terbatas. Habitat parasit banyak ragamnya tergantung pada jenis parasit, antara lain di permukaan tubuh, di dalam kulit, di dalam saluran pencernaan, di dalam saluran pernafasan, di dalam

21 berbagai jaringan tubuh, di dalam darah dan bahkan di dalam sel (Noble and Noble, 1989). Endoparasit adalah parasit yang hidup pada tubuh induk semangnya. Protozoa adalah parasit yang tergolong endoparasit karena predileksinya berada di dalam tubuh induk semang (Noble and Noble, 1989). Seperti hewan lainnya, kucing pun bisa terinfeksi berbagai jenis parasit. Begitu juga endoparasit yang menyerang saluran pencernaan (Nealma dkk., 2013) Protozoa pada Saluran Pencernaan Kucing Protozoa tersusun dari organel-organel yang merupakan deferensiasi dari satu sel. Protozoa termasuk eukariotik, dimana inti sel mempunyai membran atau selaput yang memisahkan dari sitoplasmanya (Levine, 1995). Berbagai genus protozoa dapat tersebar dan menginfeksi seluruh tubuh kucing. Namun, hanya beberapa jenis protozoa dapat menyerang saluran pencernaan kucing, yakni dari genus Eimeria, Isospora, Entamoeba, Toxoplasma, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium (Suwanti dkk., 1999) Genus Eimeria a. Morfologi Pada stadium ookista, Eimeria mempunyai empat sporokista, dan tiap-tiap sporokista mengandung dua sporozoit. Umumnya stadium ookista berbentuk bulat, subsperikal, ovoid, atau elipsoid dengan ukuran yang beragam sesuai dengan spesiesnya. Dinding kista terdiri dari dua lapis yang berbatas jelas.

22 Beberapa spesies mempunyai mikrofil yang tertutup oleh microphile cup (Levine, 1995). Gambar 2.2 Morfologi ookista Eimeria sp. yang telah bersporulasi (sumber: Levine, 1995) b. Siklus Hidup Gambar 2.3 Siklus hidup Eimeria sp. (sumber: Soulsby, 1986)

23 Siklus hidup dimulai dari tertelannya ookista infektif yakni ookista yang berspora oleh induk semang. Selanjutnya di dalam usus induk semang, dinding ookista pecah oleh tekanan dinding usus dan enzim tripsin yang dibebaskan ke dalam usus, hal ini menyebabkan terbebasnya sporokista. Selanjutnya sporokista yang pecah karena proses pencernaan akan membebaskan sporozoit. Sporozoit yang bebas akan bergerak dan menembus sel epitel usus halus. Parasit akan mengadakan reproduksi secara seksual dan aseksual di dalam sel epitel usus (Levine, 1995). Sporozoit yang berada dalam sel epitel usus halus akan membulat dan menjadi meront atau skizon generasi pertama. Oleh suatu proses reproduksi aseksual atau yang disebut dengan skizonogi setiap meront akan membentuk 900 merozoit yang panjangnya masing-masing dua sampai tiga mikrometer. Selanjutnya meront generasi pertama akan membentuk merozoit yang panjangnya kira-kira 16 µm dengan cara multiple fission atau pembelahan banyak (Levine, 1995). Banyak merozoit generasi kedua masuk ke dalam sel hospes baru dan memulai fase seksual atau yang disebut dengan gametogoni. Beberapa dari merozoit tersebut akan berubah menjadi makrogamet (gamet betina) dan sisanya akan berubah menjadi mikrogamet (gamet jantan). Selanjutnya mikrogamet akan membuahi makrogamet dan terbentuklah zigot yang akan menjadi ookista. Ookista kemudia keluar dari sel hospesnya dan menuju rongga usus dan keluar bersama feses induk semang (Levine, 1995).

24 c. Patogenesis dan Gejala Klinis Hewan muda lebih peka dibandingkan hewan tua. Periode prepaten masing-masing spesies berbeda tergantung proses perkembangan protoza di dalam sel induk semang. Rata-rata perkembangan Eimeria sp. selama tiga minggu tergantung spesies. Gejala klinik yang terlihat adalah anoreksia, tubuh hewan terinfeksi menjadi lemah, dan sedikit mengalami peningkatan suhu tubuh yang diikuti dengan diare yang bercampur darah atau bahkan kematian. Induk semang tampak anemia karena terjadi pendarahan usus. Kematian induk semang dapat terjadi pada hari ke tujuh setelah gejala klinik timbul. Namun waktu yang dibutuhkan untuk kembali normal sangat lama (Levine, 1995; Noble and Noble, 1989) Genus Isospora a. Morfologi Pada stadium ookista, Isospora mempunyai dua sporokista, dan masingmasing sporokista berisi empat sporozoit. Umumnya stadium ookista berbentuk bulat, subsperikal, ovoid, atau elipsoid dengan ukuran yang beragam sesuai dengan spesiesnya. Dinding ookista terdiri dari dua lapis yang berbatas jelas. Spesies Isospora yang menginfeksi kucing tidak memiliki mikrofil (Levine, 1995).

25 Gambar 2.4 Morfologi ookista Isospora sp. (sumber: Soulsby, 1986) b. Patogenesis dan Gejala Klinis Koksidia adalah penyakit yang disebabkan mikroskopik parasit yang hidup disaluran pencernaan dari anjing dan kucing. Penyakit ini seringkali ditemukan, tetapi sangat jarang menyebabkan gejala pada hewan dewasa. Pada anak anjing dan kucing, gejala yang sering adalah diare atau bahkan bisa menyebabkan kematian. Penyebab penyakit ini adalah protozoa dari Genus Isospora (Levine, 1995; Subronto, 2006). Diare merupakan gejala klinis paling umum terjadi karena infeksi Isospora sp. dengan frekuensi diare bervariasi. Pada beberapa kasus diare bisa diikuti dengan adanya lendir dan bercak darah. Jika tidak segera dilakukan pengobatan terhadap diare maka hewan akan mengalami dehidrasi, anemia, kurus, lemah dan akhirnya berujung pada kematian. Namun, infeksi protozoa saluran pencernaan biasanya bersifat asimptomatis dan dapat menularkan penyakit pada hewan lain serta menyebarkan ookista infektif ke dalam lingkungan melalui kontaminasi feses (Levine, 1995; Noble and Noble, 1989; Soulsby, 1986).

26 Genus Entamoeba Entamoeba histolytica adalah spesies yang paling patogen dari genus Entamoeba dan sebagai penyebab dari disentri amuba pada manusia, primata, anjing, kucing, dan tikus. Entamoeba histolytica merupakan spesies patogen karena dapat menyebabkan kelemahan dan disentri yang fatal (Leventhal and Cheadle, 1996; Chessbrough, 1998). a. Morfologi Tropozoit Entamoeba histolytica berukuran µm, berinti bulat dengan diameter empat sampai tujuh mikrometer. Membran intinya berupa garis dan mempunyai kromatin, sehingga inti terlihat seperti cincin. Sitoplasma Entamoeba histolytica terbagi menjadi dua, yakni ektoplasma dan endoplasma yang di dalamnya terdapat vakuola makanan yang berisi eritrosit, bakteri dan reruntuhan sel. Isi pada vakuola makanan inilah yang membedakan spesies yang patogen dan non patogen. Terdapat juga pseudopodia yakni alat gerak semu yang bentuknya seperti jari tangan (Soulsby, 1986). Stadium kista berbentuk bulat atau ovoid dengan ukuran diameter 5 20 µm. Kista dewasa mempunyai empat inti, dan badan kromatin yang panjang seperti cambuk (Soulsby, 1986).

27 Gambar 2.5 Morfologi stadium Entamoeba histolytica perbesaran 1700x (sumber: Levine, 1995) A: stadium tropozoit; B: stadium kista b. Siklus Hidup Induk semang tertular parasit karena menelan bentuk kista dewasa. Kista dalam lumen usus mengalami ekskistasi. Setiap inti mengadakan pembelahan ganda. Selanjutnya bentuk ini disebut dengan metakista (Levine, 1995). Metakista berkembang menjadi lebih besar, stadium ini disebut dengan tropozoit. Tropozoit inilah yang tetap tinggal di lumen usus dan menembus ke mukosa usus besar. Stadium tropozoit akan memperbayak diri dengan cara pembelahan ganda atau binnary fission dan berkembang menjadi stadium prekista yang berinti satu. Selanjutnya stadium prekista membuat dan membentuk kista. Mulanya kista berinti satu, lalu mengadakan pembelahan ganda dari satu inti menjadi dua, membelah lagi menjadi berinti empat sampai delapan. Selanjutnya kista akan keluar bersama feses induk semang (Levine, 1995; Soulsby, 1986).

28 c. Patogenesis dan Gejala Klinik Amoebiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa dari genus Entamoeba. Entamoeba histolytica marupakan spesies dari genus Entamoeba yang bersifat pathogen. Parasit ini dapat menyerang manusia, kera, anjing, kucing, tikus dan babi (Levine, 1995; Soulsby, 1986). Penyakit ini menyebabkan diare dan merusak dinding sekum dan kolon. Parasit masuk ke dalam mukosa kemudian berkembang biak dan membentuk koloni, selanjutnya meluas ke sub mukosa sampai ke muskularis usus. Patogenitas Entamoeba diperkuat akibat masuknya bakteri saat infeksi, yakni Escherihcia coli dan Aerobacter aerogenes. Kedua bakteri memperparah rusaknya jaringan predileksi parasit, yakni dengan membentuk ulkus dan peradangan (Soulsby, 1986) Genus Toxoplasma Spesies Toxoplasma gondii merupakan satu-satunya spesies dari genus Toxoplasma sebagai parasit penyebab toksoplasmosis. Protozoa ini merupakan parasit intraseluler obligat. Kucing dan bangsa feline merupakan induk semang utama, sedangkan yang bertindak sebagai induk semang antara adalah manusia, mamalia lainnya dan burung (Gandahusada dkk., 1998). a. Morfologi Stadium takizoit atau tropozoit Toxoplasma gondii berbentuk seperti pisang atau bulan sabit. Salah satu ujungnya tumpul dan berukuran dua sampai enam mikrometer. Secara ultrastruktur stadium takizoit mengandung berbagai macam organel seperti ribosom, nukleus, komplek golgi, retikulum endoplasma,

29 dan mitokondria (Sasmita, 2006). Stadium ini memerlukan habitat untuk hidup dan berkembang, serta melakukan reproduksi dalam jaringan. Bila sel terinfeksi telah penuh dengan takizoit, maka sel akan pecah dan takizoit yang terbebas akan menginfeksi sel lain di sekitarnya (Gandahusada dkk., 1998; Suwanti dkk., 1999). Pada tubuh kucing, perkembangan takizoit terjadi pada lamina propria, limfonodus mesenterika, jejunum, dan illeum. Sedangan pada hewan lain, bentuk takizoit didapat setelah tertelannya ookista berspora (Soulsby, 1986; Dubey et al, 1998). Stadium bradizoit merupakan stadium istirahat karena perkembangannya yang sangat lambat dalam kista jaringan, umumnya ditemukan dalam keadaan penyakit yang sudah kronis dan sudah terbentuk antibodi dalam tubuh induk semang. Kista jaringan mempunyai ukuran 200 µm dan berisi sekitar bradizoit. Kista jaringan mampu bertahan hidup sampai beberapa tahun dan bahkan bisa bertahan beberapa hari pada induk semang yang mati (Soulsby, 1986; Sasmita, 2006). Stadium ookista merupakan bentuk yang hanya terdapat dalam tubuh induk semang utama yang menderita toksoplasmosis (Soulsby, 1986). Pada epitel usus kucing berlangsung daur hidup aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni) yang nantinya akan menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama feses kucing (Gandahusada dkk., 1998). Ookista yang belum berspora berbentuk bundar, namun setelah berspora bentuknya agak bundar oleh karena desakan dua sporokista yang berada di dalamnya. Dua sporokista tersebut masing-

30 masing mengandung empat sporozoit. Ukuran ookista mencapai x 9 11 µm (Levine, 1995). Gambar 2.6 Gambar mikroskopik Toxoplasma gondii yang ditemukan pada feses kucing (sumber: Soulsby, 1986). A: Stadium kista yang belum bersporula; B: Stadium kista yang telah bersporula b. Siklus Hidup Menurut Sasmita (2006) siklus hidup Toxoplasma gondii dibagi menjadi dua siklus, yakni seksual dan aseksual. Siklus seksual lazim disebut dengan siklus intraintestinal dan berlangsung dalam tubuh induk semang utama. Sedangkan siklus ekstraintestinal terjadi di luar tubuh kucing maupun induk semang lainnya. Gandahusada (1992) menambahkan bahwa hewan selain induk semang utama dan hewan berdarah panas dapat bertindak sebagai induk semang antara dan siklus aseksual hanya terjadi pada tubuh induk semang antara. Siklus seksual terjadi hanya pada tubuh induk semang utama, yakni kucing dan sebangsanya. Ookista berspora dan kista jaringan yang tertelan oleh kucing akan masuk ke dalam usus. Aktifitas di dalam lambung dan usus kucing menyebabkan dinding ookista dan kista jaringan hancur, membebaskan sporozoit dari ookista dan bradizoit dari kista. Zoit yang terbebas akan menembus lamina propria usus halus dan berubah bentuk menjadi tropozoit atau takizoit. Inti tropozoit berkembang biak skizogoni dan menghasilkan skizon. Skizon yang

31 pecah akan membebaskan merozoit yang akan menginfeksi sel baru. Beberapa dari merozoit tersebut akan memproduksi gamet, yakni mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina). Mikrogamet akan membuahi makrogamet dan menghasilkan zigot yang selanjutnya disebut dengan ookista. Ookista akan terlepas dari lumen usus dan keluar bersama feses kucing (Soulsby, 1986; Dubey et al., 1998). Pada siklus aseksual, sporozoit dan bradizoit yang telah terbebas akan menembus dinding usus dan membelah secara endodiogeni dalam lamina propria menjadi takizoit. Takizoit membelah diri dengan cepat yang selanjutnya akan menginfeksi organ dan menembus sel. Akumulasi takizoit berbentuk kelompok atau koloni yang disebut dengan rosset berisi delapan sampai 16 takizoit, setelah mencapai jumlah tersebut rosset akan pecah bersamaan dengan pecahnya sel induk semang yang terinfeksi (Soulsby, 1986; Suwanti, 1999; Sasmita, 2006). c. Patogenesis dan Gejala Klinis Toxoplasma gondii adalah penyebab utama terjadinya penyakit toksoplasmosis. Toksoplasmosis pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis (asimptomatik). Gejala akan tampak pada keadaan tertentu, seperti pada penyakit yang sudah akut dan pada kucing dan sebangsanya sebagai induk semang utama. Kehadiran kucing sebagai induk semang utama Toxoplasma gondii sangatlah penting, berdasarkan adanya ookista Toxoplasma gondii pada feses yang berjumlah sangat banyak semua itu dapat teratasi dengan antibodi dalam tubuh kucing. Hal tersebut menunjukkan bahwa umumnya kucing dan sebangsanya terinfeksi Toxoplasma gondii secara alami. Kerusakan pada jaringan tubuh akibat

32 serangan Toxoplasma gondii tergantung pada umur, virulensi, jumlah parasit dan organ yang diserang (Gandahusada dkk., 1998; Soulsby, 1986). Gejala klinis dapat berupa enteritis yang disertai ulser dan pada kebanyakan kasus ditemukan adanya lesi atau perlukaan pada kelenjar limpa, otak dan hati. Infeksi pada kucing muda bisa menyebabkan diare (Soulsby, 1986) Genus Balantidium a. Morfologi Seluruh permukaan tubuh spesies dari genus Balantidium tertutup oleh silia yang merupakan alat gerak. Organisme ini aktif bergerak dan berpindah cepat pada area pandang mikroskop (Soulsby, 1986). Spesies dari genus ini yang penting yaitu Balantidium coli. Balantidium coli memiliki bentuk tropozoit dan kista dalam siklus hidupnya. Bentuk tropozoitnya oval dengan panjang µm dan lebarnya antara µm. Mempunyai cytostome (mulut sel) pada bagian anterior dan cytopyge (alat pembuangan) pada bagian posterior. Bentuk tropozoit Balantidium coli juga memiliki dua buah inti, makronukleus berbentuk seperti ginjal dan mikronukleus berbentuk bulat, serta terdapat vakuola kontraktil pada sitoplasma. Sedangkan bentuk kista Balantidium coli memiliki bentuk bulat hingga elips dengan ukuran µm. Memiliki dua lapis dinding yang di antara keduanya terdapat cilia, namun dapat menghilang pada kista dewasa (Yulfi, 2006).

33 Gambar 2.7 Morfologi stadium tropozoit dan kista Balantidium coli (sumber: Levine, 1995). A dan B: Stadium tropozoit; C dan D: Stadium kista. b. Siklus Hidup Infeksi Balantidium coli terjadi dengan memakan bentuk kista melalui makanan atau minuman yang tercemar. Pada usus halus kista akan mengalami eksistasi yakni proses keluarnya tropozoit dari kista. Bentuk tropozoit ini akan bermultiplikasi dengan cara konjugasi di dalam lumen ileum dan sekum. Selanjutnya di dalam kolon bentuk tropozoit akan mengalami enkistasi yakni proses pembentukan kista dari fase tropozoit. Selanjutnya kista akan dikeluarkan bersama tinja (Yulfi, 2006). c. Patogenesis dan Gejala Klinis Balantidiasis merupakan penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh spesies dari genus Balantidium (Mufasirin dkk., 2012). Balantidiasis ditandai dengan gejala nyeri abdomen dan diare yang berdarah, mirip dengan infeksi oleh Entamoeba histolytica. Pada infeksi berat dapat timbul

34 abses dan ulkus di mukosa dan submukosa usus besar. Infeksi kronis dapat timbul tanpa terlihat gejala. Insiden balantidiasis cukup rendah, walaupun organisme ini tersebar di seluruh dunia. Balantidium coli juga dapat menghasilkan hyaluronidase yang dapat mempermudah spesies tersebut masuk ke dalam jaringan (Yulfi, 2006; Levine, 1995; Soulsby, 1986) Genus Giardia a. Morfologi Bentuk tropozoit dari genus Giardia adalah piriform sampai elipsoid, dan simestris bilateral, tampak depan terlihat seperti buah pir. Tropozoit Giardia memiliki panjang µm dengan ketebalan 2 4 µm. Ujung anterior berbentuk bulat dan melebar sedangkan ujung posteriornya meruncing. Memiliki cakram penghisap yang berada di sisi ventral. Terdapat dua inti anterior, dua axostyle serta terdapat delapan flagela yang letaknya rata pada permukaan epitel (Levine, 1995; Ford, 2005; Prasetyo, 2004). Giardia memiliki kista yang berbentuk oval, mempunyai dua atau empat inti, berdinding tebal sehingga tampak sebagai garis ganda (Levine, 1995; Prasetyo, 2004).

35 Gambar 2.8 Morfologi Giadia sp. (sumber: Prasetyo, 2004) A: stadium tropozoit; B: stadium kista; a: axostyle; b: blefaroplast; c.w.: dinding kista; d:batil isap; l.f.: flagel lateral; n: inti; p.b.: benda parabasal; p.f.: flagel posterior; p.fib.: serabut parabasal; r: rhizoplast; s: perisai; v.f.: flagel ventral. b. Siklus Hidup Siklus hidup Giardia dimulai dari keluarnya kista bersama feses hewan atau individu yang terinfeksi. Hal tersebut akan mencemari lingkungan dan air di sekitarnya. Selanjutnya hewan lain yang mengonsumsi air atau makanan yang tercemar Giardia akan terinfeksi, kista Giardia yang tertelan akan menuju usus halus dan sesampainya disana akan terjadi pembentukan tropozoit oleh kista yang infektif, yakni kista yang berinti empat. Tropozoit inilah yang akan tetap hidup, melekat pada sel epitel dan melakukan perkembangbiakan. Setelah itu tropozoit akan membulat dan berhenti bergerak, dari sinilah proses enkistasi dimulai. Lalu inti membelah tanpa terjadi pembelahan sitoplasma, hal tersebut terjadi untuk membentuk kista yang infektif dengan empat inti. Selanjutnya kista infektif akan

36 keluar bersamaan dengan keluarnya feses. Sedangkan tropozoit yang berada pada lumen usus halus akan tetap berada disana dan melakukan perkembangbiakan aseksual dengan cara pembelahan (Ford, 2005; ESCCAP, 2011). c. Patogenesis dan Gejala Klinis Giardiosis adalah penyakit yang disebabkan protozoa dari genus Giardia. Kebanyakan infeksi Giardia tidak memperlihatkan gejala klinis, namun pada sebagian kecil spesies yang terinfeksi akan menampakkan gejala yakni diare menahun. Penyebaran giardiosis yang berasal dari air menjadi perhatian yang terus meningkat (Levine, 1995) Genus Trichomonas a. Morfologi Bentuk tubuh Trichomonas seperti buah per dengan panjang µm dan lebar 3 15 µm. Trichomonas mempunyai tiga flagel pada bagian anterior sedangkan satu flagel pada bagian posterior. Terdapat undulating membrane pada satu sisi dan memiliki satu inti (Levine, 1995; Prasetyo, 2004). Gambar 2.9 Bentuk tropozoit Trichomonas (sumber: Prasetyo, 2004)

37 b. Siklus Hidup Siklus hidup Trichomonas sangat sederhana, genus Trichomonas tidak memiliki bentuk kista pada siklus hidupnya. Trichomonas berkembang biak dengan cara pembelahan secara longitudinal di dalam tubuh induk semang, khususnya di dalam sekum atau kolon pada hewan peliharaan (Prasetyo, 2004; Levine, 1995) c. Patogenesis dan Gejala Klinis Infeksi Trichomonas pada kucing bersifat non-patogen. Namun pada infeksi berat dapat berbahaya bagi induk semang (Soulsby, 1986) Genus Cryptosporidium a. Morfologi Pada pemeriksaan tinja Cryptosporidium sp. ditemukan dalam bentuk ookista yang berukuran 3 5 µm, memiliki dinding tebal dan memiliki empat sporozoit (Levine, 1995). Gambar 2.10 Gambar mikroskopi Cryptosporidium sp. (tanda panah, berwarna merah) pada sediaan feses dengan pewarnaan ZN perbersaran 600x (sumber: Prasetyo, 2004)

38 b. Siklus Hidup Siklus hidup Cryptosporidium dimulai dari tertelannya bentuk ookista infektif pada induk semang. Selanjutnya ookista tersebut akan masuk ke dalam saluran pencernaan dan melepaskan sporozoit, sporozoit-zporozoit tersebut akan menginfeksi sel epitel usus halus induk semang dan melakukan perkembangbiakan melalui proses skizogoni (Prasetyo, 2004). Skizon-skizon yang dihasilkan melalui proses skizogoni akan menghasilkan meront yang selanjutnya menghasilkan gamet. Gamet tersebut selanjutnya akan berkembang menjadi makrogamet (gamet betina) dan mikrogamet (gamet jantan). Selanjutnya mikrogamet akan membuahi makrogamet, proses ini disebut gametogoni yang akan menghasilkan ookista. Ookista infektif inilah yang akan keluar bersama feses induk semang. Periode prepaten bervariasi, sekitar 2 14 hari untuk Cryptosporidium canis dan tiga sampai tujuh hari untuk Cryptosporidium felis (Prasetyo, 2004; ESCCAP, 2011). Gambar 2.11 Siklus hidup Cryptosporidium (sumber: Prasetyo, 2004)

39 c. Patogenesis dan Gejala Klinis Cryptosporidium awalnya diketahui sebagai protozoa usus yang menyebabkan diare pada hewan mamalia (sapi, domba, babi, mencit, kelinci, monyet, anjing dan kucing), aves dan reptil (Prasetyo, 2004). Kemudian diketahui pula dapat menimbulkan diare bahkan diare kronis pada manusia khususnya dengan imunitas yang sangat rendah (seperti penderita AIDS) (Prasetyo, 2004) Diagnosa Penyakit Secara umum akibat yang ditimbulkan infeksi atau infestasi parasit tidak begitu jelas atau bersifat asimptomatis. Infeksi yang ditimbulkan berupa infeksi subklinik, maka untuk menentukan diagnosa tidak cukup hanya dengan melihat gejala klinis yang timbul, namun juga harus dilakukan pemeriksaan laboratorium, yakni dengan pemeriksaan feses (Sudrajat, 1991) Pencegahan Penyakit Protozoa pada Kucing Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit yang disebabkan protozoa antara lain: (1) batasi kontak dengan induk semang utama yakni kucing, (2) jika memiliki hewan peliharaan kucing, batasi kontak kucing dengan hewan liar seperti tikus atau reservoir lain, (3) pemasakan daging sebelum dimakan higga matang sempurna membantu membunuh protozoa yang terkandung dalam daging, dan sebaiknya kucing diberi makanan yang sudah masak (4) mencucian sayuran dan buah-buahan hingga bersih dalam keadaan

40 mentah, (5) penanganan yang tepat pada tempat pembuangan feses kucing, (6) peralatan yang baru digunakan untuk mengolah daging harus dicuci, (7) dan sebelum makan tangan harus dicuci dengan sabun sampai bersih (Brown, 1979; Soulsby, 1986) Pengobatan Penyakit Protozoa Terapi pemberian mepacrine dengan dosis 0,01 gram per kilogram berat badan sangat efektif untuk kasus koksidiosis pada kucing yakni yang disebabkan spesies dari genus Eimeria dan Isospora. Penggunaan nitrofurazone dengan dosis rata-rata 15,4 mg/kg berat badan, pemberian selama tiga sampai sepuluh hari. Pengobatan untuk stadium awal dapat diberikan sulphadimidine satu gram per lima kilogram berat badan atau zoaquin dengan dosis satu gram per 50 kg berat badan diberikan selama satu sampai tiga hari (Mufasirin dkk., 2012; Soulsby, 1986). Untuk penyakit disentri amuba atau amoebiasis yang disebabkan oleh protozoa genus Entamoeba, metronidazole dapat menjadi pilihannya, untuk kasus ringan atau yang bersifat asimptomatis diberikan dengan dosis 400 mg selama tiga sampai lima hari, dan 800 mg Metronidazole untuk kasus akut. Pilihan lain dapat diberikan diloxanide furoat 500 mg diberikan tiga kali sehari selama 10 hari atau Tetrasiklin 250 mg diberikan tiga kali sehari selama 7 10 hari, atau dengan pemberian Di-iodohydroxyquinoline 600 mg diberikan tiga kali sehari selama 21 hari (Soulsby, 1986).

41 Tidak ada pengobatan yang betul-betul memuaskan untuk memberantas penyakit toksoplasmosis yang disebabkan Toxoplasma gondii. Pengobatan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama dengan menggunakan Pyrimethamine atau Sulfonamide atau bisa dipakai secara bersamaan karena kedua obat tersebut dapat bekerja sinergisme. Gandahusada (1992) menambahkan bahwa antibiotik seperti Spiramisin juga dapat diberikan namun bersifat kurang toksik dibanding Sulfonamide. Antibiotik lain seperti Klindamisin juga dapat digunakan untuk pengobatan toksoplasmosis akut maupun kronis dan dapat mengurangi pengeluaran ookista dari kucing yang terinfeksi, akan tetapi klindamisin dapat menyebabkan kolitis ulceratif, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin (Soulsby, 1986; Gandahusada, 1992). Pengobatan untuk infeksi akut penyakit balantidiasis yang disebabkan oleh protozoa dari genus Balantidium dapat dilakukan dengan pemberian tetracycline atau dengan pemberian carbazone dengan dosis 250 mg per hari selama 10 hari (Soulsby, 1986). Metronidazole efektif untuk mengobati penyakit giardiosis dengan dosis 125 mg yang diberikan dua kali setiap hari selama lima hari. Sedang untuk pengobatan penyakit yang disebabkan spesies protozoa dari genus Cryptosporidium dapat menggunakan antibiotika, seperti chlortetracycline dan oxytetracycline untuk mengendalikan infeksi sekunder. Infeksi Trichomonas pada kucing dapat sembuh sendiri, dan mayoritas bersifat non-patogen, namun bukan berarti untuk tidak memperhatikan penyakit tersebut (Levine, 1985; Soulsby, 1986)

42 BAB 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel feses kucing peliharaan yang tersebar di Surabaya, Jawa Timur dan untuk pemeriksaan feses lebih lanjut dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama satu bulan dimulai bulan November 2014 sampai Februari Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian berupa sampel feses kucing peliharaan, larutan kalium bikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) 2%, NaCl 0,9%, air, methanol, kinyoun, alkohol 50%, asam sulfat (H 2 SO 4 ) 1%, methylen blue dan minyak emersi. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pot salep sebagai tempat sampel feses, kertas label untuk melabeli dan memberi keterangan sampel yang sudah diambil. Selain itu alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lidi atau gelas pengaduk, saringan teh, pipet, kaca obyek, kaca penutup, tabung sentrifus, alat sentrifus, rak tabung, sarung tangan dan masker Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Feses kucing peliharaan diambil sebagai sampel penelitian. Untuk pemeriksaan protozoa dilakukan dengan

43 tiga metode yang digunakan, yakni metode natif, apung dan sedimentasi (lampiran 1). Serta dilakukan pewarnaan menggunakan metode asam kinyoun (lampiran 2) Pengambilan Sampel Jenis penelitian ini dilakukan dalam bentuk survey dengan metode pengambilan sampel secara acak pada feses kucing peliharaan yang tersebar di Surabaya. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari tanpa batasan jumlah. Sampel feses kucing peliharaan yang diambil dimasukkan dalam pot salep yang telah berisi larutan kalium bikromat 2%. Selanjutnya beri etiket pada pot salep yang sudah berisi sampel feses, dalam etiket tercantum nama hewan, umur hewan, jenis kelamin hewan, kondisi feses, serta tempat dan tanggal pengambilan sampel. Setelah itu sampel feses yang diperoleh, dibawa ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga untuk diperiksa. Jika dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya stadium protozoa atau didiagnosa adanya stadium protozoa namun belum bisa diindentifikasi, maka sampel tersebut didiamkan selama satu sampai tiga hari agar terjadi proses sporulasi yang bertujuan untuk mempermudah identifikasi bentuk kista dan ookista protozoa. Sampel diperoleh dengan mengambil langsung feses segar dari tempat hewan defekasi. Pengambilan sampel juga dikelompokkan berdasarkan tiga tipe sistem pemeliharaan, sistem pemeliharaan tipe (1) yakni kucing yang sangat diperhatikan oleh pemiliknya, memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin.

44 Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya. Sistem pemeliharaan tipe (2) yaitu kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya. Sedangkan sistem pemeliharaan tipe (3) adalah kelompok kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja (Hildreth et al., 2010) Pengumpulan Data Sampel feses yang diperiksa dinyatakan positif apabila ditemukan tropozoit, kista, atau ookista protozoa pada salah satu metode pemeriksaan (lampiran 1) Analisa Data Identifikasi data hasil pengamatan penelitian ini dinyatakan positif bila sampel feses yang diamati ditemukan adanya tropozoit, kista, atau ookista berdasarkan ukuran dan morfologi (Chessbrough, 1998). Angka prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Surabaya dihitung berdasarkan rumus Murtidjo (1994) sebagai berikut: Jumlah sampel positif Prevalensi = X 100% Jumlah seluruh sampel Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

45 3.7. Alur Penelitian KOTAMADYA SURABAYA PENGAMBILAN SAMPEL FESES KUCING PELIHARAAN UMUR > 12 BULAN UMUR 12 BULAN SISTEM PEMELIHARAAN TYPE 1 SISTEM PEMELIHARAAN TYPE 2 SISTEM PEMELIHARAAN TYPE 3 DIARE TIDAK DIARE LAB. PARASITOLOGI FKH UA NATIF APUNG SEDIMENTASI PROSES SPORULASI 1-3 HARI IDENTIFIKASI PENGOLAHAN DATA KESIMPULAN Gambar 3.1 Alur Penelitian Deteksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Surabaya

46 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Pemeriksaan laboratorium menggunakan metode natif, sedimentasi dan apung terhadap 100 sampel feses kucing yang diambil dari beberapa lokasi di Surabaya yaitu selama bulan November 2014 Februari Empat belas sampel feses dinyatakan positif, dan 86 sampel feses dinyatakan negatif. Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel feses yang positif, diperoleh angka prevalensi sebesar 14%. Hasil tersebut bisa dilihat di tabel 4.1. Tabel 4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Hasil Jumlah Sampel Persentase (%) Positif 14 14% Negatif 86 86% Total % 4.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Protozoa yang ditemukan pada penelitian ini berasal dari genus Isospora yakni Isospora felis dan Isospora rivolta, Balantidium yakni Balantidium coli dan Cryptosporidium sp. yang berasal dari genus Cryptosporodium. Identifikasi

47 protozoa dilakukan dengan melihat morfologi serta pengukuran pada stadium protozoa saluran pencernaan yang ditemukan serta konsultasi dengan dosen pembimbing dan dosen protozoologi. Pengukuran bentuk kista dan ookista dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer dan mikroskop yang menggunakan program Optilab Imagescaster. Protozoa yang ditemukan berasal dari genus Isospora dengan ukuran diameter ookista Isospora felis 42,72 µm, berbentuk oval, memiliki dinding yang tipis dan halus, tidak memiliki mikropil dan mengandung dua sporokista. Sedangkan ukuran diameter ookista Isospora rivolta 27,78 µm, berbentuk lebih bulat dari Isospora felis, berdinding tipis dan halus, terdapat mikropil dan mengandung dua sporokista. Tropozoit Balantidium coli yang ditemukan pada penilitian kali ini masih aktif bergerak dengan cepat pada pemeriksaan mikroskop. Tubuhnya tertutupi oleh silia. Selanjutnya ookista Cryptosporidium sp. yang ditemukan berwarna merah pekat pada pewarnaan asam kinyoun dan berukuran 3,01 µm. gambaran jenis-jenis protozoa hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 4.1 dan 4.2. Pada penelitian ini protozoa saluran pencernaan yang ditemukan di wilayah utara Kotamadya Surabaya terdiri dari Isospora felis dengan angka infeksinya 7,40%, infeksi Cryptosporidium sp. mencapai angka 22,22% dan infeksi Balantidium coli sebesar 3,70%. Protozoa saluran pencernaan pada kucing di wilayah selatan Kotamadya Surabaya terdiri dari infeksi Isospora felis dengan angka infeksi sebesar 9,52% dan Isospora rivolta dengan angka 9,52%, untuk wilayah timur ditemukan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 4%,

48 sedangkan wilayah barat Kotamadya Surabaya tidak terdapat infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan. Prevalensi setiap spesies pada wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.2. Sedangkan prevalensi setiap spesies di seluruh wilayah Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.3. Tabel 4.2. Wilayah Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya. Jumlah Sampel Prevalensi (%) Spesies Sampel Positif 2 7,40 % Isospora felis Utara ,22 % Cryptosporidium sp. 1 3,70 % Balantidium coli Selatan ,52 % Isospora felis 2 9, 52 % Isospora rivolta Timur % Cryptosporidium sp. Barat % - Tabel 4.3. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya. Spesies Sampel Positif Jumlah Sampel Prevalensi (%) Isospore felis %

49 Isospora rivolta % Balantidium coli % Cryptosporidium sp %

50 Gambar 4.1 Jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing antara lain: (A) Isospora rivolta (400x); (A1) Isospora rivolta (100x) menggunakan mikroskop mikrometer; (B) Isospora felis (400x); (B1) Isospra felis (400x) menggunakan mikroskop mikrometer; (C) Cryptosporidium sp. (pewarnaan asam kinyoun; 1000x); (C1) Cryptosporidium sp. menggunakan mikroskop dengan program optilab imagecaster Gambar 4.2 Jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing antara lain: Balantidium coli (100x) 4.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Hasil pemeriksaan feses menunjukkan bahwa kucing berumur di bawah 12 bulan (16,98%) memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibandingkan kucing berumur di atas 12 bulan (10,64%). Hal ini menunjukkan bahwa kucing yang

51 berumur dibawah 12 bulan memiliki tingkat infeksi lebih tinggi. Pengaruh umur terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.4. Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing yang berumur di bawah 12 bulan adalah Cryptosporidium sp. dengan angka prealensi tertinggi 8,51% diikuti Isospora felis dengan angka prevalensi 6,38%, selanjutnya Isospora rivolta dengan angka prevalensi 4,26% dan Balantidium coli dengan angka prevalensi terendah 2,13%. Sedangkan protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing yang berumur di bawah 12 bulan adalah Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 5,66%, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi Isospora felis dengan angka prevalensi 1,89%. Prevalensi setiap spesies berdasarkan perbedaan umur kucing tertera pada tabel 4.5. Tabel 4.4. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Umur Jumlah Sampel Sampel Positif Prevalensi (%) 12 bulan ,98% > 12 bulan ,64% Tabel 4.5. Umur Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Umur Sampel Spesies Jumlah Prevalensi Positif Sampel (%) 12 bulan 4 Cryptosporidium sp. 47 8,51%

52 3 Isospora felis 47 6,38% 2 Isospora rivolta 47 4,26% 1 Balantidium coli 47 2,13% > 12 bulan 3 Cryptosporidium sp. 53 5,66% 1 Isospora felis 53 1,89% 4.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Berdasarkan pengaruh perbedaan sistem pemeliharaan terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan, infeksi paling tinggi pada sistem pemeliharaan tipe 3 (36,36%) yakni sistem pemeliharaan dengan cara memperbolehkan kucing untuk hidup bebas di luar rumah pemilik kucing, pemilik kucing ini juga masih menyediakan pakan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan, kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran kemana saja. Selanjutnya diikuti sistem pemeliharaan tipe 2 (14,70%) yakni sistem pemeliharaan dengan cara kucing yang dipelihara tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya, kebutuhan pakan dan minumnya juga diperhatikan pemiliknya. Sedangkan pada sistem pemeliharaan tipe 1 (2,27%) dengan angka infeksi paling rendah, yakni sistem pemeliharaan

53 dimana kucing yang dipelihara sangat diperhatikan oleh pemiliknya, kucing memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin, kucing tersebut juga tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya, dapat diketahui bahwa perbedaan sistem pemeliharaan kucing berpengaruh terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya, seperti terlihat pada tabel 4.7. Protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada sistem pemeliharaan tipe (1) hanya Balantidium coli dengan angka prevalensi 2,27%. Berbeda dengan sistem pemeliharaan tipe (1), sistem pemeliharaan tipe (2) ditemukan dua spesies protozoa saluran pencernaan yakni Isospora felis dengan angka prevalensi 2,94% dan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 11,76%. Sedangkan pada sistem pemeliharaan tipe (3) ditemukan tiga spesies protozoa saluran pencernaan, yakni Isospora felis dan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 13,64%, sedangkan Isospora rivolta dengan angka prevalensi 9,09%. Prevalensi setiap spesies protozoa saluran pencernaan berdasarkan sistem pemeliharaan tertera pada tabel 4.6. Tabel 4.6. Sistem Pemeliharaan (tipe) Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Berdasarkan Perbedaan Sistem Pemeliharaan Sampel Positif Spesies Jumlah Sampel Prevalensi (%) 1 1 Balantidium coli 44 2,27% 2 1 Isospora felis 34 2,94%

54 4 Cryptosporidium sp ,76% 3 Isospora felis 22 13,64% 3 2 Isospora rivolta 22 9,09% 3 Cryptosporidium sp ,64% Tabel 4.7. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Sistem Pemeliharaan Jumlah Sampel Sampel Positif Prevalensi (%) ,27% ,70% ,36% 4.5. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya Telah diteliti sebanyak 100 sampel feses kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya dan didapatkan hasil sebanyak 54% kucing mengalami diare, 20,37% diantaranya terinfeksi protozoa saluran pencernaan dan 46% kucing tidak mengalami diare tetapi ditemukan adanya infeksi protozoa saluran pencernaan sebanyak 6,52%. Data yang diperoleh tertera pada tabel 4.9.

55 Deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing diare, ditemukan Balantidium coli dan Isospora rivolta dengan angka prevalensi terendah yakni 1,85%, selanjutnya Isospora felis dengan angka prevalensi 7,41% dan angka prevalensi tertinggi 9,26% yakni Cryptosporodium sp. Sedangkan pada kucing yang tidak mengalami diare ditemukan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 4,35% dan Isospora rivolta dengan angka prevalensi 2,17%. Prevalensi setiap spesies protozoa saluran pencernaan yang ditemukan berdasarkan kondisi feses tertera pada tabel 4.8. Tabel 4.8. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Berdasarkan Kondisi Feses Kondisi Feses Sampel Positif Spesies Jumlah Sampel Prevalensi (%) 5 Cryptosporodium sp. 54 9,26% Diare 4 Isospora felis 54 7,41% 1 Isospora rivolta 54 1,85% 1 Balantidium coli 54 1,85% Tidak Diare (Feses Normal) 2 Cryptosporidium sp. 46 4,35% 1 Isospora rivolta 46 2,17% Tabel 4.9. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliaharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya.

56 Kondisi Feses Jumlah Sampel Infeksi Protozoa Prevalensi Infeksi Protozoa (%) Diare ,37% Tidak Diare ,52% (Feses Normal)

57 BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Berdasarkan hasil penelitian dari 100 sampel yang diambil dari beberapa wilayah di Surabaya, didapatkan 14 sampel feses positif ditemukan ookista, kista atau tropozoit protozoa saluran pencernaan, dapat diketahui bahwa prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing adalah 14%. Angka prevalensi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) di Denpasar yang melaporkan prevalensi protozoa saluran pecernaan pada kucing lokal sebesar 31,3%. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan jenis kucing yang diteliti. Penelitian deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di kotamadya Surabaya menggunakan kucing peliharaan sebagai sampel, sedangkan penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) menggunakan kucing yang hidup liar dan kucing peliharaan sebagai sampel, sehingga angka prevalensinya lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk (2014) menggunakan sebanyak 40 sampel feses kucing liar dan 40 sampel feses kucing peliharaan, dari 40 sampel feses kucing liar yang diperiksa, ditemukan sebanyak 16 sampel positif terinfeksi protozoa saluran pencernaan dengan angka prevalensi 40%. Sedangkan dari 40 sampel feses kucing peliharaan, ditemukan sebanyak sembilan sampel feses positif terinfeksi protozoa saluran pencernaan dengan angka prevalensi 22,5%. Tingginya angka prevalensi yang didapat dari sampel feses kucing liar tersebut

58 ikut meningkatkan angka prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing lokal di Denpasar Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan jenis-jenis protozoa saluran pencernaan kucing yang berasal dari genus Isospora yakni Isospora felis dan Isospora rivolta, Balantidium yakni Balantidium coli dan Cryptosporidium. Penentuan jenis protozoa tersebut berdasarkan morfologi dan ukuran dari kista, ookista ataupun tropozoit yang ditemukan. Pada penelitian ini, ukuran ookista dari Isospora felis mempunyai ukuran panjang 42,72 µm, berbentuk bulat sedikit oval, berdinding tipis dan halus yang terdiri dari satu lapis, mengandung dua sporokista dan tidak memiliki mikropil. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Soulsby (1986) yang menyatakan bahwa ookista Isospora felis mempunyai ukuran µm dan berbentuk oval, memiliki dinding yang halus, serta tidak nampak adanya mikropil, pada pewarnaan menggunakan metode asam kinyoun akan terlihat sedikit pink. Sedangkan ookista Isospora rivolta yang ditemukan pada penelitian ini berukuran lebih kecil yakni 27,78 µm, berbentuk lebih bulat dari Isospora felis, mempunyai dinding tipis dan halus, mengandung dua sporokista dan memiliki mikropil. Hal tersebut juga sama dengan yang diungkapkan Soulsby (1986) yakni ookista Isospora rivolta memiliki ukuran µm dengan lebar µm, berbentuk bulat elips, berdinding tipis dan halus, mengandung dua sporokista serta nampak adanya mikropil.

59 Pada penelitian ini juga ditemukan tropozoit Balantidium coli yang masih aktif bergerak dengan cepat pada pemeriksaan mikroskop. Tubuhnya tertutupi oleh silia yang merupakan alat gerak, hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Soulsby (1986) dan Levine (1995) yang menyatakan bahwa bentuk tropozoit Balantidium coli dapat bergerak bebas dan sangat cepat pada lapangan pandang mikroskop dan permukaan tubuhnya oleh deretan silia longitudinal yang berbentuk agak miring yang merupakan alat gerak. Ookista Cryptosporidium sp. yang ditemukan pada penelitian ini memiliki bentuk bulat dengan ukuran 3,01 µm dan berwarna merah pekat pada pewarna asam kinyoun. Pada penilitian ini didapat angka prevalensi infeksi Isospora felis sebesar 4%, infeksi Isospora rivolta sebesar 2%, infeksi Cryptosporidium sp. sebesar 7% serta infeksi Balantidium coli sebesar 1% dari 100 sampel feses kucing peliharaan yang diperiksa di Kotamadya Surabaya. Angka ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) yakni 8,9% infeksi oleh Isospora rivolta dan 5,3% infeksi oleh Isospora felis. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Abel-Maksoud dan Ahmed (1999) di Aswan ditemukan sebanyak 20% kucing positif terinfeksi Cryptosporidium sp., namun kejadian infeksi Balantidium coli pada kucing sangat jarang dilaporkan. Adanya perbedaan angka prevalensi ini mungkin disebabkan karena perbedaan jenis kucing, sistem pemeliharaan, umur, kondisi wilayah serta waktu penelitian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Mircean et al. (2010) menggunakan 414 sampel feses kucing peliharaan yang diambil dari berbagai wilayah yang tersebar di

60 Transylvania. Adanya perbedaan angka prevalensi dengan penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) kemungkinan disebabkan olehperbedaan lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) dilakukan di Transylvania yang merupakan kota yang terletak di Rumania, negara bagian Eropa yang mempunyai suhu rata-rata 17 o C namun suhu terendah pada kondisi normal dapat mencapai suhu 6 o C. Berbeda dengan Rumania, Surabaya memunyai suhu rata-rata 27 o C dengan suhu minimum 23 o C. Hal tersebut dapat menjadi faktor yang menyebabkan adanya perbedaan angka infeksi protozoa saluran pencernaan karena ketahanan tubuh kucing terhadap suhu ekstrim terbatas (Puspita, 2013). Penelitian yang dilakukan Abel-Maksoud dan Ahmed (1999) menunjukkan angka prevalensi infeksi Cryptosporodium sp. yang berbeda dengan penelitian deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. Adanya perbedaan dikarenakan lokasi dan waktu penelitian yang berbeda. Penelitian Abel-Maksoud dan Ahmed dilakukan di Aswan, sebuah kota yang terletak di Mesir yang merupakan negara dengan suhu rata-rata di siang hari mencapai 50 o C, sedangkan suhu rata-rata pada malam hari mencapai 8 o C, dan dilakukan pada tahun 1999, sedangkan penelitian deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya dilakukan di Kotamadya Surabaya pada tahun Selain itu, ketahanan tubuh kucing terhadap suhu ekstrim terbatas (Puspita, 2013), sehingga parasit bisa dengan mudah menginfeksi kucing yang hidup pada daerah tersebut.

61 Protozoa saluran pencernaan yang ditemukan menginfeksi kucing yang berada di wilayah utara Kotamadya Surabaya adalah Cryptosporodium sp. yang memiliki angka prevalensi tertinggi yakni 22,22%, diikuti oleh infeksi Isospora felis dengan angka prevalensi 7,40% dan infeksi terendah oleh Balantidium coli dengan angka prevalensi sebesar 3,70%. Kejadian tersebut dikarenakan beberapa kemungkinan, yang pertama karena mayoritas kucing yang terinfeksi dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (2) dan (3) yang cenderung membebaskan kucing berkeliaran di luar rumah pemiliknya, yang kedua karena adanya proses skizogoni pada siklus hidup protozoa yang termasuk golongan koksidia, dalam proses skizogoni, koksidia dapat menghasilkan ratusan merozoit yang selanjutnya akan berkembang biak menjadi gamet, lalu gamet tersebut akan melakukan perkembangbiakan seksual dan terbentuklah zigot yang akan menjadi ookista, ookista kemdian keluar bersama feses dan menjadi sumber penularan bagi hewan lain (Levine, 1995). Sedangkan infeksi oleh Balantidium coli terjadi pada kucing muda berumur tiga bulan yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (1), hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan kucing tersebut bermain dengan kecoa atau serangga lain yang menjadi induk semang perantara Balantidium coli (Rahayu, 2008). Protozoa saluran pencernaan yang ditemukan menginfeksi kucing yang berada di wilayah selatan Kotamadya Surabaya adalah Isospora felis dan Isospora rivolta dengan angka prevalensi yang sama yakni 9,52%, pada wilayah timur Kotamadya Surabaya ditemukan satu infeksi oleh Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 4%. Infeksi tersebut dapat terjadi karena kemungkinan kucing

62 tersebut dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (3), selain itu Isospora felis dan Isospora rivolta adalah protozoa yang termasuk dalam golongan koksidia yang pada siklus hidupnya dapat menghasilkan ratusan merozoit, sehingga ookista keluar bersama feses juga banyak yang menyebabkan banyaknya pula sumber penularan. Sedangkan pada wilayah barat Kotamadya Surabaya tidak ditemuan adanya infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan, hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan di wilayah barat Kotamadya Surabaya pemilik kucing banyak yang menerapkan sistem pemeliharaan tipe (1), sehingga kebersihan lingkungan dan kesehatan hewan peliharaan dapat terjaga dengan baik Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Kucing yang berumur di bawah 12 bulan, lebih banyak terinfeksi protozoa saluran pencernaan dibandingkan kucing yang berumur di atas 12 bulan. Hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan kucing yang berumur di bawah 12 bulan belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang sempurna (Levine, 1995). Selain itu sifat aktif yang dimiliki kucing muda dapat menjadi kemungkinan penularan protozoa saluran pencernaan, karena dapat saja kucing muda tersebut bermain di tempat kotor yang menjadi sumber penyakit. Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan menginfeksi kucing berumur di bawah 12 bulan adalah Isospora felis dengan angka prevalensi infeksi tertinggi yakni 6,38%, angka prevalensi tersebut sama dengan angka prevalensi infeksi Cryptosporodium sp.. Selanjutnya infeksi lebih rendah oleh

63 Isospora rivolta dengan angka prevalensi 4,26% dan angka prevalensi paling rendah adalah infeksi Balantidium coli dengan angka prevalensi 2,13%. Hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan tubuh kucing muda belum memproduksi hormon estradiol yang membantu pembentukan antibodi terhadap parasit, selain itu infeksi tunggal oleh genus Isospora dapat menghasilkan kekebalan yang sangat kuat terhadap infeksi ulang, inilah yang menyebabkan kucing tua seringkali resisten terhadap infeksi berikutnya. Kucing tua yang resisten terhadap infeksi Isospora merupakan sumber infeksi bagi hewan muda, atau sering disebut dengan carier (Yudhie, 2010). Sifat aktif kucing muda kemungkinan dapat menjadi penyebab penularan Balantidium coli. Kucing muda kerap aktif bermain dengan serangga yang berperan sebagai induk semang antara Balantidium coli, hal tersebut mendukung teori yang ditulis Rahayu (2008). Rahayu (2008) mengatakan bahwa cara lain penularan endoparasit, termasuk protozoa saluran pencernaan adalah melalui plasenta, kolostrum, menembus melalui kulit dan adanya induk semang antara (serangga dan arthropoda). Koksidiosis adalah penyakit yang salah satunya disebabkan oleh genus Isospora merupakan salah satu masalah utama hewan muda karena pada hewan yang berumur tua kekebalan tubuhnya lebih baik dalam proteksi dari agen infeksi (Susilo dkk., 2014). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini. Protozoa saluran pencernaan yang ditemukan menginfeksi kucing yang berumur di atas 12 bulan adalah Isospora felis dengan angka prevalensi yang rendah yakni 1,89%, selanjutnya Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 5,66%. Infeksi Cryptosporidium sp. dapat terjadi karena kemungkinan kucing tua mempunyai

64 kecenderungan ingin memiliki daerah kekuasaan yang lebih luas, terlebih jika kucing tersebut dipelihara dengan cara dibiarkan hidup bebas diluar rumah pemilik kucing. Karena kecenderungan tersebut, kucing mempunyai potensi penularan yang lebih banyak pula disebabkan perilaku kucing yang melakukan kontak langsung dengan lingkungan yang kemungkinan terkontaminasi oleh Cryptosporidium sp Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kucing yang dipelihara dengen sistem pemeliharaan tipe (3) memiliki angka prevalensi paling tinggi, hal tersebut menunjukkan bahwa kucing yang dipelihara dengan sistem pemeliharan tipe (3) memiliki kondisi kesehatan paling rendah dibandingkan kucing dengan sistem pemeliharaan tipe (1) dan (2). Angka prevalensi yang tinggi tersebut kemungkinan bisa disebabkan karena sanitasi lingkungan yang kurang baik dan kucing yang dibiarkan bebas berkeliaran mempunyai banyak potensi tertular protozoa saluran pencernaan. Stadium infektif protozoa saluran pencernaan terkandung dalam feses hewan terinfeksi, selanjutnya feses tersebut dapat mengkontaminasi pakan dan minuman kucing lain serta dapat juga mengkontaminasi tanah dan lingkungan tempat kucing melakukan aktivitas, mengingat kucing yang dibiarkan bebas berkeliaran mempunyai kebiasaan mencari makan di tempat kotor. Hal ini perlu diwaspadai mengingat kucing tersebut merupakan kucing peliharaan yang dapat melakukan kontak langsung

65 dengan manusia, apabila kucing tersebut terinfeksi protozoa saluran pencernaan maka bisa menjadi tempat penularan pada manusia, mengingat penyakit protozoa saluran pencernaan kucing ada yang bersifat zoonosis. Perilaku pemilik hewan yang terkadang mencium, menggendong, membersihkan kandang serta berbagai bentuk kontak dengan kucing dapat menjadi sumber penularan penyakit protozoa saluran pencernaan. Sistem pemeliharaan dan lingkungan berpengaruh terhadap penularan penyakit protozoa, kucing dengan sistem pemeliharaan tipe (2) dan (3) rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit protozoa saluran pencernaan yang berbahaya dan dapat ditularkan pada hewan lain dan manusia, karena pemilik kucing tidak pernah tahu apa yang dilakukan kucing peliharaannya saat berada di luar rumah. Kucing biasanya mencari makan di tempat sampah, memangsa tikus, rodensia dan hewan lain yang terinfeksi penyakit protozoa saluran pencernaan (Hildreth et al., 2010). Sebaliknya, kucing yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (1) mendapat pakan, minum dan tempat tinggal yang terjamin kebesihannya, serta penggunaan pendingin ruangan membuat kucing lebih nyaman dan tidak mudah stres sehingga tidak mudah tertular penyakit protozoa (Suwed, 2006) Beberapa infeksi protozoa yang ditemukan merupakan protozoa yang bersifat zoonosis atau dapat menular ke manusia. Hasil keseluruhan sampel yang diteliti dalam penelitian ini, protozoa Cryptosporidium sp. merupakan protozoa saluran pencernaan yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini dengan angka prevalensi 7%, infeksi Cryptosporidium sp. ditemukan pada sistem pemeliharaan (2) dengan angka prevalensi 11,76% dan (3) dengan angka

66 prevalensi 13,64%, karena penularan Cryptosporidium sp. terjadi melalui berbagai macam media seperti tanah, air, pakan, minum dan kontak langsung dengan feses yang terkontaminasi. Tingginya tingkat resistensi ookista Cryptosporidium sp. terhadap desinfektan memungkinkan Cryptosporidium sp. untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Cryptosporidium sp. juga dapat menular melalui pakan hewan yang mentah, atau bahan pakan yang telah dicuci dengan air yang terkontaminasi Cryptosporidium sp.. Selain itu kebiasaan kucing makan rumput-rumputan yang bertujuan untuk membersihkan saluran pencernaannya juga menjadi salah satu penyebab tertularnya Cryptosporidium sp., karena kemungkinan rumput yang berada di alam bebas telah terkontaminasi oleh feses kucing lain yang terinfeksi Cryptosporidium sp.. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan Cryptosporidium sp. adalah kurangnya air bersih, sanitasi lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal, letak tempat tinggal, musim serta resiko individu seperti status gizi yang kurang baik (Medema et al., 2006). Cryptosporidium sp. juga merupakan protozoa saluran pencernaan yang bersifat zoonosis yang dapat menimbulkan diare bahkan diare kronis pada manusia khususnya dengan imunitas yang sangat rendah (Prasetyo, 2004). Orangorang yang memelihara kucing dengan sistem pemeliharaan (2) dan (3) beresiko terhadap penularan penyakit protozoa, khususnya Cryptosporidium sp. mengingat angka prevalensi yang cukup tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan Samie et al. (2013) di Afrika Selatan ditemukan sebanyak 32% kucing yang positif Cryptosporidium sp. dari 25 sampel yang diperiksa, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Abel-Maksoud dan Ahmed (1999) di Aswan ditemukan sebanyak

67 20% kucing positif terinfeksi Cryptosporidium sp. dari 59 sampel yang diperiksa. Penularan dapat dicegah dengan menghindari kontak secara langsung dengan hewan, menjaga sanitasi lingkungan dan diri serta menjaga kesehatan kucing peliharaan (Brown, 1979; Soulsby, 1986). Spesies dari genus Isospora yang ditemukan dalam penelitian ini adalah Isospora felis ditemukan pada sistem pemeliharaan tipe (2) dengan angka prevalensi 2,94% dan (3) dengan angka prevalensi 13,64%. Sedangkan Isospora rivolta hanya ditemukan pada sistem pemeliharaan tipe (3) dengan angka prevalensi 9,09%. Protozoa yang berasal dari genus Isospora bersifat spesies spesifik, yakni tiap spesies hanya akan menginfeksi satu macam induk semang. Infeksi primer oleh Isospora felis dan Isospora rivolta biasanya melalui indukan yang menyusui anaknya pada usia tiga hingga delapan minggu, sehingga pada kebanyakan kasus Isospora felis dan Isospora rivolta ditemukan pada kucing usia di bawah satu tahun. Selain itu penularan Isospora felis dan Isospora rivolta juga dipengaruhi oleh lingkungan, karena ookista dari Isospora felis dan Isospora rivolta dapat bertahan selama beberapa bulan pada lingkungan yang mendukung (ESCCAP, 2011). Sistem pemeliharaan juga berpengaruh terhadap proses penyebaran Isospora felis dan Isospora rivolta, kucing yang dibiarkan hidup bebas pada sistem pemeliharan tipe (2) dan (3) kemungkinan besar dapat tertular Isospora felis dan Isospora rivolta melalui kontak antar kucing. Kucing dapat terinfeksi karena melakukan aktifitas di tanah yang mengandung ookista dari feses kucing lain yang mengandung Isospora, selain itu kucing juga dapat terinfeksi karena mencari makanan tambahan di tempat sampah yang kotor, karena tempat

68 yang kotor merupakan agen penularan berbagai penyakit, termasuk penyakit protozoa saluran pencernaan (Sucitrayani dkk., 2014). Kebiasaan kucing makan rumput-rumputan yang bertujuan untuk membersihkan saluran pencernaannya juga menjadi salah satu penyebab tertularnya Isospora, karena kemungkinan rumput yang berada di alam bebas telah terkontaminasi oleh feses kucing lain yang terinfeksi Isospora. Hal tersebut perlu diwaspadai mengingat penyakit koksidiosis (penyakit protozoa saluran pencernaan yang disebabkan genus Isospora) yang menyerang kucing muda memperlihatkan gejala yang serius (Levine, 1995). Kejadian infeksi protozoa dari genus Isospora menunjukkan angka prevalensi 3% dari 1355 kucing yang diperiksa oleh Tzannes et al. (2008) di Inggris, sedangkan angka prevalensi lebih tinggi didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Mircean et al. (2010) yakni 8,9% infeksi oleh Isospora rivolta dan 5,3% infeksi oleh Isospora felis dari 414 sampel feses kucing yang diperiksa di Transylvania. Namun penularan dapat dicegah dengan memperhatikan sanitasi lingkungan, mengganti pasir kucing setiap hari, menyemprotkan desinfektan pada kotak pasir kucing, kandang serta lantai tempat kucing tinggal dan yang paling penting adalah menjaga kebersihan diri dan individu setiap kucing (ESCCAP, 2011). Selanjutnya pada penelitian ini ditemukan satu sampel feses kucing yang positif mengandung Balantidium coli yang ditemukan pada kucing betina yang berumur tiga bulan yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe (1), hal ini dapat terjadi karena kemungkinan kucing tersebut berkeliaran di dalam rumah dan bermain dengan kecoa, tikus atau hewan lain yang menjadi induk semang

69 perantara Balantidium coli. Hal tersebut sama dengan tulisan Rahayu (2008) yang mengatakan bahwa cara lain penularan endoparasit, termasuk protozoa saluran pencernaan adalah melalui plasenta, kolostrum, menembus melalui kulit dan adanya induk semang antara (serangga dan arthropoda). Kejadian infeksi ini kemungkinan juga disebabkan kucing tersebut belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang kompleks dikarenakan belum dewasa kelamin, sehingga belum terbentuk pula hormon estradiol yang merupakan faktor pemicu peningkatan sistem kekebalan tubuh pada hewan betina yang telah dewasa. Walaupun kejadian Balantidium coli pada kucing sangat sedikit dilaporkan, namun penyakit yang disebabkan protozoa ini perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan gejala klinis diare disertai darah pada hewan terinfeksi (Levine, 1995; Soulsby, 1986). Penularan dapat dicegah dengan selalu memperhatikan sanitasi lingkungan Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya Telah dilakukan penelitian terhadap 100 sampel feses kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya dengan hasil sebanyak 54% kucing mengalami diare dan 46% kucing tidak mengalami diare. Sebanyak 20,37% dari kucing yang mengalami diare adalah kucing yang terinfeksi protozoa saluran pencernaan. Sedangkan 6,52% dari kucing yang tidak mengalami diare adalah kucing yang terinfeksi protozoa saluran pencernaan. Hal tersebut menunjukkan mayoritas kucing yang terinfeksi protozoa saluran pencernaan akan mengalami diare, karena diare disebabkan adanya gangguan atau penyakit pada intestinal (Lukiswanto dan

70 Yuniarti, 2013), mengingat hampir semua predileksi protozoa saluran pencernaan berada di daerah intestinal. Namun pada kasus diare yang terjadi, tidak sepenuhnya disebabkan oleh penyakit protozoa saluran pencernaan. Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada sampel feses kucing diare adalah Cryptosporodium sp. dengan angka prevalensi tertinggi yakni 9,26%, diikuti oleh infeksi Isospora felis dengan angka prevalensi 7,41% dan infeksi terendah oleh Isospora rivolta dan Balantidium coli dengan angka prevalensi masing-masing 1,85%. Kejadian tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Artama dkk. (2005) bahwa Cryptosporodium sp. adalah protozoa saluran pencernaan yang menyebabkan diare pada induk semangnya terlebih dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah. Soulsby (1986) juga mengungkapkan bahwa infeksi oleh genus Isospora dapat menimbulkan gejala klinis berupa diare, anoreksia, emasiasi, bahkan kematian pada infeksi berat. Pada penelitian ini, Balantidium coli ditemukan pada kucing dengan gejala klinis diare disertai darah hematochezia, yakni darah yang keluar bersama feses merupakan darah segar dan berwarna merah. Hal tersebut menunjukkan bahwa darah yang keluar bersama feses merupakan hasil perlukaan dari usus besar. Kejadian tersebut menguatkan teori yang ditulis Soulsby (1986) bahwa Balantidium coli normalnya ditemukan pada lumen usus besar babi, kemungkinan bisa ditemukan dalam saluran pencernaan kucing karena kucing tersebut bermain atau memakan kecoa atau serangga lain yang menjadi induk semang antara Balantidium coli, hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Rahayu (2008). Infeksi Balantidium coli menyebabkan diare berdarah karena Balantidium coli dapat menghasilkan

71 hyaluronidase, yakni enzim bersifat merusak ikatan sel yang berfungsi untuk memudahkannya masuk ke dalam jaringan (Soulsby, 1986). Pada kucing yang tidak diare ditemukan adanya infeksi protozoa saluran pencernaan sebanyak 6,52%, dengan infeksi Cryptosporidium sp. sebanyak 4,35% dan Isospora rivolta sebanyak 2,17%, hal tersebut menunjukkan bahwa penyakit protozoa saluran pencernaan tidak selalu menampakkan gejala klinis atau bersifat asimptomatis, tidak nampaknya gejala klinis tersebut mungkin dikarenakan infeksi yang terjadi pada kucing merupakan infeksi ringan atau karena tingginya sistem kekebalan tubuh pada kucing tersebut, namun hal ini perlu diwaspadai karena dampak negatif yang ditimbulkan dari infeksi yang bersifat asimptomatis ini justru akan berbahaya bagi kucing lain yang ada di lingkungan tersebut dan bagi para pemilik hewan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kucing serta pemilik hewan. Selain itu pemeriksaan kesehatan secara rutin bagi kucing peliharaan juga menjadi salah satu upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dari infeksi protozoa saluran pencernaan.

72 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Angka prevalensi infeksi protozoa pada kucing-kucing yang dipelihara di Surabaya adalah 14% 2) Protozoa yang ditemukan menginfeksi kucing-kucing yang dipelihara di Surabaya berasal dari genus Isospora yakni Isospora felis dan Isospora rivolta, dari genus Balantidium yakni Balantidium coli serta dari genus Cryptosporidium. 3) Umur kucing berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan. Kucing yang berumur di bawah 12 bulan lebih banyak terinfeksi protozoa saluran pencernaan dibandingkan kucing yang berumur di atas 12 bulan. 4) Sistem pemeliharaan juga berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. Kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan dan tidak diperhatikan kesehatannya memiliki kondisi kesehatan paling rendah dibandingkan kucing yang dipelihara dengan cara dikandangkan, diperhatikan sanitasi lingkungannya dan

73 kesehatannya serta tidak diperbolehkan keluar rumah pemilik kucing. 5) Gejala klinis diare pada kucing tidak selalu disebabkan oleh infeksi protozoa saluran pencernaan, namun mayoritas kucing yang terinfeksi menandakan gejala klinis diare. Hanya beberapa kucing yang terinfeksi protozoa saluran pencernaan tidak menunjukkan gejala klinis diare Saran Melalui penelitian mengenai prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing yang dipelihara di Surabaya, adapun saran yang diberikan adalah: 1) Pemeriksaan prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing yang dipelihara di Surabaya sebaiknya dilakukan secara berkala, sehingga infeksi protozoa saluran pencernaan dapat dikendalikan penyebarannya. 2) Memberikan edukasi mengenai penyakit protozoa saluran pencernaan kepada para pemilik kucing di Surabaya sehingga dapat meminimalisir infeksi protozoa pada kucing yang dipelihara tersebut, mengingat adanya penyakit protozoa saluran pencernaan kucing yang bersifat zoonosis. 3) Pemilik hewan harus memperhatikan dengan seksama kondisi kesehatan hewan peliharaannya (terlebih pada kucing yang

74 mengalami diare), termasuk status hewan tersebut telah bebas dari penyakit baik yang bersifat zoonosis maupun tidak. Begitu juga dengan kondisi kesehatan hewan tua hewan carier penyakit protozoa saluran pencernaan sehingga dapat menjadi sumber penularan pada hewan lain dan hewan muda. Maka pemeriksaan oleh dokter hewan secara berkala penting untuk dilakukan, mengingat penyakit protozoa saluran pencernaan kucing tidak selalu menampakkan gejala klinis atau bersifat asimtomatis. 4) Pemilik hewan hendaknya selalu menjaga sanitasi lingkungan tempat hewan dipelihara dengan mengganti pasir kucing setiap hari, membersihkan serta menyemprotkan desinfektan sehingga dapat menghindarkan pemilik hewan dan hewan peliharaan dari penyakit protozoa yang bersifat zoonosis.

75 RINGKASAN Nur Shofa Afiyah. Kucing merupakan salah satu hewan yang mempunyai daya eksotik tertentu sehingga banyak dijadikan sebagai hewan peliharaan oleh masyarakat, khususnya masyarakat di Kotamadya Surabaya. Sistem pemeliharaan kucing yang diterapkan masyarakat berbeda-beda, menurut Hildreth et al. (2010) ada tiga macam sistem pemeliharaan: (1) kucing yang sangat diperhatikan oleh pemiliknya, memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin. Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya (2) kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya (3) kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja. Kucing sebagai hewan peliharaan tidak terlepas dari berbagai penyakit, diantaranya adalah penyakit parasiter yang salah satunya dapat disebabkan oleh protozoa saluran pencernaan. Infeksi protozoa pada saluran pencernaan tidak selalu menampakkan gejala klinis atau bersifat asimtomatis, hanya pada infestasi yang berat yang dapat menyebabkan diare, nafsu makan dan daya tahan tubuh menurun, serta gangguan pertumbuhan pada hewan usia muda. Beberapa jenis protozoa saluran pencernaan yang dapat menyerang kucing adalah genus

76 Entamoeba, Balantidium, Toxoplasma, Isospora, Eimeria, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium. Beberapa protozoa saluran pencernaan juga bersifat zoonosis (Soulsby, 1986; Levine, 1995). Penelitian ini menggunakan 100 sampel feses kucing peliharaan yang tersebar di berbagai wilayah di Kotamadya Surabaya, yaitu wilayah Utara, Selatan, Barat dan Timur. Sampel feses diperiksa dengan menggunakan metode natif, apung, sedimentasi serta pewarnaan asam kinyoun. Pada sampel yang positif terinfeksi protozoa saluran pencernaan, dilakukan identifikasi terhadap jenis protozoa. Selanjutnya perhitungan prevalensi menggunakan rumus prevalensi dan penyajian data berupa tabel. Hasil pemeriksaan laboratorium dengan metode natif, apung, sedimentasi serta pewarnaan asam kinyoun terhadap 100 sampel feses kucing menunjukkan 14 sampel positif dan 86 sampel negatif. Angka prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya adalah 14%. Protozoa yang ditemukan yaitu Isospora felis, Isopora rivolta, Balantidium coli serta Cryptosporidium sp.. Prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan paling tinggi ditemukan pada kucing yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan tipe 3 (36,36%) diikuti sistem pemeliharaan tipe 2 (14,70%) dan yang paling rendah adalah sistem pemeliharaan tipe 1 (2,27%). Hasil penelitian menunjukkan umur kucing berpengaruh terhadap infeksi protozoa saluran pencernaan. Kucing yang berumur di bawah 12 bulan lebih rentan terhadap infeksi protozoa saluran pencernaan dibandingkan dengan kucing yang berumur di atas 12 bulan.

77 DAFTAR PUSTAKA Abdel-Maksoud, N. M. and M. M. Ahmed Hygienic Surveillance of Cryptosporodiosis in Dogs (Canis familiaris) and Cats (Felis catus). Ass. Univ. Bull. Environ. Res. Vol:1-2(2). Allen, D. G., S. Campbell., B. H. Colmery., J. G. Fox., C. L. Gyles., W. Ingwersen., L. E. Moore., S. Muylle., S. Patton., A. S. Peregrine., S. I. Rubin., H. C. Rutgers., J. M. Steiner., and T. W. Swerczek Digestive Disorders of Cats. //http. [17 Juni 2014]. Anonim Pocket Reference Book Cats. Paragon. United Kingdom. Arimbi Studi Kasus : Suspec Feline Infectious Peritonitis (FIP) Pada Kucing Ras di Surabaya. Case Study : Suspec Feline Infectious Peritonitis (FIP) of Cat in Surabaya. Veterinari Medika. Vol:3(2). Artama, I. K., U. Cahyaningsih dan E. Sudarnika Prevalensi Infeksi Cryptosporodium parvum pada Sapi Bali di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bendryman, S. S Prevanlensi Infeksi Cacing dan Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Liar di Kotamadya Suravaya. Faculty of Veterinary Medicine. Airlangga University. Brown, H. W Dasar Parasitologi Klinik. Edisi III. PT Gramedia. Jakarta Chessbrough, M Entamoeba Histolytica. District Lab. Practice in Tropical Countries. Part I. Cambridge University Press. United Kingdom. Dubey, J. P., D. S. Lindsay and C. A. Speer Structures of Toxoplasma gondii Takhizoites, Bradyzoites and Sporozoites and Biology and Development of Tissue Cysts. Clin. Mikrobiol. Rev ESCCAP Control of Intestinal Protozoa in Dogs and Cats. ESCCAP Guideline 06 First Edition. ESCCAP Eyspana, B. D Prevalence of Intestinal Pathogen Protozoa on Diary Calves in Setia Kawan Diary Cooperates Nongkojajar Pasuruan [Skripsi]. Universitas Airlangga.

78 Ford, B. J The Discovery of Giardia. Gonville and Caius College, University of Cambridge, United Kingdom. Microscope. Vol:53(4). Gandahusada, S Diagnosa dan Penata Laksanaan Toxoplasmosis. Majalah Parasitologi Indonesia. Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesia. 5(1):7 14. Gandahusada, S Penanggulangan Toksoplasmosis dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia. Maj. Kedok. Ind. Juni; 45: Gandahusada, S., H. H. D. Illahude dan W. Pribadi Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Getty, R Sisson and Grossman s: The Anatomy of the Domestic Animals. 5 th Edition. Hildreth, A. M., S. M. Vantassel and S. E. Hygnstrom Feral Cats and Their Management. University of Nebraska. Lincoln. Leventhal, R. and R. F. Cheadle Class Lobusca. Medical Parasithology. A Self-instructional Text. 4 th Edition. Davis Company. Philadelphia. Levine, N. D Protozoologi Veteriner (terjemahan). Alih bahasa: Soekardono, S. Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Lukiswanto B. S. dan W. M. Yuniarti Pemeriksaan Fisik pada Anjing dan Kucing. Airlangga University Press. Medema, G., P. Teunis, M. Blokker, D. Deere, A. Davison, P. Charles and J. Loret Cryptosporodium. WHO Guidelines for Drinking Water Quality. Mircean, V., A. Titilincu and C. Vasile Prevalence of Endoparasites in Householed Cat (Felis catus) Populatian from Transylvania (Romania) and Association with Risk Factors. 171(1-2): Murtidjo, B. A Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Nealma, S., I. M. Dwinata., and I. B. M. Oka Prevalensi Infeksi Cacing Toxocara cati pada Kucing Lokal di Wilayah Denpasar. Fakultas Kedokteran Hewan. Udayana. Denpasar.

79 Noble, E. R. and G. A. Noble Parasitology: biologi Parasit Hewan. Edisi Kelima (terjemahan). Alih Bahasa: Widiarto. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Norsworty, G. D Feline Practice. J. B. Lippincoft Company. Philadelphia. Pabundu, D Kasus Penyakit Hewan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Periode [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Prasetyo, R. H Atlas Berwarna Protozoologi Veteriner. Airlangga University Press. Puspita, L. T Pusat Kegiatan Bagi Penyayang Serta Anjing dan Kucing di Daerah istimewa Yogyakarta [Tugas Akhir]. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Rahayu, N. R. T Identifikasi Endoparasit Saluran pencernaan Simakobu (Simias concolor siberru) dan Joja (Presbytis potenziani siberu) di Siberut Utara [Skrpsi]. Fakultas kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar. Samie, A., M. A. Tsipa and P. Bessong. 2013The Epidemology of Cryptosporodium in Cats and Dogs in the Thohoyandou Region, South Africa. Academic Journal. 7(21): Samil, R. S Toksoplasmosis pada Ibu Hamil dan Bayi. Seminar Sehari Penyakit-Penyakit Manusia yang Ditularkan Hewan Peliharaan. Jakarta, 31 Oktober, Sasmita, R Toksoplasmosis Penyebab Kelainan dan Keguguran Bayi: Pengenalan, Pemahaman, Pencegahan dan Pengobatan. Universitas Airlangga. Fakultas Kedokteran Hewan. Airlangga University Press. Surabaya. Sitepoe, M Nyaman Bersama Hewan Kesayangan. Grasindo. Jakarta. Soulsby, E. J. L Helminths, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals. 5 th Edition. The English Language Book Soc and Bailliere Tindall. London. Subronto Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada Press. Bulaksumur, Yogyakarta.

80 Sucitrayani, P. T. E., I. B. M. Oka dan M. Dwinata Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Lokal (Felis catus) di Denpasar. Buletin Veteriner Udayana. Vol:6(2). Sudrajat, S Epidemologi Penyakit Hewan. Jilid I. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian. Susilo, J., Siswanto, A.J., Heni A. dan Triwibowo, B Infeksi Coccidia pada Sapi Potong di Balai Peneliltian Tanah Bogo Probolinggo Lampung Timur. Buletin Laboratorium Veteriner. Vol:31(01). Suwanti, L. T Pengaruh Splenektomi terhadap Infeksi Toxoplasma gondii pada Mencit. Lembaga Penelitian. Universitas Airlangga. Surabaya. Suwanti, L. T., N. D. R. Lastuti., E. Suprihati Diktat Protozoologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Suwanti, L. T., N. D. R. Lastuti., Mufasirin dan E. Suprihati Petunjuk dan Laporan Praktikum Ilmu Penyakit Protozoa. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Suwed, M. A. dan N. S. Budiana Membiakkan Kucing Ras. Penebar Swadaya. Jakarta. Tzannes, S. Batchelor D. J., Graham P. A., Pinchbeck G. L., Wastling J. and German A. J Prevalence of Cryptosporodium, Giardia and Isosporan Species Infections in Pet Catswith Clinical Signs of Gastrointestinal Disease. Journal Feline Medicine Surgery. 10(1): 1 8. Wastomi, Z. N Prevalensi dan Derajat Infeksi cacing Saluran Pencernaan pada Kucing di Beberapa Pet Shop di Kota Surabaya [Skripsi]. Universitas Airlangga. Yudhie Koksidiosis pada Kucing dan Anjing. [24 Juni 2015]. Yulfi, H Protozoa Intestinalis. Universitas Sumatera Utara Repository. Medan.

81 Lampiran 1. Pemeriksaan Protozoa a. Metode Natif Sampel feses yang telah diberi larutan K 2 Cr 2 O 7 2% diambil secukupnya dengan menggunakan lidi atau gelas pengaduk untuk dioleskan pada kaca obyek, setelah itu ditambahkan satu sampai dua tetes air dan ditutup dengan kaca penutup. Selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran kali. b. Metode Apung Suspensi tinja dibuat dengan perbandingan satu bagian tinja dan 10 bagian air lalu disaring dengan menggunakan saringan teh. Filtrat yang didapat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, dan disentrifugasi selama lima menit dengan kecepatan 1500 rpm. Proses sentrifugasi diulang beberapa kali sampai supernatan jernih. Setelah itu pelarut dibuang dan diganti dengan larutan NaCl 0,9% sampai ketinggian satu sentimeter dibawah mulut tabung, lalu disentrifugasi selama lima menit dengan kecepatan 1500 rpm. Tabung hasil sentrifugasi diletakkan pada rak tabung dan secara perlahan ditetesi dengan larutan NaCl 0,9% sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung. Setelah itu diatas mulut tabung sentrifus diletakkan kaca penutup dan dibiarkan satu sampai dua menit, kemudian kaca penutup diambil dan diletakkan diatas kaca objek untuk diperiksa dibawah mikroskop. c. Metode Sedimentasi Suspensi tinja dibuat dengan perbandingan satu bagian tinja dan 10 bagian air lalu disaring dengan menggunakan saringan teh. Filtrat yang didapat

82 dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, dan disentrifugasi selama dua sampai lima menit dengan kecepatan 1500 rpm. Supernatan hasil proses sentrifugasi dibuang dan endapannya ditambah air kemudian disentrifugasi. Proses sentrifugasi diulang beberapa kali sampai supernatan jernih. Setelah terlihat jernih, supernatan dibuang dan disisakan sedikit. Lalu endapan dan supernatan yang tersisa diaduk dan diambil sedikit dengan menggunakan pipet pasteur, kemudian diteteskan di atas kaca objek dan tutup dengan kaca penutup. Selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali. Sumber: Suwanti dkk., 2011

83 Lampiran 2. Pewarnaan Asam Kinyoun Ookista yang terdapat pada sampel feses sulit dideteksi tanpa pewarnaan khusus. Tujuan dari pewarnaan ini untuk membantu mengidentifikasi ookista, karena ookista tidak berwarna dan berukuran kecil. Tidak seperti pewarnaan zhielneelsen yang dimodifikasi, pewarnaan asam kinyuon tidak memerlukan pemanasan reagen yang digunakan pada proses pewarnaan. Tahap pertama, kaca obyek dibersihkan dari debu atau kotoran lain, lalu sampel feses disebar secara tipis dan luas dengan menggunakan pipet dan dikeringkan. Setelah itu, sampel yang sudah kering difiksasi dengan menggunakan methanol absolut selama satu menit. Selanjutnya kinyoun diteteskan hingga menutupi sampel, lalu dibiarkan selama lima menit. Kemudian dibilas dengan menggunakan alkohol 50% selama kurang lebih tiga sampai lima detik. Setelah itu dicuci dengan air mengalir. Lalu asam sulfat (H 2 SO 4 ) 1% diteteskan untuk melunturkan warna hingga tetesannya bening. Selanjutnya, methylen blue diteteskan untuk memberikan warna background pada preparat sampel feses yang telah diwarnai selama satu menit. Terakhir, preparat sampel tersebut dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian lihat menggunakan mikroskop perbesaran 400 dan 1000 dengan bantuan minyak emersi. Sumber: Eyspana, 2014

84 Lampiran 3. Data dan Hasil Pemeriksaan Protozoa Saluran Pencernaan pada Sampel Feses Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya. No Wilayah Surabaya Jenis Kelamin Jantan Betina Umur* Hasil SP** Diare Jenis Protozoa 1. Utara 2. Utara 3. Utara 4. Utara 5. Utara 6. Utara X X X X X Isospora felis X Utara X 36-1 (+ darah) - 8. Utara 9. Utara 10. Utara 11. Utara 12. Utara 13. Utara X X X Cryptosporidium sp. X Cryptosporidium sp. X Cryptosporidium sp. X Cryptosporidium sp.

85 14. Utara 15. Utara 16. Utara 17. Utara 18. Utara 19. Utara 20. Utara 21. Utara 22. Utara 23. Utara 24. Utara 25. Utara 26. Utara X X X X X Cryptosporidium sp. X Isospora felis X X X X X X X 18-3 Cryptosporidium sp. 27. Utara X (+ darah) Balantidium coli 28. Timur X Timur X 8-2 (+ darah) -

86 30. Timur 31. Timur 32. Timur 33. Timur 34. Timur 35. Timur 36. Timur 37. Timur 38. Timur 39. Timur 40. Timur 41. Timur 42. Timur 43. Timur 44. Timur 45. Timur X X X X X X X X X X X X X X X X

87 46. Timur 47. Timur 48. Timur 49. Timur 50. Timur 51. Timur 52. Timur 53. Barat 54. Barat 55. Barat 56. Barat 57. Barat 58. Barat 59. Barat 60. Barat 61. Barat X Cryptosporidium sp. X X X X X X X X X X X X X X X

88 62. Barat 63. Barat 64. Barat 65. Barat 66. Barat 67. Barat 68. Barat 69. Barat 70. Barat 71. Barat 72. Barat 73. Barat 74. Barat 75. Barat 76. Barat 77. Barat X X X X X X X X X X X X X X X X

89 78. Barat 79. Barat 80. Selatan 81. Selatan 82. Selatan 83. Selatan 84. Selatan 85. Selatan 86. Selatan 87. Selatan 88. Selatan 89. Selatan 90. Selatan 91. Selatan 92. Selatan 93. Selatan X X X X X X X X X X X Isospora rivolta X Isospora rivolta X Isospora felis X X X Isospora felis

90 94. Selatan 95. Selatan 96. Selatan 97. Selatan 98. Selatan 99. Selatan 100. Selatan Keterangan: X X X X X X X *) dalam bulan **) Sistem Pemeliharaan

91 Lampiran 4. Foto Penelitian Sampel Feses Mikroskop Alat Sentrifus Alat dan Bahan Penelitian

92 Kucing Peliharaan

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan yang banyak diminati untuk dipelihara oleh masyarakat. Masyarakat banyak memelihara kucing, tetapi banyak juga yang kurang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kucing Kucing pertama kali didomestikasi sekitar 5000 tahun yang lalu di lembah sungai Nil ( Driscollet al., 2009). Evolusi kucing dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adaptasi

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

(Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM

(Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM PENGARUH LARUTAN LEMPUYANG WANGI (Zingiber aromaticllmval~) TERHADAP PRODUKSI OOKISTA EilJleria spp P ADA AYAM, > ' SKRIPSI Oleh: OSYE SYANITA ALAMSARI B01496142 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, dapat menginfeksi pada hewan dan manusia dengan prevalensi yang bervariasi (Soulsby, 1982). Hospes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Toksoplasmosis 2.1.1. Definisi Toksoplasmosis Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah E. histolytica Penyebab amebiasis adalah parasit Entamoeba histolytica yang merupakan anggota kelas rhizopoda (rhiz=akar, podium=kaki). 10 Amebiasis pertama kali diidentifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Topografis Sampel Wilayah Kondisi topografis di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak Papua memiliki perbedaan masing-masing yang sangat berpotensi mendukung penyebaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Toxoplasmosis 2.1.1 Definisi Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, yang merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menginfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pekerja Seks Komersiil Umumnya telah diketahui bahwa sumber utama penularan penyakit hubungan seks adalah pekerja seks komersial, dengan kata lain penularan lewat prostitusi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Giardia Lamblia 2.1.1. Epidemiologi G. lamblia ditemukan kosmopolit dan penyebarannya tergantung dari golongan umur yang diperiksa dan sanitasi lingkungan. Prevalensi yang

Lebih terperinci

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar IDENTIFY OOCYST OF ISOSPORA SPP. IN FAECAL CATS AT DENPASAR Maria Mentari Ginting 1, Ida Ayu Pasti Apsari 2, dan I Made Dwinata 2 1. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonis yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Parasit tersebut mampu menginfeksi hampir semua jenis sel berinti (nucleated

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887)

KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887) KOKSIDIOSIS PAD A SAPI YANG DlSEBABKAN EIMERIA ZUERNII (RIVOLTA, 1887) SKRIPSI Ole h DESY SUGESTI B. 190046 FAKUL TAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1 988 RINGKASAN Koksidia merupakan paras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria ditularkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA Salah satu ciri mahluk hidup adalah membutuhkan makan (nutrisi). Tahukah kamu, apa yang

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Protozoa merupakan mahkluk hidup bersel satu yang sering menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Protozoa merupakan mahkluk hidup bersel satu yang sering menjadi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Protozoa 1. Pengertian Protozoa Protozoa merupakan mahkluk hidup bersel satu yang sering menjadi penyebab penyakit diare, manusia yang terinfeksi oleh protozoa biasanya dapat

Lebih terperinci

Isolasi dan Identifikasi Oosista Koksidia dari Tanah Di Sekitar Tempat Pembuangan Sampah Di Kota Denpasar

Isolasi dan Identifikasi Oosista Koksidia dari Tanah Di Sekitar Tempat Pembuangan Sampah Di Kota Denpasar Isolasi dan Identifikasi Oosista Koksidia dari Tanah Di Sekitar Tempat Pembuangan Sampah Di Kota Denpasar ISOLATION AND IDENTIFICATION OF OOSISTA COCCIDIA OF THE LAND AROUND GARBAGE DISPOSAL IN DENPASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Giardiasis adalah penyakit diare yang disebabkan oleh protozoa patogen Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi protozoa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii

BAB I PENDAHULUAN. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang menyebabkan dampak merugikan terhadap hewan dan manusia diseluruh dunia. Toxoplasma gondii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya dan menghasilkan kerentanan terhadap berbagai infeksi. sel T CD4 yang rendah (Cabada, 2015; WHO, 2016).

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya dan menghasilkan kerentanan terhadap berbagai infeksi. sel T CD4 yang rendah (Cabada, 2015; WHO, 2016). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penderita HIV/AIDS meningkat setiap tahun dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sel limfosit T CD4 merupakan sel target infeksi HIV, penurunan jumlah dan fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Data dan informasi yang digunakan untuk mendukung proses Tugas Akhir ini di peroleh dari berbagai sumber, yaitu: 1. Wawancara dan survey kepada Dr.dr.Raditya wratsangka,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kuda (Equus caballus) Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging, alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Infeksi protozoa usus adalah salah satu bentuk infeksi parasit usus yang disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Cryptosporidium parvum

Lebih terperinci

Protozoologi I M A Y U D H A P E R W I R A

Protozoologi I M A Y U D H A P E R W I R A Protozoologi I M A Y U D H A P E R W I R A Protozoologi merupakan cabang biologi (dan mikrobiologi) yang mengkhususkan diri dalam mempelajari kehidupan dan klasifikasi Protozoa. Secara klasik, objek pengkajiannya

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hewan ke manusia. Toxoplasma gondii berperan sebagai parasit obligat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hewan ke manusia. Toxoplasma gondii berperan sebagai parasit obligat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Toxoplasma gondii berperan sebagai parasit obligat intraseluler

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak babi Ternak babi salah satu ternak penghasil daging sebagai sumber pemulihan gizi masyarakat yang sangat efesien diantara ternak ternak yang lain. Bangsa babi piaraan

Lebih terperinci

: Clostridium perfringens

: Clostridium perfringens Clostridium perfringens Oleh : Fransiska Kumala W 078114081 / B Clostridium perfringens adalah salah satu penyebab utama infeksi luka berakibat gangrene gas. Seperti banyak clostridia, organisme ini banyak

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional dengan desain cross sectional (potong lintang). Dalam penelitian ini dilakukan pembandingan kesimpulan

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA Dalam perkembangbiakannya,invertebrata memiliki cara reproduksi sebagai berikut 1. Reproduksi Generatif Reproduksi generative melalui fertilisasi antara sel kelamin jantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Infeksi toksoplasmosis dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Infeksi toksoplasmosis dapat terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit zoonosis merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Salah satu penyakit zoonosis adalah toksoplasmosis yang disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel

ORGANISASI KEHIDUPAN. Sel ORGANISASI KEHIDUPAN Sel Sel adalah unit terkecil dari makhluk hidup. Ukuran sangat kecil untuk melihat harus dibantu dengan mikroskop. Kata sel berasal dari bahasa latin cellulae, yang berarti bilik kecil.

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Pada Hewan

Sistem Pencernaan Pada Hewan Sistem Pencernaan Pada Hewan Struktur alat pencernaan berbeda-beda dalam berbagai jenis hewan, tergantung pada tinggi rendahnya tingkat organisasi sel hewan tersebut serta jenis makanannya. pada hewan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber:

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber: 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) 2.1.1 Taksonomi Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (2008), klasifikasi owa jawa atau Silvery

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizhopoda merupakan satu kelas dari lima pembagian kelas yang termasuk dalam protozhoa. Ukuran protozoa bervariasi, yaitu mulai kurang dari 10 mikron(µm) dan ada yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

KETERAMPILAN MEMBUAT APUSAN, MEWARNAI, MENGAWETKAN TINJA, DAN MENGIDENTIFIKASI PARASIT PADA APUSAN TINJA

KETERAMPILAN MEMBUAT APUSAN, MEWARNAI, MENGAWETKAN TINJA, DAN MENGIDENTIFIKASI PARASIT PADA APUSAN TINJA 1 KETERAMPILAN MEMBUAT APUSAN, MEWARNAI, MENGAWETKAN TINJA, DAN MENGIDENTIFIKASI PARASIT PADA APUSAN TINJA Sitti Wahyuni, MD, PhD Bagian Parasitologi Universitas Hasanuddin, wahyunim@indosat.net.id INDIKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya, bakteri, virus, dan parasit. Dari ketiga faktor tersebut

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan yang masuk ke dalam tubuh harus melalui serangkaian proses pencernaan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Proses

Lebih terperinci

Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Anjing Kintamani Bali di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali

Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Anjing Kintamani Bali di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Anjing Kintamani Bali di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali (THE PREVALENCE OF PROTOZOA INTESTINAL INFECTION IN KINTAMANI DOG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kucing terbagi dalam 3 kelompok, yaitu panthera, acinonyx dan felis. Panthera

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kucing terbagi dalam 3 kelompok, yaitu panthera, acinonyx dan felis. Panthera BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kucing (Felis silvestris catus) Dahulu kucing adalah binatang liar yang berasal dari miacis (sejenis musang yang hidup liar pada 60 juta tahun silam). Selama evolusinya keluarga

Lebih terperinci

PROTOZOA. Otot-rangka. Pencernaan. Saraf. Sirkulasi. Respirasi. Reproduksi. Ekskresi

PROTOZOA. Otot-rangka. Pencernaan. Saraf. Sirkulasi. Respirasi. Reproduksi. Ekskresi PROTOZOA Protozoa merupakan kelompok lain protista eukariotik. Kadang-kadang antara algae dan protozoa kurang jelas perbedaannya. Kebanyakan Protozoa hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Beberapa organisme

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso

BAB II VIRUS TOKSO Definisi Virus Tokso BAB II VIRUS TOKSO 2.1. Definisi Virus Tokso Tokso adalah kependekan dari toksoplasmosis, istilah medis untuk penyakit ini. Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protozoa yang ditularkan melalui feses kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. protozoa yang ditularkan melalui feses kucing. Infeksi penyakit yang ditularkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara beriklim tropis, penyakit akibat parasit masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Salah satu di antaranya adalah infeksi protozoa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebar ke berbagai negara seperti Singapura dan Hongkong (Direktorat Budidaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebar ke berbagai negara seperti Singapura dan Hongkong (Direktorat Budidaya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Babi Ternak babi merupakan salah satu komoditas peternakan yang cukup potensial untuk dikembangkan. Ternak babi dan atau produk olahannya cukup potensial sebagai komoditas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, karena penelitian ini hanya menggambarkan tentang angka kejadian penyakit diare dan infeksi Entamoeba histolytica

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit 4 Parasit TINJAUAN PUSTAKA Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Toxoplasma gondii 2.1.1 Epidemiologi Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh hewan bersel satu (protozoa) Toxoplasma gondii. Parasit ini pertama kali ditemukan oleh

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

DI SUSUN OLEH. KELOMPOK : II Anggota : 1. Nurhaliza ( ) 2. Nevri Isnaliza ( ) 3. Siti wardana ( )

DI SUSUN OLEH. KELOMPOK : II Anggota : 1. Nurhaliza ( ) 2. Nevri Isnaliza ( ) 3. Siti wardana ( ) DI SUSUN OLEH KELOMPOK : II Anggota : 1. Nurhaliza (0806103050078) 2. Nevri Isnaliza (0806103010039) 3. Siti wardana (0806103010061) Ciliata (Ciliophora) 1. Silia berfungsi sebagai alat gerak dan membantu

Lebih terperinci

PARASIT. Yuga

PARASIT. Yuga PARASIT Yuga 03008028 Keterangan AL : Ascaris Lumbricoides BC : Balantidium Coli Telur AL Dibuahi Ukuran 60-45 mikron, Bentuk agak lonjong, dinding luar ada 3 lapis salah satunya lapisan albuminoid bergerigi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toxoplasmosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat menginfeksi semua mamalia dan spesies

Lebih terperinci

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN 1 PARASTOLOGI Tugas 1 Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1 Editor : Vivi Pratika NIM : G0C015098 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Biologi merupakan ilmu tentang makhluk hidup beserta lingkungannya. Objek yang dipelajari dalam Biologi adalah makhluk hidup dan makhluk tak hidup. Makhluk

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 TUJUAN Mampu membuat, mewarnai dan melakukan pemeriksaan mikroskpis sediaan darah malaria sesuai standar : Melakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Saanen Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial dan perlu dikembangkan sebagai penyedia protein hewani yang dapat menghasilkan susu dan

Lebih terperinci

Trichomonas Vaginalis

Trichomonas Vaginalis Trichomonas Vaginalis Trichomonas vaginalis tidak mempunyai stadium kista. Stadium trofozoit berukuran 10-25 mikron x 7-8 mikron mempunyai 4 flagel anterior dan 1 flagel posterior yang melekat pada tepi

Lebih terperinci

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis

RABBIT FEVER?? Francisella tularensis RABBIT FEVER?? Kelinci bisa kena demam?? Gara-gara apa? Fransisca Kurnianingsih 078114084 Francisella tularensis Abstract Francisella tularensis adalah bakteri Gram negatif (bakteri Gram negatif terdiri

Lebih terperinci

Rickettsia prowazekii

Rickettsia prowazekii Rickettsia prowazekii Nama : Eva Kristina NIM : 078114026 Fakultas Farmasi Sanata Dharma Abstrak Rickettsia prowazekii adalah bakteri kecil yang merupakan parasit intraseluler obligat dan ditularkan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian. Scabies merupakan salah satu penyakit kulit yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian. Scabies merupakan salah satu penyakit kulit yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh kucing yang membatasi tubuh dengan dunia luar, selain itu kondisi kulit merupakan refleksi kesehatan kucing secara

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci